Anda di halaman 1dari 514

STUDI KUALITATIF PADA SURVEI PREVALENSI

PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA

2018

PUSAT PENELITIAN DATA DAN INFORMASI


BADAN NARKOTIKA NASIONAL
2019
ISBN : 978-602-74498-8-6

STUDI KUALITATIF PADA SURVEI PREVALENSI


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA
Tahun 2018
Copyright @2019

Tim Penyusun :
Penanggung Jawab : Drs. Agus Irianto, S.H., M.Si, M.H.
Penasehat : Dr. Sri Sunarti Purwaningsih, M.A
Drs. Masyhuri Imron, M.A
Ketua Tim Penyusun : Dra. Endang Mulyani, M.Si
Sekretaris : Siti Nurlela Marliani, SP., S.H., M.Si
Anggota : Dwi Sulistyorini, S.Si., M.Si
Sri Lestari, S.Kom., M.Si
Novita Sari, S.Sos., M.H
Erma Antasari, S.Si
Sri Haryanti, S.Sos., M.Si
Quazar Noor Azhim, A.Md
Tri Sugiharto, S.Kom
Rizky Purnamasari, S.Psi
Armita Eki Indahsari, S.Si
Radityo Kunto Harimurti, S. Stat
Desain Cover & Isi : Indoyanu Muhamad

Hak Cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Penerbit :
Pusat Penelitian, Data, dan Informasi
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia
Jl. MT. Haryono No. 11 Cawang, Jakarta Timur
Telp.(021) 80871566, 80871567
Fax. (021) 80885225, 80871591, 80871593
Email : puslitdatin@bnn.go.id.
Call Center : 184
SMS Center : 081221675675
Email : puslitdatin@bnn.go.id
Website : www.bnn.go.id

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Kata Sambutan

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Salam sejahtera bagi kita semua.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat


Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga BNN bekerja
sama dengan Pusat Penelitian Kebudayaan
dan Kemasyarakatan LIPI dapat menyelesaikan
penyusunan Buku “Studi Kualitatif Pada Survei
Prevalensi Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkoba Tahun 2018”.

Tujuan studi kualitatif ini adalah untuk mengetahui peredaran narkoba,


faktor penyebab pemakaian narkoba, dampak pemakaian narkoba dan
program P4GN yang telah dilaksanakan di masing-masing provinsi. Adapun
studi kualitatif ini dibuat untuk mendukung data kuantitatif penghitungan
angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia Tahun 2019.

Akhirnya selaku Kepala BNN, kami mengucapkan terima kasih kepada


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selaku pembina fungsi
penelitian dan seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan laporan hasil
penelitian ini sehingga dapat diterbitkan tepat waktu. Kami juga berharap
agar hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin guna
menunjang penentuan kebijakan program Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) di Indonesia. Kiranya
hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh seluruh Kementerian/
Lembaga dan masyarakat dalam menyukseskan gerakan penanggulangan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia.

Sekian dan terima kasih.


Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, Oktober 2019


Kepala Badan Narkotika Nasional

Heru Winarko

Studi Kualitiatif
Studi Kualitiatif Pada
Pada Survei
Survei Prevalensi
Prevalensi
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA
NARKOBA 2018
2018 i
Kata Pengantar

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan rahmat taufik serta hidayah-Nya yang sangat
besar sehingga pada akhirnya bisa menyelesaikan Buku “Studi Kualitatif
Pada Survei Prevalensi Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba
Tahun 2018” tepat pada waktunya. Hasil penelitian ini merupakan
kerjasama antara Badan Narkotika Nasional dengan Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Dalam pelaksanaannya penelitian ini dibantu oleh para
Peneliti Universitas di 13 Provinsi di Indonesia.

Tujuan studi kualitatif ini adalah untuk mengetahui peredaran


narkoba, faktor penyebab pemakaian narkoba, dampak pemakaian
narkoba dan program P4GN yang telah dilaksanakan di masing-masing
provinsi. Adapun studi kualitatif ini dibuat untuk mendukung data
kuantitatif penghitungan angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di
Indonesia Tahun 2019.

Survei ini melibatkan banyak pihak mulai dari tim ahli BNN, BNNP,
BNNK Kementerian/Lembaga, dan Dinas Terkait, informan koordinator
lapangan, enumerator dan Mitra Lokal Perguruan Tinggi di 13 Provinsi.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala
BNN Drs. Heru Winarko, S.H dan Drs. Adhi Prawoto, S.H selaku Sestama
BNN yang telah memberi arahan dan seluruh staf BNN atas dukungan
dan kerjasamanya pada penyusunan buku ini, mulai dari proses
pengembangan instrumen sampai penulisan laporan.

Terima kasih kami ucapkan kepada Kepala Pusat Penelitian


Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI dan seluruh mitra lokal dari
pihak Universitas, yaitu : Universitas Syiah Kuala Aceh, Universitas
Sumatera Utara, Universitas Sriwijaya Palembang, Universitas
Nasional Jakarta, Universitas Padjajaran Bandung, Universitas Gajah
Mada Yogyakarta, Universitas Airlangga, Universitas Riau Kepulauan,
Universitas Udayana Bali, Universitas Mulawarman Samarinda,
Politeknik Kesehatan Pontianak, Universitas Hasanuddin Makassar,
Universitas Cendrawasih Papua.

Studi
Studi Kualitiatif
Kualitiatif Pada
Pada Survei
Survei Prevalensi
Prevalensi
ii PENANGGULANGAN
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
NARKOBA 2018
2018
Kata Pengantar

Akhirnya kami berharap survei ini akan dapat memberikan


kontribusi yang berguna dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan
dan penyempurnaan program Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) di Indonesia
umumnya dan tingkat provinsi khususnya.

Jakarta, Oktober 2019

Tim Penyusun

Studi Kualitiatif
Studi Kualitiatif Pada
Pada Survei
Survei Prevalensi
Prevalensi
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA
NARKOBA 2018
2018 iii
iii
Daftar Isi

KATA SAMBUTAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR viii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA


DI KOTA BANDA ACEH, PROVINSI ACEH 13

BAB III PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA


DI KOTA MEDAN, PROVINSI SUMATERA UTARA 41

BAB IV PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA


DI KOTA BATAM, PROVINSI KEPULAUAN RIAU 71

BAB V PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA


DI KOTA PALEMBANG, PROVINSI SUMATERA SELATAN 99

BAB VI PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA


DI DKI JAKARTA 123

BAB VII PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA


DI KOTA BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT 153

BAB VIII PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA


DI YOGYAKARTA, PROVINSI D.I YOGYAKARTA 193

BAB IX PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA


DI KOTA SURABAYA, PROVINSI JAWA TIMUR 247

BAB X PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA


DI KOTA DENPASAR, PROVINSI BALI 293

BAB XI PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA


DI KOTA PONTIANAK, PROVINSI KALIMANTAN BARAT 333

Studi Kualitiatif
Studi Kualitiatif Pada
Pada Survei
Survei Prevalensi
Prevalensi
iv
iv PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA
NARKOBA 2018
2018
Daftar Isi

BAB XII PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA


DI KOTA SAMARINDA, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR 371

BAB XIII PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA


DI KOTA MAKASSAR, PROVINSI SULAWESI SELATAN 405

BAB XIV PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA


DI KOTA JAYAPURA, PROVINSI PAPUA 463

BAB XV PENUTUP 491

Studi Kualitiatif
Studi Kualitiatif Pada
Pada Survei
Survei Prevalensi
Prevalensi
PENANGGULANGAN
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 v
Daftar Tabel

Tabel 2.1 Perkembangan Tindak Pidana Narkoba di Provinsi Aceh


2014 - 2016 16
Tabel 2.2 Penyalahgunaan Narkoba di Kota Banda Aceh 17
Tabel 2.3 Penangkapan Kasus Narkoba oleh Polda Aceh 18
Tabel 5.1 Jenis dan Jumlah Barang Bukti Narkoba di Kota
Palembang 103
Tabel 5.2 Pengguna Narkoba di Palembang menurut Jenis
Pekerjaan 105
Tabel 6.1. Jumlah Bandar dan Pemakai Narkoba DKI Jakarta 134
Tabel 7.1. Rekapitulasi Kasus Narkoba di Wilayah Kota Bandung
2013-2017 Menurut Kecamatan Berdasarkan Domisili
Tersangka dan Berdasarkan Lokasi Penangkapan 172
Tabel 7.2 Jumlah Lembaga yang Responsif Terhadap Kebijakan
Pembangunan Berwawasan Anti Narkoba 177
Tabel 8.1 Jumlah Kasus Narkotika yang Diungkap BNNP DIY
Tahun 2013 – 2018 196
Tabel 8.2 Jumlah Barang Bukti yang Disita BNNP DIY dalam gram
(Tahun 2013 – 2018) 197
Tabel 8.3 Jumlah Tersangka di DIY Berdasarkan Perannya
Tahun 2013 – 2018 197
Tabel 8.4 Jumlah Tersangka Kasus Narkoba di DIY Menurut
Pekerjaan 2013-2017 198
Tabel 8.5 Jumlah Tersangka di BNNP DIY Tahun 2013-2018
Berdasarkan Tingkat Pendidikan 199
Tabel 10.1 Pengungkapan Kasus Narkoba di Provinsi Bali
Tahun 2017 297
Tabel 10.2 Penyelesaian kasus Narkoba di Provinsi Bali (Tahun
2015 - 2017) 298
Tabel 10.3 Jumlah Tersangka Penyalahgunaan Narkoba di Provinsi
Bali Tahun 2015 - 2017 298
Tabel 10.4 Jenis Kasus Narkoba di Provinsi Bali Tahun 2015 - 2017 299
Tabel 10.5 Rekapitulasi Jumlah Kasus Narkoba dan tersangka di
Bali Tahun 2015 - 2017 300
Tabel 10.6 Data Jumlah TKP/Lokasi di Bali 305
Tabel 10.7 Tindak Pidana Narkoba di Bali Berdasarkan Modus
Operandi 306

Studi
Studi Kualitiatif
Kualitiatif Pada
Pada Survei
Survei Prevalensi
Prevalensi
vi
vi PENANGGULANGAN
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
NARKOBA 2018
2018
Daftar Tabel

Tabel 11.1 Kasus-kasus Penyalahgunaan Narkoba di Kalimantan


Barat (2014-2018) 337
Tabel 11.2 Jalur Tikus Perdaran Narkoba di Provinsi Kalimantan
Barat 340
Tabel 12.1 Jenis Pekerjaan Tersangka Kasus Narkoba di Polresta
Samarinda (2014-2018) 381
Tabel 13.1 Jumlah Tindak Pidana Narkotika di Sulawesi Selatan
(2016-2018) 412
Tabel 13.2 Jumlah Kasus Narkoba menurut Jenis Kelamin, Umur
dan Pekerjaan (2016-2018) 427
Tabel 13.3 Jumlah Kasus Narkoba di Sulawesi Selatan berdasarkan
Status Tersangka (2016-2018) 429
Tabel 13.4 Jumlah dan Jenis Barang Bukti Narkoba di Sulawesi
Selatan (2016-2018) 430
Tabel 13.5 Daftar LRKM Mitra BNNP Sulawesi Selatan 442
Tabel 13.6 Jumlah Peserta Rehabilitasi di Lapastika Sungguminasa,
Sulawesi Selatan Tahun 2015 s.d November 2018 451
Tabel 14.1 Jumlah Kasus Narkotika di Provinsi Papua (2015-2018) 467

Studi Kualitiatif
Studi Kualitiatif Pada
Pada Survei
Survei Prevalensi
Prevalensi
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA
NARKOBA 2018
2018 vii
vii
Daftar Gambar

Gambar 6.1 Peta Wilayah Rawan Narkoba di DKI Jakarta 130


Gambar 6.2 Peta Persebaran Daerah Rawan Narkoba di Jakarta
Pusat 130
Gambar 6.3 Peta Persebaran Daerah Rawan Narkoba di Jakarta
Utara 131
Gambar 6.4 Peta Persebaran Daerah Rawan Narkoba di Jakarta
Barat 131
Gambar 6.5 Peta Persebaran Daerah Rawan Narkoba di Jakarta
Timur 132
Gambar 6.6 Peta Persebaran Daerah Rawan Narkoba di Jakarta
Selatan 132
Gambar 6.7 Tingkat Kerawanan Daerah DKI Jakarta 133
Gambar 6.8 Jenis Narkoba yang Beredar di DKI Jakarta 133
Gambar 6.9 Jumlah Pengguna Narkoba yang Direhabilitasi di DKI
Jakarta Per September 2018 145
Gambar 6.10 Profil Residen Rehabilitasi di DKI Jakarta 146
Gambar 7.1 Jumlah Tindak Pidana dan Jumlah Penanganan Tindak
Pidana Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017 157
Gambar 7.2 Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017
Berdasarkan Jenis Kelamin 158
Gambar 7.3 Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017
Berdasarkan Peranan 159
Gambar 7.4 Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017
Berdasarkan Usia 160
Gambar 7.5 Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017
Berdasarkan Pendidikan 161
Gambar 7.6 Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017
Berdasarkan Pekerjaan 162
Gambar 7.7 Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017
Berdasarkan Tempat Penangkapan 167
Gambar 7.8 Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017
Berdasarkan Lokasi Rumah Tersangka 168
Gambar 7.9 Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017
Berdasarkan Modus Operandi 170
Gambar 8.1 Jalur Peredaran Narkoba ke Wilayah Hukum Di
Yogyakarta 212

Studi
Studi Kualitiatif
Kualitiatif Pada
Pada Survei
Survei Prevalensi
Prevalensi
viii
viii PENANGGULANGAN
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
NARKOBA 2018
2018
Daftar Gambar

Gambar 10.1 Sarana Peribadatan dan Olah Raga di Lapastik Bangli 317
Gambar 10.2 Proses Pembuatan Barang dari Limbah Koran di
Lapastik Bangli 320
Gambar 10.3 Ruang Seni di Lapastik Bangle dan Warga Binaan
Peminat Seni Vokal yang tergabung dalam Kelompok
Band 320
Gambar 10.4 Kantin dan Penggunaan Kartu BRIZZI di Lapastik
Bangli 322
Gambar 11.1 Peta Kerawanan Narkoba Wilayah Kalimantan Barat 341
Gambar 12.1 Kecamatan-Kecamatan Rawan Peredaran dan
Penyalahgunaan Narkoba di Kota Samarinda 378
Gambar 12.2 Peta Jalur Peredaran Narkoba ke Kalimantan Timur 391
Gambar 12.3 Pola Peredaran Narkoba di Kota Samarinda 394
Gambar 13.1 Alur Rehabilitasi Berkelanjutan oleh BNNP Sulawesi
Selatan 440
Gambar 13.2 Alur Rawat Jalan di Klinik Pratama BNNP Sulawesi
Selatan 444
Gambar 13.3 Alur Pasca Rehabilitasi oleh BNNP Sulawesi Selatan 445
Gambar 14.1 Barang Bukti Penyalahgunaan Narkoba di Satnarkoba
Polres Jayapura Kota 468
Gambar 14.2 Peta Kerawanan Narkotika Kota Jayapura 469
Gambar 14.3 Situasi Pasar di Kompleks Pos Perbatasan RI-PNG,
Skouw 471
Gambar 14.4 Pos Perbatasan RI-PNG di Skouw 475
Gambar 14.5 Jalur & Jenis Peredaran Narkoba ke Kota Jayapura 476
Gambar 14.6 Pola Peredaran Ganja di Jayapura 479
Gambar 14.7 Pola Peredaran Sabu di Jayapura 480

Studi Kualitiatif
Studi Kualitiatif Pada
Pada Survei
Survei Prevalensi
Prevalensi
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA
NARKOBA 2018
2018 ix
ix
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
xx Survei Prevalensi 2018
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
I

Pendahuluan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Tari Ebeg Banyumasan
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
2 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Batik Sokaraja Khas Banyumas
I

PENDAHULUAN
Oleh:
Masyhuri Imron; Ary Wahyono; Dede Wardiat

1. Latar Belakang

Kota dengan berbagai atributnya telah melahirkan masyarakat


yang memiliki budaya yang khas perkotaan. Sebagai masyarakat yang
heterogen, masyarakat kota lebih bersifat individualis dibandingkan
dengan masyarakat desa, sehingga masyarakat kota memiliki pola
hubungan sosial yang bersifat geselschaft. Dalam masyarakat yang
demikian, hubungan sosial tidak didasarkan atas kekeluargaan atau
gotong royong, tetapi lebih didasarkan pada hubungan fungsional.

Hubungan sosial yang bersifat fungsional itu didukung oleh


pandangan hidup yang lebih rasional, sehingga masyarakat kota lebih
terbuka dalam menerima kebudayaan yang baru. Permasalahannya
kemudian adalah kebudayaan baru yang diterimanya tidak selalu
sesuai dengan norma-norma sosial yang ada di sekitarnya. Sementara
di lain pihak norma-norma sosial yang ada menjadi lebih longgar, dan
kontrol sosial juga kurang begitu berjalan. Dalam kondisi demikian
maka masyarakat kota mudah terjerumus dalam gaya hidup tertentu,
yang kadang justru bertentangan dengan norma sosial yang ada.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 3
Salah satu gaya hidup yang menghinggapi masyarakat kota
antara lain adalah penggunaan narkoba, yang menjadi masalah serius
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Walaupun berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasinya, namun penyalahgunaan narkoba
selalu menjadi momok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.
Penyalahgunaan narkoba juga mengkhawatirkan kehidupan berbangsa
dan bernegara ke depannya akibat dampak negatif yang ditimbulkan
oleh penyalahgunaan narkoba itu bagi generasi berikutnya.

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,


penggunaan narkotika hanya diperbolehkan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Meskipun demikian, dalam kenyataannya penyalahgunaan
terhadap penggunaan narkotika di luar kepentingan tersebut cukup
tinggi.

Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) yang dikutip oleh Lestari


(2018), penyalahgunaan narkotika di Indonesia merupakan terbesar di
tingkat Asia karena konsumen menggunakan seluruh 65 jenis narkotika,
sedangkan negara lain hanya mengonsumsi lima hingga enam jenis saja.
Istilah penyalahgunaan narkotika tergantung pada tujuan mengonsumsi
atau memanfaatkan narkotika itu sendiri. Penyalahgunaan narkotika
terjadi karena narkotika itu digunakan bukan untuk tujuan kesehatan
ataupun pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi
dimaksudkan untuk dapat menikmati pengaruhnya, volume atau jumlah
yang dinikmati itu berlebih, kemudian penggunaannya dilakukan secara
kurang lebih teratur, berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama,
sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, jiwa, dan kehidupan
sosial lainnya.

Pengguna narkoba dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang


meningkat. Pada tahun 2013 misalnya, jumlah pengguna narkotika
di Indonesia baru mencapai 4 juta jiwa (Satibi 2013). Bahkan, dalam
hitungan bulan saja, jumlah pengguna narkoba meningkat 40,48%.
Kepala BNN periode 2015 sampai 2018 Komjen Budi Waseso ketika
berkunjung ke Pondok Pesantren Blok Agung Banyuwangi pada hari

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


4 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Senin (11/1/2016) menyebutkan, jumlah pengguna narkoba pada bulan
Juni 2015 sebanyak 4,2 juta jiwa, tetapi pada bulan Nopember 2015
sudah meningkat menjadi 5,9 juta jiwa (Rahmawati 2016).

Hasil penelitian dari BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian


Kesehatan Universitas Indonesia (PPKUI) pada tahun 2015 menunjukkan
bahwa trend prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia sebesar
1,77%, atau sekitar 3.376.114 orang telah menyalahgunakan narkoba,
dengan berbagai cara (BNN dan PPKUI, 2017). Deputi Pencegahan
BNN bahkan mengatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan BNN bersama PPKUI, hampir 6 juta masyarakat aktif masuk
dalam jeratan narkotika berbagai jenis.1

Data pada Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa


sampai tahun 2017 telah beredar sebanyak 68 jenis narkoba jenis
baru (NPS). Bahkan beberapa jenis narkoba seperti Flakka, Dumolid,
Carnophen (Zenith) dan pil PCC telah menjadi teror di masyakat,
sebagaimana yang dapat dilihat pada kasus yang terjadi di Kendari
pada September 2017.

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah sampai pada tingkat


yang sangat mengkhawatirkan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
50% lebih penghuni Lapas (lembaga pemasyarakatan) disebabkan oleh
kasus narkoba. Data dari Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum
dan HAM, jumlah narapidana dan tahanan kasus Narkoba di seluruh
Indonesia pada tahun 2015 mencapai 62.324 orang.2

Data tangkapan kasus narkoba menunjukkan dari tahun ke tahun


peredaran narkoba di kalangan pekerja juga semakin meningkat.
Sepanjang tahun 2017, BNN telah mengungkap 46.537 kasus narkoba
di seluruh wilayah Indonesia, dan menangkap 58.365 tersangka, 34
tersangka TPPU, dan 79 tersangka yang mencoba melawan petugas
ditembak mati. Sepanjang tahun 2017 BNN juga menyita ratusan
ton barang bukti narkoba dari tangan pelaku yang diketahui sebagai
bandar hingga sindikat Narkoba yang berada di Indonesia, yaitu 4,71
ton sabu-sabu, 151,22 ton ganja, dan 2.940.748 butir pil Ekstasi dan

1
https://news.okezone.com/read/2017/07/20/337/1740743/mencengangkan-pecandu-narkoba-di-indonesia-tembus-6-juta-orang
2
Data dari Ditjen pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI, Maret 2016.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 5
627,84 kilogram ekstasi cair. Selain itu juga telah mengamankan hasil
dari TPPU terkait kejahatan narkoba seperti kendaraan bermotor,
properti, tanah, perhiasan, uang tunai dan uang dalam rekening dengan
jumlahnya mencapai Rp105 miliar.3

Kondisi tersebut tidak terlepas dari trend penyalahgunaan


narkoba secara internasional. Data dari World Drugs Report Tahun
2016 menunjukkan bahwa pada tahun 2014, seperempat dari jumlah
penduduk dunia usia 15-64 tahun telah mengkonsumsi 1 jenis narkoba.
Pada tahun 2015, UNODC mencatat bahwa sekitar 12,7 juta orang usia
antara 15 – 64 diperkirakan menggunakan narkoba suntik, dan 1,7 juta
di antaranya telah terinveksi virus HIV (UNODC, 2016).

Jumlah pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika


itu meluas ke semua lapisan masyarakat, mulai dari pelajar, mahasiswa,
artis, ibu rumah tangga, pedagang, supir angkot, anak jalanan, pejabat
dan lain sebagainya. Penegakan hukum terhadap tindak pidana
narkoba telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah
banyak mendapatkan putusan hakim di sidang pengadilan. Walaupun
penegakan hukum diharapkan mampu menangkal merebaknya
peredaran perdagangan narkoba, tapi dalam realitasnya penggunaan
dan peredaran perdagangan narkoba terus berlangsung dan terdapat
indikasi semakin meluas.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah


memberikan ancaman sanksi pidana yang cukup berat terhadap
pengguna narkotika, baik berupa hukuman badan maupun denda.
Meskipun demikian dalam kenyataannya jumlah pelaku penyalahgunaan
narkotika semakin meningkat. Perkembangan kejahatan narkoba pada
saat ini sudah pada tahap mengkhawatirkan kehidupan masyarakat
(darurat narkoba). Di beberapa negara, misalnya Filipina, pengedar
narkoba langsung ditembak mati tanpa prosedur pengadilan. Hal ini
dapat dipahami karena terjadi kebuntuan solusi permasalahan yang
dihadapi.

3
https://news.idntimes.com/indonesia/fitang-adhitia/sepanjang-tahun-2017-bnn-ungkap-46537-kasus-narkoba/full

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


6 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Angka penyalahgunaan narkoba di Indonesia cenderung
mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2008 – 2011,
yaitu mencapai 0,24% atau sekitar 911.805 penyalahguna, sedangkan
angka prevalensi tahun 2011 – 2014 turun sebesar 0,05% atau sekitar
251.555 penyalahguna. Meskipun demikian, Sampai tahun 2017 angka
prevalensi mengalami penurunan sebesar 0,14% per tahun. Penurunan
angka prevalensi juga dapat dilihat pada hasil survei tahun 2017, yang
menunjukkan bahwa angka prevalensi pekerja laki dan perempuan
mengalami pemurunan dari 12,8% pada tahun 2012, menjadi 9,1% pada
tahun 2017 (Puslitkes dan BNN, 2017).

Menurut Anggreni (2015), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi


penyalahgunaan narkotika dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian, yaitu: faktor lingkungan sosial dan faktor kepribadian. Faktor
lingkungan sosial mencakup rasa ingin tahu, adanya kesempatan,
kemudahan fasilitas/sarana atau prasarana dan sarana yang tersedia,
akibat pergaulan, konflik atau ketidakharmonisan keluarga, lingkungan
sekolah, dan lingkungan permukiman masyarakat yang permesif.
Sementara faktor kepribadian meliputi kondisi kejiwaan, perasaan,
emosi, mental, dan faktor individu lainnya.

2. Permasalahan

Sampai dengan saat ini pemerintah telah berusaha untuk


mengatasi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Dampak
dari usaha tersebut adalah banyaknya penyalahguna dan pengedar
narkoba yang menjadi penghuni lapas, maupun yang sedang menjalani
proses rehabilitasi. Selain itu juga banyak mantan penyalahguna yang
sudah selesai menjalani rehabilitasi.

Para penghuni lapas maupun peserta/mantan peserta rehabilitasi


itu tentunya memiliki pengalaman tersendiri terkait dengan alasan
penyalahgunaan narkoba, dampak pemakaian narkoba, dan cara
memperoleh narkoba. Selain itu mereka juga memiliki pandangan
tersendiri terhadap efektivitas program penanggulangan dan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 7
penanganan penyalahgunaan narkoba yang dijalankan oleh pemerintah,
melalui BNN dan BNNP. Pengalaman mereka itu merupakan suatu hal
yang menarik untuk digali sebagai bahan untuk membuat perencanaan
pencegahan penyalahgunaan narkoba. Terkait dengan itu maka
pertanyaan penelitian ini meliputi :
a) Bagaimana pola peredaran gelap narkoba di berbagai wilayah
di Indonesia?
b) Bagaimana pengaruh lingkungan terhadap penggunaan
narkoba?
c) Bagaimana dampak penyalahgunaan narkoba?
d) Bagaimana cara mengatasi penyalahgunaan narkoba menurut
pengguna narkoba?
e) Bagaimana Pelaksanaan program P4GN dijalankan?

3. Tujuan dan sasaran

Ada beberapa tujuan dalam penelitian ini, yaitu:


a) Menganalisis pengaruh faktor lingkungan (keluarga/
masyarakat, lingkungan kerja dan lingkungan pendidikan)
terhadap penggunaan narkoba
b) Mengetahui dampak penyalahgunaan narkoba, baik di lihat
dari aspek sosial-ekonomi dan kesehatan
c) Menganalisis pola peredaran gelap narkoba (termasuk melalui
media sosial), dan pengaruhnya terhadap rasa aman di
masyarakat.
d) Mengetahui cara mengatasi penyalahgunaan narkoba
menurut pengguna narkoba
e) Mengetahui Pelaksanaan program P4GN menurut pengguna
narkoba

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh BNN untuk


merumuskan strategi pencegahan penyalahgunaan narkoba secara
lebih komprehensif.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


8 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
4. Metode Penelitian

4.1. Lokasi Penelitian

Penelitian lapangan dilaksanakan di 13 provinsi yang dipilih


didasarkan pada pertimbangan proyeksi nasional penyalahgunaan
narkoba yang dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu: kategori rendah,
sedang dan tinggi. Masing-masing kategori diambil empat provinsi
dengan proyeksi nasional tertinggi, kecuali kategori tinggi yang diambil
lima provinsi, karena ditambahkan DKI Jakarta sebagai ibukota negara.
Adapun rincian provinsi di setiap kategori adalah sebagai berikut:
a) Kategori rendah, meliputi: Bali, Kalimantan Barat, DIY dan
Sumatera Selatan
b) Kategori sedang, meliputi: Jawa Timur, Kepulauan Riau, Aceh
dan Papua
c) Kategori tinggi, meliputi: DKI Jakarta, Sumatera Utara,
Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat

Dari setiap provinsi yang menjadi lokasi penelitian dipilih satu kota
untuk diteliti, yaitu ibukota provinsi. Pemilihan ibukota provinsi dilakukan
dengan alasan bahwa ibukota provinsi merupakan tempat yang paling
banyak dihuni oleh masyarakat, dan memiliki potensi penyalahgunaan
narkoba paling besar. Meskipun demikian terdapat perkecualian untuk
provinsi tertentu yang ibukotanya lebih sepi dibanding kota lainnya,
maka yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah kota lainnya, seperti
Batam di Provinsi Kepulauan Riau. Begitu pula untuk ibukota provinsi
yang kotanya berhimpitan dengan wilayah kabupaten yang lain, maka
sebagian sampel bisa diambil dari lokasi yang berdekatan, seperti kota
Yogyakarta yang lokasinya berhimpitan dengan wilayah Kabupaten
Sleman dan Bantul, tetapi wilayah dua kabupaten tersebut tidak
terpisahkan dengan kota Yogyakarta.

4.2. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data


kualitatif, yaitu berupa narasi yang menjelaskan tentang permasalahan
yang diteliti. Data kualitatif dianggap lebih tepat karena penelitian ini
lebih mendasarkan pada pengalaman individu.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 9
Pengumpulan Data dilakukan melalui dua cara, yaitu wawancara
mendalam dan focus group discussion (FGD). Wawancara mendalam
dilakukan dengan para pengguna, pengedar, petugas panti rehab,
petugas lapas, dan pejabat BNNP.

Untuk mendapatkan obyektivitas data, pengumpulan data


dilakukan secara triangulasi. Ada dua jenis triangulasi yang dilakukan
dalam penelitian ini, yaitu triangulasi sumber dan triangulasi teknik.
Triangulasi sumber dimaksudkan untuk mengetahui permasalahan
yang sama dari sumber yang berbeda. Untuk keperluan tersebut,
peneliti akan melakukan crosscheck hasil wawancara dengan seorang
informan, dengan menanyakan permasalahan yang sama kepada
informan lainnya. Triangulasi teknik dilakukan untuk mengetahui
permasalahan yang sama melalui teknik yang berbeda. Karena itu
untuk melengkapi wawancara mendalam juga dilakukan FGD dengan
para narasumber.

Untuk keperluan wawancara mendalam maka disusun pedoman


wawancara, yang berisi poin-poin pertanyaan yang akan ditanyakan
dalam penelitian. Poin-poin itulah yang dikembangkan oleh peneliti di
lapangan, yang pelaksanaannya tidak terbatas pada poin pertanyaan
yang sudah tersedia, tetapi bisa berkembang sesuai permasalahan
yang ditemukan. Oleh karena itu dalam penelitian ini sikap kritis peneliti
sangat diperlukan, untuk menggali permasalahan sehingga tidak ada
pertanyaan yang terlewatkan. Hal itu sesuai dengan karakter penelitian
kualitatif, yaitu peneliti adalah bagian dari instrumen penelitian.

Adapun FGD dilakukan dengan para narasumber yang terdiri


dari para pengguna/mantan pengguna dan para pengedar/mantan
pengedar narkoba. Pelaksanaan FGD dilakukan di dua tempat, yaitu
di panti rehabilitasi milik pemerintah atau swasta dan di lepmaba
pemasyarakatan. Melalui FGD diharapkan akan dapat diungkap
mengapa masyarakat menggunakan atau mengedarkan narkoba,
dampak penggunaan narkoba dan upaya yang diperlukan untuk
mengatasi penyalahgunaan narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


10 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Selain data primer, untuk mempertajam hasil penelitian, penelitian
ini juga menggunakan data sekunder. Adapun data sekunder yang
digunakan bisa berupa data kualitatif maupun data kuantitatif, yang
diperkirakan dapat mempertajam analisis data kualitatif. Data sekunder
dieroleh dari media, Polri, BNNP maupun dari sumber lainnya.

4.3. Teknik Analisis

Analisis data dilakukan secara deskriptif, yaitu menyusun secara


sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,
dan bahan-bahan lain, agar dapat dipahami dengan mudah, dan
temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Proses analisis
data dilakukan dengan membuat reduksi (pengelompokan data),
yaitu berupa penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar
yang diperoleh. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan sesuai
temanya. Data yang sudah direduksi tersebut kemudian disajikan
dalam bentuk narasi.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 11
DAFTAR PUSTAKA

Anggreni, Dewi. 2015. “Dampak bagi pengguna narkotika, psikotropika,


dan zat adiktif (NAPZA) di Kelurahan Gunung Kelua Samarinda
Ulu”. Dalam e Journal Sosiatri-Sosiologi 3(3). Hlm.: 37-51.

Gordon, L.; Tinsley, L.; dan Godfrey, C., Parott, S. 2006. The economic
and social costs of Class A drug use in England and Wales
2003/2004. Home Office Online Report 16/06

Lestari, Anna Puji. 2018. “Komunikasi imun penyalahgunaan narkoba”.


Dalam https://jateng.antaranews.com/berita/188564/
komunikasi-imun-penyalahgunaan-narkoba. Akses 5 Maret
2018.

Rahmawati, Ira. 2016. “Buwas: Pengguna Narkoba di Indonesia


Meningkat hingga 5,9 Juta Orang”. Dalam https://regional.
kompas.com/read/2016/01/11/14313191/Buwas.Peng-guna.
Narkoba.di.Indonesia.Meningkat.hingga.5.9.Juta.Orang. Akses,
5 Maret 2018.

Satibi, M. 2013. “BNN perkirakan 2015 jumlah pengguna narkotika


capai 5,1 juta”. Dalam Sindonews.com edisi Selasa, 4 Juni 2013.
Akses 5 Maret 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


12 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
II

Penanggulangan Peredaran
Narkoba di Kota Banda Aceh
Provinsi Aceh

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 13
Tari Saman
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
14 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAANBatik Gayo Khas Aceh
NARKOBA 2018
II

PENANGGULANGAN
PEREDARAN NARKOBA
DI KOTA BANDA ACEH, PROVINSI ACEH

Oleh:
Fadjri Alihar; Aziz Suganda

1. Pendahuluan

Sebagai daerah yang dikenal dengan sebutan “Serambi Mekah”,


wilayah Aceh semestinya terhindar dari keterpaparan narkoba. Meskipun
demikian, kenyataan menunjukkan hal yang berbeda. Seperti halnya daerah
lain di Indonesia, wilayah Aceh juga tidak luput dari penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba.

Tulisan ini membahas permasalahan narkoba di wilayah Kota Banda


Aceh dan dinamika yang menyertainya. Dalam tulisan ini dibahas tentang
peredaran dan penyalahgunaan narkoba yang terjadi di Banda Aceh, dan
penyebabnya menurut para pengguna dan mantan pengguna. Selain itu
juga dibahas tentang dampak narkoba yang mereka rasakan. Selanjutnya
dibahas tentang upaya pencegahan yang sudah dilakukan oleh BNN
Provinsi Aceh. Selain itu juga dibahas tentang efektivitas pembinaan
narkoba, baik di Lapas Narkotika maupun di panti rehab.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 15
2. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba

2.1. Penyalahgunaan Narkoba dan Penyebabnya

Secara umum trend penyalagunaan di Aceh terus mengalami


peningkatan. Sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR
RI saat memimpin pertemuan antara Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi
III DPR RI bersama Kapolda Aceh, Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Aceh
dan Kepala BNNP Aceh beserta jajarannya, pada tahun 2014 tindak pidana
narkoba sebanyak 1.415 kasus dengan tersangka 1.831 orang, pada tahun
2015 meningkat menjadi kasus 1.890 dengan jumlah tersangka 2.335
orang. Pada tahun 2016, jumlah kasus yang berhasil diungkap meningkat
cukup signifikan menjadi 2.188 kasus dengan tersangka 2.677 orang.

Dalam pertemuan tersebut juga diungkapkan bahwa pada 2014


barang bukti yang berhasil disita terdiri dari ineks 21.371 butir, sabu
11,739 gram, dan golongan IV 683.100,5 butir. Pada tahun 2015 barang
bukti yang berhasil disita terdiri dari ineks 22.678 butir, sabu 11.405 gram,
dan golongan IV 1.230 .932 butir, dan pada 2016 jumlah barang bukti yang
berhasil disita yaitu ineks 4.221 butir, sabu 9.340 gram dan golongan IV
sebanyak 16.031.623 butir. Tingginya peredaran narkotika dan obat-
obatan terlarang di Aceh tersebut karena jaringan pemasoknya sudah
menyasar hampir ke semua kelompok masyarakat.1

Tabel 2.1. Perkembangan Tindak Pidana Narkoba


di Provinsi Aceh 2014 - 2016
Tahun
Perihal
2014 2015 2016
Tindak Pidana 1415 kasus 1890 kasus 2188 kasus
Narkoba
Jumlah Tersangka 1831 0rang 2335 orang 2677 orang
Barang bukti yang Ineks 21371 butir; Ineks 22.678 butir; Ineks 4.221 butir;
disita Sabu 11.739 gram; Sabu 11.405 gram; Sabu 9.340 gram; Gol.
Gol. IV 683.100,5 Gol. IV 1230.932 butir IV 16.031.632 butir
butir
Sumber: Direktorat Narkoba Polda Aceh 2014-2016

3
Disampaikan oleh Kepala BNN Aceh dalam pertemuan dengan Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI bersama
Kapolda Aceh, dan Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Aceh

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


16 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Trend Penyalahgunaan narkoba di Kota Banda Aceh ternyata tidak
jauh berbeda dengan Provinsi Aceh secara keseluruhan. Penyalahgunaan
narkoba di Kota Banda Aceh setiap tahunnya semakin meningkat,
terutama pengguna ganja dan sabu-sabu. Pada tahun 2015 sebanyak
1.830 gram narkoba jenis ganja berhasil disita dengan 4 orang tersangka.
Adapun sabu-sabu yang berhasil disita sebanyak 3 gram dengan 11
terdakwa. Pada tahun 2016, ganja yang berhasil disita sebanyak 1.917
gram dengan jumlah terdakwa sebanyak 11 orang. Sabu-sabu yang
berhasil disita 112 gram dengan 56 orang terdakwa. Jumlah ganja yang
ditangkap terus meningkat. Pada tahun 2017 jumlah 3.361 gram ganja
dengan terdakwa sebanyak 14 orang, dan sabu-sabu sebanyak 140 gram
dengan terdakwa 64 orang.

Tabel 2.2. Penyalahgunaan Narkoba di Kota Banda Aceh

Tahun
2015 2016 2017
1.830 gram ganja 1.917gram ganja 3.361 gram ganja
4 orang tersangka 11 orang 14 orang
3 gram sabu 112 gram sabu 140 gram sabu
11 orang tersangka 56 orang 64 orang
Sumber: Direktorat Narkoba Polda Aceh 2014-2016

Pada bulan November 2018, BNN Provinsi Aceh berhasil


menggagalkan penyelundupan ganja melalui Kantor Pos dan salah
seorang karyawannya berhasil ditangkap (Serambi Indonesia, 2018).
Pada tahun 2017 BNN Provinsi Aceh berhasil melakukan operasi
pemutusan jaringan sindikat narkoba di Aceh. Empat lokasi di Kota Banda
Aceh digerebek dan berhasil menangkap barang bukti berupa sabu-sabu
sebanyak 214 kilogram, ekstasi 8.500 butir dan heroin sebanyak 10.000
butir.

Penanganan kasus narkoba yang ditangani oleh Polda Aceh


ternyata cukup besar setiap tahunnya. Pada tahun 2016 jumlah tersangka
penyalahgunaan narkoba seluruh Aceh mencapai sekitar 1.950 orang.
Jumlah tersebut mengalami penurunan pada tahun 2018 menjadi
1.210 tersangka. Meskipun demikian khusus Kota Banda Aceh terjadi
peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2016 jumlah tersangka

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 17
yang terlibat kasus narkoba hanya 98 orang, pada tahun 2018 meningkat
menjadi 152 tersangka. Jenis penyalahgunaan narkoba masih didominasi
oleh tanaman ganja, sabu dan ekstasi.

Tabel 2.3. Penangkapan Kasus Narkoba oleh Polda Aceh


Tahun Provinsi Aceh Kota Banda Aceh
2016 1950 98
2018 1210 152
Sumber: Direktorat Narkoba Polda Aceh 2014-2016

Tindak pidana penyalahgunaan narkoba yang terjadi di wilayah


hukum Aceh terus menunjukkan peningkatan, baik secara kuantitas
maupun secara kualitas. Sebagai ibukota provinsi, Kota Banda Aceh terus
menjadi target bandar narkoba memasarkan barang haram tersebut.
Bahkan menurut penjelasan Kepala BNN Provinsi Aceh, yang menjadi
bandar narkoba tersebut adalah orang Aceh sendiri. Mereka sebelumnya
merupakan narapidana penyalahgunaan narkoba asal Aceh yang pada
akhir masa hukumannya memohon untuk dipindahkan ke LAPAS di
Aceh. Setelah bebas ternyata mereka kembali menjadi pengguna dan
bahkan ada yang meningkat perannya menjadi Bandar. Memperhatikan
fenomena tersebut seharusnya narapidana narkoba asal Aceh yang
menjalani hukuman di wilayah lainnya di Indonesia jangan dikembalikan
ke daerah asalnya karena mereka kembali berprofesi seperti semula yang
berpotensi merusak generasi muda.

Beberapa faktor menjadi penyebab seseorang memakai narkoba.


Pengguna yang masih anak-anak penyebabnya adalah coba-coba,
kemudian menjadi keterusan. Adapun orang dewasa berumur 30 tahun
ke atas penyebabnya bermacam-macam. Pertama, karena tuntutan
pekerjaan yang mengharuskan stamina tetap fit. Kedua, diberi kawannya
yang telah lebih dulu memakai. Ketiga, ingin merasa percaya diri dan
lebih berani. Keempat, karena keluarganya berantakan2. Dari keseluruhan
penyebab tersebut, menurut salah seorang narasumber di Rumah
Damping, pada umumnya pertama kali mereka mengkonsumsi narkoba
karena diberi oleh kawan dekat untuk coba-coba.

2
Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Aceh.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


18 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Fenomena tersebut menunjukkan faktor pergaulan dengan teman
kelompok (peer group) dapat mempengaruhi keterlibatan seseorang
dalam penggunaan narkoba. Mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan
narkoba tidak mengenal status sosial, mulai dari anak-anak hingga orang
dewasa, masyarakat biasa dan mereka yang berpendidikan, serta tidak
mengenal gender. Pengaruh teman kelompok juga berpotensi sebagai
pemicu kekambuhan (relapse), sehingga mereka tetap tergantung pada
narkoba. Relapse adalah sebuah kondisi seseorang mantan pengguna
narkoba yang telah direbilitasi kemudian kembali memakai narkoba.

Pada umumnya pengetahuan keluarga tentang narkoba sangat


rendah. Mereka tidak mengetahui ada salah satu di antara keluarganya
yang menggunakan narkoba. Setelah mengikuti kegiatan konseling di
Rumah Sakit Jiwa Aceh biasanya mereka baru menyadari bahwa selama
ini anggota keluarganya pengguna narkoba.

2.2. Dampak penyalagunaan narkoba

Mengingat besarnya jumlah narkoba yang beredar di Provinsi Aceh


dan Kota Banda Aceh khususnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung akan berdampak terhadap kesehatan pemakai. Selain itu dampak
penyalahgunaan narkoba juga berpengaruh terhadap kondisi sosial
dan ekonomi keluarga pengguna. Dampak sosialnya tentu berpengaruh
terhadap interaksi pemakai dan lingkungan sosial masyarakatnya.

Pemakaian sabu, terutama di kalangan anak muda menyebabkan


terbentuknya kelompok kecil informal secara diam-diam (tersembunyi)
bagi para pemakai sabu3. Bagi pemakai ganja, kelompok pemakai tidak
begitu diperlukan, karena mereka tidak begitu memerlukan teman untuk
memakainya. Tetapi bagi para pemakai sabu, menurut pengakuan
pemakai, ada beberapa faktor yang menyebabkan pemakai mencari
kawan (“caka”) yang menjadi cikal bakal kelompok-kelompok kecil
pemakai. Dengan memakai secara berkelompok, mereka merasa lebih
bisa menikmati. Selain itu dengan adanya kelompok, mereka bisa membeli
secara “urunan”. Harga sabu Rp 150.000,- misalnya, dengan dibeli bertiga,
maka masing-masing hanya perlu uang sebesar Rp 50.000,-.

3
Wawancara dengan seorang peserta Rehab Rumah Damping BNNP Aceh

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 19
Dalam kelompok kecil mereka juga dapat bertukar informasi tentang
siapa dan di mana pengedar yang dapat mereka hubungi. Terbentuknya
kelompok informal ini di satu sisi menguntungkan aparat, karena dapat
lebih mudah mendeteksi keberadaan pemakai, tetapi di sisi lain, anggota
kelompok ini terus berusaha mencari dan mendeteksi para mantan
pemakai yang sudah mulai sadar karena masuk panti rehab atau menjadi
binaan LAPAS. Mereka terus berusaha dengan gigih untuk menarik
kembali agar mantan anggotanya kembali menjadi anggota kelompok
mereka. Fenomena ini yang menyebabkan mantan pemakai tetap rawan
untuk menjadi pemakai kembali.

Penggunaan narkoba yang terus-menerus akan mengakibatkan


ketergantungan. Kecanduan inilah yang dapat mengakibatkan gangguan
fisik dan psikologis, karena terjadinya kerusakan pada sistem syaraf pusat
(SSP) dan organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati dan ginjal.
Dampak penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung
pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau
kondisi pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkoba dapat
terlihat pada fisik, psikis maupun sosial seseorang.

Hal yang sama dikemukakan oleh Sitorus (2016) yang mengatakan


bahwa perilaku-perilaku berisiko yang dilakukan para pecandu narkoba
mengakibatkan mereka sangat mudah mengalami komplikasi penyakit.
Seorang pengguna narkoba yang sudah mengalami kecanduan sering
mengalami gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian tersebut,
seperti cemas, depresi, perubahan kualitas hidup, penurunan interaksi
personal, penurunan kepuasan terhadap kehidupan sehari-hari dan
terganggunya kesehatan sosial dan mental.

Penyalahgunaan narkoba yang semula diharapkan pemakainya agar


tampil lebih berani, percaya diri dan stamina bertambah kuat ternyata di
belakang hari berdampak negatif terhadap kesehatan mereka. Seorang
pemakai narkoba jenis sabu mengatakan salah satu tandanya seseorang
pemakai adalah stamina semakin kuat dan tahan tidak tidur selama dua
hari dan dua malam. Oleh karena itu sabu sering digunakan oleh para sopir
angkutan bus yang biasa jalan pada malam hari 4. Pemakaian sabu juga

4
Wawancara mendalam dengan seorang pemakai narkoba yang sekarang menjadi warga binaan LAPAS Kelas IIA, Banda Aceh

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


20 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
dilakukan oleh orang-orang yang selalu dikejar-kejar deadline pekerjaan.

Para pemakai narkoba tidak menyadari bahwa setelah beberapa


waktu kemudian mereka baru merasakan dampaknya pada kesehatan,
baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik biasanya kesehatan pemakai
menurun dengan tanda-tanda badan tambah kurus dan rentan terhadap
berbagai penyakit. Pengguna atau pecandu narkoba biasanya sering
mendapatkan gangguan jantung, otak serta pembuluh daerah. Pemakai
narkoba biasanya rentan terhadap berbagai penyakit terutama HIV/AIDS
karena daya tahan tubuhnya menurun (Sitorus, 2016).

Hal senada juga disampaikan para korban penyalahgunaan


narkoba di Banda Aceh bahwa banyak sekali efek negatifnya jika sampai
kecanduan. Apabila seorang korban narkoba kecanduan akan menyita
waktu dan tenaga pihak keluarga untuk mengurusnya. Jika tidak diurus
akan berurusan dengan pihak kepolisian dan akhirnya berujung masuk
penjara. Salah seorang korban mengatakan untuk memenuhi kebutuhan
narkoba berbagai cara dilakukan untuk memperolehnya.

Para korban penyalahgunaan narkoba menjadi beban keluarga, baik


secara ekonomi maupun sosial. Sementara ketika korban masih memakai
narkoba banyak sekali uang yang dihabiskan untuk memperolehnya. Tidak
sedikit uang yang harus dikeluarkan oleh keluarga jika seorang korban
penyalahgunaan narkoba jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit.
Demikian pula jika para korban narkoba dirawat di Rumah Sakit Jiwa Aceh
atau di rumah-rumah rehabilitasi lainnya juga terus menyita waktu keluarga.
Hal ini mengingat setiap bulan dalam masa rehabilitasi pihak keluarga selalu
diminta hadir untuk mengikuti konseling. Walaupun perawatan rehabilitasi
di Rumah Sakit Jiwa Aceh dapat diperoleh secara gratis, namun tidak sedikit
biaya yang dikeluarkan selama korban narkoba menjadi proses rehabilitasi 5,
terutama jika keluarga korban berdomisili di luar Kota Banda Aceh.

Sementara dampak sosial dari para mantan pemakai narkoba


cenderung antisosial dan cenderung mengganggu lingkungan, baik
keluarga maupun lingkungan tempat tinggalnya. Kondisi tersebut
mengakibatkan mereka sering dikucilkan karena dianggap manusia tidak

5
Hasil wawancara mendalam dengan Kepala Bidang Rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Aceh.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 21
berguna oleh masyarakat. Stigma semacam inilah yang selalu mereka
peroleh dari lingkungan sosialnya, sehingga membuat mereka menutup
diri. Kadang kondisi seperti ini membuat mereka frustrasi dan akhirnya
jika mereka tidak kuat menghadapinya, maka besar sekali kemungkinanya
mereka terjerumus kembali dalam penyalahgunaan narkoba. Sebagai
contoh dikemukakan bahwa jangankan masyarakat umum, keluarga
sendiri saja sering sekali malu jika melihat ada anggota keluarganya
korban penyalahgunaan narkoba. Jika mengetahui ada salah seorang
anggota keluarganya terlibat dalam penyalahgunaan narkoba biasanya
yang bersangkutan langsung dirawat di Bagian Rehabilitasi Rumah Sakit
Jiwa Aceh 6. Hal ini dimaksudkan agar korban tidak berurusan dengan
pihak kepolisian.

Berdasarkan hasil FGD di LAPAS Lambaro diketahui bahwa permintaan


terhadap narkoba sangat tinggi. Pasarnya bagus dan putarannya cepat
sekali untuk menghasilkan uang. Menurut warga binaan, selama ini
mereka kebanyakan menggunakan sabu. Menurut mereka, menghisap
sabu membuat pemakainya merasa nikmat dan bersemangat. Namun
para warga binaan juga menyadari bahwa para pengguna narkoba yang
sudah menjadi pecandu biasanya syaraf-syarafnya mengalami kerusakan.
Rata-rata ingatan para mantan pengguna narkoba sangat rendah.

Untuk mencegah dampak buruk penyalahgunaan narkoba perlu


kiranya ada beberapa kegiatan yang dilakukan, yaitu: pertama, self efficacy
yaitu berupa dukungan keluarga untuk pemulihan, menjauhkan diri dari
kelompok pergaulan sebelumnya dan menjalani rehabilitasi (Sitorus,
2016). Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Kepala LAPAS Kelas
IIA Banda Aceh bahwa para mantan pemakai maupun pengedar narkoba
tidak hanya menjadi beban keluarga, melainkan juga menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah. Seyogyanya pemerintah daerah mempunyai
kontribusi memikirkan nasib mereka setelah keluar, baik dari perawatan
rehabilitasi maupun LAPAS. Pembukaan lapangan pekerjaan merupakan
salah satu solusi untuk menekan meningkatnya jumlah korban narkoba.
Hal ini mengingat dalam setiap wawancara para mantan pemakai narkoba
selalu mengatakan bahwa mereka terpaksa menggunakannya karena
terdesak tidak ada pekerjaan 7.

6
Hasil wawancara dengan salah seorang informan mantan pemakai maupun pengedar narkoba.
7
Hasil wawancara dengan salah seorang informan mantan pemakai maupun pengedar narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


22 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
2.3. Faktor lingkungan sebagai penyebab penyalahgunaan narkoba

Beberapa faktor menjadi penyebab seseorang memakai narkoba.


Pengguna yang masih anak-anak penyebabnya adalah coba-coba,
kemudian menjadi keterusan. Adapun orang dewasa berumur 30 tahun
ke atas penyebabnya bermacam-macam. Pertama, karena tuntutan
pekerjaan yang mengharuskan stamina tetap fit. Kedua, diberi kawannya
yang telah lebih dulu memakai. Ketiga, ingin merasa percaya diri dan
lebih berani. Keempat, karena keluarganya berantakan 8. Dari keseluruhan
penyebab tersebut, menurut salah seorang narasumber di Rumah
Damping, pada umumnya pertama kali mereka mengkonsumsi karena
diberi oleh kawan dekat untuk coba-coba.

Ketika dilakukan FGD ternyata baik para mantan pemakai narkoba


yang berada dalam LAPAS maupun di Rumah Damping hampir semuanya
mengatakan faktor lingkungan pergaulan yang menyebabkan mereka
terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkoba. Mereka umumnya
mengatakan pengaruh teman yang membuat masa depan mereka jadi
berantakan karena menggunakan narkoba. Pada mulanya mereka hanya
sekedar coba-coba, namun semakin lama mereka ketagihan dan menjadi
pecandu. Sebagian lagi mengatakan faktor keluarga juga menjadi
penyebab mereka terjerumus menggunakan narkoba. Mereka merasa
kecewa dengan keluarganya karena sering dikucilkan atau dibeda-
bedakan dengan anggota keluarga lainnya.

Sementara pengaruh lingkungan biasanya lingkungan yang telah


tercemar dengan para pemakai narkoba, sehingga tidak ada celah bagi
seseorang untuk mengelak jika ditawarkan menggunakan narkoba. Faktor
pertemanan berupa solidaritas dan rasa tidak enak pada teman biasanya
menjadi faktor yang menjerumuskan seseorang dalam penyalahgunaan
narkoba. Modus operandi yang dipakai untuk menarik seseorang untuk
memakai narkoba adalah faktor coba-coba yang akhirnya lama-kelamaan
membuat seseorang menjadi ketagihan dan pecandu narkoba hingga
akhirnya berujung dihukum dalam penjara.

8
Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Aceh.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 23
Selain faktor lingkungan keluarga dan pergaulan ternyata sebagian
besar warga binaan di Lapas Kelas IIA Banda Aceh mengatakan bahwa
faktor ekonomi berperan penting menjerumuskan seseorang dalam
penyalahgunaan narkoba. Kami tidak dapat membayangkan jika masa
hukuman kami telah selesai dan keluar Lapas, sementara tidak jelas apa
yang harus kami kejakan nantinya karena lapangan kerja terbatas sekali.
Penciptaan lapangan kerja secara luas sangat mereka butuhkan agar
para warga binaan tidak kembali lagi menekuni profesinya semula, baik
sebagai pengguna maupun pengedar narkoba.

Sebenarnya bukan keinginan mereka terjerumus dalam


penyalahgunaan narkoba. Faktor keadaan yang mendesaklah yang
membuat mereka seperti ini. Para warga binaan menjelaskan bahwa
sebelumnya mereka mencoba melamar berbagai pekerjaan yang
ditawarkan. Namun para warga binaan selalu menyampaikan untuk
melamar pekerjaan tertentu semuanya pakai uang sogokan, sementara
mereka tidak mempunyai uang. Kondisi tersebut sepertinya membuat
mereka putus harapan dan frustrasi. Seperti gayung bersambut dalam
kondisi tidak menentu kemudian datang tawaran yang menggiurkan
untuk bekerja sebagai pengedar narkoba dengan penghasilan yang besar.

3. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Narkoba dalam Persepsi


Pengguna

3.1. Pembinaan di Lapas

Lapas yang ada di Kota Banda Aceh tidak ada yang secara khusus
menampung atau membina para korban penyalahgunaan narkoba.
Demikian pula Lapas Kelas IIA Kota Banda Aceh yang menjadi objek
penelitian juga tidak secara khusus menampung korban narkoba. Dengan
demikian korban penyalahgunaan narkoba yang menjadi warga binaan
di Lapas Kelas IIA tersebut bercampur dengan warga binaan lainnya
dengan kasus yang berbeda. Namun dari segi pembinaan ternyata tidak
membeda-bedakan antara warga binaan kasus narkoba dengan warga
binaan lainnya.

Salah seorang pengguna narkoba yang pernah dirawat di Rumah


Sakit Jiwa Aceh mengatakan jika seorang pengguna narkoba dimasukkan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


24 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
ke Lapas maka akan semakin bertambah parah. Hal ini mengingat di dalam
Lapas berkumpul para bandar, pengedar dan pemakai yang berpotensi
merusak para narapidana pengguna narkoba yang baru masuk dan juga
warga binaan lainnya.

Alasan tersebut dapat dipahami jika Lapas tidak memiliki SDM


yang memiliki kemampuan dalam melindungi para narapidana lainnya
dari ancaman dari para warga binaan lainnya. Jika tidak hati-hati,
setelah keluar dari Lapas mereka bisa jadi pengedar 9. Dengan demikian,
fungsi Lapas lembaga yang ingin mengembalikan seseorang sebagai
anggota masyarakat yang normal perlu dikaji efektivitasnya. Terdapat
banyak kisah yang menceritakan bahwa tentang bukan saja Lapas tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, tetapi juga menjadi tempat sembunyi
yang relatif aman bagi para Bandar narkoba kelas kakap. Beberapa kasus
menunjukkan Bandar yang telah dijatuhi hukuman mati ternyata masih
mampu mengendalikan peredaran narkoba dari dalam Lapas 10.

Lapas Kelas IIA Banda Aceh merupakan Lapas yang sangat baik
managementnya, mulai dari administrasi, waktu kunjungan sampai
kehidupan waarga binaan di dalamnya. Kehidupan warga binaan di
dalam Lapas benar-benar menuju ke pembentukan masyarakat normal
secara sosial. Setiap warga binaan selalu diberikan kemudahan untuk
mendapatkan remisi. Sayangnya, tidak semua Lapas di Banda Aceh
berada dalam kondisi demikian. Salah satu contoh Lapas Kahju masih
di Kota Banda Aceh sistem pembinaannya berbeda sama sekali dengan
Lapas Kelas IIA Banda Aceh. Oleh karena itu, pengangkatan Kepala LAPAS
menjadi kunci keberhasilan suatu Lapas. Kepala Lapas harus memiliki
integritas dan kreativitas, menjadi prasyarat bagi berfungsinya Lapas
sesuai agar sesuai yang diharapkan.

Dari segi fisik, pada Lapas Kelas IIA Banda Aceh merupakan
bangunan lama yang dibangun kembali (renovasi). Walaupun di dalam
Lapas tersebut terdapat pagar pembatas yang tinggi, namun tidak
membatasi interaksi para warga binaan dengan petugas Lapas. Hal ini
karena di dalam Lapas sarana peribadatan berupa masjid dan sarana

9
Wawancara dengan seorang mantan penerima layanan rehabilitasi
10
Terpidana mati kasus narkoba Fredy Budiman hingga akhir hayatnya terus mengendalikan peredaran
Narkoba dari dalam LAPAS Batu Nusamkambangan.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 25
olahraga berupa lapangan tenis. Kedua fasilitas tersebut merupakan
sarana bagi para warga binaan untuk berinteraksi dengan warga binaan
lainnya karena tempatnya tidak dibedakan.

Lapas Kelas IIA Banda Aceh juga terlihat sangat asri karena di
dalamnya terdapat kolam-kolam ikan dan tanaman hias. Sementara itu
fasilitasnya terlihat sangat fenomenal adalah tempat pertemuan antara
warga binaan dengan para keluarga dibuat sedemikian rupa seolah
seseorang sedang berada dalam sebuah café. Tempat pertemuan tersebut
terdiri puluhan meja-meja yang diberi payung serta dicat dengan warna-
warna menarik. Di depan lokasi pertemuan terdapat sebuah panggung
yang di depannya terdapat kolam-kolam dengan tumbuhan yang tertata
rapi.

Lapas Kelas IIA Banda Aceh menerapkan sistem dan aturan yang
sangat keras, terutama bagi para warga binaan kasus narkoba. Para
penghuni Lapas tersebut tidak pernah dibeda-bedakan antara warga
binaan mantan pejabat dan warga binaan lainnya. Khusus untuk warga
binaan narkoba jangan pernah coba-coba menggunakan narkoba di dalam
Lapas. Salah seorang petugas Lapas Kelas IIA Banda Aceh mengatakan
tidak ada ampun bagi warga binaan narkoba yang ketahuan kembali
menggunakan narkoba. Mereka segera kembali diproses hukum dan
sangat diperlukan Salah seorang petugas Lapas Lambaro mengatakan
bahwa tidak ada ampun bagi warga binaan narkoba yang ketahuan kembali
menggunakan narkoba. Mereka kembali akan diproses secara hukum jika
bermain-main dan sangat diperlukan dalam menjaga tata-tertib, sehingga
para warga binaan (umum dan narkoba). sangat teratur dalam menjalani
kehidupan sehari-hari di dalam Lapas Lambaro 11. Tidak ada jaminan
Lapas Kelas IIA Banda Aceh bersih dari narkoba. Banyak sekali cara
yang dilakukan untuk menyeludupkan narkoba ke dalam Lapas, seperti
melemparkannya dari luar, memasukkannya dalam makanan, bahkan ada
yang memasukkan kedalam pakaian dalam perempuan 12.

Para warga binaan kasus narkoba seperti warga binaan lainnya


diberikan pembinaan secara khusus sesuai dengan bakatnya masing-

11
Pada awal tahun 2018 memang pernah terjadi kerusuhan di LAPAS Lambaro ketika para narapidana narkoba
dipindahkan ke LAPAS karena melebihi kapasitas, namun sekarang tidak pernah terjadi lagi.
12
Hasil wawancara dengan Kepala LAPAS Kelas IIA Banda Aceh

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


26 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
masing. Salah seorang petugas menjelaskan bahwa pada dasarnya
pembinaan di dalam Lapas Lambaro yaitu pembinaan kemandirian dan
kepribadian. Pembinaan kemandirian berkaitan dengan peningkatan para
warga binaan korban narkoba agar bisa mandiri setelah keluar dari dalam
Lapas. Dalam program kemadirian tersebut para warga binaan diberikan
berbagai pelatihan mulai dari ternak ayam, pertanian dan pelatihan dari
BLK.

Pelatihan dari BLK yang diikuti para warga binaan dapat berupa
perbengkelan, tukang listrik dan tukang las. Diharapkan setelah mereka
keluar dari Lapas sudah bisa mandiri dalam mencari pekerjaan. Salah
seorang warga binaan kasus narkoba mengatakan bahwa selama 7
tahun menjalani hukuman tidak pernah mendapat pelatihan. Narapidana
tersebut mengatakan bingung setelah keluar mau kerja apa dan
bagaimana untuk mendapat pekerjaan yang layak. Apa yang disampaikan
salah seorang warga binaan tersebut bisa saja benar, namun perlu
dipahami pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh BLK Disnaker Aceh
bisa saja tidak mampu menampung semua warga binaan. Selain itu jenis
pelatihan yang diberikan belum tentu sesuai dengan pasar kerja yang ada.

Pembinaan kepribadian para narapidana kasus narkoba dan


narapidana lainnya diberikan siraman rohani dengan ceramah agama dan
belajar mengaji. Untuk keperluan tersebut didatangkan guru dari luar tiga
kali dalam seminggu. Di dalam Lapas ada kelompok pengajian semacam
majelis taklim, dan bagi non muslim diberikan fasilitas untuk melakukan
ritual ibadahnya.

Di dalam Lapasapas diberikan kesempatan kepada warga binaan


untuk mengikuti pendidikan mulai dari tingkat SD sampai SMA. Program
pendidikan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh
berupa program paket A, B dan C. Program tersebut perlu diapresiasi
karena paling tidak warga binaan memperoleh pendidikan secara gratis
dalam rangka menyongsong masa depannya setelah keluar dari Lapas.
Diantara warga binaan yang mengikuti program pendidikan paket A dan
B ada yang sudah bebas, namun mendaftar kembali ke Lapas untuk
mengikuti program pendidikan lanjutan berupa paket C. Hal ini mereka
lakukan karena untuk mengikuti program pendidikan paket C di luar Lapas
harus membayar, sementara di dalam Lapas dapat diikuti secara gratis.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 27
Berkaitan dengan alasan warga binaan terjerumus dalam
penyalahgunaan narkoba ternyata jawab mereka hampir seragam.
Hampir semua warga binaan yang hadir dalam FGD menyatakan
bahwa faktor pergaulan dan lingkungan yang menyebabkan mereka
terjerumus mengkonsumsi barang haram tersebut. Sebagian besar
mereka mengatakan pada mulanya masih dalam tahap coba-coba karena
pengaruh teman, namun karena didesak terus akhirnya menggunakan
narkoba hingga akhirnya mereka masuk penjara.

Semua warga binaan khusus narkoba mengharapkann pemerintah


dapat memberikan pinjaman modal dengan sistem kredit dengan bunga
lunak agar mereka dapat berwirausaha setelah selesai masa hukumannya,
seperti membuka usaha petenakan, perkebunan dan perbengkelan.
Mereka juga berharap berbagai pelatihan BLK yang ada di dalam Lapas
Lambaro dapat menyentuh seluruh warga binaan.

Pembinaan di Lapas tidak akan berarti jika para warga binaan setelah
selesai menjalani masa hukumannya mereka tidak memiliki pekerjaan.
Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah daerah, khususnya Pemerintah
Kota Banda Aceh karena para warga binaan yang pernah terlibat dalam
penyalahgunaan narkoba umumnya adalah warga masyarakat Kota
Banda Aceh. Dikhawatirkan jika mereka sampai menganggur setelah
dibebaskan, mereka akan kembali terlibat dalam penyalahgunaan
narkoba, baik sebagai pemakai maupun pengedar 13.

Pada umumnya warga binaan di Lapas terdiri dari pengedar, walaupun


ada juga pemakai namun persentasenya relatif kecil. Mereka umumnya
mendapat hukuman antara 7 sampai dengan 15 tahun. Menurut mereka
lamanya pemidanaan itu sangat tergantung pada dana yang dikeluarkan
oleh pengedar atau Bandar yang diberikan kepada oknum kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan agar pengedar mendapatkan hukuman
seringan mungkin. Hal itu karena hubungan antara pengedar dengan
Bandar cukup dekat, ibarat orangtua dengan keluarganya 14. Selain
berusaha menyuap oknum petugas, seorang Bandar juga mengurus
segala hal yang diperlukan untuk membantu keluarga pengedar yang

13
Hasil wawancara dengan Kepala LAPAS Kelas IIA Banda Aceh
14
Menurut pengakuan salah seoranag warga Lapas

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


28 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
tertangkap sampai pengedar selesai menjalani hukumannya. Untuk
melakukan semua itu, Bandar tidak terjun sendiri, tapi memerintahkan
anak buahnya. Pola hubungan antara Bandar dengan pengedar yang
seperti ini perlu juga dicermati untuk mencari jalan keluar yang lebih tepat
dalam menanggulangi penyalahgunaan narkoba.

3.2. Program rehabilitasi

Di Kota Banda Aceh hanya ada satu pusat rehabilitasi korban


penyalahgunaan narkoba milik pemerintah yaitu berada di Rumah Sakit
Jiwa Aceh. Selain itu terdapat beberapa panti rehabilitasi milik swasta,
yaitu Yayasan Yakita, Yayasan Pintu Hijrah dan Yayasan Surya, dan
kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh pesantren-pesantren.

Dalam Rumah Sakit Jiwa Aceh terdapat bagian rehabilitasi yang


berfungsi memulihkan kesehatan para korban penyalahgunaan narkoba.
Selain rumah sakit ada juga panti-panti rehabilitasi yang dikelola swasta,
terutama oleh pondok-pondok pesantren. Berhubung kapasitas Rumah
Sakit Jiwa Aceh sangat terbatas para korban penyalanggunaan narkoba
harus antri hingga berbulan-bulan menunggu giliran untuk dirawat atau
direhabilitasi.

Kegiatan Rehabilitasi yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Aceh


berdasarkan hospital base dengan melakukan screaning awal, apakah
korban pengguna NAPZA murni atau sudah dual diagnose, yaitu disertai
gangguan kejiwaan, baik yang ringan atau pun berat. Jika korban narkoba
mengalami gangguan jiwa ringan bisa langsung direhabilitasi, namun
tetap diberikan obat. Jika korban penyalahgunaan narkoba mengalami
gangguan jiwa berat langsung dikirim ke Rumah Sakit Jiwa untuk
pemulihan jiwanya, setelah itu baru direhabilitasi.

Pada umumnya para korban penyalahgunaan narkoba dikirim ke


Rumah Sakit Jiwa Aceh oleh keluarganya sendiri, setelah mengetahui
ada anggota keluarganya pengguna narkoba. Meskipun demikian pihak
rumah sakit hanya menerima para korban penyalahgunaan narkoba yang
tidak terlibat dengan hukum, karena tidak mau ikut campur dengan status
hukum korban. Jika ada masalah hukumnya sudah selesai, maka pihak
rumah sakit baru melakukan rehabilitasi atau merawatnya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 29
Sangat jarang korban penyalahgunaan narkoba dikirim oleh pihak
kepolisian, kejaksaan maupun BNN Provinsi Aceh. Hanya satu orang yang
pernah dikirim oleh pihak BNN Provinsi Aceh untuk dirawat di Rumah Sakit
Jiwa Aceh. Hingga saat ini belum ada perjanjian kerjasama (MoU) yang
dibuat antara Rumah Sakit Jiwa Aceh dengan para pihak yang berkaitan
dengan hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan dan juga BNN Provinsi Aceh
yang berkaitan dengan proses rehabilitasi pengguna narkoba. Menurut
keterangan Kepala Bagian Rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Aceh draft
MoU telah selesai dibuat dan telah dikirimkan kepada para pihak aparatur
hukum untuk dipelajari.

Kapasitas Rumah Sakit Jiwa Aceh untuk keperluan rehabilitasi


korban penyalahgunaan narkoba hanya 25 tempat tidur dengan masa
perawatan 6 bulan. Sementara korban penyalahgunaan narkoba yang
harus menunggu sebanyak 20 orang. Karena itu jika ada yang tidak sabar
menunggu, akan pergi ke panti rehab lain Jika ada tempat yang kosong
pihak rumah sakit langsung memanggil pihak korban sesuai dengan
nomor urut yang ada.

Pelaksanaan rehabilitasi dilakukan oleh dokter dan perawat. Ada tiga


kegiatan yang dilakukan dalam rehabilitasi, yaitu detoksifikasi, premeri
dan reentri. Kegiatan detoksifikasi ditangani oleh dokter umum, psikiater
dan perawat, dengan jangka waktu antara 3 sampai 10 hari. Berhubung
korban penyalahgunaan narkoba umumnya menggunakan sabu dan
ganja, maka mereka langsung direhabilitasi. Khusus pencandu heroin
untuk perawatannya pertama sekali biasanya mereka diberikan metadon
untuk menormalkan kodisi fisiknya baru kemudian direhablitasi.

Setelah seluruh racun narkoba dan ganja yang ada dalam tubuh
mereka terbuang, pasien rehab diikutkan dalam program premiere
(program dasar). Dalam program dasar tersebut diusahakan pembentukan
perubahan perilaku dari pasien, misalnya kedisiplinan dan pemangkasan
perilaku yang buruk. Oleh karena itu peran konseling sangat diperlukan, dan
proporsinya mencapai 80 persen. Peran perawat tetap diperlukan, untuk
menjaga agar pasien tidak sakit. Hal itu karena setelah racun dikeluarkan
dari tubuhnya, biasanya mereka mengalami gangguan kesehatan.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


30 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Setelah 4 bulan direhabilitasi, selanjutnya mereka memasuki tahap
reentry (program lanjutan). Sebelum masuk ke program ini pasien dinilai
progressnya karena ada berbagai kriteria yang harus dipenuhi, antara
lain kemandirian pasien, seperti bangun tidur tidak perlu dibangunkan
dan shalat sendiri tepat waktu. Dalam tahap reentry pasien harus sudah
bisa self evaluasi, seperti membuat program jangka pendek dan jangka
panjang untuk dirinya sendiri.

Keluarga pasien juga diwajibkan datang ke Rumah Sakit Jiwa Aceh


setiap bulan, untuk mengikuti program edukasi kesehatan. Jika anaknya
dirawat, kedua orang tuanya diharuskan datang, atau paling tidak hanya
bapak atau ibunya. Jika pasien telah berkeluarga, maka suami atau
isterinya wajib datang. Sementara untuk keluarga yang jauh, minimal
dua kali dalam 6 bulan harus harus datang mengikuti program edukasi
kesehatan.

Dalam program tersebut keluarga dipanggil untuk berkumpul dengan


dokter, konselor dan perawat, dan diberikan penjelasan tentang progress
pasien, baik jangka pendek maupun panjang. Pertemuan biasanya
berlangsung selama dua jam, dan pihak keluarga diberikan materi kegiatan
rehabilitasi untuk dipelajari selama 40 menit. Setelah itu diadakan tanya
jawab dan penyamaan persepsi antara pasien dan keluarga. Tujuan dari
semua itu adalah untuk menciptakan kedekatan dalam keluarga, sehingga
terjadi kesamaan persepsi antara pasien dan keluarganya.

Menurut petugas bagian rehabilitasi, fasilitas di Rumah Sakit Jiwa


Aceh perlu ditambah untuk menampung para korban narkoba yang dirujuk
ke rumah sakit tersebut, agar pasien rehabilitasi korban penyalagunaan
narkoba tidak menunggu lama untuk mendapatkan perawatan.

3.3. Upaya Lain yang Perlu Dilakukan menurut Pengguna

Selain pembinaan di dalam LAPAS dan bagian rehabilitasi ada


beberapa harapan dari para mantan korban pengguna narkoba menurut
para warga binaan dan mantan pasien rehabilitasi untuk membasmi
peredaran narkoba tersebut kiranya ada dua tindakan yang dilakukan,
pertama, melakukan kegiatan sosialisasi pada setiap warga masyarakat
tentang bahaya narkoba. Pada setiap lini dibangkitkan kesadaran

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 31
masyarakat bahwa warga disekitarnya harus dibentengi dengan berbagai
kegiatan sosial keagamaan agar tidak terjerumus dalam penyalahgunaan
narkoba. Seyogyanya kegiatan sosilisasi tersebut bisa juga berkolaborasi
dan bersinergi dengan kegiatan pemerintah daerah, seperti Dinas Sosial.

Kedua, perlu meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak perlu


takut dan ragu-ragu untuk melaporkan jika melihat ada warga yang
menjadi pemakai atau pengedar narkoba. Berbagai kelompok masyarakat
harus dirangsang untuk berani bertindak atau paling tidak melaporkan jika
ada salah seorang warganya menjadi pemakai apalagi pengedar narkoba
kepada pihak berwajib. Kelembagaan pemerintah seperti Kesbanglinmas
mempunyai peran penting dalam memberikan penguatan dan penyadaran
pada masyarakat tentang menjaga lingkungan kampung dari ancaman
bahaya narkoba.

Sementara faktor lainnya berkaitan dengan faktor ekonomi. Hal


ini mengemuka ketika dilakukan FGD, terutama di LAPAS Lambaro.
Hal ini mengingat faktor utama yang menyebabkan mereka terjerumus
menjadi pengedar narkoba adalah persoalan tidak tersedianya lapangan
kerja. Sementara pada satu sisi tuntutan kebutuhan keluarga semakin
mendesak, baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan lainnya, seperti
pendidikan dan kesehatan. Kebanyakan warga binaan yang masuk
dalam jaringan pengedar narkoba sebelumnya tidak memiliki pekerjaan
atau pekerjaan mereka tidak menentu (serabutan). Sebagian mereka
mengatakan bukan keinginan mereka untuk terlibat dalam dunia hitam
sebagai pengedar narkoba, tetapi keadaanlah yang memaksa mereka
melakukannya.

Para warga binaan maupun mantan pasien Rumah Sakit Jiwa


atau Rumah Rehabilitasi mengharapkan ada solusi yang ditawarkan
pemerintah agar mereka dapat bekerja setelah selesai menjalani
hukumannya atau keluar dari Rumah Damping BNN Provinsi Aceh. Hampir
semua warga binaan dan mantan pasien rehabilitasi menyampaikan
bahwa mereka sangat menyesal telah melakukan tindakan yang sangat
tidak terpuji, baik sebagai pemakai maupun pengedar narkoba. Mereka
mengharapkan satu-satunya jalan agar mereka tidak kembali terlibat
dalam penyalahgunaan narkoba adalah dengan jalan membuka lapangan
pekerjaan seluas-luasnya agar mereka dapat berpartisipasi di dalamnya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


32 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Sebagai catatan bahwa pembinaan bagi para korban penyalahgunaan
narkoba tidak akan berarti apa-apa jika jika tidak disediakan lapangan
pekerjaan yang memadai. Hal ini kiranya harus menjadi perhatian
pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kota Banda Aceh. Apalagi
para korban penyalahgunaan narkoba adalah warga masyarakat Kota
Banda Aceh sendiri. Sudah sepantasnyalah mereka mendapat perhatian
khusus dari pemerintah daerah berupa penyediaan lapangan kerja yang
layak. Dikhawatirkan jika mereka tetap menganggur tidak menutup
kemungkinan mereka kembali lagi terlibat dalam penyalahgunaan
narkoba, baik sebagai pemakai maupun pengedar 15.

4. Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba

4.1. Diseminasi Informasi

Dalam rangka penanggulangan narkotika, BNN Provinsi Aceh


melakukan penyuluhan bahaya narkoba kepada 10 perwakilan gampong
yang ada di Kota Banda Aceh. Setelah itu diharapkan perwakilan
gampong-gampong itu bisa melanjutkan sosialisasi di lingkungannya
masing-masing. Selain di gampong-gampong, kegiatan sosialisasi juga
dilakukan ke kampus-kampus, sekolah-sekolah dan instansi pemerintah.
Hal ini dilakukan mengingat peredaran narkoba di Aceh menunjukkan
peningkatan yang sangat signifikan. Secara nasional pada tahun
2014 Aceh masih berada di peringkat 14, namun pada tahun 2015 naik
menjadi peringkat 8 (Acehmonitor.com, 2016). Untuk menekan laju
peredaran narkoba tersebut BNN Provinsi Aceh terus melakukan kegiatan
penyuluhan ke berbagai stakeholders.

BNN Provinsi Aceh juga telah melakukan diseminasi informasi di


kalangan keluarga. Kegiatan tersebut dimulai dengan rapat penyusunan
materi P4GN untuk keluarga kemudian dilanjutkan dengan kegiatan
diskusi interaktif/talkshow melalui media televisi lokal (Aceh TV dan
TVRI Aceh) serta talkshow melalui media radio (5 radio) dengan Tema
“Keluarga adalah benteng dalam mencegah bahaya penyalahgunaan
narkoba”. Selanjutnya dilakukan tatap muka (Sosialisasi ke desa-desa) di
10 Gampong wilayah Kota Banda Aceh dan Aceh Besar dengan peserta

15
Hasil wawancara dengan Kepala LAPAS Kelas IIA Banda Aceh

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 33
setiap gampong terdiri dari ibu-ibu PKK dengan total peserta yang terlibat
sebanyak 250 orang. Selanjutnya dilakukan pembinaan teknis diseminasi
informasi P4GN kepada BNN Kab/Kota dengan jumlah peserta 14 orang.

Diseminasi informasi di kalangan pelajar/mahasiswa dimulai


dengan rapat penyusunan materi dan konten P4GN untuk Pelajar/
Mahasiswa, dilanjutkan dengan kegiatan tatap muka berupa penyuluhan
tentang bahaya narkoba ke 48 Sekolah-sekolah SMP,MTsN, SMA dan Man
Sederajat. Rata-rata jumlah siswa yang terlibat per-sekolah sebanyak
300–750 orang. Kegiatan selanjutnya adalah membentuk Jejaring anti
narkoba kepada 20 mahasiwa UIN Ar-Raniry serta dilanjutkan dengan
asistensi penguatan jejaring anti narkoba dan kegiatan P4GN Non
Elektronik (Ekspresi Pentas Seni Anti Narkoba kepada Mahasiswa)
bekerjasama dengan Kampus UIN Ar-Raniry, yang diikuti oleh lebih kurang
1000 peserta yang terdiri dari berbagai kalangan.

Kegiatan diseminasi informasi pada kalangan pekerja dimulai dengan


rapat penyusunan materi dan konten P4GN untuk pekerja, dilanjutkan
dengan melakukan pembentukan jejaring anti narkoba kepada pekerja
swasta yang berjumlah 30 orang, dan asistensi penguatan jejaring anti
narkoba. Kegiatan P4GN Elektronik dengan menyiarkan iklan STOP
NARKOBA di 5 radio lokal serta melakukan Pembinaan Teknis kepada
20 orang pekerja swasta lainnya. Selanjutnya dilakukan monitoring dan
evaluasi program kegiatan diseminasi informasi P4GN, sebanyak 2 kali
dengan jumlah peserta 10 orang.

4.2. Pemberdayaan masyarakat

Setelah selesai dirawat di bagian Rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa


Aceh atau Rumah Rehabilitasi lainnya, pasien kemudian dikembalikan ke
keluarganya. Namun sebelumnya mereka diberikan pelatihan di Rumah
Damping yang dibangun oleh BNN Provinsi Aceh. Rumah Damping
tersebut berfungsi menampung para pasien rehabilitasi yang akan
melanjutkan perawatan kesehatan, sekaligus mempersiapkan mereka
dengan bekal keterampilan. Di Rumah Damping mereka dilatih dengan
berbagai kegiatan ekonomi produktif seperti membuat berbagai kerajinan
dan pertanian hydroponik.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


34 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Para mantan pasien rehabilitasi yang ditampung di Rumah
Damping didampingi oleh para senior, umumnya juga mantan korban
penyalahgunaan narkoba. Para senior inilah yang memberikan pelatihan
keterampilan pada pasien-pasien yang baru masuk ke Rumah Damping.
Banyak sekali kerajinan tangan yang telah mereka hasilkan di Rumah
Damping, seperti hiasan meja yang terbuat dari bambu dan penutup
lampu, baik lampu gantung maupun duduk. Produksi Rumah Damping
tersebut telah banyak yang dijual ke luar, terutama ke rumah-rumah
tangga. Adapun kegiatan pertanian hydroponik yang diajarkan yaitu
menanam sayur-sayuran di pipa-pipa paralon yang dibentuk sedemikian
rupa, sehingga dapat ditanami.

Salah seorang korban penyalahgunaan narkoba yang berprofesi


sebagai pendamping atau fasilitator di Rumah Damping menjelaskan
bahwa yang bersangkutan telah bekerja lebih kurang selama dua tahun,
dan sebelumnya pernah dirawat di bagian rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa
Aceh selama satu tahun. Setelah selesai dirawat kemudian sempat
bekerja di bagian rehabilitasi Rumah Sakit Jiwa Aceh dan setelah itu
mengabdikan dirinya untuk menolong para korban penyalahgunaan
narkoba di Rumah Damping.

Salah seorang peserta rehab di rumah damping16 menyatakan bahwa


sudah beberapa kali mengikuti rehab. Mantan pemakai yang pernah
mengenyam pendidikan di pesantren ini menyatakan bahwa orang yang
sudah pernah memakai narkoba jenis sabu, sangat rentan untuk kembali
lagi menjadi pemakai walaupun sudah pernah mengikuti rehabilitasi,
terutama ketika kembali ke komunitasnya penyalahguna narkoba.

Langkah-langkah BNNP Aceh dalam melaksanakan Program


P4GN dengan tema “Mamanfaatkan kearifan lokal dalam Rangka
Mempercepat Aceh Bebas dari Narkoba. Ada tiga hal pokok yang tidak
bisa dilepaskan dari kebudayaan masyarakat Aceh, pertama “Doda Idi”
merupakan sebuah nyanyian untuk menidurkan anak kiranya bisa dipakai
untuk kegiatan sosialisasi agar sebuah keluarga bebas narkoba. Kedua,
“Hadih Maja” merupakan pepatah petitih dalam masyarakat Aceh yang
juga bisa dimanfaatkan untuk pencegahan penanggulangan narkoba.

16
Pernyataan ini diperkuat oleh salah seorang Pembina di rumah damping yang dulunya juga seorang pemakai yang
sudah menjalani rehab lebih dari sekali.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 35
Ketiga, “Didong” merupakan kesenian berbalas panting antar kelompok
masyarakat yang didalamnya dapat disampaikan pesan bahaya
penggunaan narkoba dalam masyarakat.

Sementara BNNP Aceh juga nampaknya sudah mengenal betul


wilayah-wilayah yang menjadi lorong tikus masuk dan keluarnya
narkoba di Aceh. BNNP Aceh telah berusaha menutup atau paling
tidak mempersempit ruang gerak pengedaran gelap narkoba dengan
menitikberatkan daerah-daerah Aceh Besar, Bireun, Pidie dan Langsa.
Sasaran BNNP Aceh lainnya juga telah merambah ke Kampus, Sekolah,
Bayah, Kedai Kopi, Gampong majelis Taklim dan Mesjid. Artinya gerakan
BNNP menyebar hampir keseluruh komunitas yang berada di Aceh.
Dengan demikian diharapkan tidak ada lagi celah bagi masyarakat untuk
terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba.

Sementara itu BNN Provinsi Aceh juga melakukan alih fungsi


lahan ladang ganja dengan memberdayakan masyarakat lokal di daerah
Lanteuba. Daerah tersebut terletak di kaki Gunung Seulawah yang selama
ini ditanami ganja oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Setelah
ladang ganja tersebut dimusnahkan, kemudian oleh BNN Provinsi Aceh
memberdayakan masyarakat disekitarnya untuk bercocok tanam, yaitu
bertanam jagung. Untuk semua kegiatan ini, BNNP Aceh melibatkan dan
bekerja sama dengan aparat Pemda, Ulama, Guru, dan dosen.

5. Kesimpulan dan Rekomedasi

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Aceh semakin


meningkat kiranya dan berpotensi mengancam keberlangsungan
hidup generasi muda. Dalam rangka penanggulangan narkoba telah
dilakukan berbagai upaya yang berkelanjutan, baik yang dilakukan
oleh BNN Provinsi Aceh maupun oleh Polda Aceh. Pihak BNN Provinsi
Aceh lebih menekankan pada strategi pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat, terutama dengan melakukan berbagai kegiatan sosialisasi
dan penyuluhan tentang bahaya narkoba. Kegiatan tersebut menyasar
berbagai kelompok masyarakat mulai dari gampong-gampong hingga
ke berbagai lembaga pendidikan, baik formal maupun informal. Bahkan
Kepala BNN Provinsi Aceh berperan aktif mensosialisasikan bahaya

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


36 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
narkoba bagi generasi muda dan bangsa. Sedangkan pemberdayaan
masyarakat dilakukan dengan melakukan alih fungsi lahan yang mulanya
ditanami ganja, ditanami pohon yang lebih bermanfaaat dan memiliki
fungsi ekonomi.

Tema pemanfaatan kearifan lokal yang dipilih BNNP Aceh,merupakan


tema yang tepat, karena Aceh memiliki sejarah panjang yang cemerlang
di masa lalu, dan berhasil mengembangkan budaya khas Aceh dalam
masyarakat yang majemuk. Mengingat peran ulama di Aceh sangat besar,
maka tepat sekali melibatkan ulama dan pengajian yang dilakukannya
dalam upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba.

Penguasaan jalur masuk dan keluar narkoba sudah dikuasai betul


oleh BNNP maupun oleh Polisi Daerah. Oleh karena itu BNNP dan Polda
memprioritas beberapa daerah yang dianggap rawan menjadi jalur keluar
masuk narkoba, seperti Aceh Besar, Bireun, Pidie, dan Langsa.

Dari sisi pemakai, seseorang yang telah mengikuti rehab, masih


belum aman untuk tidak kembali lagi ke dalam komunitas pemakai. Hal
seperti ini perlu menjadi perhatian bagi para pembuat kebijakan agar
memberikan proteksi khusus agar para mantan pemakan tidak kembali
lagi bergabung dengan kelompoknya.

Hubungan yang terbentuk antara pengedar dengan Bandar juga perlu


mendapat perhatian. Pola hubungan yang terjalin menunjukkan bahwa
profit yang diperoleh Bandar nakoba sangat besar, sehingga dia bisa
menjamin keluarga pengedar selama di dalam LAPAS dan mengeluarkan
dana untuk meringankan hukuman pengedar. Namun pada satu sisi lain
perilaku Bandar tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung
merupakan godaan tersendiri bagi aparatur penegak hukum.

Persoalan di bidang narkoba sangat kompleks. Oleh karena itu


program pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba di Aceh sebaiknya tidak diserahkan sepenuhnya
kepada pihak BNN Provinsi Aceh maupun Kepolisian, melainkan harus
didukung secara penuh oleh seluruh elemen masyarakat dan juga
pemerintah daerah.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 37
Beberapa langkah perlu dilakukan untuk penanggulangan narkoba di
Aceh, antara lain :
a) Perluasan lapangan pekerjaan merupakan salah satu faktor penting
yang harus diperhatikan pemerintah untuk mencegah meningkatnya
penyalagunaan narkoba tidak hanya bagi mereka yang keluar dari
LAPAS, melainkan juga bagi para mantan pengguna narkoba lainnya.
b) Perlu memberdayakan para korban penyalahgunaan narkoba dengan
melibatkannya dalam berbagai kegiatan ekonomi produktif.
c) Para korban penyalahgunaan narkoba yang masih sekolah seyogyanya
tetap dapat melanjutkan sekolah setelah melalui proses rehabilitasi.
d) Perlu standarisasi kegiatan rehabilitasi antara rumah rehablitasi yang
dilakukan pemerintah maupun pihak swasta.
e) Perlu pertemuan berkala para mantan peserta rehab, untuk memantau
perkembangan yang mereka alami setelah kembali dari panti rehab.
f) Memanfaatkan para mantan pengguna untuk memantau
perkembangan penyalahgunaan narkoba di area tempat tinggalnya.

Berkaitan dengan kebijakan “Memanfaatkan Kearifan Lokal Dalam


Rangka Mempercepat Aceh Bebas Narkoba, terdapat 3 (tiga) jalur yang
bisa menjadi entry point untuk melaksanakannya, antara lain :
a. Doda idi, semacam syair atau senandung pengantar tidur yang biasa
dilantunkan seorang ibu Aceh ketika menidurkan anaknya. Aslinya,
senandung ini berusaha menanamkan nilai-nilai agar anak memiliki
loyalitas kepada agama dan bangsanya (bangsa Aceh). Dengan
melakukan sedikit perubahan, pada syair, Doda Idi dapat dimanfaatkan
untuk menanamkan nilai keharaman terhadap narkoba.
b. Hadih Maja, semacam kumpulan petatah petitih para cerdik pandai
masyarakat Aceh yang berdasarkan agama Islam yang biasanya
dijadikan rujukan bagi masyarakat Aceh untuk berpikir, bersikap
dan bertindak. Bagian-bagian dari Hadih Maja ini dapat dipilah yang
berkaitan dengan kepentingan pencegahan dan penanggulangan
narkoba, kemudian disosialisasikan kepada masyarakat.
c. Didong, semacam pertandingan berbalas pantun antar kelompok, yang
biasanya dilakukan antar wilayah, dengan materi yang mengandung
nuansa sindiran, humor dan pendidikan bagi masyarakat. Tradisi
Didong ini juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pencegahan
dan penanggulangan narkoba, dengan mengisi materinya mengenai

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


38 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
keburukan narkoba dan melakukan sindiran-sindiran keras terhadap
para pemakai narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 39
DAFTAR PUSTAKA

Acehmonitor.com. 2016. Peredaran Narkotika di Aceh Meningkat,


BNN Aceh Berikan Penyuluhan ke Perangkat Gampong. Http://
acehmonitor.com/peredaran-narkotika-di-aceh-meningkat-bnn-
aceh-berikan-penyuluhan-ke-perangkat-gampong.

Hadjam, N. 1998. “Kooordinasi Dalam Rangka Penyuluhan


Penanggulangan Narkoba”. Laporan Pelaksanaan Penelitian.
Yogyakarta : Andi Offset

Hawari D. 2001. Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif. Jakarta :


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Indonesia, Republik. 2009. “Undang-Undang Nomor 35, Tahun 2009


tentang Narkotika”. Jakarta : Departemen Kesehatan

Irwanto. 1993. “Tindakan Pencegahan (preventif) Dalam Masalah


Penyalahgunaan Narkoba”. Makalah. Proyek Peningkatan
Peranserta Masyarakat dalam Penanggulangan Penyalahgunaan
Obat-Obatan di Indonesia.

Ismail, Wahyuni. 2017. “Teori Biologi Tentang Perilaku Penyalagunaan


Narkoba”. Jurnal Biotek, Volume 5 Nomor 1 Tahun 2017.

Sabarinah. 2009. Dimensi Gender Kelangsungan Pemakaian Narkoba.


Depok: Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia.

Sharler, Deivi. 2016. “Budaya Ganja di Aceh”. http://www.facebook.com/


delvi.sharley. Diunduh tanggal 12 Oktober 2018

Serambinews.com. 2018. “Aceh Jadi Provinsi Transit Narkoba”. http://


aceh.tribunnews.com/2018/09/27/aceh-jadi-provinsi-transit-
narkoba. Diunduh tanggal 6 Oktober 2018.

Sitorus, Rico Januar. 2015. Pengaruh Tahapan Rebilitasi Self Efficacy


Pasien Keteragantungan di Pusat Terapi dan Rehabilitasi Lido.
Depok : Universitas Indonesia

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


40 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
III

Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkoba di Kota Medan
Provinsi Sumatera Utara

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 41
Tari Tor-Tor
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
42
Batik Gorga
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018Khas Batak (Sumut)
III
PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
DI KOTA MEDAN, SUMATERA UTARA

Oleh:
Suprihadi; Agus Santoso

1. Pendahuluan

Sumatera Utara merupakan provinsi tempat transit narkoba yang


datang dari segala penjuru, baik darat, laut maupun udara. Hal ini dapat
dilihat pada jumlah narkoba yang berhasil disita dari para pengedar yang
ditangkap di Sumatera Utara, yang bukan lagi dalam jumlah yang kecil.
Bahkan peredaran narkoba terutama sabu sudah menjalar ke seluruh
pelosok, tidak terkecuali daerah pedesaan. Sumatera Utara dan Medan
khususnya, dijadikan tempat transit narkoba sebelum didistribusikan ke
berbagai daerah.

Mudahnya narkoba masuk ke Sumatera Utara telah mengakibatkan


sebagian penduduknya menjadi pecandu narkoba. Ada kecenderungan
jumlah pecandu narkoba tidak dapat dilayani pada balai rehabilitasi
karena jumlah balai rehabilitasi sangat terbatas. Bahkan para korban
penyalahgunaan narkoba harus antri untuk dapat dirawat di balai
Rehabilitasi, terutama balai Rehabilitasi milik pemerintah.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 43
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan BNN bekerjasama
dengan Universitas Indonesia, pada tahun tahun 2017 Provinsi Sumatera
Utara sebanyak 260.000 penduduk berusia 10 hingga 59 tahun merupakan
pecandu narkoba, dan menempati urutan kedua tertinggi penggunaan
narkoba di Indonesia. Angka tersebut sangat mengkhawatirkan
mengingat peredaran narkoba di Sumatera Utara selama sepuluh tahun
terakhir cenderung naik turun.

Tulisan ini menjelaskan peredaran dan penyalahgunaan narkoba


di kota Medan, Sumatera Utara, dan upaya-upaya yang telah dilakukan
untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba. Selain itu juga dijelaskan
efektivitas P4GN dalam mencegah peredaran narkoba di Sumatera Utara
dan Medan khususnya.

2. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba

Istilah narkoba tidak asing lagi bagi masyarakat, karena sudah begitu
banyak media (elektronik dan cetak) yang memberitakan penyalahgunaan
dan dampaknya, serta memberitakan peredaran zat terlarang tersebut
di kalangan masyarakat (Sujono A.R, dan Bony Daniel, 2011). Menurut
Kepala BNN Provinsi Sumatera Utara, tingginya tingkat peredaran narkoba
di Sumatera Utara karena dipengaruhi oleh mudahnya akses jalur masuk
narkoba dari pantai timur Sumatera, yakni dari Aceh hingga perbatasan
Riau, serta daya beli masyarakat yang tinggi.

Khusus di Kota Medan, maraknya peredaran narkoba, terutama


jenis ganja, karena letaknya berdampingan dengan Provinsi Aceh. Medan
dijadikan target pasar maupun lalu lintas untuk meloloskan ganja ke
Pulau Jawa. Jadi pintu gerbang dari Aceh, dan arena lokasinya terdekat,
maka Medan dijadikan sebagai pasar. Karena lokasi kota Medan juga
cukup strategis, maka lewat Medan, narkoba bisa dikirim ke mana saja.

Di Kota Medan terdapat Kampung Kubur, yang menjadi sarang


narkoba dan perjudian. Kampung itu terletak di tengah kota, dan di
belakangnya terdapat aliran Sungai Deli. Untuk menuju ke sana harus
melewati jalan kecil atau jalan tikus; mobil tidak bisa lewat, dan untuk
menuju ke sana hanya bisa menggunakan sepeda motor. Walaupun
di kampung Kubur itu telah berulang kali dilakukan razia, namun

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


44 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
perdagangan narkoba selalu muncul kembali. Konon, hal itu terjadi karena
selalu mendapatkan bocoran sebelum razia dilaksanakan.

Menurut data yang dimiliki Polda Sumatera Utara, sebanyak 5.546


tindak pidana narkoba terjadi selama 2016; sebanyak 4.956 kasus di
antaranya berhasil diselesaikan. Jumlah ini meningkat dibanding tahun
sebelumnya, yakni 4.711 kasus penyalahgunaan narkoba; 4.421 kasus
terselesaikan. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah kasus
penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara mengalami peningkatan.

Masyarakat kota Medan yang menjadi pengguna narkoba sekitar


350.000 orang, terbesar dibanding 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara.
Menurut Kepala BNNP Sumatera Utara, jika dibuat rata-rata, diperkirakan
di setiap kabupaten/kota di Sumatera Utara terdapat sekitar 10 ribu
warga yang menjadi pengguna narkoba. Maraknya narkoba di Medan
itu dibuktikan dengan banyaknya penangkapan yang belakangan ini
dilakukan BNN dan Mabes Polri.

Menurut Kepala Lapas Narkotika Langkat, banyaknya pecandu


narkoba dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang dampak
penggunaan narkoba pada kesehatan, baik fisik maupun rohani. Kadang
mereka juga tidak mengetahui bahwa penyalahgunaan narkoba dapat
berujung di penjara.

Menurut beberapa warga binaan Lapas, kurangnya pengetahuan


korban tentang penyalahgunaan narkoba terutama disebabkan
karena peredarannya sudah sangat luas dalam bentuk yang beraneka
ragam, sehingga tidak bisa dibedakan mana narkoba dan mana yang
tidak. Selain itu, kurangnya sosialisasi tentang bahaya narkoba telah
mengakibatkan masyarakat dengan mudah tergiur menggunakannya.
Namun jika dibandingkan dengan para pemakai ganja, para warga binaan
mengatakan selama ini mereka kebanyakan menggunakan sabu-sabu.
Sabu-sabu membuat pemakainya semakin bersemangat. Selanjutnya
mereka mengatakan semakin banyak sabunya diisap semakin nikmat

Faktor keluarga juga berperan penting dalam membentengi


seseorang agar tidak terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba.
Kesibukan orang tua seperti yang disampaikan seorang warga binaan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 45
kiranya tidak dipungkiri menjadi pembelajaran tersendiri bagi para
keluarga yang selama ini lebih mementingkan ekonomi daripada
keselamatan keluarga dari berbagai pengaruh negatif penyalahgunaan
narkoba. Sementara pengaruh lingkungan yang sejak semula telah
tercemar dengan para pemakai narkoba, sehingga tidak ada celah bagi
seseorang untuk mengelak jika ditawari menggunakan narkoba. Faktor
pertemanan berupa solidaritas dan rasa tidak enak pada teman biasanya
menjadi faktor yang menjerumuskan seseorang dalam penyalagunaan
narkoba. Modus operandi yang dipakai untuk menarik seseorang untuk
menggunakan adalah faktor coba-coba yang akhirnya lama kelamaan
membuat seseorang menjadi ketagihan dan kecanduan narkoba hingga
akhirnya berujung dihukum dalam penjara. Para pecandu Narkoba, baik
di Lapas maupun di loka rehabilitasi pada umumnya mengatakan bahwa
pada mulanya menggunakan narkoba karena sekadar ingin mencoba,
karena dipengaruhi teman. Namun karena didesak terus untuk memakai,
akhirnya mereka menjadi ketagihan.

Selain faktor lingkungan keluarga dan pergaulan, sebagian besar


warga binaan di Lapas Narkotika mengatakan bahwa faktor ekonomi
berperan penting menjerumuskan seseorang dalam penyalahgunaan
narkoba. Hasil FGD di Lapas Langkat, yang menunjukkan bahwa faktor
ekonomi dapat menjadi penyebab masyarakat terjerumus menjadi
pengedar narkoba. Hal itu terjadi karena mereka tidak mempunyai
pekerjaan tetap yang diakibatkan oleh terbatasnya lapangan kerja,
sementara tuntutan kebutuhan keluarga semakin mendesak. Kondisi
demikian mendorong mereka untuk mencari jalan pintas untuk
mendapatkan uang, dengan menjadi pengedar narkoba. Jadi menurut
mereka, keterlibatannya dalam peredaran narkoba bukan karena
keinginan, tetapi karena keterpaksaan.

Beberapa warga binaan menjelaskan bahwa sebelumnya mereka


mencoba melamar berbagai pekerjaan kemana-mana, namun untuk
melamar pekerjaan, semuanya diminta uang sogokan, sementara mereka
tidak mempunyai uang. Kondisi tersebut membuat mereka putus harapan
dan frustrasi. Dalam kondisi serba ketidakpastian akhirnya mereka terjebak
dalam penyalahgunaan narkoba. Keterlibatan mereka menggunakan
narkoba dipermudah karena lingkungannya telah tercemar barang haram
tersebut, dan menjadi sulit berhenti hingga akhirnya mereka direkrut

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


46 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
bandar narkoba menjadi pengedar atau perantara dengan imbalan yang
sangat besar.

Peredaran narkoba di Sumatera Utara dan Kota Medan khususnya


begitu tinggi, karena tiap satu kilogram sabu yang dijual misalnya,
pengedar bisa mendapatkan keuntungan hingga puluhan kali lipat.
Bagi pengedar, faktor ekonomi memang menjadi penyebab utama
mereka terlibat mengedarkan narkoba. Salah satu alasan yang mereka
kemukakan adalah kurangnya lapangan pekerjaan, sehingga mereka
tergiur menerima tawaran dari bandar narkoba untuk menjadi pengedar.
Hal itu diperkuat dengan hasil wawancara dengan beberapa warga binaan
di Lapas menyebutkan bahwa sebelum menjadi pengedar pada umumnya
mereka juga pemakai, baik ganja maupun sabu. Adapun alasan berubah
profesi dari pemakai ke pengedar yaitu: pertama, karena kehabisan
uang untuk membeli sabu; kedua, karena ingin mendapatkan uang yang
lebih besar. Secara umum para warga binaan mengatakan permintaan
terhadap narkoba sangat tinggi. Pasarnya bagus dan putarannya cepat
sekali untuk menghasilkan uang.

Peredaran narkoba saat ini diduga telah dikendalikan oleh mafia-mafia


internasional yang masuk melalui importir. Jaringan bandar narkoba sudah
tersusun rapi dan sangat sulit untuk diungkap pembuktiannya. Di wilayah
Sumatera Utara, beberapa pemasok narkoba masuk dari Provinsi Aceh
dan Riau, dan dilakukan oleh bos importir di wilayah Sumatera. Masuknya
narkoba ke wilayah Sumatera Utara karena di wilayah pesisir penuh dengan
pelabuhan kecil yang sangat jarang dipantau. Hal ini diperparah dengan
banyaknya cara yang dilakukan untuk bisa memuluskan barang agar
sampai ke tujuan; mulai dari menyembunyikan narkoba di dalam produk
jualan dan bahkan ada yang langsung membawa di dalam tas atau barang
bawaan. Adapun narkoba yang banyak beredar menurut pengakuan para
mantan pengguna yaitu sabu, ekstasi, putaw, ganja, dan berbagai macam
pil seperti: dextro, lexotan, dumolid, sanax dan trihex.

Menurut informasi, saat ini ada puluhan bahkan ratusan orang di Kota
Medan yang masih menjalankan bisnis narkoba. Sulitnya penanganan
narkoba di wilayah ini terjadi karena pemberantasan narkoba baru bisa
menangkap pengguna dan pengedar, bukan bandar besar narkoba.
Beberapa razia tangkap tangan yang dilakukan oleh Dit Narkotika Polda

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 47
bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional Indonesia (BNN) hanya
mampu menangkap kurir, orang suruhan dari para bandar narkoba yang
bekerja di belakang layar (Daniel Turnip, Maret 2017).

Jejak narkoba di Kota Medan sebenarnya sangat mudah ditelusuri,


karena banyak tempat-tempat yang digunakan para pengedar untuk
menjual narkoba secara langsung ke para konsumen. Tempat-tempat
prostitusi malam, perumahan yang sangat padat penduduknya, tempat-
tempat diskotek/hiburan malam, sering dimanfaatkan untuk jual-beli
narkoba. Selain itu, rumah kontrakan dan kos-kosan juga menjadi tempat
yang sering ditemukan narkoba.

3. Dampak Penyalahgunaan Narkoba

Penggunaan narkoba memiliki dampak merusak generasi muda


dan ekonomi negara, karena transaksinya cukup besar dan berasal dari
luar negeri. Bahkan, melibatkan berbagai pihak yang ikut ambil bagian
dari hasil yang diperkirakan mencapai jutaan bahkan ratusan juta rupiah
(Gatot Supramono, 2007).

Penyalahgunaan narkoba secara terus-menerus, apalagi melebihi


takaran yang telah ditentukan, akan mengakibatkan ketergantungan.
Kecanduan inilah yang akan mengakibatkan gangguan fisik dan
psikologis, karena terjadinya kerusakan pada sistem syaraf pusat (SSP)
dan organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati dan ginjal. Dampak
penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung pada jenis
narkoba yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi
pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkoba dapat terlihat pada
fisik, psikis maupun sosial seseorang. Beberapa dampak penyalahgunaan
narkoba terhadap kesehatan antara lain:
a) Gangguan pada jantung
b) Gangguan pada hemoprosik
c) Gangguan pada traktur urinarius
d) Gangguan pada otak
e) Gangguan pada tulang
f) Gangguan pada pembuluh darah
g) Gangguan pada endorin
h) Gangguan pada kulit

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


48 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
i) Gangguan pada sistem syaraf
j) Gangguan pada paru-paru
k) Gangguan pada sistem pencernaan
l) Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS,
Hepatitis, Herpes, TBC, dan lainnya.

Hal yang sama dikemukakan juga oleh Sitorus (2016), yang


mengatakan bahwa perilaku-perilaku berisiko yang dilakukan para
pecandu narkoba mengakibatkan mereka sangat mudah mengalami
komplikasi penyakit. Secara fisik biasanya kesehatan pemakai menurun,
dengan tanda-tanda badan semakin kurus dan rentan terhadap berbagai
penyakit. Pengguna atau pecandu narkoba biasanya sering mendapatkan
gangguan jantung, otak, serta pembuluh daerah. Pemakai narkoba
biasanya rentan terhadap berbagai penyakit terutama HIV/AIDS karena
daya tahan tubuhnya menurun sehingga membahayakan sekali terhadap
kesehatan bahkan kematian.

Selain gangguan fisik, seorang pengguna narkoba yang sudah


mengalami kecanduan juga sering mengalami gangguan kepribadian.
Gangguan kepribadian tersebut, seperti cemas, depresi, perubahan
kualitas hidup, penurunan interaksi personal, penurunan kepuasan
terhadap kehidupan sehari-hari dan terganggunya kesehatan sosial dan
mental. Efek depresi dari penyalahgunaan narkoba bisa ditimbulkan
akibat kecaman keluarga, teman dan masyarakat atau justru karena
penggunanya merasa gagal berhenti memakai narkoba.

Selain berdampak terhadap kesehatan fisik dan psikis,


penyalahgunaan narkoba juga memiliki dampak tidak langsung, antara
lain:
a) Banyak uang yang dibutuhkan untuk penyembuhan dan perawatan
b) Kesehatan pecandu jika tubuhnya rusak digerogoti zat beracun.
c) Dikucilkan dari pergaulan di masyarakat. Selain itu seorang pecandu
biasanya bersikap anti sosial.
d) Keluarga akan malu besar karena punya anggota keluarga yang
memakai zat terlarang.
e) Kesempatan belajar hilang dan mungkin dapat dikeluarkan dari
sekolah atau perguruan tinggi.
f) Tidak dipercaya lagi oleh orang lain karena gemar berbohong dan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 49
melakukan tindak kriminal.
g) Melupakan kewajibannya terhadap Tuhan serta menjalani kehidupan
yang dilarang oleh ajaran agamanya.
h) Bisa dijebloskan ke dalam penjara

Secara sosial, para korban penyalahgunaan narkoba juga menjadi


beban keluarga, karena banyak sekali uang yang dihabiskan untuk
memperoleh narkoba. Apalagi jika pemakai narkoba jatuh sakit dan harus
dirawat di Rumah Sakit. Seseorang yang sudah mengalami ketergantungan
biasanya mereka susah tidur, perasaan tidak menentu, mental menurun
dan sering terjadi lupa ingatan dalam kehidupan sehari-hari.

Seorang mantan pemakai narkoba yang pernah direhabilitasi


dan sekarang tinggal di Loka Rehabilitasi mengatakan bahwa salah
satu pengaruh buruk penyalahgunaan narkoba yaitu pemakai narkoba
cenderung antisosial dan potensial menggangu lingkungan, baik keluarga
maupun lingkungan tempat tinggalnya. Kondisi tersebut mengakibatkan
mereka sering dikucilkan karena dianggap manusia tidak berguna oleh
masyarakat. Stigma semacam inilah yang selalu mereka peroleh dari
lingkungan sosialnya, sehingga mereka menutup diri. Kadang kondisi
seperti ini membuat mereka frustrasi.

Hal senada juga disampaikan oleh mantan pengguna narkoba


yang lain. Menurutnya, apabila seorang korban narkoba kecanduan akan
menyita waktu dan tenaga keluarganya untuk mengurusnya. Jika tidak
diperhatikan maka akan berurusan dengan pihak kepolisian dan akhirnya
berujung masuk penjara. Salah seorang pengguna narkoba mengatakan
bahwa untuk memenuhi kebutuhan narkoba berbagai cara dilakukan
untuk memperolehnya, sebagaimana dikemukakan oleh seorang mantan
pengguna narkoba:

“setiap bulan gaji saya habis terutama untuk narkoba, waktu itu tidak
berfikir panjang, yang penting bisa menikmati, dengan menikmati
sabu saya bisa berfikir tenang dan melupakan segalanya.”

Seorang pecandu yang sudah sadar biasanya baru menyesali semua


perbuatannya. Lebih-lebih jika pecandu itu baru sadar setelah berada di
penjara. Segala caci-maki dan kutukan akan dilontarkan kepada benda

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


50 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
haram tersebut, namun semua telah terlambat dan berakhir tanpa bisa
berbuat apa-apa.

Mengingat dampak negatif penyalahgunaan narkoba, maka upaya


pencegahan penyebaran narkoba seyogyanya menjadi tanggung jawab
bersama, termasuk para orang tua, guru, dan masyarakat secara luas.
Upaya-upaya yang lebih konkret yang dapat dilakukan untuk mencegah
penyalahgunaan narkoba yaitu melakukan kerja sama dengan pihak yang
berwenang untuk melakukan penyuluhan tentang bahaya narkoba, dan
mengadakan razia mendadak secara rutin. Selain itu, pendampingan dari
orang tua juga tidak boleh diabaikan. Di sekolah, guru perlu melakukan
pengawasan yang ketat terhadap gerak-gerik anak didiknya, karena
penyebaran (transaksi) narkoba sering terjadi di lingkungan sekolah.
Pendidikan moral dan keagamaan juga harus lebih ditekankan, karena
salah satu penyebab terjerumusnya anak-anak ke dalam penylahgunaan
narkoba yaitu kurangnya pendidikan moral dan keagamaan.

Penyalahgunaan narkoba yang semula diharapkan pemakainya


agar dapat tampil lebih berani, bersemangat, percaya diri dan stamina
bertambah kuat, ternyata berdampak negatif terhadap kesehatan mereka.
Menurut seorang pemakai narkoba jenis sabu, salah satu tanda seorang
pemakai narkoba yaitu staminanya semakin kuat dan tahan tidak tidur
selama beberapa hari. Oleh karena itu, sabu sering digunakan oleh
para sopir angkutan bus atau travel yang biasa jalan pada malam hari.1
Pemakaian sabu juga dibanyak dilakukan oleh orang-orang yang bekerja
keras, dan dikejar target pekerjaan yang harus segera diselesaikan.

Salah seorang warga binaan mengatakan bahwa selama ini hanya


memakai ganja, dan tidak pernah menggunakan sabu. Menurutnya,
penggunaan narkoba sangat merusak kesehatan karena sekali pakai akan
ketagihan dan akhirnya menjadi ketergantungan. Sebagian warga binaan
menyadari bahwa para pengguna narkoba yang sudah menjadi pecandu
biasanya syaraf-syarafnya mengalami kerusakan. Rata-rata daya ingatan
para mantan pengguna narkoba sangat rendah, dan kadang mereka tidak
bisa mengingat kembali mengapa sampai terlibat dalam penyalahgunaan
narkoba.

1
Wawancara mendalam dengan seorang pemakai narkoba yang sekarang menjadi warga binaan LAPAS di Langkat Sumatera
Utara.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 51
Untuk mencegah dampak buruk penyalahgunaan narkoba, beberapa
hal perlu diperhatikan, yaitu: dukungan keluarga untuk pemulihan,
menjauhkan diri dari kelompok pergaulan sebelumnya dan menjalani
rehabilitasi. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Seorang
Konselor di Lapas Langkat, bahwa para mantan pemakai maupun
pengedar narkoba tidak hanya menjadi beban keluarga, melainkan juga
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Seyogyanya pemerintah
daerah mempunyai kontribusi memikirkan nasib mereka setelah keluar,
baik dari perawatan rehabilitasi maupun Lapas. Pola berpikir atau mindset
diharapkan bisa berubah. Untuk itu pembukaan lapangan pekerjaan
merupakan salah satu solusi untuk menekan peningkatan jumlah korban
narkoba.

4. Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba

Sebagai lembaga yang tugas pokoknya melakukan pencegahan


dan pemberantasan narkoba, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Perpres Nomor 23
Tahun 2010 tentang Kelembagaan BNN, saat ini BNN berusaha melibatkan
masyarakat untuk memerangi penyalahgunaan narkoba. Sejalan
dengan itu langkah strategis dan inovatif dilaksanakan melalui program
pencegahan dan pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba (P4GN). Permasalahan yang timbul yaitu minimnya jumlah
anggaran yang dialokasikan, sehingga program yang sudah dibuat tidak
dapat berjalan secara optimal.

Pembinaan yang dilakukan di Lapas Narkotika maupun di Loka


Rehabilitasi juga kurang optimal, karena kekurangan SDM; padahal
jumlah tahanan BNN terus bertambah. Pada saat ini jumlah SDM tetap
maupun honorer di Lapas Narkotika sudah tidak sebanding dengan
jumlah warga binaan, sekitar 1:20. Selain itu, anggaran yang tersedia juga
sangat minim, sehingga perlu ditingkatkan. Namun permasalahanya,
untuk meningkatkan anggaran itu tidak mudah karena kondisi keuangan
pemerintah saat ini.

Permasalahan lain yaitu keluhan tentang jumlah napi yang ada di


tahanan BNN maupun di Lapas Narkotika, yang sudah melebihi kapasitas.
Akibatnya yaitu kondisi di Lapas tidak nyaman, apalagi ada tambahan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


52 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
warga binaan dari Lapas lain disekitar Sumatera Utara. Oleh karena
kondisinya tidak nyaman, dikhawatirkan suatu saat bisa memunculkan
kerusuhan antar warga binaan, atau ada sejumlah warga binaan yang
berupaya melarikan diri. Oleh karena itu permasalahan-permasalahan
tersebut harus menjadi pertimbangan dari aparat pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah untuk mencari jalan keluarnya.

Menurut beberapa mantan pengguna narkoba yang berhasil


diwawancarai, pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan narkoba
di Sumatera Utara sulit bisa berhasil, karena masih ada oknum aparat
penegak hukum yang menyalahgunakan wewenangnya. Menurut mereka,
setelah para pelaku narkoba (pengguna, kurir, bandar eceran dan lainnya)
tertangkap, sebelum dilimpahkan ke pengadilan sering terjadi proses
tawar-menawar antara oknum aparat penegak hukum dengan pengguna
narkoba. Menurut beberapa narasumber, oknum aparat sering tanpa basa-
basi menawarkan pembebasan kepada pelaku yang tertangkap, dengan
imbalan sejumlah uang. Praktik tawar-menawar seperti itulah yang
mengakibatkan pelaku narkoba tidak jera. Satu hal yang menarik dalam
proses tawar-menawar yaitu jika pelaku/keluarganya sudah memberi
imbalan yang diminta tetapi jumlahnya belum sesuai, maka oknum aparat
akan membebaskan pelaku dari jerat hukum, namun pelaku harus direhab
di Loka Rehab milik pemerintah kota/daerah.

Menurut Purnomo (2018), untuk membuat bandar dan kurir narkoba


jera, aparat harus bertindak tegas dengan menembak di tempat kepada
mereka yang melawan saat hendak ditangkap. Walaupun tindakan itu
dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) karena mengabaikan
hak-hak tersangka, namun tindakan tembak di tempat terhadap penjahat
narkotika yang melawan saat ditangkap harus dilakukan, karena narkoba
memberi dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bangsa. Oleh karena
itu tidak ada alasan belas kasihan, atau menghormati hak penjahat
obat terlarang. Jika tindakan tegas itu dilakukan, maka dapat menjadi
terobosan dan solusi baru dalam upaya penegakan hukum.

Dalam upaya pemberantasan narkoba, Polri maupun BNN tidak


dapat berjalan sendiri tanpa bantuan pihak lain. Oleh karena itu diperlukan
partisipasi berbagai pihak, terutama keluarga dan lingkungan sekitar, untuk
melindungi anak-anaknya dari keterpaparan narkoba. Partisipasi aktif

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 53
keluarga, orang terdekat, lingkungan sekolah/kampus, masyarakat dan
pihak-pihak terkait lainnya diharapkan akan dapat mempersempit ruang
gerak bandar narkoba dan potensi masuknya narkoba dalam masyarakat.

Pada tahun 2017, dalam rangka Program Pencegahan dan


Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN),
BNN Provinsi Sumatera Utara telah melakukan kegiatan pemberdayaan
masyarakat, dan membentuk relawan dan penggiat anti narkoba di
lingkungan sekolah/kampus, instansi pemerintah dan swasta, serta
lingkungan masyarakat. Penyebarluasan informasi P4GN juga terus
dilakukan dengan berbagai kegiatan diseminasi dan publikasi melalui
media cetak dan media televisi lokal, juga melalui media luar ruang seperti
baliho dan poster. Advokasi kepada instansi pemerintah, organisasi
swasta dan masyarakat juga dilakukan, sebagai implementasi Inpres
nomor 12 tahun 2011.

Kepada para pengedar juga akan terus dilakukan operasi


penyelidikan, pengejaran, dan penindakan sampai ke akar-akarnya, dan
kasusnya akan dibawa ke proses hukum. Bagi para penyalahguna yang
berhasil ditangkap akan diproses sesuai prosedur yang berlaku, dan para
penyalahguna yang telah selesai mengikuti prosedur setelah terbukti
menggunakan narkoba, akan dikenakan rehabilitasi rawat jalan inap
ataupun wajib lapor.

Indikator keberhasilan P4GN dapat diukur dengan menghitung


sebaran informasi atau jumlah orang yang mendapatkan informasi
melalui kegiatan penyelenggaraan diseminasi informasi P4GN. Aktifitas
penyelenggaraan diseminasi informasi P4GN di wilayah Sumatera Utara
terdiri dari :
a) Diseminasi informasi P4GN di kalangan keluarga sebanyak 49
kegiatan
b) Diseminasi informasi P4GN di kalangan pelajar/mahasiswa sebanyak
52 kegiatan
c) Diseminasi informasi P4GN di kalangan pekerja sebanyak 66 kegiatan
d) Diseminasi informasi P4GN di kelompok masyarakat sebanyak 96
kegiatan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


54 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Beberapa faktor pendukung yang dianggap dapat memperlancar
keberhasilan P4GN antara lain:
a) Peran media massa sangat membantu dalam penyebarluasan
informasi P4GN dan berhasil mengingatkan pengetahuan dan
pemahaman masyarakat tentang bahaya narkoba.
b) Tingkat kepedulian masyarakat yang tinggi terhadap pemerintah
dalam memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
c) Kemampuan menyediakan bahan yang menarik dan bermutu.
Pemberian informasi tentang bahaya narkoba dengan pendekatan
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) sebagai proses kegiatan
penyampaian/penyebarluasan pesan tentang bahaya narkoba
sehingga dapat meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan
kemampuan khalayak sasaran dalam rangka mengubah dan
membentuk sikap serta perilaku masyarakat dari ancaman bahaya
narkoba.

Selain faktor pendukung, beberapa faktor juga dapat menjadi


penghambat pelaksanaan P4GN di wilayah Sumatera Utara dan
Medan khususnya, yaitu: sarana dan prasarana yang digunakan dalam
operasionalisasi pelayanan diseminasi informasi program P4GN bidang
pencegahan kurang mendukung, baik berupa perlengkapan pengolahan
data, sumber daya personel dan pelatihan petugas. Koordinasi tingkat
pusat dalam hal fasilitas yang meliputi bimbingan teknis, penyediaan
materi dan acuan pelaksanaan diseminasi informasi P4GN juga
masih belum optimal. Untuk mengoptimalkan program P4GN dalam
pencegahan penyalahgunaan narkoba, penggunaan media informasi baik
elektronik maupun non elektronik perlu ditingkatkan, dengan menambah
penyebarluasan informasi atau intensitas/frekuensi informasi.

Faktor lingkungan dan pergaulan sosial juga sangat mempengaruhi


kepribadian dan moral seseorang. Jika seseorang memiliki teman yang
berperilaku buruk, maka cenderung akan ikut terseret untuk melakukan
tindakan yang tidak baik. Begitu juga jika memiliki teman pengedar
atau pengguna narkoba, akan akan mudah tertular menjadi pengguna
atau pengedar narkoba. Hal ini disebabkan kebiasaan seseorang dapat
menjadi syarat untuk dapat diterima oleh anggota kelompok, sehingga
suatu kelompok akan mempunyai kebiasaan perilaku yang sama antar
sesama anggota. Faktor lingkungan yang individualistik, kurang peduli

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 55
dengan orang lain, juga sebagai faktor yang dapat menjadi pemicu
penyalahgunaan narkoba.

Mengingat pengaruh lingkungan sangat besar dalam


penyalahgunaan narkoba, maka peran masyarakat sangat diharapkan
untuk berpartisipasi dalam menjaga lingkungannya dari keterpaparan
narkoba. Semakin banyak warga masyarakat yang lebih mengenal bahaya
narkoba, baik yang disampaikan dalam penyuluhan-penyuluhan atau
pertemuan-pertemuan akan dapat membantu warga masyarakat jauh
dari narkoba. Partisipasi masyarakat diharapkan dari berbagai elemen,
sebagaimana disampaikan oleh kepala Bidang P2M, yang menyatakan
bahwa penanggulangan bahaya narkoba merupakan tugas bersama,
baik dari kalangan pelajar/mahasiswa, kelompok pekerja, maupun peran
keluarga dalam kehidupan masyarakat.

Hal itu juga diperkuat oleh hasil FGD dengan para warga binaan
di Lapas maupun para klien di Loka Rehabilitasi. Umumnya mereka
menyatakan bahwa faktor lingkungan pergaulan yang menyebabkan
mereka terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba. Mereka terjerumus
menggunakan narkoba karena dipengaruhi oleh temannya. Pada mulanya
mereka hanya sekedar ingin coba-coba, namun lama-kelamaan menjadi
ketagihan. Sebagian yang lain mengatakan bahwa faktor keluarga juga
menjadi penyebab mereka terjerumus menggunakan narkoba. Ada yang
merasa kecewa dengan keluarganya karena sering dibeda-bedakan
dengan anggota keluarga lainnya.

Mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba tersebut


tidak pandang status sosial; mulai dari anak-anak hingga orang dewasa,
masyarakat biasa sampai mereka yang berpendidikan; baik laki-laki
maupun perempuan. Pengaruh teman juga berpotensi sebagai pemicu
kekambuhan (relapse), sehingga mereka tetap tergantung pada narkoba
(blogspot.com, 2010).

Pada umumnya pengetahuan keluarga tentang narkoba sangat


rendah, baik mereka yang tinggal di kota, maupun yang tinggal di daerah
pedesaan. Kebanyakan mereka tidak mengetahui bahwa ada salah satu
di antara keluarganya yang menggunakan narkoba. Setelah anggota
keluarganya masuk di rumah rehabilitasi atau ditangkap petugas,

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


56 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
biasanya mereka baru sadar jika selama ini anggota keluarganya
pengguna narkoba. Mereka baru menghubungkan penggunaan narkoba
tersebut dengan perilaku aneh dan menyimpang yang sering dilakukan
oleh anggota keluarganya. Meskipun demikian, walaupun sudah diketahui
bahwa anggota keluarganya sebagai penyalahguna narkoba, namun pada
umumnya mereka sangat tidak suka jika dikatakan anggota keluarganya
pemakai narkoba.

Untuk melakukan pencegahan bahaya narkoba yang dapat


merugikan diri sendiri, keluarga, teman dan lingkungan, bahkan mungkin
merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara, maka perlu ada strategi
membangun masyarakat anti narkoba. Untuk itu maka BNNP Sumatera
Utara melakukan pemberdayaan masyarakat yang difokuskan pada
enam sasaran pencegahan, yaitu di sekolah atau kampus, tempat kerja,
masyarakat, pemerintah, keluarga dan profesi (Achmadi, SH, MH). Adapun
metode yang digunakan dalam mendukung program pencegahan narkoba
di antaranya:
a) Metode promotif, dengan tujuan agar masyarakat peduli terhadap
bahaya penyalahgunanaan narkoba.
b) Metode advokasi yang ditujukan kepada para petugas di instansi
pemerintah, LSM, maupun swasta, dengan membekali kemampuan
taktis, maupun teknis untuk mencegah penyalahgunaan narkoba dan
menangkal beredarnya narkoba.
c) Metode pemberdayaan masyarakat, yang dimaksudkan untuk
menggali potensi dan kreativitas masyarakat dengan membekali
kemampuan dan ketrampilan pencegahan terhadap penyalahgunaan
narkoba.

Untuk mengaplikasikan ketiga metode tersebut diperlukan


pendekatan yang humanis dan entertainable; yaitu dilaksanakan secara
jujur, spontan, apa adanya dan bersifat menghibur. Dengan demikian
para peserta tidak bosan dan merasa enjoy dalam mengikuti program
pencegahan, dan dapat menemukan sendiri semangat untuk memberantas
peredaran gelap narkoba. Bahaya penyalahgunaan narkoba tidak hanya
melemahkan sistem kekebalan tubuh seseorang, tetapi juga dapat
mendorong munculnya perilaku lain yang membahayakan kesehatan
penggunanya, seperti pemakaian jarum suntik secara bergantian dan
perilaku seks bebas. Kombinasi dari keduanya akan sangat berpotensi

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 57
meningkatkan risiko tertular penyakit HIV/AIDS maupun penyakit lainnya.

Peran media massa sangat penting dalam mensosialisaikan


bahaya penyalahgunaan narkoba; bahkan hasil FGD menyatakan bahwa
mayoritas masyarakat mengetahui informasi tentang bahaya narkoba
dari media massa, baik media cetak maupun elektronik. Oleh karena itu,
sebagai sarana informasi dan komunikasi, media massa harus lebih aktif
menyuarakan bahaya penyalahgunaan narkoba. Selain itu, media juga
dapat berperan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, agar
masyarakat tidak mudah terlena dan terjerat sindikat narkoba.

Selama ini, mereka yang direkrut para bandar adalah masyarakat


yang tidak punya pendirian, serta memiliki kepercayaan diri yang
rendah. Anggota masyarakat seperti ini harus di imunisasi, agar tidak
mudah terpengaruh oleh hal-hal yang berkaitan dengan narkoba.
Dalam menyampaikan pesan-pesannya, media massa hendaknya
menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif, agar mudah
dipahami masyarakat. Hal itu misalnya dapat dilakukan dalam bentuk
cerita pendek, cerita humor dan cerita ringan tentang kejadian sehari-hari
yang sering dialami. Teknik penyampaian pesan-pesan seperti itu melalui
media massa akan lebih mudah diterima oleh masyarakat. Sebagai wujud
pemberdayaan masayarakat, hal itu bisa dilakukan secara kontinyu.

Menurut salah seorang pemakai narkoba yang pernah dirawat di Loka


Rehabilitasi, seorang pengguna narkoba sebaiknya tidak dimasukkan
ke dalam Lapas, karena kemungkinan akan semakin bertambah parah.
Hal itu karena di dalam Lapas selain berkumpul dengan para pengguna
lainnya, juga berkumpul dengan pengedar bahkan bandar yang berpotensi
merusak para warga binaan yang baru masuk. Apalagi jika Lapas tidak
memiliki SDM yang memiliki kemampuan melindungi warga binaan dari
ancaman pihak-pihak tertentu. Jika tidak hati-hati, setelah keluar dari
Lapas mereka bisa kembali menjadi pemakai atau pengedar.

Menurut para warga binaan Lapas, bukan keinginan mereka


sampai terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba, tetapi karena faktor
keadaanlah yang menyebabkan mereka menggunakan barang terlarang
tersebut. Hampir semua korban penyalahgunaan narkoba, baik warga
binaan maupun mantan pasien rehabilitasi mengatakan faktor lingkungan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


58 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
pergaulan dan ekonomi yang mengakibatkan mereka terjerumus dalam
penyalahgunaan narkoba.

Memperhatikan fenomena tersebut, upaya penanggulangan


narkoba sebaiknya dimulau dari keluarga agar tetap harmonis, saling
menghormati dan menghargai antar anggota keluarga yang satu dengan
yang lain. Di dalam keluarga juga tidak boleh membeda-bedakan anggota
keluarganya, karena dapat menimbulkan kecemburuan yang berujung
pada sikap apatis. Jika dibiarkan berlarut-larut sikap apatis antar anggota
keluarga itu berbahaya, karena dapat perilaku seorang anggota keluarga
tidak terkontrol oleh anggota keluarga yang lain.

Peran keluarga juga sangat penting pada saat salah seorang korban
penyalahgunaan narkoba direhabilitasi di Rumah Rehabilitasi. Oleh karena
itu, setiap bulan keluarga para residen diwajibkan hadir untuk menerima
konseling. Salah satu materi konseling yaitu menyamakan persepsi antara
orang tua dan anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba.

Lingkungan pertemanan merupakan salah satu faktor paling dominan


setelah faktor keluarga, yang menyebabkan seseorang menyalahgunakan
narkoba. Hampir semua korban penyalahgunaan narkoba, baik di Lapas
maupun di rumah rehabilitasi mengatakan demikian, baik itu yang terjadi
di perkotaan maupun di perdesaan di wilayah Sumatera Utara.

Menurut para warga binaan dan pasien rehabilitasi, untuk membasmi


peredaran narkoba tersebut maka tindakan yang perlu dilakukan antara
lain sosialisasi kepada setiap warga masyarakat tentang bahaya narkoba.
Semua unsur masyarakat dibangkitkan kesadarannya bahwa warga di
sekitarnya harus dibentengi dengan berbagai kegiatan sosial keagamaan,
agar tidak terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba. Kegiatan sosilisasi
itu bisa dilakukan melalui kolaborasi dengan kegiatan pemerintah daerah,
seperti Dinas Sosial.

Kesadaran masyarakat juga ditingkatkan agar tidak takut dan ragu-


ragu untuk melaporkan kepada pihak berwajib (dalam hal ini IPWL),
jika melihat ada warga yang menjadi pemakai atau pengedar narkoba.
Berbagai kelompok masyarakat harus didorong agar berani melaporkan,
jika ada salah seorang warganya menjadi pemakai narkoba, apalagi

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 59
menjadi pengedar. Kelembagaan pemerintah seperti Kesbanglinmas dan
Satpol PP dapat berperan penting dalam memberikan penguatan dan
penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan
kampung dari ancaman bahaya narkoba.

5. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Narkoba

Pada saat ini ada dua cara pembinaan yang dilakukan terhadap
penyalahguna dan pengedar narkoba, yaitu pembinaan di Lapas dan
pembinaan melalui proses rehabilitasi di rumah rehabilitasi. Uraian berikut
menjelaskan cara pembinaan di dua tempat tersebut dan efektivitasnya.

5.1. Pembinaan di Lapas

Pembinaan yang dilaksanakan di Lapas Narkotika dilakukan dengan


metode therapeutik community, yakni pembinaan selama tiga bulan
penuh dengan program terpadu. Program terpadu tersebut di antaranya
psikologi khusus, pembangunan karakter religius, serta pembinaan bakat
sesuai potensi yang di miliki oleh warga binaan. Pembinaan yang digelar
di Lapas narkotika ini bertujuan untuk meminimalisasi ruang gerak
para bandar dan pemasok narkoba, serta menciptakan kesadaran bagi
para warga binaan. Tidak hanya itu, pembinaan ini juga dilaksanakan
untuk mencegah isu negatif yang menyatakan bahwa Lembaga
Pemasyarakatan merupakan lokasi yang sangat leluasa dan aman dalam
melakukan transaksi narkoba.

Sebagian dari para pemakai narkoba yaitu orang berpendidikan dan


mempunyai pekerjaan. Hal itu berbeda dengan pengedar atau perantara,
pada umumnya mereka justru berasal dari orang-orang yang pekerjaannya
tidak menentu, juga para pengangguran. Mereka tergiur masuk jaringan
narkoba karena faktor uang; sekali mengantarkan narkoba mereka akan
memperoleh upah yang sangat banyak. Setelah masuk ke dalam jaringan,
biasanya mereka akan sulit untuk keluar, karena bandar narkoba tidak
akan melepaskan mereka begitu saja, karena khawatir mereka akan
membocorkan rahasianya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


60 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Lapas Narkotika Langkat saat ini dihuni oleh 1.424 warga binaan.
Selain hasil tangkapan aparat penegak hukum, para penghuni Lapas
tersebut juga ada yang pindahan dari Lapas lain. Sebagian besar warga
binaan berasal dari berbagai wilayah Sumatera Utara, namun ada beberapa
orang yang berasal dari Wilayah Provinsi Sumatera selatan. Hampir
semua warga binaan berpendidikan SMA dan rata-rata tidak mempunyai
pekerjaan tetap, ketika mereka terjerumus dalam penyalahgunaan
narkoba. Sebagian besar mereka ditangkap di wilayah Sumatera Utara,
namun ada beberapa orang yang ditangkap di Palembang dan Riau.
Para warga binaan yang ditangkap di luar sumatera Utara, setelah
diputus hukumannya kemudian mereka mengajukan permohonan agar
dipindahkan ke Lapas di Langkat, Sumatera Utara. Sebagian besar (sekitar
80%) warga binaan merupakan pengguna, dan lainnya sebagai pengedar.

Menurut Kepala Lapas Narkotika Langkat, walaupun sudah di


dalam lapas namun para bandar terus berusaha menyelundupkan
narkoba ke warga binaan dengan berbagai cara. Hal ini karena pangsa
pasar narkoba di dalam Lapas masih sangat besar, disebabkan banyak
warga binaan yang sudah mengalami ketergantungan. Adapun cara-cara
yang dilakukan untuk memasukkan narkoba ke dalam Lapas antara lain
menyelipkan narkoba dalam sepatu, dilempar dari luar, melalui makanan,
dan sebagainya.

Untuk menghindari masuknya narkoba ke dalam Lapas, beberapa


tindakan yang dilakukan antara lain melakukan konsolidasi pembinaan
ke dalam dengan jalan meningkatkan disiplin dan pengawasan terhadap
petugas Lapas. Secara berkala dilakukan pemantapan mental petugas,
dengan jalan mengingatkan kembali tentang tugas-tugas mereka sesuai
dengan peraturan yang berlaku.

Pembinaan di Lapas Narkotika Langkat dilakukan dengan melatih


kedisiplinan. Para penghuni Lapas tidak pernah dibeda-bedakan antara
warga binaan mantan pejabat dan warga binaan lainnya. Mereka juga
dilarang menggunakan narkoba. Seorang petugas Lapas mengatakan
bahwa tidak ada ampun bagi warga binaan yang ketahuan menggunakan
narkoba, yaitu mereka akan diproses secara hukum.2

2
Wawancara dengan Petugas Lapas Narkotika di Langkat, Sumatera Utara.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 61
Para warga binaan diberikan pembinaan secara khusus sesuai
dengan bakatnya masing-masing. Ada dua macam pembinaan yang
dilaksanakan di dalam Lapas, yaitu pembinaan kemandirian dan
kepribadian. Pembinaan kemandirian dilakukan dengan memberikan
keterampilan, agar setelah keluar dari dalam Lapas bisa mandiri. Untuk
itu para warga binaan diberikan berbagai pelatihan, seperti menanam
bibit-bibit tanaman dan keterampilan-keterampilan lainnya. Sebelumnya
pernah ada program budidaya ikan lele dan pernah berhasil, tetapi karena
minimnya anggaran program budidaya tersebut akhirnya diberhentikan.

Pembinaan kepribadian dilaksanakan dengan cara memberikan


siraman rohani berupa ceramah agama dan belajar mengaji. Untuk
keperluan tersebut, pihak Lapas mendatangkan guru mengaji atau ustad
dari luar Lapas, dengan jadwal-jadwal yang telah diatur. Pembinaan
tersebut dilakukan bekerjasama dengan Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Langkat. Memfasilitasi kebutuhan tersebut, di dalam
Lapas didirikan sebuah masdjid bernama “Al Ikhlas”, sebagai sarana
beribadah bagi mereka yang beragama muslim. Agar pembinaan dapat
dilakukan dengan mudah, para warga binaan membentuk kelompok
pengajian (semacam majelis taklim). Selain siraman rohani, di dalam
Lapas juga sering diadakan perlombaan membaca Alqur’an bagi para
warga. Sedangkan warga binaan non muslim yang beragama Kristen
dan Katholik, mereka diberikan fasilitas Gereja berupa ruangan untuk
melakukan ritual ibadahnya. Untuk mengisi kegiatan gereja, pihak Lapas
bekerjasama dengan pengurus gereja di luar Lapas. Sedang warga
binaan yang beragama Budha disediakan fasilitas Vihara sebagai sarana
kegiatan ibadahnya.

Para warga binaan Lapas narkoba mengharapkan agar pemerintah


dapat membuka lapangan pekerjaan yang mampu menampung mereka
setelah keluar dari Lapas. Karena menurut mereka, setelah keluar dari
Lapas kemungkinan sudah tidak mempunyai teman lagi seperti sebelum
masuk Lapas, karena banyak temannya yang akan melupakannya. Selain
itu mereka berharap dapat pinjaman modal secara mudah dari pemerintah
daerah seperti pinjam tanpa bunga agar mereka dapat berwirausaha atau
usaha mandiri setelah selesai masa hukumannya, seperti usaha di bidang
kerajinan, usaha dagang dan perbengkelan. Pada umumnya mereka tidak

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


62 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
dapat membayangkan jika masa hukumannya telah selesai dan keluar
Lapas, sementara tidak jelas apa yang harus dikerjakan karena lapangan
kerja terbatas sekali. Oleh karena itu, penciptaan lapangan kerja secara
luas sangat mereka butuhkan agar para warga binaan tidak kembali lagi
menekuni profesinya semula, baik sebagai pengguna maupun pengedar
narkoba.

