Dosen Pengajar :
Disusun oleh :
Keperawatan Reguler C
Bismallahirrahmanirrahim.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat,
nikmat dan hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Kekerasan
terhadap perempuan. Makalah ini penulis buat untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan
maternitas II.
Dalam hal ini tak luput penulis ucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah
keperawatan maternitas II yang telah memberi tugas membuat makalah ini, dan penulis juga
mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam makalah ini. Demikianlah, makalah ini semoga
bermanfaat bagi yang membacanya. Terima kasih.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan bahan/obat berbahaya. Selain narkoba
istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan RI adalah NAPZA yang
merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Perkembangan
penyalahgunaan narkoba sudah merambah ke seluruh tanah air dan menyasar seluruh lapisan
tanah air (Kemenkes, 2017). Berdasarkan pendataan dari aplikasi Sistem Informasi Narkoba
(SIN) jumlah kasus narkotika yang berhasil diungkap selama 5 tahun terakhir dari tahun 2012-
2016 per tahun sebesar 76,53%. Kenaikan paling tinggi pada tahun 2013 ke tahun 2014 yaitu
161,22%. Yang paling banyak shabu 1867 kasus diikuti ganja 128 kasus dan ekstasi 98 kasus
(Kemenkes, 2017). Delapan puluh enam persen penyalahguna Narkoba berada pada usia
produktif.
Upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkoba bersifat komprehensif. Bagi pecandu
atau penyalahguna, Undang-Undang telah memberikan hak-hak bagi mereka untuk mendapatkan
rehabilitasi medis dan sosial. Jumlah pecandu NAPZA yang menjalani rehabilitasi masih sangat
rendah. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan oleh Pusat Terapi dan Rehabilitasi
BNN, jumlah pecandu yang mengakses layanan terapi baik rawat jalan maupun rawat inap pada
tahun 2009 sebesar 0,5% sedangkan sekitar 99,5% pecandu lainnya berada di masyarakat
(keluarga, sekolah, tempat kerja, dankomunitas lainnya). Kondisi ini menjadi tantangan
tersendiri bagi upaya rehabilitasi ketergantungan NAPZA di Indonesia di tengah-tengah
terbatasnya sarana/fasilitas rehabilitasi bagi pecandu NAPZA (BNN, 2012).
Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan NAPZA baik
dalam jangka waktu pendek ataupun panjang yang bertujuan mengubah perilaku mereka agar
siap kembali ke masyarakat (Kemenkes, 2010). Pada tahun 2016 BNN telah memberi layanan
rehabilitasi sebesar 22.485 pecandu dan layanan pasca rehabilitasi sebanyak 70182 mantan
pecandu dan penyalahguna markotika (Kemenkes, 2017).
Pengguna narkoba juga perlu diselamatkan agar dapat kembali menjalani hidup dalam
keadaan sehat dan produktif. Pada tanggal 11 Maret 2014 pemerintah telah menerbitkan
Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi yang ditandatangani oleh Mahkamah Agung,
1
Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Sosial, dan Badan Narkotika Nasional. Dengan terbitnya peraturan bersama ini
maka para pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan Narkoba di Indonesia dapat
memperoleh layanan rehabilitasi yang diperlukan. Pemerintah bersama segenap lapisan
masyarakat telah melakukan berbagai langkah dan upaya untuk menyelamatkan para pengguna
Narkoba dan tidak lagi menempatkan para pengguna Narkoba sebagai pelaku tindak pidana atau
pelaku tindak kriminal.
Upaya ini diperkuat dengan penetapan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) pada
tahun 2011 dan pencanangan tahun 2014 sebagai Tahun Penyelamatan Pengguna Narkoba.
SeluruhIPWL mampu melaksanakan rehabilitasi medis, baik terapi simtomatik maupun
konseling adiksi Napza. Sedangkan, IPWL berbasis rumah sakit mampu memberikan rehabilitasi
medis dalam bentuk rawat inap yang bersifat jangka pendek dan yang bersifat jangka panjang.
Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
rehabilitasi dibedakan dua macam, yaitu Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi
Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan narkotika. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara
terpadu baik secara fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Ada banyak metode yang dapat
dilakukan dalam rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sehingga penulis ingin mengetahui
lebih lanjut apa saja metode yang dapat dilakukan dalam rehabilitasi pasien-pasien gangguan
penggunaan NAPZA, sehingga nantinya mereka dapat berfungsi kembali dengan baik di
masyarakat.
