Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
El-Nino merupakan fenomena memanasnya suhu permukaan air laut di
Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur yang dampaknya dapat dirasakan
dalam lingkup skala global, salah satunya di Indonesia yang menyebabkan kondisi
kering dan curah hujan (Yuggotomo, 2018). Awal terjadinya fenomena El-Nino
adalah adanya peningkatan suhu permukaan air laut pada samudera pasifik
bagian timur dan tengah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yang
menyebabkan peningkatan suhu kelembaban pada atmosfer yang berada diatas
perairan tersebut. Sehingga mendorong terjadinya pembentukan awan dan akan
meningkatkan curah hujan. Setelah proses pembentukan awan, maka di bagian
barat Samudera Pasifik yang akan mengalami peningkatan tekanan udara yang
menyebabkan pertumbuhan awan diatas lautan timur Indonesia menjadi
terhambat.
Hal ini menyebabkan di beberapa wilayah di Indonesia mengalami
penurunan curah hujan yang cukup signifikan. Selain itu juga merupakan awal
dari terjadinya fenomena La-Nina, sehingga dapat dikatakan fenomena El-Nino dan
La-Nina merupakan fenomena alam yang terjadi secara berturut-turut. El-Nino juga
sering terjadi di Provinsi Jambi salah satunya di kabupaten Muara Jambi. El-Nino
terbagi menjadi dua tingkatan yaitu El-Nino lemah dan kuat. El-Nino memiliki
dampak yang berbeda-beda dalam setiap wilayah, misalnya pada El-Nino kuat
memiliki dampak kebakaran hutan dan lahan, sedangkan untuk El-Nino lemah
dapat menyebabkan sumur kering atau sumber air berkurang.
Provinsi Jambi saat ini memasuki peralihan dari musim hujan ke musim
kemarau atau bisa dikatakan awal musim kemarau. Menurut Kurnia Ningsih
sebagai kepala Seleksi Data dan Informasi Stasiun Metereologi kelas 1 BMKG
Provinsi Jambi menyatakan musim kemarau secara umum terjadi pada bulan Juni
sampai September, sedangkan untuk awal musim kemarau diprediksi pada
dasarian 3 Mei (akhir Mei) hingga awal Juni 2020. Sementara itu puncak musim
kemarau di sebagian besar daerah zona musim di Indonesia, diprediksi yang akan
jatuh pada Agustus 2020. BMKG memprediksi ada sekitar 9.9% daerah Zona
Musim (ZOM) yang akan memasuki musim kemarau pada bulan April, Mei, dan
Juni, (Nurlailis, 2020).
Pada bulan Juni transisi musim hujan ke kemarau. Untuk musim
penghujan sendiri akan berlangsung pada bulan Maret dan bulan April 2020.
Jambi memiliki dua puncak curah hujan. Puncak pertama, pada November dan
Desember. Sedangkan puncak kedua pada Maret dan April tahun 2020. Adanya
dua puncak curah hujan pada satu periode musim ini dikarenakan jambi memiliki
tipe hujan ekuatorial (BMKG, 2019). Pada bulan November dan Desember ini,
Provinsi Jambi telah memasuki musim penghujan, namun saat ini curah hujan di
Provinsi jambi masih terbilang rendah, hal ini dinyatakan oleh Adi Setiadi sebagai
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Rendahnya curah
hujan disebabkan surfer temperatur atau suhu penguapan masih dingin.
Sedangkan penyebab turunnya hujan itu di karena masuk pada bulan November
hingga bulan Desember ini, Jambi mulai didominasi angin muson Asia. Angin
muson Asia ini membentuk intertropical Comvergence zone (ICZ), Dimana ICZ ini
banyak membentuk awan-awan penghujan. Atau bisa juga Proses terjadinya El-
Nino: Pemanasan global bisa meningkatkan frekuensi bencana alam yang terkait
dengan El-Nino. Fenomena ini tidak hanya terlihat dari meningkatnya kemarau dan
kebakaran hutan di Australia dan Indonesia serta banjir di Peru dan Ekuador,
namun juga akan meningkatkan cuaca ekstrim di seluruh dunia.
Secara statistik periode berulang El-Nino dan La-Nina pada 1980-2016
cenderung muncul lebih cepat dibandingkan periode 1950-1980 di mana saat itu
tercatat berulang setiap lima tahun sekali menjadi 2-3 tahun sekali. Memang
secara penelitian belum dapat dipastikan apakah ini betul akibat
dampak perubahan iklim atau kenaikan suhu global, tapi indikasi ke arah sana
