Anda di halaman 1dari 15

1.

Perjuangan Rakyat Tanjungbatu Melawan Penjajah


Tanjungbatu Kota (Kecamatan Kundur), karimun, Kepulauan Riau pada zaman kolonial
Belanda yang pada masa itu merupakan desa yang tertua adalah desa Alai yang merupakan
suatu perkampungan. 
Pada zaman penjajahan Belanda sistem pemerintahan kecamatan Kundur dipimpin oleh
seorang Amir, setelah menjadi Kecamatan di Tanjungbatu Kota dipimpin oleh seorang Camat
dengan penyelenggaraan pemerintahan secara berperiode.
Konon, berdasarkan cerita rakyat yang berkembang, asal mula nama Tanjungbatu adalah
karena tumbuhnya sebuah bunga yaitu Bunga Tanjung di atas sebuah batu.

Pada abad ke-16, kekuasaan asing mulai masuk ke Indonesia dimulai dari Portugis, Spanyol
lalu Belanda. Di sebagian wilayah Indonesia, semua areal perkebunan dikuasai oleh Belanda.
Ttapi hal itu tidak terjadi di Tanjungbatu. 

Pada awal abad ke-19, berdirilah sebuah pabrik yang dipegang oleh seorang yang
berkebangsaan Jepang. Bernama Yamamoto, dengan diberi nama Nan Koko Gungu Kaisa. 

Kebun Yamamoto ini sangat luas, kebun karetnya hingga 6 hektar, kebun pinangnya sebesar
Kebun Pinang dan Tanjung Sari (sekarang).

Dalam satu bulan karet dan pinang yang di dapat mencapai 80 ton. Oleh karena itu untuk
mempermudah angkutan maka di bangunlah sebuah parit yang sekarang bernama Parit Jepon.

Pada waktu itu penduduk pribumi diperbolehkan sekolah, sekolahnya hanya 3 kelas dan
berada di sebuah Masjid. 

Kemudian di pindahkan kekawasan pabrik tepatnya di belakangnya. Gurunya waktu itu


bernama Bakar, Simon dan Sinaga. 
Mata uang yang digunakan adalah Dollar Singapura, oleh karena Yamamoto hanya sendiri
yang bukan penduduk pri bumi maka keadaan pada waktu itu sangat aman.
Tapi ketentraman tidak berlangsung lama, pada tahun 1941 pangkalan AL Amerika di bom
oleh Jepang. Akibatnya Yamamoto kembali ke Jepang dengan alasan ketentaraan dan Nan
Koko Gungu Kaisa ditutup. 
Pada tanggal 8 Maret 1942 pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang. Hal ini menjadi awal dari penjajahan Jepang di Indonesia. 

Kemenangan Jepang ini membuat Yamamoto kembali ke Tanjungbatu dan ia mendirikan


pabrik lagi dengan nama baru, Nan Yo Kabu Kusi Kisa. pada waktu itu tentara Jepang
banyak yang datang ke Tanjungbatu, mereka datang dengan menggunakan kapal yang
bernama Mayang Betawi.
2.Perlawanan Rakyat Maluku Terhadap VOC (Perlawanan Pattimura)
1. Sebab-sebab Perlawanan
Kedatangan Belanda kembali ke Maluku menyebabkan rakyat Maluku gelisah. Mereka
membayaangkan penderitaan pada zaman VOC. Pemerintah Hindia Belanda menindas rakyat
Maluku. Rakyat Maluku diharuskan menyerahkan ikan asin, dendeng, dan kopi. Mereka juga
dipaksa bekerja rodi menebang kayu di hutan, membuat garam, dan membuka perkebunan
pala. Dan Benteng Duurstede di Saparua diduduki oleh pasukan Belanda.

2. Proses Perlawanan
Perlawanan dipimpin oleh Thomas Matulesi atau lebih dikenal dengan nama Pattimura.
Pemimpin-pemimpin lainnya ialah Anthonie Rhebok, Said Perintah, Lucas Latumahina,
Thomas Pattiwael, dan Ulupaha. Namun juga terdapat seorang putri bernama Christina
Martha Tiahahu. Pusat perjuangan berada di Pulau Saparua. Pada malam hari tanggal 15 Mei
1817, rakyat mulai bergerak.

Mereka mulai membakari kapal-kapal Belanda yang ada di pelabuhan Porto. Kemudian
pasukan Pattimura mulai mengepung Benteng Duurstede. Residen Van den Berg yang ada
dalam Benteng Duurstede ditembak mati. Keesokan harinya, tanggal 6 Mei 1817, pasukan
Pattimura berhasil merebut dan menduduki Benteng Duurstede.

Dari Saparua, perlawanan menjalar ke pulau-pulau lain. haruku, Seram, Larike, Uring,
Asilulu, dan Wakasihu. Pada tanggal 19 Mei 1817, Pemerintah Belanda mendatangkan
pasukan bantuan dari Ambon ke Haruku. Mereka bermarkas di Benteng Zeelandia. Tetapi
Raja Haruku dan raja-raja daerah sekitarnya telah siap menghadapinya. Rakyat Haruku dan
raja-raja di daerah sekitarnya dikerahkan menyerang benteng Zeelandia.

Dengan menerobos pengepungan rakyat, pasukan Belanda terus maju dari Haruku ke
Saparua. Maka di Saparua berkobar pertempuran sengit. Prajurit-prajurit Belanda banyak
yang tewas, termasuk diantaranya terdapat beberapa orang perwira. Kemenangan Pattimura
di Saparua membakar semangat perjuangan di daerah-daerah lain. Maka berkobarlah
perlawanan umum di seluruh Maluku.

