Anda di halaman 1dari 2

Sidang shalat ‘Id yang berbahagia!

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puja dan puji syukur kepada Allah yang telah melimpahkan kepada kita nikmat yang
begitu banyak. Saking banyaknya nikmat yang diberikan, sehingga jika kita menghitung nikmat-nikmat-Nya tentu kita tidak
akan sanggup menghitungnya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita syukuri nikmat-nikmat tersebut agar nikmat tersebut
tidak dicabut dan bahkan diberikan keberkahan sehingga bertambah. Sebaliknya, jika kita kufuri nikmat-nikmat tersebut,
seperti tidak mau mengakui nikmat tersebut berasal dari Allah atau menggunakan nikmat-nikmat tersebut untuk bermaksiat
kepada-Nya, maka cepat atau lambat, Allah akan mencabutnya ditambah lagi dengan dicatat sebagai dosa.
Banyak contoh yang membuktikan hal ini, seperti yang dialami oleh kaum Saba’ yang Allah berikan kepada mereka
kenikmatan dunia, saat mereka kufur terhadap nikmat yang Allah berikan, maka kenikmatan tersebut Allah cabut, Dia
mengirimkan banjir besar kepada mereka dan mengganti kebun-kebun mereka yang sebelumnya menghasilkan buah-buahan
yang enak dimakan berubah menjadi kebun-kebun yang buahnya terasa pahit. Demikian pula yang dialami Qarun yang
dikaruniakan oleh Alah harta yang banyak. Ia tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut, bahkan mengatakan, bahwa
kekayaan yang diperoleh itu adalah karena kepandaiannya, sehingga Allah membenamkan dia dan rumahnya ke dalam bumi.
Sesungguhnya orang yang cerdas adalah orang yang mau mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa orang lain
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Id yang berbahagia!
Saat ini kita berada di salah satu hari raya umat Islam, yaitu Idul Adh-ha; hari di mana kita disyariatkan berkurban. Hari raya
ini, Allah sebut dalam kitab-Nya dengan nama hari Haji Akbar (lihat surah At Taubah: 3). Disebut demikian, karena sebagian
besar amalan haji dilakukan pada hari ini. Oleh karena itu, hari ini (yakni hari nahr) adalah hari yang paling agung di sisi
Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
‫إِنَّ أَ ْعظَ َم ْاألَيَّ ِام ِع ْن َد هللاِ تَ َعالَى يَ ْو ُم النَّ ْح ِر ثُ َّم يَ ْو ُم القَ ِّر‬
“Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah Ta’ala adalah hari nahr (10 Dzulhijjah) kemudian hari qar (hari
setelahnya).” (HR. Abu Dawud dengan isnad yang jayyid, takhrij al-Misykaat 2:810)
Bahkan hari raya Idul Adh-ha lebih utama daripada hari Idul Fitri karena di hari Idul Adh-ha terdapat shalat ‘Id dan
berkurban, sedangkan dalam Idul Fitri terdapat shalat Ied dan bersedekah, dan berkurban jelas lebih utama daripada
bersedekah.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Id yang berbahagia!
Termasuk rahmat Allah dan kebijaksanaan-Nya adalah apabila Dia menyariatkan suatu amal saleh, Dia mengajak semua
orang melakukannya, dan jika di antara mereka ada yang tidak sanggup melakukannya, maka Dia menyariatkan amal saleh
yang lain sehingga mereka yang tidak mampu melakukannya tetap memperoleh pahala, di mana dengan amal saleh tersebut,
Allah mengangkat derajat mereka dan menambah pahalanya.
Contohnya adalah barangsiapa yang tidak mampu berwuquf di ‘Arafah, maka Allah menyariatkan baginya puasa ‘Arafah
(tanggal 9 Dzulhijjah) yang menghapuskan dosa yang dikerjakan di tahun yang lalu dan yang akan datang, demikian pula
menyariatkan untuknya berkumpul pada hari Idul Adh-ha untuk shalat Ied, berdzikr, dan berkurban..
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Id yang berbahagia!