ada kemungkinan akibat perubahan iklim, kata Deputi Klimatologi Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Mulyono Prabowo di Jakarta,
mengatakan perubahan iklim juga dapat mempengaruhi sebab meski La-Nina
maupun El-Nino adalah fenomena skala global tapi juga secara lokal dapat
mempengaruhi kondisi iklim setempat.  Apalagi wilayah Indonesia sebagian besar
atau hampir 70% adalah perairan yang secara respon perubahan iklim globalnya
akan terjadi keterlambatan antara daratan dan lautan sehingga juga memberikan
dampak.
Pengaruh El-Nino berupa berkurangnya curah hujan dibeberapa wilayah,
sehingga perlu dilakukan upaya konvensional seperti dropping air bersih,
pembuatan sumur, pembuatan embung, dan lain-lain. Upaya tersebut dilakukan
untuk menambah pasukan air (BNPB, 2015). Hal ini ditandai dengan naiknya suhu
permukaan laut di daerah khatulistiwa bagian tengah dan timur yang membawa
dampak udara kering dan panas. Sejak tahun 1950, setidaknya sudah terjadi 22
kali El-Nino di dunia. Dampak El-Nino paling terparah terjadi pada 1982-1983 dan
1997-1998. Saat itu El-Nino membuat sebagian belahan bumi kekeringan panjang
dan sebagian yang lain justru mengalami musim hujan yang panjang seperti
dikutip laman resmi BMKG (Amran, 2015).
Gejala munculnya El-Nino biasanya ditandai dengan meningkatan suhu
muka laut di kawasan Pasifik secara berkala dengan selang waktu tertentu dan
meningkatnya perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti (Fox, 2000).
Secara meteorologis kejadian El-Nino tersebut dan juga La-Nina ditunjukkan oleh
Southem Occilation Index (SOI) dan perubahan suhu permukaan laut di Samudra
Pasifik (Word Meteorology Organization, 1999). Nilai SOI tersebut sangat bervariasi
menurut bulan atau dalam periode waktu yang lebih singkat lagi akibat perubahan
perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti. Pada peristiwa El-Nino, nilai
SOI turun di bawah kisaran normal dan sebaliknya pada kejadian La-Nina. Nilai
SOI di kawasan Asia Tenggara dan Australia berkorelasi kuat dengan curah hujan,
kerana itu perubahan nilai SOI merupakan indicator yang baik bagi perubahan
curah hujan dikawasan tersebut. Jika terjadi El-Nino atau terjadi nilai SOI negative,
maka curah hujan dikawasan tersebut hingga mencapai dibawah curah hujan
normal, sebaliknya jika terjadi pada La-Nina yang ditunjukkan oleh nilai SOI positif,
dapat menimbulkan peningkatan curah hujan (Yoshino, 2000).
El-Nino kuat memberi dampak kebakaran hutan sedangkan untuk El-Nino
lemah memiliki dampak seperti air sumur mengalami kekeringan. Pada tahun 2019
di Kabupaten Muaro Jambi khususnya dikecamatan Kumpe tidak terjadi hujan
selema kurang lebih 60 hari tepatnya pada bulan Juni hingga Agustus 2019
sehingga mengakibatkan El-Nino menjadi kuat dan WAN sedikit terbentuk, dengan
kata lain pertumbuhan awan hujan akan terhambat dan menyebabkan curah
hujan menurun.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena El-Nino Southern
Oscillation?
2. Bagaimana pengaruh fenomena el-nino southern oscillation terhadap curah hujan
di Kabupaten Muaro Jambi?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena El-Nino Southern
Oscillation.
2. Untuk mengetahui pengaruh fenomena El-Nino Southern Oscillation terhadap
curah hujan di Kabupaten Muaro Jambi.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi mahasiswa
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai daerah-
daerah atau lokasi rawan kekeringan yang ada di Kabupaten Muara Jambi,
serta dapat dijadikan referensi atau wawasan baru bagi mahasiswa
sehingga dapat mengembangkan penelitian-penelitian yang berhubungan
dengan tingkat kekeringan di Kabupaten Muara Jambi.
2. Bagi Universitas jambi
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah referensi
sebagai bahan penelitian lanjutan dalam pengembangan dan penelitian
untuk Universitas Jambi sehingga menambah sumber daya manusia dan
