Anda di halaman 1dari 3

Minus Bahasa Indonesia Dilema Nasionalis Bahasa Bangsa

Pengurangan jam Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi menjadi satu SKS


(Sistem Kredit Semester) di era merdeka belajar merupakan hal yang sangat
kontraproduktif atau tidak memberi keuntungan sama sekali terhadap peningkatan
mutu pendidikan kita. Bahkan paradok dengan semangat yang dicetuskan oleh
pendahulu saat mendeklarasi penggunaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa
Nasional. Jika kita melihat rentetan sejarah Bahasa Indonesia yang begitu panjang
sampai akhirnya diusulkan oleh M.Tabrani dalam rapat persiapan kongres pemuda
Indonesia, pada 2 Mei 1926, yang kemudian dideklarasikan dalam sumpah
pemuda pada 28 Oktober 1928, “Kami Poetera dan Poeteri Indonesia
Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia”. Sangat dilematis ketika
perjuangan memerdekakan Bahasa Indonesia begitu sulit, namun minim
perghargaan.
Jika dikaji lebih jauh, maka sangat tidak rasional ide pengurangan jam
Bahasa Indonesia di universitas. Apalagi saat ini, nasionalisme bangsa sedang
mengalami gejolak akibat memudarnya nilai-nilai Pancasila. Padahal dengan
besarnya porsi pelajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi akan mengubah
mindset generasi muda dalam memperkuat kecintaan mereka terhadap
penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dan bahasa resmi Negara.
Sekarang banyak generasi muda kita yang sudah acuh tak acuh dengan
penggunaan bahasa yang baik dan benar. Apalagi di era digitalisasi, penggunaan
bahasa yang santun mulai tergerus dengan maraknya bahasa yang muncul secara
dadakan dan cenderung “menyesatkan” jika dilihat dari konsep ejaan bahasa yang
baik dan benar. Konsep ejaan yang diubah-ubah, telah menggeser susunan
kesempunaan ejaan yang tadinya merupakan suatu kebanggaan dalam penggunaan
Bahasa Indonesia.
“Premanisme bahasa” telah menghilangkan pesona dan citra kebahasaan
yang tadinya sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Bahasa Indonesia
yang selama ini kita banggakan telah “terkoyak”, seperti bait puisi Hamdani
Mulya yang dipublikasikan di web:http://gemasastrin.wordpres.com,2009,
“mereka adalah preman bahasa; gaul, prokem, elite, Pudarlah nasionalis bahasa
bangsa”.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar di dunia pendidikan sudah
seharusnya memiliki porsi yang lebih besar dalam sistem pendidikan kita, bukan
sebaliknya. Karena mengurangi jam Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi, sama
saja dengan meruntuhkan nilai-nilai nasionalisme, terutama kecintaan generasi
muda terhadap bangsa Indonesia.
Seminar politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan pada Februari
1975, jelas merumuskan bahwa kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia sebagai
bahasa Nasional, lambang identitas Nasional, alat yang memungkinkan penyatuan
berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial, budaya, dan bahasa. Di
sisi lain, Bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai alat penghubung antar daerah
dan antar budaya. Gambaran ini jelas menunjukkan bahwa penggunaan Bahasa
Indonesia bukan hanya sekedar sarana komunikasi semata, tetapi sangat penting
kedudukannya dalam menunjukkan Jatidiri bangsa di mata dunia.
Realitasnya budaya berbahasa, pengguna bahasa sering kali mengabaikan
aturan-aturan kebahasaan seperti ejaan. Bahkan problema seperti itu juga kerap
dilakukan oleh kaum intelektual. Dalam pemakaian ejaan sering kita menemukan
