Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN ANALISIS JURNAL

HIPERTENSI

Dosen Pengampu: Ns. Yelstria Ulina Tarigan,M.Kep.

Disusun Oleh:

KELOMPOK 4

1. Edina (2019.C.11a.1074) 4. Rita Monika Dwi Andriani


2. Ledy Anggare Larasati Damek (2019.C.11a.1059)
(2019.C.11a.1048) 5. Tumise (2019.C.11a.1066)
3. Ralin Andari (2019.C.11a.1057) 6. Yessi (2019.C.11a.1071)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

TAHUN 2019/2020

ANALISIS JURNAL
JUDUL JURNAL: “HUBUNGAN ANTARA HIPERTENSI DENGAN
KEJADIAN PENYAKIT JANTUNG KORONER PADA PASIEN YANG
BEROBAT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Prof. Dr. R. D. KANDOU
MANADO”

PENULIS JURNAL: “Windy G. Amisi , Jeini E Nelwan, Febi K Kolibu.”

LATAR BELAKANG:

Hipertensi adalah keadaan di mana tekanan darah mengalami peningkatan


yang memberikan gejala berlanjut pada suatu organ target di tubuh. Hal ini dapat
menimbulkan kerusakan yang lebih berat, misalnya stroke (terjadi pada otak dan
menyebabkan kematian yang cukup tinggi), penyakit jantung koroner (terjadi
kerusakan pembuluh darah jantung), dan hipertrofi ventrikel kiri (terjadi pada otot
jantung). Hipertensi juga dapat menyebabkan penyakit gagal ginjal, penyakit
pembuluh lain dan penyakit lainnya (Syahrini et al., 2012).

Umumnya penyakit hipertensi terjadi pada orang yang sudah berusia lebih
dari 40 tahun. Penyakit ini biasanya tidak menunjukkan gejala yang nyata dan
pada stadium awal belum menimbulkan gangguan yang serius pada kesehatan
penderitanya (Gunawan, 2012). Hal ini serupa seperti yang dikemukakan oleh
Yogiantoro (2006), hipertensi tidak mempunyai gejala khusus sehingga sering
tidak disadari oleh penderitanya. Di dunia diperkirakan 7,5 juta kematian
disebabkan oleh tekanan darah tinggi. Pada tahun 1980 jumlah orang dengan
hipertensi ditemukan sebanyak 600 juta dan mengalami peningkatan menjadi
hampir 1 milyar pada tahun 2008 (WHO, 2013). Hasil riset WHO pada tahun
2007 menetapkan hipertensi pada peringkat tiga sebagai faktor resiko penyebab
kematian dunia. Hipertensi telah menyebabkan 62% kasus stroke, 49% serangan
jantung setiap tahunnya (Corwin, 2007). Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil
riset kesehatan tahun 2007 diketahui bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia
sangat tinggi, yaitu rata-rata 3,17% dari total penduduk dewasa. Hal ini berarti
dari 3 orang dewasa, terdapat 1 orang yang menderita hipertensi (Riskesdas,
2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Riskesdas menemukan prevalensi
hipertensi di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 25,8%. Daerah Bangka Belitung
menjadi daerah dengan prevalensi hipertensi yang tertinggi yaitu sebesar 30,9%,
kemudian diikuti oleh Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%)
dan Jawa Barat (29,4%) (Riskesdas, 2013).

Tekanan darah tinggi dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah
satunya adalah stres. Stres merupakan suatu respon nonspesifik dari tubuh
terhadap setiap tekanan atau tuntutan yang mungkin muncul, baik dari kondisi
yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan (Sadock & Sadock, 2003).

