Anda di halaman 1dari 14

19

BAB II
TINJAUAN UMUM

1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional

1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional

Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung /

pemilik hak dan kewajiban. Pada awal mula dari kelahiran dan

pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang

sebagai subjek hukum internasional. Akan tetapi karena

perkembangannya, pendukung hak dan kewajiban dalam hukum

internasional pada saat ini ternyata tidak terbatas pada Negara saja

tetapi juga meliputi subyek hukum internasional lainnya. Hal ini

dikarenakan terdapat perkembangan ataupun kemajuan di bidang

teknologi, telekomunikasi dan transportasi dimana kebutuhan manusia

semakin meningkat cepat sehingga menimbulkan interaksi yang

semakin kompleks.1 Menurut I Wayan Parthiana subjek hukum pada

umumnya diartikan sebagai pemegang hak dan kewajiban menurut

hukum. Dengan kemampuan sebagai Jadi subyek hukum internasional

dapat diartikan sebagai negara atau kesatuan-kesatuan bukan negara

yang dalam keadaan tertentu memiliki kemampuan untuk menjadi

pendukung hak dan kewajiban berdasarkan Hukum Internasional.

Munculnya organisasi-organisasi Internasional baik yang bersifat

bilateral, regional maupun multilateral dengan berbagai kepentingan

1
Haryo Mataram, KGPH, 2005, Pengantar Hukum Internasional, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 78.
20

dan latar belakang yang mendasari pada akhirnya mampu untuk

dianggap sebagai subyek hukum internasional. Begitu juga dengan

keberadaan individu atau kelompok individu (belligerent) yang pada

akhirnya dapat pula diakui sebagai subyek hukum Internasional.

Menurut I Wayan Parthiana subjek hukum pada umumnya

diartikan sebagai pemegang hak dan kewajiban menurut hukum.

Dengan kemampuan sebagai pemegang hak dan kewajiban tersebut,

berarti adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan hukum yang

melahirkan hak-hak dan kewajiban. Secara umum yang dipandang

sebagai subjek hukum adalah : (a) individu atau orang perorangan atau

disebut pribadi alam dan (b) badan atau lembaga yang sengaja

didirikan untuk suatu maksud dan tujuan tertentu yang karena sifat,

ciri, dan coraknya yang sedemikian rupa dipandang mampu

berkedudukan sebagai subjek hukum. Dengan kata lain dapat

disimpulkan bahwa subjek hukum internasional adalah pemegang atau

pendukung hak dan kewajiban menurut hukum internasional; dan

setiap pemegang atau pendukung hak dan kewajiban menurut hukum

internasional adalah Subjek Hukum Internasional.2

Pendapat lain juga dikemukakan oleh F. Sugeng Istanto yang

mengatakan bahwa yang dianggap sebagai subjek hukum bagi hukum

internasional adalah negara, organisasi internasional dan individu.

Subjek hukum tersebut masing-masing mempunyai hak dan kewajiban

2
I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, h. 58.
21

sendiri yang berbeda satu sama lain. Subjek Hukum Internasional

adalah pihak-pihak pembawa hak dan kewajiban hukum dalam

pergaulan internasional. Adapun subjek hukum internasional adalah

sebagai berikut.3

1. Negara;

2. Tahta Suci (Vatikan);

3. Palang Merah Internasional;

4. Organisasi Internasional, Organisasi Internasional dibagi menjadi

sebagai berikut;

5. Orang Perorangan (Individu);

6. Pemberontak.

1.1.2 Perkembangan Subjek Hukum Internasional

Subyek Hukum Internasional diartikan sebagai pemilik,

pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan

hukum internasional. Pada awal mula, dari kelahiran dan pertumbuhan

Hukum Internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek

hukum internasional. Namun, seiring perkembangan zaman telah

terjadi perubahan pelaku-pelaku subyek hukum internasional itu

sendiri. Pada saat ini subjek-subjek hukum internasional yang diakui

oleh masyarakat internasional, adalah:

1. Negara

3
Sugeng Istanto, Op.cit. h. 17.
22

Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan

Kewajiban Negara, kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai

pribadi dalam hukum internasional adalah penduduk yang tetap,

mempunyai wilayah (teritorial) tertentu; pemerintahan yang sah

dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain.4

2. Organisai Internasional5

Organisasi internasional mempunyai klasifikasi, yakni:6

1. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara

global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya

adalah Perserikatan Bangsa Bangsa;

2. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global

dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah

World Bank, UNESCO, International Monetary Fund, International

Labor Organization, dan lain-lain;

3. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan

maksud dan tujuan global, antara lain: Association of South East

Asian Nation (ASEAN), Europe Union.

