Anda di halaman 1dari 33

BAB III

DASAR TEORI

3.1 Konsep CBM (Coal Bed Methane)

CBM merujuk kepada gas metana yang terabsorbsi ke dalam matriks padat
batubara. Gas ini digolongkan sebagai “sweet gas” karena tidak mengandung
hidrogen sulfida (H2S). CBM berbeda dari sandstone biasa dan reservoir
konvensional lainnya lantaran gasnya tersimpan di dalam batuan melalui proses
absorbsi. Metananya berada dalam keadaan yang hampir cair di sekeliling dalam
pori-pori batubara. Rekahan-rekahan terbuka di dalam batubaranya (yang
disebutcleats) dapat pula mengandung gas atau terisi/tersaturasi oleh air.
Tidak seperti gas alam di reservoir konvensional, CBM sangat sedikit
mengandung hidrokarbon berat seperti propana atau butana, dan tidak memiliki
kondensat gas alam. CBM juga mengandung beberapa persen karbondioksida.
Kepala Perwakilan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas
Bumi (SKK Migas) Wilayah Kalimantan-Sulawesi Ngatijan mengatakan, untuk
melakukan eksploitasi CBM sehingga bisa diproduksi, perlu perlakuan khusus karena
kandungan gas yang terjebak dalam batubara tersebut tidak bisa serta-merta keluar.
Operator migas perlu melakukan dewatering sebelum mengalirkan gas keluar dari
perut bumi.
Selain itu, jumlah CBM yang keluar juga tidak terlalu banyak sehingga harus
dibor lagi untuk meningkatkan kapasitas produksi. Dengan demikian, pengeboran
tidak hanya dilakukan di satu tempat.
3.2 Proses Pembatubaraan
Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa
tumbuhan purba yang mengendap di dalam tanah selama jutaan tahun.
Endapan tersebut telah mengalami  berbagai perubahan bentuk/komposisi
sebagai akibat dari dari adanya proses fisika dan kimia yang berlangsung selama
waktu pengendapannya. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam katagori bahan
bakar fosil.
Sumber: Tambangunp
Gambar 2.1 Proses Pembentukan Batubara

Proses pembentukan batubara sendiri sangatlah kompleks dan membutuhkan


waktu hingga berjuta-juta tahun lamanya. Batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan
purba yang kemudian mengendap selama berjuta-juta tahun dan mengalami proses
pembatubaraan (coalification) dibawah pengaruh fisika, kimia, maupun geologi. Oleh
karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil.

Secara ringkas ada 2 tahap proses pembatubaraan  yang terjadi, yakni :


1. Tahap Diagenetik atau Biokimia (Penggambutan), dimulai pada saat dimana
tumbuhan yang telah mati mengalami pembusukan (terdeposisi) dan menjadi
humus. Humus ini kemudian diubah menjadi gambut oleh bakteri anaerobic dan
fungi hingga lignit (gambut) terbentuk. Agen utama yang berperan dalam
proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi dan gangguan biologis
yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan kompaksi
material organik serta membentuk gambut.
2. Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi
bituminus dan akhirnya antrasit.
Secara lebih rinci, proses pembentukan batu bara dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pembusukan, bagian-bagian tumbuhan yang lunak akan diuraikan oleh bakteri
anaerob.
2. Pengendapan, tumbuhan  yang telah mengalami proses pembusukan
selanjutnya akan mengalami pengendapan, biasanya di lingkungan yang berair.
Akumulasi dari endapan ini dengan endapan-endapan sebelumnya akhirnya
akan membentuk lapisan gambut.
3. Dekomposisi, lapisan gambut akan mengalami perubahan melalui proses
biokimia dan mengakibatkan keluarnya air dan sebagian hilangnya sebagian
unsur karbon dalam bentuk karbondioksida, karbonmonoksida, dan metana.
Secara relatif, unsur karbon akan bertambah dengan adanya pelepasan unsur
atau senyawa tersebut.
4. Geotektonik, lapisan gambut akan mengalami kompaksi akibat adanya gaya
tektonik dan kemudian akan mengalami perlipatan dan patahan. Batubara low
grade dapat berubah menjadi batubara high grade apabila gaya tektonik yang
terjadi adalah gaya tektonik aktif, karena gaya tektonik aktif dapat
menyebabkan terjadinya intrusi atau keluarnya magma. Selain itu, lingkungan
pembentukan batubara yang berair juga dapat berubah menjadi area darat
dengan adanya gaya tektonik setting tertentu.

