Anda di halaman 1dari 11

2.

1 Aliran Progresivisme

2.1.1 Progresivisme dalam Pengertian dan Sejarah

Progresivisme secara bahasa dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan kemajuan-kemajuan
secara cepat cepat. Dalam konteks filsafat pendidikan, progresivisme merupakan suatu aliran yang
menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekedar upaya pemberian sekumpulan pengetahuan kepada
subjek didik , tetapi hendaklah berisi berbagai aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan
berpikir mereka secara menyeluruh, sehingga mereka dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara
ilmiah seperti penyediaan ragam data empiris dan informasi teoritis, memberikan analisis, pertimbangan
dan pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk pemecahan
masalah yang tengah dihadapi. Dengan kemampuan berpikir yang baik, subjek didik akan menghasilkan
keputusan-keputusan terbaik pula untuk dirinya dan masyarakat serta mudah beradaptasi dengan
lingkungan. (Muhmidayeli, 2013)

Para progresivis berkeyakinan bahwa manusia secara ilmiahmemiliki kemampuan-kemampuan yang


wajar dan dapat menghadapi dan atau mengatasi berbagai problem kehidupannya menuju suatu
perkembangan yang lebih baik, yang mengarah kepada suatu progress. Pendidikan dalam hal ini
dipaandang sebagai suatu motor bagi penumbuhkembangan kemampuan dasar subjek didik agar
mampu memecahkan kesulitan-kesulitan yang memiliki hubungan strategis dengan pertumbuhan sikap
kemandirian subjek didik dalam pengambilan keputusan berdasarkan cara-cara yang logis dan dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Slogan yang pantas untuk aliran ini adalah bahwa dari kepekaan
subjek didik terhadap berbagai problem yang ada disekitarnya, akan muncul keinginan; dari keinginan
akan muncul kreativitas dari kreativitas akan muncul prediksi dan dari prediksi akan muncul aksi yang
akan membawa pada perubahandan kemajuan. (Dardiri, 2009)

Secara historis, progresivisme telah muncul pada abad ke 19, namun baru berkembang secara pesat
pada abad ke-20, terutama di negara Amerika Serikat. Bahkan pemikiran yang dikembangkan aliran ini
pun sesungguhnya memiliki benang merah yang secara tegas dapat dilihat sejak zaman Yunani Kuno,
seperti Heraklitos (544-450 M), Protagoras (480-410 M), Socrates (469-391 M), dan Aristoteles (384-322
M). (Muhmidayeli, 2013)

Sebagai sebuah aliran filsafat pendidikan, progresivisme lahir sebagai protes terhadap kebijakan-
kebijakan pendidikan konvensional yang bersifat formalis tradisionalis yang telah diwariskan oelh filsafat
abad ke-19 yang dianggap kurang kondusif dalam melahirkan manusia-manusia sejati. Aliran ini
memndang bahwwa metodologi pendidikan konvensional yang menekankan pelaksanaan pendidikan
melalui mental dicipline, passive learning yang telah menjadi karakteristik pendidikan selama ini tidak
sesuai dengan watak humanitas manusia yang sebenarnya. (Muhmidayeli, 2013)

Progresivisme muncul dari tokoh-tokoh filsafat pragmatis seperti Charles S. Peirce, William James dan
John Dewey dan eksperimentalisme, seperti Francis Bacon. Tokoh lain yang juga ,memicu lahirnya aliran
ini adalah John Locke dengan ajaran filsafatnya tentang kebebasan politik dan J.J Rousseau dengan
ajarannya yang meyakini bahwa kebaikan berada dalam diri manusia dan telah dibawanya sejak lahir
dan oleh karena itu ialah yang harus mempertahankan kebaikan itu agar selalu ada dalam dirinya.
(Muhmidayeli, 2013)

Dalam konteks pendidikan, perkembangan progresivisme tidak dapat dilepaskan dari pemikiran John
Dewey yang menyatakan bahwa hidup selalu berubah dan selalu menuju pembaharuan-
pembaharuan.oleh karena itu pendidikan mestilah dianggap sebagai alat sekaligus juga pembaharuan
hidup, sehingga dalam hal ini, sekolah juga mesti dianggap sebagai kebutuhan manusia untuk hidup dan
sebagai pertumbuhan bagi gerak maju suatu masyarakat. (Dardiri, 2009)

