Anda di halaman 1dari 204

Muhammad Kristiawan

ANALISIS
PENGEMBANGAN
KURIKULUM DAN
PEMBELAJARAN
ANALISIS PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN

Penulis
Muhammad Kristiawan

Editor
Wachidi
Riyanto
Badeni
Syukri Hamzah
Rudi Chandra

Layout dan Cover


Hendri Budi Utama

Cetakan Pertama, Oktober 2019


viii + 196 hlm.; 15,5 x 23 cm.

Penerbit
Unit Penerbitan dan Publikasi FKIP Univ. Bengkulu
Gedung Laboratorium Pembelajaran FKIP
Jalan W.R. Supratman, Kandang Limun, Kota Bengkulu 38371A
Telp. (0736) 21186, 0811737956 Fax. (0736) 21186
Laman: fkip.unib.ac.id/unit-penerbitan/ email: uppfkip@unib.ac.id

ISBN: 978-623-7074-29-8

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang


Ketentuan Pidana Pasal 112 - 119. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
PRAKATA

B angsa yang besar adalah bangsa yang mempunyai


kurikulum pendidikan yang bagus dan dinamis (sesuai
kebutuhan masyarakat). Kemudian bangsa yang besar
juga dapat memberi motivasi pelajarnya agar bisa meningkatkan
standar mutu pendidikannya di kemudian hari.
Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah
setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu
pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu
yang jelas dan mantap. Tahun 1950 ada kurikulum SD yang disebut
“Rencana Pelajaran Terurai”. Pada tahun 1960 muncul “Kurikulum
Kewajiban Belajar Sekolah Dasar”. Tahun 1968 dikenal “Kurikulum
1968” pengganti “Kurikulum 1950”. Lalu tahun 1970 muncul
“Kurikulum Berhitung” diganti dengan pelajaran matematika
modern. Tahun 1975 disebut “Kurikulum 1975” yang fokus pada
pelajaran Matematika dan Pendidikan Moral Pancasila serta
Pendidikan Kewarnegaraan. Pada tahun 1984 menyempurnakan
Kurikulum 1975 dengan “Cara Belajar Siswa Aktif” (CBSA). Tahun
1991 CBSA dihentikan lalu muncul “Kurikulum 1994”. Tahun
2004 dikenal “Kurikulum Berbasis Kompetensi” (KBK), yang
dipelesetkan jadi Kurikulum Berbasis Kebingungan. Tahun 2006
muncul “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan” (KTSP). Terakhir
datanglah Kurikulum 2013. entah berapa tahun lagi ada kurikulum
baru yang membuat bingung semua pihak yang jelas jangan sampai
siswa kita dijadikan “kelinci percobaan”.
Kami sebagai penulis mengucapkan terima kasih kepada
Allah SWT, yang telah memberikan pola pikir yang sadar dan
terencana sehingga dapat menyelesaikan buku ini. Kemudian
kami juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Sudarwan
Danim, M.Pd. dan Prof. Dr. Wachidi, M.Pd. yang telah mengarahkan
disain kurikulum yang baik serta menjadi sumber inspirasi bagi
kami untuk melahirkan sebuah karya nyata “What The Man Can
Become”. Selain itu, kami juga mengucapkan terima kasih kepada
seluruh stakeholders FKIP Universitas Bengkulu motivasi dan
inspirasi bagi kami untuk menyelesaikan karya nyata ini. Buku
ini disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan sumber belajar
Analisis Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran untuk
mahasiswa, khususunya Program Studi S-3 Pendidikan. Akhirnya,
penyusun ucapkan terima kasih kepada FKIP Universitas Bengkulu
yang telah memfasilitasi penyusunan buku ini. Saran dan masukan
untuk perbaikan bahan ajar ini, penyusun sangat harapkan dari
semua pihak.

Penulis

iv Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


DAFTAR
DAFTA R IISI
SI

PRAKATA .................................................................................... iii


DAFTAR ISI.................................................................................. v

BAB I KURIKULUM .............................................................. 1


A. Apa itu Kurikulum? ............................................ 1
B. Apa Peran dan Fungsi Kurikulum? ................... 2
C. Bagaimana Konsep Kurikulum? ....................... 4
D. Adakah Kontroversi Kurikulum dengan
Pengajaran? ........................................................ 8
E. Bagaimana Rancangan Kurikulum? ................. 9
F. Seperti Apa Konsep yang Berpengaruh
Terhadap Kurikulum? ....................................... 10
G. Apa Saja Prinsip-Prinsip Pengembangan
Kurikulum? ......................................................... 10
H. Siapa Saja Stakeholders Kurikulum?................. 12

BAB II LANDASAN KURIKULUM...................................... 17


A. Bagaimana Landasan Filosofis Kurikulum? .... 17
B. Bagaimana Landasan Historis Kurikulum? ..... 35
C. Bagaimana Landasan Psikologis Kurikulum?.. 36
D. Bagaimana Landasan Sosiologis Kurikulum? .. 73

BAB III KOMPONEN KURIKULUM .................................... 85


A. Apa Saja Komponen Kurikulum? ...................... 85
B. Apa Tujuan Kurikulum dan Konten? ................ 85
C. Apa Permasalahan Ends dan Means? ............... 90
D. Apa itu Konten? .................................................. 92
E. Bagaimana Merancang Kegiatan Belajar?........ 97
F. Bagaimana Menyusun Strategi/Organisasi
Pembelajaran? .................................................... 99
G. Bagaimana Mengevaluasi Pembelajaran/
Kurikulum? ......................................................... 103

BAB IV DESAIN KURIKULUM .............................................. 125


A. Bagaimana Mendesain Kurikulum?.................. 125
B. Bagaimana Konsep Desain Kurikulum? ........... 127

BAB V TEORI KURIKULUM.................................................. 137


A. Apa Pengertian Teori? ....................................... 137
B. Bagaimana Proses Pembentukan Teori? ......... 138
C. Apa itu Teori Kurikulum? .................................. 138
D. Bagimana Proses Perkembangan Kurikulum? .. 139

BAB VI ISU-ISU KURIKULUM ............................................... 143


A. Bagaimana Isu Kurikulum Saat Ini? ................. 143
B. Seperti Apa Isu Krusial Kurikulum? ................. 150

BAB VII SEKOLAH YANG EFEKTIF, MENGELOLA


PROSES PERUBAHAN ............................................ 155
A. Bagaimana Karakteristik Sekolah yang
Efektif? ................................................................ 155
B. Bagaimana Usaha Peningkatan Mutu Sekolah? ... 158
C. Apa yang Harus Dilakukan oleh Kepala
Sekolah? .............................................................. 160
D. Apa yang Harus Dilakukan oleh Pendidik? ...... 161
E. Apa yang harus Dilakukan oleh Peserta Didik? ... 162
F. Bagaimana Mengembangkan Profesional? ...... 163
G. Bagaimana Mengelola Proses Perubahan? ...... 164

vi Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


BAB VIII PERJALANAN KURIKULUM NASIONAL .......... 175
A. Bagaimana Perjalanan Kurikulum di
Indonesia? .......................................................... 175
B. Bagaimana Perkembangan Kurikulum
Pendidikan? ........................................................ 176

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 189


TENTANG PENULIS ................................................................... 195

Daftar Isi vii


Bab I
KURIKULUM

A. Apa itu Kurikulum?


Kurikulum merupakan seperangkat pembelajaran yang
berisi niat dan harapan yang dituangkan dalam bentuk rencana
atau program pendidikan untuk dilaksanakan oleh pendidik,
peserta didik dan semua elemen yang ada di sekolah. Dalam
proses tersebut ada dua subjek yang terlibat yakni pendidik
dan peserta didik. Peserta didik adalah subjek yang dibina dan
pendidik adalah subjek yang membina. Undang-Undang RI No. 20
Tahun 2003 Pasal 1 ayat 19 menyebutkan kurikulum merupakan
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
tambahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Sementara, istilah kurikulum menurut Zais
(1976) digunakan untuk mengidentifikasi rencana pendidikan
bagi peserta didik; dan apa yang dipelajari oleh peserta didik.
Kurikulum sebagai rencana pendidikan pembelajaran bagi peserta
didik karena kurikulum adalah isi pembelajaran (Azis, 2018).
Konsep kurikulum sebagai suatu program atau rencana
pembelajaran disetujui oleh para ahli kurikulum, seperti Oliva
(1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada dasarnya adalah
suatu perencanaan atau program pengalaman peserta didik yang
diarahkan sekolah. Perlu kita pahami, bahwa sekolah didirikan
untuk membimbing peserta didik agar berkembang sesuai dengan
tujuan yang diharapkan. Ini berarti titik sentral kurikulum adalah
anak didik itu sendiri. Perkembangan anak didik hanya akan
tercapai apabila dia memperoleh pengalaman belajar melalui
semua kegiatan yang disajikan sekolah, baik melalui mata pelajaran
ataupun kegiatan lainnya. Oleh karena itu seperti yang dikatakan
Zais (1976), kurikulum sebagai suatu rencana pembelajaran harus
bermuara pada perolehan pengalaman peserta didik yang sengaja
dirancang untuk mereka miliki.
Akhirnya, kita simak juga pendapat Saylor dan Alexander
(1966) bahwa kurikulum bukanlah materi pelajaran yang
terpisah yang harus disampaikan dan dipelajari melainkan bentuk
pengalaman dan kebudayaan individu yang harus dipelihara dan
dimodifikasi. Dengan demikian, kurikulum harus mencakup dua
sisi yang penting, yaitu perencanaan pembelajaran serta bagaimana
perencanaan itu diimplementasikan menjadi pengalaman belajar
peserta didik dalam rangka pencapaian tujuan yang diharapkan.

B. Apa Peran dan Fungsi Kurikulum?


“Dapat hidup di masyarakat” itu memiliki arti luas, yang
bukan saja berhubungan dengan kemampuan peserta didik
untuk menginternalisasi nilai atau hidup sesuai dengan norma-
norma masyarakat, akan tetapi juga pendidikan harus berisi
tentang pemberian pengalaman agar anak dapat mengembangkan
kemampuannya sesuai dengan minat dan bakat mereka. Dengan
demikian, dalam sistem pendidikan, kurikulum merupakan
komponen yang sangat penting, sebab di dalamnya bukan hanya
menyangkut tujuan dan arah pendidikan saja akan tetapi juga

2 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap peserta didik serta
bagaimana mengorganisasi pengalaman itu sendiri. Sebagai salah
satu komponen dalam sistem pendidikan, paling tidak kurikulum
memiliki tiga peran, yaitu peran konservatif, kreatif, kritis dan
evaluatif (Gronlund, 1981). Sedangkan pendapat Ornstein &
Hunkins (1988) tentang kurikulum adalah sebuah rencana atau
dokumen tertulis yang memuat strategi untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Konsep ini dipopulerkan oleh Tyler dan Taba
yang merupakan contoh bagaimana tumpang tindihnya antara
definisi dan pendekatan. Kebanyakan penganut aliran behavior
menyetujui definisi kurikulum yang seperti ini. Contohnya Saylor
dan Alexander (1966) mendefinisikan kurikulum sebagai sebuah
rencana yang menyajikan beberapa peluang belajar bagi seseorang
untuk dididik. Ronald (1988) menyatakan bahwa kurikulum
adalah sekumpulan pendidikan formal atau pelatihan yang
terorganisir. Sedangkan Johnson (1968) memandang kurikulum
sebagai rencana pengajaran yang menentukan pengajaran apa
yang penting.
Kurikulum secara luas dapat didefinisikan sebagai pengalaman
peserta didik. Definisi seperti ini banyak dianut oleh hampir
kebanyakan sekolah formal bahkan di luar sekolah. Definisi ini
berawal dari definisi John Dewey mengenai pengalaman dan
pendidikan seperti yang dinyatakan oleh Caswell dan Campbell
dari tahun 1930 (Hyman, 1973) bahwa kurikulum adalah semua
pengalaman yang diperoleh peserta didik selama berada dalam
pengawasan pendidik. Para pakar aliran Estetika-Humanistik dan
pakar kurikulum tingkat Sekolah Dasar menggunakan definisi
bahwa kurikulum adalah pengalaman yang diperoleh peserta
didik selama dalam pengawasan pendidik dan selama bertahun-
tahun definisi ini diterjemahkan secara luas ke dalam buku-buku

Kurikulum 3
pelajaran sekolah. Brady dan Kenedy (2007) menyatakan bahwa
kurikulum mencakup pengalaman berkelanjutkan peserta didik
yang diperolehnya selama di sekolah.
Kurikulum sebagai bagian dari materi ajar (Matematika,
Ilmu pengetahuan, Bahasa Inggris, Sejarah dan lain-lain).
Penekanan pada sudut pandang ini adalah pada fakta, konsep dan
penyeragaman beberapa subjek tertentu. Sementara itu George
Beauchamp (Ornstein & Hunkins, 1988) menegaskan bahwa
hanya definisi yang mencakup rencana, sistem dan bidang studi
yang dapat mewakili penggunaan kata kurikulum, dan faktanya
para praktisi menggunakan kurikulum yang seperti ini dalam
keseharian, sementara para teoritis jarang menggunakannya.
Secara garis besar makna kurikulum merupakan seperangkat
pengalaman peserta didik yang berisi tujuan pembelajaran, materi
ajar, strategi pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Kurikulum
juga sebagai refleksi apa yang orang rasakan, pikirkan, dipercayai
dan apa yang dilaksanakan manusia, kurikulum juga apa yang
dipilihkan oleh generasi tua untuk generasi muda yang isinya bisa
sejarah, politik, suku, kebudayaan, gender, fenomena, estika, etika,
ketuhanan dan internasional. Kurikulum menjadikan generasi
berusaha untuk mencari siapa itu dirinya.

C. Bagaimana Konsep Kurikulum?


Kata kurikulum berasal dari akar kata Bahasa Latin, yang
berarti kuda yang berpacu kencang. Makna ini diyakini oleh
banyak orang. Bahkan sampai saat ini banyak pendidik profesional
yang menganggap kurikulum sebagai target pencapaian yang
relatif standar yang mesti dipenuhi peserta didik dalam berpacu
untuk mencapai tujuan akhir. Sehingga tidak mengherankan lagi

4 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


jika konsep kurikulum dilatari oleh ide ini, yaitu bahwa kurikulum
merupakan perpacuan materi pelajaran supaya cepat dikuasai
peserta didik (Mulyasa, 2003; Mulyasa, 2004; Mulyasa, 2006;
Perdana, 2013).

1. Kurikulum Sebagai Program Studi


Jika kita bertanya tentang kurikulum Sekolah Menengah Atas,
sering jawabannya sejumah mata pelajaran yang ditawarkan oleh
sekolah. Misalnya Bahasa Ingris, Matematika, Sejarah, Ekonomi,
dan lain-lain, jawaban yang mungkin lebih khusus lagi adalah
uraian nama mata pelajaran, misalnya Sejarah Kemerdekaan
Bangsa Indonesia, Matematika Dasar, dan lain-lain. Sebagian kecil
menyatakan bahwa kurikulum adalah deskripsi materi pelajaran
yang menerangkan informasi yang jelas tentang isi dan proses
pembelajaran bahkan refleksi pengalaman kita mengingatkan kita
bahwa nama mata pelajaran sedikit sekali yang berkaitan dengan
outcome pembelajaran dan pengalaman yang diharapkan peserta
didik ketika mengikuti pelajaran. Inilah yang menjadi alasan
ahli kurikulum lebih senang menggunakan istilah program studi
daripada pelajaran sekolah dan atau penawaran mata pelajaran.

2. Kurikulum Sebagai Isi Pelajaran


Isi pelajaran tertentu dalam program studi sering dianggap
kurikulum. Contohnya, ketika mendeskripkan Kurikulum Sejarah
Bangsa Indonesia, maka pendidik mungkin menyatakan outline
topik pelajaran, seperti penemuan dan ekplorasi sebelum tahun
1945. Kurikulum hanya dianggap sebagai data atau informasi
dalam buku panduan atau buku teks dan tidak melihat banyak
unsur-unssur tambahan yang mesti disiapkan dalam rancangan
pembelajaran. Konsep ini membatasi perencanaan hanya pada

Kurikulum 5
seleksi dan organisasi informasi yang akan dikuasai peserta didik.
Tentu saja dalam definisi kurikulum, mesti dimasukkan unsur-
unsur lain dalam lingkungan pendidikan, misalnya kondisi yang
membantu peserta didik untuk berinteraksi dengan isi pelajaran.

3. Kurikulum Sebagai Pengalaman Belajar yang


Direncanakan
Konsep ini paling umum dipahami oleh ahli kurikulum,
contohnya kurikulum sebagai alat yang digunakan sekolah untuk
menyiapkan peserta didik memiliki pengalaman belajar yang
diinginkan (Zais, 1976). Kurikulum yang umumnya diterima
sudah berubah dari isi materi pelajaran dan daftar mata pelajaran
serta materinya menjadi semua pengalaman yang ditawarkan
kepada peserta didik dengan bantuan atau arahan dari sekolah
(Zais, 1976). Definisi ini lebih tepat dari yang sebelumnya. Sekolah
diadakan untuk mendidik, misalnya mengembangkan peserta didik
sampai mencapai target tertentu. Perkembangan ini diperoleh
melalui pengalaman peserta didik, sehingga disimpulkan bahwa
kurikulum sebagai blue print pendidikan yang berisi pengalaman
yang direncanakan dapat dimiliki oleh peserta didik. Namun
definisi ini juga dikritik oleh beberapa ahli karena terlalu jauh dan
luas untuk bisa berfungsi (Zais, 1976). Ada pula yang menganggap
definisi ini terlalu sempit.

4. Kurikulum Sebagai Pengalaman yang Dimiliki


dengan Bantuan dan Dukungan dari Sekolah
Ada kurikulum tak terlihat atau tersembunyi, misalnya aspek
kurikulum yang tidak direncanakan, sehingga kurikulum tersebut
tidak terlihat. Pengalaman tertentu pada kurikulum terencana
dirancang, misalnya mengajar peserta didik membaca, tetapi ada

6 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


pengalaman lain terjadi dilakukan peserta didik, seperti mereka
tidak menyukai membaca. Jadi kedua pengalaman, mengajar peserta
didik membaca dan mengajar peserta didik tidak suka membaca
dianggap sebagai bagian kurikulum, meskipun pengalaman kedua
tidak direncanakan dan tidak menjadi tujuan. Ketika peserta didik
mendapatkan pengalaman dan belajar berbagai pelajaran, mereka
juga mendapatkan pengalaman, sehingga mereka akan belajar tentang
kepatuhan di samping belajar Matematika, Sejarah, dan Bahasa Inggris.
Definisi kurikulum secara luas sulit dibuktikan kebenarannya,
jika semua mengarah kepada totalitas pengalaman peserta didik di
sekolah. Namun sebenarnya definisi ini tidak berfungsi pada tahap
perencanaan kurikulum, karena pengalaman yang sebenarnya
akan diperoleh peserta didik ketika berinteraksi dengan
kurikulum. Pengalaman yang sebenarnya diperoleh peserta didik
dengan dukungan dan bantuan sekolah mengandung nilai kualitas
dan efektifitas kurikulum yang direncanakan.

5. Kurikulum Sebagai Outcome Pembelajaran Terencana


yang Terstruktur
Johnson (1968) menyebutkan tidak akan ada pengalaman
sebelum terjadi interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Tentu saja interaksi tersebut mencirikan pengajaran, bukan
kurikulum. Dia menjelaskan bahwa karena kurikulum berisi
panduan pengajaran, maka kurikulum mestinya dipandang sebagai
antisipasi bukan sebagai laporan. Kurikulum memperkirakan hasil
pembelajaran, tidak memperkirakan alat pembelajaran, misalnya
kegiatan, materi pembelajaran, atau isi pelajaran yang digunakan
untuk mencapai hasil belajar. Sehingga menguatkan bahwa
kurikulum hanya dapat mencakup urutan terstruktur dari outcome

Kurikulum 7
pembelajaran yang diinginkan (Johnson, 1968) sementara yang
lain disebut pengajaran.

6. Kurikulum Sebagai Rencana Tertulis untuk Tindakan


Belajar dimaknai sebagai interaksi antara empat sistem,
mengajar, belajar, pengajaran, dan sistem kurikulum. Mengajar
adalah perilaku profesional terarah yang dilakukan oleh personalia
bersifat individual yang disebut pendidik. Belajar merupakan
tindakan peserta didik yang dipandang pendidik sebagai tugas
terkait. Pengajaran sebagai gabungan antara sistem pertama dengan
kedua, yaitu konteks tindakan di mana terjadi prilaku mengajar dan
belajar secara formal. Pada sistem ini terjadi kombinasi antara sistem
personaliti dan sistem sosial. Sistem kurikulum terdiri dari individu-
individu yang prilakunya tertuang dalam kurikulum.

D. Adakah Kontroversi Kurikulum dengan Pengajaran?


Perbedaan antara kurikulum dan pengajaran yang disimpulkan
oleh Johnson sangat signifikan, karena besar pengaruhnya terhadap
konsep kurikulum tradisional. Dengan membatasi makna kurikulum
pada urutan terstruktur dari outcome belajar yang memiliki tujuan,
maka semua perencanaan yang mencakup isi, aktivitas belajar, dan
prosedur evaluasi dianggap sebagai pengajaran, bukan kurikulum.
Situasi kelas yang hidup dianggap sebagai implementasi rencana
pengajaran, bukan kurikulum. Kurikulum terapan terdiri dari
outcome pembelajaran yang tercapai.
Pernyataan Johnson menarik dan mempunyai kekuatan logis,
tapi sayang pernyataannya mempunyai kesulitan teoritis dan
praktis. Tidak mungkin memisahkan antara outcome dengan alat
yang digunakan untuk mencapainya. Bahkan konsekuensi yang

8 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


tidak diinginkan yang dinyatakan oleh kurikulum tersembunyi
membuktikannya metode dan isi pengajaran jelas tidak bisa
terlepas dari sejumlah outcome kurikulum. Terlebih lagi, banyak ahli
percaya bahwa definisi Johnson tidak bermanfaat dikaitkan dengan
situasi praktis sekolah. Jika para ahli membatasi diri mereka hanya
pada perumusan daftar terstruktur dari outcome pembelajaran
yang direncanakan, maka mereka mengabaikan tanggung jawab
dan perhatian pada beberapa proses yang sangat penting yang
merupakan pekerjaan kurikulum (contohnya, pemilihan isi pelajaran
dan spesifikasi akivitas belajar). Apakah proses tersebut dinamakan
kurikulum atau pengajaran, dibandingkan fakta yang jelas bahwa
proses mesti dikaitkan pada perencanaan.

E. Bagaimana Rancangan Kurikulum?


Dua teori kurikulum penting di atas menggambarkan
perbedaan antara kurikulum dan pengajaran, dengan
menggunakan kriteria implementasi. Contoh, kurikulum adalah
dokumen tertulis yang berisi banyak unsur, tetapi pada dasarnya
kurikulum merupakan suatu rencana untuk pendidikan peserta
didik selama mereka belajar di sekolah tertentu (Beauchamp,
1968). Jika kita diminta untuk mengevaluasi kurikulum apakah
kita tidak lebih hanya ingin melihat dokumen? Tentu saja kualitas
dokumen akan menjadi faktor dalam penilaian akhir, tapi siapa
yang menyangga bahwa tes terhadap kurikulum tergantung pada
seberapa bagus kurikulum berfungsi dalam situasi kehidupan.
Dari beberapa konsep sebelumnya, penulis buku ini meyakini
bahwa kurikulum bisa mengacu pada rencana pengajaran tertulis
yang berguna untuk mengarahkan atau mengatur lingkungan dan
aktivitas situasi kelas yang hidup. Akibatnya, jika mau dibedakan,

Kurikulum 9
maka rencana tertulis disebut kurikulum dokumen atau kurikulum
tidak bergerak, dan kurikulum yang dijalankan di kelas sebagai
kurikulum hidup atau operative curriculum.

F. Seperti Apa Konsep yang Berpengaruh Terhadap


Kurikulum?
Ada perbedaan yang sangat membingungkan antara aspek
proses belajar dengan aktivitas belajar. Namun konsepnya adalah
aspek tujuan, isi, metode, dan evaluasi merupakan wilayah
kurikulum (Beane, 1990).

G. Apa Saja Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum?


1. Prinsip Relevansi
Kurikulum merupakan rel-nya pendidikan untuk membawa peserta
didik agar dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat
serta membekali peserta didik baik dalam bidang pengetahuan, sikap
maupun keterampilan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.
Oleh sebab itu, pengalaman-pengalaman belajar yang disusun dalam
kurikulum harus relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Ada dua macam relevansi, yaitu relevansi internal dan relevansi
eksternal. Relevansi internal adalah bahwa setiap kurikulum
harus memiliki keserasian antara komponen-komponennya,
yaitu keserasian antara tujuan yang harus dicapai, isi, materi atau
pengalaman belajar yang harus dimiliki peserta didik, strategi
atau metode yang digunakan serta alat penilaian untuk melihat
ketercapaian tujuan. Sedangkan relevansi eksternal berkaitan
dengan keserasian antara tujuan, isi, dan proses belajar peserta
didik yang tercakup dalam kurikiulum dengan kebutuhan dan

10 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


tuntutan masyarakat. Ada tiga macam relevansi eksternal dalam
perkembangan kurikulum yaitu 1) relevan dengan lingkungan hidup
peserta didik, artinya bahwa proses pengembangan dan penetapan
isi kurikulum hendaklah disesuaikan dengan kondisi lingkungan
sekitar peserta didik; 2) relevan dengan perkembangan zaman baik
sekarang maupun dengan yang akan dating, artinya isi kurikulum
harus sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang berkembang;
3) relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan, artinya bahwa apa yang
diajarkan di sekolah harus mampu memenuhi dunia kerja.

2. Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum harus bersifat lentur atau fleksibel. Artinya,
kurikulum itu harus bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang
ada. Kurikulum yang kaku atau tidak fleksibel akan sulit diterapkan.
Prinsip fleksibilitas memiliki dua sisi yaitu 1) fleksibel bagi
pendidik, yang artinya kurikulum harus memberikan ruang gerak
bagi pendidik untuk mengembangkan program pengajarannya
sesuai dengan kondisi yang ada; 2) fleksibel bagi peserta didik,
artinya kurikulum harus menyediakan berbagai kemungkinan
program pilihan sesuai dengan bakat dan minat peserta didik.

3. Prinsip Kontinyuitas
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa perlu dijaga
saling keterkaitan dan kesinambungan antara materi pelajaran
pada berbagai jenjang dan jenis program pendidikan. Prinsip ini
sangat penting bukan hanya untuk menjaga agar tidak terjadi
pengulangan-pengulangan materi pelajaran yang memungkinkan
program pengajaran tidak efektif dan efisien, akan tetapi juga
untuk keberhasilan peserta didik dalam menguasai materi
pelajaran pada jenjang pendidikan tertentu.

Kurikulum 11
4. Prinsip Efektivitas
Prinsip efektivitas berkenaan dengan rencana dalam suatu
kurikulum dapat dilaksanakan dan dapat dicapai dalam kegiatan
belajar mengajar. Terdapat dua sisi efektivitas dalam suatu
pengembangan kurikulum yaitu 1) efektivitas berhubungan
dengan kegiatan pendidik dalam melaksanakan tugas
mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas. Kedua, efektifitas
kegiatan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan belajar.
Efektivitas kegiatan pendidik berhubungan dengan keberhasilan
mengimplementasikan program sesuai dengan perencanaan
yang telah disusun. Sedangkan efektivitas kegiatan peserta didik
berhubungan dengan sejauh mana peserta didik dapat mencapai
tujuan yang telah ditentukan sesuai dengan jangka waktu tertentu.

5. Prinsip Efisiensi
Prinsip efisiensi berhubungan dengan perbandingan antara
tenaga, waktu, suara, dan biaya yang dikeluarkan dengan hasil
yang diperoleh. Betapapun bagus dan idealnya suatu kurikulum,
manakala menuntut peralatan, sarana dan prasarana yang sangat
khusus serta mahal pula harganya, maka kurikulum itu tidak
praktis dan sukar untuk dilaksanakan.

H. Siapa Saja Stakeholders Kurikulum?


1. Peserta Didik
Peserta didik biasanya diwajibkan bersekolah sampai usia 18
tahun (wajib belajar 12 tahun). Meskipun kehadiran mereka di
sekolah wajib, namun mereka memiliki aspirasi personal, sosial
dan vokasional. Terlebih lagi, para peserta didik merupakan

12 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


bagian yang mengubah perkembangan budaya yang sering
ganjil dari orang dewasa yang berinteraksi dengan mereka.
Kurikulum sekolah harus mampu memenuhi aspirasi mereka dan
memperhitungkan standar perubahan budaya dari perspektif
peserta didik itu sendiri. Hasil penelitian Pendidikan Nasional
pada tahun 1988 di AS mengatakan bahwa peserta didik yang
sudah tamat (alumni) melihat sekolah sebagai institusi yang
menawarkan dan memberikan masukan bagi sistem pendidikan.

2. Orang Tua/Wali Murid


Orang tua juga memiliki aspirasi yang perlu diketahui. Hal ini
mungkin bersifat vokasional tetapi juga bisa personal dan sosial/
komite. Selain itu orang tua ingin melihat anak mereka bekerja dengan
baik dan kemudian mereka memberikan kepercayaan kepada sekolah
dan kurikulumnya untuk memastikan bahwa anak mereka bisa
bekerja dengan baik setelah menyelesaikan proses pembelajaran.

3. Pendidik
Pendidik dalam kurikulum berada pada sayap yang
berbeda, mereka adalah profesional. Pelatihan-pelatihan mereka
membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang
kemungkinan besar mengembangkan mereka menjadi akademisi
daripada vokasional, mengembangkan mereka menjadi teoritisi
bukan praktisi dan menjadi orang yang berbeda bukan relevan.
Di satu sisi, pendidik hanya menerapkan pedoman kurikulum
yang mengatur sekolah. Namun yang lebih penting mereka
menginterpretasi dan menambah dimensi pedagogis yang
menciptakan pengalaman kurikulum harian peserta didik (RPP).
Pendidik juga berperan sebagai mediator dari kurikulum.

Kurikulum 13
4. Kelompok Individu
Kelompok individu juga memiliki kepentingan khusus
pada kurikulum sekolah. Di Australia misalnya, sekarang diakui
kurikulum khusus untuk kebutuhan anak perempuan, kebutuhan
orang Aborigin dan Selat Tores, kebutuhan penyandang cacat,
kebutuhan orang dari latar belakang berbahasa non-Inggris, dan
kebutuhan bagi peserta didik yang hidup dalam kemiskinan dan
terisolasi secara geografis, atau 3T kalau di Indonesia. Masing-
masing kelompok mempunyai kepentingan khusus yang tidak
dapat dipenuhi dengan asumsi bahwa setiap orang adalah sama.
Kurikulum harus memenuhi perbedaan dan menunjukkan
bagaimana perbedaan tersebut dapat dihargai.

5. Pemerintah
Pemerintah memiliki kepentingan yang besar meskipun
tidak secara ekonomi eksklusif. Pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan merupakan fokus perhatian pemerintah. Kurikulum
sekolah akan menentukan pengetahuan dan keterampilan warga
Negara di masa depan yang memilki kapasitas untuk dapat
berkontribusi pada perekonomian Negara secara produktif. Pada
umumnya Negara demokratis ingin melihat suatu komunitas yang
kohesif, melek politik, budaya canggih atau melek digital dan
teknologi, toleran dan adil. Kurikulum sekolah hendaknya dapat
berkontribusi untuk mewujudkannya.

6. Komunitas Bisnis
Komunitas bisnis banyak ikut andil dalam kepentingan
ekonomi pemerintah. Pebisnis harus produktif dan sejahtera,
mereka membutuhkan pekerja yang handal, berhitung dan

14 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


terampil dalam berbagai cara. Sementara pelaku bisnis mampu
memberikan banyak pelatihan sendiri, mereka juga harus
bergantung pada orang muda lulusan dari sekolah untuk memasok
berbagai bakat dan keterampilan yang mereka butuhkan.

7. Universitas dan Agen Pendidikan dan Latihan


Universitas dan agen pendidikan dan latihan memiliki kepentingan
dalam perumusan bentuk kurikulum sekolah. Di Australia, universitas
mempunyai pengaruh yang sangat besar pada kurikulum terutama
bagi sekolah tahun terakhir (SMA). Pada pendidikan menengah peran
universitas akan selalu memainkan peran pengawas untuk memastikan
bahwa potensi peserta didik dilengkapi dengan pengetahuan yang
diperlukan untuk melakukan studi lebih lanjut.

8. Kelompok Masyarakat Lain/Lembaga Pelayanan Sosial


Kelompok masyarakat lain yang memiliki kepentingan yang
terjadi pada peserta didik di sekolah. Lembaga pelayanan sosial
yang berkaitan dengan isu-isu sosial, medis dan kesejahteraan
yang berkaitan dengan peserta didik dan keluarga mereka. Isu-
isu ini tidak dapat dipisahkan dari apa yang terjadi pada peserta
didik di sekolah. Kadang-kadang ketika otoritas sekolah mencoba
untuk mendiagnosa masalah pendidikan, tampaknya mereka
mengabaikan masalah kehidupan peserta didik di luar sekolah.
Sekolah sering mencoba untuk memecahkan masalah yang mereka
tidak memiliki keterampilan atau keahlian khusus di bidang
kesehatan mental, dan masalah keluarga. Kenakalan peserta didik
seringkali dapat ditelusuri sebagai masalah keluarga dan isu
kelompok bukan penyebab pendidikan. Siswa memiliki kehidupan
di luar kelas dan lingkungan ekstrernal berpengaruh kuat pada
sikap dan perilaku. Pendidik dan pihak sekolah tidak selalu dapat

Kurikulum 15
memberikan yang terbaik untuk memberikan nasihat dan bantuan
dalam konteks yang lebih luas.
Stakeholders kurikulum mencakup secara keseluruhan, di
mana kurikulum tidak berdiri terpisah dari masyarakat, di dalam
merumuskan kurikulum sekolah harus mempertimbangkan
semua unsur stakeholders yaitu peserta didik, pendidik, orang
tua, kelompok individu, pemerintah, komunitas bisnis, universitas
dan agen pendidikan dan latihan, dan kelompok masyarakat
lain. Kurikulum harus dapat memenuhi kebutuhan individu dan
kelompok. Khusus yang menjadi kekhawatiran bagi kita akan
kemampuan pendidik di dalam membantu peserta didik berkaitan
dengan isu-isu sosial seperti kepedulian tentang kesehatan fisik,
mental, kehidupan peserta didik di luar sekolah atau di lingkungan
masyarakat yang mempengaruhi sikap perilaku peserta didik.
Dalam perumusan kurikulum sekolah diharapkan juga melibatkan
sosiolog dan psikolog.

16 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Bab II
LANDASAN KURIKULUM

A. Bagaimana Landasan Filosofis Kurikulum?


1. Filsafat
Landasan Filosofis terkait dengan pengetahuan tentang
Hakikat ilmu pengetahuan, sebab pengetahuan merupakan menu
utama kurikulum. Kalau kita tinjau dari sisi filsafat, filsafat berasal
dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata “Philos” dan “Sophia”.
Philos, artinya cinta yang mendalam, dan Sophia adalah kearifan
atau kebijaksanaan. Secara harfiah filsafat didefinisikan sebagai
“cinta kebijaksanaan” (Kristiawan, 2016). Filsafat sebagai landasan
pengembangan kurikulum menjawab pertanyaan-pertanyaan
pokok seperti hendak dibawa ke mana peserta didik yang dididik
itu? masyarakat yang bagaimana yang harus diciptakan melalui
ikhtiar penddikan? Norma-norma atau sistem nilai yang bagaimana
yang harus diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus?
Bagaimana sebaiknya proses pendidikan itu berlangsung? Sebagai
suatu landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting
dalam proses pengembangan kurikulum.
Landasan Filosofis memberikan arah pada semua keputusan
dan tindakan manusia, karena filsafat merupakan pandangan
hidup orang, masyarakat dan bangsa, kaitannya dengan
pendidikan, tujuannya dan bagaimana cara mencapai tujuan.
Dengan kata lain filsafat mengandung pandangan tentang dasar
dan landasan pendidikan. Sehubungan dengan itu, dapat dipahami
bahwa banyak aspek pendidikan dan pelajaran dikembangkan
berdasarkan filsafat. Jadi, filsafat mengandung pandangan tentang
realitas, nilai-nilai, dan ilmu pengetahuan yang harus diteruskan
kepada peserta didik agar mereka dapat hidup dengan baik.
Filsafat bicara tentang kebijaksanaan/wisdom (antologi); lalu
ilmu pengetahuan (epistimologi); dan menjadi apa anak peserta
didik (aksiologi) what the man come be come (Kristiawan, 2016).
Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan
kurikulum 1) dapat menentukan arah dan tujuan pendididkan; 2)
dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai; 3) dapat menentukan
strategi atau cara pencapaian tujuan; dan 4) dapat ditentukan
bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
a. Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Dalam arti luas, pendidikan dapat diartikan sebagai proses
pengembangan semua aspek kepribadian manusia, baik aspek
pengetahuan, nilai dan sikap, maupun keterampilan. Filsafat
sebagai sistem nilai harus menjadi dasar dalam menentukan
tujuan pendidikan. Artinya, pandangan hidup atau sistem nilai
yang dianggap baik oleh suatu masyarakat akan tercermin
dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai.
b. Filsafat sebagai Proses Berpikir
Berpikir filosofis adalah berpikir yang memiliki cirri-
ciri tertentu. Sadulloh (1994) dan Kristiawan (2016)
mengemukakan ciri-ciri berpikir filosofis sebagai berpikir
yang radikal, sistematis, dan universal. Orang yang berfilsafat
adalah orang yang berpikir secara mendalam mencari dan
menemukan kebenaran.

18 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Asumsi-asumsi filosofis tentang hakikat hidup yang baik
memiliki peran yang berarti dalam menentukan bagaimana kita
hidup. Filsafat bukanlah kegiatan yang baru lahir tetapi telah
ada sejak manusia pertama kali mengenal kebutuhan untuk
mengkonstruksi pengetahuan yang akan membuat mereka mampu
membuat keputusan yang bijak. Kebutuhan akan pengetahuan
sebagai panduan untuk membuat keputusan yang bijak itu telah
menuntun para pendahulu kita untuk mencarinya dari para nabi,
orang bijaksana, dan peramal. Seiring perjalanan waktu, cara
kita untuk mencari pengetahuan dan bentuk pengetahuan telah
berubah. Namun, pengetahuan belum mampu memecahkan dilema
tentang keputusan yang bijak dalam banyak bidang kehidupan.
Filsafatlah yang memberi pengetahuan yang membantu kita
membuat keputusan yang bijak. Keputusan yang bijak menyiratkan
hasil yang diharapkan, yaitu hasil yang seharusnya.
Banyak filosof mendefinisikan filsafat hanya sebagai
“pencarian pengetahuan untuk kebaikan”, di mana yang baik itu
mencakup setiap atau semua prinsip, tindakan, aturan, konsep,
dan tujuan yang mempertinggi kualitas pengalaman kita (Zais,
1976). Pengetahuan yang mewakili ‘master plan’ untuk membuat
keputusan yang bijaksana dalam hidup dapat dianggap sebagai
filsafat dan individu yang mengadopsi ‘master plan’ itu disebut
sudah memperoleh ‘filsafat hidup’. Jadi, yang dimaksud dengan
“kebijaksanaan” sebagaimana digunakan di awal tulisan ini adalah
“pengetahuan tentang kebaikan”. Filsafat ada yang dibentuk oleh
budaya dan ada pula yang dikembangkan oleh filosof.

