Anda di halaman 1dari 240

Manunggal K Wardaya

i
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

ii
Manunggal K Wardaya

Manunggal K Wardaya

Indepth
2014

iii
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA


NEGARA HUKUM

Penulis : Manunggal K Wardaya


Editor : HS Tisnanta
Cover : Sayid Mataram
Tata Letak : M Reza

Cetakan pertama, Juli 2014


x + 230 hlm
14x21 cm

Hak cipta dilindungi Undang-Undang.


All rights reserved

ISBN : 978-602-1534-28-1

Penerbit
Indepth Publishing
Jalan Ahmad Yani, Gang Pioneer, No. 41, Gotongroyong,
Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung
Indepth.publishing@gmail.com | www.indepthpublishing.org
081279604790

Bekerjasama dengan :
Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKPHAM)
Fakultas Hukum Universitas Lampung, www.pkkpham.org dan
Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM)

iv
Manunggal K Wardaya

PENGANTAR PENULIS

Buku ini sesungguhnyalah merupakan himpunan


aneka pemikiran yang saya hasilkan dalam kurun 2001-2013.
Konstitusionalisme yang menjadi tema besar buku ini tak lain
merupakan paham pembatasan kekuasaan, sebuah prinsip yang
pula melembaga dalam kehidupan bernegara Indonesia. Tak
pelak, diskursus mengenai hak asasi manusia maupun tarik ulur
kewenangan negara versus hak warganegara merupakan warna
yang menonjol dalam setiap tulisan di buku ini.
Sebagian besar materi di dalam buku ini ditulis untuk media
massa seperti surat kabar dan majalah. Beberapa yang lain adalah
makalah yang disampaikan dalam forum-forum diskusi seperti
seminar maupun sarasehan sementara beberapa yang lainnya
lagi tak pernah terpublikasi kecuali di blog pribadi. Tersebarnya
aneka pemikiran seputar konstitusi dan hak asasi manusia di
berbagai media membuat tulisan-tulisan itu tak mudah didapati
oleh khalayak. Terhimpunnya berbagai hasil kerja pikir dalam
satu kitab seperti yang kini berada di tangan pembaca mengatasi
persoalan itu, sesuatu yang sudah tentu amat saya syukuri.
Untuk dimengerti, buku ini sedikit banyak berisi tulisan
yang merupakan telaah ataupun kajian atas fenomena hukum
yang terjadi dalam setting ruang dan waktu tertentu. Pemahaman
terhadap aneka tulisan itu terkadang menuntut pengetahuan
maupun ingatan pembaca akan fenomena maupun aneka kasus

v
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

yang menjadi pokok bahasan, tuntutan yang sebenarnyalah


tak perlu benar untuk harus selalu dipenuhi. Kendati demikian
aneka thesis maupun argumentasi dari setiap tulisan diharapkan
membuat buku ini tak berkekurangan relevansi untuk ditelaah
guna memahami hal ikhwal konstitusionalisme, hak asasi manusia
dan perikehidupan bernegara hukum dalam konteks kekinian.
Ucapan terimakasih dihaturkan pada segenap rekan di Pusat
Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKPHAM)
Universitas Lampung dan di Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM)
yang telah membuat penerbitan buku ini menjadi mungkin. Pada
Prof. J.M. Otto dari Universitas Leiden dan segenap rekan yang
telah meluangkan waktu untuk memberi komentar saya ucapkan
pula veel bedankt. Pula pada segenap rekan di Penerbit Indepth
saya haturkan terimakasih. Saya berharap aneka pemikiran dalam
kitab sederhana ini menjadi sumbangan bagi keterpelajaran
hukum di tanah air terkhusus lapangan hukum kenegaraan dan
hak asasi manusia. Tanggapan dan kritik dari segenap pembaca
ibarat seteguk air di padang tandus: amatlah ditunggu, amatlah
dinanti.
Hartelijke groet

Nijmegen, akhir musim semi 2014

Manunggal K. Wardaya

vi
Manunggal K Wardaya

DAFTAR ISI

Pengantar Penulis v
Daftar Isi vii

1. Membangun Masyarakat
Madani dan Demokratis dalam
Bingkai Konstitusionalisme 1

2. Selayang pandang Lembaga


Kepresidenan 17

3. Independensi Calon
Perseorangan dalam Pilkada 23
4. Pilkada dan Kontrak Sosial 27
5. Mewujudkan Polri yang
Dimiliki, Dicintai dan
Dibanggakan Masyarakat 31
6. Pembatasan Hak Beribadah:
Kasus Syeh Puji 40
7. Hak Hidup Sebagai Hak Asasi
Manusia 44
8. Pembubaran Ormas Anarkis 50
9. Dimensi HAM dalam Pe-
laksanaan Ibadah Kurban 57
10. Hak Hidup dan Pidana Mati 61

vii
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

11. Tentang Persamaan di Muka


Hukum 66
12. Macan Kertas Instrumen HAM 70
13. Pelarangan Ahmadiyah:
Perspektif HAM 74
14. Kartini dan Demokrasi 78
15. Perlindungan Profesi Wartawan 82
16. Kekerasan Terhadap Jurnalis,
Perlindungan Profesi Wartawan
dan Kemerdekaan Pers di
Indonesia 86
17. Pers vs Kekuasaan 95
18. Tragedi dalam Bingkai Media 99
19. Iklan Politik dan makna
Kebebasan 103
20. Perlindungan Hukum Terhadap
Wartawan Sebagai Hak Asasi
Manusia 107
21. Gerakan Mahasiswa Paska
Reformasi 120
22. Kritik SBY Terhadap Pers 127
23. Pemberangusan Buku di
Indonesia 131
24. Media Lokal dan Politik Uang
dalam Pilkada 135
25. Kriminalisasi Pers 140
26. Tempo dan kemerdekaan Pers 144
27. Urgensi Sertifikasi Wartawan 147
28. Halal Haram Infotainment 152
29. NII dan Paham Kebangsaan 156

viii
Manunggal K Wardaya

30. Negara Versus Ketentraman


Warga 160
31. Jalan Berlubang dan Hak Hidup
Warga 163
32. Hukum: Penegak Moralitas? 166
33. Putusan Kasus Korupsi vs
Keadilan Masyarakat 171
34. Keterjangkitan Korupsi
Penegak Hukum 175
35. Ambang Kiamat Peradilan 179
36. Mewaspadai Pelemahan KPK 182
37. Setelah Denny Minta Maaf 186
38. Takkala Hakim dapat Dibeli 190
39. Logika Sesat Peradilan
Singkong 194
40. Mengurai Kompleksitas
Kekerasan di Daerah Oleh
Satuan Polisi Pamong Praja:
Sebuah Perspektif Sosio Legal
Keadilan dalam Wajah Hukum 198
41. Keadilan dalam Wajah Hukum 212
42. Pelajaran dari Nusakambangan 216
43. Diskriminasi dalam Berkese-
nian : Refleksi Tragedi Bandung 219
44. Budaya Hukum dalam
Fenomena Helm Standar 224
45. Melawan Kejahatan
Berteknologi 227

TENTANG PENULIS 230

ix
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

x
Manunggal K Wardaya

1. MEMBANGUN MASYARAKAT
MADANI DAN DEMOKRATIS DALAM
BINGKAI KONSTITUSIONALISME

K
onstitusionalisme, demikian Dictionary of American
Politics, adalah “the doctrine that the power to govern should
be limited by definite ad enforceable principles of political
organization and procedural regularity embodied in the fundamental
law, so that basic constitutional rights of individuals ad groups will
not be infringed”1. Carl J. Friedrich menyebut konstitusionalisme
sebagai “...an institutionalised system of effective, regularized
restraints upon governmental action”2 sementara Ni’matul Huda
menyebut konstitusionalisme sebagai terbatasinya kekuasaan
pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan negara

1
Edward C. Smith & Arnold J. Zurcher, Dictionary of American Politics, Barnes & Noble,
Inc., New York, 1966, hal. 93.
2
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Konstitusi Press,
Jakarta, 2006, hal. 25. Selanjutnya Jimly menyatakan bahwa basis pokok konstitusionalisme
adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat
mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan denghan negara. Soal persetujuan rakyat
ini pula dinyataka oleh Soetandyo Wignjosoebroto yang mengatakan bahwa konstitusi
hanya bisa dikatakan sebagai konstitusi yang sesungguhnya manakala ia berasal dari
kesepakatan warga dan berisi jaminan kebebasan asasi dalam kehidupan bernegara. Lihat
Soetandyo Wignjosoebroto, “Konstitusi dan Konstitusionalisem”, dalam http://soetandyo.
wordpress.com/2010/07/10/konstitusi-dan-konstitusionalisme/, diakses pada 20 Juni
2011.

1
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

tidak bersifat sewenang-wenang3. Dari ketiga definisi tersebut


disimpulkan bahwa konstitusionalisme adalah suatu ism, suatu
paham pembatasan kekuasaan negara dan terlindunginya hak dan
kebebasan warga negara.
Istilah “konstitusionalisme”, demikian Soetandyo
Wignjosoebroto, sebenarnya tercipta akhir abad 18 yang
menegaskan doktrin Amerika tentang Supremasi Undang-
undang Dasar (konstitusi tertulis) di atas undang-undang yang
diundangkan sebagai produk badan legislatif4. Mengutip Harold
Berman, Soetandyo menyatakan bahwa paham mengenai kekuasan
negara ini sebenarnyalah telah bermula dari masa yang sangat
lebih dini, telah dijumpai semasa berkembangnya negara-negara
teritorial di bawah kekuasaan raja-raja dan dalam kehidupan polis-
polis (negara kota) di Eropa Barat pada abad XI dan XII.5 Dalam
konstitusi-konstitusi negara kota itu diakui kekuasaan pemerintah
(misalnya untuk menarik pajak, membuat uang, membentuk
balatentara, membuat perjanjian damai dengan atau menyatakan
perang terhadap polis lain); namun juga di lain pihak kekuasaan
dibatasi oleh hak konstitusional warga kota (misalnya untuk
memilih pejabat kota, mempersenjatai diri, membuat kebebasan
sipil, dan dilindungi oleh proses peradilan yang jujur dan adil).6
Dalam banyak literatur hak asasi manusia diyakini bahwa
terbatasinya kekuasaan untuk pertama kalinya terjadi di Inggris
dengan ditandatanganinya sebuah piagam (charter), sebuah
kesepakatan nan agung bernama Magna Charta pada 1215.

3
Lihat Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers,
2008, hal. 37.
4
Soetandyo Wignjosoebroto, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, dalam Benny
K. Harman & Hendardi (ed), Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) & Jaringan Informasi Masyarakat (JARIM),
Jakarta, 1991, hal. 2.
Ibid.
5

Ibid.
6

2
Manunggal K Wardaya

Dalam piagam itu, Raja John (terpaksa) berbagi kekuasaan


dengan para baron (bangsawan). Walau sama sekali tak bersangkut
paut dengan hak rakyat jelata, Magna Charta diangap penting
karena dokumen ini adalah titik awal dimana kekuasaan raja tak
lagi absolut, cikal bakal pembatasan kekuasaan negara. Seorang raja
yang tadinya berdaulat penuh dan bisa memerintah sekehendak
hatinya kini harus berbagi dengan pihak lain. Salah satu diantara
sekian hal yang disepakati oleh raja dalam Magna Charta adalah
bahwa tak boleh seorangpun (terkecuali mereka yang berstatus
‘serf ’, semacam budak) boleh dihukum kecuali atas aturan yang
berlaku, suatu prinsip yang diwariskan dan hingga kini masih
dianut dan dikenal dengan asas legalitas.
Dalam perjalanannya, terbatasinya kekuasaan melalui
perjanjian yang elitis ini menemukan kembali maknanya dalam
Revolusi Amerika dan Perancis. Revolusi Amerika meneguhkan
kehendak rakyat Amerika untuk merdeka, lepas dari keterikatan
dengan Kerajaan Inggris, dengan mendirikan sebuah negara serikat
bernama The United States of America. Rakyat dalam 13 koloni
Inggris di benua Amerika tersebut menolak otoritas Parlemen
Kerajaan Inggris dan kemudian mengusir para pejabat kerajaan.
Deklarasi kemerdekaan Amerika menegaskan paham bahwa semua
manusia lahir sama dan berhak atas berbagai hak dasar, dan bahwa
adanya negara justeru untuk melindungi warga negara dari segala
ancaman yang dapat mengurangi dan meniadakan penikmatan
hak itu. Oleh karenanya, jika negara tak mampu atau bahkan
gagal dalam menjalankan tugas fitrahnya melindungi warganya,
ketidakmampuan itu bakal memberi legitimasi digantikannya
pemerintahan dan sekaligus legitimasi munculnya pemerintahan
baru7. Untuk pertama kalinya pula kemudian Amerika memiliki

7
Paham ini sebenarnya berasal dari pemikiran Locke dalam risalah kedua bukunya
Two Treatise of Government yang menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang
sewenang-wenang memberikan kekuasaan pada rakyat untuk mengatur kembai keamanan
dan keselamatan mereka. Lihat Pudja Pramana K.A, Ilmu Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta,

3
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

konstitusi yang kemudian diikuti pula oleh Perancis dimana ide-


ide lama mengenai hirarki dan tradisi tergantikan oleh filosofi
pencerahan mengenai kewarganegaraan dan hak asasi manusia.
Revolusi Perancis (1789-1799) meneguhkan kehendak rakyat
Prancis untuk lepas dari penindasan dengan slogan Egalite, Liberte,
Fraternite.
Sebagaimana dinyatakan oleh Carl Schmidt, sebuah
konstitusi adalah suatu manifestasi kehendak rakyat yang
tertinggi. Ia, konstitusi, oleh karenanya merupakan hukum
tertinggi suatu bangsa. Di dalam konstitusi dinyatakan batas
dan kewenangan penyelenggara negara dan jaminan hak asasi
manusia yang meniscayakan terbatasinya kekuasaan. Berkaitan
dengan ini, bisa jadi suatu negara memiliki konstitusi, memiliki
hukum dasar dalam kehiduupan bernegara, namun difungsikan
semata untuk melegitimasi keabsolutan kuasa. Konstitusi yang
tidak berparadigma konstitusionalisme seperti demikian oleh
karenanya adalah sekedar dokumen yang menjadi hukum dasar
dan memiliki cacat bawaan konstitusionalisme. Ia sekedar hukum
yang tertinggi namun tetaplah saja melegitimasi kekuasaan mereka
yang di atas (elite).
Jika diletakkan dalam konteks Indonesia, lepasnya bangsa
ini dari belenggu penjajahan pula disertai dengan kehendak
membangun suatu negara bangsa yang demokratis berdasarkan
konstitusi. Rancangan undang-undang dasar yang dirumuskan
oleh Panitia Hukum Dasar Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan
(BPUPK)8 dan kemudian disahkan oleh Panitia Persiapan

2009, hal. 161.


8
Terjemahan dari bahasa Jepang Dokuritu ZyunbiTyosa Kai tidak ada kata “Indonesia”,
oleh karenanya makalah ini pula tidak membubuhkan huruf “I” dalam akronim BPUPK.
Penambahan huruf “I” sebagai akronim dari “Indonesia” dalam BPUPKI menurut Ananda
B. Kusuma adalah kurang tepat karena Badan ini dibentuk oleh Rikugun (Angkatan Darat
Jepang), Tentara XVI, yang wewenangnya hanya meliputi Jawa dan Madura saja. Lihat
Ananda B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, edisi revisi, Badan Penerbit
Fakultas Hukum Indonesia, 2009, hal. 1, catatan kaki no. 1. Dirumuskannya hukum dasar

4
Manunggal K Wardaya

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 menjadi


konstitusi tertulis pertama negeri ini lahir dalam masa transisi
dari alam penjajahan ke alam merdeka. Berisi aturan dasar negara
modern bernama Indonesia, UUD 1945 yang asli amat disadari
oleh para penyusunnya sebagai sesuatu yang belumlah sempurna
dan mesti disempurnakan9. Sempat tidak diberlakukan dengan
berlakunya Konstitusi RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar
Sementara 1950, UUD 1945 kemudian diberlakukan kembali
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 setelah Konstituante, sebuah
badan perumus UUD diklaim oleh Presiden Soekarno menemui
kebuntuan, deadlock.
Perjalanan bangsa dan negara Indonesia di bawah UUD 1945
di bawah kepemimpinan Soekarno dan Soeharto menunjukkan
bahwa segala sumber permasalahan bangsa sebenarnyalah
berasal dari konstitusi yang memberikan kewenangan begitu
besar kepada eksekutif (executive heavy), miskin dalam jaminan
hak dan kebebasan asasi manusia, serta tidak menciptakan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis10. Secara
formal, konstitusi (tertulis) memang ada dipunyai oleh bangsa ini,
namun konstitusi itu tak memiliki ruh konstitusionalisme alias
semangat pembatasan kekuasaan. Karena belum cukup memuat

oleh badan ini sebenarnya di luar dari tujuan pembentukannya, yakni untuk melakukan
usaha-usaha persiapan kemerdekaan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hal. 39.
9
Soekarno dalam pidatonya di depan PPKI pada 18 Agustus 1945 mengatakan
bahwa UUD 1945 adalah suatu revolutie grondwet, suatu undang-undang dasar darurat,
pernyataan yang pula diamini oleh pendiri bangsa lainnya seperti Dr. Sam Ratulangi dan
Mr Iwa Kusuma. Lebih lanjut, kesementaraan UUD 1945 juga tercermin Aturan Tambahan
UUD 1945 sebelum perubahan yang pada Pasal II menyatakan bahwa “Dalam enam
bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk
menetapkan Undang-Undang Dasar.” Bacalah Ananda B. Kusuma, “Keabsahan UUD
1945 Pasca Amandemen”, Jurnal Konstitusi Vol. 4 No.1, Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Maret 2007, hal.146-148.
10
Denny Indrayana menyebut UUD 1945 sebelum perubahan adalah dokumen yang
otoriter. Baik Soekarno maupun Soeharto, demikian Denny, memanfaatkan Konstitusi
otoriter demikian untuk memusatkan kekuasaan negara di tangan mereka sendiri. Lihat
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Mizan,
Cetakan II, 2007, hal. 164.

5
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat,


dan penghormatan HAM, dengan muatan pasal yang multitasfir
dan membuka peluang penyelenggaraan negara yang otoriter,
perubahan UUD 1945 menjadi salah satu tuntutan berbagai
kalangan masyarakat dalam gerakan Reformasi11. Melalui empat
kali perubahan12, Indonesia kini memiliki konstitusi yang amat
berbeda dengan konstitusi tertulis yang sebelumnya, yakni UUD
1945 yang diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli
1959.13
Jika perubahan UUD 1945 adalah sebuah upaya koreksi
terhadap segenap penyimpangan yang terjadi di masa lalu, maka
menjadi menarik dipertanyakan adalah bagaimana cita negara
demokrasi diwujudkan dalam konstitusi? Jika kesengsaraan
rakyat, dan segenap pelanggaran hak sipil dan politik maupun
hak ekonomi sosial budaya pula merupakan fitur masa lalu di
bawah konstitusi yang tak demokratis, bagaimana visi UUD paska
perubahan akan terwujudnya masyarakat madani?
Masyarakat madani kerapkali dikenal sebagai padanan/
translasi kata dari Civil Society14. Nurcholish Madjid menyatakan

11
Lihat Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR
RI, 2006, hal. 4.
12
Moh Mahfud MD mengatakan bahwa sebenarnya perubahan yangg dilakukan
terhadap UUD 1945 hanyalah satu (1) kali, namun disahkan dalam empat (4) tahap.
Perubahan, demikian Mahfud, hanya dilakukan sekali tetapi memakan waktu selama tiga
tahun (199-2002), karena menurut Mahfud dalam kurun waktu tiga tahun tersebut MPR
tidak pernah berhenti bersidang. Baca lebih lanjut dalam Moh Mahfud MD, Perdebatan
Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, hal. Xii-xiii.
13
UUD 1945 setelah Dekrit Presiden dilengkapi dengan Penjelasan, dimana Penjelasan
ini tidak ada dalam UUD 1945 yang disahkan oleh PPK pada 18 Agustus 1945.
14
Selain masyarakat madani, ada pula yang mentranslasi civil society sebagai masyarakat
sipil. Mereka yang menggunakan istilah ini berargumen bahwa istilah civil society berasal
dari Barat dalam masa modern, sehingga tak bisa diterapkan secara retroaktif ke dalam
masyarakat muslim sebagaimana pengguna istilah masyarakat madani merujuk pada
abad ke-7 dimana Nabi Muhammad mendirikan pemerintahan di Madina. Akan tetapi tak
kurang mereka yang menggunakan istilah masyarakat sipil sebagai translasi civil society
juga dikatakan sebagai tidak tepat, karena “sipil” dalam masyarakat sipil diartikan sebagai

6
Manunggal K Wardaya

bahwa masyarakat madani ini adalah mesyarakat berbudi luhur dan


berakhlak mulia, masyarakat yang berperadaban. Aceng Kosasih
menyatakan bahwa masyarakat madani adalah model masyarakat
kota sebagaimana dibangun oleh Nabi Muhammad setelah hijrah
ke Madinah15. Sementara itu Marzuki Alie menyatakan bahwa
masyarakat madani tidak saja mandirinya masyarakat manakala
berhadapan dengan negara, melainkan pula terwujudnya nilai-
nilai seperti keadilan, persamaan, kebebasan, dan kemajemukan
(pluralisme)16. Dari dua definisi masyarakat madani sebagaimana
dipaparkan di atas, tulisan ini menarik simpulan bahwa masyarakat
madani adalah suatu kedaan terciptanya kehidupan bermasyarakat
yang bermartabat dan sejahtera tercapai. Adakah visi masyarakat
berbudi luhur, berakhlak mulia, yang adil dan menghargai
perbedaan, terdapat ruang bagi perbedaan dan tegaknya keadilan
dalam Konstitusi kita?
Tidak mau hidup terus menerus terjajah17, bangsa Indonesia
menyatakan kemerdekaannya melalui Proklamasi 17 Agustus
1945, memanfaatkan situasi vacuum of power sehubungan dengan

lawan dari militer, sesuatu yang sebenarnya bukan maksud dari civil society. Lihat Andi
Faisal Bakti, “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid’s Interpretation of Civil Society ,
Pluralism, Secularization, and Democracy”, Asian Journal of Social Science, Vol. 33 No. 3,
hal. 489.
15
Aceng Kosasih, “Konsep Masyarakat Madani”, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/
M_K_D_U/196509171990011-ACENG_KOSASIH/MASYARAKAT_MADANI.pdf diakses pada
1 Juli 2011.
16
Marzuki Alie, “Pembaharuan Pendidikan Islam Demi Terwujudnya Masyarakat
Madani”, Orasi Ilmiah Disampaikan dalam Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Universitas
Darul Ulum, Jombang , 16 Oktober 2010, hal.6.
17
Keinginan untuk merdeka telah menjadi keinginan kuat para pendiri bangsa
sebagaimana dapat dibaca dalam pledoi Ir. Soekarno di depan sidang pengadilan
kolonial tanggal 30 Agustus di Bandung. Soekarno mengatakan bahwa “tidak ada satu
rakyat negeri jajahan yang tidak ingin merdeka, tidak ada satu rakyat jajahan yang tidak
mengharap-harapkan datangnya hari kebebasan”. Dikatakan pula oleh Soekarno bahwa
“ kemerdekaan adalah syarat yang amat penting bagi kesempurnaan rumah tangga tiap-
tiap negeri, tiap-tiap bangsa baik bangsa Timur maupun bangsa Barat, baik bangsa kulit
berwarna maupun bangsa kulit putih”. Lihat Ir Soekarno, Indonesia Menggugat: Pidato
Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim Kolonial, Departemen Penerangan Republik
Indonesia, Daja Upaja, hal.83.

7
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

menyerahnya Jepang tanpa syarat pada pasukan Sekutu pada


14 Agustus 1945. Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang
menyatakan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, dan oleh
karenanya penjajahan haruslah dihapuskan. Sembari mengakui
bahwa kemerdekaan yang diraih merupakan rahmat Tuhan Yang
Maha Esa, dinyatakan bahwa Indonesia yang dicitakan adalah
negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dikaitkan dengan konsepsi masyarakat sipil sebagaimana
dipaparkan di atas, rumusan dalam alinea II Pembukaan UUD
1945 sebenarnyalah suatu visi untuk mewujudkan Indonesia
sebagai suatu negara madani. Selanjutnya, alinea IV Pembukaan
UUD 1945 memuat tujuan didirikannya negara Indonesia yakni
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Lebih lanjut
dalam pembukaan UUD 1945 inilah tercantum dasar negara
Indonesia, yang kemudian melalui konvensi ketatanegaraan
dikenal sebagai Pancasila.
Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian tak terpisahkan dari
konstitusi telah pula menegaskan bahwa negara yang dilahirkan
ini adalah untuk mengabdi pada rakyat, mensejahterakan rakyat,
bukan sebaliknya: rakyat melayani pemerintah. Pemerintah
Negara Indonesia, demikian alinea IV Pembukaan UUD 1945,
memiliki kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pemerintah dan negara
Indonesia ada dan diadakan untuk melindungi rakyat. Dalam
negara Indonesia rakyatlah yang berdaulat. Pilihan Republik
sebagai bentuk negara menunjukkan bahwa di dalam negara
Indonesia yang berdaulat adalah orang banyak, bukannya sedikit
orang entah yang mengejawantah dalam monarki maupun oligarki,
walau kalau ditilik dari sudut pandang sejarah, negara Indonesia
berasal dari himpunan ratusan kerajaan besar kecil. Inilah cita

8
Manunggal K Wardaya

negara demokrasi yang digagas oleh para pendiri bangsa, dan


terus dipertahankan oleh MPR manakala melakukan perubahan
terhadap UUD 1945 sejak 1999 hingga 2002.
Cita masyarakat madani dan demokratis dalam Pembukaan
UUD 1945 mengalami konkretisasi lagi dalam muatan pasal-
pasal UUD 194518. Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan
sebagai di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar. Pasal ini mengandung makna falsafati bahwa
sesungguhnyalah kekuasaan yang tertinggi ada di tangan rakyat,
bukan oleh sekelompok orang saja. Rakyat, baik secara langsung
maupun tidak langsung menjadi pengurus atau penyelenggara
negara19. Dalam rumusan ini terlihat bahwa demokrasi yang
dianut oleh Indonesia adalah demokrasi konstitusional, suatu
format demokrasi yang mendasarkan pada hukum dan tidak
melulu pada suara terbanyak yang berujung pada tirani mayoritas.
Pelaku kedaulatan kini bukan lagi MPR, namun semua badan
negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, dan bahkan lembaga
peradilan seperti MA dan MK.20
Sementara itu, Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Muatan pasal ini menegaskan bahwa
Indonesia bukanlah negara kekuasaan (machstaat) melainkan
negara hukum (rechstaat). Pada mulanya, rumusan pasal ini
ada dalam Penjelasan, namun seiring dengan perubahan UUD,
maka materi penjelasan ini dimasukkan dalam batang tubuh.
Adapun negara hukum yang dimaksud di sini bukan melulu
hukum yang mengedepankan kepastian hukum saja, namun juga
keadilan. Dikatakan oleh Mahfud MD, negara Hukum Indonesia
mengadopsi dua konsepsi negara hukum yang prismatik,

Sebelum perubahan dikenal istilah “batang tubuh”. Kini istilah itu tidak ada lagi,
18

melainkan cukup disebut dengan istilah “pasal-pasal”.


19
Lihat Jimly Asshiddiqie, Komentar atas Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,
Sinar Grafika, Cetakan Pertama, Jakarta, 2009, hal. 10-11.
Ibid.
20

9
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

menggabungkan idealisme negara hokum rechstaat dan rule


of law. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 24 UUD 1945 yang
menegaskan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Serangkaian jaminan hak asasi manusia, yang dirumuskan
dalam Bab XA dari Pasal 28A hingga 28J mengenai Hak Asasi
Manusia menegaskan karakteristik Indonesia sebagai negara
hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3). Pengakuan
dan jaminan atas hak dankebebasan asasi manusia ini adalah
koreksi atas konstitusi pada masa lalu yang sama sekali tak memuat
jaminan hak dan kebebasan manusia, yang dipercaya menjadi
penyebab kekuasaan nan korup. Adanya hak asasi manusia dalam
muatan konstitusi juga meneguhkan prinsip negara hukum bahwa
kekuasaan adalah residu dari hak dan kebebasan dasar manusia.
Dengan pengakuan hak dan kebebasan manusia dalam muatan
konstitusi, maka tidak dibenarkan negara mengurangi, merampas
hak dan kebebasan warga tanpa suatu alas hukum yang sah.
Mengadopsi norma-norma hukum hak asasi manusia yang berlaku
internasional21, dijamin pula berbagai hak yang terbilang sebagai
non-derogable rights, ialah hak yang tidak bisa dikurangkan dalam
keadaan apapun juga.
Sebagaimana dinyatakan oleh Petra Stockmann22, empat
perubahan UUD 1945 telah merestrukturisasi UUD 1945 secara
signifikan. Perubahan yang paling jelas terlihat adalah adanya
21
Non derogable rights adalah fitur hukum hak asasi manusia yang dituangkan
dalam article 4 the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), salah satu
instrumen hukum internasional yang dibilangkan sebagai the International Bills of Human
Rights bersama dengan Universal Declaration of Human Rights dan the International
Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR). Keduanya telah menjadi bagian
dari hukum domestik dengan ratifikasi melalui Undang-undang No. 11 dan 12 Tahun 2005.
Dalam UUD 1945 ketentuan mengenai hak yang tak dapat dikurangkan dalam keadaan
apapun ini dimuat dalam Pasal 28I.
22
Petra Stockmann, The New Indonesian Constitutional Court: A Study into Its
Beginnings And First Years of Work, Hans Seidel Foundation, Jakarta, 2007, hal.20.

10
Manunggal K Wardaya

pemilihan umum (pemilu)yang free dan fairsebagaimana diatur


dalam Pasal 22E. Kini, kesemua anggota DPR dan DPD bahkan
Presiden dipilih oleh rakyat, kontras jika dibandingkan di masa
sebelum perubahan dimana ada sebagian kursi DPR yang diduduki
tanpa melalui Pemilu oleh militer dengan Fraksi ABRI-nya. Presiden
menurut UUD 1945 sebelum perubahan dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), memungkinkan kesenjangan
antara aspirasi rakyat di tingkat grassroot dan konstelasi politik
di tubuh MPR yang dengan sendirinya membuka peluang politik
transaksional23. Melalui pemilu yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil, sebenarnyalah diimplementasikan prinsip
rakyat mengatur dan memerintah dirinya sendiri. Dikatakan
demikian karena melalui wakil-wakilnya yang dipilih di DPR,
rakyat turut membentuk dan mewarnai undang-undang yang
akan berlaku mengikat bagi dirinya sendiri, suatu kewenangan
yang dimiliki DPR berdasar Pasal 20 ayat (1)24. Anggota-anggota
DPR dan anggota-anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu
secara otomatis menjadi anggota MPR yang memiliki kewenangan
mengubah dan menetapkan UUD.
Pemilu guna memiilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22C ayat (1) pula
adalah penyempurnaan terhadap Utusan Daerah yang dahulu
mengisi keanggotaan MPR tanpa melalui jalur pemilu. Sesuai

Lihat Moh Mahfud MD, Op.Cit., hal. 133.


23

24
Sebelum perubahan , kewenangan membentuk undang-undang dimiliki oleh
Presiden. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan
DPR” dan Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan “tiap-tiap undang-undang menghendaki
persetujuan DPR”. Setelah perubahan, rumusan Pasal 5 ayat (1) berbunyi “Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”. Dengan demikian telah
terjadi pergeseran kekuasaan substantif dalam kekuasaan membentuk undang-undang.
Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, Jakarta, hal. 135.
Lihat pula Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer
Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, 2010, Jakarta, hal. 3-5.

11
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Pasal 22D ayat (1) DPD memiliki kewenangan untuk mengajukan


rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
kekuasaan pusat dan daerah. DPD juga ikut membahas RUU
terkait Pasal 22D ayat (1) di atas serta memberikan pertimbangan
kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama25. Tidak hendak diingkari bahwa
kewenangan DPD dalam UUD 1945 hasil perubahan yang sekarang
berlaku masih banyak menimbulkan ketidakpuasan, terutama
karena kewenangannya yang-meminjam Mahfud MD-sumir26.
Lebih lanjut dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan
Presidensial, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia menurut
Pasal 6A ayat (1) dipilih secara langsung dalam satu pasangan oleh
rakyat27. Artinya siapapun pemegang kekuasaan pemerintahan di
Indonesia pada hakekatnya adalah pilihan dari rakyat itu sendiri.
Sekali terpilih dan dilantik, maka kewajiban presiden dan wakil
presiden harus dijalankan, sebagaimana telah diucapkan dalam
sumpah dan janji presiden dan wakil presiden yang tercantum
dalam Pasal 9 ayat (1) UUD 1945. Sistem Presidensial yang dianut
oleh Indonesia memang menghendaki agar seorang presiden dan
wakil presiden memegang jabatannya dalam masa waktu tertentu
(fixed term), membedakannya dengan sistem pemerintahan
parlementer. Namun, bukan berarti seorang presiden dan/
atau wakil presiden bisa semena-mena menjabat dan tidak bisa

25
Namun begitu DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut menetapkan sebuah
undang-undang sebagaimana dimiliki oleh DPR karena Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 telah
memberikan kewenangan itu pada DPR.
26
Ibid, hal.67. Dinyatakan oleh Mahfud, kewenangan konstitusional DPD tersebut
nyaris tak berarti jika dibandingkan dengan biaya politik dan proses perekrutannya yang
demokratis.
27
Ketentuan ini menunjukkan bahwa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah satu
kesatuan paket kepemimpinan.

12
Manunggal K Wardaya

diberhentikan dalam masa jabatannya. Kekuasaan presiden bisa


dipertanyakan manakala ia melakukan pelanggaran hukum
maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau
wakil presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD 194528.
Walau telah terpilih secara demokratis, seorang presiden dan/atau
wakil presiden dapat diusulkan untuk diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh DPR jika melakukan pelanggaran hukum dan
atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil
presiden29.
Sementara itu, kontrol terhadap kekuasaan presiden dan
DPR dalam pembentukan undang-undang diimbangi dengan
diberikannya kewenangan uji konstitusionalitas sebuah undang-
undang30/peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perpu)31terhadap undang-undang dasar (constitutional review)
kepada sebuah badan peradilan bernama Mahkamah Konstitusi
(MK). Tidak seperti dalam rejim UUD 1945 sebelum perubahan,
kini sebuah undang-undang maupun perpu dapat diujikan dan
bahkan sampai berimplikasi pada dinyatakan tidak mengikat oleh
MK jika dinilai bertentangan dengan konstitusi. Kewenangan
menguji baik formil maupun materiil sebuah produk perundang-

28
Syarat tersebut adalah bahwa calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus warga
negara Indonesia sejak kelahirannya. Selain itu, tidak pernah menerima kewarganegaraan
lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara
rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil
Presiden.
29
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Adapun syarat Presiden dan wakil
Presiden sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) kemudian dijabarkan lagi dalam
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
(LNRI tahun 2008 Nomor 76, TLN Nomor 4924).
Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.
30

31
Kewenangan MK untuk menguji Perpu tidak dijumpai secara ekpslisit dalam UUD
1945 maupun dalam UU MK. Namun begitu, melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009
MK menyatakan bahwa peraturan pemerintah pengganti undang-undang adalah pula
menjadi kewenangan MK untuk mengujinya. Selengkapnya mengenai ini bacalah
Manunggal K. Wardaya, “Perubahan Konstitusi Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi:
Telaah atas Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, Jurnal Konstitusi Vol. 7 No.2, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hal. 19-46.

13
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

undangan oleh MK ini penting sebagai imbangan atas kewenangan


konstitusional DPR dan Presiden dalam bidang legislasi, agar
pelanggaran hak konstitusional warga maupun HAM tidak terjadi
melalui instrumen hukum perundangan. Melalui lembaga MK ini,
sebuah muatan maupun keseluruhan undang-undang maupun
perpu yang bertentangan dengan konstitusi dapat saja dibatalkan,
yang berarti pula merupakan salah satu wujud perlindungan baik
hak konstitusional maupun hak asasi manusia.
Sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution),
MK juga diberikan kewenangan lain oleh UUD 1945 yakni
untuk memutus sengketa kewenangaan konstitusional lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD32, memutus
pembubaran partai politik33, dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilu34.
Selain empat kewenangan tadi, MK juga memiliki kewajiban
konstitusional memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil presiden35. MK
adalah peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final. Dalam konteks kewajibannya memutus pendapat
DPR, Putusan MK adalah putusan hukum, yang oleh karenanya
menghindarkan dari praktik ketatanegaraan masa lalu dimana

32
Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 08/PMK/2006 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Memutus Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga
Negara.
Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008
33

Tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.


34
Diatur Lebih Lanjut Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2006
Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
35
Pasal 24 C ayat (2). Hukum acara terkait kewenangan ini telah diatur dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 mengenai Pedoman Beracara Dalam
Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Pelanggaran Oleh Presiden Dan/
Atau Wakil Presiden.

14
Manunggal K Wardaya

pemberhentian presiden dilakukan dengan kekuatan politik.36


Cita negara madani dan demokratis nyata ada di dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Idee mengenai masyarakat madani dan demokratis yang tertuang
dalam Pembukaan bahkan dipertahankan untuk tidak dirubah
manakala bangsa ini melakukan reformasi konstitusi. Amandemen
konstitusi sejak 1999 bahkan menunjukkan komitmen kuat
bangsa yang semakin mengkristal untuk hidup bernegara secara
demokratis.
Jika Konstitusi adalah kesepakatan seluruh tumpah darah
Indonesia, seharusnyalah konstitusi menjadi acuan, menjadi
rujukan dalam setiap permasalahan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sebagai suatu keputusan politik tertinggi bangsa
Indonesai, konstitusi harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan
terutama sekali oleh para penyelenggara negara. Dengan demikian,
penyelesaian masalah dengan cara-cara yang inkonstitusional
tidak akan terjadi.
Konstitusi, tak terkecuali yang dimiliki oleh bangsa Indonesia
pada dasarnya membatasi kekuasaan negara, suatu aturan dasar
yang menjamin penikmatan hak dan kebebasan asasi manusia. Hal
ini karena hanya dalam negara yang menganut paham kedauatan
rakyat berdasarkan konstitusi sajalah akan diharapkan terpenuhinya
hak-hak warga negara dan hak asasi manusia. Terpenuhinya hak
dan kebebasan dasar manusia ini pada gilirannya akan membawa
kepada kesejahteraan dan keadilan, suatu cita dari masyarakt
madani.
Sebagai sebuah hukum dasar, konstitusi tentu terbuka
untuk adanya perubahan sepanjang memang dikehendaki oleh
rakyat. Adalah terpulang pada rakyat, sang pemilik kuasa, untuk

36
Meski demikian patut diingat bahwa MK tidak berwenang memberhentikan seorang
Presiden dan/atau Wakil Presiden jika terbukti melanggar hukum dan atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemberhentian adalah
kewenangan MPR sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UUD 11945.

15
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

menentukan way of life dalam kehidupan bernegara melalui


saluran konstitusionalnya. Namun sekali konstitusi itu berlaku
dan menjadi kesepakatan ia harus ditegakkan dan dijadikan rule of
the game. Jika tidak, ia, konstitusi itu hanyalah hiasan belaka yang
tidak pernah menemukan implementasi konkritnya.

Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Demokrasi


dan Masyarakat Madani, diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Terbuka (UT), 7 Juli
2011, Universitas Terbuka Convention Centre, Tangerang Selatan,
Jawa Barat.

16
Manunggal K Wardaya

2. SELAYANG PANDANG
LEMBAGA KEPRESIDENAN

A
mandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR
sejak 1999 hingga 2002 menghasilkan perubahan yang
signififikan terhadap hukum dasar penyelenggaraan
kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Perubahan konstitusi
sebagai tuntutan gerakan reformasi menyempurnakan  aturan
dasar kehidupan bernegara agar lebih demokratis, transparan,
berkeadilan, dan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan
jaman. Disadari oleh segenap elemen pro reformasi bahwa segala
penyimpangan kuasa di masa lalu terutama dalam kekuasaan
rejim Orde Baru Soeharto dan Demokrasi Terpimpin Soekarno
adalah disebabkan karena UUD yang menjadi pegangan penguasa
memang memiliiki berbagai kelemahan mendasar.
Kelemahan mendasar UUD tersebut sebenarnyalah telah
disadari oleh para penyusunnya sendiri. UUD 1945 merupakan
konstitusi yang temporer, yang bakal disempurnakan  jika bangsa
ini telah berada dalam suasana kehidupan bernegara yang lebih
tenang dan mapan. Pernyataan Soekarno dalam Pidatonya sebagai
Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam sidang
perdana PPKI tanggal 18 Agustus 1945 serta muatan Pasal II

17
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan rupanya tidak


ditindaklanjuti sebagaimana seharusnya. Konstituante yang telah
bersidang sejak 1956 dibubarkan oleh Soekarno sendiri dengan
sebuah keputusan Presiden yang diberi nama Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Seterusnya sejak 5 Juli 1959, suatu titik mula era yang
disebut sebagai Demokrasi Terpimpin, UUD 1945 disakralkan,
seolah perubahannya adalah sesuatu yang haram. Rezim Orde
Baru di bawah Presiden Soeharto melanggengkan pensakralan
ini.
UUD 1945 yang mengandung banyak kelemahan dalam
perjalanannya kemudian disadari adalah sumber dari korupsi,
kolusi, dan nepotismem dan berbagai pelanggaran hak asasi
manusia yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa,
menyimpang dari tujuan didirikannya pemerintahan negara
Indonesia. Oleh karenanya, gerakan reformasi yang berhasil
memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden segera
ditindaklanjuti dengan agenda reformasi yang utama yakni
amandemen UUD 1945. Perubahan UUD 1945 diarahkan kepada
penyempurnaan, bukan kepada perubahan total, apalagi mengganti
UUD 1945 dengan UUD yang sama sekali baru. Pembukaan UUD
1945 yang mengandung tujuan negara dan dasar negara Pancasila
sendiri disepakati untuk tidak dirubah.
Begitu banyak pasal yang mengalami perubahan, dan
berbagai lembaga negara juga mengalami perubahan kewenangan.
Ada lembaga negara baru dan ada pula yang dihilangkan. Lembaga
baru tersebut misalnya Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi.
Adapun Dewan Pertimbangan Agung adalah lembaga negara yang
dihilangkan dalam konstitusi kita.
Salah satu lembaga negara yang mengalami perubahan
pengaturan dalam UUD 1945 adalah lembaga kepresidenan. Tidak
saja hal ikhwal kewenangannya, berbagai hal terkait rekrutmen
dan pemberhentiannya pula mengalami perubahan. Makalah

18
Manunggal K Wardaya

ini secara singkat membahas mengenai lembaga kepresidenan


menurut UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan.  Bagaimana
kewenangan dan hak konstitusional Presiden sebagaimana diatur
oleh UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan konstitusi?
Menganut sistem pemerintahan presidensiil, Pasal 4 ayat (1)
UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan menurut undang-undang dasar. Pasal ini berkaitan
dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
undang-undang dasar. Artinya, Presiden Republik Indonesia juga
melaksanakan kedaulatan rakyat sebagai pelaksana kekuasaan
eksekutif. Presiden yang dalam melaksanakan kewajibannya
didampingi oleh seorang Wakil Presiden ini disebut sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif, alias yang melaksanakan
(execute) undang-undang. Tak seperti dalam Sistem Parlementer
dimana eksekutif (perdana menteri) adalah bagian dari legislatif
(parlemen), Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial 
bukanlah bagian dari legislatif. Presiden terpisah dari parlemen.
Sebelum perubahan UUD 1945, Presiden dipilih oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Presiden di masa lalu
adalah mandataris MPR, dan bertanggung jawab pada MPR. Ini
berkesesuaian dengan pandangan bahwa MPR adalah pelaksana
kedaulatan rakyat. Kini, menurut Pasal 6A ayat (2) UUD 1945
Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat
setelah sebelumnya diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilihan
umum. Adapun Pasal 6A ayat (3) menyatakan bahwa pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih
dari limapuluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum
dengan sedikitnya dua puluh lima persen suara di setiap provinsi
yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia
dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

19
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Lebih jauh, jika ketentuan dalam Pasal  6A ayat (3) tersebut tak
bisa dipenuhi, maka dua pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih
oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara
rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Dari rumusan Pasal 6A ayat (2) dan (4) diketahui bahwa pemilihan
Presiden disediakan untuk dua kali pemilihan. Pemilihan Presiden
hanya berlangsung satu ronde jika ketentuan Pasal 6A ayat (3)
terpenuhi. Jika tidak maka pemilihan akan terjadi dalam dua
ronde.
Adapun mengenai syarat presiden juga mengalami perubahan
dengan amandemen UUD. Pasal  6 UUD 1945 sebelum perubahan
menentukan Presiden adalah orang Indonesia asli. Persoalan yang
timbul adalah menentukan siapa yang dimaksud dengan orang
Indonesia asli itu. Hal ini karena syarat ini tidak lagi mudah
dipenuhi. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa,
dan seiring dengan perkembangan jaman dan arus globalisasi,
terjadi percampuran ras di kalangan masyarakat Indonesia.
Ada golongan Arab, Eropa, Asia, Jepang, dan lain-lainnya yang
hidup di Indonesia. Sejarah sendiri menyatakan bahwa bangsa
Indonesia adalah keturunan dari bangsa Yunan, yakni mereka
yang sebelumnya mendiami China.
Karena ketidakpastian ini, maka dirubahlah syarat Presiden
ini tidak kepada ras, namun kepada kewarganegaraan. Disebutkan
dalam Pasal 6 ayat (1) bahwa Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia haruslah warga negara Indonesia sejak kelahirannya,
dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena
kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta
mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden ini jika
dihubungkan dengan pasal mengenai pemberhentian Presiden

20
Manunggal K Wardaya

menemukan makna pentingnya. Hal ini karena salah satu alasan


bagi DPR untuk mengusulkan pemberhentian Presiden kepada
MPR adalah dengan menyatakan pendapat bahwa seorang Presiden
dan atau Wakil Presiden tak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan atau Wakil Presiden. Sebagai contoh, jika seorang Presiden
menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri di dalam
masa jabatannya, ia dapat diusulkan oleh DPR kepada MPR untuk
diberhentikan. Tentu saja, usul pemberhentian ini harus melalui
berbagai tahapan sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945.
Kewenangan Presiden yang mengalami perubahan cukup
berarti adalah soal kekuasaan membentuk Undang-undang.
Sebelum perubahan, kekuasaan membentuk undang-undang ada
pada tangan Presiden, yang didasarkan dahulunya karena anggapan
bahwa Presiden memiliki tenaga ahli yang lebih dalam menyusun
undang-undang. Kini, kekuasaan membentuk undang-undang
ada pada Dewan Perwakilan Rakyat. Namun begitu, Presiden tetap
berhak mengajukan Rancangan Undang-undang. Setiap RUU juga
harus mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan DPR.
Dan sebuah RUU jika telah mendapat persetujuan bersama untuk
berlakunya harus disahkan oleh Presiden. Walau demikian, sebuah
RUU yang telah disetujui namun tidak mendapatkan pengesahan
dari Presiden dalam waktu 30 hari, maka RUU itu berlaku menjadi
undang-undang.
Hal lain adalah berkaitan dengan masa jabatan Presiden. Kini
dtentukan tegas bahwa  Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipiilih
kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali jabatan.
Sebelumnya, rumusan mengenai masa jabatan Presiden ini begitu
multitafsir, hanya menyatakan bahwa Presiden Indonesia menjabat
selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan
ini dipakai oleh Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya
sehingga menjabat berkali-kali. Tentu saja, didudukinya jabatan

21
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

kekuasaan pemerintahan berulangkali berpotensi penyalahgunaan


kuasa yang terbukti sepanjang kekuasaan Orde Baru. Oleh
karenanya, guna menghindari terulangnya sejarah pahit negara
ini, kini UUD 1945 telah dengan tegas menentukan bahwa jabatan
presiden yang selama lima tahun itu dapat diduduki kembali hanya
untuk satu periode.
Tulisan singkat di atas tentu saja tidak mencakup secara
keseluruhan segala aspek mengenai lembaga kepresidenan menurut
UUD 1945. Ada berbagai macam kewenangan lain yang dimiliki
oleh Presiden seperti mengangkat duta dan konsul, menyatakan
perang, memberi tanda jasa, dan lain-lain yang tak disingggung
di sini. Namun pada intinya, segala macam kewenangan dan hak
konstitusional Presiden itu dimiliki sesuai dengan konstitusi. Sudah
barang tentu, berbagai aspirasi untuk menyempurnakan sistem
presidensial terus berkembang di dalam masyarakat. Namun,
aspirasi itu haruslah berada dalam koridor konstitusi. Mungkin
saja kelak akan terjadi perubahan UUD 1945 yang memperluas
atau bahkan mempersempit kewenangan Presiden. Hal demikian
mungkin dan sah saja selama dikehendaki oleh seluruh rakyat
melalui MPR sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk
merubah dan menetapkan UUD.

Makalah Disampaikan dalam Siaran Obrolan Konstitusi di


Radio Republik Indonesia Purwokerto tanggal 19 Agustus 2001

22
Manunggal K Wardaya

3. INDEPENDENSI CALON
PERSEORANGAN DALAM PILKADA

S
etelah sekian lama dibuat jenuh oleh performa partai
politik (parpol) yang selalu diwarnai politik uang dan
konflik tak berkesudahan, putusan Mahkamah Konstitusi
yang memungkinkan calon perseorangan dalam bursa pilkada
menimbulkan ekspektasi besar munculnya kepala daerah yang
memihak pada kepentingan rakyat banyak sebagai antitesis calon
berkendaraan partai yang kencang berbau politik uang. Terlepas
dari persoalan terkait dengan implementasi teknisnya yang masih
membutuhkan dasar hukum, ada pertanyaan sederhana yang layak
dikemukakan yakni seberapa jauh seorang perseorangan memberi
peluang terpilihnya kepala daerah yang tidak lagi terbelenggu
kepentingan sempit golongan, dan lebih berpihak pada rakyat
banyak? benarkah calon yang mengambil jalur perseorangan
adalah calon yang sepenuhnya bebas dari politik uang, yang
oleh karenanya boleh diasumsikan akan lebih murni perolehan
suaranya? Tulisan ini menyodorkan tiga (3) hal yang penting untuk
dicermati dalam mensikapi perkembangan termutakhir dalam
ketatanegaraan Indonesia berkaitan pemilihan kepala daerah yang
akhir-akhir ini ramai menjadi diskusi publik.

