Anda di halaman 1dari 73

BAB I: PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Hukum merupakan himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang


dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri
memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi
hukuman bagi yang melanggarnya. Hukum dirasa bisa berfungsi seutuhnya jika mampu
memberikan ketenangan dan kenyamanan pada masyarakat, serta memberikan rasa
keadilan yang memang merupakan tujuan hukum. Untuk menunjang hal tersebut, maka
hukum haruslah mendekati masyarakat yang mana dalam hal ini sebagai subjek hukum
itu sendiri.
Bila diibaratkan sebagai sebuah bangunan tubuh manusia, maka hukum formal
yang berupa peraturan perundang-undangan hanyalah merupakan tulang-tulang yang
menjadi kerangka (Sketch, skeleton) saja bagi bangunan hukum itu sedangkan
“masyarakat” boleh diibaratkan dagingnya. Jadi ada kerangka dan ada dagingnya. Para
ahli hukum biasanya lebih senang menekuni kerangka bangunan itu dari pada mengkaji
pula daging-dagingnya maupun urat-uratnya yang menempel pada kerangka itu.
Sebaliknya para ahli sosiologi akan merasa lebih betah menggumuli daging-daging
suatu bangunan hukum, yaitu proses-proses yang menyangkut peri kelakuan manusia
yang menjalankan hukum itu.
Sosiologi hukum sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri, merupakan ilmu
sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan bersama manusia dengan
sesamanya, yakni kehidupan sosial atau pergaulan hidup, singkatnya sosiologi hukum
mempelajari masyarakat, khususnya gejala hukum dari masyarakat tersebut. Peranan
hukum di dalam masyarakat khususnya dalam menghadapi perubahan masyarakat perlu
dikaji dalam rangka mendorong terjadinya perubahan sosial. Pengaruh peranan hukum
ini bisa bersifat langsung dan tidak langsung atau signifikan atau tidak. Hukum
memiliki pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong munculnya perubahan sosial
pada pembentukan lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung
terhadap masyarakat. Di sisi lain, hukum membentuk atau mengubah institusi pokok
atau lembaga kemasyarakatan yang penting, maka terjadi pengaruh langsung, yang

1
kemudian sering disebut hukum digunakan sebagai alat untuk mengubah perilaku
masyarakat. Signifikannya peranan hukum dalam menciptakan perubahan sosial ini
kemudian menyebabkan muncul strategi-strategi yang memanfaatkan penciptaan hukum
untuk menggiring masyarakat ke arah dan tujuan tertentu. Namun tidak semua peraturan
hukum yang dibuat akan serta merta berhasil untuk menciptakan perubahan sosial. Ada
berbagai hal yang sangat perlu diperhatikan untuk mengefektifkan suatu legislasi dalam
rangka membawa masyarakat ke arah perubahan yang diinginkan oleh pembentuk
hukum.
Lawrence M.Friedman dalam bukunya menyebutkan bahwa sistem hukum
terdiri atas :
1. perangkat struktur hukum (berupa lembaga hukum),
2. substansi hukum (peraturan perundangundangan), dan
3. kultur hukum atau budaya hukum.
Ketiga komponen ini mendukung berjalannya sistem hukum di suatu negara.
Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang terdapat dalam masyarakat
mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh, apa yang disebut dengan
modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.
Apabila ditilik dari proses perkembangan hukum dalam sejarah terhadap
hubungan dengan eksistensi dan peranan dari kesadaran hukum masyarakat ini dalam
tubuh hukum positif, terdapat suatu proses pasang surut dalam bentangan waktu yang
teramat panjang. Hukum masyarakat primitif, jelas merupakan hukum yang sangat
berpengaruh, bahkan secara total merupkan penjelmaan dari hukum masysarakatnya.
Kemudian, ketika berkembangnya paham scholastic yang di percaya. Hukum berasal
dari tahun (abad pertengahan) dan berkembang mazhab hukum alam modern (abad ke-
18 dan ke-19), mengultuskan rasio manusia, eksistensi dan peranan kesadaran, sangat
kecil dalam hal ini, kesadaran hukum tidk penting lagi bagi hukum. Yang terpenting
adalah titah tuhan sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab suci (mazhab
scholastik) atau hasil renungan manusia dengan menyesuaikan rasionya. (Mazhab
hukum alam modern) selanjutnya, ketika berkembangnya paham-paham sosiologi pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang masuk juga kedalam bidang hukum.
Hukum dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial yang dinamakan
masyarakat. Sehingga diperlukan satu bidang ilmu khusus yang mempelajari hal

2
tersebut, maka dalam hal ini bidang ilmu tersebut adalah sosiologi hukum yang
kemudian akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

2. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah yang dapat ditarik yakni:


1) Bagaimana sejarah perkembangan dan ruang lingkup serta manfaat sosiologi
hukum?
2) Bagaimana hubungan hukum, struktur sosial dan dinamika sosial sosiologi
hukum?
3) Bagaimana dengan fungsi hukum masyarakat dalam sosisologi hukum?
4) Apa yang dimaksud perubahan sosia dalam sosiologi hukuml?
5) Bagaimana proses pembentukan hukum?
6) Bagaimana cara masyarakat paham akan kesadaran hukum dan kepatuhan
terhadap hukum?

3. TUJUAN

Tujuan yang dapat ditarik dari rumusan masalah diatas yakni:


1) Mengetahui bagaimana sejarah perkembangan dan ruang lingkup serta manfaat
sosiologi hukum.
2) Mengetahui bagaimana hubungan hukum, struktur sosial dan dinamika sosial
sosiologi hukum.
3) Mengetahui bagaimana dengan fungsi hukum masyarakat dalam sosisologi
hukum.
4) Menegathui apa yang dimaksud perubahan sosial dalam sosiologi hukum.
5) Menegtahui bagaimana proses pembentukan hukum.
6) Mengetahui bagaimana cara masyarakat paham akan kesadaran hukum dan
kepatuhan terhadap hukum.

4. MANFAAT

Manfaat dari pembuatan makalah ini yakni:


1) Memberikan wawasan bagaimana sejarah perkembangan dan ruang lingkup
serta manfaat sosiologi hukum.

3
2) Memeberikan wawasan bagaimana hubungan hukum, struktur sosial dan
dinamika sosial sosiologi hukum.
3) Memberikan wawasan bagaimana dengan fungsi hukum masyarakat dalam
sosisologi hukum.
4) Memberikan wawasan apa yang dimaksud perubahan sosial dalam sosiologi
hukum.
5) Memberikan wawsan bagaimana proses pembentukan hukum.
6) Memberikan wawasan bagaimana cara masyarakat paham akan kesadaran
hukum dan kepatuhan terhadap hukum.

4
BAB II: SOSIOLOGI HUKUM SEBAGAI PENGANTAR

1. RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM

A. Pengertian sosiologi hukum


Sosiologi hukum didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan
yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan
timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. Secara
etimologi, sosiologi berasal dari bahasa latin, socius yang berarti kawan dan
kata yunani logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi sosiologi adalah
mengenai masyarakat. Bagi Aguste Comte, sosiologi merupakan ilmu
pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil akhir dari
perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sosiologi didasarkan pada
kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuan sebelumnya.
Pitirim Sorokim mengatakan sosiologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari tentang hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam
gejala-gejala sosial (gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral,
hukum dan ekonomi) dengan gejala lain (nonsosial). Berbeda dengan pendapat
Rouceke dan Warren yang mengatakan sosiologi adalah ilmu nyang
mempelajari hubungan manusia dengan kelompok-kelompok. Nah berdasarkan
uraian diatas, maka sosiologi dengan jelas merupakan ilmu sosial dengan
masyarakat sebagai objek kajiannya.
Menurut Brade Meyer :
a. Sociology af the law – Menjadikan hukum sebagai alat pusat penelitian
secara sosiologis yakni sama halnya bagaimana sosiologi meneliti suatu
kelompok kecil lainnya. Tujuan penelitian adalah selain untuk
menggambarkan betapa penting arti hukum bagi masyarakat luas juga untuk
menggambarkan proses internalnya hukum.
b. Sociology in the law – Untuk memudahkan fungsi hukumnya, pelaksanaan
fungsi hukum dengan dibantu oleh pengetahuanatau ilmu sosial pada alat-
alat hukumnya.

5
c. Gejala social lainnya – Sosiologi bukan hanya saja mempersoalkan
penelitian secara normatif (dassollen) saja tetapi juga mempersoalkan
analisa-analisa normatif didalam rangka efektifitas hukum agar tujan
kepastian hukum dapat tercapai.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa sosiologi hukum merupakan
suatu cabang ilmu pegetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh
pada hukum dan mengapa ia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-
faktor sosial lain yang mempengaruhinya.
B. Kedudukan sosiologi hukum dalam ilmu hukum
Sosiologi adalah merupakan cabang dari ilmu hukum, menurut
Soerjono Soekanto adalah merupakan cabang dari ilmu hukum yaitu ilmu
hukum tentang kenyataan. Pendapat ini didasarkan pada pengertian tentang
disiplin yaitu suatu ajaran tentang kenyataan yang meliputi:
- Disiplin analitis : sosiologi, psikologi
- Disiplin hukum (perspektif) : ilmu hukum normatif dan kenyataan
Ilmu hukum yaitu hukum sebagai gejala sosial, banyak mendorong
pertumbuhan sosiologi hukum . Hans Kelsen menganggap hukum sebagai
gejala normative. sosiologi yg berorentasi hukum yaitu bahwa dalam setiap
masyarakat, selalu ada solidaritas organisasi(masyarakat.modern, hukum
bersifat restitutif seperti hukum perdata) dan solidaritas mekanis (masyarakat
sederhana, hukum yg bersifat represif seperti hukum pidana). Menurut Max
Weber, ada 4 tipe ideal, yaitu irasional formal, irasional material, rasional
material (berdasarkan konsep-konsep hukum), dan rasional material.
Sosiologi hukum merupakan suatu cabang dari sosiologi umum,
sebagaimana halnya dengan sosiologi keluarga, sosiologi industri, sosiologi
politik, ataupun sosiologi ekonomi. Sosiologi hukum (maupun sosiologi
umum) dapat pula dipandang sebagai suatu alat dari ilmu hukum di dalam
meneliti objeknya dan untuk pelaksaan proses hukum. Setelah melihat
beberapa persoalan yang disoroti sosiologi hukum, maka akan dapat
diperoleh suatu perumusan yang mantap tentang objeknya.

6
2. SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI HUKUM

Seorang pakar bernama Anzilotti, pada tahun 1882 dari Itali yang pertamakali
memperkenalkan istilah Sosiologi hukum, yang lahir dari pemikiran di bidang filsafat
hukum, ilmu hukum maupun sosiologi, sehingga sosiologi hukum merupakan refleksi
inti dari pemikiran disiplin-disiplin tersebut. Adapun sejarah perkembangan sosiologi
hukum antara lain di pengaruhi oleh :
1) Filsafat hukum
Konsep yang dilahirkan oleh aliran positivisme (Hans Kelsen) yaitu
“stufenbau des recht” atau hukum bersifat hirarkis artinya hukum itu tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Dimana urutannya yaitu:
- Grundnorm (dasar sosial daripada hukum)
- Konstitusi
- Undang-undang dan kebiasaan
- Putusan badan pengadilan
Dalam filsafat hukum terdapat beberapa aliran yang mendorong tumbuh dan
berkembangnya sosilogi hukum, diantaranya yaitu:
a. Mazhab sejarah, tokohnya Carl Von Savigny (hukum itu tidak dibuat, akan tetapi
tumbuh da berkembang bersama-sama masyarakat). Hal tersebut merupakan
perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat, perkembangan hukum dari statu ke
control sejalan dengan perkembangan masyarakat sederhana ke masyarakat
modern.
b. Mazhab utility, tokohnya Jeremy Bentham (hukum itu harus bermanfaat bagi
masyarakat guna mencapai hidup bahagia). Dimana manusia bertindak untuk
memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan dan pembentuk hukum
harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga-warga masyarakat secara
individual). Rudolph von Ihering (social utilitarianism yaitu hukum merupakan
suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuan).
c. Aliran sociological jurisprudence, tokohnya Eugen Ehrlich (hukum yang dibuat
harus sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat atau living law).
d. Aliran pragmatical legal realism, tokohnya Roscoe Pound (law as a tool of social
engineering), Karl Llewellyn, Jerome Frank, Justice Oliver (hakim-hakim tidak
hanya menemukan huhum akan tetapi bahkan membentuk hukum)

7
2) Ilmu Hukum
Ajaran Kelsen “The Pure Theory of Law” (Ajaran Murni Tentang Hukum),
mengakui bahwa hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politisi sosiologis, filosofis
dan seterusnya. Kelsen juga mengemukakan bahwa setiap data hukum merupakan
susunan daripada kaedah-kaedah (stufenbau), yang berisikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Suatu tata kaedah hukum merupakan sistem kaedah-kaedah hukum secara hierarkis.
b. Susunan kaedah-kaedah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat terbawah
keatas, adalah:
(1) Kaedah-kaedah individual dari badan-badan pelaksana hukum terutama pengadilan.
(2) Kaedah-kaedah umum didalam undang-undang atau hukum kebiasaan.
(3) Kaedah daripada konstitusic. Sahnya kaedah hukum dari golongan tingkat yang
lebih rendah tergantung atau ditentukan oleh kaedah yang termasuk golongan
tingkat yang lebih tinggi.
3) Sosiologi (Pengaruh ajaran-ajaran Durkheim dan Weber)
Durkheim berpendapat bahwa hukum sebagai kaedah yang bersanksi,
dimana berat ringan sanksi tergantung pada sifat pelanggaran, anggapan serta
keyakinan masyarakat tentang baik buruknya perikelakuan tertentu, peranan sanksi
tersebut dalam masyarakat.
Masukan yang diberikan dari aliran dan mazhab sangat berpengaruh baik
secara langsung maupun tidak langsung bagi Sosiologi Hukum. Sosiologi Hukum
sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri merupkan ilmu sosial yaitu ilmu
pengetahuan yang mempelajari kehidupan bersama manusia dengan
sesamanya, yakni kehidupan sosial atau pergaulan hidup,singkatnya Sosiologi
Hukum mempelajari masyarakat, khususnya gejala hukum dari masyarakat
Aristoteles di Zaman Purba (385-322 SM) dan Montesquieu di jaman
modern (1689-1755) adalah hampir mendekati hukum metodis. Aristoteles
mengemukakan keseluruhan masalah-masalah yang semestinya harus dipecahkan;
Montesquieu, yang dipengaruhi oleh “fisika sosial” dari Hobbes dan Spinoza telah
menghilangkan prasangka-prasangka kesusilaan pada telaahan berdasarkan kepada
pengamatan empiris secara sistematis. Dengan demikian untuk memahami arti
keadilan Aristoteles terlebih dahulu menggambarkan berbagai macam hukum

8
positif, dalam hubunganya yang nomos (tata tertib sosial yang benar-benar efisien),
Philia (sociality atau solidaritas sosial) dan kelompok-kelompok tertentu, dan
negara hanya merupakan mahkotanya. Singkatnya, Aristoteles, meskipun ia
mengintegrasikan Sosiologi Hukum dengan metafisika dogmatisnya, telah berhasil
memperoleh suatu pandangan singkat mengenai masalah-masalah asasi dari
mikrososiologi hukum, Sosiologi diferensial, dan Sosiologi Hukum genetis, tetapi
hanya dilapangan Sosiologi Hukum genetis, dan selanjutnya pula dikhususkan
kepada hukum negara Yunani masa itu (Johnson, 1994; 71). Sosiologi Hukum
Monstequieu karena faktor banyak jumlahnya dan bercorak ragam bentuknya, yang
terjalin di dalamnya, yang dikembangkan, dimasukan ke dalam telaah semangat
sejarah dengan kecendrungannya kepada individualisasi fakta-fakta. Sosiologi
Hukumnya mengarahkan syarat-syarat naturalistik untuk menelaah pola tingkah
laku kolektif sebagai benda-benda fisik pada pengamatan empiris yang nyata dan
konsekuen; ia mengganti rasionalisme yang begitu menonjol bahkan di antara
orang-orang sesudah Monstequieu seperti Condorcet dan Comte dengan empiris
radikalnya.
Demikianlah untuk pertama kalinya Sosiologi Hukum Monstequieu
membebaskan Sosiologi Hukum dari segala kecendrungan-kecendrungan
metafisika yang dogmatis, dan membawanya lebih dekat barangkali terlalu dekat
kepada telaah perbandingan hukum. Bagaimanapun juga, monstequieu dengan
mengguraikan isi konkret dari pengalaman hukum dalam tipe-tipe peradaban yang
berbagai jenisnya, lebih daripada semua orang sebelumnya mampu berkata tentang
hukum membawa “ia berbicara tentang apa yang ada, bukan tentang apa yang
seharusnya” dan bahwa ia “tidak menilai kebiasaan-kebiasaan melainkan
menerangkannya”.
Namun demikian ada pandangan yang mengartikan keterpengaruhan
Sosiologi Hukum terhadap Filsafat hukum, Ilmu Hukum dan Sosiologi yang
berorientasi pada hukum sebagai awal berkembangnya Sosiologi Hukum itu
sendiri. Pada segmentasi Filsafat Hukum Hans Kelsen mengungkapkan
bahwasanya hukum tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas
derajatnya, sementara kajian ilmu hukum sendiri mengganggap “hukum sebagai

9
gejala sosial” dan hal ini berbeda seperti yang diungkapkan oleh Kelsen
menanggapi hukum sebagai gejala normative.
Untuk Sosiologi yang berorientasi pada Hukum terwakili oleh Durkheim
dan Weber; dalam setiap masyarakat selalu ada solidaritas, ada solidaritas organis
dan ada pula solidaritas mekanis. Solidaritas mekanis, yaitu yang terdapat pada
masyarakat sederhana, hukumnya bersifat represif yang diasosiasikan seperti dalam
hukum pidana. Lain halnya dengan solidaritas organis, yaitu terdapat pada
masyarakat modern, hukumnya bersifat restuitif yang diasosiasikan seperti hukum
perdata.

