Anda di halaman 1dari 8

I

PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang
terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan
kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang
sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar Al-Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi
kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan
kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau
masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui
hukum Islam mengenai hal itu. Maka Al-Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk
pertanyaan yang muncul itu.
Dan setelah sepeninggalan Rasulullah SAW berkembanglah problematika dalam
kehidupan yang belum ada pada zaman Rasulullah SAW. Sehingga banyak sahabat yang
menafsirkan Al-Quran dengan sepemahaman mereka. 
Ilmu tafsir menurut beberapa ulama dibagi menjadi empat macam yaitu, tafsir Tahlili,
tafsir Ijmali, tafsir Muqaran, dan tafsir Mawdlu’i. Namun, yang akan kita bahas kali ini yaitu
tentang tafsir Tahlili dalam Surah hud ayat 23 – 25.
Tafsir Tahlili adalah ilmu tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an secara detail dari mulai ayat
demi ayat, surat demi surat ditafsirkan secara berurutan, selain itu juga tafsir ini mengkaji Al-
Qur’an dari semua segi dan maknanya. Tafsir ini juga lebih sering digunakan dari pada tafsir-
tafsir yang lainnya.
II
PEMBAHASAN
A   Penafsiran Al-quran Surat Hud Ayat 23-25

Tafsir Al-Qur’an Surah Huud


Surah Makkiyyah; surah ke 11: 123 ayat

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih dan


merendahkan diri kepada Rabb mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga, mereka
kekal di dalamnya. (QS. 11:23) Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan
orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat
mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya. Maka tidakkah kamu
mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)? (QS.-11:24)” (Huud: 23-24)
Setelah Allah menceritakan keadaan orang-orang yang hidup sengsara, kemudian Allah
menceritakan golongan orang-orang yang berbahagia, yaitu mereka yang beriman dan
mengerjakan amal shalih. Hati mereka benar-benar beriman dan seluruh anggota tubuh mereka
berbuat amal shalih, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yakni dengan mengerjakan berbagai
ketaatan dan menjauhi berbagai kemungkaran.

B.    ASBABUNUZUL Al-quran Surat Hud Ayat 13-14

Dengan demikian, mereka menjadi pewaris beraneka ragam surga yang mempunyai banyak
kamar yang tinggi, pelaminan yang berderet rapi, aneka buah-buahan yang segar, permadani
yang tebal, serta berbagai keindahan yang menyenangkan, berbagai macam makanan yang lezat
dan minuman yang segar, serta kesempatan memandang kepada Rabb Pencipta langit dan bumf.
Di dalamnya mereka benar-benar kekal untuk selamanya, tidak akan mati, tidak tua, tidak juga
sakit, tidak tidur, tidak buang kotoran, tidak meludah dan tidak berdahak, melainkan ia selalu
mengeluarkan bau yang sangat harum.
Kemudian Allah memberikan perumpamaan antara orang orang kafir dengan orang-orang yang
beriman, di mana Allah berfirman: matsalul fariqaini (“Perumpamaan kedua golongan itu.”)
Yakni, golongan orang-orang kafir yang disifati dengan kesengsaraan dan golongan orang-orang
mukmin yang memperoleh kebahagiaan.

Kelompok yang pertama itu adalah seperti orang buta dan tuli sedangkan kelompok kedua adalah
seperti orang yang dapat melihat dan mendengar. Dengan demikian, orang kafir itu buta dari
kebenaran selama hidup di dunia dan di akhirat ia tidak akan pernah mendapat petunjuk menuju
kepada kebaikan dan tidak pula mengetahuinya, serta tuli dari berbagai hujjah sehingga ia tidak
dapat mendengar apa yang bermanfaat baginya.

Sebagaimana yang difirmankan Allah: “Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada
mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.” (QS. Al-Anfaal: 23)

Sedangkan orang mukmin, mempunyai kecerdasan dan pikiran yang cemerlang, serta mampu
melihat kebenaran, dapat membedakan antara yang haq dengan yang bathil, sehingga ia akan
mengikuti kebaikan dan meninggalkan segala hal yang buruk. Dan ia juga dapat mendengar
hujjah dan mampu membedakannya dari hal-hal yang syubhat (samar-samar), sehingga ia tidak
akan terjebak dalam kebathilan. Dengan demikian, apakah sama antara kelompok pertama
dengan kelompok yang kedua?

Afalaa tadzakkaruun (“Maka tidakkah kalian mengambil pelajaran [dari perbandingan itu]?”)
Tidakkah kalian memperhatikan, sehingga kalian dapat membedakan antara masing-masing
kelompok di atas?