2.1.1 Faktor – Faktor Dalam Pembentukan Batubara


Faktor-Faktor dalam pembentukan batubara sangat berpengaruh terhadap
bentuk maupun kualitas dari lapisan batubara. Beberapa faktor yang berpengaruh
dalam pembentukan batubara adalah :
1. Material dasar, yakni flora atau tumbuhan yang tumbuh beberapa juta tahun
yang lalu, yang kemudian terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona
fisiografi dengan iklim clan topografi tertentu. Jenis dari flora sendiri amat
sangat berpengaruh terhadap tipe dari batubara yang terbentuk.
2. Proses dekomposisi, yakni proses transformasi biokimia dari material dasar
pembentuk batubara menjadi batubara. Dalam proses ini, sisa tumbuhan yang
terendapkan akan mengalami perubahan baik secara fisika maupun kimia.
3. Umur geologi, yakni skala waktu (dalam jutaan tahun) yang menyatakan
berapa lama material dasar yang diendapkan mengalami transformasi. Untuk
material yang diendapkan dalam skala waktu geologi yang panjang, maka
proses dekomposisi yang terjadi adalah fase lanjut clan menghasilkan batubara
dengan kandungan karbon yang tinggi.
4. Posisi geotektonik, yang dapat mempengaruhi proses pembentukan suatu
lapisan batubara dari :
 Tekanan yang dihasilkan oleh proses geotektonik dan menekan lapisan
batubara yang terbentuk.
 Struktur dari lapisan batubara tersebut, yakni bentuk cekungan stabil,
lipatan, atau patahan.
 Intrusi magma, yang akan mempengaruhi dan/atau merubah grade dari
lapisan batubara yang dihasilkan.
 Lingkungan pengendapan, yakni lingkungan pada saat proses sedimentasi
dari material dasar menjadi material sedimen.
Terdapat dua model formasi pembentuk batubara (coal bearing formation),
yakni model formasi insitu dan model formasi endapan material tertransportasi (teori
drift). Berikut akan dijelaskan masing-masing model formasi pembentuk batubara
tersebut.
1. Model Formasi Insitu
Menurut teori ini, batubara terbentuk pada lokasi dimana
pohon-pohon atau tumbuhan kuno pembentukya tumbuh. Lingkungan
tempat tumbuhnya pohon-pohon kayu pembentuk batubara itu adalah
pada daerah rawa atau hutan basah. Kejadian pembentukannya diawali
dengan tumbangnya pohon-pohon kuno tersebut, disebabkan oleh
berbagai faktor, seperti angin (badai), dan peristiwa alam lainnya.
Pohon-pohon yang tumbang tersebut langsung tenggelam ke dasar
rawa. Air hujan yang masuk ke rawa dengan membawa tanah atau
batuan yang tererosi pada daerah sekitar rawa akan menjadikan pohon-
pohon tersebut tetap tenggelam dan tertimbun.

Sumber: Tambangunp
Gambar 2.2 Model Formasi Insitu

Demikianlah seterusnya, bahwa semakin lama semakin


teballah tanah penutup pohon-pohonan tersebut. Dalam hal ini pohon-
pohon tersebut tidak menjadi busuk atau tidak berubah menjadi humus,
tetapi sebaliknya mengalami pengawetan alami. Dengan adanya
rentang waktu yang lama, puluhan atau bahkan ratusan juta tahun,
ditambah dengan pengaruh tekanan dan panas, pohon-pohonan kuno
tersebut mengalami perubahan secara bertahap, yakni mulai dari fase
penggambutan sampai ke fase pembatubaraan.
2. Model Formasi Transportasi Material (Teori Drift)
Berdasarkan teori drift ini, batubara terbentuk dari timbunan
pohon-pohon kuno atau sisa-sisa tumbuhan yang tertransportasikan
oleh air dari tempat tumbuhnya. Dengan kata lain pohon-pohon
pembentuk batubara itu tumbang pada lokasi tumbuhnya dan
dihanyutkan oleh air sampai berkumpul pada suatu cekungan dan
selanjutnya mengalami proses pembenaman ke dasar cekungan, lalu
ditimbun oleh tanah yang terbawa oleh air dari lokasi sekitar cekungan

Sumber:
Tambangunp

Gambar 2.3
Model
Formasi
Transportasi
Material
(Teori Drift)

Seterusnya dengan perjalanan waktu yang panjang dan


dipengaruhi oleh tekanan dan panas, maka terjadi perubahan terhadap
pohon-pohon atau sisa tumbuhan itu mulai dari fase penggambutan
sampai pada fase pembatubaraan. Terdapat perbedaan tipe endapan
batubara dari kedua formasi pembentukan tersebut. Batubara insitu
biasanya lebih tebal, endapannya menerus, terdiri dari sedikit lapisan,
dan relatif tidak memiliki pengotor. Sedangkan batubara yang
terbentuk atau berasal dari transportasi material (berdasarkan teori
drift) ini biasanya terjadi pada delta-delta kuno dengan ciri-ciri:
lapisannya tipis, endapannya terputus-putus (splitting), banyak lapisan
(multiple seam), banyak pengotor, dan kandungan abunya biasanya
tinggi.
Dari kedua teori tentang formasi pembentukan batubara
tersebut di atas dapat diketahui bahwa kondisi lingkungan geologi
yang dipersyaratkan untuk dapat terjadinya batubara adalah: berbentuk
cekungan berawa, berdekatan dengan laut atau pada daerah yang
mengalami penurunan (subsidence), karena hanya pada lingkungan
seperti itulah memungkinkan akumulasi tumbuhan kuno yang
tumbang itu dapat mengalami penenggelaman dan penimbunan oleh
sedimentasi. Tanpa adanya penenggelaman dan penimbunan oleh
sedimentasi, maka proses perubahan dari kayu menjadi gambut dan
seterusnya menjadi batubara tidak akan terjadi, malahan kayu itu akan
menjadi lapuk dan berubah menjadi humus.
Terdapat dua tahapan proses pembentukan batubara, yakni
proses penggambutan (peatification) dan proses pembatubaraan
(coalification). Pada proses penggambutan terjadi perubahan yang
disebabkan oleh makhluk hidup, atau disebut dengan proses biokimia,
sedangkan pada proses pembatubaraan prosesnya adalah bersifat
geokimia.
Pada proses biokimia, sisa-sisa tumbuhan atau pohon-pohonan
kuno yang tumbang itu terakumulasi dan tersimpan dalam lingkungan
bebas oksigen (anaerobik) di daerah rawa dengan sistem drainase
(drainage system) yang jelek, dimana material tersebut selalu terendam
beberapa inchi di bawah muka air rawa. Pada proses ini material
tumbuhan akan mengalami pembusukan, tetapi tidak terlapukan.
Material yang terbusukkan akan melepaskan unsur-unsur hidrogen (H),
Nitrogen (N), Oksigen (O), dan Karbon (C) dalam bentuk senyawa-
senyawa: CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya
bakteri-bakteri anaerobik serta fungi merubah material tadi menjadi
gambut (peat). (Susilawati, 1992 dalam Sunarijanto, 2008: 5).
Sedangkan pada proses pembatubaraan (coalification), terjadi
proses diagenesis dari komponen-komponen organik yang terdapat
pada gambut. Peristiwa diagenesis ini menyebabkan naiknya
temperatur dalam gambut itu. Dengan semakin tebalnya timbunan
tanah yang terbawa air, yang menimbun material gambut tersebut,
terjadi pula peningkatan tekanan. Kombinasi dari adanya proses
biokimia, proses kimia, dan proses fisika, yakni berupa tekanan oleh
material penutup gambut itu, dalam jangka waktu geologi yang
panjang, gambut akan berubah menjadi batubara. Akibat dari proses
ini terjadi peningkatan persentase kandungan Karbon (C), sedangkan
kandungan Hidrogen (H) dan Oksigen (O) akan menjadi menurun,
sehingga dihasilkan batubara dalam berbagai tingkat mutu (Susilawati,
1992 dalam Sunarijanto, 2008: 5).

