Konstitusionalisme Dalam Dinamika Negara
Konstitusionalisme Dalam Dinamika Negara
i
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
ii
Manunggal K Wardaya
Manunggal K Wardaya
Indepth
2014
iii
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
ISBN : 978-602-1534-28-1
Penerbit
Indepth Publishing
Jalan Ahmad Yani, Gang Pioneer, No. 41, Gotongroyong,
Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung
Indepth.publishing@gmail.com | www.indepthpublishing.org
081279604790
Bekerjasama dengan :
Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKPHAM)
Fakultas Hukum Universitas Lampung, www.pkkpham.org dan
Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM)
iv
Manunggal K Wardaya
PENGANTAR PENULIS
v
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
Manunggal K. Wardaya
vi
Manunggal K Wardaya
DAFTAR ISI
Pengantar Penulis v
Daftar Isi vii
1. Membangun Masyarakat
Madani dan Demokratis dalam
Bingkai Konstitusionalisme 1
3. Independensi Calon
Perseorangan dalam Pilkada 23
4. Pilkada dan Kontrak Sosial 27
5. Mewujudkan Polri yang
Dimiliki, Dicintai dan
Dibanggakan Masyarakat 31
6. Pembatasan Hak Beribadah:
Kasus Syeh Puji 40
7. Hak Hidup Sebagai Hak Asasi
Manusia 44
8. Pembubaran Ormas Anarkis 50
9. Dimensi HAM dalam Pe-
laksanaan Ibadah Kurban 57
10. Hak Hidup dan Pidana Mati 61
vii
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
viii
Manunggal K Wardaya
ix
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
x
Manunggal K Wardaya
1. MEMBANGUN MASYARAKAT
MADANI DAN DEMOKRATIS DALAM
BINGKAI KONSTITUSIONALISME
K
onstitusionalisme, demikian Dictionary of American
Politics, adalah “the doctrine that the power to govern should
be limited by definite ad enforceable principles of political
organization and procedural regularity embodied in the fundamental
law, so that basic constitutional rights of individuals ad groups will
not be infringed”1. Carl J. Friedrich menyebut konstitusionalisme
sebagai “...an institutionalised system of effective, regularized
restraints upon governmental action”2 sementara Ni’matul Huda
menyebut konstitusionalisme sebagai terbatasinya kekuasaan
pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan negara
1
Edward C. Smith & Arnold J. Zurcher, Dictionary of American Politics, Barnes & Noble,
Inc., New York, 1966, hal. 93.
2
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Konstitusi Press,
Jakarta, 2006, hal. 25. Selanjutnya Jimly menyatakan bahwa basis pokok konstitusionalisme
adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat
mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan denghan negara. Soal persetujuan rakyat
ini pula dinyataka oleh Soetandyo Wignjosoebroto yang mengatakan bahwa konstitusi
hanya bisa dikatakan sebagai konstitusi yang sesungguhnya manakala ia berasal dari
kesepakatan warga dan berisi jaminan kebebasan asasi dalam kehidupan bernegara. Lihat
Soetandyo Wignjosoebroto, “Konstitusi dan Konstitusionalisem”, dalam http://soetandyo.
wordpress.com/2010/07/10/konstitusi-dan-konstitusionalisme/, diakses pada 20 Juni
2011.
1
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
3
Lihat Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers,
2008, hal. 37.
4
Soetandyo Wignjosoebroto, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, dalam Benny
K. Harman & Hendardi (ed), Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) & Jaringan Informasi Masyarakat (JARIM),
Jakarta, 1991, hal. 2.
Ibid.
5
Ibid.
6
2
Manunggal K Wardaya
7
Paham ini sebenarnya berasal dari pemikiran Locke dalam risalah kedua bukunya
Two Treatise of Government yang menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang
sewenang-wenang memberikan kekuasaan pada rakyat untuk mengatur kembai keamanan
dan keselamatan mereka. Lihat Pudja Pramana K.A, Ilmu Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta,
3
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
4
Manunggal K Wardaya
oleh badan ini sebenarnya di luar dari tujuan pembentukannya, yakni untuk melakukan
usaha-usaha persiapan kemerdekaan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hal. 39.
9
Soekarno dalam pidatonya di depan PPKI pada 18 Agustus 1945 mengatakan
bahwa UUD 1945 adalah suatu revolutie grondwet, suatu undang-undang dasar darurat,
pernyataan yang pula diamini oleh pendiri bangsa lainnya seperti Dr. Sam Ratulangi dan
Mr Iwa Kusuma. Lebih lanjut, kesementaraan UUD 1945 juga tercermin Aturan Tambahan
UUD 1945 sebelum perubahan yang pada Pasal II menyatakan bahwa “Dalam enam
bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk
menetapkan Undang-Undang Dasar.” Bacalah Ananda B. Kusuma, “Keabsahan UUD
1945 Pasca Amandemen”, Jurnal Konstitusi Vol. 4 No.1, Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Maret 2007, hal.146-148.
10
Denny Indrayana menyebut UUD 1945 sebelum perubahan adalah dokumen yang
otoriter. Baik Soekarno maupun Soeharto, demikian Denny, memanfaatkan Konstitusi
otoriter demikian untuk memusatkan kekuasaan negara di tangan mereka sendiri. Lihat
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan,
Cetakan II, 2007, hal. 164.
5
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
11
Lihat Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR
RI, 2006, hal. 4.
12
Moh Mahfud MD mengatakan bahwa sebenarnya perubahan yangg dilakukan
terhadap UUD 1945 hanyalah satu (1) kali, namun disahkan dalam empat (4) tahap.
Perubahan, demikian Mahfud, hanya dilakukan sekali tetapi memakan waktu selama tiga
tahun (199-2002), karena menurut Mahfud dalam kurun waktu tiga tahun tersebut MPR
tidak pernah berhenti bersidang. Baca lebih lanjut dalam Moh Mahfud MD, Perdebatan
Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, hal. Xii-xiii.
13
UUD 1945 setelah Dekrit Presiden dilengkapi dengan Penjelasan, dimana Penjelasan
ini tidak ada dalam UUD 1945 yang disahkan oleh PPK pada 18 Agustus 1945.
14
Selain masyarakat madani, ada pula yang mentranslasi civil society sebagai masyarakat
sipil. Mereka yang menggunakan istilah ini berargumen bahwa istilah civil society berasal
dari Barat dalam masa modern, sehingga tak bisa diterapkan secara retroaktif ke dalam
masyarakat muslim sebagaimana pengguna istilah masyarakat madani merujuk pada
abad ke-7 dimana Nabi Muhammad mendirikan pemerintahan di Madina. Akan tetapi tak
kurang mereka yang menggunakan istilah masyarakat sipil sebagai translasi civil society
juga dikatakan sebagai tidak tepat, karena “sipil” dalam masyarakat sipil diartikan sebagai
6
Manunggal K Wardaya
lawan dari militer, sesuatu yang sebenarnya bukan maksud dari civil society. Lihat Andi
Faisal Bakti, “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid’s Interpretation of Civil Society ,
Pluralism, Secularization, and Democracy”, Asian Journal of Social Science, Vol. 33 No. 3,
hal. 489.
15
Aceng Kosasih, “Konsep Masyarakat Madani”, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/
M_K_D_U/196509171990011-ACENG_KOSASIH/MASYARAKAT_MADANI.pdf diakses pada
1 Juli 2011.
16
Marzuki Alie, “Pembaharuan Pendidikan Islam Demi Terwujudnya Masyarakat
Madani”, Orasi Ilmiah Disampaikan dalam Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Universitas
Darul Ulum, Jombang , 16 Oktober 2010, hal.6.
17
Keinginan untuk merdeka telah menjadi keinginan kuat para pendiri bangsa
sebagaimana dapat dibaca dalam pledoi Ir. Soekarno di depan sidang pengadilan
kolonial tanggal 30 Agustus di Bandung. Soekarno mengatakan bahwa “tidak ada satu
rakyat negeri jajahan yang tidak ingin merdeka, tidak ada satu rakyat jajahan yang tidak
mengharap-harapkan datangnya hari kebebasan”. Dikatakan pula oleh Soekarno bahwa
“ kemerdekaan adalah syarat yang amat penting bagi kesempurnaan rumah tangga tiap-
tiap negeri, tiap-tiap bangsa baik bangsa Timur maupun bangsa Barat, baik bangsa kulit
berwarna maupun bangsa kulit putih”. Lihat Ir Soekarno, Indonesia Menggugat: Pidato
Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim Kolonial, Departemen Penerangan Republik
Indonesia, Daja Upaja, hal.83.
7
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
8
Manunggal K Wardaya
Sebelum perubahan dikenal istilah “batang tubuh”. Kini istilah itu tidak ada lagi,
18
9
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
10
Manunggal K Wardaya
24
Sebelum perubahan , kewenangan membentuk undang-undang dimiliki oleh
Presiden. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan
DPR” dan Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan “tiap-tiap undang-undang menghendaki
persetujuan DPR”. Setelah perubahan, rumusan Pasal 5 ayat (1) berbunyi “Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”. Dengan demikian telah
terjadi pergeseran kekuasaan substantif dalam kekuasaan membentuk undang-undang.
Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, Jakarta, hal. 135.
Lihat pula Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer
Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, 2010, Jakarta, hal. 3-5.
11
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
25
Namun begitu DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut menetapkan sebuah
undang-undang sebagaimana dimiliki oleh DPR karena Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 telah
memberikan kewenangan itu pada DPR.
26
Ibid, hal.67. Dinyatakan oleh Mahfud, kewenangan konstitusional DPD tersebut
nyaris tak berarti jika dibandingkan dengan biaya politik dan proses perekrutannya yang
demokratis.
27
Ketentuan ini menunjukkan bahwa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah satu
kesatuan paket kepemimpinan.
12
Manunggal K Wardaya
28
Syarat tersebut adalah bahwa calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus warga
negara Indonesia sejak kelahirannya. Selain itu, tidak pernah menerima kewarganegaraan
lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara
rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil
Presiden.
29
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Adapun syarat Presiden dan wakil
Presiden sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) kemudian dijabarkan lagi dalam
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
(LNRI tahun 2008 Nomor 76, TLN Nomor 4924).
Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.
30
31
Kewenangan MK untuk menguji Perpu tidak dijumpai secara ekpslisit dalam UUD
1945 maupun dalam UU MK. Namun begitu, melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009
MK menyatakan bahwa peraturan pemerintah pengganti undang-undang adalah pula
menjadi kewenangan MK untuk mengujinya. Selengkapnya mengenai ini bacalah
Manunggal K. Wardaya, “Perubahan Konstitusi Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi:
Telaah atas Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, Jurnal Konstitusi Vol. 7 No.2, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hal. 19-46.
13
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
32
Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 08/PMK/2006 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Memutus Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga
Negara.
Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008
33
14
Manunggal K Wardaya
36
Meski demikian patut diingat bahwa MK tidak berwenang memberhentikan seorang
Presiden dan/atau Wakil Presiden jika terbukti melanggar hukum dan atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemberhentian adalah
kewenangan MPR sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UUD 11945.
15
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
16
Manunggal K Wardaya
2. SELAYANG PANDANG
LEMBAGA KEPRESIDENAN
A
mandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR
sejak 1999 hingga 2002 menghasilkan perubahan yang
signififikan terhadap hukum dasar penyelenggaraan
kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Perubahan konstitusi
sebagai tuntutan gerakan reformasi menyempurnakan aturan
dasar kehidupan bernegara agar lebih demokratis, transparan,
berkeadilan, dan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan
jaman. Disadari oleh segenap elemen pro reformasi bahwa segala
penyimpangan kuasa di masa lalu terutama dalam kekuasaan
rejim Orde Baru Soeharto dan Demokrasi Terpimpin Soekarno
adalah disebabkan karena UUD yang menjadi pegangan penguasa
memang memiliiki berbagai kelemahan mendasar.
Kelemahan mendasar UUD tersebut sebenarnyalah telah
disadari oleh para penyusunnya sendiri. UUD 1945 merupakan
konstitusi yang temporer, yang bakal disempurnakan jika bangsa
ini telah berada dalam suasana kehidupan bernegara yang lebih
tenang dan mapan. Pernyataan Soekarno dalam Pidatonya sebagai
Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sidang
perdana PPKI tanggal 18 Agustus 1945 serta muatan Pasal II
17
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
18
Manunggal K Wardaya
19
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
Lebih jauh, jika ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) tersebut tak
bisa dipenuhi, maka dua pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih
oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara
rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Dari rumusan Pasal 6A ayat (2) dan (4) diketahui bahwa pemilihan
Presiden disediakan untuk dua kali pemilihan. Pemilihan Presiden
hanya berlangsung satu ronde jika ketentuan Pasal 6A ayat (3)
terpenuhi. Jika tidak maka pemilihan akan terjadi dalam dua
ronde.