2.1.2 Landasan Filosofis Progresivisme

Progresivisme beranggapan bahwa kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh manusia tidak lain
adalah karena kemampuan manusia dalam mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan berdasarkan
tata logis dan sistematisasi berpikir ilmiah. Oleh karena itu, tugas pendidikan adalah melatih
kemampuan-kemampuan subjek didiknya dalam memecahkan berbagai masalah kehidupan yang
mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupannya dalam masyarakat.
(Dardiri, 2009)

Sebagai pragmatis, aliran ini memandang ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang bermanfaat karena
merupakan sarana bagi kemajuan manusia. Ilmu pengetahuan dalam hal ini sangat dinamis dan berubah
sesuai dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. (Dardiri, 2009)

Manusia pada hakikatnya akan selalu menunjuk ke arah kemajuan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan
mestilah berfungsi sebagai wahana tumbuh kembang daya kreativitas subjek didiknya. Semangat
berbuat dan mengadakan perubahan yang tentu berguna bagi pengembangan diri dan masyarakatnya.
Semangat mengadakan pendidikan tanpa tanpa memberikan perhatian penuh pada kemampuan subjek
didik secara individu. Oleh karena itu, azas kebebasan individu dan demokrasi mestilah pula menjadi
landasan bagi keseluruhan aktivitas pembelajaran pada lembaga pendidikan.

Aliran ini bersikap anti pada sikap otoritarianisme dan absolutisme dalam segala bentuknya. Hal ini
mengingat bahwa baginya sikap ini sangat tidak menghargai kemampuan dasar manusia secara natural
akan selalu mampu menghadapi dan memecahkan berbagai kesulitan hidup. (Dardiri, 2009)

Progresivisme berpendapat bahwa akal manusia bersifat aktif dan selalu ingin mencari tahu dan
meneliti, sehingga ia tidak mudah menerima begitu saja suatu pandangan atau pendapat sebelum ia
benar-benar membuktikan kebenarannya secara empiris. Ilmu pengetahuan lahir berdasarkan pada
pembuktian-pembuktian eksperimentasi di dunia empris. (Dardiri, 2009)

2.1.3 Pandangan Progresivisme tentang Pendidikan

Aliran ini berpendapat bahwa pendidikan mestilah dimaknai sebagai sebuah proses yang berlandaskan
pada asas pragmatis. Dengan asas ini pendidikan bertujuan untuk memberikan pengalaman empiris
kepada anak didik sehingga terbentuk pribadi yang selalu belajar dan berbuat. Belajar mesti pula
terpusat pada anak didik, buka pada pendidik. Pendidik progresif selalu melatih anak didiknya untuk
mampu memecahkan problem-problem yang ada dalam kehidupan. Seorang progresif mesti menggiring
pemahaman kepada anak didiknya, bahwa belajar adalah suatu kebutuhan anak didik dan ialah yang
ingin belajar. Oleh krena itu, anak didik progresif mesti selalu mampu menghubungkan apa yang ia
pelajari dengan kehidupannya. (Rukiyati, 2009)

Inti proses pendidikan bagi aliran ini terdapat pada anak didik, karena anak didik dalam konsepnya
adalah manusia yang memiliki potensi rasio dan intelektual yang akan berkembang melalui
pengkondisian pendidikan. Kendatipun demikian, anak didik mesti menentukan sendiri proses
belajarnya. Eksistensinya memerlukam bimbingan dan pengarahan dari para pendidik. (Rukiyati, 2009)

2.1.3 Penerapan Aliran Progresivisme dalam Pendidikan di Indonesia

Penerapan aliran progresivisme dalam pengembangan pendidikan Indonesia sangat


berpengaruh besar, karena progresivisme disini merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan
memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik” dan aliran ini juga telah
meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberi kebaikan,
baik fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam
dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain dan ini sangat bagus dalam
pengembangan pendidikan di Indonesia.