2. Rumusan Masalah
1.
3. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Zat psikoaktif khususnya NAPZA memiliki sifat-sifat khusus terhadap jaringan otak yaitu
bersifat menekan aktivitas fungsi otak (depresan) merangsang aktivitas fungsi otak (stimulansia
dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik). Karena otak merupakan sentra perilaku manusia,
maka interaksi antara NAPZA (yang masuk ke dalam tubuh manusia) dengan sel-sel saraf otak
dapat menyebabkan perubahan perilaku manusia. Perubahan perilaku tergantung sifat dan jenis
zat yang masuk ke dalam tubuh (Husin & Siste, 2015).
Pengguna NAPZA apapun jenisnya selalu mengharapkan efek yang menyenangkan bagi
dirinya (efek positif) yaitu euforia, tenang, rileks dan disinhibisi. Efek lainnya pada umumnya
tidak disukai (efek negatif) misalnya waham, halusinasi, berdebar-debar. Efek NAPZA terhadap
pengguna dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu jenisnya (CNS depresant atau CNS stimulant),
dosisnya (intoksikasi saja atau overdose) lamanya penggunaan (toleransi atau belum toleransi),
NAPZA lain yang digunakan bersamaan, situasi (sendiri atau berkelompok) dan harapan
pengguna terhadap NAPZA tersebut (ingin lepas kendali agar lebih berani atau ingin tenang)
(Kemenkes, 2010). Masuknya NAPZA ke dalam tubuh memiliki beberapa cara yaitu disedot
melalui hidung (snorting, sneefing), dihisap melalui bibir (inhalasi, merokok), disuntikkan
dengan jarum suntikan melalui pembuluh darah vena, ditempelkan pada kulit (terutama lengan
3
bagian dalam) yang telah diiris-iris kecil dengan cutter, ada juga yang melakukannya dengan
mengunyah kemudian ditelan.
2. Definisi Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan NAPZA baik
dalam jangka waktu pendek ataupun panjang yang bertujuan mengubah perilaku mereka agar
siap kembali ke masyarakat (Kemenkes, 2010).
Rehabilitasi NAPZA juga merupakan upaya terapi (intervensi) berbasis bukti yang
mencakup perawatan medis, psikososial atau kombinasi keduanya baik perawatan rawat inap
jangka pendek ataupun jangka panjang (Kemenkes, 2011).
Definisi lain mengatakan bahwa rehabilitasi narkoba adalah sebuah tindakan represif
yang dilakukan bagi pencandu narkoba (Psychologymania, 2012).
Tujuannya adalah untuk membantu klien mempertahankan kondisi bebas NAPZA
(abstinensia) dan memulihkan fungsi fisik, psikologis dan sosial (Kemenkes, 2011). Tindakan
rehabilitasi ditujukan kepada korban dari penyalahgunaan narkoba untuk memulihkan atau
mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. Selain untuk
memulihkan, rehabilitasi juga sebagai pengobatan atau perawatan bagi para pecandu narkotika,
agar para pecandu dapat sembuh dari kecanduannya terhadap narkotika (Psychologymania,
2012).
a. Rehabilitasi medis
Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi Medis pecandu
narkotika dapat dilakukan di Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan
yaitu rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun oleh
masyarakat. Selain pengobatan atau perawatan melalui rehabilitasi medis, proses
penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat melalui
pendekatan keagamaan dan tradisional.
4
b. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik
secara fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan
bekas pecandu narkotika disini adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik
secara fisik maupun psikis (Psychologymania, 2012). Tindakan rehabilitasi ini
merupakan tindakan yang bersifat represif yaitu penanggulangan yang dilakukan
setelah terjadinya tindak pidana, dalam hal ini narkotika, yang berupa pembinaan
atau pengobatan terhadap para pengguna narkotika. Dengan upaya-upaya pembinaan
dan pengobatan tersebut diharapkan nantinya korban penyalahgunaan NAPZA dapat
kembali normal dan berperilaku baik dalam kehidupan bermasyarakat
(Psychologymania, 2012).