Adapun mengenai syarat presiden juga mengalami perubahan
dengan amandemen UUD. Pasal 6 UUD 1945 sebelum perubahan
menentukan Presiden adalah orang Indonesia asli. Persoalan yang
timbul adalah menentukan siapa yang dimaksud dengan orang
Indonesia asli itu. Hal ini karena syarat ini tidak lagi mudah
dipenuhi. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa,
dan seiring dengan perkembangan jaman dan arus globalisasi,
terjadi percampuran ras di kalangan masyarakat Indonesia.
Ada golongan Arab, Eropa, Asia, Jepang, dan lain-lainnya yang
hidup di Indonesia. Sejarah sendiri menyatakan bahwa bangsa
Indonesia adalah keturunan dari bangsa Yunan, yakni mereka
yang sebelumnya mendiami China.
Karena ketidakpastian ini, maka dirubahlah syarat Presiden
ini tidak kepada ras, namun kepada kewarganegaraan. Disebutkan
dalam Pasal 6 ayat (1) bahwa Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia haruslah warga negara Indonesia sejak kelahirannya,
dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena
kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta
mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden ini jika
dihubungkan dengan pasal mengenai pemberhentian Presiden
20
Manunggal K Wardaya
21
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
22
Manunggal K Wardaya
3. INDEPENDENSI CALON
PERSEORANGAN DALAM PILKADA
S
etelah sekian lama dibuat jenuh oleh performa partai
politik (parpol) yang selalu diwarnai politik uang dan
konflik tak berkesudahan, putusan Mahkamah Konstitusi
yang memungkinkan calon perseorangan dalam bursa pilkada
menimbulkan ekspektasi besar munculnya kepala daerah yang
memihak pada kepentingan rakyat banyak sebagai antitesis calon
berkendaraan partai yang kencang berbau politik uang. Terlepas
dari persoalan terkait dengan implementasi teknisnya yang masih
membutuhkan dasar hukum, ada pertanyaan sederhana yang layak
dikemukakan yakni seberapa jauh seorang perseorangan memberi
peluang terpilihnya kepala daerah yang tidak lagi terbelenggu
kepentingan sempit golongan, dan lebih berpihak pada rakyat
banyak? benarkah calon yang mengambil jalur perseorangan
adalah calon yang sepenuhnya bebas dari politik uang, yang
oleh karenanya boleh diasumsikan akan lebih murni perolehan
suaranya? Tulisan ini menyodorkan tiga (3) hal yang penting untuk
dicermati dalam mensikapi perkembangan termutakhir dalam
ketatanegaraan Indonesia berkaitan pemilihan kepala daerah yang
akhir-akhir ini ramai menjadi diskusi publik.
23
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
24
Manunggal K Wardaya
25
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
26
Manunggal K Wardaya
P
emerintah berasal dari persetujuan dari yang diperintah,
demikian ajaran salah seorang pemikir liberalisme Barat
John Locke (1632-1704) pada abad XVIII. Tidak saja
membangkrutkan sistem pewarisan kepemimpinan politik
patriarkis secara turun temurun yang pada masanya diakui sebagai
yang tersahih, Locke pula mewanti bahwa barangsiapa penguasa
yang kemudian terbukti tidak mampu, tidak mau, atau malahan
ingkar kepada kewajiban asasinya melindungi hak dan kebebasan
dasar rakyat, maka ketidakmauan, ketidakmampuan, dan
keingkaran semacam itu merupakan pembenaran (justification)
bagi rakyat untuk melengserkannya.
Memberi inspirasi pada Thomas Jefferson sang perumus
Declaration of Independence (1776) di Amerika, pemikiran Locke
mengilhami pula Rousseau (1712-1778) yang menyatakan bahwa
kesepakatan masyarakat adalah dasar legitimasi kekuasaan diantara
manusia (conventions form the basis of all legitimate authority
among men). Karena eksistensi penguasa sesungguhnyalah berasal
dari kesepakatan rakyat maka penguasa mempunyai tugas asasi
melindungi hak dan kebebasan rakyat, sang pemilik kekuasaan
27
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
28
Manunggal K Wardaya
29
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
30
Manunggal K Wardaya
D
imanakah Polisi ketika lampu lalu lintas mati di
Purwokerto akhir-akhir ini? 085625786xx
31
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
32
Manunggal K Wardaya
33
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
34
Manunggal K Wardaya
35
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
36
Manunggal K Wardaya
37
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
38
Manunggal K Wardaya
39
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
P
ujiono Cahyo Widianto yang luas dikenal sebagai Syeh
Puji akhirnya divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri
Semarang (SM 25/11). Dijatuhi pidana penjara selama
4 tahun dan denda 60 juta rupiah karena persetubuhan dengan
anak di bawah umur sebagaimana termaktub dalam Pasal 81 UU
No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, putusan tersebut
seolah angin sejuk bagi perlindungan anak di Indonesia. Setelah
melalui proses pro justitia yang penuh lika liku yang diwarnai
ulah kontroversial Pujiono yang membuat penjara nikah siri di
kompleks tempat tinggalnya, putusan tersebut menegaskan bahwa
apa yang dilakukan pengusaha asal Bedono, Semarang tersebut
adalah perbuatan melawan hukum. Tulisan ini menelaah secara
singkat penjatuhan pidana tersebut dari perspektif hukum hak
asasi manusia.
Sebagaimana diketahui, dalam berbagai kesempatan Pujiono
berusaha menunjukkan bahwa pernikahannya dengan Ulfa
tidaklah diwarnai dengan unsur paksaan. Puji bahkan pernah
mendalilkan bahwa perkawinannya dengan Ulfa adalah bagian
dari ibadah, statement mana sontak mendapat tentangan dari
40
Manunggal K Wardaya
kalangan muslim (antara lain pada waktu itu Ketua Umum PBNU
KH Hasyim Muzadi serta cendekiawan Jalaluddin Rahmat).
Namun demikian, tak urung klaim Pujianto tersebut menarik
untuk dikaji: jika beribadah adalah salah satu hak dasar manusia,
dan jika perkawinan diklaim sebagai bagian dari ibadah, adakah
justifikasi bagi negara untuk membatasi penikmatannya dengan
mengenakan pidana? Ataukah sebaliknya; hak beribadah bersifat
mutlak sehingga tiada mengenal pembatasan sehingga seharusnya
ia tak perlu dijatuhi pidana?
Menyatakan agama (to manifest religion) atau yang kita kenal
sebagai beribadah adalah hak yang diakui tegas dalam berbagai
instrumen HAM baik internasional maupun nasional. Pasal 18
Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 18 ayat
(1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR),
dan Pasal 1 ayat (1) Declaration on The Elimination of All
Forms of Intolerance and Discrimination Based on Religion and
Belief mengakui hak ini sebagai hak setiap orang. Pada level
domestik, pengakuan yang sama diberikan pula oleh Pasal 29 ayat
(2) UUD 1945 (Amandemen) serta Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU
No. 39 Tentang Hak Asasi Manusia.
Akan tetapi, tak seperti hak untuk memeluk agama (to adopt
religion), hak untuk beribadah tidak termasuk dalam kategori hak-
hak yang tak dapat dikurangkan penikmatannya (non-derogable
rights) sebagaimana diatur oleh rezim Pasal 4 ayat (1) ICCPR.
Penikmatan hak beribadah dapat mengurangi hak atau bahkan
ancaman terhadap kepentingan hukum orang lain. Para pelaku
terorisme misalnya, bisa jadi meyakini sebagai sedang menjalankan
perintah agama walaupun apa yang dilakukannya menyebabkan
kerugian dan atau bahkan terampasnya hak orang lain. Oleh
karena potensi terkurangi atau terancamnya penikmatan hak dan
kebebasan orang lain itu, Pasal 18 ayat (3) ICCPR menyatakan
bahwa hak untuk beribadah dapat dibatasi, pembatasan mana
41
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
42
Manunggal K Wardaya
43
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
S
alah satu muatan UUD 1945 hasil perubahan yang
membedakannya dengan UUD sebelum perubahan adalah
klausul mengenai Hak Asasi Manusia. Tercantum dalam
Bab tersendiri yakni Bab XA, UUD 1945 terbilang sebagai
Konstitusi yang demokratis dan berpaham kedaulatan rakyat.
Setelah Konstitusi RIS 1949, Indonesia kembali memiliki suatu
hukum dasar yang bermuatan pengakuan HAM dengan cukup
komprehensif. Jaminan dan pengakuan HAM ini meneguhkan
Indonesia sebagai Negara demokrasi konstitusional, dimana hak
dan kebebasan warga Negara dijamin akan dihormati, dilindungi,
dipenuhi, dan dimajukan oleh Negara. Bahwa kewenangan
negara atas hak dan kebebasan warga dan setiap orang di dalam
jurisdiksinya tidak lantas menjadi pembenar dilanggarnya hak
dan kebebasan dasar manusia. Hak dan kebebasan itu dapatlah
dibatasi, akan tetapi bukan karena kekuasaan, melainkan dengan
hukum.
Diantara sekian banyak klausul dan muatan HAM dalam UUD
1945 terbilanglah Pasal yang secara spesifik mengatur mengenai
HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal
44
Manunggal K Wardaya
yang dimaksud adalah Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan bahwa
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut berdasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Tulisan ini secara khusus hendak membahas mengenai hak hidup
sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
tersebut dan pengaturannya dalam konstitusi Indonesia. Secara
singkat akan dibahas mengenai apa yang dmaksud dengan hak
hidup ini sekaligus perdebatan klasik mengenai hak hidup dalam
diskursus hak asasi manusia.
Mengkaji Pasal 28I UUD 1945, tak akan dapat dilepaskan
dari perjanjian internasional HAM yang mengatur mengenai non-
derogable rights, alias hak yang tidak dapat dikurangkan dalam
keadaan apapun juga. Ketentuan ini dalam hukum internasional
dikenal melalui rejim Pasal 4 ayat (1) International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) Secara ringkas disana disebutkan
bahwa dalam keadaan tertentu, negara peserta ICCPR dapat
menunda maupun mengurangi penikmatan hak-hak yang ada di
dalam ICCPR. Keadaan yang dimaksud oleh Pasal 4 ayat (1) itu
adalah ketika negara dalam keadaan darurat, keadaan mana harus
dilaporkan oleh negara yang bermaksud melakukan penundaan itu
pada semua negara pihak ICCPR melalui Sekretaris Jenderal PBB.
Tidak semua keadaan genting dapat menjadi pembenar adanya
penundaan atau pengurangan HAM. Hanyalah jika memang
dikehendaki oleh keadaan, maka sutu hak tertentu bisa dikurangi
penikmatannya.
Pasal 4 (2) ICCPR kemudian menentukan bahwa dalam
keadaan darurat sekalipun, meskipun suatu negara dalam
keadaan emergency, maka tidak diperbolehkan adanya penundaan
atau pengurangan terhadap hak-hak tertentu. Hak-hak itu
45
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
46
Manunggal K Wardaya
47
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
48
Manunggal K Wardaya
49
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
S
alah satu di antara berbagai persoalan kehidupan berbangsa
dan bernegara di tahun 2012 adalah kian maraknya tindak
kekerasan yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan
(ormas). Beraroma intoleransi beragama dan berkeyakinan, tindak
kekerasan elemen masyarakat sipil yang terorganisir dalam wadah
organisasi ini bukanlah hal baru, melainkan repetisi fenomena
serupa pada tahun-tahun sebelumnya.
Setara Institute mencatat bahwa sepanjang 2009 hingga
2010 telah terjadi 286 tindak kekerasan yang mengatasnamakan
agama dimana 183 diantaranya adalah kasus dilakukan oleh
aktor non-negara termasuk ormas. Lebih jauh, merujuk Kadiv
Humas Mabes Polri Saud Usman Nasution sebagaimana
dikutip Tempo (17/2/2012), pada tahun 2010 tercatat terjadi
50 kasus kekerasan ormas dengan Front Pembela Islam (FPI)
sebagai ormas yang paling banyak melakukan kekerasan (29
kasus). Adapun VOA Indonesia dalam pemberitaannya (8/2/2012)
mengutip kepolisian bahwa ormas yang paling banyak melakukan
kekerasan adalah FPI, Forum Betawi Rempug, dan Barisan Muda
Betawi.