2. Organisasi Inquiry Filsafat


Pertama, ontologi adalah masalah filosofis yang berhubungan
dengan hakikat realitas (the nature of reality). Ia menanyakan

Landasan Kurikulum 19
“Apa itu realita?” Karena kita percaya dengan apa yang budaya
percayai, maka apa yang realita adalah apa yang dikatakan budaya
realita. Tetapi permasalahannya tidak semudah itu, ia terkait
dengan ruang, manusia, ide, symbol, dan pengalaman. Apa yang
dianggap realita akan mempengaruhi pemilihan mata pelajaran
atau kurikulum. Pendidik yang menempatkan nilai ontologis
lebih tinggi dari benda dibandingkan pada simbol cenderung
mendukung kurikulum yang menekankan pada mata pelajaran
seperti fisika, biologi, kimia, geologi, geografi fisika, bahasa Inggris
praktis, pembukuan, pertukangan, dan menjahit. Tidak ada
jawaban yang sederhana untuk pertanyaan tentang realita atau
apa yang dimaksud dengan ‘ada’.
Bagi perumus kurikulum, pertanyaan tentang hakikat realitas
tidak dapat dihindari walaupun tidak dapat dipecahkan. Jelas
bahwa apapun yang kita ajarkan di sekolah, kita ingin memiliki
basis yang nyata daripada yang palsu atau tiruan. Singkatnya,
hakikat kurikulum akan tergantung dalam banyak hal pada apa
yang kita percayai nyata dan apa yang khayalan atau pura-pura.
Filsafat dapat dikelompokkan atas tiga kategori besar
berdasarkan jenis ontologinya. Ontologi pertama menempatkan
lokus realitas dalam alam supernatural. Filsafat yang berdasarkan
ontologi supernatural ini masih lazim di antara sejumlah kelompok
sosial kontemporer dan memiliki pengaruh besar pada banyak
pengembangan kurikulum di Amerika. Filsafat yang kedua memiliki
asumsi bahwa realitas menyatu dengan bumi yang ada saat ini.
Filsafat yang ketiga, yang terbaru, telah berkembang menyebutkan
bahwa realitas bisa terletak hanya dalam pengalaman manusia
(Zais, 1976).
Kedua, epistemologi adalah masalah filosofis yang berkaitan
dengan hakikat pengetahuan (the nature of knowledge) dan hakikat

20 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


mengetahui (the nature of knowing). Ia menanyakan: Apa yang
benar? Bagaimana kita mengetahui kebenaran? Bagaimana kita
tahu bahwa kita tahu? Masalah epistemologis menjadi perhatian
utama spesialis kurikulum karena pengetahuan adalah mengenai
apa kurikulum tersebut. Ilustrasi yang bagus tentang sentralitas
epistemologi dalam karya kurikulum kontemporer muncul dalam
perselisihan apakah asal usul manusia versi Darwin atau versi
Injil yang akan dimuat dalam kurikulum. Menggunakan versi Injil
berarti percaya bahwa kebenaran tertinggi disampaikan kepada
kita melalui kekuatan supernatural. Menggunakan versi Darwin
berarti kebenaran ditemukan secara ilmiah dengan meneliti
realitas yang ada di alam ini. Contoh ini menunjukkan hubungan
yang erat antara ontologi dan epistemologi (Zais, 1976).
Pada contoh tersebut jelas bahwa asumsi ontologi dunia
lain mengarah pada epistemologi supernatural atau mistik,
sedangkan ontologi yang berpusat pada bumi menghasilkan
epistemologi empirik. Untuk semua tujuan praktis, epistemologi
kita akan cenderung membenarkan ontologi kita, artinya ia akan
menentukan apa yang bisa kita ketahui dan katakan tentang
realitas. Sebaliknya, ontologi kita akan membatasi hakikat
epistemologi kita, artinya ia akan menentukan hakikat pengetahuan
dan prosedur yang digunakan untuk mendapatkannya. Walaupun
kesalingtergantungan ini menyiratkan suatu derajat sirkularitas,
koherensi yang penting antara ontologi dan epistemologi tidak
mengherankan ketika kita menganggap bahwa filsafat adalah
perusahaan rasio.
Karena ada hubungan erat antara ontologi dan epsitemologi,
maka kita berharap menemukan bahwa cara-cara untuk
mengetahui ontologi tertentu. Di antara cara-cara mengetahui
adalah (1) melalui proses pewahyuan, (2) dengan membaca wahyu

Landasan Kurikulum 21
yang telah dituliskan, (3) dengan menggunakan kelima indera, (4)
dengan menggunakan akal pikiran atau verifikasi antar orang, dan
(5) dengan menggunakan metode logika (Zais, 1976).
Ketiga, aksiologi adalah cabang filsafat yang menprediksi
masalah nilai (the problems of value). Ia menanyakan apa yang
bagus? Apa yang seharusnya disukai manusia? Apa yang seharusnya
diinginkan? Masalah-masalah aksiologis biasanya dibagi atas dua
kategori utama, yaitu etika dan estetika. Etika berkenaan dengan
konsep benar dan salah, baik dan buruk, yang menyangkut kelakuan
manusia. Pertanyaan sentral yang diajukan inquiry etis adalah ‘Apa
yang seharusnya saya lakukan?’ Estetika berkenaan dengan kualitas
kecantikan dan kesenangan dalam pengalaman manusia. Pertanyaan
sentral yang diajukan estetika adalah ‘Apa yang seharusnya saya
sukai? (Zais, 1976). Kedua kategori tentang nilai ini tentu saja
memiliki hubungan langsung dengan kurikulum.

3. Organisasi Posisi Filsafat


Ada pembagian pikiran filsafat tiga kali tiga. Masing-masing
dari ketiga posisi filsafat utama (dunia lain, berpusat pada bumi,
berpusat pada manusia) dibagi ke dalam tiga wilayah utama kajian
filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi).
Tabel 1. Organisasi Posisi Filsafat
Bidang kajian
Posisi Ontologi Epitemologi Aksiologi Perwakilan Ajaran
Filsafat Filsafat
Dunia lain - - - -
Berpusat Realitas Pengetahuan Yang pasti baik Realisme rasional,
pada Bumi absolut ada absolut adalah hukum Realisme empiris,
di bumi ini ditemukan alam Positivisme,
(melalui Naturalisme,
indra dan Empirisme logis,
logika) Materialisme
dialektikal

22 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Berpusat Realitas Pengetahuan Yang relatif Pragmatisme,
pada Manusia relatif relatif baik adalah Instrumentalisme,
adalah dikonstruksi konsekuensi Eksperimentalisme,
pengalaman (dari yang disenangi Eksistensialisme,
manusia pengalaman) Fenomenologi

4. Filsafat dan Analisis Bahasa


Suatu gerakan baru dan penting dalam filsafat adalah analisis
bahasa. Ajaran filsafat ini percaya bahwa ide tidak bisa eksis tanpa
bahasa. Analis bahasa menyimpulkan bahwa makna hanya dibawa
oleh dua jenis hubungan subjek-predikat yang utama, yaitu analitik
dan sintetik. Kalimat analitik adalah kalimat yang predikatnya
dikandung dalam makna subjeknya. Ada filosof yang menganggap
pernyataan analitik sebagai kebenaran mutlak. Pernyataan
sintetik adalah pernyataan yang predikatnya tergantung pada
bukti empiris unuk verifikasinya. Argumen utama analisis bahasa
adalah bahwa makna kalimat menyatu dalam metode verifikasinya.
Jadi, kalimat analitik diverifikasi oleh definisi dan kalimat sintetik
diverifikasi oleh observasi empiris. Analis bahasa mengklaim
bahwa keseluruhan literatur filsafat yang telah berkembang dari
awal sejarah yang terekam tidak masuk akal karena didasarkan
pada proposisi yang tidak bisa diverifikasi (Zais, 1976).

5. Filsafat dan Kurikulum


Setiap masyarakat disatukan oleh keyakinan bersama
atau ‘filsafat’ yang bagi anggotanya berfungsi sebagai panduan
untuk menjalani kehidupan yang baik. Filsafat ini diturunkan
dari generasi ke generasi. Dalam masyarakat primitif, filsafat
diturunkan dari orang tua kepada anaknya dan dalam masyarakat
maju diturunkan melalui sekolah. Karena itu, kurikulum dirancang
untuk tujuan tersebut.

Landasan Kurikulum 23
Selain hubungan ‘de facto’ antara filsafat dan kurikulum di atas,
hubungan yang lebih positif adalah bahwa filsafat dan kurikulum
dalam makna yang paling nyata adalah pendekatan yang berbeda
untuk masalah yang sama. Keduanya menyangkut isu pertanyaan
sentral manusia bisa jadi apa? Perbedaannya adalah bahwa filsafat
menanyakan manusia dalam makrokosmos sedangkan kurikulum
menanyakannya dalam mikrokosmos (Zais, 1976). Jadi, sebelum
memulai merumuskan kurikulum, ahli kurikulum harus lebih
dulu berusaha menentukan dan memahami asumsi dasar dan
komitmen filsafatnya sendiri.
Dasar filsafat kurikulum sangat penting karena menentukan
apa yang akan dicapai sekolah, tujuan sekolah, struktur kurikulum,
apa yang dianggap benar dicapai oleh peserta didik. Segala bentuk
kurikulum dengan kandungan yang ada ditentukan oleh filsafat
kurikulum. Filsafat membantu orang–orang yang berhubungan
dengan kurikulum yang didasarkan bagaimana sekolah dan
kelas disusun. Misalnya, bisa menjawab apa yang akan didirikan
oleh sekolah, apa mata pelajaran yang bernilai diberikan kepada
peserta didik, bagaimana peserta didik belajar dengan materi
pelajaran, aktivitas apa yang disiapkan untuk peserta didik sampai
semua kegiatan-kegiatan yang lainnya.
Pentingnya filsafat itu menentukan keputusan-keputusan dalam
sebuah kurikulum. Apapun keputusan yang diambil berbasis pada
filsafat yang dianutnya. Selanjutnya filsafat itu penting untuk semua
aspek kurikulum. Apakah filsafat itu dinyatakan secara jelas atau
tidak. Filsafat adalah titik awal dalam memutuskan suatu kurikulum
dan menjadi dasar untuk semua bagian dari suatu kurikulum.
Filsafat menjadi kriteria untuk menentukan tujuan, alat, dan hasil
dari kurikulum. Peran filsafat dalam pengembangan kurikulum
adalah 1) memformulasi tujuan pendidikan; 2) menyeleksi dan

24 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


mengorganisasi pengetahuan; 3) memformulasi kegiatan belajar;
dan 4) menjawab masalah ketimpangan antara apa yang dilihat
dengan yang sebenarnya terjadi.

6. Filsafat dan Penyusunan Kurikulum


Filsafat mempengaruhi pandangan kurikulum, dan seharusnya
penyusunan kurikulum itu mesti terbuka terhadap pandangan-
pandangan lain, bukan penyusunan yang bersifat ego karena ingin
menganut pandangan diri sendiri. Fungsi filsafat ada dua yaitu 1) titik
awal dari pengembangan kurikulum; dan 2) sebagai interdepedensi
(menghubungkan antara satu dengan yang lainnya).
Filsafat menyediakan kerangka kerja atau acuan bagi tujuan
dan metode dari sekolah (menyediakan pengertian umum tentang
kehidupan dan cara berpikir). Filsafat itu tidak hanya sebagai titik
awal tapi juga penting untuk aktivitas kurikulum dan sekolah
adalah laboratorium pendidikan. Filsafat adalah satu kriteria
untuk menyusun pendidikan. Selanjutnya filsafat sosial dan
pendidikan yang dianut sekolah dapat berfungsi sebagai lapisan
pertama untuk mengembangkan program-program sekolah,
karena itu filsafat pendidikan dalam masyarakat demokrasi akan
menekankan secara tegas nilai-nilai demokrasi di sekolah.

7. Aliran Filsafat Utama


Ada 4 aliran pada yang mempunyai pengaruh besar pada pendidikan
yaitu idealisme, realisme, pragmatisme dan eksistensialisme.
a. Idealisme (Plato, David Hume, Hegel, Imam Ghazali)
Tokoh yang menganut paham idealisme adalah Plato. Paham
idealisme menekankan pada moral dan spiritual sebagai ide
utama dalam dunia pendidikan (Kristiawan, 2016). Kemudian

Landasan Kurikulum 25
kebenaran dan nilai-nilai yang sifatnya absolut, universal dan tak
terbatas waktu. Pikiran dan ide sifatnya permanen terus menerus
dan tersusun pada susunan yang sempurna. Mengetahui adalah
memikirkan kembali ide terakhir yang pernah muncul dalam
pikiran. Tugas pendidik adalah membangkitkan pengetahuan
yang dimiliki kepada kesadaran, karena itu belajar melibatkan,
mengingat dan bekerja dengan ide. Kemudian pendidikan
sangat konsen dengan konsep-konsep materi. Pendidikan yang
idealis lebih menyukai susunan dan pola dari ilmu pengetahuan
dalam kurikulum yang berhubungan dengan ide-ide dan konsep
satu sama lain.
Menurut idealisme Matematika sangat penting karena dia
berhubungan dengan berpikir abstrak. Sejarah dan Bahasa
juga penting karena berhubungan dengan moral dan kultural.
Urutan-urutan yang berpengaruh pada idealisme ini adalah
filsafat, Matematika, Sejarah dan Bahasa, Literatur, Natural dan
Fisikal Sains karena fisikal sains itu nyata dan bisa dipelajari
secara konkrit.
b. Realisme (Aristotles, John Locke, Galileo)
Tokoh-tokoh aliran realisme ini adalah Aristotles, Thomas
Aquinas. John Locke, Harry Broudy, Galileo dan Jhon Wild. Kaum
realisme melihat dunia dari segi objek dan materi (Kristiawan,
2016). Orang sampai ke pengetahuan tentang dunia melalui
sensoris dan alasan-alasannya. Segala sesuatu ditentukan dari
alam dan dia berhubungan dengan hukum alam. Perilaku manusia
merupakan rasional jika dihubungkan dengan hukum alam.
Kaum realisme menekankan kurikulum berisi mata pelajaran
yang diorganisasi secara terpisah. Menurut realisme yang
sangat penting adalah membaca, menulis, dan aritmatika. Bagi
kaum idealisme, pengetahuan berasal dari mempelajari ide-

26 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


ide rasional dan kebenaran-kebenaran universal ada dalam
seni, sastra, dan bahasa. Tetapi bagi kaum realisme kebenaran
dan kenyataan berasal dari sains dan seni.
c. Pragmatisme (John Dewey)
Pendukung utama pragmatisme adalah Jhon Dewey. Pragmatisme
mnganggap bahwa pengetahuan adalah proses di mana realita
selalu berubah, karena itu belajar terjadi jika seseorang terlibat
dalam problem solving (Kristiawan, 2016). Menurut pragmatisme,
pendidikan adalah proses meningkatkan, bukan menerima
kondisi kemanusiaan. Karena itu tekanan utama pada problem
solving menggunakan metode ilmiah, tidak mengumpulkan
fakta-fakta atau pandangan–pandangan. Jadi, mata pelajaran
itu adalah interdisipliner. Kaum pragmatis menganggap proses
pembelajaran adalah proses merekonstruksi pengalaman sesuai
dengan metode ilmiah, karena itu belajar harus secara aktif
baik individual maupun secara kelompok dalam menyelesaikan
masalah. Dalam hal ontologi, filsafat berpusat pada manusia dan
dekat dengan bumi. Setidak-tidaknya keduanya berawal dari titik
yang sama. Keduanya setuju bahwa dunia lain itu samar-samar
dan tidak bisa diakses. Menurut pragmatis tidaklah mungkin
menyelesaikan permasalahan realitas objektif dari seluruh jagad
raya ini karena yang kita miliki adalah pengalaman sensasi,
pikiran, perasaan, dan tindakan yang ada di sekitar kita (Dewey
1962; Dewey 1974).
Walaupun para pragmatis mengusulkan pengalaman sebagai
hal pokok dalam realitas ontologis, mereka tidak begitu nyaman
membicarakan ontologi. Ini mudah dipahami ketika kita
menganggap bahwa pengalaman bukanlah kata benda substansi,
ia bukanlah barang sehingga akan salah bila kita mencoba
mengkonseptualisasikannya ke dalam substansi yang eksis.

Landasan Kurikulum 27
Epistemologi pragmatis dibangun atas konsep transaksi.
Transaksi adalah saling tukar di mana individu melakukan
sesuatu terhadap lingkungan dan lingkungan merespon
dengan melakukan sesuatu kembali untuk individu tersebut.
Transaksi melibatkan fenomena di mana individu bertindak
dan kemudian menjalani konsekuensi dari tindakannya. Tentu
saja transaksi terjadi pada kita semua setiap menit kehidupan
kita. Tetapi transaksi yang menjadi perhatian utama pragmatis
adalah transaksi yang di dalamnya individu mengasosiasikan
tindakan dengan konsekuensi yang diharapkan. Dalam transaksi
seperti inilah intelegensi beroperasi. Pragmatis mendefinisikan
intelegensi sebagai derajat pemahaman individu pada level yang
makin meningkat tentang hubungan yang ada antara tindakan
mereka dengan respon lingkungan. Bagi pragmatis, hanya
respon yang masuk akallah yang demokratis.
Ada tiga ciri penting versi pengetahuan tentang kebaikan
menurut pragmatisme. Yang pertama, pengetahuan pragmatis
hanya dianggap benar secara tentatif. Yang kedua, pengetahuan
pragmatis umumnya memiliki rujukan sosial. Yang ketiga,
pengetahuan pragmatis tidak diterima atau ditemukan, tetapi
direkonstruksi.
Aplikasi kurikulum kontemporer, gerakan progresif pasca
Perang Dunia I adalah contoh terbaik aplikasi filsafat
pragmatis. Kurikulum tidak berfokus pada sejumlah mata
pelajaran yang akan dipelajari, tetapi pada serangkaian
kegiatan yang dilalui peserta didik kemudian diarahkan untuk
mengkonstruk realitas dunianya sendiri. Proses adalah yang
terpenting dalam kurikulum pragmatis. Pragmatis percaya
bahwa peserta didik perlu diajarkan (1) proses membuat
pengetahuan; dan (2) hakikat tentatif semua pengetahuan.

28 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Menurutnya, masalah pada kurikulum tradisonal adalah
pengetahuan diajarkan seolah-olah ia pasti, benar, dan final.
Karena mengutamakan proses, tidak mengheranakan bila
kajian-kajian sosial menjadi bagian penting dalam mata
pelajaran dalam kurikulum pragmatisme. Jadi, bagi pragmatis
pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup tetapi kehidupan
itu sendiri.
Walaupun kajian sosial merupakan inti kurikulum, sains
juga menjadi mata pelajaran penting dalam pragmatisme.
Hanya saja pragmatis tidak mengajarkan fakta-fakta ilmu,
mereka lebih menekankan pada proses mengkonstruksi
pengetahuan ilmiah. Seni dan musik juga dimasukkan ke dalam
kurikulum pragmatisme. Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa kurikulum pragmatis berpusat pada peserta didik,
berorientasi pada proses, dan menekankan kegiatan peserta
didik dalam mata pelajaran inti tentang kajian-kajian sosial.
Mata pelajaran bisanya dipilih atas kriteria (1) kapasitas
peserta didik menurunkan makna dari mata pelajaran; dan
(2) kegunaannya dalam tugas-tugas memecahkan masalah.
Jadi, kurikulum pragmatis adalah kendaraan yang membantu
perkembangan peserta didik dalam intelegensi, yaitu
kapasitas mengkonstruksi pengetahuan tentang kebaikan
untuk membuat keputusan yang bijak dalam hidup.
d. Eksistensialisme (Martin Heideger)
Pragmatisme itu memang berasal dari Amerika tulen,
sedangkan eksistensialisme berasal dari Eropa. Menurut kaum
eksistensialisme, manusia dihadapkan kepada berbagai pilihan
dalam situasi yang dihadapinya. Setiap manusia menciptakan
definisinya sendiri termasuk dalam melakukannya sesuai
dengan pilihannya. Eksistensialisme lebih menyukai belajar

Landasan Kurikulum 29
secara bebas untuk memilih apa yang ingin dipelajarinya dan
apa yang dianggapnya benar. Karena sasaran eksistensialisme
sama dengan pragmatisme yaitu meningkatkan kehidupan
umat manusia, maka pilihan yang diperolehnya sangat banyak
tergantung potensi yang dimiliki. Karena itu, pembelajaran lebih
banyak diskusi atau dialog tentang apa yang dianggapnya baik.
Signifikansi eksistensialisme bagi kurikulum bersifat
problematik, pertama karena ia sangat baru dalam dunia
filsafat dan kedua karena ia lebih memperhatikan individu
sedangkan pendidikan pada dasarnya adalah proses sosial.
Eksistensialisme tidak memiliki kualifikasi sebagai filsafat,
tetapi hanya sebagai “sikap terhadap kehidupan”.
Banyak filosof selama berabad-abad mempertanyakan
“Apa hakikat manusia?” Bagi eksistensialis, ini merupakan
pertanyaan yang salah untuk ditanyakan. Bila Descartes
mendasarkan filsafatnya pada premis ‘Saya berpikir, maka
saya ada” tetapi eksistensialis memulai dengan premis “Saya
ada, maka saya berpikir”. Singkatnya, bagi eksistensialis,
eksistensi mendahului esensi. Menurut eksistensialisme,
manusia tidak bisa membebaskan dirinya dari tanggungjawab
untuk memilih dan mendefinisikan dirinya sendiri.
Ontologi eksistensialis menempatkan realitas tertinggi “di
dalam” diri individu setiap manusia. Sebagaimana pragmatisme,
eksistensialisme secara jelas menolak konsep filsafat tradisional
bahwa kosmos adalah realitas akhir yang sudah selesai.
Eksistensialisme memandang manusia dan dunia sebagai
perusahaan yang terbuka. Selanjutnya, filsafat eksistensialisme
juga menolak otoritarianisme yang dianut filsafat yang berpusat
pada bumi dan filsafat duniawi lain. Ia menempatkan kekuatan
membuat keputusan langsung di tangan setiap individu.

30 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Eksistensialisme meyakini objektif dan subjektif. Jika pengetahuan
ilmiah objektif bersifat publik dan dapat dipahami oleh siapa saja
yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan, pengetahuan subjektif
bersifat unik bagi individu yang mengetahui.
Aplikasi kurikulum kontemporer, mini kursus, latihan
sensitivitas, dan meditasi transendental adalah contoh usaha
reformasi kurikulum sekolah negeri kontemporer yang
memiliki nada eksistensial. Selanjutnya, kecenderungan
eksistensial terbukti dalam kurikulum gerakan seperti
“universitas terbuka”, “pendidikan terbuka” dan “kelas
terbuka”. Karena eksistensialisme adalah filsafat diri, kita tidak
perlu heran menemui kurikulumnya yang difokuskan pada
individu, pengetahuan dirinya, dan pilihan dirinya. Tentu saja
mata pelajaran yang cocok adalah seni. Jadi, melukis, musik,
membuat patung, sastra, puisi, tari, drama dan sejenisnya
diberi posisi sentral dalam kurikulum eksistensialis karena
semuanya membantu menumbuhkan instrospeksi manusia
dan ekspresi kesadaran diri yang paling dalam. Semua mata
pelajaran ini juga mendorong pembuatan pilihan berdasarkan
pertimbangan nilai dan makna pribadi. Kurikulum tidak
berkenaan dengan kajian karya besar seni tetapi dengan
kreasi peserta didik sendiri.
Kurikulum eksistensialis memiliki signfikansi khusus di sekolah
menengah karena pada level ini peserta didik mempelajari
siapa dirinya dan apa yang benar-benar ia rasakan. Terlihat
bahwa memilih dan tanggung jawab atas pilihan merupakan
aspek-aspek penting dalam filsafat eksistensialisme.
e. Perenialisme (Robert Myrad Hutcin)
Perenialisme, jawaban terhadap pertanyaan pendidikan
merujuk pada satu pertanyaan yaitu apakah hakikat manusia?

Landasan Kurikulum 31
Perenialisme menganggap bahwa hakikat manusia adalah
konstan atau tetap. Manusia mempunyai kemampuan
memahami dan mengerti kebenaran-kebenaran universal dari
alam. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan rasionalitas
manusia dan membuka kebenaran-kebenaran universal
dengan cara melatih intelektual.
Kurikulum perenial adalah subject center (berpusat pada
subjek) berasal dari disiplin-disiplin ilmu apa yang disebut
dengan liberal dengan tekanan pada Bahasa, Sastra,
Matematika, Arts dan Sains. Pendidik dipandang orang yang
ahli di bidangnya, karena itu harus menguasai bidangnya
atau disiplin ilmunya, dan membimbing peserta didik untuk
berdiskusi. Mengajar didasarkan terutama sekali pada metode
Socrates yaitu penjelasan secara lisan, perkuliahan. Minat
peserta didik tidak relevan untuk pengembangan kurikulum
karena peserta didik tidak punya pertimbangan untuk
menentukan pengetahuan dan nilai-nilai apa yang terbaik
bagi mereka. Nilai-nilai terbaik yang akan dipelajarinya. Oleh
karena itu dalam kurikulum ini sangat sedikit yang sifatnya
elektif (semua sudah ditentukan/tidak ada pilihan).
f. Essensialisme (Thomas Brigg, William Bagley)
Pencetus essensialisme adalah William Bagley. Essensialisme
lebih konsen pada isu-isu kontemporer. Menurut esensialis
kurikulum sekolah harus diarahkan kepada sifatnya yang esensial
saja, Sains, Sejarah, Sastra, Matematika dan Seni. Sedangkan
untuk sekolah menengah, Bahasa Inggris, Matematika, Sains,
Sejarah dan Bahasa Asing. Sebagaimana perenial, essensial yang
menolak subjek-subjek yang lain seperti Art, Fisika, Vokasional.
Sebagaimana perennial, esssensial juga menganggap setiap
peserta didik apapun kemampuannya harus mengikuti

32 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


kurikulum yang sama, tetapi dalam tingkat dan jumlah yang
disesuaikan dengan kemampuannya. Peran pendidik adalah
sebagai model dan menguasai bidang ilmunya secara maksimal.
Pendidik memegang kendali penuh atas kelasnya.
Essensialis sekarang terefleksi dalam tuntutan untuk menaikkan
standar akademis dan kemampuan berpikir peserta didik. Sesuatu
yang paling perlu dikuasai yang esensial mesti ditingkatkan,
sedangkan subjek-subjek yang lain diabaikan. Misalnya bagi
peserta didik yang nilai akademisnya tinggi diberi kelas akselerasi.
g. Progressivisme (George Axtele, William O’ Stanley)
Progressivisme dikembangkan dari pragmatisme. Menurut
paham ini keterampilan dan alat untuk belajar meliputi
metode problem solving dan scientific inquiry. Pengalaman
belajar harus meliputi perilaku kerjasama dan disiplin diri.
Keduanya dianggap penting untuk kehidupan yang demokratis.
Bagi paham progresif, kurikulum interdisipliner dan disiplin
keilmuan (materi pelajaran) adalah bagian dari proses belajar
bukan sumber ilmu pengetahuan. Pendidik berfungsi sebagai
pembimbing peserta didik dalam pemecahan masalah dan
projek saintifik. Pendidik dan peserta didik merencanakan
aktifitas bersama-sama. Progresif sifatnya berpusat pada anak
dan pendidikan progresif berpusat kepada anak sebagai peserta
didik tidak sebagai subjek didik. Progresif lebih menekankan
aktifitas dan pengalaman daripada verbal, dan menekankan
pembelajaran dengan cara bekerja sama daripada kompetisi.
Saat ini progresif terlihat dalam beberapa gerakan seperti
relevan kurikulum, humanistic, dan reformasi sekolah yang
radikal. Relevan kurikulum maksudnya peserta didik harus
dimotivasi dan ditarik dalam belajar dalam bentuk tugas
dan kelas harus diberi pengalaman-pengalaman yang nyata.

Landasan Kurikulum 33
Humanistik kurikulum menekankan pada hasil belajar afektif
yang berakar pada Abraham Moslow dan Ragger bahwa tujuan
utama adalah untuk menciptakan orang-orang yang mampu
beraktualisasi diri. Reformasi sekolah yang radikal, mengubah
suasana sekolah dari suasana yang eksis saat ini di mana
pendidik berperan sebagai penjaga penjara, sekolah sebagai
penjara, tidak ada kebebasan untuk berekspresi diubah ke
situasi sekolah yang memiliki kebebasan yang besar.
h. Rekonstruksionisme (Teodore Branell, George Count)
Rekonstruksionisme tokohnya adalah Teodore Branell.
Rekonstruksionisme menganggap peserta didik dan pendidik
tidak hanya mengambil posisi tertentu tetapi juga mesti
bertindak sebagai agen perubahan untuk memperbaharui
masyarakat. Netralitas dalam kelas tidak perlu untuk proses
demokrasi, tetapi pendidik dan peserta didik harus mengambil
sikap untuk memberikan alasan-alasan berpartisipasi dalam
tanggungjawab sosial. Dalam kurikulum, pendidikan harus
sesuai dengan ekonomi politik yang baru. Bagi rekonstruksionis
analisis, interpretasi dan evaluasi dari masalah tidak cukup,
komitmen dan aksi dari peserta didik dan pendidik diperlukan
karena masyarakat selalu berubah maka kurikulum juga
berubah. Peserta didik dan pendidik bertindak sebagai agen
perubahan. Kurikulum yang didasarkan pada isu-isu sosial dan
pelayanan sosial dianggap ideal. Masalah-masalah yang terjadi di
masyarakat dimasukan ke dalam kurikulum, perubahan dalam
masyarakat ditangani oleh kurikulum termasuk kesempatan
untuk mendapat pendidikan.

34 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


B. Bagaimana Landasan Historis Kurikulum?
Landasan historis berkenaan dengan kenyataan bahwa
kurikulum merupakan suatu bidang studi yang relatif baru,
sehingga pengetahuan tentang bagaimana bidang ini tumbuh dan
berkembang pesat perlu dijadikan landasan kurikulum, supaya
kita dapat memahami disain kurikulum apa saja yang sudah
terbukti di masa lalu kurang berhasil dan apa saja yang ternyata
berhasil dimasa lalu. Sehingga pengembang kurikulum saat ini
dapat memperoleh masukan yang bermanfaat bagi pengembangan
kurikulum sekarang dan yang akan datang. Landasan historis
berkaitan dengan informasi program-program sekolah pada
waktu lampau yang masih hidup sampai sekarang, atau yang
pengaruhnya masih besar terhadap kurikulum saat ini. Oleh
karena itu, kurikulum selalu perlu disesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhan perkembangan zaman, maka perkembangan
kurikulum pada suatu saat tertentu diadakan untuk memenuhi
tuntutan dan perkembangan pada waktu tertentu. Kurikulum
yamng dikembangkan saat ini perlu mempertimbangkan apa yang
telah dilakukan dan apa yang telah dicapai melalui kurikulum
sebelumnya (Ansyar, 1989; Sukmadinata, 1997).
Historis berbicara tentang “Apa dan Mengapa”, bicara tentang
perkembangan yaitu dengan menjadi berikut ini.
3R : Reading, Writing, dan Aritmathic
4R : Komputer dan Teknologi
5R : Bahasa Asing

Jadi, kurikulum adalah kebutuhan (needs) ada secara internal


dan eksternal. Zaman Kurikulum antara lain sebagai berikut:

Landasan Kurikulum 35
1. Zaman Kolonial : masih banyak tau tentang agama
2. Zaman Nasional : perkembangan itu banyak menerima dari
luar yang mengembangkan konsep baru
3. Universal : pendidik untuk semua

Karakteristik sejarah dalam sebuah kurikulum memberikan


prasangka yang tidak baik terhadap perencanaan dalam sebuah
kurikulum, karena itu kurikulum berharap adannya perubahan yang
baik, sehingga tidak ada rintangan yang berat dalam tradisi selanjutnya,
salah satu yang mempengaruhi perencaan kurikulum adalah kerasnya
aturan dalam sebuah perencanaan kurikulum (Zais, 1976).

C. Bagaimana Landasan Psikologis Kurikulum?


Landasan psikologis berkaitan dengan hakikat peserta didik
sebagai subjek pendidikan dan pembelajaran sehingga pengetahuan
tentang hal-hal apa saja yang memfasilitasi mereka belajar dan yang
dapat menghambat mereka belajar dapat dipakai sebagai bahan
penting dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum dan
pembelajaran. Landasan psikologis berkaitan dengan cara peserta
didik belajar dan faktor apa saja yang dapat menghambat kemajuan
belajar pesrta didik. Selain itu, psikologi memberikan landasan
berfikir tentang hakikat proses pembelajaran dan tingkat-tingkat
pengembangan peserta didik. Kurikulum disusun agar peserta
didik dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kurikulum yang
disusun dengan memperhatikan teori-teori dan prinsip-prinsip
belajar sesuai dengan tingkat perkembangan psikologis pesrta
didik yang kemudian akan menghasilkan kurikulum yang efektif.
Landasan psikologis kurikulum, kebutuhan individu menurut
Onstein & Hunkins (1988) terkait hal-hal berikut ini.

36 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


1. Bagaimana orang belajar;
2. Psikologi berkontribusi terhadap kurikulum;
3. Psikologi bermanfaat sebagai dasar memahami proses belajar
mengajar;
4. Kenapa peserta didik merespons layaknya yang diharapkan
pendidik, dan bagaimana seharusnya kurikulum disusun
untuk meningkatkan pembelajaran,
5. Mengajar dan belajar saling berkaitan, maka psikologi sebagai
perekat kekurangannya, terdapat prinsip-prinsip dan simbol-
simbol tentang perilaku pendidik- peserta didik dalam konteks
kurikulum.

Kurikulum merupakan pedoman bagi pendidik dalam


mengantar anak didiknya sesuai dengan harapan dan tujuan
pendidikan. Secara psikologis anak didik memiliki keunikan dan
perbedaan-perbedaan baik perbedaan minat, bakat, maupun
potensi sesuai dengan tahapan perkembangannya.

1. Psikologis Perkembangan anak


Pentingnya pemahaman tentang masa perkembangan anak
disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, setiap anak didik
memiliki tahapan atau masa perkembangan tertentu. Kedua, anak
didik yang sedang pada masa perkembangan merupakan periode
yang sangat menentukan untuk keberhasilan dan kesuksesan
hidup mereka. Ketiga, pemahaman akan perkembangan anak,
akan memudahkan dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan,
baik yang menyangkut proses pemberian bantuan memecahkan
berbagai masalah yang dihadapi, maupun dalam mengantisipasi
kejadian-kejadian yang tidak diharapkan.

Landasan Kurikulum 37
2. Psikologi Belajar
Pengembangan kurikulum tidak akan terlepas dari teori
belajar. Sebab pada dasarnya kurikulum disusun untuk
membelajarkan peserta didik. Menurut aliaran behavioristik,
belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara
kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecendrungan untuk
bertindak atau hubungan antara stimulus dan Respons (S-R). Oleh
karena itulah teori ini juga dinamakan teori Stimulus-Respons.
Dengan demikian, menurut aliran behavioristik proses belajar
sangat tergantung pada adanya rangsangan atau stimulus yang
muncul dari luar diri atau yang kita kenal dengan faktor lingkungan.
Psikologi membicarakan bagaimana orang belajar dan
memberikan dasar untuk memahami proses belajar dan mengajar.
Pertanyaan lain yang menarik ahli psikologi dan ahli kurikulum
adalah bagaimana seharusnya kurikulum disusun untuk
meningkatkan kualitas belajar dan mengajar? Bagi John Dewey,
psikologi merupakan dasar untuk memahami bagaimana individu
belajar berinteraksi dengan objek dan orang dalam lingkungannya.
Proses tersebut berlangsung selama hidup, dan kualitas interaksi
menentukan banyaknya jenis belajar. Ralph Tyler menganggap
psikologi sebagai penguat untuk membantu menentukan apa saja
tujuan kita dan bagaimana kita belajar. Jerome Bruner (1960)
menghubungkan cara-cara berpikir yang mendasari metode
yang digunakan dalam berbagai bidang ilmu, terdiri dari disiplin-
disiplin ilmu khusus. Tujuan memanfaatkan metode ini ialah untuk
merumuskan konsep, prinsip, dan generalisasi yang membentuk
struktur disiplin ilmu. Singkatnya, psikologi adalah unsur yang
menyatukan proses belajar, membentuk dasar untuk metode,
materi, dan aktivitas belajar, dan berfungsi sebagai daya pendorong
untuk membuat keputusan kurikulum. Menurut Sejarah, teori

38 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


belajar yang utama diklasifikasikan atas dua kelompok yaitu 1)
teori behaviorisme; dan 2) teori kognitif.
a. Behaviorisme
Para behaviorisme yang mewakili psikologi tradisional,
berakar pada spekulasi filosofis tentang hakikat belajar (ide-
ide Aristoteles, Descartes, Locke, dan Rousseau). Mereka
menekankan pada kondisi prilaku dan mengubah lingkungan
untuk memancing respon yang diharapkan dari pelajar. Teori
ini mendominasi psikologi abad ke 20, kesimpulan teori
behaviorisme adalah 1) merupakan aliran tertua; 2) dapat
merubah tingkahlaku; 3) manusia akan berubah apabila
ada orang yang mengkondidikannya (mengajarkannya),
lebih menekankan pada tingkah laku peserta didik, karena
peserta didik tidak mau belajar jika tidak diajarkan. Menurut
behaviorisme proses pembelajaran terbagi menjadi empat
kategori di antaranya sebagai berikut.

1) Koneksionisme
Seorang Amerika (Edward Thondike) melakukan
percobaan tentang ide Stimulus-Respon (pengkondisian
klasik). Di Harvard, Thorndike melakukan percobaanya
dengan binatang dan menghasilkan hubungan
yang komplek dari perilaku binatang tersebut. Ia
mendefinisikan belajar sebagai pembentukan kebiasaan
dan mengajar sebagai pengatur kelas untuk meningkatkan
hubungan yang diharapkan sebagai ikatan. Thorndike
mengembangkan tiga hukum belajar yang utama yaitu
hukum kesiapan, ketika satuan kondisi siap bertindak,
maka bertindak akan menyenangkan dan tidak bertindak
menjadi menyebalkan. Maksudnya, sebelum belajar harus

Landasan Kurikulum 39
siap mengingat antara materi sebelumnya dengan materi
sekarang; hukum Latihan, diperkuat sebanding dengan
banyak kalinya perulangan, sebanding dengan intensitas
dan durasinya. Maksudnya, peserta didik belajar melalui
latihan dan mendapat hasil belajar melalui latihan; hukum
pengaruh dan respon, yang disertai kepuasan untuk
memperkuat hubungan sebaliknya respon yang disertai
ketidaksenangan akan melemahkan koneksi. Maksudnya,
hsil belajar akan mendapatkan reward (penghargaan)
atau punishment (hukuman).
Hukum Kesiapan menyatakan bahwa bila susunan syaraf
sudah siap untuk bertindak, maka ia akan mengarah pada
keadaan menyenangkan, ini disalah artikan oleh sebagian
pendidik sebagai kesiapan mengikuti pendidikan.
Hukum Latihan memberikan pembenaran pada latihan,
pengulangan, tinjauan dan sekarang diterapkan pada
pendekatan pembelajaran keterampilan dasar dan
modifikasi prilaku. Hukum effect dari Thorndike,
membenarkan teori penghargaan dan hukuman yang
telah diterapkan di sekolah berabad-abad sebelumnya.
Model prilaku operant (instrumen) menurut B.F. Skinner
adalah pembelajaran terprogram, dan ide-ide baru yang
didasarkan pada pengalaman yang menyenangkan
serta penguatan dalam bentuk umpan balik. Thorndike
meyakini bahwa prilaku lebih dipengaruhi oleh kondisi
belajar; sikap dan kemampuan pelajar bisa berubah
(meningkat) seiring waktu melalui stimulus (ransangan)
yang tepat; pengalaman belajar dapat dirancang dan
dikontrol; dan perlu memilih stimulus yang tepat atau
pengalaman belajar yang terintegrasi dan konsisten serta

40 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


saling menguatkan. Menurut Thorndike kemampuan
meningkatkan pikiran sama bagi semua orang, dan belajar
adalah perkara menghubungkan yang baru dengan yang
lama. Jadi, psikologi disiplin mental mendapat tantangan
dari teori ini dan tidak ada lagi hirarki mata pelajaran.
Walaupun teori koneksi tidak lagi sepopuler dulu, praktik-
praktik yang terkait dengannya tetap berlanjut dengan
label baru. Model belajar Thorndike memiliki pengaruh
langsung sampai saat ini, dan banyak asumsinya yang
terkait dengan belajar masih terbukti benar.

