Anda di halaman 1dari 10

TUGAS RANGKUMAN

PENGANTAR HUKUM INDONESIA

Dosen : Dahlan Suherlan, S.H, M.H.

Kelompok 9 :

1. Syafa Dipta Pradina Setiawan – 183112330050172


2. Fani Adetya Sekarsari – 183112330050173
3. Adam Al Ghalib – 183112330050175
4. Ribka Sibuea – 1832112330050176

BAB IX
HUKUM ACARA PERDATA

A. Pendahuluan.
Jenis – jenis badan peradilan
Didalam pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-
ketentuan pokok kekeuasaan kehakiman dikenal 4 lingkungan badan
peradilan:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
B. Pengertian Hukum Acara perdata
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya ditaati hukum perdata materil dengan perantaraan
hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah pelaksanaan
hukum perdata materil, dan mengatur tentang bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan
dari pada putusannya. Tuntutan hak yang memperoleh perlindungan
hukum yang diberikan oleh peradilan untuk mencegah “ eigenriching”
atau tindakan menghakimi sendiri.
Objek dari hukum acara perdata ialah keseluruhan yang bertujuan
melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata
materil dengan perantaran kekuasaan negara. Yang dimaksud dengan
peradilan disini ialah pelaksaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan
hak.
Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu : tahap
pendahulaun, tahap penentuan, dan tahap pelaksaan.

C. Sumber Hukum Acara Perdata


Berdasarkan pasal 5 ayat(1) UU Darurat 1/1951, hukum acara
perdata pada pengadilan negri dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan UU darurat tersebut. UU darurat 1/1951 tersebut tidak lain
adalah Het Herziene Indonesisich Reglement (HIR atau Reglement
indonesia yang diperbaharui: S.1848 no.16, S.1941 no.44) untuk daerah
jawa dan madura, dan Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg. Atau
Reglement daerah seberang : S 1927 no.227) untuk luar jawa dan madura.
Hukum acara perdata yang dinyatakan resmi berlaku adalah HIR untuk
jawa dan madura dan Rbg. Untuk luar jawa dan madura. Menurut
soepomo dengan dihapuskan Raad Justitie dan Hooggereschtshof, maka
Rv sudah tidak berlaku lagi, sehingga dengan demikian hanya HIR dan
Rbg sajalah yang berlaku.
Tidak boleh dilupakan UU.14/1970 (LN 74) tentang ketentuan-
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang membuat bebrapa ketentuan
tentang hukum acara perdata. Bagi peradilan tinggi hukum acara perdata
dalam hal banding diatur dalam UU no.20/1947 untuk daerah jawadan
madura, sedangkan untuk daerah luar jawa dan madura diatur dalam Rbg.
(pasal 199-205).
D. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
1. Hakim Bersifat Menunggu.
Dalam hal ini hukum acara perdata ialah bahwa pelaksaannya
yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya
kepada yang berkepentingan. Apakah suatu perkara atau tuntutan
hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada
pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau
penuntutan maka tidak ada hakim, demikianlah bunyi pemeo yang
tidak asing lagi (Wo kein Klager ist,ist kein Richter; nemo judex sine
actore).
Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya,
sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas (pasal
14 ayat 1 UU.14/1970.
2. Hakim Pasif.
Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam
arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang
diajukan kepada hakim untulk diperiksa pada asasnya ditentukan
oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya
membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan (Pasal
UU.14 /1970).
Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang
telah diajukan kemuka pengadilan, sedang hakim tidak dapat
mengahalanginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan
gugatan (pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR, pasal 189 ayat (2) dan (3)
Rbg).
Apakah yang bersangkutan akan mengajukan banding atau tidak pun
bukan kepentingan daripada hakim (pasal 6 UU.20/1947, 199 Rbg).
Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim.
Asas ini disebut Verhandlungs-maxime.
3. Sifat terbukanya persidangan.
Tujuan daripada asas ini tidak lain untuk memberi perlindungan
hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih
menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan
pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada
masyarakat. Asas ini kita jumpai dalam pasal 17dan 18 UU. 14/1970.
4. Mendengar kedua belah pihak.
Dalam pasal 5 ayat (1) UU 14/1970, mengandung arti bahwa
didalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama
diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-
masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya. Asas
bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas
“audi etalteram partem” atau “Eines mannes Rede ist keines Mannes
Rede, Man soll sie Horen alle beide”. Hal ini berarti bahwa hakim
tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai
benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan
untuk mengeluarkan pendapatnya. Bahwa pengajuan alat bukti harus
dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak ( dalam
pasal 132a, 121 ayat 2 HIR, 145 ayat 2, 157 Rbg, 47 Rv).
5. Putusan harus serta disertai alasan-alasan.
Semua putusan pengafilan harus memuat alasan-alasan putusan
yang dijadikan dasra mengadili (pasal 23 UU.14/1970, 184 ayat 1, 139
HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan
sebagai pertanggungan-jawab hakim dari pada putusannya terhadap
masyarakat, sehingga oleh karenanya mempunyai wibawa dan bukan
karena hakim tertentu yang menjatuhkannya.

Untuk lebih mempertanggung jawabkan putusan sering juga dicari dukungan


pada yurisprudensi dan ilmu pengetahuan.