50
Manunggal K Wardaya
51
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
52
Manunggal K Wardaya
Pembatasan HAM
53
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
54
Manunggal K Wardaya
Kesimpulan
55
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
Saran
56
Manunggal K Wardaya
T
anggal 10 Dzulhijjah tiap tahunnya umat Islam di seluruh
penjuru dunia merayakan Hari Raya Iedul Adha atau yang
disebut dengan Hari Raya Kurban. Dimaksudkan untuk
mengenang ketaatan, kepasrahan, dan kesabaran Nabi Ibrahim
dengan mengurbankan anaknya Ismail demi menjalankan perintah
Sang Khalik, penyembelihan hewan ternak seperti kambing dan
sapi pula dilaksanakan oleh umat Islam di tanah air. Mengandung
ajaran mulia akan kepatuhan dan ketakwaan terhadap perintah
Tuhan sekaligus solidaritas sosial (melalui pendistribusian daging
pada mereka yang berhak), ibadah kurban dalam kehidupan
bernegara demokrasi konstitusional tidak lagi hanya berada dalam
wilayah keagamaan melainkan pula bagian dari penikmatan
hak asasi manusia (HAM) yakni hak untuk memanifestasikan
keberagamaan. Tulisan ini merupakan telaah sinkronitas aturan
agama dan pembatasan hak dalam hukum HAM dalam ibadah
kurban .
Selain tatacara penyembelihan dan metode yang tak
mengakibatkan binatang menjadi tersiksa, hukum agama
pula menentukan sejumlah kriteria demi sahnya kurban yang
57
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
58
Manunggal K Wardaya
59
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
60
Manunggal K Wardaya
D
i Hari kebebasan Pers Dunia 3 Mei 2013, kalangan jurnalis
tanah air memeringati banyaknya jurnalis yang terampas
hak hidupnya dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya.
Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat tak kurang dari 55
jurnalis menjadi korban kekerasan sepanjang 2011-2012. Masih
misteriusnya kasus terbunuhnya Munir dan aneka perampasan
hak hidup dalam pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya
menjadi catatan tersendiri yang memprihatinkan jelang akhir
pemerintahan Presiden SBY. Tulisan ini oleh karenanya hendak
membahas mengenai hak hidup sebagai hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun tersebut dan kontekstualitasnya
dalam permasalahan kebangsaan dewasa ini. Tulisan ini dirasa
relevan setelah Rakernas Majelis Ulama Indonesia (MUI)
meminta pidana mati bagi koruptor.
Diantara sekian banyak klausul dan muatan hak asasi manusia
(HAM) dalam UUD 1945 hasil amandemen terbilanglah pasal
yang secara spesifik mengatur mengenai HAM yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun. HAM yang dimaksud Pasal
28I ayat (1) adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
61
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
62
Manunggal K Wardaya
63
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
64
Manunggal K Wardaya
65
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
R
asyid Amrullah, putra bungsu Menko Perekonomian Hatta
Rajasa menjalani sidang perdana di PN Jakarta Timur
terkait kasus kecelakaan yang menewaskan dua orang,
yang melibatkannya. Menjadi keinginan publik kasus itu diproses
sesuai dengan hukum. Artinya bila terbukti bersalah, sanksi
hukum hendaknya berlaku pula bagi Rasyid. Tulisan ini adalah
analisis sosio-legal terkait kecelakaan di tol Jagorawi pada awal
Januari 2013
Dalam setting negara hukum, kecelakaan yang melibatkan
Rasyid sebenarnya perkara pidana biasa. Ada perangkat hukum
untuk menyelesaikan, dan publik juga mengetahui aparat
kepolisian telah menyelidiki dan menyidik dugaan tindak pidana
itu, termasuk menetapkan tersangka dan saksi.
Setelah pemeriksaan selesai, berkas acara pemeriksaan
(BAP) dan alat bukti dilimpahkan kepada penuntut umum,
yang kemudian menyusun surat dakwaan, meminta lembaga
peradilan menjatuhkan pidana. Pengadilan akan memeriksa
kasus itu, dan jika terdakwa terbukti bersalah dan kesalahan itu
dapat dipertanggungjawabkan padanya, pidana pun dijatuhkan.
66
Manunggal K Wardaya
67
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
68
Manunggal K Wardaya
69
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
D
alam konteks penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak asasi manusia (HAM), peran yang sentral
lagi vital disandang oleh negara. Dikatakan demikian,
karena negaralah yang memiliki aparat penegak hukum serta
birokrasi untuk didayagunakan bagi terealisirnya pelbagai jaminan
hak dan kebebasan manusia. Adalah kewajiban negara menurut
hukum internasional maupun konstitusi untuk memenuhi HAM
setiap individu yang ada di dalam jurisdiksinya. Terkait dengan
Hari HAM yang diperingati tiap 10 Desember, tulisan ini adalah
catatan atas performa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dalam penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan
pemajuan HAM. Meskipun menyoroti pemerintahan tertentu
yakni pemerintahan SBY, tulisan ini memberikan pemahaman
umum akan pemenuhan kewajiban normatif HAM yang harus
dipenuhi setiap pemerintahan.
Salah satu capaian besar gerakan Reformasi setelah
disahkannya UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM adalah
dicantumkannya sejumlah klausul hak dan kebebasan asasi
manusia ke dalam UUD 1945. Ekspektasi akan kondisi HAM yang
70
Manunggal K Wardaya
71
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
72
Manunggal K Wardaya
73
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
P
aska penyerangan berdarah di Cikeusik, beberapa daerah
mengeluarkan instrumen hukum yang melarang aktivitas
Jama’ah Ahmadiyah. Setelah Surat Keputusan No. 188/94/
KPTS/013/2011 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Timur
Soekarwo yang berisi pelarangan aktifitas keagamaan Ahmadiyah,
Provinsi Jawa Barat mengeluarkan larangan serupa, larangan mana
menurut laporan media segera diikuti berbagai daerah lain seperti
Pamekasan dan DKI Jakarta. Perkembangan legislasi di aras lokal
yang paralel dengan wacana pelarangan aliran Ahmadiyah tersebut
menggiring kita pada perenungan: apakah negara memang dapat
dan dibenarkan untuk mengadili keyakinan yang berada dalam
ranah pikir warganya? Adakah justifikasi negara untuk mengadili
dan kemudian bahkan memaksakan suatu keyakinan dengan
melakukan suatu pelarangan? Tulisan ini merupakan telaah ringkas
atas fenomena pelarangan aliran Ahmadiyah dalam perspektif
filsafat hukum hak asasi manusia.
Beragama dan berkeyakinan adalah hak asasi manusia, suatu
hak fundamental yang dimiliki oleh seseorang karena kodrat
kelahirannya sebagai manusia. Hak ini mendahului eksistensi
74
Manunggal K Wardaya
negara, sehingga tak ada pilihan lain bagi negara kecuali harus
menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukannya.
Dalam paham kedaulatan rakyat, negara diadakan/diciptakan
untuk melindungi hak dan kebebasan asasi ini, tujuan mana jika
gagal dicapai akan menjadi justifikasi bahkan untuk membubarkan
dan mengganti dengan negara/pemerintahan baru.
Keberagamaan dan keyakinan ada dalam relung kalbu
terdalam seorang manusia. Eksistensi seorang manusia bahkan
ditentukan dari kemerdekaannya berfikir, berkeyakinan, dan
menganut pendapat dengan bebas. Adanya kemerdekaan
berkeyakinan dan beragamaan oleh karenanya adalah cerminan
manusia warga negara yang bermartabat. Hanya negara-negara
berwatak totaliter-autoritarianlah yang mendikte apa yang harus
diyakini oleh warga, apa yang harus diterima sebagai kebenaran.
Sedemikian kuatnya hak beragama dan berkeyakinan, maka
pembatasan apapun tak dapat dikenakan padanya. Dalam The
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang
pula telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 Tahun
2005, kebebasan beragama ini termasuk sebagai non-derogable
rights, hak-hak yang tak dapat dikurangkan walau suatu negara
dalam keadaan state emergency sekalipun. Hak beragama dan
berkeyakinan adalah salah satu diantaranya, bersama hak lain
seperti hak untuk tak disiksa dan hak untuk tidak diperbudak.
Dalam level domestik, kedudukan kebebasan beragama sebagai hak
yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun pula mendapat
jaminan dalam Konstitusi ; UUD 1945.
Dalam konteks pelarangan Ahmadiyah yang kian marak
di negeri ini, apapun keyakinan yang dianut oleh para pengikut
kelompok ini harus dipandang sebagai hak asasi manusia yang
semestinya mendapat pengakuan oleh negara. Negara harus
menahan diri dari berpihak pada klaim bahwa apa yang diyakini
Ahmadiyah adalah salah, sesat, dan oleh karenanya harus
75
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
76
Manunggal K Wardaya
77
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
D
alam banyak buku sejarah yang diajarkan di sekolah-
sekolah maupun dalam berbagai seremoni memperingati
kelahirannya, gelar Raden Ajeng kerap disebut-sebutkan
di depan nama Kartini. Penyebutan itu tentu tak salah karena
Kartini memang berasal dari keluarga aristokrat, dibesarkan dalam
lingkungan kabupaten, sebuah masyarakat kecil yang tersusun
atas lapisan-lapisan sesuai dengan struktur sosial feodal. Namun,
penyebutan gelar kebangsawanan tersebut tidak akan membuat
Kartini gembira, sekiranya ia masih hidup dan hadir dalam
perayaan yang ditujukan untuk menghargai jasanya terhadap
bangsa ini. Dikatakan demikian, karena Kartini memang tak
mau dipanggil dengan panggilan Raden Ajeng. Ia berkeyakinan
bahwa semua manusia pada hakikatnya sama, dan berbagai
gelaran yang artifisial sifatnya itulah yang justeru menimbulkan
banyak ketidakadilan sosial. Tulisan ini secara singkat menyoroti
signifikansi dan relevansi pemikiran Kartini dalam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sosok Kartini yang begitu kritis terhadap kondisi sosial politik
memang tidak banyak didapat dalam buku Habis Gelap Terbitlah
78
Manunggal K Wardaya
79
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
80
Manunggal K Wardaya
81
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
T
ewasnya Ridwan Salamun, seorang kontributor SUN
TV menimbulkan duka dan keprihatinan yang amat
mendalam terutama dari kalangan jurnalis. Sebagaimana
diketahui, Ridwan tewas disabet senjata tajam manakala bertugas
melipit konflik massa di Tual, Maluku. Bukan kejadian pertama
yang menimpa jurnalis tanah air, kejadian serupa dalam wilayah
konflik seperti yang menimpa Ridwan pernah dialami wartawan
RCTI Ersa Siregar. Ersa tewas diterjang peluru ketika menjalankan
tugas meliput konflik bersenjata antara TNI dan Gerakan Aceh
Merdeka.
Sementara itu, walaupun tak sampai mengalami peristiwa
fatal, penyanderaan dua orang wartawan Metro TV dalam konflik
di Irak masing-masing presenter Meutia Hafidz dan juru kamera
Budiyanto sempat menjadi keprihatinan publik beberapa waktu
silam. Di area bencana, kita masih mengingat tewasnya wartawan
Lativi Suherman dan juru kamera SCTV Muhammad Guntur
manakala melakukan liputan tenggelamnya kapal Levina pada
tahun 2007. Demikianlah, profesi wartawan, terutama dalam
konteks wilayah konflik dan atau bencana nyatalah teramat rawan
82
Manunggal K Wardaya
83
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
84
Manunggal K Wardaya
85
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
T
here Can Be No Press Freedom if Journalist Exist in
Conditions of Corruption, Poverty or Fear (International
Federation of Journalist)
Pendahuluan
Dalam sebuah diskusi memperingati Hari Kemerdekaan Pers
Sedunia di Jakarta 15 Mei 2011, Ketua Dewan Pers Bagir Manan
menyatakan bahwa kemerdekaan pers mengalami ancaman
tidak saja dari sistem kekuasaan yang otoriter, namun pula dari
masyarakat. Bagir menyatakan kekhawatirannya bahwa kekerasan
terhadap wartawan yang akhir-akhir ini banyak terjadi merupakan
bentuk rasa frustasi masyarakat atas situasi politik, sosial, maupun
ekonomi. Pers yang memiliki posisi lemah, demikian Bagir
kemudian menjadi sasaran frustasi masyarakat.