Dalam proses pemulihan seorang adiksi NAPZA mengalami banyak perubahan yang
dapat dinilai dari motivasinya. Model Stage of Change dimulai dari fase prekontemplasi,
kontemplasi, preparasi, aksi dan rumatan. Ciri-ciri spesifik dari tiap-tiap fase adalah sebagai
berikut :
a) Fase prekontemplasi
Pasien sama sekali belum menyadari adanya perubahan dalam dirinya akibat
menggunakan napza. Pasien tidak memiliki minat untuk berubah meskipun keluarga
atau orang-orang dekat dengannya telah mengingatkannya bahwa telah terjadi
“masalah” akibat tingkah lakunya. Kalau mereka telah masuk ke sentrasentra
rehabilitasi umumnya karena paksaan, ditipu atau karena pelanggaran hukum.
b) Fase Kontemplasi
Pasien telah mulai mengakui telah terjadi kesulitan akibat napza (mungkin telah ada
keluhan fisik) tetapi menolak suatu komitmen untuk berubah. Pasien
mempertimbangkan berbagai kemungkinan-kemungkinan untuk berubah, namun ada
5
perasaan ragu-ragu, bimbang dan ambivalensi. Pasien telah mulai memiliki perasaan
bahwa dalam dirinya telah terjadi suatu problem akibat penggunaan napza.
c) Fase Preparasi
Tampaknya pasien telah secara sungguh-sungguh menunjukkan keinginan berubah
atau kebutuhan untuk berhenti, namun belum siap. Pasien mengaku belum mau
berubah kalau belum merasa betul-betul mantap. Pasien banyak bertanya pada teman
pecandu lain dan mulai mencari- cari info tentang upaya-upayapenyembuhan
ketergantungan napza. Pasien telah memahami dan mengakui adanya “problem
dalam keluarga”, sudah dapat mengambil keputusan untuk menetapkan mau berubah,
untuk memulai upaya penyembuhan.
d) Fase Aksi
Pasien secara aktif mengambil langkah-langkah untuk berubah tetapi belum
mencapai suatu kondisi stabil. Pasien berhasil menunjukkan beberapa perubahan
perilaku yang berkait dengan napza misalnya bersedia mengikuti terapi dan
menghadiri NA meeting. Pada tahap aksi, pasien sudah mulai melatih dan merubah
tingkah lakunya. Pasien mulai mencari aktivitas alternatif diluar fokus problem
ketergantungan napza (misalnya kursus-kursus sederhana, jogging, latihan futsal dan
lain-lain).
e) Fase Rumatan
Pasien telah mencapai sasaran misalnya abstinensia dan sekarang sedang bekerja
keras untuk mempertahankannya. Pasien mulai menghindari menggunakan napza
apapun dan berhasil mengendalikan relaps yang datang serta mampu mengatasinya.
Pasien bersedia secara aktif untuk membantu orang lain yang sependeritaan
dengannya.
6
a. Penilaian yang sistematis terhadap tingkat intoksikasi, keparahan-keparahan putus
zat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu setelah penggunaan
zat terakhir, awitan gejala, frekwensi dan lama penggunaan, efek subyektif dari
semua jenis-jenis NAPZA yang digunakan termasuk jenis-jenis NAPZA lain
selain yang menjadi pilihan utama pasien/klien.
b. Riwayat medik dan psikiatri umum yang komprehensif.
c. Riwayat gangguan penggunaan NAPZA dan terapi sebelumnya.
d. Riwayat keluarga dan sosial ekonomi.
e. Pemeriksaan urin untuk jenis-jenis NAPZA yang disalahgunakan.
f. Skrining penyakit infeksi seperti HIV, tuberculosis, hepatitis.
5. Metode Rehabilitasi
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI no 420/MENKES/SKIII/2010, rehabilitasi
pecandu narkotika dibedakan menjadi dua yaitu:
8
secara lengkap termasuk pemeriksaan penunjang medis. Asesmen yang perlu
dilakukan pada model terapi ini antara lain :
Berikut ini adalah program-program yang dapat diikuti oleh seorang pecandu selama
menjalani program rehabilitasi yaitu :
Pecandu opiat umumnya menggunakan heroin. Sebagian besar dari mereka menggunakan
heroin dengan cara suntik yang tidak aman sehingga mereka sangat mudah mendapat
infeksi seperti hepatitis dan HIV. Guna mengurangi dampak buruk penggunaan opiat
dengan cara suntik diperlukan intervensi pengurangan dampak buruk (harm reduction).