5.2. Pembinaan Melalui Program Rehabilitasi

Loka Rehabilitasi BNN Lubuk Pakam, Deli Serdang merupakan


lembaga milik pemerintah, dan satu dari tujuh Loka Rehabilitasi milik
pemerintah yang ada di Indonesia. Loka Rehabilitasi BNN di Lubuk
Pakam Deli Serdang saat ini menampung 100 orang (residen) rawat
inap dan 25 residen rawat jalan. Sebagian besar mereka dikirim oleh
keluarganya sendiri. Begitu mengetahui ada salah satu di antara anggota
keluarga mereka yang menjadi pengguna narkoba, mereka langsung
mengirimkannya ke Loka Rehabilitasi BNN, sesuai dengan urutan
pendaftaran. Itu artinya mereka yang mendaftar lebih dahulu akan
diterima lebih awal, tanpa mempertimbangkan latar belakang keluarga.
Loka Rehabilitasi hanya menerima para korban penyalahgunaan narkoba
yang tidak terlibat dengan hukum. Oleh karena itu Loka Rehabilitasi tidak
mau ikut campur dengan status hukum residen. Jika seorang residen
memiliki masalah hukum, maka masalah hukumnya harus diselesaikan
terlebih dahulu. Jika sudah tuntas, maka korban penyalahgunaan narkoba
baru bisa diterima di Loka Rehabilitasi.

Loka Rehabilitasi saat ini memiliki kapasitas untuk rehabilitasi 100


orang, dengan masa perawatan 6 bulan. Padahal, korban penyalahgunaan
narkoba yang menunggu untuk direhabilitasi cukup banyak. Akibatnya
mereka harus mengantri untuk direhabilitasi, dan mereka yang tidak
sabar biasanya akan pergi ke panti rehabilitasi, yaitu rehabilitasi swasta
yang harus membayar sekitar Rp 4 juta – Rp 7 juta per bulan. Banyaknya
antrian untuk melakukan rehabilitasi itu karena saat ini telah terjadi
pergeseran pola pikir masyarakat. Jika dulu keluarga pecandu narkoba
malu melaporkan anggota keluarganya yang memakai narkoba, maka
sekarang banyak yang tidak malu lagi, tapi dengan sukarela melaporkan
anaknya ke Loka Rehabilitasi.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 63
Kepala Loka Rehabilitasi BNN Deli Serdang, Sumatera Utara
menjelaskan tugas pokok dan fungsi Loka Rehabilitasi yaitu melayani
seluruh pasien rehabilitasi (pengguna narkoba) melalui rehabilitasi
medis dan sosial. Rehabilitasi medis yaitu mengobati penyakit, yang
dilakukan sebagaimana pasien yang menderita penyakit pada umumnya.
Rehabilitasi medis ini dilayani oleh sejumlah dokter dan perawat.

Berbeda dengan rehabilitasi medis, dalam rehabilitasi sosial


pengguna narkoba yang direhab (residen) dibina untuk melakukan
kegiatan keterampilan, seperti yang sudah dilakukan belum lama
ini yaitu keterampilan menanam jagung di depan halaman Loka
Rehabilitasi. Keterampilan lain yang diberikan antara lain membuat
anyaman peralatan rumah tangga dari bambu, dan keterampilan
lain yang sebagian hasil bisa mereka manfaatkan. Selain kegiatan
keterampilan, untuk menjaga kesehatannya, semua residen juga
didorong untuk melakukan olah raga.

Hal lain yang paling penting yaitu mereka dimotivasi untuk selalu
melakukan ibadah menurut agamanya masing-masing. Tidak hanya
ibadah, mereka juga diberikan pembekalan ilmu agama. Bagi yang
beragama Islam, diselenggarakan pengajian dan mendengarkan tausyiah
secara berkala dari ustadz yang cukup berpengalaman, agar jiwa dan
kepribadiannya dapat dipulihkan. Program-program pembinaan seperti
ini sangat bermanfaat bagi residen, agar setelah keluar dari tempat
rehabilitasi mereka bisa menjadi lebih baik dan diterima oleh anggota
masyarakat lainnya.

Selama direhabilitasi residen memiliki hak dan kewajiban yang harus


dijalankan. Beberapa hak yang dimiliki oleh residen yaitu: 1) lingkungan
yang bebas narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya; 2) treatment
tanpa membedakan ras, sosial dan status; 3) harga diri, keamanan dan
kesehatan yang selalu diperhatikan; 4) perlindungan secara utuh; 5)
kunjungan dari keluarga/orang tua, disesuaikan dengan jadwal.

Selain hak, para residen juga harus melaksanakan segala kewajiban


selama menjalani orientasi, yaitu: 1) menggunakan papan nama; 2)
senantiasa membawa walking paper; 3) tidak boleh jalan sendirian; 4)
selalu bertanya kepada rekan sebayanya; 5) senantiasa menggunakan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


64 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
hirarki yang benar; 6) senantiasa menepati waktu; 7) selalu hadir pada
semua sesi kelompok yang diadakan di dalam panti; 8) senantiasa
bertegur sapa; 9) dilarang menggunakan kata-kata kotor; 10). dilarang
menggunakan kekerasan atau berbuat kasar terhadap orang lain; 11)
tidak boleh bercerita tentang pengalaman sewaktu ketagihan; 12) selalu
bersama dengan buddy (pendamping); 13) selalu membawakan pull up
dalam morning meeting; 14) selalu mengisi drop slip conflict resolution
group.

Para residen diberikan pembagian obat yang diatur oleh staf medis
di Loka Rehabilitasi, dan tidak ada obat yang dibeli di apotik atau toko
obat tanpa seijin staf medis. Selain itu juga tidak ada obat-obatan yang
dipegang oleh residen tanpa seijin staf medis. Selanjutnya test urine
juga diadakan sewaktu-waktu apabila dianggap perlu. Residen tidak bisa
menuntut staf atau lembaga rehabilitasi, apabila ternyata hasil test urine
dinyatakan positif.

Hampir semua klien yang sedang menjalani rehabilitasi mengakui


menyesal telah melakukan tindakan yang sangat tidak terpuji, baik
sebagai pemakai maupun pengedar narkoba. Agar perbuatan tercela
tersebut tidak terulang kembali, mereka mengharapkan ada solusi yang
ditawarkan pemerintah, agar mereka dapat bekerja setelah selesai
menjalani proses rehabilitasi. Untuk itu diperlukan pembukaan lapangan
pekerjaan yang seluas-luasnya. Bagi mereka, program pembinaan tidak
akan berarti apa-apa jika setelah selesai menjalani proses rehabilitasi tidak
disediakan lapangan pekerjaan. Dikhawatirkan jika mereka menganggur,
tidak menutup kemungkinan mereka akan kembali lagi terlibat dalam
penyalahgunaan narkoba, baik sebagai pemakai maupun pengedar.

5.3. Upaya Pencegahan menurut Masyarakat

Pada umumnya masyarakat sudah menyadari bahwa mencegah


narkoba lebih baik daripada mengobati. Hasil FGD di Lapas dan Loka
rehab menunjukkan bahwa untuk mencegah dari penyalahgunaan
narkoba, hal yang paling penting yaitu membentengi diri sendiri dengan
iman takwa. Dengan iman dan takwa, maka akan dihasilkan perilaku
yang senantiasa baik, sesuai tuntunan agamanya. Iman dan takwa itu
tidak hanya ditanamkan kepada masyarakat, tetapi juga ke para penegak

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 65
hukum, supaya mereka tidak mudah untuk disuap. Dalam mengatasi
penyalahgunaan narkoba juga harus ada kerja sama antara individu,
keluarga, sekolah, dan masyarakat, karena semuanya memiliki peran
penting. Selain itu, beberapa hal lain yang diperlukan untuk mencegah
ancaman narkoba yaitu:
a) Menjaga diri sendiri dan teman terdekat dari hal yang menjurus ke
narkoba
b) Mendorong partisipasi masyarakat pada kegiatan yang positif
c) Membentuk perkumpulan gerakan anti narkoba (say no to drugs)
d) Saling memberi dukungan dan kasih sayang
e) Mengubah kebiasaan buruk, dan menjauh dari hal-hal yang negatif
f) Selalu waspada dengan banyaknya modus pengedar narkoba.
g) Melaporkan ke pihak yang berwajib jika mengetahui pengedar/bandar
narkoba
h) Memberikan program, terapi dan rehabilitasi
i) Menyediakan sarana konseling untuk para pemakai dan pengedar
narkoba.

Pengawasan oleh masyarakat juga diperlukan untuk mencegah


bahaya narkoba. Jika suatu kelompok masyarakat sudah apatis dengan
perilaku warganya, maka mereka akan mudah terpapar narkoba. Selain
itu, acara-acara TV yang bisa mempengaruhi pola kehidupan menuju pola
hidup materialistis, konsumeris, hedonis, sekularis, dan pola-pola yang
membahayakan kehidupan sosial harus dilarang.

Hal lain yang diperlukan untuk mencegah penyebarluasan


penyalahgunaan narkoba yaitu tindakan tegas aparat negara dalam
memberantas peredaran narkoba. Semua aparat penegak hukum, baik
itu BNN, Polri, Jaksa dan Hakim harus serius menangani kasus narkoba,
dengan ancaman hukuman yang berat. Dalam menegakkan hukum
mereka juga tidak boleh pandang bulu dengan menindak setiap pelaku
tanpa melihat statusnya; dan mereka juga tidak boleh tergoda suap. Bagi
aparat penegak hukum yang menerima suap kasus narkoba, mereka harus
diberi hukuman yang berat, bahkan lebih berat dari pengedar narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


66 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
6. Kesimpulan dan Rekomendasi

Peredaran narkoba di Sumatera Utara dan Kota Medan khususnya


saat ini perlu mendapatkan perhatian yang serius. Letak kota Medan
yang cukup strategis, sehingga selain sebagai pintu masuk, sekaligus
juga sebagai tempat transit pengiriman narkoba ke berbagai wilayah
di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya penangkapan yang
dilakukan BNN dan Polri. Parahnya peredaran narkoba di Kota Medan
juga ditandai adanya kampung narkoba. Di kampung itu masyarakatnya
bukan hanya sebagai pengguna narkoba, melainkan juga terlibat dalam
transaksi jual-beli narkoba.

Penyalahgunaan narkoba dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,


yaitu pemakai dan pengedar narkoba. Ada perbedaan yang mempengaruhi
seseorang menjadi pemakai atau pengedar narkoba. Pemakai lebih
banyak dipengaruhi oleh faktor keluarga dan lingkungan pergaulan.
Selain itu, faktor ketidaktahuan tentang bahaya narkoba juga merupakan
menjadi penyebab seseorang terjerumus dalam penyalahgunaan
narkoba. Sedangkan pengedar narkoba lebih banyak dipengaruhi oleh
faktor ekonomi; baik karena sebelumnya menjadi pengangguran atau
karena tidak memikili perkerjaan yang tetap. Selain itu, seorang pemakai
sekaligus juga bisa menjadi pengedar, disebabkan ketergantungan pada
narkoba, tetapi tidak memiliki uang untuk membeli narkoba.

Dalam rangka penanggulangan narkoba, berbagai upaya telah


dilakukan oleh BNN Provinsi Sumatera Utara maupun oleh pihak
Polda Sumatera Utara, namun masing-masing memiliki prioritas yang
berbeda. BNN Provinsi Sumatera Utara lebih menekankan pada strategi
pencegahan, terutama dengan melakukan berbagai kegiatan sosialisasi
dan penyuluhan tentang bahaya narkoba. Kegiatan tersebut mempunyai
sasaran berbagai kelompok masyarakat mulai dari desa hingga ke
berbagai lembaga pendidikan, baik formal maupun informal. Bahkan
Kepala BNN Provinsi Sumatera Utara sangat berperan aktif berkeliling
mensosialisasikan tentang bahaya narkoba bagi warga masyarakat.

Secara garis besar ada tiga hal yang dilakukan oleh BNNP Sumatera
Utara penanggulangan narkoba. Pertama, kegiatan yang bersifat
preemtif, yaitu upaya pencegahan yang dilakukan secara dini dengan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 67
melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan narkoba, penyuluhan tentang bahaya penyalahgunaan narkoba,
pemberdayaan masyarakat untuk memberikan dorongan secara moral
kepada masyarakat agar menciptakan alternatif mata pencaharian,
dan lainnya. Kedua preventif, yaitu upaya yang sifatnya strategis dan
merupakan rencana aksi jangka menengah dan jangka panjang, namun
harus dipandang sebagai tindakan yang mendesak untuk segera
dilaksanakan. Ketiga represif, yaitu upaya penanggulangan yang bersifat
tindakan penegakan hukum mulai penggerebekan dan penangkapan
guna menemukan pengguna maupun Pengedar Narkoba beserta bukti-
buktinya.

Bagi penyalahguna maupun pengedar yang tertangkap, dilakukan


pembinaan dengan cara yang berbeda. Bagi penggguna, pembinaan
dilakukan melalui rehabilitasi, baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi
sosial. Tujuannya yaitu untuk menghilangkan ketergantungan terhadap
narkoba. Adapun para pengedar yang tertangkap, setelah proses
hukum selesai pembinaannya dimasukkan ke dalam Lapas. Di dalam
Lapas mereka dilatih kemandirian dan kepribadian. Tujuannya agar
sesudah keluar dari Lapas mereka tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Permasalahan yang ada di dalam Lapas yaitu tempat penahanan antara
pengedar tidak dipisahkan dari pengguna, sehingga dikhawatirkan para
pengguna justru akan meningkat menjadi pengedar.

Kendala utama dalam menanggulangi penyalahgunaan narkoba


yaitu peran serta masyarakat masih kurang, karena masyarakat kurang
memahami tugas dari BNN. Bagi sementara orang, narkoba juga masih
dianggap tidak terlalu berbahaya. Selain itu, tempat rehabilitasi juga
masih kurang.

Untuk meningkatkan penanggulangan peredaran dan


penyalahgunaan narkoba di Sumatera Utara dan Medan khususnya,
beberapa hal perlu dilakukan. Pertama, perlu dilakukan sosialisasi secara
besar-besaran tentang dampak negatif penyalahgunaan narkoba, baik
dampak kesehatan, dampak ekonomi, maupun dampak sosial, kepada
seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk membentengi
keluarga dan masyarakat agar mereka sadar terhadap bahaya narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


68 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Bagi para korban penyalahgunaan narkoba juga perlu diciptakan
perluasan lapangan pekerjaan, karena hal itu merupakan salah satu faktor
penting untuk mencegah meningkatnya peredaran dan penyalahgunaan
narkoba. Para korban penyalahgunaan narkoba juga perlu diberdayakan
dengan cara melibatkan mereka dalam kegiatan ekonomi yang produktif.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 69
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, SH,MH. 2018; Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Narkoba


di LingkunganMasyarakat.,https://www.academia.edu/22315643/
Upaya_Pencegahan_dan_Penanggulangan Narkoba_di Lingkungan
Masyarakat. Jurnal Internasional. Diakses tanggal, 09 Oktober 2018.

Gatot Supramono, 2007. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta, Penerbit


Djambatan

Purnomo, Sagita, 2018; Mengapresiasi Upaya Pemberantasan Narkoba


Poldasu”. ini/news/mengapresiasi-upaya-pemberantasan-narkoba-
oldasu/493385/2018/01/26. Diakses tanggal 18 Oktober 2018.

Sitorus, Rico Januar, 2016. Penggunaan Naroktika Mendukung Perilaku-


Perilaku Berisiko”. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, Volume 7, No.
1 Tahun 2016

Turnip, Daniel, 2017. Medan dan Jaringan Narkoba”. Diakses tanggal


3 Oktober 2018, dari http://harian.analisadaily.com/opini/news/
medan-dan-jaringan-narkoba/336878/ 2017/03/30

Republika, 2016. Penyalahgunaan Narkoba Di Sumut Meningkat


Pada 2016, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/
daerah/17/08/27/ovc1pk384-bnn-sebut-ada-350-ribu-pengguna-
narkoba-di-sumut. Diakses tgl.18/05/2018.

Sujono, AR. dan Bony Daniel, 2009. Komentar dan Pembahasan Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta, Sinar Grafika

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


70 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
IV

Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkoba di Kota Batam
Provinsi Kepulauan Riau

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 71
Tari Makyong
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
72 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN Batik
Batik Gonggong
Gonggong
NARKOBA 2018 Khas Kepri
Khas Kepri
IV

PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
DI KOTA BATAM, KEPULAUAN RIAU

Oleh:
Dundin Zaenuddin; Azzam Manan

1. Pendahuluan

Batam merupakan sebuah kota administratif pemerintahan


sekaligus sebuah pulau. Kota Batam atau Pulau Batam dikelilingi
oleh gugusan pulau-pulau yang membentuk wilayah administratif
kepulauan Riau (Kepri) dengan ibukota Tanjung Pinang di Pulau Bintan.
Kota administratif Batam terdiri atas sejumlah pulau-pulau terdekat
di sekelilingnya. Hal ini menegaskan posisi Batam sebagai wilayah
dengan ciri kepulauan. Ciri demografis kepulauan inilah yang antara lain
menyebabkan peredaran gelap narkoba di kota ini menjadi lebih terbuka
sehingga relatif sulit terdeteksi pergerakannya, terutama saat masuk dari
negara Jiran khususnya Malaysia dan dari wilayah perbatasan dengan
provinsi lain di Sumatera.

Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa Batam merupakan salah


satu daerah rawan narkoba di Indonesia dengan sederetan peristiwa
penangkapan terhadap penyalahguna dan pengedar serta penemuan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 73
barang buktinya. Pada Bulan Maret 2018 BNNP Kepri yang berkedudukan
di Kota Batam berhasil menangkap enam orang pelaku pengedar narkoba
dan mengamankan barang bukti sabu seberat 3.5 kg. Peristiwa itu
sendiri sempat menjadi berita terhangat di media cetak Batam, walaupun
tidak mengagetkan publik karena realitas Batam sebagai daerah rawan
narkoba. Terkait peristiwa penangkapan dan penemuan barang bukti
tersebut, pada tanggal 18 April 2018, Kepala BNNP Kepri, Brigjen (Pol.)
Drs. Richard Nainggolan, Ms.C mengadakan konperensi pers di kantornya
yang berlokasi di Nongsa. Positifnya, Batam juga menjadi harapan bagi
pemulihan pengguna dengan hadirnya lembaga rehabilitasi seperti
disinggung di atas.

2. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba

Peredaran gelap narkoba di suatu daerah setidaknya dapat dilihat


dari dua sisi, yakni sisi masuk dan sisi keluarnya. Dalam konteks
Batam, narkoba umumnya masuk dari perbatasan dengan negara
tetangga melalui jalur laut. Batam khususnya dan Kepri pada umumnya
merupakan daerah teritorial kelautan yang berbatasan langsung dengan
Singapura dan Malaysia. Informasi dalam FGD di Loka rehab dan lapas,
juga wawancara mendalam dengan residen rehab dan warga binaan
menegaskan hal ini. Di antara sekian banyak pulau di wilayah Kepri dan
wilayah Batam, Tanjung Balai Karimun ibukota Kabupaten Karimun, Kepri
adalah wilayah transit narkoba paling sering dan potensial dari negara
tetangga. Berita-berita terdahulu ditemukannya narkoba jenis ekstasi
di Batam dalam jumlah besar mencapai sekian ton diduga kuat berasal
dari negara tetangga, khususnya Malaysia. Posisi Malaysia dalam hal
penyelundupan masuk narkoba ke Batam banyak menafsirkannya bersifat
ganda. Pertama sebagai negara asal narkoba ke Indonesia (Batam) dan
kedua sebagai negara transit dari negara asal China dan Taiwan. Apa pun,
Kepri dan Batam dengan ciri geografis kepulauannya merupakan wilayah
strategis bagi masuknya narkoba dari luar.

Di samping Tanjung Balai Karimun, Pulau Belakang Padang yang


merupakan bagian dari wilayah administratif Kota Batam juga merupakan
tempat potensial menjadi daerah transit sebelum sebelum narkoba
selundupan dari luar sampai ke daratan Kota/Pulau Batam. Meskipun
terdapat pulau-pulau tertentu yang menjadi kawasan transit strategis,

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


74 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
penyelundupan narkoba dari luar tidak menerapkan satu-dua modus dan
tempat. Ciri Kepri dan Batam yang bersifat kepulauan memungkinkan
pengedar mencari dan menemukan tempat-tempat terpencil dan
tersembunyi tertentu sebagai jalur “tikus” guna mengelabui aparat
penegak hukum.

Batam juga memiliki fungsi ganda peredarannya. Pertama sebagai


wilayah tujuan akhir masuknya narkoba dan kedua sebagai wilayah
transit sebagaimana halnya Malaysia untuk peredaran ke luar Batam
menuju wilayah Indonesia lainnya. Informasi mengatakan, pengiriman
ke luar narkoba ke wilayah Indonesia dilakukan melalui jalur laut dan
kebanyakannya melalui jalur udara. Jalur udara lebih dominan karena
pertimbangan waktu sehingga cepat sampai ke alamat tujuan, terutama
narkoba jenis sabu.

Batam sebagai daerah tujuan sejatinya tak terbantahkan. Banyaknya


kasus penangkapan pelaku penyalahguna dan pengedar menegaskan
hal ini. Pola peredaran gelap narkoba ke masyarakat luas di dalam
wilayahnya sendiri banyak ragamnya. Transaksi dari penjual ke pembeli,
baik penyalahguna maupun pengedar yang lain biasa terjadi di tempat-
tempat hiburan malam di hotel dan diskotik.Tempat ini disinyalir menjadi
pilihan bagi kalangan menengah dan atas. Batam Center dan kawasan
perdagangan Nagoya merupakan dua tempat di mana hotel, cafe dan
diskotek menjadi pilihan utama transaksi narkoba oleh pengedar dan
penyalahguna. Meskipun demikian, di Batam terdapat banyak wilayah
“hitam” rawan narkoba disebabkan kondisinya yang belum tergarap dan
terfungsikan sehingga membuka peluang berdirinya rumah-rumah liar
atau ruli sebagai tempat permukiman penduduk secara ilegal. Keberadaan
ruli inilah antara lain alasan mengapa wilayah Kecamatan Sei Beduk dan
Kecamatan Batu Aji termasuk dua kecamatan rawan narkoba. Kampung
Aceh, Muka Kuning, Tanjung Piayu dan Simpang Jam adalah beberapa titik
sisi wilayah dua kecamatan ini yang sejak dulu hingga kini masih distigma
masyarakat sebagai daerah rawan narkoba. Salah seorang warga binaan
Lapas Barelang yang diwawancara menegaskan bahwa keberadaannya
di lapas selaku warga binaan (narapidana) lebih bersifat musibah
lantaran saat penggerebekan rumah-rumah liar (ruli), rumah tempatnya
menumpang terdapat narkoba jenis shabu sebagai barang bukti. Hal itu
disebut musibah karena saat penggerebekan yang bersangkutan ada

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 75
di TKP. Di samping itu, dia sendiri meskipun ikut menjadi penyalahguna
tetapi bukan pengedar.

Sisi lain bahwa anggapan peredaran narkoba banyak diatur dan


dikendalikan dari lapas ada benarnya. Meski peserta FGD warga binaan
lapas menjawab secara sumir, kebenaran akan hal ini tak terbantahkan
Akibatnya, seperti dinyatakan oleh salah seorang staf BNNP Kepri,
program rehabilitasi di lapas Barelang sepenuhnya dihapuskan/ terhenti
berdasarkan kebijakan yang diambil secara tegas oleh Komjen (Pol) Budi
Waseso saat menjabat sebagai Kepala BNN. Dasarnya adalah temuan
investigasi BNN bahwa lebih dari 51 persen peredaran gelap narkoba di
pasaran dikendalikan narapidana dari balik penjara.

Transaksi narkoba, belakangan lebih dominan jenis shabu, di wilayah


Batam umumnya dilakukan secara langsung antara penjual/pengedar dan
pembeli/penyalahguna. Hanya saja, pembeli/penyalahguna kadangkala
menggunakan jasa orang selaku kurir. Penjual/pengedar umumnya
bukanlah orang yang bodoh, ceroboh dan gegabah. Karena itu hubungan
komunikasi antar kedua pihak bisa dilakukan melalui telepon atau melalui
kurir yang satu sama lain sudah saling mengenal. Demikian juga, berdasar
pada pengalaman, bahasa tubuh seseorang di mata pengedar mudah
dikenali apakah orang yang ingin membeli narkoba darinya adalah pembeli
sungguhan atau aparat yang menyamar. Salah satu ‘clue’ atau kode yang
umum di kalangan pengedar dan pembeli adalah penyalahgunaan kata
“barang” untuk merujuk pada narkoba. Bahasa tubuh lainnya adalah
mengiringi kata “barang” dengan menonjolkan empu jari tangan di rusuk/
pinggang dalam posisi berdiri.

Bagi masyarakat Batam, narkoba ternyata bukan sekadar


penyalahgunaan dan peredarannya yang menyimpang. Maraknya
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba memunculkan satu
pertanyaan kritis di masyarakat, yakni apakah narkoba yang beredar luas
di Batam sepenuhnya impor dari luar atau sebagian justru diproduksi
sendiri di dalam wilayah Batam. Pertanyaan yang sama pun menjadi
perhatian BNNP dan BNNK Batam. Meskipun sangat logis sedemikian
banyak narkoba di Batam tidak mungkin tidak ada yang dibuat di Batam
sendiri, namun hingga saat ini BNNP/ BNNK dan aparat kepolisian Batam
belum menemukan faktanya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


76 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Satu hal yang perlu diluruskan lebih dulu adalah soal terminologi
pengedar dan penyalahguna narkoba. Dua terminologi tersebut merupakan
dua sifat yang mungkin ada pada satu individu yang sama, tetapi juga
sangat mungkin pada individu berbeda. Fakta menunjukkan, saat FGD
di Lapas Barelang dua dari sepuluh warga binaan yang menjadi peserta
mendekam di lapas karena dihukum sebagai pengedar. Keduanya bahkan
tidak tahu seperti apa sesungguhnya rasa dan sensasi yang ditimbulkan
narkoba karena memang tidak pernah menggunakannya.

Penyalahguna dan pengedar keduanya tidak bisa dilepaskan


kaitannya dengan Batam sebagai kota dengan ciri kepulauan yang terus
berkembang. Di samping itu Batam adalah kota transit peredaran narkoba.
Sebagai kota transit dengan ciri kepulauan Kota Batam sesungguhnya
sebuah kota yang terbuka lebar bagi keluar-masuk warga dari berbagai
wilayah di Indonesia. Sebagai daerah perbatasan, Batam juga membuka
ruang bagi masuknya warga asing. Warga binaan lapas Barelang tidak
seluruhnya warga negara Indonesia. Salah seorang yang diwawancara
adalah warga negara Malaysia. Apa yang hendak disampaikan terkait
ciri kewilayahan Batam ini adalah bahwa penyalahguna dan pengedar
narkoba di Batam sungguh beragam dari latar belakang sosial, agama dan
etnisnya. Penduduk Batam terdiri atas berbagai etnis nusantara, seperti
etnis Melayu Riau, Jawa, Batak, China keturunan, Minang, Aceh, Madura
dan sebagainya. Penyalahguna dan pengedar dipastikan penduduk
tetap dan pendatang (musiman) dari semua etnis dan beragama Islam
dan Kristen. FGD residen rehab dan warga binaan lapas menemukan
pesertanya yang hanya berjumlah masing-masing sepuluh orang terdiri
dari semua etnis tersebut.

Tindak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Kota Batam


telah menyasar masyarakat dari berbagai etnis dan status sosial. Jika
diperhatikan cacatan perjalanan penyalahguna dan pengedar, baik pada
peserta FGD residen rehab maupun warga binaan lapas, terlihat banyak
di antara mereka yang sudah bersentuhan dengan dunia gelap narkoba
sejak usia belasan tahun saat masih duduk di bangku sekolah menengah
pertama. Ada juga mulai mengenalnya sejak duduk di bangku perguruan
tinggi dan sejak menjadi pekerja atau karyawan. Latar belakang sosial
ekonomi mereka pun beragam. Sebagian dari keluarga cukup mampu dan
tidak sedikit dari keluarga miskin. Artinya, narkoba menyasar korban dari

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 77
semua lapisan masyarakat di mana kedua latar belakang sosial ekonomi
tersebut turut menjadi pemicunya.

Menurut pengalaman mantan pengguna, kondisi berkecukupan


dapat menjadi pemicu penyalahgunaan narkoba karena orang tua selalu
memberi uang sekolah dan uang jajan dalam jumlah yang cukup, terlebih
jika tinggal di kota yang berbeda dengan kota tempat tinggal orangtua.
Kecukupan pasokan biaya hidup inilah yang turut mendorong seseorang
untuk mencoba-coba narkoba sebagaimana dialami oleh warga binaan/
residen rehab. Kemiskinan pun tidak kurang hebat perannya. Bagi pengedar
yang adakalanya juga sebagai pemakai, kemiskinan mendorong mereka
ke dalam dunia narkoba karena dengan begitu terbuka peluang untuk
menambah penghasilan atau memperbaiki taraf kehidupan. Faktor lain dari
sisi keluarga menyebabkan seseorang terjerumus narkoba adalah karena
perlakuan orangtua/ anggota sendiri terhadap anak-anak/ saudaranya
dalam rumah tangga. Turut memicu terlibat narkoba yaitu karena faktor
psikologis diri sendiri yang tidak kuat menahan cobaan hidup sehingga
mengakibatkan yang bersangkutan tertekan.

Residen rehab ada yang awal keterlibatannya dengan narkoba


lantaran putus biaya kuliah sehingga harus cuti dulu. Pada saat itulah
teman lama semasa di SMA yang menjadi kaki tangan bandar narkoba
datang menawarkan jalan keluar dengan cara menjadi kurir dan
pengedar narkoba. Ada juga yang karena kehidupan ekonomi orangtua
berkekurangan mendorong yang bersangkutan menjadi pengedar dengan
maksud ingin membantu keluarga, bahkan dengan cara menabung/
menyimpan dalam celengan sebagian keuntungan dari penjualan narkoba.
Usai menjadi pengedar, kondisi keuangan merosot namun keinginan untuk
membantu orangtua tetap tinggi. Keinginan tersebut dilakukan yang
bersangkutan dengan usaha tambahan lain menjadi agen penjualan durian
dan kelapa di saat-saat musim dan usaha parfum isi ulang. Ini lah yang
dilakukan salah seorang warga binaan peserta FGD sehingga terjerumus
narkoba. Menariknya, orangtua tidak peka dengan kondisi anaknya yang
terlihat cukup berhasil. Tidak pernah muncul pertanyaan dari mana yang
bersangkutan mendapatkan uang/ penghasilan.

Faktor keluarga ternyata tidak sekadar kondisi ekonomi tetapi


juga sikap dan perlakuan. Seorang residen rehab peserta FGD mengaku

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


78 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
terjerumus narkoba sebagai protes dan pelarian dari sikap dan perlakuan
tidak adil orang tua terhadap anak-anak mereka. Kepada anak pertama
dan ketiga orangtua begitu peduli sampai memberi mereka modal untuk
usaha. Tetapi yang bersangkutan sebagai anak kedua justru diabaikan.
Semua itu merupakan faktor-faktor eksternal dari lingkungan keluarga
yang tidak kondusif, baik kondisi ekonomi maupun perlakuan.

Kasus orang yang terjerumus narkoba banyak variasi penyebabnya.


Tiga orang residen rehab peserta FGD terjerambab narkoba lebih karena
faktor internal diri sendiri. Salah seorang dari mereka mencari pelarian ke
narkoba sebagai jalan menemukan ketenangan dari perasaan tertekan
akibat tidak bisa menerima kenyataan kematian orangtuanya. Ada juga
karena tertekan lantaran gagal ujian skripsi sampai lima kali. Seorang lagi
karena sikap negatif abang kandung sendiri yang sering merendahkan
martabat dan harga dirinya lantaran kehidupan ekonominya belum apa-
apanya dibandingkan keberhasilan yang telah diraih abangnya tersebut.

Kenyataan di atas sekaligus menguatkan asumsi bahwa narkoba


bersifat lintas batas, lintas etnis, dan lintas status sosial. Kondisi ekternal
dari sisi kehidupan sosial ekonomi keluarga dan kondisi psikologis
merupakan faktor-faktor dominan mendorong seseorang tejerembab
narkoba. Jika dicermati secara mendalam pengalaman dari para residen
rehab dan warga binaan lapas, penyebab seseorang terjerumus narkoba
ternyata tidak tunggal dalam arti karena faktor-faktor di atas. Aspek lain
yang ikut bereperan dan malah menjadi pemicu sesungguhnya adalah
lingkungan, baik lingkungan ruang fisik tempat tinggal dan tempat serta
jalur-jalur peredarannya maupun lingkungan sosial pertemenan dan
kekerabatan maupun lainnya.

Pengaruh teman juga dapat menyebabkan seseorang terjerumus


dunia narkoba, walaupun pengaruhnya tidak seketika. Dalam menjalankan
jebakannya, awalnya teman hanya sekadar memberi informasi tentang
narkoba dan dampak positifnya. Bujuk rayu pun dimainkan termasuk
bahwa dengan narkoba banyak kenyamanan fisik dan pikiran akan
dirasakan dan impian-impian bisa terlihat, termasuk melihat “surga”.
Provokasi lain adalah bahwa dengan mengonsumsi narkoba, umumnya
sabu, energi fisik akan bertambah, mampu membuat kerja-kerja lembur
dijalankan dengan enteng sehingga target pekerjaan mudah dicapai.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 79
Mulanya ada residen rehab dan warga binaan lapas setengah tidak
percaya, namun tetap penasaran akan kebenarannya. Terpancing dengan
bujukan-bujukan semu kawan, tertantang untuk membuktikan dan
terdorong karena faktor ekternal yang tidak kondusif, terlebih pula tidak
jarang diberi gratisan, pada akhirnya (calon) korban luluh dan terperangkap
jauh ke dalam dunia hitam ini.

Dari fakta pengalaman para peserta FGD residen rehab dan warga
binaan lapas, ketepurukan mereka ke dalam dunia narkoba sungguh
dalam. Satu-dua saja di antara mereka yang kebetulan tidak tergoda
menjadi penyalahguna, rontok juga pertahanan sehingga menjadi
pengedar. Sebabnya karena semua dampak positif dan bayang-bayang
kenikmatan indrawi yang dijanjikan memang terbukti. Ketagihan lah
yang kemudian membuat mereka menjadi tergantung dengan selalu
melipatgandakan kadar konsumsinya sehingga pada akhirnya membuat
kehidupan dan masa depan hancur.

Betapa tidak, para residen rehab misalnya tidak mempunyai


kepastian tingkat keberhasilan dan waktu pakah mereka akan benar-
benar bisa pulih sepenuhnya dari pengaruh dan dampak negatif narkoba
dan kapan hal itu bisa dicapai. Pengalaman menunjukkan residen rehab
harus menjalani masa terapi dan pemulihan sampai berbulan-bulan. Itu
pun setelah keluar dari panti rehab tidak ada jamainan seluruhnya akan
berhasil pulih dan menjalani kehiduan secara normal kembali karena
sangat rentan kembali tergoda jika bertemu dan bergaul lagi dengan
kawan-kawan lama yang menyebabkan mereka dulu terjerat narkoba.
Faktor risiko keberhasilan/ kegagalan terapi di panti rehab bisa muncul
dari kesungguhan persertanya sendiri. di Loka rehab Batam, rata-
rata mereka yang datang untuk menjadi residen rehab adalah karena
dorongan keluarga. Tidak jarang pula keluarga membawa anak atau
anggota keluarganya ke panti rehab tersebut melalui bujukan dan sedikit
“berbohong” tanpa menjelaskan arah tujunya adalah panti rehab.

Risiko keberhasilan kembali dibuktikan fakta dengan adanya berita


sahih dari salah seorang enumerator, bahwa pada tanggal 19 September
2018 dini hari salah seorang warga Batam dari keluarga baik-baik dan
cukup berada kembali mengalami kelebihan dosis narkoba sehingga
langsung dilarikan ke rumah sakit daerah Batam dalam keadaan cukup

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


80 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
kritis. Padahal yang bersangkutan belum lama kembali ke Batam setelah
mendapat izin menemui keluarga di Batam dari pimpinan panti rehab
Lido, Bogor, tempat di mana ia tengah menjalani terapi pemulihan.

3. Dampak Penyalahgunaan Narkoba

Narkoba sangat merugikan pemakainya, walaupun ada yang mengaku


di awal pemakaian narkoba dapat memberikan stimulus terhadap energi
fisik di samping rasa nyaman dalam tataran tertentu. Namun itu tidak
berlangsung konstan karena terbukti sangat sulit dikontrol takaran/
dosisnya. Jika terus-menerus dikonsumsi dengan kecenderungan tinggi
untuk selalu meningkatkan dosis dari waktu ke waktu, maka narkoba
akan berdampak buruk kepada penyalahgunanya. Disadari atau tidak,
rasa nyaman inilah yang selalu mendorong penyalahguna untuk terus
meningkatkan takaran narkoba untuk mencapai kenyamanan puncak.
Dalam waktu bersamaan ketergantungan pada narkoba tak terhindarkan
lagi. Lama-kelamaan tanpa disadari yang bersangkutan akan mengalami
suatu proses pencederaan diri sendiri karena dampaknya langsung pada
kesehatan. Jika tak segera teratasi, bisa berujung kehancuran masa depan
dan kehidupan sendiri. Mendengar langsung pengakuan penyalahguna
residen rehab dan warga binaan lapas, berdasarkan pengalaman mereka
narkoba sekurang-kurangnya berdampak buruk pada tiga hal, yakni
kesehatan, kehidupan ekonomi dan pergaulan.

Menurut mantan pengguna, secara sepintas penyalahguna narkoba


dalam tingkatan akut dapat dikenali dari kondisi fisik dan cara bertutur
katanya. Umunya mereka terlihat loyo, pikiran tidak jernih karena tidak
fokus sehingga bicaranya meracau, bicara sendiri tanpa disadari
sehingga membuat orang-orang di sekitarnya heran. Narkoba juga dapat
mengakibatkan daya ingat melemah sehingga menjadi pelupa. Gangguan
klinis lainnya adalah denyut jantung menjadi tidak normal, merasa ngilu
di sekujur tubuh, nyeri lambung, sulit tidur, sakit kepala/migrain, turunnya
berat badan secara drastis hingga mencapai 10 kg lebih. Emosi menjadi
labil sehingga mudah marah yang kadangkala diiringi perilaku kasar
kepada orang-orang terdekat sekalipun, misalnya istri.

Tidak ada narkoba yang gratis kecuali sekadar untuk coba-coba


di awal penyalahgunaan sebagai bujukan agar seseorang menjadi

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 81
penyalahguna tetap. Begitu pengakuan pengguna yang saat FGD masih
berstatus sebagai warga binaan. Karenanya narkoba adalah sebuah bisnis
industri. Nilai ekonominya tergolong tinggi dengan angka yang fantastis.
Jutaan penyalahguna akan membelanjakan uangnya untuk mendapatkan
narkoba yang sudah menjadi kebutuhan vital mereka, baik dari pemberian
orangtua, gaji/pendapatan maupun dengan cara lain yang melanggar
seperti mencuri dan menjual barang-barang milik keluarga. Sebaliknya,
penyalahguna sekaligus pengedar selain membelanjakan uang juga akan
mendapatkan uang kembali dengan perdagangan narkoba. Imbal-balik
dan keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan, sangat relatif.
Bagaimanapun, mahalnya narkoba jenis tertentu seperti sabu dan kokain
tentu akan menguras kantong penyalahguna yang berdampak pada
ekonomi keluarga.

Hampir tidak ada kisah manis seputar narkoba. Semuanya berujung


pada kehancuran ekonomi diri dan keluarga. Sekalipun berjualan/
berdagang narkoba dapat mendatangkan banyak uang dalam waktu
singkat, pada akhirnya uang tersebut akan habis kembali sehingga
membuat yang bersangkutan sengsara juga. Narkoba adalah musuh
masyarakat, musuh bersama yang sangat menjadi perhatian aparat
dalam pencegahan dan pemberantasan dan penindakannya. Karennaya
narkoba, jika diperdagangkan, adalah bisnis dengan risiko tinggi. Sanksi
hukumnya tidak main-main, dari hukuman penjara sampai hukuman mati.

Penyalahguna dan/atau pengedar yang saat ini sedang menjadi


warga binaan Lapas Barelang Batam rata-rata dijatuhi hukuman penjara
di atas satu tahun. Di antaranya ada yang dijatuhi hukuman 6 tahun 5
bulan, 7 tahun 4 bulan, 10 tahun 6 bulan, 11 tahun 2 bulan, 12 tahun,
14 tahun 4 bulan, 16 tahun. Rata-rata usia mereka di bawah 40 tahun
dengan riwayat penyalahgunaan sejak bangku sekolah, saat di perguruan
tinggi dan setelah menjadi karyawan. Di antara mereka ada yang sudah
berumah tangga. Ada yang belum lama menjalani masa tahanannya dan
ada juga yang sudah menjalaninya di atas 5 tahun. Bisa dibayangkan
betapa suramnya masa depan mereka karena menghabiskan sebagian
usia produktif dimasa muda dalam tahanan akan memupus dan menutup
kehidupan masa depan dan peluang-peluangnya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


82 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Seorang warga binaan yang diwawancara secara perpisah mengaku
beban dan tanggung jawab ekonomi keluarganya terpaksa dipikul sendiri
oleh istrinya. Di samping itu, jamak terdengar pada pelaku yang lain di
banyak tempat adanya denda uang selain sanksi penjara. Pada akhirnya,
semua bentuk hukuman tersebut jelas akan merontokkan sendi-sendi
ekonomi keluarga.

Penyalahguna dan/atau pengedar narkoba, terlebih mantan


narapidana seringkali diberi stigma negatif oleh masyarakat dan
lingkungan, yaitu dianggap bukan orang baik. Pengalaman penyalahguna
di panti rehab dan warga binaan di Lapas Barelang hampir sama. Mereka
cenderung dijauhi oleh teman-teman sesama penyalahguna jika sudah
“bertobat”. Sebelum menjadi penyalahguna pun tidak jarang mereka diolok-
diolok teman-teman penyalahguna/pengedar sebagai pribadi “kuper”
(kurang pergaulan), tidak ikut gaya hidup anak muda dan sebagainya. Di
samping itu, tetangga dan lingkungan sekitar cenderung pula memandang
penyalahguna/ pengedar narkoba dengan pandangan sebelah mata yang
bernada miring/sinis. Kecuali jika yang bersangkutan tinggal di lingkungan
dengan kebanyakan warganya juga menjadi penyalahguna/pengedar
seperti di ruli-ruli tertentu di Batam. Bagaimanapun, hambatan terbesar
dirasakan oleh penyalahguna/pengedar yang insaf dalam hal hubungan
sosial dengan sesama teman dan tetangga justru datang dari diri sendiri.
Sadar bahwa dirinya pernah menjadi penyalahguna dan/atau pengedar,
yang bersangkutan sontak rikuh dan kehilangan kepercayaan diri karena
terbayang akan kemungkinan teman-teman dan tetangga akan bersikap
dingin dan sinis, padahal belum tentu sepenuhnya demikian.

Tidak semuanya mereka yang sudah “taubat” langsung dijauhi teman-


teman atau warga lingkungan sekitar. Setelah penyalahguna/pengedar
diketahui berhenti dari kebiasaan buruk ini, ada saja teman-temannya
yang berusaha untuk membujuk kembali agar kembali “bermain” di dunia
narkoba. Seperti yang mereka katakan, yang paling dibutuhkan dalam
menghadapi godaan ini adalah “pertahanan diri” secara mental agar
tidak terpengaruh. Positifnya, keluarga penyalahguna/pengedar tetap
memberikan dukungan bagi kesembuhan anak/anggota keluarganya,
baik yang sedang menjalani proses pemulihan di lembaga rehab maupun
yang tengah berjuang menjalani awal dan sisa-sisa masa tahanan.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 83
4. Langkah-Langkah Mengatasi Penyalahgunaan dan Peredaran
Gelap Narkoba

Narkoba meresahkan dan berdampak buruk karena dua hal, yakni


karena disalahgunakan dan diedarkan secara ilegal oleh oknum dan
kelompok jaringan dengan motif ekonomi. Tidak tertutup kemungkinan
peredarannya kemudian berkembang dengan tujuan untuk mewujudkan
motif-motif sosial seperti merusak tatanan dan kesehatan sebuah
masyarakat atau bangsa.Karenanya, upaya-upaya pencegahan dan
pemberantasannya seyogyanya fokus mengarah pada dua sisi ini, yakni
penyalahgunaan dan perederan gelapnya.

4.1. Langkah Pencegahan

Langkah pertama mengatasi agar seseorang tidak tersasar narkoba


dapat dimulai dengan melihat faktor-faktor penyebabnya. Sebagaimana
dijelaskan di atas, keluarga, teman dan lingkungan sekitar merupakan
faktor-faktor yang dominan. Karena itu, ada benarnya pandangan dari
penyalahguna dan atau/pengedar bahwa suasana rumah tangga dan
hubungan antar anggota keluarga harus terbangun sedemikian rupa
sehingga menimbulkan rasa nyaman. Tidak boleh ada sikap diskriminasi
yang membeda-bedakan perlakuan terutama dari orang tua terhadap
anak-anaknya. Kemiskinan yang turut menjadi faktor pendukung
tidak akan berpengaruh jika suasana kehidupan dalam keluarga itu
harmonis. Keluarga tidak hanya harus berperan dalam membangun
suasana kekeluargaan yang harmonis tetapi juga arif dalam mengayomi,
memantau dan menyikapi pergaulan anak-anaknya dengan teman-teman
dan lingkungannya. Karenanya, terpenuhinya kebutuhan biaya sekolah
dan harian anak-anak, misalnya, bisa berbalik menjadi bumerang yang
mendorong mereka terjerembab narkoba sebagimana terbukti dari
pengalaman residen rehab dan warga binaan lapas.

Hampir tidak ada pandangan dari penyalahguna dan pengedar


tentang cara mengatasi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba
karena faktor lingkungan sekitar kecuali mengatakan bahwa itu merupakan
ranah yang menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah atau
aparat. Keterbatasan ini dapat dipahami, karena misalnya menghilangkan
tumbuhnya permukiman rumah-rumah liar di titik-titik tertentu Kota Batam

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


84 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
bukanlah hal yang mudah, termasuk bagi pemerintah daerah sendiri.
Terlebih, kehadiran lingkungan sosial demikian merupakan sebuah
problem yang rumit akibat dari berbagai aspek yang satu sama lain saling
terkait seperti pendidikan, ekonomi, lapangan kerja dan sebagainya.

Mencegah seseorang dari menyalahgunakan dan mengedarkan


narkoba secara ilegal tidak sekadar agar terhindardari narkoba tetapi juga
mencegah agar yang sudah melakukannya tidak terpapar kembali, baik
sebagai penyalahguna, pengedar maupun kedua-duanya. Benar bahwa
mencegah lebih baik dari memperbaiki/memulihkan. Kenyataannya,
warga yang terpapar tidak sedikit dan cenderung bertambah hampir pada
semua golongan dan bahkan di usia yang lebih dini seperti pelajar SD
hingga SMA. Dalam konteks agar mantan penyalahguna dan pengedar
tidak terpapar kembali, satu kata kunci yang disampaikan residen rehab
dan warga binaan sebagai jawabannya adalah “Pertahanan Diri”. Artinya,
yang bersangkutan harus mampu membangun kesadaran diri secara
terus-menerus tentang dampak dan risiko penyalahgunaan narkoba
terhadap kesehatan, ekonomi, pergaulan sosial dan bahkan keterancaman
masa depan beradasarkan pengalaman pahit saat menjalani proses
pemulihan di loka rehab dan saat menjalani hukuman di lapas. Realitas
membuktikan bahwa mantan penyalahguna sangat rentan terpapar
kembali sebagaimana dialami seorang remaja yang sedang menjalani
proses pemulihan seperti contoh di atas.

4.2. Pemberantasan

Publik jarang ada yang meragukan kemampuan aparat kepolisian


(Polri) dalam pemberantasan peredaran gelap narkoba di Indonesia,
termasuk di Batam. Anggapan yang sama juga terbersit di pandangan para
penyalahguna dan pengedar, terutama mereka yang tertangkap. Lolosnya
narkoba masuk ke wilayah Indonesia seperti ke Batam dalam jumlah besar
mencapai kisaran ton janggal di mata publik dengan penalaran yang lurus.
Di mata mereka bagaimana mungkin barang dengan tampilan visualnya
sungguh nyata dan banyak bisa lolos dari pencegatan lembaga dan aparat
yang berwenang. Sebaliknya penyalahguna dan pengedar “kecil-kecilan”
seperti mereka bisa terlacak, terendus dan tertangkap secara tiba-tiba.
Fakta-fakta lapangan ini kemudian melahirkan berbagai dugaan dan
spekulasi termasuk yang paling liar. Di antaranya sampai pada simpulan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 85
bahwa oknum aparat tidak bersungguh-sungguh menjalankan tugas dan
adanya oknum-oknum yang bermain dengan kekuatan pengaruh dan
otoritas yang besar, baik dari dalam maupun luar negeri.

Seorang mantan penyalahguna warga Batam yang sudah lama


malang-melintang di dunia gelap narkoba secara jujur menyatakan
bahwa mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba akan berhasil jika dilakukan dengan sungguh-sungguh,
khususnya dengan menghentikan produksi di dalam negeri, memusnahkan
semua yang ditemukan, mengawal jalur-jalur masuk dan peredarannya
dan menghukum berat para pelaku yang terlibat. Masalahnya, semua itu
tidak mudah dilakukan mengingat penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba aspek dan dimensinya sangat kompleks.

5. Mengatasi Penyalahgunaan Narkoba melalui Pembinaan

5.1. Peran Lapas

Lapas sejatinya merupakan lembaga tempat para pelaku kriminal


dan pelaku pelanggar ketentuan-ketentuan hukum lainnya menjalani
hukuman. Mengedarkan narkoba secara ilegal adalah sebuah tindakan
kriminal di mata hukum. Oleh karena itu jika seseorang sudah diputus
bersalah di pengadilan, dimasukkan ke dalam tahanan atau lapas untuk
menjalani masa hukumannya. Salah seorang warga binaan lapas peserta
FGD menuturkan, setelah menjalani proses penyidikan dalam tempo
28 hari usai penangkapan, dia langsung dimasukkan ke dalam rumah
tahanan (sementara). Setelah menjalani 4 kali sidang dan akhirnya diputus
bersalah di mata hukum, yang bersangkutan dikirim ke lapas narkoba di
Tanjung Pinang, kemudian dipindahkan ke Lapas Barelang, Batam tanpa
tahu persis alasannya.

Sesuai kedudukannya, Lapas Kelas IIA Barelang, Batam adalah lapas


bagi tahanan karena berbagai kasus hukum (kriminal umum), termasuk
kasus pengedaran narkoba. Pemda Kepri memiliki lapas khusus bagi
tahanan kasus narkoba yang berada di ibukota Tanjung Pinang. Kendala
waktu dan letak pada akhirnya membuat tim penelitian menetapkan
memilih melakukan FGD dengan warga binaan kasus narkoba di lapas
Barelang ini.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


86 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Saat FGD berlangsung para warga binaan, yakni sebutan untuk
tahanan sebagai pengganti sebutan narapidana yang mengandung
makna buruk, mengisahkan perjalanan hidup mereka sampai terjerat
kasus narkoba yang berakhir di lapas. Di antara mereka ada yang
mengeluhkan sanksi hukuman dengan penahanan dirinya di lapas
sebagai ketidakadilan dengan alasan mereka bukan pengedar tetapi
hanya sebatas penyalahguna. Meski ditemukan barang bukti seperti sabu
saat penangkapan, mereka kukuh menyatakan barang bukti tersebut
bukan untuk dijual tetapi untuk dipakai sendiri.

Dalam konteks peran lapas dalam pencegahan dan pemberantasan


penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, warga binaan lapas
umumnya sepakat bahwa penahanan mereka lebih bersifat hukuman
dibanding pembinaan, terlebih bagi warga binaan penyalahguna.
Bagaimanapun, lapas tetap menjalankan agenda pembinaan terhadap
warga binaan sesuai program. Di dalam lapas disediakan/diberikan
fasilitas bimbingan rohani bagi semua warga binaan dengan agamanya
masing-masing, baik Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan lain-lain. Para
pembimbing rahoni masing-masing agama didatangkan secara berkala
ke dalam lapas. Oleh karena semua ketentuan tahanan dalam lapas
wajib dipatuhi termasuk mengikuti program-program pembinaan, lama-
kelamaan mereka merasakan juga manfaatnya. Di antara warga binaan
peserta FGD malah ada yang begitu menonjol dalam peningkatan
kesadaran agamanya, sehingga diangkat sebagai imam shalat oleh
yang lain. Secara suka rela diantara mereka ada yang senang mengurus
tempat-tempat ibadah dalam lapas seperti masjid dan gereja. Selain itu
juga ada yang membantu mengurus dan membersihkan aula dan ruang-
ruang kerja/ kantor aparat lapas. Jadi, kehidupan di lapas bagaikan
kehidupan di dunia luar. Tidak ada paksan dan pekerjaan-pekerjaan berat
yang membebani fisik.

Di samping sisi kerohanian, lapas juga memberikan bimbingan


keterampilan kepada warga binaan dengan maksud sebagai bekal
bagi mereka untuk menjalani kehidupan jika sudah selesai menjalani
masa tahanan. Di antaranya keterampilan pertukangan perkayuan
dengan paket-paket pelatihan membuah lemari, kursi dan sebagainya,
keterampilan kepramukaan, keterampilan kerjanian tangan dengan
pelatihan membuat gelang aksesori. Adapaun terkait langsung dengan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 87
narkoba dengan segala aspeknya, termasuk kaitannya dengan HIV/ AIDS,
lapas mempunyai agenda pembinaan melalui sosialisasi dan penyuluhan
yang dilakukan oleh BNNP Kepri, Polda Kepri dan Polresta Batam. Di
antara warga binaan peserta FGD ada yang sudah mendengarkannya di
lapas sebanyak dua kali.

5.2. Peran Lembaga Rehabilitasi

Loka Rehab Kepri di Batam adalah salah satu lembaga rehabilitasi


bagi penyalahguna narkoba di wilayah Sumatera selain di Kota Medan.
Keberadaannya sangat strategis dari segi fungsi dan letaknya sehingga
residen loka rehab ini tidak seluruhnya warga Batam tetapi juga warga dari
berbagai daerah di Sumatera. Dalam FGD, para residen peserta mengaku
merasa puas dengan pola pemulihan dan seluruh fasilitasnya. Kondisi
kesehatan dan tingkat capaian keberhasilan pemulihan para residen
dipantau secara berkala oleh tim medis loka rehab. Asupan pangan dan
vitamin bagi percepatan pemulihan juga mereka pandang memadai.
Para petugas selalu memberi mereka dorongan semangat untuk segera
pulih dan menjalani kehidupan masa depan dengan pendekatan mental
psikologis dan nilia-nilai ajaran agama sesuai agama masing-masing
residen. Menariknya, semua pelayanan dan fasilitas tersebut mereka
nikmati secara gratis sebagai wujud bentuk kepedulian pemerintah
terhadap kesehatan anak bangsa.

Pemerintah melalui program-program P4GN selalu menghimbau


agar warga yang terpapar narkoba berani mengaku dan mau menjalani
proses rehabilitasi di loka rehab yang disediakan oleh pemerintah
maupun sawsta. Bagaimanapun, keberadaan residen di loka rehab Kepri
ini sepenuhnya karena kemauan sendiri atau inisiatif keluarga. Namun
demikian, pimpinan panti menerapkan kebijakan bahwa para residen dan
keluarganya tidak bisa kemudian begitu saja minta untuk dipulangkan
sebelum yang bersangkutan benar-benar dinyatakan pulih secara medis
dan psikologis. Kebijakan ini diambil sebagai bentuk pertanggungjawaban
moril dan sosial pemerintah atas kesehatan warga.

Peran Loka Rehab yaitu melakukan kegiatan putus zat adiktif


narkoba (abstinensia) secara gradual sesuai dengan ketentuan medis.
Kebetulan yang jadi pimpinan dalam Loka Rehab ini adalah seorang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


88 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
dokter, jadi tahu betul bagaimana proses pemutusan harus dilakukan
agar tidak mengancam kesehatan atau jiwa yang direhab. Tahap ini
merupakan terapi uji klinis

Screening juga dilakukan secara intensif dari mulai ujung kaki sampai
ujung rambut. Hal itu dilakukan untuk mengetahui secara komprehensif
mengenai dampak pemakaian narkoba terhadap tubuh si penyalahguna.
Jika ada gejala penyakit, maka dilakukan penyembuhan. Anggaran terapi
pemutusan obat adiktif dan penyembuhan ini memerlukan biaya yang
tidak sedikit. Oleh karena itu, untuk tidak membebani keuangan lembaga,
rencananya pada tahun depan disyarakat bahwa calon residen di Loka
Rehab ini harus merupakan anggota peserta BPJS.

Setelah terapi klinis dilakukan, selanjutnya peran Loka Rehab


adalah memberikan individual counseling untuk mengetahui kejiwaan
penyalahguna. Memupuk kepercayaan diri mantan penyalahguna,
merupakan tahap yang dilakukan oleh para petugas Loka Rehab. Dalam
melakukan pemulihan jiwa dan sosial residen, Loka Rehab tidak berjalan
sendirian, tetapi melibatkan keluarga penyalahguna dengan pembetukan
family support group (FSG). Pembentukan FSG ini juga sebagai bagian dari
pemenuhan hak anak (penyalahguna) terhadap 4 hak dasarnya yaitu, hak
hidup layak, kesehatan, lingkungan yang kondusif dan dapat berproduksi.

Petugas Loka Rehab1 mengakui bahwa program yang dilakukan oleh


Loka Rehab tidak sepenuhnya berhasil. Dalam catatannya, dari, sekitar
10 % di antara mantan residen Loka Rehab ini kembali menjadi pecandu.
Jumlah 10% yang gagal pulih secara total memang bukan angka yang
kecil. Namun capaian yang diraihnya sungguh mengesankan. Kegagalan
pulih secara total sangat dipengaruhi oleh lingkungan.

Seperti dikemukakan di atas, ada mantan pecandu yang


kambuh setelah berhubungan kembali dengan teman lama yang dulu
memperkenalkan narkoba kepadanya. Oleh karena itu, pola pembinaan
dan rehabilitasi di loka rehab tidak serta merta dapat dijadikan tertuduh.
Bagaimanapun, lembaga loka rehab tidak akan memulangkan seorang
residen kepada keluarganya sebelum yang bersangkutan dinyatakan sehat

1
Wawancara dengan salah satu petugas Loka Rehab pada tanggal 7 September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 89
dan pulih secara total. Loka rehab ini memiliki fasilitas dan pelayanan
standar bagi program rehabilatasi, termasuk dari segi asupan makanan
dan kesiapan tenaga medis yang secara berkala memantau perkembangan
kesehatan fisik dan jiwa para residennya. Bagaimanapun fasilitas Loka
Rehab tetap masih sangat terbatas. Dengan keterbatasan tersebut, Loka
Rehab secara gender baru menerima dan merehab pengguna laki-laki dan
belum bisa menerima dan merehab pengguna yang perempuan.

Residen Loka Rehab Kepri di Batam terkategori menjadi dua


kelompok, yaitu compulsory resident dan voluntary resident. Compulsory
resident yaitu mereka yang terciduk aparat sebagai penyalahguna dan
menguasai narkoba yang kemudian diproses di pengadilan dan sudah
memiliki kekuatan hukum (in khracht 2). Adapun voluntary resident
adalah mereka yang diantar dan didaftarkan oleh keluarga ke panti rehab.
Penghuni Loka Rehab mayoritas (90%) merupakan voluntary resident,
bahkan di tahun 2018 ini, tidak ada satupun dari compulsory resident. Di
antara kedua kategori ini ada yang dalam kondisi grey area, yaitu aparat
keamanan yang menjadi penyalahguna dan pengedar. Mereka terciduk
oleh aparat keamanan tetapi tidak memiliki status dengan kekuatan
hukum yang tetap (in kracht).

Proses rehabilitasi di panti Loka Rehab Batam untuk abstinensia


atau putus zat, dilakukan melalui terapi gejala klinis. Jika menggunakan
sabu dan gelisah, gelisahnya ditangani. Kemudian dilakukan screening
semuanya dari ujung rambut sampai ujung kaki, termasuk fungsi hati,
jantung. Kalau hati yang rusak, dibawa ke spesialis. Tidak semua yang
datang menggunakan BPJS.

Setelah selesai program rehab, ada yang disebut dengan re-entry, yaitu
suatu program yang disebut dengan pasca rehab. Program ini difasilitasi
oleh sebuah panel yang terdiri atas tim dari BNNP dan Loka Rehab3 yang
secara sinergis menentukan resident mana yang bisa mengikuti program
ini. Untuk kasus di Batam, progam pasca rehab ini dalam bentuk vocational
seperti pelatihan mengelas baik tahap awal maupun lanjutan.

2
“in kracht van gewijsde” (kracht = kekuatan, gewijsde = keputusan final), memiliki arti kata “suatu perkara yang telah
berkekuatan hukum tetap karena telah diputus oleh hakim dan tidak ada lagi upaya banding.
3
BNNP dan Loka Rehab secara struktural merupakan lembaga yang terpisah, tetapi kedua lembaga ini masih bagian dari
BNN tetapi berbeda kedeputian

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


90 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Kondisi Loka Rehab dari segi sarana dan sarana sudah cukup
memadai. Namun masih terkendala oleh kekurangan tenaga ahli.
Misalnya, Loka Rehab mendapatkan kesulitas untuk merekrut seorang
dokter dengan gaji hanya Rp 3 juta per bulan dan kerja full time. Sejumlah
dokter pernah melamar posisi kosong itu, namun setelah tahu bahwa gaji
hanya Rp 3 juta, mereka kemudian mengundurkan diri. Hal ini menuntut
perhatian pihak terkait untuk kasus penting seperti ini karena analisis job
description dan pengusulan kelayakan gaji sudah dilakukan, tetapi rupanya
belum mendapatkan persetujuan dari pusat. Kekurangan SDM ini apalagi
termasuk SDM ahli tentu menjadi kendala dari efektifitas progam P4GN.

Kekurangan SDM ini tidak hanya dialami oleh Loka Rehab, tetapi juga oleh
BNNP. Seperti dikatakan oleh kepala P2M BNNP, di instansinya masih terdapat
kekurangan SDM dari yang seharusnya terpenuhi. Pada saat ini BNNP hanya
memiliki SDM sebanyak 37 orang dari STOK sebanyak 211 orang.

6. Program P4GN dan Permasalahannya

Salah satu kegiatan dalam rangka P4GN yang dilakukan di Batam


adalah meningkatkan sinergi antara BNN dengan Pemda atau Pemkot
setempat. Dalam kaitan ini, misalnya, Kepala Badan Narkotika Nasional
Kota (BNNK) Batam AKBP Abdul Hasyim Pangabean mengatakan bahwa
pihaknya bersama dengan Pemerintah Kota (Pemko) dan instansi terkait
terus berupaya meminimalisasi penyalahgunaan narkoba di Batam.
Salah satunya melalui peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia
(SDM) yang terlibat program P4GN (Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba). Sebagaimana dikatakan
oleh Abdul Hasyim Pangabean dalam suatu workshop di Hotel Pusat
Informasi Haji (PIH) Batam Center pada tanggal 16 Oktober 2018, “Kami
terus berupaya semaksimal mungkin meminimalisir penyalagunaan
narkoba” 4. Workshop tersebut merupakan salah satu upaya menciptakan
Batam Bersih Narkoba (Bersinar) sejalan dengan visi Walikota Batam
yaitu: terwujudnya Batam sebagai bandara dunia madani yang berdaya
saing, maju, sejahtera dan bermartabat.

Upaya sinergis yang dilakukan berbagai pihak memang memberikan

4
Haluan Kepri com, diunduh pada tanggal 21 Oktober 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 91
harapan baru. Hasil penelitian terbaru menempatkan Provinsi Kepri di
urutan ke 16 dari seluruh provinsi di Indonesia dengan penyalahguna
terbanyak. Dalam catatan BNNK Batam, hal ini merupakan kondisi yang
lebih baik karena turun drastis dari posisi ketiga terbanyak.5

Secara nasional, total penyalahgunaan narkoba sebanyak 3.376.115


orang. Proporsi penyalahguna narkoba terbesar berdasarkan kelompok
59% dari golongan pekerja, 24% dari golongan pelajar dan 17% populasi
umum. Adapun proporsi jumlah penyalahgunaan setahun terakhir
berdasarkan jenis kelamin, 72% laki-laki dan 28% perempuan. Salah satu
implikasi dari temuan ini adalah perlu semakin gencarnya sosialisasi
P4GN di kalangan pekerja formal khususnya di industri-industri besar dan
perusahaan jasa baik kecil, menengah maupun besar.6

“Saat ini narkoba merupakan kejahatan yang luar biasa dan musuh
kita semua maka untuk menangganinya juga harus bersama-sama
agar bisa maksimal, untuk kedepannya BNNK Batam akan terus
menerus untuk mencegah dari penyalahgunaan narkoba. Selain
itu juga akan memberikan penyuluhan untuk pengedar narkoba
maupun para penyalahgunanya,” tambahnya. Dalam kegiatan
Workshop itu Panitia Pelaksana mengangkat tema “Generasi
Emas, Generasi Sehat dan Bermartabat Tanpa Narkoba”.

Sinergi dengan pemkot ini dapat dilihat dari kegiatan yang dihadiri
delapan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tingkat Kota Batam, yaitu:
Dinas Tenaga Kerja Kota, Dinas Perhubungan, Dinas Pemuda dan
Olahraga, Dinas Kebudayaan dan Parawisata, Dinas Pemadam Kebakaran,
Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian
Penduduk dan KB, Dinas Satpol PP dan Badan Perencanaan Penelitian
dan Pengembangan Kota Batam.

Program P4GN di kalangan pekerja juga dilakukan oleh pihak BNNP


Kepri. Sama seperti BNNK, bentuk kegiatan juga dalam bentuk sosialisasi-
sosialisasi yang banyak melibatkan kalangan pegawai pemerintah maupun
sosialisasi pada pegawai swasta seperti dilakukan oleh kepala bidang
Pencegahan dan pemberdayaan Masyarakat (P2M BNNP) Kepri, Nurlis, SKM.,
M.Si. Selain itu, sosialisasi juga dilakukan ke sekolah-sekolah untuk menyasar

5
Haluan Kepri com, diunduh pada tanggal 21 Oktober 2018.
6
Haluan Kepri com, diunduh pada tanggal 21 Oktober 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


92 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
para pelajar, dengan pertimbangan bahwa mereka sebagai kelompok rentan
kena narkoba, minimal sebagai penyalahguna.

Pencegahan memang perlu selalu ada inovasi baik dalam disainnya


maupun advokasi riil di lapangan. Untuk maksud pencegahan dan
pemberantasan narkoba tersebut, di kota Batam sudah terbentuk dan terbina
penggiat anti Narkoba sebagai bentuk pelibatan masyarakat untuk mencegah
penyalahgunaan dan peredaran narkoba yang semakin meningkat.
Keterlibatan penggiat ini diharapkan dapat memberikan daya tahan (imunitas)
masyarakat pada kasus penyalahgunaan narkoba. Para penggiat ini terdiri
atas unsur masyarakat baik ibu-ibu, bapak-bapak maupun pemuda. Diantara
mereka bahkan ada yang mantan penyalahguna. Keterlibatan mereka
diperlukan untuk menimba pengalaman berarti mereka mulai bagaimana
terlibat, dinamika penyalahgunaannya sampai kepada cara melepaskan diri
dari jeratan narkoba. Pengetahuan yang luas tentang jenis-jenis narkoba dan
pengalaman mereka yang mendalam tentang penyalahgunaan akan lebih
meyakinkan masyarakat bahwa keterjeratan narkoba lebih memberikan
dampak negatif untuk kesehatan fisik, dampak sosial dan ekonomi.

Seorang mantan penyalahguna yang sekarang aktif menjadi


penggiat menuturkan bagaimana ia mulai terekspose ke dalam jaringan
penyalahgunaan narkoba ini. Tempat tinggalnya yang rentan terekspos atau
rawan narkoba yaitu di sekitar terminal bis membuat dia sejak usia dini sudah
berkenalan dengan narkoba. Ia memiliki pacar seorang sopir bis yang menjadi
penyalahguna narkoba, ketika itu ia masih masih duduk di bangku sekolah
(SMP). Sejak itu ia terlibat dengan pergaulan bebas dan mendapatkan narkoba
dari pacarnya secara gratis dan rutin untuk memuaskan keinginan dan hasrat
mudanya. Sampai pada suatu saat ia menyadari bahwa tubuhnya sudah
kurus kering tinggal tulang termakan oleh aktifitasnya menjadi penyalahguna
barang haram. Sampai akhirnya ia harus direhabilitasi di Lido Sukabumi sekitar
tiga tahun, karena kondisinya yang sudah sangat parah. Setelah pulih, ia
bangkit dan bertekad sepenuh hati untuk menjadi garda terdepan melakukan
pencegahan dan aktif terlibat dalam upaya rehabilitasi mantan penyalahguna.
Ia sekarang sudah berumah tangga dan tinggal di suatu kawasan yang rawan.
Karena tekad yang sudah bulat untuk tidak terlibat lagi sebagai penyalahguna
maupun pengedar, ia tidak tergoda lagi mengkonsumsinya betapapun ia
selalu ditawarin oleh warga di sekitar tempat tinggalnya. Bahkan ia sekarang
aktif sebagai pendakwah dan menjadi aktifis majelis taklim di lingkungan
tempat tinggalnya.
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 93
Sekilas narasi seorang mantan pecandu narkoba ini menunjukkan
bahwa sejak puluhan tahun lalu narkoba memang sudah menjadi
ancaman juga kepada kaum belia. Tentu kondisi sekarang lebih parah
keadaannya karena berbagai cara baru sudah dikembangkan oleh Bandar,
kurir atau pengedar sebagai bisnis haram yang menggiurkan. Disebut
menggiurkan karena sebagaimana pengalaman mantan penyalahguna
dan sekaligus juga pengedar, begitu mudah untuk mendapatkan uang
dalam jumlah yang besar. Kondisi sekarang berbeda ketika sudah
memutuskan sejarah hitam masa lalunya. Kondisi keuangan memang
dirasa lebih sulit, walaupun ia terlibat dalam berbagai aktitivitas sosial
sebagai penggiat. Namun satu hal yang diperolah yaitu ketenangan hidup
yang tidak pernah dialaminya ketika masih terlibat sebagai penyalahguna
dan pengedar yang waktu itu sangat bergelimang uang (haram).

Dalam pandangan penyalahguna, keharmonisan keluarga


merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah keterlibatan dalam
penhyalahgunaan narkoba. Bahkan posisi keluarga juga penting ketika
seseorang sudah menjadi penyalahguna dan ingin lepas dari kebiasaaan
buruknya. Oleh karena itu dukungan keluarga menjadi sangat penting dan
sudah terinsitusionalisasi dalam program yang dilaksanakan oleh Loka
Rehab. Untuk mengimplementasikan pentingnya kehadiran keluarga
dalam proses rehabilitasi ini, Loka Rehab membentuk family support group
(FSG). Salah satu ide penting dalam pengelolaan FSG ini adalah tidak
boleh ada diskriminasi kepada setiap anak, walaupun tergantung pada
perbedaan karakter si anak. Jadi harus ada individual counseling. Pola
asuh penting untuk anak, jadi jangan memaksa anak dalam menentukan
pilihan-pilihan dalam kehidupannya termasuk dalam pemilihan jurusan di
universitas atau dalam pemilihan karir. Sementara FSG untuk yang dewasa
adalah menangani goncangan psikologis akibat penceraian misalnya.

Loka Rehab ini penting sebagai bagian dari program P4GN karena
tempat rehabilitasi ini tempatnya memang di Loka Rehab, bukan LAPAS,
kecuali LAPAS sudah bisa mendeklarasikan bahwa dirinya bersih dari
peredaran narkoba7. Sementara itu, walaupun P4GN di LAPAS sudah tidak
dilakukan oleh BNN tetapi pihak lapas tetap melanjutkan program-program
serupa. Hal ini karena Lapas memang tetap menjadi sasaran untuk bisnis
narkoba ini. Penyelundupan dilakukan ke makanan atau bahkan melalui
anus. Di Lapas Balerang Batam ini, jumlah pelaku kriminal terkait dengan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


94 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
peredaran gelap narkoba sebanyak 70% dari 1.350 penghuni.8

Program yang dilakukan adalah dalam bentuk olahraga, ibadah,


latihan kerja pertukangan, las dan pembuatan perabot. Selanjutnya sudah
dibentuk juga SATGAS yang khusus menangani narkoba yang bertugas
melakukan penggeledahan-penggeladahan. Selain itu juga telah dibentuk
gabungan yang dikomandoi secara wilayah dalam bentuk pengendalian
keamanan dan ketertiban DILKAMTIB).

SebagaikelanjutandariprogramP4GNadalahpeningkatankesejahteraan
di kalangan pegawai LAPAS melalui pembentukan koperasi yang dianggarkan
sebanyak Rp 100 juta per bulan untuk kepentingan anggotanya, yaitu petugas
LAPAS. Adapun kegiatan lain meliputi kegiatan kerja membuat tempe, roti, las
dan cuci mobil dengan hidraulik. Meskipun demikian, pendekatan keamanan
dalam bentuk penggelahan tetap dilakukan.9

7. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kota Batam merupakan wilayah yang dapat dikatakan menjadi


sasaran empuk untuk bisnis narkoba. Di sini tidak hanya jumlah
penyalahguna yang besar, tetapi juga tersedianya dan tempat-tempat
yang dapat dijadikan sebagai tempat transaksi dan sarana yang
disalahgunakan untuk kegiatan penyalahgunaan narkoba seperti hotel,
diskotek, bar dan lain-lain.

Batam juga menjadi daerah transit yang strategis untuk peredaran


narkoba karena letak geografis sebagai daerah perbatasan dengan Negara
Malaysia dan Singapura yang menjadi sumber narkoba. Sebagai wilayah
yang dikelilingi oleh puluhan pulau, membuat Batam menjadi rawan
karena adanya jalur-jalur yang sulit dideteksi oleh aparat keamanan.

Walaupun demikian, dari tahun ke tahun strategi pencegahan dan


pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gerap narkoba tampak
sukses dilakukan. Melihat peringkatnya, Batam sudah turun drastis
sebagai daerah rawan dari peringkat ketiga menjadi peringkat ke 16 untuk

7
Lihat kasus Budiman yang bisa membuat pabrik narkoba di LAPAS dan kasus-kasus lain.
8
Wawancara dengan petugas lapas, 13 September 2018
9
Wawancara dengan kepala LAPAS, 13 September 2018

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 95
tingkat nasional. Keberhasilan ini tidak hanya karena kesigapan aparatur
tetapi juga karena kerjasama yang sinergis dengan masyarakat sipil.
Antusiasnya warga ikut terlibat sebagai penggiat anti narkoba menjadi
faktor penting dalam penurusan status rawan narkoba bagi Batam.

Narkoba adalah sisi gelap kehidupan bagi siapa saja yang pernah
bersentuhan dengannya secara ilegal, baik dalam penyalahgunaan maupun
peredarannya. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di wilayah
Kota/Pulau Batam dapat dianggap berada pada taraf yang cukup kritis.
Pengungkapan ke publik tentang kasus-kasus penangkapan terhadap
tersangka pelalu penyalahguna dan pengedar dengan temuan barang bukti
dalam jumlah yang fantastis, terkadang dengan berat mencapai hitungan
ton untuk jenis ekstasi dan hitungan kilo untuk jenis sabu.

Apa pun bentuk dan bagaimanapun cara pendekatan pembinaan


yang dilakukan di lapas dalam rangka mengatasi penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba, bagai warga binaan Lapas Barelang semua
itu tdak begitu penting. Seperti mereka ungkapan, yang mereka pikirkan
dan menjadi beban terberat mereka di lapas adalah pikiran sendiri, yakni
memikirkan keluarga, masa depan dan harapan untuk bisa segera keluar.
Bagaimanapun, dengan variasi masa hukuman mencapai belasan tahun
seperti dinyatakan di atas, di antara mereka ada yang menjalani tahun-
tahun pertama masa hukuman. Misalnya, baru menjalani dua tahun dari
12 tahun masa tahanan, empat tahun dari sembilan tahun tiga bulan masa
tahanan. Di antara mereka ada juga yang telah menjalani separuh atau
lebih dari masa tahanannya.

Masih baru atau sudah lama, menjalani kehidupan di lapas sungguh


berat mereka rasakan bagaikan menghitung hari tanpa henti kapan ini akan
berakhir. Karenanya, selagi mereka dalam tahanan efektifitas keberhasilan
program sangat sumir dan sulit dipastikan karena ukurannya tidak jelas.
Berbeda dengan warga binaan lapas, efektifitas keberhasilan pada residen
loka rehab masih bisa dilihat, meskipun di sisi pemulihan dengan tolok
ukur kepulangan dari proses rehab sesuai rekonendasi tim medis. Namun
demikian, keberhasil pemulihan tidak menjamin yang bersangkutan tidak
akan terlibat kembali selamanya dengan dunia gelap narkoba. Dan yang
lebih penting dari kepulihan dari narkoba adalah bisa produktif kembali
dalam masyarakat. Program ini untuk dilanjutkan dan kembangkan variasi

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


96 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
agar lebih sesuai dengan minat dan bakat usaha yang akan dikembangkan
oleh mantan residen.

Banyak hal terkait narkoba di Batam sudah dilakukan semua pihak,


terutama BNNP Kepri dan BNNK Batam. Pelaku penyalahguna dan
pengedarnya banyak yang tertangkap, kemudian menjalani proses rehabiltasi
dan hukuman di lapas. Barang bukti berupa sabu, ekstasi dan jenis-jenisnya
yang lain juga sudah dimusnahkan. Meskipun demikian, narkoba tetap sebuah
“misteri”. Faktanya, penyalahgunaan dan terlebih peredarannya secara gelap
masih tetap berlangsung, bahkan terindikasi cenderung meningkat dengan
“korban” sasaran termasuk kanak-kanak pelajar SD.

Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas, beberapa rekomendasi


dapat dikemukakan:
a) Pentingnya pemetaan oleh BNNP/ BNNK Batam dan pihak kepolisian
tentang kawasan-kawasan yang dianggap rawan/ sangat rawan
di antara pulau-pulau yang ada serta pemetaan tentang jalur-jalur
potensial masuk dan keluarnya narkoba ke Batam dan ke luar Batam.
b) Pentingnya menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada aparatur
dengan meningkatkan profesionalitas dan integritas petugas
aparat. Dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat juga,
pemusnahan narkoba hasil rampasan, perlu dilakukan di depan
umum dengan ketepatan jumlah atau volume yang sama untuk
tidak menumbuhan kecurigaan-kecurigaan masyarat terhadap
kemungkinan permainan-permainan yang dilakukan oleh oknum.
c) Perlu penindakan yang tegas kepada aparat yang terlibat dalam
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Ketegasan juga perlu
dilakukan ketika yang bersangkutan lebih pantas untuk ditempatkan
di Loka Rehab atau di LAPAS sesuai dengan kadar kesalahannya
untuk menghindari perlakuan diskriminasi atau keabu-abuan.
d) Sinergi berbagai instansi pemerintah, ditambah dengan masyarakat
dan pihak swasta akan membuat pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba akan lebih
membuahkan hasil nyata.
e) Harapan dari masyarakat, terutama kelompok sasaran rumah tangga,
agar sosialisasi program-program P4GN menjangkau juga daerah-
daerah yang agak terpencil dan jauh dari pusat-pusat kota. Mereka
mengharapkan pemerintah melakukannya dalam bentuk tayangan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 97
audio visual seperti film-film pendek, pemberian spanduk, pamflet dan
stiker-stiker yang berisi pesan anti narkoba untuk mereka dipasang
dan ditempelkan di ruang-rung publik, termasuk rumah tangga.
f) Upaya pencegahan dapat dilakukan oleh keluarga dengan
menanamkan secara dini nilai-nilai agama yang dapat dijadikan
pegangan kokoh untuk menghindari keterlibatan diri pada
penyalahgunaan dan peredaran gelap.
g) Perlu peningkatan keharmonisan keluarga karena hal ini dapat
mencegah anggota keluarga terlibat dalam penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba.
h) Keluarga perlu memperhatikan hak-hak dasar anak dan perlakukan
yang adil kepada setiap anggota keluarga. Kondisi demikian terbukti
memberikan kondisi preventif dari penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba.
i) Masyarakat perlu sepenuhnya mendukung pemulihan penyalahguna
narkoba dengan menghilangkan sikap stigmatik dengan tetap
menjaga kewaspadaannya serta menerima kembali sebagai warga
masyarakat yang dapat bergaul dan bertindak produktif.
j) Menghimbau aparat penegak hukum agar membedakan secara tegas
antara penyalahguna dan pengedar dalam mengambil/ menetapkan
tindakan hukum.

Sumber Informasi:
• FGD di Loka Rehab Kepulauan Riau Batam, 7 September 2018
• Wawancara Mendalam dengan Kepala BNNP Kepulauan Riau
• Wawancara Mendalam dengan Kepala Loka Rehab Kepulauan Riau
• Wawancara Mendalam dengan Kepala P2M BNNP Kepulauan Riau
• Wawancara Mendalam dengan Residen Loka Rehab Kepulauan Riau
• FGD di Lapas Barelang Kota Batam, 13 September 2018
• Wawancara Mendalam dengan Kepala Lapas Barelang Batam, 13
September 2018
• Wawancara Mendalam dengan Petugas Lapas Barelang Batam, 13
September 2018
• Wawancara Mendalam dengan Warga Binaan Lapas Barelang, 13
September 2018
----------------------------------------------------------------------
• Haluan Kepri com, diunduh pada tanggal 21 Oktober 2018.
• https://www.okezone.com/tag/narkoba-batam

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


98 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
V

Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkoba di Kota Palembang
Provinsi Sumatera Selatan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 99
Tari Gending Sriwijaya
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
100
Batik NARKOBA
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN Songket
2018 Khas Palembang
V
PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
DI KOTA PALEMBANG, SUMATERA SELATAN

Oleh:
Ary Wahyono; Radot Manalu

1. Pendahuluan

Penanggulangan penyalahgunaan narkoba merupakan upaya yang


dilakukan untuk mengurangi penyalahgunaan narkoba yang semakin
meningkat. Penanggulangan narkoba tidak dapat dilakukan sendiri
oleh BNN, tetapi harus bekerjasama dengan para pihak. Oleh sebab
itu, bisa dimengerti jika BNN Provinsi Palembang berusaha melibatkan
seluruh komponen masyarakat, Instansi Pemerintah dan Swasta untuk
melaksanakan Program Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN).

Beberapa tugas BNN di kewilayahan beririsan dengan institusi


lain. Langkah represif atau pemberantasan penyalahgunaan narkoba
misalnya, BNN memiliki tugas yang sama dengan kepolisian. Tugas
rehabilitasi selain dilakukan oleh BNN juga dilakukan oleh rumah sakit,
Lapas, lembaga swasta dan masyarakat. Begitu juga dengan tugas
pemberdayaan masyarakat, BNN membutuhkan dukungan dan partisipasi
masyarakat agar penanggulangan penyalahgunaan narkoba berhasil.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 101
Walaupun Provinsi Sumatera Selatan termasuk daerah yang kurang
rawan dalam lingkup nasional, tetapi belakangan ini Sumatera Selatan
diindikasikan sebagai daerah tujuan peredaran narkoba. Kondisi itu
berubah dari kondisi sebelumnya, yaitu hanya sebagai jalur peredaran
narkoba.

Perubahan dari jalur peredaran menjadi daerah tujuan peredaran


narkoba maka di Sumatera Selatan terdapat peningkatan jumlah orang
yang mengkonsumsi narkoba. Akibatnya, kebutuhan narkoba juga
semakin meningkat dibandingkan sebelumnya. Menurut hukum ekonomi,
jika permintaan narkoba naik maka berarti pasar peredaran gelap narkoba
semakin marak. Pertanyaannya adalah sejauh mana negara atau
pemerintah dapat mengatasi pasar gelap narkoba tersebut.

Dari sisi pemasokan (supply), BNN telah melakukan berbagai


upaya melakukan pemberantasan para pemasok atau bandar narkoba,
dengan cara menerapkan hukuman yang sangat berat sampai ditembak
mati. Namun hal itu belum dapat menyelesaikan permasalahan
penyalahgunaan narkoba, jika konsumen atau penyalahgunaan narkoba
tidak disadarkan dari bahaya penggunaan Narkoba. Tempat rehabilitasi
dan sekaligus pengobatan terhadap korban penyalahgunaan narkotika
dan zat adiktif lainnya telah tersedia di berbagai tempat. Namun begitu
yang lebih penting adalah bagaimana agar korban dapat bertahan pulih,
tidak kambuh lagi sepulang dari panti pengobatan dan rehabilitasi. Hal
ini sangat memerlukan perhatian orang tua serta partisipsi masyarakat
untuk memberikan dorongan, kesempatan bergaul, semangat baru, dan
harapan-harapan baru kepadanya dan pendalaman agama untuk lebih
bertaqwa kepada Tuhan YME.

Untuk keperluan itu, berbagai upaya dilakukan BNN dengan


programnya P4GN, sebagai terobosan untuk menghilangkan pasar
narkoba dari sisi permintaan (demand). Terkait dengan hal tersebut,
BNN Provinsi Sumatera Selatan telah berkomitmen dalam upaya
penanggulangan narkoba untuk mewujudkan masyarakat provinsi
sumatera selatan sehat, berwawasan anti narkoba dan mempunyai
imunitas terhadap penyalahgunaan narkotika.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


102 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
2. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba

Peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Palembang Sumatera


Selatan semakin marak. Kota Palembang yang pada awalnya hanya
sebagai wilayah transit peredaran narkoba kini sudah berubah menjadi
pasar dan jaringan narkoba. Menurut Direktur Reserse Narkoba Polda
Sumsel, kota Palembang sudah termasuk kawasan dengan jaringan
narkoba terbesar, sebab banyak penangkapan pengedar narkoba dengan
jumlah barang bukti yang sangat besar. Dikemukakan juga bahwa kota
palembang sudah termasuk sangat darurat narkoba (Liputan6.com,
diakses tanggal 27 September 2018). Hal ini diperkuat dengan informasi
dari media lain, yang menyebutkan bahwa kota Palembang saat ini sudah
mulai dijadikan pasar narkoba oleh para Bandar (Kompas.com, diakses
tanggal 27/9/2018).

Berdasarkan data BNN Sumsel, jumlah tersangka kasus narkoba


pada tahun 2017 sebanyak 31 orang dengan barang sitaan sabu
sebanyak 4.539,45 gram, ekstasi sebanyak 1 butir, dan ganja sebanyak
1.009,17 gram. Pada tahun yang sama, Polresta Palembang mencatat
jumlah perkara peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Palembang
sebanyak 215 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 266 orang. Tabel
berikut menggambarkan peredaran dan penyalahgunaan narkoba di kota
Palembang berdasarkan jenisnya.

Tabel 5.1. Jenis dan Jumlah Barang Bukti Narkoba di Kota Palembang

Jenis Narkoba Banyaknya


Sabu 6.371,69 gr
Ekstasi 3.922 butir
Ganja 4,566,45 gr
Sumber: Polresta Palembang, 2017

Berdasarkan Tabel 5.1 di atas dapat diketahui bahwa pada tahun


2017 ada 3 (tiga) jenis narkoba yang biasa disalahgunakan di Kota
Palembang. Data tersebut juga menjelaskan bahwa jenis narkoba yang
disita oleh petugas sebagai barang bukti penyalahgunaan narkoba yaitu
jenis sabu sebesar 6.371,69 gram, ekstasi 3.922 butir, dan ganja 4,566,45
gram. Data tersebut juga menunkukkan bahwa narkoba jenis sabu lebih

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 103
banyak beredar dan disalahgunakan di Kota Palembang. Kecenderungan
ini diperkuat dari hasil wawancara dengan Pembina Tempat Rehabilitasi
di LAPAS Narkotika. Jenis narkoba ini menjadi primadona bagi pengguna
karena dianggap dapat menambah kebugaran fisik. Seorang pengguna
di lapas narkotika Palembang dengan yang bekerja sebagai driver
mengatakan jika mengkonsumsi narkoba badan menjadi terasa segar
dan tidak merasa mengantuk, sehingga mampu bertahan bekerja selama
24 jam.

Sekitar tahun 2014 narkoba suntik lebih banyak digunakan


diibandingkan dengan sabu. Namun akhir-akhir ini jenis narkoba suntik
sudah jarang digunakan karena dianggap mahal; sekali suntik bisa
mencapai nilai Rp 1-2 juta. Selain itu, jenis narkoba suntik biasanya
pemakaiannya lebih intens dibandingkan jenis sabu yang dalam 1 minggu
hanya beberapa kali saja.

Dilihat dari jenis pekerjaannya, pengguna narkoba di Kota Palembang


cukup beragam. Buruh dan karyawan swasta adalah latar belakang
pekerjaan pengguna narkoba yang paling banyak di Palembang. Hal
ini bisa dimengerti karena sabu dianggap memberikan kegunaan dalam
pekerjaan mereka, yaitu sebagai doping untuk bekerja. Oleh karena itu
pekerjaan sebagai buruh merupakan jenis pekerjaan yang paling rentan
terkena narkoba di Palembang, kemudian disusul karyawan swasta dan
pengangguran.

Hal itu tentu sangat memprihatinkan karena buruh termasuk


pegawai yang berpenghasilan rendah, tapi justru menjadi kelompok
sosial yang paling banyak menggunakan narkoba. Wawancara dengan
seorang informan yang berprofesi sebagai buruh, diperoleh informasi
tentang peranan narkoba untuk menambah stamina kerja, karena tanpa
narkoba tidak bisa bekerja. Oleh karena itu, jika ada suami yang sudah
tergantung narkoba untuk bekerja, maka sudah pasti membutuhkan
alokasi anggaran belanja narkoba agar penghasilan rumah tangga tetap
ada.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


104 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Tabel 5.2. Pengguna Narkoba di Palembang menurut Jenis Pekerjaan
Jenis Pekerjaan Banyaknya (orang)
Wiraswasta 12
Pengangguran 31
Swasta 51
Pelajar 6
TNI/Polri 1
PNS 3
Ibu Rumah Tangga 16
Buruh 126
Lain-lain 20
Jumlah 266

Sumber: Polresta Palembang, 2017

Untuk memotong mata rantai pasokan narkoba di Palembang,


berbagai upaya telah dilakukan. Sebagai gambaran, pada tahun 2018
ini sudah tujuh bandar narkoba ditembak mati oleh Direktorat Reserse
Narkoba Polda Sumsel dan Badan Narkotika Nasional (BNN) Sumsel.
Tujuh bandar narkoba yang ditembak mati tersebut akan menyelundupkan
5,1 kg sabu dan ekstasi. BNN Sumsel juga menembak mati dua bandar
narkoba berinisial H warga Balelang dan Y warga Cakung, Jakarta Timur.

Direktur Reserse Narkoba (Dirresnarkoba) Polda Sumsel mengakui


jika peredaran narkoba di Kota Palembang mulai dijadikan pasar
oleh para Bandar (Kompas.com, 2018). Kemudian di tahun 2018 ini
juga terjadi penangkapan terhadap pengedar narkoba di Palembang,
Sumatera Selatan (Sumsel) dalam jumlah besar yaitu 20 kg paket sabu.
Penangkapan dilakukan di kawasan Kecamatan Seberang Ulu (SU)
I, Palembang. Penangkapan ini semakin menunjukkan bahwa Kota
Palembang termasuk salah satu pasar narkoba terbesar di Sumatera.
Wilayah Sumsel dahulu hanya wilayah perlintasan untuk menyelundupkan
sabu di Pulau Sumatera, namun kini telah menjadi lokasi pengedaran,
hingga meresahkan masyarakat.

Pola peredaran narkoba di Palembang Sumatera Selatan menurut


para residen (pengguna narkoba yang sedang dibina di Lapas) yang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 105
menggunakan narkoba puluhan tahun bahkan ada yang lebih, pada
umumnya memperoleh narkoba dari kurir jalanan artinya bukan dari
pengedar besar. Mereka biasanya membeli setitik (0,1 – 0,5 gram), atau seji
(satu paket). Selain itu ada juga pemakaian 0,40 gr. Harganya bervariasi,
ada yang 300 – 400 ribu. Biasanya paket sebanyak itu dipakai oleh 3 – 4
orang. Nama sabu itu macam-macam, kadang disebut kristal atau nama
lain. Reaksi setelah menggunakan narkoba terjadi setelah 30 menit dan
efeknya bisa selama 24 jam, yaitu bertahan dari pagi sampai pagi hari.
Sesudah itu kemudian timbul keinginan untuk konsumsi narkoba lagi.
Reaksi narkoba tergatung dari harga narkoba. Semakin mahal semakin
lama reaksinya. Bagi pengguna, ada kecenderungan untuk menjadi kurir
atau jasa pembeli untuk teman-temannya.

Pada umumnya jalur peredaran narkoba yang diketahui oleh


para residen melalui jalur darat dari luar Palembang, namun tidak
dapat diketahui pendistribusian masuknya narkoba tersebut ke Kota
Palembang. Sedangkan pola distribusi yang dilakukan pada umumnya
pengguna memperoleh narkoba melalui pengedar dan kurir dengan cara
berganti-ganti pengedar. Transaksi dilakukan dengan cara menelepon
dan membayar tunai. Di samping itu, ada juga pengguna yang dijadikan
sebagai jasa pembeli dari kurir pengedar untuk teman-temannya sehingga
yang bersangkutan dapat bersama-sama mengonsumsi narkoba
bersama teman-temannya. Informasi yang diperoleh, pengguna belum
tentu menjadi pengedar.

Ada kecamatan yang dianggap rawan, sebagaimana disampaikan


oleh informan pengguna narkoba, yaitu kecamatan Tangga Buntung. Di
kecamatan ini terdapat satu kampung yang seluruhnya hidup dari jual-beli
narkoba.Di antara warga saling menjaga jika ada hal-hal yang dianggap
mencurigakan. Misalnya jika ada petugas yang masuk ke kampung ini,
maka mudah diketahui seluruh warga kampung. Setiap rumah tangga
jualan segala jenis narkoba, tetapi dia bukan bandar besarnya melainkan
kaki tangannya banda. Bandar narkoba tidak tinggal di kampung ini. Bandar
besar bahkan ada yang di penjara, tapi masih bisa menggerakkan pasokan
narkoba. Bandar besar ini umumnya memiliki agen distribusi melalui kurir.
Dari kurir atau pengedar jalanan ini, pengguna membeli narkoba “paket
hemat” atau membeli setitik (0,1 – 0,5), atau seji (satu paket).

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


106 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Penyalahgunaan narkoba selalu bertambah, karena pada awalnya
hanya sekedar mencoba yang ditawarkan oleh temannya secara gratis.
Pengguna narkoba umumnya mengaku ditawari pada saat sekolah, di
lingkungan permukiman tempat tinggal, juga oleh teman sekerja.

Salah satu ciri utama di kalangan pengguna narkoba yaitu sesama


pengguna narkoba akan membentuk pertemanan untuk meringankan
biaya membeli narkoba. Oleh karena itu, pengguna narkoba coba-coba
pada awalnya tidak terlepas dari pertemanan. Melalui pertemanan,
seseorang ditawari narkoba secara gratis, dan karena menimbulkan
efek ketagihan maka tertarik untuk membeli. Jadi dengan demikian, jalur
pertemanan ini tetap dipelihara karena merupakan wadah untuk “pesta”
bersama mengonsumsi narkoba. Di kalangan pengguna narkoba akan
tumbuh “solidaritas”, terutama dalam kebersamaan mengkonsumsi
narkoba. Bagi yang tidak memiliki uang yang cukup, mereka akan secara
bergiliran dan patungan menyediakan uang untuk membeli narkoba,
terutama jenis sabu.

Solidaritas sesama teman dalam mengkonsumsi ini juga akan


mempermudah mendapatkan sabu, karena salah satu dari teman pasti
memiliki akses ke pengedar narkoba. Temen yang memiliki akses ke
pengedar narkoba ini pada awalnya pengguna narkoba, tetapi karena
kesulitan uang untuk membeli narkoba, maka kemudian menjadi perantara
atau kurir untuk membawa narkoba kepada konsumen. Dari sinilah
mereka mendapatkan uang untuk membeli narkoba. Jadi, tumbuhnya
kurir tidak selalu untuk motif mencari keuntungan tetapi untuk kebutuhan
subsistensi. Munculnya kurir juga berkorelasi dengan ketergantungan
terhadap sabu. Akan tetapi, kecenderungan seperti ini terjadi di kalangan
masyarakat lapisan bawah terutama di daerah kampung miskin yang
rawan narkoba.

3. Dampak Penyalahgunaan Narkoba

Dampak ekonomi dari penyalahgunaan narkoba yaitu keuangan


terganggu. Hal itu karena narkoba harganya cukup mahal, tetapi sangat
dibutuhkan bagi orang yang sudah kecanduan. Narkoba menjadi
kebutuhan setiap orang yang sudah mengalami ketergantungan, karena
diaggap dapat memberikan solusi permasalahan yang dihadapi, Di

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 107
kalangan buruh misalnya, penggunaan narkoba bertujuan untuk menjaga
stamina agar tetap bugar dalam bekerja; namun hal itu dapat efektif
selama masih ada efek mengkonsumsi narkoba. Pengakuan seorang
informan sopir truk yang menjalankan tugas mengangkut kopra dari
Palembang menuju Jambi menceritakan tentang hal ini. Informan ini
menjalankan kendaraan pada malam hari; mengaku membutuhkan
narkoba agar tidak ngantuk dalam menjalankan kendaraaannya. Sopir
ini akhirnya menjadi tergantung dengan narkoba ketika menjalankan
pekerjaannya. Ketergantungan terhadap narkoba ini pada mulanya hanya
untuk mencoba karena ditawari temannya, tetapi kemudian mengalami
ketergantungan terhadap narkoba.

Ketergantungan narkoba tersebut berpengaruh terhadap kehidupan


pengguna dan keluargnya. Di bidang ekonomi misalnya, pengguna
narkoba akan menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membeli
narkoba, atau bagi mereka yang belum memiliki penghasilan akan
berupaya dengan berbagai cara bisa mendapatkan uang untuk membeli
narkoba. Membeli narkoba secara patungan adalah cara yang dilakukan
agar narkoba bisa terbeli. Pengguna memiliki grup yang cukup solid
dalam mengkonsumsi narkoba. Salah satu kawan yang tidak memiliki
uang masih bisa menikmati narkoba yang dibeli secara kolektif. Oleh
karena itu, penggunaan narkoba umumnya tidak dilakukan sendirian;
setiap kali mengonsumsi minimal ada tiga orang yang bergabung.

Seorang informan mengaku sudah 10 tahun lebih mengonsumsi


narkoba, khususnya Sabu. Artinya mereka sudah menjadi pecandu. Harga
1 miligram sabu sekitar Rp. 10.000,-. Untuk memperoleh efek sabu selama
24 jam untuk 3 orang, dibutuhkan sabu sekitar 40 miligram. Jadi dengan
demikian anggaran yang dibutuhkan setiap kali mengonsumsi sabu Rp
400.000,- dalam sehari, atau setara dengan Rp 12 juta dalam satu bulan.
Jika dalam mengonsumsi sabu selalu dilakukan bertiga, maka setiap
orang dalam satu bulan mengeluarkan uang sekitar Rp 4 juta. Ini artinya
penghasilan sebulan harus dikurangi untuk membeli narkoba, dan hal ini
tentu saja mempengaruhi ekonomi rumah tangga.

Kebutuhan biaya untuk membeli narkoba memang cukup besar


terutama bagi kalangan pekerjaan sopir dan pekerjaan lain yang
sekelasnya. Namun demikian, di kalangan pengguna narkoba di

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


108 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Palembang dikenal pembelian narkoba dengan istilah “pahe” atau paket
hemat. Namun karena jumlah yang dikonsumsi sedikit, maka efek yang
ditimbulkan juga tidak lama, yaitu sekitar 2-3 jam. Jadi dengan demikian,
semakin lama efek yang dibutuhkan maka membutuhkan jumlah sabu
yang lebih banyak, dan harganya juga lebih mahal. Agar dapat memperoleh
uang untuk membeli sabu, kadang dilakukan dengan menjadi kurir untuk
sesama teman dalam satu kelompok. Dengan menjadi kurir, maka tidak
perlu mengeluarkan uang untuk membelinya.

Dampak lain dari mengonsumsi narkoba yaitu terhadap kesehatan.


Secara umum tidak ada data yang mengungkapkan jumlah orang sakit
akibat menggunakan narkoba, namun dari hasil wawancara dapat
diketahui beberapa jenis penyakit yang diakibatkan dari penggunaan
narkoba. Menurut petugas rehabilitasi NAPZA di RS Elnardi Bahar
Palembang, dampak mengonsumsi narkoba terhadap kesehatan dapat
diketahui setelah pengguna narkoba menjalani rehabilitasi. Pada
umumnya keluhan mereka yaitu badan merasa sakit dan terjadi gangguan
kejiwaan. Ketergantungan narkoba tersebut begitu tinggi karena pada
umumnya mereka sudah mengkonsumsi narkoba selama atas 10 tahun
lebih.

Menurut pengakuan seorang pengguna narkoba, keluhan yang


dirasakan yaitu sakit seluruh tubuh, badan terasa tidak enak, tulang
terasa mau copot dan ada perasaan kecurigaan berlebihan kepada setiap
orang. Seorang peserta FGD di Lapas Narkotika Kelas II Palembang
menyebutkan dampak penggunaan narkoba, yaitu perasaan selalu ingin
marah, badan terasa lemas jika tidak segera mengkonsumsi narkoba,
gigi mudah goyang dan lepas, serta tulang terasa sakit. Jika sudah
terasa sakit, maka hanya narkoba yang bisa dijadikan obatnya. Selain
itu, dampak mengonsumsi narkoba juga bisa mempengaruhi otak yaitu
menjadi mudah lupa. Dampak lainnya, khususnya narkoba jenis sabu
yaitu penyakit paru-paru. Sedangkan dampak ekstasi yaitu pembuluh
darah dapat pecah.

Informasi lain tentang dampak kesehatan diperoleh dari wawancara


dengan pengguna narkoba di Lapas, yakni badan terasa sakit setelah
masuk Lapas, karena badan membutuhkan asupan sabu. Jika tidak
menggunakan sabu akan timbul rasa ketakutan seolah-olah ada yang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 109
mengikuti, dan rasa percaya diri berkurang. Ketika ketergantungan
narkoba ini tidak diatasi, maka akan muncul emosi yang tinggi, marah-
marah dan mau menang sendiri. Jadi dengan demikian, dampak
kesehatan dari penggunaan narkoba tidak hanya berkaitan dengan
kesehatan fisik tetapi juga kesehatan mental, misalnya mengalami gejala
halusinasi atau waham. Jika hal itu diketahui pada saat akan direhabilitasi,
maka pengguna narkoba kemudian dipindahkan ke bagian kejiwaan, dan
secara khusus akan ditangani oleh dokter jiwa.

Ketergantungan pada narkoba juga memiliki dampak sosial, terutama


jika mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli narkoba.
Pengguna narkoba di kalangan pelajar yang belum memiliki penghasilan
akan menggunakan tipu muslihat atau membohongi orang tua agar bisa
membeli narkoba. Sementara itu, kalangan orangtua pada umumnya tidak
mengetahui jika anaknya pengguna narkoba. Oleh karena itu, para orang
tua menjadi kaget ketika anaknya ditangkap polisi, sehingga menambah
beban keluarga karena harus berurusan dengan hukum. Dampak sosial
lainnya yaitu orangtua akan menjadi malu terhadap saudara/famili atau
tetangga jika mengetahui anaknya terlibat dengan narkoba. Hal itu akan
menjadi satu aib bagi keluarga, dan citra keluarga menjadi buruk di mata
orang lain.

Seorang ibu rumah tangga yang diwawancarai menceritakan


bahwa anaknya tiba-tiba ditahan padahal sepengetahuannya anaknya
itu tergolong baik. Anaknya teriak-teriak di tahanan Polsek karena minta
keluar. Melihat anaknya seperti itu, orang tua ini meminta jangan ditahan
karena pengguna awal dan narkoba yang dikonsumsi sangat sedikit,
yaitu kurang dari 1 gram. Menurutnya, dengan merujuk pengalaman
tetangganya, jika mengkonsumsi shabu dalam jumlah sedikit bisa keluar
dari tahanan, tetapi harus keluar uang. Tampaknya orang tua ini saat
itu mengalami kebingungan; di satu sisi ingin anaknya bisa keluar dari
tahanan, tetapi disisi lain tidak memiliki uang yang untuk mengeluarkan
anaknya dari tahananan.

Dampak sosial dari penggunaan narkoba di level rumah tangga


dapat dilihat dari pengakuan seorang informan yang mengemukakan
bahwa ketergatungan pada narkoba berpengaruh pada gairah kerja.
Hal itu karena narkoba digunakan sebagai “doping”, sehingga jika tidak

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


110 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
mengonsumsi narkoba akan menjadi malas bekerja. Kecenderungan
seperti ini yang paling dirugikan yaitu keluarga. Seorang informan
menceritakan ada seorang istri terpaksa harus menyediakan shabu untuk
suami agar dapur bisa tetap mengepul.

4. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Narkoba

4.1. Pembinaan di LAPAS

Lapas Narkotika di Palembang Sumatera Selatan didirikan pada


tahun 2015. Lapas Narkotika ini khusus untuk laki-laki, sedangkan untuk
perempuan ditempatkan di Lapas Merdeka Kota Palembang. Sampai saat
ini jumlah warga binaan Lapas Narkotika Palembang Sumatera Selatan
sebesar 941 orang, padahal daya tampung hanya 400 – 500 orang. Jadi
dengan demikian, Lapas Narkotika menampung 2 kali lipat dari daya
tampung ideal.

Daya tampung lebih berpengaruh pada kesiapan sarana dan


prasarana Lapas, keterbatasan sumber daya manusia dalam pelayanan
lapas maupun keterbatasan makanan, obat-obatan dan anggaran.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut akan berdampak terhadap
kenyamanan, keamanan dan kesehatan para warga binaan. Kondisi yang
demikian sangat mudah memicu konflik bahkan bisa memicu terjadinya
kerusuhan di dalam lapas karena masing-masing warga binaan saling
mementingkan diri sendiri.

Warga binaan di Lapas narkotika umumnya karena ditangkap polisi.


Mereka divonis sangat beragam, mulai dari 2 tahun sampai 4 tahun.
Menurut pengakuan mereka, mereka mendapatkan narkoba karena
ditawari orang yang diperkenalkan oleh temannya. Mereka ditawari
shabu tetapi mereka harus mengantarkan sabu ke orang tertentu. Cara
pembayarannya dilakukan secara transfer. Kurir ini hanya mengantar agar
bisa mendapatkan upah mengantar berupa sabu, agar kebutuhan sabu
tiap hari terpenuhi. Pada umumnya mereka mengaku tidak mengenal
pemasok sabu.

Lapas narkotika Palembang juga melakukan program rehabilitasi,


yang bertujuan agar pengguna atau pengedar narkoba dapat kembali ke

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 111
masyarakat seperti semula. Program rehabilitasi yang dilakukan di Lapas
Narkotika Palembang dikoordinasikan dengan BNN. Program rehabilitasi
ini baru berjalan mulai tahun 2017 karena keterbatasan dana, dan fasilitas
rehabilitasi baru dapat dilakukan kepada 30 orang binaan per 3 bulan.
Warga binaan yang direhabilitasi dan tidak direhabilitasi ditempatkan
dalam blok yang berbeda.

Rehabilitasi yang dilakukan diarahkan untuk kesehatan fisik dan


mental. Seorang pembina rehabilitasi mengakui bahwa rehabilitasi belum
berjalan maksimal karena keterbatasan sumberdaya pelaksanaan. Untuk
itu itu menurutnya tenaga konsuler dari BNN perlu ditambah karena
jumlahnya masih terbatas.

Untuk menjalankan program rehabilitasi kesehatan, di dalam Lapas


Narkotika telah tersedia klinik yang dilengkapi dengan ruangan rawat inap
dan obat-obatan yang berkualitas serta telah dilengkapi dengan tenaga
dokter umum maupun psikiater. Pelayanan kesehatan ini dilakukan sesuai
dengan kebutuhan.

Rehabilitasi sosial juga dilakukan di dalam Lapas, melalui


tindakan pembinaan yang bertujuan untuk mengembangkan sikap
kemasyarakatan dan menanamkan sikap sosial, dan setelah kembali ke
masyarakat diharapkan agar tidak mengulangi kembali penyalahgunaan
narkoba. Program rehabilitasi ini dipadukan dengan metode yang
relevan, yaitu modifikasi komunikasi secara individu atau kelompok yang
bersifat kekeluargaan. Petugas Lapas dan para Pembina berperan aktif
untuk melakukan pendekatan terhadap para peserta rehab agar mereka
membuka diri mengutarakan permasalahan yang mereka hadapi.

Untuk menanggulangi penyalahgunaan narkoba, di Lapas Narkotika


Palembang juga dilakukan dengan pendekatan keagamaan. Hal ini
dilakukan dengan cara menanamkan nilai-nilai keagamaan agar para warga
binaan dapat melupakan dan meninggalkan kebiasaan buruk menggunakan
narkoba, sehingga setelah kembali ke masyarakat dapat menjadi orang yang
baik. Untuk keperluan itu Lapas Narkotika Palembang telah melengkapi
sarana ibadah. Rehabilitasi keagamaan dalam Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Klas IIA Palembang ini dilaksanakan dalam bentuk ceramah
keagamaan secara rutin sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


112 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Menurut Eleonora (2011), penyakit akibat narkoba itu berbeda
dengan penyakit lainnya. Pengobatan ketergantungan terhadap narkoba
sangat rumit dan kompleks karena menyangkut aspek organ biologi dan
sosiokultural. Hal ini juga yang menjadi alasan bagi pembina rehabilitasi
bahwa tidak ada jaminan setelah keluar dari panti rehabilitasi, seorang
binaan tidak akan mengkonsumsi narkoba lagi kecuali pindah kerja atau
keluar dari lingkungan. Selama lingkungan sosial belum berubah, maka
potensi mengkonsumsi narkoba masih sangat terbuka. Menurut warga
binaan yang mengikuti program rehabilitasi, pelaksanaan rehabilitasi
selama 3 bulan itu belum menjamin dapat kembali ke masyarakat dan
keluarga, karena faktor lingkungan sangat menentukan.

4.2. Pembinaan melalui Rehabilitasi

Rehabilitasi Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) antara


lain dilaksanakan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar. Rumah sakit ini sudah ada
sejak tahun 2003, namun pada waktu itu belum ada program rehabilitasi.
Program rehabilitasi dengan konsep hospital base baru dilakukan sejak
tahun 2015. Kapasitas yang dapat ditampung di Rehabilitasi NAPZA
Palembang sebanyak 51 orang dan pada saat ini jumlah binaan hanya
14 orang.

Rehabilitasi NAPZA RS Ernaldi Bahar berada di bawah naungan


Kementerian Kesehatan, dan pendanaan sepenuhnya bersumber dari
APBN Kemenkes RI. Rehabilitasi ini bertujuan agar pengguna atau
pengedar narkoba dapat sehat secara fisik dan mental, dan dapat kembali
berbaur ke masyarakat seperti semula.

Konsep pembinaan yang dilakukan oleh Rehabilitasi NAPZA bersifat


hospital base; artinya berkaitan dengan layanan medis, dengan tujuan
untuk mengatasi (narkotika alkohol psikotropika dan zat lainnya (NAPZA).
Dengan adopsi konsep hospital base, diharapkan agar pengguna terlepas
dari segala efek penggunaan narkoba sebelumnya, seperti keluhan-
keluhan sakit gigi, nyeri tulang, sakit seluruh tubuh, tidak enak badan.

Pertama kali masuk rehabilitasi dilakukan detoksifikasi. Tujuan


yaitu untuk mengeluarkan racun-racun dari dalam tubuh. Detoksifikasi ini
dilakukan di dalam ruangan untuk mengisolasi dari lingkungan. Pada saat

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 113
detoksifikasi juga dilihat apakah ada perubahan perilakunya. Pengguna
yang tidak mau ikut aturan, dan masih emosional, maka tidak bisa ikut
dalam program rehabilitasi karena dikhawatirkan akan mengganggu yang
lain. Dalam detoksifikasi, klien juga dimonitor perubahan emosinya, pola
tidurnya, dan perubahan pola makan dan minumnya; karena pola makan
pecandu pada umumnya tidak normal.

Didetoktifikasi sebenarnya belum termasuk masuk dalam program


rehabilitasi, karena tujuannya hanya untuk mengeluarkan racun efek
samping sisa pemakaian narkoba. Jika ternyata setelah didetoksifikasi
ternyata tidak ada perubahan perilaku, maka pasien belum bisa direhab,
tapi dianjurkan untuk berobat ke psikiater di rumah sakit jiwa. Setelah
detoksifikasi selama kira-kira dua minggu dan menurut dokter sudah
normal, yang diindikasikan sudah bisa menuruti aturan, maka residen bisa
ikut program rehabilitasi dan pindah ruangan dengan perjanjian tertulis.

Rehabilitasi dapat dilakukan melalui rawat inap dengan cara


Therapheutic Community (TC), yaitu terapi kelompok pengguna/pecandu.
Terapi ini merupakan grup bantu diri; jadi kalau ada teman yang bermasalah,
teman yang lain harus membantu sesama pengguna. Ini dilakukan karena
para pecandu itu dari sejarahnya merupakan komunitas yang memiliki
kelompok kelompok sendiri-sendiri. Oleh karena itu dalam rehabilitasi
mereka diminta untuk saling berempati satu dengan lainnya. Misalnya,
jika ada temannya yang melanggar aturan, maka teman yang lain akan
membantu temannya yang masih bermasalah. Jadi program ini bertujuan
agar mereka menyelesaikan masalahnya sendiri (problem solving).

Dalam program ini residen dibagi dalam beberapa kelompok,


misalnya status younger, middle dan older. Pada saat rehab mereka
dipisah berdasarkan statusnya. Setiap ruangan atau rumah ada yang
tugasnya menjadi pemimpin atau chief, layaknya dalam keluarga; yaitu
ada yang berfungsi sebagai bapak dan ada yang menjadi Ibu atau head.
Selain itu juga ada pembagian departemen, misalnya bagian cuci baju,
cuci piring atau tukang sapu bersih-bersih rumah. Hal itu sebagai sarana
latihannya, untuk membiasakan setelah selesai rehabilitasi.

Rehabilitasi dilakukan selama 3 bulan. Namun jika residen belum sehat


secara fisik dan mental dapat ditambah sesuai kebutuhan. Program rehabilitasi

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


114 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
sebetulnya tidak menjamin seseorang dapat pulih secara total. Oleh karena itu
perlu ada program pasca rehabilitasi untuk memantau perkembangan atau
perubahan perilaku residen dalam masyarakat atau keluarga. Program seperti
itu, yaitu program penjangkauan telah dilakukan oleh lembaga swadaya
masyarakat yang berada di bawah naungan Kementerian Sosial. Lembaga ini
melakukan pemantauan dengan cara menelepon keluarga.

Program rehabilitasi ini nampaknya belum banyak membantu


mengatasi penggunaan narkoba. Salah satu kendalanya yaitu anggaran.
Dengan anggaran yang terbatas, jumlah orang yang keluar dari rehabilitasi
sangat kecil. Jadi dengan demikian, efektifitas dari kegiatan rehabilitasi
ini tidak begitu signifikan jika dibandingkan dengan peningkatan jumlah
pengguna narkoba. Belum lagi soal pasca rehabilitasi yang tidak ada jaminan
mereka akan kembali lagi sebagai pengguna narkoba selama lingkungan
social mereka tidak berubah. Informasi yang diperoleh dari Pembina Panti
Rehabilitasi pada tahun 2017 ada satu orang yang kembali masuk panti
rehabilitasi NAPZA karena belum siap secara mental.

Program pemantauan pasca rehabilitasi tampaknya tidak berjalan


baik karena panti rehabilitasi tidak memiliki program pasca rehabilitasi.
Berdasarkan wawancara dengan pembina rehabilitasi, panti rehabilitasi
melaporkan setiap penghuni rehab yang sudah dipulangkan karena
pemantauan pasca rehabilitasi tidak lagi menjadi tanggungjawab tempat
rehabilitasi melainkan menjadi tanggungjawab BNN. Namun informasi
dari BNN menyebutkan bahwa BNN tidak pernah menerima laporan jumlah
orang yang telah dipulangkan dan jumlah pengguna narkoba yang sedang
direhabilitasi. Jadi dengan demikian, pemantauan pasca rehabilitasi
menjadi persoalan tersendiri.

Tempat Rehabilitasi Narkoba Rumah Sakit Elnardi Bahar juga terbatas.


Jumlah pasien yang diterima tergantung dari jumlah kamar tidur yang
tersedia, yaitu sekitar 50 tempat tidur. Oleh karena rehabilitasi membutuhkan
waktu tiga bulan, maka dalam setahun hanya bisa merehabilitasi sekitar
150 orang pengguna narkoba. Infomasi yang diperoleh dari pembina
menyatakan bahwa 1 orang residen membutuhkan dana sekitar Rp
5.000.000 – Rp.6.000.000,-, yaitu untuk konsumsi, obat-obatan, pakaian
(kaos), dan tenaga Pembina. Besarnya biaya disesuaikan dengan kondisi
residen. Namun biaya tersebut dibebankan pada anggaran Kemenkes.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 115
Rehabilitasi pengguna narkoba juga dilakukan oleh swasta, antara lain
lembaga keagaamaan “dzikirlullah”. Lembaga ini menampung pengguna
narkoba secara gratis dan ditempatkan di dalam asrama, tanpa dipungut
biaya. Warga masyarakat secara aktif datang sendiri minta direhabilitasi.
Hal itu berbeda dengan mereka yang direhab di lembaga pemerintah,
karena umumnya peserta rehabilitasi itu dipaksa oleh keluarganya.
Metode yang digunakan dalam penyembuhan penyalahgunaan narkoba
tidak menggunakan metode modern, seperti detoksifikasi dan lainnya,
tetapi menggunakan metode agama, seperti sholat dan dzikir, dan mandi
di malam hari.

Kesadaran untuk minta direhabilitasi merupakan faktor penting. Oleh


karena itu, meskipun lembaga rehabilitasi keagamaan ini berada di daerah
rawan narkoba, tetap saja belum menjadi daya tarik masyarakat sekitar,
meskipun gratis. Salah satu hal yang menarik dari keberadaan lembaga
rehabilitasi keagamaan ini yaitu tidak ada batas waktu. Jika seorang pasien
sudah sembuh, mereka tetap bisa tinggal di asrama jika diinginkan, karena
takut kambuh kembali mengkonsumsi narkoba jika pulang ke rumah. Di
dalam asrama pasien ini bisa beraktivitas seperti sediakala.

Seorang pasien rehabilitasi di panti rehab keagamaan tersebut


menyatakan bahwa pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman di panti
rehab tersebut yaitu: selama lingkungan sosial tempat asal pengguna
narkoba tetap sama, maka potensi pemulihan menjadi kecil. Dengan kata
lain, program rehabilitasi belum dapat menjamin seseorang dapat pulih
kembali seperti biasa jika lingkungan sosialnya.

5. Upaya Penanggulangan Narkoba Sudah Dilakukan menurut


Pengguna

Narkoba merupakan barang sangat berbahaya yang bisa merusak


susunan syaraf dan bisa merubah kepribadian seseorang menjadi semakin
buruk. Narkoba dapat menjadi sumber tindakan kriminal yang bisa merusak
norma dan ketentraman umum. Narkoba juga dapat menimbulkan dampak
negatif baik terhadap fisik maupun psikologis. Oleh karena itu kalangan
remaja perlu dibina supaya tidak terjerumus ke dalam narkoba. Untuk itu
orang tua harus paling berperan. Manakala orang tua tidak peduli dengan
pergaulan anak- anaknya, maka anak dapat terjerumus ke dalam narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


116 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Hal-hal seperti itu diketahui oleh masyarakat umum, dan mereka
pernah melihat dan mengetahui adanya kegiatan yang diselenggarakan
instansi pemerintah, seperti BNN, Dinas Kesehatan dan Polri. Namun
mereka jarang yang terlibat dalam kegiatan itu. Kegiatan penyuluhan
tentang bahaya narkoba yang sering diketahui yaitu yang dilakukan
untuk kalangan pelajar dan pegawai pemerintah atau swasta. Kalangan
masyarakat umum seperti sopir, anak jalanan belum pernah dilakukan
penyuluhan bahan narkoba.

Advokasi atau pendampingan terkait penyalahgunaan narkoba juga


tidak ada. Informan umumnya tidak pernah mendengar sebuah organisasi
kemasyarakatan yang melakukan pembelaan atau pendampingan kepada
warga masyarakat yang terkena narkoba, terutama mereka yang masih
pemula.

Kalangan pengguna narkoba melihat tidak ada partisipasi aktif


masyarakat dalam membantu penyalahgunaan narkoba. Orang merasa
takut melaporkan jika ada anggota keluarga terkena narkoba, dan warga
masyarakat tidak begitu peduli jika di lingkungan permukiman ada orang
yang memakai atau ada tempat jual-beli narkoba. Tidak ada partisipasi
masyarakat untuk menggalang anti narkoba karena mereka masih takut
melapor ke aparat penegak hukum. Masyarakat juga skeptis soal partisipasi
ini karena semua elemen masyarakat, termasuk penegak hukum dianggap
terlibat dalam pengedaran narkoba. Jadi dengan demikian, partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan penyalahgunaan narkoba sulit
ditumbuhkan selama tidak ada keinginan baik aparat pemerintah dalam
melakukan pencegahan.

Masyarakat juga masih takut melaporkan dirinya untuk direhab


atau diobati, dan orang masih takut untuk melaporkan orang lain di
lingkungannya yang terkena narkoba, karena keluarga pengguna narkoba
merasa kecewa ketika anggota yang masih coba-coba atau pemula tidak
bisa diobati atau direhab tetapi harus di hukum, dan jika mau dilepas
harus mengeluarkan uang. Persepsi pengguna seperti ini tidak mungkin
menumbuhkan partisipasi publik.

Pemberdayaan masyarakat dalam arti kesiapan ketrampilan untuk


bekal setelah keluar dari hukuman dilakukan di Lapas Narkoba. Di luar itu

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 117
pada umumnya informan yang diwawancarai tidak mengetahui kegiatan
pemberdayaan termasuk rumah damping yang menjadi program BNN.
Pemberdayaan ekonomi ini sebenarnya tidak cukup, karena hampir
semua informan yang diwawancarai lebih khawatir jika lingkungan sosial
tempat mereka bergaul tidak dibenahi. Salah seorang pengguna narkoba
menceritakan bahwa pemberdayaan terhadap penyalahgunaan narkoba
yang baik yaitu pemberdayaan yang dilakukan seorang ustadz, karena
masih memperbolehkan tinggal di asrama ketika pulang bekerja di pasar.
Informan ini tidak mau kembali ke tempat semula karena kuatir diajak
untuk minum narkoba lagi.

Upaya lain yang perlu dilakukan menurut pengguna agar dapat


menambah konsuler dari BNN Sumsel karena jumlah konsuler di tempat
rehabilitasi masih terbatas. Selain itu faktor lingkungan menjadi hal
utama karena setelah direhabilitasi lingkungan pergaulan atau ajakan dari
teman kemungkinan besar akan muncul kembali. Oleh karena itu menurut
pendapat para residen, mereka harus pindah tempat tinggal dan pindah
pekerjaan yang jauh dari lingkungan peredaran narkoba. Nasehat keluarga
tidak terlalu berpengaruh terhadap pemakai narkoba.

Tindakan preventif terhadap anak-anak dengan dibekali pendidikan


sekolah, ekstrakurikuler dan pendidikan rohani sejak dini menurut para
residen menjadi salah satu solusi yang baik. Disamping itu, menurut salah
seorang residen untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba, agar hasil
tangkapan dibakar habis dan pencegahan peredaran masuknya narkoba
ke Palembang dapat dicegah. Selain itu cara lain yang perlu dilakukana
yaitu memasukkan materi tentang larangan dan bahaya narkoba di
sekolah-sekolah mulai dari SD, karena pemakai narkoba banyak juga yang
mulai dari SD. Program penyuluhan secara terpadu lintas sektoral antara
BNNP, Kepolisian, dan Lembaga Rehab yang sudah memiliki pengalaman
dalam program rehabilitasi juga perlu dilakukan.

6. Program P4GN dan permasalahannya

Badan Narkotika Nasional (BNN) Sumatera Selatan terus berupaya


memaksimalkan gerakan pencegahan penggunaan narkoba atau gerakan
anti narkoba melalui berbagai program. Hal ini dilakukan mengingat
penyalahgunaan obat-obatan berbahaya tersebut di Sumatera Selatan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


118 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
sudah meresahkan. Jika sudah terlibat dalam penyalahgunaan narkoba,
bukan hanya mengalami ketergantungan, tetapi juga bisa masuk dalam
lingkaran peredaran narkotika.

Dampak penyalahgunaan narkoba tersebut tidak hanya pada jangka


pendek saja akan tetapi juga berdampak pada jangka panjang karena akan
mempengaruhi perkembangan generasi ke depan. Hal ini harus menjadi
perhatian bersama karena tidak cukup hanya mengandalkan tindakan
tegas dari aparat penegak hukum akan tetapi kesadaran masyarakat
jauh lebih penting. Kesadaran masyarakat itu menjadi kunci paling utama
untuk mengurangi peredaran dan penyalahgunaan narkoba Oleh sebab
itu, diperlukan tindakan-tindakan nyata untuk memberikan pemahaman
yang lebih baik kepada masyarakat tentang bahaya narkoba tersebut.

BNN Sumsel terus menggalakkan Gerakan Pencegahan Pemberantasan


Penyalahgunaan dan Peredaraan Gelap Narkoba (P4GN). Gerakan ini
dilaksanakan bersama dengan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan
di kawasan permukiman penduduk dan pusat kegiatan masyarakat lainnya.
BNN juga melibatkan sekolah, kampus perguruan tinggi di wilayah Sumsel.
BNN gencar melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat mengenai
bahaya narkoba hingga sanksi hukumannya jika terjaring razia memiliki atau
menyimpan barang terlarang itu. Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi
semakin menyebarnya penyalahgunaan narkoba.

Tindakan pemberantasan juga terus dilakukan di Kota Palembang.


BNN Sumsel secara terpadu telah melakukan razia di berbagai tempat
yang diduga menjadi tempat pemakaian dan peredaran narkotika. Gerakan
P4GN dan penegakan hukum dilakukan secara tegas kepada siapapun
yang terjaring menyimpan, memiliki, mengonsumsi, dan mengedarkan
narkoba untuk meminimalkan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba di Sumatera Selatan.

Walaupun program pencegahan penyalahgunaan narkoba melalui


gerakan P4GN sudah dilakukan, namun karena semakin kuatnya jaringan
peredaran narkoba maka program-program yang sudah dilakukan
belum mampu mengurangi peredaran dan penyalagunaan narkoba
secara signifikan. Hasil wawancara dengan para informan, mereka
menyatakan bahwa pelaksananan P4GN perlu dilakukan secara terpadu

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 119
melalui lembaga-lembaga lintas sektoral seperti Rumah Sakit, Lembaga
Rehabilitasi, Lapas dan lainnya. Hal itu perlu dilakukan karena masing-
masing lembaga memiliki pengalaman menghadapi para pengguna di
lembaga masing-masing.

Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam program pencegahan


adalah belum adanya upaya perbaikan lingkungan yang kondusif bagi
pengguna narkoba pasca rehabilitasi. Selain itu juga belum ada koordinasi
pemantauan pengguna pasca rehabilitasi. Jumlah pengguna narkoba
yang sudah di rehab di RS setiap tahun misalnya, tidak diketahui BNN
Provinsi. Program rehabilitasi yang dijalankan Lapas juga masih belum
optimal karena keterbatasan anggaran, karena penganggaran sebelumnya
dibantu oleh BNN, tetapi sekarang BNN tidak memberikan bantuan lagi.

Permasalahan lain yaitu belum adanya kesadaran di semua instansi


terkait bahwa pencegahan lebih penting daripada hukuman, terutama
di kalangan pengguna awal yang berlatar belakang ekonomi lemah.
Akibatnya, pengguna narkoba di masyarakat tidak berkurang atau menjadi
sembuh dari ketergantungan narkoba, tetapi malah memunculkan kurir
baru dalam rangka memenuhi kebutuhan narkoba untuk menambah
gairah kerja. Jadi, oleh karena penyalahgunanan narkotika itu telah
banyak mempengaruhi mental dan kesehatan para pengguna narkoba
dan telah menganggu lingkungan, ekonomi dan sosial keluarga, maka
upaya-upaya pencegahan perlu terus dilakukan dengan cara yang lebih
baik dan profesional.

7. Kesimpulan dan Rekomendasi

Penyalahgunaan narkotika di Palembang telah merambah ke semua


lapisan masyarakat baik pekerja wiraswasta, swasta, PNS/Polri, pelajar,
rumah tangga bahkan pengangguran. Menurut informasi yang didapatkan,
hampir di setiap tempat tinggal atau kelurahan mudah mendapatkan
narkotika. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena berdampak pada
kesehatan, ekonomi dan sosial.

Dalam upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba, di Palembang


belum terbangun kerjasama dalam program lintas sektoral untuk dapat
menemukan suatu model baru dalam penanganan peredaran dan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


120 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
penyalahgunaan narkoba di tingkat provinsi bahkan di tingkat nasional.
Koordinasi antara panti rehabilitasi dengan BNN juga belum terbangun
terkait dengan pelaksanaan program pasca rehabilitasi. Padahal ini perlu
dilakukan sebagai evaluasi untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan
panti rehabilitasi yang ada di Palembang, dan untuk mengetahui
permasalahan yang dihadapi oleh mantan pengguna, untuk menentukan
yang perlu dilakukan untuk penanganan selanjutnya.

Walaupun program pencegahan penyalahgunaan narkoba melalui


gerakan P4GN sudah dilakukan, namun karena semakin kuatnya jaringan
peredaran narkoba, maka program-program yang sudah dilakukan belum
mampu mengurangi peredaran dan penyalahgunaan narkoba secara
signifikan. Selain itu, intensitas pelaksananan Program P4GN juga masih
dianggap terbatas.

Pelaksananan P4GN perlu dilakukan secara terpadu oleh lembaga-


lembaga terkait, seperti Rumah Sakit, Lembaga Rehabilitasi, Lapas dan
lainnya, karena masing-masing lembaga memiliki pengalaman tersendiri
dalam menghadapi para pengguna narkoba. Dengan demikian berbagai
upaya pencegahan narkoba perlu dilakukan terus-menerus dengan cara
yang lebih baik dan profesional.

Berkaitan dengan permasalahan narkoba di wilayah Sumatera


Selatan dan Palembang khususnya, berikut beberapa rekomendasi yang
dapat disampaikan:
1. Kerjasama dalam program lintas sektoral perlu dilakukan sehingga
dapat ditemukan suatu model baru untuk menangani peredaran dan
penyalahgunaan narkoba di Sumatera Selatan.
2. Perlu koordinasi antara Panti rehab dengan BNN terutama terkait
dengan penanganan pasca rehabilitasi sebagai bahan evaluasi untuk
mengetahui keberhasilan rehabilitasi
3. Tindakan preventif terhadap para pelajar perlu dilakukan sejak
dini dengan cara memberikan pendidikan ekstrakurikuler yang
mengedukasi para pelajar tentang bahaya penyalahgunaan narkoba
4. Upaya-upaya pencegahan perlu terus dilakukan dengan cara yang
lebih baik dan professional.
5. Tenaga pembina di setiap panti rehab Lapas Narkotika Palembang
supaya ditambah sesuai kebutuhan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 121
DAFTAR PUSTAKA

Liputan6.com. (2018) Polda Sumsel Benarkan Palembang Jadi Pusat


Pasar Narkoba.Diakses dari https://www.liputan6.com/regional/
read/3263105/ tanggal 27 September 2018.

Kompas.com (2018) diakses dari https://regional.kompas.com/ read/


2018/09/07/ 15060901/tanggal 27 September 2018

Eleonora, F.N. (2011). Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha


Pencegahan dan Penanggulangannya. Jurnal Hukum, Volume XXV,
No.1. Jakarta

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


122 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
VI

Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkoba
di DKI Jakarta

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 123
Tari Topeng Betawi
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
124 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN Batik Ciliwung
NARKOBA 2018 Khas Betawi
VI
PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
DI DKI JAKARTA

Oleh:
Dwi Purwoko; Lamijo

1. Pendahuluan

Saat ini Indonesia sedang darurat narkoba. Badan Narkotika


Nasional (BNN) mencatat bahwa jumlah penyalahgunaan narkoba di
Tanah Air mencapai 3,5 juta orang pada 2017. Hampir 1 juta orang di
antaranya bahkan telah menjadi pecandu. Menurut Diah Utami, Deputi
Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, penyalahgunaan narkoba di
Indonesia merupakan masalah yang sangat serius dewasa ini. Dalam
keterangannya Diah Utami mengatakan: “Betapa seriusnya masalah
ini. Jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia diperkirakan telah
mencapai sekitar 3,5 juta orang pada 2017; 1,4 juta merupakan pengguna
biasa dan hampir satu juta telah menjadi pecandu narkoba,”. Selain itu,
lanjutnya, ada lebih dari 12 ribu kematian terkait narkoba setiap tahunnya.
Menurutnya, hal ini tidak hanya merugikan penyalahgunanya sendiri,
tetapi juga merugikan negara baik dari sisi ekonomi dan sosial.

“Pembuatan, penyelundupan, dan penyalahgunaan narkotika terus


berlanjut dan bertumbuh di Indonesia. Hal ini menciptakan sejumlah
dampak negatif meliputi ekonomi, kesehatan, sosial, dan generasi
muda,” ujar Diah.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 125
Saat ini, peredaran narkoba semakin mengkhawatirkan. Data
BNN, menurut Diah, obat terlarang ini tidak hanya beredar di kota besar,
tapi daerah terpencil pun sudah ternodai oleh benda ilegal tersebut.
Pengedar juga tidak pandang bulu ketika “menjajakan dagangannya”.
Mereka menyasar perempuan dan anak-anak. Jadi tentu untuk anak dan
perempuan khsususnya kita berharap peran aktif tidak hanya dari kami
BNN, Kemenkes, dan Kemensos, tapi juga untuk seluruh masyarakat
karena pengguna narkotika adalah orang yang perlu kita obati dan
rehabilitasi,” pinta dia.1

Pernyataan tersebut sesuai dengan data dan fakta di lapangan


bahwa peredaran obat terlarang telah mencapai taraf yang sangat
mengkhawatirkan. Ketika peneliti melakukan FGD dengan pencandu
narkoba yang telah direhabilitasi, mereka banyak yang sudah terkena
sejak duduk di bangku SMP. Bahkan, ada di antara mereka yang telah
mencobanya sebelum memasuki jenjang sekolah menengah. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika penyalahgunaan narkoba dan peredarannya
amat marak di jantung ibu kota Jakarta. Jakarta dengan predikat kota
metropolitan dengan dinamika masyarakatnya, tentunya memerlukan
tempat–tempat hiburan malam dengan pelbagai daya tariknya untuk
melepas penat kehidupan yang amat kompetitif dan cenderung hedonis.
Penyalahgunaan narkoba di ibu kota Jakarta semakin mengkhawatirkan
dewasa ini. Hampir tiap hari kita mendengar atau membaca berita terkait
dengan penangkapan bandar, pengedar, maupun pengguna narkoba di
Jakarta. Bahkan, tidak jarang kita juga membaca berita penggerebekan
polisi ke sarang narkoba, baku tembak polisi dengan gembong narkoba,
hingga ketegasan Presiden Jokowi untuk menghukum mati bandar
narkoba, namun kenyataannya penyalahgunaan dan peredaran narkoba
tidak juga berhenti.

Sejak lama kita telah mendengar adanya beberapa daerah yang


terkenal sebagai sarang narkoba di Jakarta, di antaranya Kampung
Ambon (Kompleks Permata) di Jakarta Barat, Kampung Berlan di Jakarta
Timur, Johar Baru di Jakarta Pusat, Kampung Boncos di Palmerah, Jakarta
Pusat, Kampung Bahari di Jakarta Utara, Kampung Peninggaran di Jakarta
Selatan, dan sebagainya. Penggerebegan pun sering dilakukan oleh pihak

1
https://www.liputan6.com/news/read/3570000/bnn-pemakai-narkoba-di-indonesia-capai-35-juta-orang-pada-2017.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


126 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
berwenang ke daerah-daerah rawan narkoba, namun tampaknya pola
persebaran peredaran gelap narkoba di Jakarta sudah berubah, tidak lagi
hanya terkonsentrasi di daerah-daerah yang sudah di kenal lama sebagai
sarang narkoba. Hal ini tampak dari teridentifikasinya 113 daerah rawan
narkoba di Jakarta.2

Semakin banyaknya daerah rawan narkoba teridentifikasi di Jakarta


menunjukkan bahwa Jakarta merupakan incaran para bandar narkoba
dari berbagai daerah, termasuk dari luar negeri, untuk mengedarkan
barang haram berbahaya tersebut. Kepala BNNP DKI Jakarta Brigjen
Johny Latupeirissa menyebutkan bahwa jumlah pengguna narkoba di
Jakarta mencapai 600 ribu orang3. Dari sekitar 10,4 juta jiwa penduduk
Jakarta, ini artinya ada lebih dari 5% yang menggunakan narkoba. Tentu
ini merupakan angka yang sangat tinggi dibandingkan prevalensi nasional
pengguna narkoba tahun 2017 sebesar 1,77%. Melihat kondisi demikian,
tentu kita tidak akan membiarkan Jakarta dikuasai oleh mafia narkoba
yang bisa menghancurkan generasi penerus bangsa. Untuk mengurai
dan menangani persoalan narkoba di Jakarta, maka perlu diketahui pola
peredaran dan penyalahgunaannya, dampak penyalahgunaan narkoba,
upaya mengatasinya, efektivitas program P4GN, serta strategi yang tepat
untuk menanggungi penyalahgunaan narkoba di Jakarta.

Selain menghadapi permasalahan besar itu, BNNP DKI Jakarta


sebagai salah satu institusi garda depan dalam mengurusi persoalan
narkoba masih mengalami kendala klasik. BNNP DKI dalam strukturnya
organisasi/kepegawaiannya belum ideal, yaitu total pegawai yang
berstatus PNS hanya ada 43 orang. Ditambah dengan pegawai kontrak,
total pegawai berjumlah 77 orang. Bisa dibayangkan, untuk mengurusi
narkoba di DKI Jakarta yang dianggap sebagai barometer Indonesia,
cuma ditangani oleh 43 orang, tentu belum bisa maksimal menjalankan
tugasnya. Selain itu, berbeda dengan Polri yang strukturnya “gendut” di
bawah, BNNP DKI strukturnya “gendut” di atas. Struktur organisasi BNNP
DKI terdiri dari Kepala BNNP, yang saat ini dijabat oleh Brigjen Pol. Johny
Latupeirissa; tiga Kepala Seksi (Kasi Pemberantasan, Kasi Pencegahan
dan Pemberdayaan Masyarakat, serta Kasi Rehabilitasi), dan 7 orang PNS.
Di tingkat kabupaten/kota, ada BNNK. Di DKI Jakarta, setiap BNNK hanya

2
Interview dengan Kepala BNNP DKI Jakarta, Brigjend Johny Latupeirissa, 24 April 2018.
3
https://www.liputan6.com/news/read/3286207/bnnp-dki-pengguna-narkoba-di-jakarta-600-ribu-orang.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 127
ada satu Kepala Seksi dengan tiga pegawai. Meskipun DKI Jakarta ini
memiliki ada 6 wilayah setingkat kabupaten/kota, yaitu Kepulauan Seribu,
Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta
Barat, namun kantor BNNK hanya ada 4 buah, yakni di Kepulauan Seribu,
Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara. Ini tentu sangat ironis,
Jakarta Barat dam Jakarta Pusat yang notabenenya memiliki banyak
daerah rawan narkoba malah tidak ada BNNK nya.

2. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba

2.1. Penyalahgunaan dan Pola Peredaran Narkoba

Sebagai ibu kota negara, Jakarta merupakan magnet bagi banyak


orang dari seluruh penjuru Indonesia untuk datang mengadu nasib
dan berebut kue kesejahteraan di kota yang tahun ini merayakan ulang
tahunnya ke-491 tersebut. Tidak mengherankan jika kepadatan penduduk
Jakarta semakin meningkat. Menurut data BPS, kepadatan penduduk
Jakarta tahun 2018 sebesar 15.663 jiwa/km2 meningkat 0,93% dari tahun
sebelumnya yang hanya 15.518 jiwa/km2 Jumlah penduduk yang sangat
padat tentu memunculkan berbagai persoalan sosial, di antaranya adalah
persoalan penyalahgunaan narkoba.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, penyalahgunaan


narkoba di Jakarta sudah sampai pada tahap yang sangat kritis, karena
lebih dari 5% penduduk Jakarta terpapar narkoba. Ini pun membuktikan
bahwa peredaran narkoba di Jakarta juga sangat besar. Menurut Kepala
BNNP DKI Jakarta:

“Angka prevalensi itu berbanding lurus dengan supply dan demand.


Semakin tinggi prevalensi, maka akan semakin tinggi pula demand
terhadap narkoba, sehingga supply pun akan makin tinggi karena ada
demand yang tinggi “.4

Lebih lanjut, Brigjen Johny menjelaskan bahwa peredaran narkoba di


Jakarta banyak terjadi di tempat hiburan malam (THM), seperti diskotik.
Menurutnya THM ada dua kategori, yaitu: 1) murni hiburan malam, dan

4
Interview dengan Kepala BNNP DKI Jakarta, Brigjen Johny Latupeirissa, 24 April 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


128 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
2) THM yang abu-abu/hitam. Di THM jenis kedua ini biasanya narkoba
diproduksi dan beredar. Contoh kedua ini adalah MG yang baru-baru
ini digrebek dan ditutup, karena di situ juga dijadikan tempat produksi
narkoba. Di tempat itu, ditemukan dua jenis narkoba, yaitu: 1) narkoba
padat/kristal dan 2) narkoba cair (yang tidak berhasil dipadatkan).
Narkoba kristal itu sekitar Rp 2.000.000,- harganya, sedangkan yang cair
(bening seperti air biasa) itu harganya sekitar Rp 400.000,-. Jika narkoba
kristal itu hanya dihirup asapnya dan berpengaruh pada syaraf kepala,
tetapi narkoba cair itu lebih buruk efeknya, karena saat dikonsumsi akan
masuk ke lambung, jadi selain syaraf juga alat pencernaan akan terimbas
oleh narkoba cair itu.

Terkait dengan upaya memetakan penyalahgunaan dan peredaran


gelap narkoba, BNNP DKI Jakarta telah mengidentifikasi daerah-daerah
yang dianggap rawan narkoba di Jakarta, baik berdasarkan laporan
masyarakat maupun kasus narkoba yang terjadi di daerah tersebut.
Selain itu juga dipetakan tingkat kerawanan, serta pengedar dan pemakai
narkoba di Jakarta. Dari peta daerah rawan narkoba (gambar 6.1) dapat
dijelaskan bahwa sabu mendominasi daerah rawan di Jakarta Utara,
terutama di Penjaringan, Tanjung Priok, dan Ancol. Di Jakarta Pusat, sabu
juga banyak disalahgunakan di daerah rawan narkoba seperti di Mangga
Dua, Kemayoran, Rawasari, Kwitang, Johar Baru, Sawah Besar dan Gambir.

Untuk Jakarta Timur, sabu, ganja dan PCC banyak disalahgunakan di


daerah Matraman, Cipinang, Batu Ampar, Pulo Gadung, Cililitan, Jatinegara,
Duren Sawit, dan Rawamangun. Di Jakarta Barat, daerah rawan narkoba
ada di Cengkareng, Kembangan, Grogol, Palmerah, Tambora, Taman
Anggrek, Glodok, Kebon Jeruk, dan Jelambar. Sementara sabu, ekstasi,
ganja, dan kokain mendominasi di daerah rawan narkoba di Jakarta
Selatan, terutama di Mampang, Antasari, Tebet, Kp. Melayu, Ps. Minggu.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 129
Gambar 6.1. Peta Wilayah Rawan Narkoba di DKI Jakarta

JAKARTA UTARA
- Penjaringan (Sabu)
JAKARTA BARAT - Tanjung Priok
- Cengkareng (Sabu) (Sabu)
- Kembangan
- Kebon Pisang
- Grogol
- Kalideres (Sabu) - Ancol (Sabu)
- Palmerah (Sabu & Inex) - Koja
- Taman Anggrek (Sabu)
- Tambora JAKARTA PUSAT
- Kebon Jeruk (Hanoman - Mangga Dua (Sabu, Inex,
& Linting) Happy Water, dan Hago
- Jelambar (Sabu)
Halimah)
- Glodok (Inex, Kokain,
happy water) - Kemayoran (Sabu)
- Rawasari (Sabu)
- Kwitang (Sabu)
- Johar Baru (Sabu)
- Sawah Besar (Sabu)
- Gambir (Sabu)
JAKARTA SELATAN
- Mampang JAKARTA TIMUR
- Antasari (Dom, Sabu, H5, - Matraman
Ekstasi, dan Kokain) - Cipinang (Sabu & Ganja)
- Kby. Lama (Sabu & Ganja) - Batu Ampar (Benzo & PCC)
- Kemang - Tanjung Lengkong
- Mangga Besar (Ekstasi) - Pulo Gadung (Ganja)
- Kamung Melayu (Ganja) - Jatinegara (Sabu)
- Pasangrahan (Sabu) - Cililitan (Sabu)
- Tebet (Sabu&Ekstasi) - Duren Sawit (Sabu)
- Gandaria Utara - Rawamangun (Sabu)
- Pasar Minggu
- Grogol Utara (Sabu)

Sumber: BNNP DKI Jakarta, 2018


Gambar 6.2. Peta Persebaran Daerah Rawan Narkoba di Jakarta Pusat

1
8

3
2
7
5
6 4

Sumber: BNNP DKI Jakarta, 2018

1. Mangga Dua (2) 5. Kwitang (3)


2. Cempaka Baru (5) 6. Johar Baru, Tanah Tinggi (3)
3. Sumur Batu (1) 7. Petojo Selatan, Gambir (3)
4. Rawasari (1) 8. Sawah Besar (1)

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


130 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Gambar 6. 3. Peta Persebaran Daerah Rawan Narkoba di Jakarta Utara

5
4 2
1 3

1. Penjaringan (1)
2. Tanjung Priok (4)
3. Kebon Pisang (3)
4. Ancol (3)
5. Koja
Sumber: BNNP DKI Jakarta, 2018

Gambar 6.4. Peta Persebaran Daerah Rawan Narkoba di Jakarta Barat

1. Cengkareng (5) 6. Taman Anggrek (1)


2. Kembangan (1) 7. Tambora (1)
3. Grogol (2) 8. Kebon Jeruk (1)
4. Kalideres (2) 9. Jelambar (1)
5. Palmerah (1) 10. Itc Glodok (2)
Sumber: BNNP DKI Jakarta, 2018

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 131
Gambar 6.5. Peta Persebaran Daerah Rawan Narkoba di Jakarta Timur

1. Cipinang Besar Utara (1)


2. Kebon Manggis
3. Kampung Makasar
4. Batu Ampar
5. Tanjung Lengkong (2)
6. Pulo Gadung
7. Jatinegara
8. Cililitan
9. Durensawit
10. Rawamangun

Sumber: BNNP DKI Jakarta, 2018

Gambar 6.6. Peta Persebaran Daerah Rawan Narkoba di Jakarta Selatan

1. Pangeran Antasari (2)


2. Mampang Prapatan
3. Kebayoran Lama (5)
4. Kemang
5. Kampung Melayu Besar
6. Ulujami (2)
7. Tebet
8. Gandaria Utara
9. Pasar Minggu
10. Pesanggrahan (2)

Sumber: BNNP DKI Jakarta, 2018

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


132 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Gambar 6.7. Tingkat Kerawanan Daerah DKI Jakarta

Jakarta Barat Jakarta Pusat Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Utara

16% 19%

23%
27%

15% Sumber: BNNP DKI Jakarta, 2018

Menurut BNNP DKI Jakarta, selain persebaran daerah rawan


narkoba, persentase tingkat kerawanan daerah penyalahgunaan narkoba
juga bisa dilihat dari gambar 6.7 di atas. Gambar tersebut menjelaskan
bahwa dari lima daerah di DKI Jakarta, Jakarta Pusat dengan persentase
27% menduduki peringkat pertama sebagai daerah rawan diikuti oleh
Jakarta Selatan (23%), Jakarta Barat (19%), Jakarta Utara (16%), dan
Jakarta Timur (15%).

Dari sisi jenis narkoba yang beredar di DKI Jakarta, grafik 6.8 di bawah
ini menjelaskan secara detail. Sabu menjadi jenis narkoba yang paling
banyak beredar di DKI Jakarta. Dari grafik tersebut bisa dijelaskan bahwa
terdapat sebanyak 26 bandara sabu dan 17 pengguna di Jakarta, diikuti
oleh jenis narkoba yang belum ketahui jenisnya sebanyak 17 bandar dan
8 orang pengguna. Selanjutnya narkoba jenis inex menempati peringkat
ketiga dengan jumlah bandara sebanyak orang dan pemakai sebanyak 5
orang, diikuti oleh jenis kokain (3 orang pengguna), ganja (3 bandar dan 1
pengguna), serta jenis benzodiasepin (1 bandar).

Gambar 6.8. Jenis Narkoba yang Beredar di DKI Jakarta


30
26
25

20 17 17
15

10 7 8
5
5 3 3
1 0 1 0
0
Sabu Ganja Inex Benzodiazepin Kokain Tidak Diketahui
Pemakai Narkoba Bandar Narkoba

Sumber: BNNP DKI Jakarta, 2018

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 133
Tabel 6.1. Jumlah Bandar dan Pemakai Narkoba DKI Jakarta
No Wilayah Bandar Narkoba Pemakai Narkoba
1 Jakarta Barat 9 6
2 Jakarta Pusat 13 8
3 Jakarta Timur 8 4
4 Jakarta Selatan 11 7
5 Jakarta Utara 8 5
Total 49 30
Sumber: BNNP DKI Jakarta, 2018

Dari tabel di atas juga dapat dikemukakan bahwa jumlah Bandar


narkoba yang paling banyak berhasil ditangkap adalah di Jakarta Pusat
sebanyak 13 orang, kemudian diikuti oleh Jakarta Selatan (11 bandar),
Jakarta Barat (9 bandar), serta Jakarta Timur dan Jakarta Utara masing-
masing 8 bandar. Dari tabel di atas juga bisa dijelaskan bahwa untuk
pemakai narkoba yang ada di DKI Jakarta, dari Jakarta Pusat sebanyak 8
orang, Jakarta Selatan (7 orang), Jakarta Barat (6 orang), Jakarta Utara (5
orang), dan Jakarta Timur (4 orang).

Selain pola peredaran narkoba konvensional yang terjadi di THM,


peredaran secara gelap dan dengan jasa kurir atau “kuda” juga semakin
marak di Jakarta. Bahkan, beberapa informan pengguna narkoba
menyebutkan bahwa media sosial dan jasa transportasi online bisa
menjadi media transaksi dan kirim narkoba. Dalam pola peredaran yang
online maupun non-online, dengan perantara kurir atau “kuda”, biasanya
adalah pola transaksi putus atau tidak saling kenal antara pembeli dan
bandar. Meskipun demikian, pola ini sangat riskan karena tidak jarang
petugas berwajib menyamar menjadi pembeli. Seorang informan yang
sedang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika
Cipinang, saat diwawancarai pada tanggal 25 September 2018, bercerita
bahwa dia terjerumus dalam narkoba berawal dari profesi dia sebagai
seorang driver ojek online. Dia tidak tahu bahwa barang yang diantarkan
itu adalah narkoba. Dia hanya bertanya-tanya jika di sering mendapatkan
orderan antar barang di alamat yang sama. Lama-kelamaan karena
kadang harus menunggu, dia diajak masuk ke tempat barang yang
diantarkan. Di situlah kemudian dia dibujuk untuk mencoba narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


134 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Setelah itu, karena dia ingin mendapatkan keuntungan, dia juga berfungsi
menjadi pengedar dengan cari membeli dari bandar. Dia bercerita “karena
untungnya menggiurkan, dari sebagai pengantar saya kemudian beli
sendiri ke bandar untuk saya jual lagi. Saya biasa beli paketan seharga Rp
200.000,- per paket, beli 5 paket dapat bonus satu paket”5.

Mirip dengan cerita di atas, pola perekrutan pengedar dan pengguna


baru narkoba di Jakarta menurut Brigjen Johny Latupeirissa adalah
sebagai berikut:

“......yang jadi sasaran narkoba itu pertama adalah orang-orang kaya.


Jika perempuan ya yang cantik dan gemuk, dengan imingi-iming
mengkonsumsi narkoba bisa jadi langsing. Pertama diberi gratis,
setelah merasakan enak kan dia akan butuh lagi, nah jika saat butuh
dia ada uang gak masalah, tetapi saat butuh tidak ada uang maka si
Bandar akan menawari dia sebagai pengedar narkoba.. .ya seperti itu
polanya. Untuk pria yang diincar biasanya yang mapan dan berkumis,
tapi kadang tidak juga yang penting polanya sama seperti pola yang
diterapkan pada perempuan itu. Jika tidak orang kaya, maka sekalian
orang-orang miskin yang tidak punya kerjaan/penghasilan tetap,
seperti di daerah kumuh di Jakarta Utara itu. Dengan diiming-imingi
upah yang besar mereka dengan mudah akan tergoda untuk menjadi
pengedar dan sekaligus pengguna”.6

2.2. Awal Pemakaian Narkoba

Kebanyakan anak melakukan kontak pertama dengan narkoba


dimulai dengan penggunaan obat eksperimental dalam situasi sosial.
Beberapa faktor berperan dalam penyalahgunaan narkoba, termasuk
masalah keluarga dan pengaruh teman sebaya, kesehatan mental
secara keseluruhan, dan riwayat candu di keluarga. Hal ini menunjukkan
lingkungan amat berpengaruh terhadap penyalahgunaan Narkoba. Salah
seorang peserta FGD di Rumah Damping BNNP DKI menceritakan kisah
awalnya kenal dengan narkoba sebagai berikut:

“Awalnya dulu saya tidak tahu yang namanya narkoba, kelas satu
SMA itu Cuma nongkrong-nongkrong bareng dengan teman, akhirnya

5
Interview dengan seorang pengguna dan pengedar narkoba, Mas X, di LP Narkotika Cipinang, 27 September 2018
6
Interview dengan Kepala BNNP DKI Jakarta Brigjen Johny Latupeirissa, 24 April 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 135
diajak masuk ke kamar sama teman-teman, ini pakai ini. Saya
tidak tahu yang namanya sabu itu seperti apa. Akhirnya dikasihin
aja, dibakarin sama dia, begini caranya. Setelah itu oh inilah yang
namanya sabu. Karena sudah merasa enak, besoknya lagi datang
ke sana minta lagi, tapi tidak bisa, ya akhirnya beli. Besoknya lagi
datang beli begitu seterusnya sampai akhirnya sekolah pun nggak
berjalan. Beberapa kali pindah sekolah, akhirnya tidak bisa. Akhirnya
Paket C. Semuanya rusak.”

Kisah lain tentang perkenalan narkoba juga disampaikan oleh Mas


R (salah satu penghuni di Rumah Damping BNNP DKI Jakarta) dalam
interview secara mendalam pada tanggal 22 September 2018 sebagai
berikut:

“Saya SMP mengenal jenis ganja, tahun 2002, tapi karena saya
nggak cocok, sampai 2008 itu mungkin hanya makai 5 kali. Nah
mulai 2008 ini saya mulai kenal sabu. Jadi history saya kena sabu
ini beda. Lingkungan tempat tinggal saya itu memang sabu, etapi
dari 2002 – 2008 itu saya sama sekali tidak tertarik. Saya tinggal
di situ bersama mereka. Mereka makai tetapi saya hanya ngeliatin.
Entah kenapa sama sekali tidak tertarik. Lalu ada yang ngajakin.
Tahun 2008 itu saya pisah dengan istri saya dan eman satu kantor
saya itu ngajak ke suatu tempat lalu disuguhin dan langsung saya
isap saja. Itu awal saya pakai narkoba. Satu dua tiga belum ada
efek di saya. Setelah sekian kali baru saya dapat feel nya makai
sabu. Nah dari user tahun 2008 itu cepat sekali saya addictnya…”.

Dalam pandangan Becker, konsep perilaku penyalahgunaan


narkoba ini merupakan pengembangan dari konsep perilaku hidup sehat
yang terkait dengan pengetahuan kesehatan (health knowledge), sikap
terhadap kesehatan (health attitude), dan praktik kesehatan (health
practice). Hal ini berguna untuk mengukur seberapa besar tingkat
perilaku kesehatan individu yang menjadi unit analisis penelitian. Becker
mengklasifikasikan perilaku kesehatan menjadi tiga dimensi, yaitu 1)
Pengetahuan Kesehatan; Pengetahuan tentang kesehatan mencakup
apa yang diketahui oleh seseorang terhadap cara-cara memelihara
kesehatan, seperti pengetahuan tentang narkoba pengetahuan
tentang faktor-faktor yang terkait dan atau memengaruhi kesehatan,
pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan, dan pengetahuan
untuk menghindari narkoba; 2) Sikap terhadap kesehatan; sikap yang
sehat dimulai dari diri sendiri, dengan memperhatikan kebutuhan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


136 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
kesehatan dalam tubuh dibanding keinginan; dan 3) Praktik kesehatan:
Praktik kesehatan untuk hidup sehat adalah semua kegiatan atau aktivitas
orang dalam rangka memelihara kesehatan, seperti tindakan terhadap
peyalagunaan narkoba, tindakan terhadap faktor-faktor yang terkait dan
atau memengaruhi peyalahgunaan narkoba.

Penelitian menunjukkan bahwa orang yang mulai bereksperimen


pada usia muda memiliki kesempatan lebih tinggi mengidap kecanduan
di kemudian hari. Inilah sebabnya mengapa penting untuk melihat tanda-
tanda dari penyalahgunaan zat pada remaja dan dewasa muda awal.
Kebanyakan individu mulai menyalahgunakan setidaknya satu substansi
sebelum menjadi pecandu utuh. Ada garis tipis antara penggunaan biasa
dengan penyalahgunaan dan kecanduan narkoba. Sangat sedikit pecandu
mampu mengenali ketika mereka telah melewati garis itu. Sementara
frekuensi atau jumlah obat yang dikonsumsi tidak selalu merupakan
penyalahgunaan obat atau kecanduan, kedua hal ini sering dijadikan
indikator masalah terkait obat-obatan terlarang.

Menurut konferensi Narkoba di Wina tahun lalu, di dunia ini ada


800 jenis narkoba. Sementara menurut laporan dari Hong Kong, di dunia
sudan beredar 1100 jenis narkoba. Di Indonesia, diketahui ada 77 jenis
narkoba yang beredar (berdasrkan hasil riset UI), sedangkan menurut UU
Narkoba, di Indonesia ada 66 jenis narkoba. Ironisnya, walaupun diketahui
ada 66 jenis narkoba, tetapi hingga saat ini BNN hanya memiliki 7 alat tes
narkoba. Ini artinya di luar ketujuh jenis narkoba itu akan sulit terdeteksi
karena belum ada alatnya. Ibarat mau bertempur menumpas narkoba,
tetapi senjatanya tidak lengkap, sehingga susah untuk menang.7

Jenis Narkoba di antaranya adalah tumbuhan ganja yang telah


dikenal manusia sejak lama dan digunakan sebagai bahan pembuat
kantung karena serat yang dihasilkannya kuat. Biji ganja juga digunakan
sebagai sumber minyak. Namun, karena ganja juga dikenal sebagai sumber
narkotika dan kegunaan ini lebih bernilai ekonomi, orang lebih banyak
menanam tumbuhan ini dan banyak tempat disalahgunakan. Di sejumlah
daerah penanaman ganja sepenuhnya dilarang. Di beberapa negara
lain, penanaman ganja diperbolehkan untuk kepentingan pemanfaatan

7
Wawancara dengan Kepala BNNP -DKI

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 137
seratnya. Syaratnya adalah varietas yang ditanam harus mengandung
bahan narkotika yang sangat rendah atau tidak ada sama sekali. Bagi
penggunanya, daun ganja kering dibakar dan dihisap seperti rokok, dan
bisa juga dihisap dengan alat khusus bertabung yang disebut bong.

Tanaman ini ditemukan hampir disetiap negara tropis. Bahkan


beberapa negara beriklim dingin pun sudah mulai membudidayakannya
dalam rumah kaca. Selain ganja adalah Morfin. Morfin merupakan
alkaloid analgesik yang sangat kuat dan merupakan agen aktif utama
yang ditemukan pada opium. Morfin bekerja langsung pada sistem saraf
pusat untuk menghilangkan sakit. Efek samping morfin antara lain adalah
penurunan kesadaran, euforia, rasa kantuk, lesu, dan penglihatan kabur.
Morfin juga mengurangi rasa lapar, merangsang batuk, dan meyebabkan
konstipasi. Morfin menimbulkan ketergantungan tinggi dibandingkan zat-
zat lainnya. Pasien morfin juga dilaporkan menderita insomnia dan mimpi
buruk. Jenis yang lain adalah kokain, yaitu senyawa sintetis yg memicu
metabolisme sel menjadi sangat cepat. Kokain merupakan alkaloid yang
didapatkan dari tanaman Erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika
Selatan, di mana daun dari tanaman ini biasanya dikunyah oleh penduduk
setempat untuk mendapatkan “efek stimulan”

Selain itu ada jenis obat terlarang yang lain yaitu Narkotioka. Narkotika
berasal dari bahasa Inggris “narcotics” yang artinya obat bius. Narkotika
adalah bahan yang berasal dari 3 jenis tanaman Papaper Somniferum
(Candu), Erythroxyion coca (kokain), dan cannabis sativa (ganja) baik
murni maupun bentuk campuran. Cara kerjanya mempengaruhi susunan
saraf yang dapat membuat kita tidak merasakan apa-apa, bahkan bila
bagian tubuh kita disakiti sekalipun. Jenis-jenisnya yaitu: Opium atau
Opioid atau Opiat atau Candu, Codein atau Kodein, Methadone (MTD), LSD
atau Lysergic Acid atau Acid atau Trips atau Tabs, PC, mescalin, barbiturat,
Demerol atau Petidin atau Pethidina, Dektropropoksiven dan Hashish
(berbentuk tepung dan warnanya hitam). Ia dinikmati dengan cara diisap
atau dimakan. Narkotika jenis yang kedua ini agak tidak berbahaya hanya
karena jarang membawa kematian)

Jenis psikotropika adalah bahan lain yang tidak mengandung


narkotika, merupakan zat buatan atau hasil rekayasa yang dibuat dengan
mengatur struktur kimia. Mempengaruhi atau mengubah keadaan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


138 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
mental dan tingkah laku pemakainya. Jenis-jenisnya yaitu: Ekstasi atau
Inex atau Metamphetamines, Demerol, Speed, Angel Dust, Sabu-sabu
(Shabu/Syabu/ICE), Sedatif-Hipnotik (Benzodiazepin/BDZ), BK, Lexo,
MG, Rohip, Dum, Megadon dan Nipam. Jenis Psikotropika juga sering
dikaitkan dengan istilah Amfetamin, di mana Amfetamin ada 2 jenis
yaitu MDMA (metil dioksi metamfetamin) dikenal dengan nama ekstasi.
Nama lain fantacy pils, inex. Kemudian jenis lain adalah Metamfetamin
yang bekerja lebih lama dibanding MDMA (dapat mencapai 12 jam)
dan efek halusinasinya lebih kuat. Nama lainnya shabu, SS, ice. Ketika
melakukan FGD kebanyakan peserta yang memberi informasi lebih
banyak mengkonsumsi Sabu.

2.3. Dampak Penyalahgunaan Narkoba

Penyalahgunaan narkoba memiliki dampak yang multidimensi, baik


kesehatan, ekonomi, maupun sosial, sebagaimana pengakuan informan
pengguna narkoba yang diinterview, baik di Rumah Damping Pasca
Rehabilitasi milik BNNP DKI Jakarta maupun di Lembaga Pemasyarakatan
Khusus Narkotika Cipinang.

2.3.1. Dampak terhadap Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu dampak yang bisa secara cepat


dirasakan oleh para pengguna narkoba. Pengguna narkoba biasanya
akan lebih aktif dan responsif terhadap lingkungan sesaat setalah
menkonsumsi narkoba. Tidak jarang mereka merasa lebih kuat dan tahan
lama untuk beraktivitas. Namun, pemakai narkoba merasakan dampak
sesak napas, susah tidur, lemas, dan malas. Kondisi lemah dan lemas ini
akan kembali pulih saat mereka mengkonsumsi lagi narkoba. Ini artinya
zat adiktif dalam narkoba memaksa mereka untuk terus mengkonsumsi
narkoba dan sangat sulit lepas dari jeratan ketergantungan ini.

Dari diskusi di Rumah Damping Pasca Rehabilitasi Narkoba


disebutkan bahwa seorang pengguna narkoba paling lama rata-rata
hanya tahan 3 hari untuk tidak mengkonsumsi narkoba. Artinya, minimal
3 hari sekali mereka harus mengkonsumsi narkoba. Dampak lebih jauh
narkoba terhadap kesehatan adalah kematian. Lebih lanjut, Mas R, dalam
wawancara tanggal 22 September 2018, mengatakan bahwa secara

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 139
kesehatan pemakaian narkoba sangat berpengaruh. Dia menjelaskan
bahwa memakai narkoba itu ada plus minusnya.

“Dulu sebelum saya memakai berat badan saya maksimal itu 40


– 45 kg, namun setelah saya makai berat saya maksimal 60 kg.
secara konfiden juga berubah. Dulu saya tidak bisa ngomong seperti
sekarang ini. Jadi ada plus minusnya ya. Ketika si zat itu masuk,
karena namaya amphetamine ya, agresivitas kita jadi muncul. Saat
saya sakit dan pakai, saya jadi lebih sehat dari orang sehat, segala
demam batuk flu ilang, nikmatnya tuh itu. Secara fisik tidak ngaruh
ya, karena selain memakai saya tetep olah raga. Saya makai, saya
main bola ….”

Hal lain terkait dampak kesehatan diungkapkan oleh Mas K, residen


di Rumah Damping BNNP DKI, saat interview 22 September 2018 sebagai
berikut:

“Kalau sakaw sih tidak, sakaw itu jaman putaw yang sampai mengiris-
iris tangan. Sabu ini lebih ke dampak emosi. Emosi itu tidak akan bisa
dikendalikan. Emosi sering berantem dan kelahi sama orang tua duk
der duk der duk der, akhirnya dikasih uang dan setelah makai sadar,
kok saya kayak gini. Sampai pernah tersirat bunuh diri pernah. Secara
fisik sudah banya, nih bekas silet-silet di tangan. Dampak fisiknya
jauh beda, jadi kurus kering. Saat saya masih makai berat saya 45
kg, sekarang saya 65 kg, beda 20 kg. Dampak psikis sih, halusinasi,
tapi bergantung orangnya juga karena masing-masing orang setelah
menggunakan punya efek yang berbeda, mungkin gak tahan dengan
permasalahan yang dihadapi, akhirnya kejiwaan mereka terganggu.
Kalau sudah terkena halusinasi, Rumah Sakit Jiwa, gila. Banyak
kasus. Kalo di tempat saya, di Lombok, rumah sakit jiwa di bangun
di deket panti rehabilitasi. Mereka jika sudah tidak bisa ditangani
di rehabilitasi ini ya udah ditempatkan di rumah sakit jiwa, begitu
caranya langsung ke sana…”.

Sementara, hal lain terkait dampak kesehatan dikemukakan juga oleh


seorang warga binaan Lapas Narkotika Cipining, Mas M, dalam interview
pada 27 September 2018. Mas M secara detail mengatakan bahwa:

“Pada awalnya kan saya tidak suka dengan bau ganja. Ketika saya
putuskan untuk coba, saya dapat klik gitu, kok tenang, dan meningkatkan
rasa lapar saya, trus kita juga lebih ceria gitu, tertawa, ada eforia gitu. Dan
saya suka baca buku jadi baca buku lebih tenang, karena saya juga tak
suka keramaian. Jadi ya dapat ketenangan ketika saya mengkonsumsi

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


140 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
ganja. Saya bisa punya dunia saya gitu. Kalau dari dampak kesehatan
medis, yang pertama, saya nggak produktif lama kelamaan hari-hari
saya. Kuliah saya makin berantakan, menunda nunda kerjaan kuliah
tentu. Lebih ada kecenderungan untuk merusak itu pasti….”

2.3.2. Dampak Ekonomi

Penyalahgunaan narkoba berdampak ekonomi secara signifikan.


Mas R, seorang pengguna yang menghuni Rumah Damping BNNP DKI
Jakarta bercerita tentang dampak ekonomi penggunaan narkotika
sebagai berikut:

“Wah kacau. Ya seperti saya bilang tadi, saya itu dulu kerja di PDAM.
Itu saja ibaratnya gaji pokok saja sudah gede, belum lagi uang masuk
lainnya. Itu pokoknya yang namanya utang, disatu sisi saya tiap
hari juga harus makai lagi, otomatis ya tak tertolong lah. Motor itu
bolak-balik saya gadaikan. Orang tua saya sudah nebus motor itu
berpuluh kali,…dan pada akhirnya terjual saya. Pertama kan gadai
gopek, sejuta, sejuta lima ratus, sampai mana kesanggupan motor ini
kan nilai gadainya. Dan orang tua saya berapa kali sudah beli motor
itu….saya tipe pengguna dosis tinggi, saya beli sendiri dan saya pakai
ramai-ramai dengan teman saya yang bayar. Dosis saya tidak bisa
sehari, jika pagi saya pakai dan siang terasa gak enak saya akan
beli lagi. Kalo tiga orang itu minimal seperampat gram dan seharga
Rp 300.000. itu buat dua orang tiga orang lumayan lah. Itu beli dari
Bandar, dan dulu saya juga pernah jadi bandar…”.

Harga narkoba sangat mahal, berkisar Rp 200.000,- untuk satu


paket yang biasanya hanya seberat 1 gram saja. Ketika kemampuan
keuangan pemakai narkoba tidak sebanding dengan kebutuhan untuk
mengkonsumsi narkoba, maka dampak domino ekonomi akan terjadi
dengan sendirinya. Para pengguna narkoba biasaya akan berbohong
meminjam uang dari keluarga, kerabat, atau teman dengan alasan
tertentu yang sebenarnya untuk membeli narkoba. Selain itu, tidak jarang
mereka juga mengambil barang-barang keluarga untuk dijual agar bisa
membeli dan mengkonsumsi narkoba. Seorang pengguna narkoba yang
sedang dalam masa peralihan di Rumah Damping BNN DKI Jakarta,
Mas K, bercerita bahwa ia sudah tiga kali terjerat narkoba dan tiga kali
pula masuk ke panti rehabilitasi. Perekonomian keluarganya morat-marit
karena ulahnya mengkonsumsi narkoba. Hutangnya begitu banyak

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 141
kepada teman dan kenalannya sehingga tak sanggup lagi dibayar, dan
akhirnya rumah orang tuanya terpaksa dijual untuk melunasi hutang-
hutannya karena narkoba. Secara detail Mas K bertutur sebagai berikut:

“Dari keluarga sangat jelas. Saya dari orang tua dulu enak karena
ayah ibu kerja dua-duanya. Jadi ekonomi masih bisa di atasi. Jadi
minta duit segini walaupun diomeli tapi dikasih. Tapi setelah ayah
meninggal, kan ibu saja yang cari uang, jadi secara ekonomi jadi
lebih susah. Rumah udah kejual dan kita pindah ke rumah kecil, itu
gara-gara saya sendiri. Sampai segitunya. Orang tua itu tidak pernah
bilang itu bilang ini, tapi kan kita minjem-minjem di orang lain, jadi
siapa yang akan ditanyain jika saya tidak bisa bayar, berarti orang tua.
Pastilah semua yang tanggulangi orang tua. Sampai jugalrumah utuk
jual utang saya sendiri. Ibu gak akan tanggung jawab juga gak bisa,
orang tua kan gimana sampai anaknya pernah beberapa kali mau
dilaporkan polisi.”8

2.3.3. Dampak Sosial

Sanki sosial berupa dikucilkan dari lingkungan dan keluarganya


dicemooh merupakan beberapa dampak sosial dari penyalahgunaan
narkoba. Namun, hal ini tidak membuat mereka jera untuk terus
mengkonsumsi narkoba. Seorang pengguna narkoba yang sedang
menjalani masa hukuman di LP Narkotika Cipinang, saat FGD tangga 27
September 2018 menceritakan bahwa masyarakat sekitarnya memang
tidak secara nyata memusuhi atau mengucilkan dirinya dan keluarganya,
tetapi justru keluarga besarnya, seperti pamannya, bibinya, dan kerabatnya
yang lain menjauhinya dan memusuhinya. Lebih lanjut dia bercerita
sebagai berikut:

“Untuk di keluarga besar aja, di keluarga besar punya bibi, punya


paman, punya nenek, [unya kakek, sedangkan saya punya ibu, nah
untuk ibu saya untuk bergaul ke, bukan saya lho, ibu saya, kakak,
adik saya, untuk mereka untuk bisa bergabung, bicara dengan
keluarga besar itu sangat sulit juga, maksudnya mereka sudah dicap
juga, wah ini sudah tidak bisa urus anak, ini anaknya buat masalah.
Pokoknya sampai keluarga, kakakku, ikut-ikutan untuk malu ke
rumah kakek, adek- adek juga malu ke rumah kakek, apa lagi ibu yang
selalu disalahkan setiap ada masalah. Setiap ada masalah didengar
keluarga besar ibu yang disalahkan, ini gimana sih ngurus anak…”.

8
Interview dengan Mas K, Rumah Damping BNNP DKI, 22 Sepetember 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


142 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Berbeda dari yang dialami oleh pengguna narkoba yang sedang
dipenjara di LP Narkotika Cipinang, seorang pengguna yang ada di Rumah
Damping BNNP DKI Jakarta, Mas R, saat wawancara pada tanggal 22
September 2018 justru bercerita bahwa masyarakat sekelilingnya tidak
memberikan sanksi apa pun karena dia dan keluarganya merupakan
keluarga yang terpandang dan cukup berpengaruh di lingkungannya.
Secara lebih detail dia bercerita:

“ Kalo saya pribadi di lingkungan termasuk orang terpandanglah.


Mama saya guru. Jadi kalo orangnya dominan kan rusuh, kalau saya
nggak. Jadi saya tidak ada masalah dengan lingkungan. Kalaupun
saya berbuat onar tidak dengan lingkungan tetapi dengan keluarga
saya sendiri. Akhirnya lingkungan juga tahu saya makai sabu, tetapi
penilaiannya nggak seburuk yang lainnya, karena saya tidak pernah
nyeleneh, malah saya, teman-teman lingkungan saya kan preman
juga ya. Saya pantang ribut-ribut. Kita ini sudah makai. Dengan makai
itu sebenarnya sudah mengganggu, jadi buat apa kita buat ribut saya
bilang. Kalau kita mau makai aman sudah jangan ribut-ribut. Sudah
sama-sama gede. Tapi kalau di rumah wah berantem. Karena makai
sabu itu berpengaruh di emosi, hal kecil bisa jadi gede. Hal yang perlu
ribut bisa jadi ribut. Nggak bisa dipungkiri itu. Dibangunin dikit aja kita
sudah tersinggung. Ditegur aja sedikit yang sebenarnya biasa aja tapi
kita sudah anggap terlalu…”

3. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Narkoba

3.1. Pembinaan di Lapas

Hampir semua warga binaan yang sedang menjalani masa hukuman


di Lapas Narkotika mengatakan ingin taubat tidak akan lagi menggunakan
narkoba setelah mereka selesai menjalani masa hukuman. Perlu diketahui
bahwa para warga binaan yang dihukum di Lapas Narkotika Cipining ini
masa hukumannya rata-rata di atas 5 tahun karena mereka dikategorikan
sebagai pengedar. Dari diskusi dengan beberapa warga binaan di Lapas
Narkotika Cipinang, secara garis besar mereka menilai bahwa pembinaan
di Lapas Narkotika Cipinang cukup baik dan efektif untuk memberikan
kesadaran mereka untuk kembali ke jalan yang baik.

Program pembinaan di Lapas Narkotika Cipinang sebenarnya telah


dimulai sejak pertama kali mereka menginjakkan kaki di Lapas Cipinang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 143
dengan ditempatkan di Blok tersendiri khusus untuk yang baru datang.
Di blok Penaling (pengenalan dan penyesuaian lingkungan) ini mereka
bisa tinggal selama satu bulan. Setelah terpetakan potensi, minat, masa
hukuman, dan sebagainya, mereka akan menempati blok-blok lain sesuai
dengan hasil assesment di Blok Penaling tersebut. Setiap warga binaan
diwajibkan memilih salah satu program kegiatan yang dilaksanakan
di Lapas. Ada program keagamaan, bengkel, pengembangan diri, dan
sebagainya.

Program kegiatan yang paling banyak diminati di Lapas Cipinang


yaitu keagamaan (Islam) dan bengkel. Aktivitas mereka sehari-hari sudah
terprogram dengan baik. Sebagai contoh bagi warga binaan yang memilih
program keagamaan islam, setiap hari mereka ada kajian taklim dan
membaca Al Qur’an. Mereka juga dilatih untuk bisa berdakwah dengan
cara secar bergiliran memberikan tausiah kepada teman-temannya.
Program keagamaan ini bekerja sama dengan Kementerian Agama yang
rutin mengirimkan ustadz-ustadznya untuk memberikan bimbingan dan
pengajaran kepada para warga binaan yang memilih program ini. Para
warga binaan menilai bahwa mereka merasa bersemangat lagi dan
berjanji untuk menjadi orang yang lebih baik kelak selepas dari Lapas.
Tidak sedikit pula yang khatam Qur-an di Lapas ini setelah mengikuti
program keagamaan di Lapas.

Keberhasilan program pembinaan di Lapas tidak bisa dilepaskan


dari kerja sama antra warga binaan dengan pegawai/petugas Lapas itu
sendiri. Menurut petugas Lapas Narkotika Cipinang, di Lapas narkotika
Cipinang ada dua sistem untuk mendukung semua program pembinaan,
yaitu keamanan dan pembinaan. Keamanan berfungsi untuk menjaga
keamaanan, stabilitas dan ketenteraman di Lapas9. Harus diakui bahwa
keterbatasan personel keamanan yang hanya berkisar 300 orang,
sementara Lapas Narkotika Cipinang saat ini dihuni hampir 3.000
warga binaan, tentu diperlukan ekstra penjagaan keamanan. Sementara
pembinaan merupakan unsur penting dari program pembinaan di Lapas
Narkotika Cipinang, seksi pembinaan inilah pada hakekatnya merupakan
ujung tombak untuk memperbaiki perilaku dan kehidupan sehari-hari
warga binaan selama di Lapas dan memberikan arahan-arahan yang

9
Interview dengan Petugas Pembinaan Lapas Narkotika Cipinang, 27 September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


144 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
harus dilakukan setelah mereka selesai menjalani masa hukuman dan
kembali ke masyarakat. Pembinaan yang dilakukan di Lapas Cipinang
dengan beberapa program minat dan bakat ternyata cukup efektif untuk
memberikan keterampilan kepada warga binaan dan bisa menjadi bekal
setelah mereka nanti keluar dari Lapas.

3.2. Program Rehabilitasi

Data BNNP DKI Jakarta menunjukkan bahwa sampai dengan bulan


September 2018, jumlah pengguna naarkoba yang direhabilitasi sebanyak
623 orang, dengan rincian sedang menjalani masa rehabilitasi sebanyak
485 orang, pasca rehab sebanyak 132 orang, dan drop out sebanyak 6
orang. Adapun sebaran rehabilitasinya terbagi ke dalam 4 BNNK yang ada
di DKI Jakarta, yaitu 382 orang di Kepulauan Seribu, 140 orang di Jakarta
Utara, 64 orang di Jakarta Selatan, dan 37 orang di Jakarta Timur (lihat
gambar 6.9).

Gambar 6.9. Jumlah Pengguna Narkoba yang Direhabilitasi di DKI Jakarta


Per September 2018

Sumber: BNNP DKI Jakarta

Dilihat dari jenis kelamin, sebanyak 507 orang (81%) berjenis kelamin
laki-laki dan sebanyak 116 orang (19%) berjenis kelamin perempuan.
Selanjutnya, dari sisi pasien rehabilitasi, atau sering juga disebut residen,
hampir semunya merupakan pasien sukarela. Artinya mereka benar-
benar sadar untuk menjalani rehabilitasi tanpa ada paksaan. Hal ini
disebabkan rehabilitasi yang dilakukan oleh BNNP DKI Jakarta bersifat

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 145
gratis. Berbeda jika rehabilitasi dilakukan oleh pihak swasta, maka para
mereka perlu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Gambar 6.10. Profil Residen Rehabilitasi di DKI Jakarta

Sumber: BNNP DKI Jakarta, 2018

Gambar di atas menjelaskan tentang profil residen rehabilitasi di DKI


Jakarta. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa mayoritas residen
rehabilitasi di DKI Jakarta memiliki profesi yang tidak jelas (lain-lain) dengan
persentase sebanyak 95%. Sisanya berprofesi sebagai swasta (12 orang),
buruh (2 orang), dan pelajar (1 orang). Dilihat dari pendidikannya, 51% (316
orang) residen berpendidikan SLTA; 27% (169 orang) berpendidikan SLTP;
10% (61 orang) tamatan SD; 7% (42 orang) lulusan sarjana; dan sisanya
adalah lulusan pasca sarjana, D3, dan D1. Dari gambar tersebut juga
diketahui bahwa 30% residen (186 orang) berada pada kelompok umur 18
– 25 tahun, diikuti dengan 17% (105 orang) pada kelompok umur 31 – 35
tahun, 16% (98 orang) berada pada kelompok umur 26 – 30 tahun, 13%
(83 orang) pada kelompok umur di bawah 18 tahun dan 36 – 40 tahun,
serta sisanya berada pada kelompok umur di atas 40 tahun.

Residen atau seseorang yang menjalani rehabilitasi karena narkoba


sebenarnya terdiri dari dua kelompok, yaitu: 1) seseorang yang pernah
menjalani masa hukuman dan berniat dengan suka rela untuk terlepas
dari narkoba, dan 2) seseorang yang belum pernah dipenjara karena
kasus narkoba, tetapi sebagai pengguna narkoba dan sangat ingin

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


146 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
terbebas dari narkoba. Kelompok kedua ini biasanya lebih suka rela dan
ada keinginan kuat untuk terbebas dari narkoba. Sesuai Undang-undang,
bahwa sebenarnya pengguna narkoba itu wajib untuk direhabilitasi.

Program rehabilitasi bisa dilaksanakan oleh pemerintah maupun


swasta. Rehabilitasi yang dilaksanakan oleh pemerintah tentu saja gratis
tanpa dipungut biaya, sedangkan yang dikelola oleh swasta tentu berbayar.
Dari diskusi yang dilaksanakan dengan para penghuni Rumah Damping
BNNP DKI Jakarta, dapat digambarkan bahwa semuanya telah selesai
menjalani rehabilitasi di pusat rehabilitasi, sebagian besar dari pusat
rehabilitasi Lido. Menjadi syarat wajib bagi mereka yang ingin tinggal di
Rumah Damping, yaitu harus sudah pernah menjalani rehabilitasi.

“di sini kita tidak menerima yang sedang sakaw, harus sudah pernah
menjalani rehabilitasi dan siap untuk berubah”. jelas Program
Manager Rumah Damping, dalam FGD yang dilaksanakan pada
tanggal 22 September 2018,

Rumah Damping ini merupakan kelanjutan dari rehabilitasi dan


merupakan tempat transisi sebelum mereka betul-betul kembali dan
berbaur dengan masyarakat lagi. Dari diskusi itu juga diketahui bahwa
program rehabilitasi yang pernah mereka ikuti sangat bermanfaat dan
efektif untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap narkoba.
Program rehabilitasi di Lido, misalnya, memiliki dua jenis program, yaitu
program jangka pendek (3 bulan) dan jangka panjang (6 bulan). Program
jangka panjang ini selalu disertai dengan anjuran untuk mengikuti
program pendampingan pasca rehabilitasi.

Ketika mereka datang ke Rumah Damping BNNP DKI ini, mereka


diajarkan berbagai ketrampilan dan kerajinan, serta kesempatan
untuk berwiraswata dengan menggandeng pihak-pihak yang bersedia
menampung mereka untuk bekerja. Program Rumah Damping ini hanya
berlangsung selama 50 hari, sehingga diharapkan mereka betul-betul
sudah siap untuk berbaur dengan masyarakat dan tidak lagi terjerat
narkoba dengan bekal ketrampilan yang telah diajarkan selama di Rumah
Damping ini.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 147
3.3. Upaya Lain yang Diperlukan

Secara umum, program pembinaan di Lapas dan di Pusat Rehabilitasi


maupun Rumah Damping sudah cukup memadai dan efektif untuk
memberikan bekal dan pengarahan kepada warga binaan untuk kembali
ke masyarakat. Namun, tidak tertutup kemungkinan mereka bisa terjerat
kembali menggunakan narkoba karena kembali kontak dengan teman
lama yang masih menggunakan narkoba. Untuk itu, diperlukan upaya
lain untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba tersebut. Upaya lain itu,
seperti diusulkan dalam FGD dengan Rumah Damping BNNP DKI Jakarta
tanggal 22 September 2018, bisa berupa memasukkan narkoba ke dalam
kurikulum sekolah sehingga sejak dini generasi penerus sudah tahu
bahayanya narkoba dan dampak yang ditimbulkannya. Selain itu, kerja
sama dan sinergi antara pemangku kepentingan, terutama BNN dan Polri
dalam menangani persoalan narkoba masih perlu untuk ditingkatkan.
Tidak kalah pentingnya yaitu menggandeng stakeholder untuk bisa
kerja sama dengan Lapas Narkotika dan pusat-pusat rehabilitasi untuk
menerima para mantan warga binaan yang telah memilik ketrampilan
tertentu agar bisa diterima kerja di perusahaan-perusahaan.

4. Pelaksanaan Program P4GN dan Permasalahannya

Secara garis besar, para pengguna narkoba tidak familiar dengan


istilah P4GN, sehingga mereka rata-rata tidak tahu apa saja program
dan pelaksanaannya. Hal ini dimungkinkan terjadi karena menurut salah
seorang petugas Lapas Cipinang, mereka mengimplementasikan program
P4GN itu tidak dengan nama normatif P4GN, tetapi dengan nama dan
kegiatan yang langsung bisa dengan mudah diterima oleh warga binaan,
seperti menempel stiker anti narkoba, memasang sepanduk terkait bahaya
narkoba, dan sebagainya. Sebenarnya program P4GN sudah cukup efektif
dilaksanakan di Lapas dan di pusat rehabilitasi maupun Rumah Damping,
namun masih memiliki beberapa kelemahan yang harus diperbaiki.

Kelemahan program P4GN di antaranya istilah belum begitu familiar


di kalangan pengguna narkoba. Sejauh ini, mereka baru mengetahui P4GN
saat mereka berada di Lapas. Selain itu, sosialisasi program P4GN belum
secara rutin dilakukan di Lapas. Akibatnya, program ini belum secara
maksimal diterapkan dan hasilnya tentu tidak maksimal. Program P4GN

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


148 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
yang sejatinya bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan narkoba
masih belum mampu dimaksimalkan perannya.

Menurut para pengguna, upaya pencegahan yang efektif di antaranya


dilakukan pembersihan dulu di kalangan aparat, karena menurut para
pengguna, tidak jarang aparat masih bermain dan menjadi backing
dari penyalahgunaan narkoba. Menurut mereka, selama hal ini belum
bisa dilakukan, maka penyalahgunaan narkoba tidak akan bisa dicegah
dengan maksimal.

Di DKI Jakarta ada 113 daerah rawan narkoba. Namun sayangnya


BNNP DKI tidak memiliki data tentang nama-nama daerah itu. BNNP
sering bertanya ke BNN jika membutuhkan data karena di BNN ada
Pusdatin. Kampung Ambon, Kampung Boncos, dan daerah-daerah kumuh
di Jakarta utara itu merupakan beberapa contoh daerah rawan narkoba.
Di BNNP tidak ada struktur untuk mewadahi data dan juga penelitian,
tetapi hanya memiliki program.

BNNP DKI memiliki program “Operasi Bersinar” (operasi bersih


narkoba), dan pada tahun 2017 telah melakukan beberapa kegiatan terkait
dengan operasi bersinar itu. Akan tetapi pada tahun 2018 ini dana untuk
operasi bersinar dihilangkan oleh pemerintah. Alasannya, outputnya
kurang signifikan. Output BNNP jelas ada, melalui program penggerebekan
rutin, tes narkoba ke berbagai instansi, dan sebagainya, tetapi jika ditanya
outcome (seperti menangkap Bandar narkoba dan lainnya) itu wewenang
polisi. Mereka juga tidak bisa sembarangan menangkap orang. BNNP
menangkap pengguna yang tidak bisa dipenjarakan, paling dites urine,
dan direhabilitasi dengan rawat jalan. Kecuali menangkap Bandar, bisa
di KLN kan. Kalau yang parah, pengguna direhabilitasi dikirim ke Lido.
Menurut informasi dari Kepala BNNP, sekarang ini banyak panti rehab
yang dibisniskan, sedangkan di Lido semuanya gratis.

Di Jakarta juga ada Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM)


yang salah satu fungsinya adalah untuk pejegahan narkoba. Mereka ini
dibiayai oleh pemda. Namun, akhir-akhir ini mereka malas untuk lapor ke
polisi. Hal itu karena pemahaman dan persepsi tentang kasus narkoba
itu tidak sepenuhnya benar. Termasuk juga warga biasa ataupun cepu
(intel dari kalangan warga) juga malas lapor. Sebagai contoh, ada warga

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 149
yang melihat seseorang pakai narkoba, lalu dilaporkan polisi, polisi lalu
menangkapnya. Tapi sehari kemudian dilepas. Di sini mereka salah
persepsi. Pengguna itu tidak bisa dipidanakan, tetapi wajib direhabilitasi
(ada UU-nya). Harusnya masyarakat paham dengan ini, yang bisa
dipenjarakan itu adalah Bandar atau kurir narkoba.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Hasil diskusi dengan informan ditemukan fakta bahwa Program


P4GN belum memasyarakat. Hal ini terbukti dari ketidaktahuan mereka
terharap program ini. Mereka merasa tidak ada penyuluhan yang terkait
dengan bahaya narkoba. Hal ini diperkuat dengan pernyataan mereka
bahwa pada awal pemakaian mereka tidak mengetahui bahwa barang
tersebut termasuk katagori narkoba, barang haram yang dilarang oleh
negara. Rumah damping sebagai wahana untuk meningkatkan dan
menguatkan kesadaran tentang bahaya narkoba menjadi sesuatu yang
penting. Komunitas semacam ini merupakan wahana sosial dalam saling
mengingatkan akan bahaya narkoba.

Struktur BNNP DKI juga seharusnya diperkuat dengan ketersediaan


SDM yang mumpuni sebab antara jumlah pegawai dengan beban tugas
yang besar tidaklah seimbang. Penguatan organisasi menjadi amat
strategis dalam mendukung pemberantasan dan pencegahan meluasnya
peredaran dan penyalahgunaan narkoba.

Tidak kalah penting adalah peran keluarga. Unit terkecil dalam ranah
sosial adalah keluarga. Keluarga tidak lagi bisa dianggap sebagai benteng
terakhir, tetapi menjadi garda terdepan dalam mengatasi penyalahgunaan
narkoba. Orang tua harus memiliki pengetahuan secara jelas tentang
narkoba, agar dapat memberikan pengetahuan dan pembekalan pada
anak tentang dampak yang amat buruk narkoba dan bagaimana cara
menghindarinya.

Selain itu, orang tua juga tidak memberi kepercayaan diri yang
berlebihan bahwa anaknya adalah anak yang sempurna dan tidak punya
masalah; ini perlu dilakukan agar secepatnya dapat mendeteksi dini jika
ada perubahan yang tidak lazim pada anaknya. Sewaktu-waktu orang tua
pun harus peka terhadap perubahan perilaku anaknya. Orang tua sebaiknya

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


150 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
dapat menjadi “sahabat” yang baik bagi anaknya sekaligus dapat berperan
sebagai tempat berbagi cerita dan keluh kesah, agar anaknya tidak segan
mencurahkan segala isi hati, pendapat dan permasalahan yang dihadapi.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 151
DAFTAR PUSTAKA

BNNP DKI, 2018. https://www.liputan6.com/news/read/3570000/bnn-


pemakai-narkoba-di-indonesia-capai-35-juta-orang-pada-2017

Sumber Informasi:
• Wawancara dengan Kepala BNNP DKI Jakarta, Brigjen Johny
Latupeirissa, 24 April 2018.
• Wawancara dengan Mas X, di LP Narkotika Cipinang, 27 September 2018
• Wawancara dengan pengelola rumah damping, 26 September 2018
• Wawancara dengan beberapa anggota lapas dan pengguna yang
telah insaf.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


152 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
VII

Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkoba di Kota Bandung
Provinsi Jawa Barat

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 153
Tari Jaipongan
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
154
Batik Kembang
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 Muncang Khas Sunda
VII
PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
DI KOTA BANDUNG, JAWA BARAT

Oleh:
Dewi Harfina; Siti Nurlela Marliani; Zainal Fatoni

1. Pendahuluan

Permasalahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Jawa Barat pada


umumnya, dan di Kota Bandung pada khususnya, cukup memprihatinkan
dan perlu terus mendapat perhatian dari berbagai pihak. Di Kota Bandung
misalnya, hal ini tidak bisa dilepaskan dengan kondisi kota yang sangat
‘hidup’ dengan berbagai pusat aktivitas sosial ekonomi, seperti kota
tujuan wisata yang tak pernah sepi dikunjungi pendatang serta sebagai
kota pendidikan karena banyak sekali sarana/fasilitas pendidikan yang
tersedia di kota ini. Daya tarik Kota Bandung selain memberikan dampak
positif terhadap penduduk, di sisi lain kota ini juga rentan terhadap
berbagai dampak negatif kehidupan masyarakat kota, termasuk terkait
penyalahgunaan narkoba.

Tulisan ini mengupas permasalahan narkoba di Kota Bandung


(Provinsi Jawa Barat) dengan berbagai dinamikanya. Bagian pertama
tulisan ini membahas bagaimana peredaran dan penyalahgunaan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 155
narkoba yang terjadi di Kota Bandung. Data pendukung berkaitan dengan
penyalahgunaan narkoba dan penyebabnya ditampilkan, demikian pula
dampak penyalahgunaan narkoba serta peredaran narkoba di kota ini.
Selanjutnya, pada bagian kedua diuraikaan bagaimana upaya yang
dilakukan untuk menanggulangi penyalahgunaan narkoba, melalui
kegiatan diseminasi informasi, advokasi, partisipasi masyarakat,
dan pemberdayaan. Bagian ketiga mendiskusikan upaya mengatasi
penyalahgunaan narkoba di Kota Bandung, baik pembinaan di lembaga
pemasyarakatan maupun pembinaan melalui rehabilitasi. Bagian keempat
merupakan penutup dari tulisan ini, berisi kesimpulan dan rekomendasi
tentang strategi yang diperlukan untuk penanggulangan penyalahgunaan
narkoba di Kota Bandung yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak
yang berkepentingan.

Ruang lingkup tulisan ini secara khusus mendiskusikan permasalahan


narkoba dalam konteks Kota Bandung. Namun, pada beberapa bagian
yang relevan, juga dibahas keterkaitannya dengan daerah-daerah lain di
Provinsi Jawa Barat. Sumber data yang digunakan dalam penyusunan
tulisan ini diperoleh dari berbagai pendekatan, seperti wawancara, diskusi
kelompok terfokus, observasi, serta penelusuran dokumen pendukung,
baik yang diperoleh dari narasumber di lapangan maupun sumber dari
internet. Dengan demikian, diharapkan dapat digambarkan permasalahan
narkoba di Kota Bandung (Provinsi Jawa Barat) secara komprehensif.

2. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba

Kasus peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Kota Bandung,


seperti di tempat lainnya, merupakan fenomena ‘gunung es’. Hal ini karena
meskipun kasus yang ditangani terus mengalami peningkatan, data
sebenarnya mengenai peredaran dan penyalahgunaan narkoba banyak
yang belum atau tidak terkuak.

2.1. Penyalahgunaan Narkoba dan Penyebabnya

Berdasarkan rekapitulasi kasus narkoba di Kota Bandung selama


periode 2013-2017 (sumber data diperoleh dari BNN Kota Bandung),
jumlah tindak pidana (JTP) dan jumlah penanganan tindak pidana (JPTP)
terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 tercatat kurang dari 200

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


156 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
JTP dan JPTP di Kota Bandung, namun angka ini pada tahun berikutnya
telah berada di atas 200 JTP dan JPTP, bahkan pada tahun 2017 angkanya
sudah hampir mencapai 300-an pada 2017 (lihat Gambar 7.1).

Data BNN tahun 2015, angka prevalensi penyalahgunaan narkoba


di Kota Bandung mencapai 1,49 % atau sebanyak 25.427 orang terpapar
narkoba. Adapun data Polrestabes Bandung Tahun 2017 menunjukkan
bahwa terdapat 277 kasus penyalahgunaan narkoba dan 373 kasus
orang tersangka 1. Kondisi tersebut memperlihatkan potensi peredasaran
narkoba yang cukup besar di Kota Bandung. Berkembangnya Kota
Bandung sebagai kota wisata mengundang para pengedar narkoba untuk
memanfaatkan situasi tersebut.

Gambar 7.1. Jumlah Tindak Pidana dan Jumlah Penanganan Tindak Pidana
Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017

Sumber: BNN Kota Bandung, 2018

Hal yang cukup menarik adalah sudah tersedianya data rekapitulasi


kasus narkoba sebagai informasi yang dapat dimanfaatkan untuk melihat
pola dan kecenderungan kasus tersebut di Kota Bandung. Berdasarkan
jenis kelamin, misalnya, mayoritas kasus narkoba terjadi pada laki-laki.
Sebagaimana terlihat pada gambar 7.2, kasus narkoba pada laki-laki terus
meningkat, sedangkan pada perempuan cenderung fluktuatif.

1
http://jabar.tribunnews.com/2018/07/28/penyalahgunaan-narkotika-di-bandung-meningkat-bnn-dan-pemkot-bandung-
nyatakan-perang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 157
Gambar 7.2. Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017
Berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber: BNN Kota Bandung, 2018

Mayoritas pelaku lebih banyak adalah laki-laki karena, sebagaimana


diungkapkan salah seorang narasumber, laki-laki cenderung jiwanya
lebih senang mencoba. Sedangkan perempuan yang menyalahgunakan
narkoba umumnya disebabkan masalah keluarga. Karena itu mayoritas di
antara mereka berasal dari keluarga broken home. Dengan latar belakang
keluarga broken home tersebut, narkoba dijadikan sebagai alat pelarian
agar mereka merasa tenang. Kutipan berikut merupakan hasil wawancara
dengan narasumber terkait mayoritas mereka yang menggunakan
narkoba di Kota Bandung dan alasan pemakaian narkoba. Petikan berikut
merupakan hasil wawancara dengan seorang narasumber di BNN Kota
Bandung:

“Kalo data lebih banyak laki-laki… karena laki-laki lebih apa ya,
jiwanya senang lebih mencoba… Perempuan mungkin kalau dari latar
belakangnya sendiri mungkin kita dari broken homenya kayaknya
dijadikan pelarian. Ini kalo yang datang kesini ya kita bicarakannya,
sudah kita terima rata-rata broken home. Jadi dijadikan alat pelarian…
“Masa’ pak saya lebih tenang pak pake obat-obatan ini…” yang sudah
datang ke kami seperti itu”

Salah satu penyebab lain penyalahgunaan narkoba di kalangan


pekerja yaitu penggunaan narkoba dalam meningkatkan semangat
bekerja atau tubuh menjadi fit dan bekerja menjadi lebih bergairah bahkan
mampu begadang. Pada umumnya, jenis narkoba yang dikonsumsi yaitu
shabu. Berikut ini merupakan cuplikan wawancara dengan salah seorang
warga binaan di lembaga kemasyarakatan:

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


158 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
J : “Doping kalo saya, ibaratnya bu, kalo dulu....”
T : “Lingkungan kerja ataukah lingkungan rumah atau bagaimana?”
J : “Kadang-kadang kalo kita lagi malas, malas segala-galanya lah ya
bu ya pengen make aja gitu bawaannya kan. Malah kadang-kadang
yang cenderung merusaknya itu, kalo belum make belum mau
berangkat kerja gitu....”
T : “Ooo gitu, jadi kaya membuat bergairah gitu ya. Lebih semangatlah
lebih semangat ibaratnya gitu”
J : “Lebih semangat kerja ibaratnya lebih semangat ngantor”

Data rekapitulasi kasus narkoba di Kota Bandung selama 2013-2017


juga dapat dilihat berdasarkan peranan. Mereka yang bertindak sebagai
produsen sangat sedikit. Hal ini juga sejalan dengan hasil wawancara
dengan sejumlah narasumber di Kota Bandung yang menyebutkan
kota ini tidak menjadi tempat produksi narkoba, melainkan lebih pada
peredaran dan pemakai/pemilik (Gambar 7.3).

Gambar 7. 3. Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017


Berdasarkan Peranan

Produsen Pengedar Pemakai/Pemilik

Sumber: BNN Kota Bandung, 2018

Berdasarkan usia, data rekapitulasi kasus narkoba di Kota Bandung


menunjukkan angka yang flukuatif (gambar 7.4). Meskipun demikian,
perlu diwaspadai bahwa kasus narkoba pada usia yang relatif lebih muda
(< 20 tahun) juga semakin meningkat.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 159
Gambar 7.4. Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017
Berdasarkan Usia

Sumber: BNN Kota Bandung, 2018

Sebagaimana hasil survei maupun wawancara dan FGD di lapangan,


mereka yang terpapar kasus narkoba pada usia yang lebih muda juga
semakin banyak dijumpai. Wawancara dengan salah satu warga binaan
di lembaga pemasyarakatan, misalnya menyebutkan bahwa awal
mulai memakai narkoba pada saat masih kuliah tingkat 1 semester 2.
Wawancara dengan salah satu penyalahguna narkoba yang sedang
menjalani rawat jalan di panti rehabilitasi juga menyebutkan awal mulai
terjerat narkoba pada usia yang masih muda, yaitu sekitar kelas 3 SMP.

Berdasarkan latar belakang pendidikan, mayoritas kasus narkoba


memiliki pendidikan SMA (gambar 7.5). Hal ini cukup memprihatinkan
karena meskipun pendidikan mereka lebih tinggi, namun tidak cukup
membentengi diri untuk mencegah menggunakan atau mengedarkan
narkoba. Kasus narkoba pada mereka yang berpendidikan sarjana relatif
sedikit. Data ini harus dilihat secara hati-hati, mengingat pemakaian
dan peredaran narkoba pada mereka yang berpendidikan lebih tinggi
kemungkinan juga akan terus meningkat. Sementara itu, kasus narkoba
pada mereka yang memiliki pendidikan lebih rendah (SD atau SMP)
menunjukkan perlunya perhatian sejak dini pencegahan penanggulangan
narkoba ini.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


160 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Gambar 7.5. Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017
Berdasarkan Pendidikan

SD SMP SMA Sarjana

Sumber: BNN Kota Bandung, 2018

Menurut latar belakang pekerjaan, data rekapitulasi kasus narkoba


sebagaimana terlihat pada gambar 7.6 menunjukkan bahwa mereka yang
terjerat kasus narkoba sebagian besar bekerja swasta atau wiraswasta.
Hal yang perlu menjadi perhatian yaitu kasus narkoba juga terdapat pada
mereka yang bekerja sebagai PNS, TNI/Polri, bahkan pada mereka yang
masih berstatus sebagai mahasiswa/pelajar. Berita Koran Kompas, 11
Juni 2018, Polisi berhasil menciduk salah seorang penyalahguna narkoba
yang berprofesi sebagai PNS Kota Bandung dengan barang bukti sabu
dan ekstasi2. Kasus narkoba pada mereka yang tidak memiliki pekerjaan
(tuna karya) juga terus meningkat. Sebagaimana hasil wawancara dan
FGD, hal ini sangat memungkinkan karena mereka juga melihat adanya
peluang untuk memperoleh keuntungan (penghasilan) dari kegiatan
mengedarkan narkoba. Berikut ini merupakan pernyataan salah warga
binaan terkait jenis pekerjaannya yang bekerja sebagai polisi.

“Eee.... mohon maaf sebelumnya mungkin yang disampaikan rekan-


rekan di sini kalau saya sebut laptop pekerjaan ya aneh lah polisi
bisa masuk penjara, eee.. jadi untuk saya pribadi eee.. sesuai sama
pengalaman pribadi pertama saya di Polres Sukabumi, eee... 2006
saya pindah ke Bandung dan saya langsung di tempatkan di daerah
timur jalan buah batu swasta tempatnya, dari bujangan saya tinggal
di daerah pasir buah pasir bogor ya mungkinlah bisa di cari tau daerah
pasir buah pasir bogor, seperti apa pertama saya ingin tinggal disana
karna ketertarikan saya dari karna itu dulu sananya sarang gengster,
sarangnya kaya ganja lah sampai 2013 alhamdullilah berbagai cara

2
https://regional.kompas.com/read/2018/06/11/15334571/polisi-bekuk-4-pengguna-narkoba-salah-satunya-oknum-pns-
kota-bandung

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 161
saya pindah, angkatan saya bagai anak muda juga belum nikah
dan sebagai istilahnya, eee.. pekerjaan saya pelindung pelayan
masyarakat, jadi intinya saya itu tidak tidak mencegah atau gimana
gimana namanya orang…...”

Gambar 7.6. Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017


Berdasarkan Pekerjaan

Sumber: BNN Kota Bandung, 2018

2.2. Dampak Penyalahgunaan Narkoba

Penyalahgunaan narkoba menimbulkan dampak yang tidak sedikit,


mulai dari dampak kesehatan, ekonomi, maupun sosial. Sebagaimana
diungkapkan salah satu informan, dampak kesehatan antara lain
bisa dilihat dari tubuhnya yang kurus kering. Dampak ekonomi juga
dirasakan sebagian besar penyalahguna narkoba, karena mereka harus
mengeluarkan uang banyak sekali untuk memenuhi konsumsi narkoba.
Dampak sosial juga dirasakan karena informan dulu merasa dikucilkan
oleh masyarakat.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang terjerat dalam


penyalahgunaan narkoba. Sebagaimana disampaikan salah seorang
narasumber, faktor awal biasanya adalah karena rasa keingintahuan yang
tinggi (ingin coba-coba). Faktor yang kedua biasanya adalah karena ada
masalah keluarga, seperti karena latar belakang keluarga yang tidak/
kurang harmonis (broken home). Selanjutnya, lingkungan yang tidak
kondusif juga menjadi faktor dalam penyalahgunaan narkoba.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu penyalahguna

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


162 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
narkoba yang menjadi warga binaan di Lapas, misalnya, menunjukkan
bahwa yang bersangkutan adalah seorang Sarjana yang awalnya
berteman baik dengan teman-teman kos. Ternyata teman kos tersebut
telah menjadi penyalahguna narkoba yang pada akhirnya yang
bersangkutan ikut menjadi penyalahguna narkoba karena ajakan teman
dan mendapatkan narkoba secara gratis.

“.....dikasih shabu dari temen kosan tapi ga sekampus, saya tinggal


dirumahnya di Cianjur dan dapat narkoba secara gratis...”
(Wawancara dengan Warga Binaan)

Tidak hanya menjadi penyalahguna narkoba, yang bersangkutan


juga tergiur ajakan teman untuk mengedarkan narkoba, sampai akhirnya
tertangkap pihak yang berwajib; sebagaimana diungkapkan oleh seorang
warga binaan:

“....ternyata teman teman saya tahu bahwa saya punya channel... jadi
suka pada beli sama saya bu....udah gitu ya… keenakan... keenakan..
.trus dia ngemodalin lah..beli... setelah lima atau enam bulan kerja...
pas enak enaknya.....ketangkep sama Polda Jabar....divonis 1 tahun...”

Kondisi tersebut dapat dimaknai bahwa pertemanan (peer group)


sangat mempengaruhi penyalahgunaan dan peredaran narkoba. Hal
ini sebagaimana hasil wawancara dengan salah seorang pengguna
narkoba mengenai pendapat tentang pengaruh secara ekonomi, sosial,
dan lingkungan. Sebagaimana diungkapkan oleh yang bersangkutan, hati
hati dalam berteman dan pertemanan. Secara ekonomi, penyalahgunaan
narkoba menurut yang bersangkutan sangat merugikan, bahkan harta
benda orang tua bisa habis akibat penyalahgunaan narkoba. Berikut
adalah pernyataaan penyalahgunaan terhadap dampak ekonomi yang
dirasakan.

“....Iya...orang tua abis banyak.... jadi narkoba itu... kalo dulu kita
punya segalanya... sekarang habis....cuman tersisa satu bu......
CINTA....hehe....cinta kasih sayang...dari orang yang benar benar
sayang sama kita....itu nomor satu...”

Secara secara sosial, penyalahgunaan narkoba memberikan


dampak dengan dipandang rendah dalam masyarakat. Tidak jarang
sanksi sosial lebih besar dirasakan bagi penyalahguna narkoba. Sering
kali, penyalahguna narkoba dikucilkan di lingkungan tempat tinggal dan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 163
dianggap sampah masyarakat. Pandangan rendah masyarakat akan
semakin besar apabila penyalahguna narkoba tersebut juga merupakan
eks warga binaan atau terciduk aparat. Stigma tersebut akan dirasakan
tidak hanya individu melainkan juga keluarganya. Berikut adalah
pernyataan salah seorang warga binaan terkait dengan dampak sosial di
masyarakat.

“....Tergantung dari diri kita sendiri...kita tahu sanksi sosialnya...ada


lah....Pengalaman kemaren baru empat bulan saya keluar penjara
terus kena lagi kasus... dari segi sosial ada yang menjauhi...orang
yang ga tau sebenar-benarnya kita… pastilah menjauhi… tapi kalo
orang tahu dari sudut pandang yang lain.........Dulu di sini grapiks
dikucilin sama masyarakat...tapi sekarang...sosialisasi sudah mulai
terima oleh RT nya RW nya...walaupun Ketua RW nya uwa saya...
tapi tetap ga terima...tapi setelah koordinasi dengan baik...maka jadi
bagus....itu terjadi karena stigma ....trus kata saya...jadi kita harus
gimana?...akhirnya...kata uwa...kita coba untuk percaya kepada
mereka....sekarang alhamdulillah...”

Dampak kesehatan sangat mempengaruhi penyalahguna narkoba.


Salah satu yang dirasakan oleh pencandu adalah kondisi fisik yang
cenderung kurus. Selain itu, tidak jarang pengunaan yang berlebih
mempengaruhi konsentrasi bagi jenis narkoba tertentu. Secara fisik, para
pencandu jarum suntik akan berdampak dengan kondisi fisik dengan
tingkat kesadaran lemah atau teller (tidak sadar). Bahkan, ketergantungan
terhadap narkoba tidak jarang menjadikan pribadi yang cenderung tidak
percaya diri apabila tidak mengkonsumsi zat tersebut. Berikut ini adalah
penyatakaan residen atau warga binaan terhadap dampak kesehatan
yang dirasakan akibat mengkonsumsi narkoba.

“....Dulu mah kurus kering....sekarang alhamdulillah sudah gemuk


lagi.......Sejak saya ke RSKO...badan saya sudah tidak kering lagi...
“Saya sering sih baca, makannya kadang-kadang takut juga. Cuman
memang itu yang kayaknya bikin otak rusak. Udah tau faktornya kaya
gini kaya gini, tapi kadang sugestinya suka ada aja, bahkan kalo disini
pun kalo ada botol ada sedotan aduh kangen gitu ya kan hehehe
kadang-kadang suka gitu tapi udah tau kan hehe. Efeknya kaya gitu
tapi masih aja.”

Faktor lainnya yang cukup besar dirasakan oleh mantan pemakai


atau pemakai adalah faktor psikologis. Faktor psikologi kadang lebih
berat dirasakan. Berikut adalah pernyataan mantan pemakai narkoba

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


164 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
terkait dengan dampak psikologis yang dirasakannya.

J : kalo secara fisik mah engga cuman ke itu tadi ke psikologi saya
T : lebih parah ke dampak psikologinya ya ?
J : iya, yang saya tanya-tanya juga yang seperti itu kadang baca di
google emang gitu, cuman bayang-bayang masa lalu masih ada
wae gitu
T : engga bisa lepas ya rasanya dari itu semua ?
J : eumm udah parno duluan, kumaha apalagi saya udah punya anak
2 istri aduhh……ya gimana ya harus yakin diri saya gapapa saya
sehat kan kalo saya sehat kan insyaallah kita kan pikiranya sehat.
…..saya juga suka gitu meyakinkan diri bahwa saya yakin karna
udah orang pada tau kumaha namanya orang nya kan
T : itu butuh proses
J : ya gimana ya harus kuat mental kalo engga itu drop lagi drop lagi
lebih seneng kesepian nyendiri

Lingkungan merupakan faktor penting yang mempengaruh


penyalahguna narkoba. Menurut salah seorang warga binaan, pengaruh
lingkungan terhadap penyalahgunaan narkoba sekitar 80% dan secara
sosial ekonomi masyarakat masih belum bisa menerima mereka
(pengguna narkoba).

“.....Pengaruh lingkungan itu sangat tinggi....sekitar 80 %... soalnya


kita kan melihat mendengar semua apa yang dirasakan itulah dia.....
Tapi setelah titik jenuhnya dari seseorang... jadi pada saat kita butuh
support dari mereka...ketika butuh mereka....terus sodara sudah tidak
support kita...ya kita mau gimana lagi....”

Selain wawancara di lapas, informasi juga didapatkan dari hasil


wawancara dengan penyalahguna narkoba di panti rehabilitasi. Seorang
residen yang berhasil di wawancarai mengaku bahwa yang bersangkutan
terjerumus dalam penyalahgunaan nakoba disebabkan masalah keluarga,
karena saat yang bersangkutan masih dalam bangku SMA kondisi orang
tuanya bercerai. Dia lari kepada seseorang yang dia anggap bisa berkeluh
kesah. Dialah teman yang sudah dianggap “kakak” yang ternyata sudah punya
memiliki kebiasaan menggunakan narkoba jenis putaw yang disuntikkan.

Karena pengaruh lingkungan tersebut akhirnya yang bersangkutan


mencoba untuk memakai putaw yang disuntikan walaupun pada awalnya
dicegah oleh temannya tapi pada akhirnya dia tetap mencoba. Hingga
akhirnya yang bersangkutan menjadi pecandu heroin.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 165
“Bertemu dengan teman yang saya anggap sebagai kakak.....
dimana kesehariannya banyak jarum suntik berserakan...dan ketika
ingin mencoba...sempat ada larangan dari teman yang saya anggap
sebagai kakak tadi....tapi lama lama membolehkan juga...mulailah
mencoba dan diberitahu cara makenya...karena saya ga tahu....”
“....Terus ketika nanya harganya...kata teman saya sudah lah ...ga
akan ke beli katanya....terus pada saat nyuntik..2 sampai 3 jam sudah
habis...dan minta lagi....”
“....Jadi sekali make dalam 3 minggu itu saya sudah menjadi junky
(pecandu) ... jadi rasa pengennya itu kuat sekali....”

Dalam kondisi tersebut, yang bersangkutan berusaha untuk


berkonsultasi agar tidak mengalami ketergantungan terhadap putaw.
Konsultasi dilakukan dengan pihak di Puskesmas dan dilakukan terapi
substitusi dengan Subutek. Akan tetapi yang bersangkutan relapse,
sehingga akhirnya mengikuti terapi metadon. Saat ini yang bersangkutan
mengikuti rehab rawat jalan di Yayasan Grapiks.

“....Pas Tahun 2008, temen makin banyak dan saya punya pemikiran...
terus maen ke rumah temen...eh...ini...ada...pengganti...Subutex...
ada yang bilang Substitusi ada di daerah Duren Sawit....terus kita
ke dokter dan diberi resep Subutex oleh dokter...tapi saat itu kita
tidak mengakses...Sampai Tahun 2009 saya pake subuxon...sampai
2010... pemerintah mengadakan substitusi subuxon...”

Menurut residen tersebut. pengaruh lingkungan terhadap penyalahgunaan


narkoba sangatlah tinggi.

“....Di tempat saya terjadi ada perbedaan kelompok ketika misalnya


ada acara Agustusan... saya bisa lihat... kelompok yang ini begini...
yang lain gimana...jadi... gitu....Pengaruh lingkungan terhadap
penggunaan narkoba sangat tinggi sekali.....Akibatnya masyarakat
sudah nggak bisa percaya sama pemuda sekarang...gitu...”

Melihat perkembangan penyalahguna narkoba saat ini, residen


tersebut menyatakan bahwa jangan pernah untuk mencoba menggunakan
narkoba, sebagaimana yang diungkapkan:

“.....Untuk temen sesama pengguna, kemaren baru 2 bulan saya


bikin komunitas gokar, agar ada kegiatan yang positif....Untuk temen
temen yang masih sehat..jangan sekali sekali gunakan narkoba....
Sekarang yang terjadi ini penggunaan tramadol banyak sekali bu...”

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


166 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Dari hasil wawancara dengan kedua informan tersebut dapat dilihat
bahwa terjadinya penyalahgunaan narkoba banyak dipengaruhi oleh
teman (peer group). Dalam hal ini, berdasarkan pengalaman dua informan
ini, perhatian dari orang tua sangat berperan penting untuk menghindari
penyalahgunaan narkoba.

2.3. Peredaran Narkoba

Peredaran narkoba di Kota Bandung semakin memprihatinkan.


Mayoritas pengungkapan kasus narkoba yang terjadi di jalan umum terus
meningkat (gambar 7.7). Sebaliknya, ada kecenderungan penurunan
pengungkapan kasus narkoba di tempat permukiman. Penurunan
pengungkapan kasus juga terjadi di tempat keramaian maupun tempat
hiburan. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kebijakan/program pengawasan
di tempat hiburan, walaupun tidak berarti bahwa tempat-tempat tersebut
juga bebas dari peredaran dan pemakaian narkoba.

Gambar 7.7. Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017


Berdasarkan Tempat Penangkapan

Sumber: BNN Kota Bandung, 2018

Data tertulis yang didapatkan dari narasumber juga menyebutkan


tempat-tempat yang dianggap rawan penyalahgunaan narkotika di Kota
Bandung, antara lain:
a. Tempat hiburan: diskotik, bar, pub, spa, karaoke di sepanjang Jalan
Cibadak, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Pasir Kaliki, dan daerah
Banceuy;
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 167
b. Karaoke, cafe di sekitar Jalan Dago;
c. Tempat penginapan: hotel, losmen, motel, wisma, tempat kost,
sepanjang Jalan Setiabudi;
d. Lembaga Pemasyarakatan Narkoba Banceuy;
e. Rutan Kebon Waru;
f. Lokalisasi Saritem;
g. Wilayah kumuh Jalan Pagarsih dan Jalan Jurang serta daerah
Balubur.

Berdasarkan lokasi rumah tersangka, hal yang cukup memprihatinkan


adalah kasus narkoba pada mereka yang tinggal di dalam Kota Bandung
terus meningkat (Gambar 7.8).

Gambar 7.8. Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017


Berdasarkan Lokasi Rumah Tersangka

Sumber: BNN Kota Bandung, 2018

Data di atas menunjukkan semakin rawannya kota ini terhadap


pemakaian dan peredaran gelap narkoba. Selain mereka yang tinggal
di dalam kota, ternyata kasus narkoba juga cenderung meningkat pada
mereka yang tinggal di luar kota. Meskipun kasus narkoba yang dijumpai
di tempat kos relatif sedikit, hal ini tidak berarti bahwa tempat-tempat kos
juga bebas dari narkoba. Hal ini sebagaimana hasil wawancara dengan
beberapa narasumber di Kota Bandung, yang menyebutkan bahwa
tempat kos yang memiliki pergaulan relatif bebas juga menjadi tempat
rawan untuk pemakaian atau peredaran narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


168 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Peredaran narkoba di Lapas juga bukan isapan jempol belaka.
Sebagaimana hasil wawancara dan FGD, yang bersangkutan tahu
persis bahwa di dalam Lapas ada bandar yang menjual narkoba. Akan
tetapi, harganya tentu sangat tinggi. Pengawasan oleh petugas Lapas
sebenarnya cukup ketat, tetapi para bandar tetap bisa mengedarkan
narkoba di dalam Lapas; sebagaimana diungkapkan oleh seorang warga
binaan:

“.....Serius bu....ada banyak juga bandar di sini....tapi sudah banyak


yang dipindah pindahin dari sini...tapi susah juga berantas...karena
ga ada bukti juga....Kalo yang bener-bener bandar mah bersembunyi
di dalam penjara...ini yang dirasakan saat masih belum dipenjara....
Misalnya kita tahu mau ada yang beli...trus ada kode-kode tertentu...
siapa....misalnya temennya ini..temennya ini....jadi dia ga takut kalo
kita sebut nama temannya....kalo ada apa apa kan tinggal nyari dia
(temennya).... jadi pada saat kita beli...bisa ditanggungjawabin.....”

Ungkapan berikut merupakan salah satu pernyataan seorang warga


binaan Lapas dalam FGD, tentang asal mula memakai narkoba.

“(Saya) dari Bandung. Eee... awalnya pas kuliah di Universitas Islam


gitu ya, nyatanya eee... itu dia apa namanya pergaulan terus eee... saya
gedein gengsi, saya tahu ini dari ganja dari alkohol, saya di tawarin
ini, (lalu) minum. (Tapi awal-awal) disuruh bayar sekitar seratus ribu
satu gram (satu gram). (Saya) coba, dan saya pun nggak bisa cara
pakainya kaya gimana; tapi lihat ….ohh gimana tapi saya nggak tahu.
Belum belum sendok pake foil, ini gimana caranya. (Dibilangin) lu
siapin sendok sama foil pake dibakar, bakarnya di depan di posyandu.”

Pengungkapan kasus narkoba sepanjang 2013-2017 juga


menunjukkan semakin beragam modus operandi yang digunakan
(gambar 7.9). Jika pada tahun 2013-2016 modus “cash and carry” paling
banyak diungkap, data pada tahun 2017 menunjukkan modus “kurir”
dan “transfer” mengalami peningkatan yang cukup besar. Kemudahan
teknologi komunikasi dan transportasi, sebagaimana hasil wawancara di
lapangan menjadi salah satu penyebab semakin banyaknya kedua modus
tersebut. Modus “jasa kirim barang” juga terus mengalami peningkatan
meskipun angka pengungkapannya relatif masih sedikit. Modus operandi
melalui “jaringan tahanan/napi” juga sedikit yang terungkap, padahal dari
hasil wawancara dan FGD di lembaga pemasyarakatan, modus ini juga
masih banyak dijumpai.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 169
Hampir semua transaksi terjadi dengan online, seperti Instagram.
Kemudahan teknologi memberi dampak memudahkan untuk mengakses
narkoba. Data mengenai barang bukti kasus narkoba dalam dua tahun
terakhir (2016-2017) menunjukkan semakin beragamnya jenis zat yang
diamankan. Jenis narkoba yang relatif banyak diungkap antara lain ganja
(16,518,8 gram), happy five (6.229 butir), sabu (2.472,7 gram), alprazolam
(1.568 butir), dan ekstasi (1.5012 butir). Jenis narkoba lainnya yang juga
diungkap dalam dua tahun terakhir, meskipun dalam jumlah yang relatif
lebih sedikit, termasuk pil camlet (932 butir), pil dumolid (841 butir), dextro
(596 butir), pil riklona (477 butir), Xanax (267 butir), mersi (190 butir),
esilgan (50 butir), pil zypraz (39 butir), valisanbe (28 butir), pil alganax
(26 butir), analsik (15 butir), biji ganja (10,5 biji), pil diazepham (9 butir),
dan serbuk ekstasi (0,27 gram). Sabu, ekstansi, dan beberapa jenis obat
psikotromatis, seperti tramadol.

Gambar 7.9. Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung 2013-2017


Berdasarkan Modus Operandi

Sumber: BNN Kota Bandung, 2018

Berdasarkan wawancara dengan narasumber, jenis narkoba yang


marak dipakai adalah tramadol, sedangkan penggunaan dextro sudah
mulai berkurang (jarang). Wawancara dengan salah satu warga binaan
lembaga pemasyarakatan menyebutkan bahwa jenis narkoba yang
menjeratnya menjadi kasus yaitu sabu sebanyak 6 gram. Sementara itu,
wawancara lain dengan penyalahguna narkoba yang sedang menjalani
status rawat jalan sekitar 2 bulan mengungkapkan bahwa awal mulanya
jenis narkoba yang dia gunakan adalah lexotan. Setelah mengonsumsi
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
170 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
lexotan selama dua tahun, selanjutnya dia juga mulai mencoba putaw
yang dia peroleh dari teman yang dia anggap sebagai kakak (saudara).
Berikut petikan wawancara dengan narasumber mengenai jenis-jenis
narkoba yang umumnya digunakan di Kota Bandung.

Tanya: “Jenis-jenis narkoba yang dipake banyaknya yang apa pak?”


Jawab: “Kalo di pendidikan tramadol. Ya...TM-TM ini, pokoknya
segala macam pil ini...”
Tanya: “Kalo dextro, jarang ya?”
Jawab: “Kalo dextro jarang, kecuali yang memang iya sudah
ketergantungan. semuanya sudah..Kita pernah ada anak
paling muda, ya memang anak kelas 1 SMP. Dia sudah
lama pakai, sudah komplikasi...Jadi semua obat dia makan.
Sebenarnya di Bandung relatif sudah berkurang. Tramadol
mudah didapat, sebenarnya dengan resep dokter bisa didapat.
Tapi banyak apotik-apotik nakal yang menjual sekebet” dan
ini susah dikendalikan. Ini melibatkan Badan POM karena kita
hanya bisa menghimbau, tidak bisa menindak.”

Data selanjutnya mengungkapkan rekapitulasi kasus narkotika


berdasarkan domisili tersangka dan berdasarkan lokasi penangkapan
menurut wilayah kecamatan di Kota Bandung (tabel 7.1). Hal yang
memprihatinkan adalah hampir semua kecamatan di Kota Bandung
juga terungkap kasus narkotika pada 2017, dengan besaran kasus
yang bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai daerah perkotaan,
hampir seluruh wilayah di Kota Bandung rawan terhadap pemakaian dan
peredaran narkotika. Sebagaimana hasil wawancara dengan narasumber,
disebutkan bahwa Bandung ini merupakan daerah transit, kota jasa,
mungkin saja penduduk Kota Bandung tidak menjadi pemakai, melainkan
pendatang yang tinggal di Bandung. Hal ini juga terlihat dari tangkapan
yang tidak akan berton-ton karena mayoritas adalah user (pengguna).

Dilihat dari pemetaan wilayah, narasumber mengungkapkan daerah


di Kota Bandung yang rawan narkoba yaitu daerah Beling, seputaran
Andir, Bojongloa Kaler, Jamika, Babakan Ciparay, dan Bandung Kulon.
Selain itu, daerah yang rawan adalah kontrakan di daerah Kebon Jeruk
dan Pasteur. Narasumber juga mengungkapkan kesulitan terkait data
ini, karena hasil dari polres kadang juga berbeda (terkait daerah rawan
narkoba). Berdasarkan berita Koran Kompas tanggal 25 Juni 2018, Sat
Narkoba Polrestabes Bandung berhasil mengamankan sabu sebanyak
13,182 kg atau senilai 21 Miliyar di sebuah apartemen di Kota Bandung,
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 171
yang pada awalnya melakukan penyidikan di wilayah Sukajadi. Tersangka
tertangkap di tempat kos di jalan Sukagalih Kota Bandung3. Kondisi
tersebut memperkuat rawannya permasalahan narkoba di Kota Bandung.

Tabel 7.1. Rekapitulasi Kasus Narkoba di Wilayah Kota Bandung 2013-2017


Menurut Kecamatan Berdasarkan Domisili Tersangka dan
Berdasarkan Lokasi Penangkapan
Berdasarkan Domisili Tersangka Berdasarkan Lokasi Penangkapan
Kecamatan
2013 2014 2015 2017 2013 2014 2015 2016 2017
Sukajadi 15 7 13 11 14 12 20 10 15
Sukasari 6 5 10 9 6 8 5 6 11
Cicendo 7 10 8 4 6 8 12 2 13
Andir 10 7 10 10 6 8 7 4 14
Astanaanyar 5 6 7 11 10 4 9 5 14
Bojongloa Kaler 5 16 13 15 2 7 15 3 10
Bojongloa Kidul 6 3 15 10 7 3 6 3 10
Babakan Ciparai 5 2 14 5 3 4 7 2 2
Bandung Kulon 6 2 8 3 6 2 4 3 5
Cidadap 7 4 9 7 6 3 8 1 6
Coblong 13 19 17 20 17 24 18 4 30
Bandung Wetan 5 1 3 6 8 1 10 4 10
Cibeunying Kaler 5 6 4 6 9 13 4 0 8
Cibeunying Kidul 3 7 5 8 3 5 7 10 11
Sumur Bandung 2 2 4 5 4 6 8 2 17
Regol 5 6 8 13 5 11 14 3 21
Lengkong 12 9 6 10 17 11 16 8 14
Kiara Condong 15 22 11 6 16 16 15 4 6
Antapani 3 12 9 4 7 3 3 1 3
Arcamanik 5 5 4 5 1 4 1 0 5
Panyileukan 3 1 3 1 1 0 1 1 1
Bandung Kidul 2 2 2 6 4 2 2 0 2
Buah Batu 5 4 4 8 3 3 1 4 9
Rancasari 3 8 11 2 0 5 4 1 0

3
https://regional.kompas.com/read/2018/06/25/19332751/tangkap-3-pengedar-narkoba-polisi-amankan-sabu-senilai-rp-21-
miliar

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


172 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Berdasarkan Domisili Tersangka Berdasarkan Lokasi Penangkapan
Kecamatan
2013 2014 2015 2017 2013 2014 2015 2016 2017
Ujung Berung 6 3 6 11 2 2 1 0 3
Gedebage 0 1 3 2 0 2 0 0 0
Cinambo 2 0 0 2 2 1 0 1 0
Batununggal - - 5 12 - - 4 6 17
Luar kota 15 - - 148 15 14 8 6 11
Sumber: BNN Kota Bandung, 2018

Data rekapitulasi kasus narkoba yang penulis dapatkan di atas (2013-


2017) berasal dari narasumber di BNN Kota Bandung pada saat melakukan
kegiatan pengumpulan data awal (previsit) bulan April/Mei 2018 lalu.
Sementara itu, pada kegiatan pengumpulan data bulan September 2018,
diperoleh data kasus peredaran gelap narkotika di Kota Bandung tahun
2017 dari narasumber di BNN Kota Bandung, yang diperoleh berdasarkan
data dari Satnarkoba Polrestabes Bandung. Berbeda dengan data
sebelumnya yang melihat kecenderungan rekapitulasi kasus narkoba
5 tahun terakhir (2013-2017), data yang didapatkan kali ini hanya
melihat kondisi tahun 2017. Apabila dibandingkan kedua sumber data
tersebut, ada beberapa informasi yang kurang konsisten dengan data
sebelumnya. Sebagai contoh, data terakhir yang diperoleh menyebutkan
pada tahun 2017 jumlah kasus narkotika sebanyak 275 kasus dengan
jumlah tersangka mencapai 370 orang. Data kasus tindak pidana
narkotika berdasarkan modus operandi sama pada modus cash and
carry (97 kasus), transfer (101 kasus), dan jasa kirim barang (12 kasus).
Perbedaan data terjadi pada modus kurir, yakni hanya menyebutkan 67
kasus, sementara angka 67 kasus pada data sebelumnya itu disebutkan
merupakan data 2016, sedangkan pada 2017 meningkat menjadi 139
kasus. Kasus tindak pidana narkotika berdasarkan tempat penangkapan
sebagian besar datanya sama (konsisten), kecuali ada ada tambahan
tempat kos (18 kasus) dan data ‘lainnya’ sebelumnya yang mencapai
23 kasus disini disebutkan adalah perkantoran/hotel/toko. Berkaca dari
permasalahan ini, konsistensi dan akurasi data perlu menjadi perhatian
karena pentingnya data ini agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan
evaluasi kebijakan/program di Kota Bandung.

Selain dari narasumber di BNN Kota Bandung, juga diperoleh data dari
narasumber di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Banceuy Bandung.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 173
Hal yang menarik, sebagaimana diungkapkan narasumber, data warga
binaan yang pemakai (7 orang) lebih sedikit daripada data pengedar (282
orang) atau bandar (330 orang). Menurut narasumber tersebut, sepertinya
data tersebut salah, karena mereka yang menjadi pengedar atau bandar,
sebenarnya otomatis juga pemakai.

“.... Kalo yang bener-bener bandar mah bersembunyi di dalam penjara...


ini yang dirasakan saat masih belum dipenjara.... Misalnya kita tahu
mau ada yang beli...terus ada kode-kode tertentu...siapa....misalnya
temennya ini..temennya ini....jadi dia ga takut kalo kita sebut nama
temannya....kalo ada apa-apa kan tinggal nyari dia (temennya).... jadi
pada saat kita beli...bisa ditanggungjawabin.....

Seorang mantan residen mengatakan sebagai berikut:

“….. kayanya kalo saya udah masuk rutan nambah jago deh bisa jadi
pengedar ….. iya atuh bu banyak jadi di sana tuh di dalem kita jadi
makin tambah pinter orang ga tau sela jadinya tahu… gimana jadinya
tambah pintar. …… makin banyak linknya… makin pintar jaringannya
makin luas tau celah gitu ….. ada ya gitu ya kalo pesen sama orang
luar ya bisa ………….. lewat kontak hp ngasih tau dia di mana suka kirim
transfer kalo udah masuk diarahin di mana- dimananya.

3. Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba

Program P4GN di Kota Bandung terus-menerus dilaksanakan dan


melibatkan berbagai sektor terkait. Leading sector di Kota Bandung yang
paling dekat dengan BNN Kota yaitu Kesbangpol. Sebagaimana hasil
wawancara dengan narasumber di BNN Kota Bandung, hal ini sesuai
dengan peraturan di tingkat pusat (Permendagri) bahwa penanggulangan
narkoba dipimpin oleh Kesbangpol. Selain Kesbangpol, instansi lain
termasuk Dinas Pendidikan, Disbudpar, Dispora, Diskominfo, dan Dinsos.

Kegiatan sosialisasi roadshow ke sekolah-sekolah (SMP, SMA, SMK)


dilakukan kerjasama Kesbangpol dengan beberapa narasumber, tetapi yang
utama dari BNNK. Tujuannya yaitu memberikan pengetahuan tentang
bahaya narkoba agar usia rawan tidak terjerumus menyalahgunakan narkoba.
Menurut narasumber dari Kesbangpol Kota Bandung, selain narkoba, isu
tentang miras dan geng motor juga dibahas dalam kegiatan sosialisasi itu.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


174 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Sasaran program di bidang P2M beragam, mulai dari institusi
pendidikan, instansi pemerintah, sampai dengan instansi masyarakat.
Berkaitan dengan sekolah, kewenangan BNN Kota Bandung sebenarnya
secara yuridiksi sampai dengan tingkat SMP, tapi tidak menutup
kemungkinan di luar itu, seperti dari mahasiswa (kampus) atau
masyarakat juga difasilitasi, dan apabila ada kelebihan beban (over)
undangan biasanya meminta bantuan (dioper) ke BNN Provinsi.

Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, kegiatan di sekolah


terutama berupa penyuluhan. Tes urine masih diformulasikan, karena
ada image yang tidak enak, apalagi di sekolah bullying ini cukup tinggi.
Namun, sebagaimana disampaikan narasumber, di beberapa kampus
juga sudah dilakukan tes urine secara rutin. Berikut hasil wawancara
dengan narasumber di BNNK Bandung mengenai tes urine sebagai salah
satu upaya mendeteksi penyalahgunaan narkoba di Kota Bandung.

“Kalo tes urine kita dengan SD SMP SMA ini kita masih
memformulasikan bu bingung juga sebenarnya kan, karna sistemnya
kan kita masih formulasi, sempet kita mau melaksanakan tes urine
untuk beberapa orang yang di di duga menggunakan narkoba, tapikan
tidak pasti juga kalo dia anak sekolah, takutnya jadi bahan bullyan,
Oh..anak SMA pake narkoba. Nah ini gak bagus juga, ada images
karna sekolah juga tinggi sekali tingkat bullying nya. Kita takutkan itu,
makanya kita lagi memformulasikan bagaimana komposisi yang enak,
ketika keterkaitan dengan..usia pendidikannya. Tapi kalo mahasiswa..
kita sudah ada beberapa kampus yang memang rutin seperti uninis
ini sudah rutin dengan kami untuk melaksanakan tes urine.”

3.1. Diseminasi

Salah satu sasaran kegiatan yang dilakukan oleh BNNP dan BNN
Kota Bandung adalah meningkatkan penyebarluasan informasi program
P4GN. Bentuk kegiatan yang paling banyak dilakukan yaitu diseminasi
atau sosialiasi yang diselenggarakan oleh BNNP dan BNN Kota
Bandung serta instansi lainnya seperti sekolah, instansi pemerintah dan
masyarakat. Pada umumnya kegiatan diseminasi yang diselenggarakan
oleh BNN Kota Bandung lebih banyak menyasar kalangan pejalar
tingkat SD dan SMP khususnya anggaran yang bersumber dari BNN

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 175
Kota Bandung. Akan tetapi, tidak jarang pelaksanaan sosialiasi Progam
P4GN diselenggarakan oleh stakeholder lainnya, seperti SMA, Perguruan
tinggi, masyarakat dan instansi terkait lainnya. Kegiatan sosialiasi pada
tingkat SMA dan Perguruan tinggi yang bersumber dari anggaran BNN
diselenggarakan oleh BNNP Jawa Barat.

Bentuk Kegiatan diseminasi yang dilakukan yaitu penyuluhan atau


talkshow dengan narasumber berasal dari BNN Kota Bandung atau
BNNP Jawa Barat, atau instansi lainnya yang berkompeten. Kedua
kegiatan diseminasi tersebut bersifat tatap muka langsung, dengan
kegiatan pada umumnya diselenggarakan di tingkat sekolah atau
masyarakat dengan jangkauan yang relatif terbatas. Selain kegiatan
tatap muka langsung, bentuk sosialisasi yang dilakukan yaitu pemutaran
iklan layanan masyarakat terhadap bahaya narkoba. Pemasangan iklan
dilakukan melalui media radio dengan jumlah tayangan pemutaran iklan
satu sampai lima hari. Sosialisasi dalam bentuk penyebaran iklan melalui
media radio relatif dapat menjangkau sasaran lebih banyak dibandingkan
dengan sosialisasi tatap muka yang bersifat konvesional.

Berdasarkan data sosilisasi dari BNN Kota Bandung, terhitung sejak


Juli 2018 jumlah penduduk yang telah memperoleh informasi pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran nakoba di Kota
Bandung mencapai 4,66 juta jiwa, persentase terbesar melalui penyebaran
iklan stop narkoba melalui media radio. Adapun radio yang membantu
menyiarkan iklan layanan tersebut, yaitu B Radio, Dahlia Radio, Hits Radio,
Ardan Radio, Cakra Radion dan Rama Radio. Pemutaran dilakukan satu
kali per hari dengan waktu penayangan 2 minggu sampai dengan satu
bulan, tergantung kesepakatan antara pihak BNN dan radio. Sosialisasi
melalui radio juga dilakukan dengan bincang-bincang seputar narkoba.
Talkshow di radio membahas permasalahan pencegahan, pemberatasan
peryalahgunaan narkoba di kalangan masyarakat.

3.2. Advokasi

Advokasi dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian instansi


pemerintah, khususnya statuan kerja di bawah BNN Provinsi Jawa Barat
terhadap kebijakan berwawasan anti narkoba. Berdasarkan Laporan
Kinerja Instansi Pemerintah BNN Provinsi Jawa Barat Tahun 2017,

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


176 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
advokasi dilakukan untuk meningkatkan kebijakan yang responsif dalam
penangan narkoba. Terdapat 37 instansi atau lembaga (BNN Kota atau
Kabupaten di Provinsi Jawa Barat) yang telah melakukan kegiatan
sosialisasi, memiliki program P4GN dan melakukan kegiatan tes urine
di lingkungannya. Tabel 7.2 berikut menunjukkan jumlah lembaga yang
responsif terhadap kebijakan Pembangunan berwawasan Anti Narkoba.

Tabel 7.2. Jumlah lembaga yang responsif terhadap kebijakan pembangunan


berwawasan Anti Narkoba.
Satker di Lingkungan BNN Capaian
Provinsi Jawa Barat
BNN Provinsi Jawa Barat 4
BNNK Bogor 4
BNNK Ciamis 3
BNNK Bandung 3
BBNK Cianjur 3
BNNK Cirebon 2
BNNK Depok 3
BNNK Karawang 3
BNNK Kuningan 3
BNNK Garut 3
BNNK Tasikmalaya -
BNNK Bandung Barat -
BNNK Sumedang -
BNNK Cimahi 3
BNNK Sukabumi 4
Sumber : BNNP Jawa Barat, 2017

3.3. Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan indikator kinerja kegiatan instansi


atau lingkungan yang berpartisipasi dalam program pemberdayaan anti
narkoba. Dalam pelaksanaannya, program pemberdayaan anti narkoba
melibatkan instansi pemerintah, pendidikan, dunia usaha dan lingkungan
masyarakat. Keterlibatan instansi pemerintah melalui penyelenggaraan
kegiatan program pemberdayaan anti narkoba, meliputi rapat kerja,

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 177
pengembangan kapasitas, supervisi dan implementasi Rencana Aksi
P4GN di lingkungan pemerintahan, dan Rapat Monitoring dan Evaluasi
terkait pelaksanaan program pemberdayaan anti narkoba di instansi
pemerintah. Keterlibatan instansi pendidikan menekankan pada
pelaksanaan pembinaan fasilitator pendidikan tentang implementasi
kebijakan P4GN, dan supervisi hasil implementasi kebijakan P4GN di
lingkungan pendidikan.

Pada instansi dunia usaha difokuskan pada bimbingan teknis


terkait pemberdayaan anti narkoba di kalangan karyawan dengan hasil
kegiatan berupa pembuatan rencana tindak lanjut implementasi P4GN
di kalangan dunia usaha meliputi sumber daya manusia, sistem, metode,
penganggaran dan sarana dalam bentuk MOU. Sedangkan, di lingkungan
masyasyarakat berupa pengembangan kapasitas masyarakat melalui
perwakilan forum RW dan LPM di Kawasan Jawa Barat. Hasil kegiatan
berupa pembuatan rencana tindak lanjut implementasi P4GN di
lingkungan LPM atau RW dengan mempertimbangkan aspek sumber
daya, sistem dan metode, anggaran dan sarana. Berdasarkan hasil
Laporan Kinerja BNN Provinsi Jawa Barat Tahun 2017, jumlah instansi
yang turut berpartisiasi dalam program pemberdayaan narkoba ada
44 institusi, ebih kecil dari target sebelumnya yaitu 48 institusi. BNNK
Tasikmalaya dan BNNK Bandung Barat merupakan satuan kerja yang
belum melibatkan instansi atau lembaga lainnya dalam kegiatan P4GN.
BNNK Ciamis dan BNNK Sumedang baru melibatkan satu instansi dalam
kegiatan program P4GN. Sedangkan BNNK Bandung telah melibatkan
tiga instansi, yaitu pemerintah, pendidikan dan masyarakat. Sembilan
BNNK lainnya di Provinsi Jawa Barat dan BNN Provinsi Jawa Barat telah
melibatkan keempat instansi tersebut.

Pendekatan dalam kampanye P4GN dilakukan dengan menggunakan


berbagai metode, menyesuaikan dengan sasaran program. Sebagai
contoh, kampanye P4GN di kalangan penduduk yang lebih muda harus
dilakukan dengan metode yang tepat untuk mereka. Kampanye P4GN
untuk siswa SD, misalnya, dilakukan melalui dongeng dan wayang.
Sedangkan untuk pelajar SMP/SMA, kampanye yang dilakukan lebih
atraktif menggunakan pendekatan audio visual. Animo yang dirasakan
dari anak-anak sekolah sangat bagus, terlihat dari pertanyaan-pertanyaan
yang muncul. Dengan masyarakat malah tidak banyak pertanyaan. Di

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


178 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
masyarakat juga masih ada kendala stigma jelek tentang pengguna
narkoba. Oleh karena itu, hal yang penting adalah bagaimana merubah
paradigma bahwa pecandu narkoba adalah sampah masyarakat.
Jangan sampai anak yang menjadi pengguna narkoba ini justru dibuang/
dipindahkan. Selain merubah paradigma stigma, hal yang penting yaitu
mendidik agar mereka mau datang sukarela, jangan sampai menunggu
ditangkap karena ada kasus. Selain itu, diharapkan agar sasaran program
bukan hanya siswanya, tetapi juga guru dan orang tuanya.

Kegiatan lainnya yang dilakukan yaitu di tingkat masyarakat, dengan


menginisiasi pembentukan “Kelurahan Bersih Narkoba”. Namun kegiatan
ini dalam pelaksanaannya masih menemukan kendala, karena belum
menjadi kebijakan pimpinan. Berikut pernyataan salah seorang staf di
BNNK Bandung:

“………..hal ini masih terkendala apresiasi pimpinan yang kurang


sehingga kami gerilya ke bawah ke 30 kecamatan. Tapi belum menjadi
kebijakan pimpinan. Kendala di masyarakat adalah mayoritas takut
karena dikira kalau melaporkan akan ada proses hukum. Padahal,
kami sudah sering sampaikan silakan melapor daripada nanti
tertangkap”.

Implementasi kegiatan P4GN sudah cukup banyak dilakukan di


setiap kelurahan, seperti Kelurahan Cinambo Kecamatan Sukamaju
dengan mengandeng anggaran dari pihak dunia usaha. Akan tetapi,
kendala yang terbesar adalah kontinunitas dari suatu program. Dana-dana
yang bersumber dari CSR tidak selalu digunakan untuk kegiatan narkoba
sehingga tidak jarang panti rehabilitasi yang telah menerima bantuan
dana dan menyelenggarakan kegiatan tersebut, apabila anggaran dana
tidak ada maka kegiatannya terpaksa dihentikan. Dengan demikian
perlu koordinasi antara stakeholder untuk memetakan kerjasama dan
pembagian peran agar kegiatan program P4GN, khususnya pemberdayaan
anti narkoba dapat terus dilaksanakan secara berkelanjutkan.

Upaya lainnya yang dilakukan oleh BNN Kota Bandung yaitu berupaya
untuk mengurangi stigma yang dilakukan melalui rebrand imaging, seperti
kendaraan (mobil) yang dipakai menggunakan tagline “Sahabat Lawan
Narkoba”. Kegiatan tersebut masuk melalui komunitas-komunitas motor
seperti XTC dan Brigez. Kegiatan dilakukan bekerjasama dengan orang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 179
organisasi masyarakat, seperti Granat dan KNPI yang memiliki legal formal.
Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisasi kendala pelaksanaannya.
Selain itu, kegiatan tersebut juga melibatkan tokoh agama seperti MUI,
NU, Muhamadiyah, dan Kementerian Keagamaan. Keterlibatan berbagai
stakeholder tersebut untuk memaksimalkan capaian dan meminimalisasi
hambatan dalam pelaksanaan kegiatan.

Secara umum, Pemerintah Kota Bandung bersama dengan BNN


Provinsi Jawa Barat, Polri dan TNI berupaya menggandeng seluruh
elemen dalam memberantas narkoba. Salah satu yang dilakukan
yaitu menguatkan peran tiga pilar di kelurahan: lurah, Bintara Pembina
Desa (Babinsa) dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban
Masyarakata (Bhabinkantibmas), didukung oleh Puskesmas. Penguatan
peran ketiga pilar4 tersebut diharapkan dapat menjadi garda terdepan
di wilayahnya untuk mengatasi penyalahgunaan dan pemberantasan
peredaran narkoba. Selain itu, penguatan peran tersebut merupakan
wujud partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam mengatasi
permasalahan narkoba di Kota Bandung secara khususnya dan Jawa Barat
secara umumnya. Kasus narkoba saat ini tidak hanya terjadi di perkotaan
melainkan juga telah masuk di perdesaan dengan range kelompok
umum yang semakin lama semakin rendah atau usia SMP. Peningkatan
peran aktif masyarakat secara tidak langsung telah dilakukan mulai dari
lingkungan terendah yaitu, keluarga, RT, RW dan desa atau kelurahan.

4. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Narkoba

4.1. Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan Bancey Kelas II A merupakan salah satu


lapas yang terdapat di Kota Bandung yang memiliki sejarah panjang.
Lapas Banceuy merupakan penjara yang dibangun oleh Belanda sejak
tahun 1877. Sejumlah tokoh Negara, seperti Presiden RI pertama Ir.
Soekarno pernah mendekam di penjara ini. Berkembangnya penduduk
Kota Bandung yang semakin heterogen dan kompleks, maka pemerintah
daerah Kota Bandung menetapkan lahan dan tanah di Jl. Soekarno
Hatta No. 187 A Bandung sebagai lokasi Lapas Banceuy Bandung. Sejak
tahun 1982 secara bertahap Lapas Banceuy mengalami pembangunan.
4
https://www.ayobandung.com/read/2018/11/29/41112/cara-pemkot-bandung-berantas-narkoba-di-wilayahnya

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


180 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Di tahun 1990 seluruh narapidana yang dititipkan di Lapas Kebunwaru
dikembalikan ke Lapas Banceuy sesudah selesai proses pemugaran.
Proses pemugaran Lapas Banceuy dengan meninggalkan bangunan satu
sel penjara Soekarno dan menara pos penjaga sebagai situs sejarah.

Pada tahun 1999, berdasarkan Surat Keputusan Kementerian


Kehakiman RI, Lapas Banceuy ditetapkan sebagai Lapas Khusus Napi
Narkoba. Meskipun Lapas Kebonwaru telah ditetapkan sebagai lapas
narkoba, namun mayoritas warga binaan di Lapas Banceuy (90 persen)
adalah napi narkoba. Saat ini jumlah warga binaan di Lapas Banceuy
sudah mencapai 715 orang. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir kasus
narkoba memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan
data jumlah warga binaan kasus narkoba di Lapas Banceuy, mayoritas
berstatus pengedar, dan hanya tujuh orang berstatus pengguna.
Ketidakseimbangan komposisi tersebut sangat tergantung dari hasil
keputusan di pengadilan.

Pada tahun 2016, Lapas Banceuy mengalami kerusuhan antara warga


binaan dengan petugas lapas. Kerusuhan tersebut menyebabkan kebakaran
di sebagian besar bangunan lapas. Pasca kebakaran, Lapas Banceuy
mengalami keterbatasan sarana maupun prasarana, sehingga penanganan
kasus narkoba tidak dibedakan dengan warga binaan non narkoba.
Pembedaan hanya dilakukan dengan penetapan sel tahanan. Warga binaan
narkoba ditempatkan dalam sel yang terpisah dengan warga binaan non
narkoba. Secara umum, pembinaan warga binaan Lapas Banceuy tidak
berbeda dengan lapas umum lainnya. Pembinaan dibedakan menjadi dua,
yaitu pembninaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.

Pembinaan kepribadian lebih menekankan pada akhlak dan perilaku


warga binaan dengan mendekatkan diri pada nilai keagamaan. Melalui
pembinaan ini diharapkan warga binaan menyadari kesalahan yang telah
dilakukan, diharapkan menyesal dan berjanji untuk tidak mengulanginya
kembali. Dalam pelaksanaannya, setiap hari warga binaan wajib mengikuti
kegiatan keagamaan dalam bentuk pengajian di masjid ataupun gereja.
Setiap warga binaan juga wajib menyelenggarakan ibadah secara
bersama-sama. Keterbatasan ruang beribadah (masjid) maka kegiatan
tersebut dilakukan secara berkelompok dan bergiliran disesuaikan dengan
sel tahanan. Untuk mempermudah proses kegiatan, karena keterbatasan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 181
jumlah petugas lapas, maka kegiatan tersebut dikoordinir oleh ketua RT,
yaitu warga binaan tertua yang dihormati dan disegani sesama warga
binaan dalam satu sel tahanan. Ketua RT bertanggung jawab untuk
mengajak teman-teman selnya. Apabila ada warga binaan yang tidak mau
ikut, ketua RT berkewajiban melaporkan kepada petugas lapas.

Pembinaan Kemandirian dimaksudkan untuk memberikan


keterampilan kepada warga binaan agar dapat menjadi bekal di kemudian
hari. Pasca kebakaran, karena keterbatasan sarana dan prasarana, maka
kegiatan pembinaan kemandirian menjadi terbatas pada kerajinan rotan,
kerajinan menjahit (bordir) dan peternakan. Aktivitas kerajinan rotan dan
menjahit dilakukan di aula serba guna lapas. Kegiatan menganyam rotan
dan menjahit dilakukan setiap hari. Bahan dasar diperoleh dari perusahaan
yang bekerjasama dengan lapas. Kerajinan rotan yang dihasilkan oleh
warga binaan akan diambil oleh perusahaan yang kemudian dipasarkan
ke luar negeri. Warga binaan yang terlibat dalam kegiatan tersebut akan
memperoleh jasa sesuai dengan jumlah yang dikerjakan. Sampai saat ini,
tenaga pengajar rotan berasal dari mantan warga binaan Lapas Banceuy.

Peralatan dan jumlah bahan yang disediakan oleh perusahaan


rotan (rekanan) juga terbatas, sehingga warga binaan yang terlibat pada
kegiatan ini juga terbatas. Kegiatan lain yaitu memasak bagi beberapa
warga binaan, yang hasilnya dapat dijual kepada warga binaan lainnya.
Keterbatasan bahan baku, peralatan (mesin jahit) dan kurangnya
tenaga pengajar maka jumlah warga binaan yang terlibat juga terbatas,
sebagaimana dikemukakan oleh seorang warga binaan:

“ … anyam rotan…. saya ga ikutan….. karena nggak ada yang kosong,


jadi susah untuk mau masuk”

Warga binaan yang telah mencapai minimum security atau setengah


masa tahanan dan dianggap layak oleh Tim Penilai Pembinaan diberikan
kesempatan untuk menjadi tamping, yang bertugas sebagai pekerja
membantu kegiatan lapas, seperti menyapu dan mengepel. Tamping
ditetapkan melalui surat keputusan Kepala Lapas. Keberadaan dan tugas
tamping dalam kegiatan sehari-hari sangat membantu aktivitas lapas
Banceuy secara keseluruhan. Penampilan tamping dapat dilihat dari
pakaian seragamnya, yaitu menggunakan baju biru.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


182 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Mengatasi keterbatasan jumlah warga binaan yang mendapatkan
akses kegiatan kerajinan rotan, jahit-menjahit dan memasak, di Lapas
Banceuy juga dilakukan kegiatan Pramuka. Kegiatan Pramuka dilakukan
dua kali seminggu, yaitu pada hari Selasa dan Kamis. Kegiatannya berupa
baris-berbaris dan pengetahuan. Kegiatan pramuka di Lapas seperti kegiatan
Pramuka pada umumnya, sehingga satu tahun sekali juga dilakukan
kegiatan perkemahan. Bagi warga binaan kegiatan ini sebagai kegiatan
positif dan wahana untuk mengisi kekosongan dan rutinitas yang positif.

Kendala terbesar yang dirasakan oleh pihak Lapas Banceuy yaitu


sarana dan prasarana yang masih sangat minim akibat kebakaran di
tahun 2016. Hal tersebut menyebabkan pembinaan kasus narkoba
belum dilakukan secara spesifik, karena keketerbatasan sarana dan
pengetahuan. Keterbatasan sarana dan prasaran tersebut sangat
berpengaruh terhadap efektifitas pembinaan di lapas.

Sebelum tahun 2016 (sebelum peristiwa kebakaran), Lapas Banceuy


bekerjasama dengan berbagai instansi dan LSM melakukan pelatihan
dan memfasilitasi bebagai penanganan kasus narkoba. Salah satunya,
Lapas Banceuy bersama BNN, RSKU dan LSM pernah menyelenggarakan
program TC (Therapeutic Community) khusus untuk warga binaan kasus
narkoba. Pada Saat itu, Banceuy juga memiiki laboratorium pemeriksaan
TBC, AIDS dan HIV sebagai labotarium rujukan bagi lapas lainnya sekota
Bandung. Pasca kebakaran menyebabkan semua infrastruktur rusak dan
hancur, dan bebarapa petugas dimutasi.

Sejak tahun 2017, infrastruktur terkait dengan medis kesehatan


di lapas hanya pada pemeriksaan kesehatan standar. Alat dukung
kesehatan yang kurang lengkap menyebabkan perawat terlatih tidak
sepenuhnya memanfaatkan ilmu dalam penanganan kasus narkoba.
Pembinaan warga binaan kasus narkoba diperlakukan sama dengan
warga binaan non narkoba. Pada umumnya, warga binaan Lapas
Banceuy yang membutuhkan konsultasi dapat menghubungi Petugas
Psikolog. Oleh karena jumlah warga binaan Lapas banyak, sedangkan
di Lapas Banceut hanya terdapat satu orang psikolog, maka tidak dapat
mengatasi berbagai permasalahan secara maksimal. Kondisi tersebut
mengakibatkan sebagian warga binaan memilih berkonsultasi dengan
petugas atau pembina lapas lainnya yang memiliki kedekatan emosional.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 183
Keterbatasan tenaga psikolog menyebabkan proses konsultasi lebih
bersifat umum dan tidak mengikuti standar konseling.

Pembina dan Petugas Lapas Banceuy menyadari bahwa proses


pembinaan yang dilakukan selama ini (Pasca kebakaran di tahun 2016)
masih jauh dari kebutuhan warga binaan. Pembinaan warga binaan kasus
narkoba belum ditangani secara khusus. Padahal, secara spesifik warga
binaan kasus narkoba memiliki perilaku yang cenderung berbeda. Umumnya
warga binaan memiliki sifat lebih tertutup dan sulit berbaur dengan
lingkungannya. Selain itu, tidak jarang warga binaan tersebut memiliki sifat
temperamental yang mudah berubah. Mengatasi permasalahan tersebut,
pembinaan kepribadiaan di Lapas Banceuy lebih menekankan pada
pendekatan kerohanian. Oleh karena keterbatasan tenaga Pembina, maka
proses pembinanan kepribadian sulit diperlakukan secara personal.

Efektivitas pembinaan kemandirian bagi warga binaan yang telah


dilakukan oleh petugas dan Pembina Lapas Banceuy masih sangat
minim. Hal tersebut tercermin dari pernyataan petugas lapas dan warga
binaan. Sarana dan prasarana dan jenis keterampilan pelatihan kerja
kurang mendukung dalam pengembangan usaha mandiri. Keterbatasan
tersebut berimplikasi pada jangkauan keterlibatan warga binaan yang
rendah. Di samping itu, keberagaman warga binaan yang cukup tinggi juga
menjadi salah satu kendala yang tidak dapat dielakkan. Keberagamaan
itu dilihat dari umur, tingkat pendidikan dan latar belakang sosial ekonomi.
Lapas Banceuy menyadari masih banyak jenis-jenis pelatihan kerja yang
dapat diberikan kepada warga binaan dalam upaya mengoptimalkan
kemandirian. Namun keterbatasan sarana dan prasarana menjadi
penghalang terbesar meningkatkan efektivitas pembinaan di lapas.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut maka diperlukan


peran aktif dari berbagai sektor. Peran aktif dimulai dari lingkungan terkecil,
yaitu keluarga yang kemudian diikuti dengan masyarakat yang lebih luas.
Tidak kalah penting yaitu peran Pemerintah Daerah dan dunia usaha
untuk memperluas keberagaman pelatihan kerja dan menfasilitasi sarana
dan prasarana, serta permodalan guna membangun usaha tersebut.
Lapas Banceuy dengan tangan terbuka memberikan kesempatan
kepada berbagai pihak dalam upaya memaksimalkan pembinaan warga.
Peran aktif masyarakat dan dunia usaha mengatasi segala kekurangan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


184 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
pembinaan warga sangat dibutuhkan. Pada akhirnya, diharapkan
pembinaan warga yang dilakukan oleh Lapas dapat disesuaikan dengan
kebutuhan zaman dan tepat sasaran, sebagaimana dikemukakan oleh
seorang petugas Lapas:

“…kenapa ?…. karena petugas kita tidak dilatih untuk itu… kita tidak
memiliki ilmu untuk itu….. kita tidak memiliki saspras untuk itu ……
kemudian… kalo tidak salah butuh obat juga ……. saya juga kurang
paham …… jadi kita memang tidak siap untuk itu”

Proses pembinaan warga selayaknya tidak hanya dilakukan oleh


pihak lapas sebagai ujung dari permasalahan narkoba, melainkan dimulai
dari proses penyidikan dan proses peradilan. Proses penegakan hukum
kasus narkoba hendaknya dilakukan dengan benar sesuai dengan hukum
yang berlaku, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Jadi penegak
hukum harus memberikan hak yang sama bagi seluruh terpidana tanpa
mengenal perbedaan status. Kasus narkoba juga perlu dipisah antara
pemakai dan pengedar. Untuk pengedar penyelesaiannya harus dengan
hukuman yang tepat untuk memberikan efek jera dan menghindari
muculnya permasalahan lainnya di lapas. Sedangkan untuk pengguna
mungkin perlu diselesaikan melalui rehabilitasi, tidak harus sampai ke
lapas. Dengan demikian pembinaan di lapas akan bisa lebih efektif dan
tepat sasaran, dan bisa meminimalisasi pengguna untuk berinterkasi
dengan bandar narkoba.

4.2. Pembinaan Melalui Rehabilitasi

Pembinaan melalui rehabilitasi yang diteliti terbatas pada program


rehabilitasi “Saung Kawani” Yayasan Grapiks. Yayasan Grapiks (Graha Prima
Karya Sejahtera) adalah sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang
pemberdayaan masyarakat dan komunitas marginal melalui pendampingan,
advokasi, dan pelatihan. Secara formal, organisasi ini berdiri pada tahun 1999.
Namun sejak tahun 1985 telah menjadi komunitas masyarakat perdesaan
yang bergerak di bidang pendidikan. Pada awalnya, Grafiks berkonsentrasi
pada Program Pemberdayaan Anak-anak yang membutuhkan perlindungan
khusus, seperti anak korban narkoba, anak jalanan, anak yang dilacurkan
dan anak yang berkonflik dengan hukum. Atas dasar pengalaman tersebut,
Grapiks berhubungan baik dengan berbagai stakeholders. Sampai saat

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 185
ini, Grapiks berhasil mendapat dukungan dari pemerintah daerah Kota
Bandung dan Provinsi Jawa Barat (Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial).
Selain itu, Grapiks juga mendapat dukungan dari lembaga Asing Netherland
Batam, pihak dunia usaha, seperti Perusahaan Obat Combipar, Perusahaan
Indofood, Perusahaan Jasa Marga dan lain-lain.

Seiring dengan meningkatnya kasus HIV – AIDS di Indonesia, pada


tahun 2004 Grapiks memperoleh dukungan dari AusAID dan IHPCP untuk
berkonsentrasi dalam upaya pencegahan HIV-AIDS di kalangan pengguna
narkoba suktik, yaitu program Implementasi IDU Harm Reduction. Pada
awalnya kegiatan difokuskan di wilayah Kota Bandung. Namun saat ini,
kegiatan tersebut telah mencakup Kota Cimahi, Kota Bekasi dan Kabupaten
Bekasi. Kegiatan tersebut meliputi penjangkauan dan pendampingan
kepada pengguna narkoba suntik (penasun), pemberian informasi seputar
Narkoba, HIV-AIDS dan penyakit menular lainnya, Voluntary Counseling
and Test (VCT), rujukan rehabilitasi dan layanan kesehatan, pembentukan
kader berbasis masyarakat dan komunitas pengguna narkoba suntik,
pembentukan pos informasi berbasis masyarakat dan komunitas
pengguna narkoba suntik, pemberdayaan ekonomi pasangan pengguna
narkoba suntik, pembentukan kelompok dukungan sebaya, bantuan gizi
untuk anak yang terinfeksi HIV, dan lain-lain.

Pada tahun 2012 sampai dengan 2015, Grapiks dipercaya oleh


PKBI melalui dukungan dana Global Fund (GF) untuk melakukan upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS pada komunitas waria, lelaki
seks lelaki (LSL), wanita pekerja seksual, LBT dan penasun di wilayah
Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bekasi. Tujuan kegiatan
tersebut adalah mengurangi kasus infeksi baru, mengurangi kematian
karena AIDS, dan mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
Di tahun 2016, Grapiks masih dipercaya oleh PKBI Jawa Barat melalui
dukungan Global Funding-New Funding Models (GF-NFM) untuk
melakukan upaya pencegahan HIV-AIDS terhadap komunitas pengguna
narkoba suntik dan lelaki seks lelaki (LSL) di wilayah Kota Bandung.

Saung Kawani merupakan salah satu tempat pemulihan adiksi


di Yayasan Grapiks yang diinisiasi oleh Jundullah Muhammad Fauzan
sebagai mantan korban narkoba binaan Yayasan Grapiks. Beliau juga
merupakan petinju professional dan pernah memperoleh gelar juara

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


186 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
tinju nasional kelas bulu versi KTPI (Komite Tinju Profesional Indonesia).
“Saung Kawani” merupakan kegiatan rehabilitasi yang menekankan pada
konsep Narkotik religius sejak tahun 2017.

Pendekatan yang diterapkan di saung kawani adalah power of


sharing. Berbagi dan saling mendengarkan, saling memberikan perhatian
merupakan kunci untuk mengurai permasalahan. Di saung ini, para
pecandu diajak untuk saling bercerita, saling mendengarkan dan saling
berempati antara pecandu dan konsuler sehingga tercipta hubungan
kedekatan. Menempatkan perhatian yang sekecil apa pun kepada
pecandu diharapkan mampu menggugah hati mereka, karena hati yang
telah tergugah akan menguatkan niat untuk menjadi pribadi baru yang
lebih baik, serta menjauhkan segala hal yang berhubungan dengan
narkotika.

Dengan konsep narkotik religius para residen diajak untuk semakin


mendekatkan diri kepada pencipta. Secara bertahap, mereka diajak
belajar melalui agama sehingga menjadi pribadi yang lebih. Saung
Kawani menerapkan tujuh langkah untuk dapat meninggalkan perilaku
penyalahgunaan narkoba, yaitu:
1. Niat,
2. Doa,
3. Ikhtiar,
4. Berserah diri,
5. Bersyukur,
6. Tobat,
7. Istiqamah.

Kegiatan power sharing diharapkan akan memperkuat niat para


pecandu untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Setelah niat kuat maka
akan lebih mudah untuk diarahkan dan dituntut menuju tahapan-tahapan
berikutnya. Minimal apabila telah memiliki lima langkah tersebut maka
telah memulai untuk menjadi manusia yang beriman dan pribadi yang
semakin baik. Dengan demikian, pendekatan agama bagi Saung Kawani
menjadi strategi yang paling tepat untuk mampu merubah pribadi pecandu.

Selain kegiatan keagamaan dengan shalat berjamaah dan pengajian,


di Saung Kawani, para residen diajak untuk melakukan aktivitas

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 187
berkebun dan berbengkel. Lokasi berkebun ada di saung sehingga
dapat dimanfaatkan untuk menanam jagung, kacang-kacangan dan
jenis tumbuhan lainnya. Keberadaan bengkel di Grapiks menjadi ajang
bagi para residen dan warga setempat untuk menjadi kegiatan ekonomi
yang lebih bermanfaat bagi masyarakat di sekitar. Dengan latar belakang
pendiri sebagai petinju professional, maka para residen juga diajak untuk
bergabung dalam Klub tinju. Kegiatan olah raga ini menjadi wahana
positif untuk dapat menyalurkan aktivitas dan berpikir positif. Diharapkan
dengan kegiatan positif tersebut mampu mereduksi pemikiran negatif
dalam diri pecandu.

Hal lain, yang tidak dapat dipungkiri dan sangat dibutuhkan dari
proses rehabilitasi adalah dukungan dari orang-orang terdekat seperti
keluarga dan orang tua, untuk menguatkan hati pecandu agar dapat
melangkah menjadi lebih baik. Selain itu, lingkungan yang kondusif saling
memperhatikan dan mendukung menjadi motivasi yang paling besar. Niat
yang kuat akan memantapkan langkah-langkah pada tahapan berikutnya.
Akan tetapi, tidak jarang mereka akan kembali menjadi pengguna apabila
lingkungan sekitarnya kurang kondusif , serta kurang mendapat perhatian
dari keluarga, sebagaimana dikemukakan oleh seorang petugas rehab:

“……. ada residen kami yang sudah sembuh........ namun kemudian


pindah ke luar kota untuk bekerja…. tidak lama kemudian… karena
jauh dari keluarga akhirnya kembali lagi pakai.”

Konsep kekeluarga yang diusung dalam saung ini diharapkan


bisa membangun hubungan para residen dan konselor untuk saling
mempercayai dalam bersikap dan bertindak. Diharapkan akan muncul
kepercayaan diri bagi residen sehingga akan melangkah menjadi pribadi
yang lebih baik yang jauh dari narkoba.

Bekerjanya suatu program rehabilitasi sangat dipengaruhi oleh


pribadi residen (pecandu). Keberhasilan suatu program rerhabilitasi
kembali kepada kemantapan diri untuk berubah menjadi pribadi yang lebih
baik. Saung Kawani menyadari bahwa tidak mudah menggugah hati para
residen untuk menjadi pribadi yang sehat yang jauh dari narkoba. Namun,
Saung Kawani berupaya mengajak untuk saling berbagi dan mendengar
karena para konselor dan penggagas saung ini juga merupakan mantan
pecandu. Dengan saling berbagi dengan sesama mantan pencandu maka

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


188 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
mereka lebih mengetahui dan memahami yang dirasakan dan yang tidak
dapat diungkapakan dengan kata-kata. Kunci dari dari suatu perubahan
pribadi adalah niat. Niat untuk berubah akan semakin kuat apabila telah
terbentuk hati yang tulus dan rasa saling mempercayai. Hati yang terketuk
akan memantapkan niat sehingga lebih mudah untuk diarahkan menjadi
manusia yang mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa yang maha
melihat dan menuntut kehidupan umatNya.

Dukungan keluarga, orang tua dan sanak saudara sangat membantu


proses pembentukan rasa percaya diri untuk dapat menjadi pribadi baru.
Tanpa ada dukungan tersebut, segala upaya yang telah dilakukan akan
tidak berarti, dan mereka akan sangat mudah untuk tergelincir kembali.

Melihat pembinaan yang dilakukan di lapas dan di panti rehabilitasi,


dapat disimpulkan bahwa lapas bukan suatu upaya tepat untuk dapat
mengatasi penyalahgunaan narkoba. Tidak jarang keberadaan di lapas
semakin menjerat pecandu dalam lingkungan yang tidak sehat tersebut.
Lapas menjadi tempat berkumpulnya para bandar dan pemakai sehingga
tidak jarang muncul istilah “pulang dari lapas malah makin pintar”.
Keberadaan seorang pengguna di Lapas memberikan peluang baginya
untuk mengenal dan belajar jaringan narkoba yang semakin luas, sekaligus
dapat terlibat di dalamnya. Berbagai sterilisasi telah diupayakan oleh para
petugas lapas, namun kemajuan informasi dan teknologi memudahkan
proses pemasaran. Hukum ekonomi pun tidak dapat dielakkan bahwa
semakin tinggi permintaan maka penawaran akan terus berlangsung.
Cuplikan wawancara dengan seorang mantan pemakai warga binaan di
Lapas menggambarkan kondisi tersebut.

“… masuk pertama cuma satu tahun setengah dengan pasal sebagai


pemakai….. terus sekarang masuk lagi dengan lama tahanan delapan
tahun…. Kalo saya mau saya bisa beli di sini…. Tapi kan di sini saya
kan nggak punya uang… untuk apa juga….”

Para penyalahguna mengakui bahwa nilai ekonomi yang cukup


besar yang diperoleh dari proses transaksi, menjadi faktor pendorong
untuk menjadi pengedar. Dorongan kebutuhan ekonomi yang semakin
besar sehingga tanpa berpikir panjang upaya apapun dilakukan meskipun
bertentangan dengan nilai dan norma di dalam masyarakat. Tidak jarang,
pemakai pada awalnya hanya ingin memperoleh barang namun adanya

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 189
kesempatan maka ikut terlibat dalam memasarkannya. Pernyataan
berikut merupakan pengakuan dari seorang warga binaan:

“…. Jujur saya awalnya cuma mau beli untuk pake sendiri… tapi lama-
lama ditawarin bawa aja dulu… dan lama-lama beli yang agak banyak
terus dikit-dikit dijual juga ama teman-teman… “

Keberhasilan suatu program rehabilitasi sangat tergantung dari


kekuatan keinginan untuk berubah menjadi lebih baik. Saung Kawani
menitik beratkan pada pendekatan personal dan keagamaan untuk
memantapkan niat untuk menjauhi dari narkoba. Kekuatan niat
berperilaku sehat akan lebih memudahkan untuk mengarahkan ke tujuan
yang lebih baik. Namun, tanpa adanya dukungan dan perhatian dari
orang-orang terdekat proses rehabilitas sulit untuk dapat berjalan dengan
lancar. Selain niat yang kuat, dukungan moral dari semua pihak terutama
keluarga dan orang tua menjadi faktor utama untuk dapat berubah.
Menciptakan lingkungan yang kondusif juga menjadi faktor yang cukup
kuat mempengaruhi efektivitas proses rehabilitasi. Berikut ini adalah
cuplikan wawacara dengan mantan pemakai dan petugas rehabilitasi.

“….. jika dah punya niat…. sedikit-sedikit bisa ditanamkan… diarahkan


untuk bisa lebih baik….”

“…. Mereka semua disini seperti keluarga bagi kita….. jadi mereka
butuh support karena mereka tidak semua punya keluarga yang bisa
mendukung mereka… “

Keterbatasan sarana dan prasarana di Lapas disadari belum


mampu menyentuh upaya mengatasi penyalahgunaan narkoba bagi
warga binaannya. Kegiatan pembinaan bagi warga binaan belum bisa
menyentuh personal sehingga belum menyentuh dasar permasalahannya.
Keterbatasan jenis kegiatan kemandirian sering kali belum mampu
menjadi ketrampilan dan sumber mata pecaharian pasca keluar dari lapas.
Untuk meningkatan upaya pembinaan di lapas sangat diperlukan peran
berbagai pihak; tidak hanya pemerintah pusat dan daerah, melainkan
juga dunia usaha dan masyarakat. Semakin banyak pihak yang terlibat,
diharapkan proses pembinaan di lapas dapat disesuaikan kebutuhan
warga binaannya; sebagaimana dikemukakan oleh seorang warga binaan:

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


190 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
“ saya pikir… jika di lapas ini ada pabrik dengan orang-orang yang
di lapas sebagai pekerja saya yakin akan lebih produktif, daripada
pemerintah saat ini hanya kasih makan saja dan jadinya beban juga”

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Sebagaimana di kota-kota lain di Indonesia, permasalahan


penyalahgunaan narkoba di Kota Bandung cukup memprihatinkan, dan
perlu terus mendapat perhatian dari berbagai pihak terkait. Studi ini
menghasilkan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
a. Permasalahan narkoba di Kota Bandung harus menjadi perhatian
semua pihak dari berbagai tingkatan. Penyalahgunaan narkoba
dimudahkan dengan kemajuan teknologi informasi di era globalisasi.
b. Berkaitan dengan data dan informasi, sebenarnya sudah ada dan
tersedia di berbagai pihak yang terkait dalam penanggulangan
penyalahgunaan narkoba di Kota Bandung. Meskipun demikian,
diperlukan sinergi untuk terus meningkatkan secara optimal
penggunaan data dan informasi yang tersedia tersebut
c. Di tingkat masyarakat, salah satu hal yang penting yaitu menumbuhkan
kesadaran untuk mengurangi stigma negatif terhadap pengguna
narkoba. Hal lain yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan
kesadaran kepada masyarakat untuk proaktif menyampaikan
informasi apabila ada penyalahgunaan narkoba.
d. Diperlukan peran aktif tidak hanya dari pihak lapas melainkan juga dari
berbagai pihak, seperti pemerintah daerah, dunia usaha, akademisi,
LSM dan masyarakat untuk dapat mewujudkan upaya mengatasi
penyalahgunaan warga binaan di lapas yang tepat sasaran dan
sesuai dengan kebutuhan.
e. Proses pembinaan di Lapas dan program rehabilitasi akan berjalan
lebih mulus apabila ada dukungan besar dari pihak keluarga dan
orang tua sehingga warga binaan atau residen dapat memantapkan
niat untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Sekecil apapun perhatian
dari orang-orang yang berada di sekelilingnya akan mampu membuka
hati mantan pemakai untuk berpikir lebih jernih. Dengan demikian,
pendekatan personal keagamaan menjadi pintu masuk untuk
memulai upaya perubahan perilaku.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 191
f. Lingkungan masyarakat yang kondusif dan mendukung dengan
menciptakan ruang dan kesempatan berperilaku sehat akan
membantu dan memperlancar proses rehabilitasi. Mereduksi stigma
mantan pemakai adalah sampah masyarakat haruslah dihapuskan.
Stigma tersebut dapat memberikan aura negatif sehingga akan
menurunkan kepercayaan diri. Penurunan rasa percaya diri dapat
mendorong mantan pemakai untuk kembali ke perilaku yang
menyimpang tersebut.
g. Diperlukan perbaikan yang bersih dan akuntabel sistem peradilan
untuk meminimalisasi tahanan yang berstatus pemakai, sehingga
lapas hanya diisi oleh tahanan berstatus bandar ke atas. Hal tersebut
penting untuk menjaga kemungkinan peningkatan status warga
binaan dari pemakai menjadi pengendar atau bandar akibat dari
pertemanan di lapas.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Narkotika Nasional (BNN). 2017. Renstra BNN 2015-2019 (Review).


Jakarta: BNN.

BNN Kota Bandung. 2018a. Rekapitulasi Kasus Narkoba di Kota Bandung


Periode Tahun 2013-2017. Bandung: BNN Kota Bandung.

BNN Kota Bandung. 2018b. Rencana Kegiatan Sosialisasi TA 2019 BNN


Kota Bandung dan Data Kegiatan Sosialisasi TA 2018 BNN Kota
Bandung. Bandung: BNN Kota Bandung.