Pernyataan Bagir bahwa paradigma otoritarianisme masih
bercokol dalam kekuasaan Indonesia menemukan pembenarannya
dalam konteks kekinian manakala makalah ini dituliskan.
Penusukan terhadap Banjir Ambarita, kontributor Viva News di
Papua yang diduga terkait dengan pemberitaan yang diturunkannya
86
Manunggal K Wardaya
87
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
Lemahnya Regulasi
Kekerasan terhadap jurnalis pada dasarnya adalah ancaman
terhadap demokrasi. Jurnalis maupun perusahaan pers yang merasa
terancam dan terintimidasi karena tindakan kekerasan berpotensi
kehilangan kebebebasan dalam menyampaikan informasi yang
patut diketahui publik. Manakala pers tak lagi bebas, sesungguhnya
pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat, karena informasi
yang seharusnya diterima untuk kemudian dijadikan bahan untuk
mengambil sikap politik sebagai warga negara tak lagi dapat
dinikmati.
Perlindungan terhadap wartawan bukannya tidak disadari
oleh pembentuk Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang
Pers (UU Pers). Pasal 8 UU Pers secara eksplisit menyatakan,
bahwa dalam menjalankan tugasnya wartawan memperoleh
perlindungan hukum. Namun begitu perlindungan hukum
yang dimaksud tak begitu jelas dan tegas. Kalaupun ada, maka
perlindungan yang ada lebih kepada perlindungan represif,
bersaranakan hukum pidana yang baru dapat diterapkan manakala
suatu peristiwa kekerasan telah terjadi. Namun, tidak ada produk
hukum yang secara adekwat dan spesifik memfasilitasi jaminan
keselamatan terhadap wartawan dalam maknanya yang preventif,
yang mencegah maupun meminimalisir terjadinya kekerasan atau
dampak kekerasan.
Ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan wartawan
memang dijumpai dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 5/
Peraturan-DP/IV/2008 tentang Standar Perlindungan Profesi
Wartawan. Dalam Peraturan tersebut dinyatakan antara lain bahwa
wartawan dilindungi dari kekerasan, pengambilan, penyitaan, dan
88
Manunggal K Wardaya
atau perampasan alat alat kerja serta tidak boleh dihambat atau
diintimidasi oleh pihak manapun. Lebih lanjut peraturan tersebut
juga menyatakan bahwa wartawan yang ditugasi di wilayah
berbahaya dan atau wilayah konflik harus dibekali surat penugasan,
peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, dan asuransi, serta
pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan
dengan penugasannya.
Dua contoh klausul dari total 9 butir perlindungan terhadap
wartawan dalam peraturan dewan pers sebagaimana dipaparkan
di atas tentunya amat baik, dan diharapkan bisa meminimalisir
terjadinya kekerasan terhadap wartawan. Namun begitu tidak ada
ketentuan hukum yang memberi sanksi tegas lagi menjerakan bagi
sesiapapun termasuk perusahaan pers yang tidak melaksanakan
ketentuan tersebut. Padahal misalnya, pemberian bekal
keterampilan, alat keselamatan, training dalam level tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam butir ke-6 lampiran peraturan
dewan pers tersebut begitu penting untuk dipunyai seorang jurnalis,
karena dapat menghindarkan-minimal mengurangi-kemungkinan
kekerasan terhadap wartawan. Di sisi lain ketentuan ini secara
nature akan dihindari oleh perusahaan karena pelaksanaan
ketentuan ini mengandung konsekwensi pengeluaran dana oleh
perusahaan pers.
Memanglah benar, bahwa sesuai dengan Piagam Palembang
tentang Kesepakatan Perusahaan Pers Nasional, peraturan Dewan
Pers mengenai standar perlindungan profesi wartawan ini (bersama
dengan peraturan Dewan Pers yang lain) telah disepakati oleh
perusahaan pers untuk menjadi bagian dari kebijakan perusahaan
pers. Namun sekali lagi, karena formatnya hanya berupa peraturan,
ketaatan terhadapnya hanya bergantung pada kemauan baik
dan moralitas perusahaan saja yang terwujud dalam peraturan
perusahaan, atau paling jauh dalam format Perjanjian Kerja
Bersama (PKB). Kesepakatan buruh vis a vis majikan sebagaimana
89
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
Perubahan UU Pers
Manakala ketentuan yang dakomodir dalam peraturan Dewan
Pers ini telah cukup baik namun lemah dalam penegakannya,
maka antitesis atas hal ini adalah membuat ketentuan di dalam
peraturan tersebut menjadi lebih efektif lagi implementatif. Salah
satu cara adalah dengan memasukkan ketentuan tersebut ke dalam
perubahan UU Pers, sebuah proses yang dalam sudut pandang
hukum ketatanegaraan tak pelak akan melibatkan dua lembaga
negara: Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Jika aspirasi ini
berhasil menjadi muatan perubahan UU Pers, maka perlindungan
profesi wartawan akan lebih kokoh ditegakkan guna meminimalisir
kekerasan dan kecelakaan yang menimpa wartawan. Serangkaian
tindakan, pelatihan, dan pemberian fasilitas terhadap wartawan
yang ditujukan untuk melindungi wartawan misalnya, nantinya
90
Manunggal K Wardaya
91
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
92
Manunggal K Wardaya
93
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
Penutup
Dari paparan di atas menjadi jelas bahwa kekerasan terhadap
wartawan bukan melulu persoalan eksternal melainkan pula faktor
internal yang melingkup kinerja jurnalistik. Perlindungan hukum
yang tidak cukup memadai, dapat membuat wartawan menjadi
korban kekerasan manakala menjalankan profesinya. Sementara
itu, kerja jurnalistik yang dilakukan secara serampangan pada
akhirnya pula dapat berujung pada kekerasan terhadp wartawan.
Perubahan UU Pers yang lebih protektif terhadap profesi wartawan
oleh karenanya menemukan relevansinya untuk digagas. Selain
itu, sertifikasi wartawan pula menjadi salah satu mekanisme untuk
menciptakan kehidupan pers yang sehat yang sekaligus diharapkan
meminimalisir kekerasan terhadap wartawan.
94
Manunggal K Wardaya
D
alam pernyataan pers yang disampaikan di kediamannya
di Puri Cikeas (11/7), Ketua Dewan Pembina Partai
Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
melontarkan sinyalemen bahwa Pers telah memecah belah partai
terkait gencarnya pemberitaan mengenai mantan bendaharawan
PD Nazaruddin. SBY merasa gusar dengan pers yang menyoroti
konflik partai dengan mendasarkan pada short message service
(SMS) dan BlackBerry Messenger (BBM) seraya melontarkan
spekulasi adanya intrik politik dibalik pemberitaan media untuk
mendiskreditkan PD. Gusar karena media menggunakan pesan
pendek yang menurutnya tidak valid sebagai headline, SBY yang
pula Presiden RI ini mewanti publik untuk tidak mau dipecah belah
oleh pers. Tulisan ini akan mengkaji pernyataan ketua PD tersebut
dalam perspektif hukum pers dan filsafat hukum ketatanegaraan.
Menerima, mengolah, dan menyampaikan informasi adalah
kegiatan pers sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir (1) UU
No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Kegiatan ini tidak bisa dilepaskan
dari dianutnya paham kedaulatan rakyat dimana dimahfumi
bahwa rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam sebuah
95
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
96
Manunggal K Wardaya
97
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
98
Manunggal K Wardaya
B
encana alam Tsunami yang terjadi di Jepang Maret 2011
masih hangat di benak kita. UN Office for the Coordination
of Humanitarian Affairs menyebutkan 1.647 orang tewas
dan 1.990 lainnya terluka akibat bencana alam itu. Pemberitaan
mengenai bencana yang menghancurkan 2.852 bangunan dan
merusakkan sekitar 40.000 bangunan lainnya di negeri matahari
terbit itu tersebar luas ke seluruh penjuru dunia tak terkecuali
Indonesia. Hampir tiap hari media cetak, elektronik maupun
Indonesia menyuguhkan betapa porak porandanya Jepang, negeri
yang dikenal akan inovasi teknologinya itu.
Mengikuti pemberitaan bencana di Jepang tersebut, ada
sesuatu yang terasa hilang manakala dikontraskan dengan
pengalaman kita sebagai bangsa yang pernah mengalami hal serupa
di Aceh pada akhir 2004 silam. Dapat dikatakan tidak ada gambar
mayat bergelimpangan yang ditampilkan dalam bencana yang
menghantam bagian Utara negeri matahari terbit itu. Sementara
ketika Tsunami melanda Aceh, tubuh para korban, kerapkali
dalam kondisi yang amat mengenaskan, menjadi fitur utama
berbagai pemberitaan media cetak maupun elektronik. Tulisan
99
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
100
Manunggal K Wardaya
101
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
102
Manunggal K Wardaya
D
alam dunia jurnalistik, menerima upah atau imbalan
dari narasumber, terlebih yang dapat memengaruhi
pemberitaan adalah hal yang dipercaya sebagai hal yang
pantang dilakukan para pewarta. Upah atau imbalan tidak saja
berpotensi membuat seorang pewarta kehilangan objektifitasnya,
namun juga menghalanginya dari menyampaikan informasi
krusial yang patut diketahui publik. Laporan yang dihasilkan oleh
pewarta semacam demikian pula tak akan dapat memenuhi hak
warga negara untuk tahu (right to know). Pada gilirannya media
tempat pewarta melakukan kerja profesionalnya akan kehilangan
kepercayaan publik sebagai ujung tombak untuk melakukan
kontrol terhadap kekuasaan.
Dalam ranah hukum, fungsi media sebagai sarana kontrol
sosial telah terpositifkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No 40 Tahun
1999 Tentang Pers. Lebih lanjut Pasal 6 (a) UU Pers menegaskan
peran pers nasional untuk memenuhi hak masyarakat untuk tahu.
Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa terpenuhinya hak
masyarakat untuk tahu akan mendorong tegaknya kebenaran
dan keadilan. Kedua pasal tersebut di atas menggiring kita pada
103
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
104
Manunggal K Wardaya
105
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
106
Manunggal K Wardaya
S
alah satu kebebasan dasar manusia dalam diskursus hak asasi
manusia adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi
(freedom of opinion and expression). Setiap manusia berhak
atas kebebasan ini termasuk didalamnya kebebasan untuk mencari,
menerima, dan menyampaikan informasi dan pemikiran apapun
bentuknya tanpa memandang batas-batas. Dinyatakan dalam
Article 19 The Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
dan Article 19 International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR), kebebasan ini menjadi syarat yang mutlak ada
bagi terwujudnya prinsip transparansi dan akuntabilitas suatu
pemerintahan yang pada gilirannya akan membawa pada pemajuan
dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Pada level domestik, jaminan atas kebebasan berkomunikasi
dan memperoleh informasi sebagai bagian dari kebebasan
berekspresi dijumpai dalam amandemen konstitusi. Pasal 28F UUD
1945 menegaskan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan
mengakui hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
107
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
1
Human Rights Committee adalah badan yang mengawasi pelaksanaan ICCPR oleh
state parties.
108
Manunggal K Wardaya
2
Kekerasan ini menurut Bagir Manan dikarenakan penguasa maupun perusahaan
merasa terusik dengan pemberitaan media. Lihat Suara Pembaruan, “Masih Ada Ancaman
Kebebasan Pers”, dalam http://www.suarapembaruan.com/home/masih-ada-ancaman-
kebebasan-pers/3401#Scene_1, diakses pada 4 September 2011.
Lihat General Comment No. 34, para. 23.
3
109
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
I. PEMBAHASAN
1) Kemerdekaan Pers dan Reformasi
Kemerdekaan pers adalah salah satu dari agenda reformasi
selain amandemen UUD, penghapusan Dwi Fungsi ABRI.
Kemerdekaan pers dirasakan penting untuk diwujudkan karena
belajar dari pengalaman pada masa Orde Baru, pers yang tidak bebas
4
UNESCO, The Safety of Journalist and The Danger of Impunity: Report by The Director-
General To The Intergovernmental Council of the IDPC, hal.3.
110
Manunggal K Wardaya
5
Atmakusumah, “Dekriminalisasi Pers Tuntutan Jaman”, dalam Harian KOMPAS, 12
Maret 2005.
6
Pasal 4 ayat (2). Pelanggaran terhadap pasal ini diancam dengan pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 ayat (1) yakni pidana penjara paling lama 2 tahun dan atau denda
paling banyak 500 juta rupiah.