Pada awal bulan Juli 1817, Kolonial Belanda mendatangkan


kembali pasukan bantuan ke Saparua. Mereka berusaha
merebut Benteng Duurstede, tetapi tidak berhasil. Kemudian
Belanda mengajak para pemimpin Maluku untuk berunding.
Perundingan tersebut juga tidak membawa hasil. Pertempuran
pun berkobar lagi.

Pada akhir Juli 1817, Belanda mendatangkan pasukan


bantuan ke Saparua kembali. Belanda mengerahkan kapal-
kapalnya.

Dan mulai melepaskan tembakan meriam dengan gencar ke arah Benteng Duurstede, yang
masih diduduki oleh pasukkan Pattimura. Sementara itu, pasukan-pasukan Belanda terus
menerus didatangkan, membanjiri Saparua. Akhirnya pada bulan Agustus 1817, Benteng
Duurstede dapat direbut oleh Belanda kembali. Tetapi perang belum berakhir. Pasukan
Pattimura melanjutkan kembali perlawanan dengan perang gerilya. Pemerintah Belanda
mengumumkan akan memberi hadiah sebesar 1.000 gulden kepada siapa saja yang dapat
menangkap Pattimura. Dan untuk menangkap pemimpin-pemimpin Maluku lainnya,
Pemerintah Belanda menyediakan 500 gulden tiap seorang pemimpin. Tetapi rakyat Maluku
tidak mau untuk mengkhianati perjuangan bangsanya.

3. Akhir Perlawanan

Belanda tetap berusaha keras untuk menyelesaikan perang dalam waktu singkat. pada bulan
Oktober 1817, pasukan Belanda dikerahkan besar-besaran. Pada suatu pertempuran pada
bulan November 1817, Belanda dapat menangkap Pattimura, Anthonie Rebok, Thomas
Pattiwael, dan Raja Tiow. Beberapa hari kemudian para pemimpin yang lain pun tertangkap.

Akhirnya pada bulan Desember 1817, perlawanan padam. Pada tanggal 16 Desember 1817
Pattimura dihukum gantung di Ambon. Kemudian para pemimpin yang lain juga dihukum
gantung.

3.Sejarah Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Belanda (1873–1904)


Sejarah Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Belanda (1873–1904) - Dari berbagai perlawanan
yang terjadi di Nusantara, tampaknya perlawanan di Aceh merupakan perlawanan yang
menarik dan berlangsung lama.

a. Latar Belakang Perlawanan Rakyat Aceh.

Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak
menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda berambisi untuk
mendudukinya. Sebaliknya, orang-orang Aceh tetap ingin mempertahankan kedaulatannya.
Sampai dengan tahun 1871, Aceh masih mempunyai kebebasan sebagai kerajaan yang
merdeka. 

Situasi ini mulai berubah dengan adanya Traktrat Sumatra (yang


ditandatangani Inggris dengan Belanda pada tanggal 2
November 1871). Isi dari Traktrat Sumatra 1871 itu adalah
pemberian kebebasan bagi Belanda untuk memperluas daerah
kekuasaan di Sumatra, termasuk Aceh. Dengan demikian,
Traktrat Sumatra 1871 jelas merupakan ancaman bagi
Aceh. Karena itu Aceh berusaha untuk memperkuat diri, yakni
mengadakan hubungan dengan Turki, Konsul Italia, bahkan
dengan Konsul Amerika Serikat di Singapura. Tindakan Aceh
ini sangat mengkhawatirkan pihak Belanda karena Belanda tidak
ingin adanya campur tangan dari luar. Belanda memberikan ultimatum, namun Aceh tidak
menghiraukannya. Selanjutnya, pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda memaklumkan perang
kepada Aceh.

b. Jalannya Perlawanan Rakyat Aceh

Sebelum terjadi peperangan, Aceh telah melakukan persiapan-persiapan. Sekitar 3.000 orang
dipersiapkan di sepanjang pantai dan sekitar 4.000 orang pasukan disiapkan di lingkungan
istana. Pada tanggal 5 April 1873, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal
J.H.R. Kohler melakukan penyerangan terhadap Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Pada
tanggal 14 April 1873, Masjid Raya Aceh dapat diduduki oleh pihak Belanda dengan disertai
pengorbanan besar, yakni tewasnya Mayor Jenderal Kohler.

Setelah Masjid Raya Aceh berhasil dikuasai oleh pihak Belanda, maka kekuatan pasukan
Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmuh Syah. Dengan dikuasainya
Masjid Raya Aceh oleh pihak Belanda, banyak mengundang para tokoh dan rakyat untuk
bergabung berjuang melawan Belanda. 

Tampilah tokoh-tokoh seperti Panglima Polim, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta,
Teungku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan isterinya Cut Nyak Dien. Serdadu Belanda kemudian
bergerak untuk menyerang istana kesultanan, dan terjadilah pertempuran di istana kesultanan.
Dengan kekuatan yang besar dan semangat jihad, para pejuang Aceh mampu bertahan,
sehingga Belanda gagal untuk menduduki 

4. Sejarah Perlawanan Rakyat Bali Terhadap Belanda (1846–1905)


Sejarah Perlawanan Rakyat Bali Terhadap Belanda (1846–1905) - Di Bali timbulnya
perlawanan rakyat melawan Belanda, setelah Belanda berulang kali memaksakan
kehendaknya untuk menghapuskan hak tawan karang. Hak tawan karang yakni hak bagi
kerajaan-kerajaan Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaan
kerajaan yang bersangkutan.

