Anda di halaman 1dari 7

Nama : Lucya marcelina nai selo

Nim : 1913020020
Prodi/Kelas : MSP/A

A. Berikan 5 contoh kasus yang terkait dengan kegagalan mengelola lingkungan !

Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya
alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah
maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti
keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut. Lingkungan juga dapat
diartikan menjadi segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan mempengaruhi
perkembangan kehidupan manusia.
Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang
tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan
komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia
dan mikro-organisme (virus dan bakteri).
Ada beberapa kegagalan paradigma pembangunan dalam praktek pengelolaan lingkuan di
Indonesia. Beberapa kasus yang gagal dalam mengelola lingkungan di Indonesia yaitu
sebagai berikut :

1. Kegagalan pertama, pembangunan gagal menempatkan laut sebagai ruang hidup


menyatukan.

Dengan komposisi sekitar 60 persen rakyat Indonesia tinggal di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil, bahkan sebagian rakyat di antaranya ada yang melanjutkan tradisi hidup di atas
laut, kondisi ini jelas merugikan. Lalu, penyeragaman pembangunan kota-kota pantai dan
modal transportasi cenderung mengarah pada wilayah daratan, seperti di Pulau Jawa, telah
menyulitkan akses antarpulau di timur Indonesia yang membutuhkan moda transportasi
laut.
Belakangan, laut juga diposisikan sebagai tong sampah raksasa dengan adanya 5,3 juta ton
dari 7 juta ton limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) memenuhi lingkungan dan muara
sungai di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia for
Global Justice dan Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) ini,
celakanya, pemerintah justru membiarkan dan menerima pasokan limbah bahan berbahaya
dan beracun (B3) yang datang dari berbagai negara, seperti dari Jepang, Cina, Prancis,
Jerman, India, Belanda, dan Korea. Di Nusa Tenggara Barat, misalnya, ada 140 ribu ton
limbah  tailing dari PT Newmont Nusa Tenggara yang setiap hari dibuang ke Teluk
Senunu. Selain lingkungan, kehidupan nelayan secara ekonomi, sosial, dan budaya
terpuruk. Minimnya instrumen pertahanan dan keamanan di laut membuat semakin
suburnya praktek kejahatan di kepulauan Indonesia, seperti pencurian ikan, penyelundupan
kayu, narkoba, sampai perdagangan antarmanusia. Indonesia dikondisikan jadi negara
kontinen. Market di luar, kalau negara kelautan, pasar di dalam. "Kini kondisinya lebih
murah kirim ikan dari Sulawesi ke Vietnam daripada ke Jawa serta hilangnya
pertimbangan dimensi sosial budaya kelautan dalam tiap tahapan diplomasi internasional
yang mengikat Indonesia.

2. Kegagalan RI Kelola Hutan Ciderai HAM dan Lingkungan

Tata kelola sektor kehutanan Indonesia dinilai gagal karena praktik korupsi dan salah urus
pemerintah yang berdampak serius terhadap hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
Penebangan liar dan salah urus sektor kehutanan menyebabkan kerugian pemerintah
Indonesia lebih dari US$7 miliar periode 2007-2011. Dalam laporan HRW 2009, “Wild
Money,” disebutkan negara kehilangan sekitar US$2 miliar pada 2006 dari sektor kehutanan.
Penyebabnya, seperti, pembalakan liar, subsidi siluman, termasuk penetapan harga kayu dan
nilai tukar mata uang yang dipatok lebih rendah untuk menghindari pajak. Dalam analisis
HRW terbaru, terjadi kenaikan kerugian negara sektor kehutanan pada 2011 menjadi US$2
miliar. Sejak rilis Wild Money sampai saat ini jika ditotal kerugian negara sekitar US$7
miliar. Pemerintah berupaya berbenah dengan membuat beberapa kebijakan kehutanan lalu
memberi label model “pertumbuhan hijau.” Dalam praktik, sebagian besar penebangan di
Indonesia tak tercatat dan fee dipatok sangat rendah, hukum dan peraturan pun tetap
diabaikan. Kebijakan “pembakaran nol” dan moratorium hutan tak berjalan memadai.

Baru-baru ini kebakaran hutan dan lahan kembali terulang yang menyebabkan asap di
berbagai daerah di Indonesia dan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Joe
Saunders, Wakil Direktur Program HRW mengatakan, persoalan asap bukan satu-satunya
bukti nyata kerusakan akibat kegagalan Indonesia dalam mengelola hutan secara efektif.
“Penegakan hukum lemah, salah urus, dan korupsi bukan hanya menyebabkan asap, juga
penyebab hilangnya miliaran dollar per tahun,” katanya dalam rilis kepada media.