Salah satu intervensinya berupa program terapi rumatan dengan memberikan metadon
cair yang dikenal dengan nama Program Terapi Rumatan Metadona (PTRM).
Metadona merupakan suatu agonis sintetik opioid yang kuat dan diserap dengan baik
secara oral dengan daya kerja jangka panjang. Waktu paruh metadona pada umumnya 24
jam. Penggunaan berkesinambungan akan diakumulasi dalam tubuh khususnya di hati.
Proses akumulasi ini sebagian menjadi alasan mengapa toleransi atas penggunaan
metadona berjalan lebih lambat daripada morfin atau heroin.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI no 57 tahun 2013, pada tahap inisiasi dosis
awal metadona yang dianjurkan adalah 20-30 mg untuk tiga hari pertama. Jika terdapat
intoksikasi atau gejala putus obat berat maka dosis akan dimodifikasi sesuai dengan
keadaan. Metadon harus diberikan dalam bentuk cair dan diencerkan sampai menjadi 100
cc dengan larutan sirup. Pasien harus minum setiap hari dihadapan petugas PTRM.
Tahap selanjutnya adalah tahap stabilisasi, untuk menaikkan dosis secara perlahan
sehingga memasuki tahap rumatan. Dosis yang dianjurkan adalah menaikkan dosis awal
5-10 mg tiap 3-5 hari. Total kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh lebih dari 30 mg.
Pada tahap rumatan, dosis rumatan rata-rata adalah 60-120 mg per hari. Dosis rumatan
10
harus dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur dari keadaan pasien. Fase ini
dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku stabil, baik dalam bidang
pekerjaan, emosi maupun kehidupan sosial. Metadona dapat dihentikan secara bertahap
perlahan (tappering off). Penghentian metadona dapat dilakukan pada keadaan berikut :
pasien sudah dalam keadaan stabil, minimal 6 bulan pasien dalam keadaan bebas heroin,
pasien dalam kondisi yang stabil untuk bekerja dan memiliki dukungan hidup yang
memadai. PTRM tidak hanya memberikan metadona semata-mata melainkan juga
intervensi medis dan psikososial lain yang dibutuhkan pasien (Kemenkes 2013; Husin &
Siste, 2015). Keberhasilan dalam proses terapi rumatan metadon yaitu bila pasien mampu
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan keluarga serta mampu berkontribusi bagi
masyarakat di lingkungannya.
- Program pengobatan
11
- Program pendidikan
- Rehabilitasi vokasional
Di dalam TC ada berbagai norma-norma dan falsafah yang dianut untuk membentuk
perilaku yang lebih baik. Norma-norma dan falsafah yang ditanamkan dalam TC tersebut
kemudian berkembang menjadi suatu budaya TC, yang didalamnya mencakup (Winanti,
2008) :
b) Cardinal Rules
Cardinal Rules merupakan peraturan utama yang harus dipahami dan ditaati dalam
program TC, yaitu :
12
a. Behaviour management shaping (Pembentukan tingkah laku)
Perubahan perilaku yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola
kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai,
normanorma kehidupan masyarakat.
b. Emotional and psychological (Pengendalian emosi dan psikologi)
Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan penyesuaian
diri secara emosional dan psikologis.
c. Intellectual and spiritual (Pengembangan pemikiran dan kerohanian)
Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan,
nilainilai spiritual, moral dan etika, sehingga mampu menghadapi dan mengatasi
tugastugas kehidupannya maupun permasalahan yang belum terselesaikan.
d. Vocational and survival (Keterampilan kerja dan sosial serta bertahan hidup)
Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dan
keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas
sehari-hari maupun masalah dalam kehidupannya.
Lima Pillars (5 tonggak dalam program) :
a. Family milieu concept (Konsep kekeluargaan)
Untuk menyamakan persamaan di kalangan komunitas supaya bersama
menjadi bagian dari sebuah keluarga.
b. Peer pressure (Tekanan rekan sebaya)
Proses dimana kelompok menekan seorang residen dengan menggunakan
teknik yang ada dalam “TC”.
c. Therapeutic session (Sesi terapi)
Berbagai kerja kelompok untuk meningkatkan harga diri dan perkembangan
pribadi dalam rangka membantu proses kepulihan.
d. Religius session (Sesi agama)
Proses untuk meningkatkan nilai-nilai dan pemahaman agama.
e. Role modelling (Keteladanan) Proses pembelajaran dimana seorang residen
belajar dan mengajar mengikuti mereka yang sudah sukses.