Telah berulang kali kapal Belanda hendak dirampas, namun Belanda memprotes dan
mengadakan perjanjian sehingga terbebas. Raja-raja Bali yang pernah diajak berunding ialah
Raja Klungklung dan Raja Badung (1841); Raja Buleleng dan Raja Karangasem (1843).
Akan tetapi, kesemuanya tidak diindahkan sehingga Belanda memutuskan untuk
menggunakan kekerasan dalam usaha menundukkan Bali.

Dalam menghadapi perlawanan rakyat Bali, pihak Belanda


terpaksa mengerahkan ekspedisi militer secara besar-besaran
sebanyak tiga kali. Ekspedisi pertama (1846) dengan
kekuatan 1.700 orang pasukan dan gagal dalam usaha
menundukkan rakyat Bali. 

Ekspedisi kedua (1848) dengan kekuatan yang lebih besar


dari yang pertama dan disambut dengan perlawanan oleh I
Gusti Ktut Jelantik, yang telah mempersiapkan pasukannya di Benteng Jagaraga sehingga
dikenal dengan Perang Jagaraga I. Ekspedisi Belanda ini pun juga berhasil digagalkan.

Kekalahan ekspedisi Belanda baik yang pertama maupun yang kedua, menyebabkan
pemerintah Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi ketiga (1849) dengan kekuatan yang lebih
besar lagi yakni 4.177 orang pasukan, kemudian menimbulkan Perang Jagaraga II. Perang
berlangsung selama dua hari dua malam (tanggal 15 dan 16 April 1849) dan menunjukkan
semangat perjuangan rakyat Bali yang heroik dalam mengusir penjajahan Belanda. 

Dalam pertempuran ini, pihak Belanda mengerahkan pasukan darat dan laut yang terbagi
dalam tiga kolone. Kolone 1 di bawah pimpinan Van Swieten; kolone 2 dipercayakan kepada
La Bron de Vexela, dan kolone 3 dipimpin oleh Poland. Setelah terjadi pertempuran sengit,
akhirnya Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda. Prajurit Bali dan para pemimpin mereka
termasuk I Gusti Jelantik, berhasil meloloskan diri.

Perlawanan rakyat Bali tidaklah padam. Pada tahun 1858, I Nyoman Gempol mengangkat
senjata melawan Belanda, namun berhasil dipukul mundur. Selanjutnya, tahun 1868 terjadi
lagi perlawanan di bawah pimpinan Ida Made Rai, ini pun juga mengalami kegagalan.
Perlawanan masih terus berlanjut dan baru pada awal abad ke-20 (1905), seluruh Bali berada
di bawah kekuasaan Belanda.

5.Perlawanan Rakyat Tapanuli Terhadap Penjajahan Belanda ( 1878 –


1907)
Perlawanan rakyat Tapanuli terhadap penjajahan Belanda (VOC) terjadi pada tahun 1878 -
1907. Sekitar tahun 1873, bangsa Belanda mulai memasuki daerah Tapanuli Utara dengan
alasan memadamkan aktivitas pejuang-pejuang Padri dan para pemimpin dari Aceh yang
banyak melarikan diri ke daerah Tapanuli. Ternyata, Belanda memiliki tujuan lain, yaitu
keinginan untuk menguasai wilayah Sumatera Utara.

Pada tahun 1878, Belanda mulai melancarkan gerakan


militernya untuk menyerang daerah Tapanuli, sampai pada
akhirnya meletuslah Perang Tapanuli. Perang Tapanuli
yang paling sengit itu diawali dengan operasi militer yang
dilakukan oleh Jenderal Van Daalen di pedalaman Aceh
tahun 1903-1904, kemudian dilanjutkan sampai daerah
Tapanuli. Serdadu Belanda yang mulai berdatangan di
daerah Sumatera Utara dibendung oleh rakyat Tapanuli
yang dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII.
Pada tahun 1905, kedudukan Raja Tapanuli semakin terjepit dalam menghadapi operasi
militer Belanda yang datang dari berbagai penjuru seperti dari arah utara (Aceh), barat
(Sibolga), dan selatan (Sumatera Barat). Pada tahun 1907, dalam suatu pertempuran yang
hebat, Raja Sisingamangaraja XII gugur dan seluruh wilayah Tapanuli dikuasai oleh Belanda.

Pada tahun 1904 pasukan Belanda pimpinan Van Daalen dari Aceh Tengah melanjutkan
gerakannya ke Tapanuli Utara dan berhasil mendesak pertahanan Sisingamangaraja XII. Pada
tahun1907 pasukan marsose dipimpin oleh Kapten Hans Christoffel berhasil menangkap
Boru Sagala, isteri Sisingamangaraja XII serta dua orang anaknya, sementara itu ia dan para
pengikutnya menyelamatkan diri ke hutan Simsim. Bujukan agar raja mau menyerah
ditolaknya. Akhirnya dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907 Sisingamangaraja XII gugur
juga Lopian puterinya dan dua orang puteranya yaitu Sutan nagari dan Patuan Anggi.
Jenasahnya dimakamkan di depan markas militer Belanda di Tarutung lalu dipindahkan ke
Balige. Gugurnya Sisingamangaraja XII telah menambah deretan pahlawan perjuangan
kemerdekaan. Perang Tapanuli adalah perang terakhir menghadapi Belanda dengan senjata.
Setahun kemudian perlawanan bangsa Indonesia ditandai dengan munculnya pergerakan
nasional melalui lahirnya Budi Utomo

6.PERLAWANAN DI SUMATERA Barat PERANG PADRI


Perang Padri merupakan salah satu perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia,
khususnya perlawanan rakyat Sumatera dalam menentang
kolonialisme barat. Perang Padri terjadi di tanah
Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun 1821–1837.
Perang ini disebabkan oleh adanya konflik antara para
pembaru Islam (Kaum) Padri yang sedang konfik dengan
kaum Adat. Adanya pertentangan antara kaum Padri dengan
kaum Adat telah menjadi pintu masuk bagi campur tangan
Belanda. Perlu dipahami sekalipun masyarakat Sumatera
Barat sudah memeluk agama Islam, tetapi sebagian
masyarakat masih memegang teguh adat dan kebiasaan yang
kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Padre dari bahasa Portugis untuk menunjuk orang-orang Islam yang berpakaian putih. Hal ini
dikarenakan orang Sumatera Barat baru kembali dari menunaikan ibadah haji (1803). Tokoh
kaum Padri antara lain Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piabang, Tuanku nan Renceh, Dato’
Malim Basa (Imam Bonjol). Sedangkan kaum adat dipimpin oleh Dato’ Sati yang kemudian
meminta bantuan Belanda.