Peran pendidikan progresivisme selalu menekankan akan tumbuh dan berkembangnya pemiiran dan
sikap mental, baik dalam pemecahan masalah maupun kepercayaan kepada diri sendiri bagi peserta
didik. (Dardiri, 2009)

2.2 Aliran Esensialisme

2.2.1 Esensialisme dalam Pengertian dan Sejarah

Filsafat esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan ide filsafat idealism-
objektif di satu sisi dan realism objektif di sisi lainnya. Sebagai sebuah aliran filsafat, esensialisme telah
lahir sejak zaman renaissance, bahkan dapat dikatakan zaman aristoteles. (George, 1982)

Esensialisme secara formal memang tidak dapat di hubungkan dengan berbagai tradisi filsafat, tapi
compatible dengan berbagai pemikiran filsafaat. Pada zaman ini telah muncul upaya-upaya untuk
menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan seni serta kebudayaan purbakala, terutama zaman
yunani dan romawi. (George, 1982)

Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran ini memiliki cirri utamanya yang menekankan, bahwa
pendidikan mesti dibangun di atas nilai-nilai yang kukuh,, tetap stabil. Kemunculan nya adalah reaksi
atas kecenderungan kehidupan manusia pada yang serba duniawi, ilmiah, pluralistic, dan materialistik,
akibat dari prinsip pendidikan yang fleksible, terbuka untuk segala perubahan. Kondisi dunia yang telah
merusak tatanan humanitas menjadi perhatian kelompok esensialime. (Muhmidayeli, 2013)
Aliran ini beranggapan, bahwa manusia pelu kembali pada kebudayaan lama, yaitu kebudayaan yang
telaah ada semenjak peradaban manusia yang pertama. Kebudayaan lama itu telah banyak
membuktikan kebaikan-kebaikannya untuk manusia. Tokoh-tokoh yang tercatat sepanjang sejarah
antara lain Desiderius Erasmus, Johann Amos Comenius (1592-1670), Johann Hendrich Pestalozzi (1746-
1827) John loke (1632-1704) John frederich froeble dan masih banyak tokoh yang lain. (Muhmidayeli,
2013)

2.2.2 Landasan filosofis Esensialisme

Esensialisme memandang manusia adalah bagian dari alam semesta yang bersifat mekanis dan tunduk
pada hukum-hukum nya yang objektif-kausalitas nya, maka ia pun secara nyata terlibat dan tunduk pada
hukum-hukum alam. Dengan demikian, manusia selalu bergerak dan berkembang sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum natural yang bersifat universal. Hukum universal lah yang mengatur semua
makrokosmos yang meliputi aturan benda-bend, energy, ruang dan waktu bahkan juga pikiran manusia.
(Rukiyati, 2009)

Aliran ini berpendapat, bahwa sumber segala pengetahuan manusia terletak pada keteraturan
lingkungan hidupnya. Dalam bidang aksiologi, nilai bagi aliran ini, seperti kebenaran, berekar dalam dan
berasal dari sumber yang objektif. Sumber ini merupakan perpaduan dari idealism dan realisme.
Pemahaman objektif atas fakta dan peristiwa dalam kehiduapan juga menjadi pertimbangan
proposional dalam ekspresi keinginan, rasa suka, kagum, tidak suka ada penolakan yang akhirnya
melahirkan predikat baik dan buruk terhadap sesuatu. (George, 1982)

Imanuel Kant seorang tokoh idealism modern mengemukakan bahwa asas dasar tindakan moral atas
hukum moral adalah apa yang di sebutnya sebagai categorical-imperative, yaitu rrasa kewajiban dan
tugas tanpa syarat dan predikat seperti taat atau loyal terhadap suatu norma. Setiap manusia harus
melakukan sesuatu, sebab kebaikan senantiasa bersifat universal. (George, 1982)

2.2.3 Pandangan Esensialisme tentang Pendidikan

Kelompok esensialisme memangdang bawa pendidikan yang di dasari pada nilai-nilai yang fleksible
dapat menjadikan pendidikan ambivalen dan tidak memiliki arah dan orientasi yang jelas, oleh karena
itu, agar pendidikan memiliki tujuan yang jelas dan kukuh yang akan mendatang kan kestabilan. Untuk
itu perlu disiplin nilai yang mempunyai tata yang jelas dan teruji oleh waktu. (Dardiri, 2009)
Esensialisme memberikan penekanan upaya kependidikan dalam hal pengujian ulang materi-materi
kurikulum memberikan pembedaan-pembedaan esensial dan non-esensial dalam berbagai program
sekolah dan memberikan kembali pengukuhan autoritas pendidik dalam suatu kelas di sekolah.
Esensialis percaya bahwa pelaksanaan pendidikan memerlukan modifikasi dan penyempurnaan sesuai
dengan kondisi manusia yang bersiifat dimanis dan selalu berkembang. (Dardiri, 2009)

