Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN RDS/HMD

Dosen Pembimbing :

Ns. Ernawati, M.Kep.Sp.Kep.An

Shilvi Nursavitri (181080)

Tingkat III C

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RS HUSADA

Jl. Mangga Besar Raya No. 137 – 139 No.13, Jakarta Pusat

2020
BAB I

TINJAUAN TEORI

1.1. Definisi
Sindrom gawat napas pada neonatus (SGNN), dalam bahasa Inggris disebut
neonatal respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang terdiri
dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali per menit;
sianosis; merintih waktu ekspirasi (expiratory grunting); dan retraksi di daerah
epigastrium, suprasternal, intekostal pada saat inspirasi. Bila di dengar dengan
stetoskop akan terdengar penurunan masukan udara dalam paru.
Istilah SGNN merupakan istilah umum yang menunjukkan terdapatnya kumpulan
gejala tersebut pada neonatus. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya kelainan di
dalam atau di luar paru. Beberapa kelainan paru yang menunjukkan sindrom ini adalah
pneumotoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH), pneumonia
aspirasi, dan sindrom Wilson-mikity (Ngastiyah, 2005).
Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem
pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai
Hyaline Membrane Disesae (Suryadi dan Yuliani, 2001).

1.2. Etiologi
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik dengan
usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu. Semakin
tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan,
semakin rendah kejadian RDS (Asrining Surasmi, dkk, 2003).
PMH ini 60-80% terjadi pada bayi yang umur kehamilannya kurang dari 28
minggu, 15-30% pada bayi antara 32 dan 36 minggu, sekitar 5% pada bayi yang lebih
dari 37 minggu dan jarang pada bayi cukup bulan. Kenaikan frekuensi dihubungkan
dengan bayi dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu,
kehamilan multi janin, persalinan seksio sesaria, persalinan cepat, asfiksia, stress dingin
dan adanya riwayat bahwa bayi sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada bayi
preterm laki-laki atau kulit putih (Nelson, 1999).
1.3. Manifestasi Klinis
Penyakit membran hialin ini mungkin terjadi pada bayi prematur dengan berat
badan 100-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi
dengan berat badan lebih dari 2500 gram. Sering disertai dengan riwayat asfiksia pada
waktu lahir atau tanda gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernapasan
mulai tampak dalam 6-8 jam pertama. Setelah lahir dan gejala yang karakteristik mulai
terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada
akhir minggu pertama.
Gangguan pernapasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi
paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnea
atau hiperpneu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun dan karena pirau vena-arteri
dalam paru atau jantung, retraksi suprasternal, epigastrium, interkostal dan respiratory
grunting. Selain tanda gangguan pernapasan, ditemukan gejala lain misalnya
bradikardia (sering ditemukan pada penderita penyakit membran hialin berat),
hipotensi, kardiomegali, pitting oedema terutama di daerah dorsal tangan/kaki,
hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi
komplikasi (Staf Pengajar IKA, FKUI, 1985).

1.4. Patofisiologi dan Pathways


Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk
berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis
dalam terjadi RDS, ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut disebabkan oleh
kekurangan atau tidak adanya surfaktan.
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus
sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu menahan sisa udara
fungsional/kapasitas residu fungsional (Ilmu Kesehatan Anak, 1985). Surfaktan juga
menyebabkan ekspansi yang merata dan menjaga ekspansi paru pada tekanan
intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan
menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi.
Bila surfaktan tidak ada, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang.
Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap
hembusan napas (ekspirasi) sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan
negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat.
Akibatnya, setiap kali bernapas menjadi sukar seperti saat pertama kali bernapas (saat
kelahiran). Sebagai akibat, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk
menghasilkan energi ini daripada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan.
Dengan meningkatnya kelelahan, bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya.
Ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan
atelaktasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmomary vascular
resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paaru normal. Akibatnya,
terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di
samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi darah
janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale.
Kolaps baru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan ventilasi pulmonal yang
menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah konstriksin vaskularisasi pulmonal
yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menybabkan
metabolismeanareobik.
RDS atau sindrom gangguan pernapasan adalah penyakit yang dapat sembuh
sendiri dan mengikuti masa deteriorasi (kurang lebih 48 jam) dan jika tidak ada
komplikasi paru akan membaik dalam 72 jam. Proses perbaikan ini, terutama dikaitkan
dengan meningkatkan produksi dan ketersediaan materi surfaktan.
Pathways
Bayi lahir prematur

