Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KERANGKA BERFIKIR IRFANI


DASAR-DASAR FALSAFI AHWAL DAN MAQAMAT

Dosen Pengampu : SUYITNO, M.Pd.I

Pemateri :
CHOIRUL ANWAR
M. KRISNA RAMDHAN

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)


MISBAHUL ULUM GUMAWANG
2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, puji syukur kehadiran Allah SWT karena berkat limpahan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Kerangka Berfikir
Irfani Dasar-Dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat.
Shalawat serta salam selalu kami limpahkan kepada junjungan kami Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya, atas jasa beliau kita
sebagai umat Islam bisa melihat dunia ini dipenuhi akhlak yang mulia, rahmat dan
kasih sayang yang selalu tumbuh diantara umatnya.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Tidak ada kesempurnaan
dalam makalah ini karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, kami memohon maaf apabila dalam makalah
terdapat kesalahan yang tidak kami sengaja. Dan kami mengharap kritik serta
saran dari para pembaca agar kami dapat menjadi lebih baik lagi dalam penulisan
makalah selanjutnya.
Akhir kata, semoga makalah ini bisa membantu menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Belitang, September 2020

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 1
C. Tujuan......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Maqam-Maqam dalam Tasawuf................................................................. 3
B. Ahwal yang Dijumpai dalam Perjalanan Sufi............................................ 7
C. Metode Irfani.............................................................................................. 10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................................................. 14
B. Saran........................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di samping tasawuf, Islam juga mengenal ajaran ruhani atau
ilmulainnya yang disebut dengan irfan’ menurut Ruhullah syam, sebagaimana
yang dilihat secara umum istilah irfan dan tasawuf digunakan secara sinonim
di dunia Islam hari ini.irfan secara bahasa etimologi bermakna pengetahuan,
sebab itu irfan dan tasawuf islam menunjukkan sesuatu bentuk pengetahuan,
bahwa pelajaran syair suluk seorang hamba kepada alloh akan meniscayakan
suatu bentuk pengetahuan yang lebih haqiqi daripada pengetahuan konsepsi
dan afrimasi panca indra dan akal. Irfani dalam bahasa arab adalah bentuk
mashdar dari arafa yang berarti ma’rifat. Istilah ini berlaku secara umum
didalam ajaran syi’ah dan secara khusus ia berkaitan dengan ide-ide sufisme,
yakni dalam konteks operatif yang membedakan antara murid thariqat dan
gurunya. dan dalam kontks transmisi formal melalui jalur atau silsilah tertentu.
Potensi untuk memperoleh makrifat sesungguhnya telah ada pada
manusiaPenyingkapan pengetahuan seperti ini merupakan wacana Irfaniyah.
Hanya dengan sarana qalb itulah, ilmu makrifat dapat diperoleh manusia. llmu
pengetahuan yang dihasilkan dari kondisi dialogis batiniah dengan perangkat
qalb yang suci inilah yang mereka sebut sebagai ilmu makrifat, dan bahkan
secam spesifik dapat memperoleh ilmu laduni yakni ilmu yang datang lewat
ilham yang dibisikkan ke dalarn hati manusia. Dengan demikian, qalb
berpotensi untuk berdialog dengan Tuhan. Inilah yang dimaksud Al-Ghazali
dengan ungkapan bahwa di luar akal dan jiwa, terdapat alat yang dapat
menyingkap pengetahuan yang gaib dan hal-hal yang akan terjadi pada masa
mendatang.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Maqam-Maqam dalam Tasawuf?
2. Jelaskan Ahwal yang Dijumpai dalam Perjalanan Sufi?

iv
3. Jelaskan Metode Irfani?

C. Tujuan
1. Mengetahui Maqam-Maqam dalam Tasawuf
2. Mengetahui Ahwal yang Dijumpai dalam Perjalanan Sufi
3. Mengetahui Metode Irfani