Perang Padri terbagi menjadi beberapa tahap.

Tahap Pertama

Pada fase pertama, dimulai gerakan kaum Padri menyerang pos-pos dan pencegatan terhadap
patroli-patroli Belanda. Pasukan Padri menggunakan senjata-senjata tradisional, seperti
tombak, dan parang. Sedangkan Belanda dan kaum Adat, menggunakan senjata-senjata lebih
lengkap, modern seperti meriam dan senjata api lainnya. Pertempuran ini memakan banyak
korban. Di pihak Tuanku Pasaman (pimpinan perang Padri)  kehilangan 350 orang prajurit,
termasuk putra Tuanku Pasaman. Begitu juga Belanda tidak sedikit kehilangan pasukannya.
Tuanku Pasaman dengan sisa pasukannya kemudian mengundurkan diri ke Lintau dan
melakukan perang Gerilya. Karena merasa kewalahan dalam melawan kaum Padri, maka
Belandamengambil strategi damai. Oleh karena itu, pada tanggal 26 Januari 1824tercapailah
perundingan damai antara Belanda dengan kaum Padri diwilayah Alahan Panjang.
Perundingan ini dikenal dengan Perjanjian Masang.

Tahap Kedua (1825-1830)

Perjanjian Masang diingkari Belanda dengan menduduki tempat-tempat yang dikuasai oleh
kaum Padri. Maka kemudian perlawanan berkobar kembali. Akan tetapi atas bujuk rayu
Belanda kemudian dilakukan perjanjian ulang. Pada tanggal 15 November 1825 diadakan
perjanjian di Padang. Isi Perjanjian Padang itu antara lain :

Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk


Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.

Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang

Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukan
perjalanan

Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.

Perundingan terpaksa dilakukan oleh Belanda dikarenakan tentara Belanda terfokus untuk
menumpas perlawanan dari Pangeran Diponegoro (1825-1830)

Tahap Ketiga (1830-1837)

Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan Belanda
dikonsentrasikan ke Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan kaum Padri. Pada
pertempuran fase ketiga ini kaum Padri mulai mendapatkan simpati dari kaum Adat. Dengan
demikian kekuatan para pejuang di Sumatera Barat akan meningkat. Orang-orang Padri yang
mendapatkan dukungan kaum Adat itu bergerak ke pos-pos tentara Belanda.

Belanda kemudian mendatangkan tentara besar-besaran dari pulau Jawa. Selain dengan
operasi militer, Belanda juga menerapkan taktik winning the heart kepada masyarakat. Pajak
pasar dan berbagai jenis pajak mulai dihapuskan. Penghulu yang kehilangan penghasilan
akibat penghapusan pajak, kemudian diberi gaji 25-30 golden. Para kuli yang bekerja untuk
pemerintah Belanda juga diberi gaji 50 sen sehari. Elout digantikan oleh E. Francis yang
tidak akan mencampuri urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau. Kemudian
dikeluarkan Plakat Panjang. Plakat Panjang adalah pernyataan atau janji khidmat yang isinya
tidak akan ada lagi peperangan antara Belanda dan kaum Padri. Setelah pengumuman Plakat
Panjang ini kemudian Belanda mulai menawarkan perdamaian kepada para pemimpin Padri
Akhirnya Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya terdesak. Pada tanggal 25 Oktober 1837
Tuanku Imam Bonjol ditangkap. Pasukan yang dapat meloloskan diri melanjutkan perang
gerilya di hutan-hutan Sumatera Barat. Imam Bonjol sendiri kemudian dibuang ke Cianjur,
Jawa Barat. Tanggal 19 Januari 1839 ia dibuang ke Ambon dan tahun 1841 dipindahkan ke
Manado sampai meninggalnya pada tanggal 6 November 1864.

7.Perjuangan Rakyat Jambi


Sejarah Perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin - Sultan Thaha
Syaifuddin, seorang pahlawan Nasional yang lahir di Jambi
pada tahun 1816 di lingkungan istana Tanah Pilih Kampung
Gedang kerajaan Jambi. Merupakan sosok yang tak pernah
gentar dalam membela tanah air. Secara tegas dan berani
beliau menyatakan penolakan terhadap kekuasaan pemerintah
Belanda. 

Semenjak kecil, bocah kecil bernama Taha Saifuddin memang


sudah memiliki keistemewaan dalam dirinya. Tanda-tanda itu
tampak pada kecerdasan dan ketangkasan yang kerap terlihat saat dia bermain dengan teman
sebayanya. Bakat alam luar biasa itu sudah dimilikinya sejak dia lahir dari rahim sang ibu
yang kala itu menjadi permaisuri di kerajaan jambi. Taha Saifudin adalah anak Sultan
Fachruddin, sultan pertama yang memerintah jambi sekitar awal abad ke-19 lalu. 