7
Sebagaimana diketahui pada masa Orde Baru, kendati ditegaskan bahwa breidel tidak
dikenal, SIUPP dapat saja dicabut oleh Menteri Penerangan dengan Peraturan Menteri
Penerangan No. 1 Tahun 1984. Namun begitu pula dapat disimpulkan bahwa UU Pers kita
masih diskriminatif terhadap pers non-nasional alias pers asing. Dengan jaminan tidak
dikenakannya bredel, sensor, dan pelarangan penyiaran terhadap pers nasional, secara
implisit dapat disimpulkan bahwa rejim UU Pers masih mengenal bredel, sensor dan
pelarangan penyiaran terhadap pers asing, terlepas bahwa apakah hal itu secara teknis
111
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
112
Manunggal K Wardaya
terbakarnya Pasar Tanah Abang di Jakarta. Bambang akhirnya dinyatakan bebas oleh
Mahkamah Agung dalam putusan kasasi. Namun begitu, putusan Mahkamah Agung
sekalipun amat ambigu karena pada satu sisi menyatakan bahwa dalam kasus pers jika
dirasa tidak perlu sebaiknya menggunakan pendekatan dalam hukum pers. Selengkapnya
mengenai ini bacalah International Federation of Journalist & Aliansi Jurnalis Independen,
Dekriminalisasi Pencemaran Nama Baik: Sebuah Acuan Kampanye IFJ Untuk Penghapusan
Pasal Pencemaran Nama Baik, 2005, hal. 23-26. Bambang Harymurti sendiri mengkritik
ketidakpastian hukum soal apakah UU Pers merupakan Lex Speciali ataukah tidak. Hal
ini karena implikasi dari keyakinan itu amat besar. Banyak jurnalis dipidana ketika hakim
yang mengadilinya tidak meyakini bahwa UU Pers merupakan Lex Speciali. Lihat Bambang
Harymurti,
11
RUU Rahasia Negara misalnya mengancam adanya pidana penjara maupun denda
pada pers.
12
Majalah TEMPO diadukan oleh Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia terkait
ilustrasi sampul depan majalah TEMPO edisi 28 Juni – 4 Juli 2010 yang menggambarkan
seorang polisi sedang menggembala celengan berbentuk babi, dengan judul “Rekening
Gendut Perwira Polisi”. Kendati kemudian menempuh mediasi, kasus ini memberi
contoh betapa kepolisian selaku penegak hukum sekalipunlebih memilih pendekatan
hukum pidana ketimbang pendekatan yang dikenal dalam dunia jurnalistik yakni dengan
menggunakan hak jawab dan atau hak koreksi.Baca Manunggal K. Wardaya, “Kriminalisasi
TEMPO”, dalam Suara Merdeka, 2 Juli 2010.
Lihat
13
Global Freedom Ranking, http://www.freedomhouse.org/images/File/
113
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
114
Manunggal K Wardaya
115
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
15
Adanya pro kontra terhadap pengaturan outsourcing di dalam Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menyurutkan pembentuk undang-
undang untuk mengatur mengenai masalah outsourcing. Hal tersebut dikarenakan
sebelum berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, lebih
banyak terjadi penyelewengan hukum dalam mengatur hubungan kerja dan syarat kerja
antara perusahaan outsourcing dengan pekerja. Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang berupaya melindungi pekerja dari ketidakpastian
hukum dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing tetap tidak
menghentikan masalah pekerja outsourcing, bahkan di satu sisi semakin menjadi pilihan
pengusaha untuk mengatur hubungan kerja dengan pekerja outsourcing dengan alasan
efisiensi biaya, waktu dan tenaga bagi pengusaha.
116
Manunggal K Wardaya
117
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
II. KESIMPULAN
Tulisan ini meyakini bahwa jika hingga kini masih banyak
wartawan yang menjadi korban kekerasan maupun mendapat
celaka ketika bertugas di daerah bencana maupun konflik, hal
itu semata bukan karena sebagai akibat dari konflik atau sekedar
takdir illahiah, namun pula karena perundangan yang belum
memihak wartawan maupun masih kabur dalam mengatur
profesi wartawan. Jurnalis yang tewas seperti kontributor Sun TV
yang tewas di Tual Maluku, maupun mereka yang tewas ketika
meliput tragedi kapal Levina akan terus terjadi, setidaknya tak
terkurangi kalau hukum tak memberikan perlindungan yang kuat
dengan menjamin hak wartawan dan juga status hukum pekerja
pers. Kriminalisasi terhadap wartawan juga akan terus terjadi
seandainya dunia peradilan di Indonesia tidak mengakui bahwa
UU Pers merupakan Lex Speciali, yang oleh karenanya penyelesaian
sengketa pemberitaan mestinyalah diselesaikan melalui prosedur
yang dikenal dalam dunia jurnalistik, dan bukannya pendekatan
hukum pidana.
III. PENUTUP
Tulisan ini meyakini bahwa perlindungan hukum yang
dijanjikan kepada wartawan dalam UU Pers memerlukan
masih memerlukan penyempurnaan dan peningkatan. Standar
perlindungan wartawan yang kini telah tertuang dalam Peraturan
Dewan Pers misalnya, semestinyalah dapat dijadikan muatan
dalam UU Pers. Demikian juga mendesak kiranya agar revisi UU
Pers kelak tegas menggarisbawahi bahwa wartawan adalah pekerja,
sehingga celah hukum dengan mengoutsource-kan wartawan yang
sedikit banyak berdampak pada perlindungan hukum akan dapat
diminimalisir.
118
Manunggal K Wardaya
119
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
P
roklamasi 17 Tahun 1945 menandai titik awal berakhirnya
kekuasaan penjajah di bumi nusantara. Sejak tanggal itu,
Indonesia menegaskan diri sebagai bangsa yang merdeka
dan berdaulat, sejajar dengan bangsa lain dalam pergaulan hidup
di dunia internasional. UUD 1945 yang disahkan sehari kemudian
pada 18 Agustus 1945 dalam pembukaannya menegaskan cita
bangsa ini untuk menjalani kehidupan bernegara yang bersatu
berdaulat adil dan makmur. Upaya pihak asing untuk kembali
bercokol di bumi pertiwi baik melalui jalur diplomasi maupun
peperangan mendapat perlawanan dari segenap rakyat Indonesia
yang pada akhirnya Indonesia diakui sebagai bangsa yang
berdaulat.
Kemerdekaan Indonesia tak dapat dilepaskan dari peran para
pemuda dan pelajar. Tidak saja mereka yang terlibat dalam peristiwa
Proklamasi, maupun peristiwa menjelang proklamasi seperti
gerakan pemuda dalam Peristiwa Rengasdengklok, kemerdekaan
Indonesia sesungguhnya pula buah perjuangan yang turut dirintis
sejak lama oleh para pemuda terutama kaum terpelajar Indonesia
baik di dalam maupun di luar negeri, berbelas maupun berpuluh
120
Manunggal K Wardaya
121
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
122
Manunggal K Wardaya
123
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
124
Manunggal K Wardaya
125
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
126
Manunggal K Wardaya
D
alam pernyataan pers yang disampaikan di kediamannya
di Puri Cikeas (11/7), Ketua Dewan Pembina Partai
Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
melontarkan sinyalemen bahwa Pers telah memecah belah partai
terkait gencarnya pemberitaan mengenai mantan bendaharawan
PD Nazaruddin. SBY merasa gusar dengan pers yang menyoroti
konflik partai dengan mendasarkan pada short message service
(SMS) dan BlackBerry Messenger (BBM) seraya melontarkan
spekulasi adanya intrik politik dibalik pemberitaan media untuk
mendiskreditkan PD. Gusar karena media menggunakan pesan
pendek yang menurutnya tidak valid sebagai headline, SBY yang
pula Presiden RI ini mewanti publik untuk tidak mau dipecah belah
oleh pers. Tulisan ini akan mengkaji pernyataan ketua PD tersebut
dalam perspektif hukum pers dan filsafat hukum ketatanegaraan.
Menerima, mengolah, dan menyampaikan informasi adalah
kegiatan pers sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir (1) UU
No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Kegiatan ini tidak bisa dilepaskan
dari dianutnya paham kedaulatan rakyat dimana dimahfumi bahwa
rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam sebuah entitas
127
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
128
Manunggal K Wardaya
129
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
130
Manunggal K Wardaya
A
pa yang terjadi ketika ahli kedokteran dan farmasi
dilarang meneliti virus AIDS, hanya karena penyakit
ini dianggap hina, menjijikkan, dan terkutuk? Akankah
para ahli itu dapat memberi rekomendasi kepada warga dunia
tentang hal-hal yang perlu dilakukan untuk menghindari penyakit
mematikan itu? Akankah pula mereka berhasil menemukan serum,
obat, jamu, atau apa saja yang dapat menanggulangi penyakit
yang mengancam eksistensi umat manusia itu? Bagaimana pula
dengan masyarakat tanpa pengetahuan, penyuluhan tentang
AIDS? Masyarakat akan terbawa kepada kesesatan, dengan
beramai-ramai mengutuk, sedangkan mereka sendiri tidak tahu
apa sebenarnya AIDS, bagaimana ditularkan.Lebih celaka lagi,
jika mereka yang mengutuki penyakit sebenarnya dalam keadaan
mengidap penyakit itu tanpa menyadari.
Pemikiran serupa dapat dikemukakan untuk menelaah
pembakaran buku Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis
Suseno, dan buku-buku Pramudya Ananta Toer. Secara apriori
buku-buku itu dibakar oleh Aliansi Antikomunis pada pertengahan
April lalu di Jakarta. Ancaman lebih serius, rencana pembersihan
131
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
132
Manunggal K Wardaya
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pun juga teori class struggle dia
tidak relevan untuk Indonesia. Bukan saja kekerasan yang menjadi
sarana perjuangan kelas (dus, menafikan musyawarah), Marx
seolah lupa (atau menutup mata) keberadaan kelas menengah,
yang berperanan tidak kecil dalam masyarakat demokratis.
Akan halnya demonstrasi serikat buruh di Indonesia
seperti yang diteriakkan Marx dengan lantang “Kaum buruh
sedunia, bersatulah,’ tidak harus selalu menggulirkan tafsiran
kalau demonstrasi buruh itu gerakan komunis. Siapa pun, tanpa
perlu menjadi komunis, akan berteriak manakala kesejahteraan
mereka tertindas dengan upah di bawah UMR. Masih banyak
lagi teori komunis yang bisa ditanggapi (secara arif dan bijak)
dengan teori-teori sosial lain. Hal ini hanya bisa terwujud jika ada
kebebasan berpikir, bukan dengan pelarangan, pemberangusan,
apalagi kekerasan. Wacana kritik terhadap kelemahan buku
yang seharusnya lebih dikembangkan sebab lebih sehat. Justru
kini yang perlu diwaspadai, apa yang diingatkan oleh mendiang
YB Mangunwijaya (1996), antikomunis dalam tataran teoretis
tapi garda depan dalam praktek. Negara-negara yang menganut
komunis pun menampakkan kedemokratisan dengan lebih
multipartai. Akan tetapi hanya satu partai yang dominan, berkuasa,
dan memaksakan kebenaran. Kebenaran yang ada kebenaran
tunggal, tanpa memberi space untuk berbeda pendapat.