TUJUAN PENULISAN: Untuk mengetahui hubungan antara hipertensi dengan


penyakit jantung koroner

HASIL PENELITIAN:

Data World Health Organization (WHO) tahun 2016 yang menyebutkan


bahwa 56 juta kematian diseluruh dunia, 38 juta diantaranya disebabkan oleh
PTM dan proporsi penyebab utama kematian PTM pada tahun 2016 itu
diantaranya: penyakit kardiovaskular (37%), kanker (27%), penyakit pernapasan
(8%) dan diabetes (4%). Selanjutnya, WHO juga melaporkan bahwa kematian
karena penyakit kardiovaskular tersebut 7,4 juta disebabkan oleh PJK (PJK) dan
sebesar 6,7 juta orang disebabkan oleh stroke (WHO, 2016).

Menurut Riset kesehatan dasar (Riskesdas) berdasarkan diagnosis dokter,


prevalensi PJK di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar
883.447 orang. Penderita terbanyak terdapat di Propinsi Jawa Timur sebanyak
337.127 orang (1,3%). Di Sulawesi Utara sendiri berdasarkan diagnosis dokter,
prevalensi PJK sebanyak 11.892 orang (0,7%). Data tersebut juga menunjukkan
bahwa Prevalensi PJK di kota Manado sebesar 0,5%.

Dari hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa faktor resiko dari PJK
dapat di bagi dua, yaitu yang pertama adalah faktor resiko yang dapat diubah yaitu
hipertensi, dislipidemia, merokok, obesitas, diabetes melitus, aktifitas fisik, stress,
dan yang kedua faktor resiko yang tidak dapat diubah yaitu umur, jenis kelamin
dan genetik. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama yang dapat
diubah. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penderita hipertensi lebih
beresiko 5x menderita PJK di banding dengan yang tidak hipertensi (Farahdika,
2015; Abdul, 2014). Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. R. D. Kandou Manado,
merupakan rumah sakit terbesar di Sulawesi Utara. Rumah sakit ini merupakan
pusat rujukan pasien PJK. Hal ini didukung fasilitas kesehatan yang memadai
karena memiliki ruang instalasi Cardio-Vascular and Brain Center (CVBC).
Penelitian dari Nelwan (2017) menunjukkan bahwa jumlah pasien yang datang
berkunjung di instalasi.

Berdasarkan penlitian yang dilakukan oleh Hariadi dan Ali (2008)


didapatkan angka kejadian laki – laki lebih tinggi dibanding perempuan, yaitu
64,7% berbanding 35,3%. Angka morbiditas atau mortalitas PJK meningkat
menurut faktor umur, simtomatologi klinis dapat terlihat secara dini pada tingkat
dua dekade usia namun kasus PJK meningkat secara lambat laun pada usia 30
sampai 50 tahun. Kira-kira 55% Korban serangan jantung berusia 65 tahun atau
lebih dan mereka yang meninggal adalah empat dari lima orang berusia 65 tahun
ke atas, walaupun terjadi perbaikan diit dan pengurangan faktor-faktor resiko lain
dapat merubah kecenderungan pada para orang tua dimasa mendatang,
kebanyakan orang yang berada dalam resiko pada masa kini merupakan refleksi
dari pemeliharaan kesehatan yang buruk pada masa lalu (Siregar 2009). Hasil
penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara hipertensi dengan kejadian
PJK dimana responden yang menderita hipertensi lebih berisiko 2,6 kali
menderita PJK dari pada yang tidak menderita hipertensi. Hasil penelitian ini
selaras dengan penelitian Fadika (2015) tentang faktor resiko yang berhubungan
dengan PJK pada usia dewasa di RS Umum Daerah kota Semarang menunjukan
bahwa adanyaHubungan antara hipertensi dengan PJK hal tersebut menunjukan
bahwa responden hipertensi beresiko 5,091 menderita PJK dibanding responden
yang tidak hipertensi. Penelitian Soeharto (2012) yang mengatakan bahwa
hipertensi memberi gejala lebih lanjut untuk suatu organ seperti strok dan juga
PJK. Selanjutnya, Yusnidar (2007) yang menyatkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara hipertensi dengan PJK. Berdasarkan hasil penelitian
Zahrawardani (2013) tentang analisis faktor resiko kejadian penyakit jantung
koroner di RSUP Dr. Kariadi Semarang. ada hubunga yang bermakna antara
hipertensi dengan kejadian PJK. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,002
(p<0,05)