BNN Provinsi Jawa Barat. 2017. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah


(LKIP) Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat Tahun Anggaran
2017. Bandung: BNN Provinsi Jawa Barat.

BPS Kota Bandung. 2017. Kota Bandung Dalam Angka 2017. Bandung:
BPS Kota Bandung.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


192 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
VIII

Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkoba di Yogyakarta
Provinsi D.I Yogyakarta

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 193
Tari Serimpi
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
194
436 Survei
PENANGGULANGAN BatikBatikKawung
Prevalensi Penyalahgunaan
PENYALAHGUNAANNarkoba 2018 - 2018
Kawung
NARKOBA Khas
Studi Kualitatif Yogyakarta
Khas Yogyakarta
VIII
PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
DI YOGYAKARTA

Oleh:
Masyhuri Imron; Sudiyono; Novita Sari

1. Pendahuluan

Narkoba merupakan ancaman serius yang dihadapi oleh bangsa


Indonesia saat ini. Ancaman bahaya narkoba itu meluas di seluruh
wilayah di Indonesia, termasuk di wilayah DI Yogyakarta. Oleh karena
itu permalahan penyalahgunaan narkoba di wilayah Yogyakarta perlu
mendapatkan perhatian dari semua pihak.

Sebagai daerah yang dikenal dengan sebutan kota pelajar, Kota


Yogyakarta dan sekitarnya banyak dihuni oleh pelajar dan mahasiswa
yang datang dari berbagai wilayah lain di Indonesia untuk sekolah/kuliah
di sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang banyak terdapat di wilayah
itu. Banyaknya pelajar dan mahasiswa yang kos perlu untuk mendapatkan
perhatian tersediri, karena mereka itu terpisah dengan orang tuanya,
sehingga kontrol terhadap mereka sangat kurang.

Tulisan ini membahas permasalahan narkoba di wilayah Yogyakarta


dan dinamika yang menyertainya. Dalam tulisan ini dibahas tentang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 195
peredaran dan penyalahgunaan narkoba yang terjadi di Yogyakarta, dan
penyebabnya menurut para pengguna dan mantan pengguna. Selain itu
juga dibahas tentang dampak narkoba yang mereka rasakan. Selanjutnya
dibahas tentang upaya pencegahan yang sudah dilakukan oleh BNNP,
baik melalui penyebaran informasi tentang bahaya narkoba, advokasi,
maupun melalui pemberdayaan masyarakat. Selain itu juga dibahas
tentang efektivitas pembinaan narkoba, baik di Lapas Narkotika Kelas II A
Yogyakarta maupun di panti rehab.

2. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba

2.1. Penyalahgunaan narkoba

Data pada BNNP Yogyakarta menunjukkan bahwa jumlah kasus


narkoba di wilayah DIY mengalami fluktuasi selama lima tahun terakhir.
Jumlah kasus terbanyak terjadi pada tahun 2017 yaitu 22 kasus, dan
jumlah kasus paling sedikit yang berhasil diungkap BNNP Yogyakarta
terjadi pada tahun 2013, yaitu sebanyak 2 kasus. Adapun jika dilihat dari
jenisnya, dari tahun ke tahun yang paling dominan adalah sabu (tabel 8.1).
Adapun banyaknya barang bukti yang disita selama lima tahun terakhir
2013 – 2018 dapat dilihat pada tabel 8.2.

Tabel 8.1. Jumlah Kasus Narkotika yang Diungkap BNNP DIY


Tahun 2013 – 2018

Kategori 2013 2014 2015 2016 2017 2018


Sabu 2 5 8 17 19 16
Ganja - 1 - - 3 -
Tembakau - - - - - 1
Gorilla
Jumlah 2 6 8 17 22 17

Sumber: BNNP Yogyakarta September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


196 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Tabel 8.2. Jumlah Barang Bukti yang Disita BNNP DIY dalam gram
(Tahun 2013 – 2018)

Kategori 2013 2014 2015 2016 2017 2018


Sabu 1.798,589 5.153,5 1,76 1.760,61 4.723,65 1.713,63
Ganja - 1.803 - 9,64 744,4 -
3 linting,
3 ranting
Ekstasi - - 258,5 - 688
(butir) (butir)
Tembakau Gorilla - - - - - 62,90
Sumber: BNNP Yogyakarta September 2018.

Kecilnya jumlah barang yang diedarkan juga berkorelasi dengan


besarnya jumlah tersangka (baik pengedar maupun penyalahguna
narkoba), sebagaimana dapat dilihat pada tabel 8.3).

Tabel 8.3 Jumlah Tersangka di DIY Berdasarkan Perannya Tahun 2013 – 2018

Peran Tersangka 2013 2014 2015 2016 2017 2018


Pengedar 1 3 2 16 29 18
Penyalah Guna 3 4 11 12 1 1
Jumlah 4 7 13 28 30 19
Sumber: BNNP Daerah Istimewa Yogyakarta September 2018.

Khusus pada tahun 2017, latar belakang pekerjaan yang menjadi


tersangka sebagian besar dari kalangan pekerja swasta, disusul dari
mereka yang bekerja sebagai wiraswasta.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 197
Tabel 8.4. Jumlah Tersangka Kasus Narkoba di DIY
menurut pekerjaan 2013-2017

No Pekerjaan Tersangka 2013 2014 2015 2016 2017


1 Wiraswasta - 2 6 7 10
2 Swasta - 2 3 13 11
3 Mahasiswa 2 1 - - 8
4 Mengurus rumah tangga - - - 2 1
5 Buruh 2 1 - 2 -
6 TNI - - 1 - -
7 Polri - - 2 - -
8 PNS - - 1 2 -
9 Petani - - - 1 -
10 Lainnya - 1 - 1 -
Total 4 7 13 28 30
Sumber: BNNP Daerah Istimewa Yogyakarta 2017.

Dilihat dari jumlah tersangka pada tahun 2018 yang hanya mencapai
19 orang (baik sebagai pengedar maupun penyalahguna), maka angkanya
masih terlalu kecil, yaitu kurang dari 1% yang menjadi tersangka. Angka
tersebut mengindikasikan bahwa tidak setiap pengguna terjaring menjadi
tersangka yang dijerat dengan hukuman kurungan atau menjalani
rehabilitasi baik di lapas maupun di panti rehabilitasi.

Berdasarkan data pada BNNP DIY, para tersangka pengedar maupun


penyalahguna narkoba tersebut memiliki latar belakang pendidikan
yang beragam, mulai dari tingkat SD sampai dengan perguruan tinggi,
sebagaimana dapat dilihat pada tabel 8.5. Pada tabel tersebut dapat
dilihat bahwa jumlah tersangka (pengguna dan pengedar) terbanyak
berasal dari lulusan SLTA, disusul kemudian Perguruan Tinggi, dan yang
ke tiga lulusan SLTP.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


198 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Tabel 8.5. Jumlah Tersangka di BNNP DIY Tahun 2013-2018
Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat 2013 2014 2015 2016 2017 2018


Pendidikan
SD - - - 1 1 2
SMP - - 2 2 3 8
SLTA 4 6 10 15 23 9
Perguruan Tinggi - 1 1 10 3 -
Jumlah 4 7 13 28 30 19
Sumber: BNNP Daerah Istimewa Yogyakarta September 2018.

Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa para


pelajar dan mahasiswa yang menjadi pecandu umumnya adalah anak
kos, yaitu mereka yang berasal dari luar kota. Hal itu bisa dipahami karena
mereka jauh dari pantauan orang tua, dan tidak ada kontrol terhadap
perilaku mereka. Selain itu kondisi tempat kos juga ikut berpengaruh.
Anak kos yang tinggal satu rumah dengan pemiliknya, lebih mendapatkan
perhatian terhadap perilakunya, sehingga terdapat kontrol sosial.
Sedangkan tempat kos yang terpisah dari pemiliknya, maka penghuni
kos akan leluasa melakukan apa pun yang diinginkan tanpa ada yang
melarang, karena kontrol sosial tidak berjalan.

Melihat tempat-tempat kos yang banyak dihuni oleh para pelajar dan
mahasiswa di Yogyakarta, kecenderungannya saat ini adalah pada tipe
yang kedua, yaitu berupa rumah kos yang terpisah dari pemiliknya. Hal
itu disebabkan tempat kos sudah dijadikan lahan bisnis, sehingga banyak
orang yang membangun rumah khusus disediakan sebagai tempat
kos. Memang di tempat kos ada petugas yang menunggu, tetapi hanya
mengurusi kebersihan tempat kos, dan tidak peduli terhadap perilaku
penghuninya. Inilah yang menyebabkan tempat-tempat kos menjadi
tempat yang rawan penyalahgunaan narkoba.

Kondisi tersebut berbeda dengan tahun 1980-an. Pada saat itu


pemilik orang menyewakan rumahnya untuk tempat kos tidak semata-
mata berorientasi bisnis. Pemilik kos juga berfungsi sebagai induk
semang yang oleh pihak orangtua telah diberikan tanggung jawab
untuk mengawasi dan membimbing anak-anak kos. Bahkan kalau ada

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 199
masalah yang pada anak kos, seorang ibu kos dengan senang hati akan
membantunya. Suasana seperti itulah yang sekarang sudah tidak dapat
dijumpai lagi.

Para pelajar dan mahasiswa menggunakan narkoba terutama


didorong oleh rasa ingin tahu rasa narkoba. Apalagi pada awalnya
mereka bisa mendapatkan narkoba secara gratis dari teman-temannya.
Seorang narasumber mengatakan bahwa dirinya terlibat dalam
pemakaian narkoba setelah melihat banyak mahasiswa penghuni kos
milik orangtuanya yang memakai narkoba. Karena hampir setiap hari
melihat pemandangan seperti itu, maka muncul rasa ingin tahunya untuk
mencoba mengkonsumsi narkoba, yang awalnya diberi oleh anak yang
kos di tempat kos orangtuanya. Berawal dari coba-coba itulah akhirnya
menjadi ketagihan. Hal itu juga terjadi pada saudaranya, yang baru
diketahuinya pada saat mereka menggunakan narkoba secara bersama-
sama dengan penghuni kos lainnya.1

Selain didorong oleh rasa ingin tahu tentang rasa narkoba, sebagai
anak muda mereka juga terbawa oleh bujukan teman-temannya.
Umumnya mereka tidak bisa menolak tawaran temannya, karena mereka
takut dibilang “cemen”, dan itu berarti martabatnya merasa direndahkan.
Oleh karena itu mereka juga menyikapi dengan menunjukkan bahwa “saya
juga bisa melakukannya”. Bujukan dari teman itu merupakan hal yang
biasa terjadi, karena seorang pengguna akan selalu mengajak orang lain
untuk memakai narkoba, supaya memakainya bisa ramai-ramai. Semakin
banyak teman yang memakai secara bersama-sama, hal itu dianggap
semakin seru sehingga pemakaian dirasakan semakin nikmat.

Informasi yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh seorang


pengurus sebuah satgas kampus. Dikatakan bahwa penggunaan narkoba
bermula dari hubungan pertemanan. Seorang mahasiswa yang ditawari
untuk mencoba mengkonsumsi narkoba, kadang sulit untuk menolak,

1
Menurut pengakuannya, oleh karena rasa tidak enak dengan saudaranya maka narasumber tersebut memutuskan untuk
pindah ke Batam untuk mencari kerja, sekaligus ingin keluar dari lingkungan pengguna.Namun di Batam ternyata lebih
parah lagi, karena pada malam pertama kali di Batam sudah diajak ke suatu kafe oleh temannya, yang didalamnya banyak
orang mengkonsumsi narkoba. Melihat kondisi tersebut akhirnya diputuskan untuk kembali ke Yogya.Oleh karena bertemu
dengan teman lama yang menggunakan narkoba maka penggunaan narkoba terus berlanjut, sebelum akhirnya ketangkap
oleh petugas dan masuk lapas narkoba. Menurut pengakuannya, sudah lebih dari tiga kali keluar masuk lapas karena
narkoba,.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


200 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
karena kalau menolak merasa gengsinya bisa jatuh dihadapan teman-
temannya, dan akan dikatakan “cemen”. Bermula dari sekedar gagah-
gagahan, takut tidak diterima di lingkungan pergaulannya itulah yang bisa
mengantarkan menjadi pengguna.

Menurut informasi, pengguna narkoba pada tataran pelajar ternyata


bukan hanya pada level sekolah menengah ke atas, tetapi juga sudah
meluas pada anak-anak SD. Hal ini menunjukkan betapa rentannya
masyarakat terhadap ancaman narkoba. Yang lebih memprihatinkan,
justru ada seorang pengguna yang menurut pengakuannya terang-
terangan menggunakan narkoba di depan ibunya, yang membiarkannya
karena ibu itu tidak tahu tentang bahaya narkoba. Padahal anak tersebut
secara terus terang memberi tahu kepada ibunya bahwa barang yang
dikonsumsinya tersebut adalah sabu (Wawancara dengan salah seorang
binaan Panti Rehab, 8 September 2018). Kejadian ini mungkin hanya contoh
kecil untuk memberikan gambaran bahwa masih banyak masyarakat
yang belum mengetahui narkoba dan bahaya yang ditimbulkannya.

Berbeda dengan pelajar dan mahasiswa, seorang pekerja yang


berstatus sebagai kepala keluarga mengaku mengkonsumsi narkoba
untuk melupakan masalah yang dihadapi. Pertama kali dia berusaha
melupakan masalahnya dengan minum kopi, merokok, sampai dengan
minum alkohol. Harapannya agar bisa rileks, dan dengan kondisi rileks
maka diharapkan akan dapat menemukan solusi masalah yang dihadapi.
Akan tetapi, suasana santai dari merokok tetap tidak dapat diperoleh.
Akhirnya pada suatu hari dia ditawari seorang teman untuk mencoba
memakai ganja. Dari penuturannya, setelah menghisap ganja dia betul-
betul bisa merasa sangat santai. Tanpa disadari yang bersangkutan
mengalami ketergantungan terhadap ganja, sampai akhirnya ditangkap
polisi dan sesudah melalui persidangan yang berulang akhirnya masuk ke
dalam Lapas narkoba.

Upaya melupakan dari masalah itu juga dilakukan oleh seorang


narasumber lainnya. Karena orang tuanya meninggal, maka sebagai anak
tertua dia harus bertanggung jawab terhadap keluarga, sebagai pengganti
orangtuanya. Merasa bahwa itu beban yang sangat berat yang harus
ditanggungnya, maka dia ingin melupakan permasalahan yang dihadapi
dengan memakai ganja, sesudah ditawari oleh temannya. Pertama kali

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 201
memakai pada tahun 1996 – 1998. Sesudah itu bisa berhenti dan berganti
minum alkohol. Namun pada tahun 2006 sempat relapse, dan sampai
tahun 2009 minum bir.

Selain lingkungan kos, menurut informasi seorang pengguna,


lingkungan Lapas juga menjadi tempat yang aman bagi pengguna
mengkonsumsi narkoba, terutama pada waktu malam hari. Bahkan
menurut penuturan seorang narasumber yang mantan pengguna, pada
saat ingin mengkonsumsi narkoba, dia justru menemui temannya yang
berada dalam binaan Lapas, dan mereka mengkonsumsi bersama.
Walaupun Lapas yang dimaksud berada di kota lain, namun tidak tertutup
kemungkinan bahwa hal itu bisa terjadi di Yogyakarta. Hal itu karena di
Lapas Narkotika Yogyakarta juga pernah terjadi penyelundupan narkoba
dengan berbagai modus. Menurut Kalapas Narkotika, modus yang
dilakukan untuk menyelundupkan narkoba yang pernah terjadi di Lapas
Narkoba antara lain:
a. Memasukkan sabu ke dalam kerupuk krecek
b. Menelan sabu pada saat keluar dari sidang. Sabu itu diperoleh pada
sel sementara, yang diberi oleh seseorang dari luar
c. Dilempar dari luar pagar Lapas
d. Dimasukkan dalam figura foto yang dilubangi

Di luar Lapas, berbagai macam cara dilakukan oleh masyarakat untuk


dapat memperoleh narkoba. Pengakuan dari beberapa penghuni panti
rehab, mereka memperoleh narkoba dari resep dokter. Pengguna obat
tersebut dihadapan dokter mengeluh dengan pura-pura sakit pusing, stres,
tidak bisa tidur, mudah capek, atau keluhan lainnya. Tanpa melakukan
pemeriksaan lebih lanjut dan hanya percaya pada keluhan pasien, dokter
kemudian membuatkan resep, yang ditebus di apotek. Sebelum ditebus,
resep tersebut dicopy lebih dulu dan digunakan untuk menebus obat yang
sama di apotek lain, jika persediaan obat sudah habis. Modus lain adalah
permintaan obat itu dilakukan secara berulang-ulang dengan dokter yang
sama atau yang berbeda, dengan pengakuan keluhan yang sama.

Hasil wawancara dengan seorang dokter menyatakan bahwa sulit


bagi seorang dokter untuk tidak mempercayai keluhan pasien. Karena
itu dokter akan memberikan obat sesuai dengan yang dikeluhkan pasien,
tanpa melakukan pemeriksaan lanjutan, kecuali keluhan pasien itu
menunjukkan gejala penyakit yang serius.
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
202 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Upaya untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba memang tidak
mudah, karena masyarakat sangat kreatif untuk menemukan obat baru
yang bisa disalahgunakan. Seorang mahasiswa di suatu Perguruan Tinggi
misalnya, sengaja minum obat batuk melebihi dosis yang disarankan
dengan tujuan agar dapat mabuk. Begitupula penggunaan pil untuk sapi,
yang sengaja diminum dengan tujuan untuk mabuk. Menurutnya, kalau
sudah mabuk maka badan akan terasa enteng. Dengan demikian mabuk
digunakan sebagai tujuan antara untuk mencapai tujuan lebih lanjut,
tanpa disadari bahwa itu dapat menimbulkan ketergantungan.

Dalam perkembangannya sekarang, pengunaan narkoba juga telah


meluas di wilayah pedesaan. Umumnya generasi muda tidak mau lagi
bekerja di sektor pertanian, sementara pada saat yang bersamaan tidak
ada alternatif pekerjaan lain. Akhirnya banyak pemuda yang menganggur,
kegiatannya nongkrong di pinggir jalan dengan teman sebayanya. Kondisi
seperti itu dimanfaatkan oleh pengedar sebagai target mereka. Hal ini
dapat dilihat pada beberapa penghuni panti rehabilitasi dan lapas, yaitu
beberapa pengguna berasal dari lingkungan pedesaan. Pada awalnya
mereka mengaku mengkonsumsi narkoba sebagai jalan pintas untuk
melupakan beban hidup yang dialami, tetapi pada akhirnya menjadi
ketagihan.

Pada dasarnya seorang pecandu narkoba bukan tidak ingin berhenti


menjadi pecandu. Namun itu tidak mudah dilakukan karena sugestinya
sangat kuat. Seorang pengguna sabu mengaku bahwa ingin sekali
meninggalkannya, tapi fisiknya tidak mampu mengikuti, sehingga jika
keinginannya muncul akan merasa mual dan mulas. Bukan itu saja,
bahkan dengan disebut nama sabu atau hanya melihat alat hisap, dia
akan tersugesti untuk menggunakan sabu dan rasa mual dan mulas akan
muncul.

Penolakan oleh tubuh, walaupun seorang pecandu sudah sadar


untuk meninggalkan sabu itu dibenarkan oleh seorang narasumber yang
berprofesi sebagai dokter. Menurutnya ada tiga trigger untuk sabu additive,
yaitu: people (orang), place (tempat) dan thing (benda), yang sering
disingkat menjadi PPT. Oleh karena itu seorang hanya bisa sembuh dari
narkoba jika dijauhkan dari lingkungan pemakai, dipindahkan ke tempat
lain, dan tidak boleh melihat bendanya lagi, walaupun hanya sebagian dari
bendanya.
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 203
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa mantan pengguna
narkoba, banyak faktor yang menyebabkan penyalahgunaan narkoba.
Pertama, ketidaktahuan tentang akibat buruk yang ditimbulkan dari
mengkonsumsi narkoba. Walaupun istilah penyalahgunaan narkoba
sudah terlalu sering dimuat di berbagai pemberitaan media massa, ramai
pula dibicarakan di kalangan masyarakat luas, hampir seluruh lapisan
masyarakat sudah mendengarnya, tetapi pengetahuan masyarakat
tentang narkoba masih sangat terbatas. Faktor ketidaktahuan tentang
dampak narkoba itulah yang menyebabkan penyalahgunaan narkoba
meluas di kalangan masyarakat.

Kedua, lingkungan keluarga yang tidak harmonis. Sebagaimana yang


dialami oleh seorang warga binaan di sebuah panti, dirinya terjerumus
mengkonsumsi narkoba karena keadaan rumah yang sumpek melihat
kedua orang tuanya yang selalu bertengkar. Untuk menghilangkan
kepenatan dalam keluarga itulah maka dia mencoba mengkonsumsi
narkoba, sehingga mengalami ketergantungan. Bukan hanya dia, adiknya
juga mengalami hal yang sama.

Beruntung saat ini kedua orang tuanya sudah berdamai kembali,


bahkan pernah berkunjung ke panti rehab yang ditempati anaknya. Melihat
perubahan perilaku anaknya di panti rehab, mendorong orang tuanya
melakukan interospeksi diri dan sampailah pada munculnya sebuah
kesadaran bahwa kehidupan keluarga yang tidak harmonis selama
ini ternyata menjadi sebuah pemicu anak tidak betah tinggal di rumah.
Akhirnya kedua orang tuanyaminta maaf dan berpesan agar pengalaman
yang sudah terjadi bisa dijadikan pelajaran ke depan.

Walaupun saat ini keluarganya sudah harmonis, namun sesudah


keluar dari panti rehab, anak tersebut tetap tidak berani kembali ke
rumah orang tuanya karena trauma dengan lingkungannya. Bahkan dia
merasa terketuk hatinya untuk menolong sesama korban narkoba, dan
memutuskan untuk membantu menjadi konselor di panti rehab. Untuk
menambah wawasan dan pengetahuannya, bahkan rela mengeluarkan
uang pribadi untuk mengikuti pelatihan-pelatihan di sebuah kota pusat
rehabilitasi yang jauh dari tempat dia bekerja sebagai seorang kanselor.

Selain keluarga yang tidak harmonis, keluarga yang tidak

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


204 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
perhatian terhadap masalah yang dihadapi anggota keluarganya juga
bisa menjadi pemicu keterlibatan dalam penyalahgunaan narkoba.
Sebagaimana dituturkan oleh seorang warga binaan di lapas narkoba,
awal perkenalannya dengan narkoba dipicu oleh kegagalan usahanya.
Untuk merubah nasib keluarga, semua usaha usaha pernah dilakukan,
seperti berjualan pecel lele dan menjadi kuli bangunan, Dengan uang yang
terkumpul bahkan pernah memberanikan diri menjadi seorang kontraktor.
Namun usaha yang terakhir ternyata gagal, dan punya tanggungan hutang
karena harus membayar 29 tukang. Beban hutang yang menumpuk
membuatnya bingung. Ingin menjual tanah orang tuanya, namun tidak ada
sertifikatnya. Bertanya ke saudaranya dan ke orangtuanya untuk mencari
solusi, namun semua tidak memberi jawaban yang dapat memuaskan
hatinya. Dalam kondisi seperti itu akhirnya bertemu dengan seorang
teman yang menawarkan narkoba. Tanpa berpikir panjang, dengan tujuan
untuk menenangkan hatinya, maka mulailah berkenalan dengan narkoba,
hingga akhirnya tertangkap oleh polisi.

Peran keluarga bukan hanya mengakibatkan seseorang terjerumus


dalam penyalahgunaan narkoba, tapi juga bisa sebaliknya, yaitu merubah
seorang pengguna menjadi meninggalkan narkoba. Sebagaimana
dituturkan oleh seorang warga binaan di Lapas narkoba, saat ini sudah
beberapa lama tidak menggunakan narkoba, dan tidak ada niat sedikit
pun untuk kembali menggunakannya, walaupun disuguhi di depannya.
Kesadaran itu muncul atas tuntutan isterinya yang dengan kasih sayang
memintanya agar meninggalkan narkoba. Apalagi pada saat diingatkan
bahwa anaknya sudah mulai besar, dan bisa mencontohnya jika dia masih
mengkonsumsi narkoba. Kesadaran tersebut mendorongnya untuk
mengeluarkan keluarganya dari kampung asalnya, karena di tempat itu
dianggapnya tidak aman untuk menghindarkan diri dari narkoba, karena
banyak warga menjadi pengguna sekaligus pengedar narkoba.

Ketiga, memiliki permasalahan pribadi yang sulit ditemukan solusinya.


Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, seorang pengguna yang
saat ini menghuni Lapas narkotika menyatakan bahwa mengkonsumsi
narkoba dengan tujuan agar mendapatkan suasana santai, untuk bisa
menemukan solusi atas masalahnya. Akan tetapi, oleh karena suasana
santai itu tidak bisa ditemukan dengan minum kopi, merokok, sampai
dengan minum alkohol, maka akhirnya dia bisa menemukan suasana

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 205
santai itu dengan menghisap ganja yang diberi oleh seorang temannya,
walaupun dengan suasana santai tersebut solusi masalah belum dapat
ditemukan, sampai akhirnya ditangkap polisi.

Keempat, lingkungan pergaulan. Beberapa mantan pengguna


mengaku bahwa dia terjerumus mengkonsumsi narkoba karena pengaruh
ajakan teman. Walaupun dalam beberapa kali kesempatan sempat bisa
menolak pada saat ditawari, namun pada akhirnya pertahanannya jebol,
sehingga semakin lama menjadi ketagihan. Sesudah itu bukan dia yang
menunggu ditawari, tetapi justru dia yang aktif mencari narkoba dengan
cara membeli.

Kelima, kemudahan mendapatkan narkoba. Menurut pengakuan


para narasumber, untuk memperoleh narkoba saat ini bukan hal yang
sulit. Dengan berbekal SMS dan media sosial lainnya maka seseorang
bisa mendapatkan narkoba, tanpa harus bertemu dengan orang yang
menjualnya. Kondisi seperti itulah yang mengakibatkan penggunaan
narkoba semakin marak di wilayah ini.

2.2. Dampak Penyalahgunaan Narkoba

Secara teoritik penggunaan narkoba akan menimbulkan dampak


negatif, baik dampak terhadap fisik, psikis dan lingkungan sosial
(Hariyanto, 2012). Selain itu juga memiliki dampak ekonomi. Dampak
penyalahgunaan narkoba bagi kesehatan misalnya, dapat memicu
penularan penyakit HIV/AIDS, terutama bagi yang menggunakan jarum
suntik secara bergantian.

Menurut para narasumber yang mantan pengguna, dampak


langsung pada saat habis memakai memang tidak ada, yang dirasakan
justru dampak positif, seperti badan terasa enteng, tidak cepat lelah,
tambah semangat, dan sebagainya. Adanya dampak positif itulah
yang mengakibatkan seseorang menjadi pecandu. Dampak negatif
justru dirasakan sesudah pemakaian yang berulang. Dampak terhadap
kesehatan yang dirasakan oleh para pengguna menurut mereka adalah
menjadi pelupa dan gigi keropos.

Dampak lain yang dirasakan adalah terjadinya perubahan perilaku.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


206 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Hidupnya menjadi tidak teratur dan malas bekerja. Selain itu juga suka
menyendiri, tidak betah di rumah, dan menjadi tidak penurut, baik dalam
arti pasif seperti tidak menuruti perintah orang tua atau orang lain, maupun
dalam arti aktif yaitu suka memberontak.

Beberapa dampak tersebut juga diakui oleh para pengguna yang


diwawancarai. Seorang mantan pengguna mengaku bahwa seiring
dengan ketagihan narkoba, maka dia sering berbohong kepada orang
tuanya, dengan minta uang untuk memenuhi kebutuhan sekolah, tetapi
digunakan untuk membeli narkoba. Selain itu, oleh karena dia juga
dipercaya oleh orang tuanya untuk mengurusi kebun sawit, maka hasil
penjualan sawit tidak semuanya disetorkan kepada orang tuanya, tapi
sebagian digunakan untuk membeli narkoba.

Narasumber lain mengaku bahwa dia sampai menjual barang-barang


miliknya dan milik orangtuanya untuk membeli narkoba. Bukan hanya
itu, malah menurut pengakuan salah seorang penghuni Lapas, sampai
mau menjual tanah orangtuanya, tetapi tidak ditemukan sertifikatnya.
Narasumber yang lain juga mengatakan hal yang hampir sama.

Seorang narasumber juga menceritakan bahwa temannya yang


asalnya kaya raya menjadi jatuh miskin karena kekayaannya habis dijual
untuk membeli narkoba. Temannya yang asalnya memiliki mobil mewah,
hotel dan punya tempat kos (karena anak seorang pejabat tinggi), karena
ketergantungan pada narkoba maka semua harta kekayaan warisan
orangtuanya habis terjual, dan sekarang dia tinggal di kos-kosan.
Walaupun sudah jatuh miskin dan mengalami kesulitan ekonomi rumah
tangga, karena mengalami kecanduan terhadap narkoba, maka tetap
tidak berhenti mengkonsumsi narkoba. Bedanya, jika dulu membeli
sendiri sekarang membeli dengan cara patungan dengan orang lain.

Ketergantungan terhadap narkoba juga dapat memicu tindakan


kriminal. Seorang narasumber menyatakan bahwa pernah masuk penjara
karena mencuri sepeda motor, dan uangnya digunakan untuk membeli
narkoba. Hal itu dilakukan pada saat semua barang sudah terjual,
sedangkan kebutuhan untuk membeli narkoba tidak dapat ditunda.
Menurut pengakuannya, pencurian sepeda motor itu tidak hanya dilakukan
sekali, tetapi sudah beberapa kali. Berdasarkan pengakuan seorang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 207
narasumber, kalau sudah datang keinginannya untuk mengkonsumsi
narkoba, rasa takut kepada petugas sudah tidak ada lagi.

Penggunaan narkoba juga memicu terjadinya ketidakharmonisan


dalam keluarga. Pengakuan seorang narasumber, begitu orangtuanya
tahu bahwa anaknya mengkonsumsi narkoba, maka setiap kali pulang ke
rumah maka orangtuanya akan mengunci semua lemari, karena khawatir
anaknya akan mencuri uang atau perhiasan lain untuk membeli narkoba.

Selain menimbulkan dampak ketidakharmonisan hubungan


keluarga, penggunaan narkoba juga memunculkan ketidakharmonisan
hubungan dalam masyarakat. Suatu keluarga yang salah satu anggota
keluarganya terkena narkoba, keluarga tersebut merasa dikucilkan dari
pergaulan masyarakat, karena tetangganya melarang anaknya bergaul
dengan anak yang mengkonsumsi narkoba. Selain itu, orang-orang yang
sebelumnya sebagai teman bergaul juga menjauhinya. Dengan kata
lain dampak penggunaan narkoba dapat mengakibatkan terganggunya
hubungan sosial baik di tingkat keluarga, maupun masyarakat luas.
Sebagai dampak dari pengucilan tersebut maka seorang pengguna
narkoba akan merasa aman jika bergaul dengan sesama pengguna.
Kondisi seperti itu justru mengakibatkan seorang pengguna kesulitan
untuk berhenti dari menggunakan narkoba, karena mereka cenderung
bergaul dengan lingkungan yang sama.

2.3. Peredaran narkoba

Melihat hasil tangkapan narkoba di Daerah Istimewa Yogyakarta


sebagaimana dalam tabel 8.3, dapat dikatakan bahwa jumlahnya masih
tergolong kecil. Hal ini dapat dimengerti karena peredaran yang dilakukan
di wilayah Yogyakarta cenderung dalam takaran gram atau yang biasa
disebut “paket hemat”. Memang baru-baru ini ada tangkapan narkoba
yang cukup besar dengan kurir dari warga negara Filipina, namun target
peredaran mereka bukan di Yogyakarta, dan mereka masuk ke Yogyakarta
hanya sebagai tempat transit.

Walaupun secara keseluruhan tingkat peredaran dan penyalahgunaan


narkoba di Daerah Istimewa Yogyakarta masih tergolong rendah, namun
bukan berarti bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta aman dari bahaya

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


208 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
narkoba. Kecenderungan yang terjadi, peredaran narkoba sudah menyasar
di pedesaan. Hasil wawancara menunjukkan bahwa daerah-daerah
yang tergolong masuk dalam kantong-kantong kemiskinan pedesaan
justru terindikasi sebagai asal warga binaan lapas, maupun panti
rehabilitasi. Banyaknya pengangguran di tingkat pedesaan juga rawan
disusupi oleh pengedar. Boleh jadi tingginya angka pengedar dibanding
dengan penggunanya, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di atas,
mengindikasikan bahwa “profesi pengedar” menjadi satu-satunya pilihan
kerja, mengingat terbatasnya peluang kerja di pedesaan. Sementara itu,
himpitan kemiskinan mendorong mereka terjerumus kepada kegiatan
melawan hukum.

Peredaran narkoba yang sudah merambah ke pedesaan itu


dapat dilihat di Lapas dan di sebuah panti rehab, yang beberapa
penghuninya justru berasal dari desa. Menurut pengakuannya, mereka itu
mengkonsumsi narkoba untuk sejenak melupakan permasalahan yang
dihadapi. Seorang narasumber menyatakan bahwa pada awalnya untuk
melupakan masalah dilakukan dengan merokok. Tapi karena dengan
cara merokok masalahnya tetap tidak dapat terlupakan, maka kemudian
mencoba menggunakan sabu. Dengan mengkonsumsi sabu itulah dia
merasa permasalahannya bisa terlupakan walaupun sejenak, sehingga
akhirnya menjadi ketergantungan. Ketergantungan pada narkoba itulah
yang bias menjebak sesorang untuk menjadi kurir, karena dengan cara
demikian dia dapat memiliki uang untuk membeli narkoba, selain dia juga
dapat mengkonsumsi sebagian narkoba yang dijualnya.

Banyak pengedar di Yogyakarta yang berasal dari pengguna. Pada


saat sudah ketagihan dan tidak punya uang, maka satu-satunya jalan
agar bisa tetap menggunakan narkoba adalah dengan menjadi kurir
narkoba. Dengan menjadi kurir maka keuntungan ganda akan diperoleh.
Selain bisa mendapatkan uang dari penjualan narkoba, sekaligus juga
dapat menikmati sebagian dari narkoba yang dijualnya.

Sebagaimana yang sering didengar di televisi bahwa penjualan


narkoba dapat dikendalikan dari dalam Lapas, maka hal yang sama
juga pernah terjadi di Lapas Narkoba di Yogyakarta. Seorang warga
binaan lapas yang harus menjalani hukuman selama 9 tahun, mengaku
bahwa pernah menjadi pengedar narkoba dari dalam lapas selama tiga

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 209
tahun. Modus yang dilakukan yaitu pemesan melakukan pembayaran
dulu kepada pengedar, melalui rekening isterinya. Pengedar kemudian
memeriksa melalui SMS banking, selanjutnya pengedar menghubungi
kurir yang ada di luar lapas untuk segera mengantarkan barang pesanan
tersebut kepada pemesan. Oleh kurir barang pesanan tersebut kemudian
diantarkan ke pemesan, dengan cara menaruh di suatu tempat yang
tersembunyi, misalnya di dekat tiang listrik di dalam pot bunga. Jadi
antara kurir dengan pemesan tidak perlu bertemu. Sesudah itu kurir
memberi tahu kepada pemesan menggunakan melalui telpon, SMS atau
WA, bahwa barang sudah dikirim dan bisa diambil di tempat yang sudah
ditentukan. Meskipun demikian saat ini yang bersangkutan mengaku
sudah tidak mengedarkan lagi, karena tidak mendapatkan dukungan dari
orangtua maupun isterinya.

Menurut pengakuannya, sudah ratusan kilogram sabu yang


dijualnya selama menjadi pengedar. Pilihannya menjadi pengedar bukan
karena kebetulan, tetapi karena dia memang dibesarkan di sebuah
permukiman yang hampir semua penduduknya menjadi pengedar dan
pengguna narkoba. Di permukiman yang penghuninya rata-rata bekerja di
sektor informal kota, hampir seluruh warganya terlibat sebagai pemakai
maupun pengedar. Hal itu karena di kampung itu terdapat seorang bandar
besar yang menerima pasokan narkoba dari luar daerah. Bandar tidak
menyimpan narkoba yang diperoleh, tetapi langsung didistribusikan
kepada para pengedar. Selanjutnya pengedar merekrut sejumlah kurir
untuk memasarkan kepada pengguna. Di antara bandar, pengedar, kurir
dan pengguna umumnya tidak saling kenal, walaupun ada beberapa yang
saling kenal. Mereka menjalin komunikasi melalui SMS atau WA.

Dengan cara rahasia kurir akan memberi tahu kepada pembeli


dengan menaruh barang pada suatu tempat, misalnya di bawah batu di
depan rumah, diselipkan di batang pohon, ditempelkan di dinding tembok,
di tempelkan di dinding selokan, dan sebagainya. Transaksi jual beli
dilakukan dengan menggunakan transfer bank. Uang dibayar terlebih
dahulu kepada bandar. Selanjutnya bandar akan memeriksa transaksi
tersebut menggunakan SMS banking. Jika dana sudah masuk, bandar
segera memberi tahu kurir untuk mengantarkan barang. Uang bagian
kurir akan ditransfer oleh bandar.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


210 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Menurut narasumber tersebut, peredaran narkoba yang dikendalikan
di kawasan itu bisa berjalan dengan aman karena dibekingi oleh oknum
aparat keamanan, sehingga setiap ada operasi narkoba para kurir sudah
mendapatkan bocorannya lebih dulu. Akibatnya kampung tersebut selalu
luput dari operasi petugas. Karena adanya backing aparat keamanan,
maka seorang bandar juga sangat licin dari jerat hukum. Pagi ditangkap,
besoknya sudah bisa kembali ke rumah.

Hal yang perlu dikaji lebih lanjut adalah berkaitan dengan penguasaan
HP yang bisa dilakukan oleh pengedar di dalam lapas. Hal ini menarik
karena secara normatif seorang penghuni lapas dilarang untuk membawa
HP. Begitu pula pengunjung yang akan menjenguk penghuni lapas. Selain
itu, razia ke penghuni Lapas juga sering dilakukan, bahkan bisa tiga kali
dalam seminggu. Menurut pengakuan dari seorang penghuni lapas, HP
bisa diperoleh dari selundupan dari luar Lapas, antara lain dengan cara
dilemparkan dari balik tembok. HP yang diperoleh tersebut kemudian
disimpan agar tidak dapat diketahui petugas, antara lain dengan cara
digantung ke dalam sumur dengan menggunakan tali. Selain itu, menurut
pengakuannya, HP juga dapat diperoleh dengan cara meminjam kepada
oknum petugas Lapas.

Peredaran narkoba juga terjadi di tempat-tempat hiburan malam,


seperti karaoke dan kafe. Walaupun mereka yang tertangkap diproses
hukum, namun dari informasi yang diperoleh, tempat-tempat hiburan
yang terbukti menyimpan atau menjadi tempat peredaran narkoba tidak
mendapatkan sanksi apa-apa, walaupun berdasarkan aturan harus
ditutup atau dicabut izin operasinya. Itulah yang menurut narasumber
merupakan salah satu penyebab langgengnya peredaran narkoba di
tempat-tempat hiduran malam.

Bukan hanya di tempat-tempat hiburan, sebuah kerumunan massa


juga sudah menjadi tempat peredaran narkoba. Pada acara pertandingan
sepak bola misalnya, pada saat banyak orang perhatiannya tertuju pada
pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung, petugas parkir justru
menggunakan kesempatan itu untuk sejenak menikmati tembakau “Gorilla”.

Peredaran narkoba saat ini lebih banyak dilakukan secara online,


baik ditawarkan melalui Instagram mapun melalui media sosial lainnya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 211
Seorang narasumber bahkan mengatakan bahwa dengan mengetik t*s*
yo*y* di internet maka akan dengan mudah salah satu jenis narkoba bisa
diperoleh. Dengan pembelian secara online, maka pengedar dari luar
Yogya akan sangat mudah menjual narkoba di Yogyakarta. Hal itulah
yang menjadi penyebab peredaran narkoba sulit untuk dibendung.

Gambar 8.1. Jalur Peredaran Narkoba ke Wilayah Hukum DI Yogyakarta (Data


Intel IT 2017)

Medan Solo
Shabu, Ganja
Aceh Jakarta Klaten

Shabu, Ganja, Inex


Shabu, Ganja

Magelang/
D.I.Y Semarang
Shabu, Ganja, Inex

Tempat kost
Diskotek
Hotel Malaysia
Cafe
Tempat lainnya

Sumber: bahan presentasi Kepala BNNP DIY 2018

3. Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba

Istilah narkoba sudah terlalu sering didengar oleh masyarakat, tetapi


seperti apa wujudnya, jenisnya, dan dampak yang ditimbulkannya bagi
kesehatan, tampaknya masih belum banyak diketahui oleh masyarakat.
Untuk menghindari penyalahgunaan narkoba, maka diperlukan upaya
pencegahan yang diharapkan dapat mengurangi tingkat penyalahgunaan
narkoba di masyarakat. Adapun pencegahan penyalahgunaan narkoba
menuntut tindakan antisipasi yang meliputi pencegahan primer,
pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.2

2
https://prezi.com/_mcv5nwebdya/peran-pemerintah-dalam-upaya-pencegahan-narkoba/

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


212 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Pencegahan primer adalah tindakan pencegahan agar orang
yang sehat tidak terlibat penyalahgunaan narkoba. Pencegahan primer
dilakukan dengan pemberian informasi dan pendidikan kepada individu,
kelompok, komunitas, atau masyarakat luas yang belum nampak
ada tanda-tanda penyalahguaan narkoba. Pencegahan primer ini
meliputi kegiatan alternatif untuk menghindarkan individu, kelompok,
atau komunitas dari penyalahgunaan narkoba, serta memperkuat
kemampuannya untuk menolak narkoba (BNN RI; 2004, 67). Tujuan dari
upaya pencegahan primer adalah untuk melindungi masyarakat dari
bahaya penyalahgunaan narkoba, mengurangi minat terhadap narkoba,
membangun ketahanan remaja dan pemuda untuk menolak narkoba,
dan mengembangkan gaya hidup bebas narkoba. Adapun pendekatan
yang digunakan pada tingkat ini adalah pengembangan taraf kesehatan
jasmani dan rohani masyarakat, pengembangan kehidupan keluarga
yang sehat dan harmonis, dan menggugah kesadaran masyarakat akan
bahaya mengkonsumsi narkoba.

Pencegahan sekunder adalah terapi (pengobatan) terhadap mereka


yang terlibat penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika. Pencegahan
sekunder berupaya untuk mencegah agar orang yang sudah menggunakan
narkoba tidak mengalami ketergantungan (adiksi). Pencegahan sekunder
ditujukan kepada individu, kelompok komunitas atau masyarakat luas
yang telah menunjukkan adanya gejala kasus penyalahgunaan narkoba.
Pencegahan sekunder dilakukan melalui pendidikan dan konseling kepada
masyarakat yang sudah mencoba-coba menggunakan narkoba agar
menghentikannya dan mengikuti perilaku yang lebih sehat, menyediakan
pelayanan, perawatan, pemulihan, mendorong penyalahguna untuk
menggunakan pelayanan, memotivasi penyalahguna untuk terus
mengikuti perawatan dan pemulihan, dan mendorong pihak keluarga
untuk menciptakan lingkungan sosial yang mendukung upaya pemulihan.
Tujuannnya adalah mengembangkan lingkungan yang sehat dan
mengembangkan perawatan dan pemulihan yang sehat.

Pencegahan tersier merupakan upaya melakukan pemulihan


bagi yang telah mengalami adiksi, yaitu ditujukan kepada mereka yang
sudah menjadi pengguna atau yang telah menderita ketergantungan,
melalui pelayanan perawatan dan pemulihan serta pelayanan untuk
menjaga agar pengguna tidak kambuh lagi. Tujuannya adalah menjaga

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 213
agar pengguna tidak kambuh lagi. Pendekatan yang dilakukan adalah
menciptakan suasana sosial dan gaya hidup yang sehat dan bebas
narkoba, menyiapkan keluarga, sekolah dan tempat kerja yang mendorong
dan mendukung program perawatan dan pemulihan.

Bagian ini hanya membahas tentang pencegahan primer yang


dilaksanakan oleh BNNP DI Yogyakarta, yaitu:
a) Diseminasi informasi
b) Advokasi
c) Partisipasi masyarakat
d) Pemberdayaan alternatif

Diseminasi informasi adalah upaya mensosialisasikan kepada


masyarakat tentang bahaya penyalahgunaan nakoba. Diseminasi informasi
dilakukan dengan melakukan sosialisasi tentang bahaya narkoba, melalui
beberapa cara seperti: rapat, koordinasi, diskusi dan lainnya, termasuk
dengan pemasangan spanduk di jalan-jalan. Selain itu juga dilakukan melalui
perlombaan membuat mural yang bertemakan anti narkoba.

Sosialisasi tidak hanya dilaksanakan di ruang tertutup, tetapi juga


di ruang-ruang terbuka seperti pada saat car free day. Sosialisasi juga
dilakukan melalui kelompok-kelompok kesenian yang ada di wilayah DIY,
termasuk dengan mengadakan pertunjukan seni.

Permasalahan yang muncul adalah kadang hasil sosialisasi justru


mengakibatkan masyarakat jadi ingin tahu lebih lanjut tentang narkoba,
bahkan ingin mencobanya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang
narasumber, yang menyatakan bahwa awal penggunaan narkoba justru
dimulai sesudah mengikuti sosialisasi tentang bahaya narkoba. Hal itu
karena dalam sosialisasi tersebut antara lain dikemukakan hal positif dari
penggunaan narkoba walaupun hanya sesaat, seperti tidak mudah lelah,
dan sebagainya. Walaupun dalam sosialisasi tersebut penekanan utama
lebih pada dampak negatif dari penggunaan narkoba, namun karena
manfaat positif sudah dikemukakan lebih dulu, maka dampak negatif itu
tidak lagi didengarkan olehnya. Oleh karena itu menurut pengakuannya,
sesudah sosialisasi justru mendorongnya untuk mencoba memakai
narkoba. Karena itulah perlu kehati-hatian petugas dalam menyampaikan
informasi di dalam sosialisasi.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


214 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Berdasarkan pengalamannya tersebut, maka menurut seorang
narasumber, dalam sosialisasi petugas tidak perlu menyebut dampak
positif narkoba, tapi langsung saja ke dampak negatif, sehingga hanya
dampak negatif yang melekat di ingatan peserta sosialisasi. Untuk itu
mereka mengusulkan agar dalam setiap sosialisasi disertakan testimoni
oleh mantan pengguna. Walaupun menurut petugas BNNP testimoni
itu dilarang, namun terkait dengan testimoni tentang dampak negatif
yang sudah dialami sehingga mereka dapat insyaf, hal itu dibolehkan.
Testimoni seperti itu dianggap penting, dan hal itu dianggap lebih berguna
dibandingkan sekedar memberikan penyuluhan.

Seorang narasumber lain menyatakan bahwa informassi yang


disampaikan oleh seorang penyuluh kadang tidak sepenuhnya, sehingga
terkesan seorang penyuluh kurang profesional dalam melakukan
sosialisasi. Berdasarkan pengalamannya ikut sosialisasi, dalam sosialisasi
itu memang dinyatakan bahwa narkoba dilarang, karena merusak. Namun
oleh narasumber tidak dijelaskan di mana letak merusaknya. Hal itulah
yang justru mendorongnya penasaran bahkan ingin mencobanya.

Sosialisasi tentang narkoba juga dilakukan dengan berbagai


kegiatan seminar di kampus-kampus dan di sekolah-sekolah. Materi dari
seminar ini disiapkan oleh BNNP. Seminar juga mengundang nara sumber
dari pihak instansi terkait, bisa dari kepolisian, kesehatan.

Sosialisasi tentang narkoba tidak hanya dilakukan dengan cara


tatap muka, tetapi juga dilakukan dengan memasang spanduk-spanduk
di beberapa sudut jalan, yang isinya mengajak masyarakat untuk
menghindari bahaya penyalahgunaan narkoba. Akan tetapi menurut
mereka, spanduk-spanduk seperti itu dianggap kurang efektif bagi
orang yang belum memakai. Spanduk dianggap efektif hanya untuk
mengingatkan mereka yang sudah sadar dari tindakan penyalahgunaan
narkoba. Sosialisasi juga dilakukan dengan mengadakan perlombaan,
seperti lomba karya tulis tingkat pelajar se-DIY, dan jambore anti narkoba
se- DIY. Selain itu juga dilakukan dengan menyelenggarakan panggung
kesenian di alun-alun utara pada setiap “grebegan sekaten” dengan
menggelar berbagai acara seperti baca puisi dan panggung sandiwara”
yang bertema gerakan sosial anti narkoba. Acara ini diisi oleh pelajar dan
mahasiswa se-DIY.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 215
Sosialisasi juga dilakukan melalui kegiatan pengajian, sebagaimana
yang dilaksanakan di Kecamatan Pengasih, Sewon Bantul, pada tanggal
21 September 2018. Sosialisasi tersebut diisi dengan menyelenggarakan
pengajian akbar, dengan mengundang pembicara seorang budayawan
sekaligus kyai kondang “Emha Ainun Najib” atau yang lebih akrab
dipanggil “Cak Nun”, bersama dengan grup Kyai Kanjeng.

Sosialisasi anti narkoba juga dilakukan dengan melibatkan para


budayawan dan seniman yang tergabung dalam berbagai kelompok
kesenian, seperti seni tari, karawitan, geguritan, mocopat, dagelan
angkringan, plesetan, ketoprak, dan wayang kulit, yang pada saat tertentu
menyelenggarakan pentas seni, seperti pada acara 17-an, upacara bersih
desa “Merti Dusun”. Dalam pertunjukan kesenian baik yang pentas
langsung atau yang disiarkan lewat media elektronik seperti radio dan
Televisi itu oleh pihak BNN sering disisipkan pesan anti narkoba dalam
sesi-sesi tertentu. Pada pentas wayang kulit, misalnya, bintang tamu
menyampaikan pesan “dekati waria, jauhi narkoba” pada sesi “limbukan”
atau “goro-goro”.

Terkait dengan keluhan tentang penyuluh yang kadang dianggap


kurang profesional, hal itu juga diakui oleh Kepala Bidang Pencegahan
dan Pemberdayaan Masyarakat BNNP Yogyakarta. Hal itu disebabkan
tenaga penyuluh yang dimiliki masih sangat terbatas, yaitu hanya tiga
orang yang sudah memiliki sertifikasi penyuluh. Sedikitnya jumlah
personel yang memiliki sertifikasi penyuluh, maka banyak petugas yang
semestinya tidak bertugas sebagai penyuluh terpaksa dilibatkan untuk
menjadi penyuluh. Beberapa petugas memang sudah menjalani diklat,
tetapi keahlian yang didapat bukan untuk keperluan penyuluhan. Karena
itu penyuluhan umumnya dilakukan dengan “hafalan” berdasarkan
pengalaman dari tenaga-tenaga penyuluh yang lain, baik yang berasal
dari dalam instansinya sendiri maupun pengalaman yang diperoleh dari
instansi lain. Inilah yang mengakibatkan terjadinya ketidak-profesionalan
itu. Oleh karena itu diharapkan agar jumlah tenaga penyuluh yang
bersertifikat ditingkatkan.

Selain jumlah penyuluh bersertifikat yang sangat terbatas, jumlah


personel untuk bidang pencegahan juga masih sangat kurang. Dari
jumlah yang seharusnya 32 personel, yang sudah ada baru 11. Padahal

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


216 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
harus melakukan pelayanan 348 kelurahan/desa di seluruh provinsi DIY.
Hal itulah yang mengakibatkan sosialisasi tidak bisa berjalan dengan
baik. Akibatnya adalah pelaksanaan sosialisasi saat ini hanya bisa
menjangkau tingkat kecamatan. Sedangkan untuk menjangkau tingkat
kelurahan/desa belum bisa dilakukan, apalagi sampai tingkat Dusun/RW
dan RT. Padahal idealnya sosialisasi itu harus menjangkau ke tingkat RT,
karena kalau orang sekolah, kuliah atau bekerja, mereka kan akan pulang
ke rumah masing-masing. Dengan logika ini upaya pencegahan di akar
rumput sampai ke level RT menjadi penting.

Selain karena terbatasnya jumlah personel, minimnya jangkauan


sosialisasi juga karena keterbatasan dana yang dimiliki. Menurut informasi
dari Kabid P2M BNNP DIY, kuota untuk melakukan rapat-rapat koordinasi
itu anggarannya hanya terbatas 40 orang dalam satu kali pertemuan, dan
dalam satu wilayah kabupaten hanya bisa dilakukan oleh dua orang.

Upaya pencegahan di tingkat pedesaan sebetulnya penting, karena


masyarakat di desa sudah mengalami perubahan yang mendekati gaya
hidup masyarakat kota. Generasi milenial di pedesaan saat ini lebih
banyak bergaul dengan media sosial, asyik dengan HP di tangannya. Hal
itu berakibat pada renggangnya komunikasi antara orangtua dan anak,
disebabkan perbedaan tingkat pendidikan dan lingkungan pergaulan
antara generasi muda dengan orangtuanya. Akibat lebih lanjut sering
terjadi orangtua kehilangan wibawa dihadapan anaknya, karena anaknya
merasa lebih terdidik, lebih memiliki pergaulan dan wawasan pengetahuan
yang lebih luas dibanding orangtuanya. Hal ini telah memunculkan
sikap anak muda kurang menghargai orangtua, dan merasa tidak perlu
mendengarkan nasehat orangtua. Antara generasi tua dan yang muda
seolah hidup dalam dunia yang berbeda. Kondisi tersebut berbeda
dengan masyarakat desa pada masa dulu, yaitu hidup rukun harmonis,
rasa solidaritas yang kuat, dan ditandai oleh hubungan face to face yang
intim, bersifat personal, dan adanya rasa keterikatan yang sama. Kondisi
masyarakat pedesaan seperti itu menjadi sangat berpotensi untuk
dipengaruhi hal-hal yang negatif.

Pentingnya sosialisasi di tingkat desa juga diperkuat dengan


hasil wawancara dengan warga binaan baik di lapas maupun di panti
rehabilitasi, yang menyatakan bahwa banyak kasus penyalahgunaan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 217
narkoba terjadi di desa. Seorang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi
di Yogyakarta bahkan mengaku menemukan banyak warga di suatu desa
yang menggunakan “pil sapi” sebagai suplemen penambah semangat
kerja, yang diduga efeknya dapat menimbulkan ketergantungan, seperti
halnya narkoba, walaupun pil sapi tidak masuk dalam kategori narkoba,
sehingga secara hukum bukan masuk dalam tindak pidana ataupun
penyalahgunaan obat terlarang. Dengan kondisi tersebut maka ke depan
program pencegahan penyalahgunaan narkoba harus menyasar sampai
masyarakat pedesaan.

Walaupun BNNP Yogyakarta belum bisa melakukan sosialisasi


di tingkat desa, namun dalam skala terbatas sesungguhnya sosialisasi
tentang bahaya narkoba bagi masyarakat pedesaan sudah dilakukan,
terutama pada saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dilakukan oleh
mahasiswa. Menurut pengakuan salah satu satgas kampus, saat
melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di suatu desa, pihaknya telah
menyelenggarakan kegiatan penyuluhan tentang bahaya penggunaan
narkoba dengan mendatangkan petugas penyuluh dari BNNP Daerah
Istimewa Yogyakarta. Di tempat lain misalnya.

Untuk lebih mengintensifkan sosialisasi tentang bahaya narkoba,


BNNP memiliki rencana untuk memasukkan bahaya narkoba ke dalam
kurikulum. Namun karena tidak memungkinkan menambahkan dalam satu
matapelajaran tersendiri, maka masalah bahaya narkoba akan disisipkan
dalam matapelajaran PPKN, atau yang dikenal dengan sistem plug in, yaitu
memasukan materi yang berkaitan dengan narkoba kedalam mata pelajaran.
Melalui jalur pendidikan formal ini siklus tindakan preventif penanggulangan
narkoba tidak dibatasi oleh kegiatan tertentu melainkan dapat berjalan
bertahap sehingga proses ini benar-benar mujarab. Untuk keperluan tersebut
BNNP sudah mendapatkan persetujuan dari DPRD Provinsi DIY.

Meskipun cakupannya terbatas yakni hanya pembelajaran, sistem


plug in dianggap lebih efektif, karena:
a) terencana, yaitu proses penyampaian materi berdasarkan kurikulum
b) terstruktur, yaitu merupakan bagian dari sistem pembelajaran yang
terdiri atas guru, siswa, materi, media dan lainnya
c) berjenjang, yaitu materi yang disajikan disesuaikan dengan tingkat
dan umur para pelajar.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


218 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Adapun bentuk kegiatan penanggulangan narkoba dalam sistem
plug in ini dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Memberikan informasi seluas-luasnya kepada siswa tentang bahaya
penyalahgunaan narkoba. Kegiatan ini bisa disampaikan pada mata
pelajaran agama, PPKN, Bahasa Indonesia dan Muatan Lokal untuk
SMP, SMA dan PT meliputi penyampaian sejumlah informasi baik
secara langsung (tatap muka) atau teks bacaan tentang narkoba
kepada siswa. Sedangkan untuk SD, mata pelajaran yang bisa meliputi
pelajaran agama, PPKN, Bahasa Indonesia dan Muatan Lokal.
b) Membimbing siswa untuk menerapkan pola hidup sehat, yaitu
memberikan penerangan, contoh langsung serta imbauan kepada
siswa untuk memahami hidup sehat dengan menghindari makanan
dan minuman yang membahayakan kesehatan jiwa dan raga serta
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Poin ini dapat disisipkan
ke dalam mata pelajaran olah raga, biologi (IPA) dan PKK.

Selain itu, hal-hal lain yang perlu mendapatkan perhatian dalam


sistem plug in adalah sebagai berikut:
a) Materi yang diberikan adalah sejumlah bahan tentang penyalahgunaan
narkoba di kalangan remaja, yang disampaikan oleh guru. Untuk
mata pelajaran yang memungkinkan dimasukannya materi narkoba,
maka materi disampaikan seperti materi pelajaran pada umumnya.
Sedangkan untuk mata pelajaran yang tidak berkaitan langsung
dengan narkoba, maka materi ini dapat disusun dalam bentuk bahan
bacaan, tema diskusi ataupun dikemas dalam bentuk contoh-contoh.
Materi tersebut meliputi materi tentang pengertian narkoba, jenis-
jenis narkoba, penyalahgunaan dan penanggulangan narkoba serta
prinsip atau pola hidup sehat.
b) Metode atau cara maupun strategi yang digunakan oleh guru dalam
penyampaian informasi tentang penyalahgunaan narkoba di kalangan
remaja bisa dalam bentuk ceramah, diskusi, tanya jawab dan latihan.
c) Sarana dan prasarana yang dapat menunjang berupa ruangan,
peralatan maupun lingkungan.3

Tolak ukur keberhasilan diseminasi yaitu berupa sebaran informasi,


yaitu berapa banyak orang yang telah diberikan sosialisasi. Semakin
banyak orang yang sudah memperoleh sosialisasi maka program

3
http://hendrirembang.blogspot.com/2011/10/upaya-penanggulangan-narkoba.html

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 219
diseminasi dianggap berhasil. Dalam kasus penyalahgunaan narkoba,
ukuran keberhasilan sosialisasi harusnya tidak hanya dilihat pada
banyaknya orang yang sudah mengikuti sosialisasi, tetapi lebih ditekankan
pada penurunan jumlah pengguna, karena hal itulah yang menjadi tujuan
dari sosialisasi. Walaupun jumlah peserta sosialisasi bertambah banyak,
tapi jika jumlah pengguna juga semakin meningkat, maka sebetulnya
itu merupakan kegagalan sosialisasi. Padahal, antara jumlah peserta
sosialisasi dengan jumlah penyalahguna harusnya berbanding terbalik.
Semakin banyak orang yang sudah memperoleh sosialisasi, maka akan
semakin sedikit jumlah pengguna, begitu pula sebaliknya.

Untuk mengukur tingkat keberhasilan kegiatan sosialisasi mestinya


dilakukan melalui survei kepada pihak-pihak yang sudah pernah
mendapatkan kegiatan sosialisasi. Untuk itu ada tiga indikator yang dapat
digunakan, yakni peningkatan pemahaman peserta sosialisasi tentang
dampak negatif penyalahgunaan narkoba, perubahan sikap masyarakat
terhadap penyalahgunaan dan peredaran narkoba, dan tindakan yang
dilakukan untuk menghindari tindak penyalahgunaan narkoba. Melalui
tiga indikator tersebut diharapkan akan dapat diketahui perubahan sikap
masyarakat, seperti sikap antusiasme masyarakat untuk melakukan tes
urine, juga tumbuhnya sukarelawan/satgas di kalangan masyarakat,
sekolah, lingkungan kerja, dan lingkungan kampus.

Advokasi dimaksudkan untuk melakukan pendampingan ke sekolah-


sekolah, kampus, tempat-tempat hiburan dan perusahaan-perusahaan,
agar bisa membuat peraturan yang terkait dengan penyalahgunaan
narkoba di lingkungannya. Meskipun demikian dalam keterbatasan
anggaran, advokasi lebih diutamakan ke perusahaan-perusahaan. Ada
dua kegiatan yang terkait dengan advokasi, yaitu penyuluhan sebelum
dilakukan advokasi, dan advokasi (pendampingan) itu sendiri.

Penyuluhan yang diberikan sebelum dilakukan advokasi adalah


berupa sosialisasi Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Provinsi DIY,
yaitu Perda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 13 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Penanggulangan terhadap Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Sebagaimana
yang disebutkan dalam Pasal 3, ada empat tujuan dari Perda tersebut,
yaitu:

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


220 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
a) untuk mengatur dan memperlancar pelaksanaan upaya pencegahan
dan penanggulangan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif agar dapat terselenggara
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, menyeluruh dan
berkelanjutan di Daerah;
b) memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif;
c) membangun partisipasi masyarakat untuk turut serta dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan terhadap penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif;
d) menciptakan ketertiban dalam tata kehidupan bermasyarakat,
sehingga dapat memperlancar pelaksanaan pencegahan dan
penanggulangan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif.

Dengan adanya Perda tersebut maka peraturan internal yang dibuat


oleh perusahaan diharapkan dapat mengacu pada Perda yang sudah ada.
Realitas menunjukkan bahwa walaupun sudah terdapat Perda No. 13 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan terhadap Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif, namun
Perda tersebut belum berjalan secara efektif. Hal itu terbukti masih banyak
penyalahgunaan narkoba terjadi dibeberapa tempat yang menjadi sasaran
PERDA tersebut, seperti di kafe-kafe, tempat hiburan, dan di tempat-tempat
kos. Bahkan menurut pengakuan salah seorang informan yang menjadi
warga binaan lapas narkoba di Yogyakarta, penggunaan narkoba di kalangan
pelajar dan mahasiswa justru berawal dari tempat kos. Hal ini bisa dimengerti
mengingat Yogyakarta adalah kota pelajar. Dalam sebuah survei kesehatan
yang dilakukan oleh UI pada tahun 2016 menunjukkan bahwa DIY menduduki
angka tingkat prevalensi tertinggi di kalangan pelajar tingkat nasional. Hal
ini diakui oleh BNNP, karena saat ini banyak rumah kos yang dimiliki oleh
orang luar Yogya, yang orientasinya hanya untuk kepentingan bisnis semata,
sehingga berdampak pada lemahnya kontrol sosial. Konsep penitipan pelajar/
mahasiswa penghuni kos yang banyak dilakukan di Yogya pada waktu dulu
sudah hilang, sehingga berakibat pada hilangnya tanggungjawab sosial
pemilik kos. Padahal para mahasiswa dan pelajar itu terpisah dari keluarganya,
sehingga lemahnya kontrol sosial di tempat kos telah berpotensi menjadi
ruang bersemainya pengguna narkoba di Yogyakarta.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 221
Tindakan advokasi dilakukan dengan melakukan pendampingan
kepada sekolah-sekolah, kampus, tempat-tempat hiburan, perusahaan-
perusahaan, dengan melakukan pengarahan dalam membuat tata tertib
sekolah, tata tertib perguruan tinggi, tata tertib di lingkungan kerja, rumah
sewa, kos-kosan, dengan memuat ketentuan larangan penggunaan
narkoba. Aturan tata tertib ini dibuat dengan mengacu kepada PERDA
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No: 13 tahun 2010 yang memuat
tentang Larangan Penggunaan Narkoba dan Obat-Obat Terlarang.
Bila pada lingkungan kerja/sekolah/kampus, terbukti ada tindakan
penyalahgunaan narkoba, siswa/mahasiswa/pekerja, atau bahkan
instansi yang bersangkutan bisa mendapatkan sanksi dapat dicabut
izin usahanya. Gerakan advokasi ini dilakukan instansi terkait, BNNP,
Kepolisian, Diknas, dibawah pimpinan koordinasi Kesbanglinmas Provinsi.

Pada saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang dilakukan


advokasi. Meskipun demikian pelaksanaan advokasi itu tidak berjalan
mulus, karena pimpinan yang diundang dalam sosialisasi sering tidak
datang, dan hanya mengirimkan wakilnya. Permasalahannya kemudian
adalah komitmen dari orang yang mewakili untuk membuat peraturan di
perusahaan itu tidak ada, karena mereka harus berkonsultasi lebih dulu
dengan pimpinannya. Sementara pimpinan perusahaan pada saat diminta
laporan tentang perkembangan peraturan yang dibuat di perusahaannya
sering mengatakan bahwa tidak mendapatkan laporan bahwa harus
menyusun peraturan seperti itu. Hal inilah yang menyulitkan BNNP untuk
melakukan advokasi di perusahaan.

Kegiatan advokasi juga dilakukan oleh petugas rehabilitasi untuk


mendampingi warga binaannya yang masih menjalani proses hukum di
pengadilan. Tujuannya untuk meringankan peserta rehab yang menjadi
terdakwa. Tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan hukum yang
tidak memadai, dan kurangnya pemahaman terhadap hak-hak yang dimiliki
oleh terdakwa, telah menempatkan dirinya memiliki bargaining position
yang rendah berhadapan dengan aparat penegak hukum pada sidang
pengadilan. Dengan adanya advokasi, pihak pengelola minimal dapat
meringankan hukuman bagi terdakwa, syukur dapat membebaskan dari
jerat hukum. Kegiatan advokasi itu dilakukan dengan cara pihak pembela
memberikan penjelasan yang dapat meyakinkan kepada hakim, bahwa
benar pihak yang dibela itu sebagai pengguna, dan tidak ada indikasi

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


222 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
yang mengarah pada tindakan sebagai kurir apalagi sebagai bandar.
Pihak terduga berprilaku baik dan sopan, tertib dalam mengikuti setiap
tahapan rehabilitasi. Dengan cara demikian pihak pengelola panti rehab
dapat melakukan pembelaan dan meringankan hukuman bagi terdakwa,
sehingga terdakwa tidak perlu menjalani hukuman pidana di lapas, tapi
cukup dengan direhabilitasi. Semua itu dilakukan atas panggilan nurani
dan belas kasihan pihak pengelola panti rehab, agar peserta rehab tidak
hancur masa depannya. Dengan kata lain, panti rehab bukan semata-
mata berfungsi sebagai tempat rehabilitasi bagi para pengguna narkoba,
tetapi juga berfungsi sebagai lembaga bantuan hukum bagi kurban
penyalahgunaan narkoba.

Sebagai bagian dari advokasi, untuk mewujudkan Kota Yogyakarta


sebagai kota bebas Narkoba, maka pada tahun 2015 Badan Narkotika
Nasional (BNN) Kota Yogyakarta membentuk kampung bebas Narkoba
sebagai percontohan, yaitu kampung Pringgokusuman. Lokasi ini dipilih
karena berada di pusat kota dan dekat dengan obyek wisata, sehingga
bisa saja rentan menjadi tempat transaksi narkoba.

Di kampung tersebut, dengan pendampingan BNN Kota Yogyakarta,


Karang Taruna membuat program sosialisasi tingkat RW, pemasangan
poster, kegiatan jalan sehat, futsal dan lainnya, yang tujuannya adalah
untuk mencegah masyarakat (khususnya pemuda) agar tidak terjerumus
pada penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

Program yang dirancang oleh Karang Taruna Kelurahan


Pringgokusuman kemudian disusun proposalnya dan diajukan ke pihak
BNNK. Program-program tersebut kemudian didanai oleh BNNK. Dalam
program tersebut, peran aktif anggota masyarakat sangat diperlukan.
Tokoh-tokoh masyarakat diharapkan tampil sebagai aktor utama
dalam menggerakkan masyarakat terutama para orang tua, remaja,
dan organisasi sosial di lingkungan sekitar. Lembaga tersebut antara
lain Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan
(LPMK), bagian keamanan RW selaku pelaksana dan ibu-ibu PKK,
anggota masyarakat 22 RW selaku peserta program kegiatan. Program
ini dilanjutkan pada tahun 2016 dengan dana tersendiri tanpa bantuan
BNN. Salah satu programnya adalah “Unggulan Kelurahan Sehat”. Tujuan
dari kegiatan ini adalah tercapainya kelurahan untuk hidup sehat, bersih,

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 223
nyaman, aman, dan sehat untuk dihuni dan bekerja bagi warganya dengan
terlaksananya berbagai program-program kesehatan dan sektor lain,
sehingga meningkatkan sarana, prasarana produktif dan perekonomian
masyarakat

Tindakan pencegahan langsung dilakukan oleh BNNP DIY dengan


melakukan tes urine ke masyarakat. Sebagian masyarakat yang sudah
mengetahui dampak buruk dari penggunaan narkoba, umumnya memiliki
antusias untuk mengetahui tingkat keterpaparan narkoba pada lingkungan
keluarga, sekolah, kampus dan tempat kerja. Indikasi yang menunjukkan
akan hal itu misalnya bisa dilihat saat BNNP melakukan sosialisasi
dengan memasang sepanduk anti narkoba, kebetulan bertepatan dengan
hari Car Free day, banyak kelompok masyarakat yang meminta dilakukan
tes urine pada anggota kelompoknya. Permintaan tes urine juga banyak
dilakukan oleh sekolah, kampus dan tempat kerja. Namun disayangkan
tidak semua permintaan tes urine dapat terpenuhi, karena keterbatasan
peralatan. Partisipasi masyarakat dimaksudkan agar masyarakat dapat
berperan aktif untuk mensosialisasikan bahaya narkoba, dan mencegah
penyalahgunaan narkoba. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam
penanggulangan penyalahgunaan narkoba itu tercantum dalam Pasal 104
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu:
“Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan prekursor
narkotika.” Selain itu, di dalam Pasal 105 juga disebutkan bahwa:
“Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika dan prekursor narkotika.”

Terkait dengan pentingnya partisipasi masyarakat, maka dalam


Pasal 55 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tersebut juga dinyatakan
bahwa orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup
umur wajib melaporkan kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWM)
untuk mendapatkan pengobatan dan atau/perawatan untuk melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pentingnya partisipasi masyarakat itu juga disebutkan dalam


Perda Provinsi DIY No. 13 Tahun 2010 tersebut, khususnya Pasal 12

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


224 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
yang menyatakan bahwa masyarakat berkewajiban untuk berperan aktif
dalam upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif antara lain:
a. ikut melaksanakan kampanye dan penyebaran informasi yang benar
mengenai bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif;
b. melaksanakan program hidup bersih sehat di wilayah masing-masing;
c. menggerakkan kegiatan sosial masyarakat melawan peredaran dan
penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif di wilayah
masing-masing;
d. membentuk satuan tugas di tingkat Rukun Tetangga;
e. meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan masyarakat
yang berpotensi terjadi penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif;

Selain itu, dalam Pasal 13 juga disebutkan bahwa setiap anggota


masyarakat wajib segera melaporkan kepada pihak yang berwenang
apabila mengetahui ada indikasi terjadi penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif di lingkungan wilayahnya.

Di dalam Pasal 29 Perda tersebut juga dinyatakan bahwa


masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan serta membantu pencegahan dan penanggulangan terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif. Dalam melakukan kampanye, penyebaran informasi, dan edukasi
serta rehabilitasi juga dapat dilakukan secara mandiri atau bekerja sama
dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah maupun swasta.

Untuk mengikutsertakan masyarakat maka pertama kali yang


dilakukan oleh BNNP DIY adalah melakukan pemetaan daerah-
daerah rawan peredaran dan penyalahgunaan narkoba, baik wilayah
kabupaten/kota maupun wilayah kecamatan. Kerawanan suatu daerah
bukan ditentukan oleh banyaknya pengedar atau pemakai narkoba
yang ditangkap, tetapi didasarkan pada banyaknya tempat-tempat
yang memiliki potensi untuk dijadikan tempat peredaran maupun
penyalahgunaan narkoba, seperti daerah yang banyak hotel, diskotek,
tempat kos dan tempat-tempat keramaian. Semua itu dipetakan lokasi
kecamatan dan wilayah kabupatennya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 225
Khusus tentang tempat kos, hal itu menjadi perhatian tersendiri oleh
BNNP DIY, karena banyak kasus penyalahgunaan narkoba yang dilakukan
oleh penghuni tempat kos. Rawannya tempat kos sebagai tempat
penyalahgunaan narkoba juga sudah diantisipasi dalam Perda No. 13
Tahun 2010 tersebut, yaitu sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14,
yang mewajibkan penanggungjawab pemondokan atau asrama untuk
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a) membuat peraturan pemondokan atau asrama yang melarang
adanya kegiatan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif, serta meletakkan peraturan tersebut di
tempat yang mudah dibaca;
b) mengawasi pemondokan atau asrama yang dikelolanya agar tidak
terjadi penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, Psikotropika,
dan Zat Adiktif;
c) ikut melaksanakan kampanye dan penyebaran informasi yang benar
mengenai bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika,
Psikotropika, dan ZatAdiktif;
d) meminta kepada penghuni pemondokan atau asrama yang
dikelolanya untuk menandatangani Surat Pernyataan di atas kertas
bermeterai yang menyatakan tidakakan mengedarkan dan/atau
menyalahgunakan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif selama
menjadi penghuni.
e) bertindak kooperatif dan proaktif kepada penegak hukum jika diduga
terjadipenyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, Psikotropika,
dan Zat Adiktif di lingkungan pemondokan atau asrama yang
dikelolanya; dan
f) segera melaporkan kepada penegak hukum jika diduga terjadi
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, Psikotropika, dan
Zat Adiktif di lingkungan pemondokan atau asrama yang dikelolanya.

Penanggung jawab pemondokan atau asrama yang tidak


melaksanakan kewajiban tersebut Surat Teguran Pertama. Jika dalam waktu
14 (empat belas) hari sejak diberikan Surat Teguran Pertama penanggung
jawab pemondokan atau asrama tidak mengindahkannya, maka diberikan
Surat Teguran Kedua. Jika dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak diberikan
Surat Teguran Kedua penanggung jawab pemondokan atau asrama tidak
mengindahkannya, maka diberikan Surat Teguran Ketiga. Jika dalam
waktu 3 (tiga) hari sejak diberikan Surat Teguran Ketiga penanggung jawab

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


226 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
pemondokan atau asrama tidak mengindahkan Surat Teguran Ketiga, maka
terhadap penanggung jawab pemondokan atau asrama dapat dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling
banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Walaupun sudah ada
peraturan yang mengatur tempat kos, namun karena pengawasan terhadap
implementasi peraturan tersebut tidak berjalan dengan baik, maka tempat
kos masih rawan terjadi penyalahgunaan narkoba.

Selain tempat kos, hotel, penginapan dan tempat hiburan juga


menjadi perhatian tersendiri oleh pemerintah Provinsi DIY, karena tempat-
tempat tersebut disinyalir rawan terhadap penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba. Oleh karena itu dalam Pasal 19 Perda No. 13 Tahun 2010
tersebut juga menyebutkan beberapa kewajiban yang harus dijalankan oleh
penanggung jawab hotel, penginapan atau tempat hiburan wajib, yaitu:
a) meminta kepada pegawai yang bekerja pada hotel, penginapan
atau tempat hiburan yang dikelolanya untuk menandatangani Surat
Pernyataan di atas kertas bermeterai yang menyatakan tidak akan
mengedarkan dan/atau menyalahgunakan Narkotika, Psikotropika dan
Zat Adiktif selama menjadi pegawai/karyawan
b) ikut melaksanakan kampanye dan penyebaran informasi yang benar
mengenai bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika,
Psikotropika dan ZatAdiktif;
c) mengawasi agar hotel, penginapan atau tempat hiburan yang dikelolanya
tidak terjadi kegiatan yang berkaitan dengan peredaran gelap dan
penyalahgunaanNarkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif;
d) memasang papan pengumuman larangan penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif di tempat yang mudah dibaca di lingkungan
hotel, penginapan atautempat hiburan yang dikelolanya;
e) bertindak kooperatif apabila terjadi penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika,Psikotropika dan Zat Adiktif di lingkungan hotel,
penginapan atau tempat hiburan yang dikelolanya; dan
f) segera melaporkan kepada penegak hukum apabila mengetahui
ada indikasi terjadipenyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif di lingkungan hotel/penginapan/tempat
hiburan yang dikelolanya.

Seperti halnya penanggung jawab pemondokan atau asrama,


penanggung jawab hotel, penginapan atau tempat hiburan yang tidak

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 227
melaksanakan kewajiban tersebut juga akan diberikan Surat Teguran
Pertama. Jika dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diberikan Surat
Teguran Pertama tidak mengindahkannya, maka diberikan Surat Teguran
Kedua. Jika dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak diberikan Surat Teguran
Kedua penanggung jawab tidak mengindahkannya, maka diberikan
SuratTeguran Ketiga. Jika dalam waktu 3 (tiga) hari sejak diberikan
Surat Teguran Ketiga penanggung jawab hotel, penginapan atau tempat
hiburan tidak mengindahkannya, makaterhadap penanggung jawab hotel,
penginapan atau tempat hiburan dapat dikenakan pidana kurungan paling
lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,-.

Untuk mengikutsertakan partisipasi masyarakat maka pihak


BNNP juga merangkul instansi-instansi pendidikan supaya melakukan
pencegahan sendiri di lingkungan sekolah/kampus. Hal itu juga sesuai
dengan Pasal 9 Perda No 13 Tahun 2010, yang menyatakan bahwa
penanggung jawab satuan pendidikan wajib:
a) menyusun dan menetapkan kebijakan serta mengawasi pelaksanaan
kebijakan pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif dalam peraturan dan tata tertib
dan disosialisasikan di lingkungan satuan pendidikan;
b) membentuk tim/kelompok kerja Satuan Tugas Anti Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif di masing-masing satuan pendidikan;
c) ikut melaksanakan kampanye dan penyebaran informasi yang benar
mengenai bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif;
d) memfasilitasi layanan konsultasi/konseling bagi peserta didik yang
memiliki kecenderungan menyalahgunakan Narkotika, Psikotropika,
dan Zat Adiktif.
e) bertindak kooperatif dan proaktif kepada penegak hukum, jika terjadi
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif di lingkungan satuan pendidikannya;
f) berkoordinasi dengan orang tua/wali peserta didik jika ada indikasi
terjadi penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, Psikotropika,
dan Zat Adiktif di lingkungan satuan pendidikannya dan segera
melaporkan kepada pihak yang berwenang.

Penanggung jawab satuan pendidikan yang tidak melaksanakan


kewajiban tersebut juga akan diberikan Surat Teguran Pertama, dan jika

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


228 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diberikan Surat Teguran Pertama
tidak mengindahkannya, maka diberikan Surat Teguran Kedua. Jika dalam
waktu 7 (tujuh) hari sejak diberikan Surat Teguran Kedua pendidikan tidak
mengindahkannya, maka diberikan Surat Teguran Ketiga. Jika dalam waktu
3 (tiga) hari sejak diberikan Surat Teguran Ketiga penanggung jawab satuan
pendidikan tidak mengindahkan Surat Teguran Ketiga, maka terhadap
penanggung jawab satuan pendidikan dapat dikenakan pidana. Adapun
sanksi pidananya sesuai dengan Pasal 35 (1) adalah pidana kurungan paling
lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,-.

Terkait dengan pentingnya lembaga pendidikan untuk melakukan


pencegahan narkoba, maka di beberapa sekolah/kampus dibentuk Satgas
(penggiat) anti narkoba. Di UGM misalnya, telah dibentuk satgas “Raja
Bandar”. Di Universitas Mercu Buana dibentuk satgas “Umbrella”. Begitu
pula di beberapa kampus lainnya. Selain di lembaga pendidikan, Satgas
Narkoba juga dibentuk di beberapa perusahaan. Selain itu juga dibentuk
satgas di kelompok-kelompok seni, budaya dan kelompok gowes.4
Satgas-satgas tersebut diwadahi dalam satu forum, dan Kesbangpol
sebagai Ketua Forum Satgas di DIY.

Informasi dari seorang ketua satgas, pada tahun 2013 ada 13


kampus yang telah dibentuk satgas. Meskipun demikian pada saat ini
diperkirakan hanya ada 9 satgas yang masih aktif, antara lain di UGM, UIN,
Mercubuana, UTY dan Unicom. Namun informasi dari BNN menyebutkan
bahwa satgas tidak hanya dibentuk di kampus, tapi juga di sekolah-
sekolah, sehingga pada saat ini sudah terbentuk 34 satgas. Di tingkat
SMA bahkan sudah terdapat forum satgas yang dinamakan Satuan
Tugas Anti Narkoba (STAN). Di Dinas Pendidikan juga dibentuk Lembaga
Penyuluh Anti Narkoba.

Pada awal pembentukannya, satgas-satgas itu diberi pelatihan oleh


BNNP, yang selain melakukan pelatihan satgas sekolah/kampus, juga
melakukan pelatihan satgas di perusahaan. Pada awal pembentukannya
tahun 2013, satgas-satgas kampus itu dilatih di hotel Cakra Kembang.
satgas dari berbagai kampus itu kemudian membentuk forum bersama
antar satgas yang diberi nama “Virus Biru”, yang anggotanya merupakan
perwakilan dari satgas di kampus-kampus/sekolah-sekolah. Masalahnya
4
Ini untuk menyebut kelompok sepeda

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 229
tindak lanjut forum satgas tidak ada. Hanya berhenti di forum, dan
kegiatan di masing-masing satgas.

Sampai saat ini banyak anggota satgas yang mengundurkan


diri karena tidak sesuai dengan harapan mereka. Umumnya mereka
beranggapan bahwa tugas satgas adalah untuk memberantas
penyalahgunaan narkoba, bukan sekedar melakukan sosialisasi. Bagi
sebagian mahasiswa, kepedulian untuk dilibatkan juga agak kurang,
karena menganggap sudah ada yang mengurusi masalah narkoba.

Di antara satgas yang masih aktif adalah Satgas “Umbrella”, yang


berada di Universitas Mercubuana.5 Satgas yang dibentuk oleh BNNP
pada tahun 2013 itu memiliki fokus utama berupa sosialisasi ke SMA
dan kampus-kampus. Secara garis besar ada dua kegiatan satgas, yaitu
melakukan seminar di kampus-kampus dan sekolah (SMA), dan membuat
acara (event-event) untuk sosialisasi narkoba.

Kegiatan seminar dilakukan dengan mengundang BNNP, Polri atau


Granat untuk melakukan sosialisasi tentang narkoba. Tujuannya adalah
untuk mengajak mahasiswa dan pelajar agar menjauhi narkoba. Adapun
pengadaan event antara lain dilakukan dalam bentuk mengadakan
festival, lomba poster tentang stop narkoba untuk anak SMA, dan
mengadakan panggung hiburan, yang di sela-sela kegiatan tersebut diisi
dengan kampanye berupa ceramah dari BNN, Polda atau Granat. Untuk
menunjukkan eksistensi Satgas, ada rencana dari forum Satgas untuk
mengadakan jalan bersama ke DPRD. Tujuannya agar keberadaan Satgas
diketahui oleh masyarakat.

Semua biaya untuk kegiatan tersebut dilakukan secara swasembada,


karena BNNP Yogyakarta tidak membiayai kegiatan satgas. BNN hanya
mensupport kegiatan, misalnya dengan memberi bantuan piala untuk
pemenang lomba futsal, dan memberikan brosur promosi. Beruntung
Satgas Umbrella mendapatkan dukungan dana dari kampus, sebesar
Rp 3.500.000,- per tahun. Tentu saja dana tersebut masih sangat kurang,
karena setiap tahun rata-rata ada 5–6 kegiatan, dengan dana antara 5-10
juta. Oleh karena itu untuk membiayai kegiatan mereka mencari sponsor

5
Ketua satgas hanya satu tahun. Tapi jadi pengurus bisa 3 tahun. Sesudah itu bisa jadi Aanggota biasa dan jadi Dewan
penasehat Organisasi.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


230 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
dari luar. Di tingkat pelajar, sosialisasi anti narkoba dalam setiap tahun
sekali, mulai dari bulan Mei 2010 telah dilakukan lomba Mural (melukis
tembok). Kebiasaan mencorat-coret dinding, tembok, pohon dan tempat-
tempat lainnya yang dapat merusak estetika keindahan pemandangan
kota Yogyakarta, mendapatkan penyalurannya pada lomba mural tingkat
pelajar. Pada lomba mural ini dititipkan pesan adegan yang terkait dengan
bahaya penyalahgunaan narkoba.

Banyaknya satgas yang menyuarakan anti narkoba di kalangan pelajar


dan kampus oleh pihak BNNP dinilai bahwa tingkat kesadaran pelajar
dan mahasiswa terhadap bahaya penyalahgunaan narkoba sudah cukup
tinggi. Meskipun demikian kalangan mahasiswa merasa kurang mendapat
perhatian dari pihak BNNP. BNNP dinilai terlalu bersemangat membentuk
SATGAS Anti narkoba di lingkungan pelajar maupun mahasiswa. Dengan
jumlah SATGAS yang begitu banyak pihak BNNP merasa puas dan telah
merasa “berhasil” merangkul pelajar dan mahasiswa dalam mendukung
gerakan anti penyalahgunaan narkoba. Namun di sisi lain kalangan
mahasiswa sendiri merasa kecewa, karena pada tahap selanjutnya pihak
BNNP dinilai tidak banyak berbuat, memantau kegiatan SATGAS, memberi
dukungan moril kepada kegiatan SATGAS Anti Narkoba, termasuk
minimnya pendanaan yang diberikan pihak BNNP.

Sebagian mahasiswa yang tergabung dalam SATGAS Anti Narkoba


juga kecewa terhadap aktivitas forum mahasiswa yang hanya berkutat
pada kegiatan rapat, seminar, dialog, kumpul-kumpul, tetapi tidak ada
tindak lanjutnya dalam tindakan yang lebih konkrit. Umumnya pihak
satgas mengharapkan agar mereka tidak hanya dilibatkan pada upaya
pencegahan, tetapi juga pada upaya-upaya yang mengarah pada
penindakan langsung, yang lebih menantang dan konkret.

Pembentukan Satgas anti narkoba bukan hanya di kalangan pelajar


dan mahasiswa, melainkan juga di kalangan masyarakat. Beberapa
satgas anti narkoba terdapat pada beberapa komunitas, seperti kelompok
“GOWES” sepeda ontel, dengan berseragam kaos warna merah jambu
bertuliskan “Stop Narkoba” berkeliling kota. Satgas kelompok Gowes ini
melakukan selfie di tempat-tempat tertentu, dan foto bersama dengan
mengekspresikan gerakan stop narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 231
Digerakkannya partisipasi masyarakat dengan pembentukan
Satgas anti narkoba telah berperan positif dalam penanggulangan
penyalahgunaan narkoba di Yogyakarta. Meskipun demikian informasi
dari Kabid P2M BNNP DIY, hal itu disalahgunakan oleh beberapa oknum
yang membentuk satgas “anti” narkoba, yang anggotanya diduga dari
mantan pengguna, bahkan ada yang masih menggunakan narkoba.
Kelompok ini merancang program kegiatan dan membuat proposal yang
diajukan ke beberapa perusahaan dengan menggunakan simbol BNN,
untuk mengesankan bahwa organisasi dan kegiatan yang dirancangnya
sudah mendapat persetujuan dari BNNP DIY. Meskipun demikian dalam
kegiatannya ternyata kontraproduktif dengan kegiatan sosialisasi
pencegahan penyalahgunaan narkoba, bahkan cenderung memprovokasi
anak-anak muda untuk berbuat sebaliknya. satgas semacam itu tentunya
tidak boleh dibiarkan, karena bisa berdampak luas yakni gagalnya program
P4GN dan juga dapat merusak nama baik pihak BNNP. Untuk menghentikan
kelompok satgas yang demikian, pihak BNNP telah melakukan peneguran
secara langsung dan melarang kegiatan tersebut untuk dilanjutkan.

Pemberdayaan merupakan upaya yang dilakukan oleh BNNP


untuk memberikan ketrampilan kepada masyarakat agar mereka tidak
menganggur, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara
mandiri. Asumsi yang digunakan yaitu orang yang menganggur akan
mudah terpapar narkoba, baik menjadi pengguna atau bahkan terjerumus
menjadi pengedar narkoba. Karena itu dengan adanya pemberdayaan
maka masyarakat diharapkan akan dapat meningkatkan penghasilan,
sehingga tidak tergoda untuk menjual narkotika.

Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan sebagai upaya


penguatan masyarakat (empowering community) melalui peningkatan
pengetahuan dan ketrampilan, supaya mereka mampu mengidentifikasi
dan memprioritaskan kebutuhan mereka. Kemudian masyarakat dapat
mencari sumber daya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Tujuan pemberdayaan masyarakat yaitu terciptanya lingkungan yang
sehat bebas dari narkoba. Sasaran utamanya meliputi lingkungan
masyarakat yang bersih dari penyalahgunaan narkoba. Lingkungan
masyarakat yang sehat dan bebas dari penyalahgunaan narkoba sangat
berdampak positif dalam mendukung produktivitas lingkungan yang
kondusif (Puji Lestari, 2013).

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


232 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Kegiatan pemberdayaan ini diawali dengan pemetaan wilayah
dan Studi Kelayakan (feasibility study). Pemetaan dilakukan untuk
menentukan daerah yang perlu disasar pemberdayaan, yaitu daerah
yang memiliki kasus Narkoba paling banyak. Hasil pemetaan tahun
2017 misalnya, wilayah Depok memiliki jumlah kasus terbanyak. Adapun
tahun 2018, Kecamatan Kasihan, terutama Desa Ngestiharjo memiliki
jumlah kasus terbanyak. Adapun studi kelayakan dimaksudkan untuk
mengetahui bentuk-bentuk program kegiatan yang mungkin dapat
dilakukan sesuai dengan kebutuhan sasaran kelompok pemberdayaan.
Dari hasil studi tersebut dirumuskan berbagai bentuk pemberdayaan
yang dapat dilakukan.

Melalui pemberdayaan, masyarakat diharapkan dapat memiliki


daya tangkal/imun yang tinggi terhadap bahaya penyalahgunaan
narkoba. Dengan terciptanya lingkungan masyarakat yang bersih dari
penyalahgunaan narkoba, maka dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan
pemberdayaan masyarakat dalam upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN).

Bentuk pemberdayaan yang dilakukan antara lain berupa pelatihan


sablon, pelatihan pembuatan keripik, ternak burung berkicau, pembuatan
kripik tempe/singkong, rias dan potong rambut, perbengkelan motor,
dan pembuatan sablon. Selain pelatihan, BNNP juga memberikan modal
kepada orang yang dilatih, serta memberikan bantuan peralatan. Selain
itu mereka juga dilatih tentang cara memasarkan produk yang dihasilkan.

Peserta program pemberdayaan terdiri dari para pengguna


yang telah selesai menjalani rehabilitasi dan pemuda-pemuda yang
masih menganggur. Mereka itu dilatih dengan diberikan pembekalan
keterampilan sekedarnya, permodalan, bantuan alat kerja, dan bimbingan
pemasaran. Kegiatan pemberdayaan ini dilakukan dengan melibatkan
tenaga penyuluh dan pendamping dari BNNP bekerja sama dengan
sejumlah instansi terkait Dinas Tenaga Kerja, dan Dinas Pertanian
dan Peternakan. Harapannya agar mantan para pengguna dapat lebih
produktif, sementara bagi mereka yang masih menganggur diharapkan
jangan sampai mudah terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat negatif,
karena kelompok ini dipandang sangat berpotensi sebagai tempat
bersemainya penyalahgunaan narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 233
Saat ini program pemberdayaan masyarakat ini masih difokuskan di
kota, terutama di daerah-daerah rawan peredaran narkoba. Hal itu karena
keterbatasan anggaran dan sumber daya yang dimiliki BNNP. Dengan
segala keterbatasan yang ada, BNNP dalam menjalankan program
pemberdayaan masyarakat terpaksa dilakukan secara insidental,
artinya tidak berlangsung secara intensif dan berkelanjutan. Pada hal
pendampingan secara intensif dan berkelanjutan merupakan syarat
mutlak keberhasilan sebuah program pemberdayaan masyarakat.

Muara dari sebuah program pemberdayaan masyarakat adalah


meningkatnya kapasitas diri masyarakat dan dengan peningkatan
kapasitas tersebut, masyarakat dapat menolong dirinya sendiri untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu muara dari pemberdayaan
masyarakat idealnya harus berupa kemandirian masyarakat. Jika
pemberdayaan hanya dilakukan secara insidental tanpa ada keberlanjutan
maka dikhawatirkan tujuan pemberdayaan tidak akan tercapai. Selain
itu, pemberdayaan yang demikian hanya akan efektif untuk memberikan
kegiatan pada mantan pengguna, sehingga tidak mengulangi tindakannya
lagi. Namun untuk pengedar, pemberdayaan yang demikian tampaknya
tidak akan efektif jika hasil pemberdayaan itu tidak bisa mengimbangi
besarnya uang yang diperoleh dari penjualan narkoba.

4. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Narkoba

Selain melalui pencegahan, upaya yang dilakukan untuk mengatasi


penyalahgunaan narkoba dilakukan oleh pemerintah melalui dua acara,
yaitu pembinaan melalui lapas dan melalui rehabilitasi. Jika dikaitkan
dengan jenis-jenis pencegahan narkoba, maka kedua jenis pembinaan
tersebut dapat dikategorikan sebagai pencegahan tersier, yaitu upaya
melakukan pemulihan bagi yang telah menggunakan narkoba. Upaya ini
khusus ditujukan kepada mereka yang sudah menjadi pengguna atau
yang telah menderita ketergantungan, melalui pelayanan perawatan
dan pemulihan serta pelayanan untuk menjaga agar pengguna
tidak mengulangi perbuatannya. Pendekatan yang dilakukan adalah
menciptakan suasana sosial dan gaya hidup yang sehat dan bebas
narkoba, menyiapkan keluarga, sekolah dan tempat kerja yang mendorong
dan mendukung program perawatan dan pemulihan.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


234 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
4.1. Pembinaan di Lapas

Pembinaan di Lapas dilakukan terhadap mereka yang sudah


mendapatkan keputusan hukum tetap. Tujuan pembinaan di Lapas yaitu
untuk menimbulkan rasa jera dan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.

Di Lapas Narkotika Yogyakarta yang berkapasitas 555 orang itu saat


ini dihuni oleh 290 orang, yang terdiri dari para pengguna dan pengedar.
Jumlah pengedar lebih banyak, yaitu lebih dari 200 orang, karena
mereka itu umumnya juga merangkap sebagai pengguna. Pelaksanaan
pembinaan dilakukan dengan cara menempatkan penghuni Lapas dalam
lima blok yang terpisah. Pemisahan itu didasarkan pada kategorisasi
penghuni. Adapun lima blok tersebut yaitu:
1) Blok Anggrek, ditempati warga binaan yang minim petugas keamanan,
yaitu mereka yang tidak lama lagi sudah akan bebas
2) Blok Bugenvil, ditempati warga binaan yang putusan hukumannya
tergolong tinggi, yaitu lima tahun ke atas
3) Blok Cempaka, ditempati juga oleh warga binaan yang putusan
hukumannya tergolong tinggi, yaitu lima tahun ke atas. Jadi sama
dengan blok Bugenvil
4) Blok Dahlia, khusus ditempati oleh penghuni yang baru masuk,
sebagai masa orientasi pengenalan lingkungan
5) Blok Edelweis, ditempati oleh penghuni yang melakukan rehab.
Walaupun ada warga binaan yang putusan hukumannya tinggi,
namun karena ikut program rehab, maka ditempatkan juga di blok ini.
Begitu pula yang sudah direhab tapi belum bebas, juga tetap tinggal di
blok rehab dan berfungsi sebagai konselor pendamping

Walaupun ditempatkan dalam lima blok yang terpisah, namun


tidak ada perbedaan blok antara pengguna dengan pengedar. Padahal
seharusnya pembinaan untuk dua kelompok itu berbeda. Dengan
digabung sangat terbuka peluang bahwa seorang pengguna akan
dipengaruhi oleh pengedar, sehingga tujuan pembinaan tidak tercapai,
bahkan tidak tertutup kemungkinan seorang pengguna akan meningkat
statusnya menjadi pengedar.

Seorang penghuni lapas narkotika yang sebelumnya pernah


menghuni lapas umum menyatakan bahwa di lapas umum bergaul

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 235
dengan seorang pengedar narkoba. Oleh karena di Lapas umum dirinya
paling kecil, Maka dia disuruh melakukan apa saja, termasuk untuk
menjual narkoba. Jadi di Lapas itulah justru dia mengenal transaksi
narkoba secara langsung, dan pada saat akan keluar didekati oleh bandar,
supaya kalau sudah keluar mau bekerja sebagai kurir dari bandar itu.

Selain tidak dibedakan penempatan pengedar dan pemakai,


pembinaan juga dilakukan sama untuk semua blok. Jadi belum ada
pembinaan khusus untuk kelompok tertentu, termasuk pembinaan
yang dilakukan antara pengedar dengan pengguna. Padahal idealnya
pembinaan antara dua kelompok tersebut berbeda, karena latar belakang
kegiatan yang dilakukannya juga berbeda. Seorang pengedar melakukan
kegiatannya dengan motivasi ekonomi, yaitu untuk mendapatkan
penghasilan. Sementara seorang pengguna melakukan bukan karena
motif ekonomi, tapi untuk mencari kepuasan diri.

Semua pembinaan di lapas ditujukan agar warga binaan memiliki


keterampilan yang bisa digunakan untuk bekal hidupnya sesudah keluar
dari lapas. Adapun jenis pembinaan yang dilakukan meliputi:
a) Keagamaan, yaitu berupa ceramah-ceramah agama dan membaca
Alqur’an bagi yang beragama Islam. Pembinaan keagamaan dilakukan
dengan bekerjasama dengan Kanwil Kementerian Agama Yogyakarta
b) Keterampilan, yang meliputi: pertanian, pertukangan kayu, pengelasan,
ternak lele, dan kerajinan kulit. Keterampilan pertanian diberikan
dalam bentuk teori dan praktik, namun praktik dilakukan seadanya di
dalam area Lapas, berhubung karena keterbatasan lahan
c) Kursus Bahasa Inggris
d) Penyaluran bakat, seperti melukis dan musik. Hasil melukis penghuni
Lapas sudah pernah dipamerkan dalam pameran lukisan di Lapas,
dibantu oleh pelukis terkenal yaitu Kartika Efendi. Selain itu juga diikutkan
dalam pameran lukisan di Yogyakarta, Jakarta, bahkan di Tokyo
e) Komunitas pecinta buku, yang kegiatannya berupa menulis, membaca
dan membuat puisi. Untuk itu disediakan perpustakaan mini di dalam
Lapas.

Untuk menghindari terjadinya transaksi narkoba, maka kontak


dengan orang luar sangat dibatasi. Untuk pembinaan, jadwal besuk
seminggu 3 kali, tapi hanya lewat kaca. Untuk bertemu langsung hanya

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


236 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
bisa dilakukan sebulan sekali. Selain itu penghuni lapas juga dilarang
membawa HP. Untuk itu selalu dilakukan razia sampai tiga kali dalam
seminggu.

Walaupun sering dilakukan razia, namun menurut informasi dari


Ka Lapas, sering juga ditemukan HP di dalam Lapas. Berbagai modus
dilakukan untuk memasukkan HP ke dalam Lapas, seperti dilempar
dari luar Lapas dengan cara dibungkus. Selain itu juga tidak tertutup
kemungkinan ada oknum petugas yang membantu memasukkan HP.
Permasalahan utama yang dihadapi petugas Lapas yaitu tidak ada alat
pengacak sinyak (jammer) yang dimiliki lapas, sehingga jika ada HP yang
lolos maka dengan mudah dapat dioperasikan dari dalam Lapas.

Secara umum pembinaan di dalam Lapas Narkotika kelas IIA


Yogyakarta sudah cukup baik, dan cukup efektif menyadarkan pengguna
maupun pengedar. Hal terungkap dari pengakuan para mantan pengguna
dan mantan pengedar yang diwawancarai. Meskipun demikian terdapat
beberapa kendala dalam pembinaan:
a) Anggaran yang tersedia masih kurang
b) Peran serta pihak lain untuk membantu pembinaan ketrampilan
masih kurang
c) Penghuni Lapas yang akan bebas butuh motivasi dan pekerjaan agar
tidak tergelincir lagi
d) Warga binaan banyak yang bukan kalangan bawah, sehingga sensitif
jika hak-hak mereka tidak dipenuhi. Tuntutan mereka terhalangi PP
99. PP 99 memicu Kamtib dalam lapas
e) Jatah makan terlalu kecil hanya Rp 14.000,- per orang per hari, padahal
tahanan BNN Rp 35.000,- per orang hari.
f) Peran stakeholder dari luar untuk membantu pembinaan masih kurang
g) Peran BNN untuk membantu pembinaan

Untuk mengatasi kendala yang ada maka perlu kerjasama dari


stakeholder terkait agar membantu pelaksanaan pembinaan ketrampilan
di dalam Lapas. Pihak lain yang sudah banyak membantu saat ini adalah
dari Kanwil Kementerian Agama, yang membantu pendidikan agama
di dalam Lapas. Namun instansi lain seperti dari Dinas Pertanian dan
instansi swasta belum banyak yang membantu pembinaan ketrampilan
di dalam Lapas. Untuk itu perlu kerja keras dari pengurus Lapas agar

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 237
berkoordinasi dengan instansi terkait, baik pemerintah maupun swasta
agar membantu pelaksanaan pembinaan ketrampilan di dalam lapas.

Walaupun sudah tidak diperbolehkan untuk memberikan bantuan


anggaran ke Lapas, namun BNNP juga masih diperlukan bantuannya
untuk pelaksanaan program rehabilitasi di dalam Lapas. Bantuan bukan
hanya terkait dengan pemantauan terhadap pelaksanaan rehabilitasi,
namun juga terkait dengan pembinaan terhadap pelaksanaan program
rehab, baik melalui pelatihan maupun bantuan tenaga rehab.

Agar pembinaan di dalam Lapas dapat dilaksanakan lebih efektif,


seyogyanya dipisahkan antara penghuni lapas yang berasal dari pengguna
dan yang berasal dari pengedar. Selain agar para warga binaan yang terdiri
dari pengguna tidak dipengaruhi oleh pengedar, cara pembinaan terhadap
mereka juga perlu dibedakan. Hal itu karena latar belakang kasusnya juga
berbeda.

4.2. Pembinaan melalui Rehabilitasi

Ada dua jenis rehab untuk menangani pecandu narkoba, yaitu rehab
medis dan rehab sosial. Rehab medis dilakukan untuk membersihkan
racun-racun dari dalam tubuh pengguna, melalui detoksifikasi medis.
Rehab medis ini dilakukan jika pengguna mengalami ketergantungan,
membutuhkan obat pengganti atau pemberhentian secara bertahap
(substitusi), atau pengguna memiliki dual diagnosis, yaitu selain mengalami
ketergantungan juga memiliki masalah psikhis, seperti mengalami
halusinasi, mengalami depresi, stress dan sebagainya.6 Semua itu bisa
diketahui dari hasil assessment yang dilakukan oleh Tim Assesment
Terpadu (TAT), yang terdiri dari Psikiater, Psikolog, Polisi dan Jaksa. Hasil
TAT itulah yang menentukan apakah seorang pengguna harus menjalani
rehabilitasi medis, atau cukup hanya menjalani rehabilitasi sosial. Selain
itu dengan assessment maka akan dapat diketahui tingkat adiksi,
sehingga bisa ditentukan berapa lama seorang pengguna harus menjalani
rehabilitasi.

Permasalahan yang muncul dalam TAT yaitu kadang ada TAT tidak

6
Menurut informasi dari Direktur RS Ghracia Dual diagnosis itu umumnya terjadi pada pengguna psikotropika, yang baru
mengalami peningkatan mulai 2016

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


238 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
dilakukan secara obyektif, karena ada conflict interest dari petugas TAT.
Akibatnya ada seorang pengguna yang harusnya cukup direhab tapi
ditetapkan juga sebagai pengedar, dan sebaliknya ada seorang pengguna
sekaligus pengedar yang hanya ditetapkan sebagai pengguna. Sebagai
protes atas hal tersebut maka pihak RSJ Ghracia pernah memutuskan
mengundurkan diri dari tim assessment.

Rehabilitasi medis dilaksanakan di rumah sakit milik pemerintah,


yaitu RS Jiwa Ghracia di Pakem, Sleman. Rehabilitasi medis dilaksanakan
paling lama tiga bulan untuk rawat inap, dan 10 bulan untuk rawat jalan.
Rehab media diawali dengan detoksifikasi selama 2 minggu. Kendala yang
dialami yaitu dalam waktu 3 bulan kadang seorang pasien belum sembuh,
tetapi harus pulang dari rumah sakit jarena alokasi anggaran hanya berlaku
untuk 3 bulan, dan pasien tidak punya uang sendiri untuk meneruskan
berobat. Dalam kondisi seperti itu biasanya rumah sakit memberi solusi
kepada pasien untuk pulang dulu, kemudian selang beberapa hari kembali
ke Rumah Sakit untuk menjalani perawatan lanjutan. Untuk perawatan
lanjutan tersebut pasien tetap dilakukan assesment, namun tidak lagi
dilakukan detoksifikasi. Di dalam rehab medik tidak ada istilah sembuh,
tapi terkontrol. Rehab medik dianggap berhasil jika hasil pemeriksaan
urine pengguna sudah negatif, dan pengguna sudah memiliki kesadaran
penuh serta bisa diajak komunikasi.

Berbeda dengan rehabilitasi medis yang hanya dapat dilakukan


di rumah sakit, rehabilitasi sosial dapat dilakukan di rumah sakit, di
dalam lapas maupun di masyarakat, yaitu melalui yayasan-yayasan
yang memiliki panti rehab. Rehabilitasi sosial dapat dilakukan sesudah
pengguna selesai menjalani rehab medis, atau dari hasil TAT dinyatakan
bahwa yang bersangkutan tidak perlu menjalani rehab medis.

Di Lapas Narkotika Yogyakarta program rehabilitasi sosial bagi


pengguna dimulai pada tahun 2016, dengan anggaran dari BNN. Namun
pada tahun 2017 anggaran dari BNNP diberhentikan, dan sebagai
pengganti disediakan anggaran oleh Kemenkum HAM, namun jumlahnya
relatif kecil, yaitu Rp 54 juta pada tahun 2017, dan tahun 2018 hanya
disediakan anggaran Rp 23 juta. Selain terkendala masalah minimnya
anggaran, kendala lain yang dimiliki untuk pelaksanaan rehab di Lapas
Narkotika yaitu jumlah asesor hanya 2 orang, konselor adisi 2 orang,

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 239
program manager 1 orang, instruktur 5 orang dan monev 1 orang, yang
semua dilatih oleh BNN Pusat. Permasalahan lain yaitu para petugas
rehab itu tidak dikhususkan bertugas untuk melakukan rehab, tetapi tugas
rehab hanya merupakan tugas tambahan. Akibatnya petugas tidak dapat
fokus pada kegiatan rehab.7

Seorang penghuni Lapas yang bisa direhab adalah mereka yang


berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal
127 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu yang terbukti sebagai
pengguna, penghuni lapas yang hampir bebas, dan penghuni Lapas yang
akan melakukan program integrasi. Di luar itu tidak bisa diikutkan dalam
program rehab, walaupun mungkin dia juga sebagai pengguna. Hal itu
karena keterbatasan tempat hunian di blok rehab, serta keterbatasan
anggaran, sehingga untuk setiap kali program rehab hanya dapat diikuti
50 orang.

Seorang penghuni Lapas yang mengikuti program rehab merasa


bahwa lebih efektif direhab daripada hanya dipidana, karena selain
diikutkan dalam program rehab juga dilibatkan dalam pembinaan lain
seperti halnya penghuni Lapas lainnya. Meskipun demikian masih ada
yang memilih untuk tidak mengikuti program rehab, karena walaupun
di dalam Lapas dilatih untuk berdisiplin, namun tidak sedisiplin dalam
pelaksanaan program rehab yang selalu dikontrol. Hal itu karena sifat dari
pecandu itu umumnya malas, dan tidak mau dikekang.

Salah satu Yayasan yang memiliki panti rehab yaitu Yasayan Galilea,
yang memiliki panti rehabilitasi Galilea di Gunung Kidul. Agar peserta
rehab dapat pulih dan produktif, pihak panti rehab Galilea membentuk
Usaha Kecil Mikro (UKM) yaitu berupa pet Shop di Jalan Parangtritis
Bantul, yang pengelolaannya dijalankan oleh para klien yang sudah
selesai menjalani rehab. Mereka yang masih menjalani rehab juga diminta
bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, walaupun masih dalam kontrol
pihak panti rehabilitasi Galilea.

7
Informasi dari salah seorang petugas rehab di Lapas Narkotika, pada awal-awal diadakan program rehab tidak ada
penghuni Lapas yang mau ikut, karena konselornya dari BNN, dan para penghuni belum mengenal tentang manfaat rehab.
Baru pada tahap selanjutnya yang mendaftar melebihi alokasi yang disediakan, sehingga tidak semua yang mendaftar
bisa diikutkan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


240 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Pada umumnya peserta rehab yang sudah selesai menjalani
rehabilitas tidak berani kembali ke kampung halamannya, untuk
menghindari lingkungan pertemanan lamanya. Di tempat usaha yang
mereka pilih, mereka saling mengingatkan untuk tidak mengulang lagi
mengkonsumsi narkoba. Lebih dari itu mereka merasa terpanggil untuk
membantu sesama temannya untuk dapat keluar dari jerat narkoba.
Mereka direkrut menjadi pekerja panti rehab sebagai konselor. Untuk
menunjang tugasnya itu, mereka rela merogoh uang pribadi mengikuti
kegiatan pelatihan di Pusat balai Rehabilitasi Narkoba di Bogor.

Selain melakukan rehabilitasi medis, RS Ghracia juga melakukan


rehabilitasi sosial, walaupun tidak semua yang melaksanakan rehab
medik dilanjutkan dengan rehab sosial di RS. Beberapa mereka dirujuk ke
panti rehab milik BNN atau panti rehab milik yayasan. Hal itu karena untuk
pelayanan rehab di RS Ghracia hanya dilayani oleh seorang dokter, 13
perawat dan 2 orang konselor junkies (konselor yang mantan pengguna).
Meskipun demikian mereka yang telah menjalani rehab medis di RS
Ghracia umumnya tidak mau dirujuk untuk menjalani rehab di luar, karena
takut terdeteksi track recordnya.

Tujuan rehab sosial adalah untuk merubah pola pikir pengguna


supaya bisa menghindari narkoba, dan bisa menolak jika ditawari narkoba.
Keseluruhan proses rehabilitasi sosial didasarkan pada Peraturan
Menteri Sosial No. 26 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya.
Adapun program rehab disusun oleh seorang project management, yang
menyusun rencana pelaksanaan rehabilitasi. Pelaksanaan rehabilitasi
dibantu oleh konselor yang bertugas memberikan pemahaman,
mendorong ke arah perubahan, dan memfasilitasi penentuan alternatif
pemecahan masalah korban. Selain itu juga dibantu pendamping sosial
yang bertugas menjalin relasi, memperkuat dukungan, mendayagunakan
potensi dan sumber pelayanan serta meningkatkan akses dalam rangka
memecahkan masalah korban.

Sesuai dengan Pasal 10 Permensos No 26 Tahun 2012, rehabilitasi


sosial dilaksanakan dalam bentuk: motivasi dan diagnosis psikososial,
perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan pembinaan
kewirausahaan, bimbingan mental spiritual, bimbingan fisik, bimbingan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 241
sosial dan konseling psikososial, pelayanan aksesibilitas, bantuan sosial,
bimbingan resosialisasi, dan bimbingan lanjut. Adapun beberapa tahapan
rehabilitasi sosial dilakukan sesuai dengan Pasal 11 Permenkes di atas,
yaitu:
a) pendekatan awal berupa kegiatan sosialisasi dan konsultasi,
identifikasi, motivasi, seleksi, dan penerimaan
b) pengungkapan dan pemahaman masalah yaitu berupa kegiatan
mengumpulkan, menganalisis, dan merumuskan masalah, kebutuhan,
potensi dan sumber yang meliputi aspek fisik, psikis, sosial, spiritual,
dan budaya, yang hasilnya dibahas dalam pembahasan kasus.
c) penyusunan rencana pemecahan masalah yaitu penyusunan
rencana pemecahan masalah berdasarkan hasil pengungkapan dan
pemahaman masalah meliputi penentuan tujuan, sasaran, kegiatan,
metoda, strategi dan teknik, tim pelaksana, waktu pelaksanaan dan
indikator keberhasilan.
d) pemecahan masalah
e) resosialisasi
f) terminasi
g) pembinaan lanjut

Menurut para petugas rehab, indikator keberhasilan rehab tidak


dapat diukur pada apakah yang bersangkutan memakai narkoba lagi, tapi
dilihat pada saat pelaksanaan rehab, yaitu mengikuti program dengan
baik dan pola pikirnya berubah.

Para residen yang mengikuti rehab umumnya mengakui manfaat


rehab, menyesali perbuatannya dan menyadarkan mereka untuk menjauhi
narkoba. Meskipun demikian mereka berpandangan bahwa untuk
mempertahankan bukan yang mudah, terutama jika mereka kembali ke
lingkungan asalnya. Oleh karena itu beberapa pengguna yang sudah
direhab umumnya tidak mau kembali ke daerahnya.

Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh petugas dalam melakukan


rehabilitasi, antara lain peserta tidak mau mengakui bahwa dirinya
bermasalah. Misalnya seorang pemakai ganja merasa bahwa lebih kreatif.
Menghadapi hal seperti itu maka cara berpikirnya harus dibalik, yaitu dengan
meyakinkan bahwa dari dulu dia juga kreatif walaupun tidak memakai
ganja. Khusus rehab yang dilaksanakan di dalam Lapas, kendalanya

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


242 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
adalah waktu untuk rehab tidak sinkron dengan waktu pemidanaan, dalam
arti rehab belum selesai tapi yang bersangkutan sudah bebas.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kota Yogyakarta, khususnya tempat-tempat kos yang banyak dihuni


oleh pelajar dan mahasiswa dari luar daerah, merupakan kawasan yang
rentan bagi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Hal itu karena
pelajar dan mahasiswa yang tempat-tempat kos tersebut jauh dari kontrol
orang tua, sementara di tempat kos juga tidak ada kontrol dari pemilik
kos. Tempat lain yang rawan adalah diskotek, hotel, kafe dan tempat-
tempat hiburan lainnya.

Peredaran narkoba di wilayah ini masih dalam skala kecil, dalam


bentuk paket hemat. Oleh karena itu jarang dapat ditemukan narkoba
dalam jumlah yang besar. Memang kadang ada penangkapan dalam
jumlah besar, namun itu bukan untuk dijual di Yogya, tetapi hanya untuk
transit ke daerah lain. Meskipun demikian peredarannya cukup meluas,
bukan hanya di dalam kota tapi juga sampai ke desa, bahkan di dalam
Lapas narkotika.

Beberapa penyebab penggunaan narkoba di daerah ini, yaitu


ketidaktahuan dampak buruk narkoba, lingkungan keluarga yang tidak
harmonis, permasalahan pribadi yang tidak ditemukan solusinya,
lingkungan pergaulan dan kemudahan mendapatkan narkoba. Mengacu
pada berbagai penyebab tersebut maka pencegahan penyalahgunaan
narkoba perlu dilakukan.

Beberapa upaya sudah dilakukan untuk menanggulangi


penyalahgunaan narkoba di Yogyakarta, baik berupa diseminasi
informasi, pemeriksaan urine, advokasi ke perusahaan, melibatkan
partisipasi masyarakat dengan membentuk satgas-satgas anti narkoba
dan melakukan pemberdayaan alternatif. Selain itu juga didukung
dengan Perda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No: 13 tahun 2010
tentang Pencegahan dan Penanggulangan terhadap Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika dan Zat Adikti. Meskipun
demikian hasilnya kurang optimal karena sanksi terkait pelanggaran
terhadap Perda belum dilaksanakan secara konsisten.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 243
Diseminasi informasi juga kurang efektif melakukan pencegahan,
karena tidak didukung oleh sumber daya manusia yang memadai.
Partisipasi masyarakat, walaupun sudah dibentuk Satgas-Satgas anti
narkoba, namun tanpa didukung dengan pendanaan juga kurang dapat
melakukan kegiatan secara optimal.

BNNP sendiri secara kelembagaan juga memiliki beberapa kendala,


yaitu:
a) Bagian pencegahan tidak diperkuat dengan SDM yang memadahi,
baik secara kuantitas maupun kualitas. Keterbatasan SDM yang ada,
sulit diharapkan dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan yang
diharapkan.
b) Kinerja lembaga tidak didukung oleh pendanaan yang memadai.
c) Sosialisasi tidak optimal, dan hanya bisa menjangkau tingkat
kecamatan. Selain itu pelaksanaan sosialisasi dinilai kurang
professional.

Terkait dengan beberapa permasalahan tersebut, maka beberapa


solusi yang perlu ditempuh untuk pencegahan penyalahgunaan narkoba
di wilayah Yogyakarta adalah sebagai berikut:
a) Kontrol terhadap tempat-tempat kos perlu lebih diintensifkan dengan
melibatkan pemilik kos.
b) Satgas-satgas narkoba perlu diperkuat dengan memberdayakannya
agar mampu membentengi lingkungannya dari penyalahgunaan
narkoba
c) Sosialisasi tentang narkoba tidak cukup mengandalkan pada petugas
tapi juga melibatkan mantan pengguna untuk memberikan testimoni
khususnya terkait dengan dampak narkoba
d) Pendampingan terhadap mantan pengguna, baik yang sudah keluar
dari panti rehab atau pun yang keluar dari Lapas, dengan melibatkan
keluarga dan pengurus wilayah (RT, RW, dan Lurah)
e) Pemberdayaan keluarga perlu dilakukan, bukan semata-mata terkait
ekonomi tapi lebih diarahkan agar mampu membentengi diri dari
penyalahgunaan narkoba.
f) Setiap orang yang akan masuk kerja atau mendaftar sekolah perlu
dilakukan pemeriksaan urine. Jika terbukti positif maka perlu dibina
lebih lanjut

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


244 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Adapun untuk BNNP agar mampu melaksanakan pencegahan secara
optimal, beberapa hal perlu dilakukan, yaitu: penambahan jumlah personel
yang memiliki sertifikasi penyuluh, peningkatan alokasi anggaran untuk
pendanaan program P4GN, dan melakukan evaluasi terhadap efektivitas
sosialisasi tentang bahaya narkoba yang sudah dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Afli Laili Rohmah, 2014. Strategi Pencegahan Narkoba Berbasis


Masyarakat, Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

---------------, 2004. Komunikasi Penyuluhan Pencegahan Penyalahgunaan


Narkoba. Jakarta

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2005. Pedoman


Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Remaja. Jakarta.

Dadang Hawari, 1997. Al Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan


Jiwa, PT Dana Bhakti Prima Yasa Yogyakarta.

---------------, 2000. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA, Gaya Baru,


Jakarta.

Hendrirembang, 2011.Efektivitas Penanggulangan Narkoba melalui


Sistem Plug In dalam Materi Pembelajaran Pada Lembaga Pendidikan
Formal, dalam http://hendrirembang.blogspot.com/2011/10/upaya-
penanggulangan-narkoba.html

Putri Lestari dan Sandhi Permana, 2013. Penanggulangan Kejahatan


Narkotika dengan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat dalam
Mendukung Program Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan
dan PeredaranGelap Narkoba (P4GN) di Yogyakarta, dalam http://
sandhipermana.blogspot.com/2013/12/penanggulangan-kejahatan-
narkotika.html

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 245
Qomariyatus Sholihah, 2013. Efektivitas Program P4GN terhadap
Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA, dalam Jurnal Kesehatan
Masyarakat, Kemas 9 (1) (2013) 153-159 http://ejournal.uajy.
ac.id/4937/1/YASHINTA%20WINDA%20AFRIASTINI.pdf

Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Vincentius Jyestha Candraditya, 2018. BNN : Hasil Karya Program


Pemberdayaan Masyarakat Potensial Tembus Pasar Global, dalam
http://www.tribunnews.com/nasional/2018/08/09/bnn-hasil-karya-
program-pemberdayaan-masyarakat-potensial-tembus-pasar-
global.

Yashinta W. Afriastini, 2013. Upaya Badan Narkotika Nasional Provinsi


Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Penanggulangan Peredaran
Gelap Narkotika di Yogyakarta. Jurnal Skripsi, Fakultas Hukum
Universitas Atmajaya Yogyakarta

Website :

https://prezi.com/_mcv5nwebdya/peran-pemerintah-dalam-upaya-
pencegahan-narkoba/

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


246 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
IX

Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkoba di Kota Surabaya
Provinsi Jawa Timur

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 247
Tari Lenggang Surabaya
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
248 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN Batik Teyeng
NARKOBA 2018 Khas Surabaya
IX
PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
DI KOTA SURABAYA, JAWA TIMUR

Oleh:
Jane K. Propiona; Bayu Setiawan; Erma Antasari

1. Pendahuluan

Letak Indonesia yang strategis, maka sudah sejak lama digunakan


sebagai tempat transit oleh kejahatan transnasional yang teroganisasi,
yang mengedarkan atau menyelundupkan heroin dan kokain.
Berkembangnya globalisasi yang ditandai oleh berkembangnya teknologi
dan transportasi, maka hubungan antar negara semakin terbuka, yang
ditandai dengan perdagangan bebas.

Sejak akhir tahun 1990 an, organisasi kejahatan trans-nasional telah


memproduksi jenis narkotika tersebut untuk diedarkan dan dikonsumsi
oleh kalangan pengguna di dalam negeri, juga diedarkan untuk kepentingan
pasar internasional. Awalnya narkoba yang digunakan di Indonesia
hanya ganja. Pada tahun 1990-an meningkat pada penggunaan heroin,
khususnya menggunakan jarum suntik, disusul dengan penggunaan
ATS yang menyebar luas. Saat ini peredaran gelap narkoba jenis ATS
cenderung paling marak di Indonesia (UNODC dan BNN, 2013).

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 249
Jenis narkotika methaphentamine yang ditemukan beredar di
masyarakat pada umumnya berasal dari Cina, Iran dan Malaysia. Pada
tahun 2015 sekitar 4,4 ton methamphetamine yang beredar di pasaran
berasal dari Cina yang dikirim langsung dari Cina atau melalui Hongkong.
Hampir separuh narkoba di Indonesia jenis ini masuk melalui Malaysia
sebagai negara transit. (UNODC, 2016).

Perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba


di Indonesia saat ini cenderung semakin mengkhawatirkan. Gejala
penyalahgunaan narkoba merupakan masalah serius yang saat ini
dihadapi oleh bangsa Indonesia, mengingat dampak negatif yang
ditimbulkannya. Penyalahgunaan dan peredaran narkoba telah merambah
di semua wilayah, dan telah menjangkau semua lapisan masyarakat;
mulai dari pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, artis, pegawai, sopir,
pejabat pemerintah, anggota legislatif dan lainnya sudah banyak yang
terpapar narkoba. Oleh karena itu, penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba di Indonesia menjadi permasalahan nasional yang harus cepat
diatasi.

Hasil survei menunjukkan bahwa angka prevalensi penyalahgunaan


narkoba di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 1,77%, dengan jumlah
penyalahguna pada kelompok usia 10-59 tahun diperkirakan sekitar
3.376.115 orang. Sedangkan di Jawa Timur, diperkirakan pada tahun
2017 sebesar 1.72% atau sekitar 492,157orang (Pusat Penelitian Data
dan Informasi BNN dan UI, 2017). Untuk mengurangi semakin besarnya
jumlah penyalahguna narkoba diperlukan berbagai upaya melalui
kebijakan dan strategi mengurangi pasokan dan mengurangi permintaan
(demand reduction dan supply reduction).

Untuk mengurangi pasokan, dilakukan upaya pencegahan atau


preventif terhadap masyarakat yang belum terkena serta upaya rehabilitatif
terhadap penyalahguna dan/atau pecandu narkoba. Upaya rehabilitatif
dilakukan melalui penanganan secara intensif dan berkesinambungan,
antara lain melalui Program Rehabilitasi Berkelanjutan (Sustainable
Rehabilitation). Program ini merupakan upaya untuk memulihkan
penyalahguna narkoba agar tidak lagi menjadi sasaran para jaringan
atau sindikat pengedar narkoba (BNN dan Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, 2012).

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


250 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Pencegahan penyalahgunaan dan peredaran narkoba dapat dibagi
menjadi tiga kategori, yaitu: pencegahan primer, sekunder dan tersier.
Pencegahan primer ditujukan untuk mereka yang belum pernah melakukan
atau terlibat dalam peradilan pidana, seperti program untuk mendidik
atau mengingatkan anak muda atau masyarakat tentang kekerasan
domestik atau intimidasi di sekolah-sekolah. Pencegahan sekunder
khusus ditujukan untuk anak-anak dan remaja atau orang-orang yang
diidentifikasi oleh layanan sosial, sistem pendidikan atau keadilan, sangat
mempunyai risiko terlibat dalam kejahatan. Adapun pencegahan tersier
ditujukan untuk mereka yang berada dalam sistem peradilan pidana dan/
atau mereka yang kembali pada masyarakat atau komunitasnya dengan
tujuan mencegah kembali pada penyalahgunaan narkoba. UNODC telah
mengidentifikasi tiga jenis pendekatan pencegahan untuk pencegahan
kejahatan terkait narkoba: pencegahan penggunaan narkoba illegal,
pengurangan dampak buruk (pencegahan perilaku berisiko terkait
narkoba), dan pencegahan residivisme (ICPC, 2015).

Pencegahan semacam itu harus dilakukan dengan


mempertimbangkan sejumlah faktor yang dapat mendukung dan
mendorong penggunaan narkoba, khususnya terkait dengan masyarakat
kota. Tren global dalam penggunaan narkoba dan pengendalian narkoba
di tingkat internasional menandai titik balik pada tahun 2016. Sidang
Khusus PBB untuk obat-obatan mengakui bahwa kebijakan menghukum
telah menjadi kontraproduktif dan mahal. Pendekatan alternatif termasuk
pencegahan dan pengurangan dampak buruk merupakan program yang
lebih banyak dilakukan.

Penyalahgunaan narkoba erat kaitannya dengan kejahatan.


Sejumlah faktor risiko untuk penggunaan narkoba dan kejahatan sudah
diidentifikasi, berkaitan dengan karakteristik individu, keluarga dan
komunitas. Fakta menunjukkan bahwa keterkaitan antara kejahatan
dan penggunaan narkoba sangat kompleks dan beragam. Selain itu,
penggunaan narkoba sering dikaitkan dengan berbagai masalah sosial
lainnya (CIPC, 2015)1. Oleh karena itu memutus rantai jaringan narkoba
sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkoba

1
Crime Prevention and Drug Use in Urban Environment. http://www.crime-preventionintl.org/fileadmin/user_upload/
Publications/International_Report/CIPC_5th-IR_EN_Chapter-5.pdf

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 251
serta dampaknya bagi tindakan kejahatan yang dilakukan, dan dampak
sosial dan ekonomi lainnya.

Untuk pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan


peredaran narkoba, berbagai lembaga terkait di Surabaya seperti BNNP
Jawa Timur, BNNK Surabaya, Kepolisian, Pemerintah Kota Surabaya, rumah
sakit untuk rehabilitasi, panti rehabilitasi dan lembaga pemasyarakatan
serta masyarakat telah memiliki komitmen untuk menanggulangi
penyalahgunaan narkoba melalui kebijakan P4GN, sesuai dengan
kapasitas masing-masing. Meskipun demikian, berbagai permasalahan
dan keterbatasan dapat menghambat komitmen tersebut. Salah satunya
yaitu keterbatasan petugas, yang dapat mempengaruhi kinerja dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba. Selain itu, masyarakat juga masih ragu-ragu untuk melakukan
rehabilitasi di lembaga rehabilitasi. Padahal dalam UU Narkotika Pasal
54 menyatakan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan
narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Sinergitas antar lembaga terkait, kelompok masyarakat dan masyarakat
yang pernah atau dalam proses penyembuhan dan penyadaran serta
rehabilitasi juga masih diperlukan untuk dapat meningkatkan kinerja
penaggulangan penyalahgunaan narkoba.

2. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba di Surabaya

2.1 Penyalahgunaan dan pola peredaran narkoba

Upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap


narkoba sudah dilakukan, namun masih ditemukan banyak kasus
penyalahgunaan narkoba. Pada awal tahun 2018, BNNP Jawa Timur telah
menangkap empat orang pelaku peredaran narkoba, yang memasukkan
narkoba dari Malaysia ke Jawa Timur melalui Banjarmasin, Kalimantan
Selatan, dengan melalui jalur laut. Barang bukti yang berhasil diamankan
dari para pelaku narkoba berupa sabu seberat 7 kilogram2. Kepolisian
Surabaya juga telah menangkap pengedar narkoba dan berhasil menyita
2,2 kilogram narkoba jenis sabu dan ekstasi pada bulan Oktober 2018.

2
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/01/06/p23gm8384-bnn-jatim-lumpuhkan-gembong-narkoba-di-
surabaya 15/10/18

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


252 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Modus operandi peredaran narkoba yang digunakan selama ini yaitu
dengan cara memasukkan narkotika jenis sabu dan ekstasi ke dalam
biskuit.3

Kasus peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang (Narkoba)


di Kota Surabaya masih tinggi. Dalam kurun waktu satu semester ini
misalnya, berdasarkan data hasil pengungkapan kasus Satuan Reserse
Narkoba (Satresnarkoba) Polrestabes Surabaya, jumlah peredaran dan
penyalahgunaan narkoba mencapai 365 kasus. Dari kasus tersebut yang
sedang dalam penanganan sebanyak 75 kasus, sedangkan yang sudah
dilimpahkan, baik tahap pertama dan kedua, sebanyak 290 kasus. jumlah
tersangka yang ditangani sebanyak 477 tersangka. Barang bukti yang
disita dari para tersangka antara lain sabu sabu sekitar 1,6 kilogram,
ekstasi sebanyak 2.089 butir, sebanyak 7.459 butir obat keras berbahaya
dan 183 pil Happy Five.4

Jenis narkoba yang banyak beredar di Jawa Timur dan Surabaya


khususnya yaitu sabu; walaupun tidak menutup kemungkinan jenis lain
juga masih banyak, terutama ekstasi dan ganja. Peredaran narkoba
yang terungkap pada umumnya berasal dari Malaysia yang masuk ke
Indonesia melalui jalur darat, laut maupun udara. Jaringan paling sering
terungkap yaitu jaringan Malaysia-Madura-Surabaya. Jaringan narkoba
yang melibatkan orang Madura juga sangat besar, diindikasikan dari
peredaran dan pemakaian jenis sabu di Madura yang semakin semakin
marak. Jaringan ini merambah sampai ke Surabaya melalui Madura, atau
sebaliknya melalui Surabaya lebih dulu baru menyeberang ke Madura.
Konon keberadaan TKI dari Madura, terutama TKI illegal yang pulang ke
Madura atau ke Surabaya sambil membawa narkoba melalui jalan-jalan
tikus, yang membuat peredaran sabu dari Malaysia semakin marak. Hal
itu karena di Madura banyak pantai yang terbuka, yang dapat digunakan
sebagai jalan masuk perahu yang membawa narkoba. Pengawasan yang
kurang dan keterbatasan pemerintah setempat karena hanya ada satu
BNNK yaitu di kota Sumenep, mengakibatkan peredaran narkoba melalui
jaringan ini sulit dideteksi.

3
https://www.merdeka.com/peristiwa/peredaran-biskuit-narkoba-di-surabaya-terbongkar-begini-modus-tersangka.html
25/10/18
4
https://www.inews.id/daerah/jatim/202557/peredaran-narkoba-di-surabaya-masih-tinggi-1-semester-365-kasus 15/8/18

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 253
Peredaran narkoba didukung oleh bandar-bandar kecil yang
memasok narkoba sebagai suatu jaringan, mulai dari pedagang kecil/
pengedar, ke pengedar yang lebih besar, sampai tingkat atas yang lebih
besar. Pada tingkat paling bawah, karena keterbatasan modal dan hanya
mengharapkan keuntungan untuk dipakai, maka persediaan narkoba
pun sangat terbatas. Mereka menjual narkoba dalam paket hemat dan
paket-paket lainnya, sehingga banyak pemakai masih bisa menggunakan,
bahkan bisa membeli dengan cara patungan. Hal itu berbeda dengan
jaringan di atasnya, yang dipastikan memiliki modal lebih besar karena
memasok bandar-bandar kecil. Untuk menemukan bandar besar atau
jaringan narkoba bukan hal yang mudah karena antara jaringan kecil
dan jaringan di atasnya sangat terjaga kerahasiaannya, bahkan mereka
kadang tidak mengenal jaringan di atasnya.

Pengedar yang tertangkap dan menjadi tersangka dan terpidana


umumnya pengedar-pengedar kecil, seperti yang terdapat di Lapas
Pamekasan atau di Panti Rehabilitasi Bambu Nusantara. Dari hasil FGD
di lapas maupun panti rehabilitasi diperoleh gambaran bahwa mereka
sudah beberapa kali dipenjara, yang mengindikasikan bahwa mereka
sudah berkali-kali melakukan tindak pidana narkoba.

Tempat-tempat tertentu di Madura sudah dikenal sebagai tempat


peredaran narkoba, bahkan anak-anak di bawah umur juga sudah
menggunakannya. Di salah satu desa yang dilakukan pemberdayaan
alternatif diketahui bahwa jaringan narkoba ini melibatkan kepala desa
dan penggunanya pun anak-anak SD. Hal itu sebagaimana dikemukakan
oleh ibu R dari BNNP Jawa Timur:

“Untuk mengatasi hal ini kita punya pemberdayaan alternatif


mengambil satu kelurahan atau desa di kampungnya yang asli
banyak bandar, klebung itu jadi bandar, disana anak kelas 3 atau
kelas 4 SD itu sudah berani nyabu karena disana nggak ada pil koplo,
nggak ada kaenopen, ngga ada ekatasi; (jadi) langsung sabu…kelas
4 SD sudah berani nyolong tabung gas melon, kalau ditanya untuk
apa? Beli sabu; dia sudah biasa, itu bikin bong dijual 5 ribu, dan ibu-ibu
di sana punya bilik-bilik, disiapkan bongnya orang yang mau nyabu
datang, nyedot habis itu ninggalin uang entah 15 ribu atau 20 ribu.
(Pemberdayaan alternatif) itu untuk antisipasi yang belum kena atau
tidak kena (Narasumber Ibu R, BNNP Jawa Timur)”

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


254 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Peredaran sabu telah banyak dimanfaatkan untuk mencari
keuntungan. Beralih ke jaringan peredaran sabu dianggap lebih
menguntungkan daripada usaha lain. Di salah satu kampung di Madura
yang dulu dikenal sebagai kampung curanmor, masyarakat lebih memilih
untuk mengedarkan sabu karena lebih mudah dan keuntungan lebih
banyak. Hal itu dapat dilihat dari penjelasan seorang narasumber (bapak
DM) dari BNNK Surabaya:

“Soca itu dulu tempatnya curanmor perampokan, sampai ada istilah


mas kawinnya sepeda motor curian; soalnya kalau keluar kerja
nggak dapat uang halal minimal dapat menghidupi anak istri. (Jadi
menurut mereka) sholat itu kewajiban, saya nyolong itu pekerjaan.
Jadi mereka tidak peduli halal haram, gampang nanti uang haram
disumbangkan di masjid, panti asuhan, itu kan gila konsep agama
yang gila…kriminalitas tinggi…di Soca itu ngga ada yang namanya
jalan. Soca sukolilo itu ladang salak antar rumah, tidak ada jalan raya;
adanya jalur yang dilewati kaki, sepeda motor. Pohon salak gede-gede,
kalau kita grebek disitu orang nya kemana kita nggak tahu….(Kalau)
orangnya kena, barang bukti nggak ada…kan barangnya mudah
laruut…paling banter tes urin. Dulu (daerah itu) pusat curanmor
sekarang pusat narkoba. Pada waktu (dulu) di sana pengguna thk;
sabu belum banyak, (hanya) untuk rekreasi, bukan jualan. (Mereka)
tetep ngrampok. Dulu sabu belum ngetren, kulakane angel; lebih
gampang pil koplo sama ekstasi. Tahun 2000-an kalau nyuri sepeda
motor dijual paling dapat berapa, (itu pun) butuh 3- 4 orang. Dapat
motor dijual 5 juta dibagi paling dapat satu juta;, risiko (besar). Sabu
satu gram 1,2- 1,5 juta. Dia bawa 5 gram nggak ada yang tahu…
mereka jiwa dagang tapi ngga peduli. Dari luar orang Madura banyak
yang jadi TKI illegal; mereka bawa lewat perahu. Sekarang dia sandar
di laut nggak tahu, sabu dimasukkan ikan.”

2.2. Dampak penyalahgunaan narkoba

Pemakaian narkoba pada awalnya mulai dari mencoba. Namun


karena tidaktahu, berujung pada ketergantungan, sehingga berdampak
pada keadaan ekonomi yang semakin tidak menentu. Jika sudah
ketergantungan narkoba, usaha yang telah dirintis ketika sebelum memakai
narkoba menjadi hancur. Pekerjaan yang telah lama ditekuni juga menjadi
sirna karena memakai narkoba. Kehilangan pekerjaan merupakan salah
satu dampak dari pemakaian narkoba. Adapun mereka yang sekolah, tidak
lagi melanjutkan sekolahnya. Seorang warga binaan Lapas Pamekasan
yang menjadi peserta FGD menjelaskan sebagai berikut:

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 255
“Awal mula saya pakai narkoba diajak teman. Mulai sekolah kelas 6
SD diajak teman di lingkungan rumah di Surabaya daerah Kapasan.
Itu temen-temen ngerokok…ngerokok apa lha koq mbliyur-mbliyur…
enteng…terus ketagihan. Agak lama juga pakai ganja terus merambah
ke sabu, koq efeknya enak. Ya tambah pake terus karena kecanduan.
Nggak bisa beli terpaksa kita jual (sama arkoba)…Saya putus sekolah
nggak nerusin sekolah…(Kalau dibandingkan) kerja sama nganggur,
penghasilan banyakan nganggur; ya nganggur saja pak…mau nikah
ditangkap kurang 9 hari…ya kaget orang tua…jengkel sudah diingetin
suruh berhenti tetapi saya masih pake…orang tua tahu sampe busa
ngingetin itu…”.