C.    HUBUNGAN SEBELUM DAN SESUDAHNYA

Kemudian Allah Swt. membuat perumpamaan tentang orang-orang kafir dan orang-orang
mukmin. Untuk itu, Allah Swt. berfirman:
}‫{ َمثَ ُل ا ْلفَ ِريقَ ْي ِن‬
Perbandingan kedua golongan itu. (Hud: 24)
Maksudnya, perbandingan antara orang-orang yang disebutkan oleh Allah sebagai orang-orang
yang celaka dan orang-orang mukmin yang berbahagia ialah: Orang-orang yang celaka itu sama
halnya dengan orang yang buta dan yang tuli, sedangkan orang-orang yang berbahagia sama
halnya dengan orang yang melihat dan yang mendengar. Orang kafir buta tidak dapat melihat
kebenaran di dunia dan akhirat, tidak mendapat petunjuk kepada kebaikan dan tidak
mengenalnya. Dan ia tuli, tidak dapat mendengar hujah-hujah sehingga tidak dapat beroleh
manfaat darinya, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain, yaitu:
ْ َ‫س َم َع ُه ْم َولَ ْو أ‬
} َ‫س َم َع ُه ْم لَتَ َولَّ ْوا َو ُه ْم ُم ْع ِرضُون‬ ْ ‫{ولَ ْو َعلِ َم هَّللا ُ فِي ِه ْم َخ ْي ًرا أل‬
َ
Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan
mereka dapat mendengar. (Al-Anfal: 23), hingga akhir ayat.
Adapun orang mukmin, maka ia cerdas, cerdik lagi berakal; ia dapat melihat perkara yang hak
dan dapat membedakannya dengan yang batil, lalu mengikuti yang baik dan meninggalkan yang
buruk. Dia pun mendengar hujah-hujah dan dapat membedakannya dengan hal
yang syubhat, maka dia tidak teperdaya oleh perkara yang batil. Maka apakah sama antara orang
ini dan orang itu? (yakni antara orang mukmin dan orang kafir). Jawabannya, tentu tidak.
} َ‫{أَفَال تَ َذ َّكرُون‬
Maka tidakkah kalian mengambil pelajaran (dari perbandingan itu)? (Hud: 24)
Tidakkah kalian mengambil pelajaran, kemudian kalian membedakan antara orang-orang
mukmin dan orang-orang kafir itu? Ayat ini semisal dengan ayat lain yang disebutkan melalui
firman-Nya:
} َ‫اب ا ْل َجنَّ ِة ُه ُم ا ْلفَائِ ُزون‬ ْ َ‫اب ا ْل َجنَّ ِة أ‬
ُ ‫ص َح‬ ْ َ‫اب النَّا ِر َوأ‬
ُ ‫ص َح‬ ْ َ‫ستَ ِوي أ‬
ُ ‫ص َح‬ ْ َ‫{اَل ي‬
Tidak sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni
surga itulah orang-orang yang beruntung.  (Al-Hasyr: 20)
ْ ُ‫األحيَا ُء َوال األ ْم] َواتُ إِنَّ هَّللا َ ي‬
ْ‫س ] ِم ُع َمن‬ ْ ‫ستَ ِوي‬ ْ َ‫ظلُ َماتُ َوال النُّو ُر َوال الظِّ ُّل َوال ا ْل َح ُرو ُر َو َما ي‬ ُّ ‫صي ُر َوال ال‬ ِ َ‫ستَ ِوي األ ْع َمى َوا ْلب‬ ْ َ‫{و َما ي‬
َ
}‫شي ًرا َونَ ِذي ًرا َوإِنْ ِمنْ أُ َّم ٍة إِال َخال فِي َها َن ِذي ٌر‬ َ ‫س ِم ٍع َمنْ فِي ا ْلقُبُو ِر إِنْ أَ ْنتَ إِال نَ ِذي ٌر إِنَّا أَ ْر‬
ِّ ‫س ْلنَا َك بِا ْل َح‬
ِ َ‫ق ب‬ ْ ‫يَشَا ُء َو َما أَ ْنتَ بِ ُم‬
Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidak (pula) sama gelap
gulita dengan cahaya, dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas, dan
tidak  (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah
memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendakinya, dan kamu sekali-kali tiada
sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar. Kamu tidak lain hanyalah
seorang pemberi peringatan. Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umat
pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. (Fathir: 19-24)
D.    HADIST-HADIST YANG TERKAIT

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ ‫بَا ِدرُوا بِاألَ ْع َما ِل فِتَنًا َكقِطَع اللَّ ْي ِل ْال ُم‬


‫ظلِ ِم يُصْ بِ ُح ال َّر ُج ُل ُم ْؤ ِمنًا َويُ ْم ِسى َكافِرًا أَوْ يُ ْم ِسى ُم ْؤ ِمنًا‬ ِ
‫ض ِمنَ ال ُّد ْنيَا‬
ٍ ‫َويُصْ بِ ُح َكافِرًا يَبِي ُع ِدينَهُ بِ َع َر‬
“Bersegeralah melakukan amalan shalih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan
malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari
dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam
keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia” [HR. Muslim]

Tidak Boleh Meyakini Kafirnya Orang Yahudi dan Nashrani?