Tekanan darah yang tinggi secara terus menerus menyebabkan kerusakan


sistem pembuluh darah arteri dengan perlahan –lahan. Arteri tersebut mengalami
pengerasan yang disebabkan oleh endapan lemak pada dinding, sehingga
menyempitka lumen yang terdapat di dalam pembulu darah menyebabkan
terjadinya PJK. Peningkatan tekanan darah sistemik akibat hipertensi
meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari vertikel kiri, sehingga
beban kerja jantung bertambah (Marliani 2013). hubungan antara hipertensi
dengan PJK begitu juga dengan penelitian dari sulistyo pada tahun 2012
mengatakan tidak terdapt hubungan hipertensi terhadap PJK. perbedaan hasil
dengan penelitian lain disebabkan karena perbedaanmetode penelitian, dan juga
grade/derajat ataupun jangka waktu penyakit hipertensi yang diderita oleh masing
– masing responden.

Etiologi Hipertensi

1. Hipertensi Essensial

Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar


patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial.
Penyebab hipertensi meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik
mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas
pembuluh darah terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain.
Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok,
stress emosi, obesitas dan lain-lain (Nafrialdi, 2009). Pada sebagian besar pasien,
kenaikan berat badan yang berlebihan dan gaya hidup tampaknya memiliki peran
yang utama dalam menyebabkan hipertensi. Kebanyakan pasien hipertensi
memiliki berat badan yang berlebih dan penelitian pada berbagai populasi
menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang berlebih (obesitas) memberikan
risiko 65-70 % untuk terkena hipertensi primer (Guyton, 2008).
2. Hipertensi sekunder

Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari


penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan
darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis
atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering.
Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan
hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah
(Oparil, 2003). Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering
berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung koroner,
diabetes dan kelainan sistem saraf pusat (Sunardi, 2000).

Jenis-Jenis Hipertensi

Jenis Hipertensi Menurut Herbert Benson, dkk, berdasarkan etiologinya hipertensi


dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) Hipertensi esensial (hipertensi primer atau idiopatik) adalah hipertensi yang


tidak jelas penyebabnya, hal ini ditandai dengan terjadinya peningkatan kerja
jantung akibat penyempitan pembuluh darah tepi. Lebih dari 90% kasus hipertensi
termasuk dalam kelompok ini. Penyebabnya adalah multifaktor, terdiri dari faktor
genetik, gaya hidup, dan lingkungan.

2) Hipertensi sekunder, merupakan hipertensi yang disebabkan oleh penyakit


sistemik lain yaitu, seperti renal arteri stenosis, hyperldosteronism,
hyperthyroidism, pheochromocytoma, gangguan hormon dan penyakit sistemik
lainnya. Prevalensinya hanya sekitar 5-10% dari seluruh penderita hipertensi
(Herbert Benson, dkk, 2012).

Menurut Efendi Sianturi (2004) berdasarkan gejala klinis, hipertensi dibedakan


menjadi dua, yaitu:

1) Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang tidak menimbulkan gejala-


gejala, biasanya ditemukan pada saat check up. Pada hipertensi benigna, tekanan
darah sistolik maupun diastolik belum meningkat, bersifat ringan atau sedang dan
belum tampak kelainan dari kerusakan organ.
2) Hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang membahayakan, ditandai
dengan kenaikan tekanan darah yang tiba-tiba dan tidak biasa ke level yang
berbahaya, sering dengan angka diastolik 120-130 mmHg atau lebih. Hipertensi
ini merupakan akibat komplikasi organ-organ seperti otak, jantung, ginjal.
Hipertensi maligna merupakan emeregensi medik dan memerlukan terapi segera
(Efendi S, 2004).