Sebetulnya awalnya mereka menggunakan narkoba hanya


situasional; yakni dialami pekerja yang bekerja di kontraktor bangunan.
Mereka menggunakan narkoba untuk menjaga kondisi tubuh supaya tetap
bugar selama bekerja, karena pekerjaan mereka membutuhkan tenaga
dan pikiran yang prima. Walaupun awalnya mereka menggunakan sabu
untuk mencoba, namun lama-kelamaan menjadi ketergantungan, dan
dosis pemakaiannya semakin bertambah. Selain itu ada juga olahragawan
yang mencoba memakai sabu agar lebih fit, namun akhirnya mengalami
ketergantungan. Berikut pernyataan oleh seorang warga binaan Lapas
Pamekasan di dalam FGD:

“Saya mulai kena narkoba tahun 2012, tapi saya jujur saja menyesal
bahkan tidak pernah makan manisnya bahkan hancur…habis…ludes
semua…tanah (dijual). Tapi ini mungkin dihukum sama Allah, saya
akan berhenti, baru pertama kali, pertama (memakai) sabu ...putaw
ngga pernah, di daerah Madura...saya pernah liat paman saya (pakai
narkoba). Cuma lihat saja nggak tahu saya…di daerah Sumenep
pantai. Jadi meskipun make di luar ngga apa-apa nggak tahu orang
pak…orang kampong orang tani, jadi saya (dan) paman saya hisap
rokok apa itu rokok arab…(Kata paman saya): kamu jangan (pakai)
rokok ini, rokok lain saja…setelah tahu pak misuh-misuh saya…yang
ngasih pertama temen, jadi saya kan oleh raga jadi pengin fit…kena di
Jawa. Saya uang habis, harta habis. Mau ngirim ke jawa kejebak ngga
makan manisnya pak…utang banyak harta ludes…waktu make harta
sendiri…utang banyak…sapi-sapi saya gadaikan...orang tua nggak
tahu..isteri aja nggak tahu kalau saya make. Istri mau belanja (saya)
baru make di dapur…(kemudian) diajak temen make di desa, belajar
saya pak…pinter bikin alat itu…tiba-tiba habis saja Rp 300 (ribu), punya
gaji saja habis ludes apalagi saya nggak punya gaji kerjanya ngga
nentu…”

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


256 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Walaupun pada awalnya banyak yang mencoba memakai narkoba
karena diberi gratis, namun itu sebenarnya hanya pancingan, karena
lama-kelamaan pasti akan menambah dosis pemakaiannya, sehingga
mereka terjebak untuk membeli. Setelah memakai narkoba biasanya
mereka merasakan enak yang tidak bisa digambarkan, dan beban pikiran
juga tidak ada.

“…….(nagih) kalau punya uang pasti beli pak…Awalnya sedikit, beli


Rp 100 (ribu)..nanti meningkat lama-lama…saya ngga pengalaman
minum vodka…pertama diajak temen dikasih gratis kalau sudah
kecanduan beli pak…pancingan..kadang beli Rp 400..Rp 500 (ribu)..
patungan pak bagi 4…kalau pertama malam bisa tidur tapi kalau
sudah lama kebal pak ngga bisa tidur-tidur…kalau pertama make on
nya itu luar biasa tapi kalau sering sering pake tiap hari kebal pak…
tambah lagi…enaknya kayak fit…meski punya utang ngga mikir nanti
kalau ngga pake mikir lagi…kalau masih pake hilang pak ngga mikir…”

Mereka yang awalnya hanya sebagai pengguna, tapi karena tidak


punya uang untuk membeli, akhirnya merangkap menjadi pengedar kecil.
Keuntungannya dipakai untuk membeli narkoba untuk diri sendiri dan
untuk dijual lagi. Pada umumnya peserta FGD di lapas maupun panti
rehab pernah tertangkap sebagai pengedar walaupun pengedar kecil.
Namun menurut mereka pekerjaan ini sangat menguntungkan; sehingga
mereka terdorong untuk mengulangi perbuatan ini walaupun sudah
pernah merasakan mendekam di balik terali besi.

Meskipun para pengguna yang sekaligus pengedar itu merasakan


enaknya memakai narkoba dan merasa mendapat keuntungan dengan
mudah, mereka lupa bahwa dampak negatifnya lebih besar daripada
kenikmatan sesaat yang mereka rasakan. Bahkan ada dari mereka
yang menjadi berantakan keluarganya, sebagaimana dikemukakan oleh
seorang peserta FGD dari Lapas Narkotika Pamekasan:

“Pengalaman saya di narkoba sangat hancur sekali, jadi ini ya banyak


bertobatlah sehingga (mendapat) petunjuk, sehingga (saya) sangat
menyesal sekali. Jadi narkoba sangat kejam, yang kedua adanya
perbaikan dari pemerintah (saya) sangat senang sekali, jadi sekalian
bapak penelitian ini sekaligus untuk perbaikan-perbaikan.”

Pengalaman yang hampir mirip juga dikemukakan oleh seorang


peserta FGD lainnya:

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 257
“…sudah keluarga…gara-gara itu akhirnya berantakan semua, mau
cerai…Di sini bertobat lah…ya dari sini kita belajar harus hati-hati
sama orang nggak asal mau deket sama orang sampai begitu karena
kita nggak berpikir dampak kebelakangnya sampai seperti ini...
lama pak 4 tahun…(pertama di sini) stress pak…bisa terima iklas itu
susah apalagi kondisi masuk isteri di rumah ngajak berantem…ribut
kan pasti stress…berantakan semua. Cuma gara-gara niat nyenegin
orang…hancur…”

Faktor lingkungan sangat berperan dalam mempengaruhi


seseorang untuk menggunakan narkoba. Hal ini tidak dapat dipungkiri
karena penyalahgunaan narkoba banyak yang berawal dari pertemanan
di lingkungannya, baik lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan,
lingkungan rumah, atau lingkungan pertemanan lainnya.

3. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Narkoba

Pembinaan bagi para penyalahguna narkoba penting dan sangat


diperlukaan. Saat ini pembinaan terhadap penyalahguna narkoba itu
dilakukan di lembaga pemasyarakatan, atau direhabilitasi di panti
rehabilitasi. Hal ini dilakukan agar mereka terbebas dari jeratan
penyalahgunaan narkoba. Pada dasarnya pembinaan dilakukan agar
mereka tidak mengulangi lagi penyalahgunaan narkoba, baik sebagai
pamakai atau pun sebagai pengedar. Para penyalahguna narkoba ini
dibekali dengan berbagai program dan kegiatan yang bersidat sosial
maupun ditunjang dengan kegiatan medis. Pembekalan terhadap para
penyalahguna narkoba dengan berbagai program dan kegiatan itu agar
ketika selesai menjalani hukuman atau selesai menjalani rehabilitasi
mereka dapat kembali ke masyarakat dan melakukan kegiatan seperti
sediakala, serta tidak lagi mengulangi perbuatannya.

3.1 Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

Pada saat penelitian dilakukan, Lapas Narkotika Pamekasan dihuni


oleh 924 warga binaan, sedangkan kapasitas lapas narkotika ini dapat
menampung 1.223 warga binaan. Dilihat dari tingkat hunian, lapas ini
masih cukup memadai karena saat ini masih di bawah kapasitas yang
ada. Namun demikian, kendala yang dirasakan yaitu masih kurangnya
air bersih untuk mandi karena sementara ini sumber air masih terbatas;

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


258 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
menurut Kalapas kalau sampai dihuni 1.000 orang maka para warga
binaan akan kesulitan untuk mandi, namun untuk air minum sudah cukup
memadai. Lapas narkotika Pamekasan ini khusus untuk warga binaan
laki-laki, sedangkan untuk perempuan terdapat di Lapas Malang dan
Surabaya.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang


Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) dijelaskan bahwa Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) berfungsi
sebagai tempat untuk melaksanakan penghukuman dan pembinaan bagi
narapidana, berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan
pidana. Selama menjalani putusan hukuman pidana, narapidana wajib
mentaati setiap tata tertib yang berlaku di Lapas dan Rutan. Untuk
menjaga keamanan dan ketertiban di Lapas menjadi tanggung jawab
Kepala Lapas. Selanjutnya, tata tertib di Lapas maupun Rutan juga telah
diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 6 Tahun
2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan
Negara (Permenkumham RI No 6 Tahun 2013).

Dalam Permenkumham RI No 6 Tahun 2013, Pasal 2 ayat (1) dan ayat


(2) dinyatakan bahwa setiap narapidana dan tahanan wajib mematuhi
tata tertib Lapas atau Rutan. Tata tertib Lapas atau Rutan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) mencakup kewajiban dan larangan bagi
narapidana dan tahanan. Dalam Pasal 4 Angka 7 disebutkan bahwa setiap
narapidana atau tahanan dilarang menyimpan, membuat, membawa,
mengedarkan, dan/atau mengonsumsi narkotika dan/atau prekursor
narkotika serta obat-obatan lain yang berbahaya. Meskipun demikian,
kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak ditemui penyalahgunaan
narkoba di dalam Lapas. Selama menjalani hukuman dan dibina di dalam
Lapas, terdapat narapidana yang melakukan perbuatan melanggar hukum,
kembali menyalahgunakan dan mengedarkan narkoba. Kondisi seperti
itu antara lain terjadi di Lapas Medaeng Surabaya. Pada tahun 2018
Pengadilan Negeri Surabaya telah memutuskan empat orang terdakwa
dijatuhi hukuman karena terlibat jaringan narkoba di lapas Medaeng
Surabaya5. Hal ini juga diakui oleh seorang warga binaan yang pernah
5
http://surabaya.tribunnews.com/2018/06/05/terdakwa-jaringan-narkoba-rutan-medaeng-divonis-berbeda?page=2 diakses
22/10/18

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 259
mendekam di lapas Medaeng sebelum dipindahkan ke Pamekasan
sebagai berikut.

“Kalau saya non muslim. Kebetulan ada acara di gereja, di situ kita
bisa mendekatkan diri pada Tuhan di kamar juga ada alkitab kita
bisa berdoa. Pas diajak cerai pas di Medaeng itu pakai; masih ada lah
untuk pelampiasan tapi mikir-mikir mau sampai kapan. Masak tidak
ada wanita yang mencintai saya…”

Dalam kekalutan menghadapi perceraian dengan isterinya karena


telah terlibat dalam penyalahgunaan narkoba, warga binaan ini tidak
dapat menahan diri untuk memakai narkoba di dalam lapas. Ini dapat
terjadi karena adanya kesempatan, yang mungkin disebabkan agak
longgarnya pengawasan di dalam lapas Medaeng. Peredaran narkoba
di dalam lembaga pemasyarakatan ini juga pernah terjadi di lembaga
pemasyarakatan Pamekasan, namun menurut para warga binaan, saat
ini sudah tidak ada lagi. Hal ini dituturkan oleh salah satu warga binaan
dalam FGD di lapas Pamekasan sebagai berikut.

“…jadi pertama susah di sini. Wartel nggak ada, rokok ngga ada, kantin
nggak ada…lebih susah sekali di sini; jadi sebagaian teman kalau
merokok takut …tapi sekarang sudah enak. Sekarang ini teman-teman
kalau tidak bersyukur tidak diberi nikmat yang lebih besar teman-
teman harus bersyukur, sekarang bahkan narkoba nggak ada sama
sekali…pak Hernowo ini…kalau yang satu…pertama kedua masih ada
masih ada yang berani; sekarang ini nggak ada yang berani. Mungkin
sudah hidayah dari allah kepada bapak-bapak yang bertugas di sini
supaya sama –sama memperbaiki.”

Selama di dalam Lapas, semua warga binaan tidak diperbolehkan


menyimpan alat komunikasi telpon genggam, tidak ada peredaran uang
tunai, tidak diperkenankan merokok, dan masih banyak lagi larangan. Ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba di dalam Lapas, sebagaimana dijelaskan oleh kepala Lapas
Pamekasan. Menurutnya, terjadinya penyalahgunaan dan peredaran
gelap banyak disebabkan oleh mudahnya pemakaian alat komunikasi
yang ada di dalam Lapas. Dengan alat komunikasi para warga binaan
masih dapat mengatur jaringan narkoba di luar Lapas. Untuk itu berbagai
upaya dilakukan oleh pihak Lapas, untuk mencegah penyelundupan dan
peredaran narkotika di lapas, antara lain dengan memperketat penjagaan,
pemeriksaan barang bawaan pengunjung, dan penggeledahan rutin.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


260 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Kepada petugas juga diberikan pelatihan setiap tahun agar mampu
menanggulangi penyimpanan dan peredaran narkoba di dalam Lapas.
Oleh karena itu, di lapas Pamekasan secara rutin dilakukan pemerikasaan
alat komunikasi, uang tunai maupun barang-barang terlarang lainnya,
yang tujuannya yaitu untuk mencegah semakin leluasanya jaringan
narkoba di dalam maupun di luar lapas. Hal itu diungkapkan oleh Kalapas
Narkotika Pamekasan sebagai berikut.

“…jadi kalau namanya bandar harus dipisahkan. Kalau yang bukan


bandar kalau yang bener direhab. Penularannya itu karena hubungan;
apalagi kita sudah usahakan semaksimal mungkin. Karena
sumbernya itu HP, (maka) kita sudah siapkan wartel. (Meskipun
demikian), kadang-kadang masih ada kebocoran HP. (itu) pun yang
paling bahaya (HP) android. Kalau saya pegang HP yang biasa itu
paling kejiwaan untuk menghubungi keluarga saja. Tapi kalau sudah
android sudah ada bankingnya itu sudah bahaya” (Bp H.,)

Program pembinaan terhadap warga binaan yang dilakukan


oleh Lapas Narkotika Pamekasan mengacu pada Undang undang
Nomor 12 Tahun 1995 maupun Permenkumham RI No.6 Tahun 2013.
Meskipun demikian, Lapas Narkotika ini mempunyai program khusus
untuk membina para warga binaan agar terlepas dari jeratan narkoba.
Hal itu disebabkan semua warga binaan merupakan pelaku kejahatan
terkait dengan pemakaian, peredaran dan perdagangan gelap narkoba.
Diharapkan setelah keluar dari Lapas mereka tidak akan kembali
berurusan dengan masalah narkoba. Selama ini program khusus terkait
dengan rehabilitasi yang sudah dijalani oleh warga binaan adalah dengan
pendekatan keagamaan, khususnya agama Islam yaitu riyadhah. Hal ini
diungkapkan oleh kepala lapas narkotika Pamekasan sebagai berikut.

“…kalau kita rehab arahnya ke pondok pesantren namanya Suralaya,


jadi kita riyadah namanya. Tengah malam jam setegah satu mandi ke
masjid. Kita langsung berdoa sampai subuh, sekalian sholat subuh.
Setelah sholat subuh berhenti sebenar. Jadi untuk rehab, di sini sudah
duluan dengan pesantren Suralaya. Kegiatannya malam. Kekuatan
kita juga dipikirkan; jadi hanya 30 (peserta), dipisah du. Nanti ada yang
antri; bloknya juga dibedakan. Jadi yang mau usulan PB, kalau ada
ketrampilan lain diusulkan ke ketrampilan kerja. Unggulan riyadhah
itu sudah dipertahankan; kebijakan program pembinaan (hanya ada)
di sini saja. Terkenalnya di sini memang pembinaan itu.”

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 261
Sebagaimana dikemukakan oleh kepala Lapas narkotika Pamekasan,
rehabilitasi warga binaan dilakukan melalui kerjasama dengan pondok
pesantren Suralaya, dengan melakukan kegiatan riyadhah. Kegiatan
pembinaan riyadhah intinya berupa usaha sungguh-sungguh dengan cara
mendekatkan diri kepada Allah. Upaya ini dilakukan untuk melatih jiwa
untuk tetap berperilaku yang berlandaskan kebenaran dan keikhlasan.
Jadi kegiatan ini pada intinya merupakan upaya melatih diri, dengan cara
membiasakan diri melaksanakan ibadah-ibadah madhoh 6 atau yang
sifatnya ritual dan ghairu madhoh, yang dijadikan kebiasaan hidup sehari-
hari.7 Seperti halnya tujuan dari kegiatan rehabilitasi atau pembinaan di
lapas pada umumnya, kegiatan riyadhah ini bertujuan untuk memutus
mata rantai penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba melalui
internalisasi nilai-nilai agama yang dilakukan di dalam Lapas, sehingga
jika sudah keluar dari Lapas tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Walaupun pelaksanaan riyadhah tersebut sangat baik bagi


penyalahguna narkoba, namun sayangnya tidak dapat dilakukan secara
serentak dengan pertimbangan keamanan lapas itu sendiri. Kegiatan
Riyadhah dilakukan pada tengah malam hingga waktu subuh. Oleh
karena itu, karena keterbatasan yang ada, maka kegiatan ini hanya diikuti
oleh mereka yang statusnya pembebasan bersyarat (PB); yaitu bebasnya
warga binaan setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa
pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9
(sembilan) bulan. Padahal menurut keterangan dari Kalapas Pamekasan
mereka yang telah mendekati masa pembebasan bersyarat semakin
banyak, sehingga dikhawatirkan mereka tidak dapat tertampung untuk
mengikuti program riyadhah ini. Bagi yang belum bisa diikutkan dalam
program riyadhah, maka mereka hanya menjalani kegiatan di bengkel
atau balai latihan kerja, di kebun atau di kegiatan kebersihan.

Kegiatan di bengkel latihan kerja itu diperlukan untuk memberikan


ketrampilan, agar setelah keluar dari Lapas mereka dapat meneruskan
ketrampilan ini untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Untuk keperluan
tersebut, Lapas Pamekasaan telah memiliki rencana bekerjasama dengan
lembaga lainnya seperti perguruan tinggi, Dinas Kesehatan, Kementerian

6
Ibadah madhoh yaitu ibadah yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya
7
https://daqu.sch.id/2015/05/makna-riyadhoh/ diakses 22/10/18

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


262 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Agama serta lembaga terkait lainnya, untuk melakukan pembinaan
terhadap para warga binaan. Untuk memperbaiki program kegiatan di
Lapas Pamekasan, juga telah dilakukan studi banding ke Lapas Narkotika
Cipinang Jakarta, sebagaimana yang diungkapkan oleh kepala Lapas
Narkotika Pamekasan sebagai berikut:

“Kami studi banding di Lapas Narkotika Cipinang. Kita harus ke dinas


terkait, kerjasama dengan Kementerian Agama, kerjasama (dengan)
universitas, bikin satu kelas. Rencananya, banyak ruangan yang
kosong kita manfaatkan, karena kalau riyadhah saja kasihan yang
lain; karena kalau yang pengin ikut akhirnya numpuk di bengkel,
numpuk di kebersihan. Dia kan ada kemauan berubah, dan bisa
menjaga keamanan, tapi kita sendiri programnya harus ditambah,
karena mungkin dulu 400 sekarang sudah 900. (Jadi perlu) percepatan
pembinaan untuk tahap PB, CB cepat…penyalurannya kita akan
ditambah; mungkin ditambah psikolog, kan perlu kerjasama dengan
yang lain seperti Dinkes. Telatnya karena program dalam satu tahun,
jadi dari awal sudah diprogramkan.”

Program pembinaan di Lapas Narkotika Pamekasan sudah berjalan


dengan cukup baik; berbagai ketrampilan juga sudah diberikan walaupun
masih banyak keterbatasan. Demikian pula dengan pembinaan khusus
yang terkait dengan agama Islam, yaitu riyadhah. Riyadhah ini mungkin
masih diperlukan karena dapat merubah perilaku para warga binaan untuk
kembali ke jalan yang benar dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tentang pentingnya riyadhah, seorang warga binaan mengemukakan
sebagai berikut:

“Kalau menurut kami, sementara yang dipertahankan tentang


Riyadhoh, yang programnya para napi ini keluar semua ke masjid jam
satu sampai subuh sampai jam 6 shalat israh. Jadi ini mungkin sesuai
dengan firman Allah, (yaitu) harus kita yang memperbaiki hati. Kalau
hati kita baik, semua amal perbuatan kita insya’Allah baik. Jadi, untuk
lapas ini untuk dipertahankan supaya kita ada hasilnya. Di sini diajari
baca Al-Quran, keterampilan. Kalau saya fokus di masjid, (maka) jadi
sedikit pengetahuan di luar masjid.”

Setelah mereka menjalani masa hukumannya di Lapas, kegiatan


mereka sebenarnya masih diawasi oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas),
yang bertugas sebagai pembimbing kemasyarakatan sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan lembaga yang berlaku. Adapun
tujuannya yaitu agar warga binaan sadar dan memperbaiki diri serta tidak

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 263
mengulangi tindak pidana lagi. Bimbingan diberikan ketika warga binaan
sudah keluar dari lapas, salah satunya berupa bimbingan kegiatan kerja
agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal itu dijelaskan
oleh Kepala Lapas Narkotika Pamekasan sebagai berikut:

“…di luar dipantau oleh Bapas, tapi pengawasan kan nggak semua.
Kalau masuk ke lingkungan, ada yang sudah bebas tahu-tahu ke
sini lagi. Kalau ditanya ya kembali ke lingkungan, diolok-olok… Nanti
di luar ada Bapas memberi keterampilan pengelasan, sopir (dan
sebagainya), tapi kantornya beda dari Lapas. Ada pengajian juga; jadi
ini sudah program nasional dari Bapas.”

Walaupun pembinaan di Lapas sudah baik, namun yang perlu


diperhatikan yaitu penanganan terpidana penyalahgunaan narkoba
sebaiknya dipisahkan antara bandar, pengedar dan sekedar pemakai. Hal
ini juga terkait dengan terbatasnya kapasitas lapas untuk menampung
terpidana penyalahgunaan narkoba. Jika hanya sebagai pemakai,
tentunya penanganannya dilakukan oleh Dinas Sosial untuk direhabilitasi
di panti rehabilitasi atau di rumah sakit, sedangkan kalau pengedar
atau bandar harus dimasukkan ke Lapas. Menurut Kalapas Narkotika
Pamekasan, penuhnya Lapas sekarang ini bukan karena banyaknya
bandar atau pengedar, tetapi lebih banyak pemakai narkoba. Berikut
penjelasan Kalapas Narkotika Pamekasan:

“…harus dipisahkan antara bandar (dan) pemakai. Harus ada dari


hulunya dari sidangnya; kalau bandar masuk lapas, kalau pemakai,
Dinas Sosial yang harus tamping. Kalau sekarang ada pemakai
dengan bandar (dijadikan satu). Kalau itu bandar yang harus masuk
lapas. Sekarang Lapas penuhnya bukan bandar; banyak pemakainya.
Sama dengan (di) sini, pemakai masuk. Pemakai masuk memang
harus dikaji, (jika) bandar (harus) masuk. Kalau ngobrol di dalam
begitu. Saya bisa rehab nggak itu dari putusan pengadilan; kalau
putusan harus masuk LP ya masuk.”

Penjelasan Kalapas tersebut menunjukkan bahwa jangan sampai


terjadi kesalahan dalam memutuskan, apakah seseorang menjadi
terpidana penyalahgunaan narkoba, atau atau hanya menjalani
rehabilitasi. Hal itu juga sesuai dengan Undang-Undang Narkotika,
yang mengharuskan seseorang pemakai untuk menjalani rehabilitasi,
sedangkan para pengedar dan bandar narkoba harus dihukum karena
telah melakukan kejahatan penyalahgunaan dan perdaran gelap narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


264 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
3.2 Program Rehabilitasi di Panti Rehabilitasi

Pemakai narkoba masih sangat memerlukan perhatian untuk dapat


kembali pada kehidupan yang sehat dan bebas narkoba. Oleh sebab itu,
sebagai pemakai mereka masih dapat diarahkan untuk tidak lagi terlibat
dalam penyalahgunaan narkoba. Rehabilitasi merupakan salah satu
tahapan yang penting bagi para pemakai narkoba. Pemerintah, dalam
hal ini BNN, Kementerian Kesehatan serta Kementerian Sosial telah
melakukan kerjasama dengan berbagai lembaga kemasyarakatan untuk
melakukan upaya mencegah peningkatan penyalahgunaan narkoba,
dengan melakukan program rehabilitasi bagi pemakai narkoba.

Untuk melaksanakan program rehabilitasi, pemerintah telah


menunjuk lembaga-lembaga terkait untuk menjadi mitra pelaksana
program. Lembaga itu terdiri Pusat Kesehatan Masyarakat, rumah sakit,
lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial, yang disebut
sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Program wajib lapor bagi
pecandu narkoba ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun
2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor bagi Pecandu Narkoba ke IPWL.
Di dalam Pasal 10 PP tersebut disebutkan bahwa IPWL mengeluarkan
kartu identitas sebagai orang yang sedang menjalani rehabilitasi sosial
korban tindak penyalahgunaan narkoba. Pemegang kartu ini tidak boleh
ditangkap; jadi tidak bisa dipidanakan. Meskipun demikian, kartu ini hanya
boleh digunakan 2 kali. Jadi, apabila pengguna narkoba sudah 3 kali
tertangkap, maka harus melalui proses hukum terlebih dahulu sebelum
menjalani program rehabilitasi.

Di Kota Surabaya terdapat beberapa IPWL; baik yang pendekatannya


secara medis, agama maupun sosial. Rumah sakit dr. Soetomo dan
Rumah sakit jiwa Menur merupakan salah satu IPWL yang program
rehabilitasinya menggunakan pendekatan kesehatan atau medis.
Beberapa IPWL lainnya yang program rehabilitasinya menggunakan
pendekatan sosial antara lain Panti Rehabilitasi Bambu Nusantara, Orbit,
Plato, dan Inabah XIX.

Panti Rehabilitasi Bambu Nusantara Surabaya pada awalnya


merupakan pengembangan Bambu Nusantara di Madiun. Panti
rehabilitasi ini telah bekerjasama dengan Kementerian Sosial, dan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 265
fokus pada rehabilitasi sosial. Sebelumnya, panti rehabilitasi ini juga
pernah bekerja sama dengan BNN Kota Surabaya untuk menangani para
pemakai narkoba. Menurut ketua Yayasan Bambu Nusantara, keinginan
pengguna narkoba untuk ikut program rehabilitasi cukup besar. Apalagi
mereka sudah sadar dan mamahami bahwa pemakai narkoba tidak akan
dijerat hukuman. Meskipun demikian, sebagian masyarakat masih takut
untuk melaporkan dirinya terlibat pemakaian narkoba. Selain karena biaya
yang cukup tinggi, pada umumnya mereka tidak menginginkan berurusan
dengan aparat penegak hukum, atau takut dengan jaringan narkoba. Hal
itu dikemukakan oleh Ketua Yayasan Bambu Nusantara sebagai berikut:

“Yang membuat masyarakat (takut) masalah ini (yaitu) pembiayaan


(dan) ketidaktahuan tentang rehabilitasi. Mereka berpikir rehabilitasi
itu menakutkan, seram; anaknya disuruh ini itu, kekerasan.
Pembiayaan itu rawat inap berapa, makan berapa. Padahal kami tidak
memaksa, terserah ibu maunya berapa. (Di) IPWL itu nanti anak saya
disuruh mengembangkan bandarnya siapa. Takutnya kalau lapor
nanti takutnya disuruh nunjukin ke bandar. Ini yang membahayakan
keluarga mereka juga. (Jadi) wajib lapor itu sosialisasinya tidak kuat
di masyarakat.”

Berdasarkan pengalaman, pemakai narkoba yang direhabilitasi


di panti ini sekitar 80 persen merupakan hasil rujukan dari BNN;
sedangkan yang inisiatif datang sendiri untuk direhabilitasi hanya sekitar
20 persen. Namun dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat
tentang pentingnya rehabilitasi bagi pemakai narkoba, maka panti
rehab cenderung semakin banyak menampung para pemakai. Dengan
semakin antusiasnya masyarakat mengikuti program rehabilitasi di IPWL,
maka diperlukan dana rehabilitasi yang semakin banyak. Namun karena
keterbatasan dana, maka pemakai narkoba yang dapat direhabilitasi di
panti ini juga terbatas.8

Saat ini panti rehabilitasi Bambu Nusantara hanya menerima bantuan


anggaran dari Kementerian Sosial, dan tidak boleh menerima bantuan
dana dari instansi pemerintah lainnya. Padahal, bantuan dari Kementerian
Sosial itu dianggap belum dapat memenuhi biaya semua penghuni panti.
8
Program rehabilitasi dilakukan selama 3 bulan. Menurut informasi dari ketua yayasan besarnya biaya rehabilitasi untuk satu
orang sebear Rp 3,8 juta per bulan, biaya yang didapat dari Kemensos sebesar Rp 1,5 juta, selebihnya kekurangan itu dibebankan
kepada orang tua klien. Namun, karena tidak semua orang tua mampu maka pihak panti rehabilitasi mengupayakan dana
subsidi lain.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


266 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Oleh karena itu, sebagian biaya rehabilitasi harus ditanggung oleh para
pemakai yang ikut program rehabilitasi. Hal itu dijelaskan oleh Kepala
Panti Rehab Bambu Nusantara sebagai berikut:

“Kalau diukur semua (waktu rehab) 3 bulan. Kalau drug menurut WHO
idealnya (waktu rehab) 6 bulan. Dari Kemensos awalnya 6 bulan,
terus turun 4 bulan, tapi dengan BNN 3 bulan. Dari BNN sudah 76
(orang), yang namanya dari Kemensos ada 15 (orang) yang lainnya
berbayar sendiri. Rawat inap semester kedua kita di ACC 19 orang
padahal kliennya 21 (orang); (jadi) yang dirasakan pembiayaan. Tidak
semuanya punya uang, bagaimana BNN tidak ada uangnya, ketika
klien dirujuk ke sini wajib ada wali. Fungsinya wali terkait dengan
pembiayaan. Kemensos yang ada pembiayaam. Cuma rencana di
tahun 2019 cenderung BNN. Kalau mereka ngirim kesini biaya BNN.”

Panti rehabilitasi Bambu Nusantara selama ini masih dapat


membiayai para peserta program rehabilitasi, dengan bantuan dari
Kementerian Sosial maupun bantuan lembaga donor dari luar. Namun
yang perlu dipikirkan ke depan yaitu ketika semakin banyak yang
menyadari pentingnya program rehabilitasi untuk pengguna narkoba,
sementara panti rehabilitasi atau IPWL belum bertambah. Selain itu, juga
pelu dipikirkan biaya rehabilitasi yang cukup besar, karena banyak yang
terlibat penyalahgunaan narkoba itu bukan dari keluarga yang mampu,
yang dapat membiayai program rehabilitasi.

Tenaga pendamping yang ada di panti rehabilitasi ini hampir


semuanya pernah sebagai pengguna narkoba, dan pernah menjalani
rehabilitasi. Mereka rela untuk menjadi pendamping karena keyakinan
yang kuat dan keinginan untuk membuat suatu komunitas untuk wadah
bagi para pemakai dan mantan pemakai agar tidak kembali lagi sebagai
pecandu, sebagai mana dijelaskan oleh pengurus panti rehabilitasi.

“Kalau buat saya kenapa saya mau, kan dulu saya ikut rehabilitasi.
Sebelumnya, awalnya di Bogor, Semarang, ke Orbit, baru mendirikan
ini. Awalnya untuk pemulihan diri saya sendiri; kalau kita yakin bahwa
kecanduan itu brain disease, sesuatu yang menyerang otak, bahwa
maintenancenya (perlu) seumur hidup, maka saya sendiri harus punya
komunitas yang kuat; maka saya harus bisa membuat komunitas.
Makanya saya mendirikan ini supaya mereka yang keluar mempunyai
komunitas seperti ini. Jadi kalau di Surabaya bicara narkoba, kenapa
angka relapsnya begitu tinggi, karena tidak ada komunitasnya yang
kuat; maka teman-teman tidak punya wadah.”

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 267
Ada dua program di Panti Rehabilitasi Bambu Nusantara, yaitu
program yang mengharuskan rawat inap dan program rawat jalan.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya dalam program rehabilitasi ini
memerlukan waktu selama 3 bulan. Menurut informasi dari pengurus
panti rehabilitasi jumlah klien saat ini ada 19 orang, dan rata-rata
sudah pernah memakai narkoba sekitar 3 tahun. Dalam menentukan
seseorang terlibat penyalahgunaan narkoba, mereka memiliki instrumen
sendiri untuk mengukurnya. Walaupun awalnya peserta rehabilitasi itu
merupakan limpahan dari BNN, namun untuk dapat diterima di dalam
program rehabilitasi, para pemakai itu akan disaring lebih dulu untuk
menentukan perlu rawat inap atau hanya sekedar rawat jalan. Waktu
yang dibutuhkan untuk rehabilitasi rawat jalan sama dengan rawat inap,
yaitu selama 3 bulan, dan mereka harus datang 2 kali dalam satu minggu.

Menurut Ketua Yayasan Bambu Nusantara, hasil tes urine yang


positif tidak selalu berarti pecandu. Menurut mereka ada tiga kelompok
penyalahgunaan narkoba yaitu: pengguna (user), penyalahguna (abuser)
dan pecandu (addict). Di panti rehabilitasi ini yang diterima adalah pecandu
atau addict karena pecandu ini dianggap intoleransinya meningkat dan
merasa sakit kalau tidak memakai.

Pelaksanaan program rehabilitasi tidak menggunakan kurikulum,


tapi menggunakan Minnessota model. Dalam program rehabilitasi ini
pasien diberikan treatment berdasarkan kebutuhannya. Oleh karena
itu, setiap minggu dilakukan keeps conference. Walaupun program
rehabilitasi ini masih mengadopsi yang dilakukan oleh lembaga
rehabilitasi di luar Indonesia, namun sejak awal pasien sudah diberikan
orientasi, diperkenalkan pada peraturan-peraturan di dalam rumah dan
program-programnya. Oleh karena tingkat kecanduan para penghuni
panti rehabilitasi ini pada dasarnya sama, maka program rehabilitasi
dapat dilakukan secara bersamaan.

Dalam proses rehabilitasi, menjaga hubungan antara sesama penghuni


rumah rehabilitasi sangat diutamakan, termasuk dengan para pendampingnya
serta orang di sekelilingnya. Oleh karena, panti rehabilitasi ini didesain
sangat terbuka, di tengah perumahan sehingga membuat para penghuninya
nyaman. Hal ini untuk menghilangkan kesan seolah-olah panti rehabilitasi
narkoba itu sangat tertutup dan program-program yang dilakukan sangat

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


268 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
keras; cenderung militer. Selain itu, para penghuni panti rehabilitasi ini datang
dan bersedia rawat inap karena kesadaran diri sendiri, tidak ada paksaan. Ini
seperti dijelaskan oleh pendamping panti rehabilitasi sebagai berikut:

“…. (orang beranggapan) rehabilitasi itu menyeramkan, kental dengan


militeristik. Saya mendisain seperti rumah biasa, tidak berteralis.
(Tidak) ketat, (tidak ada) penjagaan 24 jam, (tidak) ada satpam dan
lain-lain. Kalau saya mencoba mendisain seperti rumah biasa. Saya
berkeyakinan dengan konsep yang saya terapkan ini terbuka 24 jam.
Saya bilang ke klien saya; anda mau kabur silahkan. Tidak usah kabur,
ngomong saja ke saya saya kasih uang untuk pulang. Alhamdulillah
dari 2005 tadi angka kaburnya sekitar 4 orang. Mulai (tahun) 2016
sampai sekarang hanya 4 orang (yang kabur). Mereka masuk dengan
kesediaan, begitu mereka masuk ada inform consent, begitu masuk
selama 3 bulan. Kalau mereka mau saya terima, kalau tidak mau tidak
akan saya terima.”

Para penghuni panti rahabilitasi ini selain mengikuti program


rehabilitasi yang telah direncanakan, mereka juga diperlakukan seperti
tinggal di rumah sendiri. Mereka dapat melakukan kegiatan apa saja asal
tidak melanggar peraturan panti rehabilitasi; istilah mereka do and do not.
Mereka boleh melakukan lari pagi atau sore keliling kompleks perumahan,
mereka juga diajak untuk menonton film di bioskop. Selain itu mereka
juga diajak pergi keluar untuk melakukan outbond. Dengan kebebasan
ini diharapkan mereka lebih terbuka dan dapat menikmati hidup tanpa
narkoba.

Satu hal yang tidak kalah penting dalam proses rehabilitasi yaitu
ketika mereka selesai menjalani rehabilitasi dan kembali ke masyarakat,
karena masyarakat masih memandang rendah orang-orang yang terlibat
dalam penyalahgunaan narkoba. Masyarakat selalu memberikan cap
yang buruk kepada pengguna narkoba, dan cenderung untuk dikucilkan.
Kondisi seperti itu dapat menjadi beban berat pecandu, yang sebenarnya
ingin bebas dari lingkaran setan jeratan narkoba. Seorang peserta
rehabilitasi di Bambu Nusantara menyatakan sebagai berikut:

“Menghindari diskriminasi, (karena) cenderung dikucilkan, dicap


buruk. (Di) Panti rebab kurang (seperti itu), dari hati ke hati. Di sini
(saya) cari solusi. Kalau di luar kita sudah salah disalahkan lagi.
Masyarakat harus dikasih tahu supaya menerima pecandu. Selama
ini kan takut menular ke anak saya. Dari segi hukum nggak takut

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 269
karena (kalua) ditangkep bisa keluar lagi. Hukum harus ditegakkan;
(jangan kalau) punya uang bisa keluar, bisa ditebus tapi jual rumah.”

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu program


rehabilitasi di panti yaitu memberikan materi untuk mencegah pecandu
agar tidak kembali menggunakan narkoba. Selain itu, menurut ketua
yayasan Bambu Nusantara, peran keluarga, komunikasi dan interaksi
dengan keluarga merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu,
keluarga juga dilibatkan dalam proses rehabilitasi; mereka diberikan materi
khusus untuk keluarga yang terkait dengan penyalahgunaan narkoba.

“Rehabilitasi tidak satu arah tapi dari dua sisi. Orang tuanya juga diberi
pemahaman. Ketika kembali ke masyarakat benturannya dengan
keluarga; (mereka) tidak diterima, mereka diperlakukan (sebagai)
orang yang salah. (Kami) buat ada dana FGD dengan orang tua.
Kalau di sini pada bulan terakhir diberikan materi relaps prevention,
mencegah kecanduan; dibekali dengan copying skill. Cuma karena
kerusakannya dua arah, ini yang tidak kita transfer. Saya pengin
ketika keluarga datang kita ngobrol bersama. Saya sampaikan juga
materi kepada keluarga, (bahwa) yang (perlu) diperbaiki bukan hanya
klien tapi keluarga juga. Terus yang kedua, anaknya yang tertangkap,
anaknya yang rehab di sini, anaknya (dianggap) sebagai aib. Saya
bilang (ke) ibu (nya): kalau anaknya sebagai aib susah anaknya
sembuh karena ibu akan menutup-nutupi terus. Malah saya bilang,
anaknya ibu tertangkap harusnya ibu bersyukur, karena ini rahmat
dari Tuhan. Kalau tidak ditangkap sekarang mungkin anaknya ibu
sudah masuk jaringan. (Jadi) nggak usah bersedih hati; malah ini
(anaknya) tertangkap bisa ditanggulangi dari awal. Tidak ada yang
ditutup-tutupi. Aspek dimensi lain kita perhatikan, persoalan dengan
keluarga harus diclearkan. Kalau kecanduannya, 3 bulan di sini
mereka tidak pakai, bisa. Tapi masalah keluarga (jika) tidak diatasi,
ketika mereka pulang bisa kambuh lagi.”

Kunjungan keluarga selama masa program rehabilitasi juga sangat


diharapkan. Ini perlu dilakukan supaya selama tinggal di panti rehabilitasi
tidak merasa dikucilkan. Dalam kesempatan tersebut keluarga juga
dapat menjalin komunikasi dan berinteraksi dengan anaknya. Selain itu,
keluarga juga dapat mengetahui perkembangan anaknya selama masa
rehabilitasi. Mereka juga dapat berdiskusi dengan para pendamping
atau pengurus panti rehabilitasi, sehingga dapat memecahkan bersama
permasalahan yang ada. Oleh karena itu, setelah selesai program

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


270 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
rehabilitasi, panti memiliki program untuk secara rutin mempertemukan
para mantan penghuni panti rehabilitasi dan orang tuanya dengan
pengurus panti rehabilitasi. Dengan cara ini diharapkan mereka dapat
berbagi pengalaman (support group). Hal itu penting karena bukan tidak
mungkin di antara mereka ada yang kembali menjadi pemakai.

4. Pelaksanaan Program P4GN dan Permasalahannya

Narkoba menjadi ancaman serius bagi masyarakat terutama anak


muda, walaupun sebenarnya penyalahguna narkoba tidak mengenal umur
atau pun status sosial. Oleh sebab itu, penanggulangan penyalahgunaan
narkoba bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah dan aparat
penegak hukum, melainkan menjadi tanggung jawab semua orang.
Keterlibatan masyarakat dengan lembaga-lembaga yang berwenang
dalam penanggulangan narkoba sangat diharapkan, karena masyarakat
merupakan pihak yang terkena dampak langsung penyalahgunaan
narkoba.

Dalam upaya menanggulangi masalah penyalahgunaan dan


peredaran gelap narkotika, pemerintah telah memberlakukan Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam UU tersebut
dinyatakan bahwa sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika
dapat berupa sanksi pidana maupun direhabilitasi, sebagaimana
yang dinyatakan dalam pasal 128 dan 103. Oleh karena itu saat ini
penyalahguna narkoba tidak hanya diberi sanksi pidana penjara,
melainkan juga dapat direhabilitasi di tempat rehabilitasi yang telah
ditentukan atau IPWL (Institusi Penerima wajib Lapor). Namun, sebelum
dilaksanakan rehabilitasi, setiap pengguna dan korban penyalahgunaan
narkoba harus dilakukan proses asesmen terlebih dahulu oleh Tim
Asesmen Terpadu (TAS) yang terdiri dari BNN, Kepolisian, Kehakiman,
Kejaksaan, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial. Keberadaan
tim asesmen ini dibutuhkan untuk mengetahui tingkat rehabilitasi yang
diperlukan. Rehabilitasi ini hanya dilakukan terhadap mereka yang
menjadi pengguna, bukan pengedar.

Upaya untuk mencegah beredarnya dan pemberantasan narkoba


melalui Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut
kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 271
2010 tentang Badan Narkotika Nasional. Selain itu, untuk memerangi
narkoba pemerintah juga telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkoba (P4GN) yang didalamnya telah mengatur mengenai upaya
pencegahan, pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi dan pemberantasan.

Strategi Nasional P4GN dalam rangka mewujudkan masyarakat


Indonesia bebas Narkoba masih terus digalakkan hingga saat ini. Bahkan
awal tahun 2015 Presiden Joko Widodo telah menyatakan Indonesia
dalam keadaan darurat narkoba sebagai upaya nyata dari pemerintah
dan negara untuk memerangi narkoba. Upaya untuk memberantas dan
menyatakan perang terhadap narkoba ini juga diikuti oleh berbagai daerah
di Indonesia. Untuk mengimplementasikan kebijakan di semua wilayah
Indonesia dibentuk Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) dan Badan
Narkotika Nasional Kota/Kabupaten (BNNK).

Sebagai upaya mencegah penyalahgunaan dan memberantas


peredaran gelap narkoba, pemerintah Surabaya sejak tahun 2014 telah
mengeluarkan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 65 Tahun 2014
tentang Rencana Aksi Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Daearah
Bidang Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran
Gelap Narkoba Kota Surabaya Tahun 2014-2015. Visi P4GN Surabaya
yaitu: “Surabaya Bebas Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba
2020”. Adapun misi P4GN Surabaya meliputi : (1) membangun sistem
kebijakan yang mampu melindungi seluruh masyarakat dari bahaya
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba; (2) memperkuat ketahanan
dan pemberdayaan masyarakat yang mampu secara aktif berpartisipasi
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkoba; (3) mengembangkan pelayanan publik yang
optimal bagi warga masyarakat untuk hidup bersih, aman dan pulih dari
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba; (4) mendorong penerapan
sistem hukum yang tegas dan memberikan kepastian hukum, rasa aman
dan berkeadilan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah penyebarluasan


penyalahguna dan peredaran narkoba. Kebijakan P4GN (Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba) telah

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


272 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
dilakukan dan disosialisasikan dengan melibatkan berbagai lembaga
pemerintah, swasta, LSM dan berbagai kelompok masyarakat.Berbagai
upaya implementasi P4GN di Jawa Timur maupun di Surabaya tampaknya
masih banyak mengalami hambatan baik itu dalam rangka pencegahan,
maupun pemberantasan penyalahgunaan narkoba.

Provinsi Jawa Timur terdapat 38 kabupaten/kota, dari 38 kabupaten/


kota baru 17 terdapat BNN kabupaten/Kota. Di wilayah pantai utara dari
Tuban sampai Banyuwangi, BNNK hanya terdapat di Kabupaten Tuban,
Gresik dan Pasuruan. BNNK lebih banyak di wilayah tengah, seperti Malang
Raya, Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo, Tulungagung, Nganjuk, Kediri, dan
Blitar. Dengan demikian, 21 wilayah kabupaten/kota yang berlum terdapat
BNN segala permasalahan narkoba masih ditangani oleh BNN Provinsi
Jawa Timur. Dengan luasnya wilayah provinsi ini tentu akan menyulitkan
BNN Provinsi Jawa Timur untuk melakukan kegiatannya terutama dalam
mengimolementasikan program P4GN, walaupun sebenarnya selama
ini sudah cukup berjalan baik. Seperti yang dilakukan oleh Bidang P2M
BNN Provinsi Jawa Timur selama ini yang selalu “membackup” kegiatan
di 21 kabupaten/kota tersebut. Namun, keterbatasan tenaga di bidang
pencegahan ini membuat kerja mereka kurang maksimal untuk menagani
21 kabupaten/kota tersebut. Dengan hanya 11 pegawai yang ada di
bidang ini harus membantu menangani masalah pencegahan narkoba di
21 kabupaten/kota.

Berbagai upaya dilakukan untuk dapat mengoptimalkan kinerja


BNN dengan mengajak pemerintah daerah dan masyarakat. Melalui
DPRD dihasilkan peraturan daerah (Perda) No.13/2016 tentang fasilitasi
penyalahgunaan narkoba. Dengan difasilitasi oleh Bakesbangpol Provinsi
Jawa Timur, bersama dinas dan instansi terkait, LSM, dan pihak kampus
sudah berupaya untuk menyusun peraturan gubernur. Selanjutnya
dengan adanya Inpres No.6/2018 sebenarnya sangat membantu
gerak BNN yang ada di provinsi untuk mengimplementasikan program
P4GN. Inpres ini tentang rencana aksi nasional P4GN dan precursor
narkotika yang didalamnya ajakan untuk mensosialisasikan di semua
kementerian dan Lembaga, pegawai ASN, prajurit TNI dan anggota
Polri tentang P4GN. Sebelumnya juga sudah ada Surat edaran Menteri
Pendayagunaan Aparatur negara dan Reformasi Birokrasi No.50/2017
tentang Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan Penyalahgunaan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 273
dan Peredaran gelap Narkotika dan Presekusor narkotika di lingkungan
Instansi pemerintah. Oleh sebab itu langkah BNN Provinsi jawa Timur
sudah dipermudah dengan adanya berbagai aturan hukum tersebut,
meskipun tentunya masih dengan keterbatasan yang dimiliki. Hal ini
diungkapkan oleh salah satu narasumber di BNN Provinsi Jawa Timur
sebagai berikut.

“Nah bagimana dengan Inpres 6/2018, bahwa setiap kementerian dan


lembaga harus ada peran serta dalam P4GN.Dengan rujukan itu kita
bisa bebas bergerak dimana saja, tetapi kita tidak mungkin banyak,
paling advokasi diseminasi tidak terlalu banyak dalam setahun itu
mungkin 10 atau 12 kali karena tahun in dipangkas dana, dipangkas
untuk pilgub, sudah berkurang intensitas kegiatan akhirnya kita
gandeng BUMN ank ambil CSR nya pagi tadi ada tes urin dengan
beberapa bank yang tes kitnya disediakan mereka” (Narasumber Ibu
R, BNNP Jawa Timur)

Karena keterbatasan tadi maka pihak BNNP mengajak berbagai


elemen BUMN, dan Swasta untuk terlibat aktif dalam mensukseskan P4GN.
Perusahaan swasta maupun BUMN sudah semakin sadar pentingnya
P4GN, mereka dengan dana yang ada berupaya untuk melakukan tes urin
dilingkungan tempat kerja mereka. Keterbatasan dana ini juga menjadi
hambatan bagi Bidang P2M BNNP Jawa Timur untuk melakukan sosialisasi
pencegahan penyalahgunaan narkoba karena jangkauannya yang luas.
Oleh karena itu dalam kegiatannya selalu berupaya untuk menggandeng
berbagai pihak seperti pihak BUMN dan perusahan swasta lainnya dengan
memanfaatkan CSR dari perusahaan tersebut.

“…kalau dengan swasta kita menunggu untuk diundang tapi disnaker


mengundang BNN untuk mengadakan sosialisasi narkoba, disnaker
mengundang orang-orang perusahaan. Anggaran terbatas satu kali
untuk 5 perusahaan, kalau seperti yang sekarang satu kali pertemuan
untuk 15 perusahaan ada 30 orang, sampai kapan itu perusahaan
banyak di Surabaya. Diperusahaan ada satgas penanggulanagn
aids, dalam perjanjian kerjasam sudah ditawarkan dan sudah
mengharuskan memerangi narkoba. Sekarang di perusahaan untuk
rekrut menguji tes narkoba dulu, beberpaa perusahaan yang sudah
harus ada keterangan bersih narkoba. Ada Japfa Comfeed, Goldcoin,
Matahari Sakti, ada yang dites urine, Gunawan Dianjaya Steel, Hotel
Ibis Basuki Rahmat, PT KAI, Pertamina” (narasumber Bp. BD, BNNK
Surabaya)

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


274 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Dalam upaya mengatasi masalah narkoba yang ada di Jawa timur dan
Kota Surabaya khususnya pada dasarnya sudah berpegang pada kebijakan
P4GN yang telah ditentukan dalam UU 35/2009 tentang narkotika. Kebijakan
ini tidak saja dilaksanakan oleh BNN Propinsi Jawa Timur melainkan juga
oleh BNN Kota Surabaya. Dalam pelaksanaan P4GN juga telah melibatkan
berbagai pihak yang erat kaitannya dengan penyalahgunaan Narkoba.
Pemerintah Kota Surabaya telah mendukung kebijakan ini melalui Perwali
64/2014. Sesungguhnya peraturan walikota ini berlaku berlaku 2014 dan
2015 tetapi dalam visinya telah meyatakan Kota Surabaya bebas Narkoba
tahun 2020. Oleh karena itu, seiring dengan visi tersebut pemerintah Kota
Surabaya tetap komitmen akan menuntaskannya sampai tahun 2020.
Pemerintah Kota Surabaya dalam rangka menjadikan kota ini bebas narkoba
tetap mendukung dengan berbagai program yang melibatkan juga berbagai
satuan kerja atau Dinas dan Lembaga pemerintah kota. Dalam implementasi
P4GN maupun rencana aksi, BNN Kota Surabaya bekerjasamna dengan
Pemerintah Kota Surabaya. Program kegiatan pencegahan penyalahgunaan
narkoba sudah melibatkan berbagai dinas yang ada karena sudah dijelaskan
di Perwali siapa saja pihak yang terkait. Dengan demikian, sudah jelas apa
yang menjadi tugas dan kewajiban masing-masing dinas dan Lembaga
di pemerintah kota maupun apa yang menjadi tanggung jawab BNN Kota
Surabaya.

“Kita ada di kota Surabaya kita berkolaborasi dengan pemkot


Surabaya. Pemkot Surabaya membentuk tim aksi P4GN, ada tahun
2013 sudah ada sk, tapi tim penyusun ren aksi. Muncul Perwali P4GN,
tim aksi sudah disusun siapa mengerjakan apa. Cegah (Pencegahan)
Kesbangpol, Dinas Pendidikan, Disbupar, Kominfo. Pemberdayaan,
Dinas Pengendalian Penduduk Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak. Pemberantasan leading sektor Satpol PP,
untuk rehabilitasi Dinas Kesejahtaan dan Dinas sosial. Kita sudah
berkolaborasi ketika pemerintah Surabaya mengadakan pendataan
penduduk, operasi yustisi, ketika menemukan kasus-kasus yang ada
hubungannya dengan narkoba akan dibawa ke BNNK Surabaya ada
yang ditaruh di liponsos (tempat rehabilitasi sosial), kalau narkoba
disini, nah kita asesmen, keterlibatan mereka dengan narkoba sejauh
mana, pengguna, pengedar atau kurir. Ketika terindikasi ditengarai
ada unsur pidananya teman brantas yang melanjutkan, kalau
pengguna saja maka teman-teman rehabilitas yang memfollow up,
umurnya berapa kalau masih sekolah perlu konseling sampai 8 kali
pertemuan, kalau sudah dewasa, ke RSJ Menur, bambu nusantara,
untuk bisa rawat inap” (narasumber Bp. BD, BNNK Surabaya)

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 275
Pemerintah kota Surabaya secara rutin melakukan penertiban
untuk menjaga kota agar tetap bersih, aman dan tertib, termasuk di
dalamnya mencegah menyebarluasnya penyalahgunaan narkoba.
Dalam melakukan operasi penertiban tersebut biasanya ditemukan
kasus penyalahgunaan narkoba. Karena sudah ada kerjasama dengan
BNN kota maka dalam tindak lanjut penanganannya akan dilimpahkan ke
BNN kota yang selanjutnya akan dilakukan asesmen. Kerjasama dengan
pemerintah kota tidak berhenti pada penertiban saja melainkan terus
berupaya untuk melakukan tindak pencegahan sampai ke masyarakat.
Untuk lebih mudah dalam menjangkau masyarakat dalam hal pencegahan
ini maka dibentuk kader, kelompok kerja (pokja), kelompok tugas (pokgas)
dan satuan tugas (satgas) di tingkat kecamatan sampai ketingkat RT/RW.
Karena keterbatasn anggaran di BNN kota, maka memanfaatkan dana
pemerintah kota.

“Kita membentuk kader, kader ini yang melapor ke kita, kader di tiap
kecamatan, kelurahan , karang taruna, sekolahan bikin, sekarang
ini karena anggaran minim babar blas ngga ada, akhirnya saya
menggunakan anggaran pemkot untuk membentuk satgas…yang ada
di setiap kecamatan yang di sk kan oleh camat diketuai sekcam harus
sekcam tapi saya minta harus ada ketua, sekretari dan anggota…
ketuanya sekcam ex officio, sekretarisnya seksi kesra kecamatan
ex officio… dan koordinator anggota seksi tramtib. Jadi satgas tidak
akan bubar. Sekarang yang akan dibuat supaya camat membentuk
pokgas atau pokja di tingkat kelurahan yang anggotanya RT dan RW
disamping kader. Itu cara saya belanja dengan merogoh kantong
orang. BNN ngga ada anggarannya bagamana dompet orang saya
pakai…saya belanja satgas saya belanja pokja nanti pembinaannya
kita cover. Satgas P4GN, mengikuti SK walikota bidang P4GN, aksi
tim aksi P4GN jadi biar mengalir, nanti kalau pemerintah pusat ada
komando sudah ada, satgas sudah ada 2014, 2013 SK tim penyusun
rencana aksi. Mengadopsi Perwali, Surabaya bersih narkoba 2020,
membentuk organisasi di dalam pemerintah, tapi tidak mungkin
buat Lembaga baru atau bidang baru” (narasumber Bp. BD, BNNK
Surabaya)

Keterlibatan sampai tingkat RT/RW ini sangat penting karena


mereka yang paling mengerti dan memahami keadaan masyarakat.
Mereka mengerti permasalahan yang ada di masyarakatnya sehingga
lebih mudah untuk memetakan keadaan untuk kemudian ditindaklanjuti.
Pembentukan pokja dan satgas pun tidak hanya di masyarakat tetapi juga

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


276 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
di sekolah dan kampus dan ini tampaknya hanya ada di Surabaya atau
paling tidak masyarakat, lingkungan sekolah dan kampus di Surabaya
sudah mulai peduli. Kalau melihat peraturan walikota ini sebenarnya
sudah usang, tetapi visinya sampai tahun 2020 jadi semua pihak yang
terlibat masih harus berupaya untuk melakukan berbagai kegiatan agar
visi itu tercapai.

Generasi muda merupakan kelompok yang rentan terhadap


penyalahgunaan narkoba menjadi sasaran dari P4GN. Pembinaan
generasi muda dengan berbagai jenis kegiatan menjadi prioritas dari
program pencegahan penyalahgunaan narkoba. Kegiatan yang dilakukan
mulai dari tes urin dengan sasaran anak sekolah, melalui kegiatan pramuka
berantas narkoba, pentas seni, pertunjukan rakyat yang semuanya ini
selalu diisi dengan materi program P4GN.

“Upaya dari pemkot yang sudah berkolaborasi dengan BNNK,


pemerikasaan urine anak sekolah, pencegahan bakesbangpol ada
giat pembinaan generasi muda ada orientasi pemantauan dini
nasional ini anak-anak sekolah OSIS, disitu ada pelatihan bagi anak-
anak sekolah, BNN sebagai pemateri… di sekolah pembinaan pada
pemuda, dispora, diskominfo ada pertura pertunjukan rakyat ada
pentas seni disela-sela itu menghadirkan BNN untuk sosialisasi. Disisi
lain juga dari pramuka, ada persami yang dapat rekor MURI, pramuka
brantas narkoba. Persami akbar melawan narkoba” (narasumber Bp.
BD, BNNK Surabaya)

Pertunjukan rakyat yang sering diselenggarakan oleh pemerintah kota


dimanfaatkan oleh BNN kota untuk mensosialisasikan penyalahgunaan
narkoba. Animo masyarakat yang datang untuk menikmati hiburan rakyat
tersebut cukup besar sehingga tepat kiranya untuk memberikan sedikit
pemahaman tentang narkoba. Kerjasama dengan para artis pertunjukan
rakyat selain dilakukan untuk kepentingan artis tersebut juga untuk
masyarakat luas.

Sebagai upaya pencegahan pada generasi muda, di kalangan


kampus pun banyak yang sudah peduli pada pencegahan penyalahgunaan
narkoba. Kampus merupakan lingkungan yang rawan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkoba. Oleh karena itu, suatu tujuan yang sangat
baik para mahasiswa di kampus membentuk berbagai oraganisasi
ataupun kegiatan yang intinya anti narkoba. Gerakan dari mahasiswa ini

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 277
sangat diperlukan mengingat banyaknya mahasiswa ataupun kampus
yang tersebar di wilayah Jawa Timur umumnya maupun Surabaya
khususnya.

“Universitas Brawijaya, Universitas Trunojoyo, mereka juga punya


UKM dikampus, mereka ini membentuk unit kegiatan mahasiswa,
ada kepedulian membentuk UKM anti narkotika Universitas Negeri
Malang, se Jawa Timur itu punya ada GERMAN, gerakan mahasiswa
anti narkotika” (Narasumber Ibu R, BNNP Jawa Timur).

Kerjasama dengan Bakesbangpol dan Polisi Pamong Praja


juga dilakukan untuk melakukan pengawasan terhadap orang asing.
Pengawasan dan penertiban dilakukan di tempat-tempat yang dianggap
rawan narkoba seperti di tempat kos, apartemen, tempat hiburan dan area
publik di taman-taman kota. Kegiatan ini rutin dilakukan untuk mencegah
terjadinya penyebarluasan penyalahgunaan narkoba. Untuk sementara ini
kegiatan ini dianggap cukup efektif walaupun penuh dengan keterbatasan.
Apabila dalam operasi penertiban ditemukan penyalahguna narkoba
maka akan dikirim ke BNN kota untuk diberikan asesmen.

Selain pencegahan juga sudah dilakukan pemberdayaan baik


oleh BNNP maupun BNNK yang bekerjasama tentunya dengan pihak-
pihak terkait. Tujuan dari pemberdayaan ini sendiri sebenarnya untuk
memperkuat masyarakat dalam pengawasan terhadap narkoba,
mensosialisasikan kepada masyarakat tentang jenis-jenis narkoba dan
efek penggunaanya serta memberdayakan masyarakat dalam upaya
pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Dengan
adanya program pemberdayaan masyarakat dituntut untuk berperan
aktifdalam P4GN. Selain itu, Hal ini juga dilakukan untuk mensikapi
kekurangan dana yang ada. Salah satu upaya pemberdayan dilakukan
di kawasan Madura tepatnya di Kabupaten Bangkalan yang dianggap
sebagai wilayah yang rawan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba. Program ini diberi nama pemberdayaan alternatif, untuk
memberdayakan satu desa agar tidak terkena dampak penyalahgunaan
narkoba yang marak di sekitarnya. Pemberdayaan ini juga mengadakan
pelatihan-pelatihan yang melibatkan dinas perindustrian dan tenaga kerja,
dinas kesehatan, TNI dan Polri.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


278 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
“Untuk mengatasi hal ini kita punya pemberdayaan alternatif
mengambil satu kelurahan atau desa di kampungnya yang asli
banyak bandar, klebung itu jadi bandar, Kita pemberdayaan alternatif
itu, sasaran nya kawasan yang rawan narkoba, sasarannya bukan
orang pecandu tok yang kita garap tapi stakeholder yang nantinya
kita ajak kerjasama, ini kan masyarakat Bangkalan, pemdanya koyok
apa, ini kan BNNP ngga bias langsung memerintah, wong gubernur
memerintah bupati saja tidak bisa kan ada otoda, ada satu BNNK di
Sumenep. Dari Kawasan rawan kita akan mengajak diperindaneker,
dinkes, polisi, TNI supaya bantu bareng-bareng, ada program fasilitas
dari kita tapi semua bergerak disana karang taruna pemuda-pemuda
supaya paham, tetapi ayo yang belum jangan mengnyalahgunakan,
yang sudah kita stop, ada pelatihan tetapi tidak semuanya pecandu
ada tokoh masyarakat, ada karang taruna, kalau misalnya kita dapat
15 orang kalau semua yang dilatih pecandu ngga sampe, padahal ini
pelatihan, pelatihan bukan dari kita”(narasumber Ibu R, BNNP Jawa
Timur)

Dalam melaksanakan program kegiatan pencegahan di Jawa


Timur maupun di Surabaya yang dilakukan oleh BNNP maupun BNNK
sudah cukup berhasil dan seseuai dengan apa yang telah direncanakan.
Meskipun demikian, masih banyak kendala yang dapat menghambat
pelaksanaan program kegiatan pencegahan. Secara tegas selalu yang
dikeluhkan adalah masalah keterbatasan dana atau anggaran dan
personil. Adanya dua keterbatasan ini membuat BNNP maupun BNNK
harus mencari solusinya. Namun, selama ini keterbatasan tersebut diatasi
dengan melakukan jejaring dan kerjasama dengan pihak pemerintah
kota maupun dengan pihak swasta, LSM dan masyarakat. Terkadang
petugas untuk penyuluhan tidak mempunyai latar belakang Pendidikan
yang kurang tepat, meskipun sebenarnya pengalaman di lapangan akan
membuat mereka semakin baik. Hal ini dijelaskan oleh narasumber BD
dari BNNK Surabaya dalam petikan wawancara sebagai berikut.

“Kalau secara umum kelemahan namanya pencegahan


permberantasn, kelemahannya satu dibidang anggaran, yang
kedua personil, di Surabaya ini yang saya bilang, kecukupan tenaga,
kenapa akhirnya kita mempergunakan SDM ya, tenaga-tenaga yang
kita miliki, sdm yang kita miliki masih kurang, seperti kemampuan
knowledge untuk pencegahan, sosialisasi, misalnya rekruitmen
tenaga penyuluh BNN semua sarjana komunikasi yang saya miliki
2 orang ini adalah sarjana komunikasi, apa ada penyuluh yang lain,
ada pak, yangsatu sarjana ekonomi, yang satu sarjana hukum, yang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 279
satu administrasi negara, lha ini sebenarnya nggak nyambung tapi
tugasnya sebagai penyuluh, kemampuan berkomunikasinya tidak
sama dengan merekayang sarjana komunikasi mungkin begitu tapi
bisa jadi pengalaman dilapangan bisa mengimbangi, akan tetapi tidak
semuanya begitu…jadi menurut saya kalau programnya tidak ada
kelemahannya cuma pelaksanaannya seperti yang saya kemukakan
tadi…”

Permasalahan anggaran merupakan masalah yang selalu muncul


dalam setiap pelaksanaan suatu kegiatan. Untuk wilayah Jawa Timur
dan Surabaya khususnya sangat membutuhkan anggaran yang cukup
agar program dapat berjalan dengan baik. Hambatan yang muncul yaitu
keberadaan kota Surabaya yang merupakan kota besar yang tidak jauh
berbeda dengan Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang mempunyai
masalah yang sangat kompleks, terkait dengan penyalahgunaan
narkoba. Oleh karena itu, yang diinginkan yaitu proposional pembagian
anggaran. Selama ini anggaran untuk kota yang lebih kecil seperti
Mojokerto, Tulungagung hampir sama dengan anggaran untuk kota
Surabaya, padahal jangkauan di kota Surabaya lebih luas dibandingkan
kota-kota kecil tersebut. Dengan demikian, perlu dipertimbangkan
mengenai penganggaran tersebut. Jumlah SDM yang kurang juga sangat
berpengaruh terhadap capaian kinerja BNNP maupun BNNK. Namun
masalah ini masih bisa terbantu melalui kerjasama Pemkot Surabaya
dengan pihak swasta maupun BUMN dan BUMD.

“….yang jelas itu kalau saya sih BNN ini melihat list nya dulu ini
Surabaya berbeda degan mojokerto kota berbeda dengan kabupaten,
kita Surabaya urban city mungkin dari pusat anggrannya harus beda,
Jakarta dibagi menjadi 5, anggaran dipergunakan disana dipegunakan
untuk Jawa Timur.Surabaya dengan Jakarta beda tipis, kalau dijakarta
ada 5 kepala derah tingkat 2, harus ada kearifan pimpinan pusat untuk
membagi anggaran.Yang kedua pesonilnya kota Surabaya kalau
personilnya sama dengan Tulungagung ya bagaimana ya…bagaimana
kita bisa memerangi di daerah urban. Terus yang kedua itu trus,
memberikan kepercayaan kepada pemerintah kota dan masyarakat
kita benar-benar bersih, jangan mengepel lantai dengan kain pel yang
kotor…nggak bersih-besih sampai kiamat nggak bersih palagi kita
ngepel lantai yang sudah bersih dengan kain pel yang kotor bukannya
tambah bersih tapi tambah kotor…menunjukkan kinerja yang bagus
kepada pemerintah dan masyarakat, bagus secara umum yang tidak

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


280 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
melanggar produk hukum manapun sesuai dengan garis kalau kita
BNN sudah diberikan kepercayaan sekalipun tidak ada dana hibah
pasti pemerintah memberikan anggaran, kalau dihitung anggaran
dari pemkot lebih dari 5 M, BUMN BUMD sudah melaksanakan
biarpun tidak diberikan anggarannya ke BNN, Surabanya sudah
bersyukur interaksi lintas institusi bagus bisa bekerja sama dengan
BI, KAI, pertanian seperti diberikan bantuan kendaraan operasioanal
dan alat laptop juga dibantu…butuh tambahan anggaran butuh sdm
teorinya buttom up kenyataannnya dicoret nggak masalah tapi ganti
nama…”(Narasumber Bp BD, BNNK Surabaya)

Dalam Pasal 54, UU 35/2009 tentang narkotika dijelaskan pecandu


narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Akan tetapi kenyataannya
masih belum sepenuhnya masyarakat menyadarinya. Sementara ini
yang telah dilakukan dalam program rehabilitasi adalah melakukan
pembinaan dan kegiatan perawatan kesehatan fisik, mental, sosial dan
spiritual bagi pengguna yang berkeinginan rehabilitasi dan keluarganya.
Selain itu juga melakukan pelatihan dan pemberdayaan berkelanjutan
kehidupan ekonomi bagi pengguna dan keluarganya agar setelah lepas
dari rehabilitasi dapat mandiri secara ekonomi. Pemberian pelayanan dan
akses pengobatan rawat jalan bagi pengguna rumatan methadone juga
dilakukan dengan melalui RSJ Menur yang dikelola oleh pemerintah kota
Surabaya. Pemerintah kota Surabaya telah menyediakan dukungan sarana
dan prasarana institusi rehabilitasi seperti di RSJ Menur ini. Pemerintah
Kota dan BNN sebenarnya sudah berupaya untuk menyiapkan sistem
pelayanan dan alur pelayananan rehabilitasi dengan mengupayakan
sistem pembiayaan yang efektif dan efisien bagi pasien.

“Fifty – fifty… yang jemput bola dari BNN hampir tidak ada, maksudnya
untuk rehabilitasi dari BNN tidak ada tetapi kalau terpksa permintaan
keluarga ada satu dua, tetapi yang karena dipaksa itu hasilnya
dari satpol PP, ini luar biasa…(dengan ada operasi) kerjasama BNN
kota dengan pemkot Surabaya luar biasa…kita bersinergi kalau
dari BNN sendiri ngambili..jemput bola itu…kalau dulu tahun 2013-
2014 memang kiita aktif dengan keterbatasan anggaran kita ingin
menyelamatkan tapi sekarang ngga pake kita jemput bola sudah
kewalahan…kalau dulu susah karena untuk datang ke rehab ini
berpikir ribuan kali… kita harus menjelaskan dari pintu ke pintu”
(Narasumber Bp BD, BNNK Surabaya).

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 281
Sebagian masyarakat pengguna narkoba sudah menyadari untuk
mengikuti program rehabilitasi, meskipun terkadang mereka terbentur
dengan biaya rehabilitasi bila dilakukan secara mandiri. Program
rehabilitasi ini memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pemerintah melaui
Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan BNN telah memberikan
bantuan dana pada program rehabilitasi di beberapa IPWL yang ada
di Surabaya salah satunya adalah IPWL Bambu Nusantara. Namun
demikian, dengan adanya UU 35/2009 yang memberikan kesempatan
pengguna narkoba untuk melakukan rehabilitasi tentunya perlu
diantisipasi. Keterbatasan sarana dan prasarana rehabilitasi harus
segera ditingkatkan untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal
demikian juga dengan masalah pembiayaan ini perlu dipikirkan lebih
lanjut. Tidak kalah pentingnya adalah penanganan sesudah rehabilitasi,
hal ini mengingat supaya penyalahguna narkoba tersebut tidak kembali
memakai narkoba.

Namun yang perlu diperhatikan dalam proses rehabilitasi adalah


dalam asesmen yang dilakukan oleh TAT dan proses hukum oleh para
penegak hukum selanjutnya karena rawan disalahgunakan. Dalam
Undang-Undang narkoba menyebutkan adanya kewajiban bagi pecandu
narkoba untuk menjalani pengobatan dan perawatan. Proses terapi
dan rehabilitasi dapat dilakukan Lembaga pemerintah. Selain itu juga
munculnya kewajiban melaporkan statusnya sebagai pecandu narkoba
kepada instansi terkait.Jadi dalam rehabilitasi bisa dilakukan dengan
rawat jalan dan rawat inap hal ini tergantung dari tingkat penyelahgunaan
narkoba dan ini yang perlu asesmen sebelumnya. Hal ini dilakukan sebagai
usaha untuk memberikan pelayanan dan hak perawatan dan pengobatan
yang sudah seharusnya diberikan kepada penyalahguna narkoba. Namun
demikian, perlu diwaspadai dengan adanya upaya untuk menyelamatkan
para penyalahguna narkoba, mereka hanya sebagai korban pemakai atau
sudah dalam statusnya pengedar atau masuk dalam jaringan perdaran
gelap narkoba. Hal ini terkadang dimanfaatkan oleh jaringan pengedar
narkoba ketika berhadapan dengan proses hukum ini. Ketika tertangkap
jaringan pengedar bisa saja mengaku sebagai pemakai. Namun, hal ini
juga tergantung dari penegak hukum yang memanfaatkan situasi ini untuk
dapat mengatur sanksi hukum meskipun susah untuk membuktikannya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


282 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Upaya P4GN melalui program pencegahan dan pemberdayaan dan
rehabilitasi sudah dilakukan meskipun masih terdapat kendala yang dapat
menghambat program pencegahan. Program pencegahan yang sudah
dilakukan antara lain sosialisasi tentang bahaya narkoba, pembentukan
tim sebaya, memberi pelatihan dan aktifitas leadership untuk mencegah
penggunaan narkoba, membentuk tim deteksi dini, membentuk kader
pendamping terhadap para pengguna narkoba, memberi informasi dan
edukasi tentang bahaya penyalahgunaan narkoba, dan membentuk kader
anti narkoba. Namun, upaya lain yang tidak kalah pentingnya dari P4GN
adalah program pemberantasan peredaran gelap narkoba.

Sejak dibentuknya BNNP dan BNNK, pemberantasan narkoba


sudah banyak dilakukan. Pada dasarnya pemberantasan yang dilakukan
oleh BNN adalah untuk memutus jaringan narkoba, bukan menangkap
para pengguna. Memutus jaringan peredaran gelap narkoba lebih
diutamakan, mengingat dari jaringan inilah sumber dari semua jenis
narkoba yang beredar di Jawa Timur maupun Surabaya. Utamanya
adalah membendung masuknya narkoba dari luar Jawa Timur, oleh
karena itu kalau diperhatikan hasil kerja bidang pemberantasan BNNP
ini menangkap jaringan yang besar dan jumlah barang bukti tangkapan
pun juga termasuk besar. Walaupun demikian, juga tidak menampik
kemungkinan untuk melakukan penangkapan dengan skala kecil guna
mengungkap jaringan besar di atasnya. Oleh karena itu, kerjasama dengan
pemerintah kota dan kepolisian yang secara kontinyu melakukan razia di
tempat-tempat hiburan maupun di tempat-tempat umum juga dilakukan
guna mengungkap jaringan yang lebih besar di atasnya.

“Kita berbicara masalah pemberantasan dari perspektif


pemberantasan, berbicara juga perbandingan luas wilayah pada
prinsipnya tugas pokok bidang pemberantas itu memutus jaringan
seluas wilayah apapun tetap ada didalam jaringan narkotika ada
leader dan co-leader, kita berkoneksi dengan jaringan yang masuk
kedalam wilayah propinsi jadi kalau kita berkutat pada peredaran
yang jumlahnya kecil-kecil kita akan habis energinya, jadi strategi
saya justru berusaha membendung yang dari luar. Dan itu sangat
signifikan dengan kalau kita bandingkan dengan polda hasil barang
bukti yang disita jauh lebih dari polda, setidaknya dalam semester
pertama 2018, itu sudah lebih jauh dari polda. Jadi kita langsung
mempunyai kewenangan intersepsi alat komunikasi, yang saya sasar
saya nggak mau yang dibawah, karena peredaran dibawah ini hanya

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 283
sebagai batu loncatan aja teknisnya begitu, jadi kita kejar yang diatas
kita kejar sampai Malaysia, ini nanti Malaysia ini koneknya kemana,
apa ke Aceh Timur, pintu masuk ya, apa Medan, Bagansiapi-api atau
Batam/Kepri itu tiga tempat yang masuk paling sering masuk Jawa
Timur” (Narasumber Bp W, BNNP Jawa Timur)

Seperti diketahui, jaringan peredaran gelap narkoba yang ada di


Jawa Timur dan yang masuk ke Surabaya berasal dari Malaysia. Jaringan
ini banyak melibatkan orang Madura yang merupakan para TKI yang
masuk ke Malaysia secara illegal. Selain perdearan gelap dari luar Jawa
Timur, sesungguhnya yang rawan adalah memberantas peredaran gelap
narkoba dalam Lembaga pemasyarakatan (lapas). Meskipun dalam
pencegahan penyelundupan dan peredaran narkotika di Lapas sudah
dilakukan dengan berbagai upaya oleh pihak Lapas, antara lain dengan
memperketat penjagaan, pemeriksaan barang bawaan pengunjung,
dan penggeledahan rutin, namun harus selalu diwaspadai. Dengan
memperhatikan kedua indikator ini sebenarnya sudah akan dapat
mengungkap jaringan narkoba yang ada, karena dari sini akan terhubung
dengan jaringan yang lebih luas.

Dengan demikian, dalam pemberantasan ini sudah jelas apa yang


akan dikerjakan oleh BNN. Hal ini agar tidak tumpang tindih dengan tugas
kepolisian yang mereka juga mempunyai tugas untuk memberantas
narkoba. Dalam tugas pemberantasan ini masing-masing sudah
memahami apa yang menjadi kewajibannya. Kerjasama yang mereka
utamakan dalam pemberantasan ini agar semuanya dapat berjalan
Bersama dan saling melengkapi. Demikian dijelaskan oleh narasumber
W dari BNNP Jawa Timur sebagai berikut.

“Karena paling dominan pelakunya orang dari madura kenapa


demikian karena orang madura banyak TKI dari sana jadi kembalinya
kesini banyak menggunakan jalur gelap begitu. Kemudian
mewaspadai peredaran dalam lapas jadi indikator itu saja yang kita
perhatikan itu akan terkoneksi luas. Jadi begitu barang besar masuk
akan dipecah, nah barang pecahan ini kenapa kita perhatikan? … ini
akan menghabiskan energi yang penting barang masuk…nah barang
yang pecah masuk ini kita kadang share dengan teman-teman di
polda. Ini daerah ini yang main si ini- ini...ini nomor telponnya…mereka
main dibawah, jadi tugas wilayah tetap bermain sekaligus menjaga

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


284 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
harmonisasi dengan polda di lapangan, kalau dilevel pimpinan pasti
harmonis tapi dilapangan kan jangan sampai bergesekan. Kalau
dibilang tumpeng tindih saya kira tidak tugas kita memutus jaringan
bukan menangkpap palaku pengguna narkotika ini hal yang berbeda”
(Narasumber Bp W, BNNP Jawa Timur)

Untuk memutus jaringan narkoba diperlukan berbagai cara,


baik itu dengan menggunakan cara yang sederhana sampai dengan
memanfaatkan informasi teknologi yang kian berkembang. Hal ini
digunakan karena perkembangan jaringan narkoba yang juga sudah
meluas bersatu dengan jaringan narkoba di dunia. Perkembangan narkoba
tidak hanya memutus jaringan di dalam tetapi yang penting mencegah
jaringan dari luar agar tidak masuk ke Indonesia, dalam hal ini ke Jawa
Timur atau khususnya Surabaya. Pengalaman dari BNNP Jawa timur
sewaktu berhasil menangkap jaringan narkoba dianggap sesuai dengan
yang menjadi tugasnya. Jaringan narkoba yang besar menggunakan kapal
laut untuk mengedarkan narkoba ke Indonesia tepatnya ke Surabaya.
Asal narkoba jenis sabu ini dari Malaysia, oleh karena itu jaringan narkoba
ini sesungguhnya sudah luas mendunia. Seperti yang digambarkan oleh
narasumber dari BNNP Jawa Timur sebagai berikut.

“Ini dari Port Kelang Januari 2018, masuk ke Banjarmasin


menggunakan MV Selasih, orangnya adalah Arwani nanti Arwani ini
memecah, ini orang madura Namanya Suhud dan ini Namanya Robin,
teknisnya masuk Tanjung Perak, di youtube ada. Ini ada operatornya
barangnya masuk ke Perak dibawa ke Madura operatornya yang
ambil. Ini kurirnya Suhud bawa 7 bungkus kurirnya Robin bawa 5
bungkus orangnya ini. Ini berarti 7 tambah 5 kg…daripada kita nyari 10
gram dibawah lebih baik mantau yang diatas. Kalau dalam undang-
undang jaringan pemahaman bandar tidak ada di undang-undang…
Hal ini dilihat dari kacamata penganggaran tuh berimbanglah uang
yang kita keluarkan dengan barang bukti yang kita dapatkan”

Penangkapan di awal tahun 2018 yang cukup besar barang


buktinya, dilakukan melalui kerjasama dengan Bea Cukai, dan dengan
menggunakan teknologi informasi yang sudah cukup canggih. Bahkan
dalam operasi penangkapan ini mengakibatkan terbunuhnya jaringan
narkoba yang dilakukan oleh orang Madura. Dalam melakukan operasi
penangkapan jaringan ini dibutuhkan anggran yang tidak sedikit, karena
prosesnya cukup lama dan tidak boleh lengah meski penuh kesabaran.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 285
Namun, hasil yang didapatkan tentunya sesuai dengan jerih payah tenaga,
pikiran maupun dana yang dikeluarkan.

Dalam melakukan proses penyidikan sehubungan dengan


penagkapan jaringan narkotika, dengan adanya penggunaan teknologi
informasi, maka sessungguhnya BNN berwenang untuk melakukan
penyadapat atau taping dan itu sudah diatur dalam Undang-Undang
Narkotika di pasal 75. Adapun yang dimaksud dengan penyadapan
adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik BNN atau penyidik Kepolisian RI
dengan cara menggunakan alat-alat elektronik sesuai dengan kemajuan
teknologi terhadap pembicaraan dan/atau pengiriman pesan melalui
telepon atau alat komunikasi lainnya.Penyadapan ini penting dilakukan
untuk memantau gerak jaringan narkoba sehingga dapat diketahui
keberadaannya. Namun tentunya, penyadapan ini dilakukan setelah
mendapatkan bukti awal yang cukup akurat. Perkembangan teknologi
informasi dewasa ini juga dimanfaatkan oleh para jaringan narkoba.
Oleh karena itu sudah semestinya BNN sendiri mengupayakan sarana
prasarana yang memadai dalam operansi penangkapan jaringan narkoba
ini. Demikian pula di dalam Lapas dengan adanya alat penyadap ini
kemungkian besar akan lebih cepat terungkap jaringan narkoba. Namun
keterbatasan alat untuk penyadapan dan regulasi yang belum mendukung
ini selama ini dianggap dapat menghambat pengungkapan kasus jaringan
narkoba di Jawa Timur atau di Surabaya khususnya. Dalam melakukan
penyadapan masih dirasakan banyak prosedur yang birokratis sehingga
selalu menjadi salah satu kendala.

“Pada intinya BNN bekerja berdasarkan IT Cuma permasalahannya


kalau disini kita tidak bisa terlalu mengandalkan IT, tetap harus dari
iformasi nanti dari IT di crosscheck data dari IT dicrosschek lagi
denagn data dilapangan baru kita bisa melakukan penangkapan.
Terus kemudian IT di BNN itu hanya ada di BNN pusat, kita kalau mau
ngungkap kesana kita harus profiling dulu sehingga dapat tangkapan
banyak ini kan prosesnya panjang… lama… sedangkan di BNN
Surabaya ini kalau kita akan melakukan bisa saja tetapi lama bisa 3
bulan 4 bulan kalau ngono carane, prosesnya, jadi begini kalau kita
dapat data kita sampaikan ke propinsi, propinsi kemudian barulah
diajukan ke pusat, jadi ngga tahu kebijakan harus terpusat disana IT
nya, itupun giliran sak Indonesia” (Narasumber Bp D, BNNK Surabaya)

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


286 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Proses penangkapan diperlukan kecermatan, ketelitian, akurasi data
dan informasi serta waktu yang cepat, hal ini untuk menghindari kegagalan
dalam penangkapan yang dimungkinkan karena sudah tahu, sehingga
dapat melarikan diri. Pada akhirnya karena keterbatasan ini, yang menjadi
sasaran tangkap bukan jaringan yang besar tetapi jaringan yang kecil. Oleh
karena itu perlu memperpendek birokrasi atau menyediakan peralatan
di daerah agar lebih efektif dan efisien. Proses untuk menganalisis
data juga cukup lama karena dilakukan di seluruh Indonesia. Apalagi di
daerah rawan peredaran narkoba, tentu diperlukan alat tersendiri yang
dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk mengungkap kasus jaringan
narkoba yang besar. Dengan adanya alat penyadapan di tiap provinsi
akan mengurangi beban biaya operasional juga. Hal ini diungkapkan oleh
salah satu narasumber BNNK Surabaya sebagai berikut

“Itu kan dionceki lagi dianalisa lagi bisa 3 bulan 4 bulan…kalau mau
ngurusin itu yang lain tidak diurusi karena mau masuk kesana ya rugi,
karena prosesnya lama seperti itu tidak saya tekankan…walaupun
diperintahkan oleh BNN ya karena terbentur masalah apa ya jalur
birokrasi, seandainya saja ada alat itu ada di propinsi jawa timur,
kan ada bantuan kerjasama pihak provider, lain instansi, mungkin
pihak provider ngomong buka semuanya tapi di BNN pusat, tapi
cobalah melihat situasi daerah-daerah yang rawan harusnya provider
membuka jalur untuk di provinsi-provinsi tertentu, ya seperti medan,
jawa timur bali, makasar itu kan penting ngga ada alat kayak dipusat,
lha itu perjalanan pira? Engko nginepe nang kono pira? petugas kita
untuk taping itu, kan petugas taping itu banyak disana dibagilah,
Indonesia bagian barat itu propinsi ini… propinsi ini… yang satunya
propinsi lain, jadi kota ngga usah ngirim petugas cukup kita ngirim
data disana yang menganalisa, itu lebih memudahkan, anggota
kita harus berangkat kesana, kalau anggota kita kesana anggaran
berapa, kita sudah online, paling tidak propinsi Jatim, Makasar, Bali
itu disediakan alat seperti di pusat tapi kita kirim datanya kepusat
kita sudah lakukan ini ini…kalau begitu enak penangkapan ngga usah
datang ke pusat, BNN sumenep ngga usah jauh-jauh …irit negara
tapi bisa ungkap optimal, kalau kita mau mengungkap yang gede,
akhirnya kita ngungkap yang kecil-kecil…”(Narasumber Bp DM, BNNK
Surabaya)

Dalam melaksanakan program kegiatan di bidang pemberantasan


ini, seperti halnya di bidang lainnya permasalahan yang muncul adalah
kurangnya anggaran dan personal. Meskipun sudah menggunakan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 287
teknologi informasi dalam pengungkapan kasus jaringan narkoba, namun
keterbatasan personal yang menangani kasus ini menjadi kendala. Diakui
bahwa dalam pengungkapan kasus jaringan narkoba ini bisa saja dilakukan
dengan cara manual, namun tentunya harus ditambah personalnya.
Dalam penangkapan tersebut semua perlu pemberkasan dengan waktu
yang telah ditentukan. Selain itu dengan semakin cepatnya dilakukan
pemberkasan diharapkan orang yang tertangkap ini memberikan alasan
yang benar karena tidak sempat memikirkan membuat alibi lainnya.
Dalam proses pemberkasan ini juga penting untuk mengungkap jaringan
di atasnya secara cepat sehingga dapat cepat terungkap jaringan yang
lebih besar. Semakin cepat proses pemberkasan maka akan semakin
cepat petugas mengembangkan kasus ini dan akan semakin cepat
mengungkap jaringan yang lebih besar. Seorang narasumber dari BNNK
Surabaya menyatakan sebagai berikut:

“Kalau kita pakai cara IT pasti terungkap Cuma analisanya lama


Cuma kalau cara manual dengan IT sedikitlah menurut saya bukan
susah itu kerjanya kita wong itu sudah resiko kerja ya seperti itu ya
saya sih tambah personel. Disini di brantas ada 5, 6 dengan kepala
seksi, itu kalau sudah nangkep harus segera diberkas walaupun
sebenarnya 3 kali 24 jam kali 2 atau 6 hari tapi harus segera diberkas
supaya orang ini nggak sempat berubah…supaya ngga segampang
pemikiran orang awam ada 6 hari kamu segera ungkap yang lain
lagi, salah kalau sekali ketangkep orang ini pas lagi kaget-kagetnya
itu kalau ditakoi paling enak, lancar dia tidak sempat bikin alibi-alibi,
kalau sudah meriksa begitu disini, satu orang disini ada satu orang
jaga, berarti 2 orang, berarti anggota tinggal 3 terus dengan saya 4
orang, ngembangkan lagi keatas, rawan…di Surabaya nangkep cuma
4 orang tok capek, 4 orang ini satu masuk, seandainya 10 saja enak,
masing-masing sepuluh, ada kasi ada kasubsi, ada dibagi 2 Surabaya
Utara, Surabaya Selatan satu kasubsi 2 orang penyelidik, dua
orang lapangan sudah lima orang berangkat…saya ngga mau hasil
tangkapan, tangkap satu…tim yang belum nangkep saya gabungkan
nangkep ke atas…ini sementara yang sudah nangkep diperiksa 2
orang...yang lain nangkep keatas...tapi balik lagi kan anggaran, cara
ngatasi anggaran ya itu tadi lho pengkelasan, yang tidak terlalu
rawan jangan gede-gede nanti rekayasa kegiatan hasilnya output
saja outcome ngga a da ngapain gede-gede…sing diomongi iku wae
karena kalau mau keluar terbentur wilayah… atau kabupaten tidak
bisa menyerap anggaran…”

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


288 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Untuk kegiatan operasional penangkapan jaringan diperlukan
biaya yang cukup banyak. Meskipun sebenarnya sudah dianggarkan,
tetapi dalam pengungkapan jaringan biasanya tidak dapat dilakukan
dalam sekali kegiatan operasi. Terkadang untuk pengungkapan kasus
penangkapan jaringan yang besar dapat dilakukan beberapa kali operasi
penangkapan. Belum lagi apabila mendapatkan data dan informasi
jaringan yang diluar perkiraan tentu saja tidak dapat diabaikan hal ini.
Selain memerlukan dana yang cukup, juga tenaga dan waktu agar operasi
penangkapan berjalan dengan baik. Untuk BNNK Surabaya tentu tidak
dapat disamakan dengan kota/kabupaten lain di Jawa Timur, status
Surabaya sebagai kota besar tentunya yang membedakan dengan kota/
kanupaten lainnya. Sebagai kota besar cenderung sebagai kota tujuan
peredaran narkoba dan juga sebagai kota transit, oleh karenanya perlu
penanganan yang khusus agar penyebarluasan penyalahgunaan narkoba
dapat dikendalikan dengan baik.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Pemerintah sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya untuk


memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Peran
pemerintah sangat besar dalam mengatasi permasalahan narkotika di
Indonesia. Berbagai peraturan hukum dan perundang-undangan serta
berbagai strategi kebijakan sudah dihasilkan untuk mendukung Indonesia
bebas narkoba. Namun dalam implementasi kebijakan masih terdapat
kelemahan dan hambatan yang perlu mendapat perhatian. Pendanaan
dan sumberdaya yang tidak sebanding, belum lagi sarana prasarana yang
kurang mendukung, membuat upaya pemberantasan narkoba masih
belum optimal.

Upaya untuk melakukan penanggulangan penyalahgunaan narkoba


harus dimulai dari dini, karena dalam penyalahgunaan nartkoba bukan
dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa melainkan anak-anak juga
sudah mulai melakukannya. Penggunaan narkoba sudah menyebar di
seluruh umur, pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan tempat tinggal/
lingkungan. Pola penyebaran dapat berawal dari pemberian Narkoba
cuma-cuma atau tahap ingin coba-coba. Namun, pada tahap selanjutnya
pengguna menjadi ketergantungan, yang awalnya pemakaian dengan
dosis kecil semakin hari semakin bertambah sehingga menjadi ketagihan.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 289
Pada kondisi ini pengguna akan merasakan dampak ekonomi, berusaha
untuk mendapatkan uang dengan menjual, mencuri dan cara lainnya
agar dapat membeli narkoba. Saat tidak memiliki uang untuk membeli
narkoba, biasanya mereka mencoba untuk ikut menjadi jaringan narkoba
dengan menjadi kurir atau pengdar kecil. Keuntungan dari ikut di jaringan
pengedar ini dapat digunakan untuk membeli narkoba.

Jaringan narkoba di Jawa Timur dan Surabaya merupakan jaringan


besar yang pada umumnya berasal dari Malaysia dan Madura pelakunya.
Tugas BNNP maupun BNNK Surabaya untuk memutus jaringan
narkoba ini, dan ini sudah dilakukan walaupun masih banyak kendala
yang menghambat pengungkapan jaringan narkoba. Keterbatasan
dana, personel, birokrasi, keterjangkauan merupakan hambatan yang
dialami. Belum semua kabupaten/kota di Jawa Timur terdapat BNN,
sehingga tugas BNNP Jawa Timur cukup berat untuk mengatasi masalah
penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba.

Upaya untuk pencegahan, pemberdayaan dan rehabilitasi serta


pemberantasan narkoba sudah dilakukan untuk menjalin kerjasama
dengan berbagai dinas terkait di lingkungan pemerintah kota maupun
pemerintah provinsi serta dengan, BUUMN, BUMD, pihak swasta
maupun LSM dan masyarakat. Hasilnya cukup menggembirakan karena
kepedulian berbagai pihak untuk ikut memberantas penyebaran narkoba.

Oleh karena itu, untuk berhasilnya P4GN harus terus melakukan upaya
pemberantasan. Diperlukan kemampuan dan kewenangan penyadapan
di tiap daerah tanpa melalui pusat karena terkesan lambatmeskipun
harus cepat ditangani. Hal ini untuk memutus rantai birokrasi yang cukup
panjang dan memerlukan waktu yang cukup lama. Efektif dan efisien
diperlukan untuk meminimalisasi dana dan tenaga.

Kerjasama dengan pihak-pihak terkait, Tim Asesmen Terpadu (TAT),


mempunyai kewenangan untuk menentukan seseorang direhabilitasi,
sangat rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan, perlu diwaspadai
dan menjadi perhatian dengan menggunakan kewenangan untuk
kepentingan lain, kasus pihak oknum kepolisian dan kejaksaan serta
pengadilan dalam menjalani proses hukum oleh karena itu diperlukan
sosialisasi untuk menyamakan persepsi.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


290 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Terus melakukan upaya pencegahan dan pemberdayaan. Sosialisasi
di masyarakat, terutama di sekolah/kampus, di tingkat desa sampai remaja
kampung, remaja masjid. Disamping itu perlu advokasi dan diseminasi,
bekerjasama dan bersinergi dengan instansi atau dinas terkait untuk
memerangi penggunaan dan dan penyalahgunaan narkoba. Sementara
itu untuk desiminasi adalah penyebaran informasi melalui pamflet dan
pemasangan spanduk propaganda Anti Narkoba. Beberapa hotel sudah
melakukan untuk ikut melakukan deseminasi dengan memberikan
penerangan narkoba ditiap kamar dan di tempat-tempat yang dianggap
strategis.

Masih kurangnya tempat rehabilitasi narkoba, ada 5 IPWL di


kota Surabaya tetapi dirasakan masih kurang dibandingkan dengan
penyalahguna narkoba yang cenderung terus bertambah. Penanganan
rehabilitasi harus komprehensif, tidak hanya medis yang selama ini ada di
rumah sakit jiwa Menur, tetapi juga dipadukan dengan rehabilitasi social.
Demikian pula sebaliknya rehabilitasi sosial harus dipadukan pula dengan
rehabilitasi medis, paling tidak untuk mengawasi proses penyembuhan.
Selain itu yang lebih penting adalah bagaimana pasca rehabilitasi, ketika
mereka kembali ke keluarga dan masyarakat supaya mereka dapat
diterima dan hidup sebagaimana masyarakat lainnya. Untuk itu juga
diperlukan wadah atau komunitas untuk membina mantan pengguna
dengan mengadakan pertemuan rutin, menyelenggarakan kegiatan-
kegiatan yang melibatkan pengguna.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 291
DAFTAR PUSTAKA

BNN dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,


2012. Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender
dalam Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkoba

ICPC, 2015. Prevention of drug-related crime report. Canada:ICPC

Pusat Penelitian Data dan Informasi BNN dan UI, 2017. Survei Nasional
Penyalahgunaan Narkoba di 34 Provinsi Tahun 2017. Jakarta:
Puslitdatin BNN

UNODC, 2013. INDONESIA Situation Assessment on Amphetamine-Type


Stimulants, A Report from the Global SMART Programme, February
2013. Bangkok: Global Smart Programme UNODC

UNODC, 2016. COUNTRY PROGRAMME 2017 – 2020, INDONESIA:


“Making Indonesia safer from crime, drugs and terrorism”. Bangkok:
UNODC

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


292 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
X

Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkoba di Kota Denpasar
Provinsi Bali

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 293
Tari Pendet
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
294 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Batik Khas Bali Buketan
X

PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
DI KOTA DENPASAR, BALI

Oleh:
DTP Kusumawardhani; Ujud Tahajuddin

1. Pendahuluan

Ancaman bahaya narkoba telah meluas di seluruh wilayah di


Indonesia, termasuk di wilayah Bali. Oleh karena itu permalahan
penyalahgunaan narkoba di wilayah Bali perlu mendapatkan perhatian
dari semua pihak.

Tulisan ini membahas permasalahan narkoba di wilayah Provinsi


Bali, khususnya Kota Denpasar dan dinamika yang menyertainya. Dalam
tulisan ini dibahas tentang peredaran dan penyalahgunaan narkoba yang
terjadi di Kota Denpasar, dan penyebabnya menurut para pengguna dan
mantan pengguna. Selain itu juga dibahas tentang dampak narkoba yang
mereka rasakan. Selanjutnya dibahas tentang upaya pencegahan yang
sudah dilakukan oleh BNNP, baik melalui penyebaran informasi tentang
bahaya narkoba, advokasi, maupun melalui pemberdayaan masyarakat.
Selain itu juga dibahas tentang efektivitas pembinaan narkoba, baik di
Lapas maupun di panti rehab.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 295
Tulisan ini merupakan hasil penelitian kualitatif tentang
Penanggulangan dan Penyalahgunaan Narkoba di Kota Denpasar yang
dilakukan dari tanggal 5 September sampai dengan 22 September
2018. Penelitian kualitatif ini diarahkan untuk menggali berbagai
informasi mengenai: 1) Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba;
2) Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba; 3) Upaya mengatasi
Penyalahgunaan Narkoba.

2. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia telah


berada pada titik yang menghawatirkan, oleh karena itu pada 2015
dinyatakan bahwa Indonesia Darurat Narkoba. Salah satu daerah yang
rentan terhadap peredaran gelap narkoba adalah pulau Bali yang menjadi
daerah tujuan wisata baik nasional maupun internasional. Dengan menjadi
daerah wisata maka wilayah ini menjadi daerah terbuka untuk peredaran
dan penyalahgunaan narkoba. Bahkan Bali yang semula sebagai daerah
transit untuk peredaran narkoba dalam mata rantai dunia telah berubah
menjadi daerah tujuan. Mengingat Bali masuk ke dalam fase darurat
dalam peredaran gelap narkoba, maka perlu ada upaya dari BNN, dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba.

2.1. Penyalahgunaan Narkoba dan Penyebabnya

Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Reserse Narkoba


Kepolisian Daerah (Dit Serse Polda) Bali, penyalahgunaan Narkoba yang
terungkap kasusnya di wilayah Kepolisian Daerah (Polda) Bali dalam tiga
tahun terakhir menunjukkan angka penurunan, yakni dari 979 kasus pada
tahun 2015 menjadi 925 kasus pada tahun 2016 atau menurun sebesar
5,5 %. Pada tahun 2017 terjadi penurunan kembali menjadi 872 atau turun
5,7 % dari tahun sebelumnya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


296 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Tabel 10.1. Pengungkapan Kasus Narkoba di Provinsi Bali Tahun 2017
Jumlah TP Narkoba Crime Total
No Kesatuan
2015 2016 2017
1 Ditres Narkoba 91 125 138
2 Poltabes Denpasar 379 373 368
3 Polres Buleleng 57 56 60
4 Polres Tabanan 42 15 18
5 Polres Gianyar 111 103 108
6 Polres Klungkung 79 23 26
7 Polres Bangli 87 22 3
8 Polres Karang Asem 17 17 13
9 Polres Jembrana 66 106 32
10 Polres Badung 50 85 106
Jumlah 979 925 872
Sumber: Polda Bali 2018.

Tabel 10.1 di atas menunjukkan bahwa ada dua daerah yang


pengungkapan kasusnya paling besar yakni kota Denpasar dan Kabupaten
Gianyar. Namun Poltabes Denpasar yang menjadi fokus penelitian ini, laju
penurunan penyalahgunaan narkoba jauh lebih rendah, yakni 1,6% pada
tahun 2016 dan 1.32 % pada tahun 2017. Jika angka pengungkapan
kasus narkoba paralel dengan intensitas penyalahgunaan narkoba di
setiap daerah, maka lambatnya angka penurunan penyalahgunaan
narkoba di kota Denpasar perlu mendapat perhatian yang lebih serius,
karena tingkat penyalahgunaan narkoba yang tertinggi di Provinsi Bali
ada di kota Denpasar. Menurut informan di Panti Rehab “mencari “barang”
di Denpasar itu mudah sekali; ada satu kampung yang banyak bandarnya.
Artinya, perlu ada upaya ekstra baik dari sisi pencegahan maupun
penindakan.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 297
Tabel 10.2. Penyelesaian kasus Narkoba di Provinsi Bali (Tahun 2015 - 2017)
Jumlah TP Narkoba Crime Clearence
No Kesatuan
2015 2016 2017
1 Ditres Narkoba 78 95 154
2 Poltabes Denpasar 374 379 374
3 Polres Buleleng 57 52 62
4 Polres Tabanan 44 13 14
5 Polres Gianyar 109 97 106
6 Polres Klungkung 76 14 19
7 Polres Bangli 83 21 2
8 Polres Kr.Asem 21 18 8
9 Polres Jembrana 65 107 35
10 Polres Badung 55 57 91
Jumlah 962 853 865
Sumber: Polda Bali 2018.

Dilihat dari data Pengungkapan Kasus Narkoba dengan data


Penyelesaian Kasusnya, secara rata-rata Polda Bali dapat menuntaskan
96,6 % kasus narkoba yang ditanganinya. Secara lebih rinci, tingkat
penyelesaian kasus narkoba yang berhasil diungkapnya yaitu 98,3% pada
tahun 2015; 92,2% pada tahun 2016, dan 99,2 % pada tahun 2017.

Tabel 10.3. Jumlah Tersangka Penyalahgunaan Narkoba di Provinsi Bali


Tahun 2015 - 2017

No Tahun Jumlah Total WNI WNA


L P Juml L P Juml % L P Juml %
1 2015 891 135 1026 884 134 1018 99.2 7 1 8 0.8
2 2016 893 114 1007 880 114 994 98.7 13 0 13 1.3
3 2017 843 123 966 824 118 942 97.5 19 5 24 2.5
Sumber: Polda Bali 2018.

Dilihat dari sisi gender, Tabel di atas memperlihatkan bahwa


sebagian besar pengguna narkoba berjenis kelamin laki-laki, yakni 86,8 %
pada tahun 2015, 88,7 % pada tahun 2016 dan 87,3% pada tahun 2017.
Adapun jika dilihat dari kewarganegaraannya, hampir semua pelaku

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


298 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
penyalahgunaan narkoba merupakan warganegara Indonesia, sedangkan
warga negara asing hanya sedikit.

Dalam konteks penanggulangan narkoba, yang menarik dan perlu


dicermati data dari Dit Serse Narkoba yaitu data Jenis Kasus Narkoba
tersebut termasuk di dalamnya minuman keras (miras), yang sebenarnya
tidak termasuk dalam kategori narkoba. Mengingat jumlah jenis kasus
Miras yang terdata tersebut persentasenya, relatif besar (43,7% pada
tahun 2015; 25,6% pada tahun 2016 dan 21,2% pada tahun 2017),
maka keberadaan data ini perlu dicermati karena jika dijadikan dasar
dalam pembuatan kebijakan penanggulangan narkoba bisa terjadi bias.
Meskipun demikian, jenis kasus narkoba non-miras jumlahnya lebih
dominan dan cenderung semakin besar dari tahun ke tahun, yakni 551
kasus pada tahun 2015, 688 kasus pada tahun 2016 dan 687 kasus pada
tahun 2017.

Tabel 10.4. Jenis Kasus Narkoba di Provinsi Bali Tahun 2015 - 2017

Tahun
No Jenis Kasus
2015 2016 2017
1. Narkotika 540 686 673
2. Psykotropika - - 3
3. Obat/Baya 11 2 11
4 Miras 428 237 185
5. Senpi, VCD Bajakan, Lain-Lain - - -
Jumlah 979 925 872

Sumber: Polda Bali 2018.

Hal menarik lainnya yaitu ketika dibandingkan jumlah kasus narkoba


yang ditangani oleh Polda dengan yang ditangani oleh BNNP Bali. Tabel
10.5 menunjukkan bahwa jumlah kasus narkoba yang ditangani BNNP
jauh lebih rendah dibandingkan jumlah kasus yang ditangani Kepolisian
Daerah Bali. Tahun 2015, jumlah kasus yang ditangani BNNP hanya 2.3
% dari jumlah kasus yang ditangani Kepolisian Daerah Bali. Tahun 2016
jumlah kasus yang ditangani BNNP sedikit meningkat menjadi 6.8 %
dari jumlah kasus yang ditangani Kepolisian Daerah Bali. Kemudian
pada tahun 2017, jumlah kasus yang ditangani BNNP itu meningkat lagi

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 299
menjadi 8,17 % dari jumlah kasus yang ditangani Kepolisian Daerah Bali.
Sayangnya, walaupun jumlah penanganan kasus narkoba yang ditangani
oleh BNNP terus meningkat, namun jumlahnya masih belum signifikan,
tidak sampai 10 % dari tangkapan Kepolisian Daerah.

Kondisi di atas menimbulkan pertanyaan; mengapa jumlah tangkapan


ataupun kasus narkoba yang ditangani oleh BNNP sangat sedikit jika
dibandingkan dengan jumlah yang ditangani Kepolisian. Perbandingan
ini bukan untuk menunjukkan kontestasi antara institusi BNN dengan
kepolisian, tetapi karena tupoksi dari BNN sangat jelas terfokus pada
penanganan kasus narkoba, maka capaian kinerja tersebut harus menjadi
salah satu ukuran dalam melihat keberhasilannya. Untuk itu perlu ada
kajian yang lebih mendalam dan komprehensif dari kondisi organisasi
BNNP, baik menyangkut strategi dan manajemen kelembagaannya,
jumlah dan kompetensi SDM-nya, sumberdaya keuangannya, fasilitas
pendukung lainnya, serta koordinasi antar lembaganya.

Tabel 10.5. Rekapitulasi Jumlah Kasus Narkoba dan tersangka di Bali


Tahun 2015 - 2017
Jumlah kasus Jumlah Tersangka
No Tahun BNNP Polda
BNNP Polda
L P L P
1. 2017 45 872 (551)* 42 6 824 118
2. 2016 47 925 (688)* 56 6 880 114
3. 2015 16 979 (687)* 14 2 884 134
Sumber: Diolah dari data BNNP dan Polda Bali 2015 – 2017.
*( Jumlah kasus Narkoba tanpa kasus Miras )

Faktor lingkungan umumnya menjadi penyebab penyalahgunaan


narkoba. Meskipun demikian, seberapa jauh lingkungan berpengaruh
sangat tergantung pada diri sendiri. Ada dua faktor lingkungan yang
ditengarai berpengaruhi terhadap penyalahgunaan narkoba yaitu:
pertama, lingkungan pergaulan, lingkungan dunia maya, dan gaya hidup.
Faktor kedua yang mempengaruhi yaitu lingkungan kerja. Menurut
informan, mayoritas pengguna merupakan pekerja swasta. Mereka
menggunakan narkoba karena merasa bahwa untuk bekerja harus
memiliki tenaga ekstra. Untuk itu mereka menggunakan narkoba jenis

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


300 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
sabu, karena menurut para pengguna bahwa sabu dapat memberikan
dampak positif yakni tidak kenal lelah dalam bekerja. Sabu membuat
orang tersebut tidak merasa capai dan ngantuk serta tetap bersemangat
untuk melakukan kegiatan. Sebagai contoh, ada seorang pengguna sabu
yang bekerja malam sebagai DJ dan paginya kuliah di perguruan tinggi.
Untuk meningkatkan staminanya, dia mencoba menggunakan sabu. Dia
merasakan bahwa dengan mengonsumsi sabu, walaupun kegiatannya
penuh pada waktu siang dan malam, dia merasa tetap memiliki tenaga.
Hal itu dilakukan berulang kali sehingga mengalami ketegantungan
karena ketika terasa mau capek, segera mengkonsumsi narkoba lagi agar
memiliki energi prima.

Mengingat efek dari sabu membuat seseorang merasa bertenaga,


energik, maka tidak heran jika ternyata rata-rata yang menjadi pengguna
adalah pekerja yang menuntut tenaga prima, seperti tenaga kasar, buruh,
supir, guide, DJ, dan pekerja dunia malam seperti diskotik yang harus
terjaga terus sepanjang malam.

Selain lingkungan kerja yang berpengaruh terhadap penyalahgunaan


narkoba, lingkungan komunitas juga mempunyai pengaruh yang kuat.
Sebagai contoh, ada orang yang sudah pulih, kemudian suatu saat ada
perasaan untuk menggunakan narkoba lagi. Namun karena di kampungnya
hanya dia yang menjadi pecandu sehingga kesulitan untuk mendapatkan
narkoba di kampungnya. Sementara keinginannya untuk menggunakan
narkoba sangat besar, akibatnya dia pun akan mencari teman satu
komunitas. Oleh karena itu, untuk mencegah kejadian seperti itu para
pendamping sering berpesan kepada pecandu bahwa ketika keluar lapas
atau bebas dari penjara agar membuang nomor telponnya dan memakai
kartu baru. Dengan demikian, yang bersangkutan diharapkan tidak lagi
terjebak ke dalam komunitas pecandu. Memang cara ini tidak menjamin
seseorang dapat menghindari untuk tidak bertemu dengan anggota
komunitasnya, tetapi paling tidak ada upaya untuk menghindarinya agar
dapat keluar dari lingkungan lamanya.

Lingkungan lapas juga memiliki pengaruh kuat terhadap


penyalahgunaan narkoba. Berbagai wawancara dengan beberapa
narasumber memperlihatkan bahwa peredaran narkoba di lapas relatif
besar. Oleh karena itu, tidak heran ketika seorang informan tahanan kasus

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 301
narkoba menyatakan bahwa ketika dia tertangkap dan masuk Lapas
Kerobokan, awalnya dia hanya sebagai pemakai pasif saja, namun setelah
menjadi warga binaan di Lapas Kerobokan, malah menjadi pengguna
aktif.

“Sebelum itu saya nggak ada waktu pakai sabu, pasif dan jarang.
Kemudian di Kerobokan aktif. Makanya sampai bersyukur ketika
dipindahkan ke Lapas Narkotika Bangli. Selama saya di Kerobokan
emang basic-nya pengedar…..di situ aura negatif lebih banyak
daripada positifnya karena lebih mudah dapat barangnya”.

Menurut seorang informan yang menjadi pengedar, justru ketika


di Lapas Kerobokan para narapidana bertemu dengan bandar narkoba.
Di lapas ini ada bandar yang sengaja memasukan dirinya menjadi
tahanan dengan tujuan untuk melebarkan sayap peredaran narkobanya
dan membangun organisasinya di sana. Pemain besar yang tertangkap
di Kerobokan dapat membangun jaringan di sana. Artinya, menurut
informan, Lapas Kerobokan itu adalah marketing office-nya narkoba.
Konon, di dalam Lapas seorang bandar dapat memperoleh uang sebanyak
Rp 500 juta dengan mudah. Seorang bandar cukup duduk di taman,
menerima order dari luar lapas, kemudian mengatur alamat di luar untuk
transaksi narkoba, sementara orang lain yang mengerjakannya. Hal ini
dimungkinkan karena kepemilikan handphone di dalam lapas relatif bebas.
Setelah pembayaran dilakukan melalui sms transfer/mobile banking dan
dipastikan uang sudah masuk ke rekening setelah dicek, baru alamatnya
dikirim untuk mendistribusikan narkoba. Seorang pengedar narkoba
merasa lebih aman jika transaksinya sudah diatur di dalam lapas, karena
transaksi uangnya dilakukan dengan transfer rekening kepada bosnya di
Lapas. Kendati demikian, jaringan ini tidak mudah untuk diungkap karena
biasanya menggunakan nama alias, sehingga kalau di cek di lapas yang
bersangkutan tidak akan ditemukan.

Selain pengaruh lingkungan, ada juga seseorang yang menjadi pecandu


karena motif ekonomi. Ada seorang informan yang mengaku bahwa awal
mulanya dia terjerumus ke dalam dunia narkoba adalah untuk alasan bisnis.
Dia melihat bahwa bisnis narkoba dapat menghasilkan pendapatan yang
besar secara instan. Namun untuk melakukan bisnis tersebut, dia harus
mengetahui kualitas bahan yang dijualnya. Oleh karena itu, mau tidak mau
harus mencoba terlebih dahulu narkoba yang akan dijualnya. Awalnya hanya

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


302 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
mencoba sedikit, tetapi kemudian menjadi kecanduan sehingga semakin
lama volume yang dicobanya semakin besar.

Selain lingkungan luar, lingkungan keluarga juga perpengaruh kuat


terhadap seseorang tergelincir dalam dunia narkoba. Seorang informan
menceritakan pengalamannya berasal dari keluarga broken home karena
ibu dan bapaknya setiap hari bertengkar. Akibatnya, setiap pulang
sekolah ia merasa tidak nyaman dan selalu bertanya mengapa keadaan
di rumahnya seperti itu. Akhirnya, ketika umur 13 tahun dia lari dari
rumah dan tinggal di terminal dan kemudian berkenalan dengan anak-
anak jalanan. Akibatnya, mulai tahun 98 menjadi pemakai aktif narkoba
“Jarum suntik” atau putau. Jadi, awal mula dia mengenal narkoba berasal
dari teman-temannya di Terminal Banyuwangi. Napza yang pertama
dikenalnya adalah obat-obatan jenis “trexilin dan dextro”. Dia melihat
teman-temannya di terminal memakai jarum suntik dan dia pun ditawari.
Akhirnya, kendati awalnya tidak berani, namun karena desakan teman-
temannya maka dicobanya. Setelah disuntik, dia tiba-tiba tertidur di
terminal dan merasa enak sekali. Setelah itu, dia masih ditawari untuk
menggunakan narkoba secara gratis sebanyak 3 kali. Tetapi setelah
masa gratis itu berlalu, jika ingin menggunakannya dia harus membeli.
Sejak saat itu, dia pun mulai mencari uang menjadi calo bus, dan ketika
uang sudah didapat, uang itu pun dipakai membeli putau. Selanjutnya,
pada waktu penghasilan tidak ada, ia mulai menjadi penjambret. Setelah
mendapat uang hasil menjambret, uang itupun digunakan untuk membeli
putau lagi. Demikian seterusnya. Baru kemudian, pada tahun 2000-an
ia melarikan diri ke Pulau Bali karena dikejar oleh Polsek Banyuwangi.
Selama pelariannya di Bali, ia bekerja sebagai pemandu wisatawan yang
berasal dari negara Jepang. Uang hasil memandu wisatawan itu juga
digunakan untuk membeli narkoba jenis putau. Akhirnya, pada tahun
2012 dia tertangkap ketika sudah menjadi pengedar ganja dan masuk di
Lapas Kerobokan.

Pemulihan seorang pecandu sangat tergantung dari kesadaran


pencandu itu sendiri dan hasilnya pun belum tentu dengan cepat, dan
kalaupun berhasil dibutuhkan waktu relatif lama. Hal ini terjadi karena banyak
tantangannya, seperti godaan untuk menggunakan narkoba kembali, tidak
ada konselor pendamping yang membantunya, adanya stigma keluarga,
tetangga, dan lingkungannya, serta dukungan masyarakat sekitar terhadap

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 303
kesembuhannya. Lambatnya pemulihan seorang pencandu juga karena
dalam pergaulan sosial pecandu narkoba tidak terlalu mengalami pengucilan
dibanding dengan penderita HIV. Sekarang ini, jika ada pecandu membeli
narkoba dan menggunakannya di tempat itu, dia dapat tetap bersosialisasi
dengan masyarakat, seperti ngobrol biasa, tanpa ada penolakan atau
penghindaran dari masyarakat. Dengan demikian, mereka tetap merasa
nyaman berada di lingkungan masyarakatnya.

2.2. Dampak Penyalahgunaan Narkoba

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penyalahgunaan


narkoba memberikan dampak negatif terhadap kesehatan pengguna,
ekonomi keluarga, dan kehidupan sosial. Dari hasil wawancara
terungkap bahwa sebagian besar pengguna merusak ekonomi keluarga.
Dampak dari pengguna narkoba dapat menyusahkan pihak keluarga
karena kerap kali minta uang, menjual barang atau aset milik keluarga.
Implikasinya, keluarga juga menjadi stress. Ketika uang untuk memenuhi
kebutuhan narkobanya tidak terpenuhi, ujung-ujungnya pengguna
narkoba melakukan tindakan kriminal. Umumnya, jika seseorang sudah
kecanduan narkoba, awalnya pecandu itu menjual habis barang milik
pribadinya, kemudian mulai mengambil barang milik orang-orang terdekat,
dilanjutkan dengan melakukan tindakan kriminal di lingkungan, seperti
menipu, mencuri, menjadi pengedar atau kurir narkoba untuk memenuhi
kebutuhan narkobanya. Biasanya, jika seseorang menjadi pecandu maka
ia akan menjadi mahir menipu, dan kreatif melakukan penipuan. Bagi
pecandu perempuan, selain tindakan kriminal yang sudah disebutkan
sebelumnya, banyak juga di antara mereka yang menjual diri sekedar
untuk mendapatkan narkoba.

Kesehatan para pengguna juga terganggu. Mereka sering merasa


was-was (khawatir, deg-degan, tidak tenang), memiliki kecurigaan yang
tinggi, sehingga kerapkali mengalami sulit tidur. Biasanya untuk dapat
tidur pun mereka umumnya membutuhkan obat penenang. Kekhawatiran
yang dialami setiap orang juga berbeda. Ada yang merasa seakan-akan
jatuh dari suatu ketinggian, ada yang merasa dikejar-kejar. Siklus dampak
yang dialami oleh pecandu tersebut terus-menerus berulang.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


304 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
2.3. Peredaran Narkoba

Pada tabel 10.6 dapat diketahui peredaran narkoba dilihat dari


lokasi transaksi dan atau penangkapannya. Ada tiga lokasi utama yang
dijadikan tempat distribusi narkoba yakni rumah/tempat kos, jalan umum,
dan restoran/warung. Pilihan lokasi untuk transaksi dan/atau distribusi
mengalami pergeseran, dari yang semula didominasi oleh rumah/tempat
kos dan restoran/warung bergeser menjadi jalan umum. Jumlah lokasi
penangkapan di rumah/kos dan café/restoran dari tahun ke tahun
terus mengalami penurunan, sedangkan penangkapan di jalan umum
selama tiga tahun ini meningkat pesat dari 241 kasus di tahun 2015
meningkat hampir dua kali lipatnya pada tahun 2017, yakni sebanyak 451
kasus. Sebaliknya dalam tiga tahun terakhir, tingkat penurunan lokasi
penangkapan direstoran/warung sangat drastis, yaitu hampir 300%.
Kondisi itu mengindikasikan bahwa para pengedar narkoba sudah merasa
tidak aman untuk melakukan peredaran narkoba di rumah/kos atau di
restoran/warung. Mereka mungkin merasa bahwa pengedaran di jalan
umum lebih aman karena memiliki fleksibilitas dan mobilitas yang tinggi.
Implikasinya, pemantauan peredaran narkoba di jalan-jalan umum harus
semakin ditingkatkan, sementara lokasi rumah/kos dan restoran/warung
dapat dikurangi intensitasnya walaupun masih tetap harus diwaspadai
karena angkanya masih relatif tinggi.

Tabel 10.6. Data Jumlah TKP/Lokasi di Bali


Tahun
No TKP/Lokasi
2015 2016 2017
1. Rumah/ Kos 377 316 271
2. Jalan Umum 241 359 451
3. Hotel/Villa/Bungalow 8 16 8
4. Karaoke/Café 7 5 8
5. Restoran/Warung 359 211 122
6. Bandara/Pelabuhan 6 8 22
7. Lapas/Kantor/Kampus 18 7 22
8. Rumah Sakit 3 3 1
Jumlah 979 925 905

Sumber: Polda Bali 2018

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 305
Modus yang digunakan ketika mendistribusikan narkoba, utamanya
dilakukan dengan cara memasukkan narkoba dalam kotak korek api,
bungkus rokok, digenggam, disimpan di saku celana/baju, dan disimpan
di tempat tidur/dirumah. Data ini mendukung penjelasan tentang lokasi
yang dijadikan tempat transaksi narkoba yang utama, yaitu di jalan umum
dan di rumah/tempat kos. Artinya, untuk transaksi di jalan umum maka
penyimpanan dalam korek api, bungkus rokok, digenggam, atau disimpan
di saku celana/baju merupakan modus yang paling sederhana karena
mudah dipindah tangankan. Selain itu, jika aparat berwajib mengadakan
razia, maka narkoba dengan mudah dapat dibuang sesegera mungkin
untuk menghilangkan barang bukti.

Selain diberikan langsung, pendistribusian narkoba banyak pula


yang dilakukan menggunakan modus “sistem tempel” di suatu tempat
(narkoba ditempelkan ditembok di tempat yang sudah disepakati). Ada
juga yang serah terima narkobanya dengan menggunakan alamat palsu,
adapun informasi persisnya akan dikomunikasikan kemudian melalui
handphone.

Tabel 10.7. Tindak Pidana Narkoba di Bali Berdasarkan Modus Operandi

Tahun
No Modus
2015 2016 2017
1 Dlm korek, bungkus rokok, digenggam 422 408 318
2 Disimpan disaku celana/baju 53 102 168
3 Disimpan dlm tas/koper 14 60 65
4 Diikat di bodypack/ diSimpan dlm perut 0 2 7
5 Disimpan ditempat tidur/ rumah 57 - 112
6 Bb dibuang dilantai 2 111 43
7 Jual obat G Tanpa kewenangan 8 233 7
Jumlah 556 916 718
Sumber: Diolah dari data Polda Bali 2018, tanpa Miras Senpi, VCD Bajakan, Lain-Lain.

Bervariasinya modus distribusi narkoba, berimplikasi pada tingkat


kesulitan pengungkapan kasus narkoba. Dulu lebih mudah dideteksi
karena caranya temu fisik, jadi ada uang ada barang. Sekarang karena
transaksinya menggunakan sistem transfer, maka sifatnya lebih

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


306 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
tersembunyi. Implikasinya, transaksi narkoba sulit dilihat dengan kaca
mata umum dan pengungkapan siapa yang menjadi bandarnya pun tidak
diketahui. Sementara itu, modus dengan menyimpannya di tempat tidur/
dirumah menjelaskan masih tingginya frekuensi peredaran narkoba yang
dilakukan di rumah/tempat kos.

3. Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba

Untuk merespons kejahatan penyalahgunaan narkoba, BNNP melalui


divisi Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat (P2M) melakukan
berbagai upaya pencegahan. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan daya
tangkal masyarakat terhadap ancaman bahaya penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika. Hal ini dilakukan dengan cara menyebarkan
informasi tentang bahaya narkoba kepada masyarakat umum. Dalam
program P4GN ini selama kurun waktu 2017, beberapa kegiatan sudah
dilakukan oleh BNNP.

Untuk mengkomunikasikan informasi kegiatan P4GN terhadap


keluarga, BNNP Bali melakukannya melalui media konvensional dalam
bentuk pertemuan tatap muka langsung dengan masyarakat (keluarga).
Selama tahun 2017, BNNP Bali telah melakukan pertemuan tatap muka
dengan 120 orang KK atau perwakilannya. Pertemuan ini dilaksanakan
dalam 3 kali.

Selain menggunakan media konvensional, BNNP Bali juga melakukan


sosialisasi tentang P4GN menggunakan media penyiaran. Dalam hal ini,
BNNP Bali melakukan kerjasama dengan AR Radio untuk menyiarkan
sejumlah informasi P4GN dengan sasaran keluarga. Selama tahun 2017
telah dilakukan 280 kali siaran.

Selain melalui media penyiaran, sosialisasi P4GN kepada keluarga


juga dilakukan dengan menggunakan media cetak. Dalam kegiatan ini,
BNNP Bali melakukan kerjasama dengan Balipost, Tribun Bali dan |Nusa
Bali. Melalui kerjasama ini selama tahun 2017 informasi P4GN telah
disebarluaskan melalui 28 kali penerbitan.

Media lain yang digunakan BNNP Bali dalam melakukan sosialisasi


P4GN kepada keluarga adalah melalui media online. Untuk itu, BNNP

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 307
melakukan kerjasama dengan telkomsel untuk penyebaran informasi
melalui SMS blast. Dalam kegiatan ini selama 2017 telah dikirim SMS
informasi narkoba sebanyak 12.500 SMS.

Sebagaimana sosialisasi kepada keluarga, informasi kegiatan


P4GN kepada pelajar/mahasiswa dilakukan melalui media konvensional
atau tatap muka. Selama tahun 2017 kegiatan ini telah mencapai
sasaran sebanyak 120 orang yang dijangkau melalui 3 kali pertemuan.
Selain melalui media konvensional, sosialisasi P4GN terhadap pelajar/
mahasiswa juga dilakukan melalui media penyiaran. Hal ini direalisasikan
melalui kerja sama dengan Phoenix Radio untuk menyampaikan informasi
P4GN melalui siaran radionya. Selama tahun 2017 telah disiarkan
sebanyak 280 kali siaran.

Kegiatan sosialisasi P4GN lainnya dilakukan melalui media cetak.


Dalam hal ini BNNP Bali melakukan kerjasama dengan Balipost, Fajar Bali,
Tribun Bali dan Nusa Bali. Atas dasar kerjasama ini informasi P4GN telah
disebarluaskan melalui 32 kali terbitan selama tahun 2017.

Sebagaimana sosialisasi terhadap keluarga, sosialisasi P4GN


terhadap pelajar/mahasiswa dilakukan juga melalui media online. Hal ini
direalisasikan melalui kerjasama dengan telkomsel, yakni melalui SMS
Blast. Dalam kertangka kerjasama tersebut, selama tahun 2017, telah
dikirim informasi narkoba melalui 12.500 SMS.

Kegiatan ketiga dari P4GN yaitu mengkomunikasikan,


menginformasikan, dan mengedukasi masyarakat pekerja tentang P4GN.
Salah satu media yang digunakan untuk penyampaiannya dilakukan
melalui media konvensional atau tatap muka. Selama 2017, kegiatan ini
telah dilaksanakan sebanyak 3 kali dan menjangkau 120 orang.

Selain melalui tatap muka langsung, sosialisasi P4GN juga dilakukan


melalui media penyiaran. Untuk itu, BNNP Bali menjalin kerjasama dengan
Radio Mora. Atas dasar kerjasama ini Radio Mora, selama periode 2017,
telah menyiarkan informasi P4GN sebanyak 280 kali siaran.

Sosialisasi P4GN juga dilakukan melalui media cetak. Dalam


hal ini BNNP Bali bekerjasama dengan Balipost dan Denpost. Dalam

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


308 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
implementasinya, telah terbit informasi P4GN sebanyak 28 kali selama
tahun 2017. Dalam melakukan sosialisasi P4GN terhadap pekerja, BNNP
memanfaatkan media online. Untuk kepentingan tersebut, telah dibangun
kerjasama dengan telkomsel untuk berbagi informasi P4GN melalui
SMS Blast. Realisasinya selama tahun 2017 telah dikirim SMS informasi
narkoba sebanyak 12.500 SMS terhadap kelompok pekerja.

Sebagaimana dalam kegiatan sosialisasi P4GN dalam kegiatan


lainnya, Komunikasi, Informasi dan Edukasi P4GN terhadap kelompok
masyarakat juga dilakukan melalui media konvensional tatap muka.
Sepanjang 2017 telah dilakukan pertemuan sebanyak 3 kali dengan
120 orang. Kegiatan sosialisasi P4GN terhadap masyarakat pada tahun
2017 dilakukan melalui Kampanye Stop Narkoba. Kampanye ini telah
dilaksanakan sebanyak 1 kali pada kegiatan Hani 2017 dengan melibatkan
1.000 partisipan masyarakat.

Untuk sosialisasi P4GN melalui media penyiaran dilakukan


kerjasama dengan Soni FM. Dalam kerjasama ini, pihak radio mempunyai
kewajiban untuk menyiarkan sejumlah siaran tentang informasi P4GN.
Selama tahun 2017, siaran yang sudah direalisasikan sebanyak 245 kali
ntuk keluarga.

Sosialisasi P4GN yang disampaikan melalui media cetak


direalisasikan melalui kerjasama dengan Balipost, Denpost dan Tribun
Bali. Dalam hal ini, sepanjang tahun 2017 telah disampaikan informasi
P4GN dalam 30 kali terbitan.

Sosialisasi P4GN terhadap kelompok masyarakat juga disampaikan


melalui media online. Sosialisasi ini dilakukan melalui kerjasama dengan
telkomsel untuk menyebarluaskan informasi P4GN melalui SMS Blast.
Sepanjang tahun 2017 telah dikirim 12.500 SMS yang berisikan informasi
narkoba.

Adanya Kegiatan P4GN ini diakui oleh informan yang diwawancarai.


Menurut pendapatnya P4GN harus melingkupi tiga aspek, yakni aspek
pencegahan, pemberatasan dan rehabiltasi. Meskipun demikian, secara
umum program P4GN lebih dikenal oleh masyarakat umum sebagai
upaya tentang pemberatasan peredaran narkoba. Jadi walaupun ada

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 309
tiga aspek yang ditangani P4GN yakni pencegahan pemberantasan dan
rehabilitasi, tetapi terkesan porsi penyuluhan program P4GN lebih banyak
pada pemberantasan.

Dalam hal kerjasama institusional dengan mitra kerja, walaupun


belum merata, diakui oleh informan bahwa dampaknya sangat bagus,
terutama kemandirian masyarakat dalam menginformasikan dan
keberanian melaporkan narkoba yang ada di wilayahnya. Diakui oleh
informan dari LSM bahwa BNN Kota Denpasar dan BNN Kabupaten
Badung bersama dengan Kesbangpol telah melakukan sosialisasi hampir
menyeluruh ke sekolah-sekolah dan banjar. Dengan adanya P4GN ini,
maka program penanganan dan penangulangan narkoba tidak hanya
dilakukan oleh BNN atau LSM tetapi semua dapat bergerak, termasuk
desa adat, penggerak PKK, juga karang taruna-taruni. Dengan demikian
dampak dari P4GN ini berbagai unsur yang terlibat mudah dikoordinasi
dan diajak koordinasi.

Selain melakukan pemberdayaan masyarakat di desa-desa untuk


berpartisipasi aktif dalam program P4GN, BNNP Bali juga meluncurkan
program pemberdayaan penggiat anti narkoba di Instansi Pemerintah.
Sebagai contoh, pada tanggal 27-28 Juli 2017 BNNP Bali sudah
melaksanakan kegiatan pelatihan dan pembinaan penggiat anti narkoba
di instansi pemerintah. Kegiatan pelatihan penggiat anti narkoba ini
diikuti 30 instansi pemerintah, yaitu: Bappeda Prov. Bali, Disnaker Prov.
Bali, Satpol PP Prov. Bali, Dinas Pendidikan Prov. Bali, Kesbangpollinmas
Prov. Bali, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, RSUD Klungkung,
RSUD Wangaya, RSUD Tabanan, RSUD Karang Asem, RSUD Buleleng,
Satpol PP Kab. Badung, Satpol PP Kab. Klungkung, Satpol PP Kab.
Gianyar, Satpol PP Kab. Karang Asem, Satpol PP Kab. Bangli, Satpol PP
Kab.Tabanan Satpol PP Kab. Jembrana, Satpol PP Kab. Buleleng, Satpol
PP Kab. Tabanan, danSatpol PP Kab Badung.

BNNP Bali juga meluncurkan Program Pemberdayaan Penggiat Anti


Narkoba di lingkungan pendidikan dalam bentuk pelatihan dan pembinaan.
Sebagai contoh, pada tanggal 20 Juni 2017 BNNP telah melaksanakan
kegiatan pelatihan penggiat anti narkoba dengan melibatkan 20 instansi,
yaitu: Dinas Pendidikan Prov. Bali. Dinas Pendidikan Kota Denpasar, Dinas
Pendidikan Kab. Badung, Dinas Pendidikan Kab. Gianyar, Dinas Pendidikan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


310 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Kab.Buleleng, Dinas Pendidikan Kab. Karang Asem, Dinas Pendidikan
Kab. Klungkung, Dinas Pendidikan Kab. Bangli, Dinas Pendidikan Kab.
Jembrana, Dinas Pendidikan Kab. Tabanan, SMAN 1 Denpasar, SMA
Dwijendra Denpasar, SMA PGRI 4 Denpasar, SMA PGRI 3 Denpasar, SMAN
1 Karang Asem, SMAN 3 Denpasar, SMAN 2 Denpasar, SMAN 7 Denpasar,
SMAN 1 Klungkung, SMAN 1 Abiansemal.

BNNP Bali juga meluncurkan Program Pemberdayaan Penggiat Anti


Narkoba di lingkungan masyarakat. Sebagai contoh, pada tanggal 29 s.d
30 Agustus 2017 BNNP Bali telah melaksanakan kegiatan pelatihan dan
pembinaan penggiat anti narkoba di lingkungan masyarakat melibatkan
30 desa yaitu: Desa Padang Sambian Kaja, Desa Padang Sambian Kelod,
Desa Ubung, Desa Peguyangan Kangin, Desa Ubung Kaja, Desa Penatih,
Desa Kesiman Kertalangu, Desa Penatih Dangin Puri, Desa Tonja, Desa
Tegal Kerta, Desa Tegal Harum, Desa Peguyangan, Desa Peguyangan
Kaja Desa Sanur Kauh dan Desa Sanur Kaja.

Selain kegiatan sosialisasi, program yang dijadikan alternatif solusi


dari maraknya kawasan rawan narkoba di Bali adalah meningkatkan
partisipasi masyarakat secara aktif dalam P4GN melalui pembinaan
alternatif. Program ini diarahkan untuk meningkatkan keberdayaan
individu dan kelompok masyarakat melalui perubahan karakter, pembinaan
kelembagaan untuk menanamkan hidup sehat dan aman, pembinaan
lingkungan yang bersih narkoba dan pembinaan usaha guna peningkatan
pendapatan. Untuk melakukan pemberdayaan tersebut maka dilakukan
pembinaan potensi masyarakat yang diarahkan pada pengembangan
kapasitas individu di kawasan rawan narkoba. Sasaran kegiatan
pemberdayaan alternatif adalah terlaksananya program pemberdayaan
anti narkoba dikawasan atau wilayah rawan melalui pelatihan life skill bagi
mantan penyalah guna agar berprofesi ke legal produktif. Pembinaan ini
dilakukan dengan pendekatan partisipatif, dalam hal ini pembinaan dan
pelatihan melibatkan secara intensif individu dan kelompoknya dalam
program dan kegiatan yang didesain secara berkelanjutan.

Sebagai contoh, selama tahun 2017 telah dilaksanakan program


pemberdayaan anti narkoba di Desa Tianyar, Kabupaten Karang Asem
sebagai kawasan rawan, dengan memberikan kegiatan pelatihan
pencetakan sablon kepada mantan penyalahguna di desa tersebut

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 311
sebanyak 10 orang. Desa Tianyar Kabupaten Karang Asem dipilih
berdasarkan hasil pemetaan kawasan rawan di Provinsi Bali, dengan
pertimbangan semakin tingginya kasus narkotika yang terungkap di
daerah tersebut.

Secara operasional, langkah awal yang diambil yaitu melakukan


pendekatan dan advokasi terhadapi tomagada (tokoh masyarakat, tokoh
agama dan tokoh adat), termasuk para wanita dan pemuda serta orang-
orang yang berpengaruh lainnya untuk berdiskusi dan mengadvokasi
tentang pembangunan berwawasan anti narkoba, pentingnya hidup sehat
tanpa mengedarkan narkoba. Diskusi ini diarahkan untuk menghasilkan
rencana aksi berupa program dan kegiatan bagi individu maupun
kelompok yang sesuai dengan kebutuhan di wilayah tersebut. Untuk itu,
dalam menyusun rencana aksi tersebut diawali dengan pemetaan potensi
rawan narkoba berdasar demografi, geografi, pola penyalahgunaan dan
peredaran narkoba, termasuk modus-modusnya. Di samping itu juga
dilakukan pemetaan tentang potensi produktif yang dimiliki masyarakat,
seperti keterampilan, modal sosial, topografi, pola tanam, iklim, akses
pasar, dsb) dari masyarakat di wilayah tersebut.

Selanjutnya, berdasarkan hasil pemetaan dan rencana aksi


berupa program dan kegiatan bagi individu maupun kelompok, maka
diberikan program-program pembinaan1, baik jangka pendek, menengah
maupun panjang, yang bersifat sosialisasi, yang dapat menumbuhkan
kepercayaan kepada individu maupun kelompok yang mengikutinya. Bagi
mereka yang memiliki komitmen untuk aktif berperanserta dilanjutkan
dengan pemberian pelatihan atau pembekalan keterampilan melalui
pengembangan minat dan bakat, mulai dari keterampilan yang sederhana
hingga keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Ragam pelatihan
dan bantuan yang diberikan tersebut merupakan hasil musyawarah
bersama warga dengan tokoh yang dilibatkan dalam program pembinaan.

1
Pembinaan masyarakat jangka pendek dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan
program, pelaksanaan program, kemitraan dan sinergi program, monitoring program dan evaluasi bersama pelaksana
program. Untuk pembinaan masyarakat jangka menengah dimaksudkan agar masyarakat sadar untuk merehabilitasi
korban narkoba, untuk melaporkan aksi dan pelaku kejahatan narkoba dan menajaga keamanan mandiri demi lingkungan
bersih narkoba. Sedangkan pembinaan masyarakat untuk jangka panjang, diharapkan terjadi perubahan masyarakat
dalam kehidupan sosial, ekonomi, keamanan dan ketertiban, di mana akhirnya masyarakat mempu menciptakan sentra
produksi dan sektor peningkatan pendapatan. (Peta Kawasan Rawan Narkoba diIndonesia 2016, Direktorat Pemberdayaan
Alternatif, Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat BNN, 2017.)

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


312 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Pendanaan untuk kegiatan itu dapat dilaksanakan baik secara swadaya
maupun bantuan sponsor. Untuk mencapai keberhasilan program, secara
nyata tentunya membutuhkan kemitraan antara masyarakat dengan
pelaku ekonomi di kawasan/wilayah yang dibina. Harus ada pembinaan
terhadap kelembagaan yang tumbuh dalam masyarakat

Hasil dari pembinaan terhadap individu dan kelompok diharapkan


dapat menciptakan keterbukaan pada masyarakat sehingga mereka mau
melaporkan atau menyampaikan siapa saja di daerah itu yang menjadi
pecandu, pengedar, dan bandar. Dengan demikian, BNNP Bali dapat
menindaklanjutinya. Sebagai contoh, mereka yang terlaporkan sebagai
pengguna/pecandu maka akan difasilitasi untuk direhabilitasi; untuk
pengedar atau bandar ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan.
Melalui langkah ini diharapkan masyarakat di kawasan tersebut dapat
memegang nilai-nilai hidup sehat tanpa narkoba dan mengatur wilayahnya
secara mandiri sehingga bersih dari penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba.

4. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Narkoba

4.1. Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

Lapas Narkotika (Lapastik) Kelas IIA Bangli sebagai satu-satunya


lembaga pemasyarakatan narkotika di Bali, khusus narapidana laki-
laki, tergolong steril dari peredaran narkoba. Handphone juga dilarang
beredar di dalam lapas, karena upaya memasukkan atau menggunakan
narkoba di lapas ini akan ditindak tegas. Setiap pengunjung Lapas juga
diperiksa menggunakan body scanner maupun mesin X-ray. Berdasarkan
penuturan Kalapas Bangli (Bpk. Arif Rahman Bc.IP, SH, MH), Kepala BNN
Irjen Heru Winarno sudah meninjau lapas narkotika itu, dan dinyatakan
clear, benar-benar bebas dari narkoba. Pernyataan itu disampaikan atas
dasar beberapa kali sidak gabungan yang dilakukan BNN beserta Polres
dengan melakukan pemeriksaan/tes urin kepada warga binaan dan
hasilnya memang negatif.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Lapastik Bangli, lapas ini


memiliki kapasitas 468 tahanan, dan pada saat tim peneliti melakukan
observasi pada tanggal 10 september 2018, jumlah tahanan ada 329 orang.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 313
Lapastik sudah dibangun sejak 2012 dan baru dipergunakan pada tahun
2015 dan maket plan-nya sudah ada untuk ke depannya. Lapastik ini masih
membutuhkan sarpras, walaupun hal itu merupakan alasan klasik yang
selalu mengemuka di setiap lapas. Tentunya, belum tersedianya aula dan
tempat untuk bimbingan kerja bagi para warga binaan tidak mematahkan
semangat para petugas lapas yang membina untuk bekerja maksimal.
Walaupun tahun 2018 Lapastik telah mendapatkan CPNS, namun masih
ada sembilan titik rawan di Lapastik yang masih membutuhkan pegawai
untuk mengisi formasi di sana. Untuk solusi, sementara difungsikan
pegawai yang ada di pos-pos yang vital untuk pengamanan. Keterbatasan
SDM masih menjadi kendala bagi terjangkaunya pengawasan secara
maksimal di pos-pos rawan di lapastik.