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Maqam-Maqam dalam Tasawuf


Seperti yang disinggung di atas bahwa maqam yang dijalani kaum sufi
umumnya terdiri dari tobat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal.1
1. Tobat
Menurut Qalam Kailani dalam bukunya Fi At-Tashawwuf Al-Islami, tobat
adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hari disertai
permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan
dosa. Sementara itu, Al-Ghazali mengklasifikasikan tobat pada tiga tingkatan:
a. Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada
kebaikan karena takut kepada siksa Allah.
b. Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju ke situasi yang lebih baik
lagi. Dalam tasawuf keadaan ini sering disebut “inabah”
c. Rasa penyesalah yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan
kecintaan kepada Allah, hal ini disebut “aubah”.
Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal di jalan
menuju Allah. Pada tingkat terendah, tobat menyangkut dosa yang dilakukan
jasad atau anggota-anggota badan. Pada tingkat menengah, di samping
menyangkut dosa yang dilakukan jasad, tobat menyangkut pula pangkal dosa-
dosa, seperti dengki, sombong, dan riya. Pada tingkat lebih tinggi, tobat
menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan
rasa bersalah. Pada tingkat terahir, tobat berarti penyesalah atas kelengahan
pikiran dalam mengingat Allah.

2. Zuhud
Telah terjadi pemahaman dan penafsiran yang beragam terhadap zuhud.
Namun secara umum zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan
diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan

1 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Hal.199.

vi
mengutamakan kehidupan akhirat. Sampai di mana batas pelepasan diri dari
rasa ketergantungan itu? Para sufi berlainan pendapat dalaam menjawabnya.
Al-Ghazali, misalnya, mengartikan suhud sebagai sikap mengurangi
keterkaitan pada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran.
Kendatipun didefinisikan dengan redaksi yang berbeda, inti dan tujuan zuhud
sama, yakni tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir. Dunia
harus ditempatkan sebagai sarana dan dimanfaatkan secara terbatas dan
terkendali. 2
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama
(Terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat.
Kedua, menjauhu dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga
(tertingggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi
karena cinta kepada Allah. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan
memandang segala sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai arti apa-apa.

3. Faqr (Fakir)
Al-faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai
dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta
sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan benteng pertahanan yang kuat
dalam menghadapi pwngaruh kehidupan materi. Sebab, sikap mental ini akan
menghindarkan seseorang dari keserakahan. Dengan demikian pada
prinsipnya, sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja,
zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya
pendisiplinan diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup.
Faqr dapat diartikan sebagai kekurangan harta yang diperlukan seseorang
dalam menjalani kehidupan didunia. Sikap faqr penting dimiliki orang yang
berjalan menuju Allah, karena kekayaan atau kebanyakan harta
memungkinkan manusia dekat pada kejahatah, dan sekurang-kurangnya
membawa jiwa menjadi tertambat pada selain Allah.

2 Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), Hal.78.

vii
4. Sabar
Sabar, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah,
dinamakan Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan
menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-
badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya,
untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan
Menurut syekh Abdul Qadir Al-Jailani, sabar ada tiga macam yaitu:
a. Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintahnya dan menjauhu
laranganya
b. Bersabar bersama Alah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan
perbuatanya terhadapmu, dari berbagai macam kesulitan dan musibah.
c. Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jalan keluar,
kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah dikampung
akhirat.3

5. Syukur
Syukur adalah ungkapan rasa terimakasih atas nikmat yang diterima.
Syukur diperlukan karena semua yang kita lakukan dan miliki didunia adalah
berkat arunia Allah. Allah-lah yang telah memberikan nikmat kepada kita,
baik berupa pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamana maupun nikmat-
nikmat lainya yang tidak terhitung jumlahnya. Menurut Syekh Abul Qadir Al-
Jailani, hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah pemilik
karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal
dari Allah, juga patuh kepada syariat-Nya. Syekh Abdul Qadri Al-Jailani
membagi syukur menjadi tiga macam, pertama dengan lisan, yaitu dengan
mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Kedua, syukur dengan badan dan
anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan ibadah sesuai perintah-Nya.
Ketiga, syukur dengan hati.

6. Rela (Rida)

3 Muhammad Alfian, Psikologi Tasawuf (CV Pustaka Setia, 2011), Hal.163.

viii
Rida berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan
Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik
cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-
Nya. Bahkan ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan
kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepada nya sehingga tidak
merasakan sakit atas cobaan tersebut. Hanyalah para ahli makhrifat dan
mahabbah yang mampu bersikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan
musibah dan ujian sebagai nikmat, lantaran jiwa nya bertemu dengan yang
dicintainya. Menurut abdul halim mahmud, rida mendorong manusia untuk
berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.
Namun sebelum mencapainya ia harus menerima dan merelakan akibatnya
dengan cara apapun yang disukai Allah.4