Para esensialis juga percaya bahwa proses belajar adalah proses penyesuaian diri individu dengan
lingkungan dalam pola stimulus dan respon. Dalam hal ini guru alah sebagai agen untuk memperkuat
pembentukan kebiasaaan dalam rangka penyesuain dengan lingkungan tersebut. (Muhmidayeli, 2013)

Para esensial juga sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh progresivme bahwa belajar tidak akan
sukses tanpa didasarkan dengan berbagai kapasitas, inters dan tujuan subjek belajar. Namun aliran ini
juga yakin bahwa kesemuanya itu mesti melalui kemampuan dan ketrampilan mengajar guru. Karena
guru yang berkualitas dapat melahirkan peserta didik yang berkualitas pula. (Muhmidayeli, 2013)

2.2.4 Penerapan Aliran Esensialisme dalam Pendidikan di Indonesia

Penerapan aliran esensialisme di Indonesia adalah dengan menggunakan metode pendidikan


yang berpusat kepada guru (Teacher Centered). Umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul
mengetahui apa yang diinginkan dan mereka harus dipaksa belajar. Metode utama adalah latihan
mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas, penguasaan pengetahuan, misalnya melalu
penyampaian informasi dan membaca.

Peranan guru kuat dalam mempengaruhi dan menguasai kegiatan-kegiatan di kelas. Guru berperan
sebagai sebuah contoh dalam pengawasan nilai-nilai dan penugasan pengetahuan atau gagasan.
(Dardiri, 2009)

2.2 Aliran Perenialisme

2.2.1 Perenialisme dalam Pengertian dan Sejarah


Perenialisme dengan kata dasarnya parenial, yang berarti continuing troughout the whole year atau
lasting for a very long time, yakni kekal yang terus ada sampai akhir. Dalam pengertian yang lebih umum
dapat dikatakan bahwa tradisi di pandang juga sebagai prinsip-prinsip yang abadi dan terus mengalir
sepanjang sejarah manusia, karemna ia adalah anugerah tuhan pada semua manusia dan memang
merupakan hakikat insaniah manusia. (George, 1982)

Perenialisme, sesuai dengan namanya yang berarti segala sesuatu yang ada sepanjang sejarah manusia,
melihat bahwa tradisi perkembangan intelektual yang pada zaman yunani kuno dan abad pertengahan
yang telah terbukti dapat memberikan solusi bagi berbagai problem kehidupan masyarakat perlu
digunakan dan di terapkan dalam menghadapi alam modern yang sarat dengan problem kehidupan.
(George, 1982)

Kondisi dunia modern yang sangat mengandalkan rasionalitas empiris positivistis yang memandang
kebenaran dalam konteks nya yang serba terukur, teramati dan teruji secara inferensial yang melihat
realitas sebagai seuatu yang serba materi, telah pula memunculkan berbagai problem kemanusiaan,
sepeti munculnya sikan ambivalence yang mencekam dan mendatangkan kebingungan, kebimbangan,
kekakuan, kecemasan, ketakutan dalam beringkah laku, sehingga manusia hidup dalam ketidak
menentuan dan cenderung kehilangan araeh dan jati dirinya.

Perenialisme secara filosofi memiliki dasar pemikiran yang melekat pada ajaran filsafat klasik yang di
tokohi oleh, plato, aristoteles,augustinus dan Aquinas. Namun istilah ini pertama di pelopori oleh
Augustinus (1497-1548) dalam sebuah karyaya yang berjudul de parennia philosophia yang di terbitkan
pada tahun 1540 M. istilah ini lebih popular lagi di tangan Leibniz yang di gunakan dalam suratnya
kepada remundo yang di tulisnya pada tahun 1715 M. perenialisme di tokohi oleh Robert Maynard
Hutchins, Mortimer J.Adler, dan Sir Richard Livingstone. (Rukiyat, 2009)