Mencari dukungan pada yurisprudensi tidak berarti bahwa hakim terikat


pada atau harus mengikuti putusan mengenai perkara yang sejenis yang pernah
dijatuhkan oleh M.A., P.T. atau yang telah pernah diputuskannya sendiri saja.
Walaupun kita pada asasnya tidak menganut asas “the binding force of
precedent”.
6. Beracara dikenakan biaya
Untuk berpekara pada asasnya dikenakan biaya (ps. 4 ayat (2), 5 ayat (2)
UU. 14/1970, 121 ayat (4), 182 HIR, 145 ayat (4), 192-194 Rbg).
Bagi mereka yang tidak mampu mengeluarkan biaya perkara, dapat
mengajukan perkara secara cuma-cuma (pro deo) dengan mendapatkan ijin
untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat
keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (pasal 237 HIR, 273
Rbg).
Permohonan perkara secara pro deo akan ditolak oleh pengadilan apabila
penggugat ternyata bukan orang tidak mampu.

7. Tidak ada keharusan mewakilkan


HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain,
sehingga pemeriksaan terjadi secara langsung kepada yang berkepentingan.
Tetapi para pihak dapat diwakili oleh kuasanya kalalu dikehendakinya (Pasal
123 HIR, 147 Rbg).

E. PEMBUKTIAN

Untuk dapat mengkonstatir peristiwa, maka peristiwa itu harus dibuktikan


kebenarannya. Pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian
“historis”. Pembuktian yang bersifat historis ini mencoba menetapkan apa yang
telah terjadi secara konkreto.

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang
cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

F. ALAT-ALAT BUKTI
Alat bukti bersifat oral merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang
di persidangan. Alat bukti yang bersifat documentary adalah surat. Sedangkan
alat bukti bersifat material adalah barang phisik lainnya selain dokumen, atau
biasa disebut juga demonstrative evidence.

Alat-alat dalam acara perdata yang disebutkan oleh UU (Pasal 164 HIR, 284
Rbg, 1866 BW) ialah : alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi,
persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.

G. DEFINISI PUTUSAN

Putusan hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim, yang diberikan


wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan yang bertujuan untuk
mengakhiri suatu perkara sengketa antar pihak. Putusan yang diucapkan di
persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis).
Kalau ternyata ada perbedaan antara yang diucapkan dengan yang tertulis, maka
yang sah adalah yang diucapkan : lahirnmya putusan itu sejak diucapkan.

H. JENIS-JENIS PUTUSAN

Pasal 185 ayat 1 HIR (Pasal 196 ayat 1 Rbg) membedakan antara putusan
akhir dan yang bukan putusan akhir. Putusan akhir ini ada yang bersifat :

1. Condemnatoir, putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan


2. Constitutif, putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan
hukum
3. Declaratoir, putusan yang isinya bersifat menyatakan apa yang sah

Pada hakekatnya semua putusan bersifat declaratoir. Sedangkan yang bukan


putusan akhir disebut juga putusan sela atau antara, untuk memperlancar
pemeriksaan perkara.

I.UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN


Bagi setia putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya
atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.

Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap putusan selama
tenggang waktu yang di tentukan oleh undang-undang. Upaya hukum biasa
bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara.upaya hukum biasa
ialah:perlawanan(verzet), banding dan kesasi.

Upaya hukum istimewa ini hanya dibolehkan dalam hal-hal tertentu disebut
dalam undang-undang saja. Trmasuk upaya hukum istimewa ialah request
civil(peninjauan kembali) dan derdenvezet(perlawanan) dari pihak ketiga.

Apabila pihak ketiga hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, maka dapat
mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut(pasal 378Rv).

J. JENIS-JENIS PELAKSANAAN PUTUSAN

Jenis pelaksanaan putusan, yaitu :

1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk


membayar sejumlah uang. Pasal 196 HIR (Pasal 208 Rbg)
2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu
perbuatan. Pasal 225 HIR (Pasal 259 Rbg)
3. Eksekusi riil atau putusan hakim yang memerintahkan pengosongan
benda tetap. Pasal 1033 Rv. Eksekusi jenis ini walalupun diatur dalam
Rv, namun oleh karena dibutuhkan oleh praktek peradilan maka lazim
dijalankan.

Disamping tiga jenis eksekusi tersebut di atas masih dikenal apa yang
dinamakan “parate executie” atau eksekusi langsung.

KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari hasil rangkuman kami mengenai judul hukum
perdata ini ialah

1) Hukum acara perdata merupakan keseluruhan peraturan yang bertujuan


melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil
itu terjadi melalui peradilan. Cara inilah yang disebut dengan Litigasi.

Hukum acara perdata yang berlaku saat ini sifatnya luwes, terbuka dan
sederhana (tidak formalistis). Para hakim mendapat kesempatan yang seluas-
luasnya untuk mempergunakan hukum yang tidak tertulis sepanjang tidak
bertentangan dengan UUD 1945.

2) Asas-asas hukum acara perdata

1. Peradilan bebas dari campur tangan pihak-pihak diluar kekuasaan


kehakiman.
2. Asas objektivitas
3. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan
4. Gugatan atau permohonan diajukan dengan surat atau lisan
5. Inisiatif berpekara diambil oleh pihak yang berkepentingan
6. Beracara diekenakan biaya
7. Keaktifan hakim dalam pemeriksaan
8. Para pihak dapat meminta bantuan atau mewakilkan seorang kuasa
9. Sifat terbukanya persidangan
10.Mendengar kedua belah pihak

3) Struktur Kekuasaan Pengadilan diIndonesia


1. Mahkamah Agung
2. Peradilan Umum
3. Perdilan Agama
4. Perdailan Militer
5. Peradilan Tata Usaha Negara

Anda mungkin juga menyukai