3. OBJEK SOSIOLOGI HUKUM

Dalam menjalankan peraturan jelas dibutuhkan suatu perangkat yang


dijadikan satu dalam pandangan, pemikiran, asas, dan teori. Perangkat yang dijadikan
dalam satu kesatuan tersebut disebut dengan sistem. Tak jauh juga dari hukum,
hukum membutuhkan suatu sistem agar dalam pelaksanaannya dapat berjalan dengan
baik. Objek dari sosiologi hukum adalah :
1) Beroperasinya hukum di masyarakat (ius operatum) atau Law in
Action & pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat.
2) Dari segi statiknya (struktur) : kaidah sosial, lembaga sosial,
kelompok sosial& lapisan sosial.
3) Dari segi dinamiknya ( proses sosial), interaksi dan perubahan sosial
Menurut Soerjono Soekanto:
a. Hukum dan struktur sosial masyarakat. Hukum merupakan Social
Value masyarakat.
b. Hukum, kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya.
c. Stratifikasi sosial dan hukum.
d. Hukum dan nilai sosial budaya.
e. Hukum dan kekerasan.
f. Kepastian hukum dan keadilan hukum.
g. Hukum sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial.
Obyek sasaran Sosiologi Hukum adalah badan-badan yang terlibat dalam
kegiatan penyelenggaraan hukum, seperti pengadilan, polisi, advokat, polisi, dan

10
lain-lain. Dalam dunia hukum, terdapat fakta lain yang tidak diselidiki oleh ilmu
hukum yaitu pola-pola kelakuan (hukum) warga-warga masyarakat.

4. RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM

Ruang lingkup Sosiologi Hukum juga mencakup 2 (dua) hal, yaitu :


1) Dasar-dasar sosial dari hukum, contoh: hukum nasional Indonesia, dasar
sosialnya adalah Pancasila, dengan ciri-cirinya : gotong-royong, musyawarah-
kekeluargaan.
2) Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya, contoh : UU PMA
terhadap gejala ekonomi, UU Pemilu dan Partai Politik terhadap gejala politik,
UU Hak Cipta tahun 1982 terhadap gejala budaza, UU Perguruan Tinggi
terhadap gejala pendidikan.
Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai
teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih
luas. Pada tahap ini, seorang sosilog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas
agar dapat menentukan wibawa moral dan untuk menjelaskan peran ilmu sosial
dalam menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan hak dan
kewajiban yang berorientasi pada keadilan ( Rule of Law menurut Philip Seznick).

5. PENDEKATAN DAN MANFAAT SOSIOLOGI HUKUM

A. Pendekatan Sosiologi Hukum


Dalam berbagai disiplin ilmu yang ada sudah barang tentu terdapat
pendekatan yang dipakai guna mencapai tujuan dari disiplin ilmu tersebut.
Pendekatan dipergunakan untuk mempermudah mengkonstruksi struktur
pemahaman, dengan memperhatikan ruang lingkup serta objek yang ingin
dipahami.
 Pendekatan Hukum Sebagai Nilai
Hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti, bahwa
kehadirannya untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat. Eksistensi dan kemampuan hukum lalu diukur
seberapa jauh ia telah mewujudkan keadilan tersebut. Dengan demikian,
moral keadilan telah menjadi dasar untuk mensahkan kehadiran dan

11
bekerjanya hukum. Dalam buku Sosiologi karangan Satjipto Raharjo
(2010) dikemukakan keberatan Donald Black, seorang Sosiolog Hukum
Amerika terkemuka yang sama sekali menolak untuk membicarakan nilai-
nilai, sebab Sosiologi Hukum seharusnya konsisten sebagai ilmu tentang
fakta, jadi sesuatu itu harus berdasarkan pada apa yang dapat diamati dan
dikualifikasikan.
 Pendekatan Hukum Sebagai Institusi
Dalam Sosiologi Hukum, institusi adalah suatu sistem hubungan
sosial yang menciptakan keteraturan dengan mendefenisikan dan
membagikan peran-peran yang saling berhubungan di dalam institusi. Para
pihak dalam institusi menempati dan menjalankan perannya masing-
masing, sehingga mengetahui apa yang diharapkan orang darinya dan apa
yang dapat diharapkannya dari orang lain. Institusi menjadikan usaha
untuk menghadapi tuntutan-tuntutan dasar dalam kehidupan tersebut
berlangsung tertib, berkesinambungan dan bertahan lama (enduring).
keadaan yang demikian itu dimungkinkan, karena institusi memuat
peraturan, prosedur dan praksis. Institusi tersusun dari (1) nilai, (2) kaidah,
(3) peran dan (4) organisasi.
B. Kegunaan Sosiologi Hukum
Adapun kegunaan sosiologi hukum di dalam kenyataannya adalah sebagai
berikut:
1. Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi
pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial.
1) Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan-
kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam
masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah
masyarakat, dan sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mencapai
keadaan-keadaan sosial tertentu.
2) Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan
untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.
Selain itu, manfaat dari sosiologi hukum itu sendiri diantaranya :

12
1) Mengetahui dan memahami perkembangan hukum positif (tertulis/tidak
tertulis) di dalam negara/masyarakat.
2) Mengetahui efektifitas berlakunya hukum positif di dalam masyarakat.
3) Mampu menganalisis penerapan hukum di dalam masyarakat.
4) Mampu mengkonstruksikan fenomena hukum yg terjadi di masyarakat.
5) Mampu mempetakan masalah-masalah sosial dalam kaitan dengan penerapan
hukum di masyarakat.

13
BAB III: HUBUNGAN HUKUM, STRUKTUR SOSIAL DAN DINAMIKA
SOSIAL SOSIOLOGI HUKUM

1. HUBUNGAN HUKUM DAN STRUKTUR SOSIAL DALAM SOSISOLOGI


HUKUM

Pergaulan hidup manusia diatur oleh perbagai macam kaidah atau norma, yang
pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan
tentram. Di dalam pergaulan hidup tersebut, manusia mendapatkan pengalaman-
pengalaman tentang bagaimana memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok atau primary
needs, yang antara lain, mencakup sandang, pangan, papan, keselamatan jiwa dan harta,
harga diri, potensi untuk berkembang dan kasih sayang.
Pola fikir manusia akan mempengaruhi sikapnya yang cenderung untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda ataupun keadaan.
Sikap-sikap manusia kemudian membentuk kaidah-kaidah, karena manusia cenderung
untuk hidup teratur dan pantas. Kehidupan manusia yang teratur dan sepantasnya
menurut manusia adalah berbeda-beda, oleh karena itu dibutuhkan patokan-patokan
yang berupa kaidah-kaidah.
Kaidah merupakan patokan-patokan atau pedoman-pedoman perihal tingkah
laku atau perikelakuan yang diharapkan. Setiap masyarakat memerlukan suatu
mekanisme pengendalian sosial agar selalu sesuatunya berjalan dengan tertib. Yang
dimaksud dengan mekanisme pengendalian sosial (mechanisme of social control) ialah
segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun
yang tidak direncanakan untu mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga
masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan
masyarakat yang bersangkutan.
Kaidah-kaidah itu ada yang mengatur pribadi manusia dan terdiri dari kaidah
kepercayaan dan kesusilaan. Kaidah kepercayaan bertujuan untuk mencapai suatu
kehidupan yang beriman sedangkan kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia
berakhlak atau mempunyai hati nurani bersih. Di lain fihak ada kaedah-kaedah yang
mengatur kehidupan antar manusia atau pribadi, yang terdiri dari kaidah-kaidah
kesopanan dan kaidah hukum.

14
Kaidah kesopanan bertujuan agar pergaulan hidup berlangsung dengan
menyenangkan, sedangkan kaidah hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam
pergaulan antar manusia. Kedamaian tersebut akan tercapai dengan menciptakan suatu
keserasian antara ketertiban (yang bersifat lahiriah) dengan ketentraman (yang bersifat
bathiniah). Kedamaian melalui keserasian antara ketertiban dengan ketentraman,
merupakan suatu ciri yang membedakan hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.
Ciri-ciri kaidah hukum yang membedakan dengan kaidah lainnya:
1) Hukum bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan;
2) Hukum mengatur perbuatan manusia yang bersifat lahiriah;
3) Hukum dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat;
4) Hukum mempunyai berbagai jenis sanksi yang tegas dan bertingkat;
5) Hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian (ketertiban dan ketentraman)
Berikut beberapa pendapat dari para ahli ilmu-ilmu sosial mengenai perbedaan
antara perikelakuan sosial yang nyata dengan perikakuan sebagaimana yang diharapkan
oleh hukum. Menurut Hurt, inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara
aturan utama dan aturan-anturan sekunder (prymary and secondary rules). Aturan-
aturan utama merupakan ketentuan informal tentang kewajiban yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan pergaulan hidup. Oleh karena itu diperlukan aturan-aturan
sekunder yang terdiri dari:
(1) Rules of recognition yaitu aturan yang menjelaskan apa yang dimaksudkan
dengan aturan utama dan dimana perlu menyusun aturan-aturan tadi secara
hirarkis menurut urutan kepentingannya.
(2) Rules of change yaitu aturan yang mensahkan adanya aturab-aturan utama yang
baru
(3) Rules of adjudication yaitu aturan yang memberikan hak-hak kepada orang
perseorangan untuk menentukan apakah pada peristiwa tertentu suatu aturan
utama dilanggar.
Pendapat lain dikemukakan oleh antropolog L.Pospisil (1958), yang
menyatakan bahwa dasar-dasar hukum adalah sebagai berikut:
“Hukum merupakan suatu tindakan yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial.
Agar dapat dibedakan antara hukum dengan kaidah-kaidah lainnya, dikenal adanya
empat tanda hukum atau attributes of law”.

15
1) Tanda yang pertama dinamakannya attribute of authority, yaitu bahwa hukum
merupakan keputusan dari pihak yang berkuasa dalam masyarakat, keputusan
mana ditujukan untuk mengatasi ketegangan yang terjadi di dalam masyarakat.
2) Tanda yang kedua disebut attribute of intention of universal of application
yang artinya adalah bahwa keputusan yang mempunyai daya jangkau panjang
untuk masa mendatang.
3) Attribute of obligation merupakan tanda keempat yang berarti bahwa keputusan
penguasa harus berisikan kewajiban pihak kesatu terhadap pihak kedua dan
sebaliknya. Dalam hal ini semua pihak harus masih di dalam kaidah hidup.
4) Tanda keempat disebut sebagai attribute of sanction yang menentukan bahwa
keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi
yang didasarkan pada kekuasaan masyarakat yang nyata.
A. Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan
Lembaga kemasyarakatan terdapat di dalam setiap masyarakat, oleh karena
setiap masyarakat tentunya mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok yang apabila
dikelompokkan, terhimpun menjadi lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam
pelbagai bidang kehidupan.. Dan dapat dipahami bahwa suatu lembaga
kemasyarakatan merupakan himpunan daripada kaidah-kaidah dari segala tingkatan
yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Fungsi
dari lembaga kemasyarakatan itu sendiri, yaitu:
 Untuk memberikan pedoman kepada para warga masyarakat, bagaimana
mereka bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-
masalah masyarakat yang terutama dalam menyangkut kebutuhan-
kebutuhan pokok.
 Untuk menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan.
 Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan system
pengendalian sosial (sosial control).
Disamping itu terdapat tipe-tipe lembaga kemasyarakatan, yang antara lain:
1) Dari sudut perkembangannya, Lembaga dengan sendirinya tumbuh dari
adat istiadat masyarakat.
2) Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat, basic institutions
dan subsidiary institution

16
3) Dari sudut penerimaan masyarakat, socially sanctioned institutions dan
unsanctioned institutions
4) Perbedaan antara general Institutions dan restricted Institution
5) Dari fungsinya, terdapat pembedaan antara operative Institutions dan
regulative institution.
Tidaklah mudah untuk menentukan hubungan antara hukum dan
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya terutama di dalam menentukan
hubungan timbal balik yang ada. Hal itu semuanya tergantung pada nilai-nilai
masyarakat dan pusat perhatian penguasa terhadap aneka macam lembaga
kemasyarakatan yang ada, dan sedikit banyaknya ada pengaruh-pengaruh pula
dari anggapan-anggapan tentang kebutuhan-kebutuhan apa yang pada suatu saat
merupakan kebutuhan pokok. Namun demikian sebaliknya Hukum dapat
berpengaruh terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan, apabila dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
 Sumber dari hukum tersebut mempunyai (authority) wewenang dan
berwibawa (prestigefull)
 Hukum tadi jelas dan sah secara yuridis, filosofis maupun sosiologis
 Penegak hukum dapat dijadikan teladan bagi faktor kepatuhan terhadap
hukum
 Diperhatikannya faktor pengendapan hukum didalam jiwa para warga
masyarakat
 Para penegak dan pelaksanaa hukum merasa dirinya terikat pada hukum
yang diterapkannya dan membuktikannya didalam pola-pola
perikelakuannya
 Sanksi-sanksi yang positif maupun negative dapat dapat dipergunakan
untuk menunjang pelaksanaan hukum
 Perlindungan yang efektif terhadap mereka yang terkena oleh aturan –
aturan hukum.
B. Stratifikasi Sosial dan Hukum
Menurut pendapat aristoteles bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon,
dimana dalam hidupnya manusia selalu akan membutuhkan orang lain dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, yang hal ini dapat dilihat dari interaksi antara

17
sesama manusia. Reaksi semacam ini menimbulkan keinginan untuk menjadi satu
dengan masyarakat sekelilingnya (antar manusia) sehingga terjadi sosial groups.
Interakasi manusia berlaku timbal balik yang artinya saling mempengaruhi
satu sama lain yang dengan demikian maka suatu kelompok sosial mempunyai
syarat-syarat sebagai berikut:
 Setiap warga kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan
sebagian dari kelompok yang bersangkutan.
 Ada hubungan timbal balik antara warga negara yang satu dengan warga-
warga lainnya.
 Terdapat beberapa faktor yang dimiliki bersama oleh warga - warga
kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor
yang tadi merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan
yang sama, ideologi politik yang sama, dan lain - lain.
 Ada struktur.
 Ada perangkat kaidah - kaidah.
 Menghasilkan sistem tertentu.
Mempelajari kelompok-kelompok sosial merupakan hal yang penting
bagi hukum, oleh karena hukum merupakan abstraksi daripada interaksi-
interaksi sosial yang dinamis tersebut lama kelaman karena pengalaman,
menjadi nilai-nilai sosial yaitu konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup di dalam
alam pikiran bagian terbesar warga-warga masyarakat tentang apa yang
dianggap baik dan tidak baik di dalam pergaulan hidup.
Dalam lapisan masyarakat terdapat golongan atas (Upper Class) dan
golongan bawah (Lower Class), dijelaskan bahwa kalangan Upper Class
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan Lower Class, karena Kalangan Upper
Class jelas – jelas memiliki kemampuan yang lebih banyak dan dianggap suatu
hal yang terpenting dalam kehidupan bermasyarakat.
Upper Class yang memiliki kemampuan yang lebih tadi akan berwujud
kepada kekuasaan yang tentunya dapat menentukan berjuta – juta kehihupan
manusia. Dan baik buruknya suatu kekuasaan senantiasa diukur dari kegunaanya
untuk mencapai suatu tujuan yang disadari oleh masyarakat.

18
Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting karena dapat
menentukan nasib beuta-juta nasib manusia. Baik buruknya kekuasaan tadi
senantiasa dapat diukur dengan kegunaanya untuk mencapai suat tujuan yang
telah ditentukan atau disadari oleh masyarakat terlebih dahulu. Kekuasaan
bergantung dari hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Atau dengan
kata lain, antara pihak yang memiliki kemampuan untuk melancarkan pengaruh
dan pihak lan yang menerima pengaruh itu dengan rela atau karna terpaksa.
Apabila kekuasaan dihubungkan denga hukum, maka paling sedikit dua
hal yang menonjol, pertama para pembentuk, penegak maupun pelaksana hukum
adalah para warga masyarakat yang mempunyai kedudukan yang mengandung
unsure-unsur kekuasaan akan tetapi mereka tak dapat mempergunakan
kekuasaannya dengan sewenang-wenang karna ada pembatasan-pembatasan
praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri.
Yang kedua, karna sistem hukum antara lain menciptakan dan
merupakan hak dan kewajiban beserta pelaksanaanya. Dalam hal ini ada hak
warga masyarakat ang tak dapat dijalankan karna yang tak dapat dijalankan
karna ynag bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya
dan sebaliknya adahak-hak yang dengan sendirinya didukung oleh kekuasaan
tertentu.
Dapat dikatakan bahwa kekuasaan dan hukum mempunyai hubungan
timbale bali disatu pihak hukum member batas kekuasaan, dan dilain pihak
kekuasan merupakan suatu jaminan berlakunya hukum. Peran hukum disini
adalah untuk menjaga agar kekuasaan tadi tidak melakukan tindakan yang
sewenang–wenangnya dimana ada batasan–batasan tentang perannanya yang
tujuannya tidak lain untuk menciptakan keadilan.Dan hal ini tidak menepis
kemungkinan bahwa:
- Semakin Tinggi kedudukan seseorang dalam stratafikasi, semakin
sedikit hukum yang mengaturnya.
- Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratafikasi, semakin
banyak hukum yang mengaturnya.