23
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Pertama, adalah benar bahwa dibukanya jalur perseorangan


dalam pilkada membuat seorang calon kepala daerah tidak lagi
harus dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol yang kerapkali
menimbulkan hutang politik dan kompromi platform politik. Akan
tetapi dibukanya jalur perseorangan juga tidak lantas menjadikan
seorang calon yang melaju melalui di dalamnya samasekali
bebas dari pengaruh, kepentingan, atau bahkan afiliasi dengan
parpol. Putusan MK memang mengakhiri legitimasi privilege
parpol dan atau gabungan parpol sebagai satu-satunya jalur
sah bagi seorang warga negara untuk bertarung dalam pilkada,
namun tidak menutup kemungkinan adanya seorang calon yang
menempuh jalur perseorangan, padahal sebenarnya calon tersebut
adalah utusan parpol atau setidaknya berafiliasi dengan parpol.
Menyadari bahwa dirinya bukan lagi satu-satunya pintu masuk
ke kursi kepala daerah, parpol tidak akan kekurangan akal untuk
secara informal membina kadernya lewat jalur perseorangan.
Dalam konteks ini, sesungguhnya parpol tetap memiliki posisi
tawar yang tinggi sebagai sarana rekrutmen politik terkait dengan
restu yang dimilikinya. Potensi parpol atau koalisi parpol dalam
memobilisasi dukungan di tingkat akar rumput terhadap ‘calon
bunglon’ dan konfigurasinya di parlemen lokal tak ayal akan tetap
memaksa kepala daerah terpilih memberikan konsesi tertentu
terhadap parpol jika nantinya terpilih.
Kedua, dimungkinkannya calon perseorangan tidak serta
merta memberi justifikasi atas ekspektasi besar akan bersihnya
seorang calon kepala daerah dari politik duit. Jika sebelumnya ada
sinyalemen yang mengatakan bahwa untuk naik kendaraan parpol
orang perlu membayar tiket yang cukup mahal untuk disetor ke
kas parpol, kini terjadi pergeseran kecurigaan bahwa uang tidak
lagi dimobilisasi ke parpol, namun langsung ke konstituen. Modus
operandinya lazim dikenal dalam berbagai pemilihan kepala
desa: memobilisasi massa untuk memilih calon tertentu, dan jika

24
Manunggal K Wardaya

suatu daerah pemilihan dapat mengumpulkan suara sebagaimana


diinstruksikan, barulah ‘tanda terima kasih’ diberikan. Dalam
kasus calon perseorangan yang maju adalah adalah ‘calon bunglon’
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, politik uang akan
mengalir ke dua arah; parpol dan voters.
Ketiga, dibukanya jalur perseorangan pada satu sisi amat
positif untuk mereduksi peluang pemerasan parpol terhadap
seorang calon, namun di sisi lain berpotensi menggeser aktor
utama politik uang yakni tidak lagi parpol namun calon kepala
daerah perseorangan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ajang
pilkada tak lepas dari keterlibatan tangan-tangan halus pemilik
modal yang siap mendanai calon yang diprediksi akan friendly
terhadap kepentingan bisnis mereka jika kelak terpilih. Jika selama
ini kontak dan kontrak politik banyak dibina dengan parpol, kini
para pemilik modal akan lebih leluasa untuk melakukan deal-
deal tertentu dengan calon perseorangan. Sekali kontrak tercapai,
komitmen dana tak terbatas yang disediakan oleh pemodal akan
sangat membantu mengatasi keterbatasan calon perseorangan
dalam mengatasi biaya politik yang harus ditanggungnya. Pada
gilirannya jika calon perseorangan ini terpilih, komitmennya
dalam menyelenggarakan pemerintahan menjadi tidak perlu
dipertanyakan lagi alias sudah jelas; tidak berpihak pada yang tak
berpunya, lemah, dan terpinggirkan.
Bertolak dari tiga spekulasi sebagaimana dikemukakan di
atas, bagaimana strategi untuk meminimalisir korupsi dalam
pilkada yang sebenarnya telah semakin didemokratiskan oleh
Mahkamah Konstitusi? Tidak lain adalah dengan meningkatkan
kontrol dari masyarakat melalui berbagai dialog publik. Organisasi-
organisasi pengawas pemilu, elemen-elemen masyarakat seperti
akademisi, NGO, dan mahasiswa, serta siapapun yang peduli
pada demokratisasi negeri ini melalui pemilu yang bersih harus
turut serta mengawasi pilkada mulai dari tahap sosialisasi hingga

25
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

penghitungan suara. Jejak rekam masing-masing calon harus


diinventarisir dan disodorkan pada publik sehingga nantinya
publik benar-benar mengetahui siapa calon yang akan dipilihnya.
Media massa sebagai wadah komunikasi sosial dituntut untuk
mampu mengupas dan mengekspos jejak rekam seorang kandidat
dan komitmennya terhadap pemerintahan yang bersih. Tugas
ini tidak mudah, karena sosialisasi dan kampanye calon kepala
daerah sudah dipastikan akan sangat memanfaatkan media lokal
yang dalam perspektif bisnis dapat diterjemahkan sebagai peluang
pemasukan yang besar di tengah persaingan ketat bisnis media.
Di sini komitmen dan independensi media dalam menjalankan
fungsi kontrol sosial benar-benar ditantang untuk tidak sekedar
mengabdi pada kepentingan ekonomi sehingga justeru semata
menjadi humas calon kepala daerah yang memiliki jejak rekam
kelam.
Dengan kawalan dan pengawasan aktif masyarakat dan
media, dihasilkannya kepala daerah yang memiliki komitmen
kuat terhadap kepentingan rakyat dalam pilkada yang melibatkan
calon perseorangan menjadi dapat diharapkan. Selain itu, jika
pilkada yang melibatkan calon perseorangan nanpu menciptakan
persaingan politik yang sehat dalam pemilu yang bersih dan jurdil,
maka calon perseorangan dalam pilkada dapat menjadi menjadi
model yang bisa diterapkan dalam pemilihan presiden yang setakat
ini masih dalam tataran wacana. Namun jika calon perseorangan
berikut segala asumsi dan mitos yang serba positif diterima begitu
saja, maka putusan MK yang membuka kesempatan bagi calon
perseorangan hanya akan memunculkan inovasi baru berkorupsi
secara periodik dan bukannya menjadi alternatif segar bagi calon
non-parpol dalam menjawab kebuntuan aspirasi yang selama ini
dirasakan.

Dimuat di Harian KOMPAS Jawa Tengah 20 Agustus 2007

26
Manunggal K Wardaya

4. PILKADA DAN KONTRAK SOSIAL

P
emerintah berasal dari persetujuan dari yang diperintah,
demikian ajaran salah seorang pemikir liberalisme Barat
John Locke (1632-1704) pada abad XVIII. Tidak saja
membangkrutkan sistem pewarisan kepemimpinan politik
patriarkis secara turun temurun yang pada masanya diakui sebagai
yang tersahih, Locke pula mewanti bahwa barangsiapa penguasa
yang kemudian terbukti tidak mampu, tidak mau, atau malahan
ingkar kepada kewajiban asasinya melindungi hak dan kebebasan
dasar rakyat, maka ketidakmauan, ketidakmampuan, dan
keingkaran semacam itu merupakan pembenaran (justification)
bagi rakyat untuk melengserkannya.
Memberi inspirasi pada Thomas Jefferson sang perumus
Declaration of Independence (1776) di Amerika, pemikiran Locke
mengilhami pula Rousseau (1712-1778) yang menyatakan bahwa
kesepakatan masyarakat adalah dasar legitimasi kekuasaan diantara
manusia (conventions form the basis of all legitimate authority
among men). Karena eksistensi penguasa sesungguhnyalah berasal
dari kesepakatan rakyat maka penguasa mempunyai tugas asasi
melindungi hak dan kebebasan rakyat, sang pemilik kekuasaan

27
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

tertinggi. Pada saat yang bersamaan, sepanjang generasinya


rakyat mempunyai hak untuk menerima atau menolak kekuasaan.
Pada konstruksi pemikiran yang mendasari relasi normatif
penguasa-rakyat inilah paham perjanjian masyarakat menemukan
relevansinya untuk direnungkan kembali di tengah semakin
hangatnya suhu politik Jawa Tengah menjelang serangkaian
hajatan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan digelar
pada 2008 ini. Dalam berbagai kesempatan yang mendahului
berbagai pemilihan pejabat publik di tanah air, beberapa
kalangan masyarakat mencoba mentransformasi ajaran perjanjian
masyarakat menjadi suatu perjanjian konkret hitam-putih lengkap
dengan materainya dan atau kertas segel sebagaimana perjanjian/
kontrak yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Media
memberitakan para calon kepala daerah yang ditantang partai
politik atau sekelompok masyarakat untuk berani menandatangani
perjanjian yang kemudian populer dengan istilah kontrak politik.
Ide untuk merealisasikan perjanjian masyarakat ke dalam suatu
perjanjian dengan format a la perjanjian perdata pula didukung
dan dilontarkan beberapa pakar dan pengamat dengan maksud
agar perjanjian tersebut lebih dapat lebih terjamin pemenuhannya
secara hukum. Mereka yang menolak berargumen bahwa
kewajiban untuk menandatangani kontrak seperti itu tidak diatur
dalam hukum. Akan halnya mereka yang menyetujuinya lebih
melihat pada spirit kontrak yang mengarah pada kebaikan yang
telah menjadi common sense, tentu saja dengan segala skenario
dan kalkulasi politik yang tak selalu diungkapkan.
Dalam konteks politik, kontrak politik yang disusun untuk
kemudian disodorkan oleh masyarakat dan parpol terhadap calon
kepala daerah barangkali adalah sesuatu yang dipandang wajar
saja untuk dilakukan. Namun demikian patutlah kiranya diingat
bahwa perjanjian sosial sebagaimana dicitakan oleh para teoritisi
perjanjian masyarakat tidaklah dimaksudkan sebagai perjanjian

28
Manunggal K Wardaya

dalam maknanya yang literal sebagai legal contract sebagaimana


lazim dikenal dalam lapangan hukum keperdataan (private law).
Kalaupun perjanjian semacam itu ada, maka ia tidak lantas serta
merta dapat disebut sebagai manifestasi kesepakatan rakyat-
penguasa dalam konteks rekrutmen kepala daerah. Keterlibatan
segelintir orang/kelompok dalam masyarakat sebagai perumus
dan pihak dalam kontrak/perjanjian dengan sendirinya akan
merapuhkan klaimnya sebagai perjanjian masyarakat manakala
kontrak semacam itu hendak diandaikan sebagai titik temu antara
satu calon penguasa dengan rakyat secara keseluruhan.
Alih-alih memaknainya secara literal, tulisan ini hendak
merekonstruksi ide perjanjian masyarakat sebagai sebuah proses
berkesinambungan dalam pemerintahan demokrasi yang pada
tatarannya yang lokal diawali melalui pilkada. Bagi warga, pilkada
adalah momen untuk menimbang dan menentukan siapa diantara
para calon kepala daerah yang pantas dijadikan pemimpin,
calon mana diyakini bersedia mengabdikan dirinya untuk
mensejahterakan warga dan tak hendak mengambil untung dari
jabatan yang akan diembannya. Bagi para calon, rangkaian pilkada
adalah momen untuk meyakinkan warga bahwa merekalah pihak
yang paling tepat untuk dipilih karena kapabilitas, kapasitas, dan
komitmennya untuk memenuhi apa yang menjadi aspirasi warga.
Manakala sebagian besar warga menjatuhkan pilihannya pada
calon tertentu, pada saat itulah sebenarnya terjadi pertemuan
kehendak antara warga dan calon, suatu kontrak sosial yang
meneguhtegaskan paham kedaulatan rakyat.
Oleh karenanya, sejak hari pertama menjabat para kepala
daerah harus melakukan konkretisasi segala apa yang telah
diperjanjikannya dalam kampanye dengan segala hak dan
kewenangan yang dimilikinya. Pada saat yang bersamaan para
wakil warga di parlemen melaksanakan fungsinya yang utama
yakni mengawasi (controlling) jalannya pemerintahan dan

29
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

memastikan bahwa sang kepala daerah tidak melenceng dari apa


yang pernah diperjanjikannya dalam kontrak yang telah disetujui
warga. Sementara itu warga tetap memiliki hak untuk melakukan
kontrol terhadap kekuasaan melalui media massa dan unjuk rasa;
sesuatu yang menjadi ciri suatu pemerintahan konstitusional
dimana kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan
pendapat dijamin kukuh dalam hukum dasar (constitution).
Hasil penilaian warga akan menentukan keberlangsungan
kontrak kepala daerah dan warga. Jika prestasinya dalam memenuhi
kontrak memuaskan, bisa jadi seorang kepala daerah akan
dipercaya kembali dalam pemilihan berikutnya. Jika tidak, warga
akan meninggalkannya dan mencari alternatif pemimpin baru
sebagai gantinya. Bahkan jika seorang kepala daerah nyata-nyata
mengingkari kewajibannya sebelum masa kepemimpinannya usai,
ia akan dianggap menyalahi kontrak yang dapat mengakibatkan
batalnya kontrak tersebut dan diberhentikannya ia dari jabatannya
sebagai kepala daerah.
Dalam konteks hajatan pilkada yang akan mewarnai Jawa
Tengah pada 2008 ini, menjadi penting untuk menginsyafi hakekat
pilkada sebagai perjanjian masyarakat sebagaimana diuraikan di
atas, sehingga warga tidak sesat dalam memilih tawaran kontrak
dari para calon kepala daerah yang hendak disetujuinya. Informasi,
track record, maupun kritik tentang para calon berikut tawaran
kontraknya perlu seluas-luasnya dibuka dan diwacanakan, sesuatu
yang menuntut peran aktif nan sinergis warga yang berkesadaran
dan media yang pro publik. Dengan demikian masyarakat tidak
akan mudah terbujuk untuk memilih kepala daerah yang tawaran
kontraknya tak lebih dari sekedar jargon dan pepesan kosong dan
tak dapat diharapkan mampu memecahkan masalah-masalah
konkret yang dihadapi warga.

Dimuat di Harian KOMPAS Jawa Tengah 28 Januari 2008

30
Manunggal K Wardaya

5. MEWUJUDKAN POLRI YANG


DIMILIKI, DICINTAI, DAN
DIBANGGAKAN MASYARAKAT

D
imanakah Polisi ketika lampu lalu lintas mati di
Purwokerto akhir-akhir ini? 085625786xx

SMS di atas adalah salah satu pesan pendek yang dimuat di


kolom Suara Warga Harian Kompas Edisi Jawa Tengah, Sabtu 14
Juni 2008 halaman L. Isinya begitu menggelitik. Sang pengirim
seolah gusar dan mempertanyakan polisi yang tak ada di saat ia
seharusnya ada. Secara tersirat pengirim SMS menggugat polisi
yang selalu ada manakala kehadirannya justeru tidak lebih
dibutuhkan (dalam konteks SMS di atas adalah ketika lampu
lalulintas berfungsi normal). SMS tersebut terbaca begitu singkat
namun begitu kaya makna. Ia merefleksikan citra Polisi sebagai
sosok yang kehadirannya begitu dinanti dan ditunggu, namun
pada kesempatan yang lain acapkali menjadi sosok yang dibenci.
Polisi yang dikenal dengan seragam cokelat dan sepatu hitamnya
ternyata mempunyai citra yang beragam dalam benak masyarakat.
Justeru karena itulah polisi selalu menarik untuk diperbincangkan.
Saya hendak mendiskusikan citra polisi melalui sebuah kisah yang
benar-benar pernah terjadi di bawah ini.

31
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Pada suatu haridi paruh akhir 2007, di sebuah titik di tengah


sebuah kota di Jawa Tengah, sebuah bus Antar Kota Antar Propinsi
(AKAP) berhenti di tempat di mana jelas-jelas terpasang tanda
larangan berhenti. Tentu saja bus tersebut bukanlah yang pertama
kali berhenti dan mencari penumpang di sana. Ada puluhan
busyang melakukan halyang sama setiap harinya dari pagi, petang
hingga larut malam. Dari arah Purwokerto, puluhan bus baik
besar maupun kecil berlomba mempertaruhkan keselamatan
diri maupun orang lainberkejaran mencapaitempat itu terlebih
dahulu. Tujuannya satu; meraup penumpang yang begitu banyak
menunggu di situ. Tempat itu memang dikenal sebagai terminal
bayangan, karena memang sesungguhnya ia tak diperuntukkan
untuk menaikkan maupun menurunkan penumpang. Badan
jalan yang sempit membuat laju kendaraan lain terhambat karena
separuh badan jalan dipakai oleh bus-bus berbadan besar yang
berhenti di sana.
Tak jauh dari tanda larangan dimana bus itu berhenti, terdapat
pos polisiwalau tak terlihat karena tertutup jalan menikung. Polisi
tak selalu mengawasi daerah itu, dan oleh karenanya tak heran jika
para pengemudi selalu membandel menghentikan kendaraannya
di terminal bayangan itu. Namunhari itu bukan hari yang baik bagi
sang pengemudi bus AKAP dan awaknya. Seorang polisi muda,
berbadan besar tegap menghampiri ketika bus tengah diparkir
tepat di depan tanda larangan berhenti. Polisi itu menegur sopir.
Nada bicaranya tinggi, murka kepada seorang yang seusia dengan
ayahnya sendiri.
Sang sopir berusaha menjelaskan, dan mengakui bahwa ia
bersalah telah berhenti di tempat yang tak seharusnya. Polisi muda
tersebut tak ambil peduli. Ia terus marah dan berkata-kata dengan
nada tinggi walau kondektur turut turun tangan dan berusaha
meminta maaf seraya berjanji tak akan mengulangi hal itu lagi.
Polisi muda itu meminta keduanya, sopir dan kondektur untuk

32
Manunggal K Wardaya

menuju ke pos. Surat-surat kendaraan ia bawa. Sampai di sini,


seluruh penumpang bergumam. Gumam yang satu menyatakan:
“paling-paling minta duit”. Gumam yang lain “kasih uang aja,
nanti kan selesai.” Berbagai gumam para penumpang bukannya
tanpa dasar. Pengalaman membimbing mereka kepada cara pikir
seperti itu. Dan setiap mata penumpang kembali mengawasi dari
dalam bis AKAP tersebut, ada yang melongokkan kepalanya, dan
beberapa bahkan ikut turun menyaksikan jalannya peristiwa.
Sampai di depan pos penjagaan, sang polisi kembali
menumpahkan kekesalannya pada sopir dan kondektur. Dalam
bahasa Jawa ia berkata kira-kira seperti ini “Anda sudah tahu
bahwa di sini ada tanda larangan untuk berhenti, tapi anda masih
saja ngetem di tempat itu.” Ia kemudian menegaskan bahwa bus-
bus yang berhenti di situ benar-benar mengganggu kelancaran
berlalu lintas.Barangkali merasa dikejar waktu karena perjalanan
masih jauh, kondektur mengeluarkan uang duapuluh ribu untuk
kemudian disodorkannya pada polisi tersebut. Pemandangan
ini terlihat oleh semua saja para penumpang yang sedari awal
menyaksikan dari dalam bus. Para penumpang kembali bergumam,
dan berharap permasalahan ini akan selesai sehingga perjalanan
kembali dapat dilanjutkan. Namun di luar dugaan, polisi muda
yang wajahnya memerah itu menampik uang yang disodorkan sang
kondektur. Para penumpang yang menyaksikan menjadi terkejut
dan menyangka bahwa uang sejumlah itu kurang. Namun dugaan
penumpang salah. Polisi muda itu dengan cepat memasukkan uang
kertas itu kembali pada saku baju sang kondektur sambil berkata:
“Saya butuh uang, namun saya bukan polisi yang bisa dibeli Pak.”
Ia memandang wajah sang kondektur dengan tajam. Kepada
kondektur itu ia berkata keras bahwa menyuap petugas adalah
pula pelanggaran hukum dan ia bisa memperkarakan hal ini.
Menyadari kesalahannya kondektur menghiba minta ampun serta
berjanji tak akan mengulangi lagi. Sang sopir juga memohon maaf,

33
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

karena belakangan diketahui setelah diperiksa surat-suratnya,


ternyata SIM yang ia miliki sudah lampau waktu. Pada sang
polisi keduanya memohon maaf dan kebijakan atas kesalahannya.
Walaupun kemarahannya kemudian bertambah karena usaha
penyuapan, polisi muda itu kemudian kemudian mempersilakan
sopir dan kondektur melanjutkan perjalanan setelah mencatat
nama dan nomor kendaraan bus itu serta mengancam jika suatu
saat terbukti membandel lagi ia akan mengambil tindakan tegas.
Semua penumpang yang menyaksikan peristiwa itu menarik nafas
lega karena permasalahan bisa diselesaikan. Tak henti-henti para
penumpang memuji sang polisi muda, kendati bus telah semakin
jauh berlalu meninggalkan tempat itu. Peristiwa itu, kejadian
singkat itu memang hanya sebuah peristiwa kecil, namun begitu
membekas di benak mereka yang menyaksikantermasuk saya,
salah satu penumpang bus AKAP tersebut.
Tindakan polisi yang menunjukkan kemarahannya pada
masyarakat sebagaimana ditunjukkan dalam kasus di atas tentunya
amat disayangkan. Sebagai abdi masyarakat, ia mestinya memahami
paradigma polisi sebagai pelayan dan pengayom masyarakat dan
bukan sebaliknya minta dilayani dan dihormati masyarakat. Etika
dan sopan santun harus dikedepankan dalam melaksanakan tugas.
Akan lebih baik jika polisi tadi mendekati awak bus dan melakukan
tindakan persuasif sekalipun ia menengarai adanya dugaan
pelanggaran hukum. Ini berkesesuaian dengan  Code of Conduct
for Law Enforcement Official (General Assembly Resolution
34/169 of 17 December 1979) yang menyebutkan bahwa  in the
performance of their duty, law enforcement officials shall respect and
protect human dignity and maintain and uphold the human rights
of all persons. Namun demikian terlepas dari kelemahan yang
manusiawi sifatnya itu, peristiwa di atas memiliki arti yang tidak
kecil dalam pembentukan citra polisi di masyarakat. Peristiwa di
atas telah menggugurkan generalisasi yang selama ini melekat di

34
Manunggal K Wardaya

benak bahwa semua polisi berperilaku tidak profesional dan tidak


bersih dari KKN. Sisi kelemahan sang polisi muda tertutup dengan
profesionalitas yang ditunjukannya. Tidak ada satu penumpangpun
yang memprotes tindakannya memarahi sopir dan kondektur.
Sebaliknya semua orang memuji sang polisi muda tadi. Sosok
polisi muda yang tak mau menerima uang suap itu seolah sosok
yang selama ini dirindukan kehadirannya yang selama ini dinanti-
nanti.
Dari kasus di atas menarik dipertanyakan adalah mengapa
ada polisi yang mampu menjaga profesionalisme dengan tidak
menerima suap seperti sang polisi muda tadi, dan mengapa ada
kalanya banyak polisi yang justeru mengambil kesempatan untuk
keuntungannya sendiri? Tulisan ini meyakini setidaknya ada tiga
(3) faktor yang berperan dalam menentukan profesionalisme
seorang polisi.
Pertama, adalah faktor  human resources  atau sumber daya
manusia (SDM). Membicarakan SDM kita tak bisa melepaskan diri
dari proses rekrutmen anggota polisi. Hanya melalui rekrutmen
yang baik dan transparant lah dapat diharapkan dihasilkannya
anggota polisi yang baik. Sayangnya, seakan telah menjadi
rahasia umum di masyarakat bahwa jika ingin menjadi polisi,
orang haruslah menyetor sejumlah uang tertentu kepada para
pengambil kebijakan rekrutmen. Jika tidak, niscaya akan sangat
sulit memasuki dunia kepolisian. Memang selalu ada tempat
bagi polisi yang benar-benar direkrut berdasar prestasi, namun
tempat untuk itu begitu terbatasnya. Selebihnya rekrutmen lebih
didasarkan pada kemampuan finansial. Model seperti ini mau
tak mau menyingkirkan mereka yang sesungguhnya ingin benar-
benar menjadi abdi masyarakat dengan sebaik-baiknya namun tak
memiliki biaya yang cukup. Di sisi lain, rekrutmen yang masih
berbau uang seperti ini memaksa para polisi junior untuk berfikir
secara ekonomis manakala ia telah bertugas. Ia akan berupaya

35
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

untuk mengembalikan modal yang telah digunakannya secepat


mungkin. Memasuki dunia kepolisian bagi polisi yang memasuki
karir melalui cara demikian menjadi tak ubahnya memasuki dunia
dagang. Ini tentu bukan sesuatu yang baik, karena polisi bekerja
bukan berdasar logika untung rugi, akan tetapi tugas dan tanggung
jawab sesuai dengan Visi Misinya.
Kedua, adalah faktor keteladanan. Pendidikan dan latihan
di bidang kepolisian telah dirancang sedemikian rupa untuk
membentuk seorang warga negara menjadi polisi yangmampu
menjalankan tugasnya sebagai abdi masyarakat. Namun demikian,
apa yang sudah diterima dalam tahap pendidikan dan latihan
itu tidaklah dengan serta merta akan membentuk karakter
seorang polisi yang diidealkan. Seorang polisi terikat oleh hirarki
komando yang ketat. Dalam konteks relasi bawahan dan atasan
ini,keteladanan memegang peranan penting dalam pembentukan
watak seorang polisi. Jika sang atasan tak mampu memberikan
teladan yang baik, ia akan ditiru oleh anak buah, atau setidaknya
menjadi justifikasi bagi polisi muda bahwa senior mereka pun
melakukan hal yang sama. Masyarakat mempunyai caranya sendiri
yang unik untuk mengidentifikasi profesionalisme polisi terkait
dengan keteladanan ini. Manakala terjadi pergantian pimpinan
namun penyakit masyarakat seperti judi, miras dan prostitusi
tetap marak, masyarakat akan menyimpulkan bahwa jajaran
pimpinan di kepolisian pastilah bermain mata dengan pelaku
penyakit masyarakat. Namun sebaliknya jika penyakit masyarakat
tidak banyak berkembang atau setidaknya dapat diminimalisir
akan disimpulkan bahwa pimpinan polisi pastilah mempunyai
profesionalitas yang tinggi.
Ketiga  adalah berkaitan dengan faktor kedisiplinan.
Membicarakan kedisiplinan polisi akan terkait erat dengan
prosedur dan mekanisme pemberian sanksi kepada mereka
yang terbukti tidak profesional dalam menjalankan tugasnya.

36
Manunggal K Wardaya

Pemberian sanksi tentunya disesuaikan dengan berat ringannya


kesalahan dan memperhatikan tujuan pemberian sanksi, yakni
efek jera bagi yang melanggar maupun sebagai peringatan bagi
anggota polisi yang lain. Kejadian dimana polisi mengonsumsi
narkoba, perselingkuhan dua (2) Kapolsek sebagaimana terjadi
di Sleman, Yogyakarta, bahkan polisi menjadi otak kriminalitas
sebagaimana terjadi di Surabaya dimana polisi menjadi otak uang
palsu (Antara, 15 Juni 2008)   ditengarai karena selama ini tidak
ada penegakan disiplin yang memadai. Berkaitan dengan disiplin,
polisi tidak bisa melepaskan diri dari partisipasi masyarakat.
Pengaduan masyarakat harus dibuka sehingga pengawasan tidak
saja bersifat internal, melainkan eksternal.·
Sebagai suatu institusi penegak hukum dalamnegara yang
demokratik, lembaga kepolisian termasuk jajaran Polwil Banyumas
dituntut untuk terus menegaskan dirinya sebagai abdi masyarakat.
Hal ini dilakukan dengan meningkatkan mutu pelayanan
kepada masyarakat, memperluas partisipasi masyarakat, dan
meningkatkan akuntabilitas terhadap publik. Untuk meningkatkan
kinerja dan profesionalisme terkait mutu pelayanan, pembenahan
dalam hal rekrutmen dan pengawasan mutlak dilakukan. Dalam
hal rekrutmen, perlulah diperhatikan hak atas akses yang sama
dari warga negara untuk memasuki sektor pelayanan publik (right
of equal access to public service). Sebagaimana ditegaskan oleh High
Commissioner for Human Rights (1997),  rekrutmen tidak boleh
melibatkan pembedaan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin
dan agama. Komisioner Tinggi HAM PBB juga menyatakan
bahwa dalam rekrutmen polisi, satu-satunya hal yang menjadi
pertimbangan haruslah kualitas dan kualifikasi calon polisi dan
jumlah lowongan yang tersedia.
Sementara itu dalam rangka meningkatkan disiplin, tak
boleh dilupakan pula untuk membuka seluas-luasnya askses
bagi masyarakat yang hendak menyampaikan pengaduan terkait

37
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

disiplin anggota. Ini akan menjadi penyelaras dan penyeimbang


pengawasan dalam rangka penegakan disiplin yangyang internal
sifatnya. Polisi harus terbuka dengan pengaduan masyarakat dan
menghilangkan kesan bahwa kepolisian adalah suatu lembaga
yang menyeramkan yang tidak bisa dikritisi.
Polisi juga harus memiliki sikap proaktif (proactive policing)
dalam menghadapi situasi kamtibmas tertentu. Pengamatan
penulis, setelah dimuatnya SMS warga di Harian Kompas Edisi Jawa
Tengah pada hari Sabtu 14 Juni 2008 yang mengeluhkan ketiadaan
polisi di berbagai persimpangan jalan, baru pada hari Senin 16 Juni
2008 terlihat polisi yang berjaga dan mengatur lalu lintas di seputar
kota Purwokerto. Bahwa polisi berjaga ketika lampu lalu lintas
mati adalah sesuatu yang patut kita apresiasi, namun disayangkan
bahwa tindakan polisi yang mengatur lalu lintas ketika listrik
padam lebih terkesan sebagai tindakan yang reaktif, yakni setelah
adanya kritik masyarakat melalui media massa terlebih dahulu.
Bukankah sudah sangat jelas bahwa ketiadaan lampu lalu lintas
berpotensi menimbulkan ketidaktertiban dan seharusnya polisi
proaktif berjaga di persimpangan jalan sebagaimana dilakukan
ketika situasi normal?
Terkait dengan pengawasan dan dalam rangka  community
policing, di era kebebasan informasi seperti sekarang, sudah
saatnya pula polisi membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat
baik bagi mereka yang membutuhkan pelayanan maupun,
mereka yang hendak mencari atau menyampaikan informasi.
Era teknologi informasi yang memungkinkan manusia untuk
saling berinteraksi tanpa hambatan fisik semestinya benar-benar
dimanfatkan bagi Polwil Banyumas untuk meningkatkan kinerja
dan profesionalitasnya. Sayangnya hal ini belum dilakukan secara
optimal oleh Polwil Banyumas, setidaknya hingga tulisan ini dibuat
tidak ada situs resmi Polwil Banyumas ketika penulis melakukan
pencarian (searching) melalui media internet. Ini komunikasi

38
Manunggal K Wardaya

dengan polisi baik yang terkait dengan kamtibmas maupun


yang pengaduan masih harus dilakukan secara konvensional.
Ini tentunya tidak menguntungkan karena warga masyarakat
menemui kesukaran untuk mengakses informasi atau bahkan
memberi informasi yang bisa jadi amat berguna bagi polisi itu
sendiri. Di era keterbukaan ini hal tersebut nampaknya sudah tak
lagi relevan dan sudah semestinya segera dilakukan perbaikan.
Pada akhirnya, bagaimanapun masyarakat mengharapkan
polisi yang semakin profesional dan mumpuni dalam melaksanakan
tugasnya. Telah disadari bahwa sebagai salah satu pilar penegakan
hukum, polisi tidaklah dapat berdiri dan bekerja sendiri, namun
akan senantiasa membutuhkan peran serta masyarakat. Oleh
karenanya, polisi, khususnya Polwil Banyumas tidak saja harus terus
menjaga hubungan dengan masyarakat sebagai basis dari kinerja
yang optimal, akan tetapi membuka akses yang seluas-luasnya bagi
keikutsertaan warga masyarakat. Hanya dengan keterbukaan dan
dan paradigma sebagai pelayan masyarakatlah Polisi akan selalu
dimiliki, dicintai, dan dibanggakan oleh masyarakat. Selamat
Ulang Tahun!

Tulisan ini dinobatkan sebagai Juara II pada lomba karya


tulis dalam rangka Hari Bhayangkara yang diselenggarakan oleh
Polres Banyumas pada tahun 2008

39
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

6. PEMBATASAN HAK BERIBADAH:


KASUS SYEH PUJI

P
ujiono Cahyo Widianto yang luas dikenal sebagai Syeh
Puji akhirnya divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri
Semarang (SM 25/11). Dijatuhi pidana penjara selama
4 tahun dan denda 60 juta rupiah karena persetubuhan dengan
anak di bawah umur sebagaimana termaktub dalam Pasal 81 UU
No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, putusan tersebut
seolah angin sejuk bagi perlindungan anak di Indonesia. Setelah
melalui proses  pro justitia  yang penuh lika liku yang diwarnai
ulah kontroversial Pujiono yang membuat penjara nikah siri di
kompleks tempat tinggalnya, putusan tersebut menegaskan bahwa
apa yang dilakukan pengusaha asal Bedono, Semarang tersebut
adalah perbuatan melawan hukum. Tulisan ini menelaah secara
singkat penjatuhan pidana tersebut dari perspektif hukum hak
asasi manusia.
Sebagaimana diketahui, dalam berbagai kesempatan Pujiono
berusaha menunjukkan bahwa pernikahannya dengan Ulfa
tidaklah diwarnai dengan unsur paksaan. Puji bahkan pernah
mendalilkan bahwa perkawinannya dengan Ulfa adalah bagian
dari ibadah, statement mana sontak mendapat tentangan dari

40
Manunggal K Wardaya

kalangan muslim (antara lain pada waktu itu Ketua Umum PBNU
KH Hasyim Muzadi serta cendekiawan Jalaluddin Rahmat).
Namun demikian, tak urung klaim Pujianto tersebut menarik
untuk dikaji: jika beribadah adalah salah satu hak dasar manusia,
dan jika perkawinan diklaim sebagai bagian dari ibadah, adakah
justifikasi bagi negara untuk membatasi penikmatannya dengan
mengenakan pidana? Ataukah sebaliknya; hak beribadah bersifat
mutlak sehingga tiada mengenal pembatasan sehingga seharusnya
ia tak perlu dijatuhi pidana?
Menyatakan agama (to manifest religion) atau yang kita kenal
sebagai beribadah adalah hak yang diakui tegas dalam berbagai
instrumen HAM baik internasional maupun nasional. Pasal 18  
Universal Declaration of Human Rights  (UDHR),   Pasal 18 ayat
(1)  International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR),
dan Pasal 1 ayat (1)  Declaration on The Elimination of All
Forms of Intolerance and Discrimination Based on Religion and
Belief  mengakui hak ini sebagai hak setiap orang. Pada level
domestik, pengakuan yang sama diberikan pula oleh Pasal 29 ayat
(2) UUD 1945 (Amandemen) serta Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU
No. 39 Tentang Hak Asasi Manusia.
Akan tetapi, tak seperti hak untuk memeluk agama (to adopt
religion), hak untuk beribadah tidak termasuk dalam kategori hak-
hak yang tak dapat dikurangkan penikmatannya (non-derogable
rights) sebagaimana diatur oleh rezim Pasal 4 ayat (1) ICCPR.
Penikmatan hak beribadah dapat mengurangi hak atau bahkan
ancaman terhadap kepentingan hukum orang lain. Para pelaku
terorisme misalnya, bisa jadi meyakini sebagai  sedang menjalankan
perintah agama walaupun apa yang dilakukannya menyebabkan
kerugian dan atau bahkan terampasnya hak orang lain.   Oleh
karena potensi terkurangi atau terancamnya penikmatan hak dan
kebebasan orang lain itu, Pasal 18 ayat (3) ICCPR menyatakan
bahwa hak untuk beribadah dapat dibatasi, pembatasan mana

41
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

hanya dapat dilakukan dengan  hukum dan memang diperlukan


untuk melindungi keselamatan, kesehatan, ketertiban, dan
moralitas publik atau hak serta kebebasan dasar orang lain. Lebih
jauh, baik Deklarasi HAM 1948 maupun ICCPR secara umum
menyatakan bahwa dalam menikmati hak dan kebebasannya,
setiap orang tunduk pada pembatasan oleh hukum.
Dikaitkan dengan kasus Syeh Puji, perkawinan dengan anak
di bawah umur meski dilakukan dengan alasan ibadah dan di luar
hukum negara (nikah siri) tak lagi menjadi urusan privat apalagi
menutup peluang intervensi oleh negara. Telah menjadi kewajiban
pemerintah dan masyarakat sesuai Pasal 66 dan Pasal 72 UU No.
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak untuk memberikan
perlindungan khusus terhadap anak yang tereksploitasi secara
ekonomi dan atau seksual.  Oleh karenanya dalam konteks kasus
perkawinan dengan anak di bawah umur yang dilakukan Pujiono,
klaim bahwa tiada keterpaksaan dari Ulfa tidak lantas menjadi
alasan yang membenarkan (justification) atas apa yang dilakukan
Pujianto.
Adalah kewajiban negara untuk memastikan bahwa seorang
anak mendapatkan bekal edukasi yang cukup dan mencapai tingkat
kematangan jasmani rohani dan untuk mengembangkan diri. Tak
saja harus melakukan upaya legislatif, administratif dan sosial
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 19 Convention on The Rights of
The Child, negara juga harus melakukan upaya perlindungan dan
pencegahan agar peristiwa yang dapat merugikan anak tidak terjadi
dan atau terulang. Tak kalah penting adalah perlindungan khusus
mestilah diberikan kepada anak demi memulihkan kesehatan fisik
maupun psikologisnya yang bisa jadi terganggu akibat peristiwa
ini.
Pujiono berkedudukan sama   dengan warganegara lainnya
di muka hukum, sehingga pidana yang dijatuhkan terhadapnya  
adalah bagian dari proses hukum yang dapat saja dijalani setiap

42
Manunggal K Wardaya

orang dalam jurisdiksi NKRI tanpa diskriminasi. Pula banding


terhadap putusan PN Semarang yang diajukannya adalah haknya
sebagai warga Negara yang dijamin oleh konstitusi guna mencari
keadilan yang sebenar-benarnya. Namun terlepas dari itu, kasus
yang mencuat dari Desa Bedono Kecamatan Jambu Kabupaten
Semarang di atas memunculkan  spekulasi bahwa perkawinan
di bawah umur seperti yang menimpa diri Lutfiana Ulfa
sesungguhnya sesuatu yang marak terjadi di negeri ini. Kondisi
sosial, ekonomi, pendidikan, bahkan penyimpangan seksual kerap
disinyalir sebagai faktor penyebab, sementara dispensasi yang
dimungkinkan dengan UU Perkawinan menjadi modus untuk
melegitimasi eksploitasi seksual maupun ekonomi atas diri anak
yang pada gilirannya membawa pada kondisi terlanggarnya hak
konstitusional anak. Sosialisasi instrumen hukum yang melindungi
hak dan kepentingan anak tak pelak menemukan relevansinya
untuk dilakukan tidak saja terhadap masyarakat, namun juga
terhadap aparat birokrasi terutama yang berada di level bawah
yang berhadapan langsung dengan masyarakat.

Dimuat di Harian Suara Merdeka, 1 Desember 2010 dengan


judul Tinjauan HAM Pidana Pujiono

43
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

7. HAK HIDUP SEBAGAI


HAK ASASI MANUSIA

S
alah satu muatan UUD 1945 hasil perubahan yang
membedakannya dengan UUD sebelum perubahan adalah
klausul mengenai Hak Asasi Manusia. Tercantum dalam
Bab tersendiri yakni Bab XA, UUD 1945 terbilang sebagai
Konstitusi yang demokratis dan berpaham kedaulatan rakyat.
Setelah Konstitusi RIS 1949, Indonesia kembali memiliki suatu
hukum dasar yang bermuatan pengakuan HAM dengan cukup
komprehensif. Jaminan dan pengakuan HAM ini meneguhkan
Indonesia sebagai Negara demokrasi konstitusional, dimana hak
dan kebebasan warga Negara dijamin akan dihormati, dilindungi,
dipenuhi, dan dimajukan oleh Negara. Bahwa kewenangan
negara atas hak dan kebebasan warga dan setiap orang di dalam
jurisdiksinya tidak lantas menjadi pembenar dilanggarnya hak
dan kebebasan dasar manusia. Hak dan kebebasan itu dapatlah
dibatasi, akan tetapi bukan karena kekuasaan, melainkan dengan
hukum.
Diantara sekian banyak klausul dan muatan HAM dalam UUD
1945 terbilanglah Pasal yang secara spesifik mengatur mengenai
HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal

44
Manunggal K Wardaya

yang dimaksud adalah Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan bahwa
hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut berdasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Tulisan ini secara khusus hendak membahas mengenai hak hidup
sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
tersebut dan pengaturannya dalam konstitusi Indonesia. Secara
singkat akan dibahas mengenai apa yang dmaksud dengan hak
hidup ini sekaligus perdebatan klasik mengenai hak hidup dalam
diskursus hak asasi manusia.
Mengkaji Pasal 28I UUD 1945, tak akan dapat dilepaskan
dari perjanjian internasional HAM yang mengatur mengenai non-
derogable  rights, alias hak yang tidak dapat dikurangkan dalam
keadaan apapun juga. Ketentuan ini dalam hukum internasional
dikenal melalui rejim Pasal 4 ayat (1) International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) Secara ringkas disana disebutkan
bahwa dalam keadaan tertentu, negara peserta ICCPR dapat
menunda maupun mengurangi penikmatan hak-hak yang ada di
dalam ICCPR. Keadaan yang dimaksud oleh Pasal 4 ayat (1) itu
adalah ketika negara dalam keadaan darurat, keadaan mana harus
dilaporkan oleh negara yang bermaksud melakukan penundaan itu
pada semua negara pihak ICCPR melalui Sekretaris Jenderal PBB.
Tidak semua keadaan genting dapat menjadi pembenar adanya
penundaan atau pengurangan HAM. Hanyalah jika memang
dikehendaki oleh keadaan, maka sutu hak tertentu bisa dikurangi
penikmatannya.
Pasal 4 (2) ICCPR kemudian menentukan bahwa dalam
keadaan darurat sekalipun, meskipun suatu negara dalam
keadaan emergency, maka tidak diperbolehkan adanya penundaan
atau pengurangan terhadap hak-hak tertentu. Hak-hak itu

45
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

ialah sebagaimana dicantumkan dalam beberapa pasal dalam


ICCPR yang mengatur mengenai  right to life, hak untuk tidak
disiksa, tidak diperlakukan kejam dan merendahkan, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara hanya karena
ketidakmampuan memenuhi kontrak, hak untuk tidak dipidana
berdasarkan hukum yang berlaku surut,  hak atas pengakuan di
muka hukum, dan hak berkeyakinan dan beragama.
Rumusan UUD 1945 dalam hal ini Pasal 28I ayat (1) dalam
hal ini memiliki semangat yang sama dengan ICCPR. Bahwa dalam
prinsipnya terdapa beberapa hak dan kebebasan asasi manusia  yang
dapat dibatasi, bahkan ditunda dikurangi penikmatannya dalam
keadaan-keadaan tertentu. Namun begitu, ada beberapa hak yang
terbilang sebagai hak yang tak dapat dikurangi penikmatannya
dalam keadaan apapun. Pengurangan mana akan mendapat
stigma sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Kendati terdapat
perbedaan di sana sini antara UUD 1945 dan ICCPR (misalnya
dengan tidak dinyatakannya   oleh UUD 1945 hak untuk  tidak
diperlakukan maupun dihukum secara kejam, tidak manusiawi,
dan merendahkan sebagai hak yang tak dapat dikurangkan dalam
keadaan apapun) namun hak hidup adalah hak yang sama-sama
dinyatakan dalam kedua instrumen sebagai hak yang terbilang
sebagai non-derogable right.
Hak hidup sebagaimana dijamin dalam Pasal 28A adalah hak
yang mendasar bagi setiap manusia. Segala hak dan kebebasasan
hanya bisa dinikmati jika manusia dalam keadaan hidup. Tak
mengherankan jika hak ini dicantumkan di dalam Pasal pembuka
Bab XA yng mengatur mengenai hak asasi manusia. Disebutkan
dalam Pasal 28A bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta
mempertahankan hidup dan kehidupannya. Membicarakan hak
hidup orang kerapkali menghubungkan dengan pidana mati,
ataupun hukuman mati. Padahal sesungguhnya hak hidup ini
seharusnya memiliki konotasi yang lebih luas,  yakni kewajiban

46
Manunggal K Wardaya

negara untuk memastikan bahwa setiap ibu melahirkan dapat


menjalani persalinan dengan selamat. Atau lagi; kewajiban negara
untuk memastikan  bahwa taida satupun orang  di dalam jurisdiksi
suatu negara boleh mati karena kelaparan atau penyakit yang
sesungguhnya bisa tertangani.
Terkait dengan hukuman mati, terdapat dua aliran besar,
yang menolak dan menyetujui. Mereka yang menolak pidana
mati berkeyakinan bahwa pidana mati tidak terbukti memilijki
efek jera karena walaupun pidana mati telah dijalankan, masih
banyak orang yang melakukan tindak pidana. Lebih lanjut pidana
mati menutup kemungkinan adanya koreksi jika terjadi kesalahan
putusan pengadilan. Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa
hukuman mati harus dipertahankan berkeyakinan bahwa inilah
satu-satunya cara bagi masyarakat untuk menghindarkan diri dari
kecelakaan lebih besar: dengan merampas nyawa pelaku pidana.
Memahami  hak hidup ini dalam kerangka hak asasi manusia
sebenarnyalah harus dilakukan secara utuh dengan mengkaitkannya
dengan spirit hukum internasional. Paal 6 ayat (1) ICCPR  tak
semata-mata merumuskan dengan cukup singkat sebagaimana
Pasal 28A, namun dengan menyatakan “tiap-tiap orang memiliki
hak yang melekat untuk hidup”, yang kemudian dilanjutkan dengan
frasa “hak ini haruslah dirlindungi oleh hukum”, dan kemudian
dengan frasa “tak seorangpun dapat dirampas nyawanya secara
sewenang-wenang”. Dalam konteks inilah hak hidup dan jaminan
untuk tidak dirampasnya nyawa secara sewenang wenang harus
dipahami. Artinya sebenarnya perampasan nyawa secara sewenang-
wenang itulah yang tidak dikehendaki oleh norma hukum hak
asasi manusia. Perampasan nyawa secara tidak sewenang-wenang
yakni melalui  pengadilan oleh karenanya bukan merupakan
pelanggaran hak asasi manusia.
Silang sengketa hukuman mati di Indonesia dalam perspektif
hukum ketatanegaraan telah selesai dengan Putusan MK berkaitan

47
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

dengan uji UU No 22 Tahun 1997. Dalam putusan yang  dibacakan


pada 30 Oktober 2007 tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa hukuman mati sebagaimana terdapat dalam UU Narkotika
tidak bertentangan dengan konstitusi.
Ketua MK kala itu Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa
hukuman mati ini tidak bertentangan dengan ICCPR karena Pasal
6 ayat (2) ICCPR sendiri menyatakan bahwa negara peserta yang
masih menerapkan hukuman mati agar menerapkan hukuman
tersebut pada tindak pidana-tindak pidana yang paling serius.
Jimly menyatakan pula bahwa hak asasi dibatasi oleh ketentuan
Pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib  kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hakim Konstitusi yang
lain H.A.S Natabaya mengemukakan bahwa sebagai anggota
Organisasi Konferensi Islam (OKI) Indonesia harus patuh pula
pada protokol Kairo yang menyatakan hak hidup sebagai  karunia
Tuhan yang hanya bisa dibatasi oleh putusan hukum/syariah.
Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
perdebatan mengenai hukuman mati dan kaitannya dengan hak
hiidup sebenarnya telah selesai.
Putusan MK adalah hukum yang harus dipatuhi oleh
siapapun, mengikat publik dan final sifatnya. Perampasan
nyawa, sepanjang tidak sewenang-wenang, maka hal yang dapat
dibenarkan dan bukan pelanggaran hak asasi manusia. Lebih jauh
adalah penting untuk tidak memandang permasalahan hak hidup
ini melulu dengan mengkaitkannya dengan persoalan pro kontra
hukuman mati.
Hak hidup harus secara kritis dikaitkan dengan kewajiban
negara untuk mengupayakan setiap orang yang berada dalam
jurisdiksinya untuk tetap  survive, tiada  kelaparan yang
mengakibatkan kematian, tiada malapetaka dan wabah penyakit
yang mematikan.

48
Manunggal K Wardaya

Memahami hak hidup dalam kointeks selain pidana mati


seperti demikian akan lebih positif bagi perjuangan dan klaim atas
berbagai hak dan kebebasan dasar manusia lainnya.

Makalah Disampaikan dalam Obrolan Konstitusi di Radio


Republik Indonesia Purwokerto 30 September 2011

49
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

8. PEMBUBARAN ORMAS ANARKIS

S
alah satu di antara berbagai persoalan kehidupan berbangsa
dan bernegara di tahun 2012 adalah kian maraknya tindak
kekerasan yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan
(ormas). Beraroma intoleransi beragama dan berkeyakinan, tindak
kekerasan elemen masyarakat sipil yang terorganisir dalam wadah
organisasi ini bukanlah hal baru, melainkan repetisi fenomena
serupa pada tahun-tahun sebelumnya. 
Setara Institute  mencatat bahwa sepanjang 2009 hingga
2010 telah terjadi 286 tindak kekerasan yang mengatasnamakan
agama dimana 183 diantaranya adalah kasus dilakukan oleh
aktor non-negara termasuk ormas. Lebih jauh, merujuk Kadiv
Humas Mabes Polri Saud Usman Nasution sebagaimana
dikutip  Tempo  (17/2/2012), pada tahun 2010 tercatat terjadi
50 kasus kekerasan ormas dengan Front Pembela Islam (FPI)
sebagai ormas yang paling banyak melakukan kekerasan (29
kasus). Adapun VOA Indonesia dalam pemberitaannya (8/2/2012)
mengutip kepolisian bahwa ormas yang paling banyak melakukan
kekerasan adalah FPI, Forum Betawi Rempug, dan Barisan Muda
Betawi.

50
Manunggal K Wardaya

Fenomena kekerasan dengan nuansa agama yang menonjol


paska reformasi ini dirasakan oleh sebagian kalangan masyarakat
sebagai meresahkan dan menodai cita-cita kehidupan negara
hukum yang demokratis. Dilatarbelakangi rasa jengah dan bahkan
frustasi oleh tindakan kekerasan yang mengikis rasa aman,  tuntutan
akan  pembubaran ormas  anarkis menjadi mengemuka sembari
pula mengecam Negara yang seolah tak mampu dan pula tak
mau untuk melakukan tindakan tegas untuk menegakkan hukum
dan ketertiban. Kendati bukan pertama kalinya disuarakan,
penolakan masyarakat Kalimantan Tengah pada Februari 2012
manakala Front Pembela Islam (FPI)  hendak meresmikan cabang
di Palangkaraya seakan merefleksikan telah habisnya kesabaran
masyarakat akan aksi kekerasan oleh ormas. Penolakan itu
pada akhirnya mengkristal menjadi gerakan untuk mendesak
pembubaran ormas. Aspirasi yang berkembang di masyarakat
bukannya tak sampai di telinga pemerintah. Tak kurang Presiden
SBY bahkan meminta agar kepolisian tak ragu membubarkan
ormas yang anarkis, namun pernyataan SBY itu setidaknya
hingga ketika tulisan ini disusun tak mendapatkan tindak lanjut
yang berarti. Malahan menanggapi wacana ini, sejumlah politisi
menyatakan penolakannya. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) misalnya secara resmi menolak usulan pembubarani FPI
dengan mengatakan bahwa FPI adalah aspirasi masyarakat bawah
yang harus diperhatikan pemerintah (Tempo, 18/2/2011).
Tulisan ini secara singkat mendiskusikan   wacana
pembubaran organisasi kemasyarakatan dalam diskursus hak
asasi manusia. Secara singkat tulisan ini mengkaji kemungkinan
dilakukannya pembubaran ormas yang pada satu sisi merupakan
salah satu manifestasi penikmatan kebebasan dasar manusia oleh
masyarakat dalam berserikat dan di sisi lain adanya aturan hukum
hak asasi manusia yang memungkinkan dilakukannya pembatasan
terhadap penikmatan hak tersebut.