Sesungguhnya di antara amalan yang disyariatkan Allah pada hari raya ini adalah berkurban. Berkurban adalah amalan yang
utama, karena di sana seseorang mengorbankan harta yang dicintainya karena Allah; yang menunjukkan bahwa ia lebih
mengutamakan kecintaan Allah daripada apa yang disenangi hawa nafsunya. Berkurban memiliki banyak hikmah, di
antaranya adalah sebagai rasa syukur kepada Allah, membantu fakir-miskin dan menghibur mereka, merekatkan hubungan
antara orang kaya dengan orang miskin, dan hikmah-hikmah lainnya yang begitu banyak.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Id yang berbahagia!
Kurban merupakan sunah bapak para nabi, yaitu Ibrahim ‘alaihis salam yang diperkuat oleh syariat yang dibawa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam Alquran, Allah Ta’ala berfirman:
َ َ‫ف‬
‫ص ِّل لِ َربِّكَ َوا ْن َح ْر‬
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2)
Sedangkan dalam hadis diterangkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Madinah selama sepuluh tahun dan
selalu berkurban.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Ibnu Umar, ia (Tirmidzi) berkata, “Hadis hasan.”)
Menurut sebagian ulama, berkurban bagi yang mampu hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam:
‫صالَّنَا‬ َ ُ‫س َعةٌ َولَ ْم ي‬
َ ‫ض ِّح فَالَ يَ ْق َربَنَّ ُم‬ َ ُ‫َمنْ َكانَ لَه‬
“Barangsiapa yang memiliki kemampuan, namun tidak mau berkurban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat shalat
kami (lapangan shalat ‘Id).” (Hadis hasan, Shahih Ibnu Majah 2532)
Sedangkan yang lain berpendapat bahwa hukumnya sunat mu’akkadah (sunat yang sangat ditekankan) beralasan dengan
hadis berikut:
0‫ش ْع ِر ِه َوأَ ْظفَا ِر ِه‬ َ ُ‫إِ َذا َرأَ ْيتُ ْم ِهالَ َل ِذى ا ْل ِح َّج ِة َوأَ َرا َد أَ َح ُد ُك ْم أَنْ ي‬
ِ ‫ض ِّح َى فَ ْليُ ْم‬
َ ْ‫سكْ عَن‬
“Apabila kamu melihat hilal (bulan sabit tanda tanggal satu) Dzulhijjah, sedangkan salah seorang di antara kamu ingin
berkurban, maka tahanlah (jangan dicabut) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)
Kata-kata “salah seorang di antara kamu ingin berkurban” menunjukkan sunatnya.
Namun untuk kehati-hatian, hendaknya seorang muslim tidak meninggalkannya ketika ia mampu berkurban.
Ma’aasyiral muslimin wal muslimaat
Sidang shalat ‘Id yang berbahagia
Semua kebaikan dapat kita temukan ketika kita mempraktikkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
semua urusan kita, sedangkan semua keburukan akan kita temukan ketika kita menyelisihi petunjuk Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami pun mengingatkan sedikit petunjuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah kurban.
1. Usia hewan yang dikurbankan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ضأْ ِن‬
َّ ‫س َر َعلَ ْي ُك ْم فَ ْاذبَ ُح ْوا َج َذ َعةً ِمنَ ال‬ ِ ‫الَ ت َْذبَ ُح ْوا إِالَّ ُم‬
ُ ‫ فَإِنْ تَ ْع‬، ً‫سنَّة‬
“Janganlah kamu menyembelih kecuali yang musinnah. Namun jika kamu kesulitan, maka sembelihlah biri-biri (domba)
yang jadza’ah.” (HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)
Maksud “musinnah“ adalah hewan yang sudah cukup usianya. Jika berupa unta, maka usianya lima tahun. Jika berupa sapi,
usianya dua tahun. Jika kambing, maka usianya setahun, dan tidak boleh usianya kurang dari yang disebutkan. Adapun jika
berupa biri-biri/domba maka yang usianya setahun. Namun jika tidak ada biri-biri yang usianya setahun maka boleh yang
mendekati setahun (9, 8, 7 atau 6 bulan), tidak boleh di bawah enam bulan –inilah yang dimaksud dengan jadza’ah-.
2. Hewan kurban yang utama
Hewan kurban yang utama adalah hewan kurban yang gemuk, banyak dagingnya, sempurna fisik, dan indah dipandang.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor biri-biri yang putih
bercampur hitam lagi bertanduk, Beliau menyembelih keduanya dengan tangannya, mengucapkan basmalah dan bertakbir,
dan meletakkan kakinya di sisi hewan tersebut.” (HR. Bukhari)
3. Adab menyembelih
Adabnya adalah dengan menghadap kiblat, mengucapkan basmalah dan takbir ketika hendak menyembelihnya dan berbuat
ihsan dalam menyembelihnya (seperti menyegarkan hewan sembelihannya, menajamkan pisau dan tidak mengasahnya di
hadapan hewan tersebut).