Inadekuat Surfaktan Lapisan lemak belum


Terbentuk pada kulit
Alveolus kolaps
Resiko gangguan
Ventilasi berkurang hipoksia Termoregulasi:
hipotermia
Peningkatan usaha Cedera paru
Nafas Pembentukan membran
Edema hialin
Takipnea
Pertukaran gas Mengendap di alveoli
Pola nafas terganggu
tidak efektif

Refleks hisap Penguapan meningkat


menurun
Resiko kekurangan
Intake tidak volume cairan
adekuat

Kekurangan nutrisi

1.5. Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat RDS yaitu antara lain :
a. Ruptur Alveoli
Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum,
pneumopericardium, emfisema intersisiel), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba
memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya
asidosis yang menetap.
b. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan trombositopeni. Infeksi dapat timbul karena
tindakan invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat respirasi.
c. Perdarahan intrakranial dan leukomalasia periventrikular.
Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
d. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi
dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya

Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :


a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi
dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan
tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya
infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan
menurunnya masa gestasi.
b. Retinopathy Prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan
masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

1.6. Penunjang/diagnostik
1) Seri rontgen dada, untuk melihat densitas atelektasis dan elevasi diaphragma
dengan overdistensi duktus alveolar.
2) Bronchogram udara, untuk menentukan ventilasi jalan nafas.
3) Data laboratorium
 Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan bahan cairan amnion
(untuk janin yang mempunyai predisposisi RDS)
 Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih mengindikasikan maturitas paru
 Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
 Tingkat phospatydylinositol
 AGD : PaO2< 50 mmHg, PaCO2> 50 mmHg, saturasi oksigen 92%-94%, pH
7,3-7,45.
 Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release potassium dari sel
alveolar yang rusak
1.7. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medik tindakan yang perlu dilakukan
a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan
agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara meletakkan bayi dalam
inkubator. Kelembaban ruangan juga harus adekuat (70-80%).
b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena
berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O 2 yang terlalu
banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti : fibrosis paru, kerusakan retina
(fibroplasias retrolental), dll.
c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan
homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-
10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125
ml/kg BB/hari. asidosis metabolik yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi
dengan memberikan NaHCO3 secara intravena.
d. Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik untuk
mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-
100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan atau tanpa
gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari.
e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan
eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun harganya amat
mahal.
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, tanggal
pengkajian.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat maternal
Menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi seperti perdarahan plasenta,
tipe dan lamanya persalinan, stress fetal atau intrapartus.
b. Status infant saat lahir
Prematur, umur kehamilan, apgar score (apakah terjadi asfiksia), bayi lahir melalui
operasi caesar.
3. Data dasar pengkajian
a. Cardiovaskuler
 Bradikardia (< 100 x/i) dengan hipoksemia berat
 Murmur sistolik
 Denyut jantung DBN
b. Integumen
 Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
 Pitting edema pada tangan dan kaki
 Mottling
c. Neurologis
 Immobilitas, kelemahan
 Penurunan suhu tubuh
d. Pulmonary
 Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)
 Nafas grunting
 Pernapasan cuping hidung
 Pernapasan dangkal
 Retraksi suprasternal dan substernal
 Sianosis
 Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
e. Status behavioral
 Letargi

2.2. Diagnosa Keperawatan


a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas neurologis (defisiensi
surfaktan dan ketidakstabilan alveolar)
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-
alveolar
c. Resiko gangguan termoregulasi : hipotermia berhubungan dengan berada di
lingkungan yang dingin
d. Kekurangan nutrisi berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi

2.3. Perencanaan Keperawatan


a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas neurologis (defisiensi
surfaktan dan ketidakstabilan alveolar)
Tujuan yang diharapkan : Pola nafas kembali efektif
Kriteria Hasil :
1) Pengembangan dada simetris
2) Irama pernapasan teratur
3) Bernapas mudah
4) Tidak ada suara nafas tambahan

Rencana Tindakan

Intervensi Rasional

Monitor kecepatan, irama, Mengetahui apakah ada


kedalaman dan upaya nafas gangguan dalam bernafas

Monitor pergerakan, Mengetahui kemampuan


kesimetrisan dada, retraksi dada bernafas klien
dan alat bantu pernafasan

Posisikan klien untuk Klien merasa nyaman


memaksimalkan ventilasi dan
mengurangi dispnea

Berikan oksigen sesuai program Mempertahankan oksigen arteri

Alat-alat emergensi disiapkan Kemungkinan terjadi kesulitan


dalam keadaan baik bernapas akut

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolar


Tujuan yang diharapkan : pertukaran gas kembali normal
Kriteria hasil :
1) Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenisasi jaringan adekuat dengan
GDA  dalam  rentang normal.
2) Bebas dari gejala distres pernafasan.