Buku, demikian ketua LIPI Taufik Abdullah, tidak
sekadar repository perbendaharaan kultural, tetapi juga
mekanisme dalam pemberdayaan dan pembebasan diri dari
sistem yang mengebiri fitrah kemanusiaan. Bumi Manusia karya
Pramoedya Ananta Toer bukan saja contoh karya sastra yang
luar biasa, melainkan juga kaya dengan catatan sejarah dan
kemanusiaan. Mengisahkan seorang pribumi yang berhubungan
dengan anak seorang gundik Belanda Annelies Hellema. Buku itu
menggambarkan fragmen kehidupan anak pribumi pada masa
133
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
134
Manunggal K Wardaya
M
enjelang beberapa pilkada yang akan digelar di
tingkat kabupaten/kota maupun propinsi pada
2008, sejumlah calon kepala daerah di Jawa Tengah
semakin gencar melakukan sosialisasi tentang profil, visi misi,
dan programnya. Berbagai isu strategis yang dianggap mampu
mendongkrak popularitas ditonjolkan mulai dari sentimen putra
asli daerah, prestasi sebagai pejabat dalam rezim yang sedang
berkuasa (incumbent), program pengentasan kemiskinan, hingga
keunggulan peringkat dalam jajak pendapat. Dalam melakukan
pendekatan terhadap publik, hampir semua calon memanfaatkan
media lokal, baik cetak maupun elektronik. Bisa dimengerti, media
mampu menjangkau khalayak sasaran yang lebih luas dibandingkan
berbagai cara konvensional seperti rapat umum, pemasangan
spanduk, baliho, atau penempelan stiker. Perkembangan teknologi
informasi dan multimedia memungkinkan sosialisasi calon kepala
daerah disajikan dalam format yang lebih memikat dan tak begitu
dirasakan publik sebagai kampanye. Kita menyaksikan berbagai
sosialisasi calon kepala daerah dikemas tidak saja dalam bentuk
iklan display, namun juga berita advertorial dan dialog interaktif
135
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
136
Manunggal K Wardaya
137
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
138
Manunggal K Wardaya
139
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
M
arkas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes
Polri) akhirnya resmi mempidanakan majalah TEMPO
terkait sampul depan majalah Tempo edisi 28 Juni-4
Juli 2010 yang menurunkan headline “Rekening Gendut Perwira
Polisi”. Tanpa menempuh prosedur hak jawab dan mengupayakan
mediasi melalui Dewan Pers sebagaimana diamanatkan oleh UU
No.40 Tahun 1999 tentang Pers, Mabes Polri melaporkan TEMPO
ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dengan pasal-
pasal penghinaan masing-masing Pasal 207 dan 208 KUHP. Polri
merasa gerah dengan cover yang menunjukkan gambar polisi
sedang mengendalikan celengan berbentuk babi. Kepala Divisi
Humas Mabes Polri Edward Aritonang menjelaskan bahwa cover
tersebut menyiratkan bahwa Polisi bergaul dengan babi, sesuatu
yang menurutnya meresahkan keluarga besar Polri. Tulisan
merupakan telaah singkat pengaduan tersebut dari perspektif
konstitusionalisme.
Kemerdekaan Pers adalah salah satu wujud kedaualatan
rakyat, demikian ditegaskan Pasal 2 UU No. 40 tahun 1999 tentang
Pers. Kedaulatan rakyat adalah paham bahwa kekuasaan tertinggi
140
Manunggal K Wardaya
ada di tangan rakyat. Dalam paham ini diakui bahwa rakyatlah yang
berkuasa, sedangkan negara termasuk aparat penyelenggaranya
diadakan (instituted) tak lain dan tak bukan untuk mengabdi pada
rakyat. Dalam konteks inilah, rakyat yang telah bersetuju untuk
menyerahkan sebagian hak dan kebebasannya kepada negara
sebagaimana dikonstruksi dalam teori perjanjian masyarakat
(social contract) tetap memiliki hak dan kebebasan dasar, apa yang
kerap terbilang sebagai hak dan kebebasan asasi manusia (HAM).
Salah satu diantara kebebasan dasar manusia adalah kebebasan
berekspresi (freedom of expression) dan berpendapat (freedom
of speech) termasuk untuk mengawasi negara yang diciptakan
masyarakat untuk mengayomi dari perilaku homo homini
lupus. Tak sekali-kali negara berikut aparatusnya dibenarkan
melangkahi hak dan kebebasan asasi warga, hal mana jika
dilakukan akan memberi justifikasi dibubarkannya pemerintahan
untuk dibentuknya pemerintahan yang baru. Kontrak sosial
yang diadakan oleh masyarakat tak sekali kali dimaksudkan
untuk menciptakan pemerintah yang diktaturial nan represif
sebagaimana dikonstruksi oleh Hobbes, namun yang berlandaskan
paham pembatasan kekuasaan sebagaimana dicitakan John Locke
dan Rousseau.
Dalam negara demokrasi konstitusional, negara berkewajiban
tak saja untuk menghormati, namun juga melindungi, memenuhi,
dan mempomosikan hak dan kebebasan dasar manusia. Negara
dibenarkan untuk membatasi pelbagai kemerdekaan warga dan/
atau kelompok warga hanya bila berbekal justifikasi hukum, hukum
mana tidak saja harus berkepastian namun pula berkeadilan.
Pembatasan hukum ini pun hanya diperbolehkan dilakukan
dalam hak-hak yang tak dikategorikan sebagai non-derogable
rights. Baik negara dan aparatur penyelenggara negara maupun
warga negara terikat untuk mematuhi hukum demi terciptanya
ketertiban dan masyarakat yang adil dan demokratis. Ruh daripada
141
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
142
Manunggal K Wardaya
Follow up seperti itu akan jauh lebih sinergik bagi Polri dalam
upayanya menciptakan citra lembaga kepolisian yang bersih dan
bebas KKN. Publik sadar betul bahwa tidak semua pejabat di
tubuh Polri kotor dan korup, dan justeru karena itulah publik
berharap momen ini dapat dimanfaatkan untuk membersihkan
“susu sebelanga yang rusak karena nila setitik.” Langkah ini akan
dipandang sebagai elegan, lebih tepat dan dibutuhkan masyarakat
daripada pertunjukan ketersinggungan yang terkesan berlebihan
oleh aparatur negara ketika sedang dikontrol oleh sang majikan
sejati: rakyat.
Blunder yang dilakukan Polri dengan kriminalisasi terhadap
kinerja jurnalistik seperti dengan memperkarakan cover majalah
TEMPO justeru akan semakin menimbulkan keraguan bahkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja dan profesionalitas
Polri dalam mensikapi dan menangkap aspirasi yang berkembang
di masyarakat. Masyarakat akan semakin percaya, bahwa apa yang
dilakukan oleh Polri terhadap majalah TEMPO tak lain sebagai
upaya menutupi berbagai ketidakberesan di tubuh lembaga yang
dalam visi misinya mengklaim sebagai pelindung, pengayom, dan
pelayan masyarakat ini. Jika demikian halnya yang terjadi, tak saja
upaya yang selama ini telah dilakukan Polri untuk membangun
citranya sebagai institusi yang bersih dan bebas dari KKN menjadi
kontraproduktif, namun sesungguhnya demokrasi di negeri ini
sedang mengalami kemundurannya yang nyata.
143
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
M
elalui sambungan telepon internasional, saya
menerima wawancara Radio SBS Australia (6/7/10).
Membincangkan kasus pelaporan TEMPO oleh Mabes
Polri kepada Bareskrim Mabes Polri, SBS menanyakan pada saya
(dan pula tokoh Pers Atmakusumah) beberapa hal terkait cover
majalah yang diklaim menghina institusi Polri tersebut. Kepada
saya, SBS menanyakan terutama dalam perspektif hukum dan
konstitusionalisme, sedangkan pada Atmakusumah, pertanyaan-
pertanyaan seputar jurnalistik kaitannya dengan kasus itu lebih
mengemuka.
Menjawab pertanyaan announcer SBS mengenai pelaporan
sebagai bentuk pengalihan issue, saya mengatakan bahwa saya
cenderung percaya pada spekulasi itu. Publik juga tahu, bahwa
cover TEMPO dengan gambar orang berseragam mirip polisi yang
menggiring celengan babi tersebut adalah ekspresi media untuk
menggambarkan adanya aliran dana mencurigakan ke rekening
perwira Polisi. Klaim sementara pejabat Polri yang mengatakan
bahwa gambar celengan berbentuk babi sebagai bentuk
penghinaan terkesan berlebihan, karena secara universal celengan
144
Manunggal K Wardaya
145
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
146
Manunggal K Wardaya
W
artawan adalah sebuah profesi yang hasil karyanya
bersinggungan langsung dengan kepentingan
khalayak ramai. Dikatakan demikian karena jika
tak memerhatikan kaidah-kaidah kewartawanan, karya seorang
wartawan tak saja bisa menyebabkan kerugian objek berita namun
pula keresahan sosial. Sebaliknya, karya jurnalistik yang dilakukan
dengan profesional akan dapat memobilisasi opini warga dalam
mengawal proses-proses kebijakan publik, membuat warga
waspada (alert) dan tercerahkan (informed) akan pelbagai peristiwa
sosial kemasyarakatan. Pada gilirannya, media yang diawaki oleh
pewarta yang profesional akan maksimal dalam mengembangkan
fungsinya sebagai wahana komunikasi massa sekaligus sebagai
sarana kontrol sosial.
Adalah benar bahwa jurnalis dan media berita yang
menaunginya tak mungkin lepas dari kemungkinan untuk
membuat kesalahan dalam melakukan kerjanya. Tidak mungkin
mengharapkan suatu karya jurnalistik steril dari kekeliruan.
Desakan untuk menurunkan laporan dengan cepat terkait
mendesaknya suatu isu untuk diketahui publik di satu sisi, serta
147
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
148
Manunggal K Wardaya
149
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
150
Manunggal K Wardaya
151
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
M
ajelis Ulama Indonesia dalam Sidang Pleno Munas
MUI VII mengeluarkan fatwa bahwa menceritakan
aib, kejelekan, gosip dan lain-lain terkait pribadi
kepada orang lain atau khalayak seperti yang biasanya dilakukan
infotainment adalah haram. Adalah haram pula menurut MUI
untuk membuat berita yang mengorek dan membeberkan aib,
kejelekan, dan gosip. Menayangkan dan menonton acara semacam
itu juga terbilang haram.
Adapun infotainment yang kegiatannya ditujukan untuk
membongkar kemungkaran dan untuk kepentingan penegakan
hukum MUI menyatakan bahwa hal itu dapatlah dibenarkan. Pada
akhirnya, MUI merekomendasikan agar KPI meregulasi tayangan
infotainment guna menjamin hak masyarakat memperoleh
tayangan bermutu. Di tengah maraknya pemberitaan video
asusila artis dan pro kontra infotainment sebagai bukan karya
jurnalistik, fatwa ini tentu menarik diperbincangkan dan dikaji.
Tulisan ini secara ringkas hendak membicangkan fatwa haram
halal infotainment dari perspektif konstitusi dan hukum, terutama
hukum media.
152
Manunggal K Wardaya
153
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
154
Manunggal K Wardaya
155
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
B
eberapa pekan terakhir publik dihentakkan oleh sejumlah
kasus pencucian otak terkait dengan Negara Islam
Indonesia (NII). Media memberitakan menghilangnya
sejumlah orang (terutama mahasiswa) yang diduga terkait
sebuah gerakan yang bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai
negara agama. Tak saja mengalami kerugian materiil berupa
sejumlah uang yang konon diklaim untuk mendanai negara yang
tengah diperjuangkan, para korban pencucian otak itu umumnya
ditemukan atau kembali dalam kondisi kejiwaan yang terganggu.
Kasus cuci otak sebetulnya bukan hal yang baru, mengingat pada
dekade 90-an, fenomena NII dan apapun gerakan berbandrol
negara agama di Indonesia dengan rekrutmen terutama kaum
terpelajar/mahasiswa telah marak terjadi walau tanpa liputan
gencar media seperti masa sekarang.
Munculnya kembali aspirasi negara agama di era reformasi
menjadi pertanyaan konstiitusional tersendiri terhadap setiap
warga maupun terutama sekali para pejabat penyelenggara negara.
Tulisan ini secara ringkas menelaah fenomena NII dalam sudut
pandang hukum dan sejarah ketatanegaraan.
156
Manunggal K Wardaya
157
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
158
Manunggal K Wardaya
159
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
30. NEGARA VS
KETENTRAMAN WARGA
S
alah satu dari empat kebebasan (the four freedoms) yang
dicanangkan oleh Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt
pada awal dasawarsa 40-an adalah bebas dari rasa takut
( freedom from fear). Kebebasan ini diyakini sebagai hal yang
esensial selain tiga kebebasan lain (yakni kebebasan berbicara,
beragama, dan dari kemiskinan) agar seorang manusia bisa
menjalani kehidupan yang bermartabat sebagai manusia. Kala itu,
dunia tengah diwarnai berbagai fitur kengerian kemanusiaan yang
ditampilkan oleh rejim NAZI Jerman dan dampak Perang Dunia
II. Berjuta umat manusia mengalami rasa takut hanya karena
ia menjadi bagian dari ras tertentu yang hendak dimusnahkan
oleh NAZI dengan paham superioritas ras-nya. Rasa takut
menghinggapi benak manusia ketika ia menjadi bagian dari bangsa
yang halal untuk diperbudak bahkan dimusnahkan, manakala
orang hidup dalam penjajahan dimana manusia penjajah dan yang
terjajah tak sekali-kali berkesamaan haknya.