3. Palang Merah Internasional

Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan

organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan

oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh

4
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional,
Alumni, Bandung, h. 98.
5
Ibid, h. 101.
6
Sefriani, 2010, Hukum Internasional Suatu Pengantar, RajaGrafindo, Jakarta, h. 63.
23

Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan

kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional

mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian

membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya.

Palang Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun

menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of

the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss.7

4. Tahta Suci Vatikan

Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum

internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari

1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai

penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut

pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas

eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang

berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas

tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang

kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan

moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta

Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di

seluruh dunia.8

5. Kelompok Pemberontak (Beligerent)

7
Ibid, h. 64.
8
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.cit, h. 100.
24

Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari

masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu,

penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang

bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata

dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat

di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka

salah satu sikap yang dapat diambil adalah mengakui eksistensi

atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri

sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak

bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi.

Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang

negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status

sebagai pribadi atau subyek hukum internasional.9

6. Individu

Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia

(Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10

Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-

konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, menyatakan

individu adalah sebagai subyek hukum internasional yang

mandiri.10

7. Perusahaan Multinasional

9
Sefriani, Op.cit, h. 66.
10
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.cit, h. 102.
25

Eksistensi MNC dewasa ini, memang merupakan suatu fakta

yang tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara

dan organisasi internasional mengadakan hubungan dengan

perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian melahirkan

hak-hak dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh

terhadap eksistensi, struktur substansi dan ruang lingkup hukum

internasional itu sendiri.11

Subyek hukum internasional juga dapat didefinisikan sebagai

pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh Hukum

Internasional atau setiap negara, badan hokum (internasional) atau

manusia yang memiliki hak dan kewajiban dalam hubungan

internasional.

1.2 Tinjauan Umum Mengenai Pertanggungjawaban Negara

1.2.1 Pengertian Tanggung Jawab Negara

Suatu negara adalah berdaulat, namun dengan adanya

kedaulatan tersebut tidaklah berarti bahwa negara bebas dari tanggung

jawab. Prinsip yang juga berlaku terhadapnya adalah bahwa di dalam

kedaulatan terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak

menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Karena itu, suatu negara dapat

diminta tanggung jawab untuk tindakan-tindakan yang menyalah

gunakan kedaulatannya.12 Hukum tentang tanggung jawab negara

terkait dengan yurisdiksi negara. hukum tentang yurisdiksi negara

11
Sefriani, Op.cit, h. 67.
12
Ibid, h. 203.
26

adalah hukum yang mengatur kekuasaan negara untuk melakukan

suatu tindakan (dalam hal pelaksanaan yurisdiksi). Sedangkan hukum

tentang tanggung jawab negara adalah hukum mengenai kewajiban

negara yang timbul manakala negara telah melakukan atau tidak

melakukan suatu tindakan yang memiliki akibat. Hukum tentang

tanggung jawab negara tidak lain adalah hukum yang mengatur

akuntabilitas terhadap suatu pelanggaran hukum internasional.13 Jika

suatu negara melanggar kewajiban internasional, maka negara tersebut

bertanggung jawab untuk pelanggaran yang dilakukannya.

Tanggung Jawab negara merupakan suatu tanggung jawab yang

timbul diakibatkan adanya tindakan negara yang melanggar kewajiban

internasional yang dibebankan kepadanya. 14 Tanggung jawab negara

dinyatakan secara tegas telah dibatasi pada perihal

pertanggungjawaban negara-negara bagi tindakan yang secara

internasional tidak sah saja.15 Sumber dari tanggung jawab tersebut

ialah pada suatu tindakan-tindakan negara yang melanggar hukum

internasional itu sendiri.

Suatu negara dikatakan bertanggung jawab dalam hal negara

tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional,

melanggar kedaulatan wilayah negara lain, menyerang negara lain,

mencederai perwakilan diplomatik negara lain, bahkan

13
Ibid, h. 204.
14
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT.
Refika Aditama, Bandung, hlm. 193.
15
J.G. Starke, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Buku I Edisi Kesepuluh, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 391.
27

memperlakukan warga asing dengan seenaknya. Oleh karena itu,

tanggung jawab negara akan berbeda kadarnya tergantung pada

kewajibannya atau besar kerugian yang telah ditimbulkan oleh suatu

negara.