Sumber: Tambangunp

Gambar 2.4 Proses Pembatubaraan


Secara berurutan, proses yang dilalui oleh endapan sisa-sisa
tumbuhan sampai menjadi batubara yang tertinggi kualitasnya adalah
sebagai berikut:
1. Sisa-sisa tumbuhan mengalami proses biokimia berubah
menjadi gambut (peat);
2. Gambut mengalami proses diagenesis berubah menjadi
batubara muda (lignite) atau disebut juga batubara coklat
(brown coal);
3. Batubara muda (lignite atau brown coal) menerima tekanan
dari tanah yang menutupinya dan mengalami peningkatan suhu
secara terus menerus dalam waktu jutaan tahun, akan berubah
menjadi batubara subbituminus (sub-bituminous coal);
4. Batubara subbituminus tetap mengalami peristiwa kimia dan
fisika sebagai akibat dari semakin tingginya tekanan dan
temperatur dan dalam waktu yang semakin panjang, berubah
menjadi batubara bituminus (bitumninous coal);
5. Batubara bitumninus ini juga mengalami proses kimia dan
fisika, sehingga batubara itu semakin padat, kandungan karbon
semakin tinggi, menyebabkan warna semakin hitam mengkilat.
Dalam fase ini terbentuk antrasit (anthracite);
6. Antrasit, juga mengalami peningkatan tekanan dan temperatur,
berubah menjadi meta antrasit (meta anthrasite);
7. Meta antrasit selanjutnya akan berubah menjadi grafit
(graphite). Peristiwa perubahan atrasit menjadi grafit disebut
dengan penggrafitan (graphitization).

Dalam semua tingkatan pembentukan batubara itu terdapat


berbagai unsur yang sangat mempengaruhi peringkat mutu
batubaranya dan sebagai dasar pembagian klas penggunaannya.
Secara garis besarnya dalam batubara terdapat unsur-unsur:
1) Kandungan air total (total moisture), yakni jumlah kandungan
air yang ada pada fisik batubara, yang terdiri dari air dalam
batubara itu sendiri dan air yang terbawa waktu melakukan
penambangan.
2) Kandungan air bawaan (inheren moisture), yakni air yang ada
dalam batubara itu mulai saat awal pembentukannya. Kadar air
itu pada dasarnya akan mempengaruhi nilai batubara, artinya
semakin tinggi kandungan air, maka semakin rendahlah mutu
batubara tersebut.
3) Kandungan zat terbang (volatile matter), adalah semua unsur
yang akan menguap (terbang) waktu batubara itu mengalami
pemanasan. Volatile matter yang tinggi akan menyebabkan
mutu batubara jadi rendah, karena pada intinya volatile matter
tidak memberikan nilai kalor. Batubara dengan volatile matter
tinggi, yang tertumpuk pada stockpile, akan mudah mengalami
swabakar, terutama pada udara lembab dan adanya unsur
pemicu oksidasi di dalamnya, seperti pirit dan sebagainya.
4) Total sulphur (belerang), adalah salah satu unsur yang dapat
menurunkan mutu batubara, karena unsur belerang yang
banyak akan menyebabkan rendahnya nilai kalor dan dapat
menyebabkan kerusakan pada dapur pembakaran, serta juga
menyebabkan adanya gas beracun.
5) Kandungan abu (ash content), adalah sejumlah material yang
didapat dari sisa pembakaran batubara. Semakin tinggi kadar
abu batubara, maka semakin rendahlah mutu batubara tersebut.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, abu ini berasal dari
material yang tidak dapat dioksidasi oleh oksgen.
6) Kandungan karbon tertambat (fixed carbon), adalah persentase
karbon yang ada pada suatu satuan volume batubara. Semakin
tinggi kadar karbon, maka semakin baguslah kualitas batubara
tersebut, karena yang paling berguna dari batubara itu adalah
karbon ini, karena karbonlah yang menghasilkan nilai kalori
pada waktu dilakukan pembakaran batubara.
7) Nilai kalori (CV), adalah jumlah kalori yang dihasilkan per kg
batubara yang dibakar. Semakin tinggi nilai kalorinya, semakin
baguslah mutu batubaranya.
2.2 CBM (Coal Bed Methane)
CBM adalah gas metana yang terbentuk dalam lapisan batubara. CBM
(Coal Bed Methane) merupakan salah satu fraksi gas dari Coal Bed Gas
(CBG), yaitu gas alam yang terjadi di dalam lapisan batubara atau diproduksi
dari suatu lapisan batubara, biasanya terdiri dari methane (CH4), carbon
dioxide (CO2), Nitrogen (N), dan air (H2O) (Thomas, 2002).
CBM sering juga disebut "sweet gas" dikarenakan oleh rendahnya
kandungan hidrogen sulfidanya. Berbeda dengan gas alam konvensional yang
terjadi dalam reservoir batupasir, yang berada dalam bentuk gas bebas dalam
ruang pori diantara butiran pasir, CBG hadir dalam mikropori batubara dalam
bentuk terkondensasi hampir seperti bentuk cair karena serapan fisika dari
batubara.
Gas dalam batubara terbentuk sejak proses pembentukan batubara
(coalification), yaitu proses perubahan material organik menjadi gambut,
lignit, subbituminous, bituminous hingga antrasit, sebagai akibat dari tekanan
dan temperatur. Secara umum gas dalam batubara terbentuk dengan 2 cara
yaitu secara Biogenik (Biogenic Gas) dan Termogenik (Thermogenic Gas).