51
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Kebebasan Berserikat dan HAM

Diakselerasi dengan konsolidasi aspirasi melalui berbagai


jejaring sosial di dunia maya, sekelompok masyarakat  berhimpun
dalam  Gerakan Indonesia Tanpa FPI, suatu wadah yang pada
intinya menginginkan bebasnya Indonesia dari aksi kekerasan yang
dilakukan ormas. Kendati Presiden maupun Menteri Dalam Negeri
telah memberi sinyal pembubaran ormas yang anarkis, dalam
realiteitnya pemerintah nampak berhati-hati dalam mensikapi
tuntutan tersebut dan lebih kepada mengambil sikap mengambang.
Di sisi lain pembubaran maupun pembatalan diskusi buku yang
sedianya akan menghadirkan Irshad Manji, penulis buku  Allah,
Liberty, and Love di Jakarta dan Yogyakarta pada Mei 2012 yang
pula diwarnai dengan aksi kekerasan ormas menjadikan tuntutan
pembubaran ormas anarkis kembali mengemuka. Terlebih,
manakala tulisan ini disusun, aksi kekerasan dan bentuk-bentuk
intoleransi yang melibatkan ormas terus saja terjadi. Perusakan
panggung yang sedianya akan dipakai untuk perayaan Waisak di
Kaloran Temanggung, Jawa Tengah pada 12 Mei 2012 misalnya
mengingatkan orang akan aksi kekerasan di kota yang sama ketika
sekelompok massa melakukan pembakaran gereja menyusul
peradilan penodaan agama pada 8 Februari 2011. Dua hari
sebelumnya di Pandeglang Banten, penyerangan terhadap warga
Ahmadiyah bahkan telah menimbulkan jatuhnya korban jiwa.
Dengan fakta-fakta yang terhampar seperti demikian maka
pertanyaan besar yang lagi-lagi mengemuka di tengah pro-kontra
ide pembubaran ormas yang dinilai anarkis adalah apakah suatu
pembubaran ormas dapat dibubarkan dan mengingat berorganisasi
dalam ormas adalah perwujudan kebebasan dasar (basic freedoms)
Apakah pembubaran ormas juga adalah pelanggaran hak asasi
manusia? Bukankah organisasi kemasyarakatan adalah wujud
penikmatan kebebasan untuk berserikat?

52
Manunggal K Wardaya

Pembatasan HAM

Pertama-tama haruslah ditegaskan bahwa benar jika


berkumpul dalam suatu organisasi adalah bagian dari penikmatan
kebebasan dasar manusia. Kebebasan untuk berserikat ini
dijamin dalam  the Universal Declaration of Human Rights  1948
dan pula  Internal Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
1966. Namun begitu, sebagaimana hak asasi manusia pada
umumnya, berorganisasi adalah hak yang dalam pelaksanaannya
dimungkinkan untuk dibatasi. Pasal 22 ayat (2) ICCPR pada garis
besarnya menyatakan bahwa pembatasan yang dilakukan mestilah
ditentukan melalui hukum (prescribed by law) dan diperlukan
dalam masyarakat yang demokratik guna keamanan nasional
atau keselamatan publik, terutama sekali untuk melindungi hak
dan kebebasan orang lain. Lebih jauh, ketika suatu negara tengah
dalam keadaan darurat, kebebasan ini bahkan dapat saja dikurangi
penikmatannya, sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai hak
yang dapat ditunda pemenuhannya (derogable rights) menurut
article 4 ICCPR.
Berpijak pada norma internasional HAM yang pula telah
menjadi norma hukum nasional dengan ratifikasi ICCPR pada
2005 maka dapat dikatakan bahwa pembubaran ormas sebagai
bentuk pembatasan HAM menemukan landasan hukum yang
menjadi pembenarnya. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana
pembatasan yang berkesesuaian dengan hukum itu? Mengacu
pada  Siracusa Principles 1984, jawabnya tak lain adalah kalau
keberadaan suatu organisasi kemasyarakatan hendak diatur
termasuk hal ikhwal pembubarannya, maka pembubaran itu
tidaklah cukup dengan kuasa yang dimiliki pejabat negara.
Alih-alih begitu, pembatasan itu mestilah berdasarkan pada
ketentuan hukum nasional yang berkeselarasan dengan semangat
perlindungan HAM dalam ICCPR. Jelasnya, tak sekali-kali

53
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

pembubaran itu semata berdasarkan citarasa penguasa politik.


Dalam konteks wacana pembubaran ormas terkait dengan
aksi kekerasan bernuansa agama sebagaimana marak terjadi
dan menjadi keprihatinan banyak kalangan ini maka jikalau
kepentingan nasional, keselamatan publik dan pula hak dan
kebebasan orang lain nyata-nyata terancam oleh tindakan yang
mengatasnamakan suatu organisasi, maka organisasi tersebut
dapat dibenarkan untuk dibatasi termasuk dibubarkan dengan
mendasarkan pada ketentuan  hukum.
Lebih jauh,  Siracusa Principles  juga menekankan pada
keselamatan publik (public safety) sebagai hal yang mendasari
dibenarkannya pembatasan kebebasan dasar manusia termasuk
kebebasan untuk berserikat dalam ormas. Disebutkan bahwa “public
safety” adalah protection against danger to the safety of persons, to
their life or physical integrity, or serious damage to property. Dari
sini bisa ditarik kesimpulan bahwa jika keberadaan dan aktifitas
suatu ormas terus menerus membahayakan keselamatan dan
integritas orang lain maka keberadaannya dapat dipikirkan ulang.
Demikian pula prinsip pembenaran pembatasan HAM untuk
menghormati “rights and freedom of others” terlebih jika “rights
and freedoms”  yang hendak dilindungi itu lebih fundamental
sifatnya daripada yang hendak dibatasi. Dalam konteks wacana
pembubaran ormas, jika kebebasan berserikat menghalangi
kebebasan orang untuk beragama dan berkeyakinan sebagai non-
derogable rights, hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun, maka ketentuan ini pula relevan untuk dijadikan acuan
pembatasan/pembubarannya.
Dalam level hukum nasional, ketentuan umum yang senada
dengan norma internasional mengenai hak asasi manusia terdapat
di dalam Pasal 28 dan 28E ayat (3) UUD 1945 yang pada pokoknya
mengakui dan menjamin hak setiap orang untuk berserikat dan
berkumpul sembari secara terang pula memberikan pembatasannya

54
Manunggal K Wardaya

pada Pasal  28J. Pada pokoknya, dalam menjalankan hak dan


kebebasannya setiap orang tunduk pada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain. Keamanan dan ketertiban umum menjadi salah satu
kata kunci penting diambilnya tindakan pembatasan tersebut.  UU
No. 8 Tahun 1985 sebagai aturan hukum yang mengatur mengenai
Ormas pula memuat klausul yang berkeselarasan dengan semangat
pembatasan ini dengan memungkinkan pembubaran suatu ormas
jika mengganggu keamanan dan ketertiban umum.
Regulasi hukum terkait teknis dan prosedur pembatasan
kebebasan manusia dalam berserikat antara satu negara dengan
negara lain bisa saja beragam. Kementrian Dalam Negeri ketika
tulisan ini disusun tengah melakukan penggodokan RUU Ormas
yang baru guna mensederhanakan prosedur pembubaran Ormas.
Namun begitu esensi dan spirit yang terkandung dalam peraturan
perundangan yang dimiliki Indonesia terkait pembatasan
kebebasan dasar manusia termasuk kebebasan untuk berserikat
sebenarnya universil: pembatasan bahkan represi terhadap suatu
hak maupun kebebasan akan menemukan justifikasinya manakala
penikmatan hak dan kebebasan itu menciderai hak dan kebebasan
pihak lain.

Kesimpulan

Jika penikmatan kebebasan dasar untuk berserikat dengan


mendirikan organisasi kemasyarakatan justeru digunakan untuk
mengkonsolidasi tindakan-tindakan yang merusak ketertiban
umum umum, mengakibatkan terganggunya penikmatan hak
dan kebebasan orang lain, maka pembatasan berupa pembubaran
ormas dari sudut pandang hukum hak asasi manusia dapatlah
dibenarkan (justified) serta tak dapat dibilang sebagai pelanggaran

55
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

HAM. Norma seperti ini menjadi ketentuan umum yang oleh


karenanya tidaklah dapat dikatakan sebagai diskriminatif dan
tidak terkait terhadap satu ormas tertentu  saja. Namun begitu
harus diingat bahwa ketika memasuki ranah hukum, proses yang
harus ditempuh guna pembubaran ormas bisa menjadi pelik terkait
formalitas yang harus dipenuhi  untuk (misalnya saja) menilai dan
menentukan meresahkan atau tidak meresahkan, mengganggu
atau tidak mengganggunya suatu ormas.

Saran

Sebagai penutup, tulisan ini menegaskan bahwa pembubaran


ormas selain dimungkinkan dalam perspektif hukum adalah tidak
selalu identik dengan pelanggaran HAM. Namun dalam konteks
usulan  pembubaran ormas anarkis yang kini diwacanakan, hal
yang harus sungguh-sungguh dipikirkan adalah apakah ada
jaminan manakala organisasi itu dibubarkan maka kekerasan
yang dipercaya melekat padanya   pula akan turut terhenti?
Kalaupun   ormas yang bersangkutan dibubarkan,  hukum pula
memungkinkan elite ormas tersebut untuk membentuk organisasi
lain dengan nama yang lain   dengan aktifitas yang lebih kurang
sama. Oleh karenanya, pendekatan lain nan arif di luar hukum
untuk mengurai, mengidentifikasi akar permasalahan   yang
menjadi penyebab kekerasan untuk kemudian merumuskan
strategi penyelesaiannya  adalah merupakan hal penting yang juga
tak boleh diabaikan.

Makalah disampaikan pada Seminar Ilmiah Mahasiswa Se-


Eropa di Wageningen Universiteit, Wageningen, Belanda 2 Juni
2012

56
Manunggal K Wardaya

9. DIMENSI HAM DALAM


PELAKSANAAN IBADAH KURBAN

T
anggal 10 Dzulhijjah tiap tahunnya umat Islam di seluruh
penjuru dunia merayakan Hari Raya Iedul Adha atau yang
disebut dengan Hari Raya Kurban. Dimaksudkan untuk
mengenang ketaatan, kepasrahan, dan kesabaran Nabi Ibrahim
dengan mengurbankan anaknya Ismail demi menjalankan perintah
Sang Khalik, penyembelihan hewan ternak seperti kambing dan
sapi pula dilaksanakan  oleh umat Islam di tanah air. Mengandung
ajaran mulia akan kepatuhan dan ketakwaan terhadap perintah
Tuhan sekaligus solidaritas sosial (melalui pendistribusian daging
pada mereka yang berhak),  ibadah kurban dalam kehidupan
bernegara demokrasi konstitusional tidak lagi hanya berada dalam
wilayah keagamaan melainkan pula bagian dari penikmatan
hak asasi manusia (HAM) yakni hak untuk memanifestasikan
keberagamaan. Tulisan ini merupakan telaah  sinkronitas aturan
agama dan pembatasan hak dalam hukum HAM dalam ibadah
kurban .
Selain tatacara penyembelihan dan metode yang tak
mengakibatkan binatang menjadi tersiksa, hukum agama
pula menentukan sejumlah kriteria demi sahnya kurban yang

57
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

dilaksanakan. Diantara kriteria tersebut adalah bahwa hanya


binatang ternak yang sehat dan telah memenuhi umur sajalah yang
boleh disembelih. Ternak sebisa mungkin harus gemuk, bagus
bentuknya fisiknya, dan tidak cacat. Berkurban dengan binatang
ternak yang tak memenuhi kriteria sebagaimana telah ditentukan
diyakini dapat mengurangi atau bahkan meniadakan nilai ibadah
kurban itu sendiri. Sederet ketentuan tersebut dimaksudkan tidak
saja agar ibadah mereka yang berkurban diterima oleh Tuhan
Yang Maha Esa, namun pula berdimensi horizontal agar daging
yang nantinya akan dikonsumsi umat benar-benar bermanfaat
dan bukannya sebaliknya: membahayakan bagi mereka yang
mengkonsumsinya. Pada gilirannya terpenuhinya kriteria binatang
kurban tersebut akan berimbas positif terhadap kekhusyukan
ibadah kurban itu sendiri.
Jika disandingkan, aturan yang ada pada hukum agama terkait
binatang kurban harmonik dengan peraturan yang dikeluarkan 
oleh pemerintah. Adanya kewajiban sertifikasi sehat atas binatang
ternak yang akan disembelih mengisyaratkan bahwa tidak
semua binatang ternak boleh dipotong sebagai binatang  kurban.
Sertifikasi menjadi semacam filter karena tak semua binatang
kurban berada dalam keadaan yang layak untuk disembelih.
Ada nilai perlindungan negara terhadap manusia warga negara
karena kewajiban sertifikasi meminimalisir dikonsumsinya
daging berbahaya, agar daging hewan yang nantinya dikonsumsi
masyarakat benar-benar sehat dan tidak menimbulkan penyakit
yang dapat menular pada manusia.
Ditinjau dari sudut hukum hak asasi manusia, sertifikasi
sehat terkait hewan kurban sebenarnyalah merupakan contoh
pembatasan yang diterapkan terhadap manifestasi keberagamaan
masyarakat. Dengan adanya sertifikasi sehat, masyarakat tidak
bisa sesukanya sendiri memotong hewan ternak yang dimilikinya
dengan klaim sebagai tengah menjalankan ibadah dan mengabaikan

58
Manunggal K Wardaya

aspek sosial terkait potensi kerugian yang dapat timbul karena


konsumsi daging kurban yang tak sehat. Pembatasan tersebut
bukanlah dimaksudkan untuk mengeliminasi secara keseluruhan
hak, melainkan membatasi dengan dasar pembenar terjaganya
kesehatan umum (public health).  Sepanjang hewan ternak
memang sehat dan tidak sedang terjangkiti penyakit misalnya,
tentu hewan tersebut diijinkan untuk dipotong. Tak boleh keliru
dipahami, dalam persoalan sertifikasi sehat binatang ternak untuk
kurban maka kebebasan untuk mewujudkan keberagamaan dan
keyakinanlah  (freedom to manifest religon and belief) yang tengah
dibatasi dan diatur, dan bukan pembatasan atas hak beragama
(freedom of religion) yang memang   tak dapat dibatasi dalam
keadaan apapun jua itu. Pembatasan seperti ini, harus dicatat,
bukanlah pelanggaran HAM.
Kaidah hukum hak asasi manusia mengenai pembatasan
manifestasi keberagamaan ini dikenal dalam Pasal 18 International
Covenant on Civil and Political Rights  (ICCPR) yang pula telah
menjadi hukum nasional Indonesia dengan ratifikasi pada tahun
2005 melalui UU No. 12 Tahun 2005.  Lebih jauh terkait dengan
ketentuan ini, pelaksanaan takbir keliling atau  shalat Iedul Adha
yang mendahului penyembelihan hewan kurban dapat saja diatur
(misalnya soal waktu, tempat, rute dll.) agar sejauh mungkin
tidak mengakibatkan terganggunya lalu lintas. Klaim-klaim
jihad misalnya boleh saja dilaksanakan dan tak akan  dibatasi
dan baru dibenarkan untuk direpresi manakala manifestasinya
mengakibatkan hilangnya ketentraman bahkan terampasnya
nyawa seperti ditunjukkan dalam peristiwa Bom Bali maupun aksi
kekerasan lainnya yang mengatasnamakan agama. Pembatasan
manifestasi keberagamaan pada prinsipnya adalah pengurangan
hak asasi manusia, oleh karenanya kaidah hukum HAM pula
menghendaki agar pembatasan yang dikenakan negara diterapkan
dengan bersaranakan aturan hukum, tidak diskriminatif terhadap

59
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

satu manifestasi keberagamaan saja melainkan berlaku umum


demi terciptanya ketertiban umum, terlindunginya kesehatan dan
moralitas publik, dan terjaganya penikmatan hak orang lain.

Dimuat di Harian Seputar Indonesia 15 Oktober 2013

60
Manunggal K Wardaya

10. HAK HIDUP DAN PIDANA MATI

D
i Hari kebebasan Pers Dunia 3 Mei 2013, kalangan jurnalis
tanah air memeringati banyaknya jurnalis yang terampas
hak hidupnya dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya.
Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat tak kurang dari 55
jurnalis menjadi korban kekerasan sepanjang 2011-2012. Masih
misteriusnya kasus terbunuhnya Munir dan aneka perampasan
hak hidup dalam pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya
menjadi catatan tersendiri yang memprihatinkan jelang akhir
pemerintahan Presiden SBY. Tulisan ini oleh karenanya hendak
membahas mengenai hak hidup sebagai hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun tersebut dan kontekstualitasnya
dalam permasalahan kebangsaan dewasa ini. Tulisan ini dirasa
relevan setelah Rakernas Majelis Ulama Indonesia (MUI)
meminta  pidana mati bagi koruptor.
Diantara sekian banyak klausul dan muatan hak asasi manusia
(HAM) dalam UUD 1945 hasil amandemen terbilanglah pasal
yang secara spesifik mengatur mengenai HAM yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun. HAM yang dimaksud Pasal
28I ayat (1) adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak

61
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk


tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut berdasar hukum yang
berlaku surut.
Pemahaman Pasal 28I UUD 1945 tak dapat dilepaskan
dari perjanjian internasional HAM yang mengatur mengenai 
hak yang tidak dapat dikurangkan dalam keadaan apapun juga
(non-derogable rights) yang dikenal melalui rejim Pasal 4 ayat
(1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Secara ringkas disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu, negara
peserta ICCPR dapat menunda maupun mengurangi penikmatan
hak-hak yang ada di dalam ICCPR. Keadaan yang dimaksud oleh
Pasal 4 ayat (1) itu adalah ketika negara dalam keadaan darurat.
Namun demikian tidak semua keadaan genting dapat menjadi
pembenar adanya penundaan atau pengurangan HAM. Hanyalah
jika memang dikehendaki oleh keadaan, maka suatu hak tertentu
bisa dikurangi penikmatannya.
Selanjutnya, Pasal 4 (2) ICCPR menentukan bahwa dalam
keadaan darurat sekalipun, meskipun suatu negara dalam
keadaan  emergency, tidaklah diperbolehkan adanya penundaan
atau pengurangan terhadap hak-hak tertentu. Hak-hak tertentu
yang dimaksudkan ialah sejumlah hak dalam beberapa pasal
dalam ICCPR yang dinyatakan sebagai non-derogable rights yakni
hak hidup, hak untuk tidak disiksa, tidak diperlakukan kejam
dan merendahkan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak
dipenjara hanya karena ketidakmampuan memenuhi kontrak,
hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut, 
hak atas pengakuan di muka hukum, dan hak berkeyakinan dan
beragama. Terkhusus hak hidup, ICCPR dalam Pasal 6 (1) mewanti
agar hak hidup ini, jikalau masih hendak dipertahankan, maka
hendaklah pada kejahatan yang paling serius saja dan harus sesuai
hukum yang berlaku. Pada titik ini, penilaian  serius atau tidaknya

62
Manunggal K Wardaya

kejahatan korupsi sebagai suatu kejahatan akan memengaruhi


penilaian rekomendasi Rakernas MUI tentang hukuman mati bagi
koruptor tersebut.
Rumusan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 memiliki semangat
yang sama dengan ICCPR bahwa dalam prinsipnya terdapa
beberapa hak dan kebebasan asasi manusia  yang terbilang sebagai
hak yang tak dapat dikurangi penikmatannya dalam keadaan
apapun. Kendati terdapat perbedaan di sana sini antara UUD 1945
dan ICCPR (misalnya dengan tidak dinyatakannya  oleh UUD 1945
hak untuk  tidak diperlakukan maupun dihukum secara kejam,
tidak manusiawi, dan merendahkan sebagai hak yang tak dapat
dikurangkan dalam keadaan apapun) namun hak hidup adalah
hak yang sama-sama dinyatakan dalam kedua instrumen sebagai
bagian dari hak yang terbilang sebagai non-derogable rights.
Mengacu Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 sebagaimana telah
disinggung di atas, hak hidup yang merupakan muatan Pasal 28A
UUD 1945 oleh karenanya terbilang sebagai hak yang tak dapat
dikurangkan dalam keadaan apapun juga. Negara berkewajiban
tidak saja untuk menahan diri dari tindakan merampasi hak hidup
tiap-tiap orang yang ada dalam teritorinya namun pula harus
secara aktif melindungi hak hidup ini dari ancaman individu-
individu dalam masyarakat. Termasuk tindakan negara untuk
melindungi hak hidup adalah adanya kriminalisasi perampasan
nyawa (sebagaimana tercantum dalam KUHP kita) maupun
tindakan penyelidikan, penyidikan serta penuntutan terhadap
setiap tindakan yang mengancam maupun merampas hak hidup.
Hak hidup kerapkali dihubungkan dengan pro kontra pidana
mati, padahal sesungguhnya hak hidup memiliki konotasi yang
lebih luas. Kewajiban negara untuk mereduksi angka kematian Ibu
dan bayi dalam proses persalinan merupakan satu contoh betapa
negara harus secara aktif melindungi nyawa tiap orang dalam
wilayahnya. Negara harus mengupayakan agar tiada orang yang

63
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

ada di dalam wilayahnya mati karena kelaparan, karena kurang


gizi tidak saja karena kemiskinan, namun pula karena menurunnya
kwalitas hidup ke titik nadir sebagai akibat pemiskinan yang
diakibatkan oleh korupsi. Atau lagi; kewajiban negara untuk
memastikan  bahwa tiada satupun orang  di dalam teritorinya
boleh mati karena kelaparan atau penyakit yang sesungguhnya
bisa tertangani.
Menggunakan perspektif hak asasi manusia,   kecelakaan
yang terjadi karena dibiarkannya kondisi jalan raya yang
buruk sebagaimana kini banyak diberitakan   harus dipandang
sebagai ketidaksungguhan negara menjalankan kewajiban
konstitusionalnya melindungi hak hidup warga. Pula perampasan
hak hidup warga terlebih dengan secara sewenang-wenang
sebagaimana yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan,
Sleman merupakan pelanggaran serius terhadap hak hidup, terlebih
apabila dilakukan oleh alat negara. Tak terselesaikannya aneka
persoalan pelanggaran HAM yang terkait hak hidup sebagaimana
kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998, kasus penembakan
mahasiswa Trisakti, kasus Munir dan aneka pelanggaran HAM
lainnya pula refleksi akan abainya negara terhadap hak hidup.
Perlindungan HAM yang masih buruk akan hal hidup di
negara ini memberi satu pesan penting bahwa negara masih
harus didorong dan diawasi agar serius melindungi hak hidup
warga.  Pressure  dan kontrol dari rakyat baik melalui institusi
lembaga perwakilan maupun sarana komunikasi politik lainnya
diharapkan akan menggerakkan negara untuk mau melakukan
tindakan antisipatif maupun represif bersaranakan hukum pidana
agar semakin sedikit nyawa melayang, dan agar mereka yang
melakukan perampasan nyawa atau mengakibatkan terampasnya
nyawa bertanggung jawab di muka hukum. Argumen falsafati-
konstitusionalnya teramat jelas: segenap warga bangsa ini
menyerahkan dirinya untuk memasuki kehidupan bernegara yang

64
Manunggal K Wardaya

bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia agar terlindungi


segenap tumpah darahnya dan bukan sebaliknya: terampas haknya
yang paling dasar justeru ketika dalam keadaan bernegara.

Dimuat di Harian Suara Merdeka 19 September 2013

65
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

11. TENTANG PERSAMAAN


DI MUKA HUKUM

R
asyid Amrullah, putra bungsu Menko Perekonomian Hatta
Rajasa menjalani sidang perdana di PN Jakarta Timur
terkait kasus kecelakaan yang menewaskan dua orang,
yang melibatkannya. Menjadi keinginan publik kasus itu diproses
sesuai dengan hukum. Artinya bila terbukti bersalah, sanksi
hukum hendaknya berlaku pula bagi Rasyid. Tulisan ini adalah
analisis sosio-legal terkait kecelakaan di tol Jagorawi pada awal
Januari 2013
Dalam setting negara hukum, kecelakaan yang melibatkan
Rasyid sebenarnya perkara pidana biasa. Ada perangkat hukum
untuk menyelesaikan, dan publik juga mengetahui aparat
kepolisian telah menyelidiki dan menyidik dugaan tindak pidana
itu, termasuk menetapkan tersangka dan saksi.
Setelah pemeriksaan selesai, berkas acara pemeriksaan
(BAP) dan alat bukti dilimpahkan kepada penuntut umum,
yang kemudian menyusun surat dakwaan, meminta lembaga
peradilan menjatuhkan pidana. Pengadilan akan memeriksa
kasus itu, dan jika terdakwa terbukti bersalah dan kesalahan itu
dapat dipertanggungjawabkan padanya, pidana pun dijatuhkan.

66
Manunggal K Wardaya

Berat ringan pidana itu terpulang pada hikmat kebijaksanaan


sang pengadil walau harus tetap berbingkai ketentuan hukum
perundangan-undangan.
Dalam konteks ajaran persamaan di depan hukum, Rasyid
yang secara sosiologis ’’bukan orang sembarangan’’, sejatinya tak
memiliki perbedaan apa pun dari si Badu, si Polan, atau siapa pun
’’warga negara biasa’’ manakala berhadapan dengan hukum. Secara
normatif, baik Rasyid, si Badu, si Polan, maupun warga negara
yang lain harus dan akan diperlakukan sama di depan hukum.
Karenanya, proses hukum dari penyelidikan hingga
pemeriksaan dalam pengadilan yang cukup memakan waktu dan
tak mengenakkan harus dijalani. Sesuai dengan KUHAP, penyidik
sebenarnya dapat menahan setelah seseorang berstatus tersangka
walau KUHAP menjamin hak tersangka/ terdakwa mendapatkan
kunjungan dokter demi kepentingan kesehatan.
Permasalahannya, publik juga tahu tak semua ketentuan
hukum, yang memiliki landasan moral perlindungan HAM, bisa
dinikmati oleh tiap orang yang terjerat hukum sebagaimana juga
Rasyid. Dalam kasus kecelakaan yang melibatkan ’’orang biasa’’,
publik dapat melihat ketentuan hukum yang represif dan keras
akan begitu tegak, secepat-cepatnya.
’’Orang biasa’’ itu akan segera menyandang status tahanan,
dan sel menantinya walau kondisi tersangka stres dan syok berat,
sebagaimana dialami Afriyani dalam kasus kecelakaan maut
di Tugu Tani Jakarta pada awal 2012. Belum lagi penyiksaan di
tahanan yang kemungkinan dialami yang seolah-olah menjadi
hukuman tambahan.
Dalam kasus Rasyid, publik melihat betapa hukum tak
bersegera menetapkan status tahanan terhadap putra besan
Presiden SBY itu. Bahkan ada kesan kuat aparat hukum malu-
malu, termasuk ketika media meminta kejelasan atas kasus ini.
Dibandingkan peristiwa serupa yang menimpa ’’warga negara

67
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

biasa’’, ada kesan perbedaan perlakuan, ada diskriminasi penerapan


hukum. Ketentuan hukum yang fasilitatif dan protektif, amat efektif
manakala bersangkut-paut dengan tersangka yang ada pada posisi
sosial mapan, dan sebaliknya makin tak berdaya bagi tersangka
yang berada dalam status sosial yang awam lagi rawan.
Dari titik ini, jalannya persidangan rasa-rasanya berpola
sama: tuntutan tak akan begitu berat, dan pidana juga tak seberat
yang dijatuhkan terhadap ’’orang biasa’’. Itikad baik keluarga Rasyid
dalam menunjukkan penyesalan dan permintaan maaf terhadap
korban secara signifikan akan meringankan pidana.
Artikel ini bukanlah menganjurkan supaya Rasyid atau
siapa saja tersangka/ terdakwa yang sedang dalam kondisi trauma
psikis dipaksa menjalani proses hukum yang didesain untuk
mereka yang berada dalam kondisi normal. Demi hukum yang
berperikemanusiaan, Rasyid harus mendapat perawatan kesehatan
agar bisa menjalani proses hukum demi mencapai kebenaran dan
keadilan. Terlebih sebelumnya, kuasa hukum dia, Riri Purbasari
mengatakan kliennya masih belum sehat namun siap menghadapi
persidangan. “Secara medical sebenarnya Rasyid belum sepenuhnya
sehat, masih dalam treatment trauma psikisnya.”
Namun hukum harus ditegakkan secara sama tanpa ada
diskriminasi untuk semua warga negara. Proteksi hukum
terhadap tersangka yang dalam kondisi fisik ataupun psikis rawan
sebagaimana dinikmati Rasyid kiranya juga harus dapat dinikmati
warga negara lain yang berada pada kondisi serupa, tanpa harus
terlebih dahulu melihat apa, siapa, dan bagaimana status sosial
tersangka/ terdakwa.
Masyarakat menunggu hasil peradilan yang fair, tidak
berpihak, dan menginginkan keputusan hukum berlaku sama,
bukannya fasilitatif dan penuh permakluman kepada orang yang
berpunya, sementara menjadi teramat represif terhadap orang
yang biasa lagi papa.

68
Manunggal K Wardaya

Dimuat di Harian Suara Merdeka 4 Oktober 2013 Dengan


Judul “Rasyid dan Persamaan di Muka Hukum”

69
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

12. MACAN KERTAS


INSTRUMEN HAM

D
alam konteks penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak asasi manusia (HAM), peran yang sentral
lagi vital disandang oleh negara. Dikatakan demikian,
karena negaralah yang memiliki aparat penegak hukum serta
birokrasi untuk didayagunakan bagi terealisirnya pelbagai jaminan
hak dan kebebasan manusia. Adalah kewajiban negara menurut
hukum internasional maupun konstitusi untuk memenuhi HAM
setiap individu yang ada di dalam jurisdiksinya. Terkait dengan
Hari HAM yang diperingati tiap 10 Desember, tulisan ini adalah
catatan atas performa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dalam penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan
pemajuan HAM. Meskipun menyoroti pemerintahan tertentu
yakni pemerintahan SBY, tulisan ini memberikan pemahaman
umum akan pemenuhan kewajiban normatif HAM yang harus
dipenuhi setiap pemerintahan.
Salah satu capaian besar gerakan Reformasi setelah
disahkannya UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM adalah
dicantumkannya sejumlah klausul hak dan kebebasan asasi
manusia ke dalam UUD 1945. Ekspektasi akan kondisi HAM yang

70
Manunggal K Wardaya

lebih baik makin menguat dengan ratifikasi International Covenant


on Economic Social and Cultural Right (ICESCR) dan International
Covenant on Civil and Political Rights  (ICCPR) pada September
2005.  Tak dapat dibantah bahwa ratifikasi kedua perjanjian
internasional HAM yang bersama-sama dengan Deklarasi
HAM 1948 terbilang sebagai  The International Bills of Human
Rights tersebut merupakan kemajuan yang makin mengukuhkan
dasar hukum penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan
pemajuan HAM di tanah air.
Namun begitu, meski instrumen HAM yang dimiliki jauh lebih
komprehensif daripada rejim Orde Baru, capaian dan implementasi
HAM di era reformasi yang relatif lebih menjanjikan keterbukaan
ternyata tak menunjukkan kemajuan signifikan. Harus diakui bahwa
penikmatan beberapa hak dan kebebasan dasar di bidang sipil dan
politik dirasakan relatif lebih baik dengan lebih terbukanya ruang
kebebasan berekspresi, berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat. Namun begitu beberapa hak sipil dan politik hingga
tulisan ini dibuat masih saja teringkari. Contoh nyata hal ini adalah
masih tidak jelasnya nasib keberadaan sejumlah aktivis 1997/1998.
Hingga tulisan ini dibuat tak ada langkah serius untuk mengusut
keberadaan mereka yang diduga keras dihilangkan paksa jelang
runtuhnya rejim Soeharto. Konvensi Internasional Perlindungan
Bagi Setiap Orang Dari Penghilangan Paksa yang ditandatangani
oleh Pemerintah Indonesia pada 2010 hingga tulisan ini dibuat juga
belum diratifikasi. Terkait dengan perlindungan terhadap pembela
HAM (human rights defender) terkesan kuat terlembaganya praktik
impunitas dalam kasus terbunuhnya Munir. Aktor intelektual yang
mengotaki pembunuhan pembela HAM yang dikenal luas secara
internasional tersebut masih tak terungkap, padahal SBY di awal
pemerintahannya menyatakan bahwa kasus Munir adalah  test of
our history, kasus yang menjadi penentu apakah pemerintahannya
bagian dari sejarah kelam rejim pengingkar HAM ataukah tidak.

71
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Sementara itu kebebasan beragama yang dijamin kukuh


dalam Deklarasi HAM 1948, ICCPR maupun UUD 1945
justeru mengalami kemerosotan di tataran implementasi. Ada
diskriminasi, perlakuan istimewa (privilege),   pengakuan, dan
perlindungan hanya terhadap agama-agama tertentu saja yang
mainstream, yang mayoritas. Padahal, beragama dan berkeyakinan
adalah hak asasi manusia yang terbilang sebagai  non-derogable
rights  dimana negara tak punya pilihan lain kecuali harus
mengakui apapun agama dan keyakinan yang dipilih oleh individu
dalam negara. Ironisnya, pejabat pemerintah kerapkali tak mampu
menempatkan diri sebagai pengayom dalam penghormatan salah
satu kebebasan paling mendasar ini. Perilaku tak sensitif HAM
pejabat pemerintahan SBY pula menjadi catatan publik manakala
beberapa tahun silam seorang menteri melontarkan joke berkaitan
dengan AIDS yang disebut sebagai akronim “Akibat Itunya
Dipakai Sembarangan”, suatu kampanye negatif yang amat
kontrapruduktif dengan pemajuan (promotion) hak atas kesehatan
orang dengan virus HIV/AIDS (ODHA). Dua contoh di atas
mengindikasi kuat bahwa pemahaman dan sensitivitas HAM
para pejabat pemerintahan   SBY  belum bisa dikatakan tinggi.
Alih-alih menjadi  role model  dalam pengakuan, perlindungan,
dan pemajuan HAM, mereka para pejabat negara justeru menjadi
aktor pelanggar HAM. Lambat atau bahkan ketiadaan teguran
dari Presiden terhadap tindakan para pembantunya tersebut
seakan refleksi betapa permisifnya rejim terhadap tindakan yang
kontraproduktif dengan penghormatan HAM.
Terkait HAM di bidang ekonomi sosial budaya, berbagai kasus
kekerasan yang menimpa buruh migran menunjukkan betapa
lemahnya posisi tawar negara untuk melindungi kaum pekerja
manakala berhadapan dengan negara lain. Ketidakmampuan
negara menciptakan lapangan kerja di dalam negeri nyatalah
tak dibarengi dengan perlindungan hukum yang memadai dan

72
Manunggal K Wardaya

tindakan diplomatik yang preventif manakala warga negara


mencari penghidupan di negara lain. Sementara itu, kesungguhan
aparat negara dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi tak
menggembirakan dengan masih marak terlibatnya unsur penegak
hukum di jajaran eksekutif ke dalam bagian dari permasalahan
besar bernama korupsi. Padahal, korupsi menimbulkan dampak
negatif terhadap keuangan negara yang pada gilirannya membawa
pada destruksi aneka macam HAM dikarenakan tidak optimalnya
negara dalam memenuhi apa yang menjadi hak dan kebebasan
warga
Pada akhirnya, dapatlah disimpulkan bahwa setumpuk
instrumen hukum hak asasi manusia (HAM) yang telah dimiliki
Indonesia bukanlah tongkat ajaib yang bisa dalam sekejap mata
membawa kondisi HAM ke arah yang lebih baik. Instrumen
hukum apapun, entah itu ratifikasi perjanjian internasional,
jaminan hak dan kebebasan dasar baik dalam UUD maupun UU
organik yang telah dipunyai akan tetap menjadi “macan kertas”
tanpa adanya tindakan implementasi yang konkrit serta kemauan
politik yang kuat dari pihak yang paling memiliki peran strategis
ini: pemerintah. Namun demikian, patutlah untuk diingat bahwa
tegaknya HAM tidak dapat diserahkan pada semata kemauan
dan kebaikan hati pemerintah. Menjadi kewajiban setiap elemen
bangsa untuk mendorong pemerintah agar mau menghormati
HAM, ketidakmauan mana telah diakui secara universal menjadi
legitimasi bagi rakyat untuk mencabut kekuasaan; satu hal yang
harus diingat baik-baik pula oleh sesiapa saja yang duduk di jajaran
administrasi negara.

Dimuat di Harian Suara Merdeka 10 Desember 2012

73
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

13. PELARANGAN AHMADIYAH:


PERSPEKTIF HAM

P
aska penyerangan berdarah di Cikeusik, beberapa daerah
mengeluarkan instrumen hukum yang melarang aktivitas
Jama’ah Ahmadiyah. Setelah Surat Keputusan No. 188/94/
KPTS/013/2011 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Timur
Soekarwo yang berisi pelarangan aktifitas keagamaan Ahmadiyah,
Provinsi Jawa Barat mengeluarkan larangan serupa, larangan mana
menurut laporan media segera diikuti berbagai daerah lain seperti
Pamekasan dan DKI Jakarta. Perkembangan legislasi di aras lokal
yang paralel dengan wacana pelarangan aliran Ahmadiyah tersebut
menggiring kita pada perenungan: apakah negara memang dapat
dan dibenarkan untuk mengadili keyakinan yang berada dalam
ranah pikir warganya? Adakah justifikasi negara untuk mengadili
dan kemudian bahkan memaksakan suatu keyakinan dengan
melakukan suatu pelarangan? Tulisan ini merupakan telaah ringkas
atas fenomena pelarangan aliran Ahmadiyah dalam perspektif
filsafat hukum hak asasi manusia.
Beragama dan berkeyakinan adalah hak asasi manusia, suatu
hak fundamental yang dimiliki oleh seseorang karena kodrat
kelahirannya sebagai manusia. Hak ini mendahului eksistensi

74
Manunggal K Wardaya

negara, sehingga tak ada pilihan lain bagi negara kecuali harus
menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukannya.
Dalam paham kedaulatan rakyat, negara diadakan/diciptakan
untuk melindungi hak dan kebebasan asasi ini, tujuan mana jika
gagal dicapai akan menjadi justifikasi bahkan untuk membubarkan
dan mengganti dengan negara/pemerintahan baru.
Keberagamaan dan keyakinan ada dalam relung kalbu
terdalam seorang manusia. Eksistensi seorang manusia bahkan
ditentukan dari kemerdekaannya berfikir, berkeyakinan, dan
menganut pendapat dengan bebas. Adanya kemerdekaan
berkeyakinan dan beragamaan oleh karenanya adalah cerminan
manusia warga negara yang bermartabat. Hanya negara-negara
berwatak totaliter-autoritarianlah yang mendikte apa yang harus
diyakini oleh warga, apa yang harus diterima sebagai kebenaran.
Sedemikian kuatnya hak beragama dan berkeyakinan, maka
pembatasan apapun tak dapat dikenakan padanya. Dalam The
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang
pula telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 Tahun
2005, kebebasan beragama ini termasuk sebagai non-derogable
rights, hak-hak yang tak dapat dikurangkan walau suatu negara
dalam keadaan state emergency sekalipun. Hak beragama dan
berkeyakinan adalah salah satu diantaranya, bersama hak lain
seperti hak untuk tak disiksa dan hak untuk tidak diperbudak.
Dalam level domestik, kedudukan kebebasan beragama sebagai hak
yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun pula mendapat
jaminan dalam Konstitusi ; UUD 1945.
Dalam konteks pelarangan Ahmadiyah yang kian marak
di negeri ini, apapun keyakinan yang dianut oleh para pengikut
kelompok ini harus dipandang sebagai hak asasi manusia yang
semestinya mendapat pengakuan oleh negara. Negara harus
menahan diri dari berpihak pada klaim bahwa apa yang diyakini
Ahmadiyah adalah salah, sesat, dan oleh karenanya harus

75
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

dieliminasi. Sesuatu yang diyakini sebagai salah, tidak benar,


bahkan sesat bagi satu kelompok bisa jadi diyakini sebaliknya
kelompok lain. Jika kebenaran dari keyakinan hendak ditentukan
oleh kwantitas (jumlah) dan dilegitimasi oleh negara, maka hal
ini bisa berujung fatal. Sangat boleh jadi suatu saat nanti bahkan
keyakinan yang kini dianut oleh mereka yang mayoritas dalam
berkeyakinan (betapapun diyakininya sebagai yang paling benar)
akan dianggap sesat dan layak direpresi kalau keyakinannya itu
adalah sesuatu yang minor di dalam masyarakat.
Lebih jauh, hukum ada dan diciptakan bukan untuk mengadili
fikiran termasuk di dalamnya keberagamaan dan keyakinan. Secara
teknis, hukum bahkan tak akan mampu menjangkau fikiran dan
oleh karenanyalah dalam hukum, sikap batin bukanlah hal yang
relevan untuk dikriminalisasi.
Hukum dapat dibenarkan mencampuri kebebasan manusia
warga negara hanya manakala kebebasan warga negara itu telah
merugikan orang lain. Namun demikian patut diingat, bahwa
perbedaan keyakinan tak dapat serta merta dianggap sebagai
perbuatan yang merugikan, apalagi diklaim sebagai menodai dan
melecehkan.
Jika negara hendak menggunakan tolok ukur kelompok
tertentu dalam masyarakat untuk menyesatkan satu kelompok
dan aliran keyakinan, maka sesungguhnyalah negara seperti itu
telah berpihak dan gagal untuk berdiri di atas semua golongan.
Negara seperti itu telah keluar dari prinsip pembatasan kekuasaan
(konstitusionalisme) dan bahkan kehilangan maruah dan statusnya
sebagai negara nasion.
Dimasukinya ranah pikir dan keyakinan warga akan menjadi
titik awal negara untuk menghakimi moralitas warga sekalipun
tak memiliki dimensi kepentingan publik. Pada akhirnya tulisan
ini meyakini, undangan dan seruan sebagian kita terhadap
negara untuk merepresi dan mengeliminasi mereka yang berbeda

76
Manunggal K Wardaya

keyakinan sesungguhnyalah meruntuhkan komitmen kita sendiri


untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara dengan
semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Dimuat di Harian Suara Merdeka 18 Maret 2011

77
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

14. KARTINI DAN DEMOKRASI

D
alam banyak buku sejarah yang diajarkan di sekolah-
sekolah maupun dalam berbagai seremoni memperingati
kelahirannya, gelar Raden Ajeng kerap  disebut-sebutkan
di depan nama Kartini. Penyebutan itu tentu tak salah karena
Kartini memang berasal dari keluarga aristokrat, dibesarkan dalam
lingkungan kabupaten, sebuah masyarakat kecil yang tersusun
atas lapisan-lapisan sesuai dengan struktur sosial feodal. Namun,
penyebutan gelar kebangsawanan tersebut tidak akan membuat
Kartini gembira, sekiranya ia masih hidup dan hadir dalam
perayaan yang ditujukan untuk menghargai jasanya terhadap
bangsa ini. Dikatakan demikian, karena Kartini memang tak
mau dipanggil dengan panggilan Raden Ajeng. Ia berkeyakinan
bahwa semua manusia pada hakikatnya sama, dan berbagai
gelaran yang artifisial sifatnya itulah yang justeru menimbulkan
banyak ketidakadilan sosial. Tulisan ini secara singkat menyoroti
signifikansi dan relevansi pemikiran Kartini dalam dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sosok Kartini yang begitu kritis terhadap kondisi sosial politik
memang tidak banyak didapat dalam buku Habis Gelap Terbitlah

78
Manunggal K Wardaya

Terang (Door Duisternicht tot Licht) yang  hingga kini menjadi


rujukan utama untuk memperkenalkan keberadaannya. Sosoknya
yang lain, seorang feminis Jawa yang mencabar kebenaran sosial
politik pada jamannya ditemukan dalam buku Panggil Aku Kartini
sajayang disusun berdasar surat-surat Kartini. Dalam buku yang
ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer itu terungkap pandangan-
pandangan non konformis puteri Bupati Jepara ini terutama yang
berkaitan dengan hal ikhwal sosial dan politik, filsafat, dan bahkan
agama. Salah satunya yang paling menohok adalah permintaan
Kartini sendiri agar dipanggil tanpa gelaran apapun, suatu
penolakan tegas terhadap feodalisme.
Bahwa Kartini menolak panggilan Raden Ajeng tentu adalah
suatu keluarbiasaan. Diletakkan dalam konteks masanya ketika
paham ketidaksamaan derajat diantara manusia masih begitu
kuat di tanah Jawa, apa yang menjadi pandangan perempuan yang
pandai melukis ini adalah suatu lompatan sejarah, suatu dobrakan
dari dalam jantung feodalisme itu sendiri. Ia memuja kesetaraan,
persamaan antar manusia, dan demokrasi. Walau ia adalah puteri
bangsawan, hidup dalam pingitan, hati sanubarinya begitu dekat
dengan rakyat dan mencurahkan segala perhatiannya demi
kemakmuran rakyat. Diyakininya bahwa gelar gelar kebangsawanan
justeru membuat beban dan menyebabkan ketidakadilan sosial
karena dengannya orang tak akan sekali-kali berkesamaan
derajat sebagai manusia. Ia menulis pedas betapa para bangsawan
mempertahankan kebangsawanan dan kebodohan diantara para
pribumi guna terus berkuasa terhadapnya. Tentangan atas usahanya
untuk mendirikan sekolah bagi kaum pribumi diyakininya lebih
disebabkan karena ketakutan para bangsawan akan runtuhnya
eksistensi mereka di panggung kuasa manakala masyarakat telah
lebih melek dengan pendidikan.
Tak saja terhadap para bangsawan pribumi, perempuan yang
namanya diabadikan sebagai nama jalan di negeri Belanda itu juga

79
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

keras mengkritik pejabat Belanda yang juga mengukuhi anggapan


bahwa bangsa penjajah, Eropa, lebih mulia dari kaum pribumi
terjajah. Bahwa Belanda lebih agung dan mulia daripada orang
Jawa dan oleh karenanya bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan tak
seharusnya ada dalam benak kepala orang Jawa. Kendati ia dekat
dengan banyak orang Belanda dan peradaban Barat/Eropa yang
ia pandang mencerahkan, namun ia tetap kritis terhadap perilaku
aparat kolonial yang memperlakukan manusia tak sebagaimana
harusnya manusia diperlakukan. Ia haus untuk mengecap kultur
Eropa yang diyakininya membebaskan dari adat kuno feodalisme
yang tak terhindarkan, sembari meyakini pula bahwa peradaban
Eropa tak sama dengan penjajahan Barat di Hindia Belanda.
Sesungguhnyalah, kritik Kartini akan feodalisme dimana
orang mendapat penghormatan karena semata status darah yang
mengalir dan jabatan amatlah paralel dengan prinsip kesetaraan
(equality) yang dikenal dan diakui dalam berbagai instrumen
hukum HAM baik dalam levelnya yang internasional maupun
domestik. Perjuangannya untuk mendirikan sekolah bagi kaum
pribumi adalah manifestasi atas keyakinannya yang teguh bahwa
sesiapapun manusia tanpa membedakan status sosialnya memiliki
hak atas pendidikan, sebuah prinsip non-diskriminasi dalam
penikmatan HAM. Sementara itu pandangannya bahwa para
bangsawan seharusnya memiliki kepedulian sosial, menyingsingkan
lengan baju guna kemakmuran rakyat adalah pula manifestasi
faham demokrasi di mana rakyat adalah pemegang kuasa, yang
berdaulat.
Penolakannya atas penghormatan berlebihan terhadap
manusia karena mitos genetis kebangsawanan dan implikasinya
di lapangan publik adalah gugatan yang dapat disetarakan dengan
pemikiran John Locke (1632-1704) yang pula mencabar kekuasaan
absolut raja yang mendasarkan kuasa mereka dengan klaim takdir
ketuhanan. Baik Kartini maupun Locke meyakini bahwa setiap

80
Manunggal K Wardaya

manusia adalah sama, oleh karenanya konstruksi sosial yang


menghalangi kesamaan itu mustilah diruntuhkan. Kadar seseorang
haruslah ditakar dari peran dan kontribusinya dalam masyarakat,
dan bukannya klaim-klaim yang menyandarkan pada bangunan
mitologi akan adanya hak istimewa dari Tuhan.
Pemikiran dan perjuangan Kartini  sudah barang tentu tetap
relevan untuk diimplementasikan dalam perikehidupan kekinian
tak saja dalam pemahamannya yang domestik-konvensional (yang
melulu berkisar pemberdayaan kaum Ibu dan perempuan seperti
selama ini dicoba-kesankan), namun lebih dari itu sebagai inspirasi
bagi sesiapapun  pejabat negara dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya. Sikap politik Kartini yang tak ingin dihormati
sekedar karena kebangsawanannya sudah semestinya menjadi
teladan para penyelenggara negara terutama dalam konteks negara
berpaham kedaulatan rakyat sebagaimana ditegaskan Pasal 1 ayat
(2) UUD 1945.
Prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi sebagaimana
diperjuangkan Kartini sepatutnya tak dilupakan guna terwujudnya
keadilan dan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Para
pejabat penyelenggara mestilah menempatkan diri sebagai abdi
masyarakat dan bukan sebaliknya; mengkreasi feodalisme jaman
modern yang menuntut upeti dan imbalan dari majikan sejatinya:
manusia warga negara.

Dimuat di Harian Satelit Pos 26 April 2012

81
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

15. PERLINDUNGAN PROFESI


WARTAWAN

T
ewasnya Ridwan Salamun, seorang kontributor SUN
TV menimbulkan duka dan keprihatinan yang amat
mendalam terutama dari kalangan jurnalis. Sebagaimana
diketahui, Ridwan tewas disabet senjata tajam manakala bertugas
melipit konflik massa di Tual, Maluku. Bukan kejadian pertama
yang menimpa jurnalis tanah air, kejadian serupa dalam wilayah
konflik seperti yang menimpa Ridwan pernah dialami wartawan
RCTI Ersa Siregar. Ersa tewas diterjang peluru ketika menjalankan
tugas meliput konflik bersenjata antara TNI dan Gerakan Aceh
Merdeka.
Sementara itu, walaupun tak sampai mengalami peristiwa
fatal, penyanderaan dua orang wartawan Metro TV dalam konflik
di Irak masing-masing presenter Meutia Hafidz dan juru kamera
Budiyanto sempat menjadi keprihatinan publik beberapa waktu
silam. Di area bencana, kita masih mengingat tewasnya wartawan
Lativi Suherman dan juru kamera SCTV Muhammad Guntur
manakala melakukan liputan tenggelamnya kapal Levina pada
tahun 2007. Demikianlah, profesi wartawan, terutama dalam
konteks wilayah konflik dan atau bencana nyatalah teramat rawan

82
Manunggal K Wardaya

dan beresiko tinggi terhadap keselamatan. Tulisan ini secara


singkat hendak memberikan eksplanasi atas pertanyaan seputar
sejauh manakah hukum positif di Indonesia melindungi profesi
wartawan dalam wilayah konflik dan bencana.
Seorang wartawan pada hakekatnya adalah wakil publik
dalam mencari informasi, suatu penikmatan hak untuk tahu (right
to know) yang dikenal, diakui, dan dijamin tidak saja sebagai hak
konstitusional (constitutional rights) dalam UUD, namun pula
sebagai hak asasi manusia (human rights) dalam berbagai deklarasi
dan perjanjian internasional hak-hak asasi manusia. Adalah
kewajiban negara menurut konstitusi dan hukum internasional
untuk melindungi hak ini, perlindungan mana diwujudkan
dengan upaya legislasi maupun delegislasi yang ditujukan bagi
terpenuhinya hak ini. Dalam konteks hukum media, perlindungan
tidak saja diberikan pada jurnalis agar memiliki akses seluas-
luasnya untuk mencari informasi, namun pula perlindungan
terhadap aktifitasnya dalam rangka mencari informasi itu.
Tewasnya seorang wartawan dalam melaksanakan tugas mencari
informasioleh karenanya memiliki dimensi publik: terampasnya
hak masyarakat untuk tahu.
Pasal 8 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers menyatakan bahwa
dalam menjalankan tugasnya, wartawan mendapat perlindungan
hukum. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa perlindungan
hukum dimaksud adalah jaminan pemerintah dan atau masyarakat
kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban,
dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku. Namun demikian, pasal tersebut tidaklah fungsional
dan hanya befungsi dekoratif belaka. Dikatakan demikian, karena
bahkan UU Pers sekalipun tak memberikan perlindungan hukum
yang adekwat kepada profesi wartawan.
Lebih spesifik jika dikaitkan dengan wartawan yang bertugas
di area konflik maupun bencana, tidak ada satu pasalpun dalam

83
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

UU Pers yang mewajibkan perusahaan pers untuk memberikan


peralatan standar keselamatan, asuransi, maupun skill bagi
wartawan yang ditugaskan untuk melakukan liputan dalam area
konflik/bencana. Kalaupun ada standar perlindungan wartawan
seperti itu, maka ketentuan ini hanya tertuang dalam Peraturan
Dewan Pers No. 5/Peraturan-DP/IV/2008 yang sekalipun cukup
apik dalam merinci hal-hal terkait perlindungan wartawan, namun
tak lebih dari dokumen etik yang tak memiliki kekuatan hukum
mengikat yang dapat dipaksakan. Nampak jelas bahwa keselamatan
wartawan dalam area konflik maupun bencana digadaikan dengan
menyerahkan persoalan yang teramat krusial ini semata-mata
pada ‘kemurahan dan kebaikan hati’ masing-masing perusahaan
media dimana seorang wartawan bekerja.
Padahal, kalaulah standar perlindungan profesi wartawan
sebagaimana termuat dalam peraturan dewan pers tersebut
menjadi muatan UU Pers, maka ia dapat diharapkan melindungi
seorang jurnalis manakala ia harus turun melakukan peliputan
di daerah konflik maupun daerah bencana. Perlindungan seperti
ini dapat diharapkan tegak karena ketaatannya ditopang dengan
sanksi pidana yang keras bagi perusahaan pers yang ingkar
memenuhinya. Nihilnya ketentuan yang menjamin perlindungan
profesi wartawan menimbulkan kesan kuat bahwa (para pembuat)
UU Pers sesungguhnya lebih berpihak pada kepentingan pengusaha
daripada kepada wartawan. Ancaman denda ratusan juta rupiah
tanpa memberikan minimal denda kepada pengusaha pers dalam
kaitannya dengan pelanggaran terhadap kewajiban melayani hak
jawab maupun larangan memuat hal yang bertentangan dengan
kesusilaan semakin kuat mengindikasi kecurigaan ini.
Tewasnya Ridwan adalah kepahitan yang kesekian kali terjadi
dalam dunia jurnalistik di tanah air. Namun demikian sangat
boleh jadi masih akan terjadi lagi peristiwa serupa selama tak ada
perlindungan hukum yang memadai bagi wartawan. Sudah saatnya

84
Manunggal K Wardaya

pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat melakukan revisi


terhadap UU Pers agar lebih berpihak kepada kepentingan dan
keselamatan wartawan manakala seorang wartawan bertugas di
daerah konflik.