Perjuangan Sultan Thaha Saifuddin Melawan Belanda. Belanda sebelumnya telah berhasil
menekan sang Sultan untuk menandatangani surat perjanjian yang isinya harus mengakui hak
serta kekuasaan penjajah dalam perdagangan di wilayah jambi. Tindakan yang merugikan
jambi ini memang tak kuasa ditolak oleh Sultan Fachruddin kala masih hidup. Karenanya
sebagai penerus pemerintahannya, Sultan Taha menghadapi tugas mahaberat. 

Jiwanya yang penuh diliputi ilmu ketauhidan terus berontak melihat sikap belanda dan VOC
yang akan mengambil kekuasaan penuh yang ditinggalkan ayahandanya. Dia ingin agar jambi
dapat kembali menjadi kesultanan yang berdaulat penuh atas rakyatnya - Sejarah Perjuangan
Sultan Thaha Syaifuddin. Maka untuk memulihkan kondisi semula, tindakan pertama yang
akan dilakukannya itu suatu ketika diungkapkan kepada sang paman, Sultan Abdurachman.

"Paman Sultan, aku sama sekali tak dapat menerima tindakan belanda ini. Aku tak suka bila
jambi terjual begitu saja kepada kekuatan asing. Sanggupkah kita melawan mereka sekarang
paman?". "Benar, Ananda Pangeran. Jika dengan perlawanan senjata dan pengerahan rakyat
ke medan tempur, sudah tentu tak mungkin kita dapat mengimbangi kekuatan Belanda. Untuk
itu, kita harus mencari cara yang praktis. Nah, bagaimana jika kita mengadakan hubungan
dengan bangsa Amerika? 
Sebentar lagi kaum pedagang asing itu akan datang ke jambi untuk mencari rempah-rempah".
Tepat sekali saran paman. Dengan pegabungan dua kekuatan nantinya, sekaligus aku akan
mengeluarkan pula maklumat untuk tak mengakui perjanjian lama yang pernah
ditandatangani oleh ayahanda dahulu. Bergegaslah, Paman. Sebab, menurut kabar di
palembang pun pihak sultan setempat tengah memberontak pula melawan Belanda. Ini
kesempatan bagi jambi untuk mengacaukan mereka."

Menjelang perlawanan besar itu tiba, pihak jambi dan Belanda tiba-tiba serentak dibuat kaget.
Sultan merasa kaget karena para pedagang Amerika yang akan siap membantunya telah
ditangkap Belanda sebelum mengadakan aksi penyerangan. Rahasia ini bocor akibat laporan
dari sultan Nachruddin yang merasa iri dan ingin memencing di air keruh. Adik nomor dua
sultan pertama Jambi ini berharap, dengan jasanya itu kelak dia pun akan diangkat menjadi
sultan pula oleh Belanda. 

Di sisi lain, Belanda ternyata lebih kaget lagi. Pasalnya, bangsa penjajah ini tak menduga
bahwa di samping perlawanan besar. Sultan Taha yang memimpin pasukan Jambi
menyodorkan pula maklumatnya. Sultan Taha menghapus perjanjian lama, dan isi maklumat
yang dibuatnya sama sekali tak mengakui hak-hak belanda atas Jambi. Belanda lalu
membujuk sang Sultan untuk memperbaharui saja isi perjanjian lama. Namun, harapan
Belanda ini ditolak mentah-mentah. Akhirnya, pertempuran besar pun berlangsung dengan
kekalahan di pihak Belanda.

Namun, meskipun Jambi berhasil memperoleh kemenangan besar, hati Sultan sangat sedih.
Pamannya, sultan Abdurachman, tewas. Sementara pamannya yang lain, yaitu paman sultan
Nachruddin, kini berada di pihak Belanda dan secara tak langsung tuk mengakui pula Sultan
Taha sebagai Sultan Jambi ke-3. Kemenangan ini sekaligus telah memecah dua bagian isi
kesultanan Jambi. Namun, Sultan Taha terus memimpin rakyat. Kebencian terhadap
pamannya yang berkhianat itu justru membuat dia lebih dekat lagi mengikis habis bentuk
penindasan serta penjajahan di bumi Jambi.

Akhirnya, Sultan Taha berhasil melaksanakan niatnya. Dia memimpin pemerintahan baru
dengan bekal pusaka Keris Siginje. Sebagai tanda kebesaran kesultanannya. Sultan
Nachruddin pun diusir. Dia di nobatkan sebagai Sultan Jambi III dengan gelar Pangeran
Jayaningrat. Pemerintahannya yang sah dan kini menghadapi perlawanan segitiga itu, dibantu
oleh anak Sultan Abdurachman yang juga adik sepupunya bernama Raden Muhammad, yang
kemudian bergelar Pangeran Kartadiningrat. 

Sementara itu, pihak Belanda menyusun kembali kekuatan baru. Bala bantuan yang akan
dipakai menebus kekalahan perangnya dengan kesultanan Jambi cepat didatangkan dari
Palembang. Dibantu Sultan Nachruddin yang telah menjadi antek sekutunya, kemudian
terjadilah perang kedua. Istana kesultanan diserang dan dihancurkan, Sultan Taha terpaksa
meninggalkan istananya yang porak-poranda. Dia pergi mengungsi ke wilayah Muara
Tembesi.

Bersama sisa-sisa pengikut setianya, dia lalu melancarkan perang gerilya. Sultan Nachruddin
resmi diangkat Belanda sebagai sultan baru yang ke-4. Tetapi, rakyat Jambi tetap tak mau
mengakuinya. Pusaka keris Sigenje yang dipakai sebagai bukti kekuasaan raja masih ada di
tangan Sultan Taha. Untuk itu, sekalipun Belanda memberlakukan pasal perjanjian baru yang
lebih merugikan serta hanya menguntungkan pihak VOC, pihak rakyat jambi tetap memihak
kepada Sultan Taha. 