Maksud dari kafir di sini bukanlah makna kiasan, tetapi makna sesungguhnya yaitu lawan dari
iman atau tidak beriman lagi dengan agamanya. Al-Qurthubi menjelaskan hal ini, beliau berkata

‫ ألن المحن والشدائد إذا توالت على القلوب‬،‫وال إحالة وال بعد في حمل هذا الحديث على ظاهره‬
‫ وبما تؤثر فيها من القسوة و الغفلة التي هي سبب الشقوة‬،‫أفسدتها بغلبتها عليها‬
“Bukan tidak mungkin untuk memaknai hadits ini dengan makna dzahirnya (benar-benar kafir),
karena ujian dan fitnah apabila datang berturut-turut akan merusakn hati dan
mengalahkannya. Akan memberikan pengaruh/dampak berupa kerasnya hati, kelalaian yang
merupakan sebab kebinasaan.” [Al-Mufhim 1/326]

Hadits di atas juga memotivasi kita agar bersegera untuk beramal sebelum datang waktu di
mana kita tidak mampu beramal lagi seperti sakit parah mendadak atau kematian mendadak
yang cukup banyak terjadi di zaman ini. Inilah yang ditekankan oleh syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah, beliau berkata:

‫ قد يبتلى بمرض يفسد عليه‬،‫ موت الفجأة‬،‫ يحذر قد يبتلى بالموت العاجل‬،‫المؤمن يبادر باألعمال‬
‫ يبتلى بأشياء أخرى‬،‫ يبتلى بهرم‬،‫ فال يستطيع العمل‬،‫قوته‬
“Seorang mukmin hendaknya segera beramal dan berhati-hati apabila diuji dengan kematian
yang disegerakan atau kematian mendadak, demikian juga diuji dengan penyakit yang
melumpuhkan kekuatannya atau diuji dengan ketuaan yang lemah atau diuji dengan hal lainnya

Apakah Orang Kafir akan Dihisab di Akhirat?


Para ulama memperingatkan kita bahwa zaman ini adalah zamannya fitnah dan ujian serta
sibuknya manusia dengan urusan duniannya yang melalaikan. Dua sumber utama fitnah yaitu
syubhat dan syahwat sangat mudah menyambar manusia di era internet dan sosial media saat
ini. Fitnah tersebut perlahan-lahan akan mengeraskan hati sebagaimana tikat yang dianyam,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ير ُعودًا ُعودًا‬


ِ ‫ص‬ِ ‫ب َك ْال َح‬
ِ ‫تُ ْع َرضُ ْالفِت َُن َعلَى ْالقُلُو‬
“Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi
seutas”. [HR.Muslim no 144]
III
KESIMPULAN
Dari Surah Hud ayat 23 – 25  tadi terdapat pelajaran yang dapat kita simpulksn sebagai
berikut :
1.      Al-Quran bukanlah hasil dari ilmu filsafat atau ilmu pengetahuan alam manusia, melainkan
berasal dari ilmu tak berhingga yang dimiliki Allah Swt. Oleh karena itulah kandungan isinya
tidak terbatas oleh masa, tempat, ras, atau generasi.

2.      Kekafiran dan keragu-raguan yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam jangan


sampai  membuat kita meragukan kebenaran al-Quran dan risalah Nabi Muhammad Saw.

3.      Nilai amal ibadah kita tergantung dari motivasi dan tujuannya. Sebuah perbuatan baik, jika tidak
diniatkan untuk mencari ridha, tidak ada artinya di mata Allah.

4.      Tuhan itu adil dan amal baik orang-orang pengejar dunia tidak akan sia-sia saja. Namun, pahala
yang diberikan Allah kepada mereka hanya terbatas di dunia yang singkat dan tak bernilai ini.
Amal-amal baik tanpa niat demi keridhaan Allah, tidak akan bisa menyelamatkan manusia di
alam akhirat kelak.

5.      Para pengejar dunia akan datang ke alam akhirat dengan tangan kosong dan tempat mereka
adalah di neraka. Jika mereka hanya mementingkan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim wa tarjamtu Maaniyah ila lughotil Indunisia,  ( Madinah
Munawarah : Mujamma Al-Malik Fahd li thiba’at al-Mushaf )
Abdullah Muhammad, Abu, Tafsir Jamiul ahkami Al-Quran ( Maktabah Syamilah :
Darul               kitab      Mesir, 2003 )
Manupraba, Wisnu, Tafsirq ,  diakses dari https://tafsirq.com/11-hud/ayat-16, Pada tanggal
25        Maret pukul 08.12
Muhammad Al-Mahali, Jalaludin dan Abdurahman Assuyuti,  Tafsir Al-Qur’an al-Adzhim
Lil .           imaamaini Al-Jalaalaini, (Surabaya : Maktabatu daarur rahman)
Shuhab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Kesan dan keserasian Al-quran ( Jakarta :
Lentera .             hati, 2002)

Anda mungkin juga menyukai