Dimuat di Harian Suara Merdeka 25 Agustus 2010

85
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

16. KEKERASAN TERHADAP JURNALIS,


PERLINDUNGAN PROFESI WARTAWAN
DAN KEMERDEKAAN PERS
DI INDONESIA

T
here Can Be No Press Freedom if Journalist Exist in
Conditions of Corruption, Poverty or Fear (International
Federation of Journalist)

Pendahuluan
Dalam sebuah diskusi memperingati Hari Kemerdekaan Pers
Sedunia di Jakarta 15 Mei 2011, Ketua Dewan Pers Bagir Manan
menyatakan bahwa kemerdekaan pers mengalami ancaman
tidak saja dari sistem kekuasaan yang otoriter, namun pula dari
masyarakat. Bagir menyatakan kekhawatirannya bahwa kekerasan
terhadap wartawan yang akhir-akhir ini banyak terjadi merupakan
bentuk rasa frustasi masyarakat atas situasi politik, sosial, maupun
ekonomi. Pers yang memiliki posisi lemah, demikian Bagir
kemudian menjadi sasaran frustasi masyarakat.
Pernyataan  Bagir bahwa paradigma otoritarianisme masih
bercokol dalam kekuasaan Indonesia menemukan pembenarannya
dalam konteks kekinian manakala makalah ini dituliskan.
Penusukan terhadap Banjir Ambarita, kontributor Viva News di
Papua yang diduga terkait dengan pemberitaan yang diturunkannya

86
Manunggal K Wardaya

mengenai pelecehan seksual oleh aparat negara maupun


pemukulan terhadap Hendri Syahputra Hasibuan stringer SCTV di
Medan yang diduga dilakukan oleh aparat Brimob membuktikan
bahwa tradisi berkuasa secara otoriter masih dijalankan oleh para
pemegang kekuasaan. Sementara itu, pernyataan Bagir mengenai
kaitan antara rasa frustasi sosial dengan kekerasan terhadap
wartawan bisa jadi memiliki pembenarannya dari sudut pandang
akademis/ilmu sosial. Segar di ingatan kita adalah terbunuhnya
Ridwan Salamun, kontributor Sun TV di Tual, Maluku, dalam
sebuah kerusuhan massa.
Masih terjadinya kekerasan terhadap wartawan dalam jumlah
yang signifikan tentulah fenomena yang amat memprihatinkan
terlebih lebih setelah gerakan reformasi telah bergulir lebih dari
satu dasawarsa. Hal ini mengingat kebebasan pers sesungguhnyalah
memiliki tempat yang istimewa dalam agenda gerakan reformasi.
Manakala sistem otoriter Orde Baru yang sarat dengan
pengekangan kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi
telah diruntuhkan dan instrumen hukum yang demokratis
untuk menjamin kebebasan pers telah dilahirkan, semestinyalah
kekerasan terhadap wartawan mengalami kecenderungan untuk
semakin menurun. Oleh karenanya, terus terjadinya kekerasan
terhadap wartawan tak perlak menimbulkan pertanyaan dan
kegusaran tersendiri: apa yang salah sekaligus harus dibenahi
dalam kehidupan pers kita?
Tulisan ini  secara singkat menelaah akar persoalan kekerasan
terhadap wartawan pada tataran regulasi kaitannya dengan
ketentuan mengenai Standar Perlindungan Profesi Wartawan.
Lebih jauh, tulisan ini juga akan menyinggung perihal Standar
Kompetensi Wartawan (SKW) yang didesain meningkatkan
profesionalisme wartawan dan pada gilirannya memiliki makna
strategik dalam meminimalisir terjadinya kekerasan terhadap
wartawan.

87
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Pada akhirnya, tulisan ini memberikan rekomendasi langkah-


langkah yang dapat dilakukan untuk mewujudkan perlindungan
lebih baik kepada wartawan.

Lemahnya Regulasi
Kekerasan terhadap jurnalis pada dasarnya adalah ancaman
terhadap demokrasi. Jurnalis maupun perusahaan pers yang merasa
terancam dan terintimidasi karena tindakan kekerasan berpotensi
kehilangan kebebebasan dalam menyampaikan informasi yang
patut diketahui publik. Manakala pers tak lagi bebas, sesungguhnya
pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat, karena informasi
yang seharusnya diterima untuk kemudian dijadikan bahan untuk
mengambil sikap politik sebagai warga negara tak lagi dapat
dinikmati.
Perlindungan terhadap wartawan bukannya tidak disadari
oleh pembentuk Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang
Pers (UU Pers). Pasal 8 UU Pers secara eksplisit menyatakan,
bahwa dalam menjalankan tugasnya wartawan memperoleh
perlindungan hukum. Namun begitu perlindungan hukum
yang dimaksud tak begitu jelas dan tegas. Kalaupun ada, maka
perlindungan yang ada lebih kepada perlindungan represif,
bersaranakan hukum pidana yang baru dapat diterapkan manakala
suatu peristiwa kekerasan telah terjadi. Namun, tidak ada produk
hukum yang secara adekwat dan spesifik memfasilitasi jaminan
keselamatan terhadap wartawan dalam maknanya yang preventif,
yang mencegah maupun meminimalisir terjadinya kekerasan atau
dampak kekerasan.
Ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan wartawan
memang dijumpai dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 5/
Peraturan-DP/IV/2008 tentang  Standar Perlindungan Profesi
Wartawan. Dalam Peraturan tersebut dinyatakan antara lain bahwa
wartawan dilindungi dari kekerasan, pengambilan, penyitaan, dan

88
Manunggal K Wardaya

atau perampasan alat alat kerja serta tidak boleh dihambat atau
diintimidasi oleh pihak manapun. Lebih lanjut peraturan tersebut
juga menyatakan bahwa wartawan yang ditugasi di wilayah
berbahaya dan atau wilayah konflik harus dibekali surat penugasan,
peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, dan asuransi, serta
pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan
dengan penugasannya.
Dua contoh klausul dari total 9 butir perlindungan terhadap
wartawan dalam peraturan dewan pers sebagaimana dipaparkan
di atas tentunya amat baik, dan diharapkan bisa meminimalisir
terjadinya kekerasan terhadap wartawan. Namun begitu tidak ada
ketentuan hukum yang memberi sanksi tegas lagi menjerakan bagi
sesiapapun termasuk perusahaan pers yang tidak melaksanakan
ketentuan tersebut. Padahal misalnya, pemberian bekal
keterampilan, alat keselamatan, training dalam level tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam butir ke-6 lampiran peraturan
dewan pers tersebut begitu penting untuk dipunyai seorang jurnalis,
karena dapat menghindarkan-minimal mengurangi-kemungkinan
kekerasan terhadap wartawan. Di sisi lain ketentuan ini secara
nature akan dihindari oleh perusahaan karena pelaksanaan
ketentuan ini mengandung konsekwensi pengeluaran dana oleh
perusahaan pers.
Memanglah benar, bahwa sesuai dengan Piagam Palembang
tentang Kesepakatan Perusahaan Pers Nasional, peraturan Dewan
Pers mengenai standar perlindungan profesi wartawan ini (bersama
dengan peraturan Dewan Pers yang lain) telah disepakati oleh
perusahaan pers untuk menjadi bagian dari kebijakan perusahaan
pers. Namun sekali lagi, karena formatnya hanya berupa peraturan,
ketaatan terhadapnya hanya bergantung pada kemauan baik
dan moralitas perusahaan saja yang terwujud dalam peraturan
perusahaan, atau paling jauh dalam format Perjanjian Kerja
Bersama (PKB). Kesepakatan buruh vis a vis majikan sebagaimana

89
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

disebutkan terakhir ini tentu tidak selalu menghasilkan keputusan


yang menguntungkan wartawan (dan karyawan pers), karena
sebagai sebuah perusahaan, perusahaan media tak terkecuali akan
bertindak dengan logika ekonomi yakni untung-rugi.
Tidak adanya ketentuan hukum yang tegas menjamin
dipenuhinya perlindungan profesi wartawan ini tentu merupakan
celah hukum yang berdampak negatif terhadap perlindungan
wartawan. Padahal terpenuhinya standar perlindungan profesi
wartawan memiliki implikasi yang amat signifikan bagi
terlindunginya wartawan dari kekerasan (pula kecelakaan!).
Menambahkan apa yang dinyatakan oleh Bagir Manan, tulisan
ini meyakini bahwa bahwa tak saja dikarenakan rasa frustasi
atas kondisi di sekitarnya maupun karena paradigma negara
kekuasaan yang masih saja menjadi paradigma sebagian aparatur
negara, kekerasan terhadap wartawan sangat boleh jadi timbul
dikarenakan karena hukum memang tidak cukup melindungi
profesi wartawan.

Perubahan UU Pers
Manakala ketentuan yang dakomodir dalam peraturan Dewan
Pers ini telah cukup baik namun lemah dalam penegakannya,
maka antitesis atas hal ini adalah membuat ketentuan di dalam
peraturan tersebut menjadi lebih efektif lagi implementatif.  Salah
satu cara adalah dengan memasukkan ketentuan tersebut ke dalam
perubahan UU Pers, sebuah proses yang dalam sudut pandang
hukum ketatanegaraan tak pelak akan melibatkan dua lembaga
negara: Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Jika aspirasi ini
berhasil menjadi muatan perubahan UU Pers, maka perlindungan
profesi wartawan akan lebih kokoh ditegakkan guna meminimalisir
kekerasan dan kecelakaan yang menimpa wartawan.  Serangkaian
tindakan, pelatihan, dan pemberian fasilitas terhadap wartawan
yang ditujukan untuk melindungi wartawan misalnya, nantinya

90
Manunggal K Wardaya

tidak lagi digantungkan semata pada kebaikan hati maupun


kesepakatan yang kerapkali bercorak ‘David dan Goliath’, akan
tetapi lebih kepada topangan sanksi (pidana) oleh negara yang
tak mengenakkan lagi menjerakan. Dukungan segenap insan
jurnalistik dalam mendorong ke arah proses perubahan UU
Pers yang lebih fasilitatif terhadap jurnalis ini menjadi hal yang
harus ada, terlebih mengingat bahwa dalam perspektif hukum
kritis, upaya ini sangat boleh jadi akan mengundang ‘perlawanan’
terutama dari para pemodal media.

Ketidakprofesionalan Sebagai Pemicu Kekerasan


Terlepas dari persoalan di atas, tulisan ini pula meyakini
bahwa kekerasan terhadap wartawan pula bisa jadi diakibatkan
karena kejenuhan masyarakat atas buruknya kinerja jurnalistik
selama ini. Masyarakat terprovokasi dengan kerja jurnalistik
yang bombastik, tidak akurat, jauh dari realita, maupun terlalu
mencampuri privasi seseorang. Pernyataan Dewan Pers Nomor
06/P-DP/IV/2011 Tentang Penyelesaian Masalah antara Global
TV dan Ahmad Dhani seolah mengafirmasi keterkaitan antara
profesionalisme wartawan dan kekerasan terhadap jurnalis.
Terungkap dalam pernyataan tersebut bahwa kedua pihak memiliki
andil yang sama dalam terjadinya kekerasan terhadap wartawan
Global. Secara spesifik, Dewan Pers menyoroti tidak ditaatinya
kode etik jurnalistik oleh Global TV dalam pemberitaan mengenai
Ahmad Dhani sebelumnya selain tindakan Ahmad Dhani yang
dapat dikategorikan menghalang-halangi kinerja wartawan dalam
melakukan kerja jurnalistik.
Adalah benar bahwa dalam hal terjadinya kekeliruan
maupun kesalahan dalam pemberitaan, orang tidak boleh
melakukan tindakan main hakim sendiri. Alih-alih demikian,
mekanisme sebagaimana dikenal dalam dunia jurnalistik yang
telah diakomodir dalam UU Pers berupa hak jawab dan hak

91
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

koreksi haruslah ditempuh. Akan tetapi, dua mekanisme itu


juga tak memiliki pembenarannya manakala digunakan sebagai
tameng dilakukannya kinerja jurnalistik yang serampangan. Hak
jawab dan hak koreksi berangkat dari asumsi dasar bahwa kinerja
jurnalistik-betapapun hati-hatinya ia dilakukan- tetaplah memiliki
kemungkinan terjadinya kesalahan. Namun, kesalahan dimaksud
bukanlah sesuatu yang disengaja, apalagi dilakukan dengan sadar
untuk mendayagunakan power atas informasi yang dimilikinya
guna semata untuk mengejar keuntungam bisnis maupun untuk
dipertukarkan dengan power lain berupa jabatan maupun uang.
Kerja jurnalistik sesungguhnyalah resultante dari berbagai
faktor yang teramat kompleks meliputi kecakapan dan skill
jurnalistik seorang wartawan, kondisi perusahaan yang
menaunginya, pula regulasi yang mengaturnya. Seorang wartawan
yang tak memiliki tak memiliki bekal pengetahuan jurnalistik yang
memadai akan lebih mudah melakukan pelanggaran kode etik.
Sementara itu, seorang wartawan kendati memiliki pengetahuan
jurnalistik namun bekerja dalam atmosfir perusahaan yang
kapitalistik, mengejar pemberitaan tanpa mengindahkan etika
jurnalistik, akan bekerja di luar koridor etika jurnalis yang pada
akhirnya bermuara pada kekerasan wartawan.

Standar Kompetensi Wartawan


Jika perubahan UU Pers adalah jawaban yang bisa diberikan
untuk mereduksi kekerasan terhadap wartawan sebagai akibat
lemahnya regulasi, maka Standar Kompetensi Wartawan (SKW)
menemukan relevansinya untuk diterapkan guna meminimalisir
kekerasan yang diakibatkan karena kurangnya kompetensi seorang
wartawan. SKW yang tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor
1/Peraturan-DP/II/2010 mengenai Standar Kompetensi Wartawan
ini menjadi penting di tengah semakin menjamurnya media seiring
dengan perkembangan teknologi informasi dan begitu mudahnya

92
Manunggal K Wardaya

setiap orang untuk menyandang profesi wartawan.


Publik memiliki hak untuk tahu (right to know), dimana
media berfungsi untuk memenuhi hak untuk tahu ini. Namun
demikian, publik juga berhak untuk mengetahui informasi yang
seakurat dan sebenar mungkin. SKW, demikian peraturan dewan
pers menyatakan, diperlukan untuk melindungi kepentingan
publik dan hak pribadi masyarakat. Namun tulisan ini pula
meyakini bahwa SKW pula diperlukan oleh wartawan itu sendiri
guna meminimalisir kesalahan maupun kerusakan yang tak
perlu yang diakibatkan oleh kerja jurnalistik. Dengan memenuhi
kecakapan minimal sebagaimana telah dirumuskan dari dalam
insan pers sendiri, maka hasil kerja jurnalis yang memiliki
dampak publik amat tinggi itu dapat diandalkan kesahihan
maupun keterandalannya. SKW memungkinkan seorang jurnalis
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan keahlian yang relevan
dengan tugasnya sebagai jurnalis. Dalam konteks perlindungan
terhadap profesi wartawan, kekerasan yang dipicu sebagai akibat
tidak profesionalnya wartawan seperti ditunjukkan dalam kasus
penganiayaan wartawan Global TV oleh pihak Ahmad Dhani bisa
semaksimal mungkin dihindarkan.
Lepas dari itu, Standar Perusahaan Pers juga perlu untuk
diperhatikan dan diperlakukan sama pentingnya manakala
membincangkan kemerdekaan pers. Perusahaan pers yang
tidak profesional, yang semata mata memandang bisnis media
sebagai business as usual, akan menghalalkan segala cara untuk
menghasilkan berita, melakukan intimidasi terhadap karyawan
dan wartawan untuk mendapatkan berita apapun caranya dengan
tujuan mencari keuntungan. Di sisi lain jika standar kompetensi
wartawan ini tidak memiliki impak signifikan terhadap
kesejahteraan wartawan, betapapun cakapnya seorang wartawan,
sertifikasi hanyalah sertifikasi yang tak akan berbekas dalam karya
jurnalistik yang dihasilkan.

93
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Lebih jauh, membincangkan ancaman terhadap kebebasan


pers  seharusnya tidak selalu dikonotasikan dengan berbagai
hal berbau kekerasan, intimidasi, maupun teror. Alih-alih
selalu menggunakan mindset yang demikian, sesungguhnyalah
kebebasan pers pula amat terancam dengan kooptasi wartawan
(maupun media berita) dengan kekuatan uang dan kuasa politik.
Alih-alih secara heroik melakukan penentangan, protes, maupun
aksi keprihatinan maupun solidaritas ketika terjadi kekerasan,
terenggutnya kebebasan pers dengan cara ini justeru kerapkali
disambut dengan suka cita dan sama sekali tidak dirasa sebagai
suatu ancaman. Dapat dikendalikannya muatan pemberitaan
melalui iklan politik maupun pencitraan politik adalah contoh
sederhana untuk menjelaskan ancaman kebebasan pers yang
ironisnya kerap kali justeru didamba oleh perusahaan media.

Penutup
Dari paparan di atas menjadi jelas bahwa kekerasan terhadap
wartawan bukan melulu persoalan eksternal melainkan pula faktor
internal yang melingkup kinerja jurnalistik. Perlindungan hukum
yang tidak cukup memadai, dapat membuat wartawan menjadi
korban kekerasan manakala menjalankan profesinya. Sementara
itu, kerja jurnalistik yang dilakukan secara serampangan pada
akhirnya pula dapat berujung pada kekerasan terhadp wartawan.
Perubahan UU Pers yang lebih protektif terhadap profesi wartawan
oleh karenanya menemukan relevansinya untuk digagas. Selain
itu, sertifikasi wartawan pula menjadi salah satu mekanisme untuk
menciptakan kehidupan pers yang sehat yang sekaligus diharapkan
meminimalisir kekerasan terhadap wartawan.

Makalah disampaikan dalam Diskusi Advokasi Jurnalis di


Baturraden-Banyumas, Jawa Tengah, 20 Mei 2011, diselenggarakan
oleh Paguyuban Wartawan Purwokerto (Pawarto)

94
Manunggal K Wardaya

17. PERS VS KEKUASAAN

D
alam pernyataan pers yang disampaikan di kediamannya
di Puri Cikeas (11/7), Ketua Dewan Pembina Partai
Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
melontarkan sinyalemen bahwa Pers telah memecah belah partai
terkait gencarnya pemberitaan mengenai mantan bendaharawan
PD Nazaruddin. SBY merasa gusar dengan pers yang menyoroti
konflik partai dengan mendasarkan pada short message service
(SMS) dan BlackBerry Messenger (BBM) seraya melontarkan
spekulasi adanya intrik politik dibalik pemberitaan media untuk
mendiskreditkan PD. Gusar karena media menggunakan pesan
pendek yang menurutnya tidak valid sebagai headline, SBY yang
pula Presiden RI ini mewanti publik untuk tidak mau dipecah belah
oleh pers. Tulisan ini akan mengkaji pernyataan ketua PD tersebut
dalam perspektif hukum pers dan filsafat hukum ketatanegaraan.
Menerima, mengolah, dan menyampaikan informasi adalah
kegiatan pers sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir (1) UU
No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Kegiatan ini tidak bisa dilepaskan
dari dianutnya paham kedaulatan rakyat dimana dimahfumi
bahwa rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam sebuah

95
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

entitas bernama negara. Dalam kerangka berfikir tentang hakekat


pemilik kuasa tertinggi seperti ini, rakyat memiliki hak dan
kebebasan dasar termasuk di dalamnya hak dan kebebasan atas
informasi, berbicara, berpendapat, dan berkekspresi, serangkaian
hak dan kebebasan dasar manusia yang diakui dalam Deklarasi
HAM PBB 1948 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
1966. Berbagai hak yang telah diakui secara universal itu pula
menjiwai dan menjadi muatan konstitusi tertulis UUD 1945, UU
No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU Pers.
Serangkaian kebebasan itu dijamin dan dilindungi oleh
negara, mewajibkan negara, menurut hukum internasional,
untuk melakukan langkah-langkah efektif untuk memastikan
pemenuhannya. Pembatasan terhadap hak dan kebebasan dasar
itu memanglah dimungkinkan, namun hanya melalui hukum
demi melindungi moralitas dan kesehatan publik dalam sebuah
masyarakat demokratis dan memang diperlukan untuk kitu.
Kemerdekaan pers adalah manifestasi prinsip kedaulatan
rakyat yang inheren dengan penghormatan hak dan kebebasan
asasi manusia. Pers memungkinkan publik mengetahui hal-hal
yang berkaitan dengan minat maupun kepentingannya. Dalam
konteks jalannya kekuasaan, informasi mengenai bagaimana
kekuasaan dijalankan dan perilaku aktor politik yang menyandang
kepercayaan publik (termasuk anggota DPR seperti Nazarudin)
hanya mungkin dapat diketahui (dan oleh karenanya kemudian
dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan politik) jika
ada pers yang bebas.
Informasi pers menjadi pencerah, memberi informasi
seluas-luasnya dalam rangka melaksanakan fungsi kontrol sosial
dengan satu legitimasi luhur: kepentingan umum. Sudah barang
tentu, dalam menjalankan perannya yang dijamin oleh Pasal
6 butir (d) UU Pers tersebut media tidak dapat menjalankan
fungsinya dengan sebebas-bebas dan semaunya. Sebagaimana

96
Manunggal K Wardaya

telah disinggung sebelumnya, kemerdekaan pers selain dijamin


sebagai hak asasi manusia juga dibatasi oleh hukum dan pula kode
perilaku jurnalistik.
Dalam konteks keberatan SBY terkait validitas pesan
singkat dari berbagai moda komunikasi yang diklaim berasal dari
Nazaruddin, sebenarnyalah keraguan itu bukannya sesuatu yang
tidak wajar. Hanya saja, kritik atas digunakannya pesan pendek
sebagai sumber informasi seraya menambahkan bahwa hal itu
sebagai upaya mendiskreditkan partainya memberi kesan kuat
akan ketidakpahaman figur utama PD ini tentang hukum pers.
Mestilah dipahami, pada dasarnya segala macam sumber informasi
(terlebih di era digital seperti sekarang) dapat digunakan selama
ia kredibel dan diyakini validitas dan akurasinya oleh jurnalis.
Kalaupun apa yang diberitakan media sesuai dengan keterangan
sumber berita itu disangkal kebenarannya, maka harus pula
diingat bahwa kebenaran jurnalistik bukanlah kebenaran hukum
melainkan kebenaran narasumber. Lebih lanjut, adalah pula bagian
dari kewajiban etik jurnalis untuk merahasiakan sumber berita
termasuk sumber SMS dan BBM jika itu memang dipandang perlu
untuk melindungi nara sumber maupun atas permintaan sumber
berita itu sendiri.
Kalaupun SBY maupun PD merasa dirugikan dengan
pemberitaan selama ini mengenai PD yang bersumber dari
berbagai pesan pendek tersebut, ia dan PD memiliki hak untuk
menggunakan hak jawab sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5
ayat (2) UU Pers yang secara detail dituangkan dalam Peraturan
Dewan Pers No. 9 Tentang Pedoman Hak Jawab. Hak jawab bersama
hak koreksi adalah jantung hukum pers yang mengharuskan pers
untuk melayani seseorang maupun sekelompok orang yang merasa
dirugikan oleh suatu pemberitaan. Jika meyakini ada pelanggaran
atas kode etik jurnalistik, ia dapat mengadukan penanggungjawab
media pada Dewan Pers.

97
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Tulisan ini meyakini bahwa pendekatan melalui jalur yang


dikenal dalam dunia jurnalistik sebagaimana dipaparkan di atas
akan lebih baik bagi citra SBY dan PD daripada menyalahkan
pers secara pukul rata tanpa menunjuk media mana yang
dimaksud. Selain merefleksi ketidakpahaman akan hukum
media, menyalahkan pers terkait kaburnya mantan bendahara
PD yang pula anggota DPR Nazaruddin justeru memberi kesan
kuat upaya PD untuk mengalihkan perhatian atas kasus besar
yang amat sangat mengikis kepercayaan publik tersebut. Amat
disayangkan bahwa kontrol media yang menyuarakan kegusaran
dan kemarahan rakyat atas kegagalan PD untuk konsisten sebagai
partai yang bebas korupsi seperti yang digembar gemborkan dalam
kampanye justeru direspon dengan pembelokan isu yang justeru
kontraproduktif. Publik menjadi bertambah kecewa karena pers
sebagai representasi suara rakyat yang membongkar skandal suap
pembangunan wisma SEA GAMES ini justeru hendak diredam.
Pada akhirnya, dengan menyalahkan media sementara
komitmen partai terhadap korupsi justeru semakin “jauh panggang
dari api”, sangat boleh jadi hasil berbagai survei yang menyebutkan
bahwa popularitas SBY dan PD semakin menurun akibat kasus
Nazaruddin, yang selama ini dengan gigih diingkari, justeru akan
semakin mendekati kebenarannya.

Pernah dimuat di Harian Suara Merdeka 16 Juli 2011


dengan judul “Kritik SBY Terhadap Pers”

98
Manunggal K Wardaya

18. TRAGEDI DALAM


BINGKAI MEDIA

B
encana alam Tsunami yang terjadi di Jepang Maret 2011
masih hangat di benak kita. UN Office for the Coordination
of Humanitarian Affairs menyebutkan 1.647 orang tewas
dan 1.990 lainnya terluka akibat bencana alam itu. Pemberitaan
mengenai bencana yang menghancurkan 2.852 bangunan dan
merusakkan sekitar 40.000 bangunan lainnya di negeri matahari
terbit itu tersebar luas ke seluruh penjuru dunia tak terkecuali
Indonesia. Hampir tiap hari media cetak, elektronik maupun
Indonesia menyuguhkan betapa porak porandanya Jepang, negeri
yang dikenal akan inovasi teknologinya itu.
Mengikuti pemberitaan bencana di Jepang tersebut, ada
sesuatu yang terasa hilang manakala   dikontraskan dengan
pengalaman kita sebagai bangsa yang pernah mengalami hal serupa
di Aceh pada akhir 2004 silam. Dapat dikatakan tidak ada gambar
mayat bergelimpangan yang ditampilkan dalam bencana yang
menghantam bagian Utara negeri matahari terbit itu. Sementara
ketika Tsunami melanda Aceh, tubuh para korban, kerapkali
dalam kondisi yang amat mengenaskan, menjadi fitur utama
berbagai pemberitaan media cetak maupun elektronik. Tulisan

99
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

ini secara singkat membahas persoalan etika media berita terkait


pemberitaan yang bersangkut paut dengan tragedi dan bencana.
Sudah barang tentu, tiadanya tampilan gambar mayat maupun
hal-hal vulgar lainnya  dalam pemberitaan mengenai Tsunami
di Jepang bukan dikarenakan para pewarta baik Jepang maupun
media internasional lainnya kesulitan atau bahkan tidak mampu
mendapatkan gambar-gambar serupa dengan di Aceh maupun
dalam berbagai bencana alam sebagaimana terjadi di tanah
air. Gelimpang mayat para korban bisa jadi terambil manakala
berita tengah dicari, namun pertimbangan etis menjadikan
temuan seperti itu tidak disiarkan pada masyarakat secara apa
adanya.  Pertimbangannya adalah patokan universal pekerja pers:
bahwa tidak semua fakta layak untuk ditampilkan kepada publik
berkaitan apa adanya mengingat satu hal yang tak kalah penting
daripada right to know: kesehatan dan moralitas publik.
Meski tanpa visualisasi yang vulgar, para jurnalis tidak lantas
kehilangan esensi utama dari pentingnya pemberitaan mengenai
Tsunami itu. Kengerian, aspek kemanusiaan yang muncul dari
tengah puing bencana yang penting diketahui dan diambil
pelajarannya oleh umat manusia tetap tertangkap baik melalui
berbagai wawancara terhadap para korban dan saksi mata yang
selamat. Plus, kondisi bencana ditampilkan dengan informasi
yang rasional, mendasarkan pada sumber yang sahih, tanpa
dramatisasi dan eksplanasi non ilmiah yang justeru menambah
trauma.  Coverage  media seperti itu tak menghilangkan fungsi
media untuk menyebarluaskan informasi yang salah satu impak
signifikannya adalah uluran bantuan terhadap masyarakat Jepang
yang berdatangan dari segala penjuru dunia.
Bagaimana dengan di tanah air? Sebagian besar media berita
kita dalam bekerja dan memproduksi berita nampaknya masih jauh
dari idealita itu. Sebagaimana telah ditulis di atas, begitu vulgarnya
gambaran korban dalam tragedi  tsunami di Aceh pada tahun 2004

100
Manunggal K Wardaya

adalah contoh betapa suatu  bencana, suatu peristiwa traumatik


di masyarakat dieksploitasi sedemikian rupa dengan tanpa
mengindahkan perasaan korban dan juga masyarakat. Kedukaan
mendalam keluarga  korban benar benar diperas saripatinya
untuk mendongkrak rating maupun  oplaag. Semakin dramatis
dan menguras emosi masyarakat, semakin besar pula harapan
bahwa publik akan menengok berita semacam itu. Perhatian
besar masyarakat itu diyakini menghasilkan keuntungan yang
besar dengan semakin banyaknya iklan yang masuk. Kesan serupa
juga tertangkap dalam pemberitaan tragedi Tugu Tani Jakarta
beberapa waktu lalu. Tampilan korban serta isak tangis menyayat
keluarganya ditampilkan bertubi-tubi kepada masyarakat.
Para pesohor negeri yang turut menangkap momen itu  pula
bersinergi dengan media. Peristiwa tabrakan yang pada dasarnya
sebuah straight news biasa kemudian dikemas sedemikian rupa ke
dalam format  infotainment  lengkap   dengan bumbu dramatisasi
berupa musik latar yang mengharu biru ditimpali dengan narasi
yang diucapkan secara dramatik serta sarat dengan peristilahan
yang hiperbolik. Fenomena semacam inilah yang pernah dikritik
Tim Costello yang mengatakan bahwa tugas jurnalisme adalah
untuk menjadi saksi dari suatu peristiwa, akan tetapi bukan berarti
kemudian lantas menjadi pemuas nafsu konsumen media belaka.
Dalam kuliah umumnya di Melbourne April 2011 silam, CEO
World Vision itu menekankan pentingnya media untuk meliput
bencana dengan tetap berpegang pada kerangka etis.
Media memiliki peran penting dalam menampilkan informasi
seluasnya pada masyarakat, menjadi pewarta akan hal-hal yang
perlu diketahui masyarakat dalam situasi bencana maupun tragedi
lainnya. Namun begitu, bukan berarti hal ini menjadi legitimasi
akan penyampaian semua fakta tanpa saringan. Prinsip kehati-
hatian, memperhatikan kepentingan masyarakat maupun objek
berita harus diperhatikan oleh sesiapa saja pewarta, wartawan

101
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

foto maupun editor berita dalam melakukan kerja jurnalistiknya.


Dengan demikian, tragedi ataupun bencana yang telah cukup
membuat trauma pada korban tidak lantas berkembangbiak dan
berpindah menjadi trauma bagi masyarakat luas, para konsumen
media.

Dimuat di Harian Suara Pembaruan 9 Februari 2013

102
Manunggal K Wardaya

19. IKLAN POLITIK DAN


MAKNA KEBEBASAN

D
alam dunia jurnalistik, menerima upah atau imbalan
dari narasumber, terlebih yang dapat memengaruhi
pemberitaan adalah hal yang dipercaya sebagai hal yang
pantang dilakukan para pewarta. Upah atau imbalan tidak saja
berpotensi membuat seorang pewarta kehilangan objektifitasnya,
namun juga menghalanginya dari menyampaikan informasi
krusial yang patut diketahui publik. Laporan yang dihasilkan oleh
pewarta semacam demikian pula tak akan dapat memenuhi hak
warga negara untuk tahu (right to know). Pada gilirannya media
tempat pewarta melakukan kerja profesionalnya akan kehilangan
kepercayaan publik sebagai ujung tombak untuk melakukan
kontrol terhadap kekuasaan.
Dalam ranah hukum, fungsi media sebagai sarana kontrol
sosial telah terpositifkan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No 40 Tahun
1999 Tentang Pers. Lebih lanjut Pasal 6 (a) UU Pers menegaskan
peran pers nasional untuk memenuhi hak masyarakat untuk tahu.
Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa terpenuhinya hak
masyarakat untuk tahu akan mendorong tegaknya kebenaran
dan keadilan. Kedua pasal tersebut di atas menggiring kita pada

103
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

kesimpulkan bahwa fungsi pengawasan oleh media tak dapat


dilepaskan dari fungsinya sebagai media informasi dan perannya
untuk memenuhi hak masyarakat untuk tahu. Hanya dalam
masyarakat yang tercerahkan dan berkesadaran sajalah kekuasaan
menjadi terawasi. Pada lain sisi, optimalnya fungsi media dalam
mencerahkan alam pikir masyarakat sekaligus sebagai sarana
kontrol sosial mensyaratkan adanya kebebasan. Kebebasan
pers dalam level tertentu adalah pula kebebasan pewarta dalam
melaksanakan kerja profesionalnya dengan kaidah jurnalistik yang
dikenal secara universal antara lain prinsip  cover both sides  dan
presumption of innocent.
Ugeran perilaku para pewarta kita kenal sebagai kode etik
jurnalistik, yang menurut penjelasan Pasal 7 UU Pers adalah kode
etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh
Dewan Pers. Terkait dengan etika pewarta dalam relasinya dengan
nara sumber, Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) misalnya menyatatakan;  Wartawan Indonesia
tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan
berita, tulisan, atau gambar, yang dapat menguntungkan atau
merugikan seseorang atau sesuatu pihak. Hal senada dijumpai
pula dalam Kode Etik Jurnalistik Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
pada butir ke-14. Pada butir ke-13 Kode Etik Jurnalistik AJI bahkan
ditegaskan larangan bagi jurnalis untuk memanfaatkan posisi dan
informasi yang dimiliki untuk mencari keuntungan pribadi.
Jika ditelaah secara lebih mendalam, sesungguhnyalah
etika jurnalistik yang bertujuan melindungi kebebasan pers
sebagaimana dipaparkan di atas adalah kode moral universal
yang tidak saja berlaku bagi kalangan pewarta semata, akan
tetapi juga media yang menaunginya. Dikatakan demikian karena
bagaimanapun juga seorang pewarta tidak dapat melepaskan diri
dari pengaruh media di mana ia melakukan kerja profesionalnya.
Betapapun independennya seorang pewarta, ia tak dapat lepas

104
Manunggal K Wardaya

dari  policy  keredaksian dan perusahaan yang ditetapkan oleh


institusi yang membawahinya. Jika  policymaker  sebuah media
dapat dinego dengan uang, sebaik apapun SDM pewarta yang
dimilikinya, media tersebut akan kehilangan kebebasannya.
Sebagai  the fourth pillar of democracy, media diidealkan
untuk pandai-pandai menjaga jarak dengan kekuasaan sehingga
apa yang hendak disampaikan pada publik tidak lain daripada
realitas dari apa yang terjadi di masyarakat. Dalam konteks
kekinian, kekuasaan dimaksud tidak lagi cukup dipahami secara
tradisional sebagai kekuasaan politik berikut topangan kekerasan
aparatus dan justifikasi legal nan korup sebagaimana praktik Orde
Baru, namun pula kekuasaan dalam formatnya yang lain termasuk
kuasa uang.
Pasal 3 ayat (2) UU Pers memberi ruang bagi media untuk
menjalankan fungsinya sebagai lembaga ekonomi, yang dalam
praktik dilakukan media antara lain dengan menawarkan jasa iklan
dalam berbagai formatnya. Fungsi sebagai lembaga ekonomi inilah
yang dalam konteks berbagai kontestasi memperebutkan jabatan
politik baik di level lokal maupun nasional akhir-akhir ini menjadi
celah bagi para calon elit untuk tidak saja untuk mengintroduksi
diri pada konstituen, namun pula untuk menjinakkan media. Elit
politik berlomba-lomba membeli media dengan selubung legal;
pemasangan iklan.
Potensi dana yang besar dari para calon elit politik menjadikan
media memandang momen rekrutmen kepemimpinan politik
lebih sebagai lahan subur untuk mendulang untung daripada
panggilan tugas kodrati untuk mengawal demokrasi. Apa yang
terjadi kemudian adalah media mengikuti saja apa yang menjadi
keinginan  customer. Jika di masa lalu kebebasan pers dirampas
dengan represi terhadap media dan para awaknya berikut produk
keluarannya, kini ketidakbebasan itu justeru karena keridhaan
penuh sukacita media itu sendiri.

105
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Adalah sukar untuk tidak mengatakan bahwa media


yang menjalankan praktik semacam itu sebagai tidak sedang
menggunakan posisinya untuk mencari keuntungan dengan posisi
yang dimilikinya. Media lebih berpihak pada para calon elit politik
yang menawarkan keuntungan daripada kepada kepentingan
publik. Media lupa bahwa di balik fungsinya sebagai lembaga
ekonomi, ia tidak boleh abai terhadap fungsinya sebagai pengawas
kekuasaan. Pada akhirnya, publik jugalah yang dikorbankan karena
media kehilangan kemampuannya untuk melakukan pengawasan,
kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum. Padahal informasi dari medialah sebenarnya
bekal utama publik dalam menjatuhkan pilihannya dalam
pemilihan umum. Dalam suasana peringatan Hari Pers Nasional
2012 ini, patut kiranya insan media melakukan melakukan
pemaknaan ulang terhadap kebebasan pers. Bahwa kebebasan
pers tidaklah cukup dimaknai sebagai bebas dari segala intervensi
yang represif dan koersif semata, namun juga dari buaian kapital
yang memiliki kesamaan muara: pengangkangan hak publik untuk
tahu.

Dimuat di Harian Suara Merdeka 9 Februari 2012

106
Manunggal K Wardaya

20. PERLINDUNGAN HUKUM


TERHADAP WARTAWAN SEBAGAI
HAK ASASI MANUSIA

S
alah satu kebebasan dasar manusia dalam diskursus hak asasi
manusia adalah kebebasan berpendapat  dan berekspresi
(freedom of opinion and expression). Setiap manusia berhak
atas kebebasan ini termasuk didalamnya kebebasan untuk mencari,
menerima, dan menyampaikan informasi dan pemikiran  apapun
bentuknya tanpa memandang batas-batas. Dinyatakan dalam
Article 19 The Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
dan Article 19 International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR), kebebasan ini menjadi syarat yang mutlak ada
bagi terwujudnya prinsip transparansi dan akuntabilitas suatu
pemerintahan yang pada gilirannya akan membawa pada pemajuan
dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Pada level domestik, jaminan atas kebebasan berkomunikasi
dan memperoleh informasi sebagai bagian dari kebebasan
berekspresi dijumpai dalam amandemen konstitusi. Pasal 28F UUD
1945 menegaskan  komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan
mengakui hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan

107
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

sosialnya, serta hak setiap orang untuk mencari, memperoleh,


memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Dalam
level undang-undang, kebebasan ini pula dijamin dalam Pasal 14
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Adalah kewajiban negara menurut Pasal 40 ICCPR untuk
melaporkan kebijakan hukum, praktik-praktik administrasi dan
berbagai kebijakan sektoralnya kepada Human Rights Committe1
terkait dengan pemenuhan kebebasan ini maupun pemulihannya
jika kebebasan ini terlanggar. Dengan demikian, secara formal,
segenap cabang kekuasaan negara baik itu legislatif, eksekutif,
maupun yudisial, serta aktor-aktor non-negara terikat untuk
menghormati kebebasan ini pada level apapun.
Kebebasan berekspresi memiliki makna yang penting,
karena kebebasan itu memungkinkan orang untuk eksis dan
berkembang sebagai manusia yang utuh dan beradab. Informasi
memungkinkan orang melakukan pilihan-pilihan dalam hidupnya,
mengembangkan diri dengan ilmu pengetahuan, dan bertukar
pikiran dengan sesama warga lainnya. Tanpa informasi, orang
akan berada dalam kegelapan, mengakibatkan kehidupan yang tak
berkwalitas sebagai manusia.
Dalam negara yang berpaham kedaualatan rakyat, keputusan
politik rakyat dalam mengontrol jalannya kekuasaan amat
tergantung pada informasi yang diterima. Semakin transparan
kekuasaan terawasi, semakin demokratis dan berkeadilanlah suatu
negara dapat diharapkan, vice versa. Tak mengherankan, sejarah
rejim-rejim yang menindas selalu lekat dengan berbagai sensor
terhadap pers, buku, karya tulis dan seni demi mengekalkan
kuasa. Pers yang bebas, informasi yang mengalir bebas dipercaya
akan membahayakan kekuasaan dan oleh karenanya hukum-

1
Human Rights Committee adalah badan yang mengawasi pelaksanaan ICCPR oleh
state parties.

108
Manunggal K Wardaya

hukum yang mengekang terhadap kebebasan pers dan kebebasan


berekspresi pada umumnya tersedia untuk itu, memberi dasar
pembenar pada tirani kekuasaan untuk memberangusnya.
Dalam negara yang berpaham kedaulatan rakyat, laporan
media menjadi bahan bagi lembaga perwakilan dan elemen-
elemen masyarakat yang berkesadaran untuk melakukan kontrol,
koreksi, dan pengawasan kekuasan kekuasaan agar selalu berjalan
di rel konstitusi. Sekalipun peradaban manusia kini telah sampai
pada era di mana setiap warga dapat menjadi pewarta, sebuah era
yang disebut dengan citizen journalism, jurnalis/wartawan  tetap
memainkan peranan penting lagi tak dapat diabaikan dalam
distribusi informasi demi terkawalnya kekuasaan.
Kerapkali bersinggungan dengan kekuasaan mengakibatkan
profesi wartawan menjadi rawan akan kekerasan, intimidasi, dan
kriminalisasi2. Sepanjang sejarahnya, begitu banyak wartawan
teraniaya bahkan terbunuh dikarenakan karya jurnalistik yang
dihasilkannya. Committe to Protect Journalist mencatat selama
tahun 2011 telah 25 Jurnalis terbunuh, dan 871 jurnalis terbunuh
sejak 1992. Di tanah air, Lembaga Bantuan Hukum Pers mencatat
bahwa di tahun 2011 saja, sejak Januari hingga Juli 2011 telah
terjadi 61 kekerasan terhadap wartawan di Indonesia. Kriminalisasi
terhadap jurnalis mewarnai kehidupan pers tanah air, tidak saja
di dalam suasana bernegara yang autoritarian seperti di era Orde
Baru, namun juga di era Reformasi sekalipun.
Sebagaimana dinyatakan oleh Human Rights Committee
kerja jurnalis memanglah rawan akan ancaman, intimidasi, dan
serangan3. Oleh karenanya dinyatakan oleh HRC, bahwa serangan
seperti itu haruslah diselidiki dan terhadap pelakunya harus

2
Kekerasan ini menurut Bagir Manan dikarenakan penguasa maupun perusahaan
merasa terusik dengan pemberitaan media. Lihat Suara Pembaruan, “Masih Ada Ancaman
Kebebasan Pers”, dalam http://www.suarapembaruan.com/home/masih-ada-ancaman-
kebebasan-pers/3401#Scene_1, diakses pada 4 September 2011.
Lihat General Comment No. 34, para. 23.
3

109
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

dilakukan penuntutan, dan bahwa korbannya harus mendapat


upaya pemulihan layak. Berbagai resiko yang mengancam
pekerjaan wartawan sebagaimana diuraikan di atas sudah barang
tentu merupakan hal yang mengancam terkawalnya demokrasi.
Rasa tidak aman dan terancam dan resiko yang sedemikian besar
dapat mendegradasi hingga bahkan menghilangkan kekritisan
dan keberanian jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya
dalam mengawal kekuasaan.
Pada titik ini perlindungan dan jaminan hukum terhadap
wartawan dalam menjalankan profesinya menjadi amat penting
untuk dipastikan untuk ada tidak saja dalam tataran formal namun
pula dalam implementasi. Terlindunginya jurnalis merupakan hal
yang esensial bagi terlindunginya hak seluruh warga negara atas
informasi yang dapat reliable dan dan adalah hak jurnalis untuk
menyampaikan informasi tersebut tanpa rasa takut4. Hanya dalam
kondisi demikianlah cita negara yang mengabdi pada kesejahteraan
rakyat banyak akan diharapkan dapat terwujud. Dalam kerangka
berfikir demikian, tulisan ini menyoroti perlindungan hukum
profesi wartawan di Indonesia. Tulisan ini akan pula secara ringkas
membahas perlindungan hukum terhadap wartawan terkait
hubungan hukumnya dengan perusahaan media. Pada akhirnya
tulisan ini hendak memberi saran perbaikan bagi hukum media
khususnya bagi lebih terlindunginya hak-hak wartawan.

I. PEMBAHASAN
1) Kemerdekaan Pers dan Reformasi
Kemerdekaan pers adalah salah satu dari agenda reformasi
selain amandemen UUD, penghapusan Dwi Fungsi ABRI.
Kemerdekaan pers dirasakan penting untuk diwujudkan karena
belajar dari pengalaman pada masa Orde Baru, pers yang tidak bebas

4
UNESCO, The Safety of Journalist and The Danger of Impunity: Report by The Director-
General To The Intergovernmental Council of the IDPC, hal.3.

110
Manunggal K Wardaya

dan hukum yang kerap mengkriminalisasi pers pada gilirannya


mengaibatkan bencana hukum dan politik. Legislasi di bidang pers
dan juga penyiaran yang demokratis oleh karenanya dirasakan
sebagai kebutuhan yang tak dapat ditunda bagi transisi demokrasi.
Sebagaimana dinyatakan oleh Atmakusumah, dekriminalisasi pers
kini telah menjadi sesuatu yang tak terelakkan, dimana kita tak
lagi dapat menarik sejarah kebebasan ke masa lalu5.
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang lahir
ketika periode peralihan baru mulai berjalan dapat dikatakan sangat
demokratis. Tegas dinyatakan di dalamnya kemerdekaan pers
sebagai perwujudan dari prinsip kedaulatan rakyat. Dikantonginya
ijin untuk mendirikan perusahaan pers kini tak lagi menjadi
kewajiban. Instrumen ijin inilah yang pada masa lalu digunakan
sebagai alat kontrol negara terhadap warganya dalam penikmatan
kebebasan pers, memungkinkan perampasan hak warga negara
untuk mendapatkan informasi: dengan mencabutnya jika kegiatan
pers dinilai mengancam eksistensi kekuasaan. Harian Indonesia
Raya, Majalah TEMPO, tabloid EDITOR adalah sekedar menyebut
nama beberapa media yang pernah dicabut ijinnya, sesuatu yang
populer dengan istilah bredel pers. Kini  UU Pers menegaskan
bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan bredel, sensor, dan
pelarangan penyiaran6, memberi garis demarkasi yang jelas dari
perilaku rejim terdahulu terhadap media7.

5
Atmakusumah, “Dekriminalisasi Pers Tuntutan Jaman”, dalam Harian KOMPAS, 12
Maret 2005.
6
Pasal 4 ayat (2). Pelanggaran terhadap pasal ini diancam dengan pidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 ayat (1) yakni pidana penjara paling lama 2 tahun dan atau denda
paling banyak 500 juta rupiah.
7
Sebagaimana diketahui pada masa Orde Baru, kendati ditegaskan bahwa breidel tidak
dikenal, SIUPP dapat saja dicabut oleh Menteri Penerangan dengan Peraturan Menteri
Penerangan No. 1 Tahun 1984. Namun begitu pula dapat disimpulkan bahwa UU Pers kita
masih diskriminatif terhadap pers non-nasional alias pers asing. Dengan jaminan tidak
dikenakannya bredel, sensor, dan pelarangan penyiaran terhadap pers nasional, secara
implisit dapat disimpulkan bahwa rejim UU Pers masih mengenal bredel, sensor dan
pelarangan penyiaran terhadap pers asing, terlepas bahwa apakah hal itu secara teknis

111
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

2) Perlindungan Hukum Terhadap Wartawan


Dalam kaitannya dengan perlindungan wartawan, UU Pers
dengan tegas menyatakan bahwa dalam melaksanakan profesinya
wartawan mendapatkan perlindungan hukum8. Lebih lanjut dari
penjelasan UU Pers diketahui bahwa perlindungan hukum yang
dimaksud adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau
masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak,
kewajiban, dan peranannya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku9. Dari frasa “sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku” tulisan ini menyimpulkan bahwa sepanjang tidak
dijumpai pengaturannya di dalam UU Pers, maka perlindungan
terhadap wartawan akan menggunakan sarana hukum lain di luar
UU Pers. Dalam terjadinya tindak pidana penganiayaan maupun
pembunuhan yang kerap menimpa wartawan misalnya, KUHP lah
yang akan berbicara.
Namun begitu sampai di sini dapat dikritisi apakah wartawan
dalam menjalankan profesinya telah benar-benar terlindungi
secara hukum sebagaimana dinyatakan dalam UU Pers? Alih-
alih protektif, kerapkali peraturan pidana justeru digunaan untuk
mengkriminalisasi jurnalis, suatu fenomena yang biasanya dijumpai
di berbagai negara yang tak demokratis. Apa yang dialami oleh
Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO Bambang Harymurti yang
dipidana 1 tahun menggunakan pasal pencemaran nama baik
(Pasal 310 dan 311 KUHP) terhadap pengusaha Tommy Winata
menjadi contoh fenomenal aplikasi hukum yang tak ramah pada
kebebasan pers10. Dikriminalisasinya karya jurnalistik seperti yang

dapat dilakukan atau tidak.