2.2.2 Landasan Filosofis Perenialisme

Aliran ini memandang bahwa hakikat manusia sebagai mahluk rasional yang akan selalu sama bagi
setiap manusia dimanapun sampai kapanpun dalam perkembangan historisitasnya. Keyakinan
ontologism sedemikian, membawa mereka pada suatu pemikiran, bahwa kkemajuan dan keharmonisan
yang di alami oleh manusia di suatu masa akan dapat pula di terapkan pada manusia-manusia yang lain
pada masa yang berbeda, sehingga kesuksesan masa lalu dapat pula di terapkan untuk memecahkan
problem masa sekarang dan masa akan dating bahkan sampai kapanpun dan dimana pun.
(Muhmidayeli, 2013)

Menurut psikologi Plato, manusia pada hakikatnya memiliki tiga potensi dasar yaitu, nafsu, kemauan,
dan pikiran. Ketiga potensi ini merupakan asas bagi bangunan kepribadian dan watak manusia. Ketiga
potensi ini akan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan, sehingga ketiganya berjalan seimbang
dan harmonis. Manusia yang memiliki potensi rasio yang besar akan manusia kelas pemimpin, kelas
social yang tinggi. (Muhmidayeli, 2013)

Hal yang senanda juga di ungkap kan oleh Aristoteles dengan mengatakan bahwa kebahagiaan hidup
sebagai tujuan pendidikan itu sendiri dapat terealisasi jika ketiga komponen potensi dasarnta terdidik
dan berkembang secara seimbang. Harmonisasi fungsionalitas tiga potensi dasar manusia dalam
kehidupan nya. Oleh karena itu, pengisian pendidikan pada ketiga aspek tersebut merupakan
keniscayaan. Pendidik bertugas memberikan bantuan kepada subjek-subjek didik nya untuk
mewujudkan potensi-potensi yang ada padanya agar menjadi aktif., nyata dan actual memalui latihan
berfikir secara baik dan benar. (Muhmidayeli, 2013)

Aliran ini berkeyakinan bahwa kendatipun dalam lingkungan dan tempat yang berbeda-beda, hakikat
manusia tetap menunjukkan kessamaanya. Oleh karena itu, pola dan corak pendidikan yang sama dapat
di terapkan pada siapapun dan dimanapun ia berada. Menurutnya setiap manusia memiliki fungsi
kemanusiaan yang sama, karena memang terlahir pada hakikat yang sama. Aliran ini berpendapat
bahwa rasionalitas adalah hukum peratamyang akan tetap benar di segala tempat dan zamannya.
Dengan prinsip rasionalitas ini pula perenialisme berhadapan dengan persoalan adanya prinsip
kesadaran dan kebebasan dalam gerak kehidupan manusia. (Muhmidayeli, 2013)

Pendidikan dalam teori ini dimaknai sebagai suatu aktivitas yang mengaksentuasikan programnya pada
perubahan dan perbaikan. Pengembangan ilmu pengetahuan terus diraih oleh manusia modern di alam
modern. (Muhmidayeli, 2013)

Mortimer J. Adler sebagai salah satu pendukung parenialisme ini mengatakan bahwa jika seseorang
manusia adalah mahluk rasional yang merupakan hakikat yang senantiasa seperti itu sepanjang sejarah.
Dia juga mengungkapkan bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki kamempuan intelektual yang
tampak dalam kapsitasnya sebagai subjek yang aktif dan dapat melakukan tindakan-tindakan seni,
membaca, mendengar, menulis, berbicara serta berfikir. Aristoteles sebagai salah satu tokoh yang
menjadi rujukan aliran ini menekankan, bahwa melatih dan membiasakan diri merupakan hal yang
mendasar bagi pengembangan kualitas manusia. Oleh karena itu, kesadaran disiplin mesti di tanamkan
sejak dini. (Muhmidayeli, 2013)

2.2.3 Pandangan Parenialisme tentang Pendidikan

Robert M. Hutchins, salah seorang tokoh parenialisme menyimpulkan bahwa, tugas pokok pendidikan
adalah pengajaran. Pengajaran menunjukan pengetahuan, pengetahuan itu sendiri adalah kebenaraan.
Kebenaran pada setian manusia adalah sama, oleh karena itu, dimanapun dan kapanpun ia akan selalu
sama.