7. Tawakal
Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah ‘Azza
wa Jalla, membersihkan diri ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-
kawasan hukum dan ketentuan. Degan demikian hamba percaya dengan
bagian Allah untuknya. Apa yang telah ditentukan Allah untuknya, ia yakin
pasti akan memperolehnya. Sebaliknya apa yang tidak ditentukan Allah
untuknya ia pun yakin pasti tidak akan memperolehnya.
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan
dirinya hanya kepada Allah. Dalam hal ini, Al-Ghazali mengkaitkan tawakal
dengan tauhid. Dengan penekanan bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai
landasan tawakal. Tawakal dibagi atas tiga derajad: tawakal, taslim dan
tafwidh. Orang yang bertawakal merasa tentram dengan janji rabb-Nya. Orang
yang taslim merasa cukup dengan ilmu-Nya. Adapun pemilik tafwidh rida
dengan hukuman-Nya. Pendapat lainnya tawakal adalah permulaan, taslim
adalah tengah-tengah sedangkan taswidh adalah ujung.

B. Ahwal yang Dijumpai dalam Perjalanan Sufi

4 Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), Hal.81.

ix
1. Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah)
Waspada dan mawas dirimerupakan dua hal yang saling berkaitan erat
oleh karena itu ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan
mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukan
perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan
amarah.Waspada (muhasabah) dapat diartikan menyakini bahwa allah
mengetahui segala pikiran, perbutan dan rahasia dalam hati, yang membuat
seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas
diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan
sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.5

2. Cinta (Hubb)
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah [cinta] merupakan pijakan bagai
segenap kemuliaan hal, seperti halnya tobat yangmempakan dasar bagi
kemuliaan maqam. Karena mahabbah padadasarnya adalah anugerah yang
menjadi dasar pijakan bagisegenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai
anugerah-anugerah (mawahib) Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk
memerhatikan keindahan atau kecantikan. Berkenaan dengan mahabbah,
Suhrawardi pernah mengatakan. Sesungguhnya, mahabbah (cinta) adalah
suatu mata rantai keselarasan yang mengikat sang pencinta kepada
kekasihnya, suatu ketertarikan kepada kekasih, yang menarik sang pencinta
kepadanya, dan melenyapkan sesuatu dari wujudnya, sehingga pertama-
pertama ia menguasai seluruh sifat dalam dirinya.

3. Berharap dan Takut (Raja' dan Khauf)


Bagi kalangan kaum sufi, raja' dan Khauf berjalan seimbang dan saling
memengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atauoptimisme. Raja' atau
optimisme adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu Yang

5 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Hal.202.

x
diinginkan dan disenangi.Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam
Al_Qur’an.6
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang hijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharap rahmat Allah. Dan Allah
Maha pengampun lagi Maha penyayang.”
Orang yang harapan dan penantiannya menjadikannya berbuat ketaatan
dan mencegahnya dari kemaksiatan,berarti harapannya benar. Sebaliknya, iika
harapannya hanya angan-angan, Sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah
kemaksiatan, harapannya sia-sia dan percuma. Raja' menuntut tiga
perkara,yaitu:
a. Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut harapanya yaitu hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah illusi atau
khayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf).
Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia
takut terlambat. Karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula,
orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, ia akan merasa takut akan
siksaan Tuhan.
Ahmad Faridh menegaskan bahwa khauf mempakan cambuk yang
digunakan Allah untuk menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal,
supaya dengan keduan yaitu, mereka dapat dekat kepada Allah. (khauf) adalah
kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan
menimpa diri pada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba
berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan khauf akan menyebabkan
seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan
akan menjadikannya putus asa dan pesimis. Begitu juga sebaliknya, terlalu

6 Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), Hal.83.

xi
besar sikap raja’ akan membuat seseorang sombong dan meremehkan amalan-
amalannya karena optimisnya berlebihan.7

4. Rindu (Syauq)
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa
rindu hidup dengan subur yakni rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan.
Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa
kepada Allah lebih berbahaya daripada maut. Bagi sufi yang rindu kepada
Tuhan, kematian dapat berarti bertemu dengan Tuhan, sebab hidup merintangi
pertemuan ‘abid dengan Ma’bud-nya. Menurut Al-Ghazali, kerinduan kepada
Allah dapat dijelaskan melalui penjelasan tentang keberadaan cinta kepada-
Nya. Pada saat tidak ada, setiap yang dicintai pasti dirindukan orang yang
mencintainya. Begitu hadir dihadapannya, ia tidak dirindukan lagi. Kerinduan
berarti menanti sesuatu yang tidak ada. Bila sudah ada tentunya ia tidak
dinanti lagi.