2.2.1 Gas CBM (Gas Methane)


Berbeda dengan sistem yang terdapat pada minyak bumi
(petroleum system) yang membutuhkan batuan sumber (source
rock ),batuan penyimpan (reservoir  ) dan batuan penutup (seal) pada
litologi dan umur yang berbeda,pada sistem CBM hanya
membutuhkan satu komponen yaitu batubara itu sendiri. Batubara
bertindak sebagai batuan sumber, batuan penyimpan dan batuan
penutup pada saat bersamaan. Hal ini dikarenakan gas metana yang
terdapat pada batubara adalah gas yang terserap dan menempel di
permukaan batubara dan berpindah melalui media bidang belah (cleat)
pada batubara, bukan gas bebas yang bisa bermigrasi seperti yang
terdapat dalam system minyak bumi.

Sumber:
GeologiNesia

Gambar 2.5 Pembentukan Coal Bed Methana (CBM)

Gas Metana batubara ini sebagian besar terbentuk akibat adanya perubahan
susunan kimia yang diakibatkan oleh adanya pengaruh suhu di bawah permukaan
tanah (thermogenesis). Sedangkan untuk kelas brown coal yaitu batubara yang
terdapat pada kedalaman kurang dari 200m, gas metana ini terbentuk akibat
aktivitas mikroorganisme anaerob. Dan berikut tipe gas CBM berasal :
1. Biogenik Gas
Gas biogenik terutama dalam bentuk CH4 dan CO2, dimana gas-
gas ini dihasilkan dari penguraian bahan organik bahan organik oleh
mikro-organisme yang biasa terbentuk di rawa gambut sebagai cikal
bakal terbentuknya batubara. Biogenic gas bisa terjadi pada 2 tahap yaitu
tahap awal dan tahap akhir.
Pembentukan gas pada tahap awal disebabkan oleh aktivitas
organisme awal coalification, dari gambut - lignit hingga subbituminous
(Ro < 0,5%). Pembentukan gas ini harus disertai dengan proses
pengendapan yang cepat, karena jika tidak maka gas akan menjadi gas
bebas yang menguap ke atmosfer. Pembentukan gas pada tahap akhir juga
diakibatkan oleh aktivitas organisme, tetapi setelah lapisan batubara
terbentuk. Batubara pada umumnya merupakan quifer, dimana aktivitas
mikro organisme dalam akuifer bisa memproduksi gas. Proses ini bisa
terjadi pada setiap peringkat (rank) batubara.
2. Thermogenik Gas
Thermogenik Gas adalah gas yang dihasilkan dalam proses
pembatubaraan (coalification) pada batubara yang mempunyai peringkat
(rank) lebih tinggi, yaitu pada subbituminous A - high volatile bituminous
ke atas (Ro > 0,6%). Proses pembatubaraan akan menghasilkan batubara
yang lebih kaya akan karbon dengan membebaskan sejumlah zat terbang
utama, yaitu CH4, CO2, dan air. Gas-gas tersebut terbentuk secara cepat
sejak rank batubara mencapai high volatile bituminous hingga mencapai
puncaknya di low bituminous (Ro = 1,6%).
Sumber: GeologiNesia
Gambar 2.6 Pembentukan batubara (kiri) dan perubahan properties batubara
(kanan)

Dalam menilai potensi coal bed gas (CBG) di suatu wilayah,


pembuatan peta isorank yang memperlihatkan variasi lateral dari
peringkat (rank) suatu lapisan batubara akan sangat berguna untuk
melokalisir daerah sasaran. Kandungan gas yang terbentuk berkaitan erat
dengan temperatur dan rank batubara seperti pada gambar dibawah.
Sumber: GeologiNesia

Gambar 2.7 Pembentukan gas dalam hubungannya dengan temperatur.

Pada gambar tersebut dapat terlihat jelas bahwa batubara


berperingkat rendah memiliki kandungan gas metana (CH4) yang cukup
besar. Selain itu batubara berperingkat medium volatile bituminous dan
low volatile bituminous juga memiliki kandungan metan yang besar.
Adapun batubara dengan peringkat high volatile bituminous memiliki
kandungan CO2 yang lebih besar dibandingkan kandungan methane –
nya.

2.2.2. Proses Pembentukan Gas Methane


Semakin baik kualitas suatu batubara, maka semakin besar pula
gas metana yang terdapat di dalamnya, sedangkan hal ini berbanding
terbalik dengan permeabilitasnya. Semakin tinggi peringkat suatu
batubara maka semakin sedikit cleat yang bisa dijumpai di dalamnya yang
artinya permeabilitas dari batubara tersebut adalah buruk dan tidak baik
sebagai untuk dijadikan sebagai media transport gas metana dalam suatu
system coalbed methane.
Sumber: Buku Gas Metana Batubara Energi Baru Untuk Rakyat, LE MIGAS Gambar 2.8
Cleat sebagai permeabilitas dalam system gas metana batubara.

Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa gas metana yang terdapat


pada batubara ini mengalami transport dengan jaringan rekahan (cleat)
pada batubara yaitu serangkaian retakan yang sejajar yang biasanya
berorientasi tegak lurus terhadap perlapisan. Cleat  ini umumnya
dijumpai pada batubara dengan rank sub-bituminus. Satu rangkaian
retakan disebut face cleat ,biasanya dominan dengan bidang individu
yang lurus dan kokoh sepanjang beberapa meter. Pola lainnya yang
disebut butt cleat, retakannya lebih pendek, sering melengkung dan
cenderung berakhir pada bidang face cleat . Jarak antar bidang cleat
bervariasi dari 1 mm sampai sekitar 30 cm.Pola cleat dapat juga
dihubungkan dengan terjadinya ledakan gas dalam tambang bawah tanah.
Terjadinya cleat pada hubungannya dengan pola kekar pada lapisan
pembawa batubara, sehingga dapat digunakan untuk menghubungkan
pula cleat dengan struktur geologi suatu daerah . Face cleat tampaknya
sangat umum sebagai hasil dari perpanjangan rekahan dalambidang
sejajar dengan paleostress kompresif maksimum suatu daerah(Nickelsen
& Hough 1967. Hanes & Shepherd 1981).

2.2.3 Reservoir Coalbed Methane


Gas Metana Batu bara (GMB) merupakan gas hidrokarbon non-
konvesional yang bersumber dari batu bara dan tersimpan dalam
reservoir batu bara. Reservoir GMB sangat berbeda dengan reservoir
minyak pada ummnya. GMB atau coalbed methane adalah gas yang
tersimpan karena adsorpsi dalam miropore batuan. Gas tersebut juga di
sebut sweet gas karena tidak ada kandungan H2S. Karakteristik reservoir
GMB memiliki perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan sistem
gas konventional. Pada sistem GMB, batu bara berfungsi sebagai batuan
sumber (source rock) sekaligus sebagai reservoir gas.

2.2.4 Permeabilitas Reservoir Coalbed Methane


Permeabilitas merupakan kemampuan material untuk melewatkan
fluida melalui medium porinya. Permeabilitas merupakan salah satu sifat
fisik yang berperan penting untuk memroduksikan gas pada economical
rate. Fluida di batubara yakni air dan gas mengalir melalui cleat dan
rekahan. Cleat merupakan rekahan vertikal yang terbentuk secara alami
selama proses coalifikasi.Pada batubara, permeabilitas sangat jelas dan
tergantung pada gaya. Gaya horizontal yang tegak lurus dengan face
cleat yang terbuka akan menyebabkan pemeabilitas rendah. Ketika
kondisi tegangan kecil, rekahan (fracture) alami akan terbuka dan
memberikan permeabilitas untuk mengalir melalui lapisan batuan.
Lipatan dan patahan dapat menambah permeabilitas batubara melalui
rekahan alami.Selain itu, mineral yang mengisi cleat dapat
mempengaruhi permeabilitas batubara. Mineral seperti calcite, pyrite,
gypsum, kaolinite dan illite dapat mengisi cleat dan menyebabkan
berkurangnya permeabilitas. Jika sebagian besar cleat terisi maka
permeabilias absolut akan menjadi sangat rendah.

2.2.5 Porositas dan Luas Permukaan Coal Bed Methane


Porositas dan luas permukaan adalah dua propertis batubara yang
sangat penting pada proses gassifikasi batubara, ketika reaktivitas
batubara meningkat sama seperti ketika porositas dan luas permukaan
batubara meningkat. Begitupun, laju gassifikasi adalah lebih besar untuk
batubara peringkat rendah daripada batubara peringkat tinggi.Batu bara
merupakan media yang dicirikan oleh adanya dua sistem porositas yang
berbeda (dual-porosity) yaitu macropores dan micropores. Macropores
yang dikenal juga sebagai cleat yang umum dijumpai pada lapisan batu
bara, sedangkan micropore atau matrik adalah sebagai ruang simpan
utama gas.Porositas reservoir coal bed biasanya sangat kecil berkisar dari
0,1 sampai 10%.

2.2.9 Eksplorasi dan Produksi CBM


Pada tahapan eksplorasi CBM tidak serumit seperti yang biasa
dilakukan pada eksplorasi minyak dan gas bumi. Apabila ditemukan
batubara pada kedalaman tertentu kita hanya tinggal perlu menghitung
luasan area serta menentukan rank dari suatu batubara tersebut dan
menguji gas yang terdapat di dalamnya. Proses yang terdapat pada
produksi CBM sebelum dapat memproduksi gas terlebih dahulu akan
memproduksi air secara besar-besaran, proses ini dinamakan dewatering
yaitu pengambilan air yang terdapat pada lapisan batubara untuk
dikeluarkan terlebih dahulu. Karena seperti yang kita ketahui bahwa
batubara diendapkan pada lingkungan perairan sehingga ketika proses
kompaksi dan litifikasi air tersebut tidak sepenuhnya terbuang
namunsebagian terperangkap dalam tubuh batubara tersebut.Setelah
proses dewatering selesai maka gas akan menyusul keluar dalam
kapasitas yang besar. Pada fase inilah gas bisa diambil dan diolah untuk
dijadikan sumber energi.