penggunaan yang kurang tepat. Misalnya penulisan nama dan gelar pada absensi,
dalam makalah atau lembaran pengesahan skripsi yang disusun oleh mahasiswa,
dan banyak kekeliruan lainnya yang belakangan sudah dianggap sesuatu yang
lazim untuk dilakukan. Kesalahan-kesalahan tersebut terus berlarut dilakukan dari
satu generasi ke generasi berikutnya.
Muhammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, pernah
mengungkapkan kekecewaannya ketika mengetahui bahwa pelajaran Bahasa
Indonesia yang sangat penting itu hanya dipelajari dua jam dalam seminggu.
Padahal fungsi bahasa Indonesia itu bukan hanya sebagai bahasa komunikasi,
melainkan juga sebagai identitas politis, identitas ideologis, sekaligus identitas
diri kita. Karena demikian pentingnya fungsi bahasa Indonesia, di dunia
pendidikan formal, jam pelajaran Bahasa Indonesia seharusnya diberi alokasi
waktu dan bobot yang lebih panjang dan memadai.
Pertanyaannnya adalah bagaimana memaksimalkan penggunaan bahasa
kalau porsi pelajaran bahasa di Perguruan Tinggi dikurangi sampai satu SKS?.
Mungkin ini menjadi awal dilema Nasionalis Bahasa Bangsa. Yang kita
khawatirkan kedepan generasi milenial semakin melupakan ejaan Bahasa
Indonesia, karena tergerus dengan bermunculan ejaan bahasa baru yang dianggap
lebih simpel dan instan digunakan dalam berbagai media, khususnya bahasa
pengantar di sosial media.
Ketika kami megasuh mata kuliah Bahasa Indonesia di beberapa
Perguruan Tinggi, beberapa mahasiswa bertanya, “mengapa kesalahan-kesalahan
berbahasa sering terjadi berulang-ulang?”. Telah menjadi budayakah kesalahan-
kesalahan tersebut di Negeri ini? kami hanya bisa mengilustrasikan jawaban
singkat, “mungkin karena tidak ada sanksi hukum bagi pelanggar aturan
kebahasaan”. Kita istilahkan saja tidak ada undang-undang dan sanksi hukum bagi
“preman bahasa”. Padahal Bahasa Indonesia memiliki corak dan ragam bervariasi,
semisal daerah (logat/dialek), sosiolek, fungsiolek, ragam lisan dan tulis, ragam
baku dan tidak baku (Yamilah dan Samsoerizal, 1994:10).
Ironisnya, kesalahan-kesalahan berbahasa juga dibenarkan oleh sebagian
mahasiswa tentang membudayakan kesalahan lama. Dengan jawaban sejak dulu
para dosen juga menulis begitu, bernuansa keliru dan salah. Hal ini menjadi
dilema takkala kesalahan-kesalahan dalam penggunaan Bahasa Indonesia kian
parah, belakangan muncul ide pengurangan jam Bahasa Indonesia di Perguruan
Tinggi.
Untuk jangka pendek, memang tidak terlalu berdampak, karena mahasiswa
mungkin lebih arif dalam berfikir. Namun dampak yang berkepanjangan akan
terasa takkala mereka tidak lagi mengenal konsep bahasa dan tidak lagi bertutur
dengan bahasa yang santun, sesuai dengan kaidah bahasa yang baik dan benar
seperti konsep ejaan Bahasa Indonesia. Konsep kurikulum sekarang bukan tidak
mungkin kondisi seperti yang digambarkan di atas akan terjadi.
Pengurangan jam Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi merupakan salah
satu pemicu nasionalis bahasa bangsa kian memudar. Jika terlalu lama dibiarkan
kecintaan generasi muda terhadap Bahasa Indonesia akan hilang. Bahkan Bahasa
Indonesia akan kehilangan keaslian dan peran sebagai bahasa Nasional serta
identitas Bangsa Indonesia. Mereka lebih menyukai penggunaan bahasa yang
instan, akibat pesatnya laju perkembangan sosial media. Hilangnya kecintaan
generasi muda terhadap bahasa akan mengikis jiwa Nasionalisme yang berujung
kepada memudarnya jiwa patriotis generasi milenial.

Anda mungkin juga menyukai