19
2. DINAMIKA SOSIAL

Didalam suatu interaksi sosial pasti memilikki suatu pengaruh negative maupun
positif, dengan adanya hal itu maka hukum sangatlah berperan penting dalam suatu
interaksi sosial. Peran hukum itu sendiri ibarat kompas, yang menjadi petunjuk arah
kemana manusia harus melangkah atau berbuat sesuatu.
Jika manusia sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk melakukan hubungan
dengan manusia lain maka seorang manusia yang terdiri dari individu maupun
kelompok perlu memperhatikan hukum yang berlaku di wilayah tempat tinggal mereka,
karena kehidupan makhluk sosial tidak lepas dari hukum yang seolah-olah menjerat
mereka untuk menuju suatu jalan yang benar. Terealisasikannya hukum itu tergantung
pada empat faktor, yaitu :
1) Hukum itu sendiri, Hukum memang sangat diharuskan bersifat
melindungi, sehingga masyarakat akan merasa aman dimanapun mereka
berada;
2) Penegak Hukum, Penegak hukum harus bersifat tegas, berani dan netral.
Karena penegak hukum sangat berperan penting dalam berjalannya suatu
system hukum;
3) Fasilitas Pendukung, Fasilitas pendukung hukum dibagi menjadi dua
bagian yaitu perangkat lunak dan perangkat keras. Perangkat lunaknya
seperti peyuluhan tentang hukum terhadap warga maupun penegak
hukum. Sedangkan perangkat kerasnya seperti kendaraan bermotor,
pistol,dll. Tanpa adanya fasilitas pendukung tersebut, tidak akan
mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan
peranan yang aktual.
4) Masyarakat, Warga atau masyarakat merupakan unsur terpenting
didalam berjalannya hukum itu sendiri, karena hukum dibuat oleh
masyarakat itu sendiri dan ditaati oleh masyarakat itu sendiri, sehingga
mau tidak mau masayarakat harus taat pada hukum yang berlaku apabila
tidak ingin terkena sanksi dari hukum yang telah berlaku.
Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung dan terus
di terima oleh seluruh anggota masyarakat maka peraturan-peraturan hukum yang ada
harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat

20
tersebut. Dengan demikian, hukuman bertujuan menjamin adanya kepastian hukum
dalam masyarakat dan hukum itu harus berdasarkan pada keadilan.
Adapun tujuan dari hukum dan interaksi sosial itu sendiri adalah Untuk
menjamin kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara anggota masyarakat.
Peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa warga untuk patuh
menaatinya, menyebabkan terdapat keseimbangan dalam tiap hubungan antar anggota
masyarakat. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat.
Terjadinya suatu interaksi sosial secara otomatis akan ikut melekat pula hukum
yang akan melaksanakan fungsinya sebagai pengendalian sosial. fungsi hukum
dibedakan menjadi beberapa kategori berdasarkan proses sosial yakni :
1. Fungsi Hukum Sebagai Pengatur apabila dalam proses interaksi sosial
tersebut dilakukan dengan nurani (kodrati), organis (terorgisir) dan
mekanis atau dilakukan berdasarkan keinginan hati.
2. Fungsi Hukum Sebagai Pengawas apabila terjadi reaksi ( perubahan
sosial). Perubahan sosial yang menjadikan hukum mengawasi adalah
perubahan sosial terarah, maju, mengambang, dan mundur.
3. Fungsi Hukum Sebagai Penyelesaian Masalah. Peranan hukum dalam
menyelesaikan masalah apabila terjadi permasalahan sosial.
Permasalahan sosial terbagi atas beberapa kategori yakni, permasalahan
sosial sangat berat, amat berat, berat, dan tidak berat.(Nugraha: 2012)
Dengan demikian hukum berdampingan dengan masyarakat, karena
terjadinya suatu interaksi sosial hukum berperan sebagai pengatur masyarakat.
Hukum sangat berkaitan erat dengan kebudayaan. Hukum sendiri
merupakan produk kebudayaan, karena sejatinya produk hukum adalah produk
ciptaan manusia. Dalam studi hukum dikenal struktur hukum, substansi hukum,
dan budaya hukum. Hukum diciptakan memiliki karakteristik yang berbeda-
beda dari satu daerah ke daerah lainnya sesuai dengan kebudayaan setempat.
Artinya, kebudayaan membentuk hukum. Menurut Prof. Satjipt, hukum itu
bukanlah skema yang final, tetapi terus bergerak sesuai dengan dinamika dan
perkembangan zaman umat manusia. Artinya, hukum akan terus berubah sesuai

21
dengan perkembangan zaman dan dinamika manusia ini terlahir dalam proses
kebudayaan yang berbeda.
Kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat terlibat dalam hal
pembentukan hukum. Di Indonesia dikenal adanya masyarakat Hukum Adat
yang jumlahnya sangat
banyak. Perkembangan kebudayaan dan hukum menciptakan suatu subjek
hukum yang bernama Hukum Adat. Dalam Pendidikan Tinggi hukum, terdapat
mata kuliah yang kaitannya dengan Hukum, Masyarakat, dan Kebudayaan:
Hukum Adat, Antropologi Hukum, Hukum dan Masyarakat, dan Sosiologi
Hukum. Mata kuliah-mata kuliah inilah adalah awal pengenalan mahasiswa
hukum terhadap hubungan dari hukum dan kebudayaan.
Kita mengenal konsepsi hukum sebagai bentuk dari peraturan-peraturan
baik tertulis maupun tidak tertulis yang hadir dalam masyarakat. Peraturan-
peraturan ini mengandung norma dan nilai di dalamnya. Kebudayaan hukum
juga bersumber dari kekuasaan karena setiap sanksi yang dibuat di dalam hukum
tidak terlepas dari ikut campur peran penguasa. Prof. Sudikno Mertokusumo
mengungkapkan bahwa hakikat kekuasaan tidak lain adalah kemampuan seorang
untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain dan penegakan hukum
dalam hal ada pelanggaran adalah monopoli penguasa.
Hukum yang lahir dari kebudayaan merupakan suatu proses hukum yang
lahir dengan cara bottom-up (dari bawah keatas), dari akar rumput masyarakat,
dari kaidah-kaidah kepercayaan, spiritual, dan kaidah sosial yang ada di
masyarakat menjadi suatu hukum yang berlaku. Hukum Adat juga demikian, ada
karena budaya di masyarakat yang membangunnya. Bahwa Hukum Adat antara
masyarakat Jawa, masyarakat Minang, masyarakat Bugis adalah berbeda. Ini
adalah suatu konsep pluralisme hukum (legal pluralism) dimana hukum hadir
dalam bentuk kemajemukan kebudayaan.

22
BAB IV: FUNGSI HUKUM MASYARAKAT DALAM SOSISOLOGI HUKUM

1. FUNGSI HUKUM MASYARAKAT DALAM SOSIOLOGI HUKUM

Hukum sejatinya adalah norma/aturan yang tertulis maupun tidak tertulis


berfungsi sebagai media pengatur interaksi sosial dan sebagai petunjuk yang mana
perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan manusia,Lawrence Friedman
mengatakan fungsi hukum yaitu:
 Rekayasa sosial (Social Engineering) As a tool of social engineering 
(hukum sebagai alat perubahan sosial) artinya hukum berfungsi
menciptakan kondisi social yang baru, yaitu dengan peraturan-peraturan
hukum yang diciptakan dan dilaksanakan, terjadilah social engineering,
terjadilah perubahan social dari keadaan hidup yang serba terbatas
menuju di kehidupan yang sejahtera atau keadaan hidup yang lebih baik.
 Penyelesaian sengketa (dispute settlement) As a tool of
justification ( hukum sebagai alat mengecek benar tidaknya tingkah
laku) yakni hukum sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya suatu
tingkah laku dengan di ketahuinya ciri-ciri kebenaran yang dikehendaki
oleh hukum, maka dengan cepat akan terlihat apabila ada sesuatu
perbuatan yang menyimpang dari perbuatan itu.
 Pengawasan atau pengendalian sosial (Social Control) As a tool of social
control (hukum sebagai kontrol sosial) yaitu mengontrol pemikiran dan
langkah-langkah kita agar kita selalu terpelihara dan tidak melakukan
perbuatan yang melanggar hukum.
Soerjono Soekantojuga memberikan pandangan mengenai fungsi
hukum,menurut Soerjono Soekanto fungsi hukum itu ialah:
 Untuk memberikan pedoman kepada warga masyarakat,bagaimana
mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-
masalahdalam masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan-
kebutuhan pokok
 Untuk menjaga keutuhanmasyarakat yang bersangkutan.

23
 Memberikan pegangan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk
mengadakan pengendalian sosial (Sosial kontrol)
A. Hukum Sebagai Alat Kontrol Sosial
Dalam memandang hukum sebagai alat kontrol sosial manusia, maka hukum
merupakan salah satu alat pengendali sosial,Kontrol sosial merupakan aspek normatif
kehidupan sosial. Hal itu bahkan dapat dinyatakan sebagai pemberi defenisi tingkah
laku yang menyimpang dan akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti berbagai
larangan, tuntutan, dan pemberian ganti rugi.Hukum sebagai alat kontrol sosial
memberikan arti bahwa ia merupakan sesuatu yang dapat mengatur tingkah laku
manusia. Tingkah laku ini dapat didefenisikan sebagai sesuatu yang tidak menyimpang
terhadap aturan hukum.Sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan sangsi atau
tindakan terhadap si pelanggar.Karena itu, hukum pun menetapkan sanksi yang harus
diterima oleh pelakunya. Ini sekaligus berarti bahwa hukum mengarahkan agar
masyarakat berbuat secara benar menurut aturan sehingga ketentraman dan ketertiban
terwujud, Perwujudan sosial control berupa sebuah pemidanaan, kompensasi, terapi,
maupun konsoliasi. Standar atau patokan pemidanaan adalah suatu larangan,yang
apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan bagi pelanggarnya.dalam hal ini
apabila kepentingan-kepentingan dari suatu kelompok dilaanggar.inisiatif datang dari
seluruh warga kelompok.padakompensasi,standar atau patokanya adalah
kewajiban,dimana inisiatif untuk memprosesnya ada pada pihak yang dirugikan.pihak
yang dirugikan ini akan meminta ganti rugi,sedangkan terapi maupun konsoliasi
sifatnya “remedial”,artinya mengembalikan situasi(interaksi sosial) pada keadaan yang
semula.Oleh karna itu,yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang menang
melainkan yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi
para pihak. Hal itu tampak bahwa konsoliasi,standarnya adalah
normalitas,keserasian,dan kesepadanan yang bisa disebut keharmonisan.
B. Hukum Sebagai Alat Pengubah Masyarakat
Hukum mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change atau
pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan
kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga
kemasyarakatan.Suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan, selalu
berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut.Cara-cara

24
untuk mempengaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan terlebih
dahulu, dinamakan sosial engineering atau sosial planning.Hukum mepunyai pengaruh
langsung atau pengaruh yang tidak langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan
sosial.Misalnya, suatu peraturan yang menentukan system pendidikan tertentu bagi
warga Negara mepunyai pengaruh secara tidak langsung yang sangat penting bagi
terjadinya perubahan-perubahan sosial.didalam berbagai hal, hukum mempunyai
pengaruh yang langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan yang artinya
adalah bahwa terdapat hubungan yang langsung antara hukum dengan perubahan-
perubahan sosial.
Suatu kaidah hukum yang menetapkan bahwa janda dan anak-anak tanpa
memperhatikan jenisnya dapat menjadi ahliwaris mempunyai pengaruh langsung
terhadapat terjadinya perubahan-perubahan sosial, sebab tujuan utamanya adalah untuk
mengubah pola-polaperikelakuan dan hubungan-hubungan antara warga
masyarakat.Pengalaman-pengalaman di Negara-negara lain dapat membuktikan bahwa
hokum, sebagiamana halnya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya dipergunakan
sebagai alat untuk mengadakan perubahan sosial. Misalnya di Tunisia, maka sejak
diperlakukannya Code of Personal Status pada tahun 1957, seorang wanita yang telah
dewasa, mempunyai kemampuan hukum untuk menikah tanpa harus di dampingi oleh
seorang wali.Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-
perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan.
Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan direncanakan dimaksudkan
sebagai suatu perubahan yang dikehendaki dan direncanakan oleh warga masyarakat
yang berperan sebagai pelopor masyarakat.Dan dalam masyarakat yang sudah kompleks
di mana birokrasi memegang peranan penting tindakan-tindakan sosial, mau tak mau
harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya.Oleh sebab itu, apabila pemerintah ingin
membentuk badan-badan yang berfungsi untuk mengubah masyarakat (secara
Terencana), maka hukum diperlukan untuk membentuk badan tadi serta untuk
menentukan dan membatasi kekuasaannya.Dalam hal ini kaidah hukum mendorong
terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk badan-badan yang secara
langsung berpengaruh terhadap perkembangan-perkembangan di bidang-bidang sosial,
ekonomi, dan politik.

25
2. FUNGSI HUKUM SEBAGAI ALAT DAN CERMIN PERUBAHAN
MASYARAKAT

Perubahan hukum (legal change) dan perubahan sosial (social change)


merupakan dua hal yang selalu menjadi perhatian dan kajian para ahli hukum maupun
ahli ilmuilmu sosial lainnya, bagaimana keterkaitan antara hukum dan perubahan sosial.
Perhatian pertama dalam pengertian hubungan antara hukum dan perubahan sosial
adalah pada pengertian atau masalah definisi, apa yang dimaksud dengan perubahan
sosial tersebut. Secara sederhana perubahan sosial dapat diartikan sebagai sebuah
restrukturisasi pola-pola dasar di mana orang dalam tatanan masyarakat tertentu terlibat
satu dengan lainnya dalam bidang pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, pendidikan,
agama, kehidupan keluarga, dan aktivitas-aktivitas lainnya.Perubahan sosial yang
terjadi secara terstruktur dalam bentuk perubahan-perubahan masyarakat yang teratur
dan tersistematisir merupakan bentuk pembangunan masyarakat.
Pembangunan masyarakat atau perubahan sosial merupakan masalah
pembaharuan cara berpikir dan sikap hidup, tanpa sikap dan cara berpikir yang berubah,
pengenalan lembaga-lembaga baru dalam kehidupan tentu tidak akan berhasil,
Mengaitkan secara sistematis antara hukum dan pembangunan berarti meningkatkan
pula intensitas pertukaran antara hukum dan politik. Posisi hukum sebagai sarana untuk
melakukan perubahan atau rekayasa sosial menjadi semakin besar, dalam kontek ini,
maka hubungan ketegangan antara kemandirian asas, doktrin, dan institusi hukum
berhadapan dengan politik menjadi lebih intensif.
Peranan hukum dalam pembangunan dapat kita katakan sebagai satu instrumen
untuk menjamin bahwa perubahan sosial yang terjadi akan berjalan secara teratur.
Perubahan sosial yang teratur melalui prosedur hukum, baik dalam bentuk peraturan
perundang-undangan atau keputusan badan-badan peradilan akan lebih baik daripada
perubahan yang tidak teratur, lebih-lebih melalui cara-cara kekerasan, perubahan
maupun ketertiban (keteraturan) merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang
mengalami perubahan
A. Hukum Sebagai Mekanisme Integrasi Sosial
Menurut Harry C. Bredemeiersuatu analisis terhadap fungsi-fungsi hukum dan
hubungannya dengan sub sistem fungsional lain dari masyarakat. Ia kemudian
membahas beberapa garis penting dalam sosiologi hukum yang menjadi penekanan

26
analisis itu dan kedudukan sosiologi dalam hukum. Bredemeier juga menggunakan teori
yang didasarkan pada teori Sibernetica Talcott Parsons yang menggunakan empat
proses fungsional dari suatu sistem socialantara lain:
- Goal Persuance adalah proses politik
- Pattern maintenance secara sederhana dapat diartikan sebagai proses sosialisasi
Integation adalah proses hukum 
Jadi pada dasarnya inti ajaran Bredemeier adalah sebagai berikut:
a) Sistem Hukum (badan peradilan maksudnya) merupakan suatu mekanisme yang
berfungsi untuk menciptakan integrasi yang menghasilkan koordinasi dalam
masyarakat dan mendapat masukkan.
b) Sistem politik, berupa penetapan tujuan dan dasar kekuasaan penegakkan
hukum sebagai imbalan dari penafsiran dan legitimasi yang diberikan oleh
sistem hukum.
c) Sistem adaptif, berupa pengetahuan dan permasalahan-permasalahan sebagai
patokan penelitian sebagai imbalan terhadap organisasi serta kebutuhan akan
pengetahuan.
d) sistem pattern maintenance berupa konflik dan penghargaan sebagai imbalan
dari pemecahan konflik dan keadilan yang diberikan oleh sistem hukum.  
Didalam fungsinya untuk menciptakan integrasi maka efektifitasnya tergantung
dari berhasilnya sistem hukum untuk menciptakan derajat stabilitas tertentu dalam
proses hubungan antara sistem hukum dengan sektor-sektor lainnya. Beberapa faktor
yang dapat mengganggu stabilitas tersebut antara lain:
1. kemungkinan timbulnya konsepsi-konsepsi tujuan dalam hukum yang tidak
konsisten dengan kebijaksanaan dengan sistem politik.
2. tanggapan dari kekuasaan legislatif terhadap fluktuasi jangka pendek
kepentingan-kepentingan pribadi.
3. tidak adanya komunikasi perihal pengetahuan yang akurat dengan pengadilan.
4. tidak adanya fasilitas untuk melembagakan fungsi peradilan dalam diri warga
masyarakat.
5. adanya perkembangan nilai-nilai dalam sistem pattern-maintenance yang
berlawanan dengan konsepsi keadilan.

27
6. tidak adanya atau kurangnya saluran-saluran melalui mana kebutuhan peradilan
dapatdipenuhi.
Hukum disini ditekankan pada fungsinya untuk menyelesaikan konflik-konflik
yang timbul dalam masyarakat secara teratur, atau seperti yang sudah disebutkan diatas
sebagai mekanisme intgerasi.pada waktu timbul sengketa dalam masyarakat, maka ia
memberikan tanda bahwa diperlukan suatu tindakan agar sengketa itu diselesaikan.
Pembiaran terhadap sengketa-sengketa itu tanpa penyelesaian akan menghambat
terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam masyarakat. pada itulah dibutuhkan
mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat,
sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan suatu proses kerjasama yang produktif. Pada
saat hukum itu mulai bekerja, maka pada saat itu pula mulai dilihat betapa bekerjanya
hukum itu sebagai mekanisme pengintegrasi melibatkan pula ketiga proses yang lain,
berupa pemberian masukan-masukan yang nantinya diubah menjadi keluaran-keluaran.
1) Masukan Dari Bidang Ekonomi; Fungsi adaptif atau proses ekonomi
memberikan bahan informasi kepada hukum mengenai bagaimana penyelesaaian
sengketa itu dilihat sebagai proses untuk mempertahankan kerjasama yang
produktif. Untuk dapat menyelesaikan sengketa tersebut, hukum membutuhkan
keterangan mengenai latar belakang sengketa dan bagaimana kemungkinannya
diwaktu yang akan datang apabila sesuatu keputusan dijatuhkan. Pertukaran
antara proses integrasi dan adaptasi atau antara proses hukum dan ekonomi ini
akan menghasilkan keluaran yang berupa pengorganisasian atau penstrukturan
masyarakat. Melalui keputusan-keputusan hukum itu ditegaskan apa yang
merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, pertanggungjawaban dan lain-
lain. Keluaran yang berupa pengaruh yang datang dari pengorganisasian kembali
oleh keputusan hukum ini tampak dalam keputusan-keputusan yang benar-benar
menimbulkan perubahan dalam struktur atau organisasi bidang ekonomi
tersebut.
2) MasukanDari Bidang Politik:Proses politik ini menggarap masalah penentuan
tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh masyarakat dan negara serta bagaimana
mengorganisasi dan memobilisasi sumber-sumber daya yang ada untuk
mencapainya. Hukum dalam hal ini pengadilan, menerima masukkan dari sektor
politik dalam benruk petunjuk tentang apa dan bagaimana menjalankan

28
fungsinya. Petunjuk-petunjuk tersebut secara konkrit dan eksplisit tercantum
dalam hukum positif dan menjadi pegangan pengadilan untuk menyelesaikan
perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya. Akan ganti masukan tersebut,
pengadilan memutuskan untuk memberikan legitimasinya ( atau tidak ) kepada
peraturan-peraturan hukum, yang di Indonesia dikenal sebagai masalah hak
menguji undang-undang.
Masukan Bidang Budaya: Pertukaran yang terjadi disini bisa dikatakan sebagai
yang terjadi antara proses sosialisasi dengan hukum. Hukum sebagai mekanisme
pengintegrasi hanya dapat menjalankan pekerjaannya tersebut dengan seksama apabila
memang dari pihak rakyat memang ada kesediaan untuk menggunakan jasa pengadilan.
Keadaan tersebut bisa diciptakan melalui masukan yang datang dari proses sosialisasi
tersebut diatas. proses ini akan bekerjan dengan cara mendorong rakyat untuk menerima
pengadilan sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa. Sebagai pertukaran bagi
masukan yang datang dari bidang budaya tersebut, maka keluaran yang datang dari
pengadilan berupa keadilan.