5. Intim (Uns)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns (intim) adalah sifat merasa selalu
berteman, tak merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns:
“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu
memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang
muda mudi. Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah
orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya
semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di mana pun berada.
Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu
berada dalam pemeliharaan Allah”.
Ungkapan di atas melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi
dengan Tuhannya. Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.

C. Metode Irfani

7 Tamami, Psikologi Tasawuf (PT. Raja Grafika Persada, 2012), Hal.30.

xii
Irfani dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar dari arafa yang berarti
ma’rifat. Istilah ini berlaku secara umum didalam ajaran syi’ah dan secara
khusus ia berkaitan dengan ide2 sufisme, yakni dalam konteks operatif yang
membedakan antara murid thariqat dan gurunya.dan dalam kontks transmisi
formal melalui jalur atau silsilah tertentu. 8 Potensi untuk memperoleh makrifat
sesungguhnya telah ada pada manusia. Untuk memperoleh kearifan atau
makrifat, hati (qalb) mempunyai fungsi esensial, sebagaimana diungkapkan
Ibnu Arabi dalam Fuslzus Al-Hikam-nya:
Artinya:
“Qalb dalam pandangan kaum sufi adalah tempat kedatangan kasyf dan
ilham. Ia pun berfungsi sebagai alat untuk makrifat dan menjadi cermin yang
memantulkan (tajalli) makna-makna kegaipan.”
Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat-
hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat adalah hakikat makrifat. Qalb
yang dapat memperoleh makrifat adalah yang telah tersucikan dari berbagai
noda atau akhlak jelek yang sering. Dilakukan manusia. Dan karena qalb
merupakan bagi jiwa kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecemerlangan
qalb dalam menerima ilmu. Qalb yang telah tersucikan akan mampu
menembus alam malakut (misalnya malam malaikat). Sebab, AL-Ghazali
dalam kimiya’ As-Sa’adah-nya memasukan qalb sebagai sesuatu yang sejenis
dengan malaikat.9
Ketika berada di alam malakut inilah, qalb mampu memperoleh ilmu
pengetahuan dari Tuhan. Tampaknya, kaum sufi memandang kesucian qalb
sebagai prasyarat untuk berdialog secara batini dengan Tuhan. Mereka
mengemukakan alasan bahwa Tuhan hanya dapat didekati jiwa yang suci.
llmu pengetahuan yang dihasilkan dari kondisi dialogis batiniah dengan
perangkat qalb yang suci inilah yang mereka sebut sebagai ilmu makrifat, dan
bahkan secam spesifik dapat memperoleh ilmu laduni yakni ilmu yang datang

8 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) Hal.206.


9 Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2013), Hal.27.

xiii
lewat ilham yang dibisikkan ke dalarn hati manusia. Dengan demikian, qalb
berpotensi untuk berdialog dengan Tuhan. Inilah yang dimaksud Al-Ghazali
dengan ungkapan bahwa di luar akal dan jiwa, terdapat alat yang dapat
menyingkap pengetahuan yang gaib dan hal-hal yang akan terjadi pada masa
mendatang.10
Penyingkapan pengetahuan seperti ini merupakan wacana Irfaniyah.
Hanya dengan sarana qalb itulah, ilmu makrifat dapat diperoleh manusia.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa hati (qalb) menjadi
sarana untuk memperoleh makrifat QaIb-lah yangakan mampu mengetahui hal
dekat pengetahuan, karena qalb telah dibekali potensi untuk berdialog dengan
tuhan. Berikut ini penjelasan masing-masing bagian dari metode lrfani:
1. Riyadhah
Riyadhah yang artinya latihan kejiwaan melaui upaya membiyasakan diri
agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori jiwanya, riyadhah dapat pula
berarti sebagai poses internalisasi kejiwaan dengan sifat sifat terpuji dan
melatih membiyasakan meninggalkan sifat sifat jelek.para sufi memasukkan
riyadhah sebagai pelatihan kejiwaan dalam upaya meninggalkan sifat-sifat
jelek .termasuk didalamnya pendidikan ahlak dan pengobatan penyakit
penyakit hati . para sufi mengandung makna bahwa untuk menghilangkan
penyakit-penyakit itu perlu dilakukan riyadhah.
Riyadhah harus disertai dengan mujahadah. Mujahadah yang dimasudkan
di sini kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat jelek.
Meninggalkan sifat-sifat jelek sangatlah berat sehingga membutuhkan
kesungguhan dalam mengriyadahkannya .perbedaan riyadhah dengan
mujahadah adalah kalau riyadhah berupa tahapan-tahapan enekan atau
mengendalikan dengan sungguh- sungguh pada masing-masing tahapan
riyadhah. Meskipun demikian, riyadhah tidak dapat dipisahkan dari
mujahadah , karena kuduanya ibarat satu sisi pada satu mata uang.