2) Pengaruh Thorndike terhadap Tyler, Taba, dan Bruner


Bertepatan dengan teori-teori Thorndike, Tyler dan
Taba menyatakan bahwa belajar memiliki aplikasi dan
karenanya dapat ditransfer ke situasi lain. Ini berarti
bahwa belajar yang dihapal tanpa berfikir tidak perlu.
Menurut Thorndike, cara belajar terbaik adalah dengan
metode langsung, yang bertepatan dengan pendekatan
logis dan behavioris yang diusulkan Tyler dan Taba.
Tetapi, baik Taba maupun Tyler tidak sependapat
dengan pendapat Thorndike tentang hubungan stimulus
dan respon. Mereka malah memberikan pandangan
umum tentang belajar, yang terkait dengan pendekatan
kognitif. Sementara Bobbit dan Charters sependapat
dengan Thorndike, Tyler dan Taba lebih cenderung pada
pendekatan Dewey dan Judd bahwa belajar didasarkan
atas generalisasi dan pengajaran merupakan prinsip
penting untuk menjelaskan fenomena konkrit.
Meskipun begitu Tyler dan Taba memberikan pengakuan
pada Thorndike di dalam teks-teks klasik mereka. Tyler

Landasan Kurikulum 41
membahas prinsip belajar terorganisir dan koneksionisme
yang sejalan dengan teori transfer Torndike. Taba malah
membahas ‘transfer belajar” serta pengaruh Thorndike
dan ahli lain terhadap teori belajar ini. Seperti Thorndike,
Taba berpendapat bahwa praktik saja tidak memperkuat
ingatan atau transfer belajar. “Karena tidak ada satu
program yang dapat mengajar segala sesuatu, maka
tugas semua pendidik adalah mentransfer yang maksimal
dengan cara mengembangkan metode atau muatan yang
mengarah pada generalisasi dan yang memiliki nilai
transfer luas, ini mengarah pada pendapat Taba yang
mendukung teknik pemecahan masalah dan penemuan.
Walaupun dipopulerkan oleh Bruner (1960), gagasan
“belajar bagaimana belajar” dan “penemuan” berakar
pada ide Thorndike. Thorndike, dan kemudian Bruner
(1960), menganggap bahwa belajar yang melibatkan
susunan pengalaman yang bermakna dapat ditransferkan
lebih baik daripada penghapalan. Semakin abstrak suatu
generalisasi dan prinsip, semakin mudah ditransfer. Ini
sejalan dengan ide Dewey tentang pemikiran reflektif
(pemikiran yang mencerminkan) dan langkah-langkah
yang dia susun untuk pemecahan masalah.
Bagi Bruner (1960), mempelajari struktur disiplin ilmu
memberikan dasar untuk transfer belajar yang spesifik.
Perbedaan Thorndike dengan Bruner adalah bahwa bagi
Thorndike semua pelajaran sama pentingnya, sedangkan
menurut Bruner (1960) Sains dan Matematika lebih
penting untuk mengajarkan struktur. Intinya bagaimana
pengajar mau mengajak peserta didik untuk belajar.

42 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


3) Pengkondisian Klasik
Teori pengkondisian klasik menekankan bahwa belajar
dapat memancing respon dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya yang netral dan kurang ransangan. Eksperimen
pengkondisian klasik dilakukan oleh Ivan Pavlov terhadap
seekor anjing yang dibunyikan bel setiap akan diberi makan
sehingga pada akhirnya, anjing tersebut mengasosiasikan
bel dengan makanan. Eksperimen ini memberikan banyak
implikasi pada pembelajaran manusia. James Watson
menggunakan penelitian Pavlov ini sebagai pondasi untuk
membangun ilmu psikologi baru berdasarkan behaviorisme.
Ilmu baru tersebut menekankan bahwa belajar didasarkan
atas ilmu prilaku yang bisa diukur atau diobseravasi, bukan
atas proses kognitif. Bagi Watson dan yang lainnya yang
menjadi kunci belajar adalah mengkondisikan anak seawal
mungkin.

4) Pengkondisian Operant (Instrumental)


B.F. Skinner telah berusaha lebih banyak dari pada
behavioris lain untuk menerapkan teorinya pada situasi
di kelas. Atas dasar percobaannya dengan seekor
merpati, Skinner membedakan dua jenis respon, respon
yang diidentifikaskan dengan suatu stimulus yang jelas
(elicited) dan respon yang kelihatannya tidak terkait
dengan stimulus yang jelas (emitted). Bila responnya
dipancing, maka prilaku disebut respondent, bila tidak
dipancing, prilaku itu disebut operant, artinya tidak ada
stimulus yang menjelaskan respon tersebut. Penguatan
dapat dikelompokkan atas penguatan primer, sekunder,
atau umum. Penguatan primer berlaku pada stimulus
yang membantu memuaskan kebutuhan dasar seperti

Landasan Kurikulum 43
makanan, air dan seks. Penguatan sekunder tidak
memenuhi kebutuhan pokok tetapi tetap penting, seperti
mendapat pengakuan dari pendidik dan teman, mendapat
hadiah juara sekolah, dan memperoleh uang, dan bisa
dikonversikan menjadi penguatan primer. Penguatan
umum adalah penguatan penyamarataan.
Prilaku operant akan terhenti bila tidak diikuti oleh
penguatan. Skinner membedakan penguatan atas penguatan
positif dan negatif. Penguatan positif adalah munculnya
stimulus yang menguatkan, dan penguatan negatif adalah
penarikan atau penghilangan stimulus. Walaupun Skinner
percaya pada kedua penguatan, dia menolak adanya
hukuman karena akan merusak pembelajaran.

a) Mendapatkan Operant Baru: Perubahan Prilaku


Pendekatan Skinner tentang penguatan selektif
memiliki daya tarik yang luas bagi para pendidik karena
mendemonstrasikan pada proses pembelajaran.
Suatu prinsip penting dalam penguatan belajar
adalah variabilitas tingkah laku yang memungkinkan
perubahan. Individu dapat memperoleh operant
baru, maksudnya prilaku bisa dibentuk atau diubah,
kemudian konsep-konsep yang rumit bisa diajarkan
kepada peserta didik dengan mudah. Perilaku baru
dapat dibentuk melalui kombinasi penguatan respon,
dan ini disebut sebagian orang dengan modifikasi
prilaku. Pendekatan modifikasi prilaku ini digunakan
bersamaan dengan teknik pembelajaran individual
dan teknik pengelolaan kelas. Dengan pendekatan ini,
kurikulum dapat didefinisikan dengan definisi Popham
dan Baker, yaitu “semua hasil yang direncanakan

44 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


merupakan tanggung jawab sekolah” dan “konsekuensi
dari pembelajaran yang diharapkan”.

b) Program Pembelajaran
Belajar terprogram memberikan pendekatan langkah
demi langkah terhadap belajar dengan penguatan
langsung, sering, dan teratur, yang mendorong
stimulus-respon berkelanjutan secara efektif.
b. Behaviorisme dan Kurikulum
Behaviorisme memiliki dampak besar pada pendidikan.
Pendidik yang menganut paham behaviorisme dan terkait
dengan kurikulum menggunakan prinsip-prinsip prilaku
untuk membimbing penciptaan program baru, seperti
membangun pengalaman positif yang dimiliki peserta didik
ketika memperkenalkan topik atau kegiatan baru. Para
behavioris percaya bahwa kurikulum harus disusun sehingga
peserta didik mengalami kesuksesan dalam menguasai
mata pelajaran dan ini sangat preskriptif (menentukan)
dan diagnostik (mempunyai dasar) dalam pendekatan serta
percaya pada metode belajar terstruktur tahap demi tahap.
Untuk peserta didik yang mengalami kesulitan belajar,
kurikulum dan pembelajaran dipecah-pecah menjadi satuan-
satuan kecil dengan tugas yang sesuai dengan perilaku yang
diharapkan. Teori perilaku ini terus hidup dan berhubungan
dengan banyak bagian dari praktik bidang pendidikan dan
berdampak pada kelas dan sekolah. Sebagian besar aplikasi
teori psikologi sekarang ini yang berlangsung di sekolah
menggunakan pendekatan behavior. Konsep dari sasaran
tingkah laku dan perubahan berada pada semua tingkat
pendidikan.

Landasan Kurikulum 45
Behaviorisme terus hidup dan berkembang sehingga sekarang
terbukti dalam teori, prinsip, atau kecendrungan yang terkait
dengan 1) tujuan prilaku dalam menulis, menilai, belajar, dan
evaluasi; 2) program latihan ketrampilan dasar dalam bahasa dan
membaca; 3) pendidikan individual; 4) rancangan pembelajaran
atau model rancangan sistem; 5) program pelatihan pendidik; 6)
teknologi pendidikan, dan 7) program perencanaan dan evaluasi.
Pendekatan prilaku dan program-program behaviorisme adalah
1) mengatasi permasalahan pembelajaran dan meningkatkan
kemajuan pembelajaran; 2) sasaran pengajaran untuk jangka
panjang maupun jangka menengah dirumuskan dengan baik; 3)
menyesuaikan materi pengajaran dan media pengajaran yang
singkron dengan peserta didik; 4) penentuan tugas, aktivitas
langkah demi langkah dan pemberian penguatan positif; dan 5)
mendiagnosa kembali kebutuhan pelajar, sasaran, aktifitas, tugas
dan perintah. Empat prinsip prilaku antara laian 1) waktu untuk
mengerjakan tugas tergantung pada kemampuan pembelajar
untuk menguasai belajar; 2) pengulangan adalah praktik dan
latihan dihubungkan dengan pemancingan respon yang benar; 3)
penguatan adalah belajar diperkuat bila didasarkan pada pelajaran
sebelumnya; dan 4) pembentukan yaitu prilaku tentang belajar
lebih mudah diperoleh melalui aproksimasi suksesif (serangkaian
respon yang makin mendekati prilaku yang diharapkan).
c. Perkembangan Pengetahuan (Kognitif)
Sekarang kebanyakan ahli psikologi mengelompokkan
pertumbuhan dan perkembangan manusia menjadi
pengetahuan, sosial, psikologis, dan fisik dan mereka
percaya bahwa belajar di sekolah merupakan bentuk dari
pengetahuan. Pertumbuhan dan perkembangannya mengacu
pada perubahan dalam struktur dan fungsi karakteristik

46 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


manusia. Perubahan adalah hasil interaksi antara potensi
bawaan dengan lingkungan.

1) Tahap-tahap Perkembangan Pengetahuan


Teori kognitif adalah pertumbuhan dan perkembangan
pengetahuan terjadi dalam tahapan yang progresif.
Pandangan yang paling komprehensif tentang teori ini
dikemukakan oleh Jean Piaget, menjelaskan perkembangan
kognitif dalam tahap-tahap dari lahir sampai dewasa
antara lain a) tahap tindakan rangsangan (dari lahir sampai
usia 2 tahun), anak melangkah maju dari suatu lingkungan
kepada pola tindakan yang komplek lingkungannya; b)
tahap pra tindakan (usia 2 – 7 tahun), objek dan kejadian
mulai dipahami sebagai sebuah simbol; c) tahap tindakan
nyata (usia 7 – 11 tahun), anak mulai mengorganisir
data kedalam hubungan yang logis dan menggunakan
data tersebut untuk memecahkan masalah; dan d) tahap
tindakan formal (usia 11 tahun ke atas), ditandai dengan
pengenbangan langkah formal dan abstrak.
Pengalaman lingkungan adalah kunci dari teori Piaget dan
Dewey. Bagi Piaget, assimilasi (perpaduan) merupakan
pengalaman baru ke dalam pengalaman yang ada,
penyesuaian struktur kognitif anak sebagai respon
terhadap lingkungannya, dan equilibrium (keseimbangan)
adalah proses mencapai keseimbangan antara hal-hal
yang sudah dipahami dengan yang akan dipahami. Ini
bertepatan dengan konsepsi situasi dan interaksi Dewey.
Bagi Dewey, situasi mewakili pengalaman dari lingkungan,
sama dengan asimiliasi dan interaksi berkaitan dengan
pengalaman yang terjadi antara anak dan lingkungannya,

Landasan Kurikulum 47
termasuk kapasitasnya untuk membentuk makna dan
pemahaman. Kontinuitas mengacu pada belajar situasi
dan interaksi yang mengikuti, sama dengan ekuilibrasi.

2) Pengaruh Piaget pada Tyler, Taba, dan Bruner


Teori lingkungan Piaget (dan teori pengalaman
pendidikan Dewey) membentuk dasar lima prinsip
belajar Tyler a) peserta didik harus memiliki pengalaman
belajar yang memberikan kesempatan untuk praktik; b)
kepuasan; c) pengalaman belajar harus cocok dengan
kemampuan peserta didik saat itu; d) Banyak pengalaman
dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
sama; dan e) Pengalaman belajar yang sama biasanya
akan memberi banyak luaran.
Tiga proses kognitif Piaget (dan tiga pengalaman
pendidikan Dewey) juga menjadi dasar tiga metode
mengatur pengalaman belajar yang dikemukakan oleh
Tyler a) kurikulum harus memiliki interaksi vertikal
artinya, keterampilan dan konsep harus terjadi berulang-
ulang dan harus ada kesempatan yang berkelanjutan
untuk mempraktikkan ketrampilan tersebut; b)
kurikulum harus mencakup perkembangan pemahaman
yang progresif dan bahwa setiap pengalaman berikutnya
dibangun atas pengalaman sebelumnya; c) integrasi
yang mengacu pada hubungan horizontal, pengalaman-
pengalaman kurikulum dan susunan pengalaman harus
“disatukan” dalam kaitannya dengan unsur lain dalam
kurikulum yang sedang diajarkan dan mata pelajaran
tidak boleh dipisahkan dari mata pelajaran lain dalam
pengajaran.

48 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Taba tidak hanya mereview empat tahap perkembangan
kognitif yang dikemukakan Piaget dan implikasinya
pada perkembangan mental dan intelegensi, tetapi
juga menyimpulkan bahwa pengalaman belajar harus
dirancang agar sesuai dengan penilaian tingkat usia
kapan proses berpikir tertentu muncul. Idenya adalah
mentransformasikan konsep dan mata pelajaran
yang rumit ke dalam operasi mental yang cocok bagi
pembelajar dan mengembangkan kurikulum yang
menyediakan tingkat berpikir yang lebih formal dan lebih
mendalam. Membangun kurikulum yang seperti itu akan
melibatkan pemahaman yang lebih baik tentang hirarki
(tahap-tahap) pembentukan konsep dan operasi mental
yang dikemukakan Piaget dan tentang urutan dalam
pengembangan pikiran.
Begitu juga, Taba mencatat proses kognitif Piaget, asimilasi,
akomodasi, dan ekuilibrasi dalam diskusinya tentang
generalisasi dan pemikiran abstrak. Taba peduli dengan
penyusunan kurikulum dan pengajaran pengalaman baru
sehingga dapat dibandingkan dengan pengalaman lama
(asimilasi), beralih dari pengalaman kongkrit ke konsep
dan prinsip (akomodasi), dan mengelompokkan serta
memahami hubungan yang baru (ekuilibrasi). Dasar dari
apa yang Taba sebut “strategi kurikulum untuk belajar
produktif” berakar dari sintesis pengalaman ke dalam
bentuk dan tingkat yang lebih kompleks yang disampaikan
Piaget.
Bagi Bruner, belajar adalah segala sesuatu berhubungan
dengan struktur pengetahuan. Belajar yang demikian
didasarkan atas ide Piaget tentang perpaduan

Landasan Kurikulum 49
pengetahuan dan peralatan. Struktur pengetahuan
tersebut memberikan dasar untuk transfer belajar.
Equilibrasi Piaget membentuk dasar gagasan Bruner
tentang “kurikulum spiral”. Belajar sekarang merupakan
dasar untuk belajar selanjutnya, belajar harus berlanjut,
mata pelajaran harus saling berhubungan dan dibangun
atas suatu pondasi. Bruner juga dipengaruhi oleh Dewey
yang menggunakan istilah kontinuitas dalam belajar
untuk menjelaskan bahwa pelajar menjadi instrumen
pemahaman situasi berikutnya.
Bruner menganggap bahwa tindakan belajar terdiri atas
tiga proses yang berkaitan, sama dengan proses kognitif
Piaget a) akuisisi adalah memahami informasi baru, ini
biasanya berhubungan dengan asimilasi; b) transformasi
ialah kapasitas individu untuk memproses informasi
baru. Proses ini tumpang tindih dengan akomodasi; dan c)
evaluasi ialah penentuan apakah informasi telah diproses.
Ini berhubungan dengan equilibrasi.
Yang penting bagi pendidikan ialah bahwa pendidik
(serta ahli psikologi pendidikan dan ahli kurikulum)
harus menentukan penekanan yang tepat yang diberikan
pada tahap pengembangan kognitif dan proses berpikir
ala Piaget. Proses kognitif Piaget tumpang tindih
dengan metode Tyler, strategi Taba, dan proses Bruner.
Kemampuan mencocokkan pengalaman belajar yang
tepat dengan keempat tahapan pengembangan Piaget
dan ketiga proses berpikir sangat penting bagi pendidik
SD karena selama perode SD inilah anak-anak beralih dari
tahap dua ke tahap tiga dan tahap empat.

50 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


d. Tingkatan Berpikir
Berpikir bisa dikelompokkan dalam beberapa cara. Salah satu
caranya ialah dengan tingkat-tingkat yang bersifat teoritis
dan development. Robert Gagne telah menyajikan tujuh jenis
pembelajaran yang telah diatur dan mampu menjadi suatu
model yang klasik, yaitu 1) belajar isyarat (pengkondisian
klasik,respon terhadap sinyal yang diberikan); 2) stimulus
(rangsangan) respon (tanggapan), (pengkondisian operant,
respon terhadap stimulus); 3) rantai motor (menghubungkan
dua atau lebih satuan verbal stimulus-respon untuk
membentuk keterampilan yang kompleks); 4) perbedaan
ganda (merespon dengan cara berbeda ke butir yang berbeda
dalam satu set tertentu); 5) konsep-konsep (bereakasi
terhadap stimulus dengan cara yang abstrak); 6) aturan
(menghubungkan dua atau lebih konsep); dan 7) pemecahan
masalah (menghubungkan aturan atau prinsip yang diketahui
ke dalam unsur-unsur baru untuk memecahkan masalah).
J. P. Guilford mengembangkan model faktor-faktor kognitif
ganda dengan tiga dimensi 1) operasi mental yang berhubungan
dengan pemrosesan muatan tertentu (terdiri atas evaluasi,
berpikir konvergen, berpikir divergen, dan kognisi); 2) produk
yaitu operasi mental yang berhubungan dengan aplikasi operasi
terhadap muatan (terdiri atas satuan, kelas, sistem, transformasi,
dan implikasi); dan 3) muatan yaitu operasi mental yang
menyangkut informasi dan pemahaman (terdiri atas gambar,
simbol, semantik., dan muatan prilaku).
e. Pemecahan Masalah/Berpikir Kreatif
Banyak ahli teori kurikulum telah membaharui penilaian
mereka terhadap berbagai aspek pemecahan masalah dan
berpikir kreatif. Persamaan keduanya ialah sama-sama

Landasan Kurikulum 51
mencakup bentuk pengolahan informasi baru. Salah satu
pendapat yang bertentangan ialah bahwa pemecahan masalah
(dulu disebut berpikir reflektif) didasarkan atas berpikir
induktif, prosedur analitik, dan proses konvergen. Berpikir
reflektif didasarkan atas berpikir deduktif, orisinalitas, dan
proses divergen. Dalam pandangan yang kedua ini, pemecahan
masalah kondusif untuk berpikir rasional dan ilmiah dan
merupakan metode untuk sampai pada solusi sementara
kreativitas kondusif untuk berpikir artistik dan sastra dan
merupakan kualitas pikiran. Mungkin hal yang paling penting
untuk dicatat ialah bahwa tugas kognitif yang kompleks ini
harus diajarkan sebagai keterampilan umum dan prinsip-
prinsip yang relevan dengan semua pokok permasalahan.
Idenya adalah untuk mengembangkan strategi metakognitif
yang dapat ditransfer peserta didik ke banyak wilayah
kurikulum.
f. Berpikir Reflektif
Pemecahan masalah memainkan peran utama dalam konsep
pendidikan Dewey. Ia tidak hanya percaya bahwa pemecahan
masalah di sekolah dapat mengembangkan intelegensi
dan pertumbuhan sosial, tetapi juga bahwa keterampilan
yang dikembangkan dalam pemecahan masalah dapat
ditransferkan ke pemecahan masalah sehari-hari dalam
masyarakat. Konsep pemecahan masalah Dewey berakar dari
idenya tentang metode ilmiah dan telah menjadi model klasik
antara lain 1) menyadari adanya kesulitan; 2) mengidentifikasi
masalah; 3) mengelompokkan data dan membentuk hipotesis;
4) menerima atau menolak hipotesis sementara; dan 5)
membentuk kesimpulan dan mengevaluasi.

52 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Metode pemecahan masalah ini bertepatan dengan
kepercayaan Dewey pada ilmu pendidikan. Karena Dewey
menganggap bahwa fungsi sekolah adalah meningkatkan
proses pemikiran, ia merekomendasikan adaptasi metode
pemecahan masalah ini ke pelajaran lain. Banyak juga yang
mengkritik metode pemecahan masalah Dewey ini karena
menghasilkan miskonsepsi bahwa ilmuwan selalu punya
formula untuk menemukan jawaban masalah praktis. James
Conant, misalnya, mendefinisikan pemecahan masalah sebagai
rangkaian 6 tahap yang bisa digunakan di labor atau oleh orang
biasa untuk memecahkan masalah sehari-hari 1) mengenali
masalah dan membentuk tujuan; 2) mengumpulkan informasi
yang relevan; 3) membentuk hipotesis; 4) menyimpulkan
hipotesis; 5) mengggunakan tes dengan percobaan yang
aktual; dan 6) tergantung pada lingkungan, menerima,
memodifikasi, atau menolak hipotesis. Kedua model ini dan
turunannya dianggap banyak peneliti tidak lengkap. Pertama,
karena analisis muncul setelah orang memecahkan masalah.
Kedua, model tersebut mengabaikan intuisi, pandangan, dan
ide. Teori proses kognitif saat ini menyatakan bahwa langkah-
langkah yang logis dan bisa diobservasi tidak selalu digunakan
dalam pemecahan masalah, dan tahap-tahap terebut tidak
selalu berkaitan.
g. Berpikir Kritis
Berpikir kritis dan keterampilan berpikir adalah istilah yang
digunakan sekarang untuk mengartikan pemecahan masalah.
Walaupun banyak prosedur mengajar, program pelatihan
pendidik, dan taksonomi berpikir kritis telah muncul pada
tahun-tahun terakhir, pendapat terakhir menyebutkan
bahwa berpikir kritis adalah suatu bentuk inteligensi

Landasan Kurikulum 53
yang bisa diajarkan. Pendukung aliran ini ialah Matthew
Lipman dan Robert Sternberg. Lipman berusaha membantu
perkembangan 30 keterampilan kritis, yang umumnya
dirancang untuk tingkat SD. peserta didik didorong untuk
mengembangkan, misalnya konsep, generalisasi, hubungan
sebab-akibat, inferensi alogistik, konsistensi dan kontradiksi,
analogi, hubungan bagian-keseluruhan dan keseluruhan-
bagian, formulasi masalah, membalikkan pernyataan logis,
dan aplikasi prinsip ke situasi kehidupan nyata.
Sternberg menjelaskan tiga proses mental yang meningkatkan
kemampuan berpikir kritis 1) komponen-komponen
meta proses mental tingkat tinggi yang digunakan untuk
merencanakan apa yang akan kita lakukan, memonitor apa
yang sedang kita lakukan, dan mengevaluasi apa yang sedang
kita lakukan; 2) komponen performansi langkah aktual atau
strategi yang kita ambil; dan 3) komponen pemerolehan
pengetahuan, proses yang digunakan untuk menghubungkan
materi lama dengan materi baru dan untuk mengaplikasikan
dan menggunakan materi baru.
Beberapa pendidik membantah pendapat Lipman dan
Sternberg karena menurut mereka keterampilan berpikir
kritis itu sangat kompleks dan tidak bisa dipecah-pecah
menjadi proses-proses kecil. Penganut teori humanistik dan
fenomenologi percaya bahwa mengajar orang berpikir sama
dengan mengajar orang mengayun tongkat golf, melibatkan
pendekatan yang menyeluruh bukan usaha sebagian-sebagian.
Kritikan utama muncul dari pendukung metode itu sendiri.
Sternberg memperingatkan bahwa jenis berpikir kritis yang
kita tekankan di sekolah dan cara kita mengajarkannya
“tidak mempersiapkan peserta didik dengan cukup untuk

54 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


menghadapi jenis masalah yang akan mereka temui dalam
kehidupan nyata”. Kita percaya bahwa karena program
keterampilan kritis kita menekankan jawaban “benar” dan
butir-butir ujian yang “bisa diskor secara objektif”, peserta
didik dialihkan dari relevansi dunia nyata. Kebanyakan
masalah dalam kehidupan nyata memiliki implikasi sosial,
ekonomi, dan psikologis yang melibatkan hubungan
antarpribadi dan penilaian tentang orang, stress dan krisis
pribadi, dilema yang melibatkan pilihan, tanggung jawab, dan
keberlangsungan hidup. Bagaimana menangani semua itu
tidak ada hubungannya dengan cara kita berpikir di dalam
kelas atau dengan cara menjawab soal-soal tentang berpikir
kritis. Dengan menekankan keterampilan kognitif di dalam
kelas, berarti kita mengabaikan realitas dan lingkungan
pergaulan kehidupan.
h. Berpikir Kreatif
Tes baku tidak selalu mengukur kreativitas dengan akurat,
kenyataannya kita memiliki kesulitan dalam menentukan
apa sebenarnya kreatif itu dan siapa yang kreatif. Ada banyak
jenis kreativitas (artistik, musik, sains, kerajinan tangan,
dan lain-lain). peserta didik kreatif sering tidak mendapat
perhatian penuh dari pendidik dan ahli kurikulum karena sulit
dikontrol. Biasanya mereka digabungkan saja dengan peserta
didik berinteligensi tinggi, padahal intelegensi tinggi dan
kreativitas tinggi tidak selalu berkaitan. Terkadang pendidik
malah mematikan kreatifitas siswa dan spesialis kurikulum
cenderung mengabaikan mereka dalam perencanaan
kurikulum, karena mereka hanyalah sebagian kecil saja dari
seluruh peserta didik.

Landasan Kurikulum 55
Kesepakatan tentang definisi kreativitas sangat sedikit, antara
lain kreativitas mewakili kualitas pikiran. Ia terdiri atas
komponen kognitif dan humanistik dalam belajar. Menurut
Carl Rogers, esensi kreativitas adalah kebaruannya. Eric
Fromm mendefinisikan sikap kreatif sebagai 1) kemauan untuk
berpikir untuk mengorientasikan dirinya pada sesuatu yang
baru tanpa merasa frustasi; 2) kemampuan berkonsentrasi; 3)
kemampuan mengalami sendiri sebagai pemula tulen dalam
tindakannya; dan 4) kemauan menerima konflik dan tekanan
yang disebabkan oleh iklim opini atau kurangnya toleransi
terhadap ide-ide kreatif.
Bagi pendidik, definisi kreativitas adalah bagaimana
memunculkan ide-ide baru. Kreativitas berkaitan dengan
proses logis, dapat diobservasi dan proses tak sadar dan tidak
dapat dikenali.
i. Berpikir Intuitif
Berpikir intuitif bukanlah hal baru, tetapi proses berpikir
ini tidak didukung karena praktik pedagogik tradisional
mengandalkan fakta dan hapalan, berpikir intuitif diabaikan
karena susah mendefinisikan dan mengukurnya. Bruner
mempopulerkan ide ini dalam bukunya Process of Education.
Pemikir yang baik tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi
juga pemahaman intuitif tentang pokok persoalan. Berpikir
intuitif adalah bagian dari proses penemuan. Ia tidak ada
hubungannya dengan pendekatan tahap demi tahap atau
konvergen tetapi dengan penemuan yang dipasangkan
dengan kemampuan menempatkan pengetahuan yang akan
digunakan dan menemukan cara-cara baru untuk membuat
kecocokan. Menurut interpretasi ini, pemecahan masalah
dan penemuan bebas datang bersama, pengetahuan bersifat

56 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


dinamis, dibangun di seputar proses penemuan, tanpa langkah
atau aturan pasti yang akan diikuti.
j. Belajar melalui Penemuan
Metode penemuan (inquiry-discovery) berhubungan dengan
kurikulum yang berpusat pada disiplin ilmu sebagai penyatu
yang berkaitan dengan pengetahuan dan metodologi ranah
kajian. Taba, Bruner, Phenix, dan Inlow adalah produk dari
zaman ini. Taba dipengaruhi oleh Bruner, Phenix dipengaruhi
oleh keduanya, dan Inlow dipengaruhi oleh ketiganya. Keempat
pendidik ini lebih peduli dengan bagaimana kita berpikir
bukan dengan apa yang kita pikirkan atau pengetahuan apa
yang kita miliki.
Walaupun Bruner menggabungkan metode inquiry discovery
dalam Sains dan Matematik. Phenix, Taba, dan Inlow
mengklaim bahwa discovery terpisah dari inquiry dan kedua
metode berpikir tersebut melintasi semua mata pelajaran
(bukan hanya Sains dan Matematika) (Ornstein & Hunkins,
1988). Phenix, misalnya mengusulkan bahwa discovery adalah
bentuk inquiry yang berhubungan dengan pengetahuan,
hipotesis, dan dugaan-dugaan baru dan inquiry adalah
metode membuat, mengatur, menganalisis, dan mengevaluasi
pengetahuan (seperti pemecahan masalah). Inquiry dianggap
menyatukan semua aspek pengetahuan yang terpisah ke
dalam disiplin ilmu yang koheren, ia dianggap lebih penting
daripada discovery. Taba dan Inlow membedakan belajar
melalui discovery dengan belajar kongkrit dan verbal.
Kebanyakan belajar tradisional dijelaskan sebagai suatu
proses mentransmisikan informasi kongkrit dan verbal
kepada pembelajar, berpusat pada otoritas, berpusat pada
mata pelajaran, sangat terstruktur, sangat terorganisir, juga

Landasan Kurikulum 57
fleksibel dan terbuka. Sebaliknya, discovery melibatkan
eksplorasi ekstensif hal-hal yang kongkrit pada level dasar.
Bruner yang terkenal telah mengelaborasi ide discovery dengan
mendefinisikannya sebagai belajar yang terjadi ketika peserta
didik tidak disuguhi dengan mata pelajaran dalam bentuk
finalnya, ketika mata pelajaran tidak diorganisir oleh pendidik
tetapi oleh peserta didik sendiri. Discovery adalah pembentukan
sistem pengkodean yang dengannya peserta didik menemukan
hubungan yang ada di antara data yang disajikan.
Karakteristik paling nyata dari discovery sebagai teknik
mengajar adalah bahwa sesudah tahap awal ia membutuhkan
input atau bimbingan pendidik. Discovery kurang terpusat
pada pendidik, dan peserta didik memiliki tanggung jawab
atas belajarnya sendiri. Agar menjadi bagian discovery, belajar
harus bisa ditransfer. Transfer yang meningkat dibuktikan
oleh apa yang disebut Bruner “potensi intelektual”.
k. Kognisi dan Kurikulum
Kebanyakan ahli kurikulum, dan ahli teori belajar dan pendidik,
cenderung berorientasi kognitif karena 1) pendekatan
kognitif memiliki metode yang logis untuk mengorganisir dan
menginterpretasi belajar; 2) pendekatan ini berakar dari tradisi
mata pelajaran; 3) pendidik telah dilatih dalam pendekatan kognitif
dan memahaminya lebih baik. Pendidik yang memiliki gaya
mengajar terstruktur akan lebih menyukai metode pemecahan
masalah, berdasarkan berpikir reflektif dan metode ilmiah.
Lebih dari 1000 SD dan sekolah menengah yeng menerapkan
pembelajaran berpusat pada pendidik dan peserta didik,
tetapi tidak menerapkan pemecahan masalah. Pembelajaran
yang sesuai dengan dunia nyata dan bermakna jarang terjadi

58 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


di sekolah. Ahli kurikulum harus memahami bahwa sekolah
harus menjadi suatu tempat di mana peserta didik tidak
merasa takut mengajukan pertanyaan, tidak takut salah, tidak
takut tidak menyenangkan hati pendidik, dan tidak takut
mengambil resiko kognitif dan bermain dengan ide. Dengan
semua teori kognitif kita, kita mengharapkan peserta didik mau
belajar dan tahu bagaimana belajar, tetapi kita mengobservasi
bahwa setelah beberapa tahun sekolah kebanyakan peserta
didik telah belajar untuk tidak belajar.
l. Psikologi Kemanusiaan/Fenomenologi
Ahli psikologi tradisional tidak mengenal psikologi humanistik
atau fenomenologi sebagai suatu aliran psikologi. Menurut
mereka, ahli psikologi itu sudah humanis karena selalu peduli
dengan orang dan dengan meningkatkan kualitas masyarakat.
Lagi pula, mereka mengklaim bahwa label humanisme
seharusnya tidak digunakan sebagai topeng untuk generalisasi
berdasarkan sedikit pengetahuan dan penelitian. Sejumlah
observer telah memandang fenomenologi (kadang-kadang
disebut psikologi humanistik), sebagai teori belajar “kekuatan
ketiga” setelah behaviorisme dan pengembangan kognitif.
Fenomenologi kadang-kadang dianggap sebagai teori kognitif
karena ia menekankan organisme total.
Beda yang paling nyata dengan pandangan behaviorisme
mekanistik dan deterministik adalah versi belajar
fenomenologis, yang digambarkan dengan kepedulian
individu bahwa ia adalah seseorang yang memiliki perasaan
dan sikap, yang mengalami stimulus, dan yang bertindak
terhadap lingkungan. Ahli fenomenologi mengemukakan
bahwa cara kita memandang diri kita sendiri adalah dasar
untuk memahami prilaku kita. Apa yang kita lakukan, bahkan

Landasan Kurikulum 59
seberapa banyak kita belajar, ditentukan oleh konsep kita
tentang diri kita sendiri.

1) Teori Gestalt
Ide-ide ahli fenomenologi berakar dari teori-teori lapangan
yang memandang organisme total dalam hubungan
dengan lingkungan, atau apa yang disebut “lapangan”,
dan persepsi peserta didik tentang lingkungan. Teori
lapangan diturunkan dari psikologi Gestalt tahun 1930-an
dan 1940-an. Kata Gestalt (bahasa Jerman) berkonotasi
dengan rupa, bentuk, dan konfigurasi. Dalam konteks ini
stimulus dipahami hubungan dengan yang lain dalam satu
lapangan. Apa yang dipahami seseorang akan menentukan
makna yang dia berikan pada lapangan, begitu juga
solusi seseorang terhadap satu masalah tergantung pada
pengenalannya terhadap hubungan antara stimulus dan
keseluruhannya. Inilah yang dianggap sebagai hubungan
berdasarkan lapangan (field-ground relationship). Jadi,
faktor yang penting dalam belajar adalah menstrukturisasi
dan merestrukturisasi hubungan-hubungan lapangan
untuk membentuk pola-pola yang selalu berubah.
Atas dasar ini, belajar menjadi kompleks dan abstrak.
Ahli kurikulum harus memahami bahwa pembelajar
memahami sesuatu dalam hubungannya dengan yang
lain-lain dalam suatu keseluruhan, dan apa yang mereka
pahami terkait dengan pengalaman mereka sebelumnya
(Ornstein & Hunkins, 1988).

2) Maslow: Orang-orang yang Mengaktualisasikan Diri


Abraham Maslow, ahli fenomenologi terkenal, telah
menyusun teori klasik tentang kebutuhan manusia.

60 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Menurutnya, berdasarkan hirarki kepentingannya,
kebutuhan terdiri atas a) kebutuhan fisik; b) kebutuhan
akan keselamatan; c) kebutuhan akan cinta dan rasa
memiliki; d) kebutuhan akan harga diri; e) kebutuhan
mengaktualisasikan diri, dan f) kebutuhan mengetahui
dan memahami. Semua kebutuhan ini memiliki implikasi
pada belajar dan mengajar. Anak yang kebutuhan
pokoknya tidak terpenuhi tidak akan tertarik memperoleh
pengetahuan. Ide Maslow tentang aplikasi di kelas ini
sebagian didasarkan atas ide Pestalozzi dan Froebel yang
percaya akan pentingnya emosi manusia dan metodologi
yang berdasarkan kepercayaan dan cinta.
Maslow menciptakan istilah Psikologi Humanistik yang
menekankan tiga prinsip pokok a) memusatkan perhatian
pada orang yang mengalami dan kemudian memfokuskan
pengalaman sebagai fenomena pokok dalam belajar; b)
menekankan kualitas manusia seperti pilihan, reativitas,
dan realisasi diri, sebagai lawan dari memikirkan orang
dalam istilah mekanistik dan belajar dalam istilah kognitif;
c) menunjukkan perhatian penuh pada martabat dan nilai
orang dan minat terhadap perkembangan psikologis serta
potensi manusia sebagai individu. Peran pendidik dan
pembuat kurikulum dalam skema ini adalah memandang
peserta didik sebagai orang yang utuh. Bagi Maslow,
tujuan pendidikan adalah menghasilkan pembelajar yang
sehat dan bahagia yang bisa menyempurnakan tugasnya;
tumbuh, dan mengaktualisasikan dirinya sendiri. Orang
yang mengaktualiasikan diri tersebut matang dan sehat
secara psikologis, serta memiliki ciri-ciri a) memiliki
persepsi yang efisien tentang realitas; b) merasa nyaman

Landasan Kurikulum 61
dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain; c) tidak
dibebani rasa bersalah, malu, dan cemas; d) spontan dan
alamiah; dan e) berpusat pada masalah bukan pada diri.

3) Rogers: Belajar Nondirektif dan Terapetik


Carl Rogers, ahli fenomenologi telah menciptakan
prosedur konseling dan metode untuk memfasilitasi
belajar. Idenya didasarkan atas teori lapangan dan teori
yang berdasarkan lapangan yang mengatakan bahwa
realitas adalah apa yang dipahami peserta didik. Konsep
realitas ini harus membuat pendidik sadar bahwa level dan
jenis respon terhadap suatu pengalaman akan berbeda
di antara anak-anak. Rogers menganggap terapi sebagai
metode belajar yang harus digunakan oleh pendidik dan
perumus kurikulum. Ia percaya bahwa hubungan manusia
yang positif memungkinkan orang bertumbuh, karena
itu hubungan antarpribadi di antara pembelajar sama
pentingnya dengan skor kognitif. Kurikulum berkaitan
dengan proses, bukan produk; kebutuhan pribadi, bukan
mata pelajaran; makna psikologis, bukan skor kognitif;
dan situasi lingkungan yang berubah (dalam hal ruang
dan waktu), bukan lingkungan yang tetap.

4) Klarifikasi Nilai
Klarifikasi nilai kadang-kadang disebut juga membangun
nilai, adalah bagian dari proses belajar pendidik. Ahli
klarifikasi nilai sangat menghargai kreativitas, kebebasan,
dan realisasi diri. Mereka lebih menyukai peserta didik
yang mengekplorasi sendiri keinginan-keinginan mereka
dan membuat pilihan-pilihan mereka. Nilai yang dianut
seseorang tergantung pada banyak faktor, termasuk

62 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


lingkungan, pendidikan, dan kepribadian. Klarifikasi nilai
dirancang untuk membantu orang mengatasi kebingungan
nilai (dengan gejala apatis, tidak yakin, tidak konsisten)
sehingga menjadi lebih positif, bertujuan, dan produktif,
serta memiliki hubungan antarpribadi yang makin baik.
Louis Raths dan kawan-kawannya menguraikan
proses memberi nilai, memilih dengan bebas, memilih
dari berbagai alternatif, memilih dengan bijaksana,
menghargai, meyakini, bertindak atas pilihan, dan
mengulang sebagai pola hidup. Ada banyak cara
mengajarkan nilai, yang pertama adalah menanamkan
(inculcation), yaitu mengajarkan nilai-nilai yang diterima
dengan dukungan hukum adat; kedua adalah membangun
moral, yaitu memperjelas prinsip-prinsip moral dan etika
serta aplikasinya; ketiga ialah analisis isu dan situasi yang
melibatkan nilai; keempat adalah klarifikasi, metode
yang ditekankan Raths; dan yang kelima adalah belajar
bertindak, yaitu mencobakan dan menguji nilai-nilai
dalam situasi kehidupan nyata.
Pendekatan yang digunakan oleh Abraham Maslow dan
Carl Rogers ini bisa diuraikan sebagai evokasi, yaitu
membangkitkan nilai-nilai pribadi pembelajar dan
kemampuan membuat pilihan dan menjadi aktualisasi
diri. Walaupun penekanannya pada sikap dan perasaan
serta proses manusiawi, komponen kognitif tetap ada
dalam klarifkasi nilai.