Untung saja menyadari posisinya yang sangat kurang menguntungkan karena di satu sisi
sebagai sultan baru dia tak diakui kedaulatannya oleh rakyat, sementara di pihak lain Belanda
pun mengadakan penekanan terhadapnya, akhirnya dengan sisa-sisa semangat
nasionalismenya Sultan Nachruddin kembali berbelok arah. Secara diam-diam, dia pun
menyatakan bersalah kepada keponakannya di tempat pengungsian. Pernyataan yang
disampaikan secara langsung diterima dengan gembira oleh Sultan Taha.

Kemudian, dengan diam-diam pula tanpa diketahui Belanda, sang sultan gadungan
Nachruddin segera memindahkan pusat pemerintahannya dari Jambi ke suatu wilayah
bernama Dusun Tengah, yang lokasinya sekarang berdekatan sekali dengan Muara Tembesi
yang kala itu menjadi pusat kegiatan gerilya Sultan Taha. 

Pihak Belanda pun berhasil dikecoh sampai waktu yang cukup lama oleh kedua paman dan
keponakan yang sama-sama bertekad untuk bersatu padu kembali membela tanah jambi itu.
Perlawanan demi perlawanan pun terus digencarkan sampai batas waktu yang tak terhingga.
Dikabarkan, pihak jambi tetap berada di bawah kendali Sultan Taha dalam posisi gerilyanya
hingga mencapai usia 85 tahun dan tetep tak mengakui kehadiran Belanda maupun organisasi
dagangnya, VOC.

Waktu itu pasukan Sultan Taha dan Sultan Nachruddin terus mengadakan perlawanan.
Pertempuran kerap berlangsung dari waktu ke waktu di seluruh wilayah jambi. Mulai dari
wilayah Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi, Muaro Tebo, Mesumai, Merangin, hingga ke
Kuala Tungkal, perlawanan rakyat Jambi terus bergolak. 

8.Perlawanan Rakyat Terhadap Kolonialisme Belanda di Jawa Timur


Perlawanan Untung Suropati (1868-1706)

      Untung Surapati, Nama


aslinya Surawiroaji. Menurut Babad Tanah Jawi ia berasal
dari Bali yang ditemukan oleh Kapten van Beber, seorang
perwira VOC yang ditugaskan diMakasar. Kapten van Beber
kemudian menjualnya kepada perwira VOC lain
di Batavia yang bernama Moor. Sejak memiliki budak baru,
karier dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak kecil itu
dianggap pembawa keberuntungan sehingga diberi nama "Si
Untung". Ketika Untung berumur 20 tahun, ia dimasukkan
penjara oleh Moor karena menjalin hubungan dengan putrinya
yang bernama Suzane. Untung kemudian menghimpun para tahanan dan berhasil kabur dari
penjara dan menjadi buronan.

Pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten dikalahkan VOC. Putranya yang


bernama Pangeran Purbaya melarikan diri ke Gunung Gede. Ia memutuskan menyerah tetapi
hanya mau dijemput perwira VOC pribumi. Kapten Ruys (pemimpin benteng Tanjungpura)
berhasil menemukan kelompok Untung. Mereka ditawari pekerjaan sebagai
tentara VOC daripada hidup sebagai buronan. Untung pun dilatih ketentaraan, diberi pangkat
letnan, dan ditugasi menjemput Pangeran Purbaya.

Untung menemui Pangeran Purbaya untuk dibawa ke Tanjungpura. Datang pula


pasukan Vaandrig Kuffeler yang memperlakukan Pangeran Purbaya dengan kasar. Untung
tidak terima dan menghancurkan pasukan Kuffeler di Sungai Cikalong, 28 Januari 1684.

Pangeran Purbaya tetap menyerah ke Tanjungpura, tapi istrinya yang bernama Gusik Kusuma
meminta Untung mengantarnya pulang ke Kartasura. Untung kini kembali menjadi
buronan VOC. Antara lain ia pernah menghancurkan pasukan Jacob Couper yang
mengejarnya di desa Rajapalah.

Ketika melewati Kesultanan Cirebon, Untung berkelahi dengan Raden Surapati, anak angkat
sultan. Setelah diadili, terbukti yang bersalah adalah Surapati. Surapati pun dihukum mati.
Sejak itu nama "Surapati" oleh Sultan Cirebon diserahkan kepada Untung.

Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan menuju Kartasura, dan disambut baik oleh
Amangkurat II yang telah merasakan beratnya perjanjian yang dibuat dengan VOC. Pada
tahun 1686, datanglah utusan VOC di Kartasura di bawah pimpinan Kapten Tack dengan
maksud: (1) merundingkan soal hutang Amangkurat II, dan (2) menangkap Untung.
Amangkurat II menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran.

Kapten François Tack (perwira VOC senior yang ikut berperan dalam


penumpasan Trunajaya dan Sultan Ageng Tirtayasa) tiba di Kartasura bulan Februari 1686
untuk menangkap Surapati. Amangkurat II yang telah dipengaruhi Nerangkusuma, pura-pura
membantu VOC.

Pertempuran pun meletus di halaman keraton. Pasukan VOC hancur. Sebanyak 75


orang Belanda tewas. Kapten Tack sendiri tewas di tangan Untung. Tentara Belanda yang
masih hidup menyelamatkan diri ke benteng mereka.