29
BAB V: PERUBAHAN SOSIAL DALAM SOSIOLOGI HUKUM

1. TEORI TENTANG PERUBAHAN SOSIAL

Perubahan-perubahan pada masyarakat di belahan dunia dewasa ini,


merupakan gejala yang normal, yang pengaruhnya menjalar dengan cepat ke bagian-
bagian lain dari dunia, antara lain berkat adanya komunikasi modern. Perubahan
yang terjadi dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-pola
perikelakuan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan kewenangan,
interaksi sosial dan lain sebagainya.
Lalu sebenarnya apa itu perubahan sosial? Sebagai suatu pedoman, kiranya
dapatlah dirumuskan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan
pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi
sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola
perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dari definisi tersebut
kiranya jelas bahwa tekanan diletakkan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan
sebagai himpunan dari kaidah-kaidah dari segala tingakatan yang berkisar pada
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, perubahan-perubahan yang kemudian
mempengaruhi segi-segi lainnya dari struktur masyarakat (Selo Soemardjan 1962:
XVIII, 379).
Perubahan sosial adalah suatu perubahan yang terjadi di dalam masyarakat
terkait dengan pola pikir, sikap sosial, norma, nilai-nilai, dan berbagai pola perilaku
manusia di dalam masyarakat. Setiap individu atau suatu masyarakat pasti akan
mengalami perubahan secara terus-menerus. Hal ini terjadi karena setiap individu
dan anggota kelompok masyarakat memiliki pemikiran dan kemampuan yang terus
berkembang dari waktu ke waktu. Namun, tingkat perubahan pada suatu kelompok
masyarakat akan berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Ada perubahan yang
terjadi dengan cepat, namun ada juga proses perubahan yang terjadi secara lambat.
Hal ini tergantung kebutuhan, kesadaran, dan tindakan anggota kelompok tersebut.
Social change dapat terjadi karena keseimbangan suatu masyarakat dipengaruhi oleh
unsur-unsur penting di dalamnya. Misalnya ekonomi, biologis, geografis, dan lain
sebagainya.

30
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat sejatinya didasari pada teori-
teori yang timbul dan lahir dari pemikiran-pemikiran para ahli. Salah satunya adalah
teori dari Sir Henry Maine. Dikatakannya bahwa perkembangan hukum dari status ke
kontrak adalah sesuai dengan perkembangan dari masyarakat yang sederhana dan
homogen ke masyarakat yang lebih kompleks susunannya dan bersifat heterogen di
mana hubungan anatara manusia lebih ditekankan pada unsur pamrih. Di dalam
membicarakan soal status, Maine memusatkan perhatiannya pada para ibu dan anak-
anak di dalam keluarga, serta kedudukan lembaga perbudakan pada khususnya.
Dalam hal ini, mereka dalam melakukan tindakan-tindakan hukum ditentukan oleh
kedudukannya. Akan tetapi, pada masyrakat yang sudah kompleks, seseorang
mempunyai beberapa kebebasan dalam membuat suatu kontrak atau untuk ikut dalam
suatu kontrak tertentu.
Pitirim Sorokin pernah pula mengemukakan teori tentang perkembangan
hukum dan gejala-gejala sosial lainnya yang disesuaikannya dengan tahapan-tahapan
tertentu yang dilalui oleh setiap masyarakat. Masyarakat berkembang sesuai dengan
nilai-nilai tertentu yang sedang menonjol di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Nilai-nilai tersebut adalah yang ideational (yaitu kebenaran absolut sebagaimana
diwahyukan oleh Tuhan Yang Mahakuasa), sensate (yaitu nilai-nilai yang didasarkan
pada pengalaman) dan yang idealistic (yang merupakan kategori campuran). Hukum
dan gejala-gejala sosial budaya lainnya terbentuk sesuai dengan bentuk nilai-nilai
yang sedang berlaku di dalam masyarakat. Adapun perubahan sosial didalam
masyarakat terdapat teori yang mendasarinya, diantara nya adalah teori struktural
fungsional, teori konflik dan teori strukturasi dan pengelompokan lain.
A. Teori Struktural Fungsional
Teori fungsionalis sebagai teori perubahan sosial melihat proses perubahan
sosial sebagai hal yang wajar, namun berdampak pada perubahan sistem sosial.
Secara ekstrem, perubahan sosial dapat membuat sistem sosial mengalami disfungsi.
Akhinya terjadi kesenjangan budaya (cultural lag). Sebagai contoh pembuatan rel
kereta api yang melintasi sebuah dusun yang terisolasi. Pada malam hari, sebagian
warga dusun mencuri potongan besi rel kereta api untuk dijual sehingga rel
mengalami kerusakan. Pembangunan rel kereta telah mengubah suasana dusun yang
kondusif seperti sebelumnya. Terjadi kesenjangan budaya antara alam pikiran

31
sebagian masyarakat dengan masuknya teknologi berupa rel kereta. Pencurian besi
rel kereta membuat situasi dusun tak lagi kondusif untuk pembangunan.
B. Teori Konflik
Teori ini dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx dan Ralf Dahrendord. Teori
konflik sebagai teori perubahan sosial menilai perubahan sosial sebagai efek atau
akibat dari konflik antar kelas. Konflik muncul akibat perbedaan kepentingan antara
kelas atas dan kelas bawah. Masing-masing kelas memiliki kepentingan yang
diorientasikan untuk dirinya sendiri. Hubungan sosial menurut teori ini berisi
pertentangan. Pemilik modal memotong gaji pekerja agar mendapat profit maksimal.
Para pekerja ingin mendapat gaji tinggi sehingga otomatis mengurangi pendapat
pemilik modal. Konflik akan terus berlangsung sampai perbedaan kelas dihapuskan.
Menurut teori ini, konflik sosial akan selalu berdampingan dengan perubahan dan
terjadi terus-menerus. Beberapa yang menjadi point penting dari teori konflik ini
adalah:
` Setiap masyarakat akan terus mengalami perubahan.
` Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang terjadinya perubahan.
` Setiap masyarakat akan berada di pusaran konflik dan ketegangan.
` Kestabilan sosial akan dipengaruhi oleh adanya tekanan antar golongan di
dalam masyarakat.
C. Teori Strukturrasi
Problem hubungan antara manusia dan masyarakat atau tindakan dan struktur
sosial berada pada inti persoalan teori sosial dan filsafat ilmu sosial (Thompson,
1994:56). Perdebatannya berkaitan diantara mana yang lebih penting antara individu
dan struktur. Biasanya, beberapa pemecahan yang diambil dititikberatkan pada satu
istilah dengan cara mengabaikan yang lain, baik struktural sosial yang diambil
sebagai objek pokok penerapan analisanya dan alat yang secara efektif justru
berlebihan. Atau individu-individu yang hanya dilihat sebagai unsur pokok dari
kelompok aksi dan reaksi sosial. Dalam teori sosial terdapat pertanyaan yang kadang
diajukan sebagai keinginan kuat untuk membangun analisa yang mapan, seperti
pertanyaan “bagaimana” dan “dengan cara apa” tindakan yang dihasilkan Pada
beberapa aspek, kehidupan di Inggris sangat konservatif. Mungkin ini dipengaruhi
oleh kuatnya pengaruh kerajaan dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan

32
Amerika Serikat yang liberal agen-agen individu berkaitan dengan ciri-ciri struktural
masyarakat yang didiami (Thompson, 1984:238).
Teori Strukturasi sebagai bagian dari contoh hasil perdebatan atas hubungan
agen-struktur (di Eropa), dan hubungan makro-mikro (di Amerika) (Ritzer, 203:471-
505). Giddens menawarkan konseptualisasi ulang antara ‘makro’ dan ‘mikro’
berkaitan dengan cara bagaimana interaksi dalam konteks pertemuan muka dilibatkan
secara struktural dalam sistem-sistem perentangan ruang dan waktu yang luas,
dengan kata lain, bagaimana sistem-sistem seperti ini menjangkau sektor-sektor luas
dari ruang dan waktu (Giddens, 1984:xxvii). Teori Strukturasi muncul berasal dari
kekosongan teori aksi dalam ilmu-ilmu sosial (Giddens, 1979:xiii). Isu utama yang
diperdebatkan adalah seputar bagaimana konsep-konsep tindakan, makna dan
subjektivitas harus dijelaskan dan bagaimana kaitannya dengan gagasan-gagasan
tentang struktur dan kekangan. Jika sosiologi interpretatif didasarkan atas
imperialisme subjek, fungsionalisme dan strukturalisme mengetengahkan
imperialisme objek sosial. Salah tujuan utama merumuskan teori Strukturasi adalah
mengakhiri masing-masing imperialisme ini.
Giddens memulai pikirannya dengan mengkritik Fungsionalisme dan
Strukturalisme. Ada 3 kritik Giddens atas Fungsionalisme, pertama, Fungsionalisme
menghilangkan fakta bahwa anggota masyarakat bukanlah orang- orang dungu.
Individu bukan robot yang bergerak berdasarkan naskah. Kedua, Fungsionalisme
merupakan cara berfikir yang mengklaim bahwa sistem sosial mempunyai kebutuhan
yang harus dipenuhi. Dan ketiga, Fungsionalisme membuang dimensi waktu dan
ruang dalam menjelaskan proses sosial. Sementara, terkait Strukturalisme, Giddens
menganggap Strukturalisme terlalu menyingkirkan subjek (Priyono, 2000:17).
Strukturalisme dan Fungsionalisme menekankan secara kuat keunggulan keseluruhan
sosial atas bagian-bagian individualnyanya (Giddens,1984:2). Strukturalisme sangat
menentang tradisi Hermeneutik yang dianggap memberi kekuasaan subjektivitas
sebagai pusat kebudayaan dan sejarah (Giddens, 1984:2).
Begitu juga dengan Fungsionalis, Fungsionalis menentang tradisi sosiologi
interpretatif. Sebab, dalam sosiologi interpretatif, tindakan dan makna mendapat
posisi utama dalam penjelasan tentang perilaku manusia. Konsep-konsep struktural
tidak dianggap begitu penting dan tidak ada banyak pembahasan tentang kekangan.

33
Akan tetapi, Fungsionalisme dan Strukturalisme lebih diutamakan ketimbang
tindakan dan sifat-sifat mengekang dari struktur sangatlah ditekankan (Giddens,
1984:2).
Fungsioanalisme dan Strukturalisme berangkali merupakan tradisi besar
intelektual yang terkemuka dalam teori sosial sepanjang tiga atau empat puluh tahun
yang silam. Baik Fungsionalisme dan Strukturalisme, jika ditelusuri, akar pikirannya
masih kembali ke Durkheim. Walaupun demikian, dalam menyusun Teori
Strukturasi, Giddens juga meminjam beberapa term Strukturalisme dan
Fungsionalisme. Biarpun teori Strukturasi berusaha mencari titik temu antara
hubungan agen-struktur atau makro-mikro, Teori Strukturasi masih bernuansa
memberi tekanan pada agen. Agen Giddens lebih banyak mempunyai kekuasaan.
D. Pengelompokan Lain
1. Teori Sosial Klasik
Beberapa kekuatan sosial yang melatarbelakangi munculnya teori - teori sosial
dan sekaligus menjadi fokus perhatian para ahli sosial, diantaranya adalah revolusi
politik, revolusi industri, perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme,
feminisme, urbanisasi, perubahan agama, serta pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Perkembangan teori - teori sosial tersebut tidak hanya terjadi di satu negara, tetapi
dibeberapa negara terutama yang terjadi dikawasan Eropa Barat, diantaranya adalah
di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.
Perubahan berupa revolusi sosial politik serta kebangkitan kapitalisme membawa
dampak - dampak yang tidak saja bersifat positif tetapi juga memunculkan masalah -
masalah sosial baru. Hal ini telah memacu para ahli sosial dan filsafat untuk
menemukan kaidah - kaidah baru yang terkait dengan perkembangan teori sosial dan
sekaligus sebagai suatu upaya dalam memahami dan menanggulangi masalah -
masalah sosial tersebut, serta mengarahkan bagaimana bentuk masyarakat yang
diharapkan di kemudian hari. Seperti perkembangan kehidupan politik (Revolusi
Prancis sejak tahun 1789) menjadi cikal bakal perkembangan teori sosiologi di
Prancis. Demikian pula, pertumbuhan kapitalisme di Inggris telah memacu
munculnya pemikiran - pemikiran baru dibidang sosial.
2. Teori Modernisasi

34
Teori Modernisasi muncul pada pasca perang dunia kedua, yaitu pada saat
Amerika terancam kehilangan lawan dagang sehingga terjadi kejenuhan pasar dalam
negeri; dari keterlibatan Amerika inilah negara-negara Eropa yang porak poranda
seusai perang mulai bangkit dari keterpurukannya, keterlibatan ini bukan saja banyak
‘menolong’ negara-negara Eropa, tetapi di balik itu justru banyak memberikan
keuntungan yang lebih bagi Amerika itu sendiri. Pada perkembangannya kemudian,
keberhasilan pembangunan yang diterapkan pada negara-negara di Eropa ini
memberikan pemikiran lanjut untuk melakukan ekspansi pasar ke negara-negara
dunia Ketiga, dan banyak memberikan bantuan untuk pembangunannya; dalam

kenyataannya, keberhasilan yang pernah diterapkan di Eropa, ternyata banyak


mengalami kegagalan di negara-negara dunia Ketiga.
Penjelasan tentang kegagalan ini memberikan inspirasi terhadap sarjana-
sarjana sosial Amerika, yang kemudian dikelompokkan dalam satu teori besar, dan
dikenal sebagai teori Modernisasi (Budiman, dalam: Frank, 1984: ix). Asumsi dasar
dari teori modernisasi mencakup:
1) Bertolak dari dua kutub dikotomis yaitu antara masyarakat modern (masyarakat
negara-negara maju) dan masyarakat tradisional (masyarakat negara-negara
berkembang);
2) Peranan negara-negara maju sangat dominan dan dianggap positif, yaitu dengan
menularkan nilai-nilai modern disamping memberikan bantuan modal dan
teknologi. Tekanan kegagalan pembangunan bukan disebabkan oleh faktor-
faktor eksternal melainkan internal;
3) Resep pembangunan yang ditawarkan bisa berlaku untuk siapa, kapan dan
dimana saja (Budiman, dalam : Frank, 1984: x).
Satu hal yang menonjol dari teori modernisasi ini adalah, modernisasi seolah-
olah tidak memberikan celah terhadap unsur luar yang dianggap modern sebagai
sumber kegagalan, namun lebih menekankan sebagai akibat dari dalam masyarakat
itu sendiri. Asumsi ini ternyata banyak menimbulkan komentar dari berbagai fihak,
terutama dari
kelompok pendukung teori Dependensi, sehingga timbul paradigma baru yang
dikenal sebagai teori Modernisasi Baru (Suwarsono-So,1991: 58-61).

35
3. Teori Dependensi
Keterbelakangan yang dialami oleh negara-negara berkembang yang telah secara
intensif mendapat bantuan dari negara-negara maju menyebabkan ketidak-puasan
terhadap asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh teori modernisasi. Keadaan ini
menimbulkan reaksi keras dari para pemerhati masalah-masalah sosial yang
kemudian mendorong timbulnya teori dependensi. Teori ini menyatakan bahwa
karena sentuhan modernisasi itulah negara-negara dunia ke-tiga kemudian
mengalami kemunduran (keterbelakangan), secara ekstrim dikatakan bahwa
kemajuan atau kemakmuran dari negara-negara maju pada kenyataannya
menyebabkan keterbelakangan dari negara-negara lainnya (‘the development of
underdevelopment’); siapa sebenarnya yang menolong dan siapa yang ditolong ?
Andre Gunter Frank (1967) dianggap sebagai salah seorang tokoh pencetus teori
Dependensi ini mengatakan bahwa keterbelakangan justru merupakan hasil dari
kontak yang diadakan oleh negara-negara berkembang dengan negara-negara maju
(Budiman, dalam : Frank, 1984: xii-xiii). Asumsi dasar dari teori Dependensi
mencakup sebagai berikut :
1. Keadaan ketergantungan dilihat sebagaai suatu gejala yang sangat
umum, berlaku bagi seluruh negara dunia Ketiga;
2. Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh ‘faktor luar’;
3. Permasalah ketergantungan lebih dilihat sebagai masalah ekonomi, yang
terjadi akibat mengalirnya surplus ekonomi dari negara dunia Ketiga ke
negara maju;
4. Situasi ketergantungan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
proses polarisasi regional ekonomi global; dan
5. Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak
bertolak belakang dengan pembangunan (Suwarsono-So, 1991: 111).
Teori Dependensi ini bukannya tanpa kekurangan, bahkan kritik yang
dilomtarkan mungkin lebih banyak dari sanggahan terhadap teori Modernisasi
(Suwarsono-So, 1991:137). Salah satu persoalan yang luput dari perhatian teori
Dependensi adalah kurangnya pembahasan tentang kolonialisme yang pernah tumbuh
subur dikebanyakan negara-negara berkembang. Menurut perspeksif Dependensi,
pemerintahan kolonial didirikan dengan tujuan menjaga stabilitas pemerintahan

36
jajahan, dan pemerintahan ini tidak akan pernah dibentuk dengan tujuan untuk
membangun negara pinggiran (Suwarsono-So, 1991: 121).