Dalam pidatonya pada tahun 1990, pemimpin demokrasi
Burma Aung Sang Suu Kyi mengatakan bahwa rasa takut
membuat manusia kehilangan ukuran baik dan buruk. Seorang
160
Manunggal K Wardaya
161
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
162
Manunggal K Wardaya
T
ewasnya seorang pengendara sepedamotor bernama
Cahyono Sugiarto (44) di ruas Jalan Ajibarang-Bumiayu,
Banyumas menjadi lembar hitam Kamtibmas Jawa Tengah
di awal tahun 2011. Sebagaimana diberitakan harian Suara Merdeka
(2/1) Cahyono tewas diterjang sebuah truk yang melintas dengan
kecepatan tinggi setelah sebelumnya mengindari kendaraan di
depannya yang mengerem mendadak karena menghindari lubang
di jalan. Kehilangan nyawa secara sia-sia seperti dialami Cahyono
tentu bukanlah yang pertama kali terjadi di negeri ini. Begitu
banyak jalan berlubang tak terurus yang siap memangsa para
pengguna jalan raya baik langsung maupun tak langsung seperti
kejadian di atas. Tulisan ini secara singkat akan mengulas peristiwa
tersebut dari sudut pandang hukum hak asasi manusia.
Dalam kehidupan bernegara yang beradab, adalah tanggung
jawab negara untuk melindungi hak hidup (right to life) setiap
individu yang ada dalam jurisdiksinya. Filosofi yang melandasi
argumen tersebut adalah karena kebutuhan untuk terlindungi
dari segala macam hal yang dapat merampas hak dan kebebasan
dasarnya itulah manusia bersepakat memasuki kehidupan
163
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
164
Manunggal K Wardaya
165
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
S
ebagian dari perbuatan yang terbilang sebagai kejahatan
menurut hukum positif adalah perbuatan yang oleh agama
dinyatakan sebagai dosa. Mencuri, membunuh, menganiaya,
memfitnah, adalah perbuatan yang difahami sebagai perbuatan
yang tercela, sebagaimana dikatakan oleh kitab-kitab dan
disabdakan oleh pemimpin agama. Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) kita mengancamkan perbuatan-perbuatan seperti
itu dengan sanksi berupa pidana (yang tentulah tak enak) terhadap
pelakunya. Di sisi lain, ada pula perbuatan yang meski dipandang
immoral, akan tetapi tidak dikategorikan sebagai perbuatan
pidana. Perbuatan boros, kikir, tidak pernah beribadah, hubungan
seks muda mudi yang tak terikat perkawinan, adalah perbuatan
yang tercela, dosa menurut agama, namun tidak dikenakan sanksi
pidana menurut hukum Indonesia.
Apakah yang menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan
dikategorikan sebagai perbuatan pidana?! Pada negara-negara
yang menganut sistem autokratik, segala tingkah laku warga yang
mengancam kelanggengan dan kewibawaan penguasa adalah
perbuatan kriminal. Undang-undang anti subversi di masa
166
Manunggal K Wardaya
167
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
168
Manunggal K Wardaya
169
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
170
Manunggal K Wardaya
P
utusan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
terhadap terdakwa kasus suap Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) Jaksa Urip Tri Gunawan patut disambut
perasaan lega. Dalam kasus yang begitu mencoreng wajah
penegakan hukum di Indonesia tersebut, pengadilan menjatuhkan
pidana penjara selama 20 tahun penjara dan denda 500 juta
rupiah terhadap Jaksa Urip. Putusan ini lebih berat dari tuntutan
jaksa sebelumnya yakni 15 tahun penjara. Di tengah merosotnya
kepercayaan publik terhadap dunia peradilan dan pemberantasan
korupsi di Indonesia, putusan pengadilan Tipikor tersebut ibarat
seteguk air penghapus rasa dahaga di padang gurun hukum yang
kering akan keadilan. Tulisan ini hendak mengangkat tiga (3) hal
yang dapat ditarik dan digarisbawahi dari putusan tersebut.
Pertama, putusan pengadilan Tipikor sebagai law in action
hukum anti korupsi layak diapresasi sebagai putusan yang responsif
terhadap tuntutan publik akan rasa keadilan dan asas persamaan di
depan hukum. Publik telah begitu bosan dan muak menyaksikan
lebih berpihaknya hukum terhadap para pelaku kejahatan yang
berkedudukan sosial tinggi (white collar criminals) dibanding
171
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
172
Manunggal K Wardaya
173
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
174
Manunggal K Wardaya
175
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
176
Manunggal K Wardaya
177
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
178
Manunggal K Wardaya
D
iduga menerima suap senilai 3 miliar terkait pemenangan
Pemilihan Umum Kepala Daerah Gunung Mas, Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Muchtar ditangkap
penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2 Oktober
2013. Penangkapan Akil terkait dugaan pelanggaran hukum ini
bukan skandal pertama yang melibatkan hakim MK. Sebelumnya
pada 2011 dugaan pemalsuan surat oleh salah seorang hakim MK
juga pernah muncul ke permukaan dan walaupun telah sampai
dalam pengusutan oleh pihak kepolisian, kelanjutan kasus itu
terkesan seperti ditelan angin. Tulisan ini merupakan refleksi atas
integritas hakim dan ekspektasi yang melingkupi profesi ini di
tengah semakin muramnya wajah penegakan hukum, terkhusus
lembaga peradilan. Independensi adalah harga mati yang tidak bisa
ditawar untuk dimiliki dalam setiap figur hakim yang kerap disebut
sebagai wakil Tuhan di dunia ini. Bebasnya lembaga peradilan dari
campur tangan kekuasaan lain (eksekutif dan legislatif) adalah
suatu keharusan agar lembaga peradilan dengan para hakim di
dalamnya dapat memutus dengan seadil-adilnya demi tegaknya
hukum dan keadilan.
179
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
180
Manunggal K Wardaya
181
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
M
enyikapi dugaan terjadinya pelanggaran kode etik yang
dilakukan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie
pada pertengahan 2011 sempat melontarkan usulan yang membuat
geger banyak pihak: pembubaran KPK. Marzuki yang pula petinggi
Partai Demokrat mempertanyakan perlunya lagi KPK jika para
pimpinannya tak memiliki integritas dan bahkan menjadi bagian
dari korupsi. Lontaran Marzuki tersebut dipicu klaim Nazaruddin
bahwa salah satu pejabat KPK pernah menerima uang terkait tidak
diadakannya pengusutan pengadaan seragam hansip. Nazar yang
ketika tulisan ini dibuat berstatus sebagai terpidana kasus Wisma
Atlit itu melontarkan pernyataan yang mengindikasikan pernah
terjadinya pertemuan seorang komisioner KPK dengan pihak-
pihak yang berperkara. Tuduhan Nazar memang pada akhirnya
tidak terbukti dan para pejabat tersebut pada akhirnya dinyatakan
bebas oleh Komisi Etik KPK. Namun begitu usulan pembubaran
KPK dari sudut hukum ketatanegaraan dan relevansi lembaga ini
dalam pemberantasan korupsi tetap menarik untuk dikaji. Tulisan
ini dimaksudkan sebagai telaah singkat atasnya.
182
Manunggal K Wardaya
183
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
184
Manunggal K Wardaya
185
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
K
icauan (tweet) Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny
Indrayana di jejaring sosial Twitter berkembang menjadi
polemik. Dalam kicauannya di pertengahan Agustus 2012
itu, Denny menyebut advokat koruptor sama dengan koruptor itu
sendiri karena menerima bayaran dari hasil korupsi. Masih banyak
kata Denny, advokat yang menolak mendampingi koruptor seraya
mencontohkan dirinya sendiri yang menolak mendampingi
koruptor manakala menjadi pengacara. Kicauan Denny membuat
berang sejumlah advokat yang sontak memperkarakannya secara
pidana, menganggap profesor hukum tata negara UGM tersebut
melecehkan profesi advokat. Tulisan ini hendak menelaah
pernyataan Denny tersebut dari sudut pandang hukum.
Adalah hak setiap orang yang disangka, didakwa bersalah
melakukan kejahatan untuk didampingi ahli hukum. Hak ini begitu
penting mengingat hukum adalah pula kuasa, yang manakala
mewujud di proses hukum pidana, berpotensi menyebabkan
seseorang terampas haknya karena aplikasinya yang tak tepat
(entah karena kesalahan analisa maupun kesewenangan kuasa).
Orang yang buta hukum bisa saja mendapatkan putusan yang tak
186
Manunggal K Wardaya
187
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
188
Manunggal K Wardaya
189
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
T
hemis, dewi keadilan dalam mitologi Romawi dikenal
sebagai simbol universal lembaga peradilan di seluruh
dunia. Digambarkan membawa timbangan dengan mata
tertutup dan sebilah pedang bermata dua nan tajam, hakim dan
pula lembaga kehakiman dituntut untuk bertindak seperti sang
dewi: memutus perkara yang dihadapkan padanya dengan sebenar-
benar dan seadil-adilnya tanpa memandang pihak-pihak yang
berperkara. Hanya dengan ketidakberpihakanlah putusan hakim
akan dihormati dan diterima, kendati apa yang diputuskannya bisa
jadi tidak selalu memenuhi harapan para pihak yang bersengketa.
Pengadilan yang imparsial akan menjadi lembaga pengakhir
sengketa yang berwibawa, yang putusannya ditaati dan bahkan
menjadi hukum baru (yurisprudensi) yang akan diikuti baik oleh
hakim-hakim lain maupun masyarakat manakala menghadapi
permasalahan hukum yang sama.
Dalam skalanya yang makro, independensi kekuasaan
kehakiman adalah fitur negara hukum sebagai konsekwensi logis
dianutnya prinsip pembagian kekuasaan. Prinsip ini diadopsi oleh
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan kekuasaan kehakiman
190
Manunggal K Wardaya
191
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
192
Manunggal K Wardaya
dari kasus ini, sanksi administratif maupun penal yang tegas dan
maksimal sudah sepantasnya mulai dijatuhkan pada mereka para
aparat penegak hukum yang korup. Revisi UU Komisi Yudisial
dan UU Mahkamah Agung pula menemukan relevansinya untuk
segera diagendakan dalam rangka menyempurnakan sinergi
pengawasan internal oleh MA dan pengawasan eksternal oleh KY.
Jika momentum terungkapnya kasus ini tidak dijadikan titik tolak
untuk membersihkan lembaga kehakiman dari hakim yang nakal,
kredo Kasih Uang Habis Perkara (KUHP) manakala berurusan
dengan lembaga peradilan akan semakin diyakini kebenarannya,
meneguhkan keberadaan pengadilan sebagai tempat jual beli
perkara, dan bukannya pelabuhan terakhir pencarian keadilan
bagi warga.
193
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
A
lkisah, tersebutlah seorang nenek yang mencuri
singkong di pekarangan milik sebuah perusahaan.
Dalam persidangan, nenek renta itu membela diri bahwa
perbuatannya tersebut dilakukan karena keterpaksaan. Anaknya
tengah sakit keras, dan sang cucu dilanda lapar. Singkat cerita
pengadilan menjatuhi pidana denda 1 juta rupiah atau penjara 2,5
tahun karena perbuatannya itu. Menariknya, hakim pada akhirnya
mendenda para pengunjung sidang, agar turut menanggung
pidana yang dijatuhkan pada nenek. Dalam waktu yang tak terlalu
lama terkumpullah uang untuk sang nenek termasuk dari kantung
sang hakim, yang digunakan untuk membayar pidana denda. Sang
nenek bebas dari nestapa penjara.
Hanya merupakan rekaan semata, kisah berjudul “Pencuri
Singkong dan Hakim Hebat” yang disebarluaskan oleh oleh
akun Facebook salah satu instansi penegak hukum di Jawa
Timur itu menjadi topik hangat di berbagai jejaring sosial. Kisah
itu pada umumnya memancing banyak komentar yang pada
umumnya memuji. Ada semacam kesamaan di dalam apresiasi
masyarakat terhadap kisah tersebut: kerinduan akan hakim yang
194
Manunggal K Wardaya
195
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
196
Manunggal K Wardaya
197
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
B
isa dikatakan, salah satu fitur utama Indonesia pasca
reformasi adalah meruaknya berbagai aksi kekerasan
di tengah masyarakat. Pemberitaan media mengenai
kekerasan hampir mewarnai berbagai saluran komunikasi massa,
menjadikannya seolah hal yang lumrah lagi tak mengherankan.