5) Fenomenologi dalam Kurikulum


Ahli fenomenologi memandang individu dalam hubungan
dengan lapangan di mana ia beroperasi, tetapi yang

Landasan Kurikulum 63
menentukan prilaku dan belajar justru aspek psikologis.
Para ahli fenomenologi mencoba memahami apa yang terjadi
di dalam diri kita, kebutuhan, keinginan, harapan, perasaan,
nilai, dan cara kita memahami. Ide tentang kebebasan
pribadi merupakan isu penting dalam fenomenologi/
psikologi humansitik. Ide kebebasan ini merupakan intisari
dari tesis Rogers tentang belajar. Semakin sadar atau peduli
anak-anak dengan kebebasan mereka, semakin banyak
kesempatan mereka untuk menemukan dirinya sendiri
dan berkembang sebagai manusia seutuhnya. Pembuat
kurikulum harus memberikan kesempatan dan pilihan
bagi peserta didik untuk belajar tanpa mengurangi otoritas
pendidik. Idenya adalah merancang kurikulum yang
membantu pembelajar menyadari potensi maksimal mereka
dalam lingkungan belajar humanisik yang memperhatikan
prilaku dan kognitif.
Karena setiap individu memiliki kebutuhan dan minat
khusus terkait dengan pemenuhan dirinya dan realisasi
dirinya, maka tidak ada kurikulum humanistik yang
baku. Peserta didik bisa belajar melalui pengalaman,
pokok permasalahan, dan keterampilan intelektual yang
diperlukan untuk mencapai potensi penuh. Ilmu Sastra
dan Seni, khususnya Filsafat, Psikologi dan Estetika
merupakan muatan yang tepat karena meningkatkan
introspeksi, refleksi, dan kreativitas. Kurikulum yang
menekankan sikap dan perasaan juga bisa diterima.
Matematika dan Sains dianggap tidak perlu. Yang lebih
penting ialah hubungan peserta didik dengan pendidik
harus didasarkan atas kepercayaan dan kejujuran. Peserta
didik boleh memilih apa yang akan dikerjakan dan

64 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


bagaimana mengerjakan tetapi harus bertanggung jawab
atas ide dan pekerjaannya.
Dapat disimpulkan bahwa psikologi memiliki dampak
berarti pada belajar, yang merupakan komponen utama
kurikulum. Ada tiga teori psikologi yang telah dibahas pada
bab ini yaitu behaviorisme, pengembangan kognitif, dan
fenomenologi. Behaviorisme adalah teori belajar tertua
dan sekarang direpresentasikan dalam bentuk pengajaran
mikro, model latihan pembelajaran, pembelajaran
langsung, belajar penguasaan, dan lain sebagainy. Terkait
behaviorisme ada pengkondisian klasik dan pengkondisian
operant. Teori belajar pengembangan kognitif adalah
aliran kedua yang berkembang pesat dalam 20 sampai
30 tahun terakhir. Ini berkaitan dengan meningkatnya
pengaruh Piaget di antara ahli-ahli psikologi Amerika dan
meningkatnya penerimaan terhadap lingkungan sebagai
penjelasan atas pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
Teori belajar kognitif kondusif untuk menjelaskan berbagai
tingkatan berpikir manusia, termasuk berpikir konsep,
pemecahan masalah, dan kreativitas. Kebanyakan teori
belajar sekarang berorientasi ada kognisi. Fenomenologi
atau psikologi humanistik dapat dianggap teori belajar
ketiga dan paling baru. Penekanannya ada pada sikap dan
perasaan, aktualisasi diri, kebebasan untuk belajar, dan
klarifikasi nilai, sehingga tumpang tindih dengan filsafat
eksistensialisme. Masing-masing teori belajar ini tidak
lengkap, tetapi gabungan ketiganya akan bekontribusi
besar dalam menjelaskan berbagai aspek prilaku dan
proses belajar di dalam kelas dan di luar sekolah.

Landasan Kurikulum 65
6) Konsep Enkapsulasi
Berbicara masalah psikologis berarti juga berbicara
masalah enkapsulasi (keterkungkungan). Enkapsulasi
merupakan Masyarakat terkungkung yang terbagi
menjadi tiga hal a) fisik (misalnya, panca indra) mata
tidak bisa melihat fatamorgana); b) psikologis (ingatan);
dan c) adat budaya. Enkapsulasi dapat terjadi oleh dua
fakta yaitu keterbatasan fisiologis dan keterbatasan
psikologis. Kedua keterbatasan ini dikemukakan secara
rinci oleh Zais (1976).

a) Keterbatasan Fisiologis
Secara genetika dan fisiologis, manusia dibatasi
kemampuan untuk melihat dunia sekelilingnya.
Umpama, manusia hanya mampu mendengar suara
antara 20 – 20.000 saikel per detik, di luar skala ini
dia tidak mendengar apa-apa. Kemampuan melihat
hanya 1/70 dari keseluruhan panjang gelombang
cahaya. Kemampuan mencium dan mencicipi manusia
sangat jelek. Oleh karena itu manusia memandang
dunia ini seperti seperangkat indera fisiologisnya
yang diyakininya sangat akurat, padahal sebenarnya
hanya benar menurut pandangan manusia itu saja.

b) Keterbatasan Psikologis
Banyak sekali fakta-fakta psikologis yang membuat
manusia terkurung dalam kapsulnya, dalam kajian
kurikulum, kita hanya mengambil beberapa hal yang
sangat penting saja dari Zais (1976) (1) kemampuan
manusia untuk belajar dan berpikir sangat terbatas.
Umpamanya, daya ingat manusia sangat terbatas

66 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


sehingga lupa sangat cepat dari pada mengingat.
Sebagian besar orang tidak dapat mengulang 10
angka yang telah didiktekan kepada mereka; (2)
kemampuan manusia mengkonsepsikan ide-ide
yang abstrak dan mengaitkan ide-ide tersebut
sangat terbatas, seperti banyaknya orang yang
lemah memahami konsep-konsep abstrak seperti
terdapat dalam mata pelajaran Matematika, dan
kesulitan banyak orang untuk memahami metafor
yang terdapat dalam karya-karya susastera; dan (3)
banyak orang yang berpikir irasional, walau berpikir
rasional merupakan “merek”nya manusia saja, dan
tidak dimiliki oleh makluk lain.
Di samping itu peneliti, terutama Abraham Maslow
menemukan adanya motivasi yang mendorong manusia
bertingkah laku tertentu (Zais, 1976). Menurut Maslow,
fisiologis manusia membutuhkan gizi dasar seperti
protein, vitamin C, kalsium dan seterusnya. Demikian
juga memerlukan kepuasan psikologis utama untuk
dapat hidup normal. Kalau kepuasan itu tidak terpenuhi
akan menimbulkan kejiwaan atau neorosis. Kebutuhan
psikologis utama tersebut, menurut urutan potensinya,
adalah (1) rasa aman; (2) cinta & rasa memiliki; dan (3)
rasa hormat dan harga diri. Ketiga kebutuhan ini pada
dasarnya tidak disadari dan kalau tidak dipenuhi tingkah
laku manusia didominasi oleh usaha untuk memenuhinya.
Maslow menamakan tingkah laku ini tingkah laku kurang
motivasi, deficiency-motivated.
Orang yang normal merasa puas sebab terpenuhinya
kebutuhan akan rasa aman, rasa dicintai dan rasa dihargai.

Landasan Kurikulum 67
Keadaan ini membuatnya optimis dan bermotivasi untuk
berkembang (growth motivated). Orang ini yang cenderung
melihat lingkungan secara lebih objektif daripada orang
yang kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi.
Antara rentangan kedua kutub yang berlainan ini
(neurosis dan puas diri), terbentang spektrum tingkat-
tingkat kesehatan psikologis. Jumlah penderita gangguan
jiwa tidak begitu banyak di masyarakat. Jumlah orang
yang benar-benar sehat, yaitu yang puas diri, jauh lebih
sedikit. Artinya, sebagian besar manusia, menurut teori
Maslow, dengan variasi yang berbeda-beda adalah
penderita dorongan tidak disadari itu. Persepsi mereka
kurang akurat, dan kalau mereka mengambil keputusan
cenderung berdasarkan kata-kata yang kurang lengkap
atau yang tidak benar. Dengan perkataan lain, sebagian
besar manusia berada dalam enkapsulasi, disebabkan
terutama oleh kebutuhan pokok yang tidak dipenuhi,
walau kita mengakui bahwa kita baik-baik saja.
Untuk lebih memahami dinamika tingkah laku orang
menderita kekurangan motivasi dengan orang yang
tingkah laku bermotivasi, Maslow membandingkan
ciri-ciri tingkah laku manusia itu dalam 13 butir. Dalam
kaitannya dengan enkapsulasi yang di bicarakan diatas,
kita mengutip 4 butir saja dari lima butir yang dikutip Zais
(1976), sebagai berikut.

(1) Yang Tergantung Vs Yang Tidak Tergantung Pada


Lingkungan
Menurut Maslow, orang-orang yang kebutuhan
utamanya untuk memperoleh rasa aman, rasa cinta,

68 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


dan lain-lain hanya dapat dipuaskan oleh orang lain.
Artinya, dia tergantung pada lingkungannya. Dia berada
di bawah belas kasihan orang lain, yang tangannya
berada di bawah, dan oleh karena hal yang demikian,
dia selalu sensitif pada keinginan, persetujuan, dan
maksud orang lain. Keadaan ini membuat takut pada
lingkungan karena lingkungan itu dianggap mengancam
keinginannya. Keadaan seperti itu meletakkan dirinya
dalam keadaan yang tidak bebas.
Sebaliknya orang yang puas diri, atau yang kurang
enkapsulasi (less encapsulated) adalah orang yang
agak bebas dan lebih mandiri, karena dia bukan
tergantung pada orang lain, dia merasa lebih aman,
lebih tenang, kurang memerlukan pikiran dan uluran
tangan atau belas kasihan orang lain, dan tidak
mengharapkan pujian orang lain. Selain itu, dia tidak
perlu merasa dihargai, dia tidak mengharapkan
pujian orang lain, keadaan ini membuatnya lebih
bebas, berlainan dengan tingkah laku orang yang
mempengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang
tidak disadarinya. Dengan perkataan lain, tingkah
laku orang yang kekurangan motivasi dipengaruhi
kekuatan yang tidak disadarinya, sedangkan tingkah
laku orang yang percaya diri atau kurang enkapsulasi
cenderung berdasarkan realita.

(2) Orang Yang Percaya Diri Vs Yang Kurang Percaya Diri


Persepsi orang yang kurang motivasi, deficiency-
motivated person, diwarnai serta dibatasi oleh
ketergantungannya pada lingkungan. Orang
dilihatnya bukan secara global kemanusiaan, tetapi

Landasan Kurikulum 69
sebagai sumber untuk memenuhi keinginannya.
Umpamanya, dia melihat pelayan restoran sebagai
pembawa makanan, dia melihat tukang pos sebagai
pengantar surat, dia melihat administrator sebagai
pemerintah, dan memandang pendidik sebagai
pemberi nilai rapor dan nilai ujian dan bukan sebagai
pendidik. Dan dia menceritakan anaknya yang pintar
sebagai kebanggaannya, dan melihat bapaknya
sebagai penyuplai belanja dan keperluan lainnya.
Yang demikian, orang yang terlibat tidak sadar akan
realita dirinya yang memanipulasi tingkah lakunya.
Berlainan dengan itu, orang yang puas diri tidak
melihat orang lain sebagai sumber pemenuhan
kebutuhan dirinya karena dia tidak membutuhkan
apa-apa dari orang lain. Hubungan dengan orang lain
berupa hubungan objektif yaitu hubungan yang biasa
antara orang dengan orang lainnya, berdasarkan
kedudukan yang sederajat. Seorang dihargainya
karena menurutnya orang pantas dihargai, bukan
karena orang itu memberikan sesuatu yang
dibutuhkannya atau dapat mengisi kekosongan cinta
yang ada. Persepsi orang yang kurang percaya diri
makin sukar jika defisit kebutuhan makin besar.

(3) Belajar Instrumental Vs Pembentukan Personalitas


Maslow menyatakan bahwa teori belajar merupakan
ilmu pengetahuan yang terbatas dan bermanfaat
hanya untuk suatu aspek kecil kehidupan, karena
belajar didasarkan pada kekurangan motivasi yang
tujuan belajarnya berada di luar dirinya. Umpamanya,
dia belajar karena ingin memperoleh keterampilan

70 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


atau pengetahuan tertentu. Tetapi motivasi belajar
pada orang yang bermotivasi untuk berkembang dan
untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman
tentang diri sendiri hanya bagi perkembangan
kepribadiannya (Zais, 1976).
Bentuk belajar yang disebut terakhir dapat juga
disebut belajar untuk memperoleh kemauan tentang
makna keberadaan diri sendiri agar berwawasan
hidup yang lebih luas. Sedangkan belajar yang
bertujuan sebagai alat atau instrumen lebih sesuai
untuk memperoleh suatu keterampilan atau latihan
professional bagi kepentingan suatu pekerjaan. Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum
yang lebih diinginkan adalah kurikulum yang
mendorong perkembangan potensi manusia daripada
belajar sebagai alat (Zais, 1976).

(4) Persepsi orang yang kurang motivasi vs orang


yang bermotivasi untuk berkembang.
Orang yang kurang motivasi, deficiency-motivated
person, sebagai orang yang tertarik pada usaha
pemenuhan kebutuhannya, cenderung berpikir
dikotomi hitam putih, buruk jelek, dan lain-lain.
Kebutuhan yang tidak dipenuhi memaksanya untuk
mengabaikan atau menolak data yang tidak berkaitan
dengan usaha pemenuhan kebutuhan yang tidak
berhasil itu. Sebaliknya, orang bermotivasi untuk
tumbuh, growth-motivated, yang juga tidak terlalu
berusaha untuk mencapai kebutuhannya, dapat
melihat dunia secara objektif dan lebih akurat, baik
itu berupa orang atau benda. Orang ini, menurut

Landasan Kurikulum 71
Maslow, ingin dilihat sebagai individu yang utuh. Dia
tidak suka dianggap sebagai benda yang berguna
bagi suatu keperluan atau sebagai alat, karena itu, dia
tidak suka diperalat orang (Zais, 1976). Teori Maslow
dianggap memberikan kontribusi yang cukup besar
pada pemahaman kita tentang hakikat manusia.
Lebih-lebih bagi teori ini menjelaskan beberapa hal
tentang penyebab enkapsulasi.
Teori Freud yang menyangkut mekanisme kekuatan
yang tidak disadari manusia dalam mempengaruhi
pikiran dan perbuatan manusia untuk membuatnya
berada dalam enkapsulasi, adalah (Zais, 1976)
(a) rasionalisasi berarti pembenaran (justifikasi)
kepercayaan atau tingkah laku dengan alasan yang
bagus, bukan alasan yang sesungguhnya. Sikap ini
dipakai untuk mempertahankan diri. Orang secara
tidak sadar berusaha merubah tingkah lakunya
dengan alasan yang sebenarnya; (b) proyeksi adalah
usaha untuk melindungi suatu perasaaan atau untuk
menghindarkan kegagalan yang tidak menyenangkan
dengan jalan memindahkan kesalahan atau
kelemahan sendiri pada orang lain. Dia pada dasarnya
menipu diri sendiri, dan karena itu, mengabaikan
kemungkinan untuk perbaikan diri, proses ini tidak
lebih dari sekadar elaborasi pelarian psikologis
akibat yang tidak menyenangkan; (c) Displacement
merupakan mekanisme bela diri untuk menyalurkan
perasaan tidak enak yang diarahkan pada orang lain
sebagai substansi. Umpama, seorang yang kesal, pada
dasarnya, mengalihkan kekesalannya pada istri atau

72 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


anaknya sendiri; dan (d) represi merupakan cara
untuk menghindari konflik yang menyulitkan diri,
penolakan terhadap pengalaman yang tidak enak
atau usaha untuk melupakan kejadian yang sedih
atau menyakitkan hati di masa lampau.
Itulah beberapa mekanisme yang tidak disadari
manusia. Secara sepintas diharapkan dapat
memberikan gambaran begaimana mekanisme
tersebut mempengaruhi persepsi manusia,
memberikan kontribusi yang cukup berarti pada
konsep enkapsulasi.

(5) Hakikat Manusia


Setelah dipahami bahwa manusia pada dasarnya
berada dalam kapsulnya (enkapsulasi) baik yang
bersifat budaya, fisiologis, maupun psikologis
sekarang dapat kita melihat secara lebih umum
hakekat manusia itu sendiri. Zais (1976) melihat
manusia sebagai hewan yang menciptakan makna,
dan manusia sebagai organisme yang netral.

D. Bagaimana Landasan Sosiologis Kurikulum?


Landasan sosiologis terkait dengan kenyataan bahwa perta
didik dikembangkan potensinya melalui proses pembelajaran di
sekolah yang berguna bagi kehidupannya bersama orang lain di
masyarakat. Landasan sosoilogis menyangkut kekuatan-kekuatan
sosial di masyarakat. Kekuatan-kekuatan itu berkembang dan
selalu beruabah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman
dapat berupa kekuatan nyata maupun yang potensial yang
berpengaruh dalam perkembangan kebudayaan seirama dengan

Landasan Kurikulum 73
dinamika masyarakat. Sekolah didirikan untuk mengembangkan
kebudayaan masyarakat. Bentuk pendidikan yang perlu
diberikan pada peserta didik menentukan masyarakat sekarang
dan masa depan. Penerusan kebudayaan pada anak-anak
sebagai generasi penerus merupakan tujuan utama pendidikan.
Kurikulum harus mereflesikan kebudayaan masyarakat dan ikut
mengembangkan individu peserta didik, sehingga peserta didik
akan memajukan masyarakat. Kurikulum bukan berisi berbagai
nilai suatu masyarakat akan tetapi bermuatan segala sesuatu yang
dibutuhkan masyarakatnya. Kurikulum sebagai pedoman dalam
proses pendidikan harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan
masyarakat.
Yang perlu dikembangkan pada struktur masyarakat itu ada
3 yaitu 1) universal (umum); 2) spesial; 3) alternative. Fungsi
sekolah adalah bagaimana membuka keterkungkungan itu supaya
bisa membuka cakrawala untuk berkembang. Sumber perubahan
itu antara lain 1) masyarakatnya; 2) sekolah; dan 3) IPTEK.
Sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar mereka
dapat berperan aktif di masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum
sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di sekolah
harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

1. Kekuatan Sosial yang Dapat Mempengaruhi Kurikulum


Masyarakat tidak bersifat statis. Seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat selalu mengalami
perubahan, bergerak menuju perkembangan yang semakin
kompleks. Dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks
tersebut, maka muncul pula berbagai kekuatan kelompok yang
dapat memberikan tekanan terhadap penyelenggaraan dan
praktik pendidikan termasuk di dalamnya tekanan-tekanan dalam

74 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


proses pengembangan isi kurikulum sebagai alat dan pedoman
penyelenggaraan pendidikan.

2. Kemajuan IPTEK sebagai Bahan Pertimbangan


Penyusunan Kurikulum
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil
kemampuan berpikir manusia telah membawa umat manusia pada
masa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Terciptanya
produk-produk teknologi semacam teknologi transportasi,
misalnya bukan menyebabkan manusia bisa menjelajahi seluruh
pelosok dunia, akan tetapi manusia mampu menjelajahi ruang
angkasa sebuah tempat yang dahulu dibayangkan sebagai tempat
bersemayamnya para dewa. Namun demikian, segala kemajuan
yang telah mampu diraih oleh umat manusia itu, bukan tanpa
masalah. Pada kenyataannya terdapat berbagai efek negative yang
justru sangat mencemaskan manusia itu sendiri. Diproduksinya
alat-alat transportasi, menyebabkan permasalahan kemacetan dan
kecelakaan lalu lintas, yang setiap hari merenggut jiwa manusia.
Munculnya permasalahan-permasalahan baru ini menyebabkan
kompleksitas tugas-tugas pendidikan yang diemban sekolah. Tugas
sekolah menjadi semakin berat, dan kadang-kadang tidak mampu
lagi melaksanakan semua tuntutan masyarakat. Sekolah bukan hanya
bertugas menanamkan dan mewariskan ilmu pengetahuan, akan
tetapi juga harus memberi keterampilan tertentu serta menanamkan
budi pekerti dan nilai-nilai.
Pentingnya kebudayaan di dalam mempelajari kurikulum
harus dilanjutkan dengan konsistensi dalam penyusunan
kurikulum tersebut. Pertanyaan yang paling sering dikemukakan
tentang kurikulum adalah "apakah kurikulum itu dirancang
terutama untuk mentransfer kebudayaan kepada generasi muda

Landasan Kurikulum 75
ataukah untuk mendorong perkembangan individu mereka?"
Jadi sangat jelas ada hubungan kurikulum dengan kebudayaan
sehingga dapat dikatakan bahwa "kajian tentang kurikulum pada
dasamya adalah kajian tentang masyarakat dan kebudayaan".

3. Perbedaaan Masyarakat Dan Kebudayaan


Masyarakat merupakan kumpulan individu yang mengatur
dirinya sendiri ke dalam satu kelompok yang berbeda-beda
(distinct group). Untuk menjadi sebuah masyarakat, bagaimanapun
sebuah kelompok yang saling berbeda yang tidak hanya terdiri dari
kumpulan individu, tetapi semua anggotanya harus menyesuaikan
dirinya sebagai “kelompok yang mempunyai persamaan-
persamaan (having things in common) yang memungkinkan
mereka untuk merasa saling memiliki, dan "Kesamaan-kesamaan"
inilah yang pada akhirnya membentuk kebudayaan.
Kebudayaan adalah sejenis perekat sosial (social cement) yang
terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang khas seperti prinsip, cita-cita,
tingkah laku, kepercayaan dan cara berfikir. Jadi, jelas perbedaan
antara masyarakat dan kebudayaan. "Tanpa budaya tidak ada
masyarakat, tanpa masyarakat tidak mungkin ada budaya".

4. Kompleksitas dalam "Konsep Kebudayaan"


Konsep kebudayaan sangat komplek seperti halnya konsep
demokrasi, moral dan cinta yang mempunyai beragam makna.
Walaupun begitu secara umum kebudayaan dapat didefinisikan
sebagai tata cara hidup yang diterima dan diakui pada suatu
masyarakat, yang mencakup berbagai aspek-aspek kehidupan
yang mudah terlihat seperti barang-barang produksi, organisasi
politik dan organisasi sosial, mata pencaharian, bentuk-bentuk

76 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


pakaian, makanan, permainan, musik, tradisi pemeliharaan anak,
upacara keagamaan dan acara kenegaraan lainnya.
Namun faktor-faktor yang kelihatan seperti di atas, hanyalah
merupakan puncak kecil dari sebuah gunung es kebudayaan.
Bahagian yang sangat menentukan dari aspek -aspek kebudayaan
yang tidak kelihatan tersebut terdiri dari jalinan ide-ide, prinsip,
kepercayaan, nilai, asumsi, dan cara berfikir yang dianut oleh
masyarakat tersebut. Aspek kebudayaan yang tersembunyi inilah
yang disebut Psychology of society (Psikologi masyarakat). Aspek-
aspek yang tidak disadari ini sangat mempunyai bias pengaruh
(Unconscious Culturally Induced Bias) yang dominan terhadap
tingkah laku dan perangai suatu masyarakat serta pandangan
hidup mereka. Pengaruh bias ini sebenarnya bukan baru dikenal,
dan akhir-akhir ini makin terbukti mempunyai pengaruh yang
dominan terhadap tingkah laku individu.
Kebudayaan bukan hanya sekedar merupakan kumpulan
institusi adat dan kepercayaan. Dalam makna yang lebih nyata
ia terdiri dari bagian-bagian penting dari lingkungan individu
yang membatasi perilakunya. Sementara, perbedaan-perbedaan
terhadap kepercayaan dan adanya pertentangan-pertentangan
cenderung menghasilkan multi sub kelompok di dalam suatu
masyarakat budaya yang dominan berfungsi untuk memelihara
tatanan sosial dengan membuka kemungkinan bagi pengembangan
perilaku individu.
Dapat dikatakan kebudayaan mempunyai kekuatan kontrol
yang tidak kelihatan dan jelas lebih dari sekadar merupakan
kumpulan lembaga, adat, dan kepercayaan. Di dalam arti yang
nyata, budaya merupakan bagian lingkungan individual yang
mempengaruhi dan membatasi perilaku masyarakat. Budaya
yang dominan berfungsi untuk memelihara tatanan sosial

Landasan Kurikulum 77
dengan memperluas kemungkinan bagi perkembangan perilaku
individual. Oleh karena itu rancangan kurikulum yang paling baik
adalah yang paling mengerti kekomplekan pemikiran-pemikiran
dalam suatu kebudayaan.

5. Struktur Budaya
Linton mengklasilikasikan elemen budaya menjadi 3 katagori
utama yaitu yang bersifat universal, khusus, dan alternatif. Struktur
kebudayaan universal adalah semua nilai-nilai kepercayaan dan
adat istiadat yang dianut oleh semua anggota masyarakat dewasa.
Misalnya beberapa macam kebiasaan pada daerah tertentu,
tentang penggunaan bahasa, jenis makanan, kepercayaan dan
system ekonomi yang dipakai. Tentu saja beberapa variasi akan
timbul dan pada hal-hal tertentu mungkin dapat menimbulkan
sanksi bagi hal-hal yang dianggap tabu. Kadang-kadang sanksi
ini bisa menjadi brutal atas penyimpangan yang dilakukan pada
elemen universal.
Struktur kebudayaan khusus mencakup aspek-aspek
kebudayaan yang ditemukan hanya pada subkelompok dari sebuah
masyarakat. Subkelompok masyarakat ini berkaitan dengan
lingkungan kerja anggota masyarakat, nilai-nilai yang dianutnya,
adat istiadat, agama atau kepercayaan tertentu yang berbeda
dengan tingkah laku, nilai, makanan, agama dari orang-orang
dari kelompok etnik yang berbeda. Klasifikasi aspek kebudayaan
khusus ini dapat juga berkaitan dengan tingkat kelas sosial (tinggi,
menengah, rendah) atau jenis kelamin (pria dan wanita) atau
umur (anak, pemuda dewasa dan lainnya). Tentu saja bisa terjadi
cara berpikir, tingkah laku, nilai-nilai tertentu overlap dengan cara
berpikir, tingkah laku atau nilai dari subgroup lainnya.

78 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Struktur kebudayaan alternatif adalah aspek kepercayaan
dan tingkah laku masyarakat tertentu yang berlainan atau bahkan
bertentangan dengan norma-norma umum yang berlaku di
masyarakat yaitu yang universal dan khusus. Hal ini timbul dalam
usaha mencoba mengisi kebutuhan, memecahkan masalah atau
penyesuaian dari kenyataan yang ada. Jadi, elemen alternatif ini
adalah bahwa ia berbeda dari universal dan khusus, karena elemen
alternatif ini menawarkan pada anggotanya suatu pilihan baru
(New Morality). Elemen kebudayaan ini mempunyai persamaan
dengan elemen khusus karena elemen-elemen itu berbeda dengan
universal. Misalnya ditemukan bahasa-bahasa khusus diantara
anak muda.
Pada dasarnya kurikulum disusun dan dikembangkan untuk
mengintervensi kehidupan anak sedemikian rupa agar mereka
menjadi "seseorang" yang tanpa kurikulum tidak menjadi orang
yang diinginkan. Demi maksud tersebut terasa penting bagi
perancang kurikulum untuk memahami benar kebudayaan
universal dan khusus dan membandingkannya dengan segala
bentuk kebudayaan alternatif.
Sering ditemui saat ini adalah kurikulum disusun serta
diimplementasikan untuk mentrasfer nilai-nilai kebudayaan yang
ada seefisien mungkin kepada anak didik tanpa mengevaluasi
apakah nilai tersebut relevan dengan masa kini dan masa
depan yang berubah cepat. Praktik seperti ini pada hakikatnya
tidak berbeda dengan indoktrinasi. Sedangkan untuk mendidik
diperlukan kurikulum yang membuka lebar-lebar kesempatan
untuk mengkaji, serta mengevaluasi aspek-aspek kebudayaan
yang universal dan yang khusus dalam kaitannya dengan aspek-
aspek kebudayaan alternatif yang diinginkan bagi pertumbuhan
anak didik itu sendiri.

Landasan Kurikulum 79
6. Kebudayaan dan Nilai
Seperti kita ketahui bahwa kebudayaan menentukan
pandangan, tata cara hidup dan tingkah laku masyarakat, yang
merupakan tata cara hidup yang lebih dapat diterima dan lebih
baik dari tata cara hidup lain. Oleh karena itu, kita dapat melihat
kebudayaan sebagai sesuatu yang penuh muatan nilai. la membuat
masyarakat dapat menentukan perbuatan yang baik dan yang
buruk, yang indah dan yang jelek, yang boleh dilakukan dan yang
tidak boleh dilakukan.
Seperti juga konsep kebudayaan maka nilai adalah konsep
yang juga rumit. Kesulitan terbesar terletak pada area penafsiran
yang akurat terhadap nilai yang dianut oleh individu maupun
masyarakat sebagaimana yang dipertanyakan oleh Van Cleve
Morris, bagaimana menentukan nilai-nilai yang dianut oleh
seseorang dengan kenyataan nilai-nilai yang dilaksanakannya.
Salah satu jawaban yang ditawarkan oleh Charles Morris dengan
membedakan antara conceived values (nilai yang dipikir orang,
yang mereka percayai) dengan operative values (nilai-nilai yang
tersirat dari perilaku mereka). Umumnya pada masyarakat akan
ditemui discrepancy antara apa yang dinilaikan dengan apa yang
dilaksanakan (action speaks louder than words).
Beberapa keputusan perihal kurikulum harus
mempertimbangkan setting sosial, khususnya hubungan antar
sekolah dan masyarakat serta pengaruhnya terhadap keputusan-
keputusan kurikulum tersebut. Kecerdasan sosial perlu bagi
perancang dan pengembang kurikulum dewasa ini. Sesungguhnya
para pembuat kurikulum perlu mempertimbangkan dan
menggunakan pondasi sosial guna merencanakan dan
mengembangkan kurikulum. Dalam banyak teks kurikulum,
pertimbangan terhadap dasar sosial sering mengarah pada

80 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


diskusi antara sekolah dan masyarakat, dan diskusi antar individu,
implikasi-implikasi sosial dari ilmu dan perubahan, serta tujuan
pendidikan, sebagai contoh hal-hal seperti isu yang berkaitan
dengan pendidikan kompensasi, pendidikan bilingual dan
multilingual, pendidikan sex, pendidikan orang cacat, pendidikan
global dan pemahamannya terhadap masa depan.

7. Masyarakat, Pendidikan, dan Sekolah


Pendidikan sifatnya netral. Bisa digunakan untuk tujuan yang
konstruktif atau dekonstruktif, untuk promosi suatu gagasan,
institusi politik, aliran atau yang lainnya. Jenis pendidikan
yang diterima generasi muda (millenial) menentukan kualitas
masyarakat. Transmisi budaya adalah tugas utama dari sistem
pendidikan suatu masyarakat. Nilai, kepercayaan dan norma-
norma dari sebuah masyarakat dipelihara dan dilanjutkan pada
generasi berikutnya bukan hanya dengan mengajarkannya,
tetapi juga dengan mengutarakannya dalam suatu operasi sistem
pendidikan.
Menurut Dewey (1962), pendidikan adalah alat mengekalkan
dan meningkatkan masyarakat dengan pengalaman-pengalaman
peserta didik. Hal ini menjadi tanggung jawab yang mendasar
dari para pendidik guna menyadari prinsip umum, mempertajam
pengalaman-pengalaman aktual, dan untuk memahami lingkungan-
lingkungan kondusif agar bisa mendapatkan pengalaman-
pengalaman menuju pertumbuhan. Menurut Dewey (1962),
pengalaman mestilah diprogramkan dengan tepat, karena ia akan
mempengaruhi formasi tingkah laku atau sikap yang diharapkan.
Ini juga berlaku bagi pendidik, khususnya mereka yang memegang
mata kuliah, untuk mengisi kegiatan (atau apa yang disebut Dewey
dengan pengalaman-pengalaman) yang membantu pertumbuhan

Landasan Kurikulum 81
sosial dan pribadi seseorang dan peningkatan kualitas masyarakat,
atau sebaliknya (atau apa yang Dewey sebut dengan kesalahan
pendidikan).
Kebanyakan kita menganggap pendidikan sama dengan
sekolah. Sesungguhnya, walaupun sebuah masyarakat tidak punya
sekolah-sekolah formal, sebenarnya mereka masih mendidik
generasi mudanya melalui keluarga atau ritual khusus dan
latihan-latihan. Sekolah memainkan peranan yang besar dalam
pendidikan pada industri modern (masyarakat). Sekolah menjadi
lebih penting dan menentukan masyarakatnya mau jadi apa,
menjadi lebih komplek dan menjadi gambaran perkembangan
ilmu pengetahuan.
Sederhananya, pada masyarakat non-teknologi, hampir setiap
orang menjadi ahli, melebihi gugusan dari ilmu pengetahuan
yang diperlukan agar bertahan hidup. Dalam masyarakat
teknologi (Revolusi Industri 4.0) orang memperoleh keahlian
dan kemampuan yang berbeda. Tidak seorangpun bisa mencapai
semua kemampuan dari segenap ilmu pengetahuan atau berharap
menjadi ahli pada semua bidang. Dalam masyarakat tradisional
yang buta huruf, pendidikan berlangsung lewat upacara-
upacara, ritual-ritual, cerita-cerita, pengamatan dan usaha-usaha
meningkatkan kapabilitas anak yang terdahulu atau yang lebih
tua, dengan pemaksaan kehendak lewat aturan tingkah laku atau
tindak tanduk.
Pada masyarakat modern dan teknologi era Revolusi Industri
4.0, proses pendidikan mulai dari rumah tetapi sekolah memegang
peranan yang lebih besar dalam memdidik anak-anak menjadi
lebih dewasa dengan skill complex problem solving. Sekolah adalah
institusi yang vital untuk membantu generasi muda memperoleh
ilmu pengetahuan yang sistematis, mempersiapkan mereka

82 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


dengan tingkah laku dan nilai-nilai yang benar, meneruskannya
dari generasi ke generasi. Dalam masyarakat kontemporer media
masa juga memainkan peranan yang penting dalam proses ilmu
pengetahuan dan dalam mendefenisikan kembali nilai-nilai dan
ide-ide. Akan tetapi fungsi sekolah adalah melayani masyarakat
melalui pendidikan anak-anak dan generasi mudanya. Pembuat
kurikulum, yang membantu menentukan isi, aktifitas dan
lingkungan pendidikan, memainkan peranan yang besar dalam
mengasah dan mensosialisasikan peserta didik secara tidak
langsung.

8. Masyarakat dan Pembentukan Kepribadian


Ketika para ahli ilmu sosial berbicara tentang pembentukan
kepribadian, mereka tidak bermaksud bahwa semua anggota dari
suatu masyarakat tertentu persis seperti apa yang terlihat. Seperti
yang ditulis oleh Ruth Benedict, tidak ada kebudayaan yang
diamatinya mampu membasmi perbedaan atau mengubahnya.
Bagaimanapun, angota-anggota masyarakat punya banyak
kelakuan yang hampir sama, mereka dijejali jadwal-jadwal, dilatih
dengan cara tertentu, dididik dengan gaya yang sama, menikahi
satu atau beberapa orang, berpenghidupan sebagai buruh,
dihadapkan pada tuntutan perekonomian, umumnya percaya
pada satu Tuhan atau pada banyak dewa.
Mereka berbagi pengalaman menghadapi tabiat individu-
individu, sehingga akhirnya individu-individu itu bertingkah laku
dengan cara-cara yang sama. Menurut Benedict, norma-norma
masyarakat mengatur hubungan interpersonal dan menghasilkan
suatu pembentukan kepribadian yaitu, tingkah laku-tingkah laku,
perasaan-perasaan, dan pola-pola kelakuan kebanyakan anggota
masyarakat. Kebanyakan orang-orang lain di dunia ini menyalahkan

Landasan Kurikulum 83
kemiskinan, nasib, atau pemerintah terhadap kegagalan. Namun,
orang-orang cendrung untuk tidak menyalahkan diri mereka
sendiri.
Para orang tua biasanya menyuruh anak-anak mereka untuk
meneruskan tradisi-tradisi keluarga, meneruskan perusahaan,
perkebunan, peternakan atau semacamnya. Generasi pertama
dan kedua para orang tua menginginkan anak-anak mereka
untuk meninggalkan rumah demi kehidupan yang lebih baik.
Orang-orang cenderung untuk mengevaluasi diri mereka sendiri
seberapa tinggi yang mereka peroleh dibanding bapak mereka dan
bagaimana mereka membandingkan dengan teman-teman dan
tetangga mereka. Orang-orang merasa mereka tidak meraih yang
sesungguhnya, pendakian belum berakhir.

84 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Bab III
KOMPONEN KURIKULUM

A. Apa Saja Komponen Kurikulum?


Kurikulum sebagai suatu rancangan dalam pendidikan
memiliki posisi yang strategis, karena seluruh kegiatan
pendidikan bermuara kepada kurikulum. Begitu penting
kurikulum sebagaimana sentra kegiatan pendidikan, maka di
dalam penyusunannya memerlukan komponen. Dalam komponen
kurikulum ada hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan,
yaitu 1) tujuan yang ingin dicapai; 2) pengalaman belajar yang
disiapkan untuk mencapai tujuan; 3) organisasi pembelajaran; dan
4) evaluasi apakah tujuan yang ditetapkan tercapai (Tyler, 1949).