Warga binaan di Lapastik Bangli umumnya merupakan pindahan


atau dari lapas lain, antara lain Lapas Kerobokan, Karang Asem, Singaraja,
Tabanan, Klungkung dan seluruh rutan di Bali. Menurut Kalapas,
walaupun di lapas lain seperti Lapas Kerobokan merupakan jagoan,
namun di Lapas Bangli dijamin seratus persen tidak akan terpengaruh
untuk menyalahgunakan narkoba. Walaupun seseorang berasal dari
ormas terkenal, namun di lapastik ini premanisme tidak berlaku. Semua
warga binaan tidak mendapat perlakuan khusus, semuanya senasib
sepenanggungan. Pernyataan petugas kepada para warga binaan yaitu
mereka akan memperlakukan warga binaan secara lebih baik apabila
mereka patuh pada aturan dan bersikap baik di Lapastik sesuai tugas
dan fungsinya. Dijamin setiap warga binaan di dalam lapas tidak akan
mengalami tindak kekerasan antar sesama napi, karena mereka harus
dapat menjaga sikap dan saling menghormati satu sama lain.

Jika warga binaan berbuat baik, patuh, tertib sesuai aturan, petugas
juga akan memberikan reward tanpa diminta. Dengan kata lain, haknya
sebagai warga binaan akan diberikan, seperti: remisi dan pengurusan hak
menjelang pembebasan bersyarat. Sebaliknya jika warga binaan tidak
patuh, terutama menjelang pembebasan bersyarat (PB), maka PB pun
akan dicabut dan hak-haknyapun tidak akan diurus kemudian.

Selama ini petugas belum pernah mendapatkan warga binaan yang


berusaha mencoba atau masih menggunakan narkoba di dalam lapas,
karena petugas melakukan tes urine dengan sistem acak ke wisma-wisma

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


314 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
(sebutan tempat menampung warga binaan yang menjalani hukumannya
secara berkelompok). Jika hasil tes urin ternyata positif, maka sanksinya
dimasukkan ke dalam sel tanpa baju, yang dapat berakibat sakit karena
kedinginan, mengingat udara Bangli tergolong dingin. Menurut petugas
lapastik, warga binaan di sana umumnya sudah tobat untuk tidak
menggunakan narkoba lagi. Memang, di awal ketika pengadilan sudah
memutuskan seseorang itu bersalah dan harus menjalani hukumannya
di Lapastik Bangli, maka ia harus mengisi surat pernyataan yang
ditandatangani di atas materai ketika masuk di lapas tersebut. Surat
pernyataan itu berisi, janji yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi oleh
setiap warga binaan.

Dalam rangka pembinaan kepada warga binaan, Lapastik Bangli


telah menginisiasi kerjasama dengan pihak swasta, di antaranya dengan
PT Satyaloka Tirta Amertha terkait Pertukangan dan Pembibitan pohon
jati dalam jangka waktu setahun. PT menyediakan sarana dan prasarana
kerja yaitu modal: berupa bibit tanaman jati2, media tanah, pupuk yang
didatangkan dari Surabaya, peralatan dan polybag serta instruktur untuk
memberikan bimbingan tentang cara menanam dan merawat bibit
tanaman tersebut. Para warga binaan yang termasuk dalam PP 99 Tahun
2012 diberi tugas untuk melakukan pembibitan, yaitu menanam bibit
tanaman jati di polybag dengan media tanah yang sudah disediakan. Bila
bibit tanaman sudah berumur dua minggu, dilanjutkan dengan pemberian
pupuk yang didatangkan dari Surabaya, oleh warga binaan. Selanjutnya,
jika tanaman sudah mencapai ketinggian tertentu, PT Satyaloka akan
mengambilnya dan warga binaan yang dipekerjakan untuk melakukan
pembibitan akan mendapatkan kompensasi berupa premi sebesar Rp
500.000,- pada setiap pembibitan di polybag, yang diatur oleh Pembina
Lapas. Laporan maupun evaluasi terhadap pelaksanaan kerjasama
dilakukan oleh Lapas dan PT, minimal sebulan sekali.

2
Maksud Nota Kesepakatan Kerjasama yaitu sebagai pedoman bagi Para Pihak dalam pelaksanaan pemberian bimbingan
dan pembinaan Keterampilan bagi warga binaan Pemasyarakatan serta menjadi landasan bagi penyelenggaraan program
Pembinaan Asimilasi Warga Binaan Pemasyarakatan khususnya Warga Binaan yang terkait PP 99 Tahun 2012 di Lapas
Narkotika Kelas IIA Bangli.
- Kerjasama ini bertujuan untuk melaksanakan kegiatan kerja dan keterampilan pertukangan dan pembibitan pohon jati
oleh Satyaloka Tirta Amerta serta membantu program Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang ditingkatkan tahap
pembinaan lebih lanjut, yaitu Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Bersyarat (CB) Cuti Menjelang Bebas (CMB) serta Program
asimilasi khususnya bagi Warga Binaan Pemsyarakatan yang terkait PP 99 Tahun 2012 sebelum diusulkan untuk Program
Pembinaan Pembebasan Bersyarat (PB)

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 315
Kerjasama lainnya juga telah dilakukan dengan Yayasan Kesehatan
Bali (YAKEBA) 3. Warga binaan di Lapas terkait PP No. 99 Tahun 2012
yang telah memenuhi syarat administratif maupun syarat substantif
dapat mengikuti program yang ditawarkan Yayasan. Yayasan ini memberi
pelatihan dan penyuluhan (kerja sosial/pengabdian masyarakat)
bagi warga binaan melalui program-program kegiatan yang telah
direncanakannya. Jadi, Yayasan membantu pelaksanaan kegiatan-
kegiatan sosial non-profit yang dilaksanakan di Lapastik, seperti
penyuluhan dan kunjungan kasus narkoba dan ODHA untuk HIV AIDS,
termasuk penyalahgunaan narkotika.Kegiatan ini berlangsung sejak
April 2018, dan dilakukan supervisi bersama petugas Lapas di bawah
Seksi Bimbingan Narapidana dan Anak Didik (Binadik) yang dibantu oleh
Kesatuan Pengamanan Lapas (KPLP) dan Seksi Keamanan dan Tata
Tertib. Kerjasama ini akan berlaku selama dua tahun sejak 2018.

Pada intinya, seluruh warga binaan mempunyai hak yang sama


untuk mengikuti dan mendapatkan pembinaan, baik rohani maupun
kemandirian. Dalam rangka pembinaan mental dan rohani, setiap warga
binaan diwajibkan sholat pada pagi hari, berdoa, sembahyang di tempat
yang sudah disediakan, seperti masjid, pura, vihara, gereja. Dalam
pembinaan rohani, para warga binaan dinilai berdasarkan kepatuhan dan
kerajinannya dalam menjalankan ibadah setiap pagi di rumah ibadah
yang disediakan sesuai agamanya. Mereka diabsen dan dievaluasi oleh
pembina, apakah yang muslim misalnya, sholatnya penuh lima waktu
dalam sehari dan sebagainya. Penilaian terhadap warga binaan, seperti:
apakah ibadahnya rajin atau tidak, akan berpengaruh pada keputusan
seorang warga binaan telah memenuhi kriteria atau layak untuk
mendapatkan remisi, seperti pada hari raya kemerdekaan RI.

Pembinaan rohani dibimbing oleh empat orang rohaniawan


(Pedande, Pendeta, Ustadz), di bawah koordinasi Kementerian Agama.
Pada hari-hari tertentu ataupun hari-hari besar agama, biasanya mereka

3
Maksud Nota Kesepahaman ini yaitu sebagai pedoman bagi para pihak dalam pelaksanaan pemberian bimbingan dan
pembinaan bagi warga binaan khususnya yang terkait dengan PP No. 99 Tahun 2012 di lingkup Lapas Narkotika Kelas IIA
Bangli, serta menjadi landasan bagi penyelenggaraan program Asimilasi Warga Binaan Pemasyarakatan Lapas Narkotika
Kelas IIA Bangli.
- Kerjasama ini bertujuan untuk membantu Warga Binaan Pemasyarakatan yang akan ditingkatkan tahap pembinaan lebih
lanjut yaitu Pembebasan Bersyarat (PB) untuk berbaur dengan masyarakat sebelum bebas

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


316 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
datang memberikan ceramah atau mengadakan sholat berjamaah/
sembahyang bersama. Pada hari Senin dan Selasa, pembinaan rohani
diberikan khusus kepada warga binaan yang beragama Islam, termasuk
pelajaran membaca Alquran dalam rangka memberantas buta huruf.
Khusus pada hari Rabu dan Kamis, pembinaan rohani diberikan kepada
warga binaan yang beragama Hindu.

Sebagai salah satu eksistensi kegiatan pembinaan rohani kepada


warga binaan yang muslim, adalah adanya acara sholat Ashar berjamaah
sekaligus mendeklarasikan penghapusan buta huruf Qur’an dengan
menghadirkan penyuluh dari Kemenag pada saat peneliti sedang
melakukan obeservasi di Lapastik. Sedangkan untuk Dharma Charita,
Pedande (pendeta) memberikan ceramah kepada warga binaan yang
beragama Hindu.

Gambar 10.1. Sarana Peribadatan dan Olah Raga di Lapastik Bangli

Sumber: Dokumentasi Penelitian Gaya Hidup Masyarakat di Perkotaan, BNN 2018.

Pembiayaan seluruh kegiatan pembinaan rohani dan kemandirian


bersumber dari anggaran DIPA yang diperoleh Lapastik setiap tahun. Oleh
sebab itu, tidak mengherankan apabila anggaran yang tersedia untuk
kemandirian hanya dapat diberikan kepada 20 hingga 30 warga binaan,
itu pun masih harus diseleksi berdasarkan masa tahanan dan status
warga binaan yang mendekati masa Pembebasan Bersyarat (PB). Bagi
warga binaan yang pernah mengikuti satu kegiatan kemandirian, yang
bersangkutan tidak diperkenankan lagi mengikuti kegiatan lain agar
warga binaan lainnya mendapatkan kesempatan.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 317
Lapastik juga berinisiatif untuk mencari dana atau sponsor
guna menambah anggaran kegiatan pembinaan kemandirian, karena
keterbatasan dana yang dianggarkan oleh pemda di Lapastik Bangli.
Lapastik berupaya mencari dana dari perusahaan-perusahaan ataupun
bank-bank yang memiliki dana CSR. Pada saat penelitian dilakukan
(2018), Lapastik sedang merintis penggalangan dana ke Bank Mandiri
dan BRI dan perkembangan selanjutnya belum diketahui.

Petugas yang melakukan pembinaan mengakui bahwa mayoritas


warga binaan yang berada pada usia produktif, yaitu 25 hingga 50 tahun
(sebagian ada yang berusia 60 tahun), jarang yang memiliki potensi
luar biasa. Meskipun demikian, warga binaan tersebut belum pernah
difasilitasi selama ini. Lapastik berupaya untuk menyalurkan bakat dan
minat mereka pada kegiatan atau program-program yang ada.

Program yang diberikan oleh Lapas juga selalu disukai oleh semua
warga binaan. Program pelatihan kewirausahaan misalnya, tidak digemari
oleh warga binaan yang masih berusia muda, karena kegemarannya
berbeda dengan warga binaan yang berusia menjelang empat puluh
tahunan ke atas. Program ini seyogyanya lebih layak bagi warga binaan
yang berstatus PB sebagai bekal mempersiapkan dirinya untuk kembali
ke lingkungan masyarakat.

Dalam rangka mempersiapkan program pembinaan yang


mungkin dapat dilakukan oleh Lapastik Bangli, pihak lapas mengajukan
permohonan ke Dinas Perindustrian, Dinas Pertanian dan Balai Latihan
Kerja, agar lapastik diberikan kegiatan yang mungkin dapat didanai
oleh anggaran instansi tersebut. Meskipun demikian umumnya tidak
mendapatkan respons positif, karena keterbatasan anggaran di instansi
itu sendiri. Untuk mengatasi hal itu maka Lapastik bekerjasama dengan
pihak ketiga, atau swasta seperti PT Satyaloka Tirta Amertha dan YAKEBA.

Untuk pembinaan kemandirian, pada Tahun 2017 warga binaan


telah mendapatkan latihan beternak lele dan itik, serta pendalaman di
pertanian. Pada tahun 2018, ada sebagian warga binaan telah selesai
mengikuti keterampilan ingke/ rotan dan bambu di BLK selama tiga bulan
(Juni–September). Warga binaan yang membuat keterampilan ingke,
dilihat perkembangannya dalam satu bulan oleh pembina. Selanjutnya,

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


318 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
akan ditindaklanjuti dengan menjual hasilnya kepada pengumpul, dan
keuntungannya akan dikembalikan lagi ke lapastik bukan dalam bentuk
uang, melainkan dalam bentuk bahan baku rotan/bambu. Pengembalian
keuntungan dalam bentuk rotan dipilih karena bahan baku rotan sulit
diperoleh karena harus di pesan dari Cirebon.

Warga binaan juga dilatih untuk membuat kerajinan dari limbah


koran yang dilinting hingga ukuran tertentu dan dirakit hingga membentuk
asbak, tempat tissu, tempat untuk membawa sesajen dalam adat Bali,
kapal phinisi, bokor dengan berbagai model dan warna. Kerajinan dari
pemanfaatan limbah koran ini merupakan produk andalan Lapastik
Bangli. Selain pernah mewakili BNNP Bali, kerajinan ini juga pernah dikirim
ke Jakarta untuk mengikuti pameran di Thailand.

Bagi warga binaan lain yang memiliki potensi dan minat pada dunia
fotografer, Lapastik menyalurkan bakat mereka dengan menghubungi
Jakarta Post agar memberikan bimbingan pelatihan menjadi fotografer.
Selain itu, lapastik juga memberikan kesempatan kepada warga binaan
yang tertarik dengan bahasa Inggris untuk mengikuti bimbingan pelajaran
bahasa Inggris setiap hari Selasa atau Rabu dengan pengajar asing
atau pun praktik bahasa langsung dengan orang-orang asing dan anak-
anak kecil dari luar lapas yang difasilitasi oleh Yayasan Bangsa Bangsa
Sejahtera.

Kegiatan pembinaan tidak hanya diisi oleh beberapa kegiatan


keterampilan, tetapi juga dengan kegiatan olah raga futsal, yang
dibentuk dan diprakarsai oleh PT Danone (pemilik saham Aqua). Menurut
keterangan petugas lapas, potensi tim futsal yang dibentuk itu sangat
luar biasa dan pihak Danone pun selalu memantau dan membina mereka.

Para warga binaan yang ingin mengembangkan bakatnya di bidang


musik dapat bergabung dengan kelompok band. Di dalam kelompok
band, mereka dapat memainkan alat musik bersama, bernyanyi, ataupun
mengarang beberapa lagu. Warga binaan yang menjadi anggota band
relatif tergolong muda usianya. Peralatan band yang ada di lapastik
merupakan donasi dari Yayasan. Dalam kenyataannya kelompok band
inipun sering dilibatkan dalam mengisi acara-acara perayaan di dalam
Lapas.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 319
Gambar 10.2. Proses Pembuatan Barang dari Limbah Koran di Lapastik Bangli

Sumber: Dokumentasi Penelitian Gaya Hidup Masyarakat di Perkotaan, BNN 2018.

Gambar 10.3. Ruang Seni di Lapastik Bangle dan Warga Binaan Peminat Seni
Vokal yang tergabung dalam Kelompok Band

Sumber: Dokumentasi Penelitian Gaya Hidup Masyarakat di Perkotaan, BNN 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


320 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Selama ini warga binaan tidak diperkenankan untuk melakukan
asimilasi ke luar, karena ada regulasi yang menyebutkan bahwa warga
binaan terkait kasus narkotika tidak diperbolehkan untuk kerja bakti di luar
lapas. Kebijakan pembinaan yang diambil oleh kepala Lapastik Bangli saat
ini yaitu pembinaan tertentu harus dapat berjalan secara berkelanjutan.
Maksudnya, pembinaan harus dapat menghasilkan suatu produksi,
walaupun bukan lapas industri. Biasanya, warga binaan lama memiliki
keterampilan hingga dapat berproduksi, selama ini jumlahnya 20 orang
yang telah dididik di BLK. Pada prinsipnya, pembinaan yang diberikan
kepada warga binaan adalah untuk memberikan bekal kepada mereka
setelah bebas dari masa tahanan, paling tidak mereka dapatmandiri
dengan keterampilan minimal yang diperolehnya selama menjalani
hukuman pidana di lapstik. Pembinaan yang diberikan bukan untuk
pengisi waktu semata, namun untuk memberikan bekal yang berguna
di masa depannya. Warga binaan yang dipercaya oleh petugas pembina
dapat membantunyadalam memberikan alih keterampilan kepada warga
binaan lain, dan terjadi pengkaderisasian dari warga binaan yang akan
bebas kepada warga binaan yang sedang menjalani hukuman pidana.

Lapastik memiliki peraturan bahwa setiap warga binaan tidak


diperbolehkan untuk memegang uang cash dan di dalam lapas juga
dilarang ada peredaran uang. Selama ini, lapastik telah bekerjasama
dengan BRI untuk memfasilitasi warga binaan dengan kartu BRIZZI 4. Kartu
seperti ATM yang berfungsi sebagai kartu transaksi, dapat diisi dengan
jumlah nominal maksimal Rp 1 juta. Setiap warga binaan diwajibkan
memiliki kartu tersebut setelah masuk di Lapastik Bangli, dengan nomor
yang teregristrasi seperti tabungan di bank. Setiap warga binaan dapat
membeli segala kebutuhannya, mulai dari keperluan mandi, rokok, koran
bekas untuk bahan keterampilan, lem, hingga makanan ringan, beberapa
jenis minuman untuk kesehatan, soft drink, maupun lauk-pauk di koperasi
dengan menggunakan kartu BRIZZI. Model pembayarannya seperti di
supermarket. Kartu yang dimiliki oleh warga binaan disimpan oleh salah
seorang warga binaan/tamping yang dipercaya oleh lapastik untuk
mendebet setiap transaksi di koperasi yang dilakukan oleh warga binaan.

4
Kartu BRIZZI adalah salah satu produk Bank BRI yang dapat dimiliki oleh siapa pun tanpa harus memiliki rekening BRI,
yang berfungsi sebagai kartu transaksi/alat bayar yang dapat diisi ulang/top up dari BRI maupun Bank lain, melaui sms
mobile banking, maupun melalui ATM. Jadi kartu BRIZZI merupakan kartu untuk transaksi dengan tidak menggunakan
uang tunai.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 321
Jika ada keluarga yang ingin memberikan uang kepada mereka (anak
atau kerabatnya) yang sedang menjalani pidana di lapastik, maka uang
dapat ditransfer ke kartu BRIZZI yang sudah teregistrasi dengan nomor
milik warga binaan tertentu. Begitu pula jika warga binaan memperoleh
premi dari hasil penjualan karya keterampilannya, seperti kerajinan
ingke,5 dan premi dari hasil menjual pembibitan tanaman jati, maka akan
ditransfer ke kartu BRIZZI mereka. Pihak yang dapat mengetahui saldo
atau sisa uang dari setiap kartu BRIZZI milik warga binaan adalah yang
bersangkutan dan keluarga dekatnya yang biasanya melakukan isi ulang.

Gambar 10.4. Kantin dan Penggunaan Kartu BRIZZI Di Lapastik Bangli

Kantin di Lapastik Bangli Tamping yang bertugas di kantin Seorang warga binaan belanja

Kartu transaksi warga binaan yang Proses Transaksi dengan kartu Bukti pembayaran transaksi yang
disimpan petugas Lapastik BRIZZI dilakukan oleh warga binaan

Sumber: Dokumentasi Penelitian Gaya Hidup Masyarakat di Perkotaan, BNN 2018.

Di dalam lapastik warga binaan juga dapat melakukan transaksi


barang dan jasa, di antara mereka. Sebagai contoh, seorang warga binaan
dapat menjual jasa kepada warga binaan lain, yaitu dengan melinting
limbah koran dengan ukuran-ukuran tertentu hingga membentuk suatu
barang. Implikasinya, pembeli jasa tersebut memiliki hutang kepada
warga binaan yang membuat lintingan limbah koran tersebut. Namun
demikian pembayaran hutangnya tidak dapat dilakukan secara cash,
melainkan harus didebet dari kartu BRIZZI dan di alihkan ke kartu BRIZZI
pelinting limbah koran yang bersangkutan, sebesar jumlah transaksi

5
Kerajinan ingke terbuat dari limbah koran yang dilinting dan dibentuk seperti tempat untuk sesajen adat Bali, asbak,
tempat tissu, kapal phinisi, dll

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


322 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
yang dilakukan. Pendebetan ini dilakukan di koperasi oleh petugas yang
berwenang melakukannya (tamping).

Terkait rehabilitasi, pada tahun 2016 BNN memberikan kuota 60 orang


warga binaan lapastik untuk dapat mengikuti rehab. Menurut informasi
petugas lapastik, hingga tahun 2018, sebagian besar warga binaan belum
mengikuti program rehabilitasi. Sementara bagi semua warga binaan yang
telah mengikuti rehabilitasi sekarang sudah bebas. Meskipun demikian,
semenjak adanya Surat Edaran dari Dirjen Pemasyarakatan, pemberian
rehab di lapastik dihentikan, sehingga secara otomatis hampir dua tahun
ini warga binaan yang terkena kasus narkoba tidak lagi mendapatkan
rehab. Dihentikannya rehab bagi warga binaan terkait kasus narkoba, baik
pengguna maupun pengedar, karena keluarnya kebijakan yang diambil oleh
mantan Kepala BNN Komisaris Jendral Polisi Drs. Budi Waseso, dengan
alasan rehab hanya membuang uang Negara dan hasilnya tidak kelihatan,
sementara ada indikasi keterlibatan petugas lapas maupun aparat lainnya.

Anggaran yang dimiliki oleh Lapastik Bangli relatif kecil, yaitu hanya
Rp 2,6 juta untuk sekian ratus rehab sosial selama 1 tahun. Oleh karena itu,
lapastik melaui pembinanya memiliki program sendiri untuk mengatasinya.
Untuk rehabilitasi, medik sosial sebenarnya harus membawa warga binaan
keluar agar mengenal masyarakat lingkungannya. Pihak lapastik sudah
mengumpulkan dana, dan selama dua hingga tiga bulan mempersiapkan
tim Pembina yang akan dilibatkan dari berbagai sisi kebutuhan. Awalnya
ingin dijalankan secara maksimal, namun terkendala dengan anggaran
lagi. Pembinaan tidak dapat dilakukan tanpa anggaran. Jadi memang
perlu adanya gagasan dalam berbagai upaya disertai terobosan untuk
mencari berbagai pihak yang memberi perhatian serius pada masalah
narkoba (pengguna/ pengedar).

Dalam rangka melaksanakan pembinaan, Lapastik Bangli melalui


aparat yang berwenang berupaya menjalin simpul-simpul yang ada di luar
lapas agar terlibat dalam pembinaan, karena Lapastik selaku lembaga
pemasyarakatan tidak memiliki dana yang cukup. Sebagai Pembina
di Lapastik, paling tidak berkomitmen untuk memiliki tanggung jawab
moral yang dimulai dari diri sendiri, berintegritas serta memiliki loyalitas
terhadap korpsnya di bawah Kemenkumham dan memenuhi jam kerja di
kantor selama delapan jam. Mereka memiliki tekad untuk memberantas

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 323
narkoba di dalam lapas yang menjadi tanggung jawab mereka, karena
menurut anggapan mereka lapas merupakan tempat paling aman untuk
mengedarkan narkoba.

Lapastik juga membuat PKBM, yaitu prakarsa pembelajaran


masyarakat yang didirikan dari, oleh dan untuk masyarakat, yang
rencananya akan memberikan pembelajaran pemberantasan buta aksara,
mulai dari paket A, paket B, dan paket C. Tujuannya yaitu memberikan
pembelajaran secara fungsional kepada masyarakat, khususnya
warga binaan sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari
secara langsung, selain dapat meningkatkan keterampilan membaca,
menulis, berhitung, berbicara, berpikir, mendengar dan berbuat maupun
meningkatkan pengetahuan, sikap pembaharuan agar dapat berpartisipasi
dalam perubahan sosial, ekonomi, budaya di masyarakat, hingga secara
tidak langsung dapat meningkatkan taraf hidupnya. Namun sampai saat
ini, tujuan itu belum terealisasi karena terkendala anggaran.

4.2. Pembinaan melalui Rehabilitasi

Salah satu panti rehabilitasi di Kota Denpasar yaitu Panti Rehab


Yayasan Kasih Kita (YAKITA), yang berdiri sejak tahun 2001. Yayasan
itu pada awalnya masih bergabung dalam satu manajemen dengan
panti rehab milik David Gordon di Ciawi, Jawa Barat, namun kemudian
memisahkan diri pada tahun 2011. Yayasan ini telah melayani permintaan
rehab, baik limpahan dari BNN maupun individu yang dengan kesadaran
sendiri ingin melakukan rehab. Dalam menerima klien, Yakita selalu
melakukan assessment terlebih dahulu sebelum melaksanakan
treatment, walaupun klien tersebut telah dikaji oleh BNNP. Yayasan ini
tidak menerima klien yang ditangani secara medis, melainkan klien yang
ditangani secara psikologis dan sosial. Oleh sebab itu, jika penanganan
klien terkait adiksi maka akan dianjurkan ke RSJ Bangli.

Jika ada calon klien yang ingin direhab, tetapi setelah dikaji masih
tersangkut dengan masalah hukum, maka yayasan menyarankan
kepadanya untuk menyelesaikan masalahnya terlebih dahulu. Setelah
masalah hukumnya selesai, calon klien dapat diijinkan mengikuti rehab di
Yakita. Berdasarkan pengalaman yayasan, pernah terjadi ada seseorang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


324 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
yang datang untuk direhab, tetapi setelah melalui assessment, ternyata
yang bersangkutan terlibat dengan kasus kriminal. Datangnya orang
tersebut ke yayasan sebenarnya bukan karena keinginan untuk direhab,
melainkan hanya sebagai pelarian dari pihak kepolisian agar tidak bisa
ditangkap. Jika ternyata keinginan seseorang untuk direhab berlatar
belakang seperti itu, maka yayasan akan menolaknya.

Begitu pula halnya jika seseorang datang ke yayasan minta direhab,


ternyata yang bersangkutan mengidap suatu penyakit tertentu seperti
TBC atau HIV, maka disarankan untuk mengobati penyakitnya terlebih
dahulu di RS hingga sembuh. Hal itu dimaksudkan agar penyakitnya tidak
menular kepada klien-klien yang sedang menjalani rehab di yayasan. Usia
mereka yang minta direhab di yayasan umumnya berkisar 20 tahun ke
atas, kendati ada pula yang masih berumur 14 tahun.

Treatment di Yayasan Yakita dilakukan secara face to face, individual


maupun secara berkelompok. Antara klien satu dengan yang lain belum
tentu mendapatkan treatment yang sama, tergantung penyebab yang
menjadi masalah utamanya. Dalam memberikan treatment, yayasan
mengawalinya dengan konseling (dipandu oleh konselor) yang sedikit
demi sedikit akan menguak masalah utama yang sebenarnya menjadi
pencetus klien menggunakan narkoba.

Dalam rangka memberikan treatment kepada klien, yayasan juga


memberikan konseling kepada keluarganya. Yayasan berprinsip tidak
hanya klien yang dibenahi namun keluarganya juga harus diberikan
pemahaman dan arahan agar nanti dapat berpengaruh baik pada
pemulihan klien. Hal itu karena lingkungan keluarga yang kondusif akan
mempercepat pemulihan klien pecandu narkoba. Oleh karena itu, keluarga
juga dilibatkan untuk mencari solusi pemulihan klien. Kunjungan ke rumah
keluarga klien juga dilakukan yayasan untuk mengetahui, mengecek, dan
mengevaluasi apakah mereka benar telah menjalankan program seperti
yang disarankan yayasan. Pengurus yayasan menganggap bahwa
percuma merehab klien pecandu narkoba tanpa bersinergi dengan
keluarganya, karena pemulihan yang sesungguhnya adalah ketika
klien berada di luar panti, berbaur dengan keluarga dan masyarakat di
lingkungannya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 325
Misi YAKITA yaitu agar seseorang pecandu narkoba dibangun
kembali fondasi dirinya, dan diubah cara berpikirnya (mindset). Seorang
klien biasanya akan menjalankan program rawat inap di yayasan selama
tiga bulan dan dilanjutkan dengan program rawat jalan. Pada saat rawat
jalan yayasan juga melakukan pengecekan secara langsung di lapangan
(di mana klien beraktifitas/berada/bekerja) untuk melihat perkembangan
kliennya, apakah kembali menggunakan narkoba atau justru sudah
sepenuhnya bersih dari narkoba. Yayasan ini mulai melaksanakan rawat
jalan bagi para kliennya sejak awal tahun 2017, sebelumnya hanya sebatas
menerima klien untuk rawat inap saja. Selain itu, tes urin juga dilakukan
bagi mereka yang sedang rawat jalan, yang pelaksanaannya dilakukan
oleh Kementerian Sosial. Hal itu dimaksudkan untuk memantau apakah
mereka kembali lagi menggunakan narkoba. Ini menunjukkan tingkat
keberhasilan seseorang apakah sudah pulih atau belum dari narkoba.

Berdasarkan evaluasi konselor dengan tim di lapangan maka dapat


dinyatakan bahwa seseorang yang sebelumnya pengguna narkoba
sudah terbebas dari narkoba. Yayasan menyatakan bahwa seseorang itu
tidak dapat dikatakan pulih seratus persen karena sewaktu-waktu dapat
tergoda untuk memakainya, bahkan lebih parah jika kembali bertemu
dengan pengguna serta lingkungan yang tidak kondusif terhadap
penghentian narkoba. Oleh karena itu, yayasan mengandaikan bahwa
kalau dibuat perbandingan di antara sepuluh orang yang telah bebas dari
narkoba, maka hanya seorang saja yang dinyatakan benar-benar sudah
pulih.

Perubahan mindset klien yang akan disasar oleh yayasan, dilalui


melalui dua belas langkah, yaitu: pertama, klien harus mengakui bahwa
dirinya tidak berdaya terhadap adiksi sehingga hidupnya menjadi tidak
terkendali. Seseorang harus mengakui bahwa dirinya tidak berdaya,
dalam arti harus menyerah. Hal ini dimaksudkan bahwa jika seseorang
pecandu narkoba berniat untuk direhab ke panti tetapi hatinya belum siap
atau rela, maka pastinya dia akan kembali lagi memakai narkoba.

Kedua, klien diyakinkan bahwa kekuatan yang lebih besar dari


manusia yang mampu mengembalikan pada kewarasan. Ketiga,
membuat keputusan untuk mengalihkan perhatian pada kasih Tuhan
sebagimana manusia memahami Tuhan. Maksudnya adalah klien diminta

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


326 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
mengembalikan diri kepada Tuhan, menyerahkan diri kepada kasih Tuhan.
Dengan menjalankan pemulihan dirinya, mereka akan dituntun ke jalan
Tuhan, arahnya ke agama yang dianutnya. Jika klien sudah dalam tahap
pemulihan dan mendapatkan dorongan untuk secepatnya pulih, otomatis
dia akan memiliki pola pikir bahwa dia harus melakukan sembahyang
untuk mendorongnya pulih, kendati sebelumnya pikirannya masih
kosong.

Keempat, inventaris moral diri sendiri secara penuh dan tanpa rasa
gentar. Dicari akar permasalahan (sebabnya) mengapa seseorang bisa
sampai terjerat atau menggunakan narkoba. Apakah karena faktor uang,
lingkungan/pergaulan, atau bahkan faktor orangtua. Kemudian ditentukan
faktor paling dominan yang menyebabkan seseorang terjerumus ke
narkoba. Pada langkah ini dimulai sesi pengungkapan, dibahas satu
persatu permasalahannya dengan tanpa rasa gentar ataupun takut.
Para klien yang menjalani rehab duduk dalam satu lingkaran dan
saling mengungkapkan hal ihwal pertama kali terlibat narkoba, saling
berbagi pengalaman tanpa perlu menyembunyikan hal-hal yang semula
dirahasiakan. Mereka diyakinkan bahwa seseorang terjerumus memakai
narkoba bukan karena status.

Dalam rangka pelaksanaan rehab pada sesi ini, biasanya yayasan


akan mencari sponsor, layaknya konsultan, dalam arti mencari mantan
pecandu narkoba yang sudah bebas atau berhenti dari narkoba sekian
lama, yang dianggap dapat memberikan motivasi dan dorongan serta
tuntunan bagi mereka yang menjalani rehab. Para sponsor, baik pria
maupun wanita, umumnya adalah pegawai kantor atau sudah memiliki
usaha sendiri. Mereka secara sukarela bersedia bergabung dalam
pertemuan cycle di sesi ini. Yayasan sangat bergantung pada kesediaan
para sponsor untuk berbagi dengan klien lain yang sedang dalam masa
rawat jalan. Setiap konselor menangani lima klien rehab. Pertemuan ini
secara rutin dilakukan seminggu dua kali, biasanya pada hari Selasa dan
Jumat. Klien datang sendiri dengan kesadaran dan kesungguhannya.
Keluarga hanya mengecek ke yayasan untuk memastikan anggota
keluarganya yang sedang rawat jalan itu datang untuk direhab pada
hari-hari yang sudah ditentukan. Setiap klien diwajibkan datang dalam
pertemuan selama 90 kali dalam setahun. Pada sesi ini, yayasan
menyatakan bahwa klien yang saling berbagi pengalaman itu umumnya

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 327
menyampaikan jika mereka baru “terbuka matanya” atau kaget ketika
mengetahui hutangnya banyak, ada yang sampai ratusan juta dan
bahkan sampai setengah milyar. Penggunaan uang sebanyak itu karena
dikombinasikan dengan judi, perempuan dan alkohol.

Kelima, mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri, serta kepada
manusia lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan-kesalahannya.
Pada langkah ini, peserta tetap duduk dalam bentuk lingkaran (cycle)
dengan saling berbagi pengalaman terkait cara-cara atau upaya mereka
untuk memperoleh narkoba. Di sini akan terungkap semuanya, perihal
bagaimana seorang pecandu dapat menghalalkan segala cara, misalnya
dengan membohongi, menipu, mencuri, korupsi, atau bahkan melakukan
tindakan kriminal lain untuk mendapatkan narkoba. Mereka yang merasa
sudah melakukan kesalahan sangat berat (parah) ternyata setelah
mendengar pengakuan dari klien lain, justru menjadi ringan karena ada
kesalahan klien lain jauh lebih berat darinya, seperti menggadai rumah
dan menjual asset keluarga. Melalui tahap ini, setiap peserta dapat saling
mirroring dan menguatkan satu sama lain.

Perlu diketahui bahwa banyak dari klien yang pada awalnya coba-
coba saja memakai narkoba, lalu kecanduan, hingga menghabiskan
harta pribadi, kemudian merambah ke harta milik orang-orang terdekat/
keluarga/teman/lingkungan dan ujung-ujungnya mengarah ke tindakan
kriminal. Oleh karena sudah tidak ada cara lagi, akhirnya mereka juga
merangkap menjadi kurir narkoba untuk mendapatkan upah atau narkoba
itu sendiri untuk dikonsumsi.

Keenam, menjadi siap secara penuh agar Tuhan menyingkirkan


semua kecacatan karakternya. Ketujuh, dengan rendah hati meminta
kepada Tuhan untuk menyingkirkan kelemahan-kelemahannya. Dalam
hal ini, para pecandu harus bertekad untuk membuang jauh-jauh segala
kelemahan yang selama ini menjadi penyebab menggunakan narkoba.
Kedelapan, membuat daftar satu per satu orang yang telah disakiti, baik
di lingkungan keluarganya (anak, isteri, ipar dll) maupun teman dekatnya,
dan menyiapkan diri untuk menebusnya kepada mereka semua.

Kesembilan, menebus kesalahan secara langsung kepada orang-


orang tersebut jika memungkinkan, kecuali jika itu dilakukannya justru

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


328 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
akan melukai mereka atau orang lain. Pada sesi ini, setiap klien diberikan
waktu untuk meminta maaf kepada orang-orang yag pernah disakiti, baik
keluarga dekat (orang tua, saudara kandung, kerabat), teman maupun
orang lain selama mereka masih hidup. Bagi yang tidak memungkinkan
untuk dimintakan maaf, karena orang yang dia sakiti tersebut sudah
meninggal, maka harus mendoakannya. Menurut yayasan, pada saat
dia berdoa, di situ Tuhan bekerja menangani yang bersangkutan. Jadi,
pendekatan kerohanian ada dalam sesi ini.

Kesepuluh, secara terus-menerus melakukan inventarisasi


pribadi, dan jika bersalah, segera mengakui kesalahannya. Kesebelas,
melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk memperbaiki
kontak sadar dengan Tuhan sebagaimana manusia memahami Tuhan,
berdoa hanya untuk mengetahui niatan Tuhan atas dirinya dan kekuatan
untuk melaksanakannya. Di sini, klien mencari ketenangan jiwa untuk
mendapatkan pencerahan agar terlepas dari penggunaan narkoba.

Kedua belas, setelah memperoleh pencerahan spiritual sebagai


akibat dari langkah-langkah tersebut, kemudian mencoba membawa
pesan ini kepada addict lain, dan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini di
dalam semua urusan kesehatannya. Maksudnya jika sudah mendapatkan
pencerahan, maka setiap klien yang sudah pulih dianjurkan untuk memberi
pelayanan dalam arti berbagai dengan sesama pecandu untuk menuntun
mereka ke arah pemulihan.

Terkait dengan masa pemulihan, setiap orang tidak sama. Ada yang
pulih satu setengah tahun, tujuh tahun dan sudah tidak menggunakan
narkoba lagi. Selain itu, ada klien yang sudah pulih selama 20 tahun
namun kembali memakai narkoba, karena dirinya masih tergoda dan
kurang mendekatkan diri kepada Tuhan.

Yayasan menyatakan bahwa di penghujungnya, semua pecandu


akan kembali juga pada Tuhan, dan mereka sadar bahwa mereka harus
pulih terlebih dahulu, kemudian membangun relasi dan menumbuhkan
kepercayaan kembali kepada orang-orang di sekitarnya maupun orang-
orang yang dahulu pernah disakiti. Setelah itu, klien baru bisa bekerja atau
mencari pekerjaan.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 329
Sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL), YAKITA memperoleh
dana untuk melaksanakan rehab dari Kementerian Sosial. Dalam setahun,
yayasan mendapatkan jatah untuk merehab 30 orang pecandu, dibagi
dalam dua tahap setiap enam bulan 15 orang yang harus dibina. Tahun
2017 Yayasan ini bekerjasama dengan BNN, namun sebagai yayasan
hanya boleh mendapatkan dana untuk rehab dari pemerintah dari
satu sumber saja sehingga tidak diperkenankan double claim. Melalui
Kementerian Sosial, yayasan harus mengajukan proposal, dan dana
akan turun berdasarkan nama yang diajukan (by name by address).
Jika kenyataan klien yang datang melebihi dari yang diajukan, maka
yayasan akan tekor karena harus menanggung biaya tambahan. Adapun
jika yang direhab jumlahnya kurang dari yang diajukan, maka dana yang
tidak terpakai harus dikembalikan. Berbeda dengan BNN, institusi itu
memberlakukan sistem reimburse. Dalam setahun pengajuan proposal
dilakukan dua kali. Untuk rawat inap mendapatkan dana 1 klien/bulan
sebesar Rp. 1.440.000,- sudah termasuk biaya makan Rp. 25.000,- per hari.
Menurut pihak yayasan, dana ini relative kecil jika dibandingkan dengan
yang pernah diperoleh dari BNN waktu dulu, Rp. 3.000.000,- untuk 1 klien/
bulan. Bahkan ketika dengan BNN, yayasan ini memiliki tiga konselor
dengan tugas utama untuk mengevaluasi dan memonitor perkembangan
pecandu yang direhab yayasan, selain melakukan kunjungan ke rumah
keluarga pecandu (bertugas di lapangan). Pembina mendapatkan honor
dari Kementerian Sosial. Saat ini, yayasan bekerjasama dengan BNN untuk
pengembangan kapasitas lembaga dan SDM, antara lain penambahan
skill konselor.

4.3. Upaya Lain yang Perlu Dilakukan menurut Pengguna

Banyak pengguna yang menyatakan bahwa Pasal 112, Pasal 114,


dan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika 6, yang memuat sanksi pidana
bagi pelaku penyalahgunaan narkotika perlu dinilai kembali. Pasal-pasal
itu dinilai menyebabkan seseorang kehilangan hak untuk rehabilitasi,

6
Terdapat kerancuan pada pasal 112 dan 127 yang tercantum dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika bagi para
penegak hukum dalam menetapkan hukuman. Karena, pada kedua pasal tersebut, orang yang membawa dan memakai
narkotika ada di kedua pasal tersebut. Akibatnya seseorang bisa dikenakan di kedua pasal tersebut. Padahal, sanksi pada
kedua pasal itu berbeda, pasal 112 minimal 4 tahun penjara (berat), sedangkan pasal 127 maksimal 4 tahun (ringan). Jadi
perlu ada perbedaan yang spesifik terhadap kedua pasal tersebut, paling tidak harus diperjelas dalam penjelasan lampiran
sekalipun tidak ada penjelasan dalam pasal. Sehingga hakim mendapatkan kepastian, tidak ada keragu-raguan dalam
memutus perkara.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


330 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
padahal sebagai pengguna seharusnya mereka diposisikan sebagai
korban. Kenyataan di lapangan pelaku penyalahgunaan narkoba lebih
banyak dipenjara ketimbang direhabilitasi. Mereka mengharapkan
ada pemilahan yang jelas antara pengguna dan pengedar. Dengan
demikian, treatment yang akan diberikan pun menjadi berbeda; pengedar
mendapatkan hukuman, sedangkan pengguna mendapatkan haknya
untuk direhabilitasi.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Bali yang semula sebagai daerah transit untuk peredaran narkoba


dalam mata rantai dunia, telah berubah menjadi daerah tujuan. Meskipun
demikian berdasarkan data pengungkapan kasus penyalahgunaan
narkoba, dalam tiga tahun terakhir ini memperlihatkan trend penurunan
dalam kasus yang terungkap.

Umumnya orang menjadi pengguna narkoba karena ada berbagai


pengaruh dari lingkungan sekitarnya, terutama lingkungan pergaulan,
lingkungan dunia maya, dan gaya hidup serta lingkungan kerja. Mereka
kemudian menjadi pecandu narkoba karena merasa bahwa narkoba
memberikan dampak positif lebih energik, selalu bersemangat untuk
melakukan kegiatan dan merasa nyaman.

Hal yang menyedihkan, peredaran narkoba di lapas relatif besar.


Bahkan lingkungan lapas memiliki pengaruh kuat terhadap peredaran
dan kecanduan seseorang ketika masuk penjara. Seseorang bisa berubah
dari pemakai pasif kemudian setelah masuk di Lapas malah menjadi
pengguna aktif atau bahkan menjadi pengedar.

Pemulihan seorang pecandu narkoba sangat tergantung dari


kesadaran pencandu itu sendiri, dan untuk berhasil pun dibutuhkan tekad
dan upaya yang ekstra kuat, mengingat banyaknya tantangan yang harus
dihadapi berupa godaan untuk menggunakan narkoba kembali.

Lokasi transaksi dan peredarran narkoba terjadi di tiga lokasi


utama yaitu rumah/tempat kos, jalan umum, dan restoran/warung.
Pilihan lokasi untuk transaksi dan atau distribusi mengalami pergeseran,
dari yang semula didominasi oleh rumah/tempat kos dan restoran/

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 331
warung bergeser menjadi jalan umum. Adapun modus yang digunakan
ketika mendistribusikan narkoba, utamanya dilakukan dengan cara
memasukkan narkoba dalam kotak korek api, bungkus rokok, digenggam,
disimpan di saku celana/baju, dan disimpan di tempat tidur/dirumah.
Selain diberikan langsung, pendistribusian narkoba juga banyak yang
menggunakan modus “sistem tempel” di suatu tempat (narkoba
ditempelkan ditembok di tempat yang sudah disepakati). Ada juga yang
serah terima narkoba dengan menggunakan alamat palsu, sementara
informasi persisnya akan dikomunikasikan kemudian melalui hand phone.
Sedemikian bervariasinya modus distribusi narkoba tersebut sehingga
pengungkapan kasus narkoba semakin sulit.

Dalam upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba, P2M-BNNP Bali


telah melakukan sosialisasi, membangun kerjasama kemitraan dengan
berbagai pihak, meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan
masyarakat. Namun demikian kegiatan P4GN ini masih terbatas karena
keterbatasan anggaran sehingga efektifitasnya masih dapat ditingkatkan.

Untuk mencegah kembalinya warga binaan menggunakan narkoba


setelah keluar dari lapas, pihak lapastik melakukan pembinaan rohani
dan berbagai keterampilan. Selain itu panti rehab berupaya melakukan
rehabilitasi pecandu narkoba melalui pendekatan rohani dan perubahan
mindset. Meskipun demikian tingkat keberhasilannya sangat rendah.
Oleh karena itu dalam upaya pananggulangan penyalahgunaan narkoba
harus dititik beratkan pada upaya pencegahan daripada pemberantasan
dan rehabilitasi.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


332 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
XI

Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkoba di Kota Pontianak
Provinsi Kalimantan Barat

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 333
Tari Pedang Mualang
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
334 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Batik Dayak Khas Kalimantan
XI
PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
DI KOTA PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT

Oleh:
Usman; Saifullah M. Rahman

1. Pendahuluan

Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah yang


berbatasan darat langsung dengan Malaysia. Di provinsi ini terdapat
beberapa kawasan perbatasan, di antaranya: Entikong di Kabupaten
Sanggau, Badau di Kapuas Hulu, Jogoibabang di Kabupaten Bengkayang
dan Paloh Sanjingan di Kabupaten Sambas. Oleh karena letak
geografisnya inilah, Provinsi Kalimantan Barat menjadi kawasan yang
rentan praktik penyelundupan narkoba dari Malaysia, khususnya Sarawak
(Gafar, 2012:5). Beberapa kasus yang berhasil diungkap, baik oleh BNN
maupun kepolisian, mengindikasikan bahwa daerah ini menjadi incaran
aksi jaringan narkoba lintas negara. Banyaknya kasus penyelundupan
narkoba yang terungkap mengindikasikan bahwa Provinsi Kalimantan
Barat bukan hanya sekadar daerah transit, melainkan sudah menjadi
daerah pemasaran narkoba yang sangat potensial. Pihak BNN sendiri
pernah mengatakan bahwa Provinsi Kalimantan Barat termasuk dalam
kategori darurat peredaran narkoba. Tidak mengherankan jika kemudian

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 335
Provinsi Kalimantan Barat disebut juga sebagai jalur sutra masuknya
narkoba maupun barang ilegal lainnya ke Indonesia. (Muhammad, 2015:
43).

Salah satu faktor yang menjadikan Provinsi Kalimantan Barat sebagai


jalur sutra peredaran narkoba adalah karena perbatasan darat yang panjang,
pengawasan aparat yang terbatas dan minimnya perangkat pendeteksi
di pos-pos perbatasan, termasuk di PPLB Entikong. Hal ini menyebabkan
“bumi khatulistiwa” ini tidak saja menjadi daerah transit tetapi juga
merupakan daerah pemasaran narkoba yang sangat potensial. Belum
lagi ada oknum aparat yang ikut “bermain”, dan potensi penyimpangan itu
sangat mungkin terjadi jika melihat kondisi di lapangan di mana petugas
terkadang tidak terlalu ketat dalam melakukan pemeriksaan terhadap
barang maupun orang yang keluar masuk di pos lintas batas (Muhammad,
2015: 56). Hal ini terlihat seperti dalam kasus sindikat narkoba Mr. Lau
CS yang mengemas narkoba dalam paket makanan atau minuman yang
dititipkan ke supir bus dengan memanfaatkan kelalaian petugas dan supir
yang tidak sadar dan curiga atas titipan tersebut (Gafar, 2012: 10). Kondisi
seperti inilah yang sering dimanfaatkan oleh sindikat atau jaringan
internasional, termasuk yang melibatkan warganegara Malaysia maupun
Indonesia untuk menyelundupkan narkoba dari Malaysia ke Indonesia
(Muhammad, 2015: 56-57).

Mengingat penyelundupan narkoba merupakan bagian dari


kejahatan lintas negara, maka upaya penanganannya pun harus
melibatkan negara-negara lain yang berkepentingan atas permasalahan
ini, khususnya negara tetangga. Maka dari itu, Polda Provinsi Kalimantan
Barat membangun kerjasama dengan PDRM Kontinjen Sarawak Malaysia
dalam bentuk kegiatan-kegiatan, seperti: patroli bersama yang melibatkan
Polres Perbatasan; tukar menukar data warga negara Malaysia maupun
Indonesia yang terlibat tindak pidana narkoba; membuat MoU antara
Direktur Reserse Narkoba Polda Provinsi Kalimantan Barat dengan
Pejabat Polis Kontinjen Sarawak tentang Pelaksanaan Bantuan
Penyelidikan terhadap kasus Narkoba (Muhamad, 2015: 57). Kerjasama
semacam ini perlu ditingkatkan sebagai bagian dari upaya bersama untuk
memberantas peredaran dan penyalahgunaan narkoba karena kejahatan
tersebut bersifat trans-nasional.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


336 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
2. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba

2.1. Penyalahgunaan dan Pola Peredaran Narkoba

Penyalahgunaan narkoba di Provinsi Kalimantan Barat merupakan


masalah yang sangat kompleks dan diperlukan upaya dan dukungan
dari berbagai pihak agar dapat diminimalisasi.Sementara itu,
penyalahgunaan narkoba di Kota Pontianak sampai saat ini sudah sangat
mengkhawatirkan karena dari tahun ke tahun kasus narkoba mengalami
peningkatan. Sebagaimana disampaikan oleh Kepala BNNP Kalimantan
Barat, Brigadir Jendral Suyatmo bahwa kasus-kasus kejahatan narkoba di
Provinsi Kalimantan Barat mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Hal
ini menjadi keprihatinan bersama dan memerlukan upaya serius untuk
mengurangi kenaikan penyalahgunaan narkoba. Kenaikan kasus-kasus
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dapat dilihat dari jumlah
penangkapan pada tabel 11.1 berikut.

Tabel 11.1 Kasus-kasus Penyalahgunaan Narkoba di Kalimantan Barat


(2014-2018)
No Tahun Jumlah Kasus Barang Bukti
1. 2014 7 46.6597 Gram Shabu
2. 2015 9 1671.7828 Gram Shabu
24.245 butir Happy Five
3. 2016 11 20585.7100 Gram/20 Kg
585,71 Gram Shabu
66 butir ekstasi
4. 2017 18 13.041, 9476 Gram Shabu
39 Batang Ganja
7 butir ekstasi
5. 2018 11 54.846,1 Gram Shabu
4.655 butir ekstasi
Sumber: Data Bidang Berantas BNNP Kalimantan Barat

Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat dengan jelas kasus-kasus


penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba di Provinsi Kalimantan
Barat mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014,
jumlah kasus yang berhasil ditangani ada 7 kasus. Adapun tempat
Kejadian Perkara (TKP) dari 7 kasus tersebut terjadi di beberapa wilayah
Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, yaitu: Singkawang Barat,

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 337
Kota Pontianak (Pontianak Timur dan Pontianak Barat), Bengkayang,
Sambas dan Kubu Raya. Kemudian pada tahun 2015, jumlah kasusnya
meningkat menjadi 11 kasus dengan barang bukti yang juga meningkat,
baik jumlah maupun jenisnya. TKP untuk tahun 2015 juga cukup variatif,
yaitu di sekitar wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia, serta di Kota
Pontianak sendiri. Secara rinci, TKP untuk tahun 2015 terjadi di Desa Balai
Karangan, Kabupaten Sanggau, Singkawang tengah, Entikong Kabupaten
Sanggau, Pontianak Selatan, Pontianak Timur, dan Kabupaten Ketapang.

Tren kenaikan kasus narkoba di Provinsi Kalimantan Barat terus


berlanjut ke tahun 2016. Pada tahun 2016, ada 11 kasus yang berhasil
diselesaikan. Dari hasil olah TKP, wilayah perbatasan masih cukup
mendominasi pada penangkapan kasus-kasus narkoba di Provinsi
Kalimantan Barat. Kenaikan kasus pada tahun 2016 juga disertai dengan
kenaikan jumlah dan jenis barang bukti. Pada tahun 2017, jumlah kasus
yang berhasil diungkap mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Ada 18 kasus yang telah berhasil diselesaikan oleh BNNP Provinsi
Kalimantan Barat. Untuk tahun 2017, kasus-kasus penangkapan banyak
terjadi di wilayah Kota Pontianak. Meskipun demikian, wilayah perbatasan
juga tidak pernah absen dari kasus penangkapan walaupun jumlahnya
menurun dibandingkan di Kota Pontianak itu sendiri.

Pada tahun 2018, baru 11 kasus yang berhasil diselesaikan oleh


BNNP Provinsi Kalimantan Barat. Jumlah kasus pada tahun 2018 tidak
bisa dikatakan menurun karena data yang disajikan masih terbatas
hingga bulan Juli dan masih dalam tahun berjalan. Tetapi, hal yang cukup
mencengangkan adalah meningkatnya jumlah barang bukti meskipun
kasusnya lebih rendah dari tahun 2017. Data kasus penangkapan
sebagaimana ditampilkan pada tabel 11.1 di atas hanya menunjukkan
kasus yang berhasil diungkap, namun tidak serta merta menunjukkan
kasus-kasus yang tidak terungkap. Besar kemungkinan, para pengedar
yang tidak tertangkap jumlahnya bisa jauh lebih banyak daripada yang
berhasil ditangkap.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan kasus


narkoba di wilayah Kalimantan Barat ini. Salah satunya adalah faktor
letak geografis. Di wilayah Kalimantan Barat terdapat 5 Kabupaten
yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. Dari 5 Kabupaten

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


338 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
tersebut sedikitnya terdapat 52 jalur tikus untuk menyelundupkan
narkoba. Sementara di sisi lain, penjagaan di wilayah perbatasan masih
belum maksimal. Penjelasan rinci mengenai jalur-jalur penyelundupan
akan dijelaskan pada sub bab berikutnya. Apa yang ingin disampaikan di
sini adalah bahwa banyaknya kasus penyelundupan narkoba di wilayah
Kalimantan Barat disebabkan wilayah ini dianggap paling potensial untuk
penyebaran dan perdagangan gelap narkoba. Kondisi geografis Provinsi
Kalimantan Barat memang dijadikan pilihan oleh para pengedar jaringan
narkotika internasional untuk menyelundupkan narkoba melalui jalur-jalur
tikus. Selain itu, para pengedar juga memanfaatkan kelengahan para supir
travel dan ekspedisi serta petugas perbatasan dengan menyelundupkan
narkoba lewat paket titipan.1 Faktor lain yang turut mendukung
meningkatnya kasus narkoba di Kalimantan Barat disebabkan terdapat
kantong-kantong atau sarang penyebaran narkoba. Kemunculan
kantong-kantong narkoba di suatu daerah memang dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti ekonomi, politik, keamanan hingga sosial budaya.
Oleh karena itu, pendekatan yang menyeluruh diperlukan untuk melihat
kemunculan kantong-kantong peredaran narkoba ini agar penanganannya
juga menjadi lebih maksimal. Para pemakai biasanya merasa lebih
aman untuk membeli maupun memakai narkoba di kantong narkoba ini
sehingga aparat penegak hukum perlu lebih gencar di dalam melakukan
pemberantasan di daerah-daerah yang disinyalir sebagai kantong-
kantong narkoba.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa masalah tingginya


peredaran narkoba di Kalimantan Barat disebabkan wilayah ini berbatasan
langsung dengan Malaysia. Ada 5 Kabupaten yang berbatasan langsung
dengan Malaysia, yaitu: Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang,
Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu.
Dari 5 Kabupaten itu, sedikitnya ada 52 jalur tikus yang menjadi jalur
rawan masuknya narkoba ke Indonesia, khususnya yang diedarkan di
Kalimantan Barat sendiri. Jalur-jalur tersebut dapat dilihat pada tabel 11.2
berikut ini:

1
Misal, kasus Pak Winarto (Salah seorang WBP Lapas Kelas 2A Pontianak), seorang sopir travel yang divonis 15 tahun penjara
karena kasus sabu-sabu sebesar 500gr. Ia menuturkan bahwa saat itu ia sedang membawa penumpang dan paket-paket dari
Malaysia. Saat masuk di PLB Entikong dan pemeriksaan petugas, penumpang yang membawa sabu-sabu itu sudah kabur dan
tidak ada pos perbatasan. Karena ia tidak bisa menunjukkan siapa penumpang tersebut maka ia divonis sebagai kurir narkoba
dan pemilik barang tersebut (Sumber: FGD di Lapas Kelas 2 A Pontianak, 10 September 2018).

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 339
Tabel 11.2. Jalur Tikus Perdaran Narkoba di Provinsi Kalimantan Barat
Nama Kabupaten Jalur Peredaran
Bengkayang 1. Jagoi Babang-Serikin
2. Jagi Sawit BJI->Serikin
3. Ds Siding-> Padangpan- Pisang-Kabun
4. Jl. Dwikora
5. Jl. Kampung Sejaro
6. Jl. Semunying -> Rasau (Rimbunan Hijau)
7. Jl Tikus Semunying I -> Serikin
8. Jl. Tikus Semunying II -> Serikin
9. Semunying Jaya JB -> Sawit Mlsy
10. Jagoi Sawit BJI -> Sebodok
11. Ds. Gumbang Lama
Sintang 1. Ds. Jasa
2. Ds. Sui Seria -> Batu
3. Dsn. Sei Enteli -> Melikin
4. DSn. Muakan -> Jl. Aseng
5. Ds. Sui Kelik -> Pasar Kuari
6. Ds. Nanga Bayan -> Goa/Ran
7. Ds. Nanga Entoloi ->Selepong
8. Ds. Semareh -> Lachao Mungguk
Kapuas Hulu 1. Badau (PLB)
2. Jl. Seriang -> Wong Panjai
3. Jl. Sebindang -> Jl. Sawit Lubuk Antu
4. Jl. Simpang Tiga -> Ensawang
5. Jl. Simpang Empat -> Batu Kaya
6. Jl. Berangan II -> Batu Kaya
7. Jl. Berangan -> Kebun Sawit.
8. Dsn Nanga Potan -> Penyakai
9. Hulu Sui Embaloh- > Sui Bram
10. Dsn Perumbang -> Panggang.
11. Ds Sebintang -> Batu Kaya
12. Simpang Empat Na. Kantuk -> Majuma
13. Ds Langgau -> Titika
Sanggau 1. Entikong (PLB) -> Serian
2. Suruh Tembawang -> Sabit
3. Pala Pasang -> Sadir
4. Mangkau -> Tepoi
5. Pangah -> Kujang Saung
6. Peripin -> Pang Amu
7. Bantan -> Mapu
8. Lubuh Tengah -> Mongat
9. Segumun -> Mongkos

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


340 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Nama Kabupaten Jalur Peredaran
10. Tapang Peluntan -> Lubuk Nibung
11. Sei Tekam -> Lubuk Nibung
12. Sei Beruang -> Lubuk Nibung
Sambas 1. Dsn Aruk Ds. Sebunga -> Biawak
2. Dsn Aping km 28 & 31 Ds Sebunga -> Biawak
3. Dsn Semberuang km3 Ds Sebunga -> Biawak
4. Sui Bening -> Distrik Sematan
5. Dsn Sajingan Ds Kaliau -> Biawak
6. Dsn Mauludin Ds Temajuk -> Teluk Melano
7. Ds Temajuk -> Sematan
8. Camar Bulan

Sumber: Paparan Plt. BNNP Kalimantan Barat

Adanya jalur tikus yang cukup banyak tersebut menyebabkan


peredaran gelap narkoba di wilayah Provinsi Kalimantan Barat lebih
banyak melalui jalur darat. Besar kemungkinan kasus-kasus penangkapan
seperti fenomena gunung es; para pengedar/kurir/gembong narkoba
yang berhasil ditangkap tidak lebih banyak dari mereka yang berhasil
lolos. Jika dipetakan secara umum berdasarkan kabupaten, maka
kerawanan peredaran narkoba di wilayah Kalimantan Barat dapat terlihat
pada gambar 11.1 berikut.

Gambar 11.1. Peta Kerawanan Narkoba Wilayah Kalimantan Barat

PETA KERAWANAN NARKOBA WILAYAH KALBAR


1080 BT 1100 1110 1120 1130 1140
3 0 05’
LS
SAMBAS MALAYSIA TIMUR

KAPUAS HULU
BENGKAYANG
SINGKAWANG

LANDAK SINTANG
MEMPAWAH
SANGGAU

00 SEKADAU
PONTIANAK
MELAWI 00
KUBU RAYA 00

KAYONG UTARA

KETERANGAN :

JALUR UDARA
KETAPANG
JALUR DARAT
JALUR LAUT/PELABUHAN
WIL SEDANG
WIL RAWAN
WIL KURANG RAWAN

LAUT JAWA

1110 1120 1130 1140

Sumber: paparan Plt. BNNP Kalimantan Barat

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 341
Pada gambar 11.1 dapat dilihat bahwa warna merah sebagai wilayah
paling rawan yang meliputi: Sambas, Singkawang, Bengkayang, Sanggau,
Sintang, Kapuas Hulu, Kota Pontianak, dan Ketapang. Adapun wilayah
yang berwarna kuning adalah wilayah yang tingkat peredarannya tidak
terlalu tinggi atau wilayah sedang yang meliputi: Mempawah, Landak
dan Kubu Raya. Sementara itu, wilayah yang kurang rawan atau wilayah
aman ditunjukkan dalam gambar berwarna hijau, yaitu: Sekadau, Melawi,
dan Kayong Utara. Meskipun daerah yang berwarna hijau dikategorikan
sebagai wilayah yang cukup aman, bukan berarti tidak ada peredaran
sama sekali atau tidak ada penyalahgunaan narkotika.

Modus peredaran yang terjadi banyak melalui penyelundupan, para


pemakai membeli langsung ke rekanan yang sudah mereka kenal. Adapun
jenis narkoba yang banyak beredar dan dipakai di Provinsi Kalimantan
Barat adalah jenis shabu-shabu. Dari beberapa kasus yang telah diungkap,
ada dua tipe peredaran, yaitu: (1) Transit (kurir dari luar negeri masuk
melalui perbatasan dan menjadikan Provinsi Kalimantan Barat sebagai
tempat transit sebelum barang dibawa ke daerah lain, seperti ke Jakarta).
(2) Pasar Lokal (narkoba yang masuk didistribusikan untuk pangsa pasar
pengguna di wilayah Provinsi Kalimantan Barat sendiri).

Di Kota Pontianak sendiri terdapat daerah yang menjadi pasar


lokal peredaran narkoba dimana setiap orang dengan mudah untuk
mendapatkan barang. Keberadaan daerah tersebut menjadi fenomena
tersendiri di Provinsi Kalimantan Barat karena wilayah tersebut juga
memiliki basis keagamaan yang kuat dan sejarah keberadaan kerajaan,
namun masih menjadi daerah rawan peredaran narkoba. Sarang
penyalahgunaan narkoba yang sangat terkenal tersebut adalah Kampung
Beting. Beting menjadi topik pembahasan yang sangat penting dan
sentral dalam konteks penyalahgunaan narkoba di Kalimantan Barat,
khususnya di Kota Pontianak, meskipun Beting bukanlah satu-satunya
tempat rawan peredaran narkoba. Untuk itu, perlu sedikit dipaparkan
mengenai keberadaan kampung yang sangat fenomenal ini.

Secara administratif, Kampung Beting berada di wilayah Kelurahan


Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak. Kampung
Beting ini dulunya merupakan daerah yang sangat penting karena di daerah
inilah cikal bakal berdirinya kesultanan dan sekaligus Kota Pontianak. Oleh

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


342 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
karena itu, hingga saat ini di daerah tersebut masih berdiri kokoh Keraton
Kesultanan Kadariah dan Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman Pontianak.
Sebagai wilayah yang banyak menyimpan fakta sejarah Kota Pontianak
dan keberadaan Kesultanan Islam di Kota Pontianak, seharusnya tidak
menjadi daerah rawan narkoba. Namun demikian, keunikan dari Kampung
Beting ini hendaknya dapat dimanfaatkan untuk menjadikan kampung ini
bersih dari peredaran gelap narkoba sehingga tidak lagi menjadi wilayah
bercampurnya kebaikan dan kejahatan.

Meskipun demikian stereotype negatif tentang kampung ini tetap


melekat di hampir sebagian besar warga Kota Pontianak. Ada yang
menyebut kampung ini sebagai Texas-nya kota Pontianak, ada juga
yang menyamakannya seperti kawasan Bronx di Kota New York. Bukan
hanya warga Pontianak saja yang mengenalnya, Kampung Beting bahkan
terkenal hingga ke Mabes Polri. Setiap Kapolda baru yang menjabat
selalu mendapatkan pesan dari pendahulunya untuk menangani tindak
kriminalitas di wilayah ini dengan cermat. Tetapi kenyataannya, sampai
sekarang masih belum ada perubahan yang optimal di Kampung Beting
ini terkait peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di sini. Salah
seorang WBP Lapas 2A Pontianak, menuturkan:

“Jadi, di situ (Kampung Beting) bebas Pak. Jadi, kita datang siang
sampai malam rame pak, tamu datang terus. Di beberapa rumah tuh
pasti ada yang jual, kayak pulau gitu Pak. Lebih aman disana Pak
karena setiap warga saling menjaga, kompak. Jadi walaupun ada
anggota mau operasi tuh semua tau susah ditembus, jadi aman di
sana.” 2

Satu hal yang menjadikan Kampung Beting begitu terkenal


“menyeramkan”adalah tindak kriminalitas di kawasan ini sangat tinggi,
terutama yang berkaitan dengan narkoba, penularan HIV/AIDS, perjudian
dan pencurian. Transaksi penjualan narkotika dan penampungan barang-
barang hasil curian merupakan aktivitas yang lazim di kawasan ini.
Menariknya, selain menjadi pusat kriminalitas, aktivitas spiritual dan
religius berkembang dengan cukup baik di kawasan ini. Kebersamaan
dan rasa sosial yang begitu kuat dan tinggi antar masyarakat setempat
tercermin dalam aktivitas kehidupan sehari-hari mereka. Sejumlah

2
Penuturan Hendri, salah seorang WBP Lapas Kelas 2A Pontianak, dalam FGD dengan WBP Narkotika di Lapas Kelas 2 A Pontianak,
Kalimanatan Barat.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 343
tokoh agama dan kelompok pengajian tetap bertahan dan beraktivitas
disamping terus berlangsungnya aktivitas kriminalitas (Abdillah, 2014: 2).

Masyarakat di Provinsi Kalimantan Barat sangat mengenal Kampung


Beting sebagai daerah pusat peredaran narkoba disebabkan 3 M (Murah,
Meriah, dan Mudah).3 Harga narkoba di Kampung Beting tergolong lebih
murah dibandingkan dengan daerah lain. Meriah karena banyak pengedar
dan pengguna bebas melakukan aksinya di kampung ini. Terakhir, mudah
untuk mendapatkannya baik punya uang maupun tidak. Bahkan, bagi
perempuan yang tidak memiliki uang terdapat istilah STP (Sabu Tukar
Pepe), mereka membeli sabu dengan ditukar pemberian layanan seks.
Di sana sudah tersedia kamar-kamar untuk transaksi semacam itu.4
Fenomena narkoba di Kampung Beting sebagai pusat peredaran narkoba
di Provinsi Kalimantan Barat sangat sulit untuk diatasi karena beberapa
faktor yang melingkupinya, mulai dari faktor sosial, politik, budaya hingga
ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa lingkar ekonomi yang cukup
mapan menjadikan Kampung Beting dan masyarakat di dalamnya saling
melindungi.

Realitas tentang Kampung Beting sebagaimana tergambar di atas


menuntut adanya perhatian serius dari semua pihak untuk melakukan
upaya-upaya mengembalikan masyarakat ke kehidupan yang lebih positif,
khususnya melalui pendekatan keagamaan. Pendekatan keagamaan
dapat menjadi pintu masuk untuk mengedukasi warga setempat tentang
bahaya dan resiko penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di
suatu wilayah. Tentunya upaya-upaya tersebut harus bertolak dari kajian
yang mendalam untuk memahami muara dan akar dari semua persoalan
kemasyarakatan di Kampung Beting tersebut. Pemahaman yang tepat dan
mendalam mengenai muara dan akar masalah sosial kemasyarakatan itu
dimaksudkan agar solusi yang ditawarkan benar-benar efektif dan efisien
dalam proses mengubah suatu daerah yang dahulunya menjadi sarang
peredaran narkoba.

2.2. Dampak Penyalahgunaan Narkoba

Narkoba merupakan zat adiktif yang memiliki dampak buruk jika

3
Wawancara dengan M. Zaini Yahya, Kepala RBM Bumi Khatulistiwa, Pontianak.
4
Wawancara dengan M. Zaini Yahya, Kepala RBM Bumi Khatulistiwa, Pontianak.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


344 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
digunakan secara terus-menerus. Karena sifatnya yang adiktif tersebut,
seseorang yang pernah memakainya akan mengalami ketergantungan
terhadap benda tersebut sehingga jika tidak memakainya akan merasa
ada sesuatu yang kurang. Akan tetapi, meskipun para pemakai sudah
tahu dampak negatif dari narkoba, mereka tetap memakainya dengan
berbagai alasan. Misalnya, pemakai sabu-sabu beranggapan bahwa
dengan memakainya akan meningkatkan kinerja karena menjadi stimulan;
seorang supir travel dapat tidak mengantuk dan tidak tidur sampai dua hari
ketika menyetir setelah memakai sabu sehingga dianggap bermanfaat
baginya saat bekerja atau sebagai doping kerja. Hal itu sebagaimana
dikemukakan oleh salah seorang WBP:

“Alasannya untuk doping kerja. ‘Gimana kalo ayah ga pake nanti


seperti kemarin’, kata saya kepada istri. Saya pernah nabrak dulu
mas, bawa penumpang di Mandor, daerah Mandor. Nabrak orang
hampir mati gara-gara ketiduran. Bawa mobil ketiduran siang hari,
jam 2 siang. ‘Ibu mau ayah kaya dulu lagi nabrak orang lagi, kalo pake
ini kan ayah pasti ga akan ngantuk’ begitu alasan saya kepada istri.
Memang kalo udah kena itu (sabu-sabu) rasa ngantuk kita itu hilang.”5

Pengetahuan dan informasi keliru tentang dampak narkoba yang


beredar luas di masyarakat, seperti di kalangan para supir travel di
Kalimantan Barat, perlu diluruskan agar tidak disalahgunakan oleh
mereka. Karena dari sisi medis, narkoba apapun jenisnya memiliki efek
negatif bagi tubuh manusia ketika digunakan dalam dosis dan jangka
waktu tertentu. Oleh sebab itu, dalam setiap kegiatan sosialisasi dan
diseminasi informasi, BNNP Kalimantan Barat tidak pernah luput untuk
menjelaskan dampak negatif penyalahgunaan narkoba. Ada beberapa
dampak negatif jika seseorang memakai narkoba, yaitu:
a) Organ tubuh menjadi rusak. Narkoba mengakibatkan banyak
gangguan dan kerusakan organ tubuh sehingga tidak berfungsi
semestinya.
b) Perubahan sikap dan mental. Pecandu narkoba akan mengalami
kegelisahan berlebihan, lemahnya motivasi belajar dan bekerja, serta
cenderung bersikap anti sosial.
c) Masa depan suram. Umumnya para pemakai narkoba akan kehilangan
kesempatan belajar akibat dikeluarkan dari sekolah atau perguruan tinggi.

5
Wawancara dengan Icham, salah seorang WBP Kelas 2A Pontianak dan mantan sopir travel.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 345
d) Berpotensi terjerumus tindak kriminal. Pecandu narkoba berpotensi
melakukan tindak kejahatan, kekerasan dan pengrusakan.
e) Pidana penjara hingga vonis mati. Terpidana akan dipenjara hingga
vonis mati jika terbukti menjadi bagian dari jaringan peredaran
narkoba.
f) Kematian akibat overdosis. Pemakaian narkoba dalam jangka
panjang dapat mengakibatkan kematian.

Pidana penjara merupakan salah satu dampak paling terlihat nyata


dan dirasakan secara langsung oleh para pemakai dan keluarga mereka.
Saat di vonis penjara, maka keluarga pun menanggung beban ekonomi
karena kehilangan pencari nafkah. Beberapa responden WBP di Lapas
Kelas 2 A Pontianak bahkan menegaskan bahwa imbas terbesar yang
dirasakan saat mereka di dalam lapas adalah keluarga. Jika mereka di
dalam lapas masih bisa makan 3 kali sehari, tetapi bagaimana dengan
keluarga mereka di luar. Berikut cuplikan wawancara peneliti dengan
seorang responden:

Tanya: Berarti selama bapak disini (di Lapas) siapa yang support
ekonomi keluarga? Pemasukan untuk keluarga rumah
tangga, sekolah anak, jajan anak?

Jawab: Alhamdulillah ada saudara 1 orang, dialah yang bantu anak-


anak saya. Istri juga bekerja sekarang.6 Tanpa ada hukuman
ini kita tidak punya kesadaran. Jadi, ketika menerima
hukuman, wahh ternyata anak harus ditinggal, istri pun harus
ditinggal. Yang merasakan hukuman sebenarnya anak dan
istri. Iya Pak terpukul karena merasakan tulang punggungnya
tidak ada. Kita disini makan ditanggung, apa-apa ditanggung,
tapi mereka yang diluar yang merasakan sakitnya. Itu yang
membuat kami sedih, itu pula yang membuat kita ingin
berubah.” 7

Dampak penggunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung


pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian pengguna serta situasi
dan kondisi pengguna, misalnya pecandu putau akan mengalami sakau
saat tidak memakainya, pecandu sabu-sabu akan terpangaruh secara

6
Wawancara dengan Icham, WBP Lapas Kelas 2 A Pontianak, Kalimantan Barat dan mantan supir travel.
7
Penuturan Hendri, salah seorang WBP Lapas Kelas 2 A Pontianak, Kalimantan Barat dalam FGD dengan WBP Narkotika di Lapas
Kelas 2 A Pontinak.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


346 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
fisik seperti gigi rusak, pecandu pil koplo akan mengalami halusinasi, dan
sebagainya. Secara umum, dampak ketergantungan/kecanduan narkoba
dapat terlihat pada fisik, psikis, maupun sosial seseorang/pengguna.
Untuk lebih memahami dampak-dampak tersebut, maka perlu dijelaskan
secara rinci dampak-dampak yang akan dialami oleh para pemakai
narkoba.

Meskipun terjadi perbedaan antara satu individu dengan individu


lainnya terkait dampak fisik akibat pemakaian narkoba, namun secara
umum dampaknya sebagai berikut:
a) Adanya gangguan pada sistem syaraf (neurologis) seperti; kejang-
kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi dan
sebagainya.
b) Terjadinya gangguan pada jantung dan pembuluh darah
(kardiovaskuler) sepert; infeksi akut otot jantung, gangguan peredaran
darah dan sebagainya.
c) Terjadinya gangguan pada kulit (dermatologis) seperti; penanahan
(abses), alergi, eksim dan sebagainya.
d) Terjadinya gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti; penekanan
fungsi pernapasan, kesulitan bernafas, pengerasan jaringan paru-
paru dan sebagainya.
e) Mengalami sakit kepala, mual-mual dan muntah, suhu badan
meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur.
f) Gangguan terhadap kesehatan reproduksi berupa gangguan pada
endokrin seperti; penurunan fungsi hormon reproduksi (estrogen,
progesteron, testosteron) serta gang guan fungsi seksual.
g) Gangguan terhadap kesehatan reproduksi pada wanita usia subur
seperti; perubahan siklus menstruasi/haid, menstruasi/haid yang
tidak teratur dan aminorhoe (tidak terjadi haid).
h) Bagi pengguna narkoba melalui jarum suntik dengan cara bergantian
akan beresiko tertular penyakit seperti; hepatitis B, C dan HIV/AIDS
yang sampai saat ini belum ada obat nya.
i) Bila terjadi melebihi dosis penggunaan narkoba maka akan berakibat
fatal, yaitu terjadinya kematian.
j) Terjadinya gangguan kurang gizi, penyakit kulit, kerusakan gigi dan
penyakit kelamin.

Sama halnya dengan dampak fisik, dampak psikis yang akan dialami
oleh para pemakai narkoba sangat tergantung dengan kepribadiannya
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 347
masing-masing. Namun, secara umum dampak psikis dapat dirinci
sebagai berikut:
a) Adanya perubahan pada kehidupan mental emosional berupa
gangguan perilaku yang tidak wajar.
b) Pecandu berat dan lamanya menggunakan narkoba akan
menimbulkan sindrom amoy fasional. Bila putus obat golongan
amfetamin dapat menimbulkan depresi hingga bunuh diri.
c) Terhadap fungsi mental akan terjadi gangguan persepsi, daya pikir,
kreasi dan emosi.
d) Bekerja lamban, ceroboh, syaraf tegang dan gelisah.
e) Kepercayaan diri hilang, apatis, pengkhayal dan penuh curiga.
f) Agitatif, bertindak ganas dan brutal diluar kesadaran.
g) Kurang konsentrasi, perasaan tertekan dan kesal.
h) Cenderung menyakiti diri, merasa tidak aman dan sebagainya.

Adapun dampak sosial yang akan dialami oleh para pemakai narkoba
adalah sebagai berikut:
a) Terjadinya gangguan mental emosional akan mengganggu fungsinya
sebagai anggota masyarakat, bekerja, sekolah maupun fungsi/tugas
kemasyarakatan lainnya.
b) Bertindak keliru, kemampuan prestasi menurun, dipecat/dikeluarkan
dari pekerjaan.
c) Hubungan dengan keluarga, kawan dekat menjadi renggang.
d) Terjadinya anti sosial, asusila dan dikucilkan oleh lingkungan.

Dampak penggunaan narkoba dan penyalahgunaan narkoba secara


fisik, psikis dan sosial akan berpotensi menimbulkan penyakit/rasa sakit
yang luar biasa dan ketagihan kalau tidak dapat mengkonsumsinya
(narkoba), karena ada dorongan kuat (secara psikologis) untuk
mendapatkannya, walaupun dengan berbagai cara (menghalalkan segala
cara untuk mendapatkannya) dengan melanggar norma-norma sosial
yang berlaku.8

Menurut pengakuan para pemakai, banyak kerugian dari sisi ekonomi


karena banyak uang yang telah dihabiskan untuk membeli narkoba meski
tidak sampai bertindak kriminal, namun ada pula yang sampai melakukan

8
Lihat:http://www.kulonprogokab.go.id/v21/files/NARKOBA-DAN-DAMPAKNYA-TERHADAP-PENGGUNA.pdf.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


348 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
tindak kriminal. Kerugian dari sisi sosial: telah membuat malu orang tua
dan belum siap mental untuk kembali ke masyarakat setelah proses
rehab selesai. Adapun kerugian dari sisi kesehatan: gigi banyak yang
rusak dan tergantung untuk memakai sabu-sabu sebagai stimulan ketika
ada kerjaan yang berat.

Kerugian dari sisi ekonomi banyak dituturkan oleh para pemakai


karena uang mereka habis, harta mereka habis, dan bahkan harta orang
tua habis untuk membeli narkoba, seperti penuturan beberapa pemakai
di bawah ini:

“Uang habis, kalau sudah masuk sini (penjara/lapas) pun kita pisah
dengan keluarga. Uang yang dihabiskan selama sebulan tergantung
sih Pak, tergantung pemakaian kita kuat atau enggaknya. Kalau kita
ada pemikiran tentang keluarga ya kita sisihkan untuk keluarga lah
Pak.”9

“Saya merasa merugi, ya uang yang banyak habis, kalau uang saya
ndak ada habisnya sih, mungkin saya tidak jadi masalah, nah sakitnya
itukan karena kita tidak dapat belinya lagi. Gak bisa beli lagi, jadi
ujung-ujungnya barang saya, saya jual-jualin, itu untung barang orang
tidak saya jual, ya habis itu mau gimana lagi.” 10.HP adik saya jual,
motor bapak saya gadai, dapat uang gak besar pak 600 ribu. Duit 600
ribu buat sekali pakai nggak bisa buat makan, saya itu habis banyak
kejudi dan dingdong.” 11

Adapun kerugian dari sisi kesehatan yaitu terjadi perubahan fisik


dan psikis yang dirasakan oleh pecandu narkoba. Salah seorang mantan
pecandu menuturkan:

“Kadang-kadang iya pak, seharusnya rapi (waktu kerja di bangunan)


tapi ternyata kurang kaya gitu nah ada juga. Kalau secara fisik ada
perubahan ini gigi bawah, ada, mungkin ini larinya ke gigi rusak.
Rusak di rahang ini, kan waktu make (sabu-sabu) ini, kan bergeser
mungkin bikin hancur. P: Gak ada yang berubah di perilaku ya? Kaya
engak sadar gitu atau engak terkontrol? Ahh.... Engak cuman kalau
sabu sih engak ada, cuman pengaruhnya di gigi sih.” 12

9
Wawancara dengan Hendri, salah seorang WBP Lapas Kelas 2 A Pontianak, Kalimantan Barat.
10
Wawancara dengan Catur Rahmatdani, salah seorang klien di RBM Bumi Khatulistiwa, Pontianak, Kalimantan Barat.
11
Penuturan Andika, salah seorang klien di RBM Bumi Khatulistiwa, Pontianak, Kalimantan Barat dalam FGD di panti rehab.
12
Wawancara dengan salah seorang klien di RBM Bumi Khatulistiwa, Pontianak, Kalimantan Barat.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 349
Dampak secara sosial juga dirasakan oleh para pecandu narkoba
mulai dari prestasi kerja yang menurun hingga dipecat atau diminta
mengundurkan diri dari pekerjaan yang sedang digeluti. Hal ini tentu
berimbas pada kondisi keuangan sesorang dan hubungan dengan rekan
kerja maupun teman-teman sepergaulan. Seorang pecandu dan klien
RBM dengan inisial CR menuturkan bagaimana prestasi kuliahnya turun
dan dia harus mengundurkan diri dari tempatnya bekerja karena ketahuan
menjadi pemakai narkoba. Ia berkata:

“Kalau ketahuan saya dikeluarin. Saya dicurigai pakai sabu-sabu,


tapi bos tidak tahu. Tapi omongannya dan arahannya itu saya tetap
pakai sabu-sabu, pakai obat, pakai narkoba. Jadi dia suruh saya
ngundurin diri, daripada dipecatkan nanti gak bisa masuk lagi. Mereka
memandang saya kan seperti orang sakit.” 13

3. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Narkoba dalam Persepsi


Pengguna

3.1. Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Kota Pontianak

Penanggulangan kejahatan yang berhubungan dengan narkoba


sudah dilakukan oleh berbagai pihak dengan banyak cara. Salah satu
cara penanggulangan narkoba adalah memberikan sistem pembinaan
bagi narapidana narkotika. Sistem pembinaan bagi narapidana narkotika
ini dilakukan dengan maksud agar para narapidana narkoba yang telah
melaksanakan sistem pembinaan akan terbebas sepenuhnya dari jerat
bahaya narkotika dan dapat diterima ketika kembali di masyarakat.
Sistem pembinaan bagi narapidana narkoba dilakukan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan, di mana Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah
satu bentuk hukuman pidana (pidana penjara). Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IIA Pontianak termasuk salah satu lembaga yang memberikan
pembinaan terhadap para pecandu narkoba di wilayah Provinsi
Kalimantan Barat.

Pembinaan terhadap narapidana kasus dan korban narkoba


merupakan masalah yang sangat kompleks mengingat mereka yang

13
Wawancara dengan salah seorang klien di RBM Bumi Khatulistiwa, Pontianak, Kalimantan Barat.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


350 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
terlibat dalam kasus-kasus narkoba tidak terbatas pada mereka yang
menjadi pengedar, tetapi termasuk juga para pengguna atau keduanya;
pemakai sekaligus pengedar. Hal ini menyebabkan masalah pembinaan
terhadap narapidana kasus narkoba menjadi lebih rumit dibandingkan
masalah binaan terhadap narapidana kasus lainnya. Mengingat belum
adanya peraturan khusus tentang pembinaan yang harus diberikan kepada
para penyalahguna narkoba yang dihukum dipenjara Lapas Narkotika,
maka untuk sementara pembinaan yang diberikan baik itu di Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika ataupun bukan Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika tetap berpedoman pada peraturan yang berlaku, antara lain
Undang-undang Pemasyarakatan dan peraturan pelaksana lainnya di
bidang pembinaan. Pembinaan terhadap narapidana penyalahgunaan
umumnya lebih diinsentifkan pada bidang kesehatan para penyalahguna
narkoba, khususnya bagi mereka yang masih mengalami ketergantungan.
Adapun perawatan kesehatan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP) narkotika antara lain:
a) Kegiatan perawatan kesehatan umum, yaitu perawatan kesehatan
terhadap para narapidana narkoba yang merupakan kelompok resiko
tinggi tertularnya berbagai macam penyakit infeksi terutama melalui
pemakaian jarum suntik bersama yang tidak steril.
b) Kegiatan perawatan ketergantungan narkoba, yang meliputi: (a)
Skrining keterlibatan narapidana terhadap narkoba dan alkohol (b).
Pelayanan detoksifasi (c). Identifikasi ketergantungan narkotika.
Pada saat narapidana narkotika memasuki Lapas, perlu dilaksanakan
identifikasi ketergantungan narkoba guna mengantisipasi terjadinya
penyalahgunaan narkoba di dalam Rutan/Lapas. (d). Perawatan obat
substitusi oral, yaitu perawatan dengan pengganti obat yang diminum
atau terapi Substitusi Metadone. (e). Perawatan keadaaan emergency/
darurat yaitu tindakan segera bagi para tahanan atau narapidana
penyalahgunaan narkoba yang mengalami overdosis. (f). Terapi
rehabilitasi, antara lain Teraputic Community, Criminon, Narcotuc
Anonimous, Cognitive Behaviour Therapy (CBT), Terapi Religi dan lain-
lain yang bertujuan mengubah perilaku, menimbulkan rasa percaya
diri, mengatasi kecanduan dan meningkatkan iman dan taqwa.
c) Kegiatan perawatan kesehatan jasmani, antara lain berupa perawatan
makanan narapidana narkotika, kebersihan perseorangan, kegiatan
olah raga, penyuluhan kesehatan dan upaya pencegahan penularan
penyakit.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 351
d) Kegiatan perawatan kesehatan mental dan rohani yang meliputi dua
pendekatan, yaitu perawatan kesehatan mental melalui pendekatan
psikologis atau kejiwaan dan melalui pendekatan spiritual
atau keagamaan. Kedua pendekatan tersebut bertujuan untuk
memperbaiki pola pikir dan perilaku menyimpang dilihat dari norma
agama maupun norma hukum yang tidak tertulis. Norma-norma
tersebut tentu mempunyai sanksi-sanksi, baik sanksi fisik (sanksi
kurungan) di lembaga pemasyarakatan melalui proses pengadilan
dan vonis hakim, maupun sanksi moral oleh masyarakat yang tidak
ada batas waktunya.

Adapun program pembinaan lainnya, seperti pembinaan di bidang


kemandirian dalam rangka mempersiapkan narapidana berintegrasi
dengan masyarakat tetap dilaksanakan berdasarkan tentang peraturan
pembinaan pada umumnya. Meskipun demikan, sebagian besar program
pembinaan tersebut tidak dapat dilaksanakan mengingat masalah
kesehatan (ketergantungan) yang dihadapi oleh para narapidana
penyalahgunaan narkoba. Sementara itu, narapidana narkoba di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Pontianak telah mendapatkan
program pembinaan yang cukup baik dan hampir memenuhi kriteria
yang seharusnya diberikan oleh sebuah Lembaga Pemasyarakatan pada
umumnya. Program-program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II A Pontianak saat ini bagi para warga binaan antara lain:

1. Pembinaan kepribadian
Program pembinaan kepribadian di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II A Pontianak bertujuan untuk mengubah watak dan mental bagi
warga binaan sehingga kedepannya mereka lebih dapat terbuka akan
segala perubahan kearah yang lebih baik. Pembinaan kepribadian yang
diberikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Pontianak difokuskan
pada kegiatan yang dapat memupuk rasa cinta tanah air, semangat bela
negara dan sikap kenegaraan.

Program kegiatan lainnya dalam pembinaan kepribadian juga fokus


pada kegiatan-kegiatan kerohanian untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
dan menjauhkan diri dari perilaku negatif. Kegiatan kerohanian yang paling
menonjol pada Lapas Kelas IIA Pontianak adalah kegiatan keagamaan.
Antusiasme warga binaan tampak terlihat nyata ketika diadakan upacara

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


352 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
peringatan tahun baru Islam. Pada saat penulis melakukan wawancara
bersama para warga binaan, penulis berkesempatan untuk mengikuti
kegiatan peringatan hari besar Islam, yaitu peringatan tahun baru Islam.
Kegiatan tersebut dilaksanakan di masjid yang cukup besar, megah
dan nyaman. Sementara itu, bagi warga binaan yang non-Muslim juga
mendapatkan perhatian yang cukup serius terkait kegiatan kerohanian.
Pihak petugas Lapas mendatangkan tokoh-tokoh agama mereka untuk
memberikan bekal pengetahuan keagamaan dan konseling keagamaan.

2. Pembinaan Kemandirian
Pembinaan Kemandirian merupakan pendidikan yang lebih diarahkan
pada pemberian bekal berupa bakat dan keterampilan bagi warga
binaan di Lapas. Pembinaan kemandirian dilakukan agar Warga Binaan
Pemasyarakatan dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab. Kegiatan pembinaan kemandirian
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Pontianak yang saat ini masih
berjalan diantaranya: pengembangan keterampilan melalui balai latihan
kerja, seperti; pertukangan, las, anyaman, dan pertanian; serta program
pemberantasan buta huruf latin dan Arab.

Pembinaan kemandirian ini dilakukan oleh pembina pemasyarakatan.


Pembina pemasyarakatan ini sebagian besar merupakan orang-orang LSM
yang membantu pembinaan bagi para warga binaan pemasyarakatan.
Fasilitas-faslitias penunjang pembinaan ini pun sudah tersedia dengan
lengkap sehingga pembinaan kemandirian ini dapat berjalan dengan
sebagaimana mestinya sesuai dengan perencanaan program pembinaan
yang telah dilaksanakan pada tahap awal (Suendra, dkk., 2013: 3).

Agar pembinaan dapat berjalan baik dan mendapatkan hasil yang


maksimal maka sistem pembinaan untuk narapidana narkoba di Lembaga
Pemasyarakatan harus dilakukan lebih khusus. Pembinaan secara khusus
dengan program rehabilitasi merupakan cara terbaik bagi penyembuhan
narapidana penyalahgunaan narkoba dari kepentingan narkoba. Dalam
hal ini diperlukan perhatian dari pemerintah untuk membantu mewujudkan
pembinaan khusus bagi narapidana penyalahgunaan narkoba sehingga
narapidana penyalahgunaan narkoba tidak hanya menjalani hukuman
pidananya, tetapi juga dapat sembuh dan lepas dari ketergantungan narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 353
Lapas Kelas II A Pontianak juga membuat terobosan kebijakan
dengan kegiatan “asimilasi masyarakat” bagi tahanan yang akan bebas.
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat
akan keberadaan WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) yang sudah
berubah lebih baik dan akan kembali ke masyarakat. Selain itu, kegiatan
tersebut untuk memupuk rasa percaya diri dan mental WBP agar siap
kembali ke masyarakat. Akan tetapi, kondisi rehab secara medis di
Lapas Kelas IIA Pontianak masih minim karena tidak ada tenaga ahli dan
minimnya anggaran. Oleh karena itu, pembinaan lebih mengedepankan
pendekatan spiritual agama untuk mengetuk kesadaran WBP dari
ketergantungan dan penyalahgunaan narkoba.

Terlepas dari beberapa keberhasilan program yang sudah dijalankan


didalam pembinaan warga binaan di Lapas Kelas IIA Pontianak, masih ada
kendala lain yang dihadapi oleh pihak Lapas Kelas IIA Pontianak, di antaranya:
1. Petugas
Jumlah personel lapas masih kurang jika dibandingkan dengan
jumlah WBP yang harus dibina sehingga pengawasan menjadi kurang
maksimal. Anggaran kegiatan pembinaan juga masih minim sehingga
tidak mencukupi untuk membina WBP yang banyak. Akibatnya, sistem
pembinaan bagi para WBP di Lapas Kelas IIA Pontianak bergantian
atau dengan memanfaatkan warga binaan lain yang mumpuni untuk
membantu petugas.
2. Narapidana/WBP
Tidak semua WBP sadar dengan kesalahan mereka ketika sudah masuk
lapas sehingga kurang tergugah untuk memperbaiki diri. Hal ini menjadi
kendala di dalam implementasi program-program pembinaan karena
tidak didukung oleh para warga binaan yang seharusnya semangat
menuju perubahan diri mereka. Di sisi lain, Lapas Kelas 2A Pontianak
merupakan lapas umum dan bukan lapas khusus narkoba, sehingga
WBP yang tinggal di dalamnya tidak tunggal dari kejahatan narkoba
saja. Oleh karenanya dibutuhkan pengawasan yang cukup ekstra agar
interaksi di dalamnya dapat terkontrol dari tindak-tindak kejahatan
narkoba, seperti transaksi dan penyelundupan ke dalam Lapas.
3. Masyarakat
Stigma dan pandangan negatif masyarakat masih melekat pada
mantan WBP yang sudah bebas dan kembali ke masyarakat sehingga

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


354 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
kadang mereka kembali melakukan tindak kejahatan (narkoba) karena
merasa tidak diterima di masyarakat.14

Masalah yang belakangan mencuat ke media adalah masalah


Lapas yang sering menjadi sarang dan pasar narkoba. Sebagaimana
kasus terbaru yang berhasil diungkap mengenai jaringan narkoba yang
dikendalikan oleh narapidana Rutan Kelas II A Pontianak, Kalimantan
Barat. Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN) telah menangkap
tujuh tersangka yang terdiri dari 3 kurir, 3 narapidana, dan seorang sipir.
Kronologis pengungkapan kasus ini bermula pada Kamis (4/10) sekira
pukul 22.00 WIB. Tim gabungan mendapat informasi dari masyarakat
bahwa akan ada kurir laki-laki yang akan mengantar paketan ekstasi dari
Entikong dengan menggunakan taksi.15 Menanggapi kasus tersebut,
Kepala Lapas Kelas IIA Pontianak mengatakan bahwa fenomena Lapas
sebagai pasar narkoba tidak bisa dipungkiri karena secara prinsip ekonomi
ada supply dan demand terhadap barang tersebut. Ditambah bahwa di
Lapas, khususnya di blok narkotika, para tahanan bisa saling mengenal
satu sama lain, baik yang menjadi pemakai, pengedar, hingga bandar.

Untuk meminimalisasi interaksi tersebut, pihak Lapas Kelas IIA


Pontianak mengambil kebijakan:
a) Pemisahan kamar; pengedar, pemakai, dan bandar dipisah kamar
maupun bloknya. Karena keterbatasan tempat dan fasilitas lapas,
hanya bandar yang dipisah di blok tersendiri.
b) Sidak dan penggeledahan di masing-masing kamar blok.
c) Penyuluhan dari pihak lapas tentang ancaman tambahan hukuman
d) Pembinaan pegawai dan petugas lapas selalu diintensifkan untuk
menjaga integritas dan memperbaiki stigma lapas sebagai sarang
peredaran narkoba. Sanksi hukum tegas bagi para petugas yang
terlibat peredaran narkoba di lapas.16

3.2. Program Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan salah satu program BNNP Kalimantan

14
Wawancara dengan Kepala Lapas Kelas IIA Pontianak, 14 September 2018
15
Ya’cob Billiocta. 2018. 3 Narapidana dan Seorang Sipir di Pontianak Terlibat Jaringan Narkoba. Dalam internet online: https://www.
merdeka.com/peristiwa/3-narapidana-dan-seorang-sipir-di-pontianak-terlibat-jaringan-narkoba.html Diakses tanggal, 04/01/2019.
16
Wawancara dengan Kepala Lapas Kelas IIA Pontianak, 14 September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 355
Barat untuk memulihkan dan melepaskan para pecandu dari adiksi
terhadap narkoba. Dalam pelaksanaannya, ada 3 aspek yang terdiri dari:
layanan rehabilitasi, penguatan lembaga rehabilitasi, dan layanan pasca
rehabilitasi.

Pelaksanaan layanan rehabilitasi meliputi: skrining dan asesmen.


Skrining merupakan proses identifikasi untuk mendeteksi penggunaan
narkotika yang dilakukan oleh klien. Sedangkan asesmen dilakukan untuk
mendapatkan informasi gambaran klinis dan masalah yang lebih mendalam
dari seorang klien secara komprehensif. Pelaksanaan layanan rehabilitasi
mencakup rehabilitasi rawat jalan (dilakukan selama 8 kali pertemuan),
rehabilitasi rawat inap jangka pendek (dilakukan selama 3 bulan) dan
rehabilitasi rawat inap jangka panjang (dilakukan selama 6 bulan).

Di Provinsi Kalimantan Barat, terdapat dua model layanan rehabilitasi,


yaitu: instansi pemerintah (IP) dan komponen masyarakat (KM). Instansi
Pemerintah (IP) terdiri dari: (1) RSUD Dr. Abdul Azis Singkawang, (2) RSUD
Sultan Syarif Moch. Alkadri Pontianak, (3) RSUD Rubini Mempawah, (4)
RSUD Dr. Agus Jam Ketapang, (5) RSUD Ade Muhammad Joen Sintang,
(6) RSUD Sambas, (7) RSUD Kabupaten Bengkayang, (8) RSUD Landak, (9)
RSUD Sanggau, (10) RSUD Ahmad Dipenogoro Kapuas Hulu, (11) RSUD
Melawai, (12) Puskesmas Banjar Serasan Pontianak, (13) Puskesmas
Jiwa Selalang Sekadau, (14) Puskesmas Kom Yos Sudarso Pontianak,
(15) Puskesmas Kampung Dalam Pontianak, (16) Puskesmas Alianyang
Pontianak, (17) Klinik Pratama BNN Provinsi Kalimantan Barat, (18) Klinik
Pratama BNN Kota Pontianak, (19) Klinik Pratama BNN Kota Singkawang,
dan (20) Klinik Pratama BNN Kabupaten Sanggau.

Dari sejumlah IP dan KM sebagaimana yang tersebut di atas,


berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Rehabilitasi BNNP
Kalimantan Barat, pencapaian BNNP Kalimantan Barat dan jajarannya
pada tahun 2017 adalah sebagai berikut:
a) Layanan rehabilitasi instansi pemerintah sebesar 303 orang.
b) Layanan rehabilitasi komponen masyarakat sebesar 32 orang.
c) Layanan pasca rehabilitasi sebanyak 228 orang.

Sedangkan pencapaian pada tahun 2018 adalah sebagai berikut:


a. Layanan rehabilitasi instansi pemerintah sebesar 145 orang.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


356 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
b. Layanan rehabilitasi komponen masyarakat sebesar 12 orang.
c. Layanan pasca rehabilitasi sebanyak 19 orang.

Penguatan lembaga rehabilitasi dilakukan melalui pemberian


dukungan penguatan Sumber Daya Manusia (SDM), dukungan
penguatan sarana dan prasarana serta dukungan program layanan.
Ketiga, pelaksanaan pasca rehabilitasi atau aftercare adalah program
pemberdayaan bagi mantan pecandu atau penyalahguna narkoba selama
menjalani pemulihannya. Program pasca rehabilitasi meliputi: assesmen
pra-program, rumah damping dan rumah singgah.

Selain Instansi Pemerintah (IP) yang menyelenggarakan progam


rehabilitasi, Komponen Masyarakat (KM) juga turut serta membatu
program rehabilitasi para pecandu narkoba dengan menyelenggarakan
rehabilitasi berbasis masyarakat. Hal ini tentu menjadi nilai positif,
mengingat minimnya fasilitas pemerintah yang mampu menampung
para pecandu sehingga dibutuhkan peran serta masyarakat untuk terlibat
aktif di dalam program rehabilitasi pecandu narkoba. Salah satu tempat
rehabilitasi di Pontianak adalah RBM Bumi Khatulistiwa. RBM Bumi
Khatulistiwa adalah sebuah pusat rehabilitasi khusus untuk penyakit
mental akibat penyalahgunaan narkoba. Fokus pelayanan RBM adalah
pelayanan yang mencakup tindakan rehabilitatif dan pengembangan
diri bagi mantan para pecandu untuk mengembalikan mereka kejalan
yang benar didukung dengan kondisi yang suasana yang kondusif dan
kekeluargaan agar tercipta sumber daya manusia yang berkualitas.17

Di tempat rehab yang berbasis masyarakat ini, para klien mengikuti


berbagai program yang telah dirancang untuk proses pemulihan dan
ketergantungan terhadap narkoba. Tidak hanya melakukan aktivitas
di dalam tempat rehabilitasi, tetapi mereka juga bersosialisasi dengan
masyarakat, bahkan ketika sudah selesai masa rehab banyak dari mereka
yang kembali ke keluarga dan bekerja, tidak jarang pula mengabdikan
diri membantu di RBM. Salah satu contoh klien yang mengabdi di
RBM adalah Suryadharma. Menurut pengakuannya, ia telah memakai
narkoba sejak tingkat SMP. Sejak mengikuti program rehabilitasi, ia
sudah mencurahkan segenap waktunya di RBM dan pasca rehabilitasi,

17
Tentang RBM Bumi Khatulistiwa. Dalam internet online: https://rbmbumikhatulistiwapontianak.wordpress.com/ Diakses
tanggal 04/01/2019

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 357
ia memilih untuk tetap tinggal di RBM dengan alasan untuk menghindari
lingkungan atau teman-teman yang akan mengajaknya kembali memakai
narkoba (relaps). Waktu yang dibutuhkan untuk satu program rehabilitasi
adalah 6 bulan. Meskipun tampak cukup lama, tetapi 6 bulan bukan waktu
yang cukup untuk memulihkan para klien. Terapi yang diberikan selama
klien menjalani rehab di RBM adalah terapi bekam dan terapi spiritual
atau religi.

Alur pelayanan di RBM Bumi khatulistiwa dapat diringkas sebagai


berikut: (1). Pendekatan awal. Tahap ini biasa disebut tahap pra-rehab.
Pada tahap ini, dilakukan screening awal selama 7 sampai 14 hari.
Setelah proses screening awal selesai, maka dilanjutkan dengan proses
detoksifikasi. (2) In take data. Pada tahap ini, klien yang akan menetap
di RBM akan dimintai bukti persetujuan orang tua, sekaligus pendataan
identitas klien. (3). Assesmen. Pada tahap berikutnya yakni assesmen
terhadap klien dilakukan untuk mengetahui motivasi awal penggunaan
narkoba dengan melihat beberapa indikator; medis, hukum, zat, alkohol,
kejiwaan, dan sebagainya. (4) Treatment plan; pada tahap ini masing-
masing klien menerima treatment sesuai dengan tingkat kepaparannya.
(5) Tahap terakhir adalah assesement minat bakat. Pada tahap ini, klien
dibekali pelatihan keterampilan, sebagai modal awal bagi klien ketika
kembali ke masyarakat.

RBM Bumi Khatulistiwa juga mempersiapkan program pasca rehab


bagi para klien yang telah selesai melaksanakan program rehabilitasi.
Program pasca rehab di RBM meliputi beberapa hal, antara lain: (1). Klien
menerima assesement pendampingan dan rawat jalan. (2) Pemantauan
klien di keluarga dan masyarakat, dan (3) Konseling untuk orang tua dan
keluarga klien terkait anggota keluarga yang menerima rehab.

Menurut penjelasan dari ketua RBM Bumi Khatulistiwa, M. Zaini


Yahya, persentase keberhasilan rehabilitasi di RBM cukup tinggi, yakni
9:1 dari peserta yang ikut rehab tidak memakai narkoba lagi. Dari 10
peserta rehab, 1 hingga 2 orang saja yang masih relaps (memakai ulang).
Keberhasilan rehab turut dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat, selama
masyarakat mempunyai pandangan yang positif terhadap para klien
maka keberhasilan program rehabilitasi semakin besar. Sebaliknya, jika
masyarakat ketakutan untuk menerima mantan para pemakai narkoba

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


358 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
karena dikhawatirkan mereka akan kambuh kembali, maka keberhasilan
program rehabilitasi semakin kecil.

Selain klien, stigma negatif seperti itu juga dialami oleh RBM Bumi
Khatulistiwa sebagai yayasan sehingga menjadikan keberadaan RBM di
lingkungan masyarakat mendapat keberatan, tantangan, dan penolakan
dari warga sekitar. Hal tersebut menjadi kendala bagi RBM karena
harus berpindah-pindah tempat (sewa rumah) dari tahun 2011 hingga
2018 di tempat yang baru ini. Kendala lain yang dialami oleh RBM Bumi
Khatulistiwa adalah terkait dengan pendanaan, SDM yang terbatas, dan
status rumah RBM yang masih kontrak sehingga program-program
rehabilitasi belum berjalan dengan optimal.

Dalam menjalankan program rehabilitasi, ada persepsi yang


ditanamkan kepada para pegawai di RBM bahwa para klien adalah orang-
orang yang sedang sakit sehingga tetap sabar jika mereka melakukan
kejahatan (mencuri barang RBM maupun petugas). Selain itu, mereka
juga bisa relaps (menggunakan narkoba ulang) sehingga terkadang
mengurangi semangat pegawai rehab. Selain itu, RBM juga merekrut
para klien yang sudah berhasil lepas dari narkoba sebagai konselor untuk
berbagi semangat dan cerita kepada para klien lainnya. Sistem ini cukup
efektif, karena klien mendengar langsung cerita dari teman mereka sendiri
yang sudah berhasil lepas dari narkoba.

3.3. Upaya Lain yang Diperlukan Menurut Pengguna

Dalam FGD yang dilaksanakan di dua tempat, yaitu di Lembaga


Pemasyarakatan Kelas IIA Pontianak dan RBM Bumi Khatulistiwa,
didapatkan informasi bahwa salah satu faktor yang bisa menjaga
individu, keluarga atau masyarakat agar tidak terpapar narkoba adalah
dengan meningkatkan peran aktif masyarakat dan menghilangkan stigma
negatif pemakai narkoba yang sudah direhab. Selain itu, supply narkoba
di masyarakat pun harus dihentikan dengan caran melapor kepada pihak
berwajib jika ada info terkait peredaran narkoba. Hal lain yang tak kalah
pentingnya adalah upaya untuk menggurangi jumlah permintaan narkoba.
Karena itu, perlu dilakukan kampanye edukasi kepada masyarkaat tentang
bahaya, dampak negatif, serta kerugian memakai narkoba dari segala sisi,
baik kesehatan, sosial, hingga ekonomi.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 359
4. Pelaksanaan Program P4GN dan Permasalahannya

P4GN (Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan


Peredaran Gelap Narkoba) merupakan kebijakan pemerintah yang
dicanangkan untuk menangani permasalahan narkoba di Indonesia.
Kebijakan P4GN memiliki lima pilar utama yang terdiri dari: pencegahan,
pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi dan penguatan
hukum. Pilar-pilar tersebut merupakan fokus untuk mengatasi
permasalahan narkoba di berbagai sasaran. Sasaran dari kebijakan
P4GN adalah masyarakat sehat, pecandu dan sindikat penjual narkoba.
Pada masyarakat sehat, pilar yang menyasarnya adalah pencegahan dan
pemberdayaan masyarakat, kemudian bagi pecandu adalah rehabilitasi,
dan bagi sindikat adalah pemberantasan. Adapun BNNP Kalimantan
Barat melaksanakan empat pilar tersebut, kecuali penguatan hukum yang
menjadi wewenang BNN pusat (Wulandari, 2016: 73). Kebijakan P4GN
ini didukung oleh dua pilar kunci, yaitu pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat. Kedua bidang tersebut menyasar seluruh lapisan
masyarakat, mulai dari pelajar di sekolah, mahasiswa di perguruan tinggi,
para pekerja di instansi pemerintah dan swasta, para aktivis organisasi
masyarakat, masyarakat yang rentan narkoba, kawasan rentan narkoba,
sampai dengan Satgas Narkoba di tingkat Desa/Kelurahan.

Dalam konteks pencegahan masyarakat dari penyalahgunaan


narkoba, maka bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarkat bisa
dikatakan sebagai garda depan karena tugas pokoknya adalah membekali
masyarakat dan menyebarluaskan informasi maupun pengetahuan
terkait dengan bahaya narkoba, dampak penyalahgunaan narkoba, dan
cara menghindarinya. Harapannya, jika masyarakat sudah mempunyai
bekal pengetahuan yang cukup untuk diri sendiri, maka tidak akan menjadi
penyalahgunaan narkoba. Selain itu, masyarakat yang telah mempunyai
bekal juga akan diberdayakan agar dapat berbagi pengalaman dan
mengajak orang lain untuk tidak menjadi penyalahguna narkoba.

Bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarakat mempunyai


empat segmen yang menjadi sasaran, yaitu lingkungan pendidikan,
masyarakat, pemerintah, dan swasta/pekerja. Ada 4 program utama yang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


360 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
dilakukan oleh bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarakat, yaitu:
diseminasi informasi, advokasi pembangunan berwawasan narkoba,
pembentukan kader anti narkoba dan pemberdayaan kader anti narkoba.

4.1. Program Diseminasi Informasi

Program Diseminasi Informasi merupakan upaya BNN dalam


melakukan pencegahan kepada masyarakat sehat terutama pelajar agar
mengetahui tentang narkoba serta bahayanya sehingga masyarakat
yang sudah mengetahui tidak menjadi penyalahguna narkoba. Sebagai
penanggung jawab dan berwenang dari program diseminasi informasi
adalah seksi pencegahan.

BNNP Kalimantan Barat bekerjasama dengan beberapa pihak dalam


melakukan diseminasi informasi, seperti Dinas Sosial Kabupaten, Dinas
Pendidikan, maupun Badan Narkotika Kabupaten/Kota. Berdasarkan
penjelasan dari Kepala Bidang P2M, Pencegahan dan Permberdayaan,
dikatakan bahwa BNNP Kalimantan Barat telah mempunyai beberapa
program unggulan, seperti sosialisasi dan kerja sama lintas sektoral.
Ada beberapa perjanjian kerja sama (PKS) yang sudah dibuat antara
BNNP dengan sektor terkait, seperti diknas, kementerian agama, Polda,
dan beberapa perusahaan swasta untuk membantu dan mendukung
kegiatan-kegiatan P4GN. Sementara itu, kerja sama dengan TNI baru
akan dilakukan tahun depan.18

Program diseminasi informasi dilakukan melalui seminar, workshop


dan FGD. Selain itu, program diseminasi informasi dilakukan pula melalui
tiga media, yaitu: media online, media penyiaran dan media konvensional.
Penyebaran informasi melalui media dilakukan dengan berbagai cara;
seperti tatap muka, pemutaran film, pameran, cetak spanduk, brosur,
leafleat, booklet, banner, roll banner, stiker, kaos baju, rompi baju, dan
mobil kampanye. Sedangkan penyebaran informasi melalui media media
elektronik lokal dilakukan dengan cara mengadakan Talk Show TV, Dialog
interaktif di Radio, Iklan melalui TV dan Kolom Publik.

Salah satu indikator keberhasilan dalam bidang pemberdayaan

18
Wawancara dengan Kepala Bidang P2M BNNP Kalimantan Barat, 7 September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 361
masyarakat diukur berdasarkan indeks kemandirian masyarakat.
Harus diakui bahwa tahun 2016 sampai dengan tahun 2018 partisipasi
masyarakat masih kurang mandiri. Jadi ada yang kurang mandiri, mandiri
dan sangat mandiri. IKM terakhir masih 2,7 %, sementara standarnya
harus 3 lebih; tahun 2017 nilai indeksnya sebesar 2,71 %. Meskipun
program-program pembinaan telah dilakukan, tapi memang indikatornya
masih belum mandiri.

4.2. Program Advokasi Pembangunan Berwawasan Narkoba

Program advokasi merupakan upaya BNN dalam mencegah


masyarakat dari penyalahgunaan narkoba melalui lembaga dan institusi
di pemerintah daerah. Untuk menyasar pada kalangan pelajar, advokasi
dilakukan dengan melibatkan lembaga sekolah, yaitu kepala sekolah
maupun guru. Penanggung jawab yang berwenang dari program
advokasi adalah seksi pencegahan. Tujuan program advokasi adalah
untuk mendorong hadirnya berbagai kebijakan dan program pencegahan
narkoba sehingga diharapkan muncul komitmen yang kuat akan lahirnya
kebijakan dan program nyata terkait pencegahan dengan sasaran
masyarakat yang lebih luas.

4.3. Pembentukan Kader Anti Narkoba

Pembentukan kader penyuluh anti narkoba lingkungan pelajar


dilaksanakan dalam rangka meningkatkan pemahaman dan kesadaran
pelajar terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba
di lingkungannya dengan cara menjadikan pelajar sebagai Kader
Penyuluh Anti Narkoba (KPAN) yang memiliki keterampilan menolak
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan mensosialisasikan
kepada orang lain, minimal teman dan keluarga terdekatnya. Melalui
kegiatan pembentukan kader ini, BNNP Kalimantan Barat fokus
menanamkan pengetahuan dan kemampuan pengembangan diri pada
pelajar, yang diharapkan menjadikan mereka sebagai pribadi yang kuat
dan berprinsip sehingga tidak mudah terpengaruh.

4.4. Pemberdayaan Kader Anti Narkoba

Pemberdayaan anti narkoba merupakan program lanjutan dari

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


362 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
pembentukan kader anti narkoba. Pemberdayaan anti narkoba dilakukan
sebagai tindak lanjut dari kader-kader anti narkoba yang sudah terbentuk
di masyarakat. Program ini tergolong sukses karena dari target 28
instasi/lingkungan tercapai 187 instansi/lingkungan. Perhitungannya
didasarkan pada indeks kemandirian partisipatif. Indeks kemandirian
partisipatif dihitung berdasarkan partisipasi dari instansi/lembaga dalam
pemberdayaan anti narkoba. Indeks kemandirian partisipatif di lingkungan
BNN Provinsi Kalimantan Barat adalah 2,72 atau dalam tahap mandiri.
Jadi, dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga yang diberdayakan oleh
BNNP telah mandiri dalam melawan bahaya narkoba.

Prestasi lain yang berhasil dicapai oleh BNNP Kalimanta Barat


adalah intervensi kawasan rawan narkoba dengan memberikan pelatihan
lifeskill. Dari target sebesar 1 kawasan tercapai 1 kawasan. Dalam satu
kawasan terdiri dari 10 orang warga masyarakat yang diberdayakan dan
diberikan keterampilan khusus.

Keberhasilan program P4GN di Provinsi Kalimantan Barat didukung


oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam (internal) BNNP maupun
dari luar (eksternal) BNNP. Faktor dari dalam berupa hubungan antar
karyawan/staf dengan kepala bidang atau seksi yang terjalin dengan
baik. Selain itu, setiap akan ada kegiatan, ada dukungan koordinasi atau
rapat persiapan. Sedangkan faktor dari luar, adalah adanya lembaga
maupun institusi di lingkungan pemerintah daerah yang mendukung
penuh kebijakan P4GN dengan memulai membuat satgas anti narkoba
di instansinya maupun membuat dan melaksanakan program yang
mengarah pada upaya P4GN di lingkungan instansinya seperti sekolah-
sekolah. Dalam melakukan pencegahan penyalahgunaan narkoba pada
kalangan pelajar, perlu adanya dukungan data yang menunjukkan pada
taraf mana pelajar di Kalimantan Barat menyalahgunakan narkoba. Selain
itu, data yang menunjukkan pelajar-pelajar rentan menyalahgunakan
narkoba juga dibutuhkan agar kegiatan yang dilakukan lebih menyasar
secara tepat.

Terkait dengan keberhasilan program P4GN di Provinsi Kalimantan


Barat, BNNP Kalimantan Barat menetapkan 11 sasaran kegiatan yang
akan dicapai dengan indikator kinerja kegiatan sebanyak 15 indikator. Dari
15 indikator kegiatan tersebut, dapat disimpulkan:

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 363
a. Delapan indikator mencapai nilai sangat baik/melebihi tarket IKK.
b. Satu indikator pada kategori baik.
c. Dua indikator pada kategori cukup
d. Dua indikator dalam kategori kurang.
e. Satu indikator dalam kategori sangat kurang.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Beberapa hambatan/kendala dihadapi Badan Narkotika Nasional


(BNN) dalam menanggulangi peredaran narkotika di wilayah perbatasan
Kalimantan Barat (Indonesia)–Sarawak (Malaysia), yaitu:
a) Belum dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Interdiksi di kawasan
perbatasan Kalimantan Barat (Indonesia) dengan Sarawak
(Malaysia) guna mencegah penyelundupan dan peredaran gelap
narkotika jaringan internasional yang masuk ke wilayah Kalimantan
Barat. Satgas Interdiksi tersebut terdiri dari petugas BNN Provinsi
Kalimantan Barat, Kepolisian, Bea dan Cukai, serta Petugas Imigrasi
yang akan ditempatkan di tempat-tempat yang dicurigai sebagai
pintu masuk jaringan narkotika internasional.
b) Belum tersedia alat canggih yang bekerja secara otomatis untuk
mendeteksi narkotika masuk yang memanfaatkan pintu lintas batas
perbatasan Kalimantan Barat (Indonesia) dengan Sarawak (Malaysia).
c) Banyak jalur/jalan tidak resmi (terdapat sekitar 55 jalan tikus) antara
perbatasan Kalimantan Barat (Indonesia) dengan Sarawak (Malaysia)
dengan panjang perbatasan darat sekitar 966 kilometer sehingga sulit
untuk mendeteksi peredaran gelap narkotika jaringan internasional
tersebut.
d) Kurang SDM, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
e) Dukungan anggaran interdiksi wilayah perbatasan yang saat ini
dihapuskan dan menjadi wewenang eselon I. Sehingga BNNP dan
jajaran tidak memiliki kewenangan lagi untuk melaksanakan interdiksi
di Perbatasan.

Adanya kendala-kendala tersebut mendorong BNNP Kalimantan


Barat untuk mengembangkan 3 strategi dalam upaya penanggulaangan
penyelundupan narkoba di wilayah perbatasan. Strategi pertama,
interdiksi, yaitu kegiatan operasi untuk memutus jaringan sindikat
narkoba, baik nasional maupun internasional, dengan mengejar atau

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


364 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
menghentikan orang, kapal laut, pesawat terbang atau kendaraan yang
diduga membawa narkoba untuk dilakukan penangkapan terhadap
tersangka dan penyitaan barang bukti dan asetnya. Dengan adanya
interdiksi diharapkan terpetakannya jalur-jalur tikus atau jalur tidak resmi,
terdeteksinya modus operandi serta pola yang mungkin akan digunakan
oleh para pelaku penyalahgunaan dan pengedar narkotika, serta
terkumpulnya data dan informasi terkait para pelaku penyalahgunaan
dan peredaran narkoba di wilayah Kalimantan Barat.

Dalam kaitannya dengan strategi penanggulangan, Kepala BNNP


Kalimantan Barat menegaskan perlunya peningkatan peralatan dan
personil di BNN sendiri agar pencegahan peredaran narkoba dapat
disesuaikan dengan kondisi di lapangan masing-masing daerah
(Kabupaten/Kota). Selain itu, perlu juga dilakukan upaya pembenahan
institusi dan peningkatan SDM serta konsolidasi dari setiap instansi terkait.
Konsolidasi dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama antar institusi,
pembentukan Perda (Peraturan Daerah) khusus tentang penanganan
narkoba, dan pembenahan sistem pembinaan di lapas, khususnya untuk
tahanan narkoba.

Strategi kedua, meningkatkan kerja sama dengan instansi terkait,


misalnya kerja sama operasi dan pertukaran informasi antara BNNP,
Polda Kalimantan, TNI, Bea dan Cukai, Imigrasi, dan pihak-pihak terkait
lainya di pintu perbatasan Indonesia - Malaysia. Hingga saat ini, kerja
sama dilaksanakan dengan sangat baik antara aparat penegak hukum
di Wilayah Kalimantan Barat. Salah satu contohnya, beberapa kasus
didapat melalui infomasi maupun penyerahan/pelimpahan dari Bea Cukai
maupun Satgas Pamtas TNI AD. Sementara dengan pihak kepolisian
daerah Kalimantan Barat, BNNP dan jajarannya selalu berkomunikasi
dalam segala hal, baik masalah data hingga sharing teknologi dalam
rangka pemberantasan peredaran gelap narkotika di wilayah Kalimantan
Barat.

Strategi ketiga, meningkatkan pembangunan berwawasan anti


narkoba, yaitu program pembangunan yang menjamin adanya kebijakan,
program, kegiatan, dan anggaran pada Kementerian/Lembaga/Daerah
yang berorientasi pada upaya pencegahan, rehabilitasi, dan penegakan
hukum kejahatan narkoba, antara lain :

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 365
a) Meningkatkan komitmen dan sinergi seluruh komponen bangsa
dalam upaya penanganan permasalahan narkoba melalui program
pembangunan pada seluruh Kementerian/Lembaga/Daerah.
b) Meningkatkan kontribusi nyata Kementerian/Lembaga/Daerah dalam
upaya penanganan permasalahan narkoba.

Pada akhirnya, tiga strategi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi


tingkat permintaan (demand reduction) dan supply reduction.
Keberhasilan dalam hal pengurangan permintaan sangat didukung oleh
keberhasilan dalam bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarakat.
Upaya pencegahan itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
pencegahan primer atau pencegahan dini, pencegahan sekunder atau
pencegahan kerawanan, dan pencegahan tertier. Pertama, pencegahan
dini menyasar pada individu, keluarga atau komunitas dan masyarakat
yang belum tersentuh oleh permasalahan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba, dengan tujuan membuat individu, keluarga, dan kelompok
untuk menolak dan melawan narkoba.

Kedua, pencegahan sekunder atau pencegahan kerawanan.


Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok atau komunitas yang rawan
terhadap penyalahgunaan narkoba. Pencegahan ini dilakukan melalui
jalur pendidikan, konseling, dan pelatihan agar mereka berhenti, kemudian
melakukan kegiatan positif dan menjaga agar mereka tetap lebih
mengutamakan kesehatan. Ketiga, pencegahan tersier, yaitu pencegahan
terhadap para pengguna/pecandu kambuhan yang telah mengikuti
program terapi dan rehabilitas, agar tidak kambuh lagi. Sementara
program pemberdayaan masyarakat digiatkan agar masyarakat tidak
mudah tergoda oleh narkoba, maka perlu pemberdayaan lingkungan,
baik lingkungan pendidikan, lingkungan pekerjaan, maupun lingkungan
keluarga, serta perlu pemberdayaan masyarakat resiko tinggi dan rentan.

Selain dimaksudkan untuk mengurangi tingkat permintaan (demand


reduction), upaya penanganan narkoba juga dimaksudkan untuk
melakukan kontrol terhadap persediaan (supply control). Pengawasan
terhadap persediaan dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: 1)
Pengawasan Jalur Legal Narkoba Narkoba dan prekusor untuk keperluan
medis dan ilmu pengetahuan serta untuk keperluan industri diawasi oleh
pemerintah. Pengawasan jalur legal ini meliputi pengawasan penanaman,

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


366 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
produksi, importasi, eksportasi, transportasi penggudangan, distribusi dan
penyampaian oleh instansi terkait, dalam hal ini departemen kehutanan.
2). Pengawasan Jalur Ilegal Narkoba yang meliputi pencegahan di
darat, di laut dan di udara. Badan narkotika nasional telah membentuk
Airport and seaport interdiction task force (satuan tugas pencegahan
pada kawasan pelabuhan udara dan pelabuhan laut).3) Pengurangan
Dampak Buruk (Harm Reduction) Penyalahgunaan Narkoba. Sampai
saat ini, pemerintah secara resmi hanya mengakui dan menjalankan
dua strategi; yaitu pengurangan permintaan dan pengawasan sediaan
narkoba. Namun menghadapi tingginya prevalensi OHD (orang dengan
HIV/AIDS) dikalangan penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik
secara bergantian, maka pada 8 Desember 2003 BNN telah mengadakan
nota kesepahaman dengan KPA (komisi penanggulangan HIV/AIDS),
nomor 21 kep/menko/kesra/XII/BNN, yang bertujuan untuk membangun
kerjasama antara komisi penganggulangan AIDS (KPA) dengan BNN
dalam rangka pencegahan penyebaran HIV/AIDS dalam pemberantasan
penyalahgunaan narkotika (Hariyanto, 2018: 208).

Adapun menurut prespektif dari para mantan pengguna, peredaran


gelap narkoba khususnya di wilayah Kalimantan Barat dan umumnya
di Indonesia dapat diberantas jika aparat penegak hukum mau
memberantasnya dengan sepenuh hati. Oknum-oknum aparat yang
bermain perlu mendapat sanksi tegas dan diputus mata rantainya
agar jalur distribusi narkoba dapat terhenti. Di sisi lain, keberadaan
kampung-kampung yang menjadi sarang narkoba perlu diberantas
agar menghilangkan tempat yang dianggap aman untuk membeli
dan menggunakan narkoba. Kemudian, hal lain yang cukup penting
adalah peran keluarga di dalam membentengi seseorang dari pengaruh
buruk penyalahgunaan narkoba dan tidak terlalu jauh dalam bergaul
dengan teman yang sudah ketahuan menjadi pecandu narkoba. Tak
dapat dipungkiri bahwa pengaruh teman yang salah bisa menjadi
pemicu sesorang menjadi pemakai narkoba sebagaimana dialami oleh
Suryadharma dan beberapa klien yang sedang menjalani rehab di RBM
Bumi Khatulistiwa.

Sementara itu, pemerintah hendaknya juga fokus menangani


persoalan terkait penanganan kantong-kantong daerah rawan narkoba di
Provinsi Kalimantan Barat, seperti kampung Beting. Ada sejumlah ide dan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 367
tindakan yang telah dilakukan untuk merubah stigma Kampung Beting.
Menurut Kepala BNNP Provinsi Kalimantan Barat, pemerintah pusat dan
pemerintah daerah mempunyai perhatian yang serius terhadap Kampung
Beting.19 Ada wacana untuk menjadikan Kampung Beting sebagai
kampung pesantren. Ide ini cukup tepat mengingat banyak tokoh agama
yang tinggal di kampung ini. Namun, sebelum ide ini dilaksanakan, perlu
terlebih dahulu memetakan aktor-aktor dan jaringan yang ada di Kampung
Beting. Selain itu, dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak, baik
pemerintah maupun masyarakat, sangat diperlukan untuk menunjang
perbaikan stigma yang telah melekat di Kampung Beting. Jika Bang Yos
(Sutiyoso) berhasil merubah Kramat Tunggak (sarang prostitusi/bekas
tempat lokalisasi) menjadi JIC (Jakarta Islamic Center) dan Bu Risma
telah berhasil merubah kawasan Dolly menjadi tempat wisata yang asri,
maka bukan tidak mungkin hal yang sama terjadi di Kampung Beting.

19
Wawancara dengan Kepala BNNP Kalimantan Barat, 7 September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


368 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Zulkifli. 2014. “Dakwah di Sarang Kriminalitas: Studi Kasus di


Kampung Beting Kota Pontianak Kalimantan Barat,” makalah yang
dipresentasikan dalam “The 14th Annual International Conference on
Islamic Studies”, Balikpapan, East Kalimantan, Indonesia, November
21-24, 2014.

Aditya, Wisnu. 2017. “Kerja sama Pemerintah Indonesia dan Malaysia


dalam Menangani Peredaran Narkoba,” skripsi,Yogyakarta, UPN
Veteran Yogyakarta.

Gafar, Yulizar. 2012. “Penanggulangan Peredaran Narkotika di Wilayah


Perbatasan Kalimantan Barat (Indonesia) – Sarawak (Malaysia):
Studi Terhadap Peranan Badan Narkotika Nasional.” Jurnal Nestor
Magister Hukum UNTAN, Vol.2, No.2, 2012.

Hariyanto, Bayu Puji. 2018. “Pencegahan dan Peredaran Narkoba di


Indonesia,”Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1., No. 1.

Muhamad, Simela Victor. 2015. “Kejahatan Transnasional Penyelundupan


Narkoba dari Malaysia ke Indonesia: Kasus di Provinsi Kepulauan
Riau dan Kalimantan Barat.” Politica, Vol. 6 No 1 Maret 2015.

Pedoman Perawatan Kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan di


Lembaga Pemasyarakatandan Rumah Tahanan Negara, 2004,
Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jendral Pemasyarakatan.

Paparan Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Kalimantan Barat


dalam Kunjungan Kejra Komisi III DPR RI, Pontianak 08 Mei 2018.

Suendra, dkk., 2013. “Proses Pembinaan terhadap Narapidana Narkoba di


Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Kerobokan,” artikel dalam Kerta
Shemaya, Vol. 1., No. 1, 2013.

Wulandari, Tri. 2016. “Implementasi Kebijakan Pencegahan dan


Pemberantasan Penyalahgunaan dan peredaran Gelap Narkoba
(P4GN) pada Kalangan Pelajar di Badan Narkotika Nasional Provinsi

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 369
Daerah Istimewa Yogyakarta,” skripsi, Yogyakarta, Universitas Negeri
Yogyakarta.

Websites:
• https://rbmbumikhatulistiwapontianak.wordpress.com/, diakses
tanggal 04/01/2019.
• http://www.kulonprogokab.go.id/v21/files/NARKOBA-DAN-
DAMPAKNYA-TERHADAP-PENGGUNA.pdf, diakses tanggal 25
Oktober 2018.

Wawancara:
• Wawancara dengan Kepala BNNP Kalimantan Barat.
• Wawancara dengan Kepala Bidang P2M.
• Wawancara dengan Kepala Seksi Rehabilitasi
• Wawancara dengan Ketua RBM Bumi Khatulistiwa
• Wawancara dengan Manajer Program RBM Bumi Khatulistiwa
• Wawancara dengan Kepala Lapas Kelas IIA Kota Pontianak
• Wawancara dengan pegawai Lapas Kelas IIA Kota Pontianak
• Wawancara dengan warga Binaan Lapas Kelas IIA Kota Pontianak
• Wawancara dengan klien RBM Bumi Khatulistiwa

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


370 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
XII

Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkoba di Kota Samarinda
Provinsi Kalimantan Timur

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 371
Tari Kancet Lasan
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
372 PENANGGULANGAN Batik Kembang
PENYALAHGUNAAN NARKOBAKenanga
2018 Khas Kalimantan
XII
PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
DI KOTA SAMARINDA, KALIMANTAN TIMUR

Oleh:
Robert Siburian; Laely Nurhidayah

1. Pendahuluan

Samarinda merupakan daerah paling rawan peredaran dan


penyalahgunaan narkoba di Provinsi Kalimantan Timur, menyusul
Balikpapan, Kutai Kartanegara, dan Bontang (Tribun Kaltim, 2017).
Hasil penelitian tahun 2017 menunjukkan bahwa angka prevalensi
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 2,12,
berada di urutan ketiga setelah DKI Jakarta dan Sumatera Utara. Angka
prevalensi tersebut itu berada di atas prevalensi nasional sebesar
1,77%. Berdasarkan angka prevalensi itu, jumlah penduduk 15-59 tahun
yang menyalahgunakan narkoba pada tahun 2017 sebanyak 43.911
jiwa dari 2.071.436 penduduk dalam usia yang sama (Puslitdatin BNN,
2017). Tingginya angka prevalensi maka permintaan narkoba di Provinsi
Kalimantan Timur umumnya dan Kota Samarinda khususnya juga
tinggi. Tingginya tingkat peredaran dan penyalahgunaan narkoba di
Kota Samarinda dan Provinsi Kalimantan Timur umumnya, juga dapat
dilihat pada jumlah warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 373
Narkotika Samarinda yang cenderung meningkat dalam kurun waktu lima
tahun terakhir. Rata-rata jumlah warga binaan per Desember dalam lima
tahun terakhir itu sebanyak 588 orang pada tahun 2014, 641 orang pada
tahun 2015, 955 orang pada tahun 2016, 1.344 orang pada tahun 2017,
dan 1.508 orang pada tahun 2018 (Lembaga Pemasyarakatan Khusus
Narkotika Samarinda, 2018). Jumlah warga binaan itu jauh di atas daya
tampung karena kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Kelas III ini hanya
352 orang.

Banyaknya kasus narkoba di Samarinda itu karena kota ini memiliki


posisi strategis, meliputi: 1) Pusat Pemerintahan Kalimantan Timur, 2)
Pusat Pemerintahan Kota Samarinda, 3) Pusat Pembangunan Kalimantan
Timur bagian Tengah, 4) Daerah Pembangunan Ilmu Pengetahuan,
5) Daerah Industri di tepi Sungai Mahakam, 6) Pusat Pendidikan dan
Penelitian hutan Tropis, dan 7) Pusat Kegiatan Industri dan Perdagangan1.

Posisinya yang strategis maka kota Samarinda menjadi kota tujuan


para pendatang, maka berbagai etnis dari seluruh wilayah Indonesia ada
di Kota Samarinda, bahkan di desa-desa. Sebagai contoh Desa Kerta
Buana yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tenggarong
(berjarak sekitar 35 kilometer dari Samarinda), terdapat 12 suku bangsa
yaitu: Jawa, Bali, Sasak (Lombok), Kutai, Minahasa (Manado), Batak,
Flores, Dayak, Bugis, Sunda, Toraja, Banjar, dan Tionghoa. Dengan kata
lain, pada tingkat desa pun heterogenitas penduduk di Kalimantan Timur
begitu tinggi (Siburian, 2017).

Kota Samarinda sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Timur


memiliki pertumbuhan penduduk yang pesat. Perkembangan Kota
Samarinda tidak lepas dari sumber daya yang dimiliki oleh Provinsi
Kalimantan Timur. Jumlah penduduk pada tahun 2009 berkisar 607.675
jiwa dengan tingkat kepadatan 846 jiwa/km2 (BPS 2010: 37, 49), tujuh
tahun kemudian (tahun 2016) telah meningkat menjadi 828.303 jiwa
dengan tingkat kepadatan mencapai 1.154 jiwa/km2. Peningkatan jumlah
penduduk tersebut terutama diakibatkan oleh arus migrasi yang masuk
ke Kota Samarinda, disebabkan dari bertumbuhnya jumlah perusahaan
pertambangan di Kota Samarinda dan 6 (enam) kecamatan di Kabupaten

1
http://diskominfo.samarindako-ta.go.id/pageisi/1/2/5/kota-samarinda.html

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


374 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Batik Dayak Khas Kalimantan
Kutai Kartanegara yang mengelilingi Kota Samarinda, yaitu: Tenggarong
Seberang di sebelah selatan, Muara Jawa dan Loa Janan di sebelah
selatan, Anggana, Muara Badak dan Sangasanga di sebelah timur. Jumlah
perusahaan pertambangan batubara yang beroperasi di Kota Samarinda
mulai tahun 2009 sampai 2021 sesuai izin operasional yang dikeluarkan
oleh pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pusat, sebanyak 62
perusahaan ditambah jumlah perusahaan yang mencapai 184 unit di
kecamatan-kecamatan yang mengelilingi Kota Samarinda. Perusahaan-
perusahaan itu membutuhkan tenaga kerja untuk dipekerjakan di wilayah
konsesinya. Peningkatan jumlah penduduk itu mendorong tumbuhnya
kegiatan perekonomian lain, seperti perhotelan, restoran, dan tempat
hiburan malam.

2. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba

2.1. Penyalahgunaan Narkoba dan Penyebabnya

Ada tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya peredaran dan


penyalahgunaan narkoba di Kota Samarinda, yaitu: 1) alasan untuk tahan
bekerja karena sifat sabu adalah membuat seseorang tetap bersemangat
untuk bekerja (pemberi stamina) sehingga pengguna ketika bekerja
tidak merasa lelah, bahkan semalaman tanpa tidur pun mampu untuk
tetap bekerja. 2) lifestyle atau gaya hidup, karena dengan mengonsumsi
narkoba, yang bersangkutan merasa lebih percaya diri, terutama di
kalangan pemuda/remaja. 3) pengaruh pergaulan, karena seseorang
yang bergaul dengan orang-orang yang menggunakan narkoba, maka
kecenderungan untuk ikut menjadi pengguna narkoba sangat tinggi.2

Sungai Mahakam yang membelah Kota Samarinda menjadi dua


bagian dan sungai yang bermuara ke Sungai Mahakam, seperti Sungai
Karangmumus, menjadi jalur aman untuk memasukkan dan mengedarkan
narkoba di Kota Samarinda. Melalui jalur sungai tersebut maka aktivitas
memasukkan dan mengeluarkan narkoba ke/dari Kota Samarinda kurang
terpantau oleh aparat kepolisian dan Badan Narkotika Nasional Provinsi
Kalimantan Timur dan Badan Narkotika Nasional Kota Samarinda.
Pada saat dilakukan operasi penangkapan di sekitar Pasar Segiri yang

2
Hasil wawancara dengan Kepala BNNK Samarinda Siti Zaekhomsyah pada tanggal 6 September 2018

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 375
berdekatan dengan Sungai Karangmumus, pengedar atau penyalahguna
dapat kabur dengan mudah melalui Sungai Karangmumus. Oleh sebab itu,
operasi penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian senantiasa
gagal meskipun sudah menjadi rahasia umum bahwa daerah itu sebagai
pusat peredaran narkotika di Kota Samarinda. Seandainya diperoleh
barang bukti pada saat dilakukan penyergapan, jumlah narkoba yang
didapat juga tidak signifikan dibandingkan dengan jumlah aparat polisi
yang dikerahkan maupun dari terkenalnya Pasar Segiri sebagai pusat
peredaran narkoba, karena jumlah narkoba yag berhasil ditangkap hanya
dalam hitungan gram.

Permukiman di sekitar Pasar Segiri sebagai pusat peredaran


narkoba di Kota Samarinda bukan rahasia lagi, dan masyarakat umum
banyak yang mengetahuinya. Pusat transaksi di permukiman itu sekitar
5 (lima) titik. Informasi yang diperoleh Satuan Reserse Narkoba Polresta
Samarinda menyebutkan bahwa narkoba tidak disimpan di satu tempat
(rumah), tetapi disebar di antara masyarakat yang ada di sana. Dengan
strategi demikian, pada saat aparat kepolisian melakukan penyergapan
ke lokasi, barang bukti yang didapat hanya dalam volume kecil.3

Mereka yang menikmati hasil transaksi narkoba di sekitar Pasar Segiri


tidak hanya pengedar, tetapi juga masyarakat di sekitarnya. Memberikan
gambaran tentang kondisi tersebut, Kepala Satuan Reserse Narkoba
Polresta Samarinda Komisaris Polisi Markus SN., S.H. mencontohkan
pada kegiatan parkir sepeda motor. Oleh karena gang permukiman di
sekitar Pasar Segiri sempit, maka mereka yang akan membeli narkoba
harus memarkirkan sepeda motornya di ujung gang, kemudian dilanjutkan
dengan berjalan kaki menuju tempat penjualan narkoba yang berada di
tengah permukiman. Uang parkir yang dikenakan oleh pemilik rumah
yang halamannya dijadikan sebagai tempat parkir sebesar Rp 5.000,.
Jika dalam sehari calon pembeli yang memarkirkan sepeda motornya
berjumlah 100 unit, maka pemilik rumah sudah dapat mengumpulkan
uang sekitar Rp 500.000,-. Adanya manfaat ekonomi yang dinikmati
oleh banyak pihak, maka mereka yang mendapat manfaat ekonomi dari
peredaran/penyalahgunaan narkoba di lokasi itu selalu mengawasi setiap

3
Hasil wawancara dengan Kepala Satuan Reserse Narkoba Polresta Samarinda Komisaris Polisi Markus SN., S.H pada tanggal 26
April 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


376 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
orang yang belum mereka kenal, yang datang ke Pasar Segiri. Tingginya
tingkat kecurigaan pada setiap orang yang baru pertama kali berkunjung
ke permukiman itu, maka orang yang baru datang ke tempat itu selalu
menjadi obyek pengawasan oleh warga penghuni wilayah itu.