Jika di masa Orde Baru kekerasan lebih bernuansa isu-isu nasional
dalam kerangka besar mendobrak tirani dan penindasan hak sipil
dan politik warga, kini lokus kekerasan lebih kepada arasnya yang
lokal dengan isu yang sifatnya setempat pula. Tidak saja yang
horizontal berupa kekerasan antar etnis, suku, maupun kelompok
masyarakat lainnya seperti kelompok agama, kekerasan juga terjadi
dalam coraknya yang vertikal dimana masyarakat terlibat bentrok
dengan aparatur pemerintah lokal.
Salah satu hal kekerasan yang mewarnai adalah kekerasan
yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Nyaris
setiap harinya, masyarakat menyaksikan betapa represifnya
aparat pemerintah daerah ini dalam menjalankan tugasnya mulai
dari penggusuran bangunan liar, pedagang kaki lima, hingga
penertiban terhadap kaum gelandangan dan pengemis. Peristiwa
198
Manunggal K Wardaya
1
Kusnanto Anggoro, Pengantar dalam “Post-Conflict Peace Building: Naskah
Akademik untuk Penyusunan Manual”, ProPatria Institute, 2009, hal. 4.
2
Lihat misalnya Alghiffari Aqsa , “Negara Bebas Satpol PP”, makalah disampaikan
dalam acara Reformasi ektor Keamanan, diadakan oleh Komite Mahasiswa dan Pemuda
Anti Kekerasan (KOMPAK) 28 November 2010. Dikatakan dalam makalah tersebut bahwa
Satpol PP adalah ancaman terhadap kehidupan bernegara dan pemenuhan hak asasi
manusia warga negara. Lihat pula “Demo Tuntut Satpol PP Dibubarkan”, http://www.
tribunnews.com/2010/03/25/demo-tuntut-satpol-pp-dibubarkan diakses pada 10 Juli
2011.
199
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
3
Wikipedia mendefinisikan polisi sebagai ”…persons empowered to enforce the law,
protect property and reduce civil disorder”. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Police
Lihat Pasal 138 Undang-undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
4
5
Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan menurut pasal ini adalah
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-undang/
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan
Presiden; Peraturan Daerah.
200
Manunggal K Wardaya
6
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat merupakan urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah termasuk penyelenggaraan
perlindungan masyarakat.
201
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
7
Lihat Sulistyowati Irianto, “Hukum dan Kontribusinya Terhadap Potensi Kekerasan:
Perspektif Socio-Legal”, Makalah disampaikan dalam diskusi Komunitas Salihara 8
Juni 2011, hal.4.
8
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) a menyatakan bahwa yang dimaksud dengan asas
“pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman
masyarakat.
9
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan asas
“kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
profesional.
10
Penjelasan Pasal 5 huruf d menyatakan bahwa asas “dapat dilaksanakan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas
Peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
yuridis maupun sosiologis
202
Manunggal K Wardaya
11
Lihat misalnya, Waria Protes Kekerasan Satpol PP, Republika 22 Februari 2011
,http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/metropolitan/11/02/22/165489-
waria-protes-kekerasan-satpol-pp diakses pada 19 Juni 2011.
12
Komnas Perempuan mencatat ada 189 perda yang diskriminatif terhadap perempuan,
antaranya perda yang mensyaratkan tes keperawanan sebagaimana diterbitkan di
Jambi. Alasan moralitas dan agama adalah dua hal yang kerap dijadikan landasan untuk
mendiskriminasi perempuan melalui peraturan hukum di tingkat lokal ini. Lihat “Komnas
Perempuan: 189 Perda Diskriminatif”, dalam http://www.voanews.com/indonesian/
news/Komnas-Perempuan-189-Perda-Diskriminatif.html, diakses pada 13 Juni 2011.
13
Kendati tidak terkait dengan Satpol, Lembaga Bantuan Hukum mensinyalir
bahwa kekerasan terhadap Ahmadiyah semakin meningkat paska dikeluarkannya
Surat Keputusan Bersama. Lihat “LBH: SKB dan Perda Sumber Kekerasan”, Kompas,
12 Maret 2011.
14
Lihat “Perda SI Cacat Legitimasi Hukum dan Sosial”, dalam Nawala Vol.1/
TH.I/2005/November 2005, hal.2.
203
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
204
Manunggal K Wardaya
205
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
Tugas untuk menangani unjuk rasa inisebenarnyalah menjadi tugas umum Polri
15
dalam Pasal 10, 13 ayat (2) dan 3, Pasal 15, dan 16 UU No. 19 Tahun 1998 tentang
Kebebasan Menyatakan Pendapat di Muka Umum dan Peraturan Kapolri No. 16
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengendalian Massa.
16
Lihat Manunggal K. Wardaya, “Aspek Hak Asasi Manusia dalam Penanganan
Unjuk Rasa OlehSatpol PP”, makalah disampaikan dalam Simulasi Dahura dan
Penanggulangan Unjuk Rasa, diselenggarakan oleh Satpol PP Jawa Tengah , Hotel
Moroseneng, Baturraden, 1 Maret 2011.
17
Disahkan oleh Majelis Umum PBB dengan Resolusi 34/169 17 Deember 1979, dapat
diakses secara online pada http://www2.ohchr.org/english/law/pdf/codeofconduct.pdf
206
Manunggal K Wardaya
18
Article 1.Dalam komentar pasal 1 ini dinyatakan pula bahwa “the term law
enforcement officials”, includes all officers of the law, whether appointed or elected, who
exercise police powers, especially the powers of arrest and detention.
Article 2
19
Article 3
20
207
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
208
Manunggal K Wardaya
Pasal 3
21
209
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
23
Ibid, butir a, b, dan c.
24
Pasal 4 ayat (4).
25
Lihat “Joko Widodo: Wali Kaki Lima”,http://majalah.tempointeraktif.com/id/
arsip/2008/12/22/LU/mbm.20081222.LU129061.id.html, diakses pada 10 Juli 2011.
210
Manunggal K Wardaya
211
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
A
pakah tujuan hukum itu? Dalam khasanah studi filsafat
hukum, keadilan adalah salah satu kondisi yang paling
dipercaya sebagai destinasi utama adanya hukum dalam
perikehidupan manusia. Dalam paradigmanya yang demikian,
hukum, entah yang hukum rakyat entah yang hukum negara
diciptakan, diadadakan, melembaga (dan atau dilembagakan),
dan didayagunakan untuk mengabdi pada setinggi-tingginya
kemaslahatan manusia. Ia menjadi penyeimbang kedudukan yang
timpang sebagai akibat terjadinya perampasan hak. Ia memberi efek
jera berupa sakit, nestapa pada pihak yang menyakiti, agar seuatu
yang buruk dan menimbulkan kerugian maupun terkuranginya
hak pihak lain tak terulang lagi. Terhadap mereka yang menjadi
korban dilakukan pemulihan (remedy) agar kembali kepada
keadaan semula, sembuh dari segala macam sakit dan kerugian
yang diderita.
Skala alias timbangan menjadi simbol hukum,
merepresentasi fungsinya yang terpenting; mengkadar dua sisi
yang berlawanan. Hukum diidealkan menciptakan keadaan yang
seimbang (equal) antara hak dan kewajiban. Kalaupun hukum
212
Manunggal K Wardaya
213
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
214
Manunggal K Wardaya
215
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
L
embaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah institusi yang
dipercaya oleh sistem pemidanaan modern sebagai wadah
untuk memperbaiki manusia terpidana. Perampasan
kemerdekaan selama waktu tertentu (yang diasumsikan tidaklah
enak itu) diyakini akan membuat seorang terpidana menjadi
jera. Diidealkan bahwa selama Lapas, terpidana akan menjalani
serangkaian pembinaan secara sistematik sehingga perilaku jahat
dan tercela yang pernah dilakukannya akan ditinggalkan, dan ia
akan dapat kembali diterima oleh masyarakat manakala masa
pidana telah habis. Namun, terungkapnya jaringan narkoba kelas
kakap di lingkungan LP Nusakambangan oleh Badan Narkotika
Nasional (BNN) sungguh menjungkirbalikkan bangunan ide
Lapas sebagai institusi yang memulihkan harkat dan martabat
mereka yang terbilang sebagai terpidana. Lapas yang diidealkan
menjadi sarana purifikasi telah berubah menjadi tempat di mana
kejahatan menemukan lahannya yang subur untuk tumbuh dan
berbiak.
Setidaknya ada tiga hal yang patut direnungkan dari
fenomena yang memprihatinkan dalam penegakan hukum
216
Manunggal K Wardaya
217
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
218
Manunggal K Wardaya
T
ewasnya 10 orang penonton dalam konser musik yang
digelar dalam rangka peluncuran album group band Beside
di Bandung pada 9 Februari 2008 menambah panjang
deretan peristiwa tragis yang menyertai pagelaran musik di tanah
air. Jika sebelumnya insiden yang merenggut nyawa sejumlah
penonton hanya terjadi pada pertunjukan group musik pop rock
papan atas, peristiwa serupa dengan jumlah korban yang cukup
banyak justeru terjadi dalam pagelaran musik band “tak terkenal”,
suatu grup yang mengusung aliran musik keras, bertempo cepat,
dan memilih jalur bawah tanah (underground).
Menyaksikan cuplikan konser yang menggambarkan para
penonton yang beradu tubuh (slam dance) ketika menikmati
musik, mereka yang awam terhadap aliran musik ini akan segera
tergiring pada asumsi bahwa konser musik metal identik dengan
kerusuhan dan sarat dengan kekerasan, dan kesemuanya itulah
yang menjadi awal petaka. Asumsi seperti ini akan menggiring pada
stigma dan labelisasi kriminal bahkan penyesatan terhadap para
seniman musik metal berikut aliran musik yang dianutnya. Tulisan
ini hendak mengajak untuk memandang peristiwa memilukan di
219
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
220
Manunggal K Wardaya
221
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
222
Manunggal K Wardaya
223
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
J
angan coba-coba memakai helm kupluk di Purwokerto, pasti
ditilang!. Hal demikian kerap disampaikan warga Purwokerto
kepada kawan, maupun sanak saudara dari daerah lain yang
hendak berkunjung atau sekedar melintasi Purwokerto. Nasihat
seperti itu bisa dimengerti, karena setidaknya dalam satu dasawarsa
terakhir, penggunaan helm kupluk atau helm yang ‘tidak standar’
lainnya menjadi sesuatu yang punishable. Kendati definisi helm
standar bisa jadi dapat diperdebatkan, akan tetapi di lapangan
hampir-hampir tak ditemui pengendara sepedamotor yang hanya
mengenakan helm kupluk, helm bathok ataupun helm proyek.
Kalau di wilayah hukum lain pengendara sepedamotor lebih
bebas menggunakan helm kupluk, maka jangankan pengendara, di
Purwokerto para pedagang helm tidak menjual helm kupluk yang
tak menutup hingga ke wilayah telinga ini.
Purwokerto meneguhkan diri sebagai daerah percontohan
tertib lalu lintas, dimana masyarakat di daerah lain yang
berkunjung di kota ini akan meniru perilaku hukum warganya
dalam berlalulintas. Alih-alih merasa iri dah meri pada warga
wilayah hukum lain yang masih bisa bebas berhelm kupluk, warga
224
Manunggal K Wardaya
225
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
226
Manunggal K Wardaya
I
novasi di bidang teknologi informasi telah membuat manusia
menjadi semakin terhubung satu sama lain dengan mudah lagi
murah. Jarak geografis dan berbagai penghalang konvensional
lainnya yang pernah menjadi penghalang kini menjadi kian tidak
berarti. Namun perkembangan di bidang teknologi informasi
telah pula memberi peluang baru bagi sebagian manusia untuk
berbuat jahat, salah satunya adalah penipuan via SMS (short
messages service) sebagaimana kini makin marak terjadi di tanah
air. Mengaku-aku sebagai pejabat, panitia undian maupun posisi
lainnya yang ‘mentereng’, pelaku mengirim pesan pendek ke nomor
telepon seluler calon korban (yang bisa didapatkan secara acak)
yang pada intinya meminta transfer sejumlah uang atau pulsa.
Setelah korban melakukan pengiriman, barulah disadari bahwa
nomor telpon tersebut adalah nomor penipu. Diduga banyak yang
‘termakan’ SMS model begini dan kerugian yang diderita korban
konon mencapai puluhan juta rupiah.
Dalam kasus SMS yang sekedar meminta pulsa, jumlah
kerugian yang relatif kecil barangkali tak membuat korban begitu
menderita dan akan dianggap sebagai keapesan belaka. Namun
227
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
228
Manunggal K Wardaya
229
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM
TENTANG PENULIS
230