ilmu pengetahuan yang berbasis teknologi.
3. Bagi masyarakat
Memberikan informasi mengenai daerah yang berpotensi terjadi kekeringan
di Kabupaten Muaro Jambi dalam rangka membangun sumur bor.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 El-Nino Southern Oscillation (ENSO)
ENSO merupakan fenomena gabungan interaksi lautan atmosfer yang
menyebabkan variasi iklim tahunan di dunia (Aldrian, 2008). Komponen lautan
dari ENSO adalah El-Nino dan La-Nina, sedangkan komponen atmosfernya adalah
Southern Oscillation. Pusat aktivitas ENSO berada di Samudra Pasifik yang
berdekatan dengan garis ekuator (Trenberth, 1997). Istilah El-Nino awalnya
digunakan untuk menggambarkan keadaan tahunan arus hangat lemah yang
menyusuri pantai selatan Peru dan Ekuador yang menyebabkan turunnya
tangkapan ikan. Turunnya tangkapan ikan tersebut disebabkan oleh nutrisi yang
biasanya dimunculkan ke permukaan oleh umbalan (upwelling) melemah (BOM,
2011).
Perkembangan selanjutnya El-Nino merupakan keadaan peningkatan suhu
permukaan lautan (sea surface temperature) dari suhu normalnya di Pasifik
Ekuator timur. La-Nina adalah kejadian berkebalikan dengan El-Nino yakni
penurunan suhu permukaan lautan di kawasan ekuator Samudera Pasifik dari
suhu normalnya (Prabowo, 2002). Ketika terjadi El-Nino maupun La-Nina, keduanya
berasosiasi dengan Southern Oscillation, sehingga fenomena ini lebih dikenal
sebagai ENSO (Aldrian, 2008).
Southern Oscillation merupakan sistem imbangan tekanan udara yang
ditunjukkan oleh tinggi (rendah) tekanan udara di Indonesia (Pasifik Ekuator barat)
dan Pasifik Ekuator timur serta kuat/ lemahnya Sirkulasi Walker (Prabowo, 2002).
Sirkulasi Walker merupakan sirkulasi udara barat timuran regional global, yang
disebabkan perbedaan suhu antara daratan dan lautan di daerah ekuator (Aldrian,
2008). Sirkulasi Walker yang melewati Indonesia lebih disebabkan karena
perbedaan suhu muka laut antara Pasifik ekuator barat dan timur (Prabowo, 2002).
El-Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan fenomena cuaca yang terjadi setiap
3 sampai 7 tahun dengan intensitas bervariasi (Irawan, 2006).
El-Nino sering disebut sebagai fase panas atau Warm Event di Samudra
Pasifik Ekuatorial bagian Tengah dan Timur. El-Nino merupakan fenomena lautan
dan atmosfer skala global yang akan mempengaruhi sirkulasi atmosfir skala
regional dan skala lokal. Angin sebagai bentuk pergerakan udara, yang bergerak
dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Pada saat El-Nino
terjadi, angin akan cenderung bergerak menuju Pantai Barat Peru di Pasifik Timur
yang bertekanan udara rendah. Pergerakan angin yang merupakan faktor penting
dalam pembentukan pola curah hujan di suatu tempat, secara langsung yang
terpengaruh. Pada tahun 1995 El-Nino telah menyebabkan kondisi kekeringan di
Afrika dan Australia. Kepulauan Indonesia yang terletak pada 7° LU - 12° LS dan
94° BT - 142° BT merupakan daerah yang berada di equator dan berbatasan
dengan Laut Pasifik di bagian Timurnya. Sedangkan untuk wilayah Indonesia yang
menyebabkan kekeringan terjadi pada tahun 1997/1998. Terjadinya El-Nino
disebabkan oleh meningkatnya suhu perairan di Pasifik timur dan tengah yang
mengakibatkan meningkatnya suhu dan kelembaban pada atmosfer yang berada
diatasnya. Dimana peristiwa ini menyebabkan pembentukan awan yang juga
meningkatkan curah  hujan pada kawasan tersebut. Dan juga mengakibatkan
tekanan udara pada barat Samudera Pasifik yang menghambat pertumbuhan awan
di laut Indonesia bagian timur yang membuat curah hujan menurun secara tidak
normal, musim kemarau yang berkepanjangan, kekeringan dan juga kebakaran
hutan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia (Tongkutut, 2011).
Intensitasnya dikategorikan menurut besarnya penyimpangan suhu muka
laut yang menyebabkan perubahan tekanan udara diatasnya dari nilai rata-