13
4) Metode 12 langkah
Metode 12 langkah berasal dari Model perawatan adiksi Minnesota (juga dikenal sebagai
model abstinen), pertama kali dibuat di rumah sakit Minnesota pada 1950. Di Amerika
Serikat, jika seseorang kedapatan mabuk atau menyalahgunakan NAPZA, pengadilan
akan memberikan hukuman untuk mengikuti program 12 langkah. Pecandu yang
mengikuti program ini dimotivasi untuk mengimplementasikan ke 12 langkah ini dalam
kehidupan sehari-hari. (Kelly, 2011)
Fokus dari Program 12 Langkah adalah penerapan langkah-langkah itu dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam hal ini penggunaan istilah Falsafah menjadi lebih relevan, karena
langkah-langkah ini menjadi panduan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang
pecandu yang ingin mempertahankan kebersihannya dan membina perjalanan
spiritualnya. Dengan pengamalan dari langkah-langkah inilah para pecandu akan dapat
meredam penyakitnya agar tidak kambuh sepanjang hayatnya.. Setiap langkah
ditargetkan untuk mengatasi setiap aspek spesifik dalam penyakit kecanduan (Kemenkes,
2010).
Berikut adalah contoh 12 (Dua Belas) langkah seperti yang tertera dalam program
Narcotic Anonymous (NA) yaitu :
1. Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita, sehingga hidup kita
menjadi tidak terkendali.
2. Kita menjadi yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kita sendiri yang
dapat mengembalikan kita kepada kewarasan.
3. Kita membuat keputusan menyerahkan kemauan dan arah kehidupan kita kepada
kasih Tuhan sebagaimana kita memahami-Nya.
4. Kita membuat inventaris moral diri kita sendiri secara penuh, memyeluruh dan
tanpa rasa gentar.
5. Kita mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan kepada seorang manusia
lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan-kesalahan kita.
6. Kita siap sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua kecacatan karakter kita.
7. Kita dengan rendah hati memohon padaNya untuk menyingkirkan semua
kekurangan-kekurangan kita.
14
8. Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan menyiapkan diri untuk
meminta maaf kepada merka semua.
9. Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-orang tersebut bilamana
memungkinkan kecuali bila melakukannya akan justru melukai mereka atau orang
lain.
10. Kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita dan bilaman kita
bersalah segera mengakui kesalahan kita.
11. Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk memperbaiki kontak
sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita memahamiNya, berdoa hanya untuk
mengetahui kehendaknya atas diri kita dan kekuatan untuk melaksanakannya.
12. Setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari langkah-langkah ini kita
mencoba menyampaikan pesan ini kepada para pecandu dan untuk menerapkan
prinsip-prinsip ini dalam segala hal yang kita lakukan.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rehabilitasi pecandu NAPZA adalah suatu program yang ditujukan kepada pecandu yang
bersifat terpadu mencakup aspek biopsikososiokultural spiritual agar para pecandu dapat
berfungsi kembali secara fisik, medis, dan sosial serta dalam pekerjaan sehari-hari. Rehabilitasi
selain bertujuan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika juga agar bekas
pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Tahapan rehabilitasi terdiri dari fase pertama untuk assesment awal, lanjut rehabilitasi
medis, rehabilitasi sosial dan aftercare. Beberapa program rehabilitasi yang dapat dijalankan
pecantu NAPZA yaitu terapi detoksifikasi, terapi substitusi opioid, Therapeutic community dan
program terapi 12 langkah narcotic anonimus.
16
Daftar Pustaka
Kemenkes, 2010. Pedoman layanan terapi dan rehabilitasi komprehensif pada penggunaan Napza
berbasis rumah sakit. Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal
Bina pElayanan Medik Kementerian kesehatan RI.
Kemenkes, 2011. Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA.
Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI.
Husin, A. B. & Siste, K., 2015. Gangguan Penggunaan Zat. In: S. D. Elvira & G. Hadisukanto,
eds. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp.
143-171.
http://repository.ump.ac.id/2258/2/ZICO%20ARFIAN%20BAB%20I.pdf
034ffac6dbca391e8390d2cf8e188342.pdf
http://repository.upi.edu/20119/4/S_TB_1104333_Chapter1.pdf
17