4. Pembagian kurban
Sunnahnya adalah orang yang berkurban memakan dari hewan kurbannya, menyedekahkannya kepada orang miskin dan
menghadiahkan kepada kawan-kawannya atau tetangganya, berdasarkan firman Alah Ta’ala:
َ ِ‫فَ ُكلُوا ِم ْن َها َوأَ ْط ِع ُموا ا ْلبَآئ‬
َ ِ‫س ا ْلفَق‬
‫ير‬
“Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan
fakir.” (QS. Al Hajj: 28)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
‫ُكلُوا َوأَ ْط ِع ُموا َواد َِّخ ُروا‬
“Makanlah, berilah kepada orang lain dan simpanlah.” (HR. Bukhari)
Namun tidak mengapa disedekahkan semuanya kepada orang-orang miskin.
5. Waktu berkurban
Waktunya adalah setelah shalat Ied dan berakhir sampai tenggelam matahari tanggal 13 Dzulhijjah. Termasuk sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari raya Idul Adh-ha adalah makan tidak dilakukan kecuali setelah shalat Ied,
lalu menyembelih hewan kurban dan memakan dagingnya.
6. Hewan yang tidak boleh dikurbankan
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُ ‫يضةُ اَ ْلبَيِّنُ َم َر‬
“‫ َوا ْل َع ْر َجا ُء اَ ْلبَيِّنُ ظَ ْلعُ َها َوا ْل َع ْجفَا ُء اَلَّتِي اَل تُ ْنقِي‬,‫ض َها‬ َ ‫ َوا ْل َم ِر‬,‫ اَ ْل َع ْو َرا ُء اَ ْلبَيِّنُ ع ََو ُرهَا‬:‫احي‬
ِ ‫ض‬َ َ‫”أَ ْربَ ٌع اَل ت َُجو ُز فِي ْاال‬
“Empat macam hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu: hewan buta sebelah yang jelas butanya, hewan sakit yang
jelas sakitnya, hewan pincang yang jelas pincangnya dan hewan kurus yang tidak bersumsum (sangat kurus).” (HR.
Tirmidzi, ia berkata, “Hasan shahih”)
7. Bertakbir
Pada hari raya Idul Adh-ha disunnahkan bertakbir, baik takbir mutlak maupun muqayyad. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
ٍ ‫س َم هللاِ فِي أَيَّ ٍام َّم ْعلُو َما‬
‫ت‬ ْ ‫ش َهدُوا َمنَافِ َع لَهُ ْم َويَ ْذ ُك ُروا ا‬
ْ َ‫لِي‬
“Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah
ditentukan.” (QS. Al Hajj: 28)
Hari yang ditentukan itu adalah hari raya haji dan hari tasyriq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
Takbir mutlak adalah takbir yang tidak dibatasi waktunya, yaitu mengucapkan, “Allahu akbar-Allahu akbar.
Laailaahaillallahu wallahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamd.” dengan menjaharkan suaranya bagi laki-laki, baik di
masjid, di pasar, di rumah, di jalan dan pada saat ia berangkat ke lapangan untuk shalat ‘Id.
Sedangkan takbir muqayyad adalah takbir yang dilakukan setelah shalat fardhu, yang dimulai dari fajar hari Arafah, dan
berakhir sampai ‘Ashar akhir hari tasyriq.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya, maka beliau rahimahullah menjawab,
“Segala puji bagi Allah. Pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur ulama dan para ahli fiqih dari kalangan
sahabat serta imam berpegang dengannya adalah hendaklah takbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir
hari Tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyariatkan bagi setiap orang
untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat Id. Hal ini merupakan kesepakatan para imam yang
empat.” (Majmu al -Fatawa 24:220)
Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya, bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka
orang-orang yang berada di masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar
hingga kota Mina bergemuruh dengan suara takbir. Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat
(lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya. Maimunnah
pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada
malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid.”
Termasuk hal yang perlu diketahui pula adalah bah

Anda mungkin juga menyukai