8
Lihat Pasal 8.
9
Lihat penjelasan Pasal 8.
10
Bambang Harymurti dijatuhi pidana karena pencemaran nama baik kepada Tommy
Winata atas laporan investigasi karya Ahmad Taufik dan Teuku Iskandar Ali yang dimuat
TEMPO tertanggal 16 September 2004 berjudul “Terbakar”. Diindikasikan dalam karya
jurnalistik tersebut bahwa pengusaha Tommy Winata menangguk keuntungan dari

112
Manunggal K Wardaya

dialami oleh Erwin Ananda dari majalah Playboy akibat pengadilan


yang tunduk pada tekanan kelompok ekstrim pula menunjukkan
bahwa kemerdekaan pers di Indonesia masih amatlah mahal. Selain
itu masih terdapat rancangan undang- undang yang jika disahkan
akan mengancam kebebasan pers11 dan tiadanya keharusan hukum
untuk menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa yang
dikenal dalam dalam UU Pers seperti hak jawab dan hak koreksi
telah memberi celah bagi pihak yang merasa dirugikan oleh
pemberitaan untuk mengadukan insan pers termasuk wartawan
secara pidana12. Impak dari kesemua hal di atas tentu tidaklah
remeh: langgengnya kriminalisasi atas karya jurnalistik. Kendati
telah memiliki UU Pers lebih dari satu dasawarsa, kemerdekaan
pers di Indonesia tak juga mencapai titik maksimal. Freedom
House, sebuah NGO yang mengawasi kebebasan di seluruh dunia
menempatkan kebebasan pers Indonesia di tahun 2011 pada
peringkat ke 108. Posisi ini sejajar dengan dengan Sierra Leone,
Lebanon, Marituania13.

terbakarnya Pasar Tanah Abang di Jakarta. Bambang akhirnya dinyatakan bebas oleh
Mahkamah Agung dalam putusan kasasi. Namun begitu, putusan Mahkamah Agung
sekalipun amat ambigu karena pada satu sisi menyatakan bahwa dalam kasus pers jika
dirasa tidak perlu sebaiknya menggunakan pendekatan dalam hukum pers. Selengkapnya
mengenai ini bacalah International Federation of Journalist & Aliansi Jurnalis Independen,
Dekriminalisasi Pencemaran Nama Baik: Sebuah Acuan Kampanye IFJ Untuk Penghapusan
Pasal Pencemaran Nama Baik, 2005, hal. 23-26. Bambang Harymurti sendiri mengkritik
ketidakpastian hukum soal apakah UU Pers merupakan Lex Speciali ataukah tidak. Hal
ini karena implikasi dari keyakinan itu amat besar. Banyak jurnalis dipidana ketika hakim
yang mengadilinya tidak meyakini bahwa UU Pers merupakan Lex Speciali. Lihat Bambang
Harymurti,
11
RUU Rahasia Negara misalnya mengancam adanya pidana penjara maupun denda
pada pers.
12
Majalah TEMPO diadukan oleh Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia terkait
ilustrasi sampul depan majalah TEMPO edisi 28 Juni – 4 Juli 2010 yang menggambarkan
seorang polisi sedang menggembala celengan berbentuk babi, dengan judul “Rekening
Gendut Perwira Polisi”. Kendati kemudian menempuh mediasi, kasus ini memberi
contoh betapa kepolisian selaku penegak hukum sekalipunlebih memilih pendekatan
hukum pidana ketimbang pendekatan yang dikenal dalam dunia jurnalistik yakni dengan
menggunakan hak jawab dan atau hak koreksi.Baca Manunggal K. Wardaya, “Kriminalisasi
TEMPO”, dalam Suara Merdeka, 2 Juli 2010.
Lihat
13
Global Freedom Ranking, http://www.freedomhouse.org/images/File/

113
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Hal lain terkait dengan perlindungan hukum terhadap


wartawan adalah terkait dengan pertanyaan: apakah misalnya,
kebutuhan khusus wartawan telah cukup diatur dengan berbagai
ketentuan di luar UU Pers misalnya KUHP? Orang bisa memberi
jawaban “ya” untuk pertanyaan ini, akan tetapi tulisan ini
meyakini bahwa perlindungan terhadap wartawan demikian lebih
kepada perlindungan yang represif, yakni manakala telah terjadi
peristiwa pelanggaran pidana terhadap wartawan. Akan halnya
perlindungan preventif dengan memenuhi kebutuhan wartawan
dalam kaitannya dengan keselamatan selama menjalankan tugas
misalnya, tidak ditemukan pengaturannya dalam UU Pers.
Ketentuan mengenai perlindungan wartawan hanya
ditemukan dalam Peraturan Dewan Pers No. 5/Peraturan-DP/
IV/ Tahun 2007. Peraturan tersebut memuat ketentuan yang amat
baik mengatur mengenai perlindungan wartawan. Disebutkan di
sana bahwa wartawan dilindungi dari kekerasan, pengambilan,
penyitaan, dan atau perampasan alat kerja serta tidak boleh
dihambat dan diintimidasi oleh pihak manapun. Disebutkan
pula dalam peraturan dewan pers tersebut bahwa wartawan yang
ditugaskan di daerah konflik harus dibekali surat penugasan,
peralatan keamanan yang memenuhi syarat,  dan asuransi.
Persoalannya kemudian adalah peraturan dewan pers ini
bukanlah suatu produk hukum yang mengikat dan mempunyai
kekuatan memaksa. Ia berada di ranah etik saja, yang kepatuhannya
mendasarkan kepada kebaikan hati perusahaan media.
Dengan kata lain, semisal perusahaan tidak memberikan alat
keselamatan maupun tak memberikan tanda pengenal sebagai
wartawan yang penting dimiliki sebagai identitas di kala konflik,
maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran
hukum yang bersanksi yang oleh karenanya dapat memaksa
perusahaan pers untuk mematuhinya. Sekalipun kalangan

fop/2011/FOTP2011GlobalRegionalTables.pdf, diakses pada 10 September 2011.

114
Manunggal K Wardaya

perusahaan pers pernah menyatakan bahwa peraturan dewan pers


mengenai standar perlindungan wartawan dan berbagai peraturan
dewan pers lainnya akan menjadi kebijakan perusahaan pers, suatu
pernyataan yang dimuat dalam apa yang disebut sebagai Piagam
Palembang14 namun tetap saja piagam itu lebih kepada moral saja
pemenuhannya yang kalaulah tidak dipenuhi, tidak mengandung
sanksi yang berarti bagi perusahaan pers.

3) Identitas Kewartawanan, Relasi Wartawan-Media,


dan Impaknya Terhadap Perlindungan Wartawan
Selain pada akhirnya terpulang pada ‘kebaikan hati’
perusahaan pers, derajat perlindungan hukum terhadap wartawan
juga erat kaitannya dengan identitas kewartawanan seseorang dan
hubungan hukum seorang wartawan dan perusahaan media. Pasal
1 butir 4 UU Pers menyebutkan bahwa wartawan adalah orang
yang teratur melakukan kegiatan jurnalistik.
Dari ketentuan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa mereka
yang tidak terbilang sebagai wartawan tidak akan mendapat
perlindungan sebagai wartawan. Perdebatan kemudian muncul,
mempersoalkan siapa yang dimaksud dengan wartawan dan siapa
yang bukan wartawan?
Tentu saja perdebatan ini bukannya tak penting terkait dengan
hak dan kewajiban sebagai wartawan, terlebih jika dikaitkan
dengan perkembangan teknologi informasi yang berimpak pula
pada dunia jurnalistik dengan fenomena seperti citizen journalism
dan blog journalism yang melahirkan citizen journalist dan blog
journalist. Apakah mereka juga diakui sebagai wartawan dan oleh
kemudian akan terlindungi atau tidak? Tak berpretensi memberi
jawaban, tulisan ini skeptis bahwa fenomena tersebut telah disadari
sebagai permasalahan dalam kewartawanan yang memerlukan
perhatian serius.

Disepakati oleh perusahaan pers pada 9 Februari 2010.


14

115
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Permasalahan lain yang tak kalah menarik untuk


dikemukakan adalah bahwa kendati tidak diatur/dijumpai dalam
UU Pers, dalam praktik jurnalistik di Indonesia dikenal pula
wartawan koresponden dan pula wartawan lepas, yang mana
keduanya kerap tidak mendapatkan hak-hak seperti wartawan
tetap.
Lebih jauh, tulisan ini mensinyalir adanya pergeseran
status dan kedudukan hukum wartawan koresponden dari yang
semula bekerja secara kontrak terus menerus menjadi pekerja
yang bekerja secara outsourcing sebagaimana dikenal dalam
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sudah barang tentu, outsourcing ini merugikan wartawan
koresponden karena tak mempunyai kepastian hukum akan
hubungan hukum perburuhannya dengan perusahaan media
yang mempekerjakannya. Dikatakan demikian, karena tidak
ada lagi hubungan hukum berupa hubungan kerja sebagaimana
diatur dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut
disebutkan bahwa hubungan kerja terbit oleh karena adanya
perjanjian kerja, sedangkan wartawan koresponden pada banyak
kasus kini terikat oleh perjanjian kerjasama yang berkaitan dengan
pekerjaan outsourcing.15
Pergeseran status dari wartawan kontrak yang bekerja
terus menerus menjadi wartawan outsorcing adalah dengan cara
mengajukan surat penawaran dan surat perjanjian kerjasama

15
Adanya pro kontra terhadap pengaturan outsourcing di dalam Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menyurutkan pembentuk undang-
undang untuk mengatur mengenai masalah outsourcing. Hal tersebut dikarenakan
sebelum berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, lebih
banyak terjadi penyelewengan hukum dalam mengatur hubungan kerja dan syarat kerja
antara perusahaan outsourcing dengan pekerja. Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang berupaya melindungi pekerja dari ketidakpastian
hukum dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing tetap tidak
menghentikan masalah pekerja outsourcing, bahkan di satu sisi semakin menjadi pilihan
pengusaha untuk mengatur hubungan kerja dengan pekerja outsourcing dengan alasan
efisiensi biaya, waktu dan tenaga bagi pengusaha.

116
Manunggal K Wardaya

penyedia jasa berita. Tujuannya jelas: menghindari larangan UU


Ketenagakerjaan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu yang
terus menerus diulang. Bentuk surat penawaran dan perjanjian
kerjasama yang ada pada wartawan koresponden bukan dalam
ruang lingkup perjanjian kerja seperti yang diatur dalam UU
Ketenagakerjaan, melainkan perjanjian perdata biasa yang sifatnya
mengatur kontrak kerja sama. Oleh karenanya secara hukum
ketenagakerjaan, wartawan koresponden tidak dilindungi sebagai
seorang buruh atau pekerja karena memang tidak ada hubungan
hukum berupa hubungan kerja (Pasal 50 UU No. 13/2003
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa hubungan kerja terbit
karena adanya perjaniian kerja).
Dipandang dari Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan, profesi
wartawan tentu tidak dapat dioutsourcekan. Akan tetapi kalau
dicermati lebih lanjut hampir semua pekerjaan sekarang
dioutsourcekan walaupun berhubungan dengan pekerjaan pokok.
Dalih hukumnya adalah semua pekerjaan selalu berhubungan
dengan pekerjaan pokok, akan tetapi masalahnya kemudian ada
banyak pekerjaan ‘yang tidak pokok’ dapat dialihkan menjadi
pekerjaan yang dapat di-outsource-kan. Jadi pekerjaan wartawan
koresponden memang pekerjaan yang dapat dioutsourcekan
kalau mengacu pada pemahaman di atas. Namun, seperti yang
diatur dalam undang-undang, pekerjaan outsourcing tidak dapat
berlangsung terus menerus, sama seperti perjanjian kontrak
kerja pada umumnya paling lama berlangsung 3 tahun dan dapat
diperbaharui untuk 2 tahun berikutnya. Sebab apabila melebihi
waktu yang diatur tersebut, pekerjaan dapat beralih menjadi
pekerjaan tetap dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Penyelundupan hukum selalu dapat terjadi dalam hal ini karena
pengusaha dapat melakukan ‘perjanjian kerja baru’ untuk pekerja
dan pekerjaan yang sama secara berulang-ulang dan undang-
undang pun tidak mengatur pelanggaran terhadap hal ini.

117
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

II. KESIMPULAN
Tulisan ini meyakini bahwa jika hingga kini masih banyak
wartawan yang menjadi korban kekerasan maupun mendapat
celaka ketika bertugas di daerah bencana maupun konflik, hal
itu semata bukan karena sebagai akibat dari konflik atau sekedar
takdir illahiah, namun pula karena perundangan yang belum
memihak wartawan maupun masih kabur dalam mengatur
profesi wartawan. Jurnalis yang tewas seperti kontributor Sun TV
yang tewas di Tual Maluku, maupun mereka yang tewas ketika
meliput tragedi kapal Levina akan terus terjadi, setidaknya tak
terkurangi kalau hukum tak memberikan perlindungan yang kuat
dengan menjamin hak wartawan dan juga status hukum pekerja
pers. Kriminalisasi terhadap wartawan juga akan terus terjadi
seandainya dunia peradilan di Indonesia tidak mengakui bahwa
UU Pers merupakan Lex Speciali, yang oleh karenanya penyelesaian
sengketa pemberitaan mestinyalah diselesaikan melalui prosedur
yang dikenal dalam dunia jurnalistik, dan bukannya pendekatan
hukum pidana.

III. PENUTUP
Tulisan ini meyakini bahwa perlindungan hukum yang
dijanjikan kepada wartawan dalam UU Pers memerlukan
masih memerlukan penyempurnaan dan peningkatan. Standar
perlindungan wartawan yang kini telah tertuang dalam Peraturan
Dewan Pers misalnya, semestinyalah dapat dijadikan muatan
dalam UU Pers. Demikian juga mendesak kiranya agar revisi UU
Pers kelak tegas menggarisbawahi bahwa wartawan adalah pekerja,
sehingga celah hukum dengan mengoutsource-kan wartawan yang
sedikit banyak berdampak pada perlindungan hukum akan dapat
diminimalisir.

118
Manunggal K Wardaya

Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Hak Asasi


Manusia diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Surabaya (Pusham-UBAYA) Bekerjasama dengan
Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM), di Surabaya,
20-22 September 2011

119
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

21. GERAKAN MAHASISWA


PASKA REFORMASI

P
roklamasi 17 Tahun 1945 menandai  titik awal berakhirnya
kekuasaan penjajah di bumi nusantara. Sejak tanggal itu,
Indonesia menegaskan diri sebagai bangsa yang merdeka
dan berdaulat, sejajar dengan bangsa lain dalam pergaulan hidup
di dunia internasional. UUD 1945 yang disahkan sehari kemudian
pada 18 Agustus 1945 dalam pembukaannya menegaskan cita
bangsa ini untuk menjalani kehidupan bernegara yang bersatu
berdaulat adil dan makmur. Upaya pihak asing untuk kembali
bercokol di bumi pertiwi baik melalui jalur diplomasi maupun
peperangan mendapat perlawanan dari segenap rakyat Indonesia
yang pada akhirnya Indonesia diakui sebagai bangsa yang
berdaulat.
Kemerdekaan Indonesia tak dapat dilepaskan dari peran para
pemuda dan pelajar. Tidak saja mereka yang terlibat dalam peristiwa
Proklamasi, maupun peristiwa menjelang proklamasi seperti
gerakan pemuda dalam Peristiwa Rengasdengklok, kemerdekaan
Indonesia sesungguhnya pula buah perjuangan yang turut dirintis
sejak lama oleh para pemuda terutama kaum terpelajar Indonesia
baik di dalam maupun di luar negeri, berbelas maupun berpuluh

120
Manunggal K Wardaya

tahun sebelum teks Proklamasi dibacakan Soekarno-Hatta. Para


pendiri bangsa seperti Soekarno, Moh. Hattta, Sjahrir, Soepomo,
Yamin, Tan Malaka, pada mulanya adalah para pemuda-pelajar yang
bergiat berjuang di dalam maupuni luar negeri. Tanpa meniadakan
perjuangan para pejuang di berbagai daerah di tanah air yang
melawan kekuasaan kolonial lewat berbagai aksi peperangan, para
intelektual muda bangsa membangkitkan kesadaran rakyat banyak,
berjuang secara individual melalui organisasi, dan menggalang
dukungan internasional untuk kemerdekaan Indonesia.
Dalam perjalanan mengarungi kehidupan bernegara,
sejarah bangsa pula mencatat bahwa mahasiswa selalu berperan
penting dalam proses demokratisasi dan pembelaan hak dan
kebebasan dasar manusia. Begitu banyak  peran dan kontribusi
mahasiswa dalam mengisi kemerdekaan sebagai kekuatan kritik-
moral, penyeimbang, dan penekan atas jalannya kekuasaan
yang melenceng dari cita cita negara hukum dan Proklamasi 17
Agustus 1945. Gerakan Reformasi 1998 yang berhasil memaksa
Soeharto untuk berhenti dari jabatan Presiden adalah salah satu
saja contoh peran mahasiswa dalam mentransformasi amanat
penderitaan rakyat menjadi kekuatan yang menyudahi kekuasaan
rejim nan represif. Gerakan mahasiswa kala itu kemudian diambil
alih (dirampas?) oleh elite politik dengan reformasi konstitusi,
pencabutan Dwi Fungsi ABRI, kemerdekaan pers, dan berbagai
hal lainnya yang dimaksudkan menciptakan Indonesia yang lebih
demokratis.
Namun demikian, lebih dari satu dasawarsa reformasi
berjalan kehidupan bangsa ini masih saja diwarnai dengan korupsi,
kolusi, dan nepotisme dalam segenap kehidupan. Rakyat miskin
terus saja bertambah, sekolah, kesehatan, pangan dan papan
masih saja menjadi barang mahal bagi sebagian  besar masyarakat.
Tatkala tulisan ini dibuat, korupsi yang melibatkan petinggi Partai
Demokrat dan pertanyaan seputar integritas para pejabat Komisi

121
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan sedang menjadi sorotan dan


keprihatinan masyarakat.   Korupsi peradilan bahkan merajalela
tidak saja melibatkan para hakim di lingkungan Mahkamah
Agung, namun juga dugaan pemalsuan surat yang melibatkan
hakim konstitusi. Lembaga perwakilan rakyat mengalami krisis
kepercayaan karena para anggotanya tersangkut kasus korupsi.
Segala permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara sebagaimana diberikan sedikit contoh di atas tak
ayal pula menjadi bagian dari keprihatinan seluruh bangsa tak
terkecuali mahasiswa. Kondisi bangsa yang masih saja karut
marut membawa  pertanyaan: besar bagaimana sikap mahasiswa
menghadapi kondisi sosial-politik kenegaraan seperti sekarang?
Apa yang menjadi tantangan gerakan mahasiswa paska reformasi
dan strategi perjuangan seperti apakah yang tepat dilakukan
oleh mahasiswa dalam rangka membawa tongkat estafet untuk
mengawal jalannya kekuasaan serta mencapai cita kemerdekaan?
Tulisan ini secara singkat hendak memberi jawab atas pertanyaan
di atas serta saran secara ringkas pula.
Mahasiswa dipercaya sebagai kekuatan sosial-politik dalam
masyarakat yang amat strategis. Bisa dikatakan demikian, karena
mahasiswa adalah kalangan yang terdidik (educated) dan oleh
karenanya langsung maupun tidak langsung menjadikannya
berkesadaran politik lebih tinggi daripada masyarakat pada
umumnya. Mahasiwa pada umumnya masuk dalam kelas menengah
sebagai kelompok yang belum bekerja, belum mempunyai
tanggungan keluarga, dan oleh karenanya diasumsikan mampu
mencurahkan perhatiannya pada hal-hal yang ada di sekitarnya
dengan relatif lebih baik dan independen.
Pandangan seorang mahasiswa akan suatu fenomena sosial
politik diasumsikan lebih jernih karena belum terdistorsi oleh
berbagai kepentingan. Bertolak dari berbagai asumsi di atas,
menjadi dapat dimengerti ketika ekspektasi masyarakat terhadap

122
Manunggal K Wardaya

mahasiswa untuk berkontribusi dalam penyelesaian berbagai


persoalan bangsa pula teramat besar.
Dalam menyuarakan suara dan aspirasinya mahasiswa akan
lebih  nothing to loose  daripada seseorang yang memiliki resiko
kehilangan pekerjaan dan jabatan.  Inilah yang membedakan aksi
mahasiswa misalnya dengan aksi buruh yang kerap kali dilingkupi
ketakutan akan kehilangan pekerjaan dan atau mengalami
pemutusan hubungan kerja. Independensi mahasiswa ini menjadi
keunikan tersendiri dalam diskursus mengenai gerakan sosial,
sekaligus karena potensi dan keunikannya itu menjadikannya
ternampak seksi sehingga begitu rawan untuk dimanfaatkan oleh
berbagai kekuatan politik demi tujuan-tujuan pragmatis.
Tentu sahaja anggapan bahwa mahasiswa sepenuhnya dan
selamanya adalah golongan yang murni independen tak sepenuhnya
menemui kebenarannya. Tidak semua mahasiswa independen
atau lepas dari aliran maupun kelompok politik tertentu. Sebuah
organisasi mahasiswa yang menjadi organisasi sayap maupun
simpatisan partai politik tertentu dipercaya akan sukar diharapkan
mampu independen dan kritis terhadap kelompok politik yang
menaunginya.
Fenomena organisasi maupun gerakan mahasiswa yang
berada di bawah naungan organisasi sosial politik tertentu pada
satu sisi adalah hal yang wajar lagi tak mengherankan. Dikatakan
begitu karena dalam perspektif hak dan kebebasan asasi manusia,
mahasiswa pula berhak untuk berasosiasi dan memilih pandangan
politik yang diyakininya. Di sisi lain, kekuatan sosial politik
yang mempunyai sayap organisasi mahasiswa juga memiliki
kepentingan akan kaderisasi guna keberlangsungan organisasinya.
Hanya saja patut diingat sekali lagi bahwa publik memiliki
ekspektasi besar agar mahasiswa tetap mengedepankan sikap
kritis dan indepenendesinya tanpa harus terbelenggu oleh ikatan-
ikatan primordial yang mungkin saja melingkupinya. Sikap kritis

123
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

dan independen mahasiswa ini memiliki makna penting karena


mahasiswa menjadi tumpuan harapan manakala institusi-institusi
resmi demokrasi seperti lembaga perwakilan telah terbelenggu
oleh kepentingan politik sehingga abai akan hakekatnya membela
nasib rakyat banyak.
Permasalahannya adalah kerapkali afiliasi dengan kelompok
sosial-politik tertentu membuat mahasiswa dan organisasi
mahasiswa turut tersandera oleh kepentingan dan sikap politik
yang menaungi. Sikap politik yang dianut sebuah ormas suka tak
suka akan dianut pula sebagai sikap politik organisasi mahasiswa
yang berada di bawahnya.
Mahasiswa menjadi kehilangan daya kritis dan kemampuan
untuk melakukan pembelaan terhadap mereka yang dipinggirkan
dalam proses-proses politik di tanah air. Manakala terjadi
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh sebuah ormas misalnya,
organisasi mahasiswa yang berada di bawah ormas tersebut
tak mengambil sikap kritis akan kebijakan organisasi yang
menaunginya. Pada titik inilah dependensi mahasiswa dan gerakan
mahasiswa yang menyertainya menjumpai persoalan serius
sekaligus mengundang skeptisme akan kemampuan mahasiswa
untuk berperan memecahkan berbagai persoalan bangsa.
Permasalahan lain yang tak kalah serius adalah terkait dengan
soal kepekaan untuk menangkap isu-isu sosial politik yang menjadi
permasalahan besar bangsa untuk kemudian dilakukan pembelaan
dan atau advokasi terhadapnya maupun dengan pressure terhadap
negara dalam rangka mempengaruhi kebijakan. Berbagai peristiwa
hukum dan sosial yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa
mahasiswa terkesan kehilangan kepekaan akan  isu-isu yang
sebenarnya bersangkut paut dengan tugasnya untuk melakukan
kritik terhadap jalannya kuasa. Pelarangan aktifitas keagamaan
terhadap kelompok agama minoritas, aksi kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok radikal nampak tidak mendapat porsi

124
Manunggal K Wardaya

perhatian yang cukup oleh mahasiswa. Padahal perkara demikian


menyangkut persoaan mendasar yakni kebebasan dan hak asasi
manusia. Sikap politik yang berbeda akibat afiliasi yang berbeda
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya secara langsung maupun
tidak langsung pula berimbas pada kepekaan mahasiswa dalam
mensikapi permasalahan konkrit di dalam masyarakat. Pada
akhirnya kondisi demikian berujung pada fragmentasi gerakan
mahasiswa yang menjadikannya tak lagi solid karena terpecah-
pecah oleh kepentingan kelompok dan politik yang sesaat saja
sifatnya.
Di luar itu, terkesan pula bahwa kini kritik mahasiswa yang
disampaikan dalam berbagai aksi unjuk rasa tidak berangkat dari
tradisi akademik yang menjadi basis moral utama sebuah gerakan
mahasiswa. Pemahaman mendasar dengan dasar argumen yang
kuat tak lagi dimiliki. Ketika melakukan protes terhadap sesuatu
hal, mahasiswa tidak mempunyai dasar pemikiran akademis
yang bisa dipertanggungjawabkan ataupun tawaran konsep solusi
pemecahan permasalahan bisa dipakai oleh pengambil kebijakan.
Argumen mahasiswa oleh karenanya mudah dipatahkan karena
kerapkali apa yang dibawa turun ke jalan tidaklah melalui
serangkaian kajian yang mendalam berdasarkan disiplin ilmu
yang memadai.
Pada gilirannya, ketidaksolidan gerakan mahasiswa
ditambah dengan degradasi dalam kemampuan melakukan
analisa mendalam akan berbagai permasalahan sosial menjadikan
gerakan mahasiswa terhantar pada suatu keadaan yang dikenal
sebagai disorientasi. Mahasiswa kehilangan arah dalam gelombang
permasalahan bangsa, kehilangan daya kritis untuk menjadi
pengawal kuasa. Hal ini tentu tidak berbuah indah bagi cita cita
kehidupan bernegara yang demokratis dan berkeadilan. Manakala
kekuasaan penyelenggara tidak terkontrol dengan baik, maka
penyimpangan kuasalah akan semakin menggurita dan unggul.

125
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Sudah saatnya mahasiswa untuk menyadari bahwa soliditas


dalam menjalankan peran sebagai pengontrol kekuasaan
adalah syarat mutlak keberhasilan sebuah perjuangan gerakan
mahasiswa. Mahasiswa seyogyanya tidak tersekat dalam
belenggu primordialisme kelompok yang hanya akan berbuah
fragmentasi dan pelemahan gerakan mahasiswa. Alih-alih berhasil
menjalankan peran sebagai agen perubahan sosial, kondisi yang
menyelimuti mahasiswa yang seperti demikian akan membawa
kepada perpecahan yang niscaya, yang pada gilirannya tak akan
menjadi suatu kekuatan penekan yang solid dalam menghadapi
kekuasaan  abusive  yang dimiliki oleh penyelengara negara
maupun kapital. Pada gilirannya, gerakan mahasiswa, kalaupun
masih ada, hanyalah sekedar sebuah ritual yang tak banyak berarti
bagi perubahan negeri, sekedar romantika nan heroik untuk
menunjukkan eksistensi. Tak kurang, tak lebih.

Makalah disampaikan dalam Academic Forum Radio


Republik Indonesia Purwokerto Programa 2, Kamis 18 Agustus
2011

126
Manunggal K Wardaya

22. KRITIK SBY TERHADAP PERS

D
alam pernyataan pers yang disampaikan di kediamannya
di Puri Cikeas (11/7), Ketua Dewan Pembina Partai
Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
melontarkan sinyalemen bahwa Pers telah memecah belah partai
terkait gencarnya pemberitaan mengenai mantan bendaharawan
PD Nazaruddin. SBY merasa gusar dengan pers yang menyoroti
konflik partai dengan mendasarkan pada short message service
(SMS) dan BlackBerry Messenger (BBM) seraya melontarkan
spekulasi adanya intrik politik dibalik pemberitaan media untuk
mendiskreditkan PD. Gusar karena media menggunakan pesan
pendek yang menurutnya tidak valid sebagai headline, SBY yang
pula Presiden RI ini mewanti publik untuk tidak mau dipecah belah
oleh pers. Tulisan ini akan mengkaji pernyataan ketua PD tersebut
dalam perspektif hukum pers dan filsafat hukum ketatanegaraan.
Menerima, mengolah, dan menyampaikan informasi adalah
kegiatan pers sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir (1) UU
No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Kegiatan ini tidak bisa dilepaskan
dari dianutnya paham kedaulatan rakyat dimana dimahfumi bahwa
rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam sebuah entitas

127
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

bernama negara. Dalam kerangka berfikir tentang hakekat pemilik


kuasa tertinggi seperti ini, rakyat memiliki hak dan kebebasan
dasar termasuk di dalamnya hak dan kebebasan atas informasi,
berbicara, berpendapat, dan berkekspresi, serangkaian hak dan
kebebasan dasar manusia yang diakui dalam Deklarasi HAM
PBB 1948 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik 1966.
Berbagai hak yang telah diakui secara universal itu pula menjiwai
dan menjadi muatan konstitusi tertulis UUD 1945, UU No. 39
Tahun 1999 Tentang HAM dan UU Pers. Serangkaian kebebasan itu
dijamin dan dilindungi oleh negara, mewajibkan negara, menurut
hukum internasional, untuk melakukan langkah-langkah efektif
untuk memastikan pemenuhannya. Pembatasan terhadap hak dan
kebebasan dasar itu memanglah dimungkinkan, namun hanya
melalui hukum demi melindungi moralitas dan kesehatan publik
dalam sebuah masyarakat demokratis dan memang diperlukan
untuk itu.
Kemerdekaan pers adalah manifestasi prinsip kedaulatan
rakyat yang inheren dengan penghormatan hak dan kebebasan
asasi manusia. Pers memungkinkan publik mengetahui hal-hal
yang berkaitan dengan minat maupun kepentingannya. Dalam
konteks jalannya kekuasaan, informasi mengenai bagaimana
kekuasaan dijalankan dan perilaku aktor politik yang menyandang
kepercayaan publik (termasuk anggota DPR seperti Nazarudin)
hanya mungkin dapat diketahui (dan oleh karenanya kemudian
dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan politik) jika
ada pers yang bebas.
Informasi pers menjadi pencerah, memberi informasi
seluas-luasnya dalam rangka melaksanakan fungsi kontrol sosial
dengan satu legitimasi luhur: kepentingan umum. Sudah barang
tentu, dalam menjalankan perannya yang dijamin oleh Pasal
6 butir (d) UU Pers tersebut media tidak dapat menjalankan
fungsinya dengan sebebas-bebas dan semaunya. Sebagaimana

128
Manunggal K Wardaya

telah disinggung sebelumnya, kemerdekaan pers selain dijamin


sebagai hak asasi manusia juga dibatasi oleh hukum dan pula kode
perilaku jurnalistik.
Dalam konteks keberatan SBY terkait validitas pesan
singkat dari berbagai moda komunikasi yang diklaim berasal dari
Nazaruddin, sebenarnyalah keraguan itu bukannya sesuatu yang
tidak wajar. Hanya saja, kritik atas digunakannya pesan pendek
sebagai sumber informasi seraya menambahkan bahwa hal itu
sebagai upaya mendiskreditkan partainya memberi kesan kuat
akan ketidakpahaman figur utama PD ini tentang hukum pers.
Mestilah dipahami, pada dasarnya segala macam sumber informasi
(terlebih di era digital seperti sekarang) dapat digunakan selama
ia kredibel dan diyakini validitas dan akurasinya oleh jurnalis.
Kalaupun apa yang diberitakan media sesuai dengan keterangan
sumber berita itu disangkal kebenarannya, maka harus pula
diingat bahwa kebenaran jurnalistik bukanlah kebenaran hukum
melainkan kebenaran narasumber. Lebih lanjut, adalah pula bagian
dari kewajiban etik jurnalis untuk merahasiakan sumber berita
termasuk sumber SMS dan BBM jika itu memang dipandang perlu
untuk melindungi nara sumber maupun atas permintaan sumber
berita itu sendiri.
Kalaupun SBY maupun PD merasa dirugikan dengan
pemberitaan selama ini mengenai PD yang bersumber dari
berbagai pesan pendek tersebut, ia dan PD memiliki hak untuk
menggunakan hak jawab sebagaimana telah diatur dalam
Pasal 5 ayat (2) UU Pers yang secara detail dituangkan dalam
Peraturan Dewan Pers No. 9 Tentang Pedoman Hak Jawab.
Hak jawab bersama hak koreksi adalah jantung hukum pers
yang mengharuskan pers untuk melayani seseorang maupun
sekelompok orang yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan.
Jika meyakini ada pelanggaran atas kode etik jurnalistik, ia
dapat mengadukan penanggungjawab media pada Dewan Pers.

129
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Tulisan ini meyakini bahwa pendekatan melalui jalur yang


dikenal dalam dunia jurnalistik sebagaimana dipaparkan di atas
akan lebih baik bagi citra SBY dan PD daripada menyalahkan
pers secara pukul rata tanpa menunjuk media mana yang
dimaksud. Selain merefleksi ketidakpahaman akan hukum
media, menyalahkan pers terkait kaburnya mantan bendahara
PD yang pula anggota DPR Nazaruddin justeru memberi kesan
kuat upaya PD untuk mengalihkan perhatian atas kasus besar
yang amat sangat mengikis kepercayaan publik tersebut. Amat
disayangkan bahwa kontrol media yang menyuarakan kegusaran
dan kemarahan rakyat atas kegagalan PD untuk konsisten sebagai
partai yang bebas korupsi seperti yang digembar gemborkan dalam
kampanye justeru direspon dengan pembelokan isu yang justeru
kontraproduktif. Publik menjadi bertambah kecewa karena pers
sebagai representasi suara rakyat yang membongkar skandal suap
pembangunan wisma SEA GAMES ini justeru hendak diredam.
Pada akhirnya, dengan menyalahkan media sementara komitmen
partai terhadap korupsi justeru semakin “jauh panggang dari
api”, sangat boleh jadi hasil berbagai survei yang menyebutkan
bahwa popularitas SBY dan PD semakin menurun akibat kasus
Nazaruddin, yang selama ini dengan gigih diingkari, justeru akan
semakin mendekati kebenarannya.

Dimuat Di Harian Suara Merdeka 16 Juli 2011

130
Manunggal K Wardaya

23. PEMBERANGUSAN BUKU


DI INDONESIA

A
pa  yang terjadi ketika ahli kedokteran dan farmasi
dilarang meneliti virus AIDS, hanya karena penyakit
ini dianggap hina, menjijikkan, dan terkutuk? Akankah
para ahli itu dapat memberi rekomendasi kepada warga dunia
tentang hal-hal yang perlu dilakukan untuk menghindari penyakit
mematikan itu? Akankah pula mereka berhasil menemukan serum,
obat, jamu, atau apa saja yang dapat menanggulangi penyakit
yang mengancam eksistensi umat manusia itu? Bagaimana pula
dengan masyarakat tanpa pengetahuan, penyuluhan tentang
AIDS? Masyarakat akan terbawa kepada kesesatan, dengan
beramai-ramai mengutuk, sedangkan mereka sendiri tidak tahu
apa sebenarnya AIDS, bagaimana ditularkan.Lebih celaka lagi,
jika mereka yang mengutuki penyakit sebenarnya dalam keadaan
mengidap penyakit itu tanpa menyadari.
Pemikiran serupa dapat dikemukakan untuk menelaah
pembakaran buku  Pemikiran Karl Marx  karya Franz Magnis
Suseno, dan buku-buku Pramudya Ananta Toer. Secara apriori
buku-buku itu dibakar oleh Aliansi Antikomunis pada pertengahan
April lalu di Jakarta. Ancaman lebih serius, rencana pembersihan

131
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

toko-toko buku dari buku-buku yang dicap berbau komunis pada


hari Kebangkitan Nasional. Alih-alih sebagai bangsa yang gemar
membaca, Indonesia justru menobatkan diri menjadi bangsa yang
hobi memberangus bacaan.
Tindakan sweeping, pembakaran, pemusnahan buku, dengan
tuduhan buku-buku itu menyebarluaskan paham komunis
merupakan pandangan yang patut disesalkan. DS Moeljanto dan
Taufik Ismail yang pernah ditindas oleh seniman Lekra/PKI, ketika
menerbitkan buku Prahara Budaya, banyak mengutip karya-karya
seniman Lekra, cuplikan doktrin Lenin, pandangan-pandangan
Marx dan praktek, bahkan kliping-kliping komunis. Pun dimuat
sajak-sajak seperti Kepalaku Marxis, Diriku Leninis karya Sobron
Aidit. Apakah mereka mempropagandakan komunisme? Taufik
Ismail dalam kata pengantar membeberkan tujuan penulisan buku
itu. Dia mengatakan, penerbitan  Prahara Budaya dimaksudkan
agar generasi muda yang tidak mengalami sendiri dapat memahami
teror mereka di bidang seni budaya yang memaksakan visi realisme
sosialis yang komunistis kepada seniman di luar kubu mereka.
Pada akhir kata pengantar pula tertulis, “Semoga buku ini
mencapai tujuan, lebih menjelaskan kepada publik, terutama
generasi muda, mengenai peranan destruktif Lekra/PKI dan
sekutu-sekutunya di bidang seni budaya pada kurun 1959-1965,
yang nyaris menenggelamkan RI melalui perebutan kekuasaan
berdarah, Gestapu 30 September 1965.” Tulisan senada juga terdapat
dalam Pemikiran Karl Marx karya Magnis Suseno. Manakala orang
mempelajari karya-karya berbau Marxisme, seperti Manifesto
Komunis dari duet Marx-Engels sekalipun, bukan berarti orang
lantas menyetujui untuk kemudian memindahkan ke langkah
terapan. Mungkin para pembakar itu tidak mengetahui, Marx
dengan landasan dialektika Hegel, justru membenci siapa saja yang
mentah-mentah menerima teori dia. Peniadaan Tuhan seperti
dianut oleh Marx, sudah tentu tidak sesuai dengan Pancasila yang

132
Manunggal K Wardaya

ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pun juga teori  class struggle  dia
tidak relevan untuk Indonesia. Bukan saja kekerasan yang menjadi
sarana perjuangan kelas (dus, menafikan musyawarah), Marx
seolah lupa (atau menutup mata) keberadaan kelas menengah,
yang berperanan tidak kecil dalam masyarakat demokratis.
Akan halnya demonstrasi serikat buruh di Indonesia
seperti yang diteriakkan Marx dengan lantang “Kaum buruh
sedunia, bersatulah,’ tidak harus selalu menggulirkan tafsiran
kalau demonstrasi buruh itu gerakan komunis. Siapa pun, tanpa
perlu menjadi komunis, akan berteriak manakala kesejahteraan
mereka tertindas dengan upah di bawah UMR. Masih banyak
lagi teori komunis yang bisa ditanggapi (secara arif dan bijak)
dengan teori-teori sosial lain. Hal ini hanya bisa terwujud jika ada
kebebasan berpikir, bukan dengan pelarangan, pemberangusan,
apalagi kekerasan. Wacana kritik terhadap kelemahan buku
yang seharusnya lebih dikembangkan sebab lebih sehat. Justru
kini yang perlu diwaspadai, apa yang diingatkan oleh mendiang
YB Mangunwijaya (1996), antikomunis dalam tataran teoretis
tapi garda depan dalam praktek. Negara-negara yang menganut
komunis pun menampakkan kedemokratisan dengan lebih
multipartai. Akan tetapi hanya satu partai yang dominan, berkuasa,
dan memaksakan kebenaran. Kebenaran yang ada kebenaran
tunggal, tanpa memberi space untuk berbeda pendapat.
Buku, demikian ketua LIPI Taufik Abdullah, tidak
sekadar  repository  perbendaharaan kultural, tetapi juga
mekanisme dalam pemberdayaan dan pembebasan diri dari
sistem yang mengebiri fitrah kemanusiaan. Bumi Manusia karya
Pramoedya Ananta Toer bukan saja contoh karya sastra yang
luar biasa, melainkan juga kaya dengan catatan sejarah dan
kemanusiaan. Mengisahkan seorang pribumi yang berhubungan
dengan anak seorang gundik Belanda Annelies Hellema. Buku itu
menggambarkan fragmen kehidupan anak pribumi pada masa

133
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Hindia Belanda yang mengenyam pendidikan tinggi HBS, terdidik


secara modern (Eropa), dan menemukan konflik dalam kehidupan
sehari-hari dengan pandangan-pandangan superior Belanda.
Banyak catatan sejarah tercecer di dalam karya Pram yang
ditulis dalam pengasingan di Pulau Buru itu. Pembaca bisa
mengetahui, Wonokromo dahulu berada di luar Surabaya. Kereta
Api cepat pada masa itu sudah tersedia. Yang terlihat dalam Perang
Aceh tak hanya orang Belanda, tapi ada pula yang berasal dari
Italia, Perancis.
Orang-orang dari Purworejo banyak dikerahkan oleh
Belanda untuk menumpas perlawanan tak kunjung padam rakyat
Aceh. Mereka yang tertarik dengan kriminologi pun segera tahu,
pemakaian centeng (dalam buku itu ditokohkan oleh seorang
Madura bernama Darsam) sudah lazim di masa lalu. Jelas pula
ditunjukkan, status Indo pada zaman dahulu ternyata tidak
senikmat seperti apa yang disandang oleh artis-artis kita sekarang
yang berdarah keturunan.
Pram sendiri? Bahkan pers Amerika – negara tempat
kapitalisme bercokol dan emoh setengah mati dengan komunisme
– menilai Pramoedya Ananta Toer sebagai penulis brilian.
Mereka bilang, dia itu Albert Camus-nya Indonesia, yang layak
mendapatkan Nobel. Sebagai penulis, keberadaan dia belum tentu
ada dalam rentang satu generasi, bahkan satu abad sekalipun.
Kontrol ideologi dengan cara membuta, bisa dibilang cara
yang tidak beradab. Menurut Rumadi (2001), cara-cara seperti
itu bisa dikatakan menunjukkan kebodohan sendiri. Sungguh
menyedihkan bagi kalangan perguruan tinggi, jika pada 20/5 ini
benar-benar menjadi momen ketika naluri untuk menilai dan
mengkaji suatu ilmu menjadi sesuatu yang dikekang. Lebih jauh
lagi, ironi ketika ability to write sebagai roots of democracy tidak
mendapatkan apresiasi yang layak di negeri ini

134
Manunggal K Wardaya

24. MEDIA LOKAL DAN


POLITIK UANG DALAM PILKADA

M
enjelang beberapa pilkada yang akan digelar di
tingkat kabupaten/kota maupun propinsi pada
2008, sejumlah calon kepala daerah di Jawa Tengah
semakin gencar melakukan sosialisasi tentang profil, visi misi,
dan programnya. Berbagai isu strategis yang dianggap mampu
mendongkrak popularitas ditonjolkan mulai dari sentimen putra
asli daerah, prestasi sebagai pejabat dalam rezim yang sedang
berkuasa (incumbent), program pengentasan kemiskinan, hingga
keunggulan peringkat dalam jajak pendapat. Dalam melakukan
pendekatan terhadap publik, hampir semua calon memanfaatkan
media lokal, baik cetak maupun elektronik. Bisa dimengerti, media
mampu menjangkau khalayak sasaran yang lebih luas dibandingkan
berbagai cara konvensional seperti rapat umum, pemasangan
spanduk, baliho, atau penempelan stiker. Perkembangan teknologi
informasi dan multimedia memungkinkan sosialisasi calon kepala
daerah disajikan dalam format yang lebih memikat dan tak begitu
dirasakan publik sebagai kampanye. Kita menyaksikan berbagai
sosialisasi calon kepala daerah dikemas tidak saja dalam bentuk
iklan display, namun juga berita advertorial dan dialog interaktif

135
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

yang melibatkan sejumlah stasiun radio dan televisi swasta. Di


Banyumas, seorang calon bupati bahkan menjadi sponsor tunggal
kontes adu bakat muda-mudi yang ditayangkan oleh televisi lokal.
Momen pilkada menciptakan relasi saling menguntungkan
antara media lokal dan para kandidat calon kepala daerah.
Kebutuhan setiap calon akan sosialisi diterjemahkan media sebagai
peluang emas untuk meraup pemasukan guna meneguhkan atau
bahkan mempertahankan eksistensi di tengah ketatnya persaingan
bisnis media lokal (Kompas, 20/8). Dapat dimengerti, media
bukanlah ‘persembahan dari surga’ sehingga tetap membutuhkan
kontinuitas dana untuk menunjang aktifitasnya. Di sisi lain, para
calon kepala daerah memandang media lokal dengan segala
kelebihannya sebagai sarana strategis yang tidak bisa tidak harus
digunakan dalam rangka menarik sebanyak mungkin perhatian,
simpati, dan dukungan calon pemilih. Terjadilah kemudian
konsensus tak tertulis untuk saling menjaga kepentingan satu sama
lain. Media menyediakan diri untuk menampilkan apapun sesuai
keinginan seorang calon selama calon tersebut tetap memiliki
komitmen untuk menggunakan jasanya. Sebaliknya para calon
akan terus menggunakan jasa media selama suatu media memiliki
komitmen untuk menampilkan apapun sesuai yang diingini, atau
setidaknya yang selaras dengan kepentingan calon.
Sepintas relasi demikian adalah sesuatu yang lumrah terjadi
antara penyedia jasa dan kliennya sebagaimana yang terjadi
dalam transaksi jasa lainnya. Namun persoalannya menjadi lain
manakala diingat bahwa media sesungguhnya mengemban fungsi
kodrati yakni kontrol sosial. Media adalah tumpuan, ujung tombak
yang diharapkan warga agar mampu memaparkan apapun yang
berkaitan dengan kepentingan publik sebagai bahan pertimbangan
dalam menentukan sikap politik, yang antara lain diputuskan
dalam pemilu. Dalam konteks pilkada, publik berharap agar media
lokal mampu secara kritis mengupas tuntas latar belakang setiap

136
Manunggal K Wardaya

calon penguasa daerah berikut program yang ditawarkannya,


sehingga publik memiliki pengetahuan yang cukup akurat guna
menjatuhkan pilihan dengan tepat di bilik suara nantinya. Asumsi
yang mendasari ekpektasi publik sederhana saja; media lokal
adalah media yang dianggap tahu atau semestinya paling paham
seluk beluk permasalah lokal.
Sayangnya, alih-alih menjadi pengawal demokrasi pada
tataran lokal, yang banyak terjadi adalah media lokal justeru
bermain mata dengan calon pemegang kekuasaan. Keuntungan
yang didapatkan dan terus diharapkan dari para calon penguasa
daerah baik selama masa sosialisasi maupun jika kelak menjabat
menjadikan media lokal kerapkali tidak saja bersikap lunak,
namun bahkan fasilitatif total terhadap kepentingan calon kepala
daerah. Bukannya menurunkan laporan yang sesuai dengan kredo
bad news is good news demi kepentingan umum, kita mengamati
begitu banyak media lokal justeru berlomba-lomba menampilkan
yang terbaik dan terindah tentang elit politik yang menjadi kliennya.
Serangkaian program yang digelar mulai dari talk show hingga
dialog interaktif kesemuanya mempunyai ending yang sama: puja-
puji untuk sang calon. Sepanjang seorang calon mampu menjalin
“hubungan baik” dengan media, calon tersebut bisa menentukan
apa yang ingin dimuat, bagaimana pemberitaan (coverage) tentang
dirinya mesti dikemas dan seterusnya. Hal ini diperparah dengan
sikap sebagian insan media di lapangan yang begitu toleran,
bahkan gembira dengan berbagai macam “tali asih” dan “amplop”
dari nara sumber serta tidak menganggapnya sebagai bagian dari
kooptasi atau lebih-lebih sebagai pengkhianatan profesi, sesuatu
yang pernah secara khusus menjadi keprihatinan wartawan senior
Mochtar Lubis..
Kuasa uang membuat media lokal melupakan khittahnya
sebagai pilar keempat demokrasi di tingkat lokal dan sebaliknya
menyediakan dirinya untuk menjalankan fungsi public relation

137
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

bagi kepentingan calon kepala daerah berikut misi pencitraan


politiknya. Daya kritis media melumer berganti dengan kerlingan
penuh makna terhadap kekuasaan. Kalaupun media memiliki
informasi yang menyangkut negativitas rekam jejak seorang
kandidat, informasi semacam itu akan tetap tersimpan dalam file
redaksi tanpa pernah diturunkan kepada khalayak. Menurunkan
berita atau laporan tentang kelamnya jejak rekam dan kapabilitas
seorang calon yang patut diketahui oleh publik bukan lagi dianggap
heroik, sebaliknya dinilai sebagai tindakan konyol karena sama
saja dengan bunuh diri..
Secara normatif, Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999
tentang Pers berikut penjelasannya telah mewanti-wanti agar
fungsi sebagai lembaga ekonomi dijalankan dengan tidak
meninggalkan kewajiban sosialnya. Pasal 4 Undang-undang yang
sama mengidealkan independensi media dari campur tangan
apapun dalam menjalankan aktifitasnya guna menjamin hak
masyarakat dalam mendapatkan informasi. Maka ketika media
lokal terbius (bahkan dengan sukarela) oleh kekuatan politik uang
dan lebih menghamba pada fungsinya sebagai lembaga ekonomi,
sesungguhnya media semacam itu telah melupakan kewajiban
asasinya sebagai pengemban amanah kedaualatan rakyat.
Media yang melakukan korupsi informasi semacam itulah
yang ketika pemilu tiba menjadikan publik tidak mempunyai bekal
pengetahuan yang cukup untuk dibawa ke bilik suara. Pilkada
yang digelar pada gilirannya hanya akan menghasilkan pemimpin
yang tak seindah yang dibayangkan sebagaimana pernah secara
sinergis dicobakesankan oleh media dan calon kepala daerah. Oleh
karenanya jika kelak di kemudian hari pemimpin yang dihasilkan
tersebut justeru mengangkangi hak-hak dan kepentingan rakyat,
sudah sepantasnya bila gugatan tidak saja diarahkan kepada
pemimpin itu semata, namun juga terhadap media lokal yang
menghamba padanya.

138
Manunggal K Wardaya

Terhadap media seperti itu pulalah pantas kiranya dijatuhkan


bredel publik, yakni suatu bentuk mosi tidak percaya dan boikot
warga atas suatu media yang duduk bersimpuh di depan kuasa
uang dan bukannya mengabdi pada kepentingan umum.