B. Apa Tujuan Kurikulum dan Konten?


Tujuan itu penting ditetapkan, ada yang ingin dicapai dan tidak
diinginkan. Tujuan kurikulum pada hakikatnya adalah tujuan dari
setiap program pendidikan yang akan diberikan pada anak didik
dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional
dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003. Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan
pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam
tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai
dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan
tertentu. Tiga komponen dalam tujuan pendidikan antara lain
sebagai berikut.
1. Aims: Tujuan pendidikan (tujuan pendidikan nasional/filsafat)
2. Goal: Tujuan Institutional (kelembaga atau kemata pelajaran)
3. Objective: Tujuan Instruksional (Pembelajaran, silabus dan RPP)

Tujuan pendidikan nasional seperti yang termuat dalam UU


RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendidikan merupakan usaha mewujudkan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
Tujuan Institusional (Kompetensi Lulusan) adalah tujuan yang
yang harus dicapai oleh suatu lembaga pendidikan, contohnya
SD, SMP, SMA, Pendidikan Tinggi. Tujuan pendidikan institusional
tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler.
Tujuan kurikuler (Standar Kompetensi) adalah tujuan bidang studi
atau mata pelajaran sehingga mencapai hakikat keilmuan yang ada
di dalamnya atau tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap
mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan
pendidikan.
Tujuan instruksional (Kompetensi Dasar) dirumuskan sebagai
kemampuan-kemampuan yang diharapkan dimiliki anak didik
setelah mereka menyelesaikan proses belajar mengajar. Ada tujuan
instruksional umum yaitu kemampuan yang sifatnya lebih luas
dan mendalam dan tujuan instruksional khusus yaitu kemampuan
lebih terbatas dan harus dapat diukur pada saat berlangsunganya
proses belajar mengajar. Tiga hal tujuan pendidikan yang harus
dikandungnya 1) autonomy yaitu memberikan kesadaran,
pengetahuan dan kemampuan kepada individu atau kelompok
untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan
masyarakat; 2) equity yaitu memberikan kesempatan untuk

86 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi; dan 3) survival
yaitu memberikan pemahaman akan saling ketergantungan antara
manusia.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa
tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah
dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan yaitu 1)
tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan
untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut; 2)
tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk
hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut; dan 3) tujuan
pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan
untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai
dengan kejuruannya.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh tujuan kurikuler
yang berkaitan dengan pembelajaran ekonomi, sebagaimana
diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007 tentang
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar 1) tujuan Mata
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS yaitu mengenal
konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dan lingkungannya, memiliki kemampuan dasar untuk berpikir
logis dan kritis, rasa ingin tahu, inquiry, memecahkan masalah,
dan keterampilan dalam kehidupan social, memiliki komitmen dan
kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, dan memiliki
kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global; 2)
tujuan Mata Pelajaran Ekonomi di SMA yaitu memahami sejumlah
konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah

Komponen Kurikulum 87
ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi
dilingkungan individu, rumah tangga, masyarakat, dan Negara,
menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi
yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi, membentuk sikap
bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan memiliki pengetahuan
dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen, dan akuntansi yang
bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat, dan Negara,
dan membuat keputusan yang bertanggungjawab mengenai nilai-
nilai sosial ekonomi dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam
skala nasional maupun internasional; 3) tujuan Mata Pelajaran
Kewirausahaan pada SMK/MAK yaitu memahami dunia usaha
dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan
masyarakat, berwirausaha dalam bidangnya, menerapkan perilaku
kerja prestatif dalam kehidupannya, dan mengaktualisasikan
sikap dan perilaku wirausaha; dan 4) tujuan Mata Pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial di SMK/MAK yaitu memahami konsep-konsep
yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya,
berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan
keterampilan dalam kehidupan sosial, berkomitmen terhadap nilai-
nilai sosial dan kemanusiaan, dan berkomunikasi, bekerjasama dan
berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal,
nasional, dan global.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional
sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak
dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan
dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang
lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran dari setiap mata pelajaran. Pada tingkat operasional
ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan

88 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


lebih menggambarkan tentang “what will the student be able
to do as result of the teaching that he was unable to do before”
(Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan
tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku
spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses
pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan
perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif
dan psikomotor. Lebih jauh lagi, Sukmadinata (1997) memberikan
gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan
pembelajaran, yaitu 1) menggambarkan apa yang diharapkan
dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan a) menggunakan
kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati;
b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta
didik; dan c) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber
yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat
diajak bekerja sama; 2) menunjukkan perilaku yang diharapkan
dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk a) ketepatan atau
ketelitian respons; b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi
respons; dan 3) menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan
yang menunjang perilaku peserta didik berupa a) kondisi atau
lingkungan fisik; dan b) kondisi atau lingkungan psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang
sangat penting. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran
pada tingkat operasional ini akan menentukan tujuan pendidikan
pada tingkat berikutnya. Terlepas dari rangkaian tujuan di atas
bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan
filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan
menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme,
eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan
kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan

Komponen Kurikulum 89
materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan
aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat
progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan
lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri
peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan
aspek afektif. Pengembangan kurikulum dengan menggunakan
filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan
pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah
sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama. Sementara
kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar
filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka
tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan
pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh
dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-
tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori
pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan
konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan
kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan
model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan
memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga
dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara
berimbang. Zais (1976) menyebutkan anak itu didik bukan jadi
ilmuan tetapi menjadi warga yang baik.

C. Apa Permasalahan Ends dan Means?


Means merupakan bagaimana caranya kita sampai pada
sasaran yang hendak dituju, contoh tujuan instruksionalnya

90 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


adalah peserta didik dapat menulis secara masuk akal dan dapat
mengorganisir paragraf dengan baik, maka (means) dalam
kurikulum harus mengandung unsur materi cara menulis yang
baik dan aktivitas belajar yang dipakai untuk mencapai cara
menulis yang baik tersebut, sehingga semua sasaran akhir dapat
diperoleh peserta didik.
Menurut Dewey (1962) bahwa ends bukanlah akhir dari
segala kegiatan yang dituju tetapi berhenti pada sasaran tertentu
untuk sampai pada tujuan yang lebih besar yang hendak dicapai.
Konsep Dewey ini (ends dan means) pada mulanya adalah dari
asumsi filsafat Aristotles dan budaya Eropa Barat, di mana ends
merupakan kegiatan yang dilakukan manusia sampai pada batas
tertentu untuk mengambil suatu kesimpulan yang idealis sehingga
harus terlihat konsep bahagia, percaya diri, jujur dan berperilaku
baik. Inilah konsep ends yang baik untuk dituju sebagai sasaran
pendidikan yang akan dilakukan oleh peserta didik.
Menurut Dewey (1962) ends merupakan tindakan yang
memiliki konsekuensi yang timbal balik dari kegiatan pendidikan
yang dilakukan, sehingga dapat meramalkan atau memberikan
makna untuk masa yang akan datang. Dapat kita lihat bahwa Dewey
menganggap bahwa ends dan means merupakan dikotomi palsu
yang mengarah kepada realita yang merupakan kejadian yang
terus menerus mengarah kepada tindakan sebab akibat. Ends dan
Means merupakan dua cara untuk mencapai sasaran yang hendak
dituju kepada aktualisasi. Pandangan Dewey ini memberikan
sedikit analisis dan dia menjelskan juga bahwa manusia merespon
semua kegiatan yang mengarah kepada ralita.
Pemberian makna dan mengarah kepada aktivitas manusia
merupakan jawaban sementara dari manusia yang konsekuensi
sesuai dengan tindakan yang dilakukannya konsekuensi sementara

Komponen Kurikulum 91
inilah yang disebut dengan ends. Jika ends dan mean merupakan
dua cara yang mudah mengarah dan menghubungi kepada
kejadian-kejadian yang sama dikaitkan dengan sebab akibat, maka
ends dan means memungkinkan keluar dari pembicaraan tentang
logika, yang pada dasarnya memerlukan pertimbangan yang lain.
Pendidikan penuh makna merupakan pendidikan yang
difokuskan pada outcame yang biasanya diekspresikan dalam
beberapa level yang berbeda. Level yang paling umum dapat
direfleksikan dalam pernyataan tujuan, yang paling spesifik
dimuat dalam pernyataan sasaran. Tetapi, bagaimanapun
spesifiknya, pendidik menggunakan pernyataan ini untuk
meningkatkan perkembangan, impelementasi, pemeliharaan
dan evaluasi program pendidikan. Pernyataan seperti aim, goals
dan objective tidaklah diciptakan dalam sebuah kehampaan.
Formulasinya menggambarkan bagaimana pekerjaan pendidik
dalam melaksanakan tugas-tugas yang banyak dipengaruhi oleh
filosifi yang mereka yakini.

D. Apa itu Konten?


Konten merupakan bagian terpenting dari sebuah kurikulum
setelah tujuan kurikulum, karena di dalam konten ini mencakup
materi apa yang akan diajarkan kepada anak didik. Dalam menentukan
materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan
teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di
atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik
(perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi
pembelajaran menjadi hal yang utama.
Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan
sistematis, dalam bentuk 1) teori yaitu seperangkat konstruk atau

92 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang
menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan spesifikasi
hubungan-hubungan antara variabel-variabel dengan maksud
menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut; 2) konsep yaitu
suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-
kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau
gejala; 3) generalisasi yaitu kesimpulan umum berdasarkan hal-hal
yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian
dalam penelitian; 4) prinsip yaitu ide utama, pola skema yang ada
dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa
konsep; 5) prosedur yaitu seri langkah-langkah yang berurutan
dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik; 6)
fakta yaitu sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap
penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian;
7) istilah yaitu kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus
yang diperkenalkan dalam materi; 8) contoh/ilustrasi yaitu hal
atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu
uraian atau pendapat; 9) definisi yaitu penjelasan tentang makna
atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya; dan
10 preposisi yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi
pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat
progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat,
dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran
harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik
itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat
konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian
rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat
dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang
ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang

Komponen Kurikulum 93
berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari
disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil
hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu
kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas
dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih
kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat
dari filsafat yang melandasi pengembangam kurikulum terdapat
perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran. Namun
dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi
pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu.
Maka dalam praktiknya cenderung digunakan secara eklektik
dan fleksibel. Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki
wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai
dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak
dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam praktiknya untuk
menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan 1) Sahih
dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-
benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu,
juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak
ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman
ke depan; 2) tingkat kepentingan, materi yang dipilih benar-benar
diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut
penting untuk dipelajari; 3) kebermaknaan yaitu materi yang dipilih
dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis.
Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan
keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang
pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat
mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam

94 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


kehidupan sehari-hari; 4) layak dipelajari yaitu materi memungkinkan
untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu
mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap
pemanfaatan materi dan kondisi setempat; 5) menarik minat yaitu
materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi
peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa
ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan
sendiri kemampuan mereka.
Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi,
Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan
materi pembelajaran, yaitu 1) sekuens kronologis, susunan materi
pembelajaran yang mengandung urutan waktu; 2) sekuens kausal
yaitu susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan
sebab-akibat; 3) sekuens structural yaitu susunan materi
pembelajaran yang mengandung struktur materi; 4) sekuens
logis dan psikologis, sekuensi logis merupakan susunan materi
pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari
yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens
psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan
dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis
materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke
teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah
mengapa; 5) sekuens spiral yaitu susunan materi pembelajaran
yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer dan
sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas
dengan bahan yang lebih kompleks; 6) Sekuens rangkaian ke
belakang, dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah
akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang
bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut (a) pembatasan
masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data;

Komponen Kurikulum 95
(d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes; dalam
mengajarnya, pendidik memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan
peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e).
Pada kasempatan lain pendidik menyajikan data tentang masalah
lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk
mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya; 7) Sekuens
berdasarkan hierarki belajar yaitu prosedur pembelajaran dimulai
menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari
suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan
atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan
urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik,
berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.
Konsep Konten menurut Zais (1976) mencakup tiga komponen
utama, yaitu ilmu pengetahuan, proses, dan nilai-nilai. Proses konten
mengajarkan proses apa yang belum diketahui. Nilai-nilai adalah
mengandung bidang studi yang akan dipelajari. Terdapat enam
kriteria yang biasa dipakai dalam penetapan konten 1) signifikansi
dipakai untuk menetapkan bagian apa dari suatu bidang ilmu yang
perlu dimasukkan atau ditekankan, misalnya konsep-konsep dan
prinsip-prinsip dasar dalam setiap disiplin ilmu perlu diutamakan;
2) kebutuhan social, sekolah didirikan antara lain untuk memenuhi
kebutuhan sosial anak-anak agar mereka memiliki kemampuan
untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosial dan meningkatkan nilai-
nilai masyarakat; 3) kegunaan, diharapkan materi kurikulum
yang dipilih dapat bermanfaat bagi pelajar atau peserta didik itu
sendiri, sekolah dan masyarakat; 4) minat, materi yang didasarkan
pemilihannya pada minat peserta didik merupakan salah satu usaha
untuk membuat kurikulum lebih relevan dengan peserta didik; 5)
perkembangan manusia, yaitu perkembangan setiap individu anak
dan juga perkembangan anak secara keseluruhan dalam kehidupan

96 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


bermasyarakat; dan 6) struktur disiplin ilmu, sasaran utama materi
berorientasi disiplin ilmu adalah agar tamatan sekolah dapat menjadi
ilmuwan, peneliti, produsen ilmu pengetahuan, bukan sebagai
konsumen ilmu pengetahuan saja.
Implikasi konten terhadapan kurikulum antara lain materi
kurikulum dapat mencakup tiga hal pokok, yaitu ilmu pengetahuan,
proses, dan nilai-nilai. Masing-masing kajian dari ketiga pokok
tersebut masih dapat diperinci lagi sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai sekolah, yang lulusannya juga akan terdiri dari
tiga kelompok pula, yaitu yang akan meneruskan ke pendidikan
tinggi, yang akan masuk angkatan kerja dan meneruskan sekolah
kejuruan tingkat atas. Selanjutnya terdapat tiga orientasi materi
kurikulum yaitu materi dengan tekanan lebih besar pada mata
pelajaran, kegiatan belajar, dan pengalaman belajar. Yang sering
didapati dalam implementasi kurikulum adalah pilihan materi
ditetapkan kuarang mengacu kepada tujuan pendidikan atau
tujuan instruksional yang ingin dicapai kurikulum tersebut.
Kemudian kriteria penetapan kurikulum apapun yang akan
dipakai memerlukan kajian empiris di lapangan. Maksudnya ialah
perlu terlebih dahulu dikaji kualitas lulusan yang bagaimana yang
diharapkan sekolah. Kalau ini sudah ditetapkan, kajian empiris
tentang materi kurikulum dapat pula dilakukan. Implikasi lebih
jauh dari kriteria-kriteria pengembangan manusia tersebut saat
ini adalah perlunya sekolah mengenal dan memahami anak didik
sebanyak mungkin sebelum konten kurikulum ditetapkan.

E. Bagaimana Merancang Kegiatan Belajar?


Kegiatan belajar adalah memberi kesempatan belajar kepada
peserta didik untuk mempelajarinya, peserta didik belajar

Komponen Kurikulum 97
banyak dan pendidik belajar sedikit (what student does, no what
teacher does). Kegiatan belajar merupakan jantungnya kurikulum.
Kurikulum akan baik mana kala isi dan kegiatan belajarnya
baik. Kalau salah satu tidak baik, maka kurikulumnya menjadi
disfunctioned. Contoh kegiatan belajar yang baik adalah sebagai
berikut.
Kegiatan Belajar Ilmu Kegiatan Belajar Pengalaman

Profesional Kegiatan belajar Kompetensi Kegiatan belajar

Menurut Zais (1976) seorang anak atau orang dewasa tidak


hanya berbuat tetapi menerima konsekuensi dari apa yang dia
lakukan dalam hubungannya dengan apa yang boleh atau tidak
boleh dikerjakannya pada masa yang akan datang. Dalam melihat
bagaimana dia melakukan perubahan di dunianya, maka dia harus
belajar dengan kekuatannya sendiri dan dalam usaha mencapai
tujuan yang harus djalaninya. Dengan pengalaman tersebut,
mengakibatkan dia berkembang, karena pada dasarnya setiap
orang belajar dari pengalamannya itu.
Pada dasarnya aktivitas belajar merupakan inti dari
pelaksanaan suatu kurikulum, karena dia begitu berpengaruh dalam
membentuk pengalaman belajar dan pendidikannya. Pengalaman
belajar, dan bukan materi yang ada di dalamnya, merupakan cara
untuk mencapai seluruh sasaran di samping pengetahuan dan
pemahaman (Taba 1962). Perhatian yang tajam, target yang jelas, isi
yang baik, demikian juga prosedur evaluasi yang sistematis, semua
tidak ada gunanya, jika aktivitas belajar tersebut tidak memberikan
mereka pengalaman yang sifat mendidik.
Aktivitas belajar di beberapa sekolah merupakan hal yang
biasa, seperti membaca, mendengarkan dan menjawab beberapa

98 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


pertanyaan pendidik. Pada dasarnya, kegiatan yang dilakukan
tersebut begitu lazim sehingga kondisi tersebut dipercayai bahwa
mereka tidak akan belajar sesuatu jika seseorang tidak memberi
mereka informasi. Sebaliknya, sebagai sebuah alternatif, eksplorasi
aktif dari ide suatu aktivitas pembahasan di mana melalui ini peserta
didik didorong untuk menemukan arti personal. Penyerapan atau
penguasaan informasi biasanya memiliki efek kecil terhadap
perilaku; kecuali arti personal dari informasi tersebut membentuk
pengalaman individual dan menentukan watak dan tingkah laku.

F. Bagaimana Menyusun Strategi/Organisasi


Pembelajaran?
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori
pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat
perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran,
hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan
strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila
yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan
informasi-intelektual, sebagaimana yang banyak dikembangkan
oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan
budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang
dikembangkan akan lebih berpusat kepada pendidik. Pendidik
merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran
dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan.
Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek pasif
menerima sejumlah informasi dari pendidik. Metode dan teknik
pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian
(ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain
itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.

Komponen Kurikulum 99
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada pendidik
tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut
kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses
pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara
aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan
minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-
cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai
tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta
didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang
menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika
kelompok. Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode
dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk
penyajian dari pendidik tetapi lebih bersifat individual, langsung,
dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif),
seperti pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role
playing, diskusi, dan sejenisnya. Dalam hal ini, pendidik tidak
banyak melakukan intervensi. Peran pendidik hanya sebagai
facilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, pendidik
berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar
yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, pendidik
berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya
agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai
guider, pendidik melakukan pembimbingan dengan berusaha
mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis
teknologi (Computer Based Instruction) yang menekankan
pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi
tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih
bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam
pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologi masih

100 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual.
Dalam pembelajaran teknologi dimungkinkan peserta didik untuk
belajar tanpa tatap muka langsung dengan pendidik (Blended
Learning), seperti melalui internet atau media elektronik lainnya.
Peran pendidik dalam pembelajaran teknologi lebih cenderung
sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan
mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan
belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan
untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi
pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.
Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan
Kurikulum 2013, mulai muncul konsep pembelajaran dengan
isitilah aktif, kreatif, efektif, menyenangkan dan berbasis
kompetensi. Oleh karena itu, dalam praktiknya seorang pendidik
seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara
variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan
peserta didik untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara
aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.
Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan
kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam
mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam
pengorganisasian kurikulum, yaitu 1) mata pelajaran terpisah
(isolated subject) kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran
yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada
hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing
diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan
minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi
diberikan sama; 2) mata pelajaran berkorelasi, korelasi diadakan
sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai

Komponen Kurikulum 101


akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh
adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi
guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu;
3) bidang studi (broad field) yaitu organisasi kurikulum yang
berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis
serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan dalam satu
bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan
“core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan
core tersebut; 4) program yang berpusat pada anak (child
centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada
kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran; 5) inti
masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-
unit masalah, di mana masalah-masalah diambil dari suatu mata
pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui
kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya.
Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya
diberikan secara terintegrasi; dan 6) Ecletic Program, yaitu suatu
program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum
yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian
yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok
mata pelajaran, yaitu 1) kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak mulia; 2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian; 3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi; 4) kelompok mata pelajaran estetika; dan 5) kelompok
mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan. Kelompok-
kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi
ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan
dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi

102 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta
untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik
disediakan kegiatan pengembangan diri.

G. Bagaimana Mengevaluasi Pembelajaran/


Kurikulum?
Evaluasi merupakan proses pengumpulan data untuk mengambil
keputusan yang mengarah kepada tindak lanjut, Evaluasi merupakan
suatu proses pemberian makna, Evaluasi menyangkut mencari
informasi dan bukti untuk mengetahui apakah semua materi yang
direncanakan dan yang telah diajarkan dapat mencapai tujuan atau
tidak. Evaluasi akan memberikan informasi dan indikasi tentang
keberhasilan atau kegagalan proses pembelajaran dalam mencapai
tujuan yang direncanakan, maka evaluasi memegang peranan penting
dalam Pengembangan kurikulum. Hasil evaluasi digunakan sebagai
masukan bagi perbaikan kurikulum dan perbaikan pelaksanaan
pembelajaran. Menurut Oliva (1982), evaluasi itu bermanfaat untuk
1) mengetahui keberhasilan belajar peserta didik; 2) memperbaiki
program pembelajaran atau proses belajar-mengajar; 3) mengukur
tingkat pencapaian tujuan pendidikan.
Ini berarti evaluasi dapat digunakan sebagai alat untuk
menentukan perbaikan program. Sedangkan menurut Brady &
Kennedy (2007) Evaluasi Kurikulum digunakan untuk 1) mengukur
sejauh mana kinerja peserta didik dalam memenuhi tujuan; 2)
membandingkan kinerja peserta didik dengan standar tertentu;
3) menggambarkan dan menilai kurikulum; 4) mengidentifikasi
daerah-daerah untuk pengambilan keputusan kurikulum, memilih,
dan menganalisa informasi yang relevan dengan wilayah keputusan;
dan 5) menggunakan pengetahuan profesional untuk menilai proses

Komponen Kurikulum 103


yang sedang berlangsung yang terlibat dalam pelaksanaan kurikulum.
Di samping itu, evaluasi juga bermanfaat untuk mengetahui apakah
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sudah benar atau perlu direvisi.
Penilaian dapat dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kurikulum
dengan tingkat kecerdasan peserta didik dan kesesuaian antara
metode mengajar dengan tujuan, serta kesuaian antara materi
dengan tujuan itu sendiri (Saylor dan Alexander, 1966).
Beberapa Pendekatan dalam evaluasi yaitu traditional
evaluation dan new-wave evaluation. Traditional evaluation 1)
dilakukan ketika kurikulum sudah diterapkan secara luas; 2) sulit
untuk pengendalian atas semua variabel-variabel; 3) tidak peka
terhadap kondisi lokal atau effek yang khas; 4) bukan untuk obyek
secara terukur, dengan demikian melalaikan informasi subjektif
yang berharga; 5) menggunakan metode ilmiah, yang memisahkan
dari situasi-situasi kehidupan nyata; dan 6) mahal dalam hal
waktu dan pelaksanaan. Kemudian new-wave evaluation 1)
impresionistik dan lebih subjektif; 2) sulit menyamaratakan hasil-
hasil yang berlaku pada situasi lainnya; 3) jarang membenarkan
temuan-temuan; 4) menekankan pada ke khususan; dan 5) tidak
jelas seluruhnya hanya tentang apa yang dinilai.

1. Evaluasi Kurikulum Menyeluruh


Evaluasi Kurikulum menyeluruh adalah suatu karya yang
kompleks, tidak hanya melibatkan penilaian suatu dokumen
tertulis (rencana kurikulum) tetapi lebih kepada implementasi
pembelajaran terkait interaksi antara para peserta didik, pendidik,
material, dan Iingkungan.

2. Tujuan dan Peranan Evaluasi


Kejelasan tentang fungsi evaluasi di dalam kurikulum sangat
penting jika evaluasi dilakukan untuk mengukur implementasi

104 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


kurikulum. Scriven (1967) menggambarkan pembedaan antara
tujuan dan peran evaluasi. Tujuan evaluasi adalah penentuan
seberapa baik suatu kurikulum dilaksanakan ketika diukur
dengan ukuran-ukuran tertentu atau ketika dibandingkan dengan
kurikulum lain. Peran evaluasi tergantung bagaimana evaluasi
dirancang dan dapat dilaksanakan secara diferensial di dalam
proses pengembangan kurikulum, implementasi kurikulum, atau
bahkan di area ekonomi politik. Peran tertentu yang dimainkan
oleh evaluasi berdampak penting pada hasil akhir kurikulum.

3. Evaluasi Formatif dan Summatif


Perbedaan yang prinsip antara evaluasi formatif dan sumatif
harus lakukan dengan mempertimbangkan 1) tujuan; 2) waktu;
dan 3) tingkatan penyamarataan (Bonks, 2002). Karakteristik
ini lebih relatif bukan absolut. Definisi evaluasi summatif dan
formatif mungkin dijelaskan dalam pengertian relatif. Evaluasi
sumatif diselenggarakan dalam rangka memperoleh suatu
penilaian menyeluruh mutu suatu kurikulum yang komplit.
Karena itu evaluasi sumatif yang biasanya berlangsung dalam
penyelesaian proses pengembangan kurikulum, menyediakan
suatu pertimbangan pada produk yang diselesaikan.
Evaluasi formatif, sebagai pembanding menyediakan
penilaian mutu kurikulum, yang diselenggarakan sepanjang
proses pengembangan kurikulum untuk tujuan tambahan yang
menyediakan dana yang dapat digunakan untuk "format" suatu
produk menjadi lebih baik. Evaluasi formatif ini berlangsung
sepanjang pengembangan kurikulum dan berhubungan dengan
aspek yang relatif lebih spesifik. Mungkin bisa dikatakan evaluasi
formatif dan sumatif keduanya berperan dalam pengembangan
kurikulum. Nampak dengan jelas untuk tujuan pengembangan

Komponen Kurikulum 105


kurikulum, evaluasi formatif adalah suatu alat lebih jauh
bermanfaat dibanding evaluasi sumatif, walaupun kedua-duanya
sangat diperlukan. Singkatnya, evaluasi formatif sebagai umpan
balik untuk mengontrol proses pengembangan kurikulum.

4. Mengevaluasi Koherensi Kurikulum


Masalah yang perlu untuk dipertimbangkan dalam bagian
ini adalah seperti yang disinggung pada bagian "hubungan antar
Aim, Goal, dan Objective”. Di sana, ada catatan bahwa perencanaan
kurikulum mempunyai sasaran khusus yaitu adanya konsistensi
dengan tujuan yang dinyatakan, dan bahwa tujuan ini pada gilirannya
kongruen dengan tujuan kurikulum yang terakhir yang akan dicapai
para peserta didik. Pada hakikatnya evaluasi adalah proses yang
dilakukan untuk mengumpulkan data, dengan data yang terkumpul
dapat dianalisa untuk menetapkan suatu keputusan, antara
menerima, menolak atau merevisi. Jadi tujuan evaluasi adalah untuk
menyaring informasi-informasi melalui data yang tujuannya untuk
mengetahui letak keberhasilan atau kegagalan dari suatu rencana
yang telah ditetapkan (Howel dan Nolet, 2000).

5. Kegunaan Evaluasi Kurikulum


Ada beberapa kegunaan manfaat daripada evaluasi kurikulum,
yaitu 1) untuk mengetahui sejauh mana keuntungan dan kelemahan
dari tujuan yang telah dicapai; 2) untuk mengambil keputusan
antara menerima, merevisi atau menolak program yang sudah
dibuat; 3) untuk menyaring data guna mendukung keputusan yang
diambil; 4) untuk mengetahui keberhasilan belajar anak didik; 5)
untuk memperbaiki program belajar atau proses belajar mengajar;
dan 6) untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan,
yang selanjutnya dapat dipakai sebagai dasar revisi program

106 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


pengajaran. Evaluasi terkait dengan beberapa hal yaitu 1) tujuan
pendidikan; 2) tujuan efektifitas; 3) kebijakan; dan 4) perbaikan.

6. Model-Model Evaluasi
a. Evaluasi Intrinsik dan Evaluasi Hasil
FDMichael Scriven sebagai pelopor dari teori evaluasi ini
menyatakan bahwa kriterianya tidak diformulasikan dalam
operasionalnya, kriteria evaluasi merujuk pada kurikulum itu
sendiri. Mengevaluasi kurikulum dengan pendekatan intrinsik
ini perlu diperhatikan; tujuan pendidikan dan tipe-tipe materi
yang akan dipergunakan. Jika rencana kurikulum mempunyai isi
yang kuat dan akurat dari organisasi tertentu maka kurikulum
itu akan efektif membangkitkan peserta didik dalam belajar. Nilai
dasar kurikulum yang telah dievaluasi perlu diuji terlebih dahulu
sebelum disampaikan. Dalam melakukan evaluasi hasil harus
memperhatikan dampaknya terhadap peserta didik, pendidik,
orang tua, dan tenaga administrator sekolah.

b. Evaluasi Formatif dan Sumatif


Evaluasi formatif adalah evaluasi yang berasarkan
pertumbuhan mencakup aktivitas-aktivitas untuk meningkatkan
kualitas program yang ada. Keputusan diambil berdasarkan
bukti-bukti yang dikumpul, kemudian dikembangkan untuk
diimplementasikan. Dalam pertumbuhan evaluasi formatif,
tenaga edukatif mempunyai cara yang berbeda. Jika evaluasi
menyangkut suatu unit kerja, maka prosedurnya akan
melibatkan semua unsur terkait atau bersifat formal dan
sistematik serta fleksibel.
Evaluasi formatif sebagai pemandu menciptakan yang
baru untuk memperbaiki kurikulum dan perlu disesuaikan

Komponen Kurikulum 107


dengan program yang ada. Menurut Gronlund (1981), pendidik
dan pihak lain yang terkait dalam evaluasi bukan hanya
menentukan akibat-akibat yang diharapkan, tetapi mencari
dan menguji munculnya akibat-akibat yang tidak diinginkan.
Kemudian evaluasi sumatif bertujuan untuk mendapatkan
gambaran keseluruhan kualitas kurikulum yang dihasilkan,
hal ini bisa dilihat setelah proyek dikembangkan dengan
sempurna dan telah diimplementasikan di sekolah. Evaluasi
difokuskan pada efektivitas pembelajaran.

c. Model Evaluasi “Studi Delapan Tahun”


Ralp Tyler 1933-1941 dalam studi delapan tahun
menyebutkan evaluasi Dalam proses evaluasi ini yang penting
adalah studi menggunakan variasi tes, skala, intervensi, check
list, daftar pertanyaan dan alat-alat lain untuk mendapatkan data.
Tyler menyarankan dalam penelitiannya agar 1) membangun
tujuan secara luas; 2) mengklasifikasi objek; 3) menjelaskan objek
dalam tahap tingkah laku; 4) menemukan situasi di mana prestasi
objek dapat ditunjukkan; 5) mengembangkan dan menyeleksi
teknik; 6) mengumpulkan data penampilan peserta didik; 7)
membandingkan data dengan tingkah laku secara objektif. Tyler
(1949) berpendapat bahwa evaluasi proses yang berulang-
ulang dan feed-backnya digunakan untuk menformulasikan dan
menjelaskan kembali tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan untuk
memodifikasi tujuan-tujuan secara optimal.

d. Model evaluasi Merfessel dan Michel


Pada akhir tahun 1960-an kelompok akademik
mempresantisakan dengan variasi model Tyler. Model ini
mempunyai delapan langkah utama dalam evaluasi, yaitu 1)
melibatkan anggota langsung atau tidak langsung yang terdiri

108 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


dari masyarakat pendidikan, anggota organisasi professional,
para pelajar dan anggota masyarakat; 2) mengembangkan pola
yang terpadu secara luas dan objek yang spesifik dan menyusun
dengan cara hirarki dari hasil yang umum ke yang khusus; 3)
menterjemahkan sasaran-sasaran khusus yang dihasilkan oleh
langkah kedua, kedalam bentuk yang dapat berkomunikasi dan
dapat pula diaplikasikan kedalam perbuatan program kurikulum;
4) menciptakan instrument yang penting untuk mengumpulkan
ukuran kriteria, karena dengan ini akan dapat ditarik kesimpulan
kegiatan program tersebut berhasil atau tidak; 5) membuat
observasi periodik sepanjang implementasi dan melaksanakan
program dengan mengumpulkan tes; 6) menganalisis data yang
terkumpul dengan menggunakan prosedur statistik yang sesuai;
7) mengimplementasikan data mengenai standar penilaian khusus
dan nilai yang menggambarkan oreantasi filosofis kurikulum;
dan 8) dengan dasar informasi yang terkumpul memberikan
rekomendasi untuk diterapkan lebih jauh, atau untuk memodifikasi
elemen-elemen, tujuan, isi, pengalaman dan materi.
Terjemahkan
Libatkan Formulsikan
Tujuan dan
Peserta Tujuan-tujuan
Sasaran

Rencana Lakukan Analisis


Instrumen Observasi Data

Instrumentasi Buatlah Ulangi


Data Rekomendasi Putaran

e. Model Evaluasi Discrepancy


Model ini dikembangkan oleh Malcom provous yang
menggabungkan evaluasi dengan teori system manajemen yang

Komponen Kurikulum 109


terdiri dari empat komponen, yaitu 1) menentukan standar
program; 2) menentukan unjuk kerja; 3) membandingkan hasil
kerja dengan standar; dan 4) menentukan ketidaksesuaian antara
hasil kerja dengan standar. Informasi yang tidak cocok selanjutnya
dilaporkan kepada penentu kebijaksanaan yang selanjutnya harus
mengambil keputusan atau tindakan pada setiap tingkatan dalam
model proses ini, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2. Model Evaluasi Discrepancy
Level Performance Standar
1 Desain Criteria desain
2 Pemasangan Kebenaran pemasangan
3 Proses Penyesuaian proses
4 Produk Perkiraan produk
5 Biaya Perbandingan biaya

1) Desain
Desain meliputi desain program dengan standar desain.
Program diuji untuk menentukan apakah benar sesuai
dengan jangka waktu, sumber, materi dan lainnya. Semua
ketidaksesuaian yang ada dalam desain program dan
standar dilaporkan kepada pengambil keputusan dan
harus memutuskan antara memutuskan dan membatalkan,
merevisi atau menerima.

2) Pemasangan
Pelaksanaan program seharusnya dibandingkan
dengan pemasangan standar atau kriteria yang benar.
Karakteristik program dievaluasi, termasuk fasilitas,
media, metode, kemampuan peserta didik dan kualifikasi
staf, ketidaksesuaian antara program dan kriteria dicatat
dan dilaporkan kepada pengambil keputusan untuk
mengambil langkah-langkah yang tepat.

110 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


3) Proses
Proses program harus dievaluasi termasuk peserta
didik dan aktivitas staf, fungsi dan komunikasinya,
jika prosesnya kurang tepat, maka dilaporkan kepada
pengambil keputusan yang bertanggung jawab.

4) Produk
Implikasi secara keseluruhan program dievaluasi dalam
kaitannya dengan tujuan. Peserta didik dan staff produk,
seperti halnya produk berhubungan dengan masyarakat
dan sekolah itu. Informasi yang diperoleh akan membantu
pembuat keputusan tentang program harus dilanjutkan,
diakhiri, atau dimodifikasi.

5) Biaya
Produk-produk program harus dievaluasi dari segi biaya,
keuntungan, bahkan bukan saja dari segi uang tetapi
juga medan dan waktu yang tersirat jawabannya dan
mempunyai implikasi ekonomi, social dan politik.
Provous mengatakan bahwa rencana evaluasi ini dapat
digunakan membuat evaluasi program terus menerus
dalam semua tindakan. Dari perencanaan sampai kepada
implementasinya. Hal ini dapat dilaksanakan pada tingkat
wilayah, regional, dan bahkan nasional.

f. Model Evaluasi Congruance-Contingensi Stake


Robert Stake membedakan pembahasan evaluasi
secara prosedur formal dan prosedur informal. Formal lebih
bersifat objektif, yang dalam pengumpulan data bermaksud
untuk dapat mendiskripsikan dan mempertimbangkan
dilakukan berdasarkan program yang sedang dievaluasi. Stake

Komponen Kurikulum 111


menunjukkan bahwa spesialisasi evaluasi lebih menekankan
pada penyajian yang bersifat deskriptif dengan tujuan secara
penuh, mengumpulkan dan melaporkan data untuk selanjutnya
diproses. Stake berpendapat bahwa data yang terkumpul dapat
diorganisir ke dalam tiga badan informasi, kejadian sebelumnya,
transaksi dan hasil. Stake menggaris bawahi bahwa transaksi
terjadi antara peserta didik, dan pendidik, peserta didik dengan
masyarakat. Transakasi adalah interaksi yang dimiliki peserta
didik dengan materi kurikulum dan lingkungan.
Dalam pendekatan evaluasi kita harus melihat metode
out come khususnya prestasi, demikian juga tingkah laku
dan keterampilan. Model Stake ini dalam perencanaan
merupakan sebuah studi evaluasi yang menyediakan
rangka kerja organisasi yang menunjukkan data yang akan
dipertimbangkan dan bahkan mungkin berlawanan dengan
apa yang direncanakan dan yang telah terjadi. Model ini
menyusun tiga tipe data kedalam suatu matrik.

g. Model Evaluasi Stufflebeaam’s, Context, Input,


Process, Product (CIPP)

evaluasi yang dirennakan/ contektual Product


Input/ cara Process

Gambar 2. Model Evaluasi CIPP

Selain model-model evaluasi kurikulum di atas, ada


evaluasi kurikulum Model CIPP (Context, Input, Process
dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa
keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti karakteristik peserta didik dan lingkungan,
tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan

112 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model
ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari
berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu,
untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai
kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini
kembangkan oleh Stufflebeam (2003) yang menggolongkan
program pendidikan atas empat dimensi, yaitu Context,
Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat
dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama
dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan
singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut.
1) Context yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi
jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan
dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti
kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan,
sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun
waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam
unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2) Input, bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk
keperluan pendidikan, seperti dokumen kurikulum, dan
materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar,
sarana dan prasarana, media pendidikan yang digunakan
dan sebagainya.
3) Process, pelaksanaan nyata dari program pendidikan
tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar,
pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar,
penglolaan program, dan lain-lain.
4) Product, keseluruhan hasil yang dicapai oleh program
pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih
panjang.

Komponen Kurikulum 113


Evaluasi konteks melibatkan studi lingkungan di mana
program itu dilaksanakan. Evaluasi kontek adalah tipe yang
paling besar, dengan demikian analisis situasi sangat penting
dalam evaluasi ini. Evaluasi konteks ini merupakan aktivitas
satu waktu saja, dan harus berlanjut mengumpulkan informasi
sesuai dengan operasionalnya. Evaluasi input merupakan
evaluasi tingkat kedua, dan evaluasi ini dirancang untuk
menyediakan informasi guna menentukan mabagaimana
menentukan sumber-sumber untuk mencapai sasaran.
Evaluasi proses berkaitan dengan keputusan pelaksanaan
kurikulum dengan mengendalikan dan mengatur rencana
program. Program ini digunakan untuk mengatur kesesuaian
antara kegiatan yang direncanakan dengan kegiatan yang
sesungguhnya. Stufflebeam memberikan tiga strategi utama
dalam penilaian proses, yaitu 1) meramalkan kelemahan-
kelemahan dalam merancang prosedur atau pelaksanaan
selama tahap penyebaran; 2) menyediakan informasi untuk
penilaian terprogram; dan 3) memelihara catatan setelah
prosedur terjadi.
Evaluasi hasil, para penilai hasil mengumpulkan data
untuk menentukan apakah hasil dari pelaksanaan itu sesuai
dengan apa yang telah direncanakan dan sejauh mana sasaran
yang diharapkan tercapai. Penilaian ini memberikan petunjuk
apakah akan dilanjutkan atau diubah. Menurut Zais (1976)
untuk menentukan kriteria kesuksesan dari peserta didik,
ada empat standar yang dapat digunakan yaitu 1) standar
maksimum absolute, adalah pencapaian yang diputuskan
oleh sedikit peserta didik artinya secara teoritis peserta didik
dianggap normal; 2) standar minimum absolute, adalah poin
yang ditetapkan untuk menjamin kesuksesan semua peserta

114 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


didik, ini sangat berguna dalam situasi ketika kemampuan
dasar diajarkan; 3) standar relative yaitu membandingkan
kemampuan masing-masing peserta didik dengan kemampuan
anggota group lainnya; 4) standar ganda, yaitu menilai
perkembangan masing-masing peserta didik selama program
berlangsung. Berikut ini adalah konsep dasar evaluasi yang
dikutip dari bahan ajar Prof. Dr. Imam Sodikun, M.Pd.
OBJEK PENGUKURAN DATA ANALISIS

KEPUTUSAN
INSTRUMEN

TINDAK LANJUT
TES NON TES
Lisan 1. Kuesioner
1. Individu 2. Observasi
2. Kelompok 3. Wawancara
Tulis 4. Checklist
1. Uraian (Terbuka & Terstruktur) 5. Sosiometri
2. Pilihan Ganda (B – S & Pilihan 6. Alat Ukur Terstandar
Ganda serta Menjodohkan)
Keterampilan
1. Individu
2. Kelompok

Gambar 3. Konsep Dasar Evaluasi

h. Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan


Patokan (PAP)
Pendekatan penilaian yang membandingkan hasil
pengukuran seseorang dengan hasil pengukuran yang diperoleh
orang-orang lain dalam kelompoknya, dinamakan Penilaian
Acuan Norma (Norm Refeereced Evaluation), dan pendekatan
penilaian yang menbandingkan hasil pengukuran seseorang
dengan patokan “batas lulus” yang telah ditetapkan, dinamakan
penilaian Acuan Patokan (Criterian refenced Evaluation).