Gejala Klinis Hipertensi

Hipertensi seringkali disebut sebagai pembunuh gelap (silent killer), karena


termasuk penyakit yang mematikan, tanpa disertai gejala-gejalanya sebagai
peringatan. Adapun gejala hipertensi yang muncul dianggap sebagai gangguan
biasa, penderita juga mengabaikan dan terkesan tidak merasakan apapun atau
berprasangka dalam keadaan sehat, sehingga penderita terlambat dan tidak
mengetahui dirinya mengidap hipertensi. Gejala yang dirasakan bervariasi,
bergantung pada tingginya tekanan darah. Gejala-gejala hipertensi, yaitu:

1) sakit kepala

2) mimisan

3) jantung berdebar-debar

4) sering buang air kecil di malam hari

5) sulit bernafas

6) mudah lelah

7) wajah memerah

8) telinga berdenging

9) vertigo

10) pandangan kabur


Keluhan yang sering dirasakan dan dijumpai adalah pusing yang terasa
berat pada bagian tengkuk, biasanya terjadi pada siang hari (Lany Sustrani, dkk,
2005).

Menurut Elizabeth J. Corwin (2001), sebagian besar hipertensi tanpa


disertai gejala yang mencolok dan manifestasi klinis timbul setelah mengetahui
hipertensi bertahun-tahun berupa:

1) Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
tekanan darah intrakranium.

2) Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi

3) Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf

4) Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus

5) edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler. peninggian tekanan darah


kadang merupakan satu-satunya gejala, terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak,
atau jantung (Elizabeth Corwin, 2001).

Patofisiologi Hipertensi :

Banyak faktor yang turut berinteraksi dalam menentukan tingginya natrium


tekanan darah. Tekanan darah ditentukan oleh curah jantung dan tahanan perifer,
tekanan darah akan meninggi bila salah satu faktor yang menentukan tekanan
darah mengalami kenaikan, atau oleh kenaikan faktor tersebut (Kaplan N.M,
2010).

1. Curah jantung Peningkatan curah jantung dapat terjadi melalui 2 cara yaitu
peningkatan volume cairan (preload) dan rangsangan syaraf yang mempengaruhi
kontraktilitas jantung. Bila curah jantung meningkat tiba-tiba, misalnya
rangsangan syaraf adrenergik, barorefleks akan menyebabkan penurunan
resistensi vaskuler dan tekanan darah akan normal, namun pada orang tertentu,
kontrol tekanan darah melalui barorefleks tidak adekuat, ataupun kecenderungan
yang berlebihan akan terjadi vasokonstriksi perifer, menyebabkan hipertensi yang
temporer akan menjadi hipertensi dan sirkulasi hiperkinetik. Pada hipertensi yang
menetap, terjadi peningkatan resistensi perifer, sedangkan curah jantung normal
atau menurun (Kaplan N.M, 2010).

2. Resistensi perifer Peningkatan resistensi perifer dapat disebabkan oleh


hipertrofi dan konstriksi fungsional dari pembuluh darah, berbagai faktor yang
dapat menyebabkan mekanisme ini yaitu adanya:

1) promote pressure growth seperti adanya katekolamin, resistensi insulin,


angiostensin, hormon natriuretik, hormon pertumbuhan, dll

2) faktor genetik adanya defek transport natrim dan Ca terhadap sel membran.

3) faktor yang berasal dari endotel yang bersifat vasokonstriktor seperti


endotelium, tromboxe A2 dan prostaglandin H2 (Kaplan N.M, 2010).

Diagnosis Hipertensi Menurut Slamet Suyono (2001), evaluasi pasien hipertensi


mempunyai tiga tujuan:

1) mengidentifikasi penyebab hipertensi.

2) menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler, beratnya


penyakit, serta respon terhadap pengobatan.

3) mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain atau penyakit


penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan
pengobatan. Diagnosis hipertensi esensial ditegakkan berdasarkan data anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang
(Yogiantoro M, 2014). Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan
lama menderita hipertensi, riwayat, dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan,
seperti penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan lainnya, riwayat
penyakit dalam keluarga, gejala yang berkaitan dengan penyakit hipertensi,
perubahan aktifitas atau kebiasaan (merokok, konsumsi makanan, riwayat dan
faktor psikososial lingkungan keluarga, pekerjaan, dan lain-lain) (Yogiantoro M,
2014). Pemeriksaan fisik dilakukan dengan pengukuran tekanan darah pada
penderita dalam keadaan nyaman dan relaks. Pengukuran dilakukan dua kali atau
lebih dengan jarak dua menit, kemudian diperiksa ulang dengan kontrolatera
(Yogiantoro M, 2014). Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
penderita hipertensi terdiri dari tes darah rutin, glukosa darah (sebaiknya puasa),
kolesterol total serum, kolesterol LDL dan HDL serum, trigliserida serum (puasa),
asam urat serum, kreatinin serum, kalium serum, hemoglobin dan hematokrit,
urinalisis dan elektrokardiogram. Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan
ekokardiogram, USG karotis dan femoral, foto rontgen, dan fundus kopi
(Yogiantoro M, 2014).

Faktor Resiko Hipertensi

 Usia: risiko meningkat seiring dengan pertambahan usia

 Riwayat Kesehatan Keluarga: orang cenderung lebih mudah untuk menderita


hipertensi jika ada anggota keluarganya yang pernah menderita penyakit yang
sama sebelumnya

 Berat: kelebihan berat badan atau obesitas

 Pola Makan: terlalu banyak garam (natrium) dalam makanan untuk jangka
waktu yang lama

 Gaya hidup: merokok, minum, stres, dan kurang olahraga

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan kejadian Hipertensi Tidak


Terkendali

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi tidak terkendali


dibagi dalam 2 kelompok yaitu faktor yang tidak dapat dikendalikan dan faktor
yang dapat dikendalikan, seperti gaya hidup, sosial ekonomi, penyakit penyerta,
dan kepatuhan.

1) Umur Hipertensi pada orang dewasa berkembang mulai umur 18 tahun ke atas.
Hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan umur, semakin tua usia
seseorang maka pengaturan metabolisme zat kapur (kalsium) terganggu. Hal ini
menyebabkan banyaknya zat kapur yang beredar bersama aliran darah. Akibatnya
darah menjadi lebih padat dan tekanan darah pun meningkat. Endapan kalsium di
dinding pembuluh darah menyebabkan penyempitan pembuluh darah
(arteriosklerosis). Aliran darah pun menjadi terganggu dan memacu peningkatan
tekanan darah (Dina T et al, 2013). Dalam penelitian yang dilakukan Sigalargi
(2006), menemukan insidensi hipertensi pada usia 41-55 sebesar 24,52% dan pada
usia lebih dari 55 tahun sebesar 65,68%. Penelitian Aris (2007) menyatakan
bahwa umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi.
Pertambahan usia menyebabkan elastisitas arteri berkurang dan jantung harus
memompa darah lebih kuat sehingga meningkatkan tekanan darah (Chobanian et
al, 2003).

2) Jenis Kelamin Pada umumnya pria lebih banyak menderita hipertensi


dibandingkan dengan perempuan, dengan rasio sekitar 2,29% untuk peningkatan
tekanan darah sistolik. Pria sering mengalami tanda-tanda hipertensi pada usia
akhir tiga puluhan. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat
meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan perempuan. Akan tetapi
setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada perempuan meningkat.
Wanita memilikiresiko lebih tinggi untuk menderita hipertensi. Produksi hormon
estrogen menurun saat menopause, wanita kehilangan efek menguntungkannya
sehingga tekanan darah meningkat (Herbert Benson, dkk, 2012).