Dimuat di Harian KOMPAS Jawa Tengah 2007

139
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

25. KRIMINALISASI PERS

M
arkas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes
Polri) akhirnya resmi mempidanakan majalah TEMPO
terkait sampul depan majalah Tempo edisi 28 Juni-4
Juli 2010 yang menurunkan headline “Rekening Gendut Perwira
Polisi”. Tanpa menempuh prosedur hak jawab dan mengupayakan
mediasi melalui Dewan Pers sebagaimana diamanatkan oleh UU
No.40 Tahun 1999 tentang Pers, Mabes Polri melaporkan TEMPO
ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri dengan pasal-
pasal penghinaan masing-masing Pasal 207 dan 208 KUHP. Polri
merasa gerah dengan cover yang menunjukkan gambar polisi
sedang mengendalikan celengan berbentuk babi. Kepala Divisi
Humas Mabes Polri Edward Aritonang menjelaskan bahwa cover
tersebut menyiratkan bahwa Polisi bergaul dengan babi, sesuatu
yang menurutnya meresahkan keluarga besar Polri. Tulisan
merupakan telaah singkat pengaduan tersebut dari perspektif
konstitusionalisme.
Kemerdekaan Pers adalah salah satu wujud kedaualatan
rakyat, demikian ditegaskan Pasal 2 UU No. 40 tahun 1999 tentang
Pers. Kedaulatan rakyat adalah paham bahwa kekuasaan tertinggi

140
Manunggal K Wardaya

ada di tangan rakyat. Dalam paham ini diakui bahwa rakyatlah yang
berkuasa, sedangkan negara termasuk aparat penyelenggaranya
diadakan (instituted) tak lain dan tak bukan untuk mengabdi pada
rakyat. Dalam konteks inilah, rakyat yang telah bersetuju untuk
menyerahkan sebagian hak dan kebebasannya kepada negara
sebagaimana dikonstruksi dalam teori perjanjian masyarakat
(social contract) tetap memiliki hak dan kebebasan dasar, apa yang
kerap terbilang sebagai hak dan kebebasan asasi manusia (HAM).
Salah satu diantara kebebasan dasar manusia adalah kebebasan
berekspresi (freedom of expression) dan berpendapat (freedom
of speech) termasuk untuk mengawasi negara yang diciptakan
masyarakat untuk mengayomi dari perilaku homo homini
lupus. Tak sekali-kali negara berikut aparatusnya dibenarkan
melangkahi hak dan kebebasan asasi warga, hal mana jika
dilakukan akan memberi justifikasi dibubarkannya pemerintahan
untuk dibentuknya pemerintahan yang baru. Kontrak sosial
yang diadakan oleh masyarakat tak sekali kali dimaksudkan
untuk menciptakan pemerintah yang diktaturial nan represif
sebagaimana dikonstruksi oleh Hobbes, namun yang berlandaskan
paham pembatasan kekuasaan sebagaimana dicitakan John Locke
dan Rousseau.
Dalam negara demokrasi konstitusional, negara berkewajiban
tak saja untuk menghormati, namun juga melindungi, memenuhi,
dan mempomosikan hak dan kebebasan dasar manusia. Negara
dibenarkan untuk membatasi pelbagai kemerdekaan warga dan/
atau kelompok warga hanya bila berbekal justifikasi hukum, hukum
mana tidak saja harus berkepastian namun pula berkeadilan.
Pembatasan hukum ini pun hanya diperbolehkan dilakukan
dalam hak-hak yang tak dikategorikan sebagai non-derogable
rights. Baik negara dan aparatur penyelenggara negara maupun
warga negara terikat untuk mematuhi hukum demi terciptanya
ketertiban dan masyarakat yang adil dan demokratis. Ruh daripada

141
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

konstitusionalisme adalah bahwa negara dan penyelenggara negara


terikat oleh hukum (rule of law) dan bukannya mengatasi hukum
(rule by law). Paradigma yang berlaku oleh karenanya adalah
bahwa kekuasaan ada untuk mengabdi dan melayani pemilik sejati
kekuasaan, dan bukan sebaliknya: menikam dengan kekuasaan
yang telah dipercayakan.
Dalam konteks fenomena upaya kriminalisasi majalah
TEMPO oleh Polri, ilustrasi seseorang dengan seragam mirip
anggota Polisi sedang mengendalikan beberapa celengan berbentuk
babi dalam cover majalah tersebut seharusnya dipandang sebagai
ekspresi rakyat yang sedang mempertanyakan perilaku sebagian
aparat pemangku kuasa. Sebagai wadah komunikasi warga, TEMPO
sebagai media berita (news media) tak saja menjalankan fungsinya
sebagai penyampai informasi, namun pula sedang menjalankan
fungsinya yang lain: sebagai corong rakyat dalam mengawasi dan
mepertanyakan indikasi penyelenggara negara yang berperilaku
koruptif. Ekspresi dari vox populi ini tidak seharusnya dipandang
sebagai bentuk penghinaan, karena hal tersebut adalah manifestasi
demokrasi dan kedaualatan rakyat. Kalaulah Polri merasa dirugikan
dengan adanya cover tersebut, seharusnya Polri menggunakan
hak jawab. Sebagaimana dikatakaan Nezar Patria dari Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), diabaikannya hak jawab dan dipilihnya
kriminalisasi terhadap media adalah cerminan bahwa Polri tidak
menghormati Undang-undang Pers.
Alih-alih merasa terhina dan membawa kasus ini ke ranah
hukum pidana, seharusnyalah pemberitaan pers mengenai indikasi
adanya tindak pidana sebagaimana diturunkan oleh majalah
TEMPO dipandang sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam
membantu tugas Polri untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Berdasar laporan tersebut, seharusnya Polri bereaksi cepat untuk
mengusut siapa-siapa di dalam tubuh Polri yang diindikasikan
memiliki dan memperoleh harta kekayaan secara tidak sah.

142
Manunggal K Wardaya

Follow up seperti itu akan jauh lebih sinergik bagi Polri dalam
upayanya menciptakan citra lembaga kepolisian yang bersih dan
bebas KKN. Publik sadar betul bahwa tidak semua pejabat di
tubuh Polri kotor dan korup, dan justeru karena itulah publik
berharap momen ini dapat dimanfaatkan untuk membersihkan
“susu sebelanga yang rusak karena nila setitik.” Langkah ini akan
dipandang sebagai elegan, lebih tepat dan dibutuhkan masyarakat
daripada pertunjukan ketersinggungan yang terkesan berlebihan
oleh aparatur negara ketika sedang dikontrol oleh sang majikan
sejati: rakyat.
Blunder yang dilakukan Polri dengan kriminalisasi terhadap
kinerja jurnalistik seperti dengan memperkarakan cover majalah
TEMPO justeru akan semakin menimbulkan keraguan bahkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja dan profesionalitas
Polri dalam mensikapi dan menangkap aspirasi yang berkembang
di masyarakat. Masyarakat akan semakin percaya, bahwa apa yang
dilakukan oleh Polri terhadap majalah TEMPO tak lain sebagai
upaya menutupi berbagai ketidakberesan di tubuh lembaga yang
dalam visi misinya mengklaim sebagai pelindung, pengayom, dan
pelayan masyarakat ini. Jika demikian halnya yang terjadi, tak saja
upaya yang selama ini telah dilakukan Polri untuk membangun
citranya sebagai institusi yang bersih dan bebas dari KKN menjadi
kontraproduktif, namun sesungguhnya demokrasi di negeri ini
sedang mengalami kemundurannya yang nyata.

143
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

26. TEMPO DAN


KEMERDEKAAN PERS

M
elalui sambungan telepon internasional, saya
menerima wawancara Radio SBS Australia (6/7/10).
Membincangkan kasus pelaporan TEMPO oleh Mabes
Polri kepada Bareskrim Mabes Polri, SBS menanyakan pada saya
(dan pula tokoh Pers Atmakusumah) beberapa hal terkait cover
majalah yang diklaim menghina institusi Polri tersebut. Kepada
saya, SBS menanyakan terutama dalam perspektif hukum dan
konstitusionalisme, sedangkan pada Atmakusumah, pertanyaan-
pertanyaan seputar jurnalistik kaitannya dengan kasus itu lebih
mengemuka.
Menjawab pertanyaan announcer SBS mengenai pelaporan
sebagai bentuk pengalihan issue, saya mengatakan bahwa saya
cenderung percaya pada spekulasi itu. Publik juga tahu, bahwa
cover TEMPO dengan gambar orang berseragam mirip polisi yang
menggiring celengan babi tersebut adalah ekspresi media untuk
menggambarkan adanya aliran dana mencurigakan ke rekening
perwira Polisi. Klaim sementara pejabat Polri yang mengatakan
bahwa gambar celengan berbentuk babi sebagai bentuk
penghinaan terkesan berlebihan, karena secara universal celengan

144
Manunggal K Wardaya

juga dikenal sebagai bentuk penyimpanan uang, utamanya uang


koin. Dalam kesempatan mengunjungi Belanda beberapa waktu
silam, saya juga sempat membeli celengan berbentuk babi persis
sebagaimana yang menjadi ilustrasi TEMPO. Lagipula bukankah
celengan berasal dari bahasa Jawa yang berarti babi (hutan)?
Alih-alih sebagai manifestasi penghinaan apalagi dikait-
kaitkan dengan persoalan halal-haram yang bernada SARA,
gambar celengan babi tersebut sebenarnyalah representasi
kritik masyarakat terhadap sementara pejabat di lingkungan
Polri yang diindikasikan tidak amanah terhadap kekuasaan yang
dipercayakan rakyat. Saya sepakat dengan Atmakusumah yang
sebelumya kurang lebih mengatakan bahwa reaksi polisi mensikapi
cover tersebut terasa berlebihan, dan terkesan menutupi persoalan
sesungguhnya yang lebih substansial. Padahal kalaulah Polri
benar merasa keberatan, merasa dirugikan dengan adanya cover
tersebut, seyogyanya Polri menempuh upaya sebagaimana diatur
dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan terlebih dahulu
menggunakan hak jawab. Kriminalisasi dengan mengadukan
sengketa jurnalistik ke ranah hukum pidana tidak saja terkesan
lucu, namun mengindikasikan bahwa Polri tak mengindahkan
hukum pers. Hak jawab adalah instrumen yang diberikan oleh UU
No 40 Tahun 199 tentang Pers bagi siapa saja yang merasa dirugikan
oleh pemberitaan pers. Hak ini tak saja menjadi ketentuan hukum
positif, namun dikenal sebagai norma universal jurnalistik.
Menanggapi pertanyaan SBS yang bertanya apakah
penanganan kasus rekening tersebut akan berujung memuaskan,
saya tidak hendak berspekulasi, namun menunjukkan bahwa
kasus ini menjadi bukti peran pers dalam melakukan kontrol
sosial terhadap pelaku kekuasaan. Kemerdekaan pers dengan
menurunkan laporan tersebut adalah manifestasi kedaualatan
rakyat. Liputan dan pemberitaan rekening para perwira tinggi
oleh TEMPO membuat kasus ini menjadi sorotan publik, bahkan

145
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

menarik perhatian Presiden SBY. Kita bisa membayangkan


seandainya TEMPO tidak mengangkat hal ini, barangkali indikasi
korupsi yang sudah barang tentu merugikan rakyat banyak akan
terus terjadi dengan penuh keironisan, karena mengambil lokus di
lembaga penegak hukum: lembaga kepolisian.
Pada akhirnya, kasus TEMPO ini menjadi peringatan siapa saja
pemangku kekuasaan negara untuk menghayati kemerdekaan pers
sebagai wujud kedaulatan rakyat. Karena rakyatlah yang berdaulat,
yang berkuasa dan menjadi pemilik sejati kekuasaan bernegara
di negeri ini, maka sesungguhnyalah negara dan penyelenggara
negara ada untuk mengabdi pada rakyat. Dalam negara demokrasi
konstitusional, rakyat tetap memiliki hak untuk melakukan kontrol
terhadap pelaku kekuasaan. Oleh karenanya, para penyelenggara
mestilah siap dikritik, karena akuntabilitas terhadap publik adalah
legitimiasi berlangsungnya kekuasaan. Daripada menampilkan
kemarahan yang berlebihan dan atau penyataan yang cenderung
intimidatif, sudah saatnya para penyelenggara negara menyadari
fitrah diadakannya negara yakni untuk melindungi hak dan
kebebasan asasi manusia, pengabaian mana terhadapnya menjadi
justifikasi dibubarkannya pemerintahan untuk diganti dengan
pemerintahan baru.

Paper Tidak Dipublikasikan

146
Manunggal K Wardaya

27. URGENSI SERTIFIKASI


WARTAWAN

W
artawan adalah sebuah profesi yang hasil karyanya
bersinggungan langsung dengan kepentingan
khalayak ramai. Dikatakan demikian karena jika
tak memerhatikan kaidah-kaidah kewartawanan, karya seorang
wartawan tak saja bisa menyebabkan kerugian objek berita namun
pula keresahan sosial. Sebaliknya, karya jurnalistik yang dilakukan
dengan profesional akan dapat memobilisasi opini warga dalam
mengawal proses-proses kebijakan publik, membuat warga
waspada (alert) dan tercerahkan (informed) akan pelbagai peristiwa
sosial kemasyarakatan. Pada gilirannya, media yang diawaki oleh
pewarta yang profesional akan maksimal dalam mengembangkan
fungsinya sebagai wahana komunikasi massa sekaligus sebagai
sarana kontrol sosial.
Adalah benar bahwa jurnalis dan media berita yang
menaunginya tak mungkin lepas dari kemungkinan untuk
membuat kesalahan dalam melakukan kerjanya. Tidak mungkin
mengharapkan suatu karya jurnalistik steril dari kekeliruan.
Desakan untuk menurunkan laporan dengan cepat terkait
mendesaknya suatu isu untuk diketahui publik di satu sisi, serta

147
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

minimnya informasi yang tersedia guna menunjang akurasi


suatu berita di sisi lain adalah salah satu hal yang menyebabkan
terjadinya kesalahan dan kekeliruan dalam pemberitaan. Oleh
karenanya dalam dunia jurnalistik kemungkinan adanya kerugian
dan/atau kerugian ini diimbangi dengan dua hak masing-masing
hak jawab (right to reply) dan hak koreksi. Undang-undang No. 40
Tahun 1999 mengadopsi keduanya dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3),
mewajibkan bagi pers untuk melayani hak jawab dan melayani hak
koreksi. Begitu pentingnya kedua instrumen tersebut, sehingga
UU Pers mengancamkan pidana berupa denda maksimal 500 juta
bagi perusahaan pers yang tak mau melayani hak jawab dan hak
koreksi tersebut.
Sudah barang tentu keberadaan hak koreksi dan hak jawab
sebagai sarana untuk membetulkan dan menyanggah pemberitaan
bukanlah legitimasi bagi wartawan untuk dapat dengan sesuka
hatinya membuat kesalahan. Prinsip kehati-hatian, keberimbangan,
dan pemahaman asas praduga tak bersalah harus benar-benar
diimplementasikan dalam menurunkan laporan dan atau berita.
Kesalahan terkait pemberitaan haruslah semininal mungkin dan
seyogyanya tak boleh disengaja. Pendeknya, hak jawab dan hak
koreksi bukanlah tameng yang dengan seenaknya dicadangkan
dalam melakukan pemberitaan yang tak berkaidah dengan prinsip
“hantam dahulu, terima komplain belakangan”.
Profesionalisme jurnalis tidak saja terkait dengan bagaimana
mencari dan menyampaikan informasi dengan akurat dan
berimbang dengan prinsip meliput pihak-pihak yang terkait,
namun juga profesionalisme untuk mengabdikan kuasa atas
informasi demi kemaslahatan publik. Jurnalis dan media harus
tahan godaan dari keinginan berselingkuh dengan kekuasaan
(entah yang negara entah yang korporat) sehingga menjadi
melempem dalam memberitakan hal-hal yang sepatutnya
diketahui oleh publik. The highest form of power is kowledge,

148
Manunggal K Wardaya

demikian Alvin Toffler mengingatkan dalam bukunya Powershift


(1990). Sebagai kuasa (power) informasi bisa dipertukarkan bahkan
mengekstraksi kuasa lainnya seperti uang (money) dan kekerasan
(violence). Kuasa atas informasi menjadikan jurnalis dan media
memiliki kuasa yang berpotensi dipertukarkan, dibarter dengan
kuasa lain. Sebagaimana dikatakan oleh Lord Acton, kekuasaan
yang berlebihan akan cenderung korup, tak terkecuali kuasa atas
informasi. Sebuah informasi berpotensi dimanfaatkan oleh jurnalis
untuk ditukar dengan pelbagai hal yang menguntungkan dirinya.
Maka kita kerapkali mendengarkan keresahan akan adanya
wartawan bodrek, wartawan amplop. Adagium dari Toffler dan
Acton di atas sekaligus menjelaskan mengapa kendati media
lokal banyak bermunculan di tanah air, isu-isu menyangkut relasi
kekuasaan masih lebih deras mengalir dari mulut ke mulut dan
bukannya media. Kalaulah media memberitakan hal-hal terkait
korupsi, maka hanya jika hal itu telah memasuki pengadilan.
Semakin jarang dijumpai media yang menjalankan jurnalisme
investigasi. Nyatalah di sini, ada kerugian publik yang serius kalau
seorang jurnalis tidak profesional dalam melakukan tugasnya.
Seorang wartawan yang tidak profesional akan melihat
informasi yang dimilikinya semata sebagai modal yang bisa
dan akan dipertukarkan dengan uang dan kuasa lain yang
menguntungkan dirinya. Manakala deal dengan kekuasaan
tercapai, apa yang seharusnya diketahui publik menjadi tersimpan
di dalam laci redaksi, dan menguap dengan sendirinya seiring
dengan berjalannyawaktu.
Dibandingkan dengan UU No.11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, UU No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers sayangnya tak mengatur mengenai syarat-syarat wartawan, dan
apalagi mengatur mengenai sertifikasi wartawan. Artinya, secara
hukum, siapa saja bisa dan berhak menyandang gelar wartawan.
Di satu sisi hal ini sebenarnya baik, dalam arti kemerdekaan warga

149
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

negara untuk berhimpun dan membentuk organisasi pers dalam


rangka menikmati hak dan kebebasan dasar atas informasi terjamin
dan terlindungi. Namun di sisi lain, hal ini tak urung menimbulkan
kegusaran, terutama di era yang meniscayakan sertifikasi yang
dimaksudkan sebagai jaminan profesionalitas sesuai standar
yang diharapkan. Sebagaimana pada profesi lainnya, sertifikasi
jurnalis diharapkan menjadi standar pemahaman wartawan akan
pentingnya rambu-rambu dalam jurnalistik baik yang sifatnya etik
maupun hukum.
Pada titik itulah, sertifikasi wartawan yang telah dipikirkan
sejak lama oleh Dewan Pers dan disuarakan kembali oleh
Persatuan Wartawan Indonesia belum lama ini menemukan
makna pentingnya. Sertifikasi wartawan diharapkan membuat
wartawan lebih profesional dalam melakukan tugasnya. Dengan
sertifikasi wartawan, diharapkan pemahaman baik teknik maupun
journalistik pada level minimal tertentu akan dimiliki seorang
wartawan. Dengan sertifikasi ini, diharapkan wartawan tidak akan
membuat berita yang bombastik, yang mengada-ada, bersifat
fitnah, maupun tidak melewati proses cross-check dan hanya
bekerja demi logika kapital.
Penulis berpendapat jika program sertifikasi ini akan
direalisasikan, seyogyanya sifatnya hanyalah sukarela (voluntarily),
berdasarkan kehendak baik wartawan atau perusahaan pers yang
menaunginya. Walaupun sifatnya sukarela, keanggotaan wartawan
yang bersertifikasi dalam suatu perusahaan pers akan tercermin
dalam karya jurnalistik yang mereka hasilkan sekaligus menjadikan
tolok ukur bagi masyarakat dalam menaruh kepercayaan terhadap
suatu media.
Sebaliknya, mewajibkan wartawan untuk mengikuti sertifikasi
akan berujung pada pemberian lisensi wartawan, sesuatu yang akan
sangat berbahaya pada citizen journalism, perlindungan profesi
wartawan, dan pula terhadap independensi pers. Kekuasaan bisa

150
Manunggal K Wardaya

campur tangan dalam sertifikasi ini dan menyingkirkan wartawan


yang kritis dari sertifikasi. Jika ini yang terjadi, maka kemeredekaan
pers justeru akan terancam dengan wajibnya sertifikasi wartawan.

Artikel Dimuat dalam Harian Tribun Jabar 19 Mei 2011

151
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

28. HALAL HARAM


INFOTAINMENT

M
ajelis Ulama Indonesia dalam Sidang Pleno Munas
MUI VII mengeluarkan fatwa bahwa menceritakan
aib, kejelekan, gosip dan lain-lain terkait pribadi
kepada orang lain atau khalayak seperti yang biasanya dilakukan
infotainment adalah haram. Adalah haram pula menurut MUI
untuk membuat berita yang mengorek dan membeberkan aib,
kejelekan, dan gosip. Menayangkan dan menonton acara semacam
itu juga terbilang haram.
Adapun infotainment yang kegiatannya ditujukan untuk
membongkar kemungkaran dan untuk kepentingan penegakan
hukum MUI menyatakan bahwa hal itu dapatlah dibenarkan. Pada
akhirnya, MUI merekomendasikan agar KPI meregulasi tayangan
infotainment guna menjamin hak masyarakat memperoleh
tayangan bermutu. Di tengah maraknya pemberitaan video
asusila artis dan pro kontra infotainment sebagai bukan karya
jurnalistik, fatwa ini tentu menarik diperbincangkan dan dikaji.
Tulisan ini secara ringkas hendak membicangkan fatwa haram
halal infotainment dari perspektif konstitusi dan hukum, terutama
hukum media.

152
Manunggal K Wardaya

MUI bukanlah organ negara menurut undang-undang dasar.


MUI adalah sebuah organisasi non-pemerintah, sebuah organisasi
kemasyarakatan yang beranggotakan para alim ulama, mereka
yang terbilang sebagai cendekiawan dan pemuka agama (Islam).
Sebagai organisasi kemasyarakatan, segala putusan dan fatwa MUI
tentulah tidak mengikat secara hukum (legally binding) warga
negara. Fatwa lebih merupakan nasihat, suatu seruan moral (moral
statement) kepada umat (Islam) yang dapat dijadikan sebagai
rujukan dalam bertindak dan bertingkah laku dalam kehidupan.
Ditaati atau tidaknya sebuah fatwa adalah terpulang kepada
keyakinan masing-masing insan, ketaatan dan ketidaktaatan mana
tak sekali-kali membawa konsekwensi hukum negara. Adalah
keyakinan seseorang untuk mengikuti atau tidak mengikuti sebuah
fatwa, yang pada gilirannya akan menentukan sikap dan tingkah
laku seseorang menghadapi suatu fenomena kemasyarakatan yang
difatwakan, dipetuahkan.
Oleh karenanya, fatwa haram dan halalnya kandungan
infotainment tersebut tidaklah berfungsi sebagai referensi aparat
penegak hukum untuk kemudian melakukan tindakan terhadap
sesiapa saja yang memproduksi, mengambil untung, maupun
menyaksikan tayangan infotainment. Pula fatwa tersebut tak
serta merta menjadikan semua tayangan infotainment yang
menyebarkan berita berupa aib, kejelekan, dan gosip sebagai
kejahatan (crime), yang oleh karenanya kemudian menjadi
dasar penuntutan di muka hukum. Apa yang terbilang sebagai
immoral dan atau sinful menurut hukum agama tidaklah selalu
dapat disebut sebagai kejahatan dan diselesaikan menggunakan
pendekatan hukum pidana (yang bersanksi keras itu). Sebagai
contoh, kendati menyaksikan suatu tayangan gosip adalah haram,
akan tetapi perbuatan tersebut bukanlah perbuatan pidana,
dan terhadap perbuatan tersebut tak mungkin dan tak boleh
dilakukan kriminalisasi. Selain akan menambah beban pekerjaan

153
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

aparat penegak hukum yang amat sangat terbatas jumlahnya itu,


kriminalisasi perbuatan menyaksikan tayangan infotainment akan
terlalu jauh memasuki ranah privat warga negara. Lebih jauh, dalam
negara demokrasi konstitusional, bukanlah pandangan agama
yang menjadi justifikasi negara untuk mencampuri kehidupan
warga melainkan kepentingan umum.
Namun demikian, terlepas dari kenyataan bahwa hukum
agama dan hukum negara adalah dua jurisdiksi yang berbeda,
sebenarnyalah terdapat titik jumpa antara fatwa haram dan halalnya
infotainment dengan kaidah hukum positif maupun ugeran etika
dunia media. UU No. 32/2002 Tentang Penyiaran misalnya tegas
memerintahkan agar penyiaran diarahkan untuk meningkatkan
moralitas. Pasal 36 ayat (5) UU Penyiaran menghendaki bahwa
setiap isi penyiaran tidak bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan
dan/bohong, pelanggaran mana terhadapnya dapat dikenai
sanksi pidana. Sementara itu Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/1999
Tentang Pers mewajibkan Pers memberitakan peristiwa dan opini
dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat serta asas praduga tak bersalah, suatu rumusan pasal
yang ketaatannya pula ditopang dengan sanksi pidana. Lebih lanjut
6 UU Pers antara lain menyebutkan bahwa Pers mengembangkan
pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan
benar. Dalam Kode Etik Jurnalistik juga dijumpai keharusan bagi
pewarta untuk menurunkan laporan dan pemberitaan dengan
menghormati asas praduga tak bersalah serta menghormati
privasi. Nyatalah bahwa sebenarnya kita memiliki instrumen
hukum yang dapat didayagunakan untuk mereduksi dan bahkan
mengeliminasi dampak buruk pemberitaan maupun tayangan-
tayangan yang tak berbobot, yang dalam perspektif keagamaan
sebagaimana difatwakan oleh MUI dikategorikan sebagai haram.
Jika hingga kini kita masih diresahkan oleh pemberitaan yang tidak
berimbang, tayangan yang hanya menonjolkan sisi bombastik

154
Manunggal K Wardaya

dan bersifat fitnah, yang mengumbar aib dan sensasi, tentulah


ada sesuatu yang salah dalam dunia pers dan penyiaran kita yang
menuntut pembenahan serius.
Pada titik inilah rekomendasi MUI terhadap KPI untuk
meregulasi tayangan infotainment menemukan relevansinya,
bukan karena mengikatnya, namun fatwa tersebut adalah aspirasi
sekaligus refleksi keprihatinan MUI sebagai bagian dari masyarakat
akan tayangan-tayangan yang tak bermutu yang mendegradasi
moral bangsa. KPI dituntut untuk mampu dengan tegas mengatur
tayangan-tayangan yang sensitif moral seperti infotainment,
yang kalaulah tak bisa dilarang, kiranya dapat diatur (misal
dalam hal jam tayang) sehingga dampak negatif pada masyarakat
menjadi minimal. Kendati tak secara eksplisit disebutkan dalam
rekomendasinya, tulisan ini pula meyakini bahwa pada esensinya
pesan sama juga ditujukan pada Dewan Pers sebagai lembaga yang
melaksanakan fungsi menetapkan dan mengawasi pelaksanaan
kode etik jurnalistik. Baik KPI maupun Dewan Pers dituntut
untuk melakukan perannya masing-masing secara maksimal
sesuai perintah undang-undang guna terwujudnya kehidupan
pers dan penyiaran yang sehat, mendidik, lagi bermanfaat bagi
kepentingan umum. Pada akhirnya, sebenarnyalah fatwa MUI
terkait infotainment merupakan pesan terbuka pada siapa saja
pelaku media dan penyiaran bahwa masyarakat telah sedemikian
jenuh dan jengah akan pemberitaan dan tayangan yang semata
digerakkan insting bisnis daripada kepentingan umum. Adalah
benar bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapat
informasi, namun sudah saatnya pelaku media menyadari bahwa
informasi yang bermanfaat dan mencerahkan serta mendidiklah
yang diperlukan, dan bukannya berita sensasional yang lebih
beraroma kepentingan kapital yang dijejalkan pagi, siang, dan
malam.
Dimuat di Harian Suara Merdeka 30 Juli 2010

155
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

29. NII DAN PAHAM KEBANGSAAN

B
eberapa pekan terakhir publik dihentakkan oleh sejumlah
kasus pencucian otak terkait dengan Negara Islam
Indonesia (NII). Media memberitakan menghilangnya
sejumlah orang (terutama mahasiswa) yang diduga terkait
sebuah gerakan yang bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai
negara agama. Tak saja mengalami kerugian materiil berupa
sejumlah uang yang konon diklaim untuk mendanai negara yang
tengah diperjuangkan, para korban pencucian otak itu umumnya
ditemukan atau kembali dalam kondisi kejiwaan yang terganggu.
Kasus cuci otak sebetulnya bukan hal yang baru, mengingat pada
dekade 90-an, fenomena NII dan apapun gerakan berbandrol
negara agama di Indonesia dengan rekrutmen terutama kaum
terpelajar/mahasiswa telah marak terjadi walau tanpa liputan
gencar media seperti masa sekarang.
Munculnya kembali aspirasi negara agama di era reformasi
menjadi pertanyaan konstiitusional tersendiri terhadap setiap
warga maupun terutama sekali para pejabat penyelenggara negara.
Tulisan ini secara ringkas menelaah fenomena NII dalam sudut
pandang hukum dan sejarah ketatanegaraan.

156
Manunggal K Wardaya

Jika ditarik mundur ke belakang, aspirasi untuk menjadikan


Indonesia sebagai negara agama sebenarnya sudah muncul sejak
perdebatan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan
(BPUPK). Tercatat bahwa dalam perumusan draft UUD 1945
terdapat kelompok yang berkehendak kuat agar Indonesia
menjadi negara agama dengan menjadikan Islam sebagai agama
negara. Lebih jauh diusulkan pula dalam draft UUD 1945 tersebut
agar Presiden Republik Indonesia haruslah orang yang beragama
Islam. Piagam Jakarta yang kemudian bermetamorfosa menjadi
Pembukaan UUD 1945 pada awalnya mencantumkan “ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.”
Sejarah membuktikan bahwa negara agama bukanlah pilihan
para pendiri bangsa yang menyadari kemajemukan Indonesia
yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. UUD 1945 yang
disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
pada 18 Agustus menegaskan bahwa Indonesia adalah negara
demokrasi (dan bukannya teokrasi) dimana kedaulatan ada di
tangan rakyat. Walau aspirasi negara agama tetap menyala dengan
diproklamirkannya Darul Islam oleh Kartosoewiryo pad 1949,
pilihan untuk tetap menjadi negara bangsa tetap dikukuhi hingga
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan perubahan
terhadap konstitusi tertulis yang dikenal singkat dan soepel
itu. Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila disepakati
untuk tidak dirubah. Indonesia tetaplah negara Pancasila yang
berketuhanan, tanpa memberi privilege pada agama tertentu
untuk menjadi agama negara yang dus karenanya menjadi satu-
satunya sumber hukum negara.
Kendati tak hendak menjadi negara yang mendasarkan
pada agama tertentu, bukan berarti kehidupan berbangsa dan
bernegara hendak disterilkan dari agama. Alih-alih demikian,
Indonesia dicitakan menjadi sebuah rumah besar suatu entitas

157
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

yang berkesadaran sebagai satu keluarga (wangsa, bangsa)


kendati beragam perbedaan mewarnai termasuk di dalamnya
perbedaan soal keyakinan dan keberagamaan. Dalam demokrasi
konstitusional yang dianut Indonesia, kebebasan untuk beragama
dan berkeyakinan (freedom of religion) diakui dan dijamin kukuh
sebagai hak asasi manusia, pula demikian dengan hak untuk
beribadah (to manifest religion). Nilai-nilai agama yang luhur dan
universal menjiwai segenap perikehidupan bernegara, tanpa harus
terjebak dalam formalisasi agama.
Oleh karenanya dalam bingkai konstitusi, tak ada alasan
kekuatiran bagi minoritas agama untuk tak terlindungi. Pula
sebaliknya, mayoritas agama tak perlu khawatir akan terampas
maupun terkurangi kemerdekaan beragama dan memanifestasi
agama manakala para pejabat penyelenggara negara bukan
berasal dari agama mayoritas. Kalaupun hal demikian sampai
terjadi, berbagai saluran perlindungan menurut konstitusi dapat
difungsikan, antaranya dengan sarana hukum pidana, mekanisme
judicial dan constitutional review, hingga melalui peradilan
administrasi negara.
Pemerintah memiliki kewajiban menurut konstitusi untuk
menjamin kebebasan beragama dan beribadah, dengan memberikan
perlindungan yang sama kepada apapun bentuk keyakinan warga.
Pembukaan UUD 1945 tegas menyatakan bahwa pemerintah
diadakan dengan salah satu kewajiban dasarnya melindungi
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tanpa
memandang suku, agama, etnisitas menjadi latarbelakangnya.
Kegagalan, ketidakmampuan, bahkan keengganan pemerintah
untuk memenuhi kewajiban konstitusional menjadi basis hukum
untuk menghentikan pemerintah dari kendali kekuasaan negara.
Adalah kewajiban pemerintah untuk menjalankan konstitusi
termasuk pula menegakkan cita-cita Indonesia sebagai negara
bangsa yang berdiri di atas semua golongan. Untuk itu, segenap

158
Manunggal K Wardaya

kewenangan konstitusional pemerintah harus difungsikan untuk


mencegah berkembangnya aspirasi negara agama ini, terlebih
jika gerakan seperti ini telah mewujud dalam tindakan riil yang
merugikan masyarakat. Sembari demikian, pendekatan dialogis
terhadap wacana ideologis seperti NII mestilah terus menerus
dilakukan secara terbuka dan demokratik. Pada titik inilah tulisan
ini meyakini bahwa pendidikan dan pemahaman kehidupan
berkonstitusi menemukan relevansinya untuk (terus) dilakukan
semua badan negara terkait (MPR, Mahkamah Konstitusi).
Sosialisasi konstitusi ini penting guna menumbuhkan pemahaman
kepada segenap warga negara bahwa rumah Indonesia adalah
rumah bagi semua agama dan keyakinan tanpa harus terjebak
pada formalisasi agama dalam mengarungi kehidupan berbangsa
dan bernegara.

Dimuat di Harian Suara Merdeka 2 Mei 2011

159
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

30. NEGARA VS
KETENTRAMAN WARGA

S
alah satu dari empat kebebasan (the four freedoms) yang
dicanangkan oleh Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt
pada awal dasawarsa 40-an adalah bebas dari rasa takut
( freedom from fear). Kebebasan ini diyakini sebagai hal yang
esensial selain tiga kebebasan lain (yakni kebebasan berbicara,
beragama, dan dari kemiskinan) agar seorang manusia bisa
menjalani kehidupan yang bermartabat sebagai manusia. Kala itu,
dunia tengah diwarnai berbagai fitur kengerian kemanusiaan yang
ditampilkan oleh rejim NAZI Jerman dan dampak Perang Dunia
II. Berjuta umat manusia mengalami rasa takut hanya karena
ia menjadi bagian dari ras tertentu yang hendak dimusnahkan
oleh NAZI dengan paham superioritas ras-nya. Rasa takut
menghinggapi benak manusia ketika ia menjadi bagian dari bangsa
yang halal untuk diperbudak bahkan dimusnahkan, manakala
orang hidup dalam penjajahan dimana manusia penjajah dan yang
terjajah tak sekali-kali berkesamaan haknya.
Dalam pidatonya pada tahun 1990, pemimpin demokrasi
Burma Aung Sang Suu Kyi mengatakan bahwa rasa takut
membuat manusia kehilangan ukuran baik dan buruk. Seorang

160
Manunggal K Wardaya

manusia yang dilanda takut, tidak akan mampu menjadi manusia


yang bermartabat. Segenap potensi yang ada padanya untuk
mengupayakan kesejahteraan bagi dirinya dan orang lain akan
teredam. Oleh karenanya, demikian Suu Kyi, dalam masyarakat
manapun yang dihinggapi rasa takut, penyimpangan kuasa dalam
pelbagai bentuknya akan subur menjelma.
Sejarah bangsa ini selama berabad dalam cengkeraman
bangsa lain memberi berlebih bukti bahwa segala macam sanksi
kejam, teror, dan perlakuan tak manusiawi dipakai sebagai
instrumen menghisap kekayaan dan harga diri bangsa. Maka
tepatlah Pembukaan UUD 1945 yang sedari paragraf pertama
tegas menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa,
dan perikemanusiaan serta perikeadilan menjadi justifikasi moral
untuk menghapuskannya. Suasana bernegara yang dicita-citakan
oleh para pendiri bangsa sudah barang tentu bukanlah suasana yang
serupa dengan atmosfir penjajahan. Sebaliknya, dorongan untuk
berkehidupan kebangsaan yang bebas menjadi alasan utama utama
bangsa ini untuk menyatakan kemerdekaannya. Pertanyaannya:
benarkah kita dalam lebih setengah abad memasuki gerbang
kemerdekaan telah benar-benar merdeka, termasuk merdeka dari
rasa takut?
Bom buku yang meledak di Utan kayu pada 15 April silam
seakan menjadi negasi terwujudnya kehidupan berbangsa dan
bernegara yang merdeka yang dicitakan para pendiri bangsa ini.
Siapapun pengirim dan penerimanya, sukar dipungkiri bahwa
maksud dikirimkannya bom buku itu adalah untuk menumbuhkan
rasa takut. Rasa takut itu bertujuan menghentikan aktifitas orang
maupun kelompok orang meski aktifitas itu adalah sah (lawful) dan
oleh karenanya harus dilindungi hukum. Cara-cara demokratis-
persuasif dalam menghadapi perbedaan nyata semakin diingkari
di negeri ini. Sebagai gantinya, teror dan kekerasan ditempuh dan
dipandang sebagai cara yang lebih efektif untuk mencapai tujuan.

161
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa pasca Utan Kayu, negeri


ini dilanda kecemasan terkait makin maraknya fenomena ‘paket
mencurigakan’ mulai dari rumah artis Ahmad Dhani hingga
kantor DPRD di daerah.
Sesungguhnyalah telah menjadi tugas negara menurut Pasal
28G UUD 1945 untuk mewujudkan kemerdekaan dari rasa takut.
Sebagai hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional setiap
orang, hak atas kebebasan dari rasa takut menimbulkan kewajiban
bagi negara untuk melakukan langkah-langkah yang efektif
demi penikmatan sepenuhnya akan hak ini. Sayangnya, alih-alih
memberi pengayoman dan rasa tentram, negara kerapkali justeru
menjadi sumber dari ketakutan itu sendiri.
Realitas kehidupan bernegara dewasa ini menunjukkan betapa
orang semakin tidak bebas dalam menikmati hak asasinya untuk
beragama berkeyakinan karena instrumen hukum dan kebijakan
penyelenggara negara yang diskriminatif. Aparatur negara
gagal bahkan nampak emoh tampil menjadi sosok pelindung
manakala sekelompok masyarakat melakukan aksi kekerasan
terhadap kelompok masyarakat lain. Dalam berbagai bentuknya,
pelanggaran HAM terus berlangsung bahkan merajalela karena
seakan telah mendapat legitimasi dari negara.
Mereka yang minoritas menjadi semakin terpojok dan merasa
terancam di negeri ini. Rumah besar Indonesia terasa kian sempit
dengan pemaksaan kehendak mereka yang mayoritas. Demokrasi
dan jaminan HAM yang dilembagakan melalui hukum dasar
UUD 1945 tak jua terwujud dalam implementasinya. Sebagai
gantinya, diktatur mayoritas yang dibiarkan dan bahkan mendapat
dukungan dari negaralah yang kian meraja. Jika demikian halnya
yang terjadi pada bangsa ini jelang 66 tahun usia kemerdekaannya,
patutlah kita merenung dan bertanya: sudahkah kita merdeka?

Dimuat di Harian Tribun JABAR 24 Maret 2011

162
Manunggal K Wardaya

31. JALAN BERLUBANG DAN


HAK HIDUP WARGA

T
ewasnya seorang pengendara sepedamotor bernama
Cahyono Sugiarto (44) di ruas Jalan Ajibarang-Bumiayu,
Banyumas menjadi lembar hitam Kamtibmas Jawa Tengah
di awal tahun 2011. Sebagaimana diberitakan harian Suara Merdeka
(2/1) Cahyono tewas diterjang sebuah truk yang melintas dengan
kecepatan tinggi setelah sebelumnya mengindari kendaraan di
depannya yang mengerem mendadak karena menghindari lubang
di jalan. Kehilangan nyawa secara sia-sia seperti dialami Cahyono
tentu bukanlah yang pertama kali terjadi di negeri ini. Begitu
banyak jalan berlubang tak terurus yang siap memangsa para
pengguna jalan raya baik langsung maupun tak langsung seperti
kejadian di atas. Tulisan ini secara singkat akan mengulas peristiwa
tersebut dari sudut pandang hukum hak asasi manusia.
Dalam kehidupan bernegara yang beradab, adalah tanggung
jawab negara untuk melindungi hak hidup (right to life) setiap
individu yang ada dalam jurisdiksinya. Filosofi yang melandasi
argumen tersebut adalah karena kebutuhan untuk terlindungi
dari segala macam hal yang dapat merampas hak dan kebebasan
dasarnya itulah manusia bersepakat memasuki kehidupan

163
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

bernegara. Diyakini, kehidupan bernegara akan lebih aman dan


menjamin hak dan kebebasan manusia daripada kehidupan dalam
keadaan alam (state of nature), dimana yang kuat menguasai yang
lemah dalam hubungan yang represif-eksploitatif bercorak hommo
homini lupus.
Hak hidup sebagai salah satu hak yang dijamin dalam
paham negara hukum (rule of law) tidak saja melulu bersangkut
paut dengan isu hukuman mati dan perampasan nyawa secara
sewenang-wenang. Pengurangan angka kematian bayi dan ibu
melahirkan adalah salah satu interpretasi terhadap pemenuhan
hak hidup. Sementara, perlindungan terhadap hak hidup yang
paling universal antaranya adalah dengan mengkriminalisasi
perampasan nyawa, sebagaimana juga dianut oleh kitab undang-
undang hukum pidana (KUHP) yang kita miliki. Singkatnya,
negara wajib melakukan langkah-langkah legislasi yang perlu agar
hak yang terbilang sebagai hak yang tak dapat dikurangi (non-
derogable rights) ini dapat terlindungi secara maksimal.
Dalam konteks jalan rusak dan berlubang sebagaimana
menjadi penyebab tewasnya Cahyono, negara ini sesungguhnya
telah memiliki instrumen hukum yang mengaturnya. Pasal 24 UU
No. 29 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (UU
LLAJ) mewajibkan penyelenggara jalan untuk segera melakukan
perbaikan jika ditemui adanya jalan yang rusak. Sanksi penjara
dan denda sebagaimana tertuang dalam Pasal 273 UU tersebut
mengancam penyelenggara jalan yang akibat kegagalannya
memenuhi kewajiban hukum memperbaiki jalan mengakibatkan
kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan luka ringan maupun
berat, meninggal dunia, hingga kerusakan kendaraan. Dikaitkan
dengan UU No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan, maka tanggung
jawab pemeliharaan jalan terletak pada pundak pemerintah pusat,
provinsi, kabupaten, dan kota sesuai dengan kategori jalan masing-
masing.

164
Manunggal K Wardaya

Tewasnya Cahyono menunjukkan bahwa norma hukum


yang mewajibkan penyelenggara jalan untuk membenahi jalan
yang rusak masih memprihatinkan dalam tataran implementasi.
Penyelenggara jalan Ajibarang-Bumiayu tidak melakukan
kewajiban hukumnya: memperbaiki jalan raya yang rusak.
Tewasnya Cahyono oleh karenanya bukan semata takdir Tuhan
Yang Maha Kuasa, namun adalah bukti kegagalan penyelenggara
jalan yakni pemerintah dalam memenuhi kewajiban hukumnya:
menjaga keutuhan dan kelaikpakaian jalan raya. Oleh karenanya,
petugas penegak hukum tak saja harus melakukan pengusutan atas
truk gandeng yang melindas Cahyono, namun juga mengusut dan
membawa keadilan pihak penyelenggara jalan yang mengakibatkan
kecelakaan lalu lintas ini.
Akhirnya, kematian Cahyono sudah seharusnya dijadikan
bahan refleksi bagi pemerintah dalam segenap levelnya untuk
sungguh sungguh untuk membenahi jalan raya agar ia tidak
menjadi lubang pemangsa yang setiap saat bisa merampas nyawa
manusia. Pembiaran jalan berlubang penyebab sederet malapetaka
sesungguhnya adalah pembiaran terhadap terampasnya nyawa
manusia, suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang serius.
Sudah saatnya berbagai klausul UU LLAJ yang mengandung sanski
itu ditegakkan tidak saja terhadap masyarakat dalam berbagi razia
SIM dan STNK, tapi juga terhadap pemerintah yang pula adalah
subjek dalam UU LLAJ. Penegakan hukum yang tak pandang
bulu dan komprehensif atas UU tersebut akan menciptakan rasa
keadilan sekaligus perwujudan asas persamaan di muka hukum
dalam berlalulintas.

Dimuat di Harian Suara Merdeka 4 Februari 2010

165
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

32. HUKUM: PENEGAK MORALITAS?

S
ebagian dari perbuatan yang terbilang sebagai kejahatan
menurut hukum positif adalah perbuatan yang oleh agama
dinyatakan sebagai dosa. Mencuri, membunuh, menganiaya,
memfitnah, adalah perbuatan yang difahami sebagai perbuatan
yang tercela, sebagaimana dikatakan oleh kitab-kitab dan
disabdakan oleh pemimpin agama. Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) kita mengancamkan perbuatan-perbuatan seperti
itu dengan sanksi berupa pidana (yang tentulah tak enak) terhadap
pelakunya. Di sisi lain, ada pula perbuatan yang meski dipandang
immoral, akan tetapi tidak dikategorikan sebagai perbuatan
pidana. Perbuatan boros, kikir, tidak pernah beribadah, hubungan
seks muda mudi yang tak terikat perkawinan, adalah perbuatan
yang tercela, dosa menurut agama, namun tidak dikenakan sanksi
pidana menurut hukum Indonesia.
Apakah yang menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan
dikategorikan sebagai perbuatan pidana?! Pada negara-negara
yang menganut sistem autokratik, segala tingkah laku warga yang
mengancam kelanggengan dan kewibawaan penguasa adalah
perbuatan kriminal. Undang-undang anti subversi di masa

166
Manunggal K Wardaya

Orde Baru misalnya, adalah alat superampuh dari negara untuk


memberangus hak-hak sipil dan politik warga. Dalam negara yang
menganut faham teokratik, perbuatan yang dapat dipidana adalah
perbuatan yang dianggap menentang kehendak Tuhan. Ketika
pemerintahan yang teokratik ini bersinergi dengan kekuasaan
yang absolut, maka pembelaan terhadap Tuhan dengan leluasa
digunakan sebagai pembenar segala tindakan penghukuman
terhadap warga. Tidak heran, dalam perspektif yang Marxian,
hukum model teokratik dan autokratik dipandang dengan sinis
sebagai alat untuk mengeksploitasi kaum lemah saja dan tak
sekali-kali hendak menghukumi kejahatan-kejahatan kaum elit
dan bersinggasana.
Dalam negara demokratik, faktor penentu kriminalisasi
atau dekriminalisasi tidaklah terletak pada kemauan Tuhan
atau penguasa. Sebagaimana dikonstruksikan teori perjanjian
masyarakat, negara ada untuk melindungi kepentingan warga-
warganya, dari segala macam potensi ancaman. Demi melindungi
kepentingan itu, negara dan masyarakat setuju dan berjanji akan
adanya pembatasan hak-hak warga. Atas approval warga, hukum
menjadi instrumen untuk melindungi warga dari ancaman. Negara
menerapkan hukum yang diberi sanksi, agar orang takut berbuat
sesuatu yang dinilai tidak baik, sekaligus memberikan efek takut
pada orang lain yang hendak melakukan perbuatan.
Dalam menjalankan kekuasaannya, negara tak boleh
semena-mena. Ada batasan-batasan dimana hak-hak individu dan
kebebasan warga tak boleh terusik, apa yang kemudian terjamin
kukuh dalam hukum dasar, grondwet alias constitution. Ada
tidaknya kerugian pada orang lain menjadi faktor yang menentukan
terutama dalam pembuatan hukum yang berdimensi pidana. Jika
suatu perbuatan dinilai merugikan kepentingan orang lain, maka
negara mempunyai legitimasi untuk mengkriminalisasinya. Jika
tidak, maka tidak ada pembenar bagi negara membatasi kebebasan

167
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

warga dengan hukum pidana. John Stuart Mill menyatakan dalam


bukunya On Liberty, bahwa orang mestilah berhak untuk berbuat
apapun ( sekalipun perbuatan itu tidak baik bagi diri orang
itu), sepanjang perbuatan itu tidak merugikan orang lain (harm
principle).
Oleh karenanya bisa dimengerti, dalam negara-negara yang
demokratik, perlukaan pada pihak lain menjadi aspek penentu
utama kriminalisasi dan dekriminalisasi. Jika suatu perbuatan
tidak menimbulkan kerugian pada orang lain, jika tidak secara
layak dianggap sebagai penyebab kerugian, maka tidaklah layak
hukum diadakan untuk merepresi suatu perbuatan. Kejahatan
dibedakan dan dipisahkan dari dosa. Apa yang terbilang sebagai
sinful conduct tidaklah dengan serta merta dijadikan sebagai
crime. Sebaliknya apa yang terbilang crime, tidaklah mesti jelas-
jelas telah dinyatakan sebagai sin. Mestilah dipahami dalam hal ini,
negara bukannya mengabaikan atau bahkan berusaha mereduksi
eksistensi agama maupun institusi-institusi moral lainnya. Justeru
sebaliknya, persoalan-persoalan moralitas yang tidak terletak
dalam domain negara, diserahkan kembali pada masyarakat, pada
kaum agama.
Alih-alih semakin menuju ke arah yang demokratik, toleran,
dan bersemangat pluralisme, fenomena yang berkembang
dalam proses legislasi di Indonesia dewasa ini justeru semakin
menunjukkan dengan jelas warnanya yang teokratik.
Perda Anti Pelacuran di Tangerang misalnya, mempunyai
ambisi yang sangat besar untuk mengkriminalisasi pelacuran,
sehingga setiap orang yang berpenampilan seperti pelacur, dapat
terjerat peraturan hukum ini. Perda tersebut bahkan mengabaikan
asas lex certa, yang mewanti-wanti akan kejelasan rumusan
suatu peraturan. Sementara itu, RUU APP yang sedang menjadi
kontroversi hendak memberangus perbuatan yang dikategorikan
sebagai pornografi dan pornoaksi. Dikatakan bahwa UU APP

168
Manunggal K Wardaya

yang akan terbentuk adalah tuntutan untuk melindungi bangsa


dari proses demoralisasi.
Kendati kritik dari masyarakat akan diskriminatif dan
patriarkisnya rancangan legislasi ini telah banyak diakomodir,
tak dapat dipungkiri bahwa destinasi UU ini adalah memaksakan
moralitas warga. Kebebasan berekspresi sejak awal-awal
dicurigai dan distigma sebagai kriminogen dan oleh karenanya
dicobakesankan untuk patut direpresi. Hak warga untuk
menentukan pilihannya semakin terkikis dengan dikte-dikte pasal-
pasal. Warga dianggap tak mampu menentukan apa yang baik dan
buruk bagi dirinya sendiri, dianggap tak mampu mempertahankan
kohesi sosialnya sendiri, sehingga perlu campur tangan negara.
Padahal Mav Iver (1961:325) mengingatkan bahwa “ moral
coercion, instead of making men more moral, leads to evasion, hypocrisy,
and corruption.” Anehnya, kaum agama yang mempunyai otoritas
dalam hal ini, seolah menunjukkan ketidakmampuannya dengan
melemparkan urusan yang seharusnya cerminan kewibawaan dan
eksistensinya ini kepada negara. RUU APP yang sekarang sedang
terus digodok adalah penentu warna berbagai legislasi negara ini di
masa yang akan datang. Jika RUU tersebut disahkan, boleh jadi di
masa yang akan datang akan semakin banyak produk hukum (yang
bersanksi keras itu) yang mempunyai misi memaksakan moralitas.
Ada tidaknya kerugian yang secara adekwat ditimbulkan bukanlah
faktor yang menentukan kriminalisasi dan dekriminalisasi.
Negara yang seharusnya menjadi agen yang universal, nantinya
akan menjadi semakin partisan, memberikan kemapanan pada
golongan tertentu. Kebebasan warga bukannya terfasilitasi, justeru
sebaliknya menjadi teringkari dan lambat laun akan diabaikan.
Oleh karenanya nanti tak perlulah kita heran bila suatu saat orang
mestilah beribadah menurut cara tertentu yang dianggap benar
oleh mereka yang mayoritas dalam pembuatan undang-undang.

169
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Berpindah keyakinan misalnya, bisa jadi kelak akan dipidana


dengan keras. Jika demikian adanya yang akan terjadi, maka
cita-cita akan terwujudnya negara dan bangsa yang demokratis,
toleran, dan menghargai kemajemukan nampaknya boleh dikubur
sedari sekarang untuk direnungi sebagai utopia belaka

Dimuat dalam majalah LEGAL REVIEW No. 43/Th IV/


2006, hlm. 72-73

170
Manunggal K Wardaya

33. PUTUSAN KASUS KORUPSI


VS KEADILAN MASYARAKAT

P
utusan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
terhadap terdakwa kasus suap Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) Jaksa Urip Tri Gunawan patut disambut
perasaan lega. Dalam kasus yang begitu mencoreng wajah
penegakan hukum di Indonesia tersebut, pengadilan menjatuhkan
pidana penjara selama 20 tahun penjara dan denda 500 juta
rupiah terhadap Jaksa Urip. Putusan ini lebih berat dari tuntutan
jaksa sebelumnya yakni 15 tahun penjara. Di tengah merosotnya
kepercayaan publik terhadap dunia peradilan dan pemberantasan
korupsi di Indonesia, putusan pengadilan Tipikor tersebut ibarat
seteguk air penghapus rasa dahaga di padang gurun hukum yang
kering akan keadilan. Tulisan ini hendak mengangkat tiga (3) hal
yang dapat ditarik dan digarisbawahi dari putusan tersebut.
Pertama, putusan pengadilan Tipikor sebagai law in action
hukum anti korupsi layak diapresasi sebagai putusan yang responsif
terhadap tuntutan publik akan rasa keadilan dan asas persamaan di
depan hukum. Publik telah begitu bosan dan muak menyaksikan
lebih berpihaknya hukum terhadap para pelaku kejahatan yang
berkedudukan sosial tinggi (white collar criminals) dibanding

171
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

mereka para pelaku kejahatan kelas pekerja (blue collar criminals).