Menurut Kepala BNN Provinsi Kalimantan Timur (Brigjen. Polisi Drs.


Raja Haryono),4 pada saat aparat kepolisian Kota Samarinda melakukan
penggerebekan dan dilanjutkan pemantauan di wilayah itu selama
beberapa minggu secara terus menerus, transaksi narkoba di wilayah itu
pun menjadi nihil. Meskipun demikian, transaksi dan peredaran narkoba
di Kota Samarinda justru meluas ke beberapa kecamatan, sebab para
pengedar narkoba dalam melakukan aksinya berpindah ke kecamatan
lain. Berdasarkan kasus-kasus penyalahgunaan narkoba yang terjadi di
Kota Samarinda, BNNP Kalimantan Timur mengklasifikasikan bahwa
kecamatan rawan narkoba di wilayah Kota Samarinda berada di 6 (enam)
wilayah kecamatan, yaitu: Sungai Kunjang, Samarinda Ulu, Samarinda
Seberang, Palaran, Samarinda Ilir, dan Samarinda Utara.

Berdasarkan Gambar 12.1 dapat diketahui bahwa dari 10 kecamatan


di Kota Samarinda, 60% di antaranya atau 6 kecamatan tergolong daerah
rawan peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Kriteria sebuah kecamatan
dikategorikan sebagai daerah rawan peredaran dan penyalahgunaan
narkoba didasarkan pada jumlah kasus yang terjadi/terungkap di
kecamatan tersebut. Oleh sebab itu, daerah kecamatan yang tergolong
rawan narkoba dapat berubah dari tahun ke tahun. Sedangkan kecamatan
yang tidak tergolong rawan meliputi: Sambutan, Samarinda Kota, Sungai
Pinang, dan Loa Janan Ilir. Walaupun saat ini empat kecamatan tersebut
tidak tergolong rawan, namun jika suatu saat di daerah itu banyak
terungkap peredaran dan penyalahgunaan narkoba, maka kecamatan-
kecamatan yang asalnya tergolong tidak rawan narkoba itu akan berubah
menjadi daerah rawan narkoba. Demikian sebaliknya dengan kecamatan
yang sebelumnya rawan dapat berubah menjadi kecamatan tidak rawan
apabila kasus-kasus peredaran dan penyalahgunaan narkoba tidak lagi
ditemukan di kecamatan-kecamatan tersebut.

4
Wawancara dilakukan pada tanggal 6 September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 377
Gambar 12.1. Kecamatan-Kecamatan Rawan Peredaran dan Penyalahgunaan
Narkoba di Kota Samarinda

F
B

A E
C

Sumber: BNN Provinsi Kalimantan Timur 2018.

Keterangan daerah Rawan Narkoba:


A. Kec. Sungai Kunjang : Pasar Kemuning, Jl. Slamat Riyadi (Karang
Asam) Gg. Kangkung, Jl. Revolusi, Jl. M. Said (Loa Bahu), Pergudangan,
Jl. Ir. Sutami, Jl. Cendana, Jl Antasari, Jl. Antasari, Pasar Kedondong
(Kahoi), Komplek Perum Loa Bakung/Perum Korpri.
B. Kec. Samarinda Ulu : Pasar Segiri Jl Dr. Soetomo, Kampung Jawa,
Perum pripap, Air Putih, Teluk Lerong Ilir Jl. P. Suryanata.
C. Kec. Samarinda Seberang : Kampung Baqa, Mangkupalas, Kampung
Masjid, Sungai Keledang, Harapan Baru, Sengkotek, Loa Janan Ilir dan
Rapak Dalam.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


378 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
D. Kec. Palaran : Pasar Palaran dekat polsek (rawa makmur), Bukuan,
Jl. Gotong Royong, Jln. Dwikora kawasan jembatan kuning (jembatan
kembar).
E. Kec. Samarinda Ilir : Sungai Dama, Makroman, Selili, kawasan Jl.
Mulawarman THM, Jl. Agus Salim Gg Tanjung, Jelawat, Kartini, Pesut,
Tongkol, Sambutan Sungai Kerbau dan Perumahan GP.
F. Kec. Samarinda Utara : Jl. Gatot Subroto/Merak, Jl. DI. Panjaitan,
Kemakmuran, Mugirejo, dan Lempake, Lambung Mangkurat, Rajawali,
Komplek Bendungan Solong, Komplek Bayur, Sempaja, Komplek Jl.
Pramuka (Unmul).

Penyalahguna narkoba kebanyakan berasal dari lingkungan


keluarga yang tidak harmonis, walaupun tidak sedikit pula yang berasal
dari lingkungan kelurga baik-baik dengan ekonomi keluarga yang sudah
mapan. Munculnya penyalahgunaan narkoba dari keluarga baik-baik
umumnya karena pengaruh pergaulan. Orangtua yang sibuk dan kurang
perhatian terhadap anak, mendorong anak untuk mencari perhatian
atau melakukan kegiatan di luar rumah. Bagi yang sudah berkeluarga,
hal itu dapat berujung pada hancurnya rumah tangga, bagi yang sudah
berkeluarga. Menurut penjelasan Kepala BNNK Samarinda (AKBP Siti
Zaekhomsyah)5 , setiap melakukan konseling dengan pengguna, diketahui
bahwa umumnya keluarga pengguna itu sudah tidak utuh, karena istrinya
sudah meninggalkan atau menceraikannya.

2.2. Dampak Penyalahgunaan Narkoba

Tidak dapat dipungkiri bahwa penyalahgunaan narkoba bisa


menimbulkan efek negatif bagi penggunanya, baik berupa stimulan,
depresan, atau pun halusinogen, tergantung pada jenis narkoba yang
dikonsumsi. Selain itu dampak kesehatan, juga ada dampak ekonomi dan
sosial yang mengiringinya.

2.2.1. Stimulan, Depresan, dan Halusinogen

Narkoba yang disalahgunakan sangat berbahaya bagi kesehatan


tubuh yang mengkonsumsinya. Hal itu karena narkoba dapat

5
Hasil wawancara tanggal 6 September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 379
mempengaruhi susunan saraf, mengakibatkan ketagihan, dan
ketergantungan. Efek yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkoba ada
tiga: 1) stimulan, yaitu merangsang fungsi fungsi tubuh dan meningkatkan
kegairahan serta kesadaran; 2) depresan, yaitu tertekannya sistem-
sistem syaraf pusat dan mengurangi aktivitas fungsional tubuh sehingga
pemakai merasa tenang, bahkan pemakai dapat tertidur lama dan tidak
sadarkan diri; 3) halusinogen, yaitu berubahnya daya persepsi yang
berakibat terjadinya halusinasi.

Dengan adanya efek yang berbeda dari penggunaan narkoba


tersebut, setiap jenis narkoba bisa menimbulkan efek yang berbeda. Jenis
narkoba yang menimbulkan efek stimulan antara lain sabu dan ekstasi.
Efek depresi ditimbulkan oleh narkoba jenis morphin, heroin, dan putaw.
Adapun efek halusinogen bisa ditimbulkan oleh narkoba jenis marijuana
atau ganja.

Berdasarkan efek yang diperoleh dari penyalahgunaan narkoba di


Kota Samarinda, para pengguna narkoba umumnya menggunakan jenis
yang efeknya berupa stimulan. Oleh sebab itu, jenis narkoba yang banyak
beredar di Kota Samarinda dan Kalimantan Timur umumnya adalah
sabu. Hal itu sesuai dengan jumlah kasus yang terungkap dan volume
tangkapan yang tercatat pada Polresta Samarinda, sebagaimana dapat
dilihat pada tabel 12.1.

Pada tabel 12.1 dapat dilihat bahwa jumlah kasus, tersangka, dan
volume barang bukti yang disita cenderung meningkat, meskipun pada
tahun 2017 mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2016.
Adapun jenis narkoba yang banyak beredar di Kota Samarinda yaitu
sabu. Kecenderungan itu sesuai dengan efek yang ingin didapat oleh
penggunanya, yaitu efek stimulan yang dapat meningkatkan produktivitas
penggunanya ketika bekerja yang berimplikasi pada upah yang akan
diterimanya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


380 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Tabel 12.1. Kasus Narkoba 5 tahun Terakhir di Jajaran Polresta Samarinda

CT BARANG BUKTI
No THN Ganja Ectasi Sabu LL
KSS TSK
(gram) (butir) (gram) (butir)
1. 2014 209 305 122,66 173,0 2.050,40 19.438
2. 2015 307 439 2.267,76 299,0 4.342,80 95.628
3. 2016 509 670 17.808,68 3.007,0 5.131,80 145.913
4. 2017 408 524 643,24 202,0 4.944,60 6.376
5. 2018 247 331 6,34 692,0 9.973,62 1.281
(s/d 17
September)
Sumber: Polresta Samarinda, 2018

Penggunaan sabu di wilayah ini karena umumnya mereka ingin


mendapatkan kekuatan ekstra dalam bekerja atau pun beraktivitas. Sebut
saja seorang pecandu berinisial I, yang telah menggunakan sabu ketika
masih duduk di SMP tahun 2013/2014, dan merupakan mantan pemain
game (gamer) online. Menurutnya, ada perbedaan antara mengonsumsi
sabu dengan tidak mengonsumsinya, pada saat bermain game. Pada saat
bermain game tanpa mengonsumsi sabu, yang bersangkutan sangat sulit
untuk konsentrasi (fokus) agar bisa memenangkan permainan. Selain itu,
juga tidak mampu memainkan game berlama-lama. Padahal, kemenangan
bermain game itu menjadi obsesinya, agar bisa pergi ke tempat lain
bahkan ke luar negeri melalui permainan game. Hal itu berbeda jika yang
bersangkutan mengonsumsi sabu, yaitu selain konsentrasinya untuk
bermain game lebih tinggi, juga mampu untuk bermain game sampai
berhari-hari.

Keinginan untuk mendapatkan stimulan juga terjadi pada dunia kerja.


Dalam FGD yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)
Narkotika Samarinda, salah seorang peserta menyebutkan bahwa dia
bekerja di pertambangan sebagai pengemudi kendaraan berat. Begitu
melihat rekan kerjanya di perusahaan yang sama seakan tidak pernah
letih dan selalu semangat dalam bekerja, maka yang bersangkutan
ingin mengikuti jejaknya, karena hal itu berimplikasi pada bertambahnya
jumlah penghasilan, yang dapat dilihat dari slip gaji rekan kerjanya.
Oleh karena semangat kerja tersebut diperoleh dari mengonsumsi

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 381
sabu, maka hal itu mendorongnya untuk ikut serta mengonsumsi sabu
sebagaimana yang dilakukan temannya. Setelah mengonsumsi sabu,
maka yang bersangkutan tidak mengenal lelah dalam bekerja. Kondisi
itu dirasakan berbeda jika dibandingkan pada waktu yang bersangkutan
tidak mengonsumsi sabu, karena mudah capek sehingga tidak kuat
bekerja penuh pada saat shift malam. Dengan stamina yang tinggi
karena mengonsumsi sabu, kemampuan untuk mengangkut batubara
dari tempat penggalian hingga ke pelabuhan yang terdapat di Sungai
Mahakam dapat lebih banyak. Oleh karena upah yang diterima dihitung
berdasarkan jarak tempuh dikalikan rupiah untuk setiap kilometernya,
maka pendapatan yang diperoleh juga meningkat.

Berpijak dari pengalaman pelajar dan pekerja yang sama-sama


mengonsumsi sabu sebagai stimulan, maka para remaja dan kelompok
pekerja yang mengandalkan tenaga ketika bekerja menjadi target dari
peredaran narkoba. Para remaja (anak muda) menjadi target peredaran
narkoba, karena mereka masih mudah dipengaruhi oleh teman bermain
yang sudah terlebih dahulu mengonsumsi narkoba. Karena itulah maka
lingkungan pergaulan menjadi kata kunci yang mengakibatkan anak
muda di Samarinda terpapar narkoba. Pekerja juga menjadi target
peredaran narkoba, karena tuntutan pekerjaan dengan upah yang
diperoleh akan lebih besar, dan mereka mempunyai uang untuk membeli
narkoba. Meskipun demikian, sebenarnya selisih upahnya tidak begitu
banyak, jika dibandingkan antara bekerja menggunakan narkoba dengan
tidak menggunakan narkoba. Walaupun pekerja yang menggunakan
narkoba pada saat menerima upah jumlahnya lebih besar dibandingkan
dengan pekerja yang tidak menggunakannya, tetapi upah yang diterima
pengguna narkoba itu harus dikurangi dengan biaya membeli narkoba
yang tidak sedikit.

Pengguna narkoba lainnya, sebut saja W (27 tahun), saat ini sedang
mencoba berhenti dari mengonsumsi narkoba dengan mengikuti kegiatan
rehabilitasi. Menurutnya, mengawali mengonsumsi narkoba dengan
mengonsumsi nipan dan LL (double L) pada tahun 2004. Harga double
L ini relatif murah, yaitu Rp 300.000 untuk 1.000 butir. Pada saat itu
yang bersangkutan masih duduk di bangku SMP kelas 2. Perkenalannya
dengan narkoba dimulai ketika teman kecilnya menemukan bungkusan
di tengah jalan yang isinya sabu, tapi temanannya tidak tahu akan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


382 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
dikemanakan benda itu. Oleh karena temannya akan membuangnya, W
memintanya dan mencoba barang tersebut. Oleh karena W pada masa
SMP itu suka tawuran, setelah mengonsumsi sabu merasa memiliki
kekuatan dan keberanian yang lebih dalam menghadapi lawan tawuran,
sehingga tingkat kepercayaan diri pun semakin tinggi. Padahal, jika dilihat
dari postur tubuhnya, orangnya kecil dengan tinggi badan sekitar 155 cm
dan berat badan hanya 50 kg. Pada saat mengonsumsi narkoba, yang
bersangkutan juga merasa sebagai orang yang selalu benar. Sebagai
pengguna, yang bersangkutan mengaku bahwa selalu berusaha dengan
berbagai cara agar penyalahgunaan narkoba yang dilakukannya tidak
diketahui oleh orang lain. Oleh sebab itu, seorang pengguna narkoba
umumnya jarang diketahui oleh orangtuanya, dan baru tahu jika anaknya
menjadi pengguna narkoba setelah tingkat ketergantungannya semakin
tinggi, yang ditunjukkan oleh perilaku yang agak aneh di mata orang lain.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan dan


hasil FGD, mereka yang bekerja di pertambangan dapat bekerja selama
delapan jam tanpa merasa kelelahan, bahkan mereka masih sanggup
bekerja lembur, jika mengonsumsi sabu, Dengan adanya kegiatan lembur
(over time), maka upah yang diterima menjadi lebih banyak dari biasanya.

Begitu pula pengakuan dari seorang sopir carteran dengan rute


Samarinda-Balikpapan, yang tidak merasa lelah dan mengantuk ketika
mengendarai kendaraannya meskipun tidak tidur semalaman, jika
mengonsumsi narkoba. Data pekerjaan tersangka kasus narkoba
menunjukkan bahwa mereka berasal dari berbagai jenis pekerjaan,
termasuk ibu rumah tangga, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 12.2.
Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa mereka yang berprofesi sebagai
karyawan swasta jumlahnya paling banyak. Selain itu, mereka yang
berprofesi sebagai ibu rumah tangga jumlahnya juga cukup banyak.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 383
Tabel 12.2. Jenis Pekerjaan Tersangka Kasus Narkoba
di Polresta Samarinda (2014-2018)
Jenis Pekerjaan

No Tahun Mhs/ Swas- POL/ TOTAL


Pela- % PNS % % % PGR % IRT %
ta TNI
jar
1. 2014 6 1,82 6 1,82 233 70,82 1 0,30 61 18,54 22 6,69 329
2. 2015 10 2,17 10 2,17 345 74,84 3 0,65 69 14,97 24 5,21 461
3. 2016 13 1,88 11 1,59 479 69,42 1 0,14 149 21,59 37 5,36 690
4. 2017 12 2,23 5 0,93 384 71,64 2 0,04 113 21,08 20 3,73 536
5. 2018 9 2,98 1 0,33 203 67,22 0 0,00 81 26,82 8 2,65 302
(s/d
Sept)
50 33 1.644 7 473 111 2.318

Sumber: Polresta Samarinda, 2018.

Seorang ibu rumah tangga, sebut saja dengan inisial Y,6 mengaku
ditangkap oleh BNNP karena diajak oleh suaminya. Pada saat masih di
kampungnya di Kutai Barat, Y tidak mengenal narkoba. Namun setelah
menikah dan hijrah ke kota Samarinda, suaminya yang merupakan
seorang pengguna memperkenalkan narkoba jenis sabu kepadanya, dan
kemudian mengonsumsinya bersama-sama. Selain itu, harga sabu saat
itu lebih terjangkau dan sabu bisa diperoleh dengan mudah. Sedangkan
para pekerja umumnya membeli sabu melalui rekan kerja, dan sebagian
membelinya secara langsung di Pasar Segiri.

Tabel 12.2 tersebut juga menegaskan Laporan Tahunan BNNP


Kalimantan Timur tahun 2017 yang menyebutkan bahwa tidak ada satu
pun lapisan masyarakat, baik dari segi usia, jenjang pendidikan, jenis
pekerjaan, status ekonomi dan sosial, suku, maupun agama yang tidak
terjerat penyalahgunaan narkoba (BNNP Kalimantan Timur 2017).

2.2.2. Dampak Kesehatan, Ekonomi, dan Sosial

Di berbagai negara termasuk Indonesia, peredaran dan


penyalahgunaan narkoba merupakan tindak pidana. Selain itu,

6
HY berumur 27 tahun bukan nama sebenarnya, diwawancarai tanggal 17 September 2018 di Samarinda.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


384 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
penyalahgunaan narkoba juga berpotensi menimbulkan tindak kejahatan
lainnya, seperti pencurian, perkelahian, pembunuhan dan pemerkosaan.
Selain itu, penyalahgunaan narkoba secara terus-menerus akan
menimbulkan kecanduan pada penggunanya, sehingga berpotensi
menimbulkan dampak kesehatan, ekonomi dan sosial.

Dampak kesehatan dari mengonsumsi narkoba jarang diketahui


oleh penggunanya. Dengan kata lain, pengguna narkoba tidak pernah
memikirkan dampak negatif yang ditimbulkannya karena yang diinginkan
hanya satu, yaitu: bagaimana mendapatkan narkoba agar selalu bisa
mengkonsumsinya. Dampak negatif yang dialami pengguna narkoba baru
diketahui setelah mereka di rumah damping atau setelah masuk tempat
rehabilitasi. Jadi mereka baru mendapatkan informasi tentang dampak
kesehatan justru pada saat mereka sudah tidak mengonsumsinya.
Adapun dampak kesehatan yang mereka rasakan antara lain sulit
konsentrasi pada aktivitas yang dilakukan, dan gairah kerja menurun
karena selalu gelisah. Ketika efek dari mengonsumsi narkoba itu hilang,
yang dirasakan yaitu selalu ingin tidur, walaupun sudah tidur semalaman.

Menurut Wakil Direktur Rumah Sakit Jiwa Padma Husada Samarinda


(dr. H. Jaya Mulaimin)7, ketika seseorang sudah menjadi pecandu narkoba,
atau tingkat ketergantungannya pada narkoba sudah tinggi, maka yang
bersangkutan tidak ubahnya dengan orang yang sakit jiwa (gila). Karena
itulah kesehatan jiwa dari para pecandu dengan tingkat ketergantungan
itu menjadi tanggung jawab Rumah Sakit Jiwa Padma Husada.

Selain dampak kesehatan, penggunaan narkoba yang terus-menerus


juga berdampak pada ekonomi keluarga. Hal itu karena pecandu narkoba
selalu berusaha untuk mengonsumsinya terus-menerus, sehingga
penghasilan yang diperoleh dari aktivitas bekerja digunakan untuk
membeli narkoba. Seorang mantan konsultan di sebuah perusahaan yang
menjadi pengguna menyebutkan bahwa penghasilannya habis untuk
membeli narkoba sehingga tidak ada yang bisa ditabung. Demikian halnya
dengan pengakuan seorang pelajar yang menjadi pengguna, uang jajan
yang diberikan orangtua juga dimanfaatkan untuk membeli narkoba. Jika
uang jajan tidak cukup maka meminta lagi ke orangtuanya, bahkan ketika

7
Wawancara dilakukan pada tangal 19 September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 385
uang yang diminta tidak diberikan, pernah hampir memukul orangtuanya.
Menjual barang-barang milik orang tuanya juga sudah menjadi kebiasaan
yang dilakukan, termasuk menjual barang material yang ada di toko
bangunan milik orangtuanya, tanpa memberitahukan ke orangtuanya.

Pengalaman yang hampir sama juga dilakukan oleh seorang mantan


pecandu lainnya. Sebagai karyawan di salah satu toko bangunan, yang
bersangkutan memiliki gaji Rp 4 juta per bulan. Meskipun demikian untuk
memenuhi keinginan membeli narkoba, kadang dia tidak menyetor hasil
penjualan bahan bangunan milik bosnya. Dari penghasilannya sebanyak
Rp 4 juta, hanya Rp 1 juta yang diserahkan kepada istrinya, sisanya sekitar
Rp 3 juta digunakan untuk membeli narkoba.

Untuk menggambarkan dampak ekonomi tersebut, salah seorang


peserta FGD di Balai Rehabilitasi Narkoba Tanah Merah Samarinda
menyampaikan sebagai berikut:

“kalau dari sisi ekonomi (uang), lebih banyak habisnya karena


pengguna narkoba merasa tidak enak badan sehingga perlu tambah
dosis. Jika penggunaan narkoba hanya seperempat gram dalam
satu hari itu, kalau misalkan sudah keseringan, dosis semula sudah
tidak ada rasa lagi jadi dosis ditambah lagi, termasuk uang yang
dikeluarkan. Kalau tadinya hanya Rp 100.000, setelah dosis dinaikkan
harga bisa menjadi Rp 800.000,-. Oleh karena itu semakin hari makin
habis uang itu”.

Dampak sosial juga dialami oleh pengguna narkoba. Mereka


sering ditolak oleh masyarakat di lingkungannya. Bagi yang sudah tidak
menggunakan narkoba lagi, juga tidak mudah diterima oleh masyarakat.
Adanya stigma negatif terhadap pengguna narkoba, mendorong para
pengguna yang sudah ‘bertobat’ untuk kembali lagi menjadi pengguna.
Menurut Kepala BNNK Samarinda AKBP Siti Zaekhomsyah, pengguna
narkoba yang sudah direhabilitasi bisa kambuh lagi mengonsumsi
narkoba. Potensi untuk kambuh itu sekitar 10%. Bagi mantan pengguna,
untuk meyakinkan masyarakat di sekitarnya itu tidak mudah. Masyarakat
dan keluarganya umumnya belum dapat diyakinkan bahwa yang
bersangkutan sudah sembuh total, sehingga stigma negatif tetap
dilekatkan kepada mantan pengguna narkoba. Hal itu sebagaimana yang
dikemukakan oleh seorang residen yang menjadi peserta FGD di Balai
Rehabilitasi Narkotika Tanah Merah, sebagai berikut:

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


386 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
“Kalau stigma negatif itu banyak berasal dari keluarga sendiri.
Sekarang ini kita adalah seorang pecandu, dan sudah dicap di
masyarakat dengan Bahasa kasarnya adalah orang brengsek. Jika
kita keluar dari Balai Rehabilitasi ini, keluarga belum tentu bisa
menerima lagi. Terkadang kita di luar sana dikatakan orang mungkin
nanti kalau dia datang keluar dari Balai Rehabilitasi ada lagi barang
yang hilang. Terkadang ada keluarga atau lingkungan tempat tinggal
menyatakan seperti itu”.

Dengan demikian, tingkat kekambuhan itu sangat tergantung pada


keluarga. Jika keluarga tidak mendukung mantan pengguna untuk pulih,
dalam arti belum sepenuhnya percaya bahwa anggota keluarganya yang
direhabilitasi sudah sembuh 100%, maka seorang mantan pengguna bisa
kembali mengonsumsinya.

Pada tingkat yang paling sederhana, ketidakpercayaan keluarga


itu antara lain diwujudkan dalam bentuk pertanyaan: “dari mana kamu?”
terhadap anaknya yang baru pulang dari luar rumah. Pada tingkat yang lebih
ekstrim, ketika anak sudah memberitahu yang sebenarnya, orangtuanya
masih tidak mempercayai jawabannya, bahkan memintanya untuk tes
urine untuk membuktikan bahwa sudah tidak menggunakan narkoba.
Jika setiap pulang ke rumah selalu dihadapkan pada hal yang sama, maka
yang bersangkutan akan merasa jengkel. Akibatnya, walaupun dia sudah
berusaha untuk lepas dari narkoba, namun kejengkelan itu bisa dibalas
dengan kembali mengonsumsi narkoba. Hal itu karena lingkungan sesama
pengguna narkoba masih mau menerimanya, sedangkan lingkungan
sosialnya tidak menerima mantan pengguna tersebut.

Dampak negatif narkoba juga menjadi pemicu hancurnya sebuah


keluarga. Perceraian kerap terjadi pada keluarga yang salah satu di antara
pasangan hidup tersebut menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba.
Dicky (bukan nama sebenarnya) juga mengalami perceraian dengan
istrinya, bahkan baru menyadari bahwa ketergantungannya pada narkoba
merupakan tindakan yang salah, setelah bercerai dari istrinya. Perceraian
juga juga terjadi pada Syafri (bukan nama sebenarnya)8, yang disebabkan
oleh narkoba. Meskipun Syafri tidak menggunakan narkoba, tetapi
dikenakan hukuman pidana selama 8 tahun dengan tuduhan pelanggaran

8
Wawancara dilakukan pada tanggal 18 September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 387
Pasal 132 Undang-undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
yang berbunyi: “Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika….”. Hal itu karena Syafri
dianggap mengetahui adanya peredaran dan penyalahgunaan narkoba
tetapi tidak melaporkannya pada pihak berwajib. Akibatnya harus
mendekam di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Meskipun mantan pengguna narkoba relatif sulit untuk diterima


masyarakat luas secara sosial, tetapi ada juga mantan pengguna yang
berusaha keras agar masyarakat menerimanya, dan berhasil. Ivon9
merupakan mantan pemakai narkoba suntik jenis putau. Meskipun hanya
sekali memakainya, karena setelah itu tidak memakai lagi, Ia merasa
seperti mau mati menggunakan putau suntik. Untuk memulihkan dirinya
tidak dilakukan melalui pusat rehabilitasi tetapi diawali dari kesadaran
sendiri yang ingin berhenti memakai narkoba setelah melihat sendiri
anggota band musiknya meninggal dunia akibat kelebihan (over) dosis.
Teman yang meninggal secara tidak wajar dengan mulut mengeluarkan
busa yang dilihat dengan mata dan kepala sendiri, menjadi titik balik
untuk merubah kebiasannya memakai narkoba. Dengan tragedi yang
menimpa rekannya di depan matanya sendiri, telah menyadarkan Ivon
tentang bahaya narkoba. Padahal sebelumnya, setiap pentas selalu
didahului dengan memakai narkoba. Ivon takut jika kematiannya nanti
seperti temannya anggota band, jika masih meneruskan mengkonsumsi
narkoba. Dengan pengalaman itu, Ivon merasa berdosa dan menghentikan
kebiasaan buruknya itu.

Perasaan berdosa atas kebiasaannya tersebut, Ivon pun


merehabilitasi dirinya sendiri dengan cara yang disebutnya ‘rehabilitasi
spritual’, yaitu lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Kemudian, agar
masyarakat menerimanya, Ivon melakukan hal-hal positif dalam hidupnya
dan dalam masyarakat. Setelah tidak lagi memakai narkoba, bukan berarti
Ivon lepas dari godaan untuk memakainya lagi. Oleh karena lingkungan
kerjanya bergerak di industri musik, godaan itu selalu ada. Akan tetapi,
ajakan untuk kembali memakai narkoba selalu diabaikannya, dan Ivon
sudah memutuskan untuk tidak memakai narkoba lagi.

9
Wawancara dilakukan pada tanggal 18 September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


388 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Terkait dengan hal-hal positif yang dilakukan, Ivon menunjukkan
beberapa prestasi yang dicapainya kepada masyarakat untuk meyakinkan
masyarakat bahwa mantan pengguna narkoba dapat berbuat yang posisif
sehingga tidak perlu dijauhi. Dengan prestasi-prestasi itu, Ivon semakin
percaya diri untuk kembali pada masyarakat. Selain aktif di dunia musik,
Ivon juga aktif di bidang olahraga, politik, dan menjadi penyiar salah satu
radio di Samarinda. Melalui prestasi yang ditunjukkan, Ivon kemudian
menjadi salah satu penggiat anti narkoba yang bermitra dengan BNN
Kota Samarinda dan selalu diminta untuk memberi testimoni terkait
dampak negatif yang akan dirasakan oleh mereka yang terjerumus pada
penyalahgunaan narkoba.

2.3. Peredaran Narkoba

Penyebab maraknya peredaran narkoba di Kota Samarinda sehingga


sulit diberantas meskipun berbagai upaya sudah dilakukan, tidak lepas dari
karakter wilayah Kalimantan Timur dan Kota Samarinda pada umumnya.
Kalimantan Timur berdekatan dengan daerah perbatasan, bahkan Provinsi
Kalimantan Utara pernah menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan Timur
sebelum tahun 2012.10 Panjang garis perbatasan wilayah Kalimantan
Utara berada di Kabupaten Mahakam Hulu, terutama dengan Kecamatan
Long Apari, sekitar 47 km. Sementara daerah yang berbatasan langsung
dengan Malaysia di Kalimantan Utara berada di Kabupaten Malinau dan
Kabupaten Nunukan. Daerah perbatasan di Malinau berada di Kecamatan
Kayan, Kayan Hulu, Kayan Selatan, Kayan Hilir, Pujungan, dan Bahau Hulu;
panjangnya sekitar 505 km. Daerah perbatasan di Kabupaten Nunukan
berada di Kecamatan Krayan, Krayan Selatan, Lumbis Agong, Tulim
Onsoi, Sei Manggaris, Nunukan, Nunukan Selatan, Sebatik Barat, dan
Sebatik Utara; meliputi laut dan darat. Batas laut dan darat yang banyak
di Kabupaten Nunukan menyebabkan jalur ilegal lebih dari 1.000 titik.
Daerah utara yang berbatasan dengan Malaysia itu mengakibatkan tren
penyelundupan narkoba (Dirgantara 2017) kerap terjadi.

Menurut Dirgantara (2017), penyebab daerah perbatasan


Indonesia-Malaysia di bagian utara Kalimantan-Indonesia menjadi jalur

10
Provinsi Kalimantan Utara resmi disahkan menjadi provinsi dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 25 Oktober 2012
berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2012.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 389
penyelundupan narkoba ada tiga, yaitu: minimnya infrastruktur pos
perbatasan yang ditempatkan di daerah perbatasan; kurangnya sumber
daya manusia yang bertugas melakukan penjagaan di daerah perbatasan,
termasuk di 1.000 titik jalur ilegal; kurangnya kepedulian masyarakat
perbatasan dengan kasus penyelundupan narkoba di wilayah mereka
akibat pengetahuan yang minim pada kasus itu. Sementara panjang
garis perbatasan Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalimantan Timur dan
Kalimantan Utara yang harus diawasi mencapai 1.038 kilometer.

Menurut Wakil Direktur Rumah Sakit Jiwa Padma Husada Samarinda


dr. H. Jaya Mulaimin, penyelundupan narkoba yang masuk ke Provinsi
Kalimantan Timur dan Kota Samarinda khususnya tidak hanya berasal
dari Malaysia, tetapi juga berasal dari Philipina. Bagian Indonesia yang
memiliki pulau terluar berdekatan dengan Philipina yaitu Pulau Maratu
dan Pulau Derawan di Laut Sulawesi, bagian dari wilayah Kabupaten
Berau, Kalimantan Timur. Pulau yang menjadi destinasi wisata bahari
di Kalimantan Timur itu dapat ditempuh hanya 3 jam dari Philipina
menggunakan kapal. Kedua pulau ini pun menjadi pelabuhan pintu masuk
bagi penyelundupan narkoba dari Philipina menuju Kalimantan Timur.

Narkoba yang masuk dari wilayah Malaysia dan Philipina ke


bagian utara dari wilayah Indonesia di Pulau Kalimantan, terus bergerak
menuju kota-kota yang ada di Provinsi Kalimantan Utara hingga sampai
di Kalimantan Timur. Pergerakan peredaran narkoba dari arah utara
ke selatan itu, merupakan penggabungan dari jalur darat dan laut/
sungai. Setelah narkoba tiba di Nunukan ataupun daratan Kalimantan
Utara, narkoba dibawa menuju Kabupaten Malinau, terus ke Kabupaten
Berau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Bontang, dan berakhir di
Kota Samarinda. Akan tetapi, ada juga bandar narkoba yang khusus
menggunakan jalur laut, dengan menggunakan kapal laut yang berhenti
di Nunukan. Kapal laut menuju Kota Samarinda terlebih dahulu berhenti
di Pare-Pare (Sulawesi Selatan), kemudian dari Pare-Pare menyeberang
Selat Sulawesi menuju Kota Samarinda. Pemanfaatan kapal laut ini
diakibatkan pemeriksaan barang-barang bawaan penumpang tidak
seketat di bandara udara yang menggunakan x-ray. Kepala Satuan
Reserse Narkoba Polresta Samarinda Komisaris Polisi Markus, SN, S.H11

11
Wawancara dilaksanakan pada tanggal 17 September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


390 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
menyebutkan bahwa pernah terdapat penumpang kapal dari Sulawesi
Selatan yang berlabuh di Kota Samarinda tertangkap membawa narkoba
sebanyak 1 ons. Jalur peredaran masuknya narkoba ke Kota Samarinda
dapat dilihat pada Gambar 12.2. Selain peredaran melalui jalur laut,
sebagian pengedar juga memanfaatkan pelabuhan-pelabuhan rakyat
yang banyak bertebaran di Kalimantan Timur. Mereka memanfaatkan jasa
nelayan yang oleh petugas pengawasan di pelabuhan-pelabuhan rakyat
pengawasannya tidak dilakukan dengan ketat. Pelabuhan-pelabuhan
rakyat itu dapat menjadi jalur-jalur tikus untuk peredaran narkoba di Kota
Samarinda khususnya dan Provinsi Kalimantan Timur umumnya.

Gambar 12.2. Peta Jalur Peredaran Narkoba ke Kalimantan Timur

Sumber: BNNP Kalimantan Timur, 2018

Keterangan gambar:
1. Garis berwarna kuning merupakan jalur peredaran narkoba lewat laut dan darat, mulai dari Nunukan
(Kalimantan Utara)–Balikpapan (Kalimantan Timur) – Pare-Pare (Sulawesi Selatan) - Mamuju (Sulawesi
Barat) –Samarinda (Kalimantan Timur.
2. Garis berwarna biru merupakan jalur peredaran narkoba lewat udara, mulai dari Sebatik – Nunukan
(Kalimantan Utara) – Balikpapan (Kalimantan Timur) – Makassar – Parepare (Sulawesi Selatan)
3. Garis berwarna merah merupakan jalur peredaran narkoba lewat laut dan darat, mulai dari Sebatik – Nunukan
– Tarakan – Tanjung Selor – Tanjung Redeb (Kalimantan Utara)– Kutai Timur – Bontang – Samarinda
(Kalimantan Timur)
4. Garis berwarna hijau adalah jalur peredaran narkoba lewat udara dan darat, mulai dari Sebatik – Nunukan –
Tarakan (Kalimantan Utara)– Balikpapan – Samarinda (Kalimantan Timur).

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 391
Faktor lain yang menyebabkan tingginya peredaran dan
penyalahgunaan narkoba di Kota Samarinda yaitu keterlibatan oknum
polisi, sehingga pemberantasan narkoba semakin sulit dilakukan secara
permanen. Menurut pengakuan MN, seorang warga binaan di Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Samarinda, ketika belum tertangkap sebagai
kurir narkoba, pada tahun 2015 sepeda motornya pernah diberhentikan
oleh aparat kepolisian yang sedang melakukan razia di sekitar Jembatan
Mahakam. Pada saat itu, Ia membawa 100 gram narkoba jenis sabu yang
disimpan di bawah jok sepeda motornya. Sebelum polisi memeriksa
dan menggeledah jok sepeda motornya, ia meminta agar polisi yang
memberhentikannya itu tidak memeriksa dan memberi kesempatan
kepadanya untuk menghubungi ‘temannya’ terlebih dahulu. Anehnya,
polisi tersebut bersedia mengikuti permintaan MN untuk tidak langsung
memeriksanya dan menunggu MN menghubungi polisi yang bertugas
di Polda Kalimantan Timur. Dengan adanya persetujuan dari polisi itu,
kemudian MN pun menghubungi polisi yang dimaksud. Begitu telepon
tersambung dan berbicara sebentar dengan polisi yang dihubunginya,
lantas MN pun menyerahkan handphone tersebut ke polisi yang
merazianya. Tanpa mengetahui isi pembicaraan melalui jaringan telpon
oleh kedua polisi tersebut, setelah pembicaraan selesai polisi yang merazia
itu kemudian tidak jadi menggeledah tubuh MN maupun melakukan
pemeriksaan ke jok sepeda motor milik MN, bahkan MN diminta untuk
melanjutkan perjalanannya.

Selain itu, selama 6 bulan menjalani aktivitasnya menjadi kurir


narkoba, MN tidak pernah merasa takut melihat polisi. MN justru
menegaskan bahwa polisi banyak yang dikenalnya dan berteman dengan
mereka. Kegagalan penyergapan ataupun razia ke tempat rawan narkoba
yang dilakukan oleh aparat kepolisian sehingga pada saat razia dilakukan
daerah itu bersih dari aktivitas jual-beli narkoba, tidak luput dari peran
oknum polisi. Hal seperti itu dapat terjadi karena sebelum razia dilakukan,
informasi perihal razia dimaksud sudah disampaikan oleh oknum polisi
kepada ‘bos’ kurir yang biasa beroperasi di tempat yang hendak dilakukan
razia itu. ‘Bos’ kemudian menghubungi anak buahnya agar dalam
beberapa hari ke depan setelah informasi itu diterima tidak datang dulu
ke tempat biasanya mengantar narkoba. Alasannya adalah polisi akan
melakukan razia di tempat itu dalam beberapa hari ke depan.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


392 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
MN yang tidak pernah takut ditangkap polisi itu, semakin ditegaskan
oleh mantan pengguna dan pengedar narkoba lainnya. Dalam acara
FGD di Lapas Narkotika Samarinda, disebutkan bahwa peserta FGD
tidak pernah merasa takut ataupun terpikirkan ditangkap polisi pada
saat mengonsumsi ataupun mengedarkan narkoba. Justru yang mereka
pikirkan selaku pengedar maupun pemakai narkoba adalah bagaimana
cara agar mereka tidak ditangkap polisi. Oleh sebab itu, mereka pun
melakukan berbagai upaya agar tindakan mereka itu tidak sampai
ditangkap atau diketahui oleh polisi.

MN tergiur menjadi kurir narkoba karena penghasilan menjadi kurir


itu sangat tinggi. Oleh sebab itu, MN rela meninggalkan pekerjaannya
yang lama sebagai guru PNS di sebuah SD Negeri. Ia mengaku bahwa
upahnya untuk mengantar narkoba sebanyak 1 kilogram ke berbagai
tempat di Samarinda dan Muara Badak dapat mencapai Rp 15 juta. Untuk
mengantarkan narkoba sebanyak itu tidak membutuhkan waktu lama,
karena dalam sehari saja pekerjaan mendistribusikannya sudah selesai.
MN tinggal menghubungi pembeli melalui telpon kemudian menentukan
lokasi pertemuan. Untuk pertemuan dan penyerahan narkoba, MN sengaja
memilih tempat yang ramai dikunjungi orang, seperti rumah sakit dan
masjid. Tujuannya agar tidak timbul kecurigaan dari pihak lain. Narkoba
yang diterima dari bos sebanyak 1 kilogram itu dibagi dalam beberapa
kantong kecil, sekitar 50 gram sampai 100 gram sesuai arahan si bos.
Dengan kata lain, untuk mengantar sabu seberat 1 kilogram, tempat yang
dikunjungi oleh kurir paling banyak hanya 20 tempat, dengan asumsi
berat setiap bungkus sabu adalah 50 gram. MN selalu berupaya untuk
mengantarkan sabu tersebut kepada pemesannya secepat mungkin,
jangan sampai sabu bermalam di gudang karena khawatir ada razia dari
aparat kepolisian.

Sabu dalam kemasan 50 sampai 100 gram itu oleh pembeli


kemudian dipecah lagi untuk diteruskan ke pengecer sebelum sampai
pada pengguna (konsumen terakhir). Oleh penerima barang dari kurir,
sabu itu masih dibagi lagi menjadi kemasan yang lebih sedikit, yaitu 5
sampai 10 gram. Ketika pengecer membelinya, dibagi lagi untuk sampai
ke konsumen terakhir dalam ukuran 1 gram. Dengan demikian, rantai
peredaran narkoba mulai dari konsumen terakhir hingga pemilik narkoba
di awal sangat jauh sekali (Lihat gambar 12.3).

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 393
Meskipun gambar tersebut memperlihatkan bahwa narkoba yang
beredar di Kota Samarinda berasal dari luar negeri, tetapi ada juga
narkoba yang didatangkan dari Provinsi Aceh. Menurut MN, ada dua hal
yang membedakan sabu yang diperoleh dari Aceh dengan yang diperoleh
dari daerah utara Pulau Kalimantan.12 Pertama, proses pengiriman sabu
dari Aceh relatif cepat. Jika ada kurir menelepon ke Balikpapan untuk
mendapatkan sabu, dalam dua hari sudah tiba di Samarinda. Dengan
kata lain, persediaan sabu yang berasal dari Aceh untuk dipasarkan di
Kalimantan Timur selalu tersedia. Sedangkan untuk mendatangkan sabu
produk Philipina waktunya lebih lama, dibutuhkan waktu sekitar 2 minggu
setelah pemesanan. Kedua, harga sabu dari Aceh tergolong mahal,
karena reaksi yang ditimbulkannya relatif bertahan lama. Meskipun
demikian kualitas yang dihasilkan tidak lebih bagus dibandingkan sabu
yang didatangkan dari Philipina. Harga sabu produksi Philipina bisa lebih
murah karena pemesanan dapat dilakukan secara langsung dari bandar
di Philipina, sehingga jalur distribusinya tidak panjang. Harga sabu dari
Philipina itu sama dengan harga sabu yang didatangkan dari Malaysia.

Gambar 12.3. Pola Peredaran Narkoba di Kota Samarinda

Sumber: Data diolah berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan berbagai informan.

12
Menurut MN, yang dimaksud sabu dari daerah utara Pulau Kalimantan adalah sabu dari Philipina. Sedangkan beberapa
narasumber lain di Kota Samarinda menyatakan bahwa sabu dari daerah utara itu adalah sabu produksi Cina.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


394 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
3. Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba

Program P4GN atau Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan


dan Peredaran Gelap Narkoba merupakan upaya sistematis untuk
mencegah, melindungi, dan menyelamatkan warga negara dari ancaman
bahaya penyalahgunaan narkoba.13 Program ini dimulai sejak tahun 2011
berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan
Kegiatan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (Jakstranas P4GN) tahun
2011-2015. Dalam Inpres tersebut disebutkan langkah-langkah yang akan
dilakukan oleh para pihak14 yang terlibat dalam Jakstranas P4GN, yaitu
meliputi: 1. pencegahan, 2. pemberdayaan masyarakat; 3. rehabilitasi, dan
4. pemberantasan. Tujuan yang ingin dicapai dari Jakstranas P4GN itu
yaitu “Indonesia Negeri Bebas Narkoba”.

Sosialisasi terkait peredaran dan penyalahgunaan narkoba melalui


Program P4GN sudah marak dilakukan. Meskipun demikian, peredaran
dan penyalahgunaan narkoba masih tetap tinggi. Akan tetapi, hal itu
tidak bisa diartikan bahwa sosialisasi program P4GN tidak efektif untuk
dilakukan. Hal yang mungkin terjadi justru sebaliknya, yaitu peredaran
dan penyalahgunaan narkoba akan lebih tinggi lagi jika sosialisasi tidak
dilakukan. Munculnya dugaan tersebut karena geografi dan demografi
di Provinsi Kalimantan Timur dan Kota Samarinda khususnya sangat
mendukung terjadinya hal itu. Oleh sebab itu, melalui penyuluhan P4GN
ini, kewaspadaan masyarakat terhadap keluarga dan lingkungannya
menjadi tinggi agar anggota keluarganya tidak sampai terpapar narkoba.

Badan Narkotika Nasional Provinsi Kalimantan Timur secara aktif


melakukan sosialisasi tentang dampak penyalahgunaan narkoba ke
berbagai kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat yang menerima
sosialisilasi dan diseminasi tentang peredaran dan penyalahgunaan
narkoba hingga 14 September 2018 antara lain: masyarakat umum,
mahasiswa, pelajar, peserta Balai Latihan Kerja yang diadakan oleh Dinas

13
Raker BNN P4GN, 28 Februari 2017, https://sukabumikab.go.id/portal/berita-daerah/456/%20Ra-ker%20BNN%20
Pencegahan%20Pemberantasan%20Penyalahgunaan%20dan%20Peredaran%20Gelap%20Nar-koba%20(P4GN)%20.html
14
Para pihak yang terlibat menyukseskan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2011 Jakstranas P4GN adalah: 1. Para Menteri
Kabinet Indonesia Bersatu II; 2. Sekretaris Kabinet; 3. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 4. Jaksa Agung; 5. Panglima
Tentara Nasional Indonesia; 6. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; 7. Para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian;

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 395
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur, kaum muda
di lembaga swadaya masyarakat DAKUBA (Dayak Kutai Banjar), Remaja
Pengelola Genre Tingkat Kabupaten/Kota, Pengelola Dharma Pertiwi
dan Persit Chandra Kirana, pekerja tambang, Pelajar dan Pengelola Ibu
Bhayangkari, Ibu Persit dan Pemda Balikpapan, Pengelola Ikatan Adhyaksa
Dharmakarini Wilayah Kalimantan Timur, Ibu-ibu PKK, dan PNS dari
berbagai instansi yang ada di Provinsi Kalimantan Timur (BNNP Kaltim
2018). Dengan demikian, elemen masyarakat yang sudah menerima
sosialisasi P4GN sudah banyak, dan berasal dari berbagai latar belakang
sosial dan ekonomi. Meskipun demikian, penyebarluasan informasi
P4GN tetap terus digalakkan, bahkan capaian pada tahun 2017 melebihi
target yang ditentukan. Target awal kegiatan diseminasi informasi yang
dilaksanakan oleh BNNP/BNNK sebanyak 5% dari populasi yang harus
mendapatkan informasi/pengetahuan tentang bahaya penyalahgunaan
narkoba, ternyata yang terealisasi mencapai 9,08% (BNNP Kalimantan
Timur 2017: 22). Dengan kata lain, jumlah penduduk yang mendapat
informasi P4GN di wilayah tempat dilakukannnya kegiatan sosiasilasi
semakin banyak. Hal ini menjadi indikator bahwa masyarakat yang ingin
mengetahui informasi tentang P4GN semakin meningkat pula.

Ada 4 (empat) jenis media yang digunakan oleh BNNP untuk


menyosialisasikan P4GN, yaitu: 1) media konvensional, yaitu BNNP
melakukan kampanye STOP Narkoba dan Desiminasi Informasi P4GN
melalui mobil penyuluhan; 2) media penyiaran untuk mempublikasikan
P4GN dalam bentuk penayangan iklan, baik di radio maupun televisi
lokal15; 3) media online, yaitu informasi P4GN disampaikan melalui
Website; 4) media cetak, yaitu informasi P4GN disampaikan melalui
baliho di beberapa tempat maupun dalam bentuk surat kabar (BNNP
Kalimantan Timur 2017: 24).

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur juga memberi perhatian


terhadap penyalahgunaan narkoba di wilayahnya, dengan menerbitkan
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Fasilitas Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba. Tujuan diterbitkannya
Peraturan Daerah tersebut tertuang dalam Pasal 3, yaitu: a) memberikan

15
Televisi dan radio untuk menyiarkan Program P4GN adalah TVRI Samarinda, TV Samarinda, Radio Republik Indonesia (RRI)
Samarinda, Radio Suara Mahakam, dan Radio Paras. .

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


396 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
perlindungan kepada masyarakat dari ancaman penyalahgunaan narkoba,
dan b) membangun partisipasi masyarakat dalam upaya pencegahan
dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba. Dalam lingkungan
sekolah, pendidikan anti narkoba juga telah dimasukkan sebagai salah
jenis muatan lokal di Provinsi Kalimantan Timur, dan dituangkan dalam
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 16 Tahun 2016
tentang Penyelenggaraan Pendidikan, terutama pada Pasal 40 Ayat 3(b).
Dengan demikian, peredaran dan penyalahgunaan narkoba merupakan
hal serius bagi pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.

Selain narkoba, penyalahgunaan inhalan yang dijual secara bebas


di Provinsi Kalimantan Timur juga sudah diatur oleh pemerintah provinsi
dalam bentuk Peraturan Daerah Kalimantan Timur Nomor 5 Tahun
2015 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Inhalan. Inhalan adalah zat
senyawa organik berbau tajam dan mudah menguap terdiri atas larutan
dan gas, yang dijual secara bebas dalam bentuk lem, pelarut cair, tip
ex, bensin, pernis, dan aseton. Namun dalam pemanfaatannya, inhalan
sering digunakan di luar peruntukannya dengan cara dihirup/dihisap,
disemprotkan langsung ke hidung atau mulut, ditampung ke dalam
kantong plastik atau dihisap dari balon yang telah diisi oksida nitrit,
sehingga menghasilkan efek perasaan euphoria, kegembiraan, ketakutan,
sensasi yang menyenangkan, ilusi, dan halusinasi. Dengan kata lain, efek
yang ditimbulkan oleh inhalan yang digunakan di luar peruntukannya itu
mirip dengan narkoba.

Pemberdayaan masyarakat juga dilakukan melalui Program


P4GN. Hal itu penting dilakukan karena banyak pihak yang menjadikan
transaksi narkoba sebagai sumber mata pencaharian, bahkan ada yang
beralih profesi dari guru menjadi kurir narkoba. Dengan kata lain, alasan
ekonomi menjadi faktor yang mendorong seseorang terlibat dalam bisnis
haram tersebut. Tidak rahasia lagi bahwa keuntungan yang diperoleh
dari transaksi narkoba, baik sebagai bandar, pengedar, maupun hanya
sebagai kurir, sangat tinggi. Artinya, jika seseorang hanya melihat dari sisi
ekonomi semata, manfaat yang dapat diperoleh dari bisnis narkoba begitu
tinggi. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh BNNP Kalimantan Timur
untuk mengalihkan narkoba dijadikan sebagai sumber mata pencaharian
yaitu melalui pemberdayaan masyarakat. Jenis kegiatan pemberdayaan
masyarakat yang sudah dilakukan oleh BNNP antara lain mengadakan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 397
pelatihan lifeskill bagi masyarakat di kawasan rawan narkoba pada
wilayah perkotaan, terutama dari masyarakat keluarga pertenunan, yang
diadakan pada bulan September 2017 bekerja sama dengan Balai Latihan
Kerja Indonesia (BLKI). Hasil dari kegiatan ini diharapkan peserta dapat
menerapkan materi pelatihan itu pada service AC dan dapat melakukan
usaha service AC agar memperoleh pendapatan.

Pada tahun 2016 BNNP juga mengadakan pelatihan perbengkelan


bekerja sama dengan BLKI. Mekanisme yang dilakukan untuk menetapkan
suatu lokasi menjadi target pemberdayaan masyarakat didasarkan pada
jumlah kasus narkoba yang terjadi. Jika suatu daerah ditemukan kasus
narkoba lebih banyak dibandingkan dengan daerah lain, maka masyarakat
di lokasi itu kemungkinan besar menjadi target dilakukan kegiatan
pemberdayaan. Kelompok masyarakat di lokasi yang sudah ditetapkan itu
adalah mereka yang status ekonominya rendah. Akan tetapi, oleh karena
terkendala dengan anggaran, maka kegiatan jenis usaha yang ditawarkan
maupun jumlah peserta yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat
sangat terbatas, yaitu setiap kegiatan hanya bisa diikuti oleh 10 orang.

4. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Narkoba

Lingkungan dan pergaulan menjadi faktor utama yang menyebabkan


seseorang terjerumus pada penyalahgunaan narkoba. Faktor
lingkungan dimaksud dapat berupa mudahnya mendapatkan narkoba
di lingkungannya, baik dengan cara membeli ataupun diberi secara
cuma-cuma untuk pertama kalinya. Kesulitan memberantas narkoba
karena kurangnya dukungan penuh dari masyarakat. Dengan kata lain,
masyarakat ketakutan untuk melapor tentang terjadinya penyalahgunaan
narkoba di lingkungannya. Jika seseorang diketahui telah melapor kepada
pihak berwajib, maka keamanannya menjadi terancam. Oleh sebab itu,
masyarakat menjadi apatis dan kepekaan sosialnya terhadap narkoba
menjadi rendah.

Pada saat FGD dilaksanakan, baik di Balai Rehabilitasi dan di


Lembaga Pemasyarakatan, pemberantasan narkoba yang dilakukan oleh
pemerintah Philipina dengan perintah tembak di tempat oleh Rodrigo
Roa Duterte selaku Presiden Philipina, menjadi salah satu usulan yang
ditawarkan. Jika perintah tembak di tempat itu diterapkan di wilayah

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


398 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Indonesia, mereka yakin bahwa peredaran dan penyalahgunaan tidak
sesemarak sekarang.

Terungkap juga bahwa operasi penyalahgunaan dan peredaran


narkoba banyak dilakukan dari Lembaga Pemasyarakatan. Pengendalian
narkoba dari Lembaga Pemasyarakatan dapat terjadi, salah satunya
karena warga binaan yang berada di Lembaga Pemasyarakatan
belum bersih dari penggunaan handphone. Melalui handphone yang
dimanfaatkan dari dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), warga
binaan terkoneksi dengan jaringannya yang berada di luar Lapas. Oleh
sebab itu, penting untuk membersihkan Lembaga Pemasyarakatan dari
penggunaan handphone selama warga binaan menjalani hukumannya.

Selain permasalahan peredaran narkoba yang dikendalikan oleh


warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan, permasalahan lain yaitu
peredaran narkoba yang terjadi di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Hal ini mengakibatkan rehabilitasi terhadap warga binaan di Lembaga
Pemasyarakatan Khusus Narkoba tidak terlaksana secara efektif,
sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Direktur Rumah Sakit Jiwa
Samarinda Padma Husada (dr. H. Jaya Mualimin) yang pernah berkerja
sama dengan Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkoba Samarinda
terkait pengoperasian tempat rehabilitasi di Lapas.

Salah satu kegiatan yang rutin dilakukan untuk mendeteksi


warga binaan yang menjadi peserta rehabilitasi adalah tes urin, yaitu
upaya untuk mendeteksi dan mengukur konsentrasi dari zat racun dan
metabolitnya dalam cairan biologis. Tes urin pertama dimaksudkan
untuk memastikan bahwa warga binaan yang direkomendasikan untuk
mengikuti program rehabilitasi hasil tes urinnya positif, yang berarti
ditemukan narkoba dalam sistem tubuhnya. Setelah program rehabilitasi
berlangsung beberapa minggu, tes urin kembali dilakukan kepada warga
binaan yang menjadi peserta rehabilitasi dan urinnya pernah dites. Akan
tetapi, hasil yang mengagetkan justru terjadi pada tes urin yang kedua,
karena walaupun sudah menjadi peserta rehabilitasi, hasil tes urin
ternyata banyak yang positif mengandung narkoba. Padahal, tes urin
kedua yang dilakukan dengan jarak waktu tertentu dari tes urin pertama
seharusnya tidak lagi positif setelah menjalankan kegiatan rehabilitasi.
Realitas ini mengindikasikan bahwa peserta kegiatan rehabilitasi yang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 399
diadakan di dalam lembaga pemasyarakat masih aktif mengonsumsi
narkoba meskipun warga binaan tersebut berada di dalam Lembaga
Pemasyarakatan.

Untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba yang terkait dengan diri


pengguna itu sendiri, salah satu yang dilakukan oleh warga binaan di
Lembaga Pemasyarakatan ataupun residen di Balai Rehabilitasi Narkoba,
adalah dengan cara berpindah tempat tinggal (hijrah) ke daerah lain.
Hal itu dimaksudkan untuk memutus komunikasi ataupun bertemu fisik
dengan teman-teman lama sesama pengguna narkoba. Jika seorang
mantan pengguna narkoba yang sudah keluar dari Balai Rehabilitasi
masih berkomunikasi dengan teman-teman lamanya, dikhawatirkan
pada suatu saat akan terjerumus lagi menjadi pengguna narkoba. Hendra
(bukan nama sebenarnya), salah seorang peserta FGD di Balai Rehabilitasi
Narkoba di Tanah Merah Samarinda menyebutkan bahwa ketika masih
di Bogor, dia tidak mengenal narkoba. Ketika pindah ke Samarinda
untuk mencari pekerjaan dan akhirnya bekerja di sektor pertambangan,
Hendra justru terjerumus ke penyalahgunaan narkoba. Oleh karena itu
setelah selesai menjalani program rehabilitasi, Hendra akan memutuskan
hubungannya dengan teman-teman lamanya di Kota Samarinda dan
sekitarnya, dengan cara kembali ke Bogor.

Seorang pendamping di “Rumah Singgah” BNNP Kalimantan Timur,


Andi Citra Wira, menyatakan bahwa klien yang sudah direhabilitasi
cenderung kembali lagi mengonsumsi narkoba karena keluarga atau
masyarakat belum menerima kehadiran mantan pemakai narkoba
di lingkungannya.16 Selain itu, mantan pengguna juga akan kembali
mengonsumsi narkoba setelah direhabilitasi, karena bergaul lagi dengan
teman pengguna (PIC) yang lama. Dalam hal ini, tidak berarti bahwa balai
rehabilitasi ataupun rumah pendamping telah gagal dalam melaksanan
program rehabilitasi ataupun pendampingan, sebab kedua institusi itu
hanya sekadar membantu klien. Semua keberhasilan untuk lepas dari
jeratan narkoba sepenuhnya didasarkan pada kemauan, niat, dan upaya
klien itu sendiri. Cara yang mungkin dilakukan oleh mantan pemakai
agar tidak menggunakan narkoba lagi setelah menyelesaikan program

16
Hasil wawancara dengan Andi Citra Wira Pendamping “Rumah Singgah” BNNP Kalimantan Timur pada tanggal 13 September
2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


400 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
rehabilitasi antara lain: pertama, memutus hubungan dengan teman lama
sesama pengguna. Jika hal itu tidak dilakukan, kecil kemungkinan klien
untuk tidak menggunakan narkoba lagi, karena godaan dan tawaran dari
teman lama akan terus terjadi. Kedua, mantan pengguna yang sudah
direhabilitasi hijrah atau pindah ke tempat lain dan memulai hidup baru di
tempat yang baru. Ketiga, menunjukkan prestasi positif pada lingkungan
di keluarga dan sekitarnya. Jika prestasi positif yang ditunjukkan maka
stigma negatif pada mantan pengguna narkoba yang sudah direhabilitasi
akan hilang sendiri. Prestasi positif itu sudah ditunjukkan oleh Novi (bukan
nama sebenarnya) yang kini menjadi salah satu calon legislatif dari salah
satu partai pada pemilu serentak tahun 2019 untuk DPRD Samarinda.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Tingginya peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Kota


Samarinda tidak lepas dari kondisi geografi dan struktur demografi di kota
itu. Sebagai daerah yang berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Utara
yang wilayahnya berbatasan dengan Malaysia, maka pintu masuknya
narkoba ke Kalimantan Timur menjadi banyak, dan sulit untuk dikontrol.

Tingginya permintaan terhadap narkoba di Kota Samarinda, juga


terkait dengan tumbuhnya Kota Samarinda dan Kalimantan Timur pada
umumnya sebagai pusat pertambangan batubara. Narkoba kemudian
dimanfaatkan oleh para pekerja untuk meningkatkan produktivitasnya,
yang selanjutnya berkorelasi dengan meningkatnya jumlah upah yang
diterimanya.

Banyaknya sungai, termasuk keberadaan Sungai Mahakam dan


Sungai Karangmumus di Kota Samarinda, juga menjadi faktor penyebab
tingginya peredaran narkoba di Kota Samarinda. Keberadaan dan kondisi
kedua sungai itu mengakibatkan upaya pencegahan peredaran dan
penyalahgunaan narkoba tidak maksimal, karena banyak yang luput dari
pantauan aparat kepolisian dan pihak berwenang lainnya.

Keterlibatan oknum polisi dalam peredaran dan penyalahgunaan


narkoba di Kota Samarinda juga menjadi salah satu faktor yang
mengakibatkan pemberantasan narkoba di kota itu sulit dilakukan. Hal
itu didasarkan pengakuan dari beberapa informan yang diwawancarai

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 401
maupun adanya mantan polisi yang menjadi tersangka dalam peredaran
dan penyalahgunaan narkoba. Faktor itu ditambah dengan Lembaga
Pemasyarakatan Khusus Narkoba yang masih dapat menjadi pusat
pengendalian narkoba yang relatif lebih aman dibandingkan jika
pengendalian itu dilakukan di luar Lembaga Pemasyarakatan, karena tidak
berada dalam pengawasan pihak kepolisian. Akibatnya bandar narkoba
merasa lebih aman melakukan aksinya. Penggunan handphone di dalam
Lembaga Pemasyarakatan merupakan faktor yang memungkinkan
pengendalian narkoba dilakukan dari dalam lembaga Pemasyarakatan.

Upaya pemberantasan dan pencegahan peredaran dan


penyalahgunaan narkoba sudah dilakukan, dan seakan tidak berkorelasi
dengan semakin banyaknya jumlah kasus, tersangka dan volume barang
bukti narkoba yang disita dari tahun ke tahun, tidak berarti bahwa program
P4GN tidak lagi perlu dilakukan. Program P4GN mutlak diteruskan dan
kegiatannya harus semakin massif dengan segala penambahan kualitas
dan kuantitas terhadap instrumen pendukungnya agar upaya meredam
peredaran dan penyalahgunaan narkoba yang semakin merajalela itu
dapat dilakukan secara signifikan.

Beberapa rekomendasi yang diusulkan dari hasil penelitian ini yaitu:


a. Selama warga binaan menjalani hukuman penjara di Lembaga
Pemasyarakatan, dilarang ada penggunaan handphone. Komunikasi
menggunakan handphone dengan orang-orang yang berada di luar
Lembaga pemasyarakatan tidak diperbolehkan. Komunikasi hanya
dapat dilakukan ketika ada kunjungan keluarga ataupun pihak-pihak
lain yang berhubungan dengan pembinaan.
b. Perlu dilakukan tes urin kepada mereka yang mendaftar sekolah untuk
jenjang pendidikan lebih tinggi, untuk memastikan bahwa mereka
bebas dari penyalahgunaan narkoba. Selama siswa/mahasiswa
menempuh pendidikan juga perlu dilakukan tes urin, minimal
sekali dalam setahun. Hal yang sama perlu diberlakukan pada saat
penerimaan karyawan baru di sebuah perusahaan dan selama yang
bersangkutan bekerja di perusahaan. Tes urin itu dimaksudkan
untuk mencegah siswa/mahasiswa dan pekerja terhindar dari
penyalahgunaan narkoba dan upaya untuk mengurangi permintaan
sekaligus peredarannya di Kota Samarinda.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


402 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
c. Polisi air di Provinsi Kalimantan Timur perlu dilengkapi peralatan
khusus untuk penanganan narkoba, karena masyarakat di Kota
Samarinda dan Provinsi Kalimantan Timur umumnya banyak yang
memanfaatkan jalur air untuk mobilitas, termasuk untuk memasukkan
narkoba ke Kota Samarinda. Hal itu dimaksudkan agar peredaran dan
penyalahgunaan narkoba menggunakan jalur air lebih terpantau.
d. Penegakan disiplin pada aparat kepolisian harus lebih ditingkatkan
agar keterlibatan oknum polisi dalam peredaran dan penyalahgunaan
narkoba dapat diminimalisasi. Strategi untuk menjadikan personel
Polri bebas dari tindakan peredaran dan penyalahgunaan narkoba
harus dimunculkan oleh para pimpinan Polri. Mutasi bagi seluruh
aparat polisi harus lebih sering diberlakukan untuk menutup terjadinya
“persekongkolan” yang mengarah simbiosis mutualisme antara
oknum polisi dengan pengedar narkoba di suatu daerah.
e. Anggaran untuk melaksanakan program P4GN perlu ditingkatkan,
termasuk untuk pemberdayaan masyarakat sebagai solusi alternatif
agar masyarakat tidak terlibat dalam peredaran dan penyalahgunaan
narkoba sebagai sumber mata pencaharian.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 403
DAFTAR PUSTAKA

BNNP Kalimantan Timur. 2017. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah


Tahun 2017. Samarinda: Badan Narkotika Nasional Provinsi
Kalimantan Timur.

BNNP Kaltim 2018. Data Kegiatan Diseminasi Informasi Tahun Anggaran


2018 dan Rencana Kegiatan Diseminasi Informasi Tahun 2019
BNNP Kalimantan Timur. Samarinda: BNNP Kaltim.

BPS. 2010. Samarinda Dalam Angka 2010. Kota Samarinda: Badan Pusat
Statistik.

Dirgantara, M. G. 2017. Upaya Pemerintah Indonesia dalam Menangani


Kejahatan Transnasional (Penyelundupan Narkoba) di Daerah
Perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Skripsi pada Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.

Puslitdatin BNN 2017. Survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba Di 34


Provinsi Tahun 2017. Dalam bentuk power point. Jakarta: BNN.

Siburian, Robert. 2017. Pertanian versus Pertambangan Batubara:


Kontesasi Penguasaan Tanah di Desa Kerta Buanai. Disertasi pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Tribun Kaltim. 2017. “Kaltim juga Darurat Narkoba: Paser Duduki Peringkat
5 Pengguna Narkoba Terbanyak se-Kaltim”. Dalam http://kaltim.
tribunnews.com/2017/09/25/paser-duduki-peringkat-5-peng-guna-
narkoba-terbanyak-se-kaltim. Akses 24 Oktober 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


404 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
XIII

Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkoba di Kota Makassar
Provinsi Sulawesi Selatan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 405
Tari Kipas Pakarena
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
406 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BatikNARKOBA
Bugis
2018 Khas Makassar
XIII
PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
DI KOTA MAKASSAR, SULAWESI SELATAN

Oleh:
M. Alie Humaedi; Sri Haryanti; Devi Asiati

1. Pendahuluan

Narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya menjadi noktah


hitam sebuah peradaban. Dalam sejarahnya, ia hadir seiring peradaban
itu sendiri. Berbagai nama pun telah muncul, dari suatu bahan yang
sederhana dan tradisional, sampai ke bahan-bahan yang diproses dan
dikemas dengan teknologi modern. Pengolahannya pun bisa dari bahan
yang bersifat tunggal, sampai bahan yang bersifat campuran dari berbagai
unsur. Tujuannya tetap sama, yaitu memberikan efek dan sensasi yang
berbeda terhadap pemakainya. Ia bukan saja sebagai pelarian dari sebuah
kenyataan hidup, tetapi bagi para pemakainya telah menjadi bagian tidak
terpisahkan dalam menghadapi kenyataan hidupnya. Sifat adiktif yang
ditawarkannya telah menjadi aspek paling penting mengapa peredaran
dan penyalahgunaan narkoba tetap berlangsung hingga kini.

Negara-negara di dunia pun menganggap dan memiliki konsensus


yang sama bahwa Narkoba adalah ancaman masyarakat global yang
harus diwaspadai. Hal ini tertuang dalam berbagai konvensi internasional,

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 407
perjanjian antar negara, dan lainnya. Seiring konvensi internasional
tersebut, pembentukan badan-badan koordinasi anti narkoba seperti
United Nation Ofiice on Drugs and Crime (UNODC), International Drug
Policy Concortium (IDPC) dan lembaga penegakan hukum skala
internasional untuk anti narkotika juga dilakukan. Sayap-sayap organisasi
Interpol, Central Intelegence Agency (CIA), dan Drugs Enforcement
Administration (DEA), imigrasi, bea cukai, dan lainnya saling bekerjasama
untuk melakukan pencegahan peredaran dan perdagangan Narkoba
(UNODC 2015).

Dalam konteks Indonesia, negara telah membentuk piranti dan


kelembagaan hukum dengan banyak bentuk, seperti Direktorat Narkoba
pada Kepolisian Republik Indonesia, Badan Nasional Narkotika (BNN),
dan berbagai kelembagaan penegakan hukum lainnya. Bahkan beberapa
lembaga di luar kepolisian dan BNN juga memiliki hak penindakan dan
pengawasan terhadap perdagangan dan penahanan terhadap para pelaku
peredaran. Hal ini masih ditambah dengan keberadaan regulasi hukum
yang cukup menakutkan, yaitu hukuman mati bagi para pelaku peredaran
dan perdagangan narkoba. Namun, dengan banyaknya kelembagaan
hukum dan ditambah regulasi hukum yang mematikan seperti itu, belum
membuat jera atau surut peredaran narkoba di Indonesia. Bahkan, dalam
banyak kasus, dari tahun ke tahun jumlah kasusnya semakin meningkat
dengan jumlah dan jenis-jenis narkoba yang lebih variatif. Hal ini
menunjukkan Indonesia tetap menjadi magnet utama dari peredaran dan
perdagangan narkoba internasional.

Berbagai wilayah di Indonesia menjadi wilayah tujuan utama


perdagangan dan peredaran narkoba. Bahkan ada beberapa di antaranya
menjadi pusat-pusat produksi baru dari jenis-jenis narkoba lama ataupun
jenis narkoba baru. Salah satu wilayah yang tidak bisa dilepaskan dalam
peta peredaran narkoba adalah wilayah Sulawesi Selatan dan Kota
Makassar khususnya. Wilayah Sulawesi Selatan sebagai pusat gravitasi
kebudayaan, perdagangan dan pemerintahan di Indonesia tengah dan
timur disinyalir sebagai wilayah utama pelebaran sayap perdagangan dan
peredaran narkoba. Berbagai penyebab pun sering dinyatakan, bahwa
kota Makassar misalnya menjadi pusat-pusat koordinasi mata rantai
peredaran narkoba di wilayah Indonesia lainnya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


408 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Banyaknya kasus penangkapan pelaku peredaran, mnegindikasikan
bahwa perdagangan dan peredaran ini didukung oleh pola migrasi yang telah
berlangsung lama dan sistem kekerabatan yang kuat antara satu wilayah
dengan wilayah lainnya. Walaupun secara akademik masih bersifat dugaan,
namun dengan banyaknya kasus penangkapan pelaku yang terhubung
antara satu dengan lainnya, maka mata rantai peredaran narkoba di Kota
Makassar tidak bisa dilepaskan dari tradisi migrasi dan pola kekerabatan
yang ada. Fakta-fakta ini ditemukan dalam penelitian di lapangan yang
menggunakan metode kualitatif dengan teknik wawancara mendalam
terhadap jejaring pelaku dan pengguna. Untuk penguatan informasi dan
sumber informasinya, maka penggunaan teknik investigasi tertutup dengan
bantuan para agen di lapangan menjadi salah satu metode yang digunakan.

2. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba di Makassar

2.1. Peredaran Narkoba: Globalisasi Financescape Material Obat-obatan


Terlarang

Salah satu daerah yang dianggap rawan peredaran dan


penyalahgunaan narkoba yaitu Makassar, sebagaimana disebutkan
dalam laporan BNN (2016) dan beberapa publikasi jurnalistik (Kompas
2017, Republika 2017). Kota ini menduduki peringkat setara dengan
kota Jakarta, Surabaya, Batam, Bandung dan Yogyakarta. Di dalam
pemeringkatan kerawanan tersebut, tentu di dalamnya ada variabel-
variabel khusus yang menunjukkan sebuah kota dapat diposisikan
sebagai kota rawan peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Variabel itu
misalnya kasus penangkapan para bandar dan pengedar, jumlah barang
bukti narkoba yang dapat disita atau diamankan, jumlah pemakai, jumlah
narapidana narkoba, jumlah orang yang mengikuti rehabilitasi, jumlah
peredaran uang untuk kepentingan narkoba, dan sebagainya.

Penilaian terhadap variabel-variabel di atas rata-rata menggunakan


perspektif kuantitatif, sedangkan penilaian kualitatif sangat jarang
dilakukan oleh para penegak hukum, petugas BNN, dan pihak pemangku
kepentingan lain seperti imigrasi, bea cukai, Kementerian Sosial dan
Kementerian Kesehatan. Penilaian kualitatif yang dimaksud di sini
adalah pemahaman mendalam tentang praktik-praktik peredaran dan
penyalahgunaan narkoba yang dapat direpresentasikan dalam setiap

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 409
variabel atau aspek tersebut. Angka dalam kasus, jumlah orang terlibat,
barang bukti, narapidana, dan rehab adalah sebuah gejala di permukaan.
Sementara berbagai alasan, pemahaman, latarbelakang sosial, ekonomi,
budaya, politik dan ideologi dalam penyalahgunaan dan peredaran
narkoba tersebut secara subyektif merupakan akar permasalahan dari
peredaran dan penyalahgunaan narkoba.

Penilaian kualitatif seperti di atas, akan digunakan untuk memotret


praktik-praktik peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Kota Makassar.
Arus globalisasi telah menuntut terbukanya berbagai landscape yang
harus diterima oleh berbagai kelompok masyarakat di berbagai daerah.
Terjangannya tidak pernah mengenal asal daerah, status sosial, ekonomi,
dan ikatan ideologi. Meminjam teori Arjun Appadurai (2014), globalisasi
akan terjadi dan membawa perubahan pada lima landscape, yaitu: (i)
ethno scape (persoalan dalam cakupan kelompok etnik), (ii) ideoscape
(persoalan dalam cakupan aspek ideologi), (iii) financesscapes (economy
and product) yang menempatkan persoalan dalam berbagai cakupan
aspek keuangan; (iv) mediascapes (persoalan-persoalan yang tercakup
dalam framework media), dan (v) technoscapes yang menguraikan
persoalan-persoalan dalam cakupan teknologi.

Sebagai bagian dari arus globalisasi, narkoba dapat diartikan sebagai


bagian dari produksi ekonomi yang menawarkan suatu keuntungan secara
ekonomis bagi para pelaku di dalamnya. Pelaku itu tentu mencakup
produsen (pembuatnya), bandar (sponsor utama distribusi), pengedar
(ritel-ritel atau agen-agen penjualan), dan pengedar level terendah dalam
memasarkan produknya ke konsumen tanpa memandang stratifikasi
sosial ekonomi dan budayanya. Rasionalisasi financescape adalah
keuntungan, karena itu siapapun dapat menjadi konsumen, dan sekaligus
merangkap menjadi agen-agen penjualannya.

Dalam kacamata financescape, seorang konsumen narkoba akan


berusaha juga mencari keuntungan dari siklus jejaring narkoba, dengan
cara menjadi penjual dan pengedar, walaupun hanya menjadi “kuda-kuda”
peredaran narkoba. Rasionalisasi semacam itu harus dibaca benar dalam
membangun perspektif tentang peredaran, penyalahgunaan narkoba,
dan termasuk dalam kepentingan menentukan proses rehabilitas bagi
pemakai narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


410 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Dengan perspektif globalisasi, maka pemakai narkoba adalah
sekaligus penjual di dalamnya, dan tentu akan mendapatkan hukuman atas
perbuatannya sebagai penjual. bagi kalangan aparat hukum, potensi ini
sebenarnya sudah dirasakan dan dicermati, tetapi “transaksi ekonomi dan
bahkan tubuh”, cermatan tersebut jarang sekali dituangkan dalam tuntutan-
tuntutan yang memiliki konsekuensi atas pendisiplinan, yaitu hukuman
badan di dalam penjara. “Transaksi ekonomi dan bahkan tubuh” itu menjadi
daya tawar atau alat negosiasi penting bagi para pelaku financescape,
sehingga berbuah pada pundi-pundi ekonomi yang cukup kuat di dalamnya.
Beberapa kasus penangkapan pemakai narkoba, seringkali dijumpai bahwa
perempuan-perempuan terlibat dalam pemakaian dengan cara menyerahkan
tubuhnya sebagai kompensasi pembayarannya (Wawancara dengan Kabid
P2M BNNP Sulawesi Selatan, 10 September 2018).

Dalam konteks di atas, rehab banyak diartikan oleh para pelaku


hanya sebagai sebuah “perlakuan artificial (kepalsuan)” yang menjadi
tawaran pembebasan diri dari hukuman badan. Kenyataan ini terbukti
dengan seorang pemakai dan juga pelaku yang berulangkali keluar masuk
ke dalam panti rehab (Wawancara dengan fasilitator rumah Rehab BNNP,
11 September 2018). Hal substansial seperti inilah yang harus dipetakan
dan dibaca oleh semua pihak yang terlibat dalam pencegahan peredaran
dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Tanpa kecuali, kenyataan
terakhir juga menimpa kota Makassar. Kepala BNNK Bone (Agustus
2018) misalnya, menyatakan bahwa ada aparat kepolisian yang terlibat
dalam peredaran narkoba, walaupun mendapatkan bantahan dari pihak
kepolisian, menjadi preseden bahwa aparat pun menjadi bagian penting
dari sirkulasi peredaran narkoba.

Banyak informasi dari para informan di lapangan yang menyatakan


bahwa peredaran narkoba tetap akan berjalan dan terus meningkat, karena
banyak pihak yang diuntungkan di dalamnya. Ada pihak yang benar-
benar mendapatkan uang banyak dari kegiatan tersebut. Ada pihak yang
mendapatkan “angka kredit” yang berkorelasi dengan kenaikan jabatan,
gaji dan tunjangan, ketika mereka dapat menangkap, memutuskan, dan
merehab pelaku. Ada pihak yang mendapatkan “tubuh” sebagai kompensasi
penikmatan narkoba, atau kompensasi terhindar dari penetapan hukum
atas kasus narkoba, dan sebagainya. Pernyataan-pernyataan tersebut
merupakan bagian dari konsekuensi narkoba sebagai produk globalisasi

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 411
yang menawarkan madu dan sekaligus racun kenikmatan di dalamnya.

Jika diperhatikan secara seksama, Kota Makassar pun terkena


imbas globalisasi dari sebuah konsepsi tentang “Narkoba sebagai
financescape”. Data dari Direktorat Narkotika Kepolisian Daerah
(Ditnarkotika Polda) Sulawesi Selatan untuk laporan dan penyelesaian
kasus di satuan Ditnarkoba, Restabes Kota Makassar, Resort Pelabuhan,
Resort Gowa, dan Resort Maros menegaskan kenyataan tersebut.

Data tersebut menunjukkan bahwa dari lima kesatuan Polri di Sulawesi


Selatan saja telah menyodorkan setengah jumlah dari keseluruhan kasus
narkoba di Sulawesi Selatan. Padahal, jumlah kesatuan kepolisian di
Sulawesi Selatan mencapai 30 kesatuan di tahun 2016, dan 25 kesatuan1
di tahun 2017. Walaupun angka di atas menurun setiap tahun, ada argumen
kuat bahwa barang bukti dalam kasus narkoba tetap dan cenderung
meningkat. Keadaan ini menunjukkan bahwa peredaran narkoba sebenarnya
tetap memiliki volume yang sama atau bahkan bertambah, tetapi pelakunya
sudah mulai lihai menghindari sergapan dari aparat kepolisian.
Tabel 13.1. Jumlah Tindak Pidana Narkotika di Sulawesi Selatan (2016-2018)

TAHUN
No Kesatuan 2016 2017 2018
LPR SLS LPR SLS LPR SLS
1 Dit Narkoba 177 155 190 136 187 129
2 Restabes Makassar 415 379 476 401 270 278
3 Res Pelabuhan 142 126 103 79 81 77
4 Res Gowa 57 40 101 62 86 91
5 Res Maros 41 37 44 41 36 27
A Data untuk wilayah Kota 832 737 914 719 660 602
Makasar dan daerah peno-
pangnya
B Kasus untuk Sulsel secara 1.791 1.614 1.789 1.580 1.217 1.103
keseluruhan
*Sumber: Data Ditnarkotika Polda Sulawesi Selatan, 2018.
**LPR: Laporan Kasus; SLS: Selesai Kasus

1
Berkurangnya jumlah kesatuan pada tahun 2017 karena lima kesatuan pada tahun 2016 diserahkan ke Provinsi Sulawesi Barat,
yaitu Polman, Mamasa, Majene, Mamuju, dan Matra.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


412 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
2.2. Mengurai Arena Financescape Narkoba dan Dampaknya

Peredaran dan penyalahgunaan narkoba setiap tahun di wilayah


resort Kota Makassar dan wilayah penopangnya terus berada di urutan
tertinggi. Rata-rata kasus terlapor di atas dua ratus, dan terselesaikan
setidaknya adalah 70-80 persen (Wawancara dengan Wakil Ditnarkotika
Polda Sulsel, 22 Mei 2018). Kasus-kasus narkoba di Kota Makassar
diduga terhubung dengan jaringan internasional, nasional dan regional.
Kenyataan itu sejalan dengan posisi Kota Makassar sebagai “pusat
ekonomi” untuk wilayah yang berada di Indonesia bagian tengah dan
timur. Kota ini khususnya menjadi kota pelabuhan terbesar di wilayah
Indonesia bagian tengah dan timur, sehingga menjadi pintu gerbang
perdagangan dan distribusi produksi yang menghubungkan antara Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Dalam sejarahnya, Kota Makassar juga menjadi “pusat gravitasi


kebudayaan” dan pusat kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Kenyataan ini
tidak mengada-ada, karena proses migrasi suku Bugis dan Makassar sangat
jelas terlihat di berbagai wilayah Papua, kepulauan Maluku, Nusa Tenggara,
dan Kalimantan. Pembangunan pada pulau-pulau tersebut pada umumnya
selalu melibatkan suku Bugis/Makassar sebagai aktor utamanya. Bahkan,
beberapa wilayah pun pertama kali dibuka dan dikembangkan oleh suku
yang dikenal paling agresif dalam perantauan di Nusantara dan bahkan
pulau-pulau di luar Nusantara. Keberadaan mereka di pulau-pulau tersebut
juga dikenal sebagai pelaku-pelaku pertumbuhan ekonomi.

Diaspora suku Bugis/Makassar di berbagai wilayah sebenarnya telah


menyusun sebuah kekuatan tersendiri dalam jejaring sosial, ekonomi,
politik dan budaya di antara mereka. Politik identitas kesukuan seringkali
digunakan untuk memperkuat posisi tawar dalam berbagai kepentingan.
Keadaan demikian juga terlihat jelas pada distribusi perdagangan
berbagai hasil bumi dan produk-produk konsumsi lain. Pelibatan “sesama
Bugis/ Makassar” seringkali terlihat pada berbagai transaksi ekonomi
di berbagai daerah. Hubungan kekerabatan dan etnik telah mampu
mengembangkan kehidupan ekonomi para pelakunya. Peta jejaring
sosial hubungan perdagangan itu dapat dibagi ke dalam empat jaringan
wilayah, seperti yang ditulis M. Alie Humaedi dalam buku “Menyongsong
Indonesia 2020-2025 (BIN 2016)

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 413
Pertama, jaringan Makassar-Sebatik/Nunukan (Malaysia di
dalamnya), dan sebaliknya. Jejaring sosial ekonomi ini terlihat jelas pada
aspek ketenagakerjaan untuk pasokan buruh atau tenaga kerjas sawit
ke wilayah-wilayah Tawau Malaysia dan sekitarnya. Jejaring ini telah
terbentuk lama. Bahkan disebut-sebut, wilayah Sebatik Indonesia dan
Tawau Malaysia merupakan dua wilayah yang pertama kali dibuka oleh
orang-orang Bugis/Makassar jauh sebelum kemerdekaan dua negara ini.
Kedua suku ini menjadi penduduk mayoritas di dua wilayah tersebut.

Kedua, jaringan Makassar–Jayapura/Papua, dan sebaliknya.


Keberadaan orang Bugis Makassar di tanah Papua telah dicatat dalam
buku-buku sejarah, baik manuskrif ataupun dokumen-dokumen kolonial
yang dibuat dalam mendokumentasikan perjalanan, pengamatan, dan
transaksi perdagangan mereka. Tanah Papua menjadi “tanah emas” bagi
kehidupan ekonomi orang-orang Bugis/Makassar. Di tanah ini, mereka
terlibat dalam perdagangan hasil bumi, penggalian dan eksplorasi
emas dan bahan tambang lainnya, perdagangan sektor jasa dan
produk, termasuk menjadi perangkat-perangkat negara yang mengawal
pembangunan di tanah Cenderawasih itu.

Peredaran narkoba di wilayah Papua juga tidak terlepas dari jaringan


Narkoba di kota Makassar. Jaringan Maccini disebut-sebut menguasai
wilayah Papua dan Papua kepulauan (Informasi tertutup, Oktober
2018). Jaringan Maccini yang terdiri dari bandar-bandar Sidrap dan
Enrekkang menyebarkan dan merekrut para agennya untuk membawa
dan mendistribusikan narkoba dari jenis sabu, ekstasi, dan lainnya ke
Papua melalui kapal-kapal pelayaran tradisional ataupun paket-paket
barang komoditas yang akan dipasarkan (Informasi ini dipertegas dengan
keterangan Kasatpolair Sorong, ketika penelitian tentang efektivitas sarana
dan prasarana Polisi Perairan di Polda Papua Barat, 2 Oktober 2018).

Jaringan Maccini dikenal memiliki kekuasaan penuh di wilayah


Jayapura, Ambon dan kepulauan Maluku lainnya. Mereka juga tidak
hanya mengembangkan pasarnya di luar Sulawesi Selatan, tetapi juga
memasarkan narkoba di wilayah kota Makassar, wilayah Maros dan Gowa,
dan beberapa wilayah kabupaten lainnya. Beberapa kantong wilayah yang
dikenal rawan narkoba, baik sebagai pusat peredaran ataupun pemakaian
pun terbentuk di kota Makassar. Kelurahan Kerung-kerung, Maccini

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


414 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
sendiri, Mattiro, dan lainnya merupakan wilayah rawan narkoba (Informasi
valid didasarkan pada temuan, penangkapan, dan pengembangan kasus
Ditnarkotika Polda Sulawesi Selatan, periode 2017-2018).

Kelebihan jaringan Maccini dalam peredaran narkoba adalah tidak


bekerja menggunakan teknologi modern yang mudah terdeteksi oleh
teknologi di atasnya, tetapi menggunakan sel jaringan tradisional dan
menggunakan peralatan tradisional yang sudah mulai dilupakan oleh
aparat keamanan. Penggunaan pesan-pesan tertulis ataupun simbol-
simbol tertentu dilakukan untuk mengenali antara satu agen dengan
agen lain, atau antara satu “kuda” dengan kuda lain. Teknik ini juga
digunakan jaringan Maccini untuk peredaran narkoba di dalam penjara,
Lapas, dan sekolah-sekolah yang tersebar di kota ataupun perdesaan.
Teknik seperti ini juga dikembangkan oleh jaringan Kerung-kerung untuk
mengembangkan pasarnya di wilayah Papua Barat dan kepulauan yang
tidak tersentuh oleh jaringan Maccini (Wawancara tertutup dengan “Kuda
A” dari Sidrap, wawancara dilakukan pada rentang waktu 18-21 September
2018, dengan pola Asre 5231).

Ketiga, jaringan sosial ekonomi Makassar – Maluku, Nusa Tenggara


dan sekitarnya, atau sebaliknya. Jaringan ketiga ini juga terbentuk seperti
jaringan sosial ekonomi di wilayah Papua dan sekitarnya. Orang Bugis
yang gemar merantau telah memasuki wilayah-wilayah di pulau Maluku
dan Nusa Tenggara. Wilayah Ternate, Saumlaki, Kei, Seram, Ambon,
Kisar, dan lainnya yang berada di pulau Maluku menjadi tempat-tempat
berdiamnya orang Bugis/Makassar. Demikian juga pulau-pulau di Nusa
Tenggara seperti pulau Alor, Buaya, Ternate, Pura, Palue, Ende, Sikka,
Maumere, Lombok, Sumbawa, Bima dan lainnya juga mendapatkan
pengaruh yang tidak sedikit dari kehadiran orang Bugis. Sistem dan praktik
kebudayaan masyarakat di pulau-pulau ini memiliki kemiripan yang sama
dengan grand culture Bugis/Makassar di pulau utamanya, yaitu Sulawesi.

Kehadiran orang Bugis/Makassar juga dibuktikan dengan dominasi


perdagangan mereka di wilayah-wilayah tersebut. Perdagangan hasil bumi
dan produk konsumsi lainnya terlihat jelas dalam kapal-kapal pelayaran
mereka. Selain itu, narkoba sebagai bagian dari financescape juga
dimanfaatkan oleh para pelaku jaringan bandar dengan memanfaatkan
rute-rute jaringan sosial ekonomi Makassar-Maluku-Nusa Tenggara Barat.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 415
Rute-rute ini dianggap sangat strategis karena terhindar dari pengawasan
aparat keamanan. Walaupun pada beberapa bagian, jaringan mereka juga
terbentur kuat oleh kehadiran Narkoba dari jaringan Flores dan Ambon
sendiri. Namun, dengan kemampuanya sendiri, mereka tetap berhasil
menanamkan kekuasaan dan mengelola jaringan peredaran Narkoba
di wilayah-wilayah tersebut (Wawancara tertutup dengan “Kuda A” dari
Sidrap, wawancara dilakukan pada rentang waktu 18-21 September 2018,
dengan pola Asre 5231).

Keempat, jaringan sosial ekonomi Makassar – Surabaya dan


sekitarnya, atau sebaliknya. Hubungan perdagangan antara pulau
Sulawesi yang diwakili oleh Makassar dan pulau Jawa yang pada
umumnya diidentikkan dengan Surabaya, sebagai pelabuhan besar, telah
berlangsung lama. Hubungan tersebut dibuktikan oleh rute pelayaran
lama yang telah berlangsung hingga kini. Kapal-kapal itu pada umumnya
mengangkut hasil bumi seperti cengkeh, kopi, beras, kemiri, kenari, dan
mete ke Surabaya. Sementara kapal-kapal itu kembali mengangkut
berbagai perabotan rumah tangga, produk-produk konsumsi, buah-
buahan, barang elektronik, dan mobil untuk dibawa dan dipasarkan di
pulau Sulawesi umumnya, dan dari Makassar kemudian didistribusikan
kembali ke seluruh wilayah Indonesia bagian tengah dan timur.

Empat jaringan sosial ekonomi di atas sengaja diuraikan terlebih


dahulu sebagai upaya membentuk sebuah kerangka berpikir bahwa
Sulawesi Selatan dan Kota Makassar khususnya berada pada posisi
yang strategis dalam peta jaringan sosial ekonomi di Indonesia; bukan
hanya sektor perdagangan legal berupa hasil bumi saja, tetapi juga pusat
pendidikan, pemerintahan, hiburan, dan pertemuan sosial. Dengan posisi
dan keadaan tersebut, maka kota Makassar menjadi tujuan utama dari
proses urbanisasi (dari wilayah-wilayah pedesaan di berbagai kabupaten
yang ada di pulau Sulawesi), menjadikan Kota Makassar sebagai kota
teramai di pulau Sulawesi.

Pada tahun 2018, jumlah penduduk Kota Makassar mencapai 1,5 juta
jiwa (BPS 2018). Namun, jumlah tersebut adalah penduduk yang menetap
dan memiliki tempat tinggal di Kota Makassar saja. Padahal, sebuah
kota biasanya diiringi dengan fenomena daerah penopang, yaitu pilihan
tempat tinggal di luar kota dari wilayah-wilayah yang berada di sekitar

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


416 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
kota Makassar. Wilayah Kabupaten Gowa Maros, dan Bone merupakan
tiga wilayah yang menjadi penopang utama kota Makassar.

Dengan demikian, penghitungan jumlah penduduk Kota Makassar


dan dinamikanya juga harus memasukkan keadaan jumlah penduduk
wilayah sekitarnya, seperti Gowa (760 ribu jiwa), Bone (754 ribu jiwa),
dan Maros (349 ribu jiwa). Oleh karena itu, jumlah penduduk sekitar 2,5
juta jiwa atau 30% dari 8,7 juta jiwa seluruh penduduk Sulawesi Selatan
bermukim di wilayah Kota Makassar dan wilayah-wilayah sekitarnya.
Jumlah penduduk sebesar ini merupakan pangsa pasar yang cukup
menarik bagi sebuah praktik financescape, termasuk di dalamnya yaitu
peredaran Narkoba.

Jumlah penduduk sebesar 30% itu sebenarnya dapat digunakan


sebagai analisis rasio perbandingan jumlah penduduk berdasarkan jenis
kelamin dan umur produktif secara keseluruhan di Provinsi Sulawesi
Selatan. Komposisi penduduk Sulawesi Selatan berdasarkan jenis kelamin,
laki-laki sebanyak 4,16 juta jiwa; dan perempuan 4,35 juta jiwa. Artinya,
jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Sementara itu,
jika penduduk provinsi Sulawesi Selatan dilihat dari umur produktif, maka
dapat dipetakan sebagai berikut: umur 10-14 tahun sebesar 800.332
jiwa; umur 15-19 tahun sebesar 813.569 jiwa; umur 20-24 tahun sebesar
742.897 jiwa; umur 25-29 tahun sebesar 671.726 jiwa; umur 30-34 tahun
sebesar 630.896 jiwa; umur 35 – 39 tahun sebesar 613.361 jiwa; umur
40-44 tahun sebesar 579.758 tahun; umur 45 – 49 tahun sebesar 512.126
tahun; umur 50 – 55 tahun sebesar 419.053 jiwa; dan umur 55 – 59 tahun
sebesar 331.765 jiwa (BPS Sulsel 2018).

Profil penduduk tersebut penting dikemukakan, karena terkait


dengan persoalan mengenai jumlah pengedar yang tertangkap, jumlah
barang bukti yang disita, jumlah pemakai narkoba yang direhabilitasi,
jumlah kasus yang dihadapkan ke meja pengadilan, jumlah kasus yang
tidak berlanjut ke pengadilan, jumlah orang yang meninggal akibat
overdosis, ataupun jumlah pelajar yang dikeluarkan dari sekolah akibat
memakai narkoba, jumlah tenaga kerja yang dipecat karena ketahuan
memakai narkoba, atau jumlah keluarga yang bercerai akibat anggota
rumah tangganya ada yang memakai narkoba, dan kemudian terkena
hukum atau terkena kewajiban rehabilitasi narkoba. Deretan angka usia

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 417
produktif di atas sebenarnya menjadi gambaran umum tentang tingkat
kerawanan yang akan menimpa penduduk kota Makassar seiring dengan
pertumbuhan kotanya, terlebih ketika kota Makassar menjadi pusat
gravitasi atau “kota satelit” dari wilayah-wilayah penopangnya, dan
sekaligus wilayah yang berada di Indonesia Tengah dan Timur.

Secara geografis, Kota Makassar terletak di wilayah yang diapit


oleh Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros, dan berhadapan langsung
dengan laut Sulawesi atau sambungan dari laut Jawa. Pembangunan
infrastruktur cukup berkembang, baik di wilayah perkotaannya sendiri
ataupun wilayah-wilayah yang berada di sekitarnya. Berbagai pabrik
didirikan, baik yang berada di dalam Kompleks Kawasan Industri Makassar
Antara (KIMA) ataupun di luar KIMA, dan tersebar di berbagai wilayah
sepanjang Maros, Bone dan Gowa. Setiap hari, tenaga kerja terlihat hilir
mudik berjalan sesuai shift waktu pekerjaannya. Para pekerja ada yang
bertempat tinggal di rumahnya masing-masing, tetapi tidak jarang pula
ada yang menyewa rumah atau kamar yang berdekatan di sekitar pabrik
tempatnya bekerja.

Para pekerja dapat saja berasal dari wilayah-wilayah Sulawesi Selatan


seperti Takalar, Enrekkang, Sidrap, Tana Toraja, Pinrang, Pangkep, dan
Bulukumba. Ada kecenderungan kuat, mereka akan memilih perusahaan
dan tempat tinggal yang di dalamnya terdapat orang-orang yang seasal
daerah dengannya. Pertimbangan ini menjadi potret umum di berbagai
pabrik dan tempat-tempat tinggal seperti kost, rumah kontrakan dan
lainnya. Kelompok-kelompok mahasiswa juga rata-rata memilih kostnya
dengan orang-orang yang berasal dari satu daerah yang sama. Artinya,
pilihan daerah menjadi sangat penting di dalam menentukan pilihan
tempat tinggalnya, dan hal ini rupanya memiliki korelasi kuat dengan
persoalan peredaran dan penyalahgunaan narkoba di kota Makassar.

Dalam banyak kasus, peredaran dan penyalahgunaan narkoba di


kalangan pekerja dan termasuk pelajar atau mahasiswa juga memiliki
kecenderungan kuat dengan orang yang seasal daerah dengan pemakai
atau pengedarnya. Walaupun banyak kasus, prinsip peredaran narkoba
tidak akan pernah memperhatikan asal daerah seseorang, tetapi ia tetap
bertumpu pada daya serap pasar dari kelompok manapun dan apapun.
Namun demikian, fenomena kesamaan daerah juga dapat menjadi analisis

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


418 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
cukup kuat dalam memetakan peredaran dan penyalahgunaan narkoba
pada berbagai kelompok (pekerja, pelajar, dan rumah tangga). Misalnya,
seorang bernama A yang berasal dari Pinrang yang menjadi pemakai
narkoba jenis sabu-sabu pada dua tahun terakhir ini pada awalnya
mengenal, digratiskan bahannya, dan dipasok oleh seorang pengedar
narkoba yang juga berasal dari Pinrang. Pengedar tersebut adalah seorang
supir kendaraan travel Makassar-Pinrang PP, dan pemakainya adalah
seorang pekerja yang berasal dari perdesaan di Pinrang dan bekerja di
perusahaan pengemasan barang di Kota Makassar. Demikian pernyataan
yang disampaikannya:

“Saya menggunakan sabu ini sudah hampir dua tahun silam.


Pemakaiannya dilakukan seminggu sekali atau sebulan sekitar 5
sampai 6 kali, tergantung pada uang yang dimiliki. Kebetulan saya
masih lajang, walaupun umurku sudah 28 tahun. Saya khawatir
kalau saya menikah, saya tidak bisa membahagiakan istri dan anak
saya, karena uang hasil kerjaan saya masih sering digunakan untuk
membeli “barang” itu. Keluarga saya saja yang sekarang jarang
merasakan hasil jerih payah saya, karena uang gaji saya selalu habis,
baik untuk keperluan kost, makan, bensin, kredit motor, dan beli
barang itu. Barang itu telah membuat saya terjebak di mana-mana.
Mau maju, pasti banyak uang habis. Mau mundur, perasaan saya
benar-benar tidak nyaman, bahkan seringkali ada ancaman akan
dilaporkan oleh pengedarku ke polisi. Akhirnya, hingga sekarang saya
tetap memakainya. ….. Sejak awal saya menggunakan sabu, karena
lebih praktis dan sangat cepat dampaknya. Pertama kali barang itu
dikenalkan oleh seorang sopir travel saat perjalanan pulang saya
dari Makassar menuju Pinrang. Saat itu, sang sopir sepertinya tahu
tentang perasaan saya yang sedang kesal, karena saya baru di-PHK
dari pabrik eksportir hasil bumi. Saya memang dipecat oleh pabrik
tersebut karena saya tanpa sengaja menjatuhkan sebuah karung
yang berisi kemiri kering yang sudah dikupas dari kulitnya. Mereka
khawatir bahwa kemiri tersebut akan pecah berantakan, dan tentu
akan mengurangi harga di tingkat eksportir atau bahkan gagal
dipasarkan. Cerita tentang keadaan itu telah membuat supir tersebut
berusaha menghibur saya, dan ujung-ujungnya menawarkan obat
atau penawar yang membuat rasa kesal itu akan hilang. Saat itu,
ia menawarkannya dengan harga yang sangat murah, yaitu hanya
sekitar Rp. 30.000 saja. Tetapi, setelah saya terus mencari obat
penawar itu, maka dari setiap pengambilan harganya terus naik, dan
akhirnya menemukan harga yang sama dengan harga pasar pada
umumnya. Saya pun akhirnya bisa menjadi pelanggan dari “kuda”

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 419
A, “kuda B”, atau kuda lainnya sepanjang saya memiliki uang. Saya
menyesal menerima tawaran obat penawar dahulu, dan sekarang
ketergantungan itu tidak bisa saya hilangkan hingga kini.” 2

Informasi di atas sangat penting, bahwa penjajakan pertama kali


para pemakai sebagai korban peredaran narkoba bisa jadi didasarkan
terlebih dahulu oleh kesamaan asal daerah. Hal ini menunjukkan
adanya “saling rasa percaya” bahwa teman sedaerahnya tidak akan
menjerumuskan calon pemakai ke sesuatu yang jahat atau salah. Namun,
asumsi rasa percaya ini salah, karena pelibatan teman daerah sebagai
korban peredaran narkoba hanyalah salah satu modus untuk mengikat
siapapun agar masuk dalam jaringan peredarannya, walaupun sebatas
konsumen saja. Prinsip dan mekanisme pasar yang berujung pada
keuntungan si “penjual” atau distributor akhirnya tetap berjalan, walaupun
calon konsumen dan konsumsennya sendiri berasal dari wilayah yang
sama, atau bahkan keluarga sekalipun. Dalam sistem peredaran narkoba
di manapun, tanpa kecuali di kota Makassar, tidak ada satu kelompok pun
yang tidak menjadi konsumen narkoba. Sepanjang mereka tidak akan
membawa masalah masalah berhadapan dengan hukum dan perangkat
hukum, maka mereka akan menjadi calon konsumen dan pangsa pasar
yang potensial untuk menerima produk atau jaringan financescape-nya.

Kantong-kantong pemukiman pekerja yang berasal dari wilayah yang


sama di Kota Makassar, sesungguhnya sangat banyak. Di wilayah kelurahan
Maccini dan kecamatan Tallo misalnya, ada kantong-kantong kos-kosan
yang berasal dari wilayah Toraja, Bulukumba, Takalar, dan Sidrap. Satu
rumah kost itu bisa saja dihuni seluruh kamarnya oleh orang yang berasal
dari satu daerah. Kalaupun ada yang berbeda, jumlahnya tidak lebih dari 20
persen dari seluruh penghuni kost. Fenomena seperti ini juga terlihat pada
wilayah permukiman sekitar KIMA. Kost-kostan banyak dihuni oleh orang-
orang yang berasal dari satu daerah yang sama. Pembentukan kantong-
kantong kost yang berasal dari satu daerah ini sangat wajar, terlebih ketika
pandangan dan ikatan primordialisme masih sangat kuat. Kota Makassar
memang dapat dinyatakan sebagai kota metropolis wilayah Indonesia
tengah dan timur, dan menjadi tujuan dari urbanisasi seperti kota-kota
lain pada umumnya, akan tetapi para pelakunya masih membawa ikatan-
ikatan primordialisme yang sangat kuat.

2
Wawancara dengan BY, 25 September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


420 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Fenomena petambayan atau paguyuban sebenarnya sangat baik
jika paguyuban itu dimanfaatkan untuk kepentingan sebuah persatuan
atau kohesivitas para anggota yang terlibat di dalamnya, khususnya
upaya saling membantu secara ekonomi. Namun, disayangkan apabila
ikatan petambayanan atau paguyuban primordialisme itu dimanfaatkan
oleh para pelaku dan jaringan peredaran narkoba yang ada. Ketika ada
anggota paguyuban terlibat atau terpapar sebagai anggota jaringan
narkoba, baik bandar, pengedar maupun pemakai, pengaruhnya dapat
mengenai seluruh atau sebagian besar anggota paguyuban. Keadaan
semakin keruh ketika anggota dalam satu paguyuban sudah terpapar
narkoba lebih dari lima. Keadaan itu dapat membuat perasaan anggota
lain yang belum terpapar mengalami dilema, khususnya ketika ada ajakan
“pesta” dari orang-orang yang terpapar tersebut.

Perasaan atau ikatan primordialisme pun muncul bersamaan


dalam hubungannya dengan orang-orang yang terpapar narkoba itu.
Beberapa bentuk pernyataan seperti “ih, tidak toleran”, “kamu memang
beda”, “kamu tidak teman”, dan “wah, kamu tidak seperti kami (menunjuk
daerah Takalar, Sidrap, Pinrang, dan Enrekkang) akan selalu muncul
ketika terjadi penolakan atau tawaran untuk bergabung bersama-
sama dalam “Pesta Narkoba”. Ikatan primordialisme kedaerahan bagi
sebagian orang, khususnya yang tinggal terpisah dari keluarga besarnya,
telah memungkinkan adanya ancaman pengasingan (alienasi) itu akan
menjadi alat atau mekanisme paling strategis dalam menjalankan dan
mengembangkan pangsa pasar narkobanya. Solidaritas kedaerahan
telah membuat seseorang bisa terjebak dalam jejaring peredaran dan
penyalahgunaan narkoba.

Keadaan demikian terbukti dalam banyak kasus penangkapan para


pengedar dan pemakai yang direhabilitasi. Seorang napi Narkoba di LP
khusus Narkoba menyatakan demikian:

“Saya dihukum di sini, karena terkena pasal jual beli, yaitu sebagai
pengedar, walaupun saya selalu beralasan bahwa saya sebenarnya
dijebak oleh pengedar aslinya. Karena saat itu, saya hanya diminta
untuk mengantar suatu bungkusan yang disampaikan ke saya
itu hanya “barang titipan berupa kaos dari seorang teman”. Janji
ketemuan untuk penerimaan barang itu adalah di pemakaman umum
Kota Makassar. Saat menuju pemakaman itu, saya melihat anak-

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 421
anak sekitar kampung itu memperhatikan saya, dan kemudian tiba-
tiba saya pun diciduk oleh polisi. Saya mau mengantarkan barang
itu karena yang meminta itu adalah teman saya dari satu kampung;
dan yang menerima barang antaran itu dikatakan juga adalah orang
yang berasal dari kampung yang sama dengan saya. Saya sendiri
tidak pernah tahu apa isi sebenarnya dari barang yang saya antarkan
itu. Rupanya, barang itu adalah beberapa paket sabu-sabu yang akan
dijual kembali oleh si penerima hantaran itu. Saya benar-benar dijebak
oleh seseorang yang saya kenal dan berasal dari satu kampung yang
sama pula. Tapi, kalau sudah begini, ya bagaimana lagi. ” 3

Ikatan primordialisme kedaerahan karena diminta bantuannya oleh


seorang teman dari daerah yang sama dan untuk teman yang sama
asalnya, telah menciptakan suatu kondisi seseorang atas kekhawatiran
untuk ditinggalkan oleh anggota kedaerahan lainnya. DH sendiri memang
dikenal hidup tanpa keluarga di kota Makassar. Teman-teman satu
daerah itulah yang seringkali membantu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Keadaan ini kemudian dimanfaatkan oleh jaringan pengedar narkoba
untuk melakukan perekrutan terhadap anggota paguyubannya ataupun
sebatas menciptakan pangsa pasar baru sebagai konsumen.

Seorang remaja yang mendapatkan perlakuan rehabilitasi di RSUD


Sayang Rakyat menyatakan secara gamblang sebagai berikut:

“Pertemanan asal daerah telah memungkinkan seseorang berada


pada posisi dilema, yaitu ketika dihadapkan pada pesta narkoba yang
dilakukan oleh teman-teman satu daerah. Ketika mereka berkumpul
dan mengajak kita bergabung, maka akan sulit sekali untuk
menolaknya. Walaupun kita sadar, bahwa apa yang kita lakukan
itu salah dan berbahaya. Namun, ikatan kedaerahan itu, terlebih
ketika saya berada di Kota Makassar, maka semua ikatan itu terasa
seperti sebuah keluarga, di mana suka dan dukanya harus dirasakan
bersama. Saya juga terlibat konsumsi narkoba sebagai akibat dari
ikatan kedaerahan ini. Saat saya SMP kelas 2, dan kebetulan sekolah
SMP saya di Kota Makassar, di mana saat itu ayah menitipkan saya di
keluarga yang tinggal di Makassar, karena ayah bekerja di Malaysia.
Saya dan keluarga saya sendiri berasal dari Sidrap, sebuah wilayah
yang jauh dari Makassar, sekitar 5-7 jam perjalanan naik mobil. Saat
di SMP itulah, teman-teman saya sebenarnya baik semua. Saat

3
Wawancara dengan DH, 17 September 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


422 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
itu, saya tidak melihat mereka memakai Narkoba ataupun obat-
obatan yang dilarang lainnya. Namun, selain di sekolah, saya sering
berjumpa dan bergabung dengan teman-teman yang berasal dari
Sidrap. Walaupun pada awalnya sekadar untuk kopi-kopi bareng atau
touring bareng. Lama kelamaan, di dalam kelompok itu sudah ada
yang mulai makai. Awalnya dia makai pil (semacam pil koplo). Saat
makai, ia paling berbeda dengan teman-teman lainnya. Ia pun mulai
menawarkan kepada teman-temannya untuk ikut mengonsumsi
pil itu. Ada yang menolak, dan ada pula yang mau coba-coba. Yang
menolak, pada umumnya seringkali dikata-katain sebagai “banci,
tidak tahu daerah, dan sebagainya. Awalnya, saya juga menolak
untuk ikut makai. Setiap hari, kata-kata umpatan itu terus meluncur,
dan saya pun sudah berusaha menghindar untuk tidak lagi terlibat
dalam kelompok itu. Sayangnya, setiap hari pasti akan didatangi oleh
teman-teman. Ada yang main langsung ke rumah, ataupun ada yang
mengajak jalan-jalan. Keadaan ini tentu membuat saya semakin tidak
nyaman, dan akhirnya saya pun memakai pil itu. Saat pemakaian
pertama, semua teman daerah yang ada terus menyanjung-nyanjung
saya sebagai sosok yang hebat dan berani. Sanjungan itu rupanya
telah membuat saya lupa diri, dan terus mengonsumsi pil tersebut,
dan bahkan akhirnya menggunakan ekstasi secara rutin dalam satu
minggu sekali. Keluarga pun tahu saya memakai barang haram
tersebut. Mereka kemudian mengantarkan saya ke dinas sosial, dan
bahkan pernah ke BNNP Sulawesi Selatan. Saya pun sudah dikenai
rehabilitasi sebanyak dua kali. Setiap selesai masa rehab, teman lama
yang sedaerah itu pasti akan mengunjungi saya, dan bertanya-tanya
tentang rehab sebentar, dan akhirnya tetap berujung menawarkan
kembali benda-benda haram itu.” 4

Tampak sekali hubungan dan pengaruh asal daerah dengan


fenomena peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Kota Makassar.
Artinya, kantong-kantong permukiman yang didasarkan pada asal daerah
yang sama dan kelompok-kelompok primordialisme dari satu daerah
telah memungkinkan “keadaan tidak nyaman” bagi seseorang untuk
menolak tawaran pemakaian dari anggota kelompoknya. Keadaan ini
juga telah membuat peredaran narkoba bisa menggunakan sel jaringan
asal daerah, terlebih ketika sel asal daerah itu telah menyebar ke
berbagai lini kehidupan sepert paparan mengenai empat jaringan sosial
ekonomi orang Bugis/Makassar di atas. Hal itu sangat dimungkinkan
pemakaian narkoba juga akan masuk ke semua sektor, baik pendidikan,

4
Wawancara dengan DN, 20 September 2018

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 423
ketenagakerjaan, perdagangan dan jasa, ataupun rumah tangga.

Jika jejaring kedaerahan atau ikatan primordialisme yang bersifat


regional Kabupaten ditarik ke dalam jejaring kedaerahan dan ikatan
primordialisme kesukuan Bugis/Makassar yang tersebar dengan empat
jejaring sosial ekonomi tingkat nasional dan internasional yang sudah
diuraikan sebelumnya, maka jejaring peredaran narkoba yang melibatkan
orang Bugis/Makassar di Indonesia benar-benar luar biasa. Berbagai kasus
peredaran Narkoba yang melibatkan orang-orang Bugis/Makassar, baik di
Kota Makassar sendiri ataupun di kota-kota lain, dan peredaran nasional
seringkali terdengar. Jaringan Sidrap, Makassar, Bone dan Pinrang disebut-
sebut sebagai jaringan peredaran dan perdagangan narkoba tingkat nasional
dan internasional yang dikenal masih aktif.5

Kenyataan di atas tentu tidak didasari pada niatan melakukan


stereotyping atau stigmatisasi terhadap suatu kelompok sukubangsa yang
dikenal memiliki jasa luar biasa bagi kehidupan bangsa ini. Namun, fakta ini
setidaknya menyodorkan sebuah analisis dan kesadaran bersama bahwa
sistem dan jaringan peredaran dan perdagangan narkoba di mana pun juga
dapat melibatkan jaringan atas nama kekerabatan, kedaerahan dan ikatan
primordialisme lainnya. Fakta seperti ini sebenarnya hampir sama dengan
kasus padepokan GB yang mengemas transaksi narkoba dan seksualitas
atas nama kegiatan keagamaan. Aspek-aspek terkait pada ethnoscapes
dan ideascape juga seringkali digunakan untuk kepentingan peruntungan
ekonomi dari distribusi produksi narkoba. Artinya, ikatan primordialisme
sangat mungkin digunakan oleh para pelaku peredaran dan perdagangan
narkoba di Indonesia pada umumnya.

Peristiwa pembunuhan lima anggota keluarga dan pembakaran rumah


di Kecamatan Tallo oleh Akbar Ampu yang disebabkan oleh hutang piutang
pembayaran narkoba,6 menjadi contoh akurat bahwa bandar besar dan “para
kuda pengedar” ada di Kota Makassar dan kota-kota lain seperti Manado,
Sulawesi Utara dan Jayapura, Papua. Artinya, Kota Makassar secara

5
(1) http://makassar.tribunnews.com/2018/09/27/lima-pengedar-narkotika-jenis-sabu-jaringan-dari-sidrap; http://makassar.tribunnews.
com/2018/05/23/polda-sulsel-ringkus-bandar-jaringan-bos-narkoba-di-makassar; (2) https://simponinews.com/2018/07/20/jaringan-
narkoba-sidrap-diringkus-bnnp-sulsel-dan-tim-gabungan-5-kg-sabu-sabu-disita/; (3) https://news.detik.com/berita/4146310/5-kg-sabu-
dalam-ember-di-sidrap-disita; (4) https://fajar.co.id/2018/08/16 jaringan-narkoba-pinrang-mamuju/.
6
http://makassar.tribunnews.com/2018/10/23/akbar-daeng-ampuh-bos-narkoba

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


424 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
khusus, dan wilayah Sulawesi Selatan menjadi “pusat-pusat konsentrasi
distribusi narkoba” yang akan diedarkan secara nasional, khususnya ke
wilayah-wilayah Indonesia Tengah dan Timur. Jika jaringan Makassar saja
sudah menjadi pemasok dan distributor utama narkoba ke daerah-daerah
lain, maka tentu tidak mustahil, mereka juga yang melakukan “pengeboman”
besar-besaran pangsa pasar narkoba di Kota Makassar sendiri.

Banyak dokumen dan berbagai laporan kepolisian (Direktorat


Narkotika) dan BNN yang menyebutkan bahwa kota Makassar memiliki
tingkat kerawanan yang sangat tinggi dalam peredaran narkoba. Para
pelaku beserta barang bukti dari jaringan Nunukan-Malaysia-Parepare dan
jaringan Medan-Parepare-Sidrap dan Cianjur pernah ditangkap di pelabuhan
Pare-pare pada tahun 2017. Para pelaku dari jaringan yang sama juga pernah
ditangkap di pintu bandara Sultan Hasanuddin. Saat itu ditemukan sabu
seberat 1.003 kg. Artinya, pelabuhan udara dan pelabuhan laut menjadi titik
penting peredaran narkoba. Walaupun menurut informasi tertutup, jaringan
peredaran kota Makassar juga melibatkan pengiriman paket-paket ekspedisi
dalam memasarkan produk financescape-nya ke berbagai daerah di luar dan
dari kota Makassar. Kasus penemuan paket narkoba yang disembunyikan
dalam pengiriman produk celana jeans dalam jumlah besar dari Jawa Barat
(Cianjur dan Garut) juga menjadi bukti otentik bahwa para pelaku jaringan
peredaran memanfaatkan semua cara dalam proses pengirimannya.
Sementara pemasaran di kota Makassar sendiri kerapkali menggunakan
teknik-teknik tersendiri yang bertumpu pada penggunaan simbol-simbol
atau kode-kode tertentu, pemanfaatan pihak ketiga, dan lainnya.

2.3. Peredaran Narkoba: Kasus Kelompok Pelajar dan Mahasiswa

Selain kelompok pekerja, berdasarkan hasil survei BNNP, angka


prevalensi penyalahgunaan narkoba di Sulawesi Selatan tahun 2016
sudah mencapai 130.400 orang. Setiap tahun tentu ada kecenderungan
untuk meningkat, walaupun angka kasus yang tertangani dan berhadapan
dengan hukum dari tahun ke tahun terus menurun. Angka ini menunjukkan
bahwa peredaran obat-obatan terlarang di daerah ini semakin bebas
diperjualbelikan, baik melalui perorangan atau bahkan melibatkan institusi
yang berhubungan dengan obat seperti apotik dan klinik kesehatan.

Para pengguna di kalangan pelajar jumlahnya dari tahun ke tahun

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 425
semakin meningkat. Hal ini didasarkan pada berbagai kasus yang
terjadi di kalangan pengguna dan proses rehabilitasi para penggunanya.
Pengguna narkoba di Sulsel dan kota Makassar khususnya berada pada
usia produktif, yaitu antara 10 sampai 35 tahun. Dengan demikian, apabila
prosentase 30% penduduk Sulawesi Selatan, baik berdasarkan komposisi
jenis kelamin maupun usia produktif, kota Makassar tentu memiliki tingkat
kerawanan yang sangat tinggi.

Angka pemakaian yang dilaporkan BNNP pada tahun 2016 sebesar


130.400 orang. Angka itu dapat menjadi rujukan untuk perbandingan
kenaikan per tahun. Jumlah 130.400 orang itu setara dengan 1,5 persen
dari seluruh populasi penduduk Sulawesi Selatan di tahun 2016 (sekitar
8,5 juta jiwa). Jika angka 1,5 persen dapat dihadapkan dengan jumlah
penduduk di tahun 2018, yaitu 8,7 juta jiwa, maka jumlah pemakai diprediksi
sebesar 139.200 orang. Artinya, jika angka itu kemudian dirasionalisasikan
perbandinganya untuk kota Makassar, di mana sebesar 30 persen penduduk
Sulawesi Selatan berada di kota Makassar dan wilayah penopangnya,
maka setidaknya ada sekitar 41.760 orang pengguna atau terlibat dalam
urusan peredaran narkoba yang berada di kota Makassar.

Angka sebesar 41.760 orang ini dapat dinilai dan kemudian menjadi
rasio perbandingan dari sisi usia produktif yang sebesar 56%, maka jumlahnya
akan mencapai 23.386 orang muda atau berada pada usia produktif yang
rawan terpapar dengan peredaran narkoba. Jumlah usia produktif ini tentu
akan terhubung erat dengan sektor pendidikan dan tenaga kerja. Ketika
angka tersebut kemudian diletakkan pada komposisi jumlah siswa dan
mahasiswa di kota Makassar yang paling banyak persentasenya, maka
kelompok pelajar dan mahasiswa merupakan kelompok yang paling rawan
terpapar dengan narkoba. Kenyataan ini semakin jelas ketika diperkuat
dengan argumentasi bahwa jumlah pasien narkoba yang direhabilitasi oleh
Kementerian Kesehatan (RSUD Sayang Rakyat), Kementerian Sosial (rumah-
rumah rehab), dan BNNP pada umumnya adalah pelajar-pelajar dan mantan
pelajar. Jumlahnya sekitar 50-80 persen dari seluruh penghuni panti rehab.

Berdasarkan data tersebut, maka kelompok usia produktif pada


rentang usia sekolah sangat tinggi dibandingkan usia di atas 30 tahun.
Peredaran dan penyalahgunaan pada kelompok pelajar dan mahasiswa
tentu didasarkan pada berbagai keadaan, baik internal maupun eksternal.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


426 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Keadaan internal misalnya, terkait pada: (i) aspek ketahanan psikologi dan
mental anak-anak dalam menghadapi tawaran, (ii) perilaku dan praktik
rekan sekolah atau kampus pemakai narkoba, (iii) kemampuan mengambil
jarak antara berbagai ikatan yang bermanfaat positif dan berdampak
negatif, dan persoalan di dalam keluarga, seperti kurangnya pengasuhan,
pembimbingan dan ketidakdekatan dengan orangtua.
Tabel 13.2. Jumlah Kasus Narkoba menurut Jenis Kelamin, Umur dan
Pekerjaan (2016-2018)
No. Jumlah Tersangka Tahun
2016 2017 2018
A. Berdasarkan Jenis Kelamin
Laki-laki 2.530 2.506 2.277
Perempuan 155 206 152
B. Berdasarkan usia
< 15 10 19 19
16 – 19 264 250 285
20 – 24 577 519 471
25 – 29 715 674 545
> 30 1.119 1.250 1.110
C. Berdasarkan Pendidikan
SD 1.019 1.176 973
SMP 731 670 574
SMA 815 772 760
PT 120 94 123
D Berdasarkan Pekerjaan
Pelajar 52 49 55
Mahasiswa 65 51 58
TNI 3 1 -
PNS 45 19 21
Polisi 31 23 21
Swasta 551 489 375
Wiraswast 553 522 469
Buruh 372 337 392
Tani 213 218 162
Pengangguran 800 1.003 878
Total 2.685 2.712 2.429
*Sumber: Data Ditnarkotika Polda Sulawesi Selatan, 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 427
Beberapa keterangan begitu jelas disampaikan oleh para informan
muda yang terlibat narkoba di usia remaja dan kemudian menjalani
rehabilitasi berulang kali. Seorang bernama WR, mantan pelajar di sebuah
SMA Kota Makassar menyatakan sebagai berikut:

“Saya memakai narkoba itu memang kesalahan saya sendiri.


Saya terlalu bergaul akrab dengan teman-teman yang memiliki
kecenderungan kuat berperilaku aneh atau sok gaul yang berlebihan.
Untuk menunjukkan diri sebagai “orang gaul”, saya pun harus
mengikuti pola kebiasaan mereka. Salah satunya adalah memakai
sabu atau ekstasi yang dianggap dapat menunjukkan diri saya
sebagai orang yang berani menerima tantangan. Perlu saya akui,
bahwa orang tua dan keluarga saya adalah orang-orang baik, orang
yang taat beribadah, dan orang yang berusaha menjaga keluarganya
dengan baik. Jadi, sesungguhnya apa yang saya lakukan itu,
bukan kesalahan keluarga, tetapi karena ketidaksiapan saya dalam
memasuki pergaulan, atau bisa jadi karena saya salah bergaul.” 7

Pernyataan di atas cukup menjelaskan bahwa pendidikan dan


pembimbingan orang tua tidak sepenuhnya menjadi penyebab seseorang
terperosok dalam peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Kondisi internal
tentang kesiapan dan pilihan dari seseorang anak akibat lingkungan, juga
bisa menciptakan tingkat kerawanan penyalahgunaan narkoba di kalangan
pelajar menjadi sangat tinggi. Pilihan sikap mental dalam lingkungan
pertemanan menjadi faktor yang cukup kuat dalam banyak kasus.

Persoalan di atas tentu tidak bisa dianggap remeh, karena kelompok


usia produktif, khususnya dari kelompok pelajar, sangat erat hubungannya
dengan “eksistensi diri” yang direpresentasikan dalam pergaulan bersama
yang seumurnya. Jika ia memilih untuk menghindari diri dari pergaulan
seusia yang ada, maka akan dianggap sebagai “orang aneh”, dan akhirnya
akan selalu menjadi “obyek perundungan”, sehingga dapat bermasalah
secara sosial di kemudian hari. Namun, ketika memilih bereksistensi
bersama kelompok seusianya, dan pilihan atas temannya salah karena
salah satu anggota kelompoknya merupakan pengguna narkoba, maka ia
dapat dikategorikan sebagai orang yang sangat rawan terpapar dengan
penyalahgunaan narkoba. Konsekuensi-konsekuensi ini tentu sangat
berat dilakukan oleh seorang anak yang baru tumbuh kembang, dan harus

7
Wawancara dengan WR, 26 September 2018

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


428 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
menentukan sikapnya sendiri. Proses internalisasi nilai-nilai positif, baik
yang berasal dari orang tua, lembaga pendidikan, maupun kemampuan
nalar anak itu menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Keadaan eksternal (pengaruh-pengaruh yang berasal dari kekuatan


luar) bisa dalam bentuk rayuan, tekanan, maupun ancaman. Seorang
perempuan muda baik-baik, bisa saja terlibat dalam penyalahgunaan
narkoba, ketika diminta pacarnya untuk melakukan “pesta” yang mampu
menyenangkan atau menggembirakan pacarnya. Keterlibatannya
mungkin bersifat kebodohan atas pengetahuan tentang obat-obatan,
tetapi kerelaaannya ikut dalam pesta tersebut akan menghantarkannya
pada ketergantungan atas obat-obatan di kemudian hari.

Demikian juga ada banyak kasus yang menyebutkan bahwa tekanan


dari pihak-pihak tertentu telah menghantarkan seorang anak atau pelajar
terlibat dalam peredaran dan penyalahgunaan narkoba, seperti kasus yang
pernah ditemukan di Kota Makassar. Seorang anak yang masih duduk
di SMP kelas 1, terpaksa menjadi pengedar sekaligus pemakai narkoba
akibat tekanan dari keluarganya, karena kebetulan dia tinggal bersama di
rumah pamannya itu. Demikian juga dengan ancaman, keadaan ini paling
banyak menimpa para pelaku pengedar yang memiliki hubungan hutang-
piutang dengan seseorang; pacar yang sudah terikat akibat perilaku seks
bebas sebelumnya, dan adanya hubungan-hubungan khusus terkait
kepemilikan informasi tertentu, kebebasan anggota keluarganya, ataupun
hubungan lainnya.

Tabel 13.3.Jumlah Kasus Narkoba di Sulawesi Selatan berdasarkan


Status Tersangka (2016-2018)

No. Jumlah Tersangka Tahun


Berdasarkan Status 2016 2017 2018
1 Produsen - - -
2 Bandar 38 23 1.056
3 Pengedar/Distribusi 2.621 2.405 1.210
4 Pengguna/Konsumsi 26 284 135
Jumlah 2.685 2.712 2.429

*Sumber: Data Ditnarkotika Polda Sulawesi Selatan, 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 429
Jumlah bandar pada tahun 2018 melonjak secara drastis, dari
angka satuan sampai menjadi ribuan. Hal ini menunjukkan adanya
tren pasal hukum yang ditetapkan. Artinya, seorang pemakai memiliki
kecenderungan kuat sebagai pelaku utama dalam peredaran narkoba.
Rangkap status sangat mungkin terjadi sebagai akibat beban biaya yang
harus ditanggung untuk menikmati obat terlarang tersebut.

Banyak informasi yang menyebutkan bahwa siswa-siswa SMP dan


SMA di Kota Makassar juga terlibat sebagai pengedar sekaligus pemakai
narkotika. Hal ini mereka lakukan untuk menghindari diri dari pembiayaan
yang berasal dari orangtua demi upayanya untuk memakai narkotika.
Kecenderungan kuat ini juga terjadi pada kelompok-kelompok muda
yang berkumpul dan berpesta bersama. Pengadaan obat-obat terlarang
rata-rata berasal dari individu di dalam kelompoknya sendiri. Artinya,
salah satu anggota kelompok remaja itu memang memiliki atau terlibat
langsung dalam jaringan peredaran Narkoba yang akan memudahkan
temannya untuk memakai barang haram tersebut.

Narkoba yang berkembang dan beredar di Kota Makassar sendiri


terdiri dari banyak jenis, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 13.4. Pada
table tersebut dapat dilihat bahwa jenis sabu, ganja, dan ekstasi masih
mendominasi peredaran Narkoba untuk dikonsumsi di Kota Makassar.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Kota Makassar juga menjadi pangsa
pasar yang sama dengan kota-kota lainnya.

Tabel 13.4. Jumlah dan Jenis Barang Bukti Narkoba di Sulawesi Selatan
(2016-2018)

No. Jenis Narkoba Jumlah Tersangka


2016 2017 2018
1 Ganja 947,3686 gr 863,12 gr 5 Kg, 213 gr
2 Putau - - -
3 Ekstasi 2.435 Butir 1.039 Butir 181,1/2 Butir
4 Shabu 49Kg 946 gr 20Kg 927 gr 15 Kg 375 gr
5 Daftar G 63.248 947,001 90.017
6 Tembakau Gorilla - - -

*Sumber: Data Ditnarkotika Polda Sulawesi Selatan, 2018.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


430 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Penyebab merebaknya peredaran narkoba di Makassar bisa bisa
bersifat kasuistik, tetapi juga ada yang menjadi penyebab umum di balik
peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Ada kesulitan tersendiri dalam
memotret keadaan yang bersifat internal pada setiap individu yang
terlibat dalam jejaring peredaran dan penyalahgunaan narkoba, terlebih
ketika seseorang berhadapan dengan hukum. Persoalan internal sering
dinafikan aparat polisi yang lebih menekankan relasi peredaran dan
barang bukti yang secara normatif telah menempatkan seseorang itu
bersalah di hadapan hukum.

3. Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba

Program penanggulangan narkoba di Indonesia dilakukan


melalui implementasi kebijakan Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). Amanat untuk
mengimplementasikan program itu diberikan kepada BNN sebagai vocal
point. Peningkatan dan penurunan angka prevalensi penyalahgunaan
narkoba jika dilihat dari aspek peredaran gelap narkoba sangat erat dengan
faktor kemudahan para pengguna narkoba untuk memperoleh narkoba.
Peredaran narkoba masih terus berkembang juga karena banyaknya
permintaan dari pengguna narkoba. Untuk itu, dalam penanggulangan
narkoba dibutuhkan upaya berimbang melalui pengurangan permintaan
(demand reduction) dan upaya pengurangan penawaran (supply
reduction) terhadap narkoba.

Ukuran keberhasilan program P4GN di Sulawesi Selatan salah


satunya adalah penurunan laju peningkatan prevalensi penyalahgunaan
narkoba sebesar 0.05% per tahun. Di Provinsi Sulawesi Selatan, fungsi
P4GN dilaksanakan oleh BNNP Sulawesi Selatan dan tiga BNN Kabupaten
yaitu BNNK Tana Toraja, BNNK Bone dan BNNK Palopo. Kota Makassar
sendiri belum memiliki BNNK, sehingga penanggulangan masalah
narkoba di kota ini menjadi tanggung jawab BNNP Sulawesi Selatan.

Pendirian BNNP Sulawesi Selatan dilakukan pada April 2011. Saat


pendirian, kekuatan BNNP sangat minim sehingga dilakukan rekrutmen
pegawai dengan mengoptimalisasikan pegawai yang aktif di instansi
lain. Pengoptimalisasian ini dilakukan mengingat masalah narkoba
merupakan masalah kompleks sehingga diperlukan pelibatan seluruh

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 431
komponen masyarakat, bangsa, dan negara untuk menyelamatkan
bangsa. Hal ini sesuai dengan visi dan misi BNNP Sulawesi Selatan,
yaitu: “Menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang Profesional,
tangguh dan terpercaya, mampu menyatukan dan menggerakkan
komponen masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan dalam Pencegahan
dan Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba
dan misinya yaitu “Bersama Instansi Pemerintah terkait dan komponen
masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan melaksanakan Pencegahan,
Pemberdayaan Masyarakat, Pemberantasan, Rehabilitasi, Hukum dan
Kerjasama di Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkoba” (BNNP Sulawesi Selatan 2017: 10).
Pencapaian visi dan misi itu diwujudkan melalui pelaksanaan tiga fungsi
di Bidang P4GN, yaitu: Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat
(P2M), Rehabilitasi, dan Pemberantasan.

Tugas Bidang P2M adalah melakukan penyiapan bahan pelaksanaan


koordinasi penyusunan rencana strategis dan rencana kerja tahunan
P4GN, kebijakan teknis P4GN, diseminasi informasi dan advokasi,
pemberdayaan alternatif dan peran serta masyarakat, dan evaluasi
dan pelaporan di bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarakat.
Tujuannya yaitu menumbuhkan kesadaran dan kemandirian masyarakat
untuk mencegah dan melawan bahaya narkoba.

3.1. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba

Pencegahan bahaya narkoba dilakukan dengan cara memberikan


pengetahuan mengenai bahaya narkoba kepada masyarakat umum
melalui edukasi tentang bahaya narkoba, jenis narkoba dan dampak
penyalahgunaan narkoba. Dua metode yang dilakukan dalam pencegahan
bahaya narkoba yaitu advokasi pencegahan dan diseminasi informasi.
Advokasi pencegahan adalah tugas untuk memengaruhi pengambil
kebijakan di suatu instansi, lembaga, atau lingkungan agar dapat terlibat
dan melakukan kegiatan P4GN secara mandiri. Kegiatan ini dilakukan
oleh BNNP melalui kegiatan diskusi kelompok terfokus antara pengambil
kebijakan dan penyusunan rencana aksi yang dilaksanakan di suatu
instansi/lembaga. Sampai dengan 2017, BNNP Sulawesi Selatan berhasil
memengaruhi 13 lembaga, 16 lingkungan dan 4 kawasan untuk responsif
terlibat dalam kegiatan P4GN (BNNP Sulawesi Selatan, 2017; 13).

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


432 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Metode pencegahan kedua adalah diseminasi informasi, yaitu upaya
menyuarakan program P4GN melalui berbagai media. Media yang biasa
digunakan yaitu media elektronik dan cetak, dan tatap muka. Media tatap
muka dilakukan melalui kegiatan sosialisasi/penyuluhan bahaya narkoba.
Salah satu informasi penting yang masuk dalam kegiatan diseminasi
adalah informasi tentang prosedur wajib lapor. Informasi ini dinilai sangat
penting untuk disebarluaskan, tujuannya untuk meningkatkan keinginan
atau kemauan masyarakat melaporkan penyalah-gunaan narkoba yang
dilakukan oleh dirinya atau oleh anggota keluarganya. Informasi yang
diberikan mencakup alur wajib lapor dan lokasi-lokasi yang ditunjuk
sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di Kota Makassar atau
yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam pemberian informasi ini,
petugas memberikan peringatan untuk melakukan wajib lapor sebelum
yang bersangkutan tertangkap tangan dan diproses secara hukum.

Tahun 2017 BNNP Sulawesi Selatan berhasil menyebarkan informasi


anti narkoba kepada sekitar 5% dari jumlah penduduk sebanyak 172.916
orang atau setara dengan 8.646 orang (BNNP Sulawesi Selatan, 2017:
17). Pencapaian tersebut menggambarkan bahwa upaya pencegahan
yang dilakukan oleh BNNP Sulawesi Selatan masih minim dan belum
dapat menjangkau sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan. Hal
ini karena sebagian besar informan tidak mengetahui kegiatan P4GN
yang dilakukan oleh BNNP Sulawesi Selatan. Advokasi pencegahan
dan diseminasi informasi dilakukan untuk saling melengkapi. Metode
pertama digunakan untuk memengaruhi para pengambil kebijakan,
sedangkan metode kedua dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan
dan kesadaran masyarakat akan bahaya narkoba.

3.2. Pemberdayaan Masyarakat

Fungsi lain yang tidak kalah penting dalam penanggulangan narkoba


adalah fungsi pemberdayaan masyarakat. Fungsi ini digunakan oleh
BNNP untuk memberdayakan masyarakat agar bersedia terlibat dalam
kegiatan P4GN secara mandiri. Fungsi ini berangkat dari pemikiran bahwa
kepedulian masyarakat terhadap penyalahgunaan narkoba di lingkungan
sekitarnya masih kurang, serta sulitnya mengembalikan masyarakat yang
sudah terpapar narkoba untuk dapat hidup normal di masyarakat. Upaya
pemberdayaan masyarakat di Sulawesi Selatan dilakukan melalui pemberian
life skill, pengembangan kapasitas penggiat anti narkoba dan tes urine.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 433
3.2.1 Pemberian Life Skill

Jenis life skill yang diberikan disesuaikan dengan keinginan


masyarakat setempat seperti kursus kecantikan, servis HP, dan servis AC.
Pemberian life skill diharapkan dapat mendorong masyarakat berdaya dan
memiliki keterampilan untuk menjauh dari bahaya narkoba. Asumsinya
adalah keterampilan yang bernilai ekonomi akan menjauhkan masyarakat
dari peredaran narkoba, karena keterampilan tersebut dapat digunakan
untuk mencari uang tanpa harus terlibat dalam peredaran narkoba.
Pemberian life skill ini akan efektif dilakukan mengingat berdasarkan data
Direktorat Narkoba Polda Sulawesi Selatan diketahui bahwa sebagaian
besar pelaku tindak pidana narkoba adalah pengangguran yaitu sebanyak
800 orang (2016), 1.003 orang (2017) dan 878 orang (s.d Agustus 2018).
(Direktorat Narkoba Polda Selawesi Selatan; 2018).

3.2.2. Pengembangan Kapasitas

Pengembangan kapasitas P4GN merupakan salah satu kegiatan


pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat baik di lingkungan kerja, pendikan maupun
lingkungan masyakat umum. Pengembangan kapasitas ini dilakukan oleh
BNNP Sulawesi Selatan dalam bentuk pelatihan yang dilaksakan selama
satu hari dan dilakukan pengukuhan “Penggiat Anti Narkoba”. Materi
yang diberikan mencakup aspek hukum dan dampak penyalahgunaan
narkoba, pengetahuan dasar adiksi dan konseling adiksi (BNNP Sulawesi
Selatan; 2018). Hasil akhir dari kegiatan ini yaitu penyusunan rencana
aksi penggiat anti narkoba. Penyusunan rencana aksi ini adalah upaya
untuk memancing dan menumbuhkan kemandirian para peserta untuk
melakukan kegiatan P4GN di lingkungannya. Namun kelemahannya
adalah tidak ada evaluasi dari pihak BNNP terhadap pelaksanaannya di
lingkungan masyarakat, sehingga bukan tidak mungkin hanya sebagai
rencana saja dan tidak dilaksanakan oleh Penggiat Anti Narkoba ketika
berada di lingkungannya.