3) Keturunan (Genetik) Pada 70-80% kasus hipertensi esensial, terdapat riwayat


hipertensi dalam keluarga. Faktor genetik ini juga dipengaruhi faktor-faktor
lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan seseorang menderita hipertensi.
Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin
membran sel. Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi
maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya
yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya (Anna
Palmer, 2007). Hipertensi ditemukan lebih banyak terjadi pada kembar monozigot
(berasal dari satu sel telur) dibanding heterozigot (berasal dari sel telur yang
berbeda). Jika memiliki riwayat genetik hipertensi dan tidak melakukan
penanganan atau pengobatan maka ada kemungkinan lingkungan akan
menyebabkan hipertensi berkembang dalam waktu 30 tahun, akan muncul tanda-
tanda dan gejala hipertensi dengan berbagai komplikasi (Lany Gunawan, 2005).
4) Etnis Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam daripada yang
berkulit putih, serta lebih besar tingkat morbiditas maupun mortalitasnya. Sampai
saat ini, belum diketahui secara pasti penyebabnya. Beberapa peneliti
menyebutkan bahwa terdapat kelainan pada gen angiotensinogen tetapi
mekanismenya mungkin bersifak poligenik (Gray, 2005).

Faktor-Faktor yang Dapat Dikendalikan

1) Obesitas
2) Konsumsi Garam
3) Stres
4) Merokok
5) Konsumsi alkhohol
6) Kebiasaan minum kopi
7) Kebiasaan Olahraga

Pencegahan hipertensi
Haruslah diakui sangat sulit untuk mendeteksi dan mengobati
penderita hipertensi secara adekuat, harga obat-obat antihipertensi tidaklah
murah, obat-obat baru amat mahal, dan mempunyai banyak efek samping.
Untuk alas an inilah pengobatan hipertensi memang penting tetapi tidak
lengkap tanpa dilakukan tindakan pencegahan untuk menurunkan faktor
resiko penyakit kardiovaskuler akibat hipertensi. Pencegahan sebenarnya
merupakan bagian dari epngobatan hipertensi karena mampu memutus
mata rantai penatalaksanaan hipertensi dan komplikasinya. Pencegahan
hipertensi dilakukan melalui dua pendekatan :
i) intervensi untuk menurunkan tekanan darah di populasi dengan
tujuan menggeserdistribusi tekanan darah kea rah yang lebih
rendah. Penurunan TDS sebanyak 2 mmHg di populasi mampu
menurunkan kematian akibat stroke, PJK, dan sebabsebab lain
masing-masing sebesar 6%, 4% dan 3%. Penurunan TDS 3 mmHg
ternyata dapat menurunkan kematian masingmasing sebesar 8%,
5% dan 4%.
ii) strategi penurunan tekanan darah ditujukan pada mereka yang
mempunyai kecenderungan meningginya tekanan darah, kelompok
masyarakat ini termasuk mereka yang mengalami tekanan darah
normal dalam kisaran yang tinggi (TDS 130-139 mmHg atau TDD
85-89 mmHg), riwayat keluarga ada yang menderita hipertensi,
obsitas, tidak aktif secara fisik, atau banyak minum alcohol dan
garam. Berbagai cara yang terbukti mampu untuk mencegah
terjadinya hipertensi, yaitu pengendalian berat badan, pengurangan
asupan natrium kloride, aktifitas alcohol, pengendalian stress,
suplementasi fish oil dan serat The 5-year primary prevention of
hypertension meneliti berbagai faktor intervensi terdiri dari
pengurangan kalori, asupan natrium kloride dan alcohol serta
peningkatan aktifitas fisik. Hasil penelitian menunjukkan
penurunan berat badan sebesar 5,9 pounds berkaitan dengan
penurunan TDS dan TDD sebesar 1,3 mmHg dan 1,2 mmHg.
Penelitian yang mengikut sertakan sebanyak 47.000 individu
menunjukan perbedaan asupan sodium sebanyak 100 mmo1/hari
berhubungan dengan perbedaan TDS sebesar 5 mmHg pada usia
15-19 tahun dan 10 mmHg pada usia 60-69 tahun. Meningginya
TDS dan TDD, meningkatnya sirkulasi kadar kateholamin,
cortisol, vasopressin, endorphins, andaldosterone, dan penurunan
ekskresi sodium di urine merupakan respons dari rangsangan stress
yang akut. Intervensi pemnegdalian stress seperti relaksasi,
meditasi dan biofeedback mampu mencegah dan mengobati
hipertensi.
Etiologi Hipertensi 1. Hipertensi essensial Hipertensi essensial atau
idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologis yang
jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial.
Penyebab hipertensi meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor
genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan
terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap
vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang
termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok,
stress emosi, obesitas dan lain-lain (Nafrialdi, 2009). Pada
sebagian besar pasien, kenaikan berat badan yang berlebihan dan
gaya hidup tampaknya memiliki peran yang utama dalam
menyebabkan hipertensi. Kebanyakan pasien hipertensi memiliki
berat badan yang berlebih dan penelitian pada berbagai populasi
menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang berlebih (obesitas)
memberikan risiko 65-70 % untuk terkena hipertensi primer
(Guyton, 2008). 2. Hipertensi sekunder Meliputi 5-10% kasus
hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari penyakit komorbid
atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah.
Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal
kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang
paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun
tidak, dapat menyebabkan 11 hipertensi atau memperberat
hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Oparil, 2003).
Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan
dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung koroner,
diabetes dan kelainan sistem saraf pusat (Sunardi, 2000).