1) Penilaian Acuan Norma (PAN)


PAN ialah penilaian yang membandingkan hasil belajar
peserta didik tertinggi terhadap hasil dalam kelompoknya.
Pendekatan penilaian ini dapat dikatakan sebagai
pendekatan “apa adanya” dalam arti, bahwa patokan

Komponen Kurikulum 115


pembanding semata-mata diambil dari kenyataan-
kenyataan yang diperoleh pada saat pengukuran/
penilaian itu berlangsung, yaitu hasil belajar peserta
didik tertinggi yang diukur itu beserta pengolahannya,
penilaian ataupun patokan yang terletak di luar hasil-
hasil pengukuran kelompok manusia.
PAN pada dasarnya mempergunakan kurva normal dan
hasil-hasil perhitungannya sebagai dasar penilaiannya.
Kurva ini dibentuk dengan mengikut sertakan semua angka
hasil pengukuran yang diperoleh. Dua kenyataan yang ada di
dalam “kurva normal” yang dipakai untuk membandingkan
atau menafsirkan angka yang diperoleh masing-masing
peserta didik tertinggi ialah angka rata-rata (mean) dan
angka simpanan baku (standard deviation), patokan ini
bersifat relatif dapat bergeser ke atas atau ke bawah sesuai
dengan besarnya dua kenyataan yang diperoleh didalam
kurva itu. Dengan kata lain, patokan itu dapat berubah-ubah
dari “kurva normal” yang satu ke “kurva normal” yang lain.
Jika hasil ujian peserta didik tertinggi dalam satu kelompok
pada umumnya lebih baik dan menghasilkan angka rata-
rata yang lebih tinggi, maka patokan menjadi bergeser ke
atas (dinaikkan). Sebaliknya jika hasil ujian kelompok itu
pada umumnya merosot, patokannya bergeser ke bawah
maka diturunkan. Dengan demikian, angka yang sama pada
dua kurva yang berbeda akan mempunyai arti berbeda.
Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan
dua kurva yang berbeda akan mempunyai arti berbeda.
Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan
dua kurva yang berbeda akan mempunyai arti umum yang
berbeda pula.

116 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


2) Penilaian Acuan Patokan (PAP)
PAP pada dasarnya berarti penilain yang membandingkan
hasil belajar peserta didik terhadap suatu patokan yang
telah ditetapkan sebelumnya. Pengertian ini menunjukkan
bahwa sebelum usaha penilaian dilakukan terlebih
dahulu harus ditetapkan patokan yang akan dipakai untuk
membandingkan angka-angka hasil pengukuran agar hasil
itu mempunyai arti tertentu. Dengan demikian patokan
ini tidak dicari-cari di tempat lain dan pula tidak dicari
di dalam sekelompok hasil pengukuran sebagaimana
dilakukan pada PAN.
Patokan yang telah disepakati terlebih dahulu itu biasanya
disebut “Tingkat Penguasaan Minimum”. Peserta didik
yang dapat mencapai atau bahkan melampaui batas
nilai “lulus” dan belum pernah memperoleh nilai “tidak
lulus” mereka yang lulus ini diperkenankan menempuh
pelajaran yang lebih tinggi, sedangkan yang belum lulus
diminta memantapkan lagi kegiatan belajarnya sehingga
mencapai “batas lulus” itu. Patokan yang dipakai untuk
kelompok peserta didik dengan patokan yang sama
untuk hasil pengukuran yang diperoleh dari waktu ke
waktu oleh kelompok yang sama ataupun berbeda-beda
dapat dipertahankan. Yang menjadi hambatan dalam
penggunaan PAP adalah sukarnya menetapkan patokan
yang benar-benar tuntas.

3) Penggunaan PAN dan PAP


Pendekatan PAN dapat dipakai untuk semua mata kuliah,
dari mata kuliah yang paling teoritis (penuh dengan
materi kognitif) sampai ke mata kuliah yang praktis

Komponen Kurikulum 117


(penuh dengan materi keterampilan). Angka-angka hasil
pengukuran yang menyatakan penguasaan kompetensi-
kompetensi kognitif, keterampilan, dan bahkan sikap
yang dimiliki atau dicapai oleh sekelompok peserta didik
sebagai hasil dari suatu pengajaran, dapat di kurvakan.
Dalam pelaksanaannya dapat ditempuh prosedur
yang sederhana. Setelah pengajaran diselenggarakan,
kelompok peserta didik yang menerima pengajaran
tersebut menjawab soal-soal atau melaksanakan tugas-
tugas tertentu yang dimaksudkan sebagai ujian. Hasil
ujian ini diperiksa dan angka tersebut disusun dalam
bentuk kurva. Kurva dan segala hasil perhitungan yang
menyertai (terutama angka rata-rata dan simpangan
bakul) dapat segera dipakai dalam PAN.
Pendekatan PAP tidak berorientasi pada “apa adanya”
pendekatan ini tidak semata-mata mempergunakan
angka rata-rata yang dihasilkan oleh kelompok yang diuji,
melainkan telah terlebih dahulu menetapkan kriteria
keberhasilan, yaitu “batas lulus” penguasaan bahan
pelajaran, dan dalam proses pengajaran. Tenaga pengajar
tidak begitu saja membiarkan peserta didik menjalani
sendiri proses belajarnya, melainkan terus menerus
secara langsung ataupun tidak langsung merangsang
dan memeriksa kemajuan belajar peserta didik serta
membantunya melewati tahap-tahap secara optimal.
Proses pengajaran yang menjadi kegiatan PAP dikenal
adanya ujian pembinaan (formative test) dan ujian akhir
(summative test). Ujian pembinaan dilaksanakan pada
tahap tersebut. Usaha ini akan mencegah peserta didik
dari keadaan terlanjur tidak menguasai dengan baik bahan

118 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


kompetensi dari tahap yang satu ke tahap berikutnya.
Hasil ujian pembinaan ini dipakai sebagai petunjuk
(indikator) apakah peserta didik tertentu memerlukan
bantuan dalam menjalankan proses belajarnya atau tidak.
Ujian akhir dilaksanakan pada akhir proses pengajaran.
Ujian ini meliputi semua bahan yang diajarkan dalam
keseluruhan proses pengajaran dengan tujuan menguji
apakah peserta didik telah menguasai seluruh bahan yang
diajarkan itu dengan baik. Jika ujian pembinaan benar-
benar diselenggarakan dan hasil-hasilnya dipakai untuk
membantu peserta didik yang memerlukan, maka PAP
menekankan bukan hanya pada segi mutu hasil belajar
peserta didik tetapi juga pada segi mutu hasil belajar
peserta didik dan juga pada segi banyaknya peserta
didik yang berhasil. Sebanyak mungkin peserta didik
dirangsang dan dibantu untuk mencapai penguasaan
kompetensi yang tinggi.
Implikasi pendekatan penilaian yang dipakai
menimbulkan berbagai implikasi antara lain a) program
pengajaran dan penilaian dalam pendekatan kompetensi
menuntut pelaksanaan pengajaran yang terencana,
terarah, dinamis dan membimbing; b) pengajar perlu
memiliki kemantapan keterampilan dalam menyusun
program pengajaran dan sekaligus program penilaiannya
yang berorientasikan pada kompetensi; c) baik pengajar
maupun peserta didik memerlukan sumber-sumber dan
sarana belajar-mengajar yang cukup; d) dalam program
penilaian terbuka peserta didik perlu mengetahui program
penilaian, kriteria keberhasilan dan hasil-hasil penilaian;
e) kegiatan mengajar tidak semata-mata di muka kelas,

Komponen Kurikulum 119


sesuai dengan ketentuan sistem kredit semester, kegiatan
kuliah dengan harga 1 sks mencakup beban pengajaran
untuk penyelenggaraaan tiga jenis kegiatan setiap
Minggu yaitu a) 60 menit untuk pengembangan bahan
pelajaran; b) 50 menit untuk kegiatan tatap muka dengan
maha peserta didik; c) 60 menit untuk usaha penilaian
dan kegiatan perencanaan lanjutan; d) dalam 60 menit
terakhir itu pengajar dituntut untuk menyediakan diri
untuk pertemuan dengan peserta didik baik secara
perseorangan maupun dalam kelompok, untuk membahas
hal-hal khusus berkenaan dengan kemajuan dan masalah-
masalah pelajaran yang dihadapi.
Peserta didik dituntut untuk belajar secara dinamis;
program penilaian yang terarah dan terencana menuntut
sistem palporan yang lengkap dan rapi, baik untuk
keperluan peserta didik sendiri dan keperluan pengajar,
maupun untuk keperluan fakultas dan perpendidikan
tinggi; pengajar memerlukan berbagai sarana administrasi
untuk penyusunan dan pelaksanaan program pengajaran
dan penilaian; pengajaran dan penilaian perlu dicatat
dan hasil-hasilnya disimpan secara baik; karena program
pengajaran dan penilaian ini bersifat menyeluruh dan
relatif menuntut lebih banyak waktu dan keterlibatan
pengajar, perlu dipikirkan variasi jenis mata kuliah
yang dipegang oleh setiap tenaga pengajar beserta
konsekuensinya.

Melakukan evaluasi pada kurikulum, proses dan hasil


pembelajaran berarti menentukan arah masa depan kurikulum
karena sesuai dengan tujuan dan kegunaan dilakukan
evaluasi. Arah masa depan kurikulum bertujuan supaya anak

120 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


didik mendapatkan ilmu, keterampilan, kompetensi, sikap,
kepercayaan, dan nilai yang memungkinkan mereka hidup
produktif baik bagi dirinya ataupun lingkungannya. Hal di
atas dapat dicapai jika kurikulum pendidikan berorientasi
kemasa depan, disusun dengan mempertimbangkan beberapa
pendapat futurulog yang dapat mengidentifikasi kejadian-
kejadian potensial di masa datang. Disamping itu juga
dipengaruhi oleh visi masa depan sipenyusun kurikulum
tersebut. Bila visi dan bayangan masa depan salah tentu
akan berimplikasi juga terhadap aktifitas pendidikan yang
mereka lakukan. Visi pendidik akan masa depan dipengaruhi
oleh pengetahuan mereka dimasa lalu dan bacaan mereka
sekarang.
Ornstein & Hunkins (1988) berpendapat bahwa seseorang
tak dapat sepenuhnya membayangkan masa depan sebagai
prediksi dari apa yang mereka lihat dan mereka dapati
sekarang. Namun kenyataannya sebahagian orang masih
mengidentifikasi masa depan yang didambakan terbatas oleh
alat-alat ada mereka punyai.

i. Masa Datang dan Aliran Masa Datang (Future and


Futurism)
Orang harus membiasakan diri dengan paradigma baru
untuk mengatur pekerjaan dan pergaulan sosial mereka.
Banyak yang tidak mengerti mengenai aturan yang telah
berlaku, sehingga mereka merasa telah kehilangan rasa aman
bekerja pada masa lalu dan merasa harus memulai kembali.
Pergantian dari suatu industri ke masyarakat informasi
hanya dalam dua sampai tiga dekade. Pergantian yang begitu
cepat ini tidak memberi kita waktu untuk merefleksikan
secara alami perubahan yang terjadi, bagaikan sempitnya

Komponen Kurikulum 121


ruang bernafas. Tofler menyebutnya sebagai future shock
berupa disorientasi individu akibat pengalaman masa lalunya
yang tidak efektif untuk memahami ataupun mengambil
keputusan masa hari ini atau masa depan. Syok masa depan
sebagai karakter perubahan waktu yang cepat sekali.
Kajian future meliputi pengetahuan ramalan dan seni dari
imajinasi keduanya. Disiplin ini memandang kejadian sosial
dan teknologi tidak terpisah tapi saling terkait dalam suatu
sistem ataupun proses yang menyeluruh. Suatu peristiwa akan
mempengaruhi peristiwa lainnya dan akhirnya berefek pada
kejadian berikutnya. Dengan mengetahui interaksi demikian
maka kita sering dapat membayangkan apa yang akan terjadi
dimasa datang.
Futurism adalah suatu usaha sistematis dalam
menggabungkan antara ramalan kreatif dengan rencana
dan kegiatan yang akan dilakukan. Sehubungan dengan
bidang futurism ini maka kurikulum seyogianya disusun
dengan berorientasi masa depan dan menentukan program
pendidikan jenis apa yang mempunyai kemungkinan tertinggi
dapat memahami kondisi demikian. Dengan melihat masa
depan, para pendidik seharusnya proaktif dan menghindari
cara reaktif. Di masa lalu, para pendidik selalu memakai cara
reaktif terhadap kejadian-kejadian yang berdampak pada
program sekolah. Untuk masa depan, pendidik harus dapat
mengantisipasi dan mengelola masa depan sekolah agar
program sekolah dapat merespon kebutuhan anak didik. Hal
tersebut tidak mudah karena selama ini sekolah telah terbiasa
berperan sebagai alat untuk mempertahankan kebudayaan
secara konservatif. Dalam mendesain sistem pendidikan
hari esok harus melibatkan segala pihak termasuk keinginan

122 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


anak didik tentang masa depan yang dihadapinya yang jauh
lebih complicated. Pembuat kurikulum harus menciptakan
program agar seluruh pelajar dapat berfungsi optimal dalam
masyarakat masa depan.
Bab IV
DESAIN KURIKULUM

A. Bagaimana Mendesain Kurikulum?


Dalam mendisain kurikulum perlu memperhatikan beberapa
hal yang menjadi landasan kurikulum, sehingga komponen-
komponen kurikulum saling berintegrasi untuk menghasilkan
pendidikan yang bermutu dan memiliki kompetensi sesuai yang
diharapkan. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam menata dan mengembangkan desain kurikulum dalam
pembelajaran yaitu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
metode pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.
Untuk merealisasikan suatu kurikulum formal dalam mendisain
program pendidikan perlu memahami beberapa hal yaitu 1) sasaran
akhir suatu kurikulum adalah timbulnya perkembangan pribadi
peserta didik melalui pengalaman belajar yang diperoleh melalui
kegiatan belajar, jadi materi pelajaran merupakan "mean" bukan
"end"; dan 2) untuk mengimplementasikan kurikulum diperlukan
program pendidikan yang terdiri dari a) program studi yang
memuat "cultural heritage" dan "store of knowledge"; b) kegiatan
belajar yang terdiri dari kegiatan peserta didik supaya yang mereka
pelajari menjadi "milik" atau pengalaman mereka sendiri; dan c)
program bimbingan yang memberikan layanan kepada peserta
didik agar tercapai kelancaran proses belajar mengajar.
Desain kurikulum yang dikembangkan kedepan hendaknya
untuk menjawab persoalan pendidikan antara lain 1) relevan dengan
kebutuhan kehidupan; 2) menyeluruh dan berkesinambungan;
3) belajar sepanjang hayat; 4) beragam dan terpadu; 5) berpusat
pada potensi, perkembangan, kebutuhan, kepentingan peserta
didik dan lingkungannya; dan 6) tanggap terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Desain kurikulum menyangkut pola pengorganisasian
unsur-unsur atau komponen kurikulum. Penyusunan desain
kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi
horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal berkenaan dengan
penyusunan dan lingkup isi kurikulum. Susunan lingkup ini
sering dintegrasikan dengan proses belajar dan mengajarnya.
Dimensi vertikal menyangkut penyusunan bahan ajar
berdasarkan urutan tingkat kesukaran. Bahan ajar tersusun
mulai dari yang mudah, kemudian menuju pada yang lebih sulit,
atau mulai dengan yang dasar diteruskan dengan yang lanjutan.
Konstruksi kurikulum haruslah didasarkan pada suatu
pengkajian cermat dan penilaian terhadap empat hal mendasar.
Hampir semua desain kurikulum dapat dikalifikasikan sebagai
modifikasi dan atau kombinasi dari tiga kategori dasar 1) subject
centered design (desain berorientasi materi) yaitu suatu desain
kurikulum yang berpusat pada bahan ajar; 2) leaner centered
design (desain berorientasi pada peserta didik) yaitu desain
kurikulum yang mengutamakan peranan peserta didik; dan 3)
problems centered design (desain berorientasi pada masalah) yaitu
desain kurikulum yang bertitik tolak dari masalah-masalah yang
dihadapi dalam masyarakat.

126 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


B. Bagaimana Konsep Desain Kurikulum?
Dalam buku Basic Principle of Curriculum and Instruction yang
ditulis Tyler (1949) menyatakan bahwa mendisain kurikulum
perlu mengidentifikasi empat pertanyaan mendasar yaitu 1) what
educational purposes should the school seek to attain? 2) what
educational experiences can be provided that are likely to attain these
purposes? 3) how can these experiences be effectively organized? dan
4) how can we determine whether these purposes are being attained?
Kemudian diskemakan seperti pada gambar berikut ini.
Objective
(Tujuan Pembelajaran

Evaluation Learning Experience

Content

Learning Organization

Tentukan Tujuan Pembelajaran

Pilih Kegiatan Pembelajaran (Sesuai Dengan Materi Ajar)

Susun Kegiatan Pembelajaran (Metode Pengajaran)

Tentukan Tujuan Pembelajaran Sudah Tercapai Atau Belum Dengan Evaluasi

Gambar 4. Desain Kurikulum Tyler

Desain Kurikulum 127


Tabel 3. Desain Kurikulum dan Silabus
Desain Kurikulum Desain Silabus
Tujuan (Goals) Tujuan (Objective)
Standar Kompetensi Lulusan Standar isi
Mata Pelajaran Pengalaman Belajar
1. Content + Activities Apa yang harus dilakukan agar tujuan
2. Sem 1 – Sem 6 tercapai? Pengalaman adalah hasil
3. Mata Pelajaran apa agar sedangkan content+activity adalah proses
tujuan institusi tercapai
Organisasi / Metode Organsasi Kegiatan ( Content & Activity)
Sem 1: Apa aja Mapelnya 1. Horizontal
2. Vertikal
Zais (1976) jantung kurikulum itu
activity.
1. Horizontal dalam kelas
parallel scope cakupan materi
supaya tercapai integrasi
menyatukan seluruh pengetahuan,
afektif, psikomotor.
2. Vertical susunannya yang
tidak sistematika
Evaluasi Evaluasi

Desain kurikulum merupakan lebih dari sekedar bagian-


bagian dari suatu kurikulum yang terorganisir secara rapi pada
suatu dokumen. Desain merupakan suatu peristiwa kompleks
sedemikian rupa sehingga kurikulum dipahami sebagai suatu yang
mempunyai jasa dan berhasil dalam mengusahakan para peserta
didik untuk mempelajari konsep, sikap, dan keterampilan yang
penting dan bermanfaat.
Isu Desain menarik perhatian para spesialis dan perancang
kurikulum. Pendesain kurikulum berhadapan dengan suatu visi yang
dimiliki oleh kebanyakan pendidik. Konsep berhubungan dengan
bantuan desain atas visi mereka dan meningkatkan kemungkinan
menjadi kenyataan. Berbagai pilihan desain muncul dari para
pembuat kurikulum, seperti desain yang terpusat pada materi

128 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


pelajaran, terpusat pada peserta didik, dan terpusat pada masalah.
Masing-masing desain ini, mempunyai suatu sejarah dan filosofi,
masing-masing mempunyai semangat. Masing-masing desain akan
memberikan karakter tertentu pada sekolah yang menerapkannya.
Ornstein & Hunkins (1988) mengemukakan komponen
kurikulum dapat diatur dengan berbagai cara, namun bagaimanapun
bentuk desain kurikulum tersebut, semuanya merupakan modifikasi
atau pengintegrasian tiga desain dasar yaitu 1) desain yang terfokus
pada bahan pelajaran; dan 2) desain yang terfokus pada peserta
didik; atau 3) desain yang terfokus pada masalah”.

1. Desain Yang Berpusat Pada Bahan Pelajaran (Subject-Centered


Design)

a. Desain Subjek (Subject Design)


Desain ini didasarkan pada suatu kepercayaan bahwa
apa yang membuat manusia unik dan berbeda adalah
akal mereka, penelitian dan pencapaian pengetahuan
merupakan pemenuhan alami yang bersangkutan
dengan akal tersebut. Menurut Robert Hutcins subjek
yang merupakan bagian dalam desain kurikulum
hendaknya mencakup 1) bahasa dan penggunaannya
(membaca, menulis, tata bahasa, sastra); 2) Matematika;
3) ilmu pengetahuan; 4) sejarah; dan 5) bahasa
asing. Pengorganisasian isi kurikulum hendaknya
memungkinkan subjek-subjek tersebut diorganisasikan
secara sistematis berdasarkan 1) landasan kronologis; 2)
pelajaran prasyarat; 3) penguasaan terhadap keseluruhan;
dan 4) pengajaran deduktif. Pendidik hendaknya memiliki
peran yang aktif, metode pembelajaran yang digunakan
adalah ceramah, pemberian tugas, dan diskusi kelompok.

Desain Kurikulum 129


b. Desain Disiplin (Discipline Design)
Dalam desain yang berorientasi pada disiplin, peserta didik
dilibatkan untuk mengetahui logika dasar atas struktur
masing-masing disiplin (keterkaitan, konsep-konsep, dan
prinsip-prinsip) dan memahami bentuk-bentuk disiplin
melalui inquiry.

c. Desain Berorientasi pada Lapangan Luas (Broadfield Design)


Desain ini merupakan variasi lain dari desain yang
terpusat pada peserta didik. Desain ini lahir sebagai upaya
memperbaiki terjadinya fragmentasi yang disebabkan
oleh subject design. Intinya desain ini melahirkan adanya
penggabungan dua atau lebih subjek yang terkait
ke dalam satu bidang atau pemaduan bidang studi.
Keseluruhan kurikulum hendaknya diorganisasikan dalam
kategori-kategori 1) simbol-simbol informasi (Bahasa
Inggris, Bahasa asing dan Matematika); 2) ilmu pengetahuan
dasar (ilmu pengetahuan umum, Biologi, Fisika dan Kimia);
3) telaah pengembangan (evolusi cosmos, evolusi institusi
sosial, dan evolusi kebudayan manusia); 4) exemplar
(bentuk-bentuk seperti estetika, yang mencakup seni,
musik, drama, dan sastra); dan 5) masalah-masalah molar
yang mengacu pada permasalahan-permasalahan tertentu.

d. Desain Korelasi (Correlation Design)


Desain korelasi merupakan suatu usaha untuk mengurangi
isolasi dan fragmentasi dari subject tanpa melangkahi apa
yang dimaksud dalam subject curriculum. Sebagai contoh
pendidik sains bersedia bekerja sama dengan pendidik
ilmu pengetahuan sosial dalam membimbing peserta didik
menulis makalah tentang sejarah teori sains tertentu. Dengan

130 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


demikian pengajaran cenderung diorganisasikan melalui
penggunaan pendekatan pemecahan masalah, namun
pemisahan antar subjek tetap diperhatikan. Saat ini banyak
pendidik yang menggunakan desain korelasi, mungkin hal ini
disebabkan karena desain korelasi dapat digunakan untuk
mengembangkan pembelajaran yang koperatif.

2. Desain yang Berpusat pada Peserta Didik (Learner-Centered


Design)

a. Desain Berpusat pada Anak (Child-centered Design)


Desain ini dikembangkan berdasarkan keyakinan bahwa
aktivitas pembelajaran hendaknya berpusat pada minat
dan kebutuhan peserta didik.

b. Desain Berpusat pada Pengalaman (Experience-centered


Design)
Desainberpusatpadapengalamanmemilikikemiripandengan
Desain Berpusat pada Anak, yang mengemukakan bahwa
anak hendaknya dijadikan landasan dan pengorganisasian
persekolahan. Desain berpusat pada pengalaman didasarkan
atas pandangan bahwa minat dan kebutuhanan tidak dapat
diantisipasi, dan kerangka kerja kurikulum tidak dapat
direncanakan untuk memahami seluruh anak, karena setiap
anak memiliki minat yang berbeda dan unik.

c. Desain Berpusat pada Keradikalan/Keromantisan (Romantic/


Radical Design)
Desain Berpusat pada Keradikalan merupakan
pembelajaran yang berpusat pada anak. Kurikulum tidak
dapat dikembangkan sebelum anak memasuki ruang
kelas dan kebutuhan serta minatnya dipahami.

Desain Kurikulum 131


d. Desain Berpusat pada Humanis (Humanistic Design)
Desain berpusat pada humanis disebut pendidikan
afektif, pendidikan terbuka atau pendidikan eksistensial.
Sama halnya dengan desain yang berpusat pada
peserta didik, desain ini menekankan konsep diri
pada peserta didik. Dalam desain ini, manusia dapat
mengembangkan konsep diri sendiri dalam belajar melalui
pendayagunaan sumber-surnber yang ditemukannya
untuk mengembangkan pemahaman tentang dirinya
sendiri, mempelajari konsep diri dan sikap-sikap dasar,
serta mengarahkan perilakunya secara mandiri. Tugas para
pendidik adalah mengembangkan seperangkat lingkungan
pendidikan sesuai dengan sumber-sumber yang secara
personal yang dapat diraih.

3. Desain yang Berpusat pada Masalah (Problem-Centered Design)

a. Desain Situasi Kehidupan (Life Situation Design)


Dalam pengembangan desain ini, pendidik berusaha
membantu peserta didik memperluas pemahaman
dan memperdalam kemampuan menjeneralisasikan
sesuai dengan dunia nyata. Pengembangan kurikulum
hendaknya mencakup 1) situasi yang memicu
pertumbuhan kapasitas indivudual meliputi a) kesehatan;
b) kemampuan intelektual; c) tanggung jawab; dan d)
ekspresi dan apresiasi estetis; 2) situasi yang memicu
pertumbuhan partisifasi sosial meliputi a) hubungan
orang perorang; b) keanggotaan kelompok; dan c)
keterkaitan antar kelompok; 3) situasi yang memicu
pertumbuhan kemampuan yang berkaitan dengan faktor
dan kekuatan lingkungan meliputi a) fenomena alam;

132 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


b) fenomena teknologis; dan c) struktur dan kekuatan
sosial-ekonomi-politis.

b. Desain Inti (Core design)


Desain ini berpusat pada pendidikan umum dan
didasarkan atas permasalahan umum aktivitas manusia.
Selain itu ada dua variasi terhadap desain ini yaitu desain
yang berpusat pada inti mata pelajaran (diklasifikasikan
atas desain yang berpusat pada mata pelajaran) dan desain
yang berpusat pada kawasan kehidupan (diklasifikasikan
atas desain yang bertradisi pendidikan progresif).
Umumnya, desain ini dilakukan dengan langkah-langkah
1) permasalahan dipilih bersama-sama antara pendidik
dan peserta didik; 2) dikembangkan kesepakatan untuk
menentukan permasalahan mana yang menarik untuk
dibicarakan; 3) permasalahan diseleksi berdasarkan kriteria.
penetapan yang terus berkembang; 4) permasalahan
ditetapkan dan didefinisikan; 5) kawasan penelaahan atas
masalah tadi ditetapkan berdasarkan pelibatan peserta
didik baik secara individual maupun kelompok; 6) informasi
dibutuhkan didaftarkan dan didiskusikan; 7) sumber
untuk memperolah informasi didaftar dan didiskusikan;
8) informasi dicari dan diorganisasikan; 9) informasi
dianalisis dan diinterpretasikan; 10) simpulan sementara
dinyatakan dan di uji; 11) peserta didik baik perindividu
maupun kelompok melaporkan hasil diskusi; 12) simpulan
dievaluasi; dan 13) cara baru yang dieksplorasikan untuk
pemecahan masalah mendatang di uji.
Kelebihan desain ini adalah mampu membuat materi ajar,
menyajikan pokok permasalahan yang relevan dengan

Desain Kurikulum 133


peserta didik, dan mendorong berkembangnya keaktifan
memproses informasi. Sedangkan kelemahanya adalah
1) sangat sukar menemukan bahan ajar yang memadai;
2) buku teks konvensional tidak mampu mendukung
pelaksanaannya; dan 3) pelaksanaannya cenderung
menyimpang jauh dari kondisi kurikulum.
c. Desain Permasalahan Sosial & Rekonstruksionis (Social
Problem/Recontructionist)
Desain ini didasarkan atas pertentangan atas pandangan
bahwa minat peserta didik merupakan panduan utama
dalam penyusunan kurikulum. Berkaitan dengan
ini dan pengalaman belajar, penganjur desain ini
berpendapat bahwa kurikulum hendaknya mengacu
pada permasalahan sosial yang ada, dan proyek yang
melibatkan aksi sosial (seperti sekolah) hendaknya
ditujukan untuk memperbaiki masyarakat. Dalam
mendesainkan kurikulum juga perlu memperhatikan
pergeseran pembelajaran dan tren pembelajaran masa
kini, seperti dikemukakan pada tabel berikut
Tabel 4. Pergeseran Pandangan tentang Pembelajaran

Berpusat pada Berpusat pada peserta


Lingkungan
pendidik didik
Aktivitas Pendidik sebagai peserta didik sebagai
kelas sentral dan bersifat sentral dan bersifat
didaktis interaktif
Peran Menyampaikan Kolaboratif, kadang-
pendidik fakta-fakta, pendidik kadang peserta didik
sebagai ahli sebagai ahli
Penekanan Mengingat fakta-fakta Hubungan antara
pengajaran informasi dan temuan
Konsep Akumulasi fakta Transformasi fakta-fakta
pengetahuan secara kuantitas

134 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Penampilan Penilaian acuan Kuantitas pemahaman,
keberhasilan norma penilaian acuan patokan
Penilaian Soal-soal pilihan Protofolio, pemecahan
ganda masalah, dan penampilan
Penggunaan Latihan dan praktik Komunikasi, akses,
teknologi kolaborasi, ekspresi

Dari instruksi terpusat pada ke instruksi terpusat pada


pendidik peserta didik
Dari single media ke multimedia
Dari kerja terisolasi ke kerja kolaborasi

Dari pengiriman informasi ke pertukaran informasi


sepihak
Dari pembelajaran pasif ke pembelajaran aktif/ inquiry-
based
Dari yang bersifat faktual ke cara berpikir kritis
Dari respon reaktif ke proaktif/tindakan terencana
Dari konteks artificial Ke konteks dunia nyata
Bab V
TEORI KURIKULUM

A. Apa Pengertian Teori?


Teori berasal dari bahasa Yunani yaitu theoria yang berarti
kebangkitan pikiran, pandangan yang murni, tentang kebenaran. Teori
menjelaskan realita yang membuat orang-orang lebih memperhatikan
dunia mereka dan interaksinya. Richard Snow menegaskan bahwa teori
pada dasarnya adalah struktur simbol yang dirancang untuk membuat
kesimpulan dari fakta-fakta atau hukum agar menjadi suatu hubungan
yang sistematis, yang terdiri dari kumpulan komponen, yang bisa saja
terdiri fakta, konsep, atau beberapa variabel dan mengemukakan
hubungan antara komponen-komponen yang diselidiki.
Para ahli ilmu sosial menawarkan pandangan lain yaitu teori
pada dasarnya adalah sebuah bentuk pendekatan, sebuah cara
melihat dunia. Teori melambangkan cara pandang terhadap dunia
yang tidak mempedulikan benar atau salahnya, tetapi membantu
menjelaskan beberapa fakta atau kekuatan, dan ketika melihat dunia
melalui pendekatan teori kita, hasil yang didapatkan secara jelas
akan dibentuk atau digambarkan oleh teori kita. Dari keseluruhan
pengertian ini maka secara garis besar teori merupakan kumpulan
dari keterkaitan dalil-dalil yang mejelaskan mengapa suatu kejadian
ada dalam aktivitas yang dilakukan, dalil tersebut mengenali konsep/
pikiran dengan menunjukkan hubungan di antaranya.
B. Bagaimana Proses Pembentukan Teori?
Proses pengembangan teori terikat pada pemikiran secara
induktif dan deduktif. Induktif berarti membuat teori dengan
menggabungkan dan menyimpulkan variasi penyelidikan.
Pendekatan ini menitikberatkan pada data empiris dan membuat
dalil-dalil sebagai dasar penelitian dimulai dengan hipotesis
sementara yang diuji dan disahkan. Deduktif adalah proses penarikan
kesimpulan yang dibutuhkan dari gabungan dasar pemikiran yang
kebenarannya telah diterima sebagai anggapan yang benar.
Fungsi teori yaitu 1) deskripsi, fungsi ini menerangkan
pembagian ilmu pengetahuan seara naratif dalam wilayah teoritikal
tertentu. Fungsi ini melengkapi strukur pandangan seseorang
tentang suatu kegiatan yang kompleks agar bisa diuji kebenarannya;
2) prediksi, fungsi ini memperkirakan timbulnya kejadian yang
belum terobservasi dengan dasar prinsip penjelasan yang melekat
di dalamnya; 3) eksplanasi, fungsi ini tidak hanya menekankan
hubungan antara fenomena, tetapi juga dianjurkan alasan-alasan
hubungan tersebut secara mutlak (implisit) dan secara tersirat
(ekplisit); 4) pedoman, fungsi teori ini membantu peneliti dalam
memilih data untuk dianalisa dan membuat ringkasan data yang tepat.
Teori ini menghasilkan pedoman lebih lanjut dalam penyelidikan.

C. Apa itu Teori Kurikulum?


Teori kurikulum adalah struktur simbol yang dirancang untuk
membuat kesimpulan dari fakta-fakta atau hukum agar menjadi suatu
hubungan yang sistematis, yang terdiri dari kumpulan komponen,
yang bisa saja terdiri atas fakta, konsep, atau beberapa variabel
dan mengemukakan hubungan antara komponen-komponen yang
diselidiki. Teori kurikulum secara garis besar merupakan kumpulan

138 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


dari keterkaitan dalil-dalil yang mejelaskan mengapa suatu kejadian
ada dalam aktivitas yang dilakukan, dalil tersebut mengenali konsep/
pikiran dengan menunjukkan hubungan di antaranya.

D. Bagimana Proses Perkembangan Kurikulum?


Dalam pengertian yang sederhana, perkembangan diterjemahkan
dari development menunjuk pada adanya perubahan positif, lebih
baik, lebih maju. Perkembangan merupakan serangkaian perubahan
progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan
pengalaman. Ini berarti, perkembangan terdiri atas serangkaian
perubahan yang bersifat progresif (maju), baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Perubahan kuantitatif disebut juga ”pertumbuhan”
merupakan buah dari perubahan aspek fisik seperti penambahan
tinggi, berat dan proporsi badan seseorang. Perubahan kualitatif
meliputi perubahan aspek psikofisik, seperti peningkatan kemampuan
berpikir, berbahasa, perubahan emosi dan sikap, dan lain-lain. Jadi,
perkembangan bersifat dinamis dan tidak pernah statis.
Terjadinya dinamika dalam perkembangan disebabkan adanya
”kematangan dan pengalaman” yang mendorong seseorang untuk
memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Kematangan merupakan
faktor internal yang dibawa setiap individu sejak lahir, seperti ciri
khas, sifat, potensi dan bakat. Pengalaman merupakan intervensi
faktor eksternal terutama lingkungan sosial budaya di sekitar
individu. Kedua faktor (kematangan dan pengalaman) ini secara
simultan mempengaruhi perkembangan seseorang. Seorang anak
yang memiliki bakat musik dan didukung oleh pengalaman dalam
lingkungan keluarga yang mendukung pengembangan bakatnya
seperti menyediakan dan memberi les musik, akan berkembang
menjadi seorang pemusik yang handal.

Teori Kurikulum 139


Perubahan progresif yang berlangsung terus menerus
sepanjang hayat memungkinkan manusia menyesuaikan diri
dengan lingkungan di mana manusia hidup. Sikap manusia
terhadap perubahan berbeda-beda tergantung beberapa faktor, di
antaranya pengalaman pribadi, stereotipe dan nilai-nilai budaya,
perubahan peran, serta penampilan dan perilaku seseorang.
Karena Perkembangan merupakan serangkaian perubahan
progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan
pengalaman. Ini berarti, perkembangan terdiri atas serangkaian
perubahan yang bersifat progresif (maju), maka kurikulum yang
dilaksanakan di sekolahpun harus berkembang sesuai dengan
perkembangan peserta didik; kebutuhan masyarakat mendatang;
dan perkembangan zaman (kemajuan teknologi) disrupsi dan
Revolusi Industri 4.0.
Dalam pengembangan kurikulum, perancang kurikulum perlu
kiranya memperhatikan kebutuhan masyarakat di masa mendatang
yang pastinya berbeda dengan masyarakat masa sekarang.
Selain itu peserta didik senantiasa mengalami pertumbuhan dan
berkembang. Pertumbuhan merupakan perubahan secara fisiologi
sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang
berlangsung secara normal pada anak yang sehat. Perkembangan
juga merupakan proses perubahan dalam pertumbuhan pada
suatu waktu sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan
lingkungannya. Dengan kata lain perkembangan merupakan
perubahan fungsional yang dipengaruhi oleh pencapaian
tingkat kematangan fisik dan intelektual. Kurikulum wajib
dikembangkan berdasarkan dua hal yaitu perkembangan peserta
didik; kebutuhan masyarakat mendatang; dan perkembangan
zaman (kemajuan teknologi) disrupsi dan Revolusi Industri
4.0. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan ada sesuatu

140 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


yang niscaya, karena dengan pengembangan tersebut adaptasi
dan perkembangan dunia pendidikan dapat sejalan dengan
perkembangan sekitarnya. Contohnya adalah pengembangan KBK
menjjadi KTSP, KTSP menjadi Kurikulum 2013, dan munculnya
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

Teori Kurikulum 141


Bab VI
ISU-ISU KURIKULUM

A. Bagaimana Isu Kurikulum Saat Ini?


Berbicara masalah isu berarti berbicara hubungan sekolah
dengan masyarakat karena lembaga sekolah yang baik adalah
lembaga sekolah yang memiliki dan mengikat hubungan yang
baik dengan masyarakat lingkungan di sekitarnya. Sekolah
harus mengenal lingkungan sosialnya. Sekolah harus mampu
menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat karena
sekolah merupakan wadah pembinaan karakter mayarakat.
Sekolah yang mampu menjaga hubungan dengan masyarakat pada
akhirnya akan mendapat perhatian dari masyarakat.
Dengan adanya hubungan yang baik antara sekolah dan
masyarakat, maka masyarakat dapat menjadikan sekolah
sebagai wadah untuk pengembangkan diri dalam berbagai hal,
terutama dalam hal peningkatan ekonomi masyarakat. Dari
lembaga pendidikan, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan
pemberdayaan ekonomi, cara bertani yang baik, cara berusaha,
cara bagaimana mendapatkan modal usaha dan lain sebagainya.
Agar lembaga pendidikan menjadi lebih baik dan berkembang
sesuai dengan harapan masyarakat maka sekolah itu harus
merencanakan hubungan antara sekolah dengan masyarakat.
Sekolah harus membuka diri untuk menerima unsur-unsur yang
baru dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini bisa
dilakukan sekolah tanpa harus membuang unsur-unsur pokok
yang telah ada pada kurikulum sekolah.
Tiga hal pokok dari proses pembelajaran yang harus diubah
dari model sekolah konvensional ke sekolah masa depan yaitu
materi ajar (konten), proses pendidik mengajar dan proses
belajar peserta didik. Di sini pendidik tidak lagi bertindak sebagai
pusat belajar (teacher centre), tetapi pendidik bertindak sebagai
fasilitator (what student does no what teacher does), pendidik,
pembimbing, pengarah, pemotivasi peserta didik, agar anak didik
dapat belajar secara aktif dalam mengembangkan potensi dirinya
secara penuh.
Melihat keadaan masyarakat saat ini maka dapat disimpulkan
bahwa isu kurikulum adalah menyangkut pendidikan anak
berkebutuhan khusus, pendidikan sex, pendidikan multi budaya,
sekolah seperti apa yang mereka inginkan, suasana sosial dan politik
seperti apa yang mereka pilih. Hal-hal tersebut mengharuskan
perancang kurikulum membuat kurikulum pengganti, menyensor
kurikulum, mengubah ketidaksesuain kurikulum atau kurikulum
yang sudah tidak relevan dan kurikulum yang diperlukan
berdasarkan kebutuhan masyarakat di era disrupsi dan Revolusi
Industri 4.0.

1. Kurikulum Yang di Sensor


Sensor kurikulum selalu ada, ini bukan karena kebijakan
atau aturan tapi lebih pada penyesuaian kebutuhan masyarakat.
Kurikulum itu jangan dibuat atas kepentingan kelompok tetapi
harus melihat kebutuhan pasar, oleh karena itu pemerintah harus
menyeleksi tim perumus kurikulum. Suksesnya kurikulum itu jika
dapat menjawab kebutuhan pasar.