ratanya. Perubahan tekanan udara tersebut terbaca melalui Indeks Osilasi Selatan
yang menyatakan semakin negatif nilai SOI semakin kuat intensitas El-Nino.
Ada tiga kategori intensitas El-Nino menurut Salmawati (2010) adalah :
1) El-Nino lemah jika indeks SOI -5 s/d 0 dan berlangsung minimal 3 bulan
berturutturut.
2) El-Nino sedang jika indeks SOI -10 s/d -5 dan berlangsung minimal 3 bulan
berturut-turut.
3) El-Nino kuat jika indeks SOI >-10 dan berlangsung minimal 3 bulan berturut-
turut. Di atas Australia, Indonesia dan sekitarnya akan terdorong ke timur
sehingga secara langsung akan mengurangi potensi hujan.
Pada saat El-Nino terjadi, suhu muka air laut di Pasifik Timur Ekuator lebih
tinggi dibanding nilai rata-ratanya. Jumlah air laut bersuhu rendah yang mengalir
di sepanjang Pantai Selatan Amerika dan Pasifik timur berkurang bahkan
menghilang sama sekali. Akibat suhu yang lebih tinggi, tekanan udara di atas
permukaan laut menjadi rendah hingga udara cenderung bergerak naik dan turun
dikawasan yang lebih dingin. suhu muka laut diperairan Pasifik Barat yang lebih
dingin menyebabkan tekanan udara di atasnya menjadi tinggi dan udarapun
cenderung bergerak turun lalu bergerak ke daerah dengan tekanan lebih rendah
artinya di atas permukaan laut di Pasifik Barat equator angin akan bergerak ke
timur (Sarachik, 2010).
El-Nino diindikasikan dengan beda tekanan atmosfer antara Tahiti dan
Darwin atau yang disebut Osilasi Selatan. Osilasi Selatan merupakan sistem
imbangan tekanan udara yang ditunjukkan oleh tinggi (rendah) tekanan udara di
Indonesia (Pasifik Ekuator Barat) dan Pasifik Ekuator timur serta kuat/lemahnya
Sirkulasi Walker. El-Nino di tandai dengan Indeks Osilasi atau Southern Oscillation
Index (SOI) negatif, artinya tekanan atmosfer Tahiti lebih rendah dari pada tekanan
diatas Darwin. Indikator terjadinya El-Nino ditunjukkan oleh nilai indeks osilasi
selatan atau biasa disebut Southern Oscillation Index (SOI). Apabila terjadi El-Nino
nilai indeks osilasi selatan akan berada pada nilai minus dalam jangka waktu
minimal 3 bulan dan sebaliknya untuk La-Nina. Nilai SOI di kawasan Asia Tenggara
berkorelasi kuat dengan curah hujan, karena itu nilai SOI merupakan indikator
yang baik terhadap curah hujan di kawasan tersebut (Podbury, 1998).
Fenomena El-Niño ditandai oleh terjadinya pergeseran kolam hangat yang
biasanya berada di perairan Indonesia ke arah timur (Pasifik Tengah) yang diiringi
oleh pergeseran lokasi pembentukan awan yang biasanya terjadi di wilayah
Indonesia ke arah timur yaitu di Samudra Pasifik Tengah. Dengan bergesernya
lokasi pembentukan awan tersebut, maka timbul kekeringan yang berkepanjangan
di Indonesia (Mulyana, 2002, dalam Minzatu, 2017). Sedangkan fenomena IOD
sendiri disebabkan oleh interaksi atmosfer laut di Samudera Hindia Ekuatorial,
dimana terjadi beda temperatur permukaan laut antara Samudera Hindia tropis
bagian barat atau pantai Afrika timur dan Samudera Hindia tropis bagian timur
atau Pantai Barat Sumatera (Yamagata, 2004 dalam Minzatu, 2017).
Indeks osilasi selatan atau SOI (Southern Oscillation Index) yaitu suatu nilai
yang menunjukkan telah terjadi peristiwa El-Nino atau tidak. Indeks Osilasi Selatan
menyatakan perbedaan antara tekanan atmosfir di atas permukaan laut di Tahiti
(Pasifik Timur) dengan tekanan atmosfir diatas permukaan laut di Darwin (Pasifik
Barat) akibat perbedaan temperatur muka laut di kedua wilayah tersebut. Apabila
nilai Indeks Osilasi Selatan berada pada harga minus dalam jangka waktu 3 bulan
berturut-turut maka telah terjadi El-Nino (Sarachik, 2010).
2.2 Curah Hujan
Hujan adalah salah satu bentuk presipitasi. Menurut Tjasyono (2008)
mendefinisikan presipitasi sebagai pengendapan air dari atmosfir pada permukaan
bumi dalam bentuk cair (tetes hujan) dan padat (salju). Di wilayah tropis seperti
Indonesia presipitasi lebih didefinisikan sebagai hujan karena sangat jarang terjadi