Sumber: Buku Gas Metana Batubara Energi Baru Untuk Rakyat, LE


MIGAS
Gambar 2.9 Perbandingan kurva produksi gas hidrokarbon dengan
gasmetana batubara.

Gambar di atas (gambar 1.9) menunjukkan bahwa gas dalam


produksi hidrokarbon sangat besar pada awal produksi namun drastis
menurun hingga akhirnya sumur ditinggalkan, sedangkan pada produksi
gas metana batubara dapat dilihat bahwa tingkat produksi pada tahap
awal relatif kecil dan didominasi oleh air yang melimpah, seiring dengan
berjalannya waktu,kadar air dalam batubara yang menutupi jalur
transport gas mulai berkurang dan gas yang terdapat dalam cleat batubara
mulai keluar dalam jumlah besar hingga gas tersebut habis.

2.2.10 Prinsip Produksi Coalbed Methane


Pemanfaatan Coal Bed Methane untuk sumber energi akan melalui
tahapan produksi gas CBM. Terdapat tiga tahapan proses dalam produksi
gas metana dari reservoir CBM. Pertama adalah desorpsi metana dari
micropore coal. Terjadinya desorpsi dimungkinkan dengan penurunan
tekanan reservoir melalui proses dewatering. Kedua, ketika tekanan
reservoir turun hingga mencapai tekanan desorpsi, metana akan berdifusi
dalam matriks hingga methane mencapai rekahan. Kemudian, setelah
mencapai rekahan, methane akan mengalir mengikuti hukum Darcy
hingga mencapai lubang sumur.Untuk memproduksikan gas metana
dilakukan dengan menurunkan tekanan pada fracture melalui proses
dewatering yang menyebabkan terjadinya proses desorbtion gas metana
dari permukaan fracture batu bara menuju ke dalam rongga fracture. Gas
tersebut berasal dari matrik batu bara yang telah ter-diffuse menuju
permukaan fracture. Selama memproduksikan gas dari dalam batu bara,
ada 3 phase yang terjadi atau dilalui oleh gas metana.
1) Phase I: dicirikan oleh laju produksi air konstan dan tekanan
reservoir mulai menurun.Selama phase ini, sumur dalam kondisi
dipompakan untuk meningkatkan laju produksi gas. Biasanya laju
gas akan meningkat, tergantung permeabilitas relatif di sekitar
lobang bor.
2) Phase II: dicirikan oleh negative decline atau penurunan secara
drastis laju produksi air. Pada phase ini alirannya berada pada
kondisi dinamis (selalu berubah-ubah) tergantung dari:
a. Penurunan permebilitas relatif air
b. Kenaikan permeabilitas relatif gas
c. Efek Outer boundary sudah mulai terasa (alirannya
Preudo steadystate)
d. Laju produksi gas berubah menjadi dinamis.
3) Phase III: dimulai pada saat kondisi aliran di dalam reservoir mulai
stabil, sumur telah mencapai peak gas rate, dan produksi gas
menunjukkan tren penurunan (decline). Selama phase ini produksi air
rendah dan permeabilitas air dan gas berubah menjadi kecil, alirannya
tetap Preudo steady state.

Sumber: Buku Gas Metana Batubara Energi Baru Untuk Rakyat, LE MIGAS

Gambar 2.10 Skema Produksi Reservoir CBM


Seiring dengan menurunnya tekanan reservoir, produksi gas
akan meningkat hingga mencapai puncaknya hingga mencapai
kestabilan.
Setelah itu,
produksi gas
akan menurun.
Produksi gas
diawal
produksi
disertai
dengan
produksi air
yang besar
hingga
akhirnya
produksi air
menurun drastis ketika produksi gas mencapai maksimal
Sumber: G. Asquith &D.Krygowsky2004
Gambar 2.11 Respon Log Gamma Ray terhadap batuan

A. Log Densitas
Log densitas ialah merekam secara menerus dari bulk densitas
batuan pada formasi. Densitas yang diukur merupakan semua densitas
jenis batuan termasuk batubara. Prinsip pengukuran dari log densitas
adalah menmbakkan sinar gamma yang membawa partikel foton
kedalam formasi batuan. Masuknya sinar gamma ke dalam batuan
akan menyebabkan benturan/tumbukan anatara sinar gamma dengan
electron pada formasi, banyaknya energi sinar gamma yang hilang
setiap kali tumbukan menunjukkan densitas electron dalam formasi
atau densitas formasi. Jadi pada saat sinar gamma dan electron
bertumbukkan maka akan terjadi pengurangan energy pada sinar
gamma tersebut. Sisa energy sinar gamma akan direkam ditektor sinar
gamma. Jika ditektor menerima energy sinar gamma (foton)
sedikit/lemah, maka semakin banyak jumlah electron dalam batuan
yang berarti semakin padat butiran penyusun batuannya.

Bulk density (b)merupakan indikator yang penting untuk


menghitung porositas bila dikombinasikan dengan kurva log neutron,
karena kurva log densitas ini akan menunjukkan besarnya kerapatan
medium beserta isinya. Selain itu apabila log densitas dikombinasikan
dengan Log netron, maka akan dapat dipakai untuk memperkirakan
kandungan hidrokarbon atau fluida yang terdapat dicdalam formasi,

menentukan besarnya densitas hidrokarbon (h) dan membantu dalam


evaluasi lapisan shaly. Pada lapisan yang mengandung hidrokarbon,
kurva densitas akan cenderung mempunyai defleksi ke kiri (densitas

total (Rhob) makin kecil), sedangkan defleksi log netron ke kanan.