2. HUBUNGAN ANTARA HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

Perubahan-perubahan sosial yang terjadi didalam suatu masyarakat dapat


terjadi oleh karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari
masyarakat itu sendiri (sebab-sebab intern) maupun dari luar mayarakat tersebut
(sebab-sebab ekstern). Sebagai sebab-sebab intern antara lain dapat disebutkan,
misalnya pertambahan penduduk atau berkurangnya penduduk; penemuan-penemuan
baru; pertentangan (conflict); atau mungkin karena terjadinya suatu revolusi. Sebab-
sebab ekstern dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik,
pengaruhkebudayaan masyarakat lain, peperangan dan seterusnya. Suatu perubahan
sosial lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak
dengan masyarakat lain atau telah mempunyai sistem pendidikan yang maju.
Sistem lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen serta
ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu, dapat pula
memperlancar terjadinya perubahan-perubahan sosial, sudah tentu disamping faktor-
faktor yang dapat memperlancar proses perubahan-perubahan sosial, dapat juga
dikemukakan faktor-faktor yang menghambatanya seperti sikap masyaakat yang
mengagung-agungkan masa lampau, adanya kepentingan-kepentingan yang tertanam
dengan kuat, prasangka terhadap hal-hal yang baru atau asing, hambatan-hambatan
yang bersifat ideologis, dan seterusnya. Faktor-faktor tersebut diatas sangat
mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan sosial beserta prosesnya.
Saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan sosial pada
umumnya dalah lembaga kemasyarakatan di bidang pemerintah, ekonomi,
pendidikan, agama dan seterusnya. Lembaga kemasyarakatan merupakan titik tolak,
namun tergantung pada penilaian tertinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap
masing-masing lembaga kemasyarakatan tersebut.
Di dalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umumnya
dikenal adanya tiga badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan
pembentuk hukum, badan-badan penegak hukum, dan badan-badan pelaksana
hukum. Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-badan

37
peradilan yang menegakkan hukum serta badan-badan pelaksana yang menjalankan
hukum, merupakan ciri-ciri yang terdapat pada negara-negara modern. Pada
masyarakat sederhana, ketiga fungsi tadi mungkin berada di tangan satu badan
tertentu atau diserahkan pada unit-unit terpenting dalam masyarakat seperti keluarga
luas. Akan tetapi, baik pada masyarakat modern maupun sederhana ketiga fungsi
tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui dimana hukum
mengalami perubahan-perubahan.
Di Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, kekuasaan
untuk membentuk dan mengubah UUD pada MPR (pasal 3 yo pasal 37). Sedangkan
kekuasaan untuk membentuk undang-undang serta peraturan-peraturan lainnya yang
derajatnya berada di bawah undang-undang, ada ditangan Pemerintah dan DPR.
Kekuasaan kehakiman antara lain mempunyai fungsi untuk membentuk hukum. Di
dalam pasal 27 ayat 1 UU No. 14/1970 dinyatakan bahwa hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Adanya ketentuan tersebut
membuktikan bahwa tugas hakim tidak saja terbatas pada mengadili berdasarkan
hukum yang ada, akan tetapi juga mencari dan menemukan hukum untuk kemudian
dituangkan di dalam keputusan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam masyarakat.
Keadaan semacam di Indonesia membawa akibat bahwa saluran-saluran
untuk mengubah hukum dapat dilakukan melalui beberapa badan. Artinya, apabila
hukum harus berubah, agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka perubahan-
perubahan tersebut tidak hanya tergantung pada suatu badan semata-mata. Apabila
karena faktor-faktor prosedural suatu badan mengalami kemacetan, maka badan-
badan lainnya dapat melaksanakan perubahan-perubahan tersebut. Hal ini sedikit
banyaknya juga tergantung pada pejabat-pejabat hukum dari badan-badan tersebut.
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum atau sebaliknya
tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya, pada keadaan-keadaan tertentu
perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya
dari masyarakat serta kebudayaannya atau mungkin hal yang sebaliknya yang terjadi.
Apabila terjadi hal yang demikian, maka terjadilah suatu social lag, yaitu suatu
keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga

38
kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan (W.F.
Ogburn 1966:200).
Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur lainny, atau
sebaliknya, terjadi oleh karena pada hakikatnya merupakan suatu gejala wajar di
dalam suatu masyarakatbahwa terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan
yang diharapkan oleh kaidah-kaidah hukum dengan pola-pola perikelakuan yang
diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya.
1) Perubahan Sosial Sebagai Sebab Perubahan Hukum
Secara historis, perubahan sosial terlalu sangat lambat untuk menjadi
kebiasaan sebagai sumber utama dari hukum. Perubahan-perubahan dalam kondisi
sosial , teknologi dan pengetahuan, nilai-nilai dan sikap dapat mengarah kepada
perubahan hukum. Dalam hal ini, hukum bersifat reaktif dan mengikuti perubahan
sosial. Namum perlu dicatat bahwa perubahan hukum adalah salah satu dari banyak
respon perubahan sosial. Namun perubahan hukum sangatlah penting, karena hukum
mempresentasikan kewenangan negara dan kekuasaan negara serta kekuasaan
pemberian sanksinya.
Sebagai contoh berkat perkembangan teknologu setiap orang dengan begitu
gampangnya mengakses jejaring dunia maya, maka perbuatan pidana pun bergeser
bukan hanya seperti yang termaktub dalam KUHP semata, tetapi jelas memunculkan
juga perbuatan pidana melalui UU ITE.
2) Hukum Sebagai Instrumen Perubahan Sosial
Aliran positivisme hukum menyatakan bahwa hukum itu diciptakan dan dapat
digunakan sebagai sarana atau alat instrumen rekayasa sosial untuk mendorong dan
menciptakan perubahan dalam masyarakat. Hukum sebagai pengaruh tidak langsung
terhadap perubahan sosial pada umumnya mempengaruhi kemungkinan-
kemungkinan perubahan dalam berbagai institusi sosial. Hukum sebagai instrumen
perubahan sosial dapat terjadi pada situasi tertentu, terutama pada peran negara
dalam penertiban Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkatan Jalan. Hukum dalam
konteks tersebut memaksa setiap pengendara sepeda motor untuk menggunakan
helm, sehingga perubahan sosial yang terjadi adalah perilaku para pengendara
berlaku imperatif untuk taat pada UU Lalu Lintas dan Angkatan Laut.
3) Teori tentang Hukum dan Perubahan Sosial

39
Beberapa teori hukum yang dikemukakan oleh para ahli berkaitan dengan
perubahan sosial adalah sebagai berikut :
(1) Max Weber
Ia mengatakan bahwa “perkembangan hukum materil dan hukumacara,
mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai daribentuk sederhana yang
didasarkan pada kharisma sampai padatahap termaju dmana hukum disusun secara
sistimatis, sertadijalankan oleh orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan
danlatihan-latihan dibidang hukum”. Tahap-tahap perkembangan hukumini oleh
Max Weber lebih banyak merupakan bentuk-bentuk yang dicita-citakan dan
menonjolkan kekuatan-kekuatan sosial manakahyang berpengaruh dalam
pembentukan hukum pada tahap-tahap yang bersangkutan. Hal yang sama juga
ditafsirkan terhadap teorinya tentang nilai-nilai ideal dari sistem hukum, yaitu
rasionaldan irrasional.
(2) Emile Durkheim
Pada pokoknya teori dari Durkheim ini menyatakan hukummerupakan
refleksi dari pada solidaritas sosial dalam masyarakat.Menurutnya didalam
masyarakat terdapat dua macam solidaritas,yaitu yang bersifat mekanis
(mechanical solidarity), dan yang bersifat organis (organic solidarity). Solidaritas
yang mekanisterdapat pada masyarakat-masyarakat yang sederhana danhomogen,
dimana ikatan pada warganya didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi serta
tujuan yang sama. Sedangkan solidaritasyang organis terdapat pada masyarakat-
masyarakat yang heterogendimana terdapat pembagian kerja yang
kompleks.Dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, reaksiyang
kolektif terhadap pelanggaran-pelanggaran kaidah-kaidahhukum yang bersifat
refresif berubah menjadi hukum yang bersifatresitutif. Dimana tekanan diletakkan
pada orang yang menjadikorban atau yang dirugikan, yaitu bahwa segala sesuatu
harus dikembalikan pada keadaaan sebelum kaidah-kaidah tersebutdilanggar.Akan
tetapi teori dari Durkheim agak sulit untuk dibuktikan. Richard Schartz dan James
C. Miller dalam suatu penelitian ternyatabertentangan dengan teori Durkheim
tentang perkembangan darihukum represif ke hukum restitutif. Namun demikian
bukanlahberarti bahwa teorinya sama sekali tidak berguna, karena ada hal-
haltertentu yang berguna untuk menelaah sistim-sistim hukum dewasaini, misalnya

40
apa yang dikemukakannya tentang hukum yangbersifat represif berguna untuk
memahami pentingnya hukuman.
(3) Sir Henry Maine
Ia mengatakan bahwa perkembangan hukum dari status kekontrak adalah
sesuai dengan perkembangan dari masyarakat yangsederhana dan homogen ke
masyarakat yang telah komplekssusunannya dan bersifat heterogen dimana
hubungan antaramanusia lebih ditekankan pada unsur pamrih.Selanjutnya Maine
menekankan bahwa didalam melakukantindakan-tindakan hukum ditentukan
oleh kedudukan (khususnya pada para ibu dan anak-anak didalam keluarga).
Sedangkan padamasyarakat-masyarakat yang sudah kompleks, seseorang
mempunyai beberapa kebebasan tertentu. Yang kemudian mengikatnya adalah
ketentuan-ketentuan di dalam kontrak tersebut.
(4) Pitirin Sorokin
Teori yang dikemukakan oleh Sorokin adalah teori tentangperkembangan
hukum dan gejala-gejala sosial lainnya yang disesuaikannya dengan tahapan-
tahapan tertentu yang dilalui oleh masyarakat. Masyarakat berkembang sesuai
dengan nilai-nilaitertentu yang sedang menonjol di dalam masyarakat
yangbersangkutan. Nilai-nilai tersebut adalah ideational (yaitu kebenaran absolut
sebagaimana diwahyukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa), sensate (yaitu nilai-
nilai yang didasarkan pada pengalaman) danyang idealistic (yang merupakan
kategori campuran) hukum dan gejala-gejala sosial lainnya terbentuk sesuai
dengan bentuk nilai-nilaiyang sedang berlaku didalam masyarakat.
(5) Arnold M. Rose
Dikemukakan oleh Arnold Rose bahwa ada 3 prihal penyebabterjadinya
perubahan sosial yang dihubungkannya dengan hukum,yaitu:1) Kumulasi yang
progresif dari pada penemuan-penemuan dibidangteknologi; 2) Kontak atau konflik
antara kebudayaan; dan 3) Gerakan sosial (social movement).Menurut ketiga teori
diatas, hukum lebih merupakan akibat dari padafaktor penyebab terjadinya
perubahan-perubahan sosial. Dikemukakan oleh William F. Ogburn bahwa
penemuan-penemuanbaru dibidang teknologi merupakanfaktor utama yang
menjadipenyebab utama terjadinya perubahan-perubahan sosial oleh
karenapenemuan-penemuan tersebut mempunyai daya berkembang yangkuat.

41
Kemudian faktor kedua adalah organisasi ekonomi oleh karenamanusia pertama-
tama bermotivasi pada keuntungan ekonomis yangdimungkinkan oleh karena
adanya perubahan-perubahan dibidangteknologi. Hukum hanya merupakan refleksi
dari dasar-dasarteknologi dan ekonomi masyarakat.
Dalam bentuk yang lebih politissifatnya, Karl Marx mengemukakan pula
teori tersebut menyangkaladanya sebab-sebab yang bersumber pada hukum maupun
ideologi. Teori lainnya yang menyangkut kebudayaan dikemukakan olehbanyak
antropolog dan sosiolog, yang menyatakan bahwa prosespembaruan (perubahan)
terjadi apabila dua kebudayaan atau lebihberhubungan. Akan tetapi teori tersebut
kurang memuaskan olehkarena dewasa ini memungkinkan adanya hubungan atau
kontakyang tetap antara dua kebudayaan atau lebih, atau konflik antarakebudayaan-
kebudayaan tersebut.
Selain dari pada teori tersebut di atas ada pula teori gerakansosial yang
menyatakan bahwa adanya ketidakpuasan terhadap bidang-bidang kehidupan
tertentu menimbulkan keadaan yang tidaktenteram yang menyebabkan terjadinya
gerakan-gerakan untukmengadakan perubahan-perubahan, yang seringkali
perubahan-perubahan terebut adalah terwujudnya suatu hukum baru.
Namun teori tersebut tidak berhasil mengemukakan faktor-faktor apa
yangmenyebabkan terjadinya ketidakpuasan dan bagaimana selanjutnyahukum
dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan lebih lanjut. Teori lainnya lagi
yang menghubungkan hukum denganperubahan-perubahan sosial adalah pendapat
Hazairin tentang hukum adat. Dikatakannya bahwa baik secara langsung
maupuntidak langsung seluruh lapangan hukum mempunyai hubungandengan
kesusilaan (khususnya dalam hukum adat) yang akhirnyameningkat menjadi
hubungan tara hukum dengan adat. Adat merupakan resapan (endapan) kesusilaan
di dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat merupakan kaidah-
kaidahkesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan secara umum dalam
masyarakat tertentu.

42
BAB VI: PROSES PEMBENTUKAN HUKUM

1. PROSES PEMBENTUKAN HUKUM

Hukum tidak akan mungkin bekerja dalam ruang hampa. Itulah sebabnya
hukum dalam realitasnya berfungsi sebagai factor integrasi dalam masyarakat.
Sebagai pengatur sosial, hukum harus menjalani suatu proses yang panjang dan
melibatkan berbagai aktivitas dengan kualitas yang berbeda-beda dalam proses
pembuatan hukum dan proses implementasi hukum. Proses pembuatan hukum itu
sesungguhnya mengandung pengertian yang sama dengan istilah proses pembuatan
UU.
Pembuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan pola
pembentukan hukum untuk mengatur tatanan kehidupan social. Dalam masyarakat
demokratis yang modern, badan legislative berdaulat dalam membuat kebijakan
pembuatan hokum untuk menyalurkan aspirasi masyarakat. Pada prinsipnya proses
pembuatan hukum tersebut berlangsung dalam tiga tahapan besar, yakni :
(1) Tahap Inisiasi
Lahirnya gagasan dalam masyarakat perlunya pengaturan suatu hal
melalui hokum yang masih murni merupakan aktivitas sosiologis. Sebagai
bentuk reaksi terhadap sebuah fenomena sosial yang diprediksikan dapat
mengganggu keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Di sinilah letak betapa pentingnya kajian-kajian
sosiologis dalam memberikan sumbangan informasi yang memadai untuk
memperkuat gagasan tentang perlunya pengaturan sesuatu hal dalam tatanan
hukum.
(2) Tahap Sosio-Politis & Tahap Juridis
Sosio-politis ini dimulai dengan mengolah, membicarakan, mengkritisi,
mempertahankan gagasan awal masyarakat melalui pertukaran pendapat
berbagai golongan dan kekuatan dalam masyarakat. Gagasan akan mengalami
ujian, apakah ia bisa terus berjalan untuk berproses menjadi sebuah produk
hukum ataukah berhenti di tengah jalan. Apabila gagasan tersebut gagal dalam
ujian dengan sendirinya akan hilang dan tidak dipermasalahkan di dalam

43
masyarakat. Apabila gagasan tersebut berhasil untuk diajlankan terus, maka
format dan substansinya mengalami perubahan yang menjadikan bentuk dan isi
gagasan tersebut semakin luas dan dipertajam.
(3) Tahap Penyebarluasan atau Desiminasi
Gagasan dirumuskan lebih lanjut secara lebih teknis menjadi hukum,
termasuk menetapkan saksi hukumnya yang melibatkan kegiatan intelektual
yang bersifat murni dan tidak terlibat konlik kepentingan (conflict of interest)
politik, yang tentunya ditangani oleh tenaga-tenaga yang khusus berpendidikan
hukum. Merumuskan bahan hukum menurut bahasa hukum dan memeriksa
meneliti kontek sistem hukum yang ada sehingga tidak menimbulkan gangguan
sebagai satu kesatuan sistem.
(4) Tahap desiminasi (penyebarluasan)
menjadi tahap sosialisasi produk hukum. Sosialisasi ini berpengaruh
terhadap bekerjanya hukum di masyarakat. Sebagus apapun substansial hukum
jika tidak disosialisasikan dengan baik, maka hukum tersebut tidak dapat
diterapkan dengan baik di masysarakat.
Pembuatan hukum di sini hanya merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang
disepakati dan dipertahankan oleh warga masyarakat. Langkah pembuatan hukum
dimungkinkan adanya konflik-konflik atau tegangan secara internal. Dimana nilai-
nilai dan kepentingan-kepentingan yang bertentangan dapat tanpa mengganggu
kehidupan masyarakat. Padahal pembuatan hukum memiliki arti yang sangat penting
dalam merubah perilaku warga masyarakat. Hukum baru memiliki makna setelah
ditegakkan karena tanpa penegakanhukum bukan apa-apa. Namun ketika
bertentangan dengan keadaan dimasyarakat maka akan sia-sia juga kelahiran hukum
tersebut.
Dalam penegakan hukum, faktor hukum aparat penegak hukum, sarana atau
fasilitas pendukung penegakan hukum, masyarakat, dan budaya memberikan
pengaruh implementasinya dilapangan. Proses penegakan hukum (tahapan
pembuatan hukumnya, pemberlakuan dan penegakannya) harus dijalankan dengan
baik tanpa pengaruh kepentingan individu dan kelompok. Hukum kemudian
diberlakukan dan ditegakkan sebagai sarana untuk merealisasikan kepentingan dan

44
tujuan serta untuk melindungi kepenting¬an individu, masyarakat, serta bangsa dan
negara.
Secara juridis dan ideologis, instansi penegak hukum dan aparat penegak
hukum di Indonesia merupakan suatu kesatuan sistem yang terintegrasi dalam
membangun satu misi penegakan hukum. Meskipun penegakan hukum secara prinsip
adalah satu, namun secara substantif penegakan hukum, penyelesaian perkara akan
melibatkan seluruh integritas pribadi para aparat penegak hukum yang terlibat di
dalamya. Keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum dijalankan itu dibuat.
Norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum itu
memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu negara. Nilai
filosofis negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai
“staats¬fundamentalnorm”. Dalam rumusan kelima sila Pancasila terkandung nilai-
nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa, humanitas kemanusiaan yang adil dan
beradab, nasionalitas kebangsaan dalam ikatan bhineka-tunggal-ika, kedaultan
rakyat, dan sosialitas keadilan bagi segenap rakyat Indonesia. Dari kelima nilai-nilai
filosofis tersebut tidak satupun yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh
norma hukum yang terdapat dalam berbagai kemungkinan bentuk peraturan
perundang-undangan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum dari pertimbangan bersifat
teknis juridis berlaku apabila norma hukum sendiri memang ditetapkan sebagai
norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih tinggi. Mengikat atau berlaku
karena menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya.
Ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang
berlaku dan ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang
berwewenang untuk itu. Maka norma hukum yang bersangkutan dapat dikatakan
memang berlaku secara juridis.
Norma hukum berlaku secara politis apabila pemberlakuannya itu memang
didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata. Keberlakuan politik ini
berkaitan dengan teori kekuasaan (power theory) yang memberikan legitimasi pada
keberlakuan suatu norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan.
Apapun wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut

45
dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma
hukum yang bersangkutan dari segi politik.
Norma hukum berlaku mengutamakan pendekatan yang empiris dengan
mengutamakan beberapa pilihan kriteria pengakuan (recognition theory), penerimaan
(reception theory), faktisitas hukum. Hal itu menunjukkan, bahwa keadilan tidak
hanya dapat diperoleh di pengadilan, tetapi lebih jauh dari itu. Karena keadilan yang
sebenarnya muncul kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak yang
bersengketa.