presipitasi dalam bentuk jatuhan keping es. Curah Hujan merupakan ketinggian
air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap,
dan tidak mengalir. Jumlah curah hujan dicatat dalam inci atau milimeter (1 inci =
25,4 mm) (Tjasyono, 2004).
Menurut Prawaka (2016), curah hujan merupakan salah satu unsur cuaca
yang datanya diperoleh dengan cara menghitung jumlah air yang jatuh di
permukaan tanah datar selama periode tertentu. Curah hujan di Indonesia
didominasi oleh adanya pengaruh beberapa fenomena, antara lain sistem Monsun
Asia-Australia, Equatorial, El-Nino, Sirkulasi Timur-Barat (walker circulation) dan
Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi karena pengaruh lokal
(Affandi, 2012). Menurut Linsley (1996) dalam Minzatu, 2017 ada beberapa jenis
hujan berdasarkan intensitas curah hujan yaitu: Hujan ringan, kecepatan jatuh
sampai 2,5 mm/jam, Hujan menengah, dari 2,5-7,6 mm/jam, Hujan lebat, lebih
dari 7,6 mm/jam.
Dalam curah hujan ada yang dinamakan intensitas curah hujan. Dimana
dimaksud intensitas curah hujan adalah ketinggian air yang terjadi pada kurun
waktu tertentu yang dinotasikan dengan I dengan satuan mm/jam. Intensitas yang
tinggi umumnya terjadi dalam durasi yang pendek umumnya terjadi dalam durasi
yang pendek dan meliputi daerah yang tidak luas. Tinggi curah hujan diasumsikan
sama di sekitar tempat penakaran dengan luasan yang tercakup oleh sebuah
penakar hujan tergantung pada homogenitas daerahnya. Curah hujan mempunyai
variabilitas yang besar dalam ruang dan waktu. Dalam skala ruang, variabilitasnya
sangat dipengaruhi oleh letak geografi, topografi, arah angin dan letak lintang.
Dalam skala waktu keragaman curah hujan dibagi atas tipe harian, bulanan dan
tahunan. Variasi curah hujan harian lebih dipengaruhi oleh faktor lokal, variasi
bulanan dipengaruhi oleh angin darat dan angin laut, aktivitas konveksi, arah
aliran udara di permukaan serta variasi sebaran daratan dan lautan. Variasi curah
hujan tahunan dipengaruhi oleh perilaku atmosfir global, siklon tropis dan lain-
lain. Secara umum curah hujan di Indonesia didominasi oleh pengaruh beberapa
fenomena seperti sistem monsoon Asia-Australia, El-Nino, sirkulasi Timur-Barat
(Walker Circulation) dan Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi
karena faktor lokal. Cuaca permukaan wilayah Indonesia relatif sama. Massa udara
di atas wilayah Sulawesi pada waktu Monsoon Asia berasal dari Laut Cina Selatan
dan Pasifik Barat Daya. Pada waktu Monsoon Asia melemah, potensi hujanpun
akan menurun (Prasetya, 2011).
Indonesia terletak di antara dua samudra besar, yakni Samudra Pasifik di
sebelah timur laut dan Samudra Indonesia di sebelah barat daya. Kedua samudra
ini merupakan sumber udara lembab yang banyak mendatangkan hujan bagi
wilayah Indonesia. Pada siang hari proses evaporasi dari permukaan kedua
samudra ini secara nyata akan meningkatkan kelembaban udara di atasnya.
Keberadaan dua benua yang mengapit kepulauan Indonesia, yakni Benua Asia dan
Benua Australia akan mempengaruhi pola pergerakan angin di wilayah Indonesia,
arah angin sangat penting peranannya dalam mempengaruhi pola curah hujan.
Jika angin berhembus dari arah Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, maka angin
tersebut akan membawa udara lembab ke wilayah Indonesia dan mengakibatkan
curah hujan di wilayah Indonesia menjadi tinggi, sedangkan jika angin berhembus
dari arah daratan Benua Asia dan Benua Australia, angin tersebut hanya
mengandung sedikit uap air dan tidak banyak menimbulkan hujan (Minzatu,
2017). Secara umum penyebab curah hujan di Indonesia di pengaruhi oleh
beberapa fenomena diantaranya ENSO dan IOD.
Berikut ini adalah Tabel 1 yang merupakan pemberian nilai untuk parameter
curah hujan.
Tabel 1. Klasifikasi curah hujan
Rata-rata curah
No Deskripsi Nilai
hujan (mm/hari)
1 Sangat lebat >100 5
2 Lebat 51-100 4
3 Sedang 21-50 3
4 Ringan 5-20 2
5 Sangat ringan <5 1
Sumber : Theml, 2008