Amangkurat II takut pengkhianatannya terbongkar. Ia merestui Surapati dan Nerangkusuma


merebut Pasuruan. Di kota itu, Surapati mengalahkan bupatinya, yaitu Anggajaya, yang
kemudian melarikan diri ke Surabaya. Bupati Surabaya bernama Adipati Jangrana tidak
melakukan pembalasan karena ia sendiri sudah kenal dengan Surapati di Kartasura. Untung
Surapati pun mengangkat diri menjadi bupati Pasuruan dan bergelar Tumenggung
Wiranegara.
Pada tahun 1690 Amangkurat II pura-pura mengirim pasukan untuk merebut Pasuruan. Tentu
saja pasukan ini mengalami kegagalan karena pertempurannya hanya bersifat sandiwara
sebagai usaha mengelabui VOC.

Sepeninggal Amangkurat II tahun 1703, terjadi perebutan tahta Kartasura antara Amangkurat


III melawan Pangeran Puger. Pada tahun 1704 Pangeran Puger mengangkat diri
menjadi Pakubuwana I dengan dukungan VOC. Tahun 1705 Amangkurat III diusir
dari Kartasura dan berlindung ke Pasuruan.

Pada bulan September 1706 gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura,


dan Surabaya dipimpin Mayor Goovert Knole menyerbu Pasuruan. Pertempuran di benteng
Bangil akhirnya menewaskan Untung Surapati alias Wiranegara tanggal 17 Oktober 1706.
Namun ia berwasiat agar kematiannya dirahasiakan. Makam Surapati pun dibuat rata dengan
tanah. Perjuangan dilanjutkan putra-putranya dengan membawa tandu berisi Surapati palsu.

Pada tanggal 18 Juni 1707 Herman de Wilde memimpin ekspedisi mengejar Amangkurat III.


Ia menemukan makam Surapati yang segera dibongkarnya. Jenazah Surapati pun dibakar dan
abunya dibuang ke laut.

Putra-putra Untung Surapati, antara lain Raden Pengantin, Raden Surapati, dan Raden
Suradilaga memimpin pengikut ayah mereka (campuran orang Jawa dan Bali). Sebagian dari
mereka ada yang tertangkap bersama Amangkurat III tahun 1708 dan ikut dibuang
ke Srilangka.

Sebagian pengikut Untung Surapati bergabung dalam pemberontakan Arya Jayapuspita


di Surabaya tahun 1717. Pemberontakan ini sebagai usaha balas dendam atas dihukum
matinya Adipati Jangrana yang terbukti diam-diam memihak Surapati dalam perang tahun
1706.

Setelah Jayapuspita kalah tahun 1718 dan mundur ke Mojokerto, pengikut Surapati masih
setia mengikuti. Mereka semua kemudian bergabung dalam pemberontakan Pangeran Blitar
menentang Amangkurat IV yang didukung VOC tahun 1719. Pemberontakan ini berhasil
dipadamkan tahun 1723. Putra-putra Untung Surapati dan para pengikutnya
dibuang VOC ke Srilangka.

9. Sejarah Perlawanan Rakyat Kalimantan Selatan Terhadap Belanda


(1859–1905)
Sejarah Perlawanan Rakyat Kalimantan Selatan Terhadap Belanda (1859–1905) - Di
Kalimantan Selatan, Belanda telah lama melakukan
campur tangan dalam urusan Istana Banjar. Puncak
kebencian terhadap Belanda dan akhirnya meletus
menjadi perlawanan, ketika terjadi kericuan pergantian
takhta Kerajaan Banjar setelah wafatnya Sultan Adam tahun 1857. Dalam hal ini Belanda
mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar.

Rakyat tidak mau menerima sebab Pangeran Hidayat yang lebih berhak dan lebih disenangi
rakyat. Pertempuran rakyat Banjar melawan Belanda berkobar pada tahun 1859 di bawah
pimpinan Pangeran Antasari. 

Dalam pertempuran ini Pangeran Hidayat berada di pihak rakyat. Tokoh-tokoh lain dalam
pertempuran ini, antara lain Kiai Demang Leman, Haji Nasrun, Haji Buyasin, Tumenggung
Suropati, dan Kiai Langlang. Pasukan Antasari menyerbu pos-pos Belanda yang ada di
Martapura dan Pangron pada akhir April 1859. Di bawah pimpinan Kiai Demang Leman dan
Haji Buyasin pada bulan Agustus 1859 pasukan Banjar berhasil merebut benteng Belanda di
Tabanio.

Ketika pertempuran sedang berlangsung, Belanda memecat Pangeran Hidayat sebagai


mangkubumi karena menolak untuk menghentikan perlawanan. Pada tanggal 11 Juni 1860
jabatan sultan kosong (karena Sultan Tamjidillah diturunkan dari takhtanya oleh pihak
Belanda, Andresen) dan jabatan mangkubumi dihapuskan. Dengan demikian, Kerajaan
Banjar dihapuskan dan dimasukkan dalam wilayah kekuasaan Belanda.

Pertempuran terus meluas ke berbagai daerah, seperti Tanah Laut, Barito, Hulu Sungai
Kapuas, dan Kahayan. Dalam menghadapi serangan-serangan ini, Belanda mengalami
kesulitan, namun setelah mendapatkan bantuan dari luar akhirnya Belanda berhasil
mematahkan perlawanan rakyat. Pada tanggal 3 Februari 1862, Pangeran Hidayat tertangkap
dandibuangkeJawa. 

Pangeran Antasari yang pada tanggal 14 Maret 1862 diangkat oleh rakyat sebagai pemimpin
tertinggi agama Islam dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifahtul Mukminin gugur
dalam pertempuran di Hulu Teweh pada tanggal 11 Oktober 1862. Sepeninggal Pangeran
Antasari, perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan oleh teman-teman seperjuangan. Perlawanan
rakyat benar-benar dapat dikatakan padam setelah gugurnya Gusti Matseman tahun 1905.