Kehilangan pendapatan yang signifikan menyumbang pada perkembangan mengecewakan


pemerintah pada sejumlah isu hak asasi manusia, terutama terkait layanan kesehatan di
pedesaan. “Dana yang seharusnya bisa untuk meningkatkan kesejahteraan publik tersedot
memperkaya segelintir orang dan hilang percuma karena salah urus.” Pemerintah Indonesia
juga membuat sistem sertifikasi legalitas kayu dan UU Keterbukaan Informasi guna
membenahi tata kelola hutan tetapi masih jauh dari harapan. Masyarakat yang tinggal di
hutan, salah satu kelompok termiskin di negara ini, sangat dirugikan dengan sistem yang ada.
Banyak masyarakat mempunyai hak yang tercantum dalam UU Dasar 1945 untuk
menggunakan tanah hutan dan mendapatkan ganti rugi. Sayangnya, sistem sertifikasi legalitas
tak memperhitungkan apakah  kayu diperoleh dengan melanggar hak masyarakat atas tanah
hutan. Dalam catatan HRW, meningkatnya keperluan tanah untuk perluasan perkebunan
menciptakan sengketa tanah sarat kekerasan. Paling parah di Sumatra, sebagian besar
perkebunan sawit dan pulp di Indonesia juga titik kebakaran hutan tahun ini. Pemerintah
gagal mematuhi peraturan sendiri, dengan menerbitkan konsesi di lahan yang diklaim
masyarakat dan kegagalan menuntut pertanggungjawaban perusahaan yang legal melanggar
kesepakatan ganti rugi. Kondisi ini memicu peningkatan sengketa agraria. Contoh, tahun
2011, sengketa berkepanjangan dengan perkebunan sawit di Kabupaten Mesuji, Sumatera
Selatan (Sumsel) memicu kekerasan antara warga dengan keamanan perusahaan. Dua petani
dan tujuh karyawan perusahaan tewas.

Jika pemerintah tak fokus pengawasan dan penegakan hukum, sektor kehutanan akan makin
memburuk. Indonesia, penghasil sawit dan pemain industri pulp dan kertas terbesar di dunia.
Indonesia masih berencana meningkatkan produksi minyak sawit dan pulp yang akan
berisiko hak asasi manusia jika sumber daya tak dikelola bertanggung jawab.

Sektor kehutanan, dengan keperluan tanah yang luas dan perampasan tanah masyarakat,
dikenal luas di seluruh dunia karena dampak berkepanjangan pada hutan dan masyarakat
sekitar hutan.“Pemerintah Indonesia menjual perluasan sektor kehutanan sebagai contoh
pertumbuhan hijau berkelanjutan dan menangkap penangkal perubahan iklim dan
kemiskinan. Namun bukti-bukti di lapangan menunjukkan sebaliknya.

hutan Teluk Tomori, Morowali, Sulawesi Tengah ini yang gundul dan porak poranda karena
tambang. Tak hanya sawit dan kebun kayu yang menyumbang keburukan rapor tata kelola
hutan di Indonesia, juga sektor tambang. Foto: Jatam Sulteng
3. Kegagalan Konsep Penataan Ruang Jakarta: Banjir Jakarta dan Sekelumit Penyebabnya

Banjir Jakarta yang membuka tahun 2020 adalah salah satu bukti bahwa Ibukota Negara
sedang tidak baik-baik saja. Sebagai kota terbesar di Indonesia yang padat penduduknya,
maka kepadatan tersebut juga tentu saja sejalan dengan berkembangnya pembangunan, baik
dalam kawasan pemukiman sampai dengan pengembangan infrastruktur. Kegiatan tersebut
kenyataannya tidak hanya memiliki dampak positif namun juga turut memberikan dampak
negatif. Hingga kini, disadari dampak merugikan yang selalu terjadi adalah bencana banjir.
Banyak hal yang menyebabkan terjadinya bencana ini, salah satunya adalah kacaunya konsep
penataan ruang yang diakibatkan oleh banyaknya pengembangan infrastruktur yang tidak
sejalan dengan prinsip keberlanjutan lingkungan hidup.