Pada batuan yang sangat kompak, dimana per satuan volume (cc)
seluruhnya atau hampir seluruhnya terdiri dari matrik batuan
porositasnya adalah mendekati atau nol.
Dengan demikian batuan yang mempunyai densitas paling besar,
dimana porositas () adalah nol, dan ini disebut sebagai densitas
matrik (ma). Pada batuan homogen dengan porositas tertentu, jika
mengandung air asin akan mempunyai densitas lebih rendah dibanding
dengan batuan yang seluruhnya terdiri dari matrik. Untuk yang
mengandung minyak, densitas batuan lebih rendah daripada yang
mengandung air asin, sebab densitas air asin lebih besar daripada
minyak. Pada batuan homogen yang mengandung fluida gas, densitas
batuan lebih rendah lagi daripada yang berisi minyak. Sedangkan yang
mengandung batubara, mempunyai densitas paling rendah diatara jenis
batuan yang mengandung fluida. Gambaran variasi harga densitas dari
beberapa lapangan minyak dan gas bumi dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Harga-harga pada tabel 3.1 besifat tidak mutlak tergantung dari
karakteristik batuan setempat, dan untuk meyakinkan adanya zona-
zona air asin, minyak, dan gas masih perlu ditunjang dengan data-data
lain seperti kurva SP, resistivitas, dan kurva neutron. Terkecuali
lapisan batubara yang mempunyai harga densitas yang khas yaitu
sangat rendah.

Sumber: Harsono, 1997


Tabel 2.1 Variasi harga densitas batuan dengan kandungan fluida tertentu dari
beberapa lapangan minyak bumi
Sumber: Malcolm Rider, 2002
Gambar 2.12 Respon log densitas terhadap batuan

B. Log Neutron
Log Neutron merekam Hidrogen Index (HI) dari formasi. HI
merupakan indicator kelimpahan kandungan hydrogen dalam
formasi.Prinsip dasar dari log neutron adalah mendeteksi kandungan
atom hidrogen yang terdapat dalam formasi batuan dengan
menembakan atom neutron ke formasi dengan energi yang tinggi.
Neutron adalah suatu partikel listrik netral yang mempunyai massa
hampir sama dengan atom hidrogen. Partikel-partikel neutron
memancar menembus formasi dan bertumbukan dengan material
formasi, akibat dari tumbukan tersebut neutron akan kehilangan
energi. Energi yang hilang saat benturan dengan atom di dalam
formasi batuan disebut sebagai porositas formasi (ф N). Hilangnya
energi paling besar bila neutron bertumbukan dengan sesuatu yang
mempunyai massa sama atau hampir sama, contohnya atom hidrogen.
Dengan demikian besarnya energi neutron yang hilang hampir
semuanya tergantung banyaknya jumlah atom hidrogen dalam formasi.

Sumber : Malcolm
Rider, 2002

Gambar 2.13 Respon Log Neutron

Kandungan air akan memperbesar harga porositas neutron.


Jika pori-pori didominasi oleh minyak dan air harga porositas
neutron kecil. Apabila formasi terisi oleh gas, maka nilai log netron
kecil mendekati batuan sangat kompak (2– 6%), karena konsentrasi
atom hidrogen pada gas lebih kecil daripada minyak dan air. Batuan
yang kompak dimana porositas mendekati nol akan menurunkan
harga neutron. Lapisan serpih mempunyai porositas besar antara
30–50% dalam kurva log, tetapi permeabilitas mendekati nol.
Pengaruh serpih dalam lapisan permeabel akan memperbesar harga
porositas neutron. Kandungan air asin atau air tawar dalam batuan
akan memperbesar harga porositas neutron. Kurva log neutron ini
tidak dapat untuk korelasi karena tidak mewakili litologi suatu
batuan.
Log neutron dalam perekamannya langsung menunjukkan
porositas batuan dengan menggunakan standar matrik batugamping.
Untuk batuan selain batugamping, harga porositasnya dinyatakan
dalam porositas neutron atau porositas formasi ( ). Untuk
mendapatkan harga porositas sebenarnya harus digunakan
gabungan kurva log yang lain seperti log densitas ( D).
C. Kombinasi Log Densitas (RHOB) dan Log Neutron (NPHI)
Berdasarkan sifat – sifat defleksi kurva dan maka dapat
memberikan keuntungan tersendiri pada lapisan – lapisan yang
mengandung hidrokarbon. Pada lapisan hidrokarbon, kurva densitas
akan cenderung mempunyai defleksi ke kiri (makin kecil harga
nya), sedangkan pada log neutron, harga porositasnya akan
cenderung makin ke kanan (makin kecil harga nya), dan pada
lapisan shale kedua jenis kurva akan memperlihatkan gejala yang
sebaliknya.
Dengan demikian, pada lapisan hidrokarbon akan terjadi
separasi antara kedua kurva, dimana separasi disebut positif,
sebaliknya pada lapisan shale terjadi separasi negative.
Sumber: Bateman, 1985
Gambar 2.14 Log penentu jenis litologi