2. Tafakur (Refleksi)

10 Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), Hal.87.

xiv
Tafakur penting dilakukan pada setiyap manusia yang menginginkan
makrifat. Sebab tatkala jiwa belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan dan
menganaisisnya, pintu kegaipan akan dibuka untuknya, menurut al gazali
orang yang berfikir dengan benar akan menjadi dzawi al- albab ilham. Dalam
risalah al-ladunniyah, al-ghazali pun menjelaskan tafakurpun merupakan salah
satu cara untuk memperoleh ilmu laduni.
Tafakur berlangsung secara intenal dari proses pembelajaran dari dalam
diri manusia melalui aktivitas berfikir yang menggunakan perangkat batiniyah
(jiwa).11

3. Tazkiyat An-nafs
Tazkiyat an-nafs adalah proses penyucian jiwa manusia.proses penyucian
jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli.
Tazkiyat an-nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf. Kalangan syufi adalah
orang orang yang senantiyasa menyucikan hati dan jiwa. Perwujudtannya
adalah rasa butuh tehadap tuhannya.
Upaya melakukan penyempurnaan jiwa perlu dilakukan oleh setiyap
orang yang menginginkan ilmu makrifat, sebab ilmu makrifat tidak dapat
diterima oleh manusia yang jiwannya kotor.

4. Dzikrullah
Secara etimologi, dzikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah
adalah membaahi lidah dengan ucapan ucapan pujian kepada Alloh. Dzikir
adalah metode lain untuk memperoleh ilmu laduni. Pentingnya dzikir untuk
mendapatkan ilmu makrifat didasarkan atas argumentasi tentang peranan
dzikir itu sendiri bagi hati. Al-ghazali dalam ihya’ menjelaskan bahwa hati
manusia takubahnnya seperi kolat yang kedalamnya mengalir bermacam-
macam air. Pengaruh-pengaruh yang datang kedalam hati adakalannya berasal

11 Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf (PT. Raja Grafika Persada, 1994),


Hal.27.

xv
dari luar yaitu panca indra, dan adakalannya dari dalam, yaitu khayal, amarah
dan akhlak atau tabiat manusia.12
Dalam al-munqidz, al-ghazali menjelaskan bahwa dzikir kepada alloh
merupakan hiasan bagi kaum sufi, syarat utama bagi orang yang menempuh
jalan alloh adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Alloh,
sedangkan kuncinnya menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan dzikir
kepada Alloh. Dalam pandangan sufi, dzikir akan membuka takbir alam
malakut, yakni dengan datangnnya malaikat.

12 Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hal.92.

xvi
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kerangka Berfikir Irfani Dasar-Dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat
yang pertama yaitu Maqam-Maqam Dalam Tasawuf Seperti yang disinggung
di atas bahwa maqam yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri dari tobat,
zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal. Yang kedua ada Ahwal Yang
Dijumpai Dalam Perjalanan Sufi Dan Yang ketiga Metode Irfani, Irfani dalam
bahasa arab adalah bentuk mashdar dari arafa yang berarti ma’rifat. Istilah ini
berlaku secara umum di dalam ajaran syi’ah dan secara khusus ia berkaitan
dengan ide-ide sufisme, yakni dalam konteks operatif yang membedakan
antara murid thariqat dan gurunya dan dalam kontks transmisi formal melalui
jalur atau silsilah tertentu. Di dalam metode irfani terdapat beberapa bagian
seperti Riyadhah, Tafakur (Refleksi), Dzikrullah, Tazkiyat An-nafs.

B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat
bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.

xvii
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2013.

Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, PT. Raja Grafika Persada, 1994.

Muhammad Alfian, Psikologi Tasawuf, CV Pustaka Setia, 2011.

Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.

----, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.

----, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.

Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.

----, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.

----, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.

----, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.

----, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.

Tamami, Psikologi Tasawuf, PT. Raja Grafika Persada, 2012.

xviii

Anda mungkin juga menyukai