2. PEMBENTUKAN HUKUM DAN MODEL MASYARAKAT.

Di dalam hubungan dengan masyarakat dimana pembuatan hukum itu


dilakukan, orang membedakan adanya beberapa model sedangkan pembuatan
hukumnya merupakan pencerminan model-model masyarakatnya. Chamblis dan
Seidman membuat perbedaan antara dua model masyarakat. :
- Model masyarakat berdasarkan pada basis kesepakatan akan nilai-nilai,
dimana berdirinya masyarakat bertumpu pada kesepakatan warganya.
- Model masyarakat berdasarkan dengan konflik, masyarakat dilihat sebagai
suatu perhubungan dimana sebagian warganya mengalami tekanan-tekanan
oleh warga lainnya.
- Sebagai kelanjutannya, maka dalam pembentukan hukum masalah pilihan
nilai-nilai tidak dapat dihindarkan.
Menurut Chambliss ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada pembentukan
hukum yang di identikkan itu, yaitu:

- Pembentukan hukum akan dilihat sebagai suatu proses adu kekuatan, dimana
Negara merupakan senjata di tangan lapisan yang berkuasa.
- Sekalipun terdapat pertentangan nilai-nilai didalam masyarakat, namun
negara dapat berdiri sebagai badan yang tidak memihak (value-neutral).
- Sebagai sarana untuk mencairkan pertentangan.
- Sebagai tindakan yang memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut.
Kedua- duanya menunjukkan, bahwa di dalam suatu masyarakat yang tidak
berlandaskan kesepakatan nilai-nilai itu, pembuatan hukum selalu akan

46
merupakan semacam endapan pertentangan-pertentangan yang terdapat dalam
masyarakat.

3. PEMBENTUKAN HUKUM DALAM NILAI-NILAI DI MASYARAKAT

Hukum mencoba untuk menetapkan pola hubungan antar manusia dan


merumuskan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat ke dalam bagan-bagan.
Seperti halnya dengan norma, maka nilai itu diartikan sebagai suatu pernyataan
tentang hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai itu menunjuk pada hal
yang sama tetapi dari sudut pandangan yang berbeda. Norma itu mewakili suatu
perspektif sosial, sedangkan nilai melihatnya dari sudut perspektip individual.
Menurut Fuller ada beberapa nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh hukum, yaitu :
- Harus ada peraturan lebih dahulu.
- Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak
- Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
- Perumusan peraturan-peratuaran itu harus jelas dan terperinci, dan dapat
dimengerti oleh rakyat.
- Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
- Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
- Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah.
- Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan
peraturan-peraturan yang telah dibuat.
Berhubungan dengan hal ini, maka satu sudut penglihatan yang dapat dipakai
untuk mengamati bekerjanya hukum itu adalah dengan melihatnya sebagai suatu
proses, yaitu apa yang dikerjakan oleh lembaga-lembaga hukum itu dan bagaimana
mereka melakukannya.
Untuk dapat mengikuti bekerjanya sistem hukum sebagai proses itu,
selanjutnya di uraikan dalam beberapa komponen, yaitu :
1) Komponen yang bersifat struktural, kelembagaan yang diciptakan oleh
sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka
mendukung bekerjanya sistem tsb.

47
2) Komponen yang bersifat kultural, yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap
yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat sistem hukum
itu ditengah-tengah kultur bangsa sebagai keseluruhan.
3) Komponen yang bersifat substantif, merupakan segi output sistem hukum,
pengertian ini dimasukkan norma-norma hukum sendiri, baik ia berupa
peraturan-peraturan, doktrin-doktrin, keputusan-keputusan, baik oleh pihak
yang mengatur maupun yang diatur.
Ketiga unsur hukum ini berada dalam proses interaksi satu sama lain dan
dengan demikian membentuk totalitas yang dinamakan sistem hukum.

4. PEMBENTUKAN HUKUM DALAM KULTUR MASYARAKAT.

Beberapa tokoh Inggris berpendapat bahwa jangan mempelajari budaya


hanya untuk mempelajari sejarah evolusi dan persebaran kebudayaan, melainkan
seharusnya mempelajari kebudayaan secara komparatif untuk merumuskan
generalisasi tetang masalah kebudayaan serta mengembangkan kaidah-kaidah
kehidupan masyarakat dan kebudayaan umat manusia. Kebudayaan harus dapat
menjamin kelestarian kehidupan biologis, memelihara ketertiban, serta memberikan
motivasi kepada para pendukungnya agar dapat terus bertahan hidup dan melakukan
kegiatan-kegiatan untuk kelangsungan hidup. Dalam jangka waktu tertentu, semua
kebudayaan mengalami perubahan. Leslie White (1969) mengemukakan bahwa
kebudayaan merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan lingkungan
alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas pendukungnya. Haviland (1993)
juga menyebut bahwa salah satu penyebab mengapa kebudayaan berubah adalah
lingkungan yang dapat menuntut kebudayaan yang bersifat adaptif (menyesuaikan).
Dalam konteks ini perubahan lingkungan yang dimaksud bisa menyangkut
lingkungan alam maupun sosial. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih
menekankan pada ide-ide yang mencakup perubahan dalam hal norma-norma dan
aturan-aturan yang dijadikan sebagai landasan berperilaku dalam masyarakat.
Sedangkan perubahan sosial lebih menunjuk pada perubahan terhadap struktur dan
pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup sistem status, politik dan
kekuasaan, persebaran penduduk, dan hubungan-hubungan dalam keluarga.
Perubahan kebudayaan masyarakat itu dapat berasal dari dalam masyarakat ataupun

48
dari luar masayarakat, adapun fakror penyebab perubahan dari dalam masyarakat
adalah:
 Faktor demografi; yaitu bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk.
Sebagai gambaran pertambahan penduduk yang saangat cepat di pulau
Jawa menyebabkan perubahan struktur kemasyarakatan, terutama yang
berkaitan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemahaman
terhadap hak atas tanah, sistem gadai tanah, dan sewa tanah yang
sebelumnya tidak dikenal secara luas. Perpindahan penduduk atau migrasi
menyebabkan berkurangnya jumlah penduduk di suatu daerah, sehingga
banyak lahan yang tidak terurus dan lembaga-lembaga kemasyarakatan
akan terpengaruh. Pengaruh akibat migrasi yang akan terlihat secara
langsung adalah dalam sistem pembagian kerja dan stratifikasi sosial.
 Penemuan baru; proses perubahan yang besar pengaruhnya tetapi terjadi
dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama disebut sebagai inovasi. Proses
tersebut meliputi suatu penemuan baru, masuknya unsur kebudayaan baru
yang terebar ke berbagai bagian masyarakat. Penemuan baru dibedakan
dalam dua pengertian, yaitu Discovery dan Invention. Discovery adalah
penemuan baru suatu unsur kebudayaan yang baru, baik berupa suatu alat
atau pun berupa ide-ide baru yang diciptakan oleh seseorang atau bisa juga
merupakan rangkaian ciptaan dari individu-individu dalam suatu
masyarakat. Discovery baru akan menjadi invention bila masyarakat sudah
mengakui, menerima, serta menerapkan penemuan baru yang ada.
 Pertentangan atau konflik dalam masyarakat; dapat menjadi sebab
timbulnya perubahan kebudayaan. Pertentangan yang terjadi bisa antara
orang perorangan, perorangan dengan kelompok, atau kelompok dengan
kelompok. Sebagai contoh pertentangan antar kelompok yaitu
pertentangan antara generasi tua dengan generasi muda. Pertentangan antar
generasi kerapkali terjadi pada masyarakat-masyarakat yang sedang
berkembang dari tahap tradisional ke tahap modern.
 Pemberontakan atau revolusi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri;
perubahan yang terjadi sebagai akibat revolusi merupakan perubahan besar
yang mempengaruhi seluruh sistem lembaga masyarakat.

49
5. PENERAPAN DAN PENEGAKAN HUKUM

Hukum bukan merupakan suatu karya seni yang adanya hanya untuk
dinikmati oleh orang-orang yang mengamatinya. Ia juga bukan suatu hasil
kebudayaan yang adanya hanya untuk menjadi bahan pengkajian secara logis-
rasional. Hukum diciptakan untuk dijalankan. “hukum yang tidak pernah dijalankan,
pada hakikatnya telah berhenti menjadi hukum”, demikian menurut Scholten.
Kemudian hukum bukanlah suatu hasil karya pabrik yang begitu keluar dari
bengkelnya langsung akan dapat bekerja. Kalau hukum mengatakan bahwa jual-beli
tanah harus dilakukan di hadapan pejabat yang ditunjuk untuk melakukan
pencatatannya, tidak berarti, bahwa sejak saat itu orang yang melakukan jual-beli itu
akan memperoleh pelayanan seperti ditentukan adanya beberapa langkah yang
memungkinkan ketentuan tersebut dijalankan.
- Harus ada pengangkatan pejabat sebagaimana ditentukan di dalam peraturan
hukum tersebut.
- Harus ada orang-orang yang melakukan perbuatan jual-beli tanah.
- Orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan tentang keharusan bagi
mereka untuk menghadapi pegawai yang telah ditentukan untuk mencatatkan
peristiwa tersebut.
- Bahwa orang-orang itu bersedia pula untuk berbuat demikian.
Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa hukum itu hanya akan dapat
berjalan melalui manusia. Manusialah yang menciptakan hukum, tetapi juga untuk
pelaksanaan dari pada hukum yang telah dibuat itu masih diperlukan campur tangan
manusia pula. Di dalam membicarakan penerapan hukum pada masyarakat-
masyarakat yang kompleks (menurut Chambliss & Seidman untuk masyarakat
modern) mereka mengatakan, bahwa ciri pokok yang membedakan masyarakat
primitip dan transisional dengan masyarakat kompleks adalah birokrasi. Masyarakat
modern bekerja melalui organisasi-organisasi yang disusun secara formal dan
birokratis dengan maksud untuk mencapai rasionalitas secara maksimal dalam
pengambilan keputusan serta efisiensi kerja yang berjalan secara otomatis[.
Menurut Schuyt, tujuan hukum yang kemudian harus diwujudkan oleh organ-
organ pelaksananya itu adalah sangat umum dan kabur sifatnya, ia menunjuk pada

50
nilai-nilai keadilan, keserasian dan kepastian hukum. Sebagai tujuan-tujuan yang
harus diwujudkan oleh hukum dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena kekaburan
dalam tujuan yang hendak dilaksanakan oleh hukum inilah, maka sekalipun
organisasi-organisasi yang dibentuk itu bertujuan untuk mewujudkan apa yang
menjadi tujuan hukum, organ-organ ini dipakai untuk mengembangkan
pendapatnya/penafsirannya sendiri mengenai tujuan hukum itu.
Dengan demikian maka organisasi-organisasi ini, seperti Pengadilan,
kepolisian, legislatif dsb, melayani kehidupannya sendiri, serta mengajar, tujuan-
tujuannya sendiri pula. Melalui proses ini terbentuklah suatu kultur, yang selanjutnya
akan memberikan pengarahan pada tingkah laku organisasi-organisasi serta
pejabatnya sehari-hari itu.

6. LINGKUNGAN PENERAPAN DAN PENEGAKAN HUKUM

Hukum mempunyai peranan sangat besar dalam pergaulan hidup di tengah-


tengah masyarakat. Hal ini dapat di lihat dari ketertiban, ketentraman dan tidak
terjadinya ketegangan di dalam masyarakat, karena hukum mengatur menentukan
hak dan kewajiban serta mengatur, menentukan hak dan kewajiban serta melindungi
kepentingan individu dan kepentingan sosial. Menurut J.F. Glastra Van Loon,
fungsi dan penerapan hukum di masyarakat adalah:
1) Menertibkan masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup.
2) Menyelesaikan pertikaian.
3) Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan-aturan jika perlu
dengan kekerasan.
4) Memelihara dan mempertahankan hak tersebut.
5) Mengubah tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka penyesuaian dengan
kebutuhan masvarakat.
6) Memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum dengan cara merealisasi
fungsi-fungsi di atas.
Sedangkan menurut Prof.Dr. Soerjono Soekanto adalah :
1) Alat ketertiban dan ketentraman masyarakat,
2) Sarana untuk mewujudkan keadilan social lahir bathin.
3) Sarana penggerak pembangunan.

51
Fungsi kritis hukum dewasa ini adalah Daya kerja hukum tidak semata-mata
pengawasan pada aparatur pemerintah (petugas), tetapi termasuk juga aparatur
penegak hukum. Dengan demikian hukum harus memiliki fungsi-fungsi yang
sedemikian rupa, sehingga dalam masyarakat dapat diwujudkan ketertiban,
keteraturan, keadilan dan perkembangan : Agar hukum dapat melaksanakan
fungsinya dengan baik, maka bagi pelaksanaan penegak hukum dituntut kemampuan
untuk melaksanakan atau menerapkan hukum, dengan seninya masing-masing, antara
lain dengan menafsirkan hukum sedemikian rupa sesuai keadaan dan posisi pihak-
pihak. Bila perlu dengan menerapkan analogis atau menentukan kebijaksanaan untuk
hal yang sama, atau hampir sama, serta penghalusan hukum (Rechtsfervinjing). Di
samping itu perlu diperhatikan faktor pelaksana penegak hukum, bahwa yang
dibutuhkan adalah kecekatan, ketangkasan dan keterampilannya.

7. PENYELESAIAN KONFLIK ATAU SENGKETA DALAM MASYARAKAT

Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai


kestabilan dinamakan dengan akomodasi. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian
saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-
bentuk akomodasi :
1) Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu
tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh
diganggu. Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka,
mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian,
merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.
2) Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga
yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah
pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja
dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa
dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
3) Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan
keputusan yang mengikat.
4) Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang
berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap

52
penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Kestabilan dan Tenaga
Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan
buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.
5) Jalan buntu, yaitu; keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan
memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling
menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi
untuk maju atau mundur.
6) Ajudikasi, yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
 Eliminasi, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik,
yang diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan
sebagainya.
 Subjugasi atau dominasi, yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan
terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain menaatinya. Sudah barang
tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak
yang terlibat.Contohnya adalah
 Aturan mayoritas, yaitu suara terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk
mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi.
 Persetujuan minoritas, yaitu kemenangan kelompok
mayoritas yang diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas.
Kelompok minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat
untuk melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas.
 Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di
dalam konflik Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan
mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu
keputusan yang memaksa semua pihak.

8. KOMPONEN/FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN


HUKUM

Masalah penegakan hukum di Indonesia sebenarnya suah banyak di


sampaikan oleh para pakar, ahli, birokrat diberbagai forum. Seperti menurut Robert
B Seidman ada tiga faktor yang berpengaruh berlakunya hukum yaitu :
 Peraturan Perundang-Undangan.