Mortimer J. Adler menyebutkan bahwa mengingat esensi manusia ada pada rasionalitas, maka faktor
intelektualitas memerlukan perhatian khusus manusia sebagai manusia. Esensi pendidikan general di
sini selaluberkenaan dengan kehidupan intelektuali. (Rukiyati, 2009)

Pendidikan menurut aliran ini bukan lah semacam imitasi kehidupan, tetapi tidak lain adalah suatu
upaya mempersiapkan suatu kehidupan. Sekolah menurut kelompok ini tidak akan pernah menjadi
situasi kehidupan yang riil. Tugasnya adalah bagaimana merealisasikan nilai-nilai ynag di wariskan
kepadanya dan jika memungkinkan meningkatkaan dan menambah presentasi-presentasi melalui usaha
sendiri. (Rukiyati, 2009)

Prinsip mendasar pendidikan bagi aliran parenial ini adalah membantu subjek-subjek didik menemukan
dan menginternalisasikan kebenaran abadi, karena memang kebenaran mengandung sifat universal
yang tetap. Kebenaran-kebenaran seperti ini hanya dapat di peroleh subjek-subjek didik melalui latihan
intelektual yang dapat menjadikan pikirannya teratur dan tersisiteminasi sedimikian rupa. Hal ini
semakin penting terutama jika di kaitkan dengan persolan pengembangan spiritual manusia. (Dardiri,
2009)

Aliran ini menyakinkan bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran abadi.
Pengetahuan adalah suatu kebenaran sedangkan kebenaran selamanya memiliki kesamaan. Oleh karena
itu pula, maka penyelenggaraan pendidikan pun dimana mana mestilah sama. Pendidikan mestilah
mencari pola agar subjek-subjek didik dapat menyesuaikan diri bukan pada dunia saja, tetapi hendaklah
pada hakikat-hakikat kebenaran. (Dardiri, 2009)

Tugas utama perenialisme adalah mempersiapkan peserta didik kearah kematangan rasiaonalitas dalam
menghadapi berbagai problema dan kesulitan kehidupan. Tugas guru dalam aliran ini tentu lebih
membimbing dan membantu peserta didik agar memiliki kemampuan intelektual dan soiritual yang
memadain untik menghadapi problema kehidupan. Pada tingkat perguruan tinggi alira inimenekankan
bahwa materi pembelajaran mestilah bersendikan filsafat, karena filsafat ini pada dasarnya adalah cinta
intelektual dari tuhan. Dan hanya dengan cara demikian, dunia akademi di topang oleh sendi-sendi
yang kuat dalam menghadapi realitas kehidupannya dalam masyarakat. (Dardiri, 2009)

2.2.4 Penerapan Aliran Perenialisme dalam Pendidikan di Indonesia

Penerapan aliran perenialisme dalam pendidikan di Indonesia adalah anak didik diharapkan
mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi pengembangan displin mental. Tugas
utama pendidikan adalah mempersiapakan peserta didik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup
akalnya jadi akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut. (Dardiri, 2009)

Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan
melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan sebagai tugas utama dalam pendidikan
adalah guru-guru, dimana tugas pendidikanlah yang memberikan dan pengajaran ke anak didik. Faktor
keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik
dan mengajarkan. (Dardiri, 2009)

Filsafat elektik

Filsafat eklektik pada hakikatnya adalah ingin memilih yang terbaik dari banyak pendekatan. Istilah ini
secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu eklektikos, yang artinya memilih atau menyeleksi.
Eklektik adalah menggabungkan hal-hal yang berbeda, yang sebenarnya tidak cocok satu sama lain, jadi
satu mosaik tersendiri.

Pendekatan tidak melihat bahwa hal-hal yang dipilih itu secara natural, fundamental, cocok dan dapat
diintegrasikan, tetapi sekadar menggabung-gabungkan apa yang baik menjadi satu kesatuan. Karena itu,
pendekatan eklektik sering kali dianggap sebagai pendekatan yang tidak elegan, gabungan kompleks
yang tidak jelas, jauh dari kesederhanaan berpikir secara nalar, serta sering kali dianggap tidak memiliki
konsistensi dalam pemikiran.

Menurut Dodi : inkonsistensi pemikiran dan pemaksaan sebuah ide dalam sebuah sistem besar
Kurikulum 2013 adalah sebuah ken

Anda mungkin juga menyukai