HASIL ANALISA :

Dari hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara hipertensi


dengan penyakit jantung koroner pada usia dewasa madya (41-60 tahun). Hal
tersebut dibuktikan dalam analisis bivariat di peroleh nilai p value = 0,002 (<
0,05), dari hasil analisis juga diperoleh Odd Ratio (OR) = 5,091 (95% Cl = 1,941-
13,352). Hal tersebut menunjukkan bahwa responden hipertensi berisiko 5,091
kali menderita penyakit jantung koroner dibandingkan responden yang tidak
hipertensi. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Soeharto (2001) yang
mengatakan bahwa hipertensi memberi gejala lebih lanjut untuk suatu organ
seperti stroke dan penyakit jantung koroner. Hasil penelitian ini diperkuat oleh
penelitian sebelumnya Yusnidar (2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara hipertensi dengan penyakit jantung koroner dengan p value
= 0,004 (<0.05) dan OR=3,5. Penelitian Soeharto (2012) yang mengatakan bahwa
hipertensi memberi gejala lebih lanjut untuk suatu organ seperti strok dan juga
PJK. Selanjutnya, Yusnidar (2007) yang menyatkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara hipertensi dengan PJK. Berdasarkan hasil penelitian
Zahrawardani (2013) tentang analisis faktor resiko kejadian penyakit jantung
koroner di RSUP Dr. Kariadi Semarang. ada hubunga yang bermakna antara
hipertensi dengan kejadian PJK. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,002
(p<0.5). Metode penelitian, dan juga grade/derajat ataupun jangka waktu penyakit
hipertensi yang diderita oleh masing – masing responden.
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:

1. Adanya hubungan antara hipertensi dengan kejadian PJK

2. Penderita hipertensi lebih beresiko 2,667 kali menderita PJK dibanding


responden yang tidak menderita hipertensi.

Saran

1. Perlu adanya tindakan pencegahan kejadian PJK melalui pengendalian tekanan


darah masyarakat melalui meningkatkan pengetahuan melalui penyuluhan bahaya
dari hipertensi dan juga melakukan deteksi dini terhadap penderita hipertensi.

2. Bagi penderita hipertensi dapat lebih meningkatkan pola hidup sehat agar dapat
terhindar dari PJK.

3. Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor resiko lain


selain hipertensi dengan kejadian PJK sehingg bisa memperoleh hasil yang lebih
baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/kesmas/article/view/23124/22819

http://eprints.ums.ac.id/39382/4/04.%20BAB%20I.pdf

https://lib.unnes.ac.id/20420/1/6411410092-S.pdf

Hariadi 2009. Pengaruh lama hipertensi dengan kejadian PJK. (online)


https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jkk/artic le/download/2568/1391

file:///C:/Users/ASUS/Downloads/5188-Article%20Text-10661-1-10-
20150429.pdf

Anda mungkin juga menyukai