53
 Aparat Pelaksana (penegak hukum) dan
 Masyarakat (kesadaran dan kepatuhan hukum).
Sedangkan menurut Soerjono Sukanto menyatakan ada lima faktor yang
mempengaruhi bekerjanya hukum dimasyarakat, yaitu :
 Peraturan Perundang-Undangan.
 Aparat Pelaksana (penegak hukum) dan
 Lebih-lebih saat sekarang ini, kebanyakan peraturan perundang-
undangan merupakan produk penting dari pemegang kuasa.
Hal ini terjadi bukan karena dorongan kekuasaan untuk mengatur, bukan
karena kepada kekuasaan diberi kekuasaan membentuk hukum/aturan, akan tetapi
masyarakat sendiri yang menghendaki agar kekuasaan membentuk hukum/peraturan
perundangundangan. Lembaga Negara yang dikehendaki masyarakat tersebut sering
disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Peraturan perundangundangaan
sangat berpengaruh terhadap penegakkan hukum, oleh karena itu sejak dibuat oleh
pembentuknya perundanga-undangan harus menyerap nilai, aspirasi yang ada
dimasyarakat.
Selama ini pembuat peraturan perundangundangan tidak memberi perhatian
yang cukup apakah aturan yang nantinya bisa dijalankan atau tidak. Pembuat
peraturan perundang-undangan sadar ataupun tidak telah mengambil asumsi aturan
yang dibuat akan dengan sendirnya berjalan.Undang-Undang kerap kali dibuat oleh
DPR tanpa memperhatikan adanya jurang untuk melaksanakan antara satu daerah
yang satu dan daerah yang lain. Sering Undang-Undang yang dibuat hanya
mengambil sampel didaerah Jakarta saja, tidak melihat di daerah lain.
Konsekuensinya UU tersebut pada daerah-daerah tertentu sangat sulit dilaksanakan.
Sebagai contoh dalam undang-undang Perlindungan Anak, anak diharapkan
tidak bekerja sejak kecil, sedangkan untuk didaerah pantai untuk jadi seorang
nelayan, seseorang harus berusaha menyesuaikan dengan laut sejak kecil, maka wajar
apabila seorang anak tersebut sejak kecil sudah membantu keluarganya atau bekerja
di pantai sebagai nelayan. B. Pelaku Penegakkan Hukum Disetiap lini penegakkan
hukum, aparat dan pendukung penegak hukum, sangat rentan dann terbuka peluang
pratek korupsi atau suap. Hal ini juga wajar jika dilihat gaji atau upah yang diterima

54
oleh aparat penegak hukum sendiri sangat rendah, bahkan belum tentu mencukupi
untuk kebutuhan keluarga, oleh karena itu
seharusnya kesejahteraan aparat penegak hukum lebih utamakan. Gaji yang
besar dan tunjangan kesejahteraan yang telah sesuai dengan taraf hidup masyarakat,
akan membuat penegak hukum kebal terhadap rayuan suap maupun korupsi.
Tentunya gaji dan tunjangan yang besar harus diikuti dengan punishment yang tegas
terhadap ini. Sekarang ini dari semua lini penegakkan hukum hanpir bisa ditemukan
praktek-pratek korupsi maupun suap.
Dalam tingkat penyidikan uang dapat mempengaruhi posisi tawar atas pasal-
pasal yang akan disangkakan. Dalam tingkat penuntutan, uang bisa berpengaruh atas
diteruskan tidaknya penuntutan oleh penuntut umum, bahkan jika penuntutan itu
dilakukan maka uang akan berpengaruh terhadap berat tuntutan yang akan
dikenakan.
Di Institusi peradilan uang juga berpengaruh atas putusan yang akan
dijatuhkan oleh Hakim. Uang dapat melepasakan atau membebaskan terdakwa, jika
dinyatakan bersalah uang dapat mengatur rendah dan seringannya hukuman yang
dijatuhkan. Sedangkan di Lembaga Pemasyarakatan uang akan berpengaruh kepada
narapidana, yaitu siapa yang memiliki uang akan mendapat perlakuan yang lebih
baik dan manusiawi.
Masalah penegak hukum juga pada masalah sumber daya manusianya.
Diawal-awal kemerdekaan istitusi hukum kejaksaan ataupun peradilan diisi oleh para
tokoh-tokoh yang tidak jarang menjadi guru besar pada universitas ternama. Profesi
hakim dann jaksa sangat dihormati, temasuk penghasilan hakim dan jaksa sangat
besar, lebih dari seorang advokat.Tapi sekarang banyak lulusan terbaik dari
universitas yang ternama yang menolak menjadi seorang hakim ataupun jaksa, tetapi
mereka lebih memilih bekerja sebagai lawyer yang mana gajinya lebih besar dari
pada gaji seorang hakim atau jaksa. Keenganan untuk memasuki lembaga peradilan
atau kejaksaan juga terindikasi karena proses rekruitmennya adanya suap.
Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku. Nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).

55
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar atau menadasari hukum adat yang berlaku.
Hukum adat tersebut merupakan kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat banyak.
Akan tetapi di samping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undangan)
yang dibentuk oleh golongan tertentu dalam masyarakatyang mempunyai kekuasaan
wewenang untuk itu. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat
mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat agar hukum
perundangundangan tersebut dapat berlaku secara efektif. Semakin banyak
persesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat,
maka akan semakin mudahlah menegakkannya.
Sebaliknya, apabila suatu peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau
bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk
melaksanakan atau menegakkan peraturan hukum dimaksud. Masyarakat Indonesia
terutama yang berada di kota-kota besar bila mereka berhadapan dengan prosese
hukum akan melakukan berbagai upaya agar tidak dikalahkan atau terhindar dari
hukuman, kenyataan ini mengindikasikan masyarakat diindonesia sebagai
masyarakat pencari kemenangan ,bukan pencari keadilan sebagai kemenangan, tidak
heran bila semua upaya akan dilakukan ,baik yang sah maupun yang tidak,semata –
mata untuk mendapat kemenangan.
Di samping itu juga, sebagai tambahan, adanya fasilitas dan sarananya.
Secara sederhana fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mancapai tujuan.
Ruang lingkupnya adalah terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor
pendukung. Apabila sarana dan prasarana sudahn ada maka faktor-faktor
pemeliharanya juga memegang perananan yang sangat penting.
Memang sering kali terjadi bahwa suatu peraturan perundang undangan
diberlakukan padahal sarana pendukungnya belum tersedia lengkap.Peraturan yang
semula bertujuan untuk memperlancar suatu proses, malahan mengakibatkan
terjadinya kemacetan. Mungkin ada baiknya bahwa pada waktu hendak menerapkan
suatu peraturan resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas dipikirkan dahulu
sarana dan fasilitasnya.
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan
hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,

56
peralatan yang memadahi, keuangan yang cukupdan seterusnya. Kalau hal ini tidak
terpebuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.

57
BAB VII: KESADARAN HUKUM DAN KEPATUHAN HUKUM

1. KESADARAN HUKUM

Kesadaran hukum secara umum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia
tentang apa hukum ituatau apa seharusnya hukum itu suatu kategori tertentu dari hidup
kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan onrecht antara yang
seharusnya dilakukan dan tidak seharusnya dilakukan.
Beberapa ahli memberikan pengertian tentang “kesadaran” dan hukum, di antaranya
sebagai berikut.
a. Soerjono Soekanto (1982): Kesadaran hukum sebenarnya adalah kesadaran atau
nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau
tentang hukum yang diharapkan.
b. Achmad Sanusi (1997): Dalam batasan pengertian yang luas kesadaran hukum
adalah potensi masyarakat yang harus mem budaya dengan kaidah sehingga
mengikat dan dapat dipaksakan.
c. Paul Scholten: Kesadaran hukum tidak lain adalah suatu kesadaran yang ada di
dalam kehidupan manusia untuk selalu patuh dan taat kepada hukum. Di sinipun
dengan jelas terlihat, bahwa Scholten menekankan tentang nilai-nilai masyarakat
tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat.
Sejalan dengan pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa persoalannya di
sini kembali pada masalah dasar daripada sahnya hukum yang berlaku, yang
akhirnya harus dikembalikan pada nilai-nilai masyarakat.
Jadi kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri
manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sebenarnya
yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian
hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.
A. Indikator Kesadaran Hukum
Setiap manusia yang normal mempunyai kesadaran hukum, masalahnya adalah
taraf kesadaran hukum tersebut, yaitu ada yang tinggi, sedang dan renda. Berkaitan
dengan hal tersebut Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa “untuk mengetahui
tingkat kesadaran hukum masyarakat terdapat empat indikator yang dijadikan tolok

58
ukur yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan pola perilaku
hukum”. Setiap indikator tersebut menunjukkan tingkat kesadaran hukum tertentu mulai
dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi.
Indikator-indikator dari kesadaran hukum hanyalah dapat terungkapkan apabila
seseorang mengadakan penelitian secara seksama terhadap gejala tersebut. Indikator-
indikator tersebut sebenarnya merupakan petunjuk-petunjuk yang relatif nyata tentang
adanya taraf kesadaran hukum tertentu.
Pengetahuan hokum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku
tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu hukum yang dimaksud di sini adalah
hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan
perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Di samping
itu, pengetahuan tersebut erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap
mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah diundangkan.
Pemahaman hukum diartikan sebagai sejumlah informasi yang dimiliki
seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain,
pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan suatu peraturan
dalam hukum tertentu serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang yang kehidupannya di
atur oleh peraturan tersebut. Dalam hal pemahaman hokum tidak disyaratkan seseorang
harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur suatu hal.
Akan tetapi yang dilihat disini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi
berbagai hal yang ada kaitannya dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Pemahaman ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku
sehari-hari.
Sikap hukum diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk menerima hukum
karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau
menguntungkan jika hukum itu ditaati. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan
masyarakat terhadap hukum yang sesuai nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga
akhirnya masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Padgorecki mengartikan sikap hukum (legal attitude)
sebagai.
Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum,
karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat.

59
Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat
dilihat dari pola perilaku hukum. Telah dikemukan sebelumnya bahwa setiap indikator
kesadaran hukum menunjukan taraf kesadaran hukum. Apabila masyarakat hanya
mengetahui adanya suatu hukum, dapat dikatakan kesadaran hukum yang dimiliki
masih rendah. Dalam hal ini perlu adanya pengertian dan pemahaman yang mendalam
terhadap hukum yang berlaku, sehingga warga masyarakat akan memiliki suatu
pengertian terhadap tujuan dari peraturan bagi dirinya dan masyarakat pada umunya
serta negara sebagai wadah kehidupan individu dan masyarakat.
B. Penaatan hukum
Seorang warga masyarakat menaati hukum karena berbagai sebab. Sebab-sebab
dimaksud, dapat dicontohkan sebagai berikut:
a. Takut karena sanksi negatif, apabila melanggar hukum dilanggar
b. Untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa
c. Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya
d. Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
e. Kepentingannya terjamin
Secara teoritis, faktor keempat merupakan hal yang paling baik. Hal itu
disebabkan pada faktor pertama, kedua, dan ketiga, penerapan hukum senantiasa di
dalam kenyataannya.
C. Pengharapan terhadap hukum
Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah
mengetahui, memahami, dan menaatinya. Artinya, dia benar-benar dapat merasakan
bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketenteraman dalam dirinya.
Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriah dari manusia, akan tetapi juga dari
segi batinia.
D. Peningkatan kesadaran hukum
Peningkatan kesadaran hukum seyogyanya dilakukan melalui penerangan dan
penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Tujuan utama
dari penerangan dan penyuluhan hukum adalah agar warga masyarakat memahami
hukum-hukum tertentu, sesuai masalah-masalah hukum yang sedang dihadapi pada
suatu saat. Penerangan dan penyuluhan

60
hukum menjadi tugas dari kalangan hukum pada umumnya, dan khususnya mereka
yangmungkin secara langsung berhubungan dengan warga masyarakat, yaitu petugas
hukum.

2. KESADARAN HUKUM DALAM PERATURAN UNDANG-UNDANG

Di dalam ilmu hukum dikenal adanya beberapa pendapat mengenai kesadaran


hukum. Ada yang merumuskan bahwa kesadaran hukum merupakan satu-satunya
sumber dari hukum dan kekuatan mengikatnya hukum, serta keyakinan hukum individu
dalam masyarakat yang merupakan kesadaran hukum individu adalah dasar atau pokok
terpenting dari kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum merupakan salah satu
unsur penting selain unsur ketaatan hukum yang sangat menentukan efektif atau
tidaknya pelaksanaan hukum atau perundang-undangan di dalam masyarakat.
Menurut Krabbe, kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang
terdapat di dalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
diharapkan ada. Pengertian lain mengenai kesadaran hukum, dijelaskan oleh Soerjono
Soekanto bahwa kesadaran hukum itu merupakan persoalan nilai-nilai dan konsepsi-
konsepsi abstrak yang terdapat dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban
dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya.
Kesadaran hukum mempunyai beberapa konsepsi, salah satu diantaranya adalah
konsepsi mengenai kebudayaan hukum. Konsepsi ini mengandung ajaran-ajaran
kesadaran hukum yang lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang
dianggap sebagai mediator antara hukum dengan perilaku manusia, baik secara
individual maupun kolektif.
Menurut Scholten yang dimaksud dengan kesadaran hukum adalah Kesadaran yang ada
pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu
kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum
(recht) dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak
seyogyanya dilakukan.
Pendapat Laica Marzuki bahwa pengertian kesadaran hukum yaitu Pertama-tama
bertitik tolak dari pemahaman yang memandang bahwa kesadaran hukum merupakan
bagian alam kesadaran manusia. Hanya pada manusia yang berada dalam kondisi
kesadaran yang sehat serta adekuat (compos menitis) dapat bertumbuh dan berkembang

61
penghayatan kesadaran hukum. Kesadaran hukum bukan bagian dari alam
ketidaksadaran manusia, meskipun pertumbuhannya dipengaruhi oleh naluriah hukum
(rectsinstinct) yang menempati wujud bawah peraaan hukum (lagere vorm van
rechtsgevoed).
Kesadaran hukum itu sendiri menurut Achmad Ali ada dua macam, yaitu:
- Kesadaran hukum positif, identik dengan ketaatan hukum.
- Kesadaran hukum negatif identik dengan ketidaktaatan hukum.
Kesadaran hukum yang dimiliki sesorang atau warga masyarakat, belum
menjamin bahwa seseorang atau warga masyarakat tersebut akan menaati suatu aturan
hukum atau perundang-undangan. Sebagai contoh, diberikan oleh Achmad Ali,
seseorang yang mempunyai kesadaran hukum bahwa melanggar traffic light adalah
pelanggaran hukum, dan menyadari pula bahwa hanya polisi yang berwenang untuk
menangkap dan menilangnya, orang itu dengan kesadaran hukumnya tadi,belum tentu
tidak melanggar lampu merah. Ketika orang itu melihat tidak ada polisi di sekitar traffic
light, maka orang itu karena terburu-buru untuk tidak terlambat menghadiri suatu acara
penting, mungkin saja akan melanggar lampu merah, sekali lagi dengan kesadaran
hukumnya, bahwa dirinya tidak akan tertangkap dan tidak akan dikenai tilang, karena
tidak ada seorang polisi pun di sekitar itu.
Kesadaran hukum dengan hukum mempunyai kaitan yang sangat erat, dimana
kesadaran hukum merupakan faktor dalam penemuan hukum sehingga kesadaran
hukum merupakan sumber dari segala hukum. Jadi, hukum hanyalah hal yang
memenuhi kesadaran hukum kebanyakan orang, sehingga undang-undang yang tidak
sesuai dengan kesadaran hukum kebanyakan orang akan hilang kekuatan mengikatnya.
Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa
hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan
kita dengan mana kita membedakan antara yang seharusnya dilakukan dan tidak
seharusnya dilakukan. Kesadaran tentang apa hukum itu berarti kesadaran bahwa
hukum itu merupakan perlindungan kepntingan manusia. Bukankah hukum itu
merupakan kaedah yang fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia?
Karena jumlah manusia itu banyak dan beraneka ragam pula serta bersifat dinamis.
Oleh karena itu tidak musthail akan terjadinya pertentangan antara kepentingan
manusia. Apabila semua kepentingan manusia itu dapat dipenuhi tanpa terjadinya

62
sengketa atau pertentangan, kalau segala sesuatu itu terjadi secara teratur tidak akan
dipersoalkan apa hukum itu, apa hukumnya, siapa yang berhak atau siapa yang bersalah.
Kesadaran hukum adalah sumber dari segala hukum. Dengan kata lain kesadaran
hukum tersebut ada pada setiap manusia karena setiap manusia memiliki kepentingan,
sehingga apabila hukum tersebut dihayati dan dilaksanakan dengan baik maka
kepentingannya akan terlindungi dan apabila terjadi pergesekan kepentingan maka
hukum hadir sebagai alternatif
penyelasaian. Dengan demikian kesadaran hukum bukan hanya harus dimiliki
oleh golongan tertentu saja seperti sarjana hukum, pengacara, polisi, jaksa serta hakim,
tetapi pada dasarnya harus dimiliki oleh setiap manusia tanpa terkecuali agar
kepentingannya dapat terlindungi.

3. KEPATUHAN HUKUM

Kepatuhan Hukum (Legal Obedience), Kepatuhan berasal dari kata patuh, yang
berarti tunduk, taat dan turut. Mematuhi berarti menunduk, menuruti dan mentaati.
Kepatuhan berarti ketundukan,ketaatan keadaan seseorang tunduk menuruti sesuatu atau
sesorang. Jadi, dapatlah dikatakan kepatuhan hukum adalah keadaan seseorang warga
masyarakat yang tunduk patuh dalam satu aturan main (hukum) yang berlaku.
Menurut Robert Biersted dan Mac Graw Hill Kogakusha (1970:227-229) dalam buku
The Sosial Order, kepatuhan hukum merupakan substansi norma hukum dalam upaya
membangun budaya hukum.Sedangkan kepatuhan hukum masyarakat merupakan
kesetiaan masyarakat terhadap hukum yang diwujudkan dalam bentuk perilaku nyata
patuh pada hokum. Kepatuhan hukum adalah ketaatan pada hukum, dalam hal ini
hukum yang tertulis. Kepatuhan atau ketaatan ini didasarkan pada kesadaran. Hukum
dalam hal ini hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan mempunyai pelbagai
macam kekuatan, kekuatan berlaku atau “rechtsgeltung”. Kalau suatu undang-undang
itu memenuhi syarat-syarat formal atau telah mempunyai kekuatan secara yuridis,
namun belum tentu secara sosiologis dapat diterima oleh masyarakat, ini yang disebut
kekuatan berlaku secara sosiologis. Masih ada kekuatan berlaku yang disebut
filosofische rechtsgetung, yaitu apabila isi undang-undang tersebut mempunyai ketiga
kekuatan berlaku sekaligus.