Pentingnya kesadaran akan keselarasan antara keberlanjutan lingkungan hidup dengan


perkembangan pembangunan tentu saja erat kaitannya dengan konsep penataan ruang yang
semestinya. Keadaan ini juga diperkuat dengan banyaknya pembangunan infrastruktur di
Jakarta yang sedang berjalan dan secara langsung memanfaatkan ruang Jakarta, diantaranya
adalah pembangunan kereta api cepat milik PT KCIC dan pembangunan jalur Light Rapid
Transit  (LRT) di sekitar kawasan ruas jalan tol. Namun pada prosesnya, pengembangan
infrastruktur ini justru menutup akses drainase ruang kota di wilayah DKI Jakarta ditambah
dengan semakin gundulnya pohon-pohon yang seharusnya dapat menyerap genangan air
sehingga intensitas banjir tidak terlalu tinggi.

Penataan ruang kota di Jakarta, seharusnya mengacu pada tiga konsep utama penataan ruang
yaitu perencanaan, pemanfaatan hingga pengendalian pemanfaatan ruang yang pada
praktiknya justru tidak berkesinambungan. Padahal, konsep ini merupakan salah satu wujud
guna mencapai pengelolaan ruang secara bijaksana, berdaya guna dan berhasil guna,  hal ini
juga yang seharusnya menjadi jalan keluar sekaligus tumpuan Pemerintah DKI Jakarta dalam
menyelenggarakan penataan ruang dan menyelesaikan permasalahan banjir. Pembuktian
ketidakselarasan antara konsep dan praktik penataan ruang kota di Jakarta semakin terlihat
dengan bencana banjir yang semakin tahun semakin meningkat kuantitas air menggenangnya.
Ditambah lagi pemukiman padat penduduk yang dibangun semakin marak menyebabkan
banyak ruang yang manfaatkan tidak sesuai dengan peruntukannya.
Lebih lanjut, penyebab lain banjir juga diprakarsai oleh perbedaan kebijakan dalam regulasi 
dan kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan, baik Pemerintah pusat maupun
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta sendiri dalam konsep keruangan. Pembuktian faktor
ini dapat dibuktikan dalam hal pengeluaran Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang
Percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mana menyatakan bahwa PSN dapat
menyesuaikan Rencana Tata Ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR) ataupun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
apabila lokasi PSN tidak memungkinkan untuk dipindahkan. Padahal Jakarta sendiri telah
memiliki RDTR, yang mana dokumen tersebut digunakan sebagai acuan keseluruhan rencana
pembangunan yang ada di wilayah Jakarta.

Penyelenggaraan tersebut harus berangkat dari tiga konsep penataan ruang yang menjadi
kunci utama dalam membenahi sebagian wilayah banjir Jakarta. Diantaranya tertutupnya
saluran drainase yang disebabkan pembangunan yang buruk perencanaan kawasannya,
pemanfaatan ruang yang  seharusnya sesuai dengan kebutuhannya seperti tidak membangun
kawasan pemukiman di kawasan ruang terbuka hijau, hingga pengendalian pemanfaatan
ruang yang dapat dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta melalui pengawasan pembangunan 
yang tidak sesuai  dengan kebutuhannya.

Melihat hal tersebut, maka keruangan di Jakarta yang merupakan salah satu wajah dari
konsep kewilayahan nusantara sebagai gambaran kawasan perkotaan. Semestinya hal ini
dapat berjalan berdampingan dengan pembangunan berkelanjutan seperti halnya
pengembangan infrastruktur yang seharusnya tidak berdampak pada bencana banjir yang
lebih dahsyat lagi, dengan mengutamakan konsep penataan ruang sebagai ujung tombak
keberhasilan keruangan yang terpadu.

4. Pemerintah Gagal Tangani Masalah Kualitas Udara di Jakarta

Kabut tipis menyelimuti udara di salah satu sudut kota Jakarta, Selasa (10/7).
Tingkat polusi di Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat sehingga menyebabkan
pemandangan menjadi berkabut dan mengancam kesehatan pernapasan. (Merdeka.com/Iqbal
S. Nugroho)