1.2.2 Lahirnya Tanggung Jawab Negara

Tanggung jawab negara muncul dikarenakan adanya prinsip

kedaulatan negara dalam hubungan internasional yang sangat

dominan. Negara berdaulat yang satu tidak tunduk pada negara

berdaulat yang lain. Negara mempunyai kedaulatan penuh atas orang,

barang, dan perbuatan yang ada di teritorialnya. Meskipun demikian,

tidaklah berarti bahwa negara yang memiliki kedaulatan dapat

menggunakan kedaulatan itu dengan seenaknya. Hukum internasional

telah mengatur bahwa kedaulatan terkait di dalamnya kewajiban untuk

tidak menyalahgunakan kewajiban tersebut. Karena hal itu, suatu

negara dapat dimintai pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakan

atau kelalaian yang melawan hukum. Negara juga memiliki kewajiban

yang bersifat mengikat, salah satunya ialah kewajiban untuk

menghindarkan dan mencegah agen negara melakukan suatu tindakan

yang merupakan pelanggaran terhadap negara lain.16 Karena

perbuatan pelanggaran atas agen negara dapat pula menimbulkan

pertanggungjawaban kepada negara.

16
T. May Rudy, Op.cit., h. 28.
28

Menurut Shaw, terdapat ciri dan karakteristik tersendiri

sehingga suatu tanggung jawab negara akan muncul. Ciri-ciri esensial

tanggung jawab berhubungan dengan faktor dasar, antara lain17:

1. Adanya kewajiban hukum internasional yang masih berlaku

diantara keduanya;

2. Bahwa telah terjadi suatu perbuatan atau kelalaian yang

melanggar kewajiban itu dan mewajibkan negara tersebut

bertanggung jawab;

3. Bahwa perbuatan melanggar tersebut menimbulkan

kehilangan atau kerugian.

Melihat ciri esensial akan timbulnya suatu pertanggungjawaban

tersebut, tentu adanya kewajiban hukum internasional yang masih

berlaku diantara keduanya diakibatkan adanya perjanjian akan

hubungan internasional yang telah terjadi sebelumnya. Adanya

pelanggaran terhadap kewajiban internasional bila tindakan negara

tersebut tidak sesuai dengan yang disyaratkan terhadapnya oleh

kewajiban tersebut, apapun sifat dan karakternya. Kewajiban hukum

internasional dapat muncul dari hukum kebiasaan internasional,

putusan pengadilan internasional, dan juga dari suatu perjanjian

internasional. Walaupun perjanjian tersebut tidak dalam bentuk

tertulis, Konvensi Wina 1969 juga tidak mengingkari kekuatan

mengikatnya suatu perjanjian yang diadakan tidak dalam bentuk

17
Malcolm N. Shaw, 2008, International Law: Sixth Edition, Cambridge University Press,
Cambridge, h. 774.
29

tertulis (not in written form).18 Merupakan suatu prinsip dalam hukum

internasional bahkan menjadi konsep hukum pada umumnya bahwa

setiap pelanggaran atas suatu perjanjian akan menimbulkan kewajiban

untuk melakukan tindakan perbaikan.

Pada Pasal 1 pasal-pasal ILC tentang tanggung jawab negara

kembali menyebutkan aturan umum yang didukung secara luas

melalui praktek, bahwa setiap perbuatan melawan hukum

internasional yang dilakukan oleh suatu negara akan menimbulkan

pertanggungjawaban.19 Pasal 2 menetapkan bahwa terdapat perbuatan

melawan hukum internasional yang dilakukan oleh suatu negara jika

perilaku itu mencakup tindakan atau kelalaian yang dapat

dihubungkan dengan negara itu menurut hukum internasional dan

merupakan pelanggaran akan suatu kewajiban internasional negara

tersebut.20 Hanya hukum internasional yang dapat menentukan apa

yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum internasional itu,

tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum didalam negeri.21

Karakterisasi tindakan negara yang menimbulkan suatu perbuatan

yang dipersalahkan secara internasional sepenuhnya diatur oleh

hukum internasional, tidak dipengaruhi oleh karakterisasi hukum

nasional. Artinya walaupun tindakan tersebut menurut hukum nasional

adalah tindakan yang sah, tetapi menurut hukum internasional

18
Muhammad Ashri, 2012, Hukum Perjanjian Internasional, Dari Pembentukan Hingga
Akhir Berlakunya, Arus Timur, Makassar, h. 6.
19
Malcolm N. Shaw, Loc.cit.
20
Ibid.
21
Ibid.
30

menyatakan sebaliknya tindakan tersebut tidak sah dan dianggap salah

maka yang akan berlaku adalah apa yang ditetapkan dalam hukum

internasional.