144 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


2. Kurikulum Pengganti/Compensatory Curriculum
Penggantian kurikulum ini dimulai pada tahun 1960-1968.
Tahun 1950 ada kurikulum SD yang disebut “Rencana Pelajaran
Terurai”. Pada tahun 1960 muncul “Kurikulum Kewajiban Belajar
Sekolah Dasar”. Tahun 1968 dikenal “Kurikulum 1968” pengganti
“Kurikulum 1950”. Lalu tahun 1970 muncul “Kurikulum Berhitung”
diganti dengan pelajaran Matematika modern. Tahun 1975
disebut “Kurikulum 1975” yang fokus pada pelajaran Matematika
dan Pendidikan Moral Pancasila serta Pendidikan Kewarnegaraan.
Pada tahun 1984 menyempurnakan Kurikulum 1975 dengan
“Cara Belajar Siswa Aktif” (CBSA). Tahun 1991 CBSA dihentikan
lalu muncul “Kurikulum 1994”. Tahun 2004 dikenal “Kurikulum
Berbasis Kompetensi” (KBK), yang dipelesetkan jadi Kurikulum
Berbasis Kebingungan. Tahun 2006 muncul “Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan” (KTSP). Terakhir datanglah Kurikulum 2013
(Kemendikbud, 2012).
Program pengganti dikategorikan kepada 1) target population
(Taman Kanak-Kanak, peserta didik, pendidik); 2) ancamannya
(remedial, pengayaan, terapi); 3) pelayanan (kurikulum,
pembelajaran, lingkungan sekolah dan kelompok); 4) aturan
(masyarakat kota dan pinggir); dan 5) kebijakan (lokal, kabupaten/
daerah, nasional). Kebanyakan program-program pengganti
menjadi pengalaman sementara, dan tidak dirancang untuk
pembaharuan yang fundamental termasuk juga sistemnya, mereka
operasikan dari teori dasar pemikiran, sosial dan perkembangan
jiwa sebagai konsekuensi pokok dari pengaruh linkungan yang
dapat memutar apapun keberadaan dan kekurangan pelajaran.
Pada kurikulum pengganti lebih condong kepada menambahkan
dan menguji, tidak mengubah secara dasar. Program antara lain
1) Pendidikan Dasar/Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD); 2)

Isu-Isu Kurikulum 145


Pendidikan Awal Anak; 3) program keterampilan dasar; 4) materi
dan media pembelajaran; 5) pendekatan pembelajaran; 6) program
konseling; 7) program tutor; 8) penabahan personal sekolah; 9)
program pengikutsertaan orang tua; 10) organisasi sekolah; 11)
program pemusatan kelompok/masyarakat; 12) pencegahan drop
out dan program kejuruan; 13) program pendidikan tinggi; dan
14) program pendidikan orang dewasa.
Masalah-masalah dan harapan (problem and prospects),
pada dasarnya ada empat kegagalan yang cenderung terjadi
1) kebanyakan program; 2) program kurang mencapai daerah
sasaran, sehingga hubungan output dengan input tidak terjadi
dengan baik; 3) beberapa program dinyatakan “menghilang”; dan
4) kebanyakan keberhasilan didasarkan tidak pada data, tetapi
banyak kasus-kasus kecurangan. Bila dievaluasi, kebanyakan
program ini dibuktikan tidak efektif.
Pada umumnya pendidikan pengganti mendapat kritikan
antara lain 1) perencanaan yang gegabah dan sangat lambat; 2)
pengaturan yang salah dan termasuk pengaturan dana juga salah;
3) ketergantungan, orang-orang yang terhormat bersembunyi di
bawah kepemimpinan mereka; 4) biaya konsultasi yang besar
bila dinilai dari pekerjaan yang sering tidak selesai atau hasil
kerja yang buruk; 5) miskin kegunaan; 6) gaji yang besar untuk
membayar orang-orang yang bekerja pada tingkat administrasi;
7) kurangnya partisipasi pendidik; 8) tujuan yang samar-samar;
9) prosedur penilaian yang tidak jelas; 10) mutu layanan yang
tidak baik; dan 11) banyak program-program yang di danai
tidak berjalan dengan efektif. Pada lain pihak para oposisi telah
mengkritik tingkah laku para pendidik, di mana uang yang mereka
peroleh dari sertifikasi untuk kegunaan lain. Para pembela dari
tuntutan kurikulum pengganti mengharapkan masalah-masalah

146 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


ini dapat diperbaiki walaupun dalam waktu yang panjang, karena
masalah yang sebenarnya adalah berkenaan dengan anak-anak
yang sering dirugikan dan keberhasilan yang tidak diperhatikan.
Munculnya baru-baru perubahan dari program pengganti 1)
tujuan dan pernyataan yang jelas; 2) adanya penemuan-penemuan
baru; 3) iklim yang tinggi, realistik, da nada harapan-harapan baru
untuk peserta didik; 4) pendekatan belajar yang disusun secara
bertahap; 5) memilih pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak;
6) menekankan kepada keterampilan dasar; 7) penggunaan waktu
lebih banyak untuk tugas; 8) peningkatan monitoring tentang
kemajuan peserta didik; 9) keterlibatan orang tua yang lebih besar;
dan 10) perkembangan staf dan pelayanan pendidik.

3. Ketidak Sesuaian Kurikulum/Irrelevant Curriculum


Banyak orang yang ingin mengeritik sekolah, karena
menyatakan kurikulum sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan
sosial dan kebutuhan siswanya, oleh karena itu subjek materi (isi)
dari kurikulum itu harus dimodifikasi, orang luar sekolah/pengamat
meminta para pendidik mempertimbangkan permintaan mereka
seperti 1) kurikulum harus disesuaikan/ dicocokkan karena
perubahan sosial lebih cepat dari kebutuhan kurikulum. Maksud
dari disesuaikan/fixed kurikulum itu adalah mensinergikan antara
perubahan sosial dengan perubahan kurikulum, sebagaimana
menurut Dewey kurikulum itu pengalaman masyarakat yang mana
kurikulum itu sama pentingnya untuk memperbaiki masyarakat
masa depan lebih baik daripada masa lalu. Menurut Dewey
semua ilmu pengetahuan dan semua social budaya yang ada di
masyarakat harus ada di kurikulum; 2) kurikulum anti septic,
yang mana materi tidak bisa dipisahkan dari kenyataan peserta
didik. Kurikulum anti septic ini tidak berhubungan dengan peserta

Isu-Isu Kurikulum 147


didik dan kenyataan sosial. Isi kurikulum ini hanya bercerita
satu dimensi saja, cerita kurikulum, bentuk, gambaran, materi
bacaannya hanya satu dimensi saja tidak multi budaya (ethnic/
suku, agama, seks, kelas); dan 3) kurikulum yang bernilai sepele
(the trivial curriculum). Kurikulum yang sepele ini menekankan
kepada pembelajaran hafalan dan ketidak sesuaian dengan fakta/
buktinya. Pendidik memaksa dengan tegas peserta didiknya untuk
belajar. Pendidik meminta peserta didiknya untuk menghafal.
Contohnya menghafal sesuatu yang tidak ada gunanya/tidak
bermakna seperti menghafal nama Presiden, dan lain-lain.

4. Kurikulum yang Muncul/Emergering Curriculum


Kurikulum yang timbul saat ini adalah kurikulum yang
dibicarakan saat ini yang mengatur area pembelajaran saat ini.
Area pembelajaran harus inovatif, menghancurkan nilai-nilai
tradisional dan cenderung berorentasi pada peserta didik dan
nilai-nilai sesuai dengan kebutuhan pasar saat ini. Kurikulum saat
ini mendiskusikan 3 hal saja 1) pendidikan seks; 2) pendidikan
multi budaya; dan 3) pendidikan rintangan pendidikan.
Pendidikan seks itu banyak menjadi kontroversi oleh
beberapa kelompok conservatif. Pendidikan seks harus dijadikan
tujuan kurikulum, menurut mereka mempelajari pendidikan seks
bisa memberikan dorongan kepada remaja untuk mengetahui
kehamilan, lesbian dan homo seksual.
Bagi para konselor dan pendidik berpendapat bahwa sekolah
kurang memberikan informasi seks pada remaja, sementara
kebiasaan pembelajaran Biologi, Fisika sudah ditambah dengan
menceritakan pengetahuan tentang pacaran, married, menjadi
orang tua, dan masalah kesehatan. Sementara topik seks masih
tabu di sekolah dan sekarang pendidikan sek itu berangsur

148 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


muncul. Munculnya pendidikan seks melalui berbagai disiplin ilmu
seperti karya ilmiah, sejarah, budaya dan filsafat. Kenapa harus
ada pendidikan seks? Karena kurang lebih dari 1,1 juta remaja
wanita sudah hamil setiap tahun. 4 dari 10 wanita hamil sebelum
usia 20 tahun, 2 dari 20 sudah memiliki anak. Kurang lebih dari 7
juta remaja putra dan 5 juta remaja putri sudah aktif dalam seks,
dan rata-rata mereka memulai hubungan itu berusia 16,4 tahun,
sedangkan di wilayah kota berusia 14 tahun. Kesimpulannya
ternyata kurikulum pendidikan itu timbul sesuai dengan maslaah
yang timbul, sesuai perkembangan zaman.
Pendidikan multi budaya perlu diberi ruang karena Negara
Indonesia memiliki keanekaragaman etnis dan budaya, sekolah
akan memberikan kontribusi sebagai tempat proses pemersatu,
interaksi sosial, akulturasi dan penyesuaian diri. Secara spesifiknya
menawarkan materi tentang 1) keberagaman suku, etnis, dan jenis
kelamin; 2) mengajarkan nilai-nilai tentang perbedaan budaya dan
HAM, diri sendiri; 3) kebersamaan dan macam-macam budaya,
etnis dalam menjalani aktivitas sama-sama disekolah dan di kelas;
4) mendorong banyak bahasa; dan 5) meminta pendidik membuat
program pendidikan tentang multi budaya.
Rintangan pendidikan terjadi karena anak berbeda antara
satu dengan lainnya. Beberapa ada yang lebih kreatif dari yang
lain, beberapa ada yang emosional. Secara sosial itu sudah
terpenuhi dan kemudian ada yang secra fisik terkenal dan ada
juga yang daya tangkapnya kurang serta ada yang memiliki
masalah sosial, dan lain sebagainya. Ada 4 konsep pada rintangan
pendidikan 1) memberikan kebebasan pendidikan pada peserta
didik; 2) mengesahkan atau menvalidasi tes dan mengevaluasi
peserta didik; 3) memprogram IEP (individual education plus) baik
secara jangka pendek atau panjang untuk memenuhi kebutuhan

Isu-Isu Kurikulum 149


peserta didik; 3) semua peserta didik dalam pendidikan jangan
di batasi lingkungan bagi peserta didik. Gangguan bagi kurikulum
pendidikan seperti pembelajaran bagi peserta didik yang terganggu
oleh lingkungannya, perlu melaksanakan tipe pembelajaran yang
baik terutama strategi pembelajaran bagi peserta didik dengan
pendidikan kebutuhan khusus. Gangguan-gangguan kurikulum
pendidikan bagi peserta didik dengan pendidikan kebutuhan
khusus adalah adanya 1) tekanan kebutuhan sosial dan emosional
peserta didik; 2) kehati-hatian evaluasi secara regular dilakukan
berdasarkan kriteria penampilan peserta didik yang harus
menagarah kepada kemajuan peserta didik; 3) penempatan kelas
berdasarkan pada pretest dari masing-masing kualitas dan kuantitas
anak; 4) prosedur penilaian yang baik harus dikembangkan dan
prosedurnya sesuai dengan yang digunakan oleh professional yang
memiliki kemampuan dalam menginterpretasi; 5) tim Pendekatan
termasuk pendidik di kelas harus tau apabila anak membutuhkan
pelayanan khusus, pelayanan apa yang harus disediakan, dan
bagaimana melakukan pelayanan itu dengan sebaik-baiknya; dan
6) ukuran kelas harus dibatasi sesuai dengan jumlah peserta didik,
hal ini akan membuat peserta didik puas.

B. Seperti Apa Isu Krusial Kurikulum?


Bagaimana kurikulum direncanakan dan dilaksanakan pada
tingkat lokal atau daerah? Hampir semua ahli kurikulum menggunakan
pendekatan rational scientific atau sudut pandang human relation,
dan mencari solusi dari konflik berbasiskan analisis, argumentasi
dan prinsip dalam merencanakan dan melaksanakan kurikulum pada
tingkat lokal atau daerah. Bahasa yang digunakan para ahli untuk
menggambarkan proses pada umumnya adalah decision making,

150 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


planning, research and development. Sangat jarang pengembangan
kurilkulum dilihat sebagai suatu aktifitas pembuatan kebijakan,
dan hampir tidak pernah ditempatkan dalam konteks pembuatan
kebijakan politik, walaupun pengaruh politik sangat besar.
Zais (1976) melakukan survei tentang masalah merencanakan
dan melaksanakan kurikulum pada tingkat lokal atau daerah di
Amerika, kemudian menghasilkan analisis yang jelas dan tepat.
Menurutnya ada sejumlah sumber penting yang menentukan
kebijakan kurikulum dan itu dapat dikelompokan atas tiga
kategori, yaitu 1) kelompok yang menghendaki kurikulum dengan
standar minimum; 2) Penggerak-penggerak kurikulum alternatif;
dan 3) kelompok yang menuntut perubahan kurikulum. Sementara
di Indonesia, sumber penting yang menentukan kebijakan dalam
kurikulum adalah 1) Menteri Pendidikan; 2) Pengusaha; dan 3)
Anggota DPR RI dan Politisi.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah perlakuan konvensional
terhadap pengembangan kurikulum sebagai sebuah kegiatan
profesional sepertinya tidak tepat. Ini disebabkan pertama,
ini mengabaikan realitas kekuatan politik yang dimiliki di luar
orang-orang profesional. Kedua, di sisi lain ada pertanyaan politis
yaitu siapa yang sebenarnya menentukan kurikulum dan melalui
langkah apa dia bisa mempengaruhi. Selanjutnya, identifikasi
sumber kebijakan kurikulum sangat bervariasi yang menyebabkan
hanya mitos kalau kontrol kurikulum bisa secara lokal. Yang bisa
disarankan adalah jika kita ingin memulai perubahan kurikulum
dengan cara yang tepat, kita sebaiknya memiliki strategi politik
sebagaimana kita memiliki komite kurikulum (komite sekolah).
Peranan pendidik dalam pengembangan kurikulum tidaklah
seperti yang dikira banyak orang. Banyaknya tugas mengajar yang
harus dilakukan pendidik dan tugas-tugas administratif lainnya

Isu-Isu Kurikulum 151


telah menyebabkan banyak pendidik tidak terlibat aktif dalam
pengembangan kurikulum. Bahkan banyak pendidik yang tidak
bisa berkolaborasi dengan teman sejawat dalam pengembangan
tugasnya sebagai pendidik. Oleh karena itu banyak pendidik
tidak memandang pengembangan kurikulum sebagai bagian dari
tugas profesionalnya, dan beberapa penulis mempertanyakan
tentang kompetensi pendidik dalam mengambil keputusan terkait
pengembangan kurikulum.
Peran pendidik dalam pengembangan kurikulum penting
sekali. Rasanya akan sangat naif apabila apa yang ada dalam buku
teks dan dalam beberapa buku panduan menjadi apa yang diajarkan,
tetapi mereka tidak ikut merencanakan dan membuatnya, akan
tetapi inilah kenyataannya. Karena pendidik tidak ikut dalam
pembuatan dan pengembangan kurikulum, akhirnya banyak
pendidik-pendidik yang mengajarkan bidang studinya, contoh
Biologi, sama sekali tidak seperti apa yang dituntut oleh kurikulum
bidang studi tersebut. Dengan kata lain di dalam kelas, pendidik
punya kurikulum sendiri yang menurut versinya sendiri.
Alasan tentang perlunya pendidik terlibat dalam proses
pengembangan kurikulum dapat dilihat dari segi prinsip moral dan
keperluan praktis. Konsep demokrasi mengatakan bahwa siapa
yang terlibat dalam suatu keputusan, seharusnya terlibat pula
dalam membuat keputusan tersebut. Sementara para profesional
kurikulum berpendapat, pendidik tidak perlu terlibat dalam
penyusunan kurikulum karena itu ada ahlinya. Jadi pertanyaan
sebenarnya bukanlah apakah pendidik terlibat dalam penyusunan
kurikulum atau tidak, tapi peranan apa yang bisa mereka mainkan,
dan jawaban terhadap pertanyaan inilah yang sering tidak jelas.
Untuk mengklarifikasi peranan pendidik dalam pengembangan
kurikulum, Zais (1976) menggambarkan proses pengembangan

152 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


kurikulum yang menempatkan peranan pendidik sebagai pusat
perhatian. Mengamati bahwa sebagaian besar pendidik gagal
memahami kurikulum baru, sedangkan ahli kurikulum kehilangan
hubungan dengan pikiran pendidik yang sekarang, maka Zais
beragumentasi kalau pemisahan antara pendidik dengan pakar
kurikulum dalam pengembangan kurikulum tidaklah tepat.
Kemudian dia memperkenalkan prosedur studi awal implementasi
program kurikulum yang berisikan lima elemen utama yaitu 1)
personal dan waktu, penelitian dilaksanakan sebelum mencobakan
kurikulum yang baru di mana porsi terbesar adalah implementasi
oleh pendidik di sekolah; 2) kegunaan, tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mendukung integrasi kurikulum yang baru kedalam
pemikiran pendidik terutama dalam hal aplikasi dan kelayakannya;
3) struktur, pendidik dan penyusun kurikulum bertemu untuk
mendiskusikan program baru, terutama menyakut wilayah filosofi,
sosiologi, teknologi, psikologi dan evaluasi; 4) area kurikulum,
setiap area di atas mewakili seperangkat pengembangan dan
implementasi program kurikulum; 5) pertumbuhan potensial,
penelitian praimplementasi ini tidak hanya dimaksudkan untuk
memacu pengembangan dan integrasi kurikulum baru, tetapi juga
untuk pengembangan profesional pendidik itu sendiri.
Walaupun Zais tidak melaporkan hasil studinya itu, akan
tetapi dua observasi menunjukan arti yaitu pertama, kelihatannya
dia tidak melibatkan pendidik secara intens dalam pengembangan
kurikulum, kecuali untuk pendidik yang memiliki kompetensi
kuat, dan juga aplicability dan feasibility dalam penerapan
kurikulum baru. Kedua, waktu yang digunakan pendidik untuk
terlibat dalam kegiatan kurikulum jauh dari biasa, dan mereka
hanya berpartisipasi secara efektif selama penelitian berlangsung.

Isu-Isu Kurikulum 153


Di sisi lain Zais (1976) menekankan bahwa implementasi efektif
dari kurikulum baru hanya dimungkinkan apabila pendidik sangat
memahami basis teoritis dari kurikulum tersebut. Oleh karena
itu Herron menganggap keterlibatan pendidik yang total dalam
penyusunan kurikulum sangat penting. Hanya dengan keterlibatan
yang total pemahaman yang baiklah, basis teoritis dari kurikulum baru
itu bisa diperoleh pendidik. Dari segi kemanusiaan adalah manusiawi
pula bila pendidik menolak mengimplementasikan sesuatu yang dia
tidak paham atau dipaksa untuk melakukannya, walaupun itu sesuatu
yang sangat berharga. Oleh karena itu menempatkan pendidik pada
posisi yang tepat sebagai pribadi dan sebagai manusialah yang akan
memungkinkan segala sesuatu bisa dilaksanakannya.
Pendidik seringkali tidak memiliki suatu cara yang terorganisir
dalam menghadapi perubahan kurikulum. Sering pendidik
dihadapkan dengan perkataan "pikirkan dan lakukan". Pendidik
sering berkomentar kurikulum perlu diubah, tetapi sistem tidak
pernah memungkinkan untuk terjadinya perubahan itu. Dengan
mengajar 5 kelas yang masing-masing kelas terdiri dari 30 orang,
siapa yang punya waktu untuk mengembangkan kurikulum?
Apa yang bisa saya lakukan?
Memaksakan perubahan segera dan besar-besaran berarti
penolakan. Sehubungan dengan keinginan untuk melakukan
perubahan ada sebuah pribahasa, 1/2, 1/4 atau 1/8 lebih baik
daripada tidak sama sekali. Artinya perubahan sedikit lebih baik
daripada tidak ada sama sekali. Jawaban terhadap perlunya perubahan
sangat tergantung pada psikologis si penanya dan situasi saat itu.
Secara psikologis biasanya seseorang tidak mau melakukan
perubahan karena dia takut atau merasa sudah enak dengan hal-hal
yang rutin. Dari segi situasi, perubahan tergantung pada banyak
faktor, seperti peraturan dalam masyarakat, atau beban mengajar.

154 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Bab VII
SEKOLAH YANG EFEKTIF,
MENGELOLA PROSES PERUBAHAN

A. Bagaimana Karakteristik Sekolah yang Efektif?


Untuk menentukan karakteristik kultur sekolah, Slavin (2005)
mengungkapkan istilah yang sudah diberikan oleh Hopkins (1994)
yaitu the moving school, the stuck school, the wandering school, dan
promenading school. Slavin menambahkan tiga kultur sekolah yang
efektif 1) sekolah bibit (seeds school) kemampuan menerjemahkan
visi menjadi realita, staf yang solid, punya komitmen untuk mengajar,
dan memiliki pemimpin yang selalu melibatkan staf dalam setiap
pengambilan keputusan; 2) sekolah tembok (bricks school) terdiri
dari staf yang memiliki keinginan untuk berubah jika perubahan
tersebut memiliki nilai yang bermanfaat. Tetapi bagi yang tida suka,
akan mencari jalan mereka sendiri untuk mereformasinya, walaupun
harus meminta bantuan dari luar. Tetapi umumnya sekolah ini stabil
dan memiliki hubungan yang baik antar lini; 3) sekolah pasir (sands
school) dianggap gagal dalam mengimplementasikan perobahan
yang terjadi, karena staf merasa puas dan yakin bahwa mereka telah
melakukan pekerjaannya dengan baik. Slavin (2005) mengklaim
bahwa sekolah ini hanya melayani masyarakat yang memiliki sosio-
ekonomi tinggi (Brady & Kennedy, 2007).
Levine dan Lezotte (1990) mengemukakan sembilan faktor
yang mencirikan sekolah yang efektif, yaitu budaya dan suasana
sekolah yang produktif, fokus pada pemerolehan keterampilan
peserta didik sebagai pusat pembelajaran, pengawasan yang tepat
terhadap keberhasilan peserta didik, pengembangan staf yang
berorientasi praktik pada lingkungan sekolah, kepemimpinan
yang baik, pentingnya melibatkan orang tua, penyusunan
dan implementasi instruksional yang efektif, ekspektasi dan
persyaratan operasional yang tinggi terhadap peserta didik, dan
lain yang mungkin berhubungan. Sammons dkk (1995) membuat
sebelas faktor yang hampir mirip dengan apa yang ditawarkan
oleh Levine dan Lezotte (1990), yaitu fokus pada pengajran dan
pembelajaran, kesatuan visi dan manfaat (outcomes), standard
yang tinggi, pembelajaran berdasarkan konteks, menghargai
hak dan tanggung jawab peserta didik, sekolah sebagai pusat
pembelajaran, hubungan timbal balik antara sekolah dan keluarga,
mengevaluasi pencapaian peserta didik, pengajaran, penguatan
yang positif, dan kepemimipinan.
Sebagai bahan perbandingan antara pendapat Levine dan
Lezotte (1990) dan Sammons dkk (1995), maka Teddlie dan Reynolds
(2000) mengekplorasi sembilan faktor yang menunjukkan sekolah
yang efektif 1) kepemimpinan yang efektif yaitu sinonim dengan
sekolah yang efektif. Mengkaji pemimpin sekolah yang efektif harus
dilihat dari sejauh mana pemimpin tersebut fokus pada visi yang
dimilikinya, memiliki tujuan yang jelas, mampu menyemangati staf
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, memonitor
kinerja staf, dan mempraktikan kepemimpinan tersebut yang ada
kaitannya dengan pengajaran dan pembelajaran; 2) keefektifan
pendidik dan pengajaran, pembelajaran yang efektif sangat
tergantung dari perilaku pendidik dalam hal perencanaan dan
pengorganisasian, pemilihan strategi yang tepat untuk mencapai
outcome yang diharapkan, kemampuan mengelola kelas,

156 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


kemampuan menciptakan suasana belajar yang baik, secara bijak
menggunakan waktu dan mengadaptasi kurikulum sesuai dengan
kebutuhan pembelajar; 3) fokus terhadap pembelajaran, sekolah
yang efektif harus memiliki fokus akademik yang jelas, mendorong
terjadi peningkatan mutu, mengoptimalkan waktu belajar; 4)
menciptakan budaya sekolah yang positif, faktor penting yang
perlu diperhatikan antara lain, kolaborasi antara staf, keterlibatan
pendidik dalam setiap pengambilan keputusan untuk menciptakan
rasa memiliki, memiliki visi yang dipahami oleh setiap staf,
menciptakan komunitas belajar yang baik, mempromosikan
suasana belajar yang positif untuk setiap peserta didik; 5)
ekspektasi yang tinggi terhadap peningkatan dan perilaku, ciri
sekolah yang efektif adalah adanya ekspektasi yang tinggi terhadap
peserta didik dan harapan tersebut harus dikomunikasikan kepada
mereka. Selain itu, harapan tersebut juga ditunjukan kepada staf;
6) memberikan tanggung jawab dan hak peserta didik. Peserta
didik harus menyadari tanggung jawabnya untuk belajar mandiri,
dan ikut aktif dalam kegiatan sekolah, seperti kelompok belajar
dan konsul; 7) memantau perkembangan pada semua tingkatan.
Ciri sekolah yang efektif adalah dengan melakukan pemantauan
yang berkelanjutan terhadap sekolah (melalui proses evaluasi
yang telah teruji kemapananya) dan peserta didik (harapan yang
terhadap pencapaian akademik yang tinggi); 8) pengembangan Staf.
Sekolah yang efektif harus berperan serta dalam pengembangan
sekolah berbasis kinerja yang profesional dan pekerjaan yang
terkait lainnya; dan 9) keterlibatan orang tua. Ciri sekolah yang
efektif harus melibatkan peran orang tua. Orang tua memberikan
informasi tentang anak-anak mereka kepada pendidik, dan bahkan
orang tua bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan pesrta didik.

Sekolah yang Efektif, Mengelola Proses Perubahan 157


Muijs, Chapman, Stoll dan Russ (2004) menambahkan 3 faktor
lagi dengan mempertimbangan keluarga yang kurang mampu.
Faktor tersebut, antara lain kemampuan menciptakan lingkungan
yang kaya informasi, memperoleh dukungan dari pihak luar,
dan membangun komunitas belajar. Selain itu, sekolah dapat
juga dikategorikan sekolah gagal (failing school), jika menurut
Nicolaidou dan Ainscow (2005) masalah tersebut terkait dengan
masalah internal sekolah (budaya unik mereka) yang dapat
diidentifikasi menjadi 4 unsur, yaitu 1) sikap negatif yang terlihat
dari budaya yang saling menyalahkan; 2) hubungan yang tidak
harmonis (sering merasa frustasi, konflik, perasaan tidak berguna,
dan teori konspirasi); 3) kualitas kepemimpinan yang rendah;
4) masa transisi (kepala sekolah baru yang mencoba melakukan
reformasi, dan pembagian kerja antara pendukung dan penentang).

B. Bagaimana Usaha Peningkatan Mutu Sekolah?


Kemampuan untuk memetakan karakteristik sekolah yang
efektif merupakan langkah awal yang baik untuk menentukan cara
meningkatkan mutu sekolah, tetapi cara tersebut tidaklah mudah apa
lagi untuk membuat keseragaman cetak biru peningkatan kualitas
sekolah. Menurut MacBeath dan Mortimore (2001) bahwa tidak ada
satu-satunya resep yang mujarab untuk melakukan peningkatan
mutu sekolah, selain dari memperhatikan beberapa unsur, seperti
kemampuan memotivasi staf, fokus terhadap pengajaran dan
pembelajaran, peningkatan lingkungan fisik, dan mengubah budaya
sekolah. Tetapi hal tersebut juga tidak mudah tanpa dukungan dari
pihak luar dan ketersediaan sumber daya yang memadai.
Stoll, MacBeath dan Mortimore (2001) memberikan beberapa
faktor untuk meningkatkan mutu sekolah dalam istilah yang lebih

158 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


luas dari faktor-faktor yang telah dikemukakan sebelumnya,
seperti 1) mengembangkan berbagai keterampilan dan kualitas
sesuai perubahan dunia. perubahan teknologi, hubungan sosial
dan keluarga, dan dunia kerja menghendaki peserta didik agar
mahir dalam mengakses informasi, kemampuan berkolaborasi,
fleksibel, dan mawas diri, dan lebih mahir menggunakan
berbagai macam strategi pembelajaran, terutama penelitian dan
pemecahan masalah. Sekolah perlu mengkaitkan kurikulum yang
terbaru dengan kurikulum yang mampu menyiapkan peserta
didik untuk menghadapi tantangan abad ke 21; 2) penekanan
pada pembelajaran dan peserta didik dan implikasinya terhadap
pengajaran, perkembangan baru dalam mempromosikan
pemahaman terhadap bagaimana peserta didik belajar (contohnya,
kecerdasan ganda konstruktivisme) telah menggeser pengajaran
tradisional yang menekankan pada pengajaran ke pembelajaran
yang berimplikasi pada pengajaran; 3) dengarkan suara peserta
didik, perkembangan pembelajaran terbaru yang menekankan
peserta didik sebagai konstruktor atau co-producer pengetahuan
mereka sendiri perlu didengar pendapat mereka sebagai masukaan
untuk peningkatan sekolah; 4) profesionalisme pendidik, hanya
ada satu cara agar pendidik dapat melaksanakan perobahan
tersebut, yaitu bersikap profesional. Pendidik yang tidak mampu
atau tidak mau belajar, maka mereka dianggap sudah tidak
profesional lagi; 5) lakukan evaluasi diri; 6) kualitas manajemen
dan kepemimpinan, komunikasi peoplistic (kemampuan untuk
menyimak, intuisi, berempati dan membaca situasi) menjadi
semakin diperlukan pada keterampilan kepemimpinan; 7)
perlunya orang lain yang berpikiran kritis, untuk membantu
sekolah menjadi mandiri, teman-teman yang berpkiran kritis
sangat diperlukan untuk memberikan dukungan yang tepat

Sekolah yang Efektif, Mengelola Proses Perubahan 159


pada waktu yang tepat, apakah itu bentuk saran atau untuki
pengumpulan dan analisis data; 8) bangun komunitas, jaringan,
dan kemitraan, sekolah perlu berkolaborasi dengan yang lainnya,
seperti perpendidikan tinggi. Melalui kolaborasi tersebut, sekolah
dapat mengetahui apa yang terjadi di luar sana. Kebutuhan untuk
beranjak dari cara tradisional ke arah penciptaan kreatifitas dalam
berbagai lingkungan; 9) lakukan pendekatan yang berkaitan
dengan peningkatan, pendekatan untuk meingkatkan kualitas
sekolah adalah dengan mengintegrasikan berbagai aspek yang
berbeda-beda dari pada mengadopsi yang sudah ada. Mujis dkk
(2004) menyebutnya dengan add-on approaches. Pendekatan
pengembangan sekolah harus menjadi baguan dari rencana
jangka panjang; 10) peningkatan yang berkelanjutan, salah
satu tantangan yang berat untuk mereformasi sekolah adalah
mempertahankannya.

C. Apa yang Harus Dilakukan oleh Kepala Sekolah?


Peran atau tugas utama dalam peningkatan mutu sekolah
terletak pada kepala sekolah. Tetapi ketergantungan yang
berlebihan pada kepemimpinan kepala sekolah atau pada posisi
kepemimpinan resmi yang telah dibentuk dapat menghambat
perbaikan sekolah. Pemimpin formal terkadang merasa berada
di luar kelompok atau individual, sehingga mengakibatkan
berkurangnya peran pendidik dalam mengambil keputusan.
Berbekal latihan kepemimpinan, seorang kepala sekolah
diharapkan mampu mengembangkan suatu sistem sekolah yang
demokratis. Menurut Moller dkk (2004), sekolah yang demokratis
memiliki keterbukaan ide-ide yang memungkinkan peserta
didik dan pendidik untuk sepenuhnya memperoleh informasi;

160 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


percaya pada kemampuan orang untuk memecahkan masalah
dan menghasilkan berbagai kemungkinan, mementingkan
kesejahteraan umum dan hak-hak individu; kemampuan
untuk menganalisis dan mengevaluasi masalah dan solusi, dan
pemahaman bahwa demokrasi adalah satu set nilai-nilai yang
dapat dilaksanakan. Salah satu peran utama dari kepala sekolah
adalah untuk mengilhami sekolah dengan etos demokrasi tersebut.
Fullan (1992) membuat 10 pedoman bagi kepala sekolah
untuk meningkatkan kualitas sekolah yang masih relevan sampai
saat ini 1) jangan gunakan kata atau pernyataan “seandainya”;
2) mulailah dari hal yang kecil, namun berpikir besar; 3) fokus
pada sesuatu yang penting, seperti kurikulum atau pengajaran;
4) fokus pada hal yang mendasar, seperti budaya professional;
5) berlatihlah untuk menghilangkan ketakutan yang berlebihan
dengan berani mengambil resiko; 6) memberdayakan bawahan;
7) membagun visi yang relevan terhadap tujuan dan proses
perobahan; 8) mampu memutuskan apa yang tidak dilakukan; 9)
bangun pertemenan; 10) tahu kapan harus bersikap hati-hati.

D. Apa yang Harus Dilakukan oleh Pendidik?


Berbagai literatur tentang kepemimpinan memberikan
informasi tentang peran pendidik dalam meningkatkan kualitas
sekolah. Seorang pemimpin bukanlah mereka yang selalu
menggunakan otoritasnya. Pemimpin diibaratkan sebagai seorang
juara itu yang berwujud pengusaha, pengambil resiko, visioner
dan manajer yang berorientasi hasil. Otoritas mereka berasal dari
visi dan energi.
Terlepas dari peran pendidik sebagai agen perubahan dan
kepemimpinan, peran utama pendidik dalam perbaikan sekolah

Sekolah yang Efektif, Mengelola Proses Perubahan 161


adalah membantu peserta didik untuk mencapai hasil pembelajaran.
Pengajaran berkualitas selalu merupakan karakteristik dari sekolah
yang efektif. Jadi, fokus pada peningkatan kualitas sekolah menjadi
target perencanaan pelajaran yang komprehensif, artikulasi
hasil, pemberian motivasi, seleksi eklektik dari berbagai strategi,
penggunaan strategi pengelolaan yang tepat, pengadopsian
dari penilaian otentik menjadi integral dari pengajaran dan
pembelajaran. Kriteria pendidik yang efektif dapat dilihat dari 1)
kualitas pengajaran termasuk struktur pelajaran, kejelasan dan
umpan balik; 2) penciptaan lingkungan belajar yang kondusif
termasuk manajemen kelas dan mengembangkan harapan untuk
setiap kelompok; 3) kesempatan untuk belajar yang melibatkan
peserta didik untuk melakukan perubahan; 4) autonomi yaitu
kebebasan pendidik dalam meimplementasikan reformasi; 5)
pembedaaan yaitu kemampuan mereformasi kebutuhan tertentu.

E. Apa yang harus Dilakukan oleh Peserta Didik?


Pandangan tradisional menganggap bahwa peserta didik
belum bisa bertanggung jawab untuk membuat keputusan
tentang kualitas kehidupan sekolah mereka. Hal ini merupakan
suatu dilema karena sebenarnya peserta didiklah yang menjadi
konsumen. Bila demikain, siapa yang menjadi kontributor utama
pada kebijakan dan perbaikan sekolah?
Rudduck dkk (1996) dalam bukunya yang berjudul School
Improvement: What Can Pupils Tell Us? menjelaskan tentang
kondisi pembelajaran di sekolah menengah Inggris yang belum
memperhitungkan kematangan peserta didik karena mereka
dianggap masih dalam taraf perkembangan identitas mereka
sebagai peserta didik. Buku ini membahas kontribusi peserta

162 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


didik dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, dan kualitas
sekolah. Hal yang sama juga ditemukan di Australia, peserta didik
selalu terbiasa memikul tanggung jawab lebih dan otonomi dalam
kehidupan pribadi mereka.
Rudduck dkk (2007) menyarankan enam prinsip perspektif
bagi seorang peserta didik agar mampu belajar. Hal tersebut
adalah menghargai peserta didik sebagai individu dan sebagai
kelompok yang menempati posisi penting di sekolah; keadilan
untuk semua peserta didik; otonomi sebagai hak dalam kaitannya
dengan kematangan fisik dan sosial; memberdayakan intelektual
sehingga mendorong pengalaman belajar peserta didik sebagai
kegiatan yang menarik; dukungan sosial dalam kaitannya dengan
masalah akademik dan sosial, dan keamanan, terutama dalam
kaitannya keterampilan interpersonal.
Karya dari Rudduck dkk (1996) tersebut menyimpulkan bahwa
apa yang peserta didik katakan tentang pengajaran, pembelajaran
dan sekolah tidak asing lagi dan telah menjadi perhatian serius.
Mereka percaya bahwa selama ini pendapat peserta didik
merupakan unsur yang terabaikan. Untuk itu, kita juga harus
mempertimbangkan pendapat murid gerakan perbaikan sekolah
harus sesuai konteks tersebut.

F. Bagaimana Mengembangkan Profesional?


Sebagaimana dikatakan oleh Fullan (1992) bahwa
pengembangan staf dan kesuksesan inovasi merupakan unsur
yang saling berkaitan. Peningkatan yang efektif tidak hanya
melibatkan perubahan pada sisi praktis, perilaku dan sumberdaya
lainnya, tetapi juga sikap untuk mencapainya. Peningkatan proses
pembelajaran membutuhkan pengembangan yang profesional.

Sekolah yang Efektif, Mengelola Proses Perubahan 163


Pengembangan tersebut melibatkan berbagai aktivitas atau
proses yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman atau
keterampilan.
Pengembangan profesional sering gagal dilakukan karena tidak
dilakukan secara terus menerus. Tugas tersebut harus dihadapi
dan ditindaklanjuti oleh pendidik, dan harus memiliki relevansi
dengan konteks atau situasi saat ini. Yang harus dilakukan dalam
pengembangan profesional jangka panjang dan perbaikan sekolah
1) banyak mendengar pendidik dari pada administrator dan
peneliti; 2) mendukung proses yang memungkinkan sekolah untuk
mendefinisikan kembali diri mereka sebagai lembaga komunitas
keadilan, demokrasi dan social; 3) memfasilitasi, baik kemutakhiran
pada perkembangan, maupun berbagi informasi terbaru; 4)
menunjukkan kayakinan terhadap kemampuan pendidik untuk
memahami konteks yang kompleks terhadap apa yang mereka
kerjakan; 5) mengadopsi praktik baru secara perlahan-lahan dan
hati-hati, setelah diujicobakan; 6) menganggap pengalaman belajar
sebagai pengalaman hidup, daripada sekedar sebagai preskriptif
atau petunjuk; 7) ide-ide subjektif dan mandat dari sumber birokrasi
perlu dikaji secara menyeluruh oleh pendidik, dengan fokus pada
manfaatnya untuk peserta didik; 8) melibatkan pendidik dalam
mengembangkan dan melaksanakan rencana untuk perubahan; dan
9) melibatkan peserta didik dengan pertanyaan-pertanyaan yang
berkenaan dengan pikiran dan perasaan mereka.