Rencana Tindakan :

Intervensi Rasional

Pantau dispnea, takipnea, bunyi Data dasar untuk menentukan


napas, peningkatan upaya intervensi lebih lanjut
pernapasan, ekspansi, paru, dan
kelemahan

Monitor intake dan output Menjaga keseimbangan cairan


cairan

Jaga alat emergensi dan Persiapan emergensi terjadinya


pengobatan tetap tersedia seperti masalah akut pernafasan
ambu bag, ET tube, suction,
oksigen
Batasi pengunjung Mengurangi tingkat kecemasan
c. Resiko gangguan termoregulasi : hipotermia berhubungan dengan berada di
lingkungan yang dingin
Tujuan yang diharapkan : Hipotermia dapat teratasi
Kriteria hasil :
1) Suhu axila 36-37˚C
2) RR : 30-60 X/menit
3) Warna kulit merah muda
4) Tidak ada distress respirasi
5) Tidak menggigil
6) Bayi tidak gelisah
7) Bayi  tidak letargi

Rencana Tindakan :
Intervensi Rasional
Monitor gejala dari hopotermia : Data dasar dalam menentukan
fatigue, lemah, apatis, perubahan intervensi
warna kulit

Monitor status pernafasan Mengetahui adanya gangguan


pernafasan

Pindahkan bayi dari lingkungan Menaikkan suhu tubuh bayi


yang dingin ke dalam
lingkungan / tempat yang hangat
(didalam inkubator atau lampu
sorot)

Segera ganti pakaian bayi yang Pakaian yang dingin dan basah
dingin dan basah dengan pakaian akan membuat bayi
yang hangat dan kering, berikan memperburuk kondisi bayi
selimut.
d. Kekurangan nutrisi berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
Tujuan : Nutrisi dapat tercukupi
Kriteria hasil :
1) Tidak terjadi penurunan BB > 15 %.
2) Bayi tidak muntah
3) Bayi dapat minum dengan baik

Rencana Tindakan :
Intervensi Rasional
Observasi reflek menghisap dan Mengetahui apakah ada
menelan bayi. gangguan dalam menghisap dan
menelan bayi

Observasi intake dan output. Mengetahui status nutrisi bayi

Berikan cairan IV dengan Memenuhi kebutuhan kalori


kandungan glukosa sesuai bayi
kebutuhan  neonates

Rujuk kepada ahli diet untuk Menentukan diet yang tepat bagi
membantu memilih cairan yang bayi
dapat memenuhi kebutuhan gizi

e. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme


regulasi
Tujuan yang diharapkan : Resiko kekurangan volume cairan tidak terjadi
Kriteria hasil :

1) Turgor pada perut bagian depan kenyal, tidak ada edema, membranmukosa
lembab, intake cairan sesuai dengan usia dan BB.

2) Output urin 1-2 ml/kg BB/jam, ubun-ubun datar, elektrolit darah dalam batas
normal.
Rencana Tindakan :
Intervensi Rasional
Observasi suhu dan nadi. Mengetahui adanya indikasi
kekurangan volume cairan

Observasi adanya tanda-tanda Menentukan intervensi lebih


dehidrasi atau overhidrasi. lanjut

Berikan terapi intravena sesuai Mempertahankan keseimbangan


dengan anjuran dan berikan cairan
dosis pemeliharaan, selain itu
berikan pula tindakan-tindakan
pencegahan

Cairan membantu distribusi


Berikan susu dan cairan
obat-obatan dalam tubuh serta
intravena sesuai kebutuhan
membantu menurunkan demam.
Cairan bening membantu
menambahkan kalori serta
menanggulangi kehilangan BB
DAFTAR PUSTAKA

Nelson. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Buku Kuliah 3. Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI.

Suriadi dan Yuliani, R. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1. Jakarta :
CV Sagung Seto

Anda mungkin juga menyukai