2.4 Logging Geofisika Pada Eksplorasi Barubara


Logging geofisika pada prinsipnya merupakan pengukuran variasi
kedalaman sifat fisik batuan sekitar dengan menggunakan alat pengukuran
geofisika pada lubang bor. Secara umum Informasi geologi yang dibutuhkan
dalam eksplorasi batubara yang dapat diberikan oleh Logging geofisika adalah
sifat fisik batuan pada lubang bor yang dapat menghasilkan data antara lain :
1. Posisi kedalaman dan ketebalan lapisan batubara, termasuk adanya
parting dalam lapisan batubara.
2. Kedalaman dan ketebalan lapisan batuan pengapit (roof, floor, parting
dan interburden).
Data hasil logging geofisika biasanya ditampilkan melalui data grafis
seperti gambar1. Logging Geofisika yang umum digunakan dalam kegiatan
eksplorasi batubara adalah log gamma ray (merah), log caliper (hijau), density
(biru dan hitam). Prinsip kerja logging geofisika adalah sebagai berikut:
Logging gamma-ray  menerima sinyal radioaktif yang secara alami
terdapat pada batuan. Sinyal gamma-ray diterima oleh detektor dan dikirim ke
alat perekam di permukaan. Logging density yang juga sering disebut logging
gamma-gamma, sangat sensitif terhadap perubahan diameter lubang bor. Pada
pengukuran logging density, sumber radioaktif akan melepas sinyalnya (sinar
gamma) ke dinding lobang bor dan sinar gamma dari batuan tersebut dideteksi
kembali oleh detektor. Detektor terdekat dengan sumber akan mengirim sinyal
short spacing density, sedangkan detektor yang jauh dari sumber akan
melaporkan long spacing density. Hasil korelasi kedua log ini dapat
mengidentifikasi keberadaan lapisan batuan termasuk batubara. Logging
Caliper digunakan untuk mengetahui perubahan diameter lobang bor. Prinsip
kerja sederhananya adalah dengan cara probe kaliper megembang dan
menutup mengikuti diameter lubang bor.
Data grafis langsung dapat diinterpretasikan sesuai dengan sifat-sifat atau
respon batuan dinding bor terhadap pengukuran radioaktifitas (gamma-ray
dan gamma-gamma) di dalam casing seperti :
1) lapisan batu lempung atau serpih (shale): gamma-ray tinggi dan density
tinggi.
2) lapisan batupasir kuarsa: gamma-ray rendah dan density tinggi. lapisan
batubara: gamma-ray rendah dan density rendah.
3) Setiap hasil interpretasi logging geofisika harus
dikorelasi/direkonsiliasikan dengan data pencatatan litologi dari
pengeboran.
Sumber: Badan Geologi Pusat Energi dan Sumber Daya
Mineral
Gambar 2.15 Contoh Data Grafis Logging Geofisika Untuk Mengetahui Ketebalan
Dan Kedalaman Batubara

2.5 Pengertian Peta Topografi


Peta topografi berasal dari bahasa yunani, topos yang berarti tempat
dan graphi yang berarti menggambar. Peta topografi memetakan tempat-
tempat dipermukaan bumi yang berketinggian sama dari permukaan laut
menjadi bentuk garis-garis kontur, dengan satu garis kontur mewakili satu
ketinggian.
2.5.1 Metode Pemetaan Topografi
Secara garis besarnya, metoda pemetaan topografi dapat
dikelompokan menjadi dua, yaitu metoda teristis dan metoda
fotogrametris.
1. Metoda Teristis
Pada dasarnya pemetaan topografi ini terbagi atas tiga macam
pekerjaan, yaitu pengukuran topografi, pengolahan data ukuran, dan
pencetakan peta. Pengukuran topografi adalah pengukuran posisi dan
ketinggian titik-titik kerangka pemetaan serta pengukuran detail
topografi sehingga dapat dipetakan atau digambarkan di atas bidang
datar dalam skala tertentu. Pengolahan data ini terdiri atas perhitungan
data kerangka pemetaan dan data detail topografi, penggambaran
detail topografi, serta proses kartografi. Hasil akhir dari pengolahan
data ini adalah peta topografi.
2. Metoda Fotogrametris
Pada dasarnya metoda fotogrametris ini mencakup
fotogrametris metrik dan interpretasi citra. Dengan metoda ini
pengukuran tidak perlu dilakukan dilapangan langsung, tetapi cukup di
laboratorium melalui pengukuran pada citra foto.

2.5.2 Kontur Dalam Peta Topografi


Garis kontur adalah garis yang menghubungkan titik-titik yang
mempunyai ketinggian yang sama dari suatu datum atau bidang acuan
tertentu. Garis-garis kontur adalah garis-garis yang kontinu dan tidak
bercabang, dan tidak akan berpotongan dengan garis kontur yang lain.
Interval kontur adalah jarak tegak antara dua garis kontur
yang berdekatan. Jadi juga merupakan jarak antara dua bidang
mendatar yang berdekatan. Pada suatu peta topografi interval kontur
dibuat sama, berbanding terbalik dengan skala peta. Semakin besar
skala peta, jadi semakin banyak informasi yang tersajikan, interval
kontur semakin kecil.
Cara penarikan kontur adalah dengan cara perkiraan antara
besarnya nilai titik-titik ketinggian yang ada dengan besarnya nilai
kontur yang ditarik, artinya antara dua titik ketinggian dapat dilewati
beberapa kontur, tetapi dapat juga tidak ada kontur yang melewati dua
titik ketinggian atau lebih. Jadi semakin besar perbedaan angka
ketinggian antara dua buah titik ketinggian tersebut, maka semakin
banyak dan rapat kontur yang melalui kedua titik tersebut, yang berarti
daerah tersebut lerengnya terjal, sebaliknya semakin kecil perbedaan
angka ketinggian antara dua buah titik ketinggian tersebut, maka
semakin sedikit dan jarang kontur yang ada, berarti daerah tersebut
lerengnya landai atau datar. Dengan demikian, dari peta kontur
tersebut, kita dapat membaca bentuk medan (relief) dari daerah yang
digambarkan dari kontur tersebut, apakah daerah tersebut berlereng
terjal (berbukit, bergunung), bergelombang, landai atau datar. Dalam
pembuatan peta topografi, harus dibedakan antara kontur mayor dan
kontur minornya.

Anda mungkin juga menyukai