10. Sejarah Pertempuran Ambarawa


Pertempuran Ambarawa pada tanggal 20 November berakhir tanggal 15 Desember 1945,
antara pasukan TKR melawan pasukan inggris. Ambarawa merupakan kota yang terletak
antara kota Semarang dan magelang, serta Semarang dan Salatiga. Peristiwa ini
dilatarbelakangi oleh mendaratnya pasukan Sekutu dari Divisi India ke-23 di Semarang pada
tanggal 20 oktober 1945. Pemerintah Indonesia memperkenankan mereka untuk mengurus
tawanan perang yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang.

Kedatangan pasukan Sekutu (Inggris) diikuti oleh pasukan NICA. Mereka mempersenjatai
para bekas tawanan perang Eropa, sehingga pada tanggal 26 Oktober 1945 terjadi insiden di
Magelang yang kemudian terjadi pertempuran antara pasukan TKR dengan pasukan Sekutu.
Insiden berakhir setelah Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethell datang ke
Magelang pada tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan gencatan
senjata dan memperoleh kata sepakat yang dituangkan da1am 12 pasal. Naskah persetujuan
itu berisi antara lain: 
Pihak Sekutu akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan
kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi pasukan Sekutu yang ditawan pasukan
Jepang (RAPWI) dan Palang Merah (Red Cross) yang menjadi bagian dari pasukan Inggris.
Jumlah pasukan Sekutu dibatasi sesuai dengan tugasnya.

Jalan raya Ambarawa dan Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia dan Sekutu.    

Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dan badan-badan yang ada di bawahnya.

Terjadinya Pertempuran Ambarawa

Pihak Sekutu temyata mengingkari janjinya.


Pada tanggal 20 November 1945
di pertempuran Ambarawa pecah    
pertempuran antara TKR di bawah pimpinan
Mayor Sumarto dan pihak Sekutu. Pada
tanggal 21 November 1945, pasukan Sekutu
yang berada di Magelang ditarik ke
Ambarawa di bawah lindungan pesawat
tempur. Namun, tanggal 22 November 1945
pertempuran berkobar di dalam kota dan
pasukan Sekutu melakukan terhadap
perkampungan di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR di Ambarawa bersama dengan pasukan
TKR dari Boyolali, Salatiga, dan Kartasura bertahan di kuburan Belanda, sehingga
membentuk garis medan di sepanjang rel kereta api yang membelah kota Ambarawa.

Sedangkan dari arah Magelang pasukan TKR Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam
Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945. Serangan itu bertujuan
untuk memukul mundur pasukan Sekutu yang bertahan di desa Pingit. Pasukan yang
dipimpin oleh Imam Androngi herhasil menduduki desa Pingit dan melakukan perebutan
terhadap desa-desa sekitarnya. Batalion Imam Androngi meneruskan gerakan pengejarannya.
Kemudian Batalion Imam Androngi diperkuat tiga hatalion dari Yogyakarta, yaitu Batalion
10 di bawah pimpinan Mayor Soeharto, Batalion 8 di bawah pimpinan Mayor Sardjono, dan
batalion Sugeng.

Akhirnya musuh terkepung, walaupun demikian, pasukan musuh mencoba untuk menerobos
kepungan itu. Caranya adalah dengan melakukan gerakan melambung dan mengancam
kedudukan pasukan TKR dengan menggunakan tank-tank dari arah belakang. Untuk
mencegah jatuhnya korban, pasukan TKR mundur ke Bedono. Dengan bantuan Resimen Dua
yang dipimpin oleh M. Sarbini, Batalion Polisi Istimewa yang dipimpin oleh Onie
Sastroatmojo, dan batalion dari Yogyakarta mengakibatkan gerakan musuh berhasil ditahan
di desa Jambu. Di desa Jambu, para komandan pasukan mengadakan rapat koordinasi yang
dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar.

Rapat itu menghasilkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran,
bertempat di Magelang. Sejak saat itu, Ambarawa dibagi atas empat sektor, yaitu sektor
utara, sektor timur, sektor selatan, dan sektor barat. Kekuatan pasukan tempur disiagakan
secara bergantian. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan dari Purwokerto
Letnan Kolonel Isdiman gugur maka sejak saat itu Kolonel Sudirman Panglima Divisi V di
Purwokerto mengambil alih pimpinan pasukan. Situasi pertempuran menguntungkan pasukan
TKR.
Strategi Pertempuran Ambarawa

Musuh terusir dari Banyubiru pada tanggal 5 Desember 1945. Setelah mempelajari situasi
pertempuran, pada tanggal 11 Desember 1945 Kolonel Sudirman mengambil prakarsa untuk
mengumpulkan setiap komandan sektor. Dalam kesimpulannya dinyatakan bahwa musuh
telah terjepit sehingga perlu dilaksanakan serangan yang terakhir. Rencana serangan disusun
sebagaiberikut.
Serangan dilakukan serentak dan mendadak dari semua sector.

Setiap komandan sektor memimpin pelaksanaan serangan. 

Pasukan badan perjuangan (laskar) menjadi tenaga cadangan. 

Hari serangan adalah 12 Desember 1945, pukul 04.30. 

Akhir dari Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari, pasukan
TKR bergerak menuju sasarannya masing-masing. Dalam waktu setengah jam pasukan TKR
berhasil mengepung pasukan musuh yang ada di dalam kota. Pertahanan musuh yang terkuat
diperkirakan di Benteng Willem yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa. Kota
Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Musuh yang merasa kedudukannya
terjepit berusaha keras untuk mundur dari medan pertempuran. Pada tanggal 15 Desember
1945, musuh meninggalkan kota Ambarawa dan mundur ke Semarang.

Anda mungkin juga menyukai