Terdakwa pencurian dengan motive sekedar mempertahankan
hidup maupun karena terpaksa sebagai akibat kemiskinan
struktural misalnya, tak jarang harus mendekam di penjara selama
bertahun-tahun, sementara terdakwa penyalahguna jabatan kerap
hanya dipidana ringan dan bahkan tak jarang diputus bebas.
Kalaupun harus menjalani pidana yang agak lama, beragam
fasilitas pengurangan hukuman akan dengan mudah didapatnya.
Hal ini sungguh melukai rasa keadilan karena korban dan efek
yang ditimbulkan dari kejahatan korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan lainnya jauh lebih besar dan destruktif dibandingkan
dengan korban dari kejahatan kerah biru. Pada kondisi inilah
putusan pengadilan Tipikor terhadap Jaksa Urip mencerminkan
spirit komitmen pengadilan akan dijunjung tingginya asas
persamaan di depan hukum.
Kedua, pidana maksimal terhadap Urip sebagai pejabat
penegak hukum yang melakukan penyalahgunaan wewenang dapat
diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap aparat penegak hukum dan dunia peradilan yang selama
ini telanjur hilang. Sebagaimana diketahui, rekaman pembicaraan
Jaksa Urip dan makelar perkara Arthalita Suryani mempertegas
sinyalemen selama ini tentang betapa busuknya dunia hukum
tanah air. Fakta-fakta yang terungkap di persidangan bahwa Jaksa
Urip bertindak sesuai dengan pesanan pihak yang bermasalah
membenarkan anggapan umum di masyarakat bahwa keadilan di
negeri ini adalah sesuatu yang bisa dibeli dan diatur. Oleh karena
itu putusan pengadilan Tipikor yang menjatuhkan pidana yang
berat terhadap Jaksa Urip sudah teramat tepat dijatuhkan karena
apa yang dilakukannya tidak saja merusak kredibilitas lembaga
kejaksaan, namun pula memerosotkan wibawa lembaga penegak
hukum pada umumnya. Putusan pengadilan dalam kasus Urip
mengandung pesan bahwa siapapun penegak hukum yang tidak

172
Manunggal K Wardaya

profesional dalam menjalankan tugasnya dan bahkan terlibat


perkara korupsi memang harus dipidana berat demi terjaganya
citra aparat penegak hukum yang bersih.
Ketiga, pidana 20 tahun penjara harus diakui merupakan
ganjaran yang amat berat tidak saja bagi Urip, namun juga
bagi keluarganya. Apa boleh buat, inilah hukum pidana yang
diibaratkan pedang bermata dua, di mana satu sisi digunakan
untuk membela keadilan dan melindungi kepentingan yang lebih
besar, sementara pada saat yang sama di sisi lain tak urung akan
mengakibatkan kepedihan terhadap pelakunya. Namun apa yang
dialami Urip akan menjadi pelajaran yang amat berharga bagi
penegak hukum lainnya untuk tidak mengorbankan kredibilitas
dan nama baik demi kepentingan sesaat. Apa yang dialami oleh
Urip adalah pesan terbuka terhadap siapa saja penegak hukum dan
penyelenggara negara untuk tidak sekali-kali mencoba abai dari
amanahnya mengabdikan dirinya pada kepentingan umum.
Terlepas tiga hal di atas, pemberantasan korupsi di tanah
air bagaimanapun masih menghadapi sejumlah tantangan yang
tak ringan. Pertama, tidak ada jaminan bahwa kasus korupsi
yang melibatkan elit politik maupun aparat penegak hukum akan
mendapatkan ganjaran yang setimpal dan berat sebagaimana
disaksikan dalam kasus Urip. Lembaga pengadilan memiliki
independensi dalam memutus perkara berdasar keyakinan
hakim yang menangani perkara. Dengan kata lain bagaimanapun
rasa keadilan hidup dan berkembang dalam masyarakat, pada
gilirannya hakimlah yang putusannya mempunyai kekuatan
mengikat, mengatasi segala pendapat yang berkembang. Korupsi
peradilan dapat saja bersembunyi di balik doktrin ini.
Kedua, apa yang diputuskan oleh pengadilan Tipikor dalam
kasus Urip bagaimanapun tak bisa dilepaskan dari maraknya
pantauan masyarakat terhadap kasus tersebut. Oleh karenanya
pengawasan oleh media pada berbagai kasus tindak pidana korupsi

173
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

yang melibatkan pelaku kekuasaan baik eksekutif, legislatif, maupun


yudisial, mutlak harus harus dilakukan sehingga masyarakat
dapat memantau perkembangan suatu kasus dan , menjadikannya
sebagai wacana publik sehingga akan menjadi semacam pressure
moral bagi pengadilan.
Ketiga, harus diingat bahwa apapun yang diputuskan
pengadilan pada akhirnya toh belum merupakan akhir dari
segalanya bagi seorang terpidana kasus korupsi. Dengan
kemampuan finansial dan pengaruh yang dimilikinya, bukan
tak mungkin seorang terpidana kasus korupsi akan dapat
mengkondisikan lembaga pemasyarakatan (Lapas) tempatnya
menjalani pidana sesuai dengan keinginan. Spekulasi ini mungkin
terkesan mengada-ada, namun bukannya hal yang tak mungkin
mengingat berbagai pemberitaan mengenai perdagangan narkotika
dan pengakuan para mantan tahanan kesemuanya menunjukkan
bahwa bagaimanapun uang tetap memegang kuasa dalam Lapas.
Jika benteng terakhir pemidanaan ini tak berhasil menjalankan
fungsinya dengan baik dan justeru negotiable, maka pidana yang
dijatuhkan terhadap seseorang termasuk terpidana kasus korupsi
tak akan mampu memberikan efek jera yang berarti betapapun
berat dan lamanya pidana dijatuhkan.

Dimuat di Harian Suara Merdeka 15 September 2008 dengan


judul “Vonis Urip dan Rasa Keadilan Masyarakat”.

174
Manunggal K Wardaya

34. KETERJANGKITAN KORUPSI


PENEGAK HUKUM

Pemberitaan media massa Tanah Air pada Maret 2013


diwarnai dengan berbagai temuan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) terkait penyitaan sejumlah harta kekayaan mantan Kepala
Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri Irjen Djoko Susilo. Pemberitaan
itu membuat publik terperangah: betapa harta polisi berbintang
tiga itu begitu berlimpah, terasa di luar kewajaran dan kepatutan.
Menjadi kegeraman publik adalah kuatnya dugaan bahwa
berbagai harta itu diperoleh dari hasil korupsi, terutama berkait
pengadaan simulator SIM. Belum lagi terungkap bahwa perwira
tinggi Polri itu memiliki setidak-tidaknya tiga istri, dan KPK
mensinyalir ketiganya dimanfaatkan untuk menyembunyikan
harta itu, antara lain tanah yang superluas serta rumah dalam
jumlah dan nilai nominal mencengangkan.
Pertanyaannya adalah untuk hal kepentingan pribadi seperti
itukah kekuasaan dimanfaatkan oleh pejabat penegak hukum?
Mungkinkah, sebenarnya ada banyak penegak hukum lain, entah
di tubuh Polri ataupun penegak hukum lain, yang melakukan hal
serupa: menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan perut
sendiri?

175
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Tulisan ini membahas mengenai korupsi pada tubuh penegak


hukum dan implikasinya pada penegakan keadilan di Tanah Air.
Keterwujudan keadilan di mana pun negara tidak saja
mensyaratkan peraturan perundangan yang baik dan berkeadilan,
namun juga aparat penegak hukum yang baik.
Aparatur negara penegak hukum, entah polisi, jaksa, hakim,
atau hakim, tak saja harus menguasai hukum material ataupun
formal,  namun juga harus mau dan mampu bertindak profesional
dalam menegakkan hukum. Ia tak boleh menyalahgunakan
kekuasaan untuk kepentingan pribadi (personal gain) berupa
uang dan aneka fasiltas yang dapat memengaruhi dalam ikhtiar
menegakkan hukum.
Korupsi penegak hukum amat membahayakan bagi
kelangsungan negara hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Penegak hukum yang korup akan membuka lebar jalan kejahatan.
Angka kejahatan yang seharusnya tereduksi serendah
mungkin berganti menjadi  tetap tumbuh, bahkan menyubur, jauh
dari ekspektasi paling minimal sekalipun. Peredaran  narkoba
bahkan di dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan adalah
contoh sederhana kejahatan yang tak mungkin tidak pastilah
terjadi karena ada korupsi di tubuh penegak hukum.
Tidak saja kejahatan akan menjadi subur, penegak hukum
yang korup juga menjadi sebab tak terpenuhi dan terlanggarnya hak
asasi manusia. Harian ini memberitakan betapa Heru Kisbandono
hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak menggunakan
kekuasaan untuk mengekstraksi terdakwa kasus korupsi APBD
Grobogan demi keuntungan diri dan hakim lain. Belum lagi kasus
yang menjerat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi
Tejocahyono.
Dampaknya amat katastropik. Korupsi tak akan pernah
menjadi sesuatu yang menakutkan di negeri ini. Proyeksi teoretik
bahwa pidana yang dijatuhkan akan menimbulkan efek jera, baik

176
Manunggal K Wardaya

bagi pelaku maupun pada masyarakat (bahwa korupsi itu tidak


enak, karena hukumannya begitu pahit) tak akan tercapai.
Alih-alih demikian, pelaku korupsi akan berhitung bahwa
crime does pay. Korupsi itu ternyata menguntungkan. Bagi rakyat
banyak, hitungan yang didapat tentu sebaliknya, terutama  di
negeri dengan hak-hak dasar warga negara masih menjadi hal
yang jauh dari harapan. Uang negara hasil pajak yang seharusnya
dianggarkan untuk kesejahteraan sebanyak-banyaknya warga
negara teralihkan ke kantong segelintir pemegang aneka kuasa.
Rakyat yang adil dan makmur, pemerintahan konstitusional
dengan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia tak akan
tercapai jika penegak hukum menggunakan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi. Profesionalisme penegak hukum menjadi
pertanyaan besar kini, namun di balik itu pula keteladanan
pemimpin turut dipertanyakan.
Skeptisme publik amat sederhana: hal seperti ini bukan
berjalan tanpa pengetahuan pimpinan dan solidaritas korps.
Pastilah ada pembiaran, ada derajat ”kesetiakawanan” yang
terlibat. Menjadi pertanyaan pula bagaimana kinerja aneka komisi
yang memiliki kewenangan pengawasan terhadap aparat penegak
hukum? Bekerjakah mereka?
Di tengah kegalauan publik seperti itu keberadaan KPK,
institusi extraordinary untuk memberantas korupsi kian menjadi
tumpuan harapan manakala negara berada dalam keadaan darurat
korupsi seperti sekarang. Penulis berharap ke depan KPK makin
menjadi lembaga ad hoc dalam makna ”sementara”, dan bukan
makna ”permanen diadakan untuk tujuan tertentu”.
Tafsir cerdasnya, kelak pada suatu saat akan tercapai cita-cita
bahwa penegak hukum mampu menjalankan  tugas dan fungsi
secara bersih dalam menangani aneka persoalan hukum, termasuk
perkara korupsi. Hal ini hanya bisa tercapai jika kalangan penegak
hukum dapat memastikan diri steril dari korupsi. Mampukah?

177
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Mereka, aparatur negara penegak hukumlah, yang pertama-tama


harus menjawab pertanyaan ini.

Dimuat di Harian Suara Merdeka 2 April 2013

178
Manunggal K Wardaya

35. AMBANG KIAMAT PERADILAN

D
iduga menerima suap senilai 3 miliar terkait pemenangan
Pemilihan Umum Kepala Daerah Gunung Mas, Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Muchtar ditangkap
penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2 Oktober
2013.   Penangkapan Akil terkait dugaan pelanggaran hukum ini
bukan skandal pertama yang melibatkan hakim MK. Sebelumnya
pada 2011 dugaan pemalsuan surat oleh salah seorang hakim MK
juga pernah muncul ke permukaan dan walaupun telah sampai
dalam pengusutan oleh pihak kepolisian, kelanjutan kasus itu
terkesan seperti ditelan angin. Tulisan ini merupakan refleksi atas
integritas hakim dan ekspektasi yang melingkupi profesi ini di
tengah semakin muramnya wajah penegakan hukum, terkhusus
lembaga peradilan. Independensi adalah harga mati yang tidak bisa
ditawar untuk dimiliki dalam setiap figur hakim yang kerap disebut
sebagai wakil Tuhan di dunia ini. Bebasnya lembaga peradilan dari
campur tangan kekuasaan lain (eksekutif dan legislatif) adalah
suatu keharusan agar lembaga peradilan dengan para hakim di
dalamnya dapat memutus dengan seadil-adilnya demi tegaknya
hukum dan keadilan.

179
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Hakim adalah sebuah profesi yang terhormat lagi mulia.


Menjadi hakim, orang haruslah  cakap bidang hukum, kearifan
dalam falsafah keadilan, dan ketabahan atas segala godaan
dan  pressure yang bisa memengaruhi independensi diri maupun
institusinya. Sebutan yang ditujukan padanya di berbagai negara
menunjukkan betapa luhur dan mulianya profesi ini. Di Malaysia
ia disebut sebagai “Tuan”. Di Australia dan banyak negara bagian
di Amerika, di depan nama seorang hakim disematkan “Your
Honour” dan bahkan “Justice” jika seorang menjadi hakim
mahkamah agung (supreme court).
Hakim memiliki kewenangan untuk memberi kata putus
dalam mengakhiri suatu sengketa yang dihadapkan padanya. Ia
mendengarkan kesaksian, memeriksa bukti-bukti, dan menilai
kredibilitas informasi yang disampaikan para pihak untuk
kemudian menjatuhkan putusan. Betapapun tajam argumentasi
seorang pengacara maupun pakar hukum dalam memandang
suatu kasus, pada akhirnya hakimlah yang akan memutuskan
penyelesaian suatu sengketa.
Nature dari profesi pengadil ini meniscayakan kapasitas ilmu
serta standar moral yang tinggi karena apa yang diputuskan seorang
hakim akan berdampak pada hak dan kewajiban, harkat dan
martabat, dan bahkan hidup mati seseorang. Tak saja diidealkan
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur,
adil, profesional serta berpengalaman di bidang hukum, hakim
dan hakim konstitusi dalam hukum ketatanegaraan di Indonesia
bahkan memikul tanggung jawab moral yang maha berat. Bunyi
Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan bahwa peradilan dilakukan “Demi
Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan
betapa di negara ini sebuah putusan pengadilan tidak saja harus
dapat dipertanggungjawabkan secara rasio, namun mestilah
harmonis dengan keadilan dari Sang Pencipta.

180
Manunggal K Wardaya

Dalam konteks hakim konstitusi, ekspektasi akan


independensi hakim ini menjadi lebih kuat, lebih sangat. Hal ini
bisa dimengerti mengingat aneka kewenangan konstitusional yang
dimiliki MK seperti dalam menguji Undang-undang terhadap UUD
begitu memengaruhi hidup dan mati warga negara dan sesiapa
saja   manusia dan badan hukum dalam  jurisdiksi NKRI. Pula
kewenangan MK  dalam menguji sengketa antar lembaga negara
dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum begitu
krusial dalam menentukan kehidupan berdemokrasi.   Putusan
MK dalam aneka kewenangannya bersifat final dan mengikat,
yang artinya sekali diputus, ia tak dapat dirubah lagi, tiada upaya
hukum yang tersedia untuk mengujinya. Ini adalah keluarbiasaan
yang pada taraf tertentu memang diperlukan danoleh karena
itulah apapun sebabnya yang mengakibatkan terjadinya kesalahan,
ketidakcermatan maupun ketidakmerdekaan MK dalam memutus
perkara, lebih-lebih karena korupsi, benar-benar tak dapat
ditoleransi.
Maka ketika seorang Ketua MK digelandang ke tahanan
KPK  karena dugaan suap, sungguh peristiwa tersebut bermakna
simbolis yang  teramat serius:  peradilan Indonesia di ambang
kiamat. Manakala pimpinan sekaligus hakim di  lembaga  pengawal
dan penafsir konstitusi ternyata tak imun dari korupsi,   amat
mudah untuk menerka bahwa sangat boleh jadi aneka putusan
lembaga  nan agung ini bukan berasal dari hikmat kebijaksanaan
hakim, melainkan faktor lain yakni uang. Dan jika penangkapan
Akil ini adalah fenomena gunung es saja atas apa yang selama
ini berlangsung di MK, maka keraguan publik akan lembaga
peradilan di Indonesia berikut aneka putusan yang dihasilkannya
telah menemukan pembenarannya yang teramat sempurna.

Dimuat di Harian Suara Merdeka 4 Oktober 2013

181
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

36. MEWASPADAI PELEMAHAN KPK

M
enyikapi dugaan terjadinya pelanggaran kode etik yang
dilakukan komisioner  Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie
pada pertengahan 2011 sempat melontarkan usulan yang membuat
geger  banyak pihak: pembubaran KPK. Marzuki yang pula petinggi
Partai Demokrat mempertanyakan perlunya lagi KPK jika para
pimpinannya tak memiliki integritas dan bahkan menjadi bagian
dari korupsi.  Lontaran Marzuki tersebut dipicu klaim Nazaruddin
bahwa salah satu pejabat KPK pernah menerima uang terkait tidak
diadakannya pengusutan pengadaan seragam hansip. Nazar yang
ketika tulisan ini dibuat berstatus sebagai terpidana kasus Wisma
Atlit itu melontarkan pernyataan yang mengindikasikan pernah
terjadinya pertemuan seorang komisioner KPK dengan pihak-
pihak yang berperkara. Tuduhan Nazar memang pada akhirnya
tidak terbukti dan para pejabat tersebut pada akhirnya dinyatakan
bebas oleh Komisi Etik KPK. Namun begitu usulan pembubaran
KPK dari sudut hukum ketatanegaraan dan relevansi lembaga ini
dalam pemberantasan korupsi tetap menarik untuk dikaji. Tulisan
ini dimaksudkan sebagai telaah singkat atasnya.

182
Manunggal K Wardaya

KPK adalah lembaga negara  ad hoc, sesuatu yang dalam


literatur hukum ketatanegaraan dikenal sebagai  auxiliary state
agency. Dibandingkan dengan lembaga  negara lainnya, terlebih
yang eksistensi dan kewenangannya dicantumkan dalam
konstitusi,  keberadaan lembaga seperti KPK ini dalam keadaan
normal sesunguhnya tidak harus dan bahkan tidak perlu ada. Hal
ini karena tugas KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan,
terhadap dugaan tindak pidana korupsi sebenarnyalah secara
tradisional telah dimiliki oleh instit usi lain yakni kepolisian dan
kejaksaan (public prosecutor).
Mengapa KPK dihadirkan dalam sistem  ketatanegaraan
Indonesia? Tak lain dikarenakan korupsi di negeri ini telah begitu
merusak berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara. Konsiderans UU No. 30 Tahun 2002 pada huruf (a) tegas
menyebut belum optimalnya pemberantasan korupsi hingga perlu
ditingkatkan secara profesional, intensif dan berkesinambungan.
Belum efektif dan efisiennya lembaga pemerintah yang menangangi
tindak pidana korupsi  dalam menjalankan tugasnya, di samping
keroposnya  lembaga penegak hukum lain yakni peradilan
menimbulkan kebutuhan akan lembaga ini.
Berangkat dari latar belakang historis eksistensi KPK dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia sebagaimana dipaparkan di atas,
secara falsafati,  bubar dan berhentinya KPK seharusnya memang
dicitakan. Mengapa demikian? Karena ibarat sebuah alat bantu,
ia tak perlu lagi ada jika alat utamanya yakni  kejaksaan dan
kepolisian sudah berfungsi dengan optimal.  Bersinergi dengan
kekuasaan kehakiman yang pula bersih, haruslah divisikan bahwa 
profesionalitas kejaksaan dan kepolisian semakin meningkat
kelak pada suatu ketika seiring reformasi di tubuh kedua lembaga
tersebut, sehingga  lembaga  ad hoc  seperti KPK (yang pula
menimbulkan konsekwensi pembiayaan  yang tak kecil) dapatlah
dikaji kembali keberadaannya. Mengharapkan KPK langgeng

183
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

abadi dalam struktur ketatanegaraan dan bahkan cita untuk


menjadikannya sebagai sesuatu yang permanen sebenarnyalah
mengandaikan langgeng abadinya ketidakprofesionalan kepolisian
dan kejaksaan.
Namun begitu dalam konteks korupsi stadium akut yang kini
tengah dialami bangsa ini, keberadaan lembaga yang memenangi
Ramon Magsaysay Award pertengahan 2013 ini justeru terasa
semakin relavan. Bukan saja masih merajalela, korupsi ternyata
makin menggurita dengan modus operandi dan teknik penghilangan
jejak yang makin canggih.  Penangkapan pejabat penegak hukum
dari lembaga kepolisian dan kejaksaan yang selama ini dilakukan
oleh KPK menunjukkan bahwa alih-alih mereformasi diri, lembaga-
lembaga penegak hukum yang kinerjanya dimungkinkan diambil
alih olehnya itu masih saja menjadi bagian dari permasalahan
yang secara ideal harus diberantasnya. Lembaga ini nyatanya
berhasil menyeret para high-ranking officials ke pengadilan dan
berujung pada pemidanaan. Tak lagi sekedar sebagai lembaga ad
hoc, kondisi obyektif bangsa seakan menghendaki KPK menjadi
lembaga permanen. Terungkapnya korupsi impor sapi yang
melibatkan petinggi partai politik, dugaan jual beli perkara di
lembaga pengawal konstitusi dengan tersangka mantan Ketua MK
Akil Mochtar serta terungkapnya korupsi kakap yang melibatkan
pejabat Ditjen Pajak Heru Sulastyono, kesemuanya pada 2013 lalu,
mengindikasikan betapa negara ini masih dalam kondisi kritis
gawat darurat korupsi.
Sebagai lembaga   yang memiliki mandat memberantas
korupsi, adalah bisa dimengerti jika kemudian banyak pihak
berkepentingan untuk melemahkan KPK, bukan karena alasan
telah makin optimalnya penegakan hukum oleh lembaga-lembaga
yang dibantunya, namun sebagai bentuk perlawanan koruptor
yang semakin bandel. Dengan semakin melemahnya KPK
akan semakin mudah dan leluasa bagi para pelaku kuasa untuk

184
Manunggal K Wardaya

meneruskan kegiatannya mengeruk harta rakyat. Pada titik inilah


potensi dilemahkannya kewenangan KPK termasuk melalui jalur
hukum sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal di dalam revisi
UU terkait seperti RUU KUHP dan RUU KUHAP harus benar-
benar dicermati dan diwaspadai.

Tulisan tidak dipublikasikan

185
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

37. SETELAH DENNY


MEMINTA MAAF

K
icauan (tweet) Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny
Indrayana di jejaring sosial Twitter berkembang menjadi
polemik. Dalam kicauannya di pertengahan Agustus 2012
itu, Denny menyebut advokat koruptor sama dengan koruptor itu
sendiri karena menerima bayaran dari hasil korupsi. Masih banyak
kata Denny, advokat yang menolak mendampingi koruptor seraya
mencontohkan dirinya sendiri  yang menolak mendampingi
koruptor manakala menjadi pengacara. Kicauan Denny membuat
berang sejumlah advokat yang sontak memperkarakannya secara
pidana, menganggap profesor hukum tata negara UGM tersebut
melecehkan profesi advokat. Tulisan ini hendak menelaah
pernyataan Denny tersebut dari sudut pandang hukum.
Adalah hak setiap orang yang disangka, didakwa bersalah
melakukan kejahatan untuk didampingi ahli hukum. Hak ini begitu
penting mengingat hukum adalah pula kuasa, yang manakala
mewujud di proses hukum pidana, berpotensi menyebabkan
seseorang terampas haknya karena aplikasinya yang tak tepat
(entah karena kesalahan analisa maupun kesewenangan kuasa).
Orang yang buta hukum bisa saja mendapatkan putusan yang tak

186
Manunggal K Wardaya

semestinya, tak seadilnya, karena tak sempurna atau bahkan tak


mampu melakukan pembelaan atas tuduhan yang didakwakan
kepadanya. Hasil dari penyidikan, penuntutan, dan peradilan
terhadap warga negara yang demikian bisa jadi akan berujung
pada ketidakadilan lain, yang dalam kehidupan bernegara yang
menghendaki tak saja hukum yang tegak namun juga tercapainya
keadilan menjadi sesuatu yang harus dihindari.
Orang yang disangka maupun didakwa melakukan suatu
tindak pidana belum tentu melakukan tindak pidana yang
disangkakan maupun didakwakan padanya. Demikian pula dalam
kasus korupsi: seseorang yang didakwa korupsi tak selalu benar-
benar melakukan korupsi. Oleh karenanya orang yang diadili atas
tuduhan korupsi pula berhak melakukan pembelaan diri. Kalaupun
memang nantinya terbukti melakukan, ada kemungkinan bahwa
apa yang dituduhkan padanya bisa jadi tak seluruhnya benar. 
Jumlah, macam kesalahan, derajat kejahatan bisa jadi berbeda dari
yang disangkakan, didakwakan. Diperlukan kecakapan hukum
dan kemelekan tata cara berperkara pidana yang mumpuni agar
seseorang mendapatkan putusan hukum yang adil, agar kalaupun
terbukti melakukan korupsi maka akan dipidana sesuai dengan
kesalahannya. Di sinilah makna pentingnya pendampingan hukum
oleh advokat/pengacara sehingga putusan hukum yang dijatuhkan
pada seorang terdakwa kasus korupsi memang benar-benar sesuai
dengan prosedur hukum yang fair.
Terlepas bahwa peradilan di negeri ini kerap menjatuhkan
putusan kontroversial dalam berbagai kasus korupsi dan sinyalemen
banyak pihak akan penegak hukum (polisi, hakim, jaksa, pengacara)
yang menjadi bagian dari mafia peradilan, tidak lantas menjadikan
hak setiap tersangka maupun terdakwa kasus korupsi untuk
didampingi penasihat hukum menjadi alpa, menjadi tiada dan
kehilangan urgensinya. Sementara itu, adalah menjadi pilihan bebas
setiap advokat untuk menerima atau tidak menerima kasus yang

187
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

disodorkan padanya. Bahwa ada sementara lawyer yang memiliki


komitmen untuk tidak mendampingi tersangka maupun terdakwa
kasus korupsi hal itu harus dipandang sebagai sikap moral pribadi
yang tak lantas kemudian menjadi ideal hukum apalagi generalisasi
citra buruk mereka para advokat yang bersedia mendampingi
tersangka maupun terdakwa kasus korupsi. Menyamakan advokat
yang mendampingi tersangka maupun terdakwa koruptor dengan
koruptor itu sendiri oleh karenanya sukar untuk dikatakan sebagai
pernyataan yang tepat, terlebih disampaikan oleh pejabat negara
yang menangani bidang hukum.
Namun begitu kicauan Denny akan menjadi kritik konstruktif
manakala diletakkan dan dipahami dengan kepala dingin sebagai
keprihatinan akan semakin lenyapnya integritas para penegak
hukum di Indonesia, terkhusus dalam berbagai kasus yang
menyangkut kasus korupsi. Begitu banyak korupsi peradilan yang
berujung pada putusan bebas tersangka maupun terdakwa korupsi
karena para penegak hukum dapat dibeli dan bukan karena
ketidakbersalahan si tersangka maupun terdakwa. Tertangkapnya
para hakim yang menerima suap oleh KPK di Semarang baru-baru
ini maupun kasus hakim bermasalah lainnya mengindikasikan
sinyamelen ini, dimana para hakim tersebut mempunyai rekam
jejak membebaskan terdakwa kasus korupsi.   Padahal, korupsi
peradilan seperti itu bisa terjadi bukan karena peran satu pihak
saja aparat penegak hukum, namun rantai korupsi yang telah
menggurita dan membelit caturwangsa penegak hukum, termasuk
di dalamnya para advokat.
Oleh karenanya, kicauan Denny Indrayana ini kiranya
memberi hikmah tidak saja kepada pejabat negara agar lebih arif
dalam berkomunikasi dengan publik, namun pula seyogyanya
menjadi momen bagi para advokat untuk membuktikan pada
publik akan kinerja, profesionalitas, dan dedikasi mereka
dalam berkontribusi terhadap tegaknya hukum dan keadilan.

188
Manunggal K Wardaya

Jika yang terakhir ini dilaksanakan dan dijaga teguh, niscaya


anggapan dan generalisasi bahwa advokat yang bersedia membela
tersangka maupun terdakwa koruptor adalah pula koruptor yang
bersemboyan “Maju Tak Gentar Membela Yang Bayar” akan
runtuh dengan sendirinya.

Dimuat di Harian Suara Merdeka 29 Agustus 2012

189
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

38. TAKKALA HAKIM


DAPAT DIBELI

T
hemis, dewi keadilan dalam mitologi Romawi dikenal
sebagai simbol universal lembaga peradilan di seluruh
dunia. Digambarkan membawa timbangan dengan mata
tertutup dan sebilah pedang bermata dua nan tajam, hakim dan
pula lembaga kehakiman dituntut untuk bertindak seperti sang
dewi: memutus perkara yang dihadapkan padanya dengan sebenar-
benar dan seadil-adilnya tanpa memandang pihak-pihak yang
berperkara. Hanya dengan ketidakberpihakanlah putusan hakim
akan dihormati dan diterima, kendati apa yang diputuskannya bisa
jadi tidak selalu memenuhi harapan para pihak yang bersengketa.
Pengadilan yang imparsial akan menjadi lembaga pengakhir
sengketa yang berwibawa, yang putusannya ditaati dan bahkan
menjadi hukum baru (yurisprudensi) yang akan diikuti baik oleh
hakim-hakim lain maupun masyarakat manakala menghadapi
permasalahan hukum yang sama.
Dalam skalanya yang makro, independensi kekuasaan
kehakiman adalah fitur negara hukum sebagai konsekwensi logis
dianutnya prinsip pembagian kekuasaan. Prinsip ini diadopsi oleh
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan kekuasaan kehakiman

190
Manunggal K Wardaya

sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan


peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Lebih jauh,
peradilan yang kompeten dan independen pula adalah hak asasi
manusia menurut Deklarasi HAM PBB 1948 dan Perjanjian
Hak Sipil dan Politik 1966, karena pemenuhan segala hak dan
kebebasan asasi manusia pada akhirnya hanya dapat terwujud jika
ada lembaga peradilan yang kredibel..
Sedemikian besar power yang ada padanya membuat
hakim dan kekuasaan kehakiman amat rawan kooptasi dan goda
korupsi. Pada masa lalu dikenal Departemen Kehakiman yang
menempatkan para hakim secara administratif di bawah presiden,
kondisi mana membuat para hakim tak bebas dalam memutus
kasus-kasus yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintah.
Karena apa yang diputus oleh hakim dapat menimbulkan kerugian
maupun sebaliknya menguntungkan, ada kalanya para pihak yang
berperkara tak segan melakukan apa saja asalkan vonis yang bakal
dijatuhkan sesuai dengan yang diinginkan. Tidak saja dengan
suap, upaya yang dilakukan bahkan termasuk dengan mensetting
konstelasi hakim yang akan memutus perkara. John Grisham
dalam bukunya Pelican Brief (1992) menggambarkan dengan apik
pembunuhan seorang hakim Supreme Court Amerika karena
pandangan hukum sang hakim diprediksi akan merugikan pihak
tertentu dalam sebuah perkara uji konstitusionalitas sebuah
undang-undang. Setelah sang hakim terbunuh, pihak-pihak yang
berkepentingan akan berusaha menggolkan hakim yang berpihak
kepada mereka sebagai hakim pengganti.
Begitu kencangnya angin korupsi dan intimidasi yang
menghadang seorang hakim sehingga integritas moral,
profesionalitas, dan dedikasi yang tinggi untuk menegakkan
hukum adalah syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang
hakim di luar syarat kecakapan dalam bidang hukum. Seorang
hakim yang tak tahan godaan dan atau tekanan tak akan mampu

191
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

memutus dengan benar dan adil karena dengan sendirinya ia akan


berpihak, baik secara sukarela maupun terpaksa. Ketika hakim
dapat dibeli, ia menjadi tak lebih dari sekedar tukang yang bisa
memutus apa saja sesuai pesanan asal ada kesepakatan harga.
Grup musik Metallica keras mengecam judicial corruption seperti
ini dalam lirik lagu …and Justice for All (1988), menyebut nuansa
hijau pengadilan sebagai simbol bahwa uanglah yang menentukan,
dimana yang dicari bukan lagi kebenaran namun kemenangan
(seeking no truth, winning is all).
Menyedihkannya, fenomena inilah yang tengah melanda
dunia peradilan kita, setidaknya seperti yang tergambar dari drama
penangkapan tersangka Syarifuddin, hakim pengawas kepailitan
pada PN Jakarta Pusat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) awal Juni 2011 ini. Tertangkap tangan oleh KPK diduga
tatkala sedang menerima uang suap dari pihak yang berperkara,
Syarifuddin bahkan disinyalir oleh Indonesian Corruption
Watch (ICW) memiliki rekam jejak buruk sebagai hakim yang
membebaskan tak kurang dari 39 terdakwa kasus korupsi.
Sesungguhnyalah kasus suap terhadap Syarifuddin ini hanya
menguatkan sinyal yang selama ini telah terdeteksi akan amat
parahnya penyimpangan kuasa di lingkungan aparat penegak
hukum. Setelah sebelumnya lembaga kejaksaan diguncang suap
yang melibatkan Jaksa Urip Tri Gunawan (dan belakangan hari
ini Jaksa Cirus Sinaga kaitannya dengan kasus mafia pajak Gayus
Tambunan), lembaga kepolisian dengan rekening gendut perwira
tinggi yang hingga kini tak ada kejelasannya, kini pengadilan
sebagai benteng terakhir pencari keadilan ternyata telah mengalami
kebangkrutan kredibilitas yang akut.
Sebagaimana diyakini banyak pihak, tulisan ini pula
mengamini bahwa terungkapnya Syarifuddin hanyalah fenomena
gunung es mafia hukum di tubuh lembaga peradilan, karena kasus
yang sebenarnya terjadi lebih banyak dan besar dari itu. Bertolak

192
Manunggal K Wardaya

dari kasus ini, sanksi administratif maupun penal yang tegas dan
maksimal sudah sepantasnya mulai dijatuhkan pada mereka para
aparat penegak hukum yang korup. Revisi UU Komisi Yudisial
dan UU Mahkamah Agung pula menemukan relevansinya untuk
segera diagendakan dalam rangka menyempurnakan sinergi
pengawasan internal oleh MA dan pengawasan eksternal oleh KY.
Jika momentum terungkapnya kasus ini tidak dijadikan titik tolak
untuk membersihkan lembaga kehakiman dari hakim yang nakal,
kredo Kasih Uang Habis Perkara (KUHP) manakala berurusan
dengan lembaga peradilan akan semakin diyakini kebenarannya,
meneguhkan keberadaan pengadilan sebagai tempat jual beli
perkara, dan bukannya pelabuhan terakhir pencarian keadilan
bagi warga.

193
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

39. LOGIKA SESAT


PERADILAN SINGKONG

A
lkisah, tersebutlah seorang nenek yang mencuri
singkong di pekarangan milik sebuah perusahaan.
Dalam persidangan, nenek renta itu membela diri bahwa
perbuatannya tersebut dilakukan karena keterpaksaan. Anaknya
tengah sakit keras, dan sang cucu dilanda lapar. Singkat cerita
pengadilan menjatuhi pidana denda 1 juta rupiah atau penjara 2,5
tahun karena perbuatannya itu. Menariknya, hakim pada akhirnya
mendenda para pengunjung sidang, agar turut menanggung
pidana yang dijatuhkan pada nenek. Dalam waktu yang tak terlalu
lama terkumpullah uang untuk sang nenek termasuk dari kantung
sang hakim, yang digunakan untuk membayar pidana denda.  Sang
nenek bebas dari nestapa penjara.
Hanya merupakan rekaan semata, kisah berjudul “Pencuri
Singkong dan Hakim Hebat” yang disebarluaskan oleh oleh
akun  Facebook  salah satu instansi penegak hukum di Jawa
Timur itu menjadi topik hangat di berbagai jejaring sosial. Kisah
itu pada umumnya memancing banyak komentar yang pada
umumnya memuji. Ada semacam kesamaan di dalam apresiasi
masyarakat  terhadap kisah tersebut: kerinduan akan hakim yang

194
Manunggal K Wardaya

bijak, di kala dunia peradilan di tanah air begitu miskin dalam


mengejawantahkan nilai keadilan. Akan tetapi benarkah kisah
tersebut memang benar-benar mengandung pesan keadilan?
Pengadilan seperti itukah yang dibutuhkan oleh masyarakat kita?
Alih-alih turut memberi apresiasi, tulisan ini mengkhawatirkan
bahwa hikmah yang diambil masyarakat boleh jadi justeru rancu
dengan esensi dan logika berkehidupan hukum yang demokratis
dan populis yang tengah dicitakan oleh bangsa ini. Kerancuan
pertama adalah manakala pengadilan menjatuhkan denda kepada
pengunjung persidangan dengan alasan masyarakat turut bersalah
karena telah membiarkan si nenek kelaparan dan akhirnya
menjadi pencuri. Akan kontraproduktif bagi komitmen kita dalam
bernegara hukum manakala masyarakat awam memahami apa
yang dilakukan hakim tersebut sebagai suatu bagian dari hukum
formal yang berlaku di tanah air. Solidaritas sosial dalam kisah
di atas bisa saja terjadi seperti ditunjukkan dalam kasus Prita
maupun gerakan sejuta sandal yang terjadi baru-baru ini, akan
tetapi hal itu bukanlah suatu bagian dari pencapaian keadilan nan
mengikat di ruang sidang. Akan lebih pas jika pengumpulan dana
yang dilakukan oleh masyarakat pengunjung sidang dilakukan
sebagai sebagai gerakan moral guna memprotes peradilan dan
bukan putusan yang berasal dari hakim terlebih berupa penjatuhan
denda yang formal dan mengikat sifatnya.
Kalaupun penjatuhan denda seperti diatas tak hendak
dipermasalahkan apalagi diperbandingkan dengan format
dan prosedurnya dalam realitas hukum, tetap saja hukuman
terhadap masyarakat yang dijatuhkan hakim pada pengunjung
sidang sungguh-sungguh bertentangan dengan logika bernegara
hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Alih-alih
menghukum pengunjung sidang yang notabene warga negara,
amat disayangkan mengapa dalam  kisah itu hakim  sama sekali
tidak memperhitungkan peran negara dalam tindak pidana yang

195
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

dilakukan si nenek? Mengapa pengadilan tak memperhitungkan


kelalaian pemerintah daerah di mana si nenek itu berdiam dengan
mengkompensasikannya melalui putusan yang seringan mungkin
pada si nenek? Bukankah ada andil negara dalam terjadinya
perbuatan pidana si Nenek, yakni membiarkan si nenek miskin
serta lapar sehingga memaksanya untuk mencuri?
Dalam perspektif hukum hak asasi manusia, adalah tugas
negara untuk menjamin warga negaranya untuk bebas dari rasa
lapar, bebas dari kemiskinan. Menjadi   kewajiban hukum dan
moral sekaligus bagi mereka yang berada di pemangku jabatan
eksekutif untuk mengupayakan dengan sungguh agar  tak satupun
perut warga Negara kosong   hanya karena miskin. Jika negara
bisa menjamin tiada rakyatnya yang kelaparan, maka perbuatan
pidana karena perut  lapar sebagaimana dilakukan si nenek dalam
kisah tersebut tak perlu sampai terjadi.  Untuk itu berbagai cara
harus dilakukan negara seperti menciptakan iklim yang membuka
lapangan pekerjaan, menyediakan jaring pengaman sosial, maupun
memelihara mereka yang jompo dan telantar dan tak lagi mampu
menopang kehidupannya sendiri. Mengapa demikian? Tak lain
karena negara ada untuk melindungi   warganya bukan untuk
mencari keuntungan masyarakat.
Tulisan ini mengkhawatirkan bahwa kisah tersebut
merefleksikan kondisi peradilan di Indonesia yang senyatanya ada.
Sepintas pengadilan menjunjung tinggi hukum dan keadilan tetapi
putusan yang dijatuhkan tidak berangkat dari paradigma negara
hukum yang berkedaulatan rakyat. Kendati pengadilan sebagai
kekuatan yudisial adalah kekuasan yang diidealkan merdeka dari
campur tangan pemerintah, kisah tersebut menguatkan sinyalemen
betapa pengadilan hingga kini masih menjadi corong paham 
negara kekuasaan yang pandai-pandai melindungi pejabat negara
yang tak becus dalam menjabat dan di sisi lain begitu mudahnya
menghukumi warga.

196
Manunggal K Wardaya

Kisah tersebut seakan menguatkan asumsi yang selama


ini berkembang bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang
berujung pada penderitaan rakyat tak sekali-kali dapat
dipertanggungjawabkan pada negara. Alih-alih mampu
mengingatkan bahkan memaksa para penyelenggara negara
untuk memenuhi kewajibannya asasinya, hukum buatan hakim
dalam kisah itu justeru menjadi simbol   represi terhadap warga
negara yang harus menanggung derita untuk keduakalinya atas
perbuatan yang sebenarnya terjadi akibat kegagalan mereka para
penyelenggara negara.

Dimuat di Majalah Jong Indonesia No. 6 Mei 2012


yang diterbitkan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI)
Belanda

197
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

40. MENGURAI KOMPLEKSITAS


KEKERASAN DI DAERAH OLEH
SATUAN POLISI PAMONG PRAJA:
SEBUAH PERSPEKTIF SOCIO LEGAL

B
isa dikatakan, salah satu fitur utama Indonesia pasca
reformasi adalah meruaknya berbagai aksi kekerasan
di tengah masyarakat. Pemberitaan media mengenai
kekerasan hampir mewarnai berbagai saluran komunikasi massa,
menjadikannya seolah hal yang lumrah lagi tak mengherankan.
Jika di masa Orde Baru kekerasan lebih bernuansa isu-isu nasional
dalam kerangka besar mendobrak tirani dan penindasan hak sipil
dan politik warga, kini lokus kekerasan lebih kepada arasnya yang
lokal dengan isu yang sifatnya setempat pula. Tidak saja yang
horizontal berupa kekerasan antar etnis, suku, maupun kelompok
masyarakat lainnya seperti kelompok agama, kekerasan juga terjadi
dalam coraknya yang vertikal dimana masyarakat terlibat bentrok
dengan aparatur pemerintah lokal.
Salah satu hal kekerasan yang mewarnai adalah kekerasan
yang melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Nyaris
setiap harinya, masyarakat menyaksikan betapa represifnya
aparat pemerintah daerah ini dalam menjalankan tugasnya mulai
dari penggusuran bangunan liar, pedagang kaki lima, hingga
penertiban terhadap kaum gelandangan dan pengemis. Peristiwa

198
Manunggal K Wardaya

yang terbilang fenomenal adalah manakala para petugas Satpol PP


menghadapi masyarakat yang berujung bentrokan di Makam Mbah
Priok, Koja, Jakarta April 2010. Akibat bentrok itu, baik masyarakat
maupun aparat Satpol PP menderita luka serius, bahkan tewas
dengan begitu mengenaskan. Citra Satpol PP semakin memburuk
dengan peristiwa itu.
Tampilan kekerasan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara  ini sebenarnyalah mencerminkan bagaimana bangsa
ini menjalani kehidupan sebagai negara hukum, suatu bentuk
perilaku beringas kegagalan upaya yang mengandalkan nurani
kemanusiaan.1Alih-alih tercipta ketertiban dan keadilan, penegakan
hukum di tingkat lokal justeru menimbulkan kegelisahan dan
kegusaran sosial. Dalam konteks konflik yang mewarnai penegakan
hukum di level lokal, banyak pihakmenuding satpol PP sebagai
biang ketidaktertiban dan ketidakadilan. Tak kurang-kurang pihak
bereaksi spontan, agar satpol PP ditinjau lagi keberadaannya, suatu
eufimisme desakan untuk membubarkan Satpol PP.2
Tentu menjadi menarik untuk dipertanyakan sekaligus dicari
jawabannya yang sebenar:  apakah Satpol PP memang inheren dan
tak bisa lepas dari kekerasan yang oleh karenanya pembubarannya
merupakan suatu keharusan? Tepatkah bila semua persoalan
kekerasan yang mewarnai performa Satpol PP dalam menegakkan
hukum dan ketertiban dipikulkan semata pada pundak mereka?
Apa sebenarnya faktor penyebab kekerasan ini? Bagaimana
strategi hukum dan sosial untuk menanggulangi permasalahan

1
Kusnanto Anggoro, Pengantar dalam “Post-Conflict Peace Building: Naskah
Akademik untuk Penyusunan Manual”, ProPatria Institute, 2009, hal. 4.
2
Lihat misalnya Alghiffari Aqsa , “Negara Bebas Satpol PP”, makalah disampaikan
dalam acara Reformasi ektor Keamanan, diadakan oleh Komite Mahasiswa dan Pemuda
Anti Kekerasan (KOMPAK) 28 November 2010.  Dikatakan dalam makalah tersebut bahwa
Satpol PP adalah ancaman terhadap kehidupan bernegara dan pemenuhan hak asasi
manusia warga negara. Lihat pula “Demo Tuntut Satpol PP Dibubarkan”,  http://www.
tribunnews.com/2010/03/25/demo-tuntut-satpol-pp-dibubarkan  diakses pada 10 Juli
2011.

199
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

riil di tingkat lokal ini? Tulisan ini hendak mencoba menjawab


berbagai macam permasalahan tersebut di atas. Memandang
eksistensi satpol dalam kerangka negara hukum, tulisan ini  akan 
menelusuri di mana sebetulnya akar permasalahan kekerasan yang
melekat pada alat negara ini. Tulisan ini akan mengelaborasi teori
Friedmann mengenai faktor-faktor yang memengaruhi efektifitas
dalam penegakan hukum hukum yakni substansi, struktur, dan
kultur hukum itu sendiri. Pada akhirnya, paparan singkat ini akan
memberi rekomendasi  dan sumbang saran guna tereduksi bahkan
musnahnya tradisi dan citra kekerasan oleh aparat penegak hukum
di tingkat lokal.

Satpol Sebagai Law Enforcer


Pada hakekatnya, seorang anggota Satuan Polisi  Pamong
Praja adalah seorang polisi3, yang oleh karenanya dapat (dan
bahkan harus) dibilangkan sebagai bagian dari aparat penegak
hukum (law enforcer). Dikatakan demikian, karena satpol PP
dibentuk untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan
peraturan daerah (Perda).4 Sebagaimana diketahui, perda
menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah
salah satu jenis perundang-undangan.5 Adapun fungsi Satpol PP
sebagai aparat penegak perda dinyatakan dalam Pasal 1 butir 8,
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 Tentang
Satuan Polisi Pamong Praja. Kedua pasal tersebut pada intinya
menyatakan eksistensi Satpol PP sebagai  bagian perangkat daerah

3
Wikipedia mendefinisikan polisi sebagai ”…persons empowered to enforce the law,
protect property and reduce civil disorder”. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Police
Lihat Pasal 138 Undang-undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
4

5
Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan menurut pasal ini adalah
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-undang/
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan
Presiden; Peraturan Daerah.

200
Manunggal K Wardaya

dibentuk untuk membantu kepala  daerah menegakkan perda dan


menyelenggarakan ketertiban umum dan ketertiban masyarakat.6
Pasal 3, dan 4 PP 6/2010 pula menegaskan tugas Satpol PP
menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat.
Bertitik tolak dari kandungan norma hukum dalam paragraf
di atas, dapat disimpulkan bahwa Satpol PP memiliki landasan
hukum yang kuat baik dari sisi pembentukan maupun fungsinya
untuk menegakkan peraturan perundang-undangan yakni
peraturan daerah. Fungsi strategis sebagai penegak hukum ini
tak dapat begitu saja dinegasikan,  karena sebaik apapun produk
legislasi, ia tak akan berdaya guna efektif (yakni menciptakan cita
tertib dan adil itu) jika tak didukung institusi yang menjamin
penegakannya. Hukum tanpa penegakan hanyalah teks-teks
mati yang keberlakuannya tak dapat diharapkan dengan semata
mengandalkan itikad baik subjek hukum sahaja. Ide membubarkan
satpol PP dan atau meniadakannya sama sekali semata karena
kekerasan yang selama ini melekat pada institusi ini oleh karenanya
tak dapat dikatakan sebagai usulan yang rasional, kalau tak hendak
mengatakan sebagai emosional belaka.

Hukum: Penyelesai atau Pemicu Permasalahan?


Jika hukum dipercaya sebagai instrumen untuk menciptakan
tertib (order), legitimasinya akan tercabar manakala penegakannya
justeru menimbulkan penolakan yang eksesnya antara lain adalah
kekerasan, termasuk diantaranya yang melibatkan masyarakat
dan aparat penegak hukum. Dipercaya bahwa sebaik-baiknya
hukum (perundangan), ia akan tetap mendapatkan penolakan
dari masyarakat manakala keberadaannya dirasa tidak cocok dan

6
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat  merupakan urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah termasuk penyelenggaraan
perlindungan masyarakat.