Pemerintah pusat didesak mengeluarkan strategi dan rencana aksi yang jelas soal
pengendalian pencemaran dan kualitas udara. Hal tersebut disampaikan Kepala Bidang
Perkotaan dan Masyarakat Urban Lembaga Bantuan Hukum Nelson Simamora di Balai Kota
DKI Jakarta. Nelson sendiri merupakan Tim Advokasi Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara
Koalisi Semesta (Ibu Kota) yang melayangkan notifikasi gugatan warga negara kepada
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Rabu (5/12/2018). Aksi tersebut merupakan
bentuk kekecewaan masyarakat karena pemerintah dinilai gagal menangani isu polusi udara
di DKI Jakarta. Kita punya Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H disebutkan bahwa setiap
orang butuh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Kemudian diturunkan lagi UU nomor
32 tahun 2009 tentang pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup. "Di sana disebutkan
di pasal 65, setiap orang berhak mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat dan itu
merupakan bagian dari hak asasi manusia. Selain itu, Gubernur DKI Jakarta, pihak yang
digugat lain oleh Gerakan Ibu Kota yakni Presiden Republik Indonesia, Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jawa
Barat, dan Gubernur Banten.

5. Pemkot Kupang Dinilai Gagal Wujudkan Peradaban Kota Pesisir

Pemerintah Kota Kupang dinilai gagal untuk mewujudkan peradaban kota pesisir (Maritim)
yang berkelanjutan dan berkeadilan buat warganya. Pernyataan ini disampaikan Direktur
Eksekutif WALHI Nusa Tenggara Timur (NTT).

Beberapa fakta kegagalan tersebut, yakni dalam perspektif keadilan. Saat ini telah terjadi
ketidakadilan antargenerasi di Kota Kupang khususnya ekspresi publik di wilayah pesisir.
Generasi tua, muda, anak-anak yang ada di Periode 1990-an hingga awal 2000-an, masih
bebas akses ke pantai untuk rekreasi atau kepentingan ekonomi. Begitupun ruang kelola
nelayan masih sangat luas. Namun kini, orang tua, muda, dan anak-anak sudah sulit bahkan
tertutup aksesnya ke pantai.

Bahkan pengakuan dari warga, untuk sekadar parkir motor di sekitar hotel yang ada di pasir
panjang saja dilarang oleh pihak keamanan hotel. Di sinilah letak ketidakadilan antar generasi
itu. Kebijakan pemkot di pesisir Kupang yang mengakibatkan ketidakadilan ini terjadi,”
sebutnya. Selain itu, ruang kelola dan rekreasi rakyat tidak nyaman dan kian terbatas di
pesisir. Tercemarnya laut Kupang oleh sampah pembangunan dan adanya kebijakan
“menemboki” pesisir membuat nelayan dan rakyat kebanyakan tidak punya akses.

Padahal UU No 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 27 tahun 2007 tentang


pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil. Daerah sempadan pantai adalah kawasan
milik negara yang hanya boleh untuk konservasi, rekreasi rakyat dan pembangunan yang
terkait dengan infrastruktur ruang publik rakyat. Dan daerah sempadan pantai adalah 100
meter dari batas air pasang tertinggi. “Faktanya di Kota Kupang hal itu tidak sesuai,”
katanya. fakta lain yakni area konservasi dan ketahanan menghadapi bencana. Dengan
kebijakan Pemkot, area konservasi berkurang drastis. Hal ini dapat mengakibatkan rusaknya
ekosistem pesisir dan laut di Kota Kupang. Hilangnya mental Maritim. Potret kebijakan
pemkot bila terus dipertahankan seperti saat ini maka mental maritim kita akan hilang. Kita
akan semakin abai dengan pesisir dan laut. Tidak mungkin menciptakan mental cinta laut
kepada generasi kita kalau akses terhadap laut pesisir saja kian dipersulit dari waktu ke
waktu.

Koordinator Kota, Pesisir dan Kelautan WALHI NTT, beberapa minggu terakhir, warga Kota
Kupang melakukan protes atas kebijakan pemerintah Kota Kupang memberikan Teluk
Kupang kepada investor. Warga menginginkan agar kawasan teluk kupang menjadi ruang
terbuka hijau bagi publik di Kota Kupang bukan untuk investor. Permintaan ini, lanjut dia,
lantaran warga sudah muak dengan kebijakan pemkot yang terus memberikan ijin
pembangunan hotel dan bisnis lainnya di pesisir Kupang atas nama pembangunan. Kita bisa
melihat betapa kawasan pasir panjang kini ruang publiknya kian tidak memadai. Yang terjadi,
deretan hotel- hotel dan bisnis lain yang mengakibatkan sulitnya akses warga dan nelayan ke
pesisir serta tercemarnya laut Kupang. Pemerintah Kota Kupang gagal untuk mewujudkan
peradaban kota pesisir (Maritim) yang berkelanjutan dan berkeadilan buat warganya.

Anda mungkin juga menyukai