G. Bagaimana Mengelola Proses Perubahan?


Beberapa dekade terakhir telah terjadi perubahan pada tata
kelola sekolah, kurikulum dan pedagogi, dan perubahan sosial.
Kebutuhan perubahan tersebut menjadi beban bagi kepala sekolah

164 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


dan pendidik untuk memahami sifat dan proses perubahan, dan
cara memimpin dan memfasilitasi perubahan tersebut. Sifat
perubahan antara lain 1) perubahan tersebut sangat kompleks
dan melibatkan interaksi berbagai faktor/orang; 2) perubahan
menghendaki klarifikasi berkelanjutan untuk mengatasi
ketidakpastian dan ambiguitas; 3) perubahan biasanya dilakukan
pada skala kecil daripada skala yang lebih luas; 4) perubahan
merupakan budaya lembaga dan bukan hanya inovasi diskrit; 5)
perubahan harus bertahap dan selalu memikirkan pengembangan;
dan 6) perubahan pasti melibatkan konflik, karena itu harus
mampu mengelola staf dengan baik.
Konflik tidak harus berdampak negatif, Brady and Kennedy
(1995) memberikan beberapa keuntungan apabila konflik
tersebut dikelola secara terampil 1) konflik sering menyebabkan
penetapan keputusan akan lebih serius; 2) konflik seringkali
menghasilkan kesadaran terhadap hubungan sesame; 3)
konflik seringkali meningkatkan pengetahuan sendiri (kenapa
merasa marah); 4) konflik seringkali merangsang kreativitas
dengan cara mengekpos berbagai sudut pandang; 5) konflik
seringkali meningkatkan intensitas psikologi, energi fisik,
dan rasa keingintahuan; 6) konflik seringkali memadukan
kelompok; 7) konflik seringkali memperkuat hubungan dengan
memperlihatkan cara mengatasi ketegangan; 8) konflik seringkali
mendorong terjadinya perubahan. Perencana kurikulum juga
perlu memperhatikan perubahan-perubahan sosial yang lebih luas
dan berdampak pada sekolah. Perubahan tersebut bisa berkaitan
dengan keluarga (peningkatan jumlah perempuan dalam angkatan
kerja, berbagai peningkatan struktur keluarga, sikap orangtua
yang kurang otoriter), perubahan peran perempuan (redefinisi
tentang peran perempuan dalam masyarakat), multikulturalisme

Sekolah yang Efektif, Mengelola Proses Perubahan 165


(perkembangan budaya pluralisme), perubahan ekonomi
(pertumbuhan dalam bidang komunikasi dan gerakan masyarakat
ke pasca-industri) dan perubahan teknologi (telekomunikasi dan
teknologi komputer). Berbagai perubahan sosial tersebut sering
muncul di sekolah dalam bentuk area publik, dan masalah-masalah
aktual yang mempercepat perubahan tersebut.
Di antara dimensi postmodernitas seperti yang dikutip
oleh Fullan dan Hargreaves (1991) memiliki implikasi terhadap
sekolah, seperti ketidakpastian moral dan ilmiah, dan kecemasan
pribadi. Tantangan bagi pendidik adalah lebih berupaya
menciptakan situasi daripada kepastian ilmiah di sekolah sebagai
komunitas kolaboratif (menetapkan parameter yang realistis
dan disepakati untuk perubahan di sekolah) yang berkaitan erat
dengan pengembangan diri pendidik ke realitas kontekstual
tugas pendidik. Untuk itu, menurut Fullan dan Hargreaves (1991)
bahwa tantangan utama yang perlu menjadi perhatian adalah
rekonstruksi kerja pendidik ke arah pengembangan struktur dan
proses yang lebih fleksibel dan responsif dan secara efektif, dan
akselerasi perubahan.
Fullan (1992) menawarkan berbagai pelajaran tentang sifat
perubahan dan cara mengatasinya 1) terinspirasi oleh tujuan moral
perubahan, tetapi jangan naif. Perubahan tersebut kompleks dan
banyak masalah; 2) menilai usaha perubahan tersebut berdasarkan
teori-teori pendidikan, dan menyadari bahwa tidak akan pernah
ada teori definitif dari perubahan; 3) menghargai konflik dan
keragaman. Fullan (1992) mengklaim bahwa konflik, jika dicermati
secara positif akan menciptakan terobosan kreatif walaupun
pada situasi yang kompleks, dan penuh gejolak; 4) memahami
arti dari pelaksanaan pada sisi kekacauan. Melakukannya dengan
menetapkan beberapa prioritas utama daripada mengelola

166 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


perubahan melalui aturan; 5) menerima bahwa perubahan sebagai
pemicu dan menjadi kecemasan. Melibatkan kemampuan untuk
mengatasi kecemasan; 6) memahami bahwa budaya kolaboratif
juga memciptakan kecemasan. Kolaborasi berkaitan dengan
dukungan dan konflik; 7) ancaman ketidaklogisan, dan mencari
keterhubungan penciptaan pengetahuan; 8) mengakui bahwa
tidak ada solusi tunggal.

1. Proses Menuju Perubahan


Fullan (1992) mengklaim bahwa perubahan pendidikan dalam
suatu organisasi terdiri dari tiga fase, yaitu inisiasi, implementasi,
dan institusionalisasi. Berikut ini akan dijelaskan fase-fase tersebut
1) orientasi/kebutuhan, kebutuhan untuk menerima perubahan,
dan merasa bahwa masalah yang harus diperbaiki; 2) inisiasi,
melibatkan orang atau kelompok menawarkan perubahan, baik
dari eksternal sekolah atau internal sekolah; 3) implementasi,
mengadaptasi perubahan sesuai dengan kondisi saat itu, meskipun
implementasinya dilakukan secara terus menerus. Efektivitas
pelaksanaannya menurut Fullan (1992) ditentukan oleh
karakteristik perubahan (misalnya, ketegasan dan kompleksitas);
strategi yang digunakan (pengembangan pendidik), perubahan
karakteristik dari unit tertentu (yang disalurkan melalui
pengambilan keputusan), dan karakteristik unit makro-sosial
politik (misalnya, kompleksitas politik); dan 4) institusionalisasi,
membangun struktur dan rutinitas pekerjaan untuk memastikan
bahwa pelaksanaan tetap berlanjut dan diterima oleh berbagai
pihak. Tahap ini membutuhkan komitmen staf dan dukungan/
sistem administrasi. Namun sebaliknya, perubahan tersebut akan
lemah apabila kurangnya komitmen dari staf, kepemimpinan yang
buruk dan lemahnya mobilitas staf.

Sekolah yang Efektif, Mengelola Proses Perubahan 167


2. Pendidik dan Perubahan
Perubahan pendidikan sangat tergantung pada cara pikir
dan sikap pendidik. Jadi perubahan tersebut bukanlah mandat
atau dilegislasikan. Menurut Fullan (1992), pendidik dapat
menggunakan empat kriteria utama dalam menilai perubahan
tersebut 1) Apakah perubahan tersebut sesuai dengan kebutuhan?
2) Apakah perubahan tersebut dapat menyelesaikan apa yang
sebenarnya dihadapi oleh pendidik? 3) Akankah perubahan
mempengaruhi pendidik dalam hal waktu, semangat dan
kompetensi, dan akan hal itu menjadi tantangan untuk prioritas
yang ada? 4) Akankah perubahan menghasilkan penghargaan
tentang interaksi dengan teman sebaya atau orang lain?
Hal ini juga perlu dipahami bahwa emosi seringkali muncul
dalam perubahan. Pendidik yang baik adalah sabar dalam
memberikan pengajaran, namun Fullan dan Hargreaves (1991)
mengklaim bahwa istilah emosi bisa dikatakan tidak ada dalam
literatur dan advokasi perubahan pendidikan. Dukungannya
terhadap perlunya reformasi pendidikan untuk merangkul
dimensi-dimensi emosional mengajar dan belajar konsisten sesuai
dengan pelajaran Fullan (1992), yaitu tentang sifat perubahan.
Fullan dan Hargreaves (1991) mengidentifikasi dua belas
pedoman yang perlu diperhatikan oleh para pendidik yang secara
kolektif akan menciptakan pola pikir baru. Pedoman ini adalah
suatu metode untuk menciptakan profesionalisme interaktif untuk
mengelola perubahan. Pedoman tersebut adalah 1) temukan,
dengarkan dan artikulasikan suara hati anda; 2) refleksi pada,
dalam dan tentang, tindakan; 3) mengembangkan mentalitas untuk
mengambil risiko; 4) percayai proses sebagaimana percaya pada
seseorang; 5) menghargai orang yang total dalam bekerja dengan
orang lain; 6) berkomitmen untuk bekerja dengan rekan-rekan; 7)

168 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


mencari variasi dan menghindari balkanisasi; 8) mendefinisikan
ulang peran anda untuk memasukkan tanggung jawab di luar
kelas; 9) seimbangkan antara bekerja dan kehidupan pribadi;
10) dorong dan dukung kepala sekolah dan staf adiministrasi lain
untuk mengembangkan profesionalisme; 11) berkomitmen untuk
terus melakukan peningkatan dan perpetual learning (belajar
terus menerus); dan 12) memantau dan memperkuat hubungan
antara pembangunan diri dan pengembangan peserta didik.
Fullan dan Hargreaves (1991) kemudian menambahkan
perlunya 1) mengembangkan norma-norma kolegialitas dan
kepercayaan melalui perencanaan, pengajaran dan berbicara
bersama-sama; 2) membuat rencana mundur dengan berfokus
pada bagaimana peserta didik belajar, dan menyakini bahwa
pengajaran mereka telah sesuai; 3) melihat pekerjaan mereka
sebagai suatu masalah dan perlu dicari solusinya; 4) menekankan
akuntabilitas untuk belajar peserta didik daripada akuntabilitas
untuk pengendalian; 5) mengadopsi peran desainer, pemimpin
bukan pekerja perakitan; dan 6) berawal dari kekhawatiran
individu untuk kepedulian sekolah.

3. Kepala Sekolah dan Perubahan


Semakin meningkatnya berbagai pekerjaan di sekolah, dan
juga semakin besarnya akuntabilitas pada abad baru ini, tuntutan
pada kepala sekolah juga meningkat, apalagi saat ini Kepala
Sekolah dibebas tugaskan dari mengajar. Kepala sekolah harus
menangani masalah kurikulum baru di semua bidang pembelajaran
dan berbagai inisiatif kebijakan. Fullan dan Hargreaves (1991)
melengkapi daftar pedoman untuk kepala sekolah, yaitu 1)
pahami budaya sekolah; 2) hargai pendidik dengan mendorong
pertumbuhan profesional mereka; 3) memberikan apa yang

Sekolah yang Efektif, Mengelola Proses Perubahan 169


mereka butuhkan; 4) mengungkapkan apa yang menjadi visi
sekolah; 5) mendorong kolaborasi, tidak kooptasi dan kompetisi;
6) membuat daftar pekerjaan, bukan mandat; 7) menggunakan
langkah-langkah birokrasi untuk memudahkan, bukan untuk
membatasi; dan 8) membuat hubungan dengan lingkungan yang
lebih luas.

4. Budaya Kolaboratif
Budaya perlunya melakukan kolaborasi merupakan prasyarat
untuk melakukan perubahan. Tujuan utamanya adalah 1)
mendorong kesempatan untuk belajar, kolaborasi menyediakan
pendidik dengan lebih banyak kesempatan untuk belajar dari
satu sama lainnya, baik dengan mengamati mengajar satu sama
lain atau dengan berbagi pengetahuan melalui kerja kolegial
demi perubahan; 2) meningkatkan efektivitas pendidik; 3)
merespon perubahan, kolaborasi memungkinkan respon tuntutan
perubahan, karena melibatkan pengalaman dan keahlian kolektif
dari kelompok besar; 4) mendorong peningkatan kualitas
sekolah yang berkesinambungan, kolaborasi mempromosikan
kesempatan untuk belajar, meningkatkan efektivitas pendidik,
dan meningkatkan daya tanggap terhadap perubahan, mendorong
pandangan bahwa perbaikan sekolah merupakan proses yang
berkesinambungan bukan peristiwa sesaat; 5) mengurangi beban
kerja, kolaborasi mengurangi beban kerja karena komitmen
bersama, bukan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh
seorang pendidik individu; 6) menciptakan keyakinan profesional,
karena kolaborasi mengurangi kecemasan dan ketidakpastian.
Jika kolaborasi tersebut begitu kaya manfaat dan diklaim
sebagai syarat untuk perubahan, apa sebenarnya kolaborasi itu?
Kolaborasi menyiratkan adanya ketergantungan kuat, komitmen

170 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


kolektif dan tanggung jawab bersama, dan mungkin saja
melibatkan tim pengajaran, pengamatan pelajaran masing-masing,
perencanaan, tindakan penelitian dan pemantauan bersama.
Walaupun banyak manfaat yang diperoleh dari kolaborasi
tersebut, Fullan dan Hargreaves (1991) mengingatkan bahwa
kolaborasi juga bisa berbahaya karena membuat 1) nyaman dan
puas dapat mengkonsolidasikan bukannya menantang status quo;
2) konformis penekanan pada pemikiran kelompok, yang dengan
demikian mengurangi individualitas dan kreativitas; 3) menyusun
pengembangan kerjasama menjadi sebuah perangkat administrasi
yang paradoks; dan 4) menggunakan kooptasi kolaborasi sebagai
taktik politik untuk memperoleh dukungan pendidik dan komitmen
untuk inisiatif perubahan.

5. Kemitraan Sekolah dengan Pendidikan Tinggi


Sekolah-sekolah di Australia memandang kemitraan dengan
pendidikan tinggi sebagai suatu cara untuk meningkatkan pencapaian
belajar peserta didik, pengembangan staf yang profesional dan budaya
sekolah. Kemitraan ini mencakup pengawasan praktikum calon
pendidik, kegiatan mengajar bersama antara peserta didik dan calon
pendidik, melakukan penelitian, pengayaan; perencanaan bersama
untuk mengajar di sekolah, dan berbagai kegiatan pengembangan
profesional lainnya yang melibatkan berbagai stakeholder (Brady
dan Kennedy, 2007).

6. Pengembangan Pendidik dan Perubahan


Fullan dan Hargreaves (1992) mengungkapkan bahwa
pengembangan pendidik harus dipikirkan lebih seksama, karena
perubahan pendidikan tidak hanya pada pelaksanaan inovasi, tetapi
sekaligus mengubah profesi mengajar. Para peneliti semakin gencar

Sekolah yang Efektif, Mengelola Proses Perubahan 171


menyelidiki sifat pengembangan pendidik dan pentingnya untuk
berubah. Di Australia, pengembangan standar pengajaran memiliki
kekuatan untuk meningkatkan kualitas pengembangan profesional.
Agenda untuk berubah memungkinkan pendidik untuk membangun
agenda mereka sendiri untuk pengembangan profesional.

7. Faktor-Faktor yang Menghambat Perubahan


Hambatan menuju perubahan sangat banyak, baik yang
berkaitan dengan kesalahpahaman dari proses perubahan itu
sendiri, maupun tidak realistisnya dunia kerja pendidik. Fullan
(1992) mengidentifikasi dua kunci utama masalah tersebut,
pertama berkaitan dengan kekurang pengetahuan terhadap
proses perubahan tersebut; dan kedua berkaitan dengan persepsi
umum bahwa perubahan tersebut sangat kompleks sehingga
menolak perubahan tersebut. Di antara faktor penghambat 1)
peningkatan tugas-tugas dan akuntabilitas pendidik; 2) rasa yang
kuat dari isolasi dialami oleh pendidik; 3) organisasi sekolah;
4) kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan pemikiran
kelompok; 5) kesulitan untuk menggunakan keahlian pendidik; 6)
sempitnya peran pendidik; 7) para staf sekolah; dan 8) kesulitan
menerapkan perubahan tersebut di sekolah.

8. Faktor-Faktor yang Mendukung Perubahan


Faktor yang mendukung perubahan antara lain 1) ketegasan,
memahami sifat perubahan; 2) menyediakan jaringan umpan
balik antara staf; 3) menghargai mereka yang terlibat dalam
perubahan; 4) proses pembangunan yang melibatkan pengguna
dalam melaksanakan perubahan; 5) dukungan dari lingkungan; 6)
dukungan sumber daya, memastikan tersedianya sumber daya yang
memadai, staf dan dukungan administrasi; 7) lingkup perubahan,

172 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


menghendaki untuk melakukan perubahan sesegera mungkin; 8)
evaluasi, menolak tekanan untuk menghasilkan kesuksesan terlalu
cepat; dan 9) memperoleh staf yang memiliki kemampuan dan
komitmen. Perubahan itu bisa terjadi apabila 1) dengan cara belajar
dari informasi, pengetahuan, pengalaman dan kompetensi; 2) adanya
pemahaman kebersamaan sehingga ada interaksi, keterbukaan; 3)
sebagai leader harus memperdayakan semua komponen supaya
terjadi kebersamaan; dan 4) terkait dengan sikap mencapai tujuan
bersama untuk mencapai kebersamaan.

Sekolah yang Efektif, Mengelola Proses Perubahan 173


Bab VIII
PERJALANAN KURIKULUM
NASIONAL

A. Bagaimana Perjalanan Kurikulum di Indonesia?


Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum
pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada
tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006
dan 2013. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari
terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan
IPTEK dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Salah satu
konsep terpenting untuk maju adalah melakukan perubahan
untuk menuju kebaikan. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat
rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai
dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan
yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada
penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam
merealisasikannya.
B. Bagaimana Perkembangan Kurikulum Pendidikan?
1. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan
memakai istilah leer plan. dalam bahasa Belanda, artinya rencana
pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris).
Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis dari orientasi
pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan
ditetapkan Pancasila. Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan
sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut
sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950.
Bentuknya memuat dua hal pokok daftar mata pelajaran dan
jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana
Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan
pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari,
perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

176 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


2. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut
Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas
sekali. seorang pendidik mengajar satu mata pelajaran,” kata
Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode
1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah pendidik SD
Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau. Di penghujung era Presiden
Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum
1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya,
dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan
dalam lima kelompok bidang studi, moral, kecerdasan, emosional/
artistik, keterampilan, dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

3. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis mengganti
Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde
Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati.
Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi
pelajaran kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar,
dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak menyebut
Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. Hanya memuat mata
pelajaran pokok-pokok saja, katanya. Muatan materi pelajaran
bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di
lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan
kepada peserta didik di setiap jenjang pendidikan.

Perjalanan Kurikulum Nasional 177


4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih
efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep
di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang
terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan
TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci
dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman
ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap
satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi, petunjuk umum,
tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran,
kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak
dikritik. Pendidik dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai
dari setiap kegiatan pembelajaran.

5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski
mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap
penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang
disempurnakan”. Posisi peserta didik ditempatkan sebagai subjek
belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan,
hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar peserta didik Aktif
(CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik
lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan,
Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga
Rektor IKIP Jakarta-sekarang Universitas Negeri Jakarta periode
1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya
di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan
reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah
kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana
gaduh di ruang kelas lantaran peserta didik berdiskusi, di sana-sini

178 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


ada tempelan gambar, dan yang menyolok pendidik tak lagi mengajar
model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.

6. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999


Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan
kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan
antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan
proses”. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar peserta didik dinilai
terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal
disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya
bahasa daerah, kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai
kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar
isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Kurikulum 1994 menjelma
menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998,
diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya
lebih pada menambah sejumlah materi.

7. Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)


Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Setiap pelajaran diurai
berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai peserta didik. KBK
bertujuan untuk mengeksplorasi kemampuan peserta didik secara
optimal, mengkonstruk apa yang telah dipelajari dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. KBK berupaya untuk mengkondisikan
setiap peserta didik supaya memiliki pengetahuan, keterampilan,
sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak sehingga proses penyamapaian pembelajarannya
harus bersifat kontekstual dengan mempertimbangkan faktor
kemampuan, lingkungan, sumber daya, norma, integrasi dan
aplikasi berbagai kecakapan kinerja, intinya KBK berorientasi
pada filosofi kontruktivisme.

Perjalanan Kurikulum Nasional 179


8. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan, muncullah Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Pendidikan nasional harus mampu
menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan
mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan.
Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program
wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan
untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya
melalui olah hati/zikir, olah pikir, olah ukir agar memiliki daya
saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi
pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang
sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya
alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan
dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan
pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah,
dan berkesinambungan.
Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah
peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini
memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan
delapan standar nasional pendidikan. Kurikulum dipahami
sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring
pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam
bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum

180 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan
pendidikan. Bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun
rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar
yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur dan
muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga
pengembangan silabusnya.
Secara substansial, pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi
yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah
pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya
paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya
sebuah subject matter), yaitu 1) menekankan pada ketercapaian
kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal;
2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan
keberagaman; 3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan
pendekatan dan metode yang bervariasi; 4) sumber belajar
bukan hanya pendidik, tetapi juga sumber belajar lainnya yang
memenuhi unsur edukatif; 5) penilaian menekankan pada proses
dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu
kompetensi.

9. Kurikulum 2013
Alasan pentingnya pengembangan ke Kurikulum 2013
adalah karena ada tantangan masa depan yaitu 1) Globalisasi:
WTO, ASEAN Community, APEC, CAFTA; 2) masalah lingkungan
hidup; 3) kemajuan teknologi informasi; 4) konvergensi ilmu
dan teknologi; 5) ekonomi berbasis pengetahuan; 6) kebangkitan
industri kreatif dan budaya; 7) pergeseran kekuatan ekonomi
dunia; 8) PENGARUH dan imbas teknosains; 9) Mutu, investasi dan
transformasi pada sektor pendidikan; dan 10) materi TIMSS dan

Perjalanan Kurikulum Nasional 181


PISA. Alasan lain kenapa harus mengembangkan Kurikulum 2013
adalah karena orientasi kompetensi masa depan 1) kemampuan
berkomunikasi; 2) kemampuan berpikir jernih dan kritis; 3)
kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan;
4) kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawab;
5) kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap
pandangan yang berbeda; 6) kemampuan hidup dalam masyarakat
yang mengglobal; 7) memiliki minat luas dalam kehidupan; 8)
memiliki kesiapan untuk bekerja; 9) memiliki kecerdasan sesuai
dengan bakat/minatnya; dan 10) memiliki rasa tanggungjawab
terhadap lingkungan.
Kurikulum 2013 penting dirumuskan karena menurut
persepsi masyarakat, kurikulum lama terlalu menitikberatkan
pada aspek kognitif, beban siswa terlalu berat, dan kurang
bermuatan karakter. Kemudian munculnya fenomena negatif yang
mengemuka seperti perkelahian antar pelajar, narkoba, korupsi,
plagiarism, kecurangan dalam ujian, dan gejolak masyarakat.
Terakhir karena adanya perkembangan pengetahuan dan pedagogi
yaitu neorologi, psikologi, dan observation based discovery learning
dan collaborative learning.
Filosofi Kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan insan
indonesia yang Produktif, Kreatif, Inovatif, Afektif melalui
penguatan Sikap, Keterampilan, dan Pengetahuan yang terintegrasi
dengan langkah-langkah pembelajaran pendekatan ilmiah 1)
mengamati; 2) menanya; 3) mencoba; 4) menalar; 5) mencipta;
dan 6) mengkomunikasikan. Empat perubahan dalam Kurikulum
2013 yaitu 1) konsep kurikulum; 2) buku yang dipakai; 3) proses
pembelajaran; dan 4) proses penilaian. Untuk konsep kurikulum
yaitu seimbang antara hardskill dan softskill, dimulai dari Standar
Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, dan Standar

182 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Penilaian. Kemudian untuk buku yang dipakai yaitu berbasis
kegiatan (activity base) dan untuk SD ditulis secara terpadu
(tematik terpadu). Berikut ini tablel paparan Wakil Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan R.I Bidang Pendidikan di Jakarta,
14 Januari 2014 terkait penyempurnaan pola pikir perumusan
Kurikulum 2013.
Table 5. Paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Bidang
Pendidikan
No KBK KTSP Kurikulum 2013
1 Standar Kompetensi Lulusan Standar Kompetensi Lulusan
diturunkan dari Standar Isi diturunkan dari kebutuhan
2 Standar Isi dirumuskan berdasarkan Standar Isi diturunkan dari
Tujuan Mata Pelajaran (Standar Standar Kompetensi Lulusan
Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran) melalui Kompetensi Inti yang
yang dirinci menjadi Standar bebas mata pelajaran
Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Mata Pelajaran
3 Pemisahan antara mata pelajaran Semua mata pelajaran harus
pembentuk sikap, pembentuk berkontribusi terhadap
keterampilan, dan pembentuk pembentukan sikap,
pengetahuan keterampilan, dan pengetahuan
4 Kompetensi diturunkan dari mata Mata pelajaran diturunkan dari
pelajaran kompetensi yang ingin dicapai
5 Mata pelajaran lepas satu dengan Semua mata pelajaran diikat oleh
yang lain, seperti sekumpulan mata kompetensi inti (tiap kelas)
pelajaran terpisah

Oliva (1982) mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat


ditinjau dari berbagai dimensi tergantung dari filosofi yang dianut
oleh pengembang kurikulum. Beberapa sudut pandang konsep
kurikulum menurut Oliva (1982) adalah 1) kurikulum sebagai
sesuatu yang diajarkan di dalam sekolah; 2) kurikulum sebagai
suatu tujuan yang akan dicapai; 3) kurikulum sebagai isi, materi
pelajaran; 4) kurikulum sebagai suatu program studi; 5) kurikulum
sebagai kumpulan bahan-bahan pelajaran; 6) kurikulum sebagai
suatu urutan sesuai jenjang pendidikan.

Perjalanan Kurikulum Nasional 183


Bagian-bagian kurikulum menurut Oliva (1982) adalah 1)
kurikulum ideal, yang merupakan kumpulan dokumen yang
pada dasarnya berisi tataran ide yang akan dilaksanakan, tujuan
yang diharapkan akan dicapai. Di antaranya konsep kurikulum
sebagai program studi, konsep kurikulum sebagai rencana, konsep
kurikulum sebagai bahan-bahan pelajaran; 2) kurikulum aktual,
yang merupakan implementasi kurikulum dari kurikulum ideal,
konsep kurikulum sebagai hasil pengalaman belajar peserta didik,
konsep kurikulum sebagai bidang studi. Hal ini merupakan inti dari
kurikulum karena terkait langsung dengan proses pembelajaran;
3) kurikulum yang tersembunyi, merupakan aspek kurikulum yang
tidak tertulis tetapi sangat menunjang terhadap pencapaian dalam
implementasi kurikulum; 4) pembelajaran merupakan proses
komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik antara peserta
didik dan pendidik, peserta didik dengan peserta didik atau peserta
didik dengan sumber belajar lain pada suatu lingkungan belajar
tertentu, untuk mencapai tujuan tertentu, dalam proses ini terdapat
suatu proses transfer ilmu; 6) kurikulum dan pembelajaran memiliki
kaitan yang sangat erat, kurikulum berkenaan dengan cakupan
tujuan, isi dan metode yang lebih luas dan umum, sedangkan yang
lebih sempit, lebih khusus menjadi tugas pengajaran. Keduanya
membentuk satu kontinum, kurikulum terletak pada ujung tujuan
umum dan tujuan jangka panjang, sedangkan pengajaran yang
lebih khusus atau tujuan dekat.
Kurikulum yang akan diterapkan di Indonesia perlu dirancang
agar sesuai dengan kondisi sosio masyarakat Indonesia. Untuk
dapat mencapai pendidikan yang diidealkan maka, kita perlu
melakukan pembenahan di segala bidang termasuk merealisasikan
Blended Learning sebagai tuntutan Revolusi Industri 4.0 dan Society
5.0. Bukan hanya menyangkut kurikulum yang ada, tetapi tenaga

184 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


pendidik pun menjadi faktor penentu akan berhasilnya tujuan
pendidikan yang ada. Sekolah sebagai lembaga pendidikan bukan
hanya melaksanakan rutinitas pembelajaran di kelas, akan tetapi
fungsi sekolah harus lebih menekankan akan bagaimana peserta
didik mampu mencari problem solving bagi masyarakatnya.
Sehingga, lulusan yang dihasilkan tidak menjadi masalah baru bagi
masyarakat. Di sinilah peran pendidikan akan dipertanyakan saat
pendidikan tidak mampu memberikan jalan keluar bagi masalah
yang berkembang di masyarakat. Apalagi kalau pendidikan tidak
bisa mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang ingin ia
capai. Namun, tetap semuanya tidak ada yang sempurna. Konsep
pendidikan yang berlandaskan filasafat pragmatisme nantinya
yang menjadi ukuran keberhasilan adalah bisa tidaknya sesuatu
tersebut digunakan untuk kepentingan hidup.
Sekolah masa depan berorientasi kepada kemampuan dasar
dan kebutuhan anak didik. Sekolah masa depan, kurikulumnya
dirancang berdasarkan kepada perkembangan; usia dan tingkat
kognisi anak didik. Sekolah yang didirikan oleh John Dewey tahun
1915 ini ditujukan untuk memenuhi semua fungsi yang belum
lengkap pada sekolah-sekolah yang ada sebelumnya.
Sekolah masa depan merupakan suatu sekolah yang disusun
secara berkesinambungan, berkembang dan berubah sesuai
dengan kebutuhan dan minat peserta didik. Sekolah masa depan
mengemukakan bahwa pendidikan harus bersifat progresif (maju
terus), memperbaiki dan menyusun pelajaran, membimbing
anak didik, bebas dari tekanan serta mengarahkan peserta didik
ke arah pencapaian masa depan mereka. Sekolah masa depan
menginginkan proses pendidikan yang tepat sasaran, mempunyai
aplikasi di bidang sosial, praktik dan teorinya berlangsung secara
terintegrasi dari awal sampai akhir pendidikan. Sehingga harus

Perjalanan Kurikulum Nasional 185


mampu mengubah pola pikir anak didik menjadi kritis, berorientasi
jauh ke depan dan tanggap terhadap lingkungannya.

10. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia


Latar belakang munculnya Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI) adalah karena adanya tantangan dan persaingan
global, dan ratifikasi Indonesia di berbagai konvensi. Kemudian
adanya kesenjangan mutu, relevansi lulusan, beragam kualifikasi,
dan beragam pendidikan. KKNI merupakan pernyataan dan
penjenjangan kualitas SDM Indonesia, agar SDM Indonesia dapat
setara dengan SDM Asing, serta dapat pengakuan kualifikasi.
Dasar hukum KKNI adalah 1) Perpres Nomor 8 tahun 2018; 2)
Permendikbud Nomor 73 tahun 2013; 3) Permendikbud Nomor
49 tahun 2014; 4) Permenristekdikti Nomor 44 tahun 2015. Dalam
KKNI terdapat 9 level kemampuan kerja minimal dari tingkat
Sekolah Dasar hingga Strata III. Untuk level 1 yaitu lulusan SD dan
SMP dengan kemampuan kerja melaksanakan tugas sederhana,
terbatas, bersifat rutin, dan di bawah pengawasan langsung. Untuk
level 2 yaitu lulusan SMA dengan kemampuan kerja melaksanakan
satu tugas secara spesifik. Untuk level 3 yaitu lulusan Diploma I
(D1) dengan kemampuan kerja melaksanakan serangkaian tugas
secara spesifik. Untuk level 4 yaitu lulusan Diploma II (D2) dengan
kemampuan kerja menyelesaikan tugas berlingkup luas dan kasus
spesifik, memilih metode baku. Untuk level 5 yaitu lulusan Diploma
III (D3) dengan kemampuan kerja menyelesaikan pekerjaan
berlingkup luas, memilih berbagai metode. Untuk level 6 yaitu
lulusan Diploma IV (D4) atau Strata I (S1) dengan kemampuan
kerja mengaplikasikan, mengkaji, membuat desain, memanfaatkan
IPTEKS, dan menyelesaikan masalah. Untuk level 7 yaitu lulusan
Program Profesi dengan kemampuan kerja mengelola sumber

186 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


daya, menerapkan, minimal setara standar profesi, mengevaluasi,
dan pengembangan strategis organisasi. Untuk level 8 yaitu lulusan
Strata II (S2) dengan kemampuan kerja mengembangkan IPTEKS
melalui riset inter/multi disiplin, inovasi dan teruji. Untuk level 9
yaitu lulusan Strata III (S3) dengan kemampuan kerja pendalaman
dan perluasan IPTEKS, riset multi-transdisiplin.

Perjalanan Kurikulum Nasional 187


DAFTAR
DA FTAR PUS TAKA
TA K A

Ansyar, M. (1989). Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta:


P2LPTK
Azis, R. (2018). Implementasi Pengembangan Kurikulum. Jurnal
Inspiratif Pendidikan, Volume VII, Nomor 1, Januari-Juni 2018
Bahan Ajar Evaluasi Pendidikan S.3 Universitas Negeri Padang
Prof. Dr. Imam Sodikun, M.Pd.
Beane, J.A. (1990). Effect In The Curriculum: Toward Democracy,
Dignity, and Diversity. New York: Teachers College, Collumbia
University.
Brady, L. & Kennedy, K. (2007). Curriculum Construction. Frenchs
Forest, NSW: Pearson, Prentice Hall.
Bruner, J. (1960). Process of Education, Cambridge, Mass: Harvard
University Press
Bonks. (2002). Assessment and Evaluation Techniques in Corporate
Setting.
Dewey. (1962). School of Tomorrow. Chicago: E.P. Dutton & Co., Inc
Dewey. (1974). The Child and The Curriculum. Chicago: The University
of Chicago Press
Fullan, M. (1992). Successful School Improvement. McGraw-Hill
Education (UK)
Fullan, M. G., & Hargreaves, A. (1991). Working together for your
school: Strategies for developing interactive professionalism in
your school. Melbourne: Australian Council for Educational
Administration.
Gronlund, N. E. (1981). Measurement and Evaluation in Teaching.
New York: Macmillan Publishing Co. Inc
Howel & Nolet. (2000). Curriculum Based Evaluation. (3rd edition),
Belmont CA: Wadsworth/ Thomas Learning
Hyman (ed.). (1973). Approaches in Curriculum. Engleewood Cliffs,
N. J: Prentice Hall, Inc.
Johnson. (1968). Foundations of Curriculum. Colombus, Ohio: A
Bell & Howell Company.
Kemendikbud. (2012). Bahan Uji Publik Kurikulum 2013. Jakarta:
Kemendikbud.
Kristiawan, M. (2016). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Valia Pustaka.
Levine, D. U., & Lezotte, L. W. (1990). Unusually effective schools:
A review and analysis of research and practice. Madison,
WI: The National Center for Effective Schools Research and
Development.
MacBeath, J. E. C. & Mortimore, P. (2001). Improving School
Effectiveness. Open University
Moller, H., F. Berkes, P. O. Lyver, and M. Kislalioglu. (2004).
Combining science and traditional ecological knowledge:
monitoring populations for co-management. Ecology and
Society 9(3)

190 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Muijs, D., Harris, A., Chapman, C., Stoll, L., & Russ, J. (2004).
Improving School in Socio-Economically Disadvantaged Areas:
An Overview of Research School Effectiveness and School
Improvement., 15(2), 149-176
Mulyasa, E. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep;
Karakteristik dan Implementasi. Bandung: P.T. Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2004). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi;
Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: P.T. Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2006). Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung :
P.T. Remaja Rosdakarya
Nicolaidou, M., Ainscow, M.. (2005). Understanding failing schools:
Perspectives from the inside. School Effectiveness and School
Improvement, Vol. 16, No. 3, 09.2005, p. 229-248.
Oliva, F. P. (1982). Developing the Curriculum. Little Brown and
Company Publisher
Ornstein. A. C., dan Hunkins, F. P. (1988). Curriculum: Foundation,
Principles and Issue. Englewood Cliffs; New Jersey; Prentice
Hall.
Paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Bidang
Pendidikan di Jakarta, 14 Januari 2014
Perdana, D. I. (2013). Kurikulum Dan Pendidikan Di Indonesia:
Proses Mencari Arah Pendidikan Yang Ideal Di Indonesia Atau
Hegemoni Kepentingan Penguasa Semata? Jurnal Pemikiran
Sosiologi Volume 2 No.1, Mei 2013.

Daftar Pustaka 191


Permendikbud Nomor 73 tahn 2013
Permendikbud Nomor 49 tahun 2014
Permendiknas No. 19 Tahun 2005
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007
Permenristekdikti Nomor 44 tahun 2015.
Perpres Nomor 8 tahun 2018
Ronald S. B. (1988). Content of the curriculum. Alexandria, Verginia:
ASCD Year Book
Rudduck, J. (2007). Innovation and Change. Mass: Harvard
University Press.
Rudduck, J. (1996) School Improvement: What Can Pupils Tell Us.
Mass: Harvard University Press.
Sammons, P., Hillman, J. and Mortimore, P. (1995) Key Characteristics
of Effective Schools: a Review of School Effectiveness Research.
Report by the Institute of Education, University of London, for
the Office for Standards in Education.
Slavin, R. E. (2005). Cooperative Laerning. London: Allymand Bacon.
Sukmadinata, N .S. (1997). Pengembangan Kurikum; Teori dan
Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Teddlie, C., & Reynolds, D. (2000). International handbook of school
effectiveness. London: Falmer.
Tyler, R. W. (1949). Basic Principles of Curriculum and Instruction.
Chicago; the University of Chicago Press
Taba, H. (1962). Curriculum development Theory and practice. New
York Harcourt, Brace & World.

192 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran


Sadulloh, U. (1994). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T.
Media Iptek
Saylor, J. G., & William M. Alexander. (1966). Curriculum Planning
for Modern School, New York: Holt Rinehart and Winston Inc
Stufflebeam, D. L. (2003). The CIPP Model for Evaluation. In
T. Kellaghan & D. L. Stufflebeam (Eds.), The international
handbook of educational evaluation (Chapter 3). Boston:
Kluwer.
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003
Worthen, B. R. & Sanders, J. R. (1973). Educational Evaluation:
Theory and Practice. Belmont, California: A Charles A. Jones
Publication. Wadsworth Publishing Company. Inc.
Zais, R. S. (1976). Curriculum: Principles and Foundation, New York;
Harper & Row Publisher

Daftar Pustaka 193


TENTANG PENUL I S

Dr. Muhammad Kristiawan, M.Pd., lahir di Desa


Gedungsari, 16 September 1985 biasa dipanggil Kris
atau Wawan. Ia adalah anak ketiga dari pasangan
Ibnu Hajar dan Jumirah. Ia dilahirkan di sebuah desa
yang letaknya cukup jauh dari Kota tepatnya di
kecamatan Anak Ratu Aji, Lampung Tengah. Tinggal
di sebuah desa dengan segala keterbatasan memang cukup
mempengaruhi pribadinya sedari kecil. Ia dididik di Sekolah Dasar
Gedungsari, Anak Ratu Aji dari Tahun 1991 sampai dengan 1997.
Kemudian ia melanjutkan Pendidikan Menengah Pertama di MTs
Pondok Pesantren Darussalam Lampung dari Tahun 1997 sampai
dengan 2000. Selanjutnya ia melanjutkan Pendidikan Menengah
Atas di MAPK/MAN 1 Bandar Lampung.
Setelah menamatkan studi di MAN 1 Bandar Lampung,
ia menempuh pendidikan S1 di IAIN Salatiga, Program Studi
Pendidikan Bahasa Inggris dari tahun 2003 sampai tahun
2007. Untuk pendidikan S2 ia menyelesaikannya di Universitas
Muhammadiyah Surakarta dengan program Beasiswa Fresh Student
UMS, pada Program Studi Manajemen/Administrasi Pendidikan
dari Tahun 2007 sampai tahun 2009. Setelah menyelesaikan studi
S2, ia mengabdikan diri menjadi Dosen di berbagai Perguruan
Tinggi di Lampung antara lain Universitas Bandar Lampung,
IAIN Raden Intan, STAIN Jurai Siwo, Metro, ABA dan STMIK DCC
Lampung, STMIK Pringsewu, dan LP3i Bandar Lampung. Kemudian
pada tahun 2011 direkomendasikan oleh Kopertis Wilayah II
untuk menempuh S3 dengan Beasiswa Dikti (BPPS) di Universitas
Negeri Padang melalui homebase STMIK Pringsewu. Pendidikan S3
ditempuh selama 2 tahun 11 bulan dari tahun 2011 sampai tahun
2014. Selama menempuh pendidikan, ia juga dipercaya mengajar
di STKIP YDB Lubuk Alung, STKIP PGRI Sumatera Barat, LP3i
Padang, UMSB, dan IAIN Batusangkar. Pada tahun 2016 dipercaya
oleh Universitas PGRI Palembang untuk mengajar dan menjadi
Dosen Tetap Universitas PGRI Palembang, Program Pascasarjana,
Program Studi Magister Manajemen Pendidikan. Kemudian ia
saat ini menjadi dosen Program Doktor Pendidikan di Universitas
Bengkulu. Buku yang telah diterbitkan antara lain 1) Filsafat
Pendidikan; 2) Manajemen Pendidikan; 3) Inovasi Pendidikan; dan
4) Supervisi Pendidikan. Saat ini menjadi reviewer 1) International
Journal of Learning, Teaching and Educational Research (Indexed
Scopus); 2) The Linguistics Journal (Under Review Scopus); 3)
Noble International Journal of Social Sciences Research (Indexed
Google Scholar); 4) Educational Research and Review (Indexed
ERIC); 5) Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Publik, UNM, Sinta 3; 5)
Thufula, IAIN Kudus, Sinta 3; 6) At-Ta’dib, Gontor, Sinta 3; 7) Tadbir,
IAIN Curup, Sinta 3; 8) Al-Idarah, UIN Raden Intan Lampung, Sinta
4; 9) JMKSP, UPGRI Palembang, Sinta 4; 10) JETLI, IAIN Kudus; dan
11) Fundikdas, UAD.

196 Analisis Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran

Anda mungkin juga menyukai