201
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

tidak adil dalam perspektif keadilan mereka.7 Sebaik-baik aparat,


jika hukum yang ditegakkan itu bermasalah, maka masalah jualah
yang akan timbul.
Dalam konteks kekerasan oleh Satpol PP, penelusuran akan
penyebab kekerasan ini oleh karenanya pertama-tama haruslah
dicari dari dari muatan hukum yang ditegakkan oleh Satpol PP
yakni peraturan daerah. Menjadi layak diselidiki apakah perda
yang dihasilkan oleh institusi politik daerah dan kemudian
ditegakkan oleh Satpol PP memang telah demokratis, responsif,
dan menampung seluas-luasnya partisipasi masyarakat? Apakah
keadilan hukum (perda) bermakna pula keadilan sosial (bagi
masyarakat sebagai objek perda)? Apakah perda yang dibikin telah
memenuhi berbagai asas sebagaimana disebutkan dalam Pasal
6 ayat (1) UU No 10 Tahun 2004 terutama asas pengayoman8,
kemanusiaan9, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka
tunggal ika, keadilan, persamaan kedudukan di dalam hukum
dan pemerintahan? Apakah peraturan daerah itu memenuhi asas
“dapat dilaksanakan”10 sebagaimana diamanatkan Pasal 5 huruf d
UU No. 10 tahun 2004?
Tak hendak melakukan generalisasi, tulisan ini hendak

7
Lihat Sulistyowati Irianto, “Hukum dan Kontribusinya Terhadap Potensi Kekerasan:
Perspektif Socio-Legal”, Makalah disampaikan dalam diskusi Komunitas Salihara 8
Juni 2011, hal.4.
8
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) a menyatakan bahwa yang dimaksud dengan asas
“pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman
masyarakat.
9
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan asas
“kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
profesional.
10
Penjelasan Pasal 5 huruf d menyatakan bahwa asas “dapat dilaksanakan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas
Peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
yuridis maupun sosiologis

202
Manunggal K Wardaya

mengatakan bahwa begitu banyak perda dibuat dengan tidak


memerhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Banyak perda yang
lebih menguntungkan kaum yang mapan ketimbang yang rawan,
yang semata mengayomi yang mayoritas dan tak memayungi
yang minoritas11  baik dalam substansi maupun implementasi.
Tulisan ini mengambil contoh berbagai perda yang diskriminatif
sifatnya, antaranya diskriminatif terhadap perempuan12  dan
dalam hal memanifestasi agama bagi keyakinan agama tertentu.13
Sebagaimana pula dinyatakan Uli Parulian Sihombing, hukum
(positif) seperti ini tentulah sebenarnya bermasalah dan
berpotensi menimbulkan konflik.14 Konflik yang terjadi tentulah
pada akhirnya tidak melibatkan pembuat hukum (law maker yakni
DPRD dan Kepala Daerah) dengan masyarakat secara langsung,
namun antara penegak hukum dan masyarakat dan bahkan antara
sesama anggota masyarakat.
Aliran hukum kritis menjelaskan begitu gamblangnya
susupan kepentingan mereka yang kuat dalam pembentukan
hukum. Dipostulatkan oleh mazhab ini, bahwa sesiapapun yang
memiliki  resource dalam pembuatan hukum, pastilah akan
mempengaruhi pembuatan hukum. Jika kelompok yang memiliki
kekuatan politik dan kapital lebih mendominasi pembuatan

11
Lihat misalnya, Waria Protes Kekerasan Satpol PP, Republika 22 Februari 2011
,http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/metropolitan/11/02/22/165489-
waria-protes-kekerasan-satpol-pp diakses pada 19 Juni 2011.
12
Komnas Perempuan mencatat ada 189 perda yang diskriminatif terhadap perempuan,
antaranya perda yang mensyaratkan tes keperawanan sebagaimana diterbitkan di
Jambi. Alasan moralitas dan agama adalah dua hal yang kerap dijadikan landasan untuk
mendiskriminasi perempuan melalui peraturan hukum di tingkat lokal ini. Lihat “Komnas
Perempuan: 189 Perda Diskriminatif”, dalam http://www.voanews.com/indonesian/
news/Komnas-Perempuan-189-Perda-Diskriminatif.html, diakses pada 13 Juni 2011.
13
Kendati tidak terkait dengan Satpol, Lembaga Bantuan Hukum mensinyalir
bahwa kekerasan terhadap Ahmadiyah semakin meningkat paska dikeluarkannya
Surat Keputusan Bersama. Lihat “LBH: SKB dan Perda Sumber Kekerasan”, Kompas,
12 Maret 2011.
14
Lihat “Perda SI Cacat Legitimasi Hukum dan Sosial”, dalam Nawala Vol.1/
TH.I/2005/November 2005, hal.2.

203
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

hukum, pada akhirnya, hukum seperti itu (meminjam istilah


Soetandyo Wignjosoebroto), akan berpihak pada mereka yang
mapan daripada yang rawan. Hukum yang tercipta, yang disahkan
dan harus dipatuhi tidak lagi berpihak pada keadilan dan
kemaslahatan, akan semakin jauh dari rasa keadilan masyarakat.
Contoh kasus aktual pada paruh pertama 2011 di Purwokerto
menunjukkan bahwa selama bertahun tahun permasalahan
pedagang Pasar Wage yang nekat berjualan di luar pasar (hingga ke
trotoar jalan) tak juga mencapai titik temu yang menggembirakan.
Para pedagang menolak berjualan di lantai atas pasar, mengeluh
betapa mereka selalu merugi jika berdagang di lantai dua, suatu
keharusan bertingkah laku menurut hukum (baca: perda) yang
harus ditaati sekalipun langit runtuh (merugi, bangkrut dan tak
bisa makan). Para pedagang tentulah tak hidup di alam surgawi
di mana orang tak perlu mencari nafkah dan  berjuang begitu
keras untuk bisa hidup, terlebih di negara tanpa jaminan sosial
seperti Indonesia. Para pedagang akan terus menolak berdagang
dan dengan demikian menggelar dagangannya di tempat yang
mengganggu ketertiban umum seperti trotoar, lahan parkir dan
sebagainya.
Mensikapi hal tersebut, pemerintah lokal selalu memandang
ketidaktaatan pedagang Pasar Wage tersebut sebagai ketidakpatuhan
terhadap hukum. Dicobakesankan (bahkan dengan keluar dari
akar permasalahan), bahwa pedagang tersebut kebanyakan
adalah pendatang. Sebenarnyalah, tulisan ini meyakini, bahwa
yang menjadi problem bukan karena para pedagang itu adalah
termasuk golongan yang tidak menyukai ketidaktertiban (yang
kemudian digiring pada pembenturan pedagang lokal dan non
lokal). Keharusan mematuhi (tertib) hukum akan dan bahkan
telah mematikan sumber penghidupan sementara kebijakan di
tingkat lokal didesain dengan tidak berpihak pada mereka. Oleh
karenanya, manakala diharuskan memilih, para pedagang akan

204
Manunggal K Wardaya

memilih tidak mentaati hukum dengan berjualan di tempat yang


tidak seharusnya dipakai untuk berjualan. Manakala keharusan
hukum ini tak ditaati dan kemudian berbenturan dengan aparat
yang hendak menegakkannya, konflik dan bahkan kekerasan
menjadi hal yang terhindarkan lagi niscaya.
Kasus Pasar Wage Purwokerto ini sebenarnyalah fenomena
yang juga kerapkali ditemui di daerah lain baik di Jawa Tengah
maupun di Indonesia pada umumnya. Kebijakan pemerintah
daerah manakala membangun kembali Pasar Wage yang
terbakar(?), terkesan tak memerhatikan kondisi dan realitas
masyarakat. Pembangunan pasar dua lantai (yang diasumsikan
akan menciptakan ketertiban itu) nyatalah bukan hal yang realistik
untuk diterapkan. Orang lebih memilih berbelanja di tempat yang
mudah diakses tanpa harus repot menaiki tangga ke atas. Ketika
para pedagang memilih berjualan di tempat yang tak seharusnya,
hal tersebut disikapi dengan penegakan hukum yang tegas. Tak
hendak disalahkan para petugas yakni satpol PP tersebut untuk
melakukan penertiban, karena memang demikianlah tugas mereka
menurut undang-undang: menegakkan perda. Namun terlihat
di sini bahwa perda (hukum) yang ditegakkan nyatalah sukar
diharapkan akan tegak, karena tak ada orang yang mau ‘tertimpa
langit yang runtuh’ itu. Kalaupun penegakan hukum dilakukan
dengan topangan represi, maka tak berapa lama ketidaktertiban
akan terjadi lagi. Para pedagang kembali berjualan di luar area
yang telah ditentukan demi kelangsungan hidup dan usaha
mereka,  at any cost. Bentrok dengan satpol sebagaimana terjadi
pada  minggu awal April 2011 merefleksikan hal ini. Korban luka
baik di pihak pedagang maupun satpol tentu tak akan terjadi jika
sedari awal para pemangku kepentingan benar-benar dilibatkan
dalam perencanaan pembangunan Pasar Wage.
Selain permasalahan hukum terkait dengan perda yang
menjadi tugas bagi Satpol PP untuk menegakkannya, tulisan ini

205
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

pula meyakini bahwa salah satu faktor penyebab kekerasan juga


berakar dari dasar hukum yang memberi kewenangan pada Satpol
PP. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2005,
Satpol PP memiliki tugas lain untuk menangani unjuk rasa dan
kerusuhan massa, sebuah  legal duty  yang setidaknya menurut
Komisi Kepolisian tumpang tindih dengan tugas kepolisian.15
Kewajiban untuk meredam unjuk rasa dan kerusuhan masa
dapat dikatakan terlalu berat untuk dihadapi oleh Satpol PP yang
tidak diperlengkapi dengan sarana keamanan yang memadai
dibandingkan dengan kepolisian. Peristiwa Priok memperlihatkan
betapa perimbangan kekuatan kerusuhan massa dengan jumlah
Satpol PP yang bertugas maupun peralatan penunjang kerusuhan
amatlah tidak seimbang sehingga bentrokan yang membawa korban
tak terhindarkan. Ada kesan bahkan Satpol PP dalam peristiwa itu
dibiarkan begitu saja melawan massa yang amat beringas dengan
senjata tajam dan sudah tak dapat lagi dikendalikan.16

Satpol PP sebagai Penegak Hukum: Ugeran Internasional


Membincangkan citra ideal satpol tidak dapat mengabaikan
ugeran internasional tentang penegak hukum yang ditetapkan oleh
badan dunia yakni Perserikatan Bangsa-bangsa. Terkait dengan hal
ini, Majelis Umum PBB telah mengesahkan suatu Code of Concut
for Law Enforcement Officials17 di mana di dalamnya terkandung
beberapa prinsip penting antaranya bahwa petugas penegak hukum

Tugas untuk menangani unjuk rasa inisebenarnyalah menjadi tugas umum Polri
15

dalam Pasal 10, 13 ayat (2) dan 3, Pasal 15, dan 16 UU No. 19 Tahun 1998 tentang
Kebebasan Menyatakan Pendapat di Muka Umum dan Peraturan Kapolri  No. 16
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengendalian Massa.
16
Lihat Manunggal K. Wardaya, “Aspek Hak Asasi Manusia dalam Penanganan
Unjuk Rasa OlehSatpol PP”, makalah disampaikan dalam Simulasi Dahura dan
Penanggulangan Unjuk Rasa, diselenggarakan oleh Satpol PP Jawa Tengah , Hotel
Moroseneng, Baturraden, 1 Maret 2011.
17
Disahkan oleh Majelis Umum PBB dengan Resolusi 34/169 17 Deember 1979, dapat
diakses secara online pada http://www2.ohchr.org/english/law/pdf/codeofconduct.pdf

206
Manunggal K Wardaya

harus selalu tugasnya menjunjung tinggi hukum yang dibebankan


padanya dengan melindungi semua orang dari perbuatan yang
melawan hukum, dengan memenuhi secara konsisten tanggung
jawab seperti yang dipersyaratkan oleh profesinya.18 Demikian pula
dengan kewajiban untuk menghormati dan melindungi martabat
serta menjaga dan menjunjung tinggi hak asasi  semua orang.19
Lebih lanjut, kode perilaku ini juga memuat prinsip yang amat
penting mengenai penggunaan kekerasan oleh penegak hukum.
Dikatakan di sana bahwa para penegak hukum hanya boleh
menggunakankekerasan manakala benar- benar diperlukan dan
dalam keadaan yang benar-benar dibutuhkan dalam menjalankan
tugasnya.20 Komentar terhadap ketentuan ini menyatakan bahwa
bahwa penggunaan kekerasan adalah hanya dalam keadaan-
keadaan yang luarbiasa (exceptional). Kekerasan hanya dapat
digunakan jika hal itu oleh keadaan memang diperlukan
untuk mencegah kejahatan atau untuk lebih mengefektifkan
dan membantu penangkapan tersangka. Di luar hal itu, maka
penggunaan kekerasan sesungguhnya tak diperbolehkan. Di luar
prinsip itu masih ada prinsip lain yakni tak diperbolehkannya
tindakan berupa penyiksaan, perlakuan kejam, merendahkan,
atau tidak manusiawi lainnya.
Agar segala macam prinsip dasar penegak hukum sebagaimana
dipaparkan di atas diketahui dan dilaksanakan dengan baik,
pembekalan pengetahuan yang cukup mengenai tugas dan fungsi
Satpol PP dalam kerangka negara demokrasi konstitusional
yang menjunjung tinggi hak asasi manusia haruslah dilakukan.
Paradigma Satpol sebagai bagian dari negara (yang tak punya
piihan lain kecuali menghormati hak asasi manusia) menjadi wajib

18
Article 1.Dalam komentar pasal 1 ini dinyatakan pula bahwa  “the term law
enforcement officials”, includes all officers of the law, whether appointed or elected, who
exercise police powers, especially the powers of arrest and detention.
Article 2
19

Article 3
20

207
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

diketahui dicamkan benar oleh setiap petugas satpol PP. Dengan


mengetahui posisi sebagai hamba masyarakat dan melayani sang
pemegang kuasa, maka pelanggaran HAM akan dapat direduksi
seminimal mungkin.
Permasalahannya, pembinaan Satpol selama ini sedikit
banyak berbau militeristik. Pelatihan dan pembentukan karakter
dengan metode militeristik ini tentu tak berkesesuaian dengan
profil Satpol yang berwawaskan fungsi polisionil yakni ketertiban
umum dimana yang dihadapi adalah masyarakat sipil dan bukannya
musuh. Bisa jadi, apa yang tertanam ini berimbas pada performa
Satpol ketika berhadapan dengan masyarakat adalah akibat dari
pendidikan yang diterima ini. Alih-alih sebagai warganegara yang
harus diupayakan pendekatan persuasif, paradigma bahwa mereka
yang melanggar perda adalah musuh menjadi mengemuka. Walau
bisa jadi pembinaan satpol telah mengalami perubahan, namun
warisan tradisi militeristik satpol nampaknya tak dapat begitu saja
dilepaskan dengan mudah dari aparat pamong praja ini.
Rekrutmen Satpol adalah hal lain lagi yang harus diperhatikan
manakala membicarakan organisasi ini. Disinyalir, banyak anggota
satpol diambil dari SDM yang kurang mumpuni, atau berbasis pada
kedekatan yang secara mudah dikatakan orang sebagai nepotisme.
Fenomena ini sebenarnya bukan monopoli satpol PP mengingat
dalam tubuh lembaga penegak hukum lain juga dijumpai masalah
serupa. Rekrutmen yang terkesan asal asalan ini pada gilirannya
akan membawa pada kwalitas satpol yang dihasilkan.

Kesadaran Hukum dan Paradigma Negara Demokrasi


Faktor lain yang berperan dalam terciptanya ketertiban, yang
dengan demikian bermakna tegaknya hukum tanpa kekerasan,
adalah persoalan pengetahuan hukum atau kesadaran hukum. Jika
saja peraturan daerah telah baik dan pembentukannya melalui
proses yang demokratik-partisipatoris,  konflik antara penegak

208
Manunggal K Wardaya

hukum dan masyarakat akan tetap dapat terjadi manakala suatu


peraturan hukum tidak diketahui/dipahami oleh masyarakat
luas dan oleh satpol itu sendiri. Di sini setidaknya ada dua aspek
yang harus diperhatikan yakni kesadaran hukum masyarakat dan
satpol.
Yang pertama, mengharuskan bahwa negara, dalam hal ini
pemerintah daerah mensosialisasikan kebijakan hukumnya secara
seluas-luasnya pada masyarakat. Dengan pemahaman yang baik
(atas hukum yang benar-benar baik dan demokratis baik substansi
maupun prosedur pembuatannya), kekerasan dalam penegakan
hukum dapat diharapkan untuk diminimalisir. Pelanggar hukum
akan menyadari bahwa yang dilakukannya adalah salah. Dalam
kasus penggusuran gubuk liar maupun bangunan bangunan
tanpa izin, pendekatan kemanusiaan mestilah pula diterapkan
berupa sosialisasi dan pemberian waktu yang rasional sebelum
dilakukannya penggusuran. Sosialisasi ini juga memiliki makna
penting ketika pemerintah hendak menegakkan ketertiban. Dialog
dengan masyarakat, mencari solusi bersama-sama demi kebaikan
bersama, diyakini akan menimbulkan sense of responsibility pada
semua pihak.
Pendekatan demikian dilakukan oleh Pemerintah Kota Solo,
dimana menurut Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun
2006 Tentang Penyelenggaraan Kawasan Tertib disebutkan bahwa
penegakan   peraturan perundangan dilakukan secara bertahap, 
berkesinambungan, dan terpadu antara aparat pemerintah kota
dengan instansi yang terkait.21 Implementasinya adalah dengan
melakukan upaya dari pre-emptive, preventif, dan baru kemudian
penegakan hukum.22 Kegiatan pre-emptive menjadi bagian dari legal
policy  pemerintah kota yakni dengan meningkatkan kesadaran
masyarakat agar turut serta menjaga ketentraman, ketertiban,

Pasal 3
21

Pasal 4 ayat (1).


22

209
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

dan keamanan dalam rangka penegakkan hukum. Upaya  pre-


emptive  ini dilakukan dengan cara melakukan pendekatan
dengan tokoh masyarakat (formal dan informal) serta komponen
masyarakat lainnya. Selain itu juga dibangun jaringan deteksi
diri untuk peringatan dini dan cegah dini serta meningkatkan
kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk mematuhi semua
norma peraturan dan hukum yang berlaku melalui kegiatan
sosialisasi.23 Penegakan hukum berupa upaya penertiban dan
penindakan hukum dilakukan dengan mengutamakan pendekatan
persuasif (non yustisial) dan dapat ditindaklanjuti dengan proses
yustisial terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan.24
Manakala sosialisasi telah dilakukan dan solusi dicari
bersama-sama, semua pihak akan  terikat dengan komitmen moral
yang disadari hendak dicapai untuk kebaikan bersama. Kearifan
lokal yang dikenal dengan istilah  nguwongke  (memanusiakan)
yang amatlah partisipatif tersebut terbukti efektif dan justru
konstruktif dalam mendukung kebijakan pemerintah kota Solo.
Tidak heran, manakala melakukan pemindahan (relokasi) para
pedagang kaki lima, Joko Widodo tidak menemui kesulitan berarti
karena sebelumnya telah melakukan dialog dengan para pedagang.
Keberhasilan Joko ini tentu bukan kebetulan, karena tiga walikota
sebelumnya tak pernah berhasil, bahkan kantor walikota Solo
diancam akan dibakar, ancama yang tak main-main karena kantor
walikota Solo tercatat pernah dibakar tiga kali terkait pemindahan
kaki lima ini. Keberhasilan Joko tak urung membuat majalah
TEMPO menjulikinya sebagai Walikota Kaki Lima.25
Kesimpulan
Satpol PP adalah aparat hukum yang keberadaannya

23
Ibid, butir a, b, dan c.
24
Pasal 4 ayat (4).
25
Lihat “Joko Widodo: Wali Kaki Lima”,http://majalah.tempointeraktif.com/id/
arsip/2008/12/22/LU/mbm.20081222.LU129061.id.html, diakses pada 10 Juli 2011.

210
Manunggal K Wardaya

merupakan konsekwensi logis dari adanya instrumen hukum


pada aras lokal. Dalam paradigma berfikir negara hukum, satpol
memiliki fungsi yang penting guna tegaknya hukum dan ketertiban.
Namun begitu, sesungguhnya penegakan hukum daerah melalui
satpol tidaklah selalu harus diwarnai dengan kekerasan jika faktor-
faktor yang selama ini menjadi penyebab konflik dievaluasi.
Jika selama ini Satpol PP identik dengan kekerasan, tulisan ini
meyakini bahwa bukan satpol-nya yang harus dihilangkan, namun
segala hal yang membuat tradisi kekerasan itu terjadilah yang mesti
diidentifikasi untuk kemudian dicari strategi penanganannya.
Terwujudnya satpol PP sebagai aparat penegak hukum pemeritah
daerah yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia,
yang menggunakan pendekatan kemanusiaan tanpa melibatkan
kekerasan dalam menjalankan tugasnya tentulah bukan sesuatu
yang mustahil jika memang ada pembenahan baik faktor internal
maupun eksternal yang memengaruhi performa aparat penegak
hukum daerah ini.

Makalah disampaikan dalam Seminar Tahunan Ke-


12 Dinamika Politik Lokal di Indonesia dengan tema “Di
Seputar Permasalahan Keamanan dan Perlindungan Sosial
di Aras Lokal Indonesia”, diselenggarakan oleh Percik
Institute, Salatiga, Jawa Tengah 26-29 Juli 2011

211
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

41. KEADILAN DALAM


WAJAH HUKUM

A
pakah tujuan hukum itu? Dalam khasanah studi filsafat
hukum, keadilan adalah salah satu kondisi yang paling
dipercaya sebagai destinasi utama adanya hukum dalam
perikehidupan manusia. Dalam paradigmanya yang demikian,
hukum, entah yang hukum rakyat entah yang hukum negara
diciptakan, diadadakan, melembaga (dan atau dilembagakan),
dan didayagunakan untuk mengabdi pada setinggi-tingginya
kemaslahatan manusia. Ia menjadi penyeimbang kedudukan yang
timpang sebagai akibat terjadinya perampasan hak. Ia memberi efek
jera berupa sakit, nestapa pada pihak yang menyakiti, agar seuatu
yang buruk dan menimbulkan kerugian maupun terkuranginya
hak pihak lain tak terulang lagi. Terhadap mereka yang menjadi
korban dilakukan pemulihan (remedy) agar kembali   kepada
keadaan semula, sembuh dari segala macam sakit dan kerugian
yang diderita.
Skala alias timbangan menjadi   simbol hukum,
merepresentasi fungsinya yang terpenting; mengkadar dua sisi
yang berlawanan. Hukum diidealkan menciptakan keadaan yang
seimbang (equal) antara hak dan kewajiban. Kalaupun hukum

212
Manunggal K Wardaya

menciptakan ketidaksamaan, maka ketidaksamaan itu semata


untuk memperkuat mereka yang rawan, memfasilitasi mereka
yang dipercaya lemah dan masih memerlukan support sosial guna
tercapainya kesetaraan. Lebih jauh, dunia peradilan dilambangkan
dengan Themis, dewi keadilan yang membawa timbangan dengan
mata tertutup. Maknanya, para pengadil akan memutus perkara
dengan tanpa melihat pihak yang berperkara demi menemukan
titik imbang. Ia tak saja mengutamakan hukum undang-undang
namun pula  sense of justice, sehingga apa yang diputus adalah
adil, dan lepas dari subjektifitas pribadinya.
Dalam negara berpaham kerakyatan, tujuan hukum
diselaraskan dengan cita cita memakmursejahterakan rakyat.
Hukum diabdikan pada kepentingan orang banyak (the many) dan
bukannya kepada sedikit orang yang berkuasa dan berpunya
(the few). Pembukaan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi
negara menegaskan tujuan dikreasinya entitas hukum bernama
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, ialah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia.
Semangat pembukaan UUD 1945 sebenarnyalah setarikan nafas
dengan semangat Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis yakni
pembebasan diri dari penindasan terhadap rakyat dan eksploitasi
sumberdaya alam yang dalam banyak hal pula bersaranakan hukum!
Ketidakadilan termasuk ketidakadilan dalam hukum hendak
diakhiri digantikan dengan hukum dan segenap administrasi
negara yang menghormati dan memuliakan manusia. Pada titik
inilah salah satu ajaran esensial demokrasi konstitusional  bahwa
hukum diadakan untuk menjamin terlindunginya hak dan
kebebasan dasar manusia menemukan makna pentingnya.
Demikiankah adanya? Berbagai aksi kekerasan yang bertubi
terjadi di tanah air mulai dari Mesuji hingga di Bima menunjukkan
sebaliknya. Hukum negara, berikut aparat penegaknya, tiada
didayagunakan untuk membela dan melindungi rakyat jelata,

213
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

manakala mereka yang rawan itu tengah berhadapan dengan kuasa


modal yang perkasa. Tak cukup menderita luka, hilang nyawa
serta terampasnya sumberdaya, rakyat masih mendapat stempel
negatif sebagai pemicu kekerasan. Unjuk rasa rakyat tinggallah
unjuk rasa, tiada didengar lagi tak mendapat perhatian yang layak
dan manusiawi. Tidak terlihat semangat pemerintah dan wakil
rakyat baik di level nasional maupun lokal untuk menjalankan
fungsinya yang sejati: sebagai pesuruh dan pengemban amanah
rakyat yang mendengar dan berbicara untuk semaksimal mungkin
kepentingan rakyat. Aksi bakar diri Sondagn Hutagalung, seorang
mahasiswa pada Desember 2011 sesungguhnyalah mengandung
satu pesan mendalam: rasa frustasi teramat sangat seorang warga
yang terjebak di alam kehidupan bernegara yang amat pengap.
Dari media kita mengetahui proses pidana terhadap seorang
siswa SMK di Palu (yang masih terbilang sebagai anak menurut
hukum) dalam kasus pencurian sandal milik anggota polisi. Kilah
normatif aparat penegak hukum bahwa kasus itu sudah sesuai
prosedur dan bahwasanya proses itu pula atas permintaan keluarga
tersangka sendiri barangkali tak akan mendapat reaksi begitu
hebat kalau saja selama ini para penegak hukum telah profesional
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, selaras dengan
Resolusi Majelis Umum PBB mengenai Code of Conduct for Law
Enforcemenet Officials (1979). Alih-alih begitu, kesadaran kolektif
masyarakat akan diingkarinya martabat dan hak asasi tersangka
dalam kasus tersebut ditambah dengan eksisnya perlakuan
diskriminatif dan  tebang pilih penegak hukum dalam berbagai
kasus lain yang melibatkan elite mapun kekuasaan, menjadikan
proses peradilan pencurian sandal   sebagai satir tersendiri
kehidupan berhukum bangsa ini.
Belum lagi usai  kasus pencurian sandal, masyarakat kembali
disuguhi penangkapan seorang anak berketerbelakangan mental
yang kedapatan mencuri pisang di Cilacap. Sigapnya aparat dalam

214
Manunggal K Wardaya

kasus ini amat kontras dengan rangkaian “drama seri” penetapan


status sebagai tersangka dan penangkapan yang ditunda-tunda
terhadap   begitu banyak pelaku kejahatan korupsi berikut
berbagai kemudahan dan fasilitas yang disediakan pada mereka.
Nyata benar bahwa hukum amat keras pada mereka yang papa,
sebaliknya hukum amat fasilitatif terhadap yang berpunya. Aturan
hukum memang   sama, namun interpretasi, aktivasi, dan hasil
diskresinya nyatalah berbeda, perbedaan mana disebabkan  oleh
satu faktor utama: kuasa.
Teks yang terbaca oleh masyarakat amat jelas: di negeri ini,
perlakuan yang sama di muka hukum tak lain hanyalah mitos
belaka dan tak lebih sebagai rangkaian huruf dalam Pasal 28 UUD
1945. Hukum ditegakkan semata mata demi hukum itu sendiri,
bukan untuk mencapai keadilan. Penegakan hukum bahkan
menjadi lahan basah para penegak hukum dalam lingkup untuk
mengekstrak keuntungan dari pihak yang berperkara. Kasus
suap dan pemerasan yang dilakukan oleh oknum kejaksaan dan
kehakiman selama ini seakan meneguhkan pemeo “KUHP” alias
“kasih uang habis perkara”.
Manakala hukum (negara) berikut aparatnya semakin tidak
menunjukkan wataknya yang berkeadilan,   menjadi mudah
dimengerti manakala masyarakat   kemudian mencari dan
mengkreasi solusi keadilannya sendiri atas sengketa-sengketa yang
dihadapinya. Justice beyond law, menyelesaikan persoalan sejauh
jauh dari campur tangan institusi negara berikut punggawanya
menjadi alternatif yang dipandang rasional guna terselesaikannya
sengketa secara memuaskan dan berkeadilan. Disadari maupun
tidak, masyarakat belajar  bahwa  hidup bernegara tak selalu harus
berhukum negara.

Dimuat di Harian Suara Merdeka 10 Januari 2012

215
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

42. PELAJARAN DARI


NUSAKAMBANGAN

L
embaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah institusi yang
dipercaya oleh sistem pemidanaan modern sebagai wadah
untuk memperbaiki manusia terpidana. Perampasan
kemerdekaan selama waktu tertentu (yang diasumsikan tidaklah
enak itu) diyakini akan membuat seorang terpidana menjadi
jera. Diidealkan bahwa selama Lapas, terpidana akan menjalani
serangkaian pembinaan secara sistematik sehingga perilaku jahat
dan tercela yang pernah dilakukannya akan ditinggalkan, dan ia
akan dapat kembali diterima oleh masyarakat manakala masa
pidana telah habis. Namun, terungkapnya jaringan narkoba kelas
kakap di lingkungan LP Nusakambangan oleh Badan Narkotika
Nasional (BNN) sungguh menjungkirbalikkan bangunan ide
Lapas sebagai institusi yang memulihkan harkat dan martabat
mereka yang terbilang sebagai terpidana. Lapas yang diidealkan
menjadi sarana purifikasi telah berubah menjadi tempat di mana
kejahatan menemukan lahannya yang subur untuk tumbuh dan
berbiak.
Setidaknya ada tiga hal yang patut direnungkan dari
fenomena yang memprihatinkan dalam penegakan hukum

216
Manunggal K Wardaya

terkait dengan institusi pemidanaan ini. Pertama, alih-alih


berhasil melakukan pembinaan, rehabilitasi dan menjerakan,
Lapas justeru menimbulkan destruksi terhadap warga binaan.
Terpidana pengedar narkoba menemukan tempat yang lebih
aman dalam melakukan kejahatannya dibandingkan manakala
ia belum menyandang status sebagai warga binaan. Lebih jauh,
jika pengguna narkotika pada taraf tertentu adalah adalah suatu
bentuk sakit (sickness) dan bukannya kejahatan (crime) yang harus
disembuhkan (to be healed) ketimbang dipidana (to be punished),
Lapas membuat seorang warga binaan yang sakit menjadi semakin
sakit, atau yang tadinya tidak sakit menjadi sakit. Hal ini karena bisa
terjadi seseorang yang menjalani pidana yang tak ada kaitannya
dengan narkoba akan berubah menjadi pengguna narkoba ketika
menjalani penghuni Lapas.
Kedua, Lapas telah menjadi tempat dimana kejahatan tumbuh
di tempat perilaku jahat dan tercela seharusnya dienyahkan.
Sebagaimana diberitakan harian ini (2/2), hasil tes urin sejumlah
sipir yang positif mengandung narkotika mengindikasikan bawa
petugas Lapas menjadi aktor penting bisnis haram narkoba keluar
masuk Nusakambangan. Petugas pemasyarakatan yang menurut
Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
memiliki peran penting dalam pembinaan dan membimbing warga
binaan justeru menjadi pelanggar hukum di bagian paling akhir
dari sebuah sistem pemidanaan. Secara falsafati, tulisan ini bahkan
meyakini bahwa para sipir yang terlibat dalam kasus peredaran
narkoba tersebut lebih pantas mendapatkan pembinaan dari warga
binaan yang selama ini berada dalam pengawasan mereka.
Ketiga, terungkapnya jaringan narkoba yang dipimpin oleh
seorang “Jenderal Besar” berinisial “Y” di Lapas Nusakambangan
seolah mengafirmasi tesis bahwa karakteristik Lapas yang
secara umum amat tertutup dan ketat dalam mengontrol lalulang
orang, barang, dan informasi justeru amat rawan terhadap

217
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

korupsi kuasa. Terbongkarnya jaringan narkoba di lingkungan


LP Nusakambangan di paruh pertama 2011 ini hanyalah satu
dari serentetan kasus serupa yang pula pernah terjadi di berbagai
Lapas di Indonesia. Tak berlebihan jika kemudian publik meyakini
bahwa berbagai macam transaksi ilegal lainnya juga terjadi di
lingkungan Lapas Nusakambangan. Masih teramat segar dalam
benak masyarakat betapa Arthalyta Suryani alias Ayin, terpidana
makelar kasus Jaksa Urip Tri Gunawan menikmati fasilitas mewah
Rutan Pondok Bambu. Ketatnya akses keluar masuk Lapas yang
utamanya dimaksudkan untuk memastikan bahwa warga binaan
tetap berada di lingkungan Lapas hingga usai masa pidana terbukti
menimbulkan peluang transaksional para aparat yang ada di
dalamnya.
Pencopotan Kalapas Besi oleh Kanwil Kementrian Hukum
dan HAM Jawa Tengah sudah menjadi tindakan yang tepat
dilakukan. Namun demikian, tindakan administratif ini perlulah
dibarengi penegakan hukum pro justitia dan upaya sistematik
untuk membersihkan Lapas Nusakambangan dari sesiapapun
petugas yang nakal. Kasus Nusakambangan ini pada akhirnya
memberikan satu pelajaran berharga bagi sistem pemidanaan
negeri ini: bahwa sudah seharusnya kontrol yang ketat diterapkan
tidak saja pada para warga binaan dan para pembesuk, namun
pula terhadap mereka para petugas pemasyarakatan.

Dimuat di Harian Suara Merdeka 3 Maret 2011

218
Manunggal K Wardaya

43. DISKRIMINASI DALAM


BERKESENIAN: REFLEKSI
TRAGEDI BANDUNG

T
ewasnya 10 orang penonton dalam konser musik yang
digelar dalam rangka peluncuran album group band Beside
di Bandung pada 9 Februari 2008 menambah panjang
deretan peristiwa tragis yang menyertai pagelaran musik di tanah
air. Jika sebelumnya insiden yang merenggut nyawa sejumlah
penonton hanya terjadi pada pertunjukan group musik pop rock
papan atas, peristiwa serupa dengan jumlah korban yang cukup
banyak justeru terjadi dalam pagelaran musik band “tak terkenal”,
suatu grup yang mengusung aliran musik keras, bertempo cepat,
dan memilih jalur bawah tanah (underground).
Menyaksikan cuplikan konser yang menggambarkan para
penonton yang beradu tubuh (slam dance) ketika menikmati
musik, mereka yang awam terhadap aliran musik ini akan segera
tergiring pada asumsi bahwa konser musik metal identik dengan
kerusuhan dan sarat dengan kekerasan, dan kesemuanya itulah
yang menjadi awal petaka. Asumsi seperti ini akan menggiring pada
stigma dan labelisasi kriminal bahkan penyesatan terhadap para
seniman musik metal berikut aliran musik yang dianutnya. Tulisan
ini hendak mengajak untuk memandang peristiwa memilukan di

219
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Bandung tersebut dengan jernih untuk dijadikan sebagai bahan


perenungan agar jatuhnya korban jiwa dalam pagelaran musik
tidak kembali terulang di kemudian hari.
Sebagaimana dilansir media, pertunjukan musik yang
diadakan di Gedung Asia-Africa Culture Centre (AACC) itu sendiri
secara keseluruhan sebenarnya berjalan lancar. Artinya bukan
karena irama musik yang menghentak penuh luapan emosi yang
menjadi biang penyebab tragedi. Adapun adegan slam dance di
tengah gemuruh musik yang ditayangkan berbagai media adalah
hal yang lumrah dilakukan dalam sebuah konser musik metal yang
tak ada urusannya dengan kebencian dan kekerasan. Jatuhnya
korban justeru dimulai ketika pertunjukan hampir usai dimana
beberapa penonton mulai jatuh pingsan yang membuat petugas
membuka pintu keluar. Pada saat itulah penonton dari dalam
yang berusaha keluar berdesakan dengan massa yang hendak
masuk mengakibatkan pintu menjadi rusak parah dan sejumlah
penonton terinjak-injak. Permasalahannya, apa yang membuat
mereka pingsan? Desas-desus mengenai pembagian minuman
keras menjelang berakhirnya konser menjadi salah satu isu yang
menghangat dalam perisiwa tersebut. Spekulasi ini tentu saja
masih perlu diuji kesahihannya. Lagipula, terlepas dari perdebatan
moral mengenainya, konsumsi minuman keras secara umum tidak
mengakibatkan kematian pada manusia.
Alih-alih semata semata menyalahkan penonton dan panitia,
tulisan ini lebih melihat kondisi gedung pertunjukan yang tidak
memiliki kapasitas untuk dijadikan sebuah ajang musik metal
terlebih dalam jumlah penonton yang besar. Gedung AACC hanya
berkapasitas 700 orang (beberapa media menyebut 400 orang)
sementara manakala peristiwa itu terjadi banyak pihak percaya
gedung itu dijejali lebih dari 1000 orang. Desain gedung yang
cenderung tertutup mungkin sesuai digunakan untuk pagelaran
musik klasik atau pop, namun tak mencukupi kebutuhan penonton

220
Manunggal K Wardaya

musik metal yang terkonsentrasi dalam jumlah besar dengan


kebutuhan ruang gerak yang khusus pula. Cadangan oksigen yang
menipis karena dihirup sekian banyak orang ditambah kepulan
asap rokok membuat para penonton yang kelelahan baik karena
slam dance maupun karena kondisi ruangan seperti berada
dalam perangkap yang mematikan, hingga terjadilah peristiwa
memilukan itu.
Kota Bandung bagi komunitas musik bawah tanah telah
menjadi ibukota metal Indonesia. Di kota ini, puluhan bahkan
mungkin ratusan grup beraliran metal muncul atau memulai
karirnya. Tak sedikit kelompok musik dari kota ini yang telah
go international, dengan merilis album di benua Eropa, Asia
maupun Amerika, yang kesemuanya bisa dikatakan nir liputan
media. Di kota ini pulalah, berbagai band di Indonesia menjajal
kemampuannya untuk eksis dalam percaturan musik metal.
Namun adakah wadah yang representatif bagi para seniman musik
metal untuk berkreasi dan berekspresi sekaligus ruang bagi warga
untuk mengapresiasi musik? Pada masa lalu, Bandung pernah
memiliki GOR Saparua yang sempat menjadi kebanggaan para
musisi Bandung namun GOR itu kini tak lagi dapat dipergunakan
untuk kegiatan musik. Bisa jadi, panitia penyelenggara even tidak
mempunyai pilihan lain ketika hendak memilih acara tersebut.
Penulis penah menyaksikan gelaran group thrashmetal
dunia Sepultura pada 1992 di Surabaya yang dipadati tak kurang
dari 100.000 orang. Penonton telah berjejalan di depan stadion
Tambaksari bahkan sejak siang hari, jauh sebelum pertunjukan inti
yang dibuka pada sekira pukul 9 malam. Ketika Sepultura memulai
aksinya, puluhan ribu penonton menggelar aksi headbang, slam
dance tanpa ada kerusuhan atau keributan berarti. Mereka yang
telah lelah atau tak mau melakukan slam dance cukup mundur
dan menyaksikan dari deretan belakang, atau duduk di tribun
stadion. Seingat penulis, ada seorang ibu dalam keadaan hamil tua

221
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

menonton pertunjukan tersebut tepat di depan panggung dengan


didampingi sang suami, namun tak satu pun korban nyawa jatuh
di pertunjukan tersebut hingga pertunjukan usai. Konser yang
digelar di panggung terbuka dengan ruang gerak yang memadai tak
mengakibatkan penonton menjadi lemas karena kehabisan oksigen
ataupun berdesak-desakan. Sejumlah tentara yang berjaga-jaga
baik di depan panggung maupun di sekitar pintu keluar memaksa
penonton keluar dengan tertib. Konser Sepultura di Stadion
Tambaksari Surabaya tercatat sebagai salah satu pertunjukan
paling fenomenal tidak saja bagi group yang masih bertahan di era
2000-an tersebut, namun pula dalam sejarah pertunjukan musik
di Indonesia.
Dari uraian di atas, ada hal yang hendak digarisbawahi oleh
tulisan ini. Bahwa kematian penonton sesungguhnyalah sama
sekali tak ada urusannya dengan aliran musik yang diusung.
Jatuhnya korban nyawa seperti yang terjadi pada pertunjukan
musik Ungu, Sheila On 7, Gigi, Beside, bahkan The Rolling Stones
sekalipun lebih kepada faktor kelayakan dan teknis pengamanan
situs pertunjukan. Pada titik kesadaran ini, menjadi relevan untuk
dipertanyakan seberapa besar sebenarnya perhatian pemerintah
pada dunia seni khususnya seni pertunjukan? Berapa banyak
kota di Indonesia yang mempunyai semacam concert hall yang
memadai baik dari segi daya tampung, akustik gedung, maupun
keselamatannya? Begitu banyak uang rakyat digelontorkan untuk
membiayai kesebelasan sepakbola dan segala hal yang berkaita
dengan olahraga, namun mengapa hal yang sama tidak diberikan
pada kesenian? Keprihatinan kalangan seniman bahwa olah
raga lebih mendapat perhatian ketimbang olah rasa nampaknya
menemukan kebenarannya dalam peristiwa pahit yang disebut-
sebut sebagai “konser maut” itu.
Selang beberapa hari setelah kejadian, otoritas setempat
meminta pengelola AACC untuk lebih selektif dalam memilih

222
Manunggal K Wardaya

penyewa. Himbauan ini tentu baik agar kali lain sebelum


menyewakan gedung, pengelola mempelajari untuk keperluan
apakah gedung tersebut hendak disewa sehingga bisa lebih cermat
dalam mengkalkulasi segala risiko yang mungkin terjadi. Namun
jika himbauan itu dimaksudkan sebagai sebagai seleksi atas aliran
musik tertentu, maka kemanakah lagi kegiatan berkesenian musisi
metal Bandung hendak dicurahkan? Sama halnya dengan format
kesenian lain, dalam musik metal pula terdapat dedikasi tinggi
terhadap seni. Jika toh musik ini tidak bisa dinikmati oleh sebagian
orang, tidaklah kemudian menjadi justifikasi untuk melakukan
pelarangan dan pemberangusan terhadapnya

223
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

44. BUDAYA HUKUM DALAM


FENOMENA HELM STANDAR

J
angan coba-coba memakai helm kupluk di Purwokerto, pasti
ditilang!. Hal demikian kerap disampaikan warga Purwokerto
kepada kawan, maupun sanak saudara dari daerah lain yang
hendak berkunjung atau sekedar melintasi Purwokerto. Nasihat
seperti itu bisa dimengerti, karena setidaknya dalam satu dasawarsa
terakhir, penggunaan helm kupluk atau helm yang ‘tidak standar’
lainnya menjadi sesuatu yang punishable. Kendati definisi helm
standar bisa jadi dapat diperdebatkan, akan tetapi di lapangan
hampir-hampir tak ditemui pengendara sepedamotor yang hanya
mengenakan helm kupluk, helm bathok ataupun helm proyek.
Kalau di wilayah hukum lain pengendara sepedamotor lebih
bebas menggunakan helm kupluk, maka jangankan pengendara, di
Purwokerto para pedagang helm tidak menjual helm kupluk yang
tak menutup hingga ke wilayah telinga ini.
Purwokerto meneguhkan diri sebagai daerah percontohan
tertib lalu lintas, dimana masyarakat di daerah lain yang
berkunjung di kota ini akan meniru perilaku hukum warganya
dalam berlalulintas. Alih-alih merasa iri dah meri pada warga
wilayah hukum lain yang masih bisa bebas berhelm kupluk, warga

224
Manunggal K Wardaya

Purwokerto dan Banyumas seolah memberi suluhan dan nasihat


pda warga lain agar memakai helm standar demi keselamatan
pengendara itu sendiri.
Apa yang terjadi di Purwokerto adalah refleksi betapa tegaknya
hukum dapat terjadi karena dua faktor utama yakni penegakan
yang konsisten, dan institusionalisasi hukum dalam kesadaran
masyarakat. Pada awal kebijakan helm standar ini diberlakukan,
amat banyak masyarakat yang terbiasa menggunakan helm kupluk
mengeluh. Selain karena terpaksa mengganti helm mereka yang
ala kadarnya dengan helm standar yang relatif lebih mahal (kalau
tak mau terus menerus kena tilang), helm standar pada awalnya
dirasakan kurang pas bagi sementara kalangan anak muda. Belum
lagi keluhan gatal pada kulit kepala yang dikhawatirkan terutama
kaum perempuan dan kurang praktisnya pemakaian helm standar,
jika dibandingkan dengan helm kupluk.
Akan tetapi lambat laun, seiring dengan berjalannya waktu,
masyarakat menjadi terbiasa dan nyaman memakai helm standar.
Helm kupluk yang asal pakai menjadi ditinggalkan. Masyarakat
tak lagi mau mengenakan helm yang pemakaiannya asal tempel
ini, karena dirasakan tak aman jika sampai terjadi kecelakaan yang
mengakibatkan benturan pada kepala. Tak ada keterpaksaan lagi
di hati masyarakat. Hukum telah membudaya! Norma hukum
dipatuhi bukan lagi karena ada ancaman sanksi (yang tentulah
tidak enak rasanya) namun lebih karena masyarakat merasa
secure, rasa aman mana kebetulan saja selaras dengan apa yang
diperintahkan hukum.
Budaya hukum yang tercipta seperti dalam penggunaan helm
standar di atas sebenarnyalah contoh teramat baik jika kita hendak
membicarakan penegakan hukum dan kepatuhan masyarakat atas
hukum. Hukum tegak karena aparat profesional menegakkannya.
Elemen politis dalam penegakan helm kupluk memang relatif
kecil, namun justeru hal itu dapat menjadi standar agar aparat

225
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

semakin profesional dalam mensikapi pelbagai permasalahan


hukum yang lain. Fenomena tak lagi dipakainya helm kupluk
menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat terhadap hukum
ternyata bisa tercipta bukan semata karena adanya ancaman
nestapa yang ditetapkan undang-undang (pidana), namun lebih
karena masyarakat telah merasakannya sebagai kebutuhan.
Dalam penegakan hukum, aparat dituntut tegas, teguh, dan
mempunyai profesionalitas yang tinggi serta tidak berkompromi
dengan pelanggaran hukum. Jika sampai aparat itu sendiri
tidak mematuhi hukum dan bahkan bermain mata dengan para
lawbreakers, pada gilirannya nanti masyarakat akan kembali
terbudaya pula untuk tidak mematuhi hukum. Alih-alih menjadi
sesuatu yang dipatuhi karena dibutuhkan, apa yang disebut hukum
itu, entah dalam forma larangan judi, minuman keras, terrorisme
atau apapun, bisa jadi nantinya akan berubah menjadi sekedar
ancaman-ancaman tertulis yang selalu saja negotiable. Hukum
semacam itu akan kehilangan maknanya karena pelanggaran
terhadapnya menemukan pembenarannya secara de-facto
ditambah tiadanya sanksi yang mengena dan menjera bagi sesiapa
saja pelanggarnya.

Dimuat dalam Harian Kompas Jawa Tengah


24 Agustus 2010

226
Manunggal K Wardaya

45. MELAWAN KEJAHATAN


BERTEKNOLOGI

I
novasi di bidang teknologi informasi telah membuat manusia
menjadi semakin terhubung satu sama lain dengan mudah lagi
murah. Jarak geografis dan berbagai penghalang konvensional
lainnya yang pernah menjadi penghalang kini menjadi kian tidak
berarti. Namun perkembangan di bidang teknologi informasi
telah pula memberi peluang baru bagi sebagian manusia untuk
berbuat jahat, salah satunya adalah penipuan via SMS (short
messages service) sebagaimana kini makin marak terjadi di tanah
air. Mengaku-aku sebagai pejabat, panitia undian maupun posisi
lainnya yang ‘mentereng’, pelaku mengirim pesan pendek ke  nomor
telepon seluler calon korban (yang bisa didapatkan secara acak)
yang pada intinya meminta transfer sejumlah uang atau pulsa.
Setelah korban melakukan pengiriman, barulah disadari bahwa
nomor telpon tersebut adalah nomor penipu. Diduga banyak yang
‘termakan’ SMS model begini dan kerugian yang diderita korban
konon mencapai puluhan juta rupiah.
Dalam kasus SMS yang sekedar meminta pulsa, jumlah
kerugian yang relatif kecil barangkali tak membuat korban begitu
menderita dan akan dianggap sebagai keapesan belaka. Namun

227
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

dalam penipuan yang melibatkan uang dalam jumlah besar seperti,


penyesalan dan bahkan isak tangis tiada berkesudahanlah yang
akan terjadi. Uniknya, jika korban tergolong kalangan mampu,
terdidik, dan terhormat biasanya akan enggan melaporkan
peristiwa yang menimpanya tersebut kepada polisi. Rasa malu
akan diketahui kebodohannya membuat angka kejahatan yang
tercatat terkait kasus ini jauh dari realitas yang sebenarnya terjadi.
Juga besaran kerugian yang tak terlalu besar dalam kasus penipuan
pulsa membuat orang enggan untuk menempuh jalur hukum.
Mengapa korban begitu naif dengan secara serta merta
mempercayai informasi yang belum tentu kebenarannya melalui
SMS? Mengapa di tengah derasnya berita mengenai penipuan entah
itu yang berkedok yayasan, surat pemberitahuan sebagai pemenang
undian, tawaran menjadi jutawan mendadak, seseorang tetap
dapat dengan mudah ditipu melalui pesan SMS? Tak lain karena
harapan besar akan didapatnya keuntungan yang relatif singkat
telah begitu ampuhnya melemahkan kemampuan korban untuk
melakukan tindakan penghati-hati. Keuntungan di sini tentu saja
tidak melulu harus dimaknai dalam bentuk uang, akan tetapi juga
fasilitas, promosi jabatan, kesempatan berkarir, maupun hal-hal
lainnya yang menyenangkan.  Terbuai oleh mimpi itu, ekspektasi
yang begitu besar membuat korban lalai untuk melakukan langkah
antisipasi dan penghati-hati. Dalam banyak kasus, tindakan korban
yang tidak mendasarkan pada akal sehat, tanpa kehati-hatian, dan
kewaspadaan berkontrubusi besar terhadap keberhasilan pelaku
dalam melakukan aksinya.
SMS tidak saja memudahkan orang untuk berkomunikasi,
kemudahan mana dimanfaatkan dengan baik oleh para penjahat
dalam mencari mangsa dengan metode trial and error. Jika satu
calon korban lolos, ia akan mencari nomor lain yang siapa tahu
adalah mangsa yang teledor dan mudah terninabobok dengan
mimpi akan harta dan kenikmatan lainnya. Demi mengamankan

228
Manunggal K Wardaya

diri dari kejaran hukum, pelaku akan secara teratur mengganti


nomor kartu telponnya yang tak saja begitu mudah dilakukan
namun pula amat murah didapat. Kendati secara ilmu pengetahuan
tak mustahil untuk dilacak termasuk dengan menelusuri identitas
pemilik rekening bank, absennya penegakan hukum atas kejahatan
seperti ini menjadikan penipuan melalui SMS relatif beresiko
kecil  akan terjerat hukum ketimbang kejahatan konvensional
seperti  penjambretan misalnya. Sudah saatnya aparat penegak
hukum terutama di daerah secara serius melakukan pengusutan
kasus penipuan melalui SMS dan berbagai macam kejahatan
yang memanfaatkan teknologi lainnya hingga tuntas. Kasus
sebagaimana terjadi baru-baru ini di Salatiga   dimana pimpinan
kepolisian dicatut namanya seharusnya dijadikan tantangan untuk
menumpas kejahatan ini agar masyarakat merasa terayomi. Jika
tidak dan bahkan dibiarkan begitu saja, maka kejahatan seperti
ini dipastikan akan terus meningkat sekaligus menguatkan
asumsi bahwa penegak hukum kita memang hanya dipersiapkan
untuk menangani kejahatan-kejahatan konvensional dan tak
berdaya manakala menghadapi kejahatan-kejahatan canggih yang
melibatkan teknologi.

Dimuat di Harian Satelit Pos 26 Maret 2012

229
KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

TENTANG PENULIS

Manunggal K. Wardaya dilahirkan


di Surakarta pada 24 Maret 1975.
Menyelesaikan Sekolah Menengah Atas
di SMA N 1 Purwokerto pada 1993,
di tahun yang sama ia melanjutkan
studi pada Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman (UNSOED)
Purwokerto. Semasa mahasiswa aktif
dalam penerbitan kampus dan menjadi
Pemimpin Redaksi Majalah Mahasiswa
Pro Justitia (1997). Berbekal skill jurnalistik itu ia menapaki karir
sebagai jurnalis dan juga dosen di sebuah perguruan tinggi swasta
setelah meraih Sarjana Hukum pada 1998. Pada 2004 Manunggal
meraih beasiswa Australian Development Scholarship yang
membawanya kemudian meraih gelar LL.M (International &
Comparative Law) dari Monash University, Melbourne, Australia
pada 2005. Sejak 2007 ia kembali ke almamaternya Fakultas
Hukum UNSOED mengajar antaranya Hukum Tata Negara
dan Hukum Hak Asasi Manusia. Pada 2009 ia meraih beasiswa
StuNed dari Pemerintah Belanda untuk mengikuti short course
mengenai Globalization, Labour Rights and Corporate Social
Responsibility di Institute of Social Studies, Den Haag, Negeri
Belanda. Ketika buku ini terbit ia menempuh studi doktoral di
Radboud Universiteit, Nijmegen, Belanda.
Manunggal bisa dihubungi melalui surat elektronik pada
manunggal.wardaya@gmail.com

230

Anda mungkin juga menyukai