63
Dalam konteks kepatuhan hukum didalamnya ada sanksi positif dan negatif,
ketaatan merupakan variable tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada
kepuasan diperoleh dengan dukungan sosial. Menurut Satjipto Rahardjo ada 3 faktor
yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum:
- Compliance, kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan
usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila
seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat terhadap
kaidah hukum tersebut.
- Identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena
nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada
hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah
kaidah hukum tersebut.
- Internalization, seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara
intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya
dari pribadi yang bersangkutan.
- Kepatuhan merupakan sikap yang aktif yang didasarkan atas motivasi setelah ia
memperoleh pengetahuan. Dari mengetahui sesuatu, manusia sadar, setelah
menyadari ia akan tergerak untuk menentukan sikap atau bertindak. Oleh karena
itu dasar kepatuhan itu adalah pendidikan, kebiasaan, kemanfaatan dan
identifikasi kelompok. Jadi karena pendidikan, terbiasa, menyadari akan
manfaatnya dan untuk identifikasi dirinya dalam kelompok manusia akan patuh.
Jadi harus terlebih dahulu tahu bahwa hukum itu ada untuk melindungi dari kepentingan
manusia, setelah tahu kita akan menyadari kegunaan isinya dan kemudian menentukan
sikap untuk mematuhinya. Kepatuhan merupakan sikap yang aktif yang didasarkan atas
motivasi setelah ia memperoleh pengetahuan. Dari mengetahui sesuatu, manusia sadar,
setelah menyadari ia akan tergerak untuk menentukan sikap atau bertindak. Oleh karena
itu dasar kepatuhan itu adalah pendidikan, kebiasaan, kemanfaatan dan identifikasi
kelompok. Jadi karena pendidikan, terbiasa, menyadari akan manfaatnya dan untuk
identifikasi dirinya dalam kelompok manusia akan patuh. Jadi harus terlebih dahulu
tahu bahwa hukum itu ada untuk melindungi dari kepentingan manusia, setelah tahu kita
akan menyadari kegunaan isinya dan kemudian menentukan sikap untukmematuhinya.
A. Teori Ketaatan Hukum

64
Kajian sosiologi hukum terhadap ketaatan atau kepatuhan hukum menurut
Satjipto Rahardjo pada dasarnya melibatkan dua variabel, masing-masing adalah hukum
dan manusia yang menjadi objek pengaturan hukum tersebut. Dengan demikian,
kepatuhan terhadap hukum tidak hanya dilihat sebagai fungsi peraturan hukum,
melainkan juga fungsi manusia yang menjadi sasaran pengaturan. Kepatuhan hukum
tidak hanya dijelaskan dari kehadiran hukum semata, melainkan juga dari kesediaan
manusia untuk mematuhinya.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah atas dasar apakah seseorang atau
kelompok orang atau suatu masyarakat itu taat/patuh pada hukum yang berlaku.
Soerjono Soekanto mengemukakan tentang dasar-dasar kepatuhan terhadap suatu
kaidah, termasuk kaidah hukum adalah disebabkan:
1) Sebab pertama mengapa seseorang atau kelompok atau masyarakat mematuhi
kaidah-kaidah adalah karena dia diberi indoktrinir untuk berbuat demikian.
Sejak kecil manusia telah dididik agar mematuhi kaidah-kaidah yang beraku
dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dengan unsur-unsur kebudayaan
lainnya, maka kaidah-kaidah sebenarnya telah ada sewaktu sesorang dilahirkan,
dan semula manusia menerimahnya secara tidak sadar. Melalui proses
sosialisasi manusia didik untuk mengenal, mengetahui, serta mematuhi kaidah-
kaidah tersebut.
2) Oleh karena sejak mengalami proses sosialisasi maka lama kelamaan menjadi
suatu kebiasaan untuk mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku. Memang pada
mulanya adalah sukar sekali untuk mematuhi kaidah-kaidah yang berlaku yang
seolah-olah mengekang kebebasan. Akan tetapi, apabila hal itu setiap hari
dijumpai, maka lama kelamaan akan menjadi suatu kebiasaan untuk
mematuhinya, terutama apabila manusia sudah mulai mengulangi perbuatan-
perbuatannya dengan bentuk dan cara yang sama.
3) Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas dan
teratur. Akan tetapi apa yang pantas dan teratur bagi seseorang, belum tentu
pantas dan teratur bagiorang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu patokan
tentang kepantasan dan keteraturan tersebut; patokan-patokan tadi merupakan
pedoman-pedoman atau takaran-takaran tentang tingkah laku yang dinamakan

65
kaidah. Dengan demikian, maka salah satu faktor yang menyebabkan orang taat
pada kaidah adalah karena kegunaan daripada kaidah tersebut.
4) Salah satu sebab mengapa orang patuh pada kaidah-kaidah adalah karena
kepatuhan tersebut merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi
dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaidah - kaidah yang berlaku dalam
kelompoknya karena dia menganggap kelompoknya lebih dominan dari
kelompok-kelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan
identifikasi dengan kelompoknya tadi.
Terdapat macam-macam derajat kepatuhan terhadap kaidah-kaidah, mulai dari
derajat kesesuaian sikap dan perilaku dengan nilai dan kaidah yang berlaku atau
konformitas yang tinggi sampai pada mereka yang dinamakan golongan-golongan non
konformitas. Bahkan pada masyarakat-masyarakat yang mempunyai kebudayaan dan
struktur sosial sederhana, dapat dijumpai orang-orang yang tidak mematuhi kaidah-
kaidah.
Di dalam masyarakat, seorang individu taat pada kaidah-kaidah karena dia
mempunyai perasaan keadilan yang bersifat timbal balik. Hal ini timbul dan tumbuh
berkembang sebagai akibat dari partisipasinya dalam hubungan-hubungan sosial
terutama dalam kelompok-kelompok seusia. Dalam kaitan ini, Soerjono Soekanto
mengemukakan pendapat Hoflanfd, Janis dan Kelly, sebagai berikut :
“Bahwa keinginan untuk tetap menjadi bagian dari kelompok merupakan motivasi
dasar dari individu untuk secara pribadi taat pada hukum. Sebenarnya keinginan
tersebut tidaklah semata-mata karena penilaian positif terhadap keanggotaan
kelompok. Hal itu terjadi karena adanya suatu kekuatan yang menahan seseorang
untuk meninggalkan kelompoknya, karena penilaiannya yang negatif terhadap
keadaan di luar kelompoknya, karena kesadarannya betapa beratnya keadaan
apabila ia berada di luar kelompoknya dan karena adanya kekuatan-kekuatan
tertentu mempengaruhinya dari kelompoknya.”
Pandangan lain mengenai pertanyaan mengapa seseorang harus taat pada hukum
dapat dijawab secara filosofi, sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali dari tema tentang
compliance dalam buku The Philosophy of Law An Encyclopedia karya editor
Cristopher Berry Gray, bahwa paling tidaknya ada tiga pandangan mengapa seseorang
menaati hukum, sebagai berikut:

66
1) Pandangan ekstrem pertama, adalah pandangan bahwa merupakan 'kewajiban
moral' bagi setiap warga negara untuk melakukan yang terbaik yaitu senantiasa
menaati hukum, kecuali dalam hal hukum memang menjadi tidak menjamin
kepastian atau inkonsistensi, kadang-kadang keadaan ini muncul dalam
pemerintahan rezim lalim.
2) Pandangan kedua yang dianggap pandangan tengah, adalah bahwa kewajiban
utama bagi setiap orang ('prime face') adalah kewajiban untuk menaati hukum.
3) Pandangan ketiga dianggap pandangan ekstrem kedua yang berlawanan dengan
pandangan ekstrem pertama, adalah bahwa kita hanya mempunyai kewajiban
moral untuk menaati hukum, jika hukum itu benar dan kita tidak terikat untuk
menaati hukum.
Jadi, dapat dipahami bahwa secara filosofis pada dasarnya setiap orang memiliki
kewajiban untuk taat pada hukum. Ketiga pandangan di atas memilik pandangan
tentang kewajiban untuk menaati hukum yang berbeda. Pandangan pertama memandang
bahwa menjadi kewajiban moral untuk setiap warga menaati hukum kecuali, jika
hukum itu tidak menjamin kepastian hukum atau inkonsisten. Pandangan lainnya yang
bertentangan dengan pandangan sebelumnya, memandang bahwa kewajiban moral
untuk menaati hukum hanya jika hukum itu benar, sehingga kita tidak terikat untuk
menaati hukum. Pandangan lain yang dianggap sebagai pandangan tengah ialah
pandangan bahwa kewajiban utama setiap orang ialah kewajiban untuk taat pada
hukum.
Soerjono Soekanto mengemukakan pendapat H.C Kelman bahwa masalah
kepatuhan hukum yang merupakan suatu derajat secara kualitatif dapat dibedakan
dalam tiga proses, sebagai berikut:
1) Compliance, diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan
akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang
mungkin dijatuhkan. Kepatuhan ini bukan didasarkan pada suatu keyakinan
pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan, dan lebih didasarkan pada
pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya maka kepatuhan
akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-
kaidah hukum tersebut.

67
2) Identification, terjadi apabila kepatuhan terhadap hukum ada bukan karena
intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada
hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan
kaidah-kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang
diperoleh dari hubungan-hubungan interaksi tadi. Walaupun sesorang tidak
menyukai penegak hukum akan tetapi proses identifikasi terhadapnya berjalan
terus dan mulai berkembang perasaan-perasaan positif terhadapnya. Hal ini
disebabkan, oleh karena orang yang bersangkutan berusaha untuk mengatasi
perasaan-perasaan khawatirnya terhadap kekecewaan tertentu, dengan jalan
menguasai objek frustasi tersebut dengan mengadakan identifikasi.
3) Internalization, sesorang mematuhi kaidah-kaidah hukum oleh karena secara
intrinstik keatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah
sesuai dengan nilai-nilainya sejak semula pengaruh terjadi atau oleh karena dia
mengubah nilai-nilai yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah
komformitas yang didasarkan pada motivasi secara intinstik. Pusat kekuatan dari
proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah
yang bersangkutan, terlepas dari perasaan atau nilai-nilai terhadap kelompok
atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya.
Pendapat di atas diutarakan pula oleh Achmad Ali dengan formulasi bahasa
sendiri untuk mempermudah mahasiswa memahami konsep H.C Kelman, sebagai
berikut:
- Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika sesorang menaati suatu aturan,
hanya karena ia takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini, karena ia
membutuhkan pengawasan yang terus menerus.
- Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan,
hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak.
- Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan,
benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai
intrinstik yang dianutnya.
Di dalam realitasnya, menurut Achmad Ali bahwa berdasarkan konsep H.C.
Kelman tersebut, seseorang dapat menaati suatu aturan hukum, hanya karena ketaatan
salah satu jenis saja, misalnya hanya taat karena compliance, dan tidak karena

68
identification, atau internalization. Tetapi juga dapat terjadi, seseorang dapat menaati
suatu aturan hukum, berdasarkan dua jenis atau bahkan tiga jenis ketaatan sekaligus.
Selain karena aturan hukum itu memang cocok dengan nilai-nilai intrinstik yang
dianutnya, juga sekaligus ia dapat menghindari sanksi dan memburuknya hubungan
baiknya dengan pihak lain.
Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan, kapan suatu aturan hukum atau
perundang-undangan dianggap tidak efektif berlakunya, menurut Achmad Ali
jawabannya adalah:
- Jika sebagian besar warga masyarakat tidak menaatinya;
- Jika ketaatan sebagian besar warga masyarakat hanya ketaatan yang bersifat
'compliance' atau 'identification'. Dengan kata lain, walaupun sebagian besar
warga masyarakat terlihat menaati aturan hukum atau perundang-undangan,
namun ukuran atau kualitas efektivitasnya aturan atau perundang-undangan itu
masih dapat dipertanyakan.
Jadi menurut Achmad Ali, dengan mengetahui adanya tiga jenis ketaatan
tersebut, maka tidak dapat sekedar menggunakan ukuran ditaatinya suatu aturan hukum
atau perundang-undangan sebagai bukti efektifnya aturan tersebut, tetapi paling
tidaknya juga harus ada perbedaan kualitas efektivitasnya. Semakin banyak warga
masyarakat yang menaati suatu aturan atau perundang-undangan hanya dengan ketaatan
yang bersifat 'compliance' atau 'identification' saja, berarti kualitas efektivitasnya masih
rendah, sebaliknya semakin banyak ketaatan yang bersifat 'internalization', maka
semakin tinggi kualitas efektivitas aturan hukum atau perundang-undangan itu.

69
BAB VIII: PENUTUP

1. KESEIMPULAN

Sosiologi hukum sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri merupakan


salah satu bentuk cabang ilmu devariatif dari sosiologi umum. Sosiologi hukum
didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris
menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-
gejala sosial lainnya.
Sosiologi Hukum lahir dan berkembang bukanlah terjadi secara kebetulan,
akan tetapi sengaja digali dan ditekuni. Pemikiran terhadap perlunya
mengembangkan suatu disiplin atau subdisiplin ilmu ini berawal dari adanya
kesadaran bahwa: Hukum yang merupakan salah satu pedoman hidup manusia dalam
berperilaku menghadapi sesama anggota masyarakat, tidaklah tepat apabila
ditempatkan sebagai berharga mati, yang bersifat harus dilakukan, diikuti, tanpa
kecuali atau yang biasa disebut berdasar Das Sollen. Pemikiran itu muncul karena
manusia, sebagai pengguna pedoman itu, selalu mengalami perkembangan, pedoman
yang dianutnya pun haruslah berkembang juga sesuai dengan kenyataan yang ada,
atau mulai berpikir tentang Das Sein, yaitu berpikir tentang kenyataan-kenyataan.
Hukum sebagai pedoman hidup bisa berdampak positif, dan bisa juga berdampak
negatif. Hal ini terjadi karena baik-buruknya suatu pelaksanaan terhadap hukum
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, dengan demikian, dapatlah dirumuskan
bahwa sosiologi hukum sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain
meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati
hukum tersebut serta faktor social lain yag mempengaruhinya.
Dalam lembaga-lembaga terdapat kekuasaan yang dimiliki oleh individu-
individu dan secara ril memiliki kemampuan yang lebih untuk melaksanakan hak-hak
melalui lembaga hukum. Hukum tanpa kekuasaan akan mati begitu juga sebaliknya
kekuasaan merupakan kedudukan dimana hukum itu bisa exist. Dalam hal ini juga
dijelaskan bahwa hukum sebagai alat agar kekuasaan tidak melakukan hal yang
sewenang-wenangnya tujuannya untuk menciptakan keadilan antara penyuruh dan yang
disuruh.

70
Perubahan sosial mengarah kepada perubahan hukum. Dalam hal ini, hukum
bersifat reaktif dan mengikuti perubahan sosial. Perubahan hukum adalah salah satu
dari banyak respons terhadap perubahan sosial. Sering kali respons hukum terhadap
perubahan sosial, yang sudah pasti melalui suatu tenggang waktu (time lag), akan
menyebabkan perubahan sosial baru. Hukum berperan penting dalam mendorong
terjadinya perubahan sosial dengan berbagai cara. Hukum dapat membentuk institusi
sosial yang akan membawa pengaruh langsung pada tingkat atau karakter perubahan
sosial, hukum sering kali menyediakan kerangka institusional bagi lembaga tertentu
yang secara khusus dirancang untuk mempercepat pengaruh perubahan, serta hukum
membentuk kewajiban-kewajiban untuk membangun situasi yang dapat mendorong
terjadinya perubahan. Diperlukan kondisi-kondisi tertentu agar hukum dapat
mempengaruhi perilaku (perubahan sosial) secara efektif.

71
DAFTAR RUJUKAN

1. SUMBER BUKU

Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok SosiologiHukum. Rajawali Pers cet-5, Jakarta.


Umanailo, M. Chairul Basrun. 2016. Sosiologi Hukum. FAM Publishing. Maluku.
Soekanto, Soerjono.Mengenal Sosiologi Hukum. Citra Aditya Bakti.Bandung.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta:Rajawali Pers,2010
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Jakarta:Snar Grafika,2010
Chandra Pratama, 1996). Muhammad Abu Zahrah, Ushul ul-Fiqhi (Kairo: Darul Fikriil
‘Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis, (Cet I: Jakarta: Arabi, t.th).
Sosiologi Hukum, Yesmil Anwar
Soerjono, soekanto. Sosiologi, suatu pengantar. Cetakan VI. Jakarta ; yayasan penerbit
U.I 1978
Achmad Ali. 2012. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta:
Kencana. Cet 4.
Satjipto Rahardjo. 2010. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan
Masalah.Yogyakarta: Genta Publishing.
Soerjono, Soekanto. 1982. Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-
Masalah Sosial. Bandung: Alumni
Achmad Ali. 2012. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta:
Kencana. Cet 4.
Achmad Ali dan Wiwie Heryani. 2012. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum.
Jakarta:KencanaVMarwan Mas. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia
Laica, Marzuki. 1995. Siri, Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis
Makassar.Hasanuddin University Pres
Soerjono, Soekanto. 1982. Kesadarn Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: Rajawali
Pers
Soerjono Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada

2. SUMBER IMTERNET

http://aepcitystudio.blogspot.com/2014/09/ruang-lingkup-sosiologi-hukum.html?m=1.
Diakses pada 25 Februari 2019.
http://diva-yana.blogspot.co.id/2014/06/struktur-sosial-dan-hukum.html
http://www.duniapelajar.com/2010/06/05/kaidah-kaidah-sosial-dan-hukum/
http://junaidimaulana.blogspot.co.id/2013/02/struktur-sosial-dan-hukum.html
https://www.academia.edu/30618776/Sosiologi_Hukum
http://ririnbrain.blogspot.com/2008/11/hukum-sebagai-alat-untuk-mengubah.html
Soekanto, Soerjono. 2010. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada

72
https://www.researchgate.net/profile/Moch_Syahri/publication/320998430_Strukt
urasi_Anthony_Giddens/links/5a06454e0f7e9b68229926e0/Strukturasi-Anthony-
Giddens.pdf?origin=publication_detail,
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/197007111994032-
SITI_NURBAYANI_K/Karya/teori_strukturasi_giddens.pdf,
file:///C:/Users/acer/Downloads/1492-3066-1-PB%20(3).pdf,
https://www.academia.edu/21113782/Hukum_dan_Perubahan_Sosial?auto=down lod
https://www.academia.edu/4002902/Hukum_dan_Perubahan_Sosial?auto=downl oad,
https://ocw.upj.ac.id/files/Slide-PSI-311-Materi-Konsep-Perubahan-Sosial-
Lanjutan.pdf,
https://www.academia.edu/19519435/BEKERJANYA_HUKUM_DAN_FAKTOR_YA
NG_MEMPENGARUHINYA
file:///C:/Users/asus/Downloads/BEKERJANYA_HUKUM_TENTANG_DESA_DI_R
ANAH_PEMBERDAYAA.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/26706-ID-pengaruh-budaya-hukum-
terhadap-pembangunan-hukum-di-indonesia-kritik-terhadap-le.pdf
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/pengaruh-
budaya-terhadap-dinamika-hukum
http://zriefmaronie.blogspot.com/2014/05/bekerjanya-hukum-dalam-masyarakat.html

73

Anda mungkin juga menyukai