3.2.3. Tes Urine sebagai Upaya Deteksi Dini

Kegiatan lain yang dilaksanakan dalam rangka pemberdayaan


masyarakat adalah kegiatan tes urine sebagai upaya deteksi dini

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


434 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
keterpaparan narkoba di suatu lingkungan. Melalui tes urine, dapat
diketahui apakah suatu lingkungan bersih atau terkontaminasi narkoba.
Kegiatan ini dilakukan secara rutin oleh BNNP dengan sejumlah target
yang telah ditentukan oleh Deputi Bidang Pemberdayaan Masyarakat BNN
di awal tahun. Sasaran kegiatan ini meliputi kelompok pelajar, mahasiswa,
dan pekerja. Tes urine juga dilakukan berdasarkan permintaan sekolah,
lembaga, atau instansi tertentu, dan dananya ditanggung oleh sekolah,
lembaga atau instansi yang mengajukan permintaan. Kegiatan mandiri ini
merupakan salah satu wujud peran aktif masyarakat untuk mendukung
target pemerintah menciptakan lingkungan bebas dari narkoba. Kegiatan
ini hanyalah deteksi dini, tetapi jika ditemukan peserta yang positif
menggunakan narkoba, akan dibuatkan surat ke bidang rehabilitasi untuk
ditindaklanjuti sesuai kadar zat yang disalahgunakannya.

Tes urine yang dilakukan secara mandiri oleh suatu lembaga atau
instansi merupakan wujud komitmen untuk menciptakan lingkungan
bebas narkoba. Berdasarkan keterangan dari Kabid P2M, sampai dengan
penelitian ini berjalan, terdapat tiga instansi yang melakukan tes urine
mandiri secara rutin di Sulawesi Selatan, yaitu Kantor Imigrasi, Kantor
Pajak Pratama, dan TNI. Sementara di bidang pendidikan, Dinas Pendidikan
Sulawesi Selatan memberikan instruksi kepada sekolah atau kampus
untuk melakukan tes urine kepada siswa/ mahasiswa baru. Tes urine
yang dilaksanakan di lingkungan pendidikan merupakan bentuk perhatian
pemerintah terhadap usia pertama kali memakai narkoba yang sudah
merambah ke usia SD, bukan hanya usia SMP seperti yang diungkapkan
oleh beberapa klien rehabilitasi yang menjadi informan pada penelitian ini.

3.3. Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Melawan Narkoba

Bidang P2M di Sulawesi Selatan memiliki tantangan berat dalam


melakukan pencegahan penyalahgunaan narkoba, khususnya pada
kelompok pelajar dan mahasiswa. Kabid P2M mengungkapkan bahwa
lokasi penyalahgunaan narkoba bukan hanya kost-kostan atau tempat
tongkrongan, tetapi juga di komunitas seperti Komunitas Mahasiswa
Pencinta Alam (Mapala). Pernyataan itu dikuatkan oleh keterangan
salah satu klien pasca rehabilitasi di Rumah Damping Celebes bahwa ia
pertama kali menggunakan narkoba ketika mengikuti kegiatan Latihan
Dasar Kepemimpinan (LDK) dikampusnya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 435
Penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar disebabkan faktor
ketidaktahuan pelajar, guru, maupun orang tua tentang bahaya yang
ditimbulkan dari penyalahgunaan narkoba. Menyikapi hal itu, bidang
P2M memberikan pengetahuan antinarkoba kepada para pendidik dan
orangtua murid pada kegiatan pengambilan raport siswa. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan pendidik dan orangtua
terhadap bahaya narkoba, sehingga pendidik dan orangtua diharapkan
mengetahui gejala dan dampak penyalahgunaan narkoba, serta dapat
melakukan upaya pencegahan narkoba secara mandiri di lingkungan sekitar
keluarganya. Upaya lain yang dilakukan BNNP dalam pencegahan narkoba
yaitu memberikan himbauan kepada pihak sekolah untuk melakukan razia
berkala terhadap barang yang dibawa oleh muridnya. Apabila murid ada
yang kedapatan membawa obat-obatan tetapi anak tersebut tidak dalam
kondisi sakit, maka kemungkinan melakukan penyalahgunaan obat harus
diselidiki lebih dalam.

Tujuan kegiatan P2M yaitu mencegah masyarakat yang belum


menggunakan narkoba untuk tidak menggunakannya dan mencegah yang
sudah terpapar agar tidak menggunakan lagi. Tujuan yang sangat luas itu
menuntut bidang P2M melakukan pendekatan yang tepat, salah satunya
pendekatan kekeluargaan (berbasis keluarga) dengan melibatkan tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan ibu-ibu rumah tangga. Keluarga menjadi
salah satu bagian penting pada masyarakat untuk melakukan pencegahan,
karena keluarga merupakan agen perubahan sosial pertama dan utama.
Pendekatan kekeluargaan dilakukan melalui forum majelis taklim atau
arisan. Kegiatan ini untuk menumbuhkan kesadaran dan inisiatif ibu
rumah tangga melakukan upaya pencegahan, mulai dari keluarganya dan
lingkungan sekitar. Kegiatan seperti ini sangat penting dilakukan karena di
Sulawesi Selatan ditemukan beberapa kasus yang melibatkan anak sebagai
pengedar. Setelah diselidiki orangtua anak itu ternyata mantan atau masih
aktif mengedarkan narkoba.

Implementasi Program P4GN tidak selamanya berjalan lancar, karena


terdapat beberapa kendala dan hambatan yang dihadapi. Berdasarkan
wawancara dengan beberapa informan, diperoleh beberapa permasalahan
sebagai berikut:
a) Penerapan hukuman mati yang terkesan tidak tegas oleh aparat
penegak hukum turut memengaruhi peningkatan peredaran narkoba,

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


436 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
karena tidak ada efek jera yang ditimbulkan dari pemberlakuan hukuman
tersebut.
b) Belum ada sistem pelaporan yang sistematis seperti dalam pelaporan
tindak pidana korupsi seperti sistem whistle blower mengakibatkan
tingkat pelaporan tindak pidana narkoba rendah.
c) Kurang sinergitas antar lembaga dalam penanganan narkoba. Kondisi
tersebut bertentangan dengan amanat Permendagri Nomor 21 Tahun
2013 tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika yang
memerintahkan seluruh lembaga/ instansi terkait di kewilayahan
untuk memfasilitasi kegiatan P4GN di daerah. Jika amanat tersebut
dijalankan, seharusnya setiap SKPD dapat melakukan kegiatan P4GN
di lingkungannya beserta penganggarannya secara mandiri.
d) Jumlah SDM yang tersedia masih jauh dari proporsi SDM yang
dirumuskan dalam Daftar Susunan Pegawai, akibatnya beban kerja
menjadi berat dan kurang maksimal.
e) Belum ada rekruitmen mandiri, sehingga dalam pemenuhan SDM
harus berkoordinasi dengan Polri atau Pemerintah setempat.
f) Jumlah BNNK masih sedikit membuat beban kerja BNNP menjadi
berat. Seharusnya BNNP Sulawesi Selatan minimal memiliki 10 BNNK
untuk membantu menangani masalah narkoba di 24 kota/kabupaten,
selain itubelum adanya BNNK di Kota Makassar.
g) Daerah rawan seperti Kabupaten Sidrap dan Pinrang berada jauh
dari Kota Makassar, mengakibatkan keterbatasan pengawasan dan
pengungkapan kasus di kedua daerah itu.
h) Kurang sarana dan prasarana harus menjadi perhatian penting dalam
menjalankan fungsi P4GN.
i) Kurang rasa percaya antara satu pihak dengan pihak lain dan ego
sektoral menjadi kendala kurangnya pencapaian program P4GN.
Daya saing antara satu instansi dengan instansi lain menyebabkan
kurangnya kebersamaan dalam pemberantasan narkoba
j) Tidak berfungsinya forum bersama yang telah dibentuk seperti
Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan
Agung dan Polri (Mahkumjakpol), menyebabkan penanganan
penyalahgunaan narkoba memiliki standar ganda.
k) Belum ada keseragaman pemahaman personel BNN dan penegak
hukum lain menyebabkan penanganan pengguna
l) Kurangnya pemahaman komponen masyarakat terhadap bahaya
penyalahgunaan narkoba dan peredaran gelap narkoba di lingkungan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 437
sekitarnya. Hal itu turut menambah terhambatnya implementasi
P4GN di kalangan masyarakat umum.

Kendala dan hambatan tersebut tidak serta merta menyurutkan


langkah BNNP Sulawesi Selatan untuk menanggulangi bahaya
narkoba. Beberapa upaya yang dilakukan BNNP Sulawesi Selatan, yaitu
memaksimalkan koordinasi dengan stakeholder untuk mendapatkan
dukungan pelaksanaan P4GN; melakukan kegiatan pemberantasan
bersama dengan penegak hukum lainnya seperti Operasi Bersinar; aktif
mendatangi instansi, lembaga, sekolah atau kampus untuk meningkatkan
inisiatif mereka untuk melaksanakan program P4GN; dan membangun
kerja sama dengan BLK untuk melaksanakan pemberian life skill dan
mengantisipasi minimnya waktu pelaksanaan pemberian life skill.

4. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Narkoba

Penanggulangan narkoba merupakan upaya yang harus dilakukan


secara holistik mulai dari hulu sampai dengan hilir. Ketika pencegahan
bahaya narkoba tidak berhasil maka salah satu akibat yang timbul adalah
masalah penyalahgunaan narkoba. Ketika hal tersebut terjadi maka apa
yang dilakukan adalah dipenjara.

BNN adalah lembaga yang berbeda dengan penegak hukum


lainnya, karena dalam menjalankan fungsinya BNN mengedepankan
sisi kemanusiaan bagi pengguna narkoba dan sisi ketegasan bagi para
pengedar narkoba. BNN memandang pengguna narkoba sebagai seorang
korban atau orang yang sakit, sehingga rehabilitasi merupakan upaya
yang dilaksanakan ketika fungsi pencegahan belum berjalan maksimal
bukan dimasukkan ke penjara yang justru akan semakin menghancurkan
pengguna narkoba.

Rehabilitasi narkoba dilakukan atas dasar pemahaman bahwa pada


Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
mengklasifikasikan penyalahgunaan narkoba sebagai sebuah pidana
ringan yang dapat divonis penjara di bawah 4 tahun. Apabila penyalahguna
narkoba itu terbukti sebagai korban, maka yang bersangkutan wajib
menjalani proses rehabilitasi sebagai bagian dari masa hukumannya.
Penyalahguna narkoba merupakan orang sakit sehingga diperlukan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


438 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
pengobatan melalui rehabilitasi medis dan sosial. Hal itu dipandang
sebagai solusi yang tepat dibandingkan dengan pemenjaraan.

Penempatan di dalam Lapas tidak diklasifikasikan menggunakan


Pasal yang dipidanakan, sehingga terjadi percampuran antara Warga
Binaan Pemasyarakatan (WBP) pengedar dengan pengguna. Kondisi
ini salah satu fakta yang menunjukkan bahwa pemenjaraan bukanlah
solusi yang tepat bagi penyalahguna narkoba, karena di Lapas, pengguna
narkoba bukan sembuh tetapi justru lebih mudah mengakses narkoba.
Di kalangan pengguna narkoba terdapat salah satu jarkon yang sering
diucapkan “di dalam cuma butuh waktu 5 menit, di luar bisa sampai lebih
dari 5 jam baru dapat narkoba”. Inilah yang harus menjadi pertimbangan
para perumus kebijakan untuk mereformulasi pemidanaan bagi
penyalahguna narkoba murni.

Rehabilitasi bagi penyalahguna narkoba yang dijalankan oleh BNN


dilakukan sesuai dengan standar mutu kegiatan yang dibuat oleh Deputi
Bidang Rehabilitasi BNN. Rehabilitasi yang dijalankan merupakan rehabilitasi
berkelanjutan, mulai dari rehabilitasi medis sampai dengan kegiatan bina
lanjut. Penekanan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh BNNP adalah
kegiatan penguatan lembaga rehabilitasi dan kegiatan pascarehabilitasi.
Dalam pelaksanaannya, BNNP menggandeng beberapa lembaga rehabilitasi,
baik medis maupun sosial, untuk dijadikan mitra pelaksana rehabilitasi.

Di awal tulisan ini sudah digambarkan betapa bahayanya


penyalahgunaan narkoba, khususnya bagi pengguna itu sendiri dari
sisi kesehatan. Direktur Mayang Asa, RSUD Sayang Rakyat Makassar
mengungkapkan bahwa ada dua masalah yang menjadi perhatian khusus
dalam penanganan penyalahgunaan narkoba. Masalah tersebut yaitu
penyembuhan dari sisi kesehatan dan pengembalian rasa percaya diri
para mantan pengguna narkoba. Hal ini senada dengan rumusan Deputi
Bidang Rehabilitasi BNN bahwa penggunaan narkoba merupakan masalah
kompleks dan memberikan dampak fisik, psikis dan sosial. Pada Pasal
54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan
bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba wajib direhabilitasi.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa adiksi atau kecanduan merupakan
kondisi yang bersifat kronis dan kambuhan, sehingga terapi rehabilitasi yang
dilakukan harus bersifat integratif dan berkelanjutan (WHO ATLAS, 2010;

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 439
UNODC, 2003; Wild and Wolfe, 2009). Proses rehabilitasi yang dilakukan
harus bersifat jangka panjang dan dimonitor dalam jangka waktu tertentu
(McLellan, 2003).

Rehabilitasi merupakan suatu tantangan besar untuk dilakukan


karena bagi klien rehabilitasi pada tahap awal pelaksanaannya merupakan
kegiatan yang menyiksa. Gejala awal yang dialami oleh klien rehabilitasi
adalah gejala putus obat (wakas) dan mengakibatkan sakit kepala, diare,
gemetar, rasa ingin menggunakan narkoba kembali atau efek kesehatan
lain. Berdasarkan keterangan beberapa informan diketahui beberapa alasan
mereka mengikuti program rehabilitasi, antara lain: keinginan sendiri untuk
sembuh, harta benda sudah mulai habis dijual, banyak utang yang timbul,
ada keinginan meraih masa depan yang baik dengan melihat keberhasilan
orang lain, rekomendasi dari penyidik, dipaksa masuk ke lembaga rehabilitasi
oleh orangtua dan trauma melihat teman yang meninggal akibat narkoba.

Kegiatan bidang rehabilitasi BNNP Sulawesi Selatan mencakup


kegiatan penguatan lembaga rehabilitasi, rehabilitasi dan pascarehabilitasi.
Program rehabilitasi narkoba dilakukan dengan metode rehabilitasi narkoba
berkelanjutan, mulai dari penerimaan awal, rehabilitasi, pascarehabilitasi
sampai dengan pembinaan lanjut. Adapun alur rehabilitasi berkelanjutan
yang dirumuskan oleh BNN dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 13.1. Alur Rehabilitasi Berkelanjutan oleh BNNP Sulawesi Selatan

Sumber: Bidang Rehabilitasi BNNP Sulawesi Selatan, 2018

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


440 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Rehabilitasi berkelanjutan adalah serangkaian proses rehabilitasi
terpadu yang mencakup rehabilitasi medis, sosial dan pascarehabilitasi
yang dilakukan secara kontinu. Rehabilitasi medis adalah suatu
proses kegiatan terapi secara terpadu untuk membebaskan pecandu,
penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika dari ketergantungan
narkotika. Sedangkan, rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan
pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar pecandu,
penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Pasca rehabilitasi merupakan tahapan pembinaan lanjutan yang


diberikan kepada penyalahguna narkotika setelah selesai menjalani
rehabilitasi dan merupakan bagian terintegrasi dalam rangkaian
rehabilitasi. Pembinaan lanjut yang selanjutnya disebut layanan pasca
rehabilitasi lanjut adalah layanan yang diberikan kepada klien agar
mampu mempertahankan kepulihan, mampu hidup mandiri dan produktif
serta kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat serta berfungsi
sosial. Layanan rawat lanjut berguna untuk mengukur proses pemulihan
klien dan keberhasilan program rehabilitasi berkelanjutan. Tujuan dari
rehabilitasi yang dilakukan adalah mengurangi permintaan atau keinginan
mantan pecandu untuk mengulangi menggunakan narkoba kembali.

BNNP Sulawesi Selatan melakukan kegiatan rehabilitasi melalui


dua kegiatan besar yaitu penguatan lembaga rehabilitasi dan kegiatan
pascarehabilitasi. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Kasie
Penguatan Lembaga Rehabilitasi BNNP Sulawesi Selatan, penguatan
lembaga rehabilitasi terdiri dari penguatan kemampuan lembaga
rehabilitasi milik pemerintah maupun milik komponen masyarakat
dan penguatan Sumber Daya Manusia (SDM). Di Sulawesi Selatan,
beberapa Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat (LRKM) pernah
mendapatkan penguatan dan sebagian besar telah menjadi mitra rujukan
BNNP dalam rehabilitasi.

Penguatan lembaga rehabilitasi dilakukan dengan dukungan


pembiayaan melalui klaim biaya rehabilitasi dan pelatihan konselor
rehabilitasi. LRKM yang dipilih menjadi mitra rujukan BNNP adalah yang
memenuhi persyaratan berikut ini: Profil lembaga, mencakup: visi-misi,
tujuan, struktur organisasi, program/model layanan, kegiatan, kapasitas

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 441
layanan rawat inap dan/atau rawat jalan, SDM, sarana prasarana,
dokumentasi data klien dalam 1 tahun terakhir; pola tarif di LRKM; salinan
legalitas lembaga; salinan NPWP atas nama lembaga; salinan rekening
bank atas nama lembaga; dan biodata Petugas Lembaga.

Tabel 13.5. Daftar LRKM Mitra BNNP Sulawesi Selatan


No NAMA LEMBAGA STATUS JENIS RAWATAN
1. Yayasan Doulos Non IPWL Rawat Jalan Sosial
2. Lembaga Anak Indonesia Cerdas IPWL Rawat Inap Sosial
(LPAIC) (khusus anak)
3. Lembaga Religius Spirit Insan (LERSI) Non IPWL Rawat Inap Sosial
4. Lembaga Peduli Masyarakat Non IPWL Rawat Inap Sosial
Siammasei (khusus wanita)
5. Yayasan Mitra Husada Non IPWL Rawat Inap Sosial
6. Klinik Transit Maros Non IPWL Rawat Inap Medis
7. Lembaga Daar Ulil Albaab (LDUA) Non IPWL Rawat Inap Sosial
8. Yayasan Mitra Transit Abadi Non IPWL Rawat Inap Sosial
9. Yayasan Tanggap Cegah Mirasantika Non IPWL Rawat Inap Sosial
10. Persaudaraan Korban Napza Makassar Non IPWL Rawat Inap Sosial
(PKNM) (on proses)
11. Yayasan Gaya Celebes (YGC) (on proses) Non IPWL Rawat Jalan Sosial
12. Rumah Sakit Wisata Universitas Non IPWL Medis
Indonesia Timur (UIT) (on proses)
13. Yayasan Abdullah Al Khaeriah (on proses) Non IPWL Rawat Inap Sosial
Sumber: Bidang Rehabilitasi BNNP Sulawesi Selatan, 2018

Di Sulawesi Selatan terdapat dua lembaga rehabilitasi milik


pemerintah Loka Balai Rehabilitasi Badokka Milik BNN dan RSUD yang
memiliki unit khusus penanganan narkoba yang dibentuk sesuai amanat
Menteri Kesehatan. Unit tersebut adalah Mayang Asa di RSUD Sayang
Rakyat. Pendirian unit di RSUD ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa
penyalahgunaan narkoba berbeda dengan masalah kesehatan lainnya
sehingga membutuhkan penanganan khusus dan tempat khusus mulai
dari sarana, prasarana dan tenaga medis atau psikolog. Rehabilitasi
pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba merupakan bagian dari
program G 1000 G atau gerakan penyelamatan sejuta jiwa dari bahaya
narkoba yang dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


442 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
4.1. Metode Rehabilitasi di Sulawesi Selatan

Penyalahgunaan narkoba menimbulkan efek berbeda antara satu


pengguna dengan pengguna lain, sehingga kebutuhan akan terapi atau
pengobatannya juga berbeda-beda. Sebelum memasukkan seorang
pecandu ke dalam lembaga rehabilitasi dilakukan asesmen untuk
mengetahui kondisi kesehatan dan psikologis pecandu serta derajat
keparahan tingkat penyalahgunaan narkoba yang dialami oleh pecandu.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan dan
FGD dengan para klien rehabilitasi, beberapa metode rehabilitasi yang
dilakukan di Sulawesi Selatan yaitu:
a) Detoksifikasi atau lintasan metabolisme yang mengurangi kadar racun
didalam tubuh, dengan penyerapan, distribusi, biotransformasi dan
ekskresi molekul toksin (BNN, 2017). Layanan detoksifikasi merupakan
proses membantu klien mengatasi gejala putus zat yang menimbulkan
ketidaknyamanan fisik dan psikis pada klien. Detoksifikasi berdasarkan
keterangan Direktur dan dokter di RSUD Sayang Rakyat, dilakukan
dengan metode khusus oleh para tenaga medis sebagai langkah
awal terapi penyalahgunaan narkoba. Detoksifikasi ini Sulawesi
Selatan dilakukan oleh Loka Balai Rehabilitasi Baddoka milik BNN,
RSUD Sayang Rakyat, dan beberapa LRKM yang sudah mendapatkan
penguatan dari BNNP Sulawesi Selatan.
b) Terapi Simptomatik, yaitu jenis terapi yang dilakukan oleh Klinik Adi
Pradana BNNP Sulawesi Selatan dengan metode rawat jalan. Terapi
dilakukan berdasarkan hasil diagnosa tingkat kecanduan klien.
Kegiatan yang dijalankan adalah konseling adiksi/konseling individu,
wawancara motivasional, pencegahan kekambuhan, dan rujukan
pelayanan spesialistik jika diperlukan. Seluruh pelaksanaan dari
tahapan terapi itu disesuai dengan standar mutu kegiatan, baik dari
segi waktu maupun SDM yang menjalankannya. Alur rawat jalan di
Klinik Pratama BNNP dapat dilihat pada gambar 13.2.
c) Terapi Komunitas (Theurapetic Community/TC), yaitu suatu
pendekatan perubahan perilaku yang memberlakukan sistem
penghargaan dan hukuman untuk menciptakan perilaku baru (BNN,
2017). Metode ini banyak digunakan oleh lembaga rehabilitasi,
termasuk Loka Balai Rehabilitasi Badokka milik BNN dan dilaksanakan
juga di dalam Lapas Khusus Narkotika (Lapastika) Kelas IIa
Sungguminasa. Berdasarkan pengakuan salah satu mantan pecandu

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 443
yang pernah direhabilitasi di Loka Balai Rehabilitasi Badokka, TC
merupakan kegiatan tingkat kedisiplinannya satu tingkat lebih tinggi
dibandingkan dengan penegakan disiplin pada umumnya.

Gambar 13.2.Alur Rawat Jalan di Klinik Pratama BNNP Sulawesi Selatan

Sumber: Bidang Rehabilitasi BNNP Sulawesi Selatan, 2018

d) Terapi Komunitas berbasis agama, dilakukan oleh salah satu


LRKM mitra BNNP, yaitu LDUA. Pendekatannya yaitu pendekatan
agama, namun pelaksanaan TCnya tidak berbeda jauh dengan TC
umum. Perbedaannya hanya pada pemberian hukuman dalam
bentukmengaji dan peningkatan ibadah. Salah satu mantan pecandu
yang diwawancarai mengaku bahwa pendekatan ini efektif untuk
memperbaiki akhlak kliennya.
e) Pasca rehabilitasi, yaitu layanan pembinaan lanjut kepada pecandu
yang telah selesai menjalani proses rehabilitasi. Tujuannya yaitu
menyiapkan para klien agar dapat hidup normal dan berfungsi secara
sosial dan ekonomi serta dapat produktif kembali di masyarakat.
Pelaksanaannya dengan dua metode yaitu intensif dan reguler. Alur
pascarehabilitasi yang dijalankan dapat dilihat pada gambar 10.3.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


444 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Kegiatan pasca rehabilitasi intensif di Sulawesi Selatan dijalankan di
Rumah Damping Celebes yang didanai oleh BNNP. Klien rumah damping
adalah mereka yang telah menjalani tahapan rehabilitasi di beberapa
lembaga rehabilitasi milik BNN, milik instansi pemerintah, dan LRKM
mitra BNNP, namun belum mendapatkan dukungan sosial. Mereka
berasal dari lingkungan rawan narkoba, dan belum memiliki pekerjaan
tetap. Berdasarkan data yang diperoleh dari Rumah Damping Celebes
sampai dengan Bulan September 2018 terdapat 35 orang klien yang
berasal dari Loka Balai Rehabilitasi Badokka, RSUD Sayang Rakyat, Klinik
Transit Maros, LDUA, dan Yayasan Mitra Husada. Sedangkan, tahun 2017
terdapat 68 klien pascarehabilitasi.

Gambar 13.3. Alur Pasca rehabilitasi oleh BNNP Sulawesi Selatan

Sumber: Bidang Rehabilitasi BNNP Sulawesi Selatan, 2018

Kegiatan pasca rehabilitasi di Rumah Damping antara lain:


a) Pencegahan kekambuhan melalui kegiatan konseling individual dan
seminar adiksi di malam hari.
b) Pengembangan diri, dilakukan untuk mengembalikan potensi diri
klien melalui pembuatan rencana hidup, penentuan target prestasi,
pengembangan kegemaran, dan program pelatihan vokasional

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 445
berupa pembuatan sketsa wajah, sablon, servis HP dan AC.
c) Konseling, dengan maksud agar klien dapat memahami dirinya.
d) Psikososial, kegiatan ini dilakukan untuk kembali berinteraksi dengan
masyarakat.

Kegiatan pasca rehabilitasi di Rumah Damping Celebes terjadwal


secara rutin, mulai dari sholat subuh, function, sarapan pagi, mandi,
sharing circle, kegiatan positif, sholat dzuhur, makan siang, vokasional,
sholat ashar, function, olahraga, mandi sore, sholat maghrib, makan
malam, sholat isya dan seminar atau kegiatan keagamaan. Selain itu juga
dilakukan kegiatan ekonomi, yaitu warung kopi keliling dengan tujuan
agar para klien dapat berinteraksi dengan penduduk setempat sehingga
klien mendapatkan kepercayaan kembali. Kegiatan pasca rehabilitasi
reguler dilakukan di ruang aula BNNP. Kegiatan ini diikuti oleh klien yang
telah menyelesaikan program rehabilitasi dan mendapatkan rekomendasi
dari lembaga rehabilitasi. Tujuan kegiatan ini adalah memberi wadah
komunikasi, pendampingan, dan pengembangan keterampilan bagi
mantan pecandu.

Pembahasan mengenai efektivitas tentunya tidak dapat terlepas


dari angka keberhasilan suatu program. Terkait dengan efektivitas
rehabilitasi narkoba di Sulawesi Selatan, hasil penelitian Puslitdatin BNN
bekerjasama dengan Puslitkes UI menyebutkan bahwa angka prevalensi
penyalahgunaan narkoba di provinsi ini mengalami penurunan dari 2.25%
pada tahun 2014 menjadi 1.95% pada tahun 2017.

Menurut BNNP Sulawesi Selatan, pada Tahun 2017 sebanyak 20


orang klien berhasil mendapatkan layanan rehabilitasi rawat jalan, 2 LRKM
mendapat dukungan penguatan, dan 68 klien pasca rehabilitasi (BNNP
Sulawesi Selatan, 2017). Pencapaian BNNP Sulawesi Selatan di bidang
rehabilitasi masih kurang karena kurangnya pengetahuan masyarakat
mengenai alur dan proses rehabilitasi, kurangnya dukungan keluarga
karena penyalahgunaan narkoba dipandang sebagai aib, dan rendahnya
kesadaran masyarakat untuk pulih dari ketergantungan narkoba.

Efektif atau tidaknya suatu program rehabilitasi dapat dilihat


dari kepatuhan peserta rehabilitasi mengikuti aturan program dan
perubahan perilaku setelah mengikuti kegiatan tersebut. Perubahan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


446 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
perilaku beberapa informan setelah mengikuti rehabilitasi, antara lain:
meningkatnya kesadaran diri untuk sembuh dan lepas dari bahaya
narkoba, timbul kesadaran untuk kembali menjalankan kegiatan positif
seperti kuliah dan bekerja, kembalinya rasa percaya diri, lebih logis dalam
menjalani kehidupan seperti menggunakan uang untuk keperluan yang
penting saja, lebih dekat dengan agama, memiliki rasa empati dengan
orang lain dan membaiknya hubungan dan komunikasi dengan orang tua
dan keluarga.

Rehabilitasi merupakan upaya agar para pengguna narkoba dapat


kembali produktif dan mendapat kepercayaan di masyarakat. Menurut
pengakuan pecandu, program rehabilitasi yang dijalankan sudah
cukup baik dan hanya membutuhkan beberapa penyesuaian dalam
pelaksanaannya. Rehabilitasi seharusnya dapat dilakukan mengalir
seperti tahapan berikut ini. Tahap pertama, tahap detoksifikasi sebagai
tahap penentu untuk menghilangkan efek kecanduan, sebaiknya dilakukan
dengan waktu yang disesuaikan dengan derajat keparahan adiksinya
sehingga tidak diberlakukan secara merata seperti yang berlaku saat
ini yang berlangsung hanya satu bulan. Tahap kedua, pecandu dikirim
ke Balai Rehabilitasi lanjutan seperti Balai Rehabilitasi Badokka untuk
mengikuti program rehabilitasi seperti TC selama 3 bulan. Tujuannya
untuk membentuk perilakunya dengan memperbaiki tingkah laku yang
salah dan penegakan disiplin. Tahap terakhir, klien dimasukkan ke
lembaga rehabilitasi sosial atau berbasis agama seperti yang dilakukan
di LDUA untuk memperbaiki akhlak sebaiknya dilakukan selama 3 bulan.

BNNP Sulawesi Selatan telah berupaya maksimal dalam bidang


rehabilitasi. Namun selama pelaksanaan program rehabilitasi,
informan menilai terdapat beberapa kekurangan dan kendala di dalam
pelaksanaannya, antara lain:
a) Tidak adanya kegiatan penjangkauan dan Operasi Bersih Narkoba,
sehingga jumlah peserta rehabilitasi menurun dari tahun sebelumnya.
Menurut keterangan Direktur Mayang Asa RSUD Sayang Rakyat,
penyalahgunaan narkoba masih dipandang sebagai aib oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia. Pandangan ini mengakibatkan
kurangnya keinginan masyarakat untuk mengakses fasilitas
kesehatan dan lebih cenderung menutupi penyalahgunaan narkoba
yang dilakukan oleh dirinya sendiri ataupun anggota keluarga.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 447
b) Anggaran yang dialokasikan untuk rehabilitasi kurang, mengakibatkan
waktu rehabilitasi tidak maksimal sehingga beberapa tahapan
rehabilitasi, khususnya rehabilitasi medis, yang sebelumnya dilakukan
selama 3 bulan menjadi 1 bulan saja. Jika waktu rehabilitasi dilakukan
selama 3 bulan maka tahapan rehabilitasi medis yang dilakukan
akan lebih lengkap, dimulai dari detoksifikasi, maintenence dilakukan
dengan berobat atau perawatan kesehatan agar pengguna sehat dan
cek setelah dua tahapan sebelumnya.
c) Jika mengikuti standar yang dikeluarkan di dunia internasional,
rehabilitasi secara efektif dilakukan selama 2 tahun, sedangkan di
Indonesia dari tahap awal sampai dengan pasca rehabilitasi hanya
dilakukan selama 1 tahun.

Untuk meningkatkan efektivitas program rehabilitasi di Sulawesi


Selatan, dilakukan dua upaya inovatif yang dilakukan oleh BNNP dan
RSUD Sayang Rakyat guna meningkatkan keinginan masyarakat untuk
melaporkan diri. BNNP melakukan satu kegiatan baru bernama ‘Pojok
Konseling Adiksi’, yaitu satu lokasi yang dibuat untuk melakukan konsultasi
terkait masalah kecanduan yang dialaminya atau keluarganya. Kegiatan
ini dimaksudkan untuk mengurangi rasa takut masyarakat bahwa BNN
adalah lembaga yang hanya memberantas saja bukan merehabilitasi.
Kemudian, RSUD Sayang Rakyat memiliki program inovatif “Go Grab” atau
Gerakan Anti Bubuk, yaitu gerakan untuk layanan umum melalui website,
mulai info layanan rumah sakit sampai pendaftaran online tanpa antri.

4.2. Theurapeutic Community sebagai Bentuk Pembinaan Lapastika


Sungguminasa

Lapastika Kelas IIa Sungguminasa merupakan lembaga


pemasyarakatan khusus bagi tindak pidana narkoba di Sulawesi Selatan.
Mulai beroperasi tahun 2007 dengan kapasitas sebanyak 368 orang WBP.
Pada saat penelitian dilakukan, Lapas ini mengalami over capacity karena
dihuni oleh 900 WBP. Kondisi ini turut mencerminkan tingginya tingkat
penyalahgunaan dan peredaran narkoba di Kota Makassar dan sekitarnya.

Sebagaimana disebutkan dalam Pada Pasal 1 UU No. 12 Tahun


1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, yaitu bahwa fungsi Lapas
adalah melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


448 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
pemasyarakatan, maka Lapastika Sungguminasa melaksanakan
pembinaan narapidana/anak didik narkoba; memberikan bimbingan,
terapi dan rehabilitasi narapidana/anak didik kasus narkoba; melakukan
bimbingan sosial/kerohanian; dan melakukan pemeliharaan keamanan
tata tertib dan urusan tata usaha dan rumah tangga (Chareul R, 2014).
Pembinaan di dalam Lapastika tidak berbeda jauh dengan Lapas pada
umumnya, yang membedakannya yaitu adanya pertimbangan unsur
pemulihan khususnya pada narapidana yang memiliki status ganda
sebagai penyalahguna narkoba.

Hampir semua WBP yang berada di dalam Lapastika mengaku ingin


berubah dan tidak mengulangi tindak pidana yang sama setelah keluar
dari Lapas. Masa hukuman WBP di Lapastika Sungguminasa mulai dari
3 tahun sampai dengan seumur hidup, rata-rata WBP divonis sebagai
pengedar narkoba, walaupun ditemukan juga seorang WBP yang tidak
memiliki barang bukti tetapi dijatuhi masa hukuman 5 tahun karena
diindikasikan sebagai anggota jaringan narkoba di Sulawesi Selatan. Di
dalam Lapastika Sungguminasa tidak ada pembedaan penempatan blok
atau sel bagi seluruh WBP; pembedaannya hanya ketika masa pengenalan
lingkungan (mapenaling) saja.

Salah satu petugas Lapastika Sungguminasa menjelaskan bahwa


program pembinaan di dalam Lapastika secara umum mencakup empat
tahap: mulai dari masa pengenalan lingkungan (mapenaling), setelah 1/3
masa hukuman, setelah ½ masa hukuman dan tahap terakhir setelah
menjalani 2/3 masa hukuman. Pada tahap mapenaling, WBP diberikan
arahan tentang hak dan kewajiban WBP, aturan, tata tertib dan informasi
tentang kegiatan TC. Pada tahap kedua diberikan pembinaan kepribadian
dan kemandirian. Pada tahap kedua ini WBP mulai masuk pada kegiatan
TC yang merupakan bentuk pembinaan khusus yang dilakukan di dalam
Lapastika. Tahap ketiga dilakukan penumbuhan kepercayaan pada WBP
yang telah selesai menjalani ½ masa hukumannya dengan melibatkannya
pada kegiatan korvey baik di binadik, KPLP, portir, masjid, gereja atau tempat
lain sesuai dengan pembagian kerja yang telah dibuat petugas Lapas.

Tahap terakhir dilaksanakan setelah WBP menjalani 2/3 masa


hukuman dengan memberikan pelatihan kerja yang aplikatif untuk
mempersiapkan WBP setelah keluar dari Lapas. Keterampilan yang ada di

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 449
Lapastika Sungguminasa yaitu pembuatan sapu lidi, perbengkelan dan las,
serta peternakan ikan lele. Pembinaan secara umum yang dapat diikuti oleh
seluruh WBP tanpa terikat tahapan adalah pembinaan moral, pembinaan
agama, dan olah raga. Namun karena keterbatasan sarana dan fasilitas,
maka WBP hanya diperbolehkan memilih salah satu saja. Dari diskusi
yang dilakukan dengan WBP di Lapastika, pembinaan yang dilakukan
oleh pihak Lapastika sudah efektif dan cukup menumbuhkan kesadaran
mereka untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dan menumbuhkan
keinginan untuk dapat hidup normal kembali di masyarakat.

Terkait dengan pembinaan khusus bagi WBP tindak pidana narkoba


maka dilakukan rehabilitasi di dalam Lapas. Perbedaan rehabilitasi di
dalam Lapas dengan di luar Lapas adalah status hukum pengguna
narkoba. Peserta rehabilitasi yang dilakukan di Lembaga rehabilitasi
adalah pengguna yang belum terjerat hukum atau sesuai dengan putusan
hakim dikategorikan sebagai pecandu murni sehingga direhabilitasi
di Lembaga rehabilitasi yang dirujuk oleh pemerintah atau swasta,
sedangkan peserta rehabilitasi di dalam Lapas adalah WBP yang memiliki
status sebagai pecandu atau status ganda selain sebagai pengedar juga
sebagai pecandu.

Pada tahun 2015, Lapastika Sungguminasa bekerjasama dengan


BNNP Sulawesi Selatan melaksanakan kegiatan rehabilitasi bagi WBP
yang termasuk dalam kategori pecandu. Kegiatan ini diawali dengan
pelibatan petugas Lapas pada Kegiatan ToT rehabilitasi dan perbantuan
pengiriman konselor adiksi ke dalam Lapas. Selain itu, BNNP Sulawesi
Selatan juga memberikan bantuan dana makanan dan kudapan sebesar
Rp. 25.000/orang/hari dan biaya untuk kegiatan konsultasi serta seminar.
Tahun 2016, dukungan anggaran mulai dikurangi menjadi Rp. 12.500/
orang/hari serta peniadaan anggaran konsultasi dan seminar.

Tahapan awal yang dilakukan oleh pihak Lapastika yaitu asesmen


terhadap WBP untuk mengetahui kebutuhan rehabilitasi pada WBP.
Asesmen dilakukan secara informal oleh petugas Lapastika dengan cara
mengobrol santai di mushola atau tempat lainnya di Lapas. Hasil asesmen
menunjukkan bahwa kebutuhan rehabilitasi WBP cukup besar. Kondisi ini
disebabkan pembinaan masih minim; hanya kegiatan keagamaan dan
olah raga. WBP yang diutamakan mengikuti kegiatan rehabilitasi adalah

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


450 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
WBP dengan kategori pecandu narkoba. Selain itu, peserta rehabilitasi
juga diprioritaskan pada mereka yang telah menjalani 2/3 masa hukuman
sehingga tidak lama setelah selesai program rehabilitasi mereka akan
bebas. Berikut ini merupakan data peserta rehabilitasi di Lapastika
Sungguminasa Tahun 2015 - November 2018.

Tabel 13.6 Jumlah Peserta Rehabilitasi di Lapastika Sungguminasa,


Sulawesi Selatan
Tahap
Tahun Jumlah Keterangan
1 2
2015 55 orang 60 orang 115 orang Bersama BNNP
2016 60 orang 80 orang 140 orang Sulawesi Selatan
2017 180 orang 180 orang Mandiri
2018 215 orang 215 orang
Sumber: Lapastika Kelas IIa Sungguminasa, 2018

Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa jumlah WBP yang


mengikuti program rehabilitasi dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Peningkatan tersebut seiring dengan peningkatan kesadaran WBP untuk
pulih dari ketergantungan narkoba dan adanya keinginan untuk hidup
lebih baik di masa yang akan datang. Namun, dari data di atas diketahui
bahwa kerjasama yang dilakukan dengan BNNP Sulawesi Selatan hanya
berlangsung 2 tahun dan pada awal 2017 kerjasama dihentikan.

Penghentian dukungan ini tidak menyurutkan semangat untuk


melaksanakan rehabilitasi di dalam Lapastika Sungguminasa. Mulai
Tahun 2017 Lapastika Sungguminasa melakukan rehabilitasi secara
mandiri dengan menggunakan pendekatan sosial tanpa asesmen.
Program rehabilitasi dalam bentuk TC di Lapastika masih diperlukan
sebagai penyeimbang antara ‘sisi kiri’dan ‘sisi kanan’. Sisi kiri yaitu masih
maraknya kasus peredaran narkoba di Lapastika sedang sisi kanan adalah
rehabilitasi sebagai benteng bagi WBP agar tidak relapse. Oleh karena
itu, pihak Lapastika mengambil kebijakan untuk melanjutkan program
rehabilitasi mandiri dengan anggaran sendiri.

Peningkatan jumlah peserta rehabilitasi sejak tahun 2017 juga


disebabkan rehabilitasi dilaksanakan secara mandiri oleh pihak Lapastika

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 451
tanpa campur tangan BNNP, sehingga pesertanya juga terbuka bagi
siapa saja, baik pecandu maupun pengedar. Assesmen dan sisa masa
hukuman juga tidak diperhitungkan sebagai prasyarat mengikuti kegiatan
rehabilitasi ini. Meskipun demikian, tetap tidak semua WBP berminat
untuk mengikuti rehabilitasi. Data jumlah peserta TC tidak mencapai 25%
dari jumlah WBP yang mencapai 900 WBP.

Rehabilitasi narkoba sebagai suatu bentuk pembinaan dijalankan


di Lapastika dengan metode TC. Konsep dasar pelaksanaan TC adalah
menyatukan klien dalam satu forum “keluarga” atau “kelompok” yang
memiliki masalah dan tujuan yang sama. Tujuan dari TC adalah menolong
orang lain untuk menolong dirinya sendiri. Dalam pelaksanaannya,
diterapkan sistem pemberian penghargaan dan hukuman untuk
mengubah perilaku. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh peserta
berdasarkan wawancara dan observasi di Lapastika, antara lain:
a) Morning meeting, bertujuan untuk berbagi (sharing) kegiatan yang
dilakukan pada hari sebelumnya sampai pagi hari tersebut. Biasanya
dilakukan setelah kegiatan olah raga pagi. Kegiatan ini dilakukan
di Lapangan Lapas. WBP dalam satu kelompok duduk melingkar
difasilitasi oleh seorang fasilitator. Salah satu peserta menceritakan
kegiatan yang telah dilakukan atau mengemukakan penilaian
terhadap teman sekelompok dan mengungkapkan kesalahan
yang dilakukannya. Teman yang dinyatakan bersalah dapat
mengemukakan pembelaan sebelum terbukti dan mendapatkan
hukuman. Jika terbukti melakukan kesalahan, kesalahan itu akan
dicatat dalam kartu “paper confrontation” dan harus menjalani
hukuman berupa “mirroring” atau berdiri menghadap tembok atau
tiang selama waktu yang ditentukan dengan menggunakan papan
bertuliskan “x-com” atau x-communicate, artinya bahwa yang
bersangkutan dilarang berbicara selama menjalani masa hukuman.
Seluruh peserta memiliki kesempatan sama untuk mengemukakan
pendapat sehingga mendorong WBP berani tampil dan bicara di depan
umum. Penekanan kegiatan ini merupakan upaya untuk menegakkan
disiplin pada WBP, seperti masuk masjid harus mengucapkan salam,
menggunakan barang teman harus izin terlebih dahulu.
b) Konseling kelompok dan individu; dalam kegiatan ini WBP dapat saling
membuka diri untuk mengemukakan masalah terkait ketergantungan
narkoba. Di dalam kelompok membicarakan masalah dan membantu

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


452 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
memberi motivasi dan menemunkan solusinya. Konseling ini ditujukan
untuk WBP yang membutuhkan ruang khusus terkait dengan masalah
pribadinya yang berhubungan dengan ketergantungan narkoba.
c) Terapi keluarga; dalam TC di Lapas sasaran kegiatan bukan hanya WBP
tetapi juga keluarga WBP dengan cara memberikan pengetahuan
bagaimana memperlakukan anggota keluarga apabila keluar dari
Lapas. Menurut narasumber, kecilnya partisipasi anggota keluarga
dalam kegiatan terapi keluarga disebabkan tidak semua penghuni
Lapas dikunjungi oleh keluarga mereka. Dalam keluarga biasanya
penghuni Lapas tidak sendirian menyalahgunakan narkoba, tapi ada
anggota keluarga lain yang juga ikut terlibat, seperti saudara, bahkan
orang tua. Keluarga penghuni Lapas yang terlibat narkoba jarang
datang ke Lapas untuk membesuk karena merasa takut.
d) Kegiatan Tadarus, dilakukan pada pada malam hari dan pada hari
tertentu. Kegiatan ini juga diisi dengan zikir dan kegiatan ibadah
lainnya. Kegiatan ini bertujuan untuk mendekat WBP pada Tuhan dan
menjauhkan diri dari keberulangan untuk menyalahgunakan narkoba.
e) Seminar, berupa pemberian materi pada WBP dengan mengundang
narasumber dari luar Lapas. Pemberian materi berbeda setiap
bulannya, mulai dari bahaya obat-obatan, cara penanganan sakau,
sampai dengan penyiapan diri WBP ketika bebas masa hukuman,
menghadapi keluarga, menyikapi stigma dari masyarakat, dan cara
menghindar dari godaan untuk kembali mengkonsumsi narkoba yang
berasal dari teman dan lingkungan sekitar.

Tidak berbeda dengan rehabilitasi yang dijalankan di lembaga


rehabilitasi, WBP yang telah mengikuti TC di dalam Lapas menunjukkan
perilaku yang lebih baik. Tidak ada lagi pikiran untuk mencoba narkoba;
mereka hanya sholat, makan, dan berat badan naik. Hal ini berbeda dengan
kondisi awal ketika mereka baru masuk ke dalam Lapas yang kehilangan
semuanya; tidak beretika, pemahaman dan nilai agama kurang, dan
perilaku kekerasan sudah biasa dilakukan.

Program rehabilitasi mandiri dilakukan dalam satu tahun. Setelah


selesai rehabilitasi sebagian besar mereka masih berada di Lapas.
Salah satu strategi untuk mencegah mereka kembali tergoda memakai
narkoba yaitu dengan melibatkan mereka dalam program rehabilitasi.
Sebanyak 50 persen WBP yang selesai mengikuti program, membantu

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 453
petugas melaksanakan program rehabilitasi. Kepala rehabilitasi hanya
mengarahkan dan memberi briefing satu sampai dua kali dalam
seminggu, untuk menjelaskan kepada yang lain bahwa mereka membantu
melaksanakan kegiatan program. Hal itu karena peserta rehabilitasi yang
dihadapi adalah teman sesama WBP di Lapas.

Strategi tersebut ternyata lebih efektif dan WBP lebih terbuka karena
difasilitasi oleh teman sendiri. Untuk meningkatkan rasa percaya diri, WBP
yang telah selesai menjalankan TC diberi kepercayaan untuk melakukan
pekerjan di area depan, seperti menjaga pintu, membersihkan ruang
perkantoran, dan memelihara ikan lele. Untuk meningkatkan efektivitas
rehabilitasi di Lapas sebaiknya dilakukan pemisahan WBP pengguna
dengan pengedar sehingga rantai peredaran narkoba di dalam lapas
putus, dan kegiatan TC yang dilakukan di dalam Lapas tidak sia-sia.

Keterbatasan pelaksanaan rehabilitasi secara mandiri di dalam Lapas


diantisipasi juga dengan cara menerima pihak lain seperti mahasiswa
atau pelajar melakukan studi atau praktik kerja lapangan dengan
melibatan WBP. Kegiatan yang dilakukan seperti konseling dilakukan oleh
mahasiswa psikologi atau pemberian keterampilan pembuatan sapu,
perbengkelan dan las oleh Balai Latihan Kerja (BLK). Strategi ini dilakukan
untuk mengantisipasi terhentinya dukungan BNNP Sulawesi Selatan.

Salah satu alasan penghentian dukungan rehabilitasi oleh BNNP


karena peredaran narkoba di dalam Lapas masih tinggi meskipun telah
dilakukan rehabilitasi. Pihak Lapas sendiri tidak menyangkal adanya
peredaran narkoba di Lapas, terbukti dengan adanya penangkapan
jaringan peredaran narkoba di Lapas. Adanya peredaran narkoba di Lapas
merupakan godaan bagi WBP memakai narkoba kembali. Namun menurut
narasumber, program rehabilitasi cukup mampu membendung godaan
tersebut bagi pesertanya. Peredaran narkoba di Lapas tidak lepas dari
lemahnya pengawasan dan adanya keterlibatan oknum petugas Lapas.

Upaya yang dilakukan Kepala Lapastika Sungguminasa yaitu


melakukan rotasi terhadap petugas yang dicurigai terlibat dalam peredaran
narkoba dan membentuk intelegent agent dengan memanfaatkan
petugas atau WBP yang berdasarkan analisis Kepala Lapas berpotensi
mengerjakan tugas pengawasan secara rahasia. Bagi WBP yang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


454 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
mengikuti kegiatan TC, permasalahan justru ada di luar Lapas setelah
mereka bebas. Tuntutan ekonomi dari keluarga, sementara mantan WBP
sulit mengakses pekerjaan yang resmi karena stigma negatif masyarakat
terhadap mereka. Kondisi ini yang mengakibatkan mereka kembali dalam
jeratan peredaran narkoba.

Secara umum program rehabilitasi maupun program pembinaan


bagi pecandu narkoba baik di luar maupun di dalam Lapas sudah cukup
memadai dan efektif untuk membekali mereka untuk hidup normal di dalam
masyarakat. Tetapi besarnya godaan ketersediaan narkoba dan interaksi
dengan teman lama yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba harus
menjadi perhatian khusus bagi keluarga dan lingkungan sekitar mantan
pecandu, karena tidak menutup kemungkinan mereka kembali menggunakan
narkoba. Untuk itu, diperlukan upaya lain untuk mengatasi penyalahgunaan
narkoba dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat tanpa terkecuali
seperti yang telah diuraikan pada akhir bagian 3.

Hal terpenting yang perlu dilakukan dalam penanganan


penyalahgunaan narkoba yaitu penyamaan persepsi antar penegak
hukum bahwa penyalahguna adalah korban dan orang yang sakit sehingga
memerlukan pengobatan dalam bentuk rehabilitasi. serta menjauhkan
mereka dari segala stigma negatif. Tujuannya agar rehabilitasi dapat
mengembalikan mereka untuk produktif di dalam masyarakat. Upaya
yang dapat dilakukan oleh BNNP yaitu dengan menggandeng stakeholder
untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi para mantan pecandu dan
mantan WBP tindak pidana narkoba.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Peredaran dan penyalahgunaan narkoba merupakan ancaman


laten dalam kehidupan negara Indonesia. Dampak merusaknya tidak
hanya pada sistem ekonomi ataupun kesehatan tubuh, tetapi juga dapat
merusak segala sistem sosial, ketahanan keamanan, budaya dan politik
bangsa ini. Sejarah Indonesia telah mencatat, bahwa candu merupakan
sejarah kelam masyarakat Indonesia. Saat itu, candu telah merasuki kota-
kota besar seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya dan Makassar,
yang bukan hanya dikonsumsi oleh pedagang Cina yang kaya, tetapi juga
oleh tentara, pedagang kecil di pasar, dan para preman di jalanan.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 455
Sifat merusaknya tidak hanya pada pemakai dan pengedarnya,
tetapi juga bagi masyarakat sekitar yang tidak pernah memakai candu.
Saat itu telah terjadi peningkatan yang cukup signifikan dari bentuk
kejahatan perampokan, begal, maling dan pemerkosaan. Bentuk-bentuk
kejahatan ini menjadi dampak sampingan (collateral dammage) dari
perilaku mengkonsumsi candu di masa lalu. Belum lagi ditambah dengan
kemiskinan dan rusaknya tatanan sosial yang ada. Candu adalah nama lain
atau salah satu jenis dari narkoba dalam konteks kini. Sifat merusaknya
pun sama, yaitu merusak akal, tubuh, mengubah sifat, menurunkan
kesejahteraan, dan meningkatkan kejahatan dalam berbagai bentuknya.

Kota Makassar, sebagai sebuah kota yang disebut-sebut memiliki


tingkat kerawanan tinggi peredaran dan penyalahgunaan narkoba juga
tidak luput dari aktivitas peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Dalam
soal peredaran narkoba, wilayah Sulawesi Selatan telah menghadirkan
munculnya jaringan Makassar, Sidrap, Bone, dan Pinrang, yang semuanya
terhubung dengan “para kuda” yang berada di wilayah Maccini, Kerung-
kerung, Tallo, dan sebagainya. Jaringan mereka secara nasional cukup
terkenal, bahkan terhubung dengan wilayah-wilayah diaspora lama yang
terikat dengan hubungan kekerabatan dan primordialisme suku Bugis
dan Makassar.

Jaringan lama perdagangan hasil bumi dimanfaatkan juga oleh


jaringan narkoba untuk kepentingan pengembangan pangsa pasar
narkoba. Berbagai temuan penelitian kualitatif telah menjelaskan
mekanisme rantai distribusinya. Sayangnya, walaupun lapas khusus
narkoba berdiri di sana, tetapi tingkat peredaran dan penyalahgunaan
narkoba tetap saja tinggi. Demikian pula para pemakai yang direhab
dari tahun ke tahun juga semakin meningkat jumlahnya. Hal ini tentu
menunjukkan bahwa peredaran dan penyalahgunaan narkoba di kota
Makassar tetap tinggi. Terlepas dari upaya-upaya yang dilakukan oleh
berbagai pihak dalam pencegahan peredaran dan penanganan terhadap
penyalahgunaan narkoba, maka rekomendasi berupa beberapa strategi
pencegahan peredaran dan penyalahgunaan narkoba yang bersifat
struktural dan kultural pun ditawarkan dalam penelitian ini.

Dalam pencegahan peredaran dan penyalahgunaan nrakoba,


berbagai pihak telah memiliki strateginya masing-masing. Penindakan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


456 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
hukum merupakan strategi yang paling tampak dari berbagai lembaga yang
memiliki kewenangan hukum. Hampir semuanya memiliki kewenangan
penangkapan dan penindaklanjutan lebih lanjut. Pihak kepolisian RI
dengan reserse, intelijen dan direktorat khusus Narkobanya, Badan
Nasional Narkotika (BNN) dengan fungsi penindakan dan pencegahan
dapat melakukan penangkapan dan pelimpahan kasus kepada kepolisian
RI, imigrasi, beacukai, dan syahbandar menjadi mitra yang penting dalam
pelaksanaan fungsi penindakan hukum kasus Narkoba, serta TNI dan
pihak lainnya juga mendukung fungsi penindakan hukum tersebut.

Walaupun strategi penindakan hukum telah banyak dilakukan untuk


pencegahan peredaran dan penyalahgunaan narkoba, namun dari tahun
ke tahun intensitas dan jumlah peredaran narkoba semakin meningkat.
Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah tangkapan pelaku, barang
bukti, dan pemakai yang menjalankan rehabilitasinya. Bahkan beberapa
jenis baru narkoba pun seringkali ditemukan di wilayah Indonesia,
sehingga ada dugaan kuat bahwa Indonesia tidak hanya menjadi pangsa
pasar narkoba, tetapi juga menjadi produsen narkoba untuk seluruh
wilayah Indonesia, atau bahkan mungkin diekspor. Hal ini menunjukkan
bahwa daya tarik masyarakat terhadap narkoba bisa dikatakan tinggi,
sehingga berbagai inovasi pun dilakukan para produsen barang-barang
terlarang tersebut.

Jika strategi yang disodorkan dalam tulisan ini bersifat penindakan


hukum, maka hal tersebut tentu telah dijalankan oleh lembaga penegak
hukum. Oleh karena itulah, tulisan ini akan lebih mengarah pada strategi-
strategi yang didasarkan pada aspek-aspek struktural non penegakan
hukum dan kultural yang diharapkan dapat menahan atau mencegah
peredaran dan penyalahgunaan narkoba di masyarakat Indonesia. Strategi
pertama terkait pada aspek struktural non-penegakan hukum bukan berarti
menafikan keberadaan dan fungsi penegakan hukum terhadap para pelaku
peredaran dan penyalahgunaan, di mana fungsi tersebut sesungguhnya
benar-benar dianggap strategis. Hanya melalui “penegakan hukum” lah
orang dapat merasa jera atau setidaknya menahan diri untuk tidak terlibat
dalam perbuatan yang melawan hukum tersebut.

Strategi non-hukum di sini dimaksudkan sebagai langkah-langkah


strategis yang bisa dijalankan untuk mendukung penegakan hukum atau

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 457
mendukung upaya pencegahan peredaran dan penyalahgunaan narkoba
yang bersifat dini. Sementara strategi yang berdasarkan pada aspek-
aspek kultural adalah strategi yang menggerakkan seluruh mekanisme
sosial dan kapasitas masyarakat dalam tahapan pencegahan,
pengurangan, dan termasuk tindaklanjut terhadap para pelaku peredaran
dan penyalahgunaan narkoba di lingkungannya. Adapun beberapa
strategi yang bisa disodorkan, yaitu:

Pertama, peredaran dan penyalahgunaan narkoba dalam banyak


penelitian pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya:
(i) alasan ekonomi; (ii) ketidaktahuan informasi; (iii) bentuk pelarian
dari kehidupan sosial atau individu yang kurang mendukungnya; (iv)
lingkungan pertemanan, keluarga, dan perdagangan yang tidak sehat,
dan lainnya. Beberapa alasan tersebut ada yang bersifat struktural dan
kultural. Dengan demikian, jika didekati dengan pendekatan struktural,
maka seluruh alasan-alasan itu harus dihilangkan dengan peningkatan
aksesibilitas terhadap berbagai pelayanan publik, piranti pertumbuhan
ekonomi, memperbanyak ruang publik, dan menciptakan lingkungan yang
sehat dan terkendali.

Pertanyaannya, tingkat kesejahteraan seseorang tidak juga


menjamin terhindar dari pemakaian obat terlarang? Walaupun pertanyaan
tersebut benar, tetapi dengan pemaparan informasi yang terus-menerus
dimungkinkan orang tersadarkan bahwa apa yang dilakukan memiliki
konsekuensi hukum dan risiko kesehatan dalam jangka pendek dan
jangka panjang. Penguatan dunia pendidikan dengan kurikulum anti
narkoba menjadi salah satu jalan terbaik untuk pencegahan peredaran
dan penyalahgunaan narkoba.

Kedua, penciptaan lingkungan dan ruang publik yang anti narkoba juga
memungkinkan peredaran dan penyalahgunaan narkoba di sebuah wilayah
dapat menurun. Jika semua warga setempat bersepakat dan memiliki
komitmen kuat untuk melakukan pencegahan peredaran dan penyalahgunaan
dengan cara-cara dari yang sederhana sampai keras, seperti:
a) mengawasi secara seksama orang yang tidak dikenal masuk ke daerah;
b) mengawasi dan memperhatikan perilaku anak-anak di dalam
keluarga induknya ataupun anak-anak yang berada pada lingkungan
keluarga sekitarnya. Pengawasan ini dapat dilakukan terhadap

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


458 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
teman permainannya, perilaku harian mereka, bahan-bahan yang
dikonsumsi, waktu berkumpul ramai-ramainya, dan tempat atau
markas tempat berkumpulnya;
c) memberikan arahan dan sosialisasi terus menerus tentang bahaya
narkoba pada setiap kesempatan pertemuan warga. Hal ini dilakukan
untuk mengingatkan warga agar tidak terjerat oleh jaringan narkoba;
d) memperbanyak kegiatan-kegiatan bersama dalam ruang publik, seperti
olahraga, gotong royong atau kerjabakti, dan pertemuan sosial lainnya;
e) pelaksanaan sistem polisi kemasyarakatan di tingkat paling rendah,
yaitu tingkat Rukun Tetangga (RT). Mekanisme polisi kemasyarakatan
bisa disesuaikan dengan keadaan setempat, misalnya pembentukan
penjaga kampung (wanabaya) yang terdiri dari orang yang dituakan
dan orang yang bisa masuk ke jaringan anak muda. Hak “setengah
persekusi” bisa dilakukan sepanjang ada aktor potensial yang
diduga kuat memiliki atau terlibat dalam jaringan peredaran dan
penyalahgunaan narkoba. Pelaksanaan “hak setengah persekusi” ini
harus mendapatkan izin dari pihak berwenang di tingkat masyarakat
setempat, misalnya RT, RW, Kepala Dusun, dan Kepala Desa (dan atau
kelembagaan keamanan tertentu: Babinsa);

Ketiga, mensinergiskan kembali kerjasama kelembagaan yang


memiliki akses langsung terhadap pelayanan publik dan masyarakat.
Selama ini banyak lembaga-lembaga satuan kerja atau SKPD bekerja
secara sektoral, khususnya dalam persoalan pencegahan peredaran
dan penyalahgunaan narkoba. Akibatnya, setiap SKPD berjalan masing-
masing dan tidak menghasilkan capaian yang signifikan dalam gerakan
anti narkoba tersebut;

Keempat, target peredaran dan penyalahgunaan narkoba pada


umumnya adalah kelompok usia produktif, yaitu pelajar, mahasiswa dan
tenaga kerja muda. Oleh karena itulah, pengawasan dan pembelajaran anti
narkoba pada kelompok-kelompok target seperti ini harus menjadi prioritas
bersama. Sekolah dan universitas harus memiliki regulasi yang tegas dalam
persoalan siswa dan mahasiswa yang terlibat narkoba. Namun demikian,
sekolah dan universitas juga harus memiliki mekanisme sosial “early warning
system” sejak awal agar sivitas akademiknya tidak terlibat dari awal peredaran
dan penyalahgunaan narkoba. Artinya, regulasi yang tegas seperti pemecatan
menjadi tahap terakhir dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebelumnya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 459
Early warning system dapat dikembangkan dengan cara:
a) menyiapkan duta anti Narkoba di kalangan siswa dan mahasiswa;
b) sistem panopticon tertutup, di mana gerakan siswa dan mahasiswa
di lingkungan sekolah terawasi dengan pelibatan internalnya sendiri;
c) memberikan reward bagi para pelaksana sistem panopticon secara
tertutup;
d) membuat kurikulum mata pembelajaran anti narkoba dari
pengetahuan awal sampai teknik menghindari jejaring peredaran dan
penyalahgunaan narkoba;
e) para pengajar harus tetap menjadi teladan yang baik dalam pergaulan
dan kegiatan di ruang publik
f) membuka layanan umum penerimaan laporan dan keluh kesah terkait
narkoba.

Kelima, ikatan primordialisme diduga kuat dimanfaatkan untuk


kepentingan peredaran dan penyalahgunaan narkoba, sebagaimana
kasus kota Makassar dan jaringan Narkoba Sulawesi Selatan. Untuk
melakukan pencegahan agar jaringan dan ikatan primordialisme ini tidak
dimanfaatkan, maka strategi yang bisa dibangun adalah mengaktifkan
dan mengefektifkan peran para tokoh atau pemimpin lokal tradisional dari
jaringan primordialisme tersebut dalam upaya pencegahan peredaran
dan penyalahgunaan narkoba.

Para tokoh atau pemimpin lokal itu bisa terdiri dari: ketua adat,
ketua suku, tokoh agama yang disegani di lingkungan masyarakatnya,
ketua paguyuban, ketua ikatan keluarga besarnya, tokoh-tokoh
masyarakat, dan lain sebagainya. Para pemimpin lokal tradisional ini
diharapkan dapat mentransmisikan pesan-pesan anti narkoba bagi
warga primordialismenya, baik yang berada di daerahnya ataupun di luar
daerahnya. Tidak hanya itu, para pemimpin lokal juga dapat membangun
mekanisme strategis piranti pengawasan terhadap para anggotanya
agar terjauh dari jaringan dan praktik peredaran dan penyalahgunaan
narkoba. Mekanisme itu bisa berupa membangun “mitologi ketakutan
yang terhubung dengan kekuatan-kekuatan mitologis asal daerah yang
dihubungkan dengan persoalan narkoba. Bangunan mitos ini menjadi
sebuah kesadaran yang kuat bagi warga primordialismenya;

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


460 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Keenam, monetisasi tradisi diduga kuat memiliki hubungan erat
dengan meningkatnya peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Pada
kasus kota Makassar, monetisasi panai sebagai uang muka pernikahan
dan tradisi sirri yang diartikan sebagai peningkatan diri dengan ukuran
materi semata telah menciptakan suatu iklim tertentu yang bisa
mendorong orang untuk terlibat dalam peredaran dan penyalahgunaan
narkoba. Oleh karena itu, upaya mereduksi nilai monetisasi tradisi dan
praktik kebudayaan menjadi sangat penting. Revitalisasi tradisi yang
nir monetisasi menjadi sangat penting, sehingga akan menumbuhkan
kesadaran untuk tidak terlibat dalam peredaran narkoba. Strategi ini
diajukan karena “sebuah cara berpikir atau worldview komunitas tertentu,
sesungguhnya dapat menjadi pemantik utama dari perilaku negatif, dan
juga bisa menjadi pendorong utama perilaku positif”.

Ketujuh, dalam soal rehabilitasi. Banyak kasus para pelaku atau


pemakai pasca rehab terlibat kembali dalam kegiatan penyalahgunaan
narkoba, baik sebagai pemakai atau sebagai pengedar. Berbagai
kejadian seperti ini muncul tidak hanya di wilayah Kota Makassar, baik
di RSUD Sayang Rakyat, rumah Rehab BNN, atau panti-panti rehab miliki
kementerian sosial, tetapi juga hampir terjadi secara nasional. Sifat adiktif
narkoba memang sangat berbahaya dan selalu bersifat menahun. Seorang
mantan pecandu atau pemakai seringkali kembali lagi ke dunia hitamnya.
Seringkali dinyatakan bahwa melihat sedotan (yang biasa digunakan
untuk nyabu) saja, perasaannya sudah terbawa untuk memakai kembali;
melihat botol kecil, demikian pula. Demikian juga melihat suntikan apapun,
perasaannya ingin kembali memakai. Perasaan-perasaan ini merupakan
pantikan dari sifat adiktif yang menahun di tubuh seseorang.

Oleh karena itu, pemberian rasa kegembiraan dan aktivitas yang


menguras energi terhadap para pelaku menjadi sangat penting, agar
mereka bisa tidak lagi tergantung pada sifat adiktif ini. Masyarakat secara
bersama-sama harus memberikan kesempatan agar mereka bangkit dan
bisa terlibat dalam ruang-ruang sosial yang ada. Peran para pemimpin
lokal tradisional menjadi sangat strategis dalam mempertemukan
mantan pemakai dengan masyarakat. Pencegahan peredaran dan
penyalahgunaan berbasiskan pada peran pemimpin lokal tradisional dan
kapasitas sosial menjadi sangat strategis untuk dikembangkan pada
fase-fase berikutnya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 461
DAFTAR PUSTAKA

Appadurai, Arjun. 1990. Disjuncture and Difference in the Global Cultural


Economy, Theory Culture Society.

BNNP Sulawesi Selatan, 2017, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi


Pemerintah BNNP Sulawesi Selatan Tahun 2017. Makassar: BNNP
Sulawesi Selatan.

Chaerul R., Muh, 2014, Efektivitas Hukum Terhadap Pembinaan Narapidana


Narkotika Pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Bolangi
Sungguminasa (Skripsi), Makassar: Universitas Hasanuddin.

Deputi Bidang Rehabilitasi BNN, 2017, Standar Pelayanan Rehabilitasi


bagi Pecandu dan Korban Penyalahguna Narkoba. Jakarta: BNN.

UNODC, 2003, Drug Abuse Treatment and Rehabilitation: a Practical


Planning and Implementation Guide. New York: UNODC.

UNODC, 2008, Drug Dependence: Community Based Treatment. Vienna:


UNODC.

____, 2015, Lapas Narkotika Sungguminasa Cetak Mantan Narapidana jadi


Konselor BNN, diakses dari https://sulsel.kemenkumham.go.id/berita-
kanwil/berita-upt/2829-lapas-narkotika-sungguminasa-cetak-mantan-
narapidana-jadi-asisten-konselor-bnn tanggal 30 September 2018.

Website:
http://makassar.tribunnews.com/2018/09/27/lima-pengedar-narkotika-
jenis-sabu-jaringan-dari-sidrap;

http://makassar.tribunnews.com/2018/05/23/polda-sulsel-ringkus-bandar-
jaringan-bos-narkoba-di-makassar;

https://simponinews.com/2018/07/20/jaringan-narkoba-sidrap-diringkus-
bnnp-sulsel-dan-tim-gabungan-5-kg-sabu-sabu-disita/;

https://news.detik.com/berita/4146310/5-kg-sabu-dalam-ember-di-sidrap-disita;

https://fajar.co.id/2018/08/16 jaringan-narkoba-pinrang-mamuju/.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


462 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
XIII
XIV

Penanggulangan Penyalahgunaan
Narkoba di Kota Jayapura
Provinsi Papua

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 463
Tari Yosim Pancar
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
464
354 Survei
PENANGGULANGAN Batik
Prevalensi Penyalahgunaan
PENYALAHGUNAAN Cendrawasih
Narkoba
Batik Cendrawasih
2018 -2018
NARKOBA Studi Kualitatif Khas
Khas Papua
Papua
XIV
PENANGGULANGAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
DI KOTA JAYAPURA, PAPUA

Oleh:
Fanny Henry Tondo; Luis Feneteruma

1. Pendahuluan

Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan suatu kekuatan


potensial yang dapat berkontribusi terhadap kesejahteraan (prosperity)
dan keamaanan (security) baik secara regional atau pun internasional.
Namun demikian, apabila kondisi ini tidak dijaga keseimbangannya
maka potensi penduduk yang besar ini dapat menimbulkan petaka dan
digunakan oleh kekuatan-kekuatan jahat regional maupun internasional
yang dapat merusak manusia Indonesia yang notabene merupakan
pelaku pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Kekuatan-
kekuatan jahat tersebut dapat berupa jaringan-jaringan pengedar bahan-
bahan terlarang seperti narkoba, dan lain sebagainya. Penyalahgunaan
narkoba sudah menjadi sebuah realitas yang masif yang merugikan
negara ini sehingga perlu penanganan yang segera dan komprehensif.

Dengan perkembangan narkoba yang begitu masif di Indonesia,


maka BNN yang merupakan lembaga resmi pemerintah melakukan
berbagai kegiatan dan program dalam rangka menanggulangi bahaya
narkoba. Salah satu program BNN adalah Pencegahan Pemberantasan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 465
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). Program ini
merupakan upaya sistematis berdasarkan data penyalahgunaan narkoba
yang tepat dan akurat, perencanaan yang efektif dan efisien dalam rangka
mencegah, melindungi dan menyelamatkan warga negara dari ancaman
bahaya penyalahgunaan narkoba, untuk itu diperlukan kepedulian dari
seluruh instansi pemerintah maupun masyarakat menjadi pelaku P4GN
secara mandiri.

Pada tahun 2018 BNN dan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan


Kebudayaan Lembaga Pengetahuan Indonesia (P2KK – LIPI) menjalin
kerja sama dalam rangka survei penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
Ada delapan (8) Provinsi yang menjadi wilayah penelitian. Penelitian
lapangan yang dilakukan di 13 provinsi didasarkan pada pertimbangan
proyeksi nasional penyalahgunaan narkoba yang dikelompokkan menjadi
tiga kategori, yaitu: kategori rendah, sedang dan tinggi. Masing-masing
kategori diambil empat provinsi dengan proyeksi nasional tertinggi, kecuali
kategori tinggi yang diambil lima provinsi, karena ditambahkan DKI Jakarta
sebagai ibukota negara. Adapun rincian provinsi di setiap kategori adalah
sebagai berikut: a) Kategori rendah, meliputi: Bali, Kalimantan Barat, DIY dan
Sumatera Selatan; b) Kategori sedang, meliputi: Jawa Timur, Kepulauan
Riau, Aceh dan Papua; c) Kategori tinggi, meliputi: DKI Jakarta, Sumatera
Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat

Di antara ketiga belas provinsi yang menjadi lokasi penelitian


salah satunya adalah Provinsi Papua, atau lebih tepatnya Jayapura
sebagai Ibukota Provinsinya. Sebagaimana diketahui babhwa Jayapura
merupakan kota yang heterogen penduduknya, berasal dari berbagai
macam suku yang ada di nusantara, dan merupakan kota terbesar kedua
di tanah papua setelah Kota Sorong. Selain itu, Jayapura juga berada
pada garis perbatasan antara Papua New Guinea dan Republik Indonesia,
sehingga menjadi daerah yang cukup rawan terhadap peredaran gelap
narkoba dan kegiatan-kegiatan kejahatan lainnya.

Penelitian kualitatif yang diakukan di Kota Jayapura ini dilakukan


melalui beberapa teknik seperti observasi, wawamcara mendalam dan
Focus Group Discussion (FGD). Wawancara mendalam dilakukan terhadap
para pejabat dan staf di lingkungan LAPAS Kelas II Doyo Jayapura dan
BNNP Papua, termasuk Klinik Rehabilitasi Cendrawasih BNNP Papua.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


466 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Sementara itu, FGD dilakukan juga di kedua instansi tersebut yang
melibatkan para warga binaan di LAPAS maupun para warga rehab di
Klinik Rehabilitasi BNNP Papua.

2. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkoba

2.1. Penyalahgunaann Narkoba dan Penyebabnya

Kota Jayapura merupakan Ibu Kota Provinsi Papua, yang wilayahnya


berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea (PNG). Jumlah
penduduk Kota Jayapura sebesar 418.518 jiwa. Sebagai kota yang
berbatasan sudah jelas akan mengalami bebagai macam persoalan.
Salah satu persoalan yang sekarang terjadi dan merupakan isu utama
nasional adalah Narkoba.

Penyalahgunaan narkoba di Kota Jayapura telah terjadi sangat


masif. Indikasinya adalah tingginya kasus narkoba di mana banyak di
antaranya yang terlibat berada pada usia produktif. Pada tahun 2017
misalnya, terdapat 11 kasus narkoba yang berhasil diungkap (Januari-
November 2017) di Papua. Dari pengungkapan tersebut, rata-rata berusia
antara 20 sampai 37 tahun. Dengan kata lain, sebagian besar merupakan
generasi muda bangsa. Dari jumlah tersebut lima di antaranya berasal
dari Jayapura. Adapun total barang bukti yang berhasil diperoleh yaitu
Sabu (0,0951 gram) dan Ganja (562,095 gram).

Tabel 14.1. Jumlah Kasus Narkotika di Provinsi Papua (2015-2018)


Tahun Jumlah
Kesatuan Keterangan
2015 2016 2017 2018 Kasus
BNNP Papua 5 21 11 20 57 Ganja: 583.087,662 kg
Sabu: 57.1701 gr
BNNK Jayapura 1 2 2 8 13 Ganja: 508.49 gr
Sabu: 3.00 gr
BNNK Mimika - 1 4 4 9 Ganja: 4.150 gr
Sabu : 55.469 gr

Total Kasus: 79
Total Barang Bukti: Sabu: 115.6391 gr
Ganja: 1091.727,662 kg
Sumber: Data Bidang Pemberantasan BNNP Papua

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 467
Tabel 14.1 memperlihatkan kuantitas kasus narkotika yang terjadi di
Papua, termasuk di dalamnya Kota Jayapura selama tahun 2015-2018. Di
Papua sendiri hanya terdapat dua BNN Kabupaten yaitu BNNK Jayapura
dan BNNK Mimika. Untuk daerah-daerah tingkat II yang lain sementara di
back up oleh BNNP Papua dari Jayapura.

Selain data umum terkait jumlah kasus narkoba di Papua,


berdasarkan data yang diperoleh dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia Daerah Papua, Resor Jayapura Kota, Satuan Narkoba, yang
pada saat pengumpulan data ini dilakukan dikomandani oleh AKP M.
B. Hanafiah, SH, SIK, bahwa dalam durasi Januari s/d 6 Mei 2018 telah
terungkap kasus narkoba sebanyak 64 kasus dengan 79 tersangka di
Jayapura. Adapun distribusi kasusnya yakni 57 kasus berkaitan dengan
Warga Negara Indonesia (WNI) dan 7 kasus Warga Negara Asing (WNA)
yang pada umumnya berasal dari Papua New Guinea (PNG). Dari jumlah
tersebut sebagian besar berasal dari barang bukti (BB) Ganja (51 kasus),
Sabu sebanyak 4 kasus, dan 6 kasus berasal dari barang bukti Miras.

Tempat-tempat kejadian perkara (TKP) sebagai lokasi terjadinya perkara


narkoba tersebut yaitu sebagai berikut: area/kawasan pelabuhan laut (15
kasus), area perbatasan RI – PNG Wutung (4 kasus), Perumnas III (3 kasus),
Expo Waena (2 kasus), area Argapura/Hotel Relat (1 kasus), Jl. Kali Hanyaan
Entrop (1 kasus), Terminal Baru Mesran (1 kasus), Weref (1 kasus), Perumnas I
(1 kasus), Mako Polsek Abepura (1 kasus), Depan Mako Polsek Japsel (2 kasus),
Hontekam Muara Tami (1 kasus), BTN Skyline Kotaraja (1 kasus), Jl. Pasar Baru
Youtefa (1 kasus), Pertigaan Lampu Merah(1 kasus), Jl. Belut Gang I (1 kasus),
Jl. Poros Kotaraja (1 kasus), Lembaga Pemasyarakatan (1 kasus), Jl. Koya Kosa
(1 kasus), dan Komplek Penerangan Jayapura Utara (1 kasus).

Gambar 14.1. Barang Bukti Penyalahgunaan Narkoba di Satnarkoba Polres


Jayapura Kota

Sumber: Penelitian Lapangan 2018

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


468 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Berdasarkan wawancara, FGD, maupun observasi yang dilakukan di
lokasi penelitian, dapat dikemukakan di sini bahwa ada beberapa daerah
di Kota Jayapura yang tingkat kerawanannya cukup tinggi, sebagaimana
dapat dilihat pada gambar gambar berikut.

Gambar 14.2.Peta Kerawanan Narkotika Kota Jayapura

Sumber: Bidang Pemberantasan BNNP Papua

Berdasarkan yang terpaparkan dalam peta tersebut, terdapat


beberapa titik yang menjadi lokasi rawan peredaran narkoba di Kota
Jayapura, yakni Tanjung Ria, Trikora, Imbi, Mandala, Argapura, Hamadi,
dan Entrop. Dikatakan rawan karena titik-titik tersebut memiliki wilayah
(biasanya pantai) yang menjadi lokasi penyelundupan ganja dari Papua
New Guinea (PNG). Pada umumnya mereka menggunakan perahu atau
speedboat untuk memasukkan ganja melalui pantai-pantai yang ada di
lokasi-lokasi rawan tadi.

Banyak yang mengatakan bahwa awal pertama mengenal narkoba


dari lingkungannya, baik lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja,
atau lingkungan sekolah. Selain itu, faktor lain yang dapat dikatakan
merupakan sumber utama pasokan narkoba jenis ganja dan sudah
menjadi penyebab utama maraknya pemakaian dan peredaran ganja
di Papua, khususnya di Jayapura yaitu faktor Papua New Guinea
(PNG). Seperti diketahui, Papua dekat dengan daerah perbatasan dan
masyarakat tahu ganja berasal dari PNG.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 469
Di lingkungan kerja, kebanyakan adalah pengguna sabu-sabu karena
untuk daya tahan stamina. Misalnya, tukang kayu yang bekerja di hutan.
Di sana mereka kerja dalam waktu yang cukup lama sehingga mereka
memerlukan stamina yang kuat agar bisa tahan sampai berhari-hari tidak
tidur bahkan kurang makan. Penggunaan ganja di tempat kerja untuk
melepaskan rasa capek setelah bekerja karena ganja dapat mengurangi
rasa nyeri sehingga capeknya bisa tidak terasa lagi. Ganja biasanya
dipakai setelah pulang kerja seperti di bar, karaoke, dan bisa juga ada yang
pakai di rumah apabila pergaulannya sudah terlalu bebas. Sementara itu,
sabu digunakan atau dibawa ke tempat kerja.

Di lingkungan sekolah, ganja biasa dipakai di tempat-tempat yang


jarang dipantau guru seperti WC atau Toilet atau di belakang sekolah di
tempat-tempat yang sepi. Biasanya dipakai saat jam kosong, atau saat
tidak ada guru, atau saat waktu istirahat, tapi kebanyakan digunakan
pada saat di kelas tidak ada guru. Biasanya diperoleh dari temannya dari
luar lingkungan sekolah dan dibawa masuk. Ada pula anak sekolah yang
terindikasi sebagai pengedar. Selain itu juga ada anak pengangguran
yang pura-pura memakai seragam sekolah dan menawari ganja ke anak-
anak sekolah tersebut. Ada yang diberikan saja, tetapi ada juga yang
dijual Rp 50.000,- per paket. Biasanya anak-anak sekolah memakainya
secara bersama-sama dan dengan harga tersebut habis. Ganja tersebut
berasal dari daun ganja yang dikeringkan, dilinting, dan dijadikan seperti
rokok lalu dihisap.

Sementara itu, penggunaan narkoba di lingkugan keluarga rata-rata


dipakai oleh orang pada usia produktif. Alasannya karena ada masalah
dalam keluarga, broken home, ajakan pacar, ajakan teman, atau ajakan
anggota keluarga yang sebelumnya memiliki riwayat penggunaan ganja
dan akhirnya sama-sama memakai. Salah seorang informan berinisial
ADL menggunakan narkoba akibat faktor lingkungan, dalam hal ini teman
dekatnya. Ia dipengaruhi oleh ipar dari pacar bahwa apabila menggunakan
narkoba maka akan menjadi kurus. Akhirnya ia memakai narkoba jenis
sabu karena sudah sering diledekin oleh calon mertuanya karena terlalu
gemuk walaupun ia sendiri tahu bahaya menggunakan narkoba, apalagi
ia kuliah di Sekolah Keperawatan. Ia menggunakannya dengan cara
memakai sedotan, berdua dengan ipar dari pacar.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


470 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Pengaruh lingkungan dunia maya juga tidak kalah besarnya. Di media
online, telah beredar ajakan untuk melegalisasi ganja oleh grup Lingkaran
Ganja Nasional (LGN), tetapi sampai sekarang belum dilegalkan. Hal ini
tampaknya terpengaruh oleh luar negeri seperti Belanda dan Amerika yang
menggunakan ganja untuk pengobatan. Ada pula pengaruh dari para artis
nasional yang pemakai narkoba dan ditonton oleh masyarakat terutama
anak-anak yang pada akhirnya terpengaruh untuk menggunakannya.

Respon lingkungan terhadap pengguna narkoba sangat tidak baik


karena stigma negatif. Orang tua yang mengetahui bahwa seorang anak
menggunakan narkoba menyalahkan anak itu. Akhirnya anak itu merasa
terpojok akibat pikiran-pikiran negatif dari masyarakat. Padahal, mereka
sebaiknya tidak dikucilkan atau dikriminalkan tetapi seharusnya didukung
berhubung rata-rata mereka berada pada usia produktif.

Gambar 14.3.Situasi Pasar di Kompleks Pos Perbatasan RI-PNG, Skouw

Sumber: Data Lapangan 2018

Gambar di atas memperlihakan banyak orang PNG yang menjajakan


barang dagangannya seperti sirih, pinang, dan lain sebagainya. Tetapi
kadangkala terjadi pula transaksi narkoba di lokasi pasar tersebut.

2.2. Dampak Penyalahgunaan Narkoba.

Penggunaan narkoba akan sangat berdampak pada manusia


Indonesia di Jayapura, khususnya generasi muda yang akan meneruskan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 471
estafet perjuangan bangsa melalui pembangunan menuju masyarakat
Indonesia adil dan makmur. Akan tetapi, jika masyakat sudah terkena
dampak narkoba maka masa depannya akan suram dan berbagai dampak
akan muncul seperti dampak kesehatan, ekonomi, dan sosial.

Dampak Kesehatan

Menurut data BNN ada sekitar 40 orang meninggal per hari akibat
narkoba. Di Papua sendiri, hampir 80 persen pasien narkoba yang
ditangani berasal dari anak-anak usia muda. Apabila diperhatikan,
terdapat beberapa ciri orang yang merupakan dampak yang diakibatkan
oleh narkoba. Mereka biasanya akan cepat tersinggung, libido meningkat
tetapi tenaganya kurang, malas beraktivitas, konsentrasi berkurang,
mulai berhalusinasi, dan paranoid. Tetapi sebenarnya ini tergantung pada
tingkat penggunaannya. Kalau sebagai pengguna pemula tetapi memakai
banyak maka semua ciri-ciri akibat dampak kesehatan itu akan muncul.
Kalau jumlahnya banyak maka pada saat itu juga akan berhalusinasi,
tetapi kalau hanya memakai sedikit akan lebih cepat pulih daripada orang
yang memakai dalam jumlah yang banyak. Pulihnya paling cepat tiga hari,
tetapi kalau pemakaian ganjanya banyak maka pulihnya bisa seminggu
lamanya baru bisa pulih kembali.

Berbeda dengan ganja, pemakaian sabu dalam waktu singkat


berdampak menambah kekuatan sehingga dapat bekerja dalam waktu yang
lama. Biasanya orang memakai sabu agar daya tahannya lebih lama untuk
mengerjakan sesuatu sehingga tidak ngantuk namun tetap dapat bekerja
terus. Namun dampak positif tersebut akan berubah menjadi negatif tanpa
disadari, karena berakibat pada terjadinya gangguan syaraf otak.

Dampak Ekonomi

Dampak ekonomi dapat dilihat dalam dua sisi. Ada sisi positif dan ada
pula sisi negatif atau menghancurkan. Dampak positif tentunya diterima
oleh para bandar dan pengedar narkoba. Rata-rata pengedar dan bandar
tidak menggunakan narkoba. Hal ini terbukti setelah diadakan tes urine,
hasilnya biasanya negatif. Jadi mereka hanya mencari untungnya saja.
Sebagai contoh, satu karung ganja saja harganya bisa ratusan juta, dari
PNG dijual ke penadah di Jayapura. Biasanya orang PNG menukar satu

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


472 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
karung ganja itu dengan motor dari orang Papua. Memang tidak sebanding
harga motor yang hanya sekitar 5-10 juta di Papua dengan harga 1 karung
ganja yang ratusan juta rupiah harganya kalau dijual. Tetapi orang PNG
memang sangat membutuhkan motor karena jalan di sana kecil-kecil dan
tidak sebanding di Papua memerlukan kendaraan bermotor. Sampai di
Papua, ganja itu akan dibuat lebih kecil-kecil ukurannya dan dijual atau
diedarkan ke Jayapura dan sekitarnya.

Hal itu berbeda dengan pengguna. Ekonomi mereka akan hancur.


Apabila sudah tidak ada ganja lagi, maka mereka akan mencarinya karena
sudah ketergantungan. Dari sini akan muncul dampak lainnya misalnya
tindak kriminal pencurian. Mereka akan mencuri barang-barang elektronik,
motor, dan lain-lain untuk dijual ke orang-orang PNG atau ditukar dengan
ganja. Pencurian bisa terjadi di rumah sendiri atau mencuri ke rumah
orang atau tetangga.

Hasil wawancara dengan TS menyatakan bahwa dampak ekonomi


yang dirasakan sebagai pemakai narkoba adalah pengeluaran uang
dalam jumlah yang besar setiap harinya untuk membeli Narkoba. Satu
saset ganja dijual Rp 50.000,- dan biasanya dibeli tanpa batas, ketika ada
uang pasti dibeli. Jika dihitung pembelian perbulan bisa mencapai Rp
1.500.000 – Rp 2.000.000.-.

Dampak Sosial

Bahaya narkoba lebih banyak pengaruhnya pada otak. Narkoba


akan menyerang otak sehingga dapat menyebabkan depresi dan bahkan
menjadi gila, yang pada akhirnya penggunanya akan menjauh dari
lingkungannya. Maka biasanya mereka akan mundur atau menyendiri
dan muncul rasa minder. Hal seperti ini akan sangat mempengaruhi
kehidupan sosial mereka karena hubungan sosial atau pergaulan mereka
dengan dunia luar akan terputus.

Bagi para pengguna yang sudah terlanjur masuk dalam dunia hitam
narkoba dan masuk ke dalam penjara hal ini akan menjadi hantaman
berat bagi kehidupan sosial mereka. Artinya mereka akan memikirkan
bagaimana penerimaan masyarakat di luar setelah mereka keluar dari
penjara atau setelah mereka direhab. Mereka akan memulai dari nol lagi

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 473
dalam membangun kehidupan ekonomi yang lebih baik bagi keluarga
mereka, tetapi kendalanya secara sosial mungkin akan dikucilkan atau
bahkan lama baru bisa diterima oleh masyarakat seperti sedia kala
sebelum mereka terlibat narkoba.

2.3. Peredaran Narkoba

Peredaran narkoba di Papua dan di Kota Jayapura khususnya,


dapat dibagi atas tiga jalur, yaitu: jalur darat, jalur laut, dan jalur udara.
Dalam realitasnya, jalur darat merupakan salah satu jalur penting bagi
penyalahgunaan dan penyelundupan narkoba dan biasanya sangat
berkaitan dengan faktor perbatasan karena daerah perbatasan sangat
rawan dengan penyelundupan narkoba. Di Provinsi Papua, terdapat lima
kawasan perbatasan yang rawan terjadinya penyelundupan narkotika
golongan 1 jenis ganja, yaitu:
1. Kota Jayapura: di daerah ini terdapat jalur darat dan jalur laut, yaitu:
• Jalur Darat (Skouw, Wutung, Kampung Mosso)
• Jalur Laut (Perairan Muara Tami, Perairan Kota Jayapura)
2. Kabupaten Keerom: hanya ada jalur darat, yaitu (Waris, Scofro, Wembi,
Bewani, Senggi, Batom, Yuruf)
3. Kabupaten Pegunungan Bintang: terdapat Jalur Darat (Distrik Oksop,
Distrik Oksamol, Distrik Okhika, Distrik Serambakon, Distrik Kiwirok,
Distrik Aldom, Distrik Esipding).
4. Kabupaten Boven Digoel (Waropko, Mindiptana, Tanah Merah, Asiki)
5. Kabupaten Merauke (Sota, Bupul, Erambu, Muting)

Dari lima kabupaten di atas, Perbatasan Skouw dan Kabupaten


Keerom merupakan kabupaten yang sangat rawan penyelundupan
narkotika golongan 1 jenis ganja. Kedua daerah ini sangat berdekatan
langsung dengan negara tetangga, PNG, dan banyak ‘jalur tikus’
penyelundupan yang belum terkontrol oleh aparat baik POLRI, BNN,
maupun TNI (Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan). Berdasarkan
informasi yang diperoleh, negara tetangga tersebut belum memiliki
regulasi terkait peredaran ganja sehingga di sana sangat bebas dan
berdampak juga ke negara tetangganya, Indonesia, khususnya Papua
wilayah perbatasan seperti halnya Skouw, yang masih termasuk dalam
wilayah Kota Jayapura.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


474 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Gambar 14.4.Pos Perbatasan RI-PNG di Skouw

Sumber: Penelitian Lapangan 2018

Melalui jalur laut, peredaran narkoba ke Papua pada umumnya,


dan Kota Jayapura khususnya, berasal dari PNG dan Manado. Kalau
dari PNG biasanya menggunakan speedboat dan barang yang dibawa
adalah ganja. Sementara itu, barang yang dibawa dari Manado ke Papua
biasanya Miras Tradisional (CT). Ganja yang diselundupkan ke wilayah
Indonesia dalam hal ini Jayapura biasanya melalui beberapa lokasi pantai
yang sudah ditentukan sebelumnya sebagai lokasi tujuan yang kemudian
akan didistribusikan ke berbagai wilayah di Jayapura dan Papua pada
umumnya. Beberapa lokasi pantai yang sudah sangat terkenal sebagai
wilayah pasokan ganja dari PNG antara lain Kelurahan Hamadi, Argapura,
dan Tanjung Ria. Biasanya mereka menggunakan speedboat dan waktu
pasokannya biasanya pada tengah malam di mana semua orang sedang
tidur sehingga tidak akan diketahui masyarakat dan juga petugas yang
biasanya mengontrol atau memantau.

Melalui jalur udara, peredaran narkoba ke Papua pada umumnya,


dan Kota Jayapura khususnya, biasanya berasal dari Jakarta, Surabaya,
dan Makasar. Dalam kasus ini, pada umumnya yang ditemukan
adalah narkotika jenis sabu. Medium yang digunakan biasanya adalah
perusahaan ekspedisi atau kargo. Jalur-jalur peredaran narkoba tersebut
dapat dilihat dalam gambar berikut.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 475
Gambar 14.5. Jalur & Jenis Peredaran Narkoba ke Kota Jayapura

Jalur Darat Jalur Laut Jalur Udara


Asal : PNG Asal : PNG, Manado Asal :
- Jakarta
Jenis : Ganja Jenis : - Surabaya
- Ganja - Makassar
- Miras Tradisional (CT)
Jenis :
- Sabu
- Ekstasi

J A Y A P U R A
Sumber: Diolah dari data lapangan

Modus operandi jenis ganja yakni barang berasal dari PNG masuk
melalui jalur darat (jalan tikus). Selain itu juga melalui laut, yakni dengan
kendaraan speedboat pada malam hari antara jam 2 sampai jam 3 malam
sehingga lolos dari pemantauan pos batas. Ada yg masuk lewat wilayah
Dok 9, dan ada pula melalui pantai Argapura atau Tanjung Ria. Lalu mereka
menghubungi orang asli Papua di darat. Hubungan dilakukan dengan cara
jual beli (cash dan barter). Barter ganja seberat 1 kg lebih akan mendapat
laptop atau barang-barang elektronik, sedangkan apabila ganjanya seberat
10 kg ke atas akan mendapatkan motor. Pada saat penelitian dilakukan,
ada temuan dari Pos Angkatan Laut, yaitu masyarakat dari PNG datang
dengan menggunakan speadboat dan menurunkan ganja lalu disergap
oleh petugas saat mereka tiba di daratan. Berat ganjanya sekitar 20 kg
dan langsung diserahkan oleh pihak TNI Angkatan Laut kepada BNNP
Papua untuk selanjutnya dimusnahkan.

Sementara itu, peredaran ganja melalui wilayah daratan yang tidak


resmi, biasanya terjadi di pesisir Jayapura ini, dari Kab. Kerom, Senggi,
Web lalu masuk ke Kota Jayapura. Di Arso Timur juga pernah ditemukan
lahan ganja (ada beberapa tempat di daerah eks pemotongan kayu).

Selain ganja, jenis narkoba lain yang masuk ke Jayapura dalam bentuk
sintetis yakni Sabu. Sabu masuk ke Papua melalui jasa pengiriman barang
(kargo barang) dari Surabaya, Makasar, dan Jakarta. Kalau dari Surabaya
yang bermain adalah kelompok Madura, maka kalau dari Makasar yang

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


476 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
bermain adalah kelompok Bugis. Kelompok-kelompok ini memiliki kaki
tangan di Jayapura. Mereka menggunakan sistem tempel. Kalau di Lapas,
misalnya, komunikasi awalnya dibangun oleh orang dalam di Lapas dan
dengan rekannya yang ada di luar untuk memesan barang. Setelah ada
komunikasi dan barang sudah disepakati maka barang akan ditempatkan di
suatu tempat. Tentunya barang akan datang apabila uang sudah masuk ke
dalam rekening. Pemesan barang akan memperlihatkan contoh barangnya
yang sudah siap. Biasanya barang yang dijadikan contoh akan ditempatkan
di suatu tempat. Dalam beberapa pengalaman sebelumnya, barang dapat
ditempatkan misalnya di depan Saga Swalayan, di dekat Kantor Pengadilan,
di pojok kompleks Mesjid di Entrop, atau di Mall Matahari.

Kalau di Jayapura banyak Kelompok Makasar yang bermain


(penyuplai sabu). Di Jayapura, harga 1 gram sabu Rp. 3,5 - 4 juta, tetapi
kalau sudah sampai ke Papua pedalaman harganya bisa mencapai Rp
6 juta lebih per gram. Sabunya juga tidak utuh antara 0,8-0,9 gram. Tapi
mereka juga bisa berstrategi di bawah 0,8 atau 0,7 supaya kalau tertangkap
maka bisa direhab saja. Ini disebabkan oleh adanya Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan
Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. bahwa kalau di
bawah 1 gr hanya akan direhab saja.

Terkait media online, di sini hanya komunikasi belanja di kapal, tetapi


penyerahan barang sering salah alamat. Pada beberapa kasus, biasanya
akan tiba barang atau ganja tetapi alamat tujuannya atau orang yang
tinggal sebagaimana yang tertera dalam alamat tersebut tidak pernah
memesannya terlebih dahulu. Hal seperti ini biasanya patut dicurigai
sebagai proses peredaran narkoba.

Kalau peredaran ganja di Lapas, tampaknya sudah menjadi sesuatu


hal yang lumrah, bahkan pelemparan ganja di dalam Lapas sudah menjadi
hal biasa. Biasanya ada kebebasan menyewa HP pada hari Minggu untuk
bicara di penjagaan. Tetapi, biasanya sambil berbicara mereka (baca: warga
binaan) juga memesan ganja untuk dilempar dari belakang Lapas. Pada saat
hari kerja bakti dan pintu dibuka maka mereka akan mencari terlebih dahulu
‘barang’ itu. Apalagi bobot Lapas sudah melebihi batas sehingga kadangkala
agak sukar mengontrol mereka. Banyak orang PNG di Lapas dan sekarang
sudah sekitar 60 orang lebih dan menjadi ‘raja’ di sana (di Lapas Doyo).

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 477
Dengan adanya lintas batas semakin banyak orang PNG yang datang
ke Jayapura untuk berbelanja sambil membawa barang (ganja) karena di
sana (PNG) ganja merupakan barang bebas. Memang betul bahwa pada saat
orang PNG akan masuk ke wilayah Indonesia mereka diperiksa di pos. Hanya
saja, mereka masuk lebih dulu meletakkan barang di pojok-pojok. Kalau sudah
jam 4 dan mulai sepi barulah ojeknya masuk. Motor ojek biasanya melalui
samping dan barang diletakkan di motor sementara orangnya saja yang
melapor. Kadangkala orangnya tidak mau melapor alasannya naik motor. Tapi
sering tertangkap juga. Pos tentara hanya ada di pos lintas perbatasan. Ada
laporan check point pertama. Jadi orang yang menyeberang dicek terlebih
dahulu di situ. Tapi karena Papua memiliki hutan yang luas maka orang PNG
bisa melewati hutan saja dan keluar di Moso, Kerom, atau Arso Timur. Dalam
wilayah Indonesia, daerah yang menanam ganja yaitu Pegunungan Bintang
dan Boven Digul. Di Kerom juga ada yang menanam ganja. Ganja di Papua
berdaun sembilan, sedangkan di Aceh umumnya berdaun tujuh sehingga
orang mengatakan bahwa ganja di Papua lebih baik. Persoalannya Inggris,
Australia, Belanda sudah melegalkan ganja dan dibuat semacam kerupuk
seperti halnya di Amerika. Hal ini pula yang menjadi salah satu tantangan
dalam pencegahan peredaran narkoba di Indonesia, termasuk Papua.

Di PNG sendiri tidak ada institusi resmi seperti BNN yang menertibkan
ganja karena memang tidak ada undang-undang terkait itu. Dengan kata
lain, dapat dikatakan bahwa di PNG ganja merupakan barang legal.
Dengan berjalan kaki saja dari Arso, misalnya, kita sudah bisa sampai di
kebun-kebun ganja orang PNG. Orang-orang PNG di perbatasan biasanya
merupakan peladang berpindah. Jadi, apabila mereka sudah menanam
bibit ganja di sebuah ladang maka mereka akan meninggalkannya
dan pada suatu saat nanti mereka akan kembali untuk memanen dan
menjualnya, termasuk menjual ke orang-orang Indonesia di wilayah
Papua. Tidak heran, kalau ada pemandangan seseorang membawa motor
dengan handphone (HP) banyak, maka pasti orang Papua tersebut akan
melakukan barter HP-HP itu untuk ditukar dengan ganja dari orang PNG.

Oleh karena penyalahgunaan narkoba di Jayapura pada umumnya


melibatkan atau terkait dengan ganja dan sabu, maka berikut ini dapat
dikemukakan secara sederhana pola peredarannya di Jayapura. Gambar
14.6 berikut menjelaskan pola peredaran ganja, sedangkan gambar 14.7
merupakan pola peredaran sabu.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


478 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Gambar 14.6. Pola Peredaran Ganja di Jayapura

Produsen (PNG)

Darat Laut (Speedboat)


(Pos Lintas Batas, (Tanjung Ria,
Cash/Barter
Jalan-Jalan “Tikus Argapura)
Hamadi)

Penampung/Penadah/Bandar
(di Jayapura)

Pengedar

Masyarakat

Pemula Pengguna
(Gratis -> Beli) (Beli)

Pada gambar 14.6 tersebut dapat dilihat bahwa narkoba jenis ganja
yang merupakan barang legal di PNG diproduksi di sana dan dibawa ke
Papua melalui jalur darat dan laut. Kalau melalui jalur darat maka ganja
akan dibawa melalui Pos Lintas Batas atau pun melalui ‘jalan-jalan tikus’
yang sangat banyak di sepanjang wilayah perbatasan. Sementara itu,
kalau melalui jalur laut, biasanya akan dibawa dengan kapal atau dengan
speedboat. Pengantaran ganja ke Jayapura dengan speedboat biasanya
menuju ke beberapa titik di daerah pantai seperti di Hamadi, Argapura,
dan Tanjung Ria. Ada dua macam transaksi ganja yaitu secara cash atau
dengan cara barter. Kalau menggunakan cara barter, biasanya ganja
akan ditukar dengan barang-barang elektronika atau biasa juga motor.
Setelah barang atau ganja diperoleh maka Bandar/Penampung/Penadah
di Jayapura akan mengedarkannya melalui jaringaan pengedar mereka
yang ada di kota ini. Para pengedar akan mendistribusikan paket-paket
ganja kepada masyarakat Jayapura baik di lingkungan pemukiman,

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 479
sekolah, maupun tempat kerja. Bagi pemakai pemula biasanya pengedar
menawarkan secara gratis tetapi setelah itu pada kesempatan berikutnya
mereka harus membayarnya atau membeli, sedangkan bagi pengguna
mereka langsung menjualnya, jadi tidak gratis lagi.

Gambar 14.7. Pola Peredaran Sabu di Jayapura

Penyuplai/”Kelompok Makassar”
(di Sulawesi Selatan)

Ekspedisi
(Jalur Udara)

Pengedar (Di Jayapura)

Perusahaan Kayu
Tempat Hiburan
- Tukang Mebel Lapas Kos-Kosan
Malam
- Tukang Kayu di Hutan

Lain-Lain

Gambar 14.7 di atas memaparkan pola peredaran sabu yang terjadi di


Jayapura. Pemasok sabu di Jayapura pada umumnya berasal dari Sulawesi
Selatan atau pihak BNNP menyebutnya sebagai ‘Kelompok Makasar’.
Kelompok ini mengirim sabu ke Jayapura melalui ekspedisi dengan jalur
udara. Di Jayapura sudah ada pengedar yang siap mengedarkannya. Dari
penelitian yang dilakukan, paket sabu ini akan diedarkan atau digunakan
oleh berbagai pihak. Pertama, para tukang kayu. Tukang mebel atau
tukang kayu di hutan biasanya menggunakan sabu agar mereka dapat
tahan bekerja dalam waktu yang lama. Kedua, tempat hiburan malam.
Di tempat hiburan malam sudah ditemukan banyak yang menggunakan
narkoba jenis sabu. Ketiga, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Beberapa
petugas Lapas Narkotika Doyo sudah pernah menjadi Target Operasi (TO)
dan tertangkap. Keempat, kos-kosan. Para pengguna sabu juga banyak
ditemukan pada saat mereka berada di kos-kosan.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


480 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
3. Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba

3.1. Diseminasi Informasi

Program P4GN umumnya dilaksanakan diseluruh wilayah Indonesia


termasuk Kota Jayapura, Provinsi Papua. Hasil penelitian di Kota Jayapura
menunjukkan bahwa pelaksanaan program P4GN berjalan cukup baik.
Hal itu bisa dilihat dari keterlibatan semua unsur baik dari masyarakat,
pelajar, mahasiswa, pemuda, lembaga keagamaan maupun lembaga
lainnya yang berpartisipasi dalam melakukan kampanye anti Narkoba.

BNN Provinsi Papua memiliki fungsi sebagai fasilitator yaitu


memberi materi dalam penyuluhan dan sebagai penggerak yang
mendorong seluruh instansi serta masyarakat untuk ikut serta dalam
pencegahan narkoba. Pencegahan yang dimaksudkan adalah upaya-
upaya pencegahan dini, berupa diseminasi informasi di tingkat pelajar,
lembaga dan masyarakat. Di tingkat pelajar dimulai dari Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD), TK, SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi. Diseminasi
pada prinsipnya terkait dengan penyebarluasan informasi mengenai
pencegahan penyalahgunaan narkoba. Dalam setahun dilakukan
sosialisasi dua sampai tiga kali per tri wulan di semua jenjang pendidikan.
Kemudian diseminasi informasi ditingkat lembaga, baik itu pemerintahan
maupun swasta (LSM), dan diseminasi di lingkungan masyarakat.

BNN dalam kesehariannya sebagai lembaga yang bersifat koordinatif,


bekerja sama dengan instansi Dinas Kesehatan dan Kepolisian dalam
melakukan kegiatan penyuluhan sebagai bentuk sosialisasi mengenai
pencegahan dan peredaran narkoba. Ketika ada penyuluhan selalu
berkoordinasi dengan dinas-dinas terkait dalam rangka melaksanakan
tupoksinya masing-masing. Dinas Kesehatan akan mensosialisasikan
dampak narkoba terhadap kesehatan, BNN akan mensosialisasikan
materi mengenai bahaya narkoba dan memberikan motivasi-motivasi
serta masukan agar menjauhi narkoba melaluai pendekatan strategis yang
sudah menjadi acuan BNN dan Kepolisian sebagai instansi penegakan
hukum memberikan materi mengenai masalah penegakan dan ancaman
terhadap pihak yang menggunakan atau mengedarka narkoba.

Walaupun pihak BNN bersama jajaran Kepolisian dan lembaga


terkait sudah melakukan program P4GN secara rutin, namun masih saja

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 481
menemui kendala karena pemakai narkoba di Kota Jayapura meningkat
khususnya narkoba jenis ganja. Selain itu juga posisi strategis kota
jayapura yang berada diwilayah perbatasan, dimana tempat ini biasanya
dipakai untuk melakukan transaksi Narkoba sehingga pengaruhnya
sangat kuat terhadap penduduk di sekitar kota Jayapura.

Pada tiga tahun terakhir kasus kriminal pencurian motor banyak


terjadi, hal itu disebabkan oleh transaksi narkoba yang menggunakan
sistem barter. Sistem barter tidak hanya motor, tetapi juga benda-benda
berharga lainnya seperti HP dan barang mewah yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi.

Terkait program P4GN, menurut warga binaan lembaga


pemasyarakatan kelas II A Doyo di Jayapura, bahwa pelaksanaan
program P4GN sudah dilakukan di Kota Jayapura, hanya masih kurang
dalam bentuk sosialisasi. Sosialisasi yang dilakukan harus secara
langsung di kompleks atau permukiman warga sehingga masyarakat
dapat mengetahui dampak pemakaian narkoba, baik secara kesehatan
fisik maupun dampak dari segi hukum.

Menurut hasil wawancara dengan JH, dia belum mengetahui secara


baik program P4GN namun dia mengetahui program rehabilitasi yang
dilakukan oleh BNN. Dia mengakui memang ada banyak iklan-iklan yang
pernah dilihat baik itu di media cetak atau media online namun untuk
mengikuti secara langsung sosialisasi P4GN belum pernah, sehingga
pemahaman tentang bahaya narkoba sangat minim. Biasanya hanya
melihat stiker-stiker yang ditempel di rumah atau fasilitas umum dengan
logo tangan bertuliskan Stop Narkoba.1

Menurutnya, untuk wilayah kota Jayapura pengguna terbesar ada di


kalangan mahasiswa. Hal itu karena Jayapura merupakan kota pelajar dan
banyak mahasiswa dari berbagai daerah di kabupaten kota yang datang
untuk menempuh pendidikan. Penyalahgunaan narkoba dikalangan
pelajar/mahasiswa dilakukan pertama kali dengan cara ingin mencoba
(coba-coba), selain itu pengaruh lingkungan pergaulan dan teman, ada
juga karena masalah keluarga sehingga membuat anak tertekan dan
melampiaskan amarahnya dengan menggunakan narkoba.

1
Wawancara dengan warga panti rehab, Klinik Cendrawasih BNNP Jayapura.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


482 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Oleh karena itu target sosialisasi di tingkat pelajar perlu dijadikan
sasaran utama. Strateginya pihak BNN dapat membentuk komunitas-
komunitas dalam rangka mensosialisasikan narkoba, tujuannya agar
saling mengingatkan tentang bahaya narkoba kepada masyarakat terlebih
khususnya mahasiswa. Selain itu juga perlu membangun kerjasama
dengan masyarakat dalam mengatasi dan mencegah penggunaan
maupun pengedaran Narkoba.

Beberapa masukan terhadap P4GN dalam upaya pencegahan


narkoba :
a) Pencegahan utama ada pada keluarga khususnya orang tua yang
harus menjaga agar anak-anaknya tidak terpengaruh Narkoba.
b) Dalam melakukan pencegahan, sebaiknya dimulai dari kesadaran
pribadi dan lingkungan sekitar, untuk membantu petugas apabila ada
yang menggunakan atau mengedarkan narkoba agar segera melapor
kepada pihak berwajib.
c) Sosialisasi secara rutin merupakan langkah yang baik agar
masyarakat mengetahui dampak buruknya narkoba bagi kesehatan
maupun dampak dalam hukum.
d) Dari sisi medis perlu ada dokter yang bergerak dalam bidang narkoba
dan profesional untuk menangani kasus-kasus Narkoba.
e) Solusi lainnya adalah pemberdayaan masyarakat dalam bidang
usaha atau memberikan keterampilan dalam bentuk training-training
agar masyarakat mempunyai ruang pekerjaan.
f) Peningkatan pengamanan, penjagaan dan pengawasan di perbatasan
yang ketat dan kampanye anti narkoba yang terjadwal dengan baik.
g) Membentuk badan atau semacam kelompok anti narkoba di kampus

3.2. Advokasi

Untuk kegiatan advokasi, BNN Provinsi telah melakukan berbagai


kegiatan baik di masyarakat maupun di lembaga pemerintahan. Program
advokasi yang sudah pernah dilakukan adalah advokasi pembangunan
berwawasan anti narkoba di instansi pemerintah Kota Jayapura.
Tujuannya adalah dalam rangka pembentukan jejaring anti narkoba di
instansi pemerintah. Selain itu, sektor pekerja dan pendidikan juga sudah
dilaksanakan kegiatan advokasi dengan harapan agar para pekerja dan
pelajar tidak terpapar narkoba.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 483
3.3. Partisipasi masyarakat

Masyarakat merupakan elemen penting dalam menanggulangi


penyalahgunaan narkoba. Oleh karena itu setiap program kampanye
stop narkoba, baik dari BNN ataupun pemerintah harus melibatkan
masyarakat. Perlu diberikan sosialisasi tentang narkoba kepada
masyarakat dan dampak-dampaknya. Tujuannya adalah agar masyarakat
bisa melakukan koordinasi atau kerjasama dengan pihak BNN, misalnya
dalam rangka rehabilitasi atau berpartisipasi dalam kegiatan–kegiatan
sosialisasi narkoba. Selama ini yang ada di pikiran masyarakat adalah
ketika memakai narkoba pasti ditangkap dan masuk penjara. Oleh karena
itu diperlukan sosialisasi agar masyarakat mau melaporkan diri apabila
menghadapi risiko ketergantungan terhadap Narkoba atau melakukan
pencegahan di lingkungan tempat tinggalnya.

Mengenai kampanye Stop Narkoba, di setiap kompleks atau


perumahan hanya ditempel stiker lambang stop narkoba tanpa ada
sosialisasi sebelumnya. Kemudian ada petugas yang tiba-tiba datang dan
melakukan tes urin. Hal ini membuat masyarakat bingung dan bahkan
banyak yang menolak. Contoh kasus AW yang ketika itu bekerja pada sebuah
kantor ekspedisi dan tanpa sosialisasi langsung mengadakan tes urin2. Hal-
hal semacam ini yang membuat masyarakat takut dan menjauhkan diri
dari sosialisasi-sosialisasi narkoba. Oleh sebab itu alangkah baiknya ada
sosialisasi terlebih dahulu sebelum melakukan tes urin dimasyarakat.

3.4. Pemberdayaan Masyarakat

Selain penyuluhan, program pemberdayaan juga dilakukan. Salah


satu kegiatan yang dilakukan adalah membuat kampung percontohan
bebas narkoba di Nafri. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun
kampung bebas narkoba (kampung trada narkoba). Rencananya akan
ada 13 kampung lainnya lagi yang akan dinobatkan sebagai kampung
bebas narkoba. Latar belakang lahirnya program tersebut karena BNN
melihat banyaknya kampung yang sudah darurat narkoba. Program ini
dilakukan atas kejasama BNN dan pemerintah kota Jayapura serta Forum
Komunikasi Pemimpin Daerah (Forkopimda).

2
Wawacara dengan warga Binaan LAPAS Kelas IIA DOYO Jayapura.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


484 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Pemberdayaan lainnya yaitu pemberian life skill dengan mengadakan
pelatihan teknisi handphone. Pelatihan ini dilakukan di daerah rawan
(kelurahan Argapura) dengan tujuan mengubah pola hidup masyarakat
serta dapat melakukan aktivitas positif. Selain itu juga diharapkan bisa
membuka lapangan usaha yang mandiri.

4. Upaya Mengatasi Penyalahgunaan Narkoba

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang


Narkotika yang dikeluarkan tentu memiliki maksud agar masyarakat
mengetahui bahaya dari narkoba dan sanksi yang akan diterima jika
menyalahgunakannya. Akan tetapi, tentunya jika sudah terlanjur
melakukan penyalahgunaan barang terlarang tersebut, maka harus
ada upaya-upaya mengatasinya. Bagian berikut ini banyak berkaitan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Lapas dan Panti Rehabilitasi dan
keefektifannya menurut perspesi para pengguna.

4.1. Pembinaan di Lapas

Lembaga Pemasyarakatan Papua yang menampung tahanan akibat


narkoba yaitu Lapas Narkotika Kelas IIa yang berlokasi di Doyo, Jayapura.
Walaupun lapas narkotika, namun struktur di dalam Lapas belum ada
yang betul-betul spesifik menangani narkoba.

Mayoritas warga binaan yang masuk ke Lapas Narkotika Doyo terkait


dengan narkoba jenis ganja. Warga binaan yang masuk akibat sabu
tampaknya sangat sedikit dan hanya bisa dihitung dengan jari. Banyak
pembinaan-pembinaan yang dilakukan bagi warga binaan. Jenis-jenis
program pembinaan yang ada di Lapas Kelas IIa Jayapura antara lain:
a) Program pembinaan umum, yakni mengikuti pertemuan yang
diadakan oleh pihak Lapas.
b) Program pendidikan keagamaan, yaitu dengan mengikuti program
pendidikan keagamaan yang diadakan oleh Departemen Agama.
c) Program pendidikan keterampilan, yakni dengan mengikuti program
pembinaan kerja di Lapas.
d) Program kesehatan dan olah raga. Program ini dilakukan dengan
menjalankan kegiatan jasmani yang diadakan oleh pihak Lapas.
e) Kesadaran berbangsa dan bertanah air (Upacara Bendera), yakni dengan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 485
mengikuti upacara dalam rangka Kemerdekaan Republik Indonesia,
Sumpah Pemuda, Hari Pancasila, Hari Pahlawan, dan lain sebagainya.

Menurut para pengguna, program-program pembinaan yang


dilakukan di Lapas belum maksimal, sehingga belum begitu efektif bagi
mereka. Setelah keluar dari Lapas mereka tidak tahu apa yang akan
mereka lakukan karena pada saat mereka tertangkap menyalahgunakan
narkoba dan masuk penjara mata pencaharian mereka tidak ada lagi.
Apabila mereka keluar dari penjara maka mereka akan memulai kehidupan
dari nol lagi. Kondisi ini seringkali yang menyebabkan mereka akan
berpikir untuk kembali pada kehidupan mereka yang lama yang terkait
dengan penyalahgunaan narkoba, karena dengan hal-hal tersebut mereka
akan mendapatkan untung yang cepat yang dapat membantu ekonomi
keluarga mereka.

Apa yang ingin disampaikan di sini yaitu bahwa program-program


pembinaan yang dilakukan belum terlalu menyentuh atau pas dengan
keinginan para warga binaan. Program-program pelatihan yang dilakukan
oleh Lapas tidak begitu mendapat tanggapan yang positif dari para warga
binaan karena yang mereka inginkan yaitu program pelatihan yang betul-
betul dapat mereka kerjakan setelah mereka keluar dari penjara. Akan
tetapi, tuntuntan para warga binaan tidak dapat dipenuhi oleh pihak Lapas,
karena kegiatan yang diinginkan para warga binaan, seperti program
pelatihan pembuatan batu bata memerlukan lahan yang luas, sehingga
belum dapat dipenuhi oleh pihak Lapas.

4.2. Pembinaan Melalui Rehabilitasi

Kegiatan di klinik rehabilitasi yaitu melakukan layanan rehabilitasi


khususnya terhadap pengguna narkoba jenis ganja dan sabu. Sebenarnya
di BNNP Papua sudah diberikan kewenangan untuk melakukan
penanganan lem aibon (inhalasi/hirup), tetapi belum banyak dilakukan
karena belum ada pelatihan lagi. Di klinik baru dilakukan rawat jalan dan
belum rawat inap. Untuk kasus yang berat biasanya dikirim ke rehabilitasi
BNN di Badoka (Makasar), Lido (Bogor), Batam, dan di Kalimantan. Belum
ada rawat inap disebabkan karena belum ada Sumber Daya Manusia
(SDM) dan perlengkapan yang memadai. Sebenarnya di Papua sudah
ditunjuk di RS Bhayangkara dan RS Jiwa Abepura, tetapi sarana dan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


486 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
prasarananya masih belum memungkinkan untuk rawat inap pengguna
narkoba. Jadi hanya rawat jalan dan rujukan. Namun, kalau ada diagnosis
gangguan jiwa maka akan dikirim ke RS Jiwa lalu kemudian dikirim ke
balai rehabilitasi.

Mekanisme rawat jalan, pasien datang sendiri atau dibawa oleh


keluarganya, atau bisa juga dibawa oleh polisi setelah tidak teridentifikasi
sebagai pengedar dan Bandar narkoba. Setelah tiba di klinik, dilakukan
pemeriksaan urin lagi. Dulu dilakukan asesmen langsung, tetapi tahun 2019
ini ada tool tambahan yaitu Urika untuk memfilter penggunaan narkoba dan
tingkat ketergantungan pasien tersebut. Tools-nya berupa wawancara dan
tanya-jawab dan poin-poinnya akan menentukan tingkat ketergantungan
dan intervensi yang akan dilakukan. Kalau ketergantungannya ringan, maka
pasien hanya datang 2-4 kali datang per bulan. Tetapi kalau tingkatnya
sedang menuju berat maka pasien harus datang 7-8 kali per bulan. Kalau
yang berat, dilakukan asesmen dulu dan dilakukan wawancara terhadap
pasien beserta keluarganya, apakah bersedia untuk dirujuk. Kalau tidak
bersedia dirujuk maka solusinya rawat jalan. Rehabilitasi di BNNP gratis,
tetapi untuk rujukan ke Makasar misalnya, tiketnya dibiayai sendiri oleh
keluarga pasien. Selain itu juga harus melakukan foto toraks yang biayanya
ditanggung sendiri oleh keluarga pasien. Rehabilitasi di Makasar selama 6
bulan akan ditanggung oleh BNN.

Program rehabilitasi sebenarnya meniru yang dilakukan di Thailand.


Program rehabilitasi ini cukup efektif karena bisa mengembalikan kesadaran
mereka sendiri. Namun demikian, kepulihannya tergantung pada masing-
masing pasien. Semua orang yang direhabilitasi sebenarnya tidak sama
metodenya. Ada yang hanya ditangkap saja dia sudah pulih, tetapi ada yang
lama. Hal ini juga tergantung pada putusan pengadilan, apabila pengadilan
memutuskan untuk merehabilitasi maka pasien akan segera dirujuk.

Kegiatan setelah rehabilitasi (pasca-rehab), yaitu setelah 6 bulan


(rawat inap) atau setelah 8 kali datang (pasien rawat jalan) untuk kembali
berproduktifitas. Kalau di Balai Besar Badoka, 6 bulan rehabilitasi
ditambah dengan 6 bulan pasca-rehab melalui pelatihan-pelatihan.
Pelatihan-pelatihan yang diberikan antara lain kerajinan, perbengkelan,
dan sebagainya. Kalau di Makasar, biasanya bekerja sama dengan
perusahaan-perusahaan dan Pertamina dengan dana CSR mereka.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 487
Batas rehabilitasi hanya sampai 2 kali, tetapi kalau sampai 3 kali terjadi
penangkapan maka dia diserahkan kepada yang menangkap.

Sebelum direhabilitasi biasanya pasien dilakukan detoksifikasi, yaitu


metode mengurangi jumlah atau kadar narkoba yang ada dalam tubuh
seorang pasien. Caranya bisa disuntik atau hanya diberikan multivitamin.
Biasanya kalau lagi ‘on’ atau lagi kena efek narkoba maka tidak bisa
ditanya atau dilakukan wawancara, dan baru akan diwawancarai setelah
3 hari lagi. Selain itu, akan dilakukan farmakoterapi atau pemberian obat-
obat. Kalau nyeri maka akan diberikan anti nyeri atau kalau demam maka
akan diberikan anti demam. Jadi disesuaikan dengan gejala yang ada.
Setelah itu baru diberikan rehab berupa konseling.

4.3. Upaya Lain yang Diperlukan Menurut Pengguna

Banyak upaya lain yang perlu dilakukan oleh berbagai pihak terutama
pemerintah. Upaya pemaksimalan program sosialisasi misalnya.
Sosialisasi tentang apa itu narkoba, bahayanya, dan sanksi berat yang
akan diterima tampaknya perlu semakin gencar dilakukan dan langsung
menyentuh masyarakat. Jadi tidak hanya berupa poster di jalan-jalan.

Pada saat ini tampaknya bandar narkoba lebih banyak dan lebih
kuat sosialisasinya daripada pemerintah. Bandar membuat baju-baju
yang bergambar ganja, misalnya. Dengan harga murah, maka masyarakat
terutama orang muda akan membelinya. Informasi tentang hukuman
narkoba banyak yang tidak tahu bahwa hukumannya berat. Baru mereka
tahu setelah diputuskan bahwa hukumannya lebih lama daripada kriminal
biasa. Dengan demikian, sosialisasi dari pemerintah harus lebih gencar
dan banyak dilakukan lagi.

Hal penting lainnya yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah


yaitu terkait dengan wilayah perbatasan. Pos perbatasan yang megah
apabila tidak dibarengi dengan pengetatan pemeriksaan di pos terkait
dengan peredaran narkoba maka tidak akan membawa hasil yang
maksimal bagi masyarakat Papua. Bahkan masyarakat akan tetap
hidup dengan narkoba jika pengetatan tidak dilakukan segera. Selain itu,
‘jalan-jalan tikus’ yang ada selama ini perlu dicek dan dipantau dengan
menempatkan petugas-petugas yang lebih banyak.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


488 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Pemerintah juga perlu memberikan perhatian yang lebih serius lagi
dalam bidang pendidikan dan lapangan kerja. Kedua hal ini tampaknya
penting karena kalau pendidikan semakin baik maka kesadaran untuk
memahami bahaya narkoba akan semakin tereduksi. Pada bagian lain,
ketersediaan lapangan kerja juga akan memperngaruhi kondisi ini. Jika
lapangan kerja semakin sulit diperoleh maka masyarakat kadangkala
akan memilih jalan pintas dengan melakukan kegiatan-kegiatan
pengedaran narkoba yang secara ekonomis sangat menguntungkan,
tanpa memperhatikan akibatnya. Kadangkala pengedar juga akan mulai
mencoba narkoba dan akhirnya menjadi pengguna juga.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Pengaruh lingkungan terhadap penggunaan narkoba tampaknya


sangat besar, baik lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah,
maupun lingkungan tempat kerja. Selain itu, salah satu pengaruh lain
yang sangat penting dan perlu diberi perhatian yaitu pengaruh PNG.
Pengaruhnya begitu besar dan menyebabkan pemakaian narkoba oleh
masyarakat Papua begitu masif. Berbicara tentang PNG tentu sangat
berkaitan dengan persoalan perbatasan. Oleh karena itu, pemerintah
perlu segera memberikan solusi yang komprehensif apabila tidak ingin
melihat masyarakat Papua dihancurkan oleh narkoba. Banyaknya ‘jalan
tikus’ di sepanjang perbatasan RI-PNG merupakan penyebab penting
yang menyalurkan narkoba jenis ganja ke wilayah Papua. Perlu dipikirkan
bagaimana menutup aksesibiltas tersebut.

Dampak yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkoba sangat


jelas, baik terhadap kesehatan, ekonomi, maupun sosial, yang sangat
merugikan dan membahayakan. Oleh karena itu masyarakat perlu
menyadari sedini mungkin dan menghindarkan diri dari barang terlarang.
Oleh karena itu, dalam rangka mendukung upaya-upaya mengatasi
penyalahgunaan narkoba, program Pencegahan, Pemberantasan,
Penyalahgunaan, dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) perlu digencarkan
secara lebih intens dan masif kepada masyarakat. Sosialisasi melalui
berbagai media maupun tatap muka langsung dengan masyarakat perlu
ditingkatkan sehingga masyarakat secara langsung mapun tidak langsung
selalu diingatkan tentang bahaya narkoba ini. Meskipun demikian,
hal dasar yang tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan oleh

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 489
pemerintah yaitu terkait dengan persoalan pendidikan dan ketersediaan
lapangan kerja. Kedua faktor ini juga dapat menyebabkan masyarakat
cenderung terkontaminasi oleh narkoba. Pendidikan yang semakin baik
dan lapangan kerja yang tersedia, maka hal ini akan dapat berkontribusi
secara positif terhadap reduksi penyalahgunaan narkoba ini.

Sumber Informasi:

• Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang


Narkotika.
• Wawancara dengan warga binaan LAPAS Kelas IIA Doyo Jayapura.
• Wawancara dengan warga binaan Klinik Rehabilitasi Cendrawasih
BNNP Jayapura.
• Wawancara dengan Pengelola LAPAS Kelas IIA Doyo Jayapura.
• Wawancara dengan Pimpinan dan Staf BNNP Papua dan Pengelola
Klinik Rehabilitasi Cendrawasih BNNP Jayapura.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


490 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
XIII
XIV
XV

Penutup

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 491
Tari
TariKancet
Gambyong
Lasan
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
492 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BatikNARKOBA
Parang
2018 Khas Surakarta
XV

PENUTUP

Oleh:
Masyhuri Imron

Peredaran narkoba marak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.


Peredaran narkoba tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan, tetapi juga
di wilayah perdesaan. Mengingat peredaran narkoba yang cukup masif,
maka narkoba sudah menjadi ancaman serius di beberapa wilayah di
Indonesia. Hampir tidak ada daerah di Indonesia yang masyarakatnya
tidak terpapar narkoba. Oleh karena itu permasalahan penyalahgunaan
narkoba perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak.

Peredaran narkoba yang marak itu dapat dilihat pada keberadaan


kampung-kampung yang diindikasikan sebagai kampung narkoba, di
berbagai wilayah di Indonesia. Disebut kampung narkoba karena di
tempat itu mereka seakan-akan “leluasa” melakukan transaksi narkoba.
Walaupun di kampung-kampung narkoba itu sudah seringkali dilakukan
razia oleh aparat penegak hukum, namun mereka sepertinya tidak pernah
jera. Ironisnya, dalam setiap razia yang dilakukan oleh aparat, mereka
seakan-akan sudah tahu lebih dulu, sehingga seringkali petugas gagal
melakukan penangkapan terhadap pelakunya. Kondisi seperti itu yang
menimbulkan dugaan kuat di kalangan masyarakat adanya permainan
antara oknum aparat penegak hukum dengan para bandar, yang selalu

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 493
membocorkan setiap operasi penangkapan yang akan dilakukan. Dalam
beberapa kasus, para bandar itu seperti menantang aparat penegak
hukum dalam bertransaksi narkoba.

Peredaran narkoba yang masif itu antara lain disebabkan oleh kondisi
geografis Indonesia yang memungkinkan para bandar menyelundupkan
narkoba ke berbagai wilayah Indonesia. Wilayah perbatasan, baik
perbatasan darat maupun laut, merupakan jalur yang mudah dilakukan
penyelundupan narkoba oleh para bandar. Hal itu diperparah dengan
penjagaan di kawasan perbatasan yang kurang begitu ketat, karena
minimnya aparat keamanan.

Selain penyelundupan melalui kawasan perbatasan, penyelundupan


melalui bandara dengan berbagai modusnya juga banyak dilakukan oleh
para bandar. Walaupun banyak yang sudah tertangkap, namun hal itu
tidak membuat mereka jera, tapi justru selalu berinovasi mencari modus
baru untuk bisa terhindar dari pengawasan petugas.

Maraknya peredaran narkoba di berbagai wilayah itu berjalan seiring


dengan maraknya penyalahgunaan narkoba. Sesuai dengan hukum pasar,
semakin banyak permintaan maka akan semakin banyak penawaran;
begitulah yang terjadi pada narkoba. Pasar narkoba seakan tidak pernah
surut, karena semakin banyak orang yang memakai narkoba dengan
berbagai alasan. Alasan untuk mencoba sering menjadi alasan utama
seseorang pertama kali memakai narkoba. Walaupun alasan itu klise,
namun demikianlah fakta yang banyak terungkap di lapangan. Namun
yang tidak mereka sadari, perilaku yang awalnya hanya untuk mencoba
itu dimanfaatkan oleh para pengedar untuk melayani mereka, sehingga
tanpa disadari mereka mencadi kecanduan. Dalam kondisi seperti
itu maka jeratan narkoba akan menjadi kebutuhan yang sulit mereka
tinggalkan. Belum lagi mereka yang memiliki alasan lain, seperti untuk
meningkatkan stamina, sehingga narkoba diposisikan seakan sebagai
pengganti vitamin dan zat stimulan lainnya. Semua itu merupakan faktor
yang meningkatkan permintaan terhadap narkoba, yang direspon secara
baik oleh para bandar narkoba.

Masyarakat bukan tidak menyadari tentang bahaya narkoba.


Namun kesadaran itu belum dialami secara merata oleh seluruh lapisan

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


494 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
masyarakat. Bagi para pecandu, kesadaran tentang bahaya narkoba
justru sering terlambat, sesudah yang bersangkutan dimasukkan ke
dalam Lapas atau di panti rehabilitasi. Oleh karena itu sosialisasi tentang
bahaya narkoba perlu digalakkan secara terus-menerus.

Hampir di semua daerah sosialisasi tentang bahaya narkoba sudah


sering dilakukan, baik oleh BNN maupun oleh Polri. Namun masalah yang
dihadapi yaitu petugas pelaksana kadang kurang profesional, sehingga
bisa menimbulkan salah pengertian. Kasus seorang pecandu narkoba
yang mengaku ingin mencoba narkoba sesudah mengikuti sosialisasi,
merupakan gambaran bahwa sosialisasi harus dilakukan secara hati-hati.

BNNP sebagai penanggung jawab penanganan narkoba di setiap


provinsi bukan tidak menyadari tentang kondisi tersebut. Namun
masalahnya jumlah tenaga ahli yang bersertifikat untuk melakukan
sosialisasi sangat terbatas. Karena keterbatasan itu maka bisa dipahami
jika akhirnya semua petugas dikerahkan untuk melakukan sosialisasi,
walaupun tanpa dibekali keahlian yang memadai. Hal itu tentunya menjadi
tantangan pemerintah untuk memperbanyak tenaga ahli yang bersertifikat.

Bukan hanya tenaga ahli yang bersertifikat, permasalahan anggaran


yang dialami oleh BNNP di hampir semua provinsi juga menjadi
kendala dalam pelaksanaan sosialisasi. Karena keterbatasan anggaran,
sosialisasi tidak dapat dilakukan secara massif, tapi lebih diprioritaskan
ke kelompok masyarakat tertentu. Ironisnya, justru lapisan masyarakat
yang paling bawah jarang tersentuh oleh sosialisasi, padahal mereka itu
kelompok yang paling rentan terpapar narkoba.

Untuk mencegah perluasan penyalahgunaan narkoba, upaya


advokasi juga sudah dilakukan, dengan mendorong kelembagaan lain
untuk membuat peraturan internal yang berkaitan dengan penyalahgunaan
narkoba. Namun tampaknya hasilnya masih kurang efektif, karena tidak
ada evaluasi sejauhmana peraturan internal itu sudah dibuat bahkan
dilaksanakan. Selain itu, pembentukan kelompok relawan anti narkoba
dari berbagai profesi, instansi pemerintah dan swasta, sekolah dan
kampus juga sudah dilakukan oleh BNNP di berbagai daerah. Namun
seperti halnya kegiatan advokasi, kelompok yang sudah terbentuk juga
tidak dievaluasi, sehingga tidak dapat diketahui cara kerja dan hasilnya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 495
Lapas dan panti rehab merupakan instansi terakhir yang harus
menangani pengedar dan pecandu narkoba. Di dalam Lapas, mereka
dibina kepribadian, kedisiplinan dan kemandiriannya. Berbagai pelatihan
diberikan agar mereka dapat bekerja setelah bebas dari Lapas. Namun
pihak Lapas juga tidak terbebas dari kendala. Selain keterbatasan
anggaran yang selalu membelenggu Lapas, juga keterbatas personel
yang mendampingi warga binaan. Karena kondisi yang serba terbatas
itulah maka uluran tangan dengan instansi terkait sangat dibutuhkan,
untuk kelancaran pelaksanaan program Lapas.

Saat ini Lapas juga masih dihantui dengan masalah peredaran


narkoba di dalam Lapas. Walaupun upaya super ketat sudah banyak
dilakukan, namun tak urung masih banyak Lapas yang kecolongan. Bukan
hanya masalah pecandu yang masih bisa mendapatkan narkoba di dalam
Lapas, peredaran narkoba yang dikendalilan oleh para bandar yang sudah
berada di dalam Lapas juga masih marak terjadi.

Semua itu tentunya membutuhkan kerja yang lebih keras lagi dari
pihak Lapas, baik untuk mencegah masuknya narkoba ke dalam Lapas,
maupun untuk mencegah bandar narkoba bisa menjalankan transaksi dari
dalam Lapas. Untuk itu maka pengawasan super ketat harus dilakukan
di dalam Lapas. Pengawasan bukan hanya terhadap pengunjung dan
warga binaan, melainkan juga terhadap para pegawai Lapas. Pengetatan
pengawasan terhadap pengunjung, dilakukan untuk mencegah
penyelundupan narkoba dari luar Lapas. Pengetatan pengawasan
terhadap warga warga binaan dilakukan untuk mencegah keberadaan
narkoba maupun telepon seluler di dalam Lapas, yang merupakan alat
utama bagi para bandar untuk menjalankan transaksi narkoba dari dalam
Lapas. Pengetatan pengawasan terhadap pegawai Lapas dimaksudkan
untuk mencegah agar mereka tidak menyalahgunakan kedekatannya
dengan warga binaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Jika pembinaan di dalam Lapas dihadapkan pada permasalahan


kurang personel dan anggaran, permasalahan serupa juga terjadi pada
pembinaan yang dilakukan oleh panti rehabilitasi. Kekurangan personel
mengakibatkan mereka merekrut tenaga pendamping dari para mantan
pengguna narkoba. Perekrutan para mantan itu di satu sisi sangat bagus,
karena bisa menularkan pengalaman yang dimiliki untuk dapat terlepas

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


496 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
dari jeratan narkoba. Namun jika tidak hati-hati, perekrutan personel
pendamping dari mantan pengguna itu bisa membahayakan jika mereka
tidak dipersiapkan secara baik. Selain personel yang direkrut harus yang
benar-benar sudah tidak menggunakan narkoba, mereka juga harus
diberi pelatihan yang memadai supaya tidak melakukan kesalahan dalam
pendampingan.

Untuk mengikutsertakan dalam pelatihan itulah panti rehab swasta


terutama, sering mengalami kendala dana. Kendala dana itu juga
dialami untuk menampung para residen. Walaupun mereka diharuskan
membayar, namun uang pembayaran sering tidak mencukupi untuk
membiayai kegiatan dan memberi makan kepada para residen selama
dalam rumah rehabilitasi. Hal itu karena pihak panti tidak dapat menarik
biaya yang besar dari masyarakat, lebih-lebih jika klien yang direhabilitasi
berasal dari golongan ekonomi lemah. Diakui bahwa ada bantuan dana
dari pemerintah kepada panti rehabilitasi, namun selain jumlah bantuan
masih belum mencukupi, bantuan juga hanya boleh diperoleh dari satu
instansi. Karena kondisi yang serba terbatas itulah maka banyak panti
rehab swasta yang menyediakan fasilitas rehabilitasi secara sederhana.
Karena keterbatasan yang dimiliki, panti rehab juga sulit untuk menerima
lebih banyak residen; padahal di luar sebetulnya banyak pengguna yang
sudah mengantre untuk direhabilitasi. Antrean itu terjadi karena panti
rehabilitasi yang disediakan oleh pemerintah, yang notabene memberikan
layanan rehabilitasi secara gratis, juga hanya mampu menyediakan
tempat yang terbatas.

Jika kondisi seperti itu tidak segera diatasi, maka banyak pecandu
yang sudah insyaf dan ingin direhabilitasi bisa mengalami frustrasi. Oleh
karena itu satu-satunya cara yaitu pemerintah perlu lebih memperbanyak
tempat rehabilitasi. Banyaknya tempat rehabilitasi yang disediakan
oleh pemerintah, maka akan banyak pecandu yang dapat tertangani.
Jika sosialisasi untuk pencegahan bahaya narkoba sudah dilaksanakan
dengan baik, dan para pecandu sudah berhasil direhabilitasi, maka ke
depan jumlah penyalahguna narkoba akan semakin berkurang; dan seiring
dengan itu, jumlah pengedar dan bandar juga akan semakin berkurang.

Walaupun rehabilitasi diakui sudah banyak mengantarkan para


pecandu narkoba untuk insyaf, namun permasalahan yang terjadi saat ini

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 497
yaitu menjaga agar pecandu yang sudah insyaf itu tidak akan mengulangi
kembali perilakunya mengonsumsi narkoba (relapse). Untuk itu bukan
hanya masyarakat yang perlu dipersiapkan untuk menerima kembali
para mantan pemakai narkoba, tapi keluarga juga harus dipersiapkan
untuk menerimanya. Jika tidak, maka terbuka kemungkinan para mantan
pecandu akan kembali ke komunitas pemakai narkoba, karena di sanalah
mereka bisa diterima.

Jika rehabilitasi merupakan cara terakhir untuk menyadarkan


kepada para pecandu, tidak demikian dengan para pengedar. Oleh karena
pada umumnya mereka menjadi pengedar karena alasan ekonomi, maka
lapangan kerja menjadi solusi bagi mereka jika sudah terlepas dari Lapas.
Seorang mantan bandar yang sudah bebas dari lapas, namun mereka
tidak memiliki pekerjaan, besar kemungkinan mereka akan mengulangi
lagi perbuatannya sebagai pengedar.

Permasalahannya narkoba sebetulnya bukan hanya sekedar


masalah bandar, pengedar atau pemakai narkoba. Lebih dari itu, aparat
penegak hukum juga menjadi pihak yang harus dibina. Banyaknya oknum
aparat penegak hukum yang oleh masyarakat diindikasikan sebagai
backing narkoba, juga merupakan tantangan tersendiri yang dihadapi oleh
Polri. Selain menjatuhkan citra Polri di masyarakat, perilaku oknum aparat
yang seperti itu juga sangat menghambat pemberantasan peredaran dan
penyalahgunaan narkoba. Untuk itu, hukuman yang sangat berat harus
diberikan kepada oknum aparat yang menyalahgunakan wewenangnya.

Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi


498 PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018
Studi Kualitiatif Pada Survei Prevalensi
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA 2018 499

Anda mungkin juga menyukai