III. METODE PENELITIAN


3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dimulai dari bulan Desember 2020 sampai dengan bulan
Januari 2021. Objek penelitian ini adalah Muaro Jambi, yang merupakan
kabupaten Muaro Jambi dari Provinsi Jambi. Secara administratif terdiri dari 11
kecamatan, 150 desa dan 5 kelurahan, dengan jumlah penduduk 342.952 jiwa
dengan tingkat pertumbuhan 3,39% per tahun. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pola curah hujan wilayah di provinsi jambi memiliki rata-rata tahunan
sebesar 2583 mm pertahun.
3.2 Data dan Peralatan
Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Dimana data sekunder
merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung atau melalui sumber lain
yang sudah tersedia dari instansi yang bersangkutan. Data yang dibutuhkan pada
penelitian ini antara lain data ENSO dan data curah hujan di Kabupaten Muaro
Jambi. Data sekunder curah hujan diperoleh dari Instansi Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Muaro Jambi, untuk data ENSO diperoleh dari
online melalui http://origin.cpc.ncep.noaa.gov/products. Sedangkan untuk
peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu unit komputer dan
software Microsoft excel.
3.2 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah Mixed Methods
(Penelitian Gabungan), dikatakan Mixed Methods karena data yang digunakan
berupa data kualitatif dan kuantitatif.
Mulai