Adapun pada pasal 12 menetapkan bahwa pelanggaran atas

suatu kewajiban internasional terjadi jika suatu negara melakukan

perbuatan yang tidak sesuai dengan yang diharuskan oleh

kewajibannya itu, tanpa mengindahkan asal-usul atau ciri

perbuatannya.22 Pelanggaran yang sifatnya terus-menerus akan

berlangsung sepanjang suatu periode ketika perbuatan itu terus

berlanjut dan tidak sesuai dengan kewajiban internasional yang

dimaksud, sementara pelanggaran yang terdiri dari perbuatan yang

kompleks juga berlangsung sepanjang suatu periode ketika perbuatan

atau kelalaian itu terus berlanjut dan masih tidak sesuai dengan

kewajiban internasional.23

Tanggung jawab negara secara internasional juga dapat lahir

apabila suatu negara memiliki unsur-unsur tindakan salah. Unsur-

unsur tindakan salah tersebut ialah adanya tindakan pengabaian

(action omission) yang dapat dilimpahkan atau diatribusikan kepada

negara menurut hukum internasional. Sebagai contoh atas gagalnya

suatu negara dalam menjaga keamanan perairan yang menjadi

tanggungjawabnya dapat diasumsikan sebagai tindakan pengabaian

dan atas tindakan tersebut telah memenuhi unsur tindakan salah.

22
Ibid, h. 775.
23
Ibid.
31

Pelimpahan tanggung jawab negara kepada negara juga dapat

lahir dikarenakan adanya tindakan berupa kesalahan yang dilakukan

oleh suatu organ negara maupun individu oleh negara. unsur dapat

dilimpahkan muncul karena dalam praktik negara sebagai suatu entitas

yang abstrak tidak dapat bertindak sendiri, harus melalui individu

sebagai organ negara, perwakilan negara atau pejabat negara.

Tindakan negara yang dapat dilimpahkan adalah:

1. Tindakan dari semua organ negara (state organ), baik


legislatif, eksekutif, yudikatif atau apa pun fungsinya, apa
pun posisinya dalam struktur organisasi negara dan apa pun
karakternya sebagai organ pemerintah pusat dari suatu
negara. Termasuk dalam organ adalah setiap orang atau
kesatuan yang mempunyai status organ negara dalam hukum
nasional.24

2. Tindakan individu atau entity yang meskipun bukan organ


negara atau diluar struktur formal pemerintah pusat atau
daerah, tetapi dikuasakan secara sah untuk melaksanakan
unsur-unsur kekuasaan instansi tertentu pemerintah.25

Dalam hukum internasional juga dikenal adanya doktrin

imputabilitas yang dimana tindakan organ negara atau orang atau

kesatuan yang dikuasakan oleh pemerintah sebagaimana dikemukakan

diatas dalam kapasitasnya secara resmi dapat dikatakan sebagai

tindakan negara dan dapat dilimpahkan, bahkan jika mereka diluar

kekuasaannya atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan

instruksi yang diberikan padanya.26 Di dalam praktik hukum

internasional tentang hubungan antar negara, tidak jarang ditemukan

24
Draft articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, Pasal 4.
25
Ibid, Pasal 5.
26
Malcolm N. Shaw, Op.cit., h. 271.
32

adanya suatu kerjasama yang dilakukan antar negara tidak

menimbulkan kerugian terhadap negara lain. Suatu negara yang

membantu negara lain dalam internationally wrongful acts yang

dilakukan negara lain tersebut bertanggung jawab secara internasional

jika;27

1. That state does so with knowledge of the circumstances of


the internationally wrongful acts;
2. The act would be internationally wrongful acts if commited
by that state.

27
Ibid, h. 272.

Anda mungkin juga menyukai