Identifikasi masalah

Merumuskan masalah

Studi literatur

Pengumpulan data

-Data ENSO
-Data curah hujan
tahun 2015-2020

Software Excel

Regresi ENSO
terhadap curah
hujan

Analisis Data
dengan excel

Selesai

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian


3.3 Analisis Data
Menurut Sugiyono (2017) mendefinisikan variable bebas adalah sebagai berikut:
Variabel bebas (independent) merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang
menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel
independent dalam penelitian ini adalah Likuiditas (Quick Ratio) variable
independent adalah Perputaran Modal Kerja. Sedangkan Variabel terikat
(Dependen) merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena
adanya variabel bebas. Variabel dependent yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah Return On Asset.
Tabel 2. Variabel independen dan dependen serta hipotesisnya
N Variabel Hipotesis
o
1. ∑ ¿¿ H0 = Tidak terdapatpengaruh
- VD = SOI (JFM-AMJ-
ENSO terhadap curah hujan
JAS-OND)
tahunan di Kabupaten Muaro
- VI = ∑ ¿¿ CH (JFM-AMJ- Jambi.
JAS-OND) HA = Terdapat pengaruh ENSO
terhadap curah hujan tahunan
di Kabupaten Muaro Jambi.
Sumber : Sitompul, 2013
keterangan : VD = Variabel Dependen
VI = Variabel Independen
SOI = Southern Oscillation Index
CH = curah hujan
JFM = Januari Februari Maret
AMJ = April Mei Juni
JAS = Juli Agustus September
OND = Oktober November Desember
Jika probabilitas > 0,05% = HA diterima
Jika probabilitas < 0,05% = H0 ditolak
Pengujian uji signifikan analisis regresi dilakukan pada derajat kepercayan
5%. Dinyatakan 5% adalah telah menjadi ketetapan dengan 95% itu kepercayan
benar dan 5% kepercayaan salah.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E. 2008. Meteorologi Laut Indonesia. Jakarta : Badan Meteorologi dan
Geofisika.
BOM (Bureau of Meteorology). 2011. El Nino, La Nina dan Australia’s Climate.
Diakses dari www.bom.gov.au pada tanggal 9 September 2011.
http://bnpb.go.id.
Irawan, B. 2006. Fenomena Anomali Iklim El-Nino dan El-Nina : Kecendrungan
Jangka Panjang dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Pangan, Forum
Penelitian Agro Ekonomi. Vol. 24, Bogor.
Loebis, J. 1992. Banjir Rencana Bangunan Air. Jakarta: Departemen Pekerjaan
Umum.
Minzathu, Tiara. 2017. Pengaruh Enso Dan Iod Pada Tiga Pola Curah Hujan
Di Indonesia. Skripsi Geofisika. Universitas Hasanuddin Makassar.
Prasetya, R. 2011. Analisis Curah Hujan Akibat Siklon Tropis Nangka, Parma dan
Nida di Sulawesi Utara. Skripsi Sarjana. FMIPA Unsrat.
Prawaka, F., Z. A., and S., Tugiono. 2016. Analisis Data Curah Hujan yang Hilang
dengan menggunakan Metode Normal Ratio, Inversed Square Distance, dan
Rata-rata Aljabar (Studi Kasus Curah Hujan Beberapa Stasiun Hujan
Daerah Bandar Lampung), Jurnal RSDD, No. 3, Vol. 4, Hal. 397-406.
Prabowo, M. dan Nicholls, N. 2002. Kapan Hujan Turun ? Dampak Osilasi Selatan di
Indonesia. Birsbane : Publishing Services.
Salmawati. 2010. Studi Pengaruh Indeks Osilasi Selatan sebagai Indikator El-Nino
terhadap curah hujan di Sulawesi Utara. Skripsi Sarjana FMIPA Unsrat.
Sarachik, E. S dan M. A. Cane. 2010. The El-Nino Southern Oscillation Phenomenon.
Cambridge University Press, USA.
Sitompul, Zulfahmi. 2013. Pengaruh El Nino Southern Oscillation (ENSO) Terhadap
Curah Hujan Musiman dan Tahunan Di Indonesia. Universitas Gajah Mada.
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA.
Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung :
Alfabeta, CV.
Tongkutut. Seni Herlina J. 2011. El-Nino dan Pengaruhnya terhadap Curah hujan
di Manado Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Sains. Universitas Sam Ratulangi.
Manado Vol.11 No.1.
Theml, S. 2008. Katalog Methodologi Penyusunan Peta Geo Hazard dengan GIS.
Banda Aceh: Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) NAD-Nias.
Tjasyono, B.H.K. 2008. Meteorologi Terapan. ITB Bandung.
Tjasyono, B.H.K. 2004. Klimatologi. ITB Bandung.
Trenberth, K. E. 1997. The Definition El Nino. Bulletin of the American

Meteorological Society. Volume 78. No 12. 27771-2777.


Ulber Silalahi. 2012. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT. Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai