Anda di halaman 1dari 58

MAKALAH

TRAUMA DADA

Oleh :

Kelompok 2 :

 Nuraini
 Lukman hakim
 Yusril
 Yeni rozana
 Devi maharani
 Mawarni
 Rahayu aswinani
 Nurul awalia midanda
 Wahyu wulandari
 Lisa artianti
DOSEN PEMBIMBING : Ns.Riani, S. Kep, M.Kes

UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI


FAKULTAS KESEHATAN
S1 KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian..................................................................................................2
B. Anatomi dan fisiologi otak........................................................................3
C. Etiologi.......................................................................................................7
D. Manifestasi klinis.......................................................................................8
E. Jenis trauma kepala....................................................................................8
F. Patofisiologi ............................................................................................10
G. Dampak trauma kepala............................................................................11
H. Komplikasi pada trauma kepala...............................................................14
I. Managemen medis secara umum............................................................14
J. Pemeriksaan diagnostik...........................................................................15
K. Penatalaksanaan khusus...........................................................................16
BAB III
A. Tinjauan kasus.........................................................................................19
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...47
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa karena atas rahmatnya kami dapat
menyelesaikan makalah asuhan keperawatan pada Tn.D dengan gangguan sistem persarafan : post
craniotomy a.i trauma kepala di ruang rc.3 bedah saraf.

Dalam makalah ini penulis membahas tentang asuhan keperawatan pada Tn.D dengan
gangguan sistem persarafan : post craniotomy a.i trauma kepala di ruang rc.3 bedah saraf.

Dalam menyelesaikan makalah ini, kami telah banyak mendapat bantuan dan masukan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini tim penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
Ns.Riani, S. Kep, M.Kes selaku dosen mata kuliah Keperawatan gawat darurat yang telah
membimbing kami sehingga pengetahuan kami semakin bertambah. Pihak-pihak yang tidak dapat
kami sebutkan satu persatu yang telah turut membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik dalam waktu yang tepat.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dalam susunan maupun
isinya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
mahasiswa/mahasiswi.

Bangkinang, 22 maret 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Menurut Barell, Heruti, Abargel dan Ziv (1999), sebanyak 1465 korban mengalami trauma
kepala, sedangkan 1795 korban mengalami trauma yang multipel dalam penelitian di Israel.
Kecederaan multipel berkaitan dengan keparahan dan ia adalah asas dalam mendiagnosa gambaran
keseluruhan kecederaan. Dengan merekam seluruh kecederaan yang dialami oleh korban, ia dapat
membantu dalam mengidentifikasi kecederaan yang sering mengikut penyebab trauma pada korban.
Trauma Murni adalah apabila korban didiagnosa dengan satu kecederaan pada salah satu regio
atau bagian anatomis yang mayor (Barell, Heruti, Abargel dan Ziv, 1999).
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal
pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi impak
pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional. Trauma kepala
paling banyak dicatat pada pasien politrauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti
amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan
jiwa yang lain (Veterans Health Administration Transmittal Sheet). Ada beberapa trauma yang sering
terjadi yaitu:
1.1.1. Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi serta pada
aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada beberapa bagian ini.
1.1.2. Trauma toraks
Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding toraks dan
cedera paru.
1.1.3. Trauma abdominal
Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian organ dalam dan bagian luar
abdominal

1.1.4. Trauma tungkai atas


Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga menyebabkan cedera dan putus
ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari tulang bahu, lengan atas, siku, lengan bawah, pergelangan
tangan, jari-jari tangan serta ibu jari.
1.1.5. Trauma tungkai bawah
Kecederaan yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik. Cedera pada bagian lain
ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur, lutut atau patella, ke arah distal lagi yaitu fraktur
tibia, fraktur fibula, tumit dan telapak kaki (James, Corry dan Perry, 2000).

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1. Pengertian
2.1.1. Pengertian Trauma Kepala
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown,
Thomas, 2006).
Menurut Satya Negara (1998:148) mengemukakan bahwa cedera kepala merupakan
jumlah deformitas jaringan di kepala yang diakibatkan oleh suatu kekuatan mekanis.
Dari beberapa penegertian di atas dapat disimpulkan bahwa trauma kepala atau cidera
kepala adalah suatu kerusakan yang menimpa struktur kepala yang disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar yang dapat menimbulkan gangguan fugsional jaringan otak.

2.1.2. Pengertian Trauma Kepala Sedang


Menurut Arief Mansjoer, (2000:5) dan Hudak and Gallo,alih bahasa Monica E.D
Adiyanti (1996:226) Cedera kepala sedang (Moderat HI) ialah suatu keadaan cedera kepala
dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12 dan tingkat kesadaran lethargi, obtunded atau
stupor.

2.1.3. Pengertian craniotomy


Barbara Engram, alih bahasa Suharyati Samba, dkk (1998: 642) mengemukakan bahwa
kraniotomi adalah operasi pembukaan tulang tengkorak, sedangkan Ahmad Ramali (1996: 62)
mendefinisikan craniotomy adalah setiap pembedahan pada tulang tengkorak.
Dari kedua pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kraniotomi adalah
pembedahan yang dilakukan untuk membuka tulang tengkorak.

2.1.4. Pengertian Dekompresi


Menurut Ahmad Ramali, (1996:84) Dekompresi ialah pengurangan atau mengevakuasi
bekuan darah dari tulang tengkorak.

2.1.5. Pengertian Subdural Hematoma


Menurut Depkes RI (1995: 63) Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi
antara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan vena. Sedangkan menurut
Carolyn M. Hudak, alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996: 228) hematoma subdural adalah
akumulasi darah di bawah lapisan meningeal durameter dan diatas lapisan arakhnoid yang
menutupi otak. Definisi lain dikemukakan oleh Arif Mansjoer, dkk (2000: 8) bahwa hematoma
subdural ialah pengumulan darah dalam rongga antara durameter dan membran subarakhnoid
yang bersumber dari robeknya vena.

Dari ketiga pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hematoma subdural adalah
akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid yang biasanya
disebabkan karena perdarahan vena.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, Post craniotomy dekompresi atas
indikasi moderat HI disertai subdural hematoma fronto temporo parietal dextra ialah operasi
pembedahan yang dilakukan untuk membuka tengkorak guna mengevakuasi bekuan darah atas
indikasi cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) 9-12 disertai akumulasi darah
yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid yang biasanya disebabkan karena
perdarahan vena di daerah fronto temporo parietal dextra.

2.2. Anatomi dan Fisiologi Otak


Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar dan terletak di
dalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak), yang secara absolut tidak
dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa.
Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah: kulit
kepala yang mngandung rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang tengkorak, meningens (selaput
otak dan liquor serebrospinalis). (Satyanegara, 1998: 12)

Otak dibagi dalam beberapa bagian:

2.2.1. Serebrum (otak besar)


Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi depan
atas rongga tengkorak, masing-masing disebut fase kranialis anterior atas dan fase kranialis
media.

Pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu:

1) Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan siklus sentralis.
Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol motorik gerakan
volunter termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai ekspresi emosi, moral dan
tingkah laku etika. Fungsi aktifitas motoriknya diekspresikan melalui: korteks somato-
motorik primer (area Brodmann 4), korteks premotor dan suplemen (area Brodmann 6),
frontal eye field (area Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area Brodmann 44),
sedangkan kontrol ekspresif dari emosi dan moral dilaksanakan oleh korteks pre frontal
(Satyanegara, 1998: 15)
2) Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh karaco
oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan rasa kecap,
dimana selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk menimbulkan kesiagaan tubuh
terhadap lingkungan eksternal. (Satyanegara, 1998: 17)
3) Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan lobus
oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang berkaitan dengan
pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-memori.
4) Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang daris erebrum lobus oksipitalis sangat
penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara umum, fungsi serebrum terdiri dari:
a) mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu
b) pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi, keinginan dan
memori
c) pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil
Untuk memperjelas letak dari setiap Lobus Otak dapat dilihat pada gambar 2.1
dibawah ini:

Gbr.2.1. Penampang lateral lobus-lobus otak

Sumber: Satyanegara, L. Djoko Listiano, Ilmu Bedah Saraf Edisi III, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1998

a. Batang otak (trunkus serebri)


Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara medula spinalis dan otak.
Batang otak terdiri dari:

1) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebrum dengan
mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat di bagian depan lobus temporalis
terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping.
Fungsi dari diensefalon:

a) vaso kontruktor, mengecilkan pembuluh darah


b) respiratori, membantu proses persyarafan
c) mengontrol kegiatan reflek
d) membantu pekerjaan jantung
Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang berfungsi sebagai pusat
integrasi susunan saraf otonom, regulasi temperatur, keseimbangan cairan dan
elektrolit, integrasi sirkuit siklus bangun-tidur, intake makanan, respon tingkah laku
terhadap emosi, pengontrolan endokrin, dan respon seksual. Thalamus berfungsi
sebagai pusat persediaan dan integrasi bagi semua jenis impuls sensorik, kecuali
penciuman.thalamus memainkan peranan penting dalam transmisi impuls nyeri.
(satyanegara, 1998:20)

2) Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas, 2 di
sebelah atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 di sebelah bawah disebut
korpus quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius berjalan ke veritral di bagian
medial. Serat-serat saraf nervus troklearis berjalan ke arah dorsal menyilang garis
tengah ke sisi lain.
Fungsinya terdiri dari:

a) membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata


b) memutar mata dan pusat pergerakan mata
3) Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons varoli
dengan serebelum, terletak didepan serebelum di antara otak tengah dan medula
oblongota, disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernafasan dan reflek.
Fungsi dari pons varoli terdiri dari:

a) penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula oblongata
dengan serebelum
b) pusat syaraf nervus trigeminus
4) Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah medula oblongata
merupakan persambungan medula spinalis ke atas dan bagian atas medula oblongata
disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral medula oblongata.

Fungsi medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls dari medula
spinalis dan otak yang terdiri dari:

a) mengontrol pekerjaan jantung


b) mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktor)
c) pusat pernafasan (respiratory centre)
d) mengontrol kegiatan reflek

Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan:

a. Duramater (lapisan sebelah luar)


Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, di bagian
tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia di bagian dalam. Di
dalam kanal vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater pada tempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus
longitudinal superior, terletak di antara kedua hemisfer otak.

b. Arakhnoid (lapisan tengah)


Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piameter membentuk
sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan syaraf
sentral. Medula spinalis terhenti setinggi di bawah lumbal I-II terdapat sebuah kantong
berisi cairan, berisi saraf perifer yang keluar dari medula spinalis dapat dimanfaatkan
untuk mengambil cairan otak yang disebut pungsi lumbal.

c. Piamater (lapisan sebelah dalam)


Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater
berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut
trabekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis
inferior yang mengeluarkan darah dari falks serebri. Tentorium memisahkan serebri
dengan sereblum.(Syaifuddin, 1997: 124)

2.3. Etiologi

2.3.1. Menurut Satyanegara,1998:148

Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar yaitu:

2.3.1.1. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau

sebaliknya

2.3.1.2. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik

yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan


2.3.1.2.1. Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan
kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di
medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown,
Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma
kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab
ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di
Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma kepala
adalah seperti berikut :
2.3.1.3. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan
kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan
kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
2.3.1.4. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah
dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah
sampai ke tanah.
2.3.1.5. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang
atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan
kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi yang
terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah atau
tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala, maka
kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan
dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba
terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak
sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian muka dikatakan
fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).

2.4. Manifestasi Klinis

2.4.1. Rupturenya aneurisme menyebabkan sakit kepala mendadak, biasanya terjadi sangat hebat,
seringkali terjadi kehilangan kesadaran selama beberapa periode, nyeri dan kekauan bagian
belakang leher dan tulang belakang, gangguan penglihatan (kehilangan penglihatan, diplopia,
ptosis).
2.4.2. Dapat juga terjadi tinnitus, pusing, dan hemiparesis. Jika aneurisme mengeluarkan darah,
pasien mungkin sedikit memperlihatkan deficit neurologis, atau perdarahan hebat,
mengakibatkan kerusakan serebral yang dengan cepat diikuti dengan koma dan kematian.
2.4.3. Prognosis tergantung pada kondisi neurologis, usia pasien penyakit yang berkaitan, dan luas
serta letak aneurisme.

2.5. Jenis Trauma Kepala


Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, kaparahan, dan morfologi cedera.

1. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater


 Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)
Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
 Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
2. Keparahan cedera
: (Mansjoer, Arief 2000:5), (Hudak and Gallo, alih bahasa Monica E.D Adiyanti, 1996:226)
 Ringan : Skala koma Glasgow (Glasglow Coma Scale, GCS) 14-15
Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian tingkat
kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif. Klien tidak
mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya konkusio, tidak ada
intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya mengeluh nyeri kepala dan
pusing. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala
 Sedang: GCS 9-13
Suatu keadaan cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat
kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah, amnesia pasca
trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan cerebrospinal dan
biasanya terdapat kejang.
 Berat : GCS 3-8
Cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat kesadaran koma.
Terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif. Tanda neurologis fokal, cedera
kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium. Mengalami amnesia > 24 jam,
juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intra kranial.
3. Morfologi
 Fraktur tengkorak : kranium : linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup:
basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhan nervus
VII
 Lesi intrakranial : fokal: menurut:Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung
Waluyo (2001:2212), Tuti Pahria,dkk (1996:49)
epidural, Adalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural (ekstradural) di antara
tengkorak dan duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau rusak
(laserasi), dimana arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak (laserasi),
dimana arteri ini berada diantara duramater dan tengkorak daerah inferior menuju
bagian tipis tulang temporal hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada
otak. Gejala ditimbulkan oleh hematoma luas, disebabkan oleh perluasan hematoma.
Biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan
pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal berupa
kesadaran yang makin menurun disertai anisokor pada mata ke sisi dan mungkin terjadi
hemiparese kontra lateral. Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan parietal
atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen)
yang tidak membaik setelah beberapa hari. Banyaknya perdarahan terjadi karena proses
desak ruang akut, bila cukup besar akan menimbulkan herniasi misalnya pada
perdarahan epidural, temporal yang dapat menyebabkan herniasi unkus.
 Perdarahan Intrakranial berdasarkan lokasi akibat cedera kepala menurut:Suzanne C
Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo (2001:2212), Tuti Pahria,dkk (1996:49)
adalah sebagai berikut:
1) Hematoma epidural
Adalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak
dan duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau rusak (laserasi), dimana
arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada
diantara duramater dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal
hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. Gejala ditimbulkan oleh
hematoma luas, disebabkan oleh perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya
kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata
secara perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal berupa kesadaran yang makin
menurun disertai anisokor pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontra
lateral. Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak
memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang tidak
membaik setelah beberapa hari. Banyaknya perdarahan terjadi karena proses desak
ruang akut, bila cukup besar akan menimbulkan herniasi misalnya pada perdarahan
epidural, temporal yang dapat menyebabkan herniasi unkus.
2) Hematoma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi
perdarahan vena. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi
kecenderungan perdarahan yang serius dari aneurisma, hemoragi subdural lebih sering
terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang
menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut atau
kronik, tergantung pada ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang
ada.

1. Hematoma subdural akut, sering dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang
meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan/ atau
tanda gejala klinis: sakit kepala, perasaan kantuk dan kebingungan, respon yang
lambat dan gelisah. Tekanan darah meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan
pernafasan cepat sesuai dengan peningkatan hematoma yang cepat. Keadaan kritis
terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
2. Hematoma subdural sub akut, biasanya berkembang 7-10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat dan dicurigai pada pasien
yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Tanda dan gejala
sama seperti pada hematoma subdural akut. Tekanan serebral yang terus menerus
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran yang dalam. Angka kematian pasien
hematoma subdural akut dan subakut tinggi, karena sering dihubungkan dengan
kerusakan otak.
3. Hematoma subdural kronik, terjadi karena cedera kepala minor. Mulanya
perdarahan kecil memasuki di sekitar membran vaskuler dan pelan-pelan meluas.
Gejala klinis mungkin tidak terjadi/ terasa dalam beberapa minggu atau bulan.
Keadaan ini pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan
motorik, lansia cenderung yang paling sering mengalami cedera kepala tipe ini
sekunder akibat atropi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan. Cedera
kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup untuk menggeser isi otak
secara abnormal dengan sekuela negatif.
3) Hematoma intraserebral
Adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera
kepala dimana mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka
tembak, cedera tumpul). Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh
hipertensi sistemik yang menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur
kantung aneurisma, anomali vaskuler, tumor intrakranial. Akibat adanya substansi
darah dalam jaringan otak akan menimbulkan edema otak, gejala neurologik tergantung
dari ukuran dan lokasi perdarahan

2.6. Patofisiologi
Patofisiologi trauma kepala menurut: Sylvia Anderson, et,al., alih bahasa Peter Anugerah
(1995: 1011); Satyanegara, (1998: 150); Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa Monica E.D
Adiyanti (1996: 226) adalah sebagai berikut:
Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan
menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara mendadak serta
pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan cedera
akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi dan deselerasi merupakan kejadian
yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior
ke anterior adalah serupa dengan deselerasi kepala anterior-posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau memar pada
permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan mengakibatkan gejala defisit
neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran yang progresif, reflek Babinski yang
positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak
organik.
Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi karena pada
dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Sehingga
cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena adanya perbedaan
tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan interstisial.
Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater,
kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena “gantung” (bridging veins).
Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus venosus dapat menyebabkan subdural
hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada ruang subdural akibat dari vena yang pecah.
Selanjutnya pergeseran otak juga menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan rendah (cedera
regangan) dan bila hebat sekali dapat menimbulkan kontusi kontra-kup.

Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami penekanan yang
berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan iskemia yang
akhirnya gangguan pernapasan asidosis respiratorik (Penurunan PH dan peningkatan PCO 2 ).
Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri yang paling berbahaya adalah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena adanya proses desak ruang sebagai
akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak. Peningkatan intra kranial yang terus
berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema yang bertambah secara progresif, akan
menyebabkan koma dengan TTIK yang terjadi karena kedua hemisfer otak atau batang otak sudah
tidak berfungsi.

2.7. Dampak trauma kepala terhadap sistem tubuh lainnya


Adanya gangguan sistem persyarafan akibat trauma kepala akan mengganggu sistem tubuh
lainnya. Adapun gangguannya menurut : Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa Monica E.D
Adiyanti (1996: 230) Tuti Pahria,dkk (1996:50) adalah sebagai berikut :

2.7.1. Sistem kardiovaskuler


Trauma kepala yang disertai dengan Subdural hematoma, akan terjadi perdarahan dan
edema serebri sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Kondisi ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah, tachikardi kemudian bradikardi dan iramanya
tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung.

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktifitas atipikal


miokardiar, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya perdarahan otak
akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persyarafan simfatik dan parasimfatik
pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

Aktifitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya


stroke work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya stimulus endogen saraf
simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan
penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh
berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan
tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.

2.7.2. Sistem pernafasan


Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau hipertensi paru,
menyebabkan hipernoe dan bronkhokonstriksi. Pernafasan cheyne stokes dihubungkan
dengan sensitifitas yang meningkat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode
pasca hiperventilasi apnea. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri
mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran darah bertambah karena terjadi
vasodilatasi. Penurunan PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi
(arteri kecil) dan penurunan CBF (Serebral Blood Fluid). Bila PCO2 bertambah akibat
gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan acidosis dan vasodilatasi. Hal ini
menyebabkan pertambahan CBF, yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan
tingginya tekanan intra kranial (TTIK) edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik.
Pada kontusio otak, terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatik yang
mengandung protein eksudat yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak
normal tidak didapatkan edema otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah
dan jaringan sekitarnya. Edema otak dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang
otak atau medula oblongata. Akibat penekanan daerah medula oblongata dapat
menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau
pola nafas tidak efektif.

Trauma kepala dapat mengakibatkan penurunan kesadaran yang dapat menyebabkan


terakumulasinya sekret pada trakheobronkhiolus, sehingga akan terjadi obstruksi pada
saluran pernapasan.

2.7.3. Sistem pencernaan


Trauma kepala juga mempengaruhi sistem pencernaan. pada klien post craniotomy
pada hari pertama akan didapatkan bising usus yang menurun karena efek narkose. Setelah
trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang aktifitas hipotalamus dan
stimulus gagal. Hal ini merangsang anterior hipofisis menjadi hiperasiditas. Hipotalamus
merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah
kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral. Namun, pengaruhnya terhadap
lambung adalah peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas.
Selain itu hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam
menangani stres yang mempengaruhi produksi lambung.
Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan perdarahan lambung.
sedangkan peningkatan asam lambung akan mengakibatkan klien mual dan muntah. klien
dengan peningkatan tekanan intra kranial akibat trauma kepala ditandai dengan muntah
yang seringkali proyektil.

2.7.4. Sistem endokrin dan perkemihan


Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungannya retensi
natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium disebutkan karena
adanya stimulus terhadap hipotalamus yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi
aldosteron. Pada pasien dengan trauma kepala khususnya fraktur tengkorak. Kerusakan
pada kelenjar hipofisis atau hipotalamus atau TTIK. Gambaran klinis dapat dikomplikasi
oleh diabetes insipidus. Pada keadaan ini terdapat disfungsi ADH. Dengan penurunan
jumlah ADH yang ada pada darah, ginjal mengekskresikan terlalu banyak air,
menimbulkan dehidrasi. Pada klien dengan penurunan kesadaran dapat menyebabkan
inkontinensia urine karena lemahnya kontrol otot spinkter uretra eksterna.

2.7.5. Sistem muskuloskeletal


Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat
kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus otot
dan penampilan postur abnormal, yang dapat membuat komplikasi seperti peningkatan
spastisitas dan kontraktur. klien dengan penurunan kesadaran akan gelisah serta gerakan
kaki dan tangannya yang tidak terkontrol.

2.7.6. Sistem integumen


Pada klien yang dilakukan craniotomy tampak luka operasi pada kepala bila
penyembuhan luka tidak baik akan didapatkan tanda-tanda rubor, tumor, dolor, kalor dan
fungsiolesa dan bila infeksi akan didapatkan gangguan integritas kulit selain itu juga dapat
terjadi peningkatan suhu tubuh sehingga pada anggota badan akan tampak banyak keringat.

2.8. Komplikasi pada trauma kepala

2.8.1. Sindrompasca konkusi


Nyeri kepala, vertigo, depresi dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan setelah cedera
kepala ringan. Vertigo dapat terjadi setelah cedera vestibular

2.8.2. Kebocoran cairan serebro spinal


Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan Antara rongga subaraknoid
dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis hanya kecil dan tertutup jaringan
otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien mungkin mengalami meningitis dikemudian
hari. Selain terapi infeksi, komplikasi ini membutuhkan reparasi bedah untuk robekan dura.
Eksplorasi bedah juga dibutuhkan terjadi kebocoran cairan serebrospinal presisten.

2.8.3. Epilepsy pascatrauma


Terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal ( dalam minggu pertama setelah
cedera), amnesia pasca trauma yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur depresi cranium,
hematoma intracranial.

2.8.4. Komplikasi lanjut cedera kepala ini (dapat terjadi pada cedera kepala ringan) dapat
mengakibatkan demensia

2.9. Manajemen medis secara umum pada trauma kepala (Tuti Pahria,dkk,1996:57; Arif

Mansjoer, dkk, 2000: 4)

Menilai tingkat keparahan :

2.9.1. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)

 Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)

 Tidak ada kehilangan kesadaran, misalnya konkusi

 Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

 Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

 Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala

 Tidak ada kriteria cedera sedang – beratCedera kepala sedang (kelompok resiko

sedang)

 Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

 Konkusi

 Amnesia pasca trauma

 Muntah

 Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea,

atau rinorea cairan serebrospinal)

 Kejang

2.9.2. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)


 Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)

 Penurunan derajat kesadaran secara progresif

 Tanda neurologis fokal

 Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium

2.10. Pemeriksaan Diagnostik

1. Skan CT ( tanpa /dengan kontras ) : mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan

ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

2. MRI : sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras

3. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak

akibat edema, perdarahan, trauma.

4. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau brkembngnya gelombang patologis.

5. Sinar x : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari geras

tengah, adanya fragmen tulang.

6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang otak

7. PET (positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada

otak

8. Pungsi Lumbal, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarakhnoid.

9. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui ada masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat

meningkatkan TIK.

10. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan

TIK/perubahan mental

11. Pemeriksaan toksologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap

penurunan kesadaran

12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup

efektif untuk mengatasi kejang.


2.11. Penatalaksanaaan Khusus

2.11.1. Cedera Kepala Ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan

ke rumah tanpa perlu dilakukan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut :

 Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini

mental dan gaya berjalan) dalam batas normal

 Foto servikal jelas normal

 Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati

pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk

segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala

perburukan.

Kriteria perawatan di rumah sakit :

 Adanya darah intrakranial atau fraktur yang

tampak pada CT scan

 Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun

 Adanya tanda dan gejala neurologis fokal

 Intoksikasi obat atau alkohol

 Adanya penyakit medis komorbid yang nyata

 Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk

mengamati pasien di rumah.

2.11.2. Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan

skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT scan

normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun

terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbulnya lesi intrakranial

lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.

2.11.3. Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan

segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera
(hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf

untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit

rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat

cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi,

atau tekanan intrakranial yang meningkat.

 Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.

Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi

sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/

kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/

menit.pada cedera kepala berat, Antikejang fenitoin diberikan 15-20 mg/kgBB

bolus intavena, kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang

pascatrauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan

perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya

epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin

harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena kadar

subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.

 Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik,

dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral

melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin

(biasanya hari ke-2 perawatan)

 Temperatur badan: demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak dan

harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan

penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu.

 Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera

kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan komplikasi lain.

Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri

akut (deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam)


 Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati memiliki

resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg

intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H 2 antagonis lain

atau inhibitor proton.

 Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera

kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi resiko

meningitis penumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau

udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang

lebih virulen.

 Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi

 Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa

40% atau gliserol 10%

 Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan

apa-apa, hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari

terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

 Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi

Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami penurunan kesadaran dan
cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak
cairan, dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada
hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastrik tube (2500-3000
TKTP). Pemberian protein tergantung nilai urea N. (kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid dua)
B. BAB III

TINJAUAN

KASUS

“Asuhan Keperawatan Pada Tn”A” Dengan Kasus : Cedera Kepala Berat Di

Ruang IGDRSUD H.Hanafie Muara BungoTahun 2019”

Ruangan : IGD Tanggal Masuk RS : 11 juli 2019

No RM : Tanggal Pengkajian: 11 juli 2019

1. Identitas Pasien

Nama : Tn”A”

Usia : 18 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Suku Bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Diagnosis Medis : Cedera Kepala Berat GCS 8

Alamat : Tanjung Gedang

Warna Triage : Merah

1. Pengkajian

PRIMARY

SURVEY :

Airway : Hidung / Mulut

√ Bebas _ Tersumba
t
- Sputum √ Adanya
Darah
- Spasme - Benda Asing

- Pangkal lidah jatuh -

Suara Napas

- Normal √ Stridor

√ Gurgling - Wheezhin
g
- Ronchi - Lain-lain

Masalah Keperawatan :

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

Breathing : Respirasi: 30x/Menit

- Teratur - Tidak Teratur

- Apnea - Dispnea

- Bradipnea √ Takipnea

√ Retraksi dada √ Pernapasan Cuping


Hidung
√ Pernapasan - Kusmaul / Chyne Stokes

dada/perut

Suara Napas

- Normal √ Stridor

√ Gurgling - Wheezhin
g
- Ronchi - Lai -lain
Msalah Keperawatan: Ketidakefektifan pola nafas

C. Circulation : √ Pucat - Sianosis

- Perdarahan - Luka Bakar

- Jumlah: - Lokasi:

cc Grade :

Nadi

√ Teraba Frekuensi : 65x/M

- Tidak Teraba - Irama Tidak


Teratur
√ Irama teratu

TD: 100/60 mmHg T: 37,5oC

Capillary Refill Time

√ <2 detik - >2


detik
Akral

√ Hangat - Dingin - Edem


a
Turgor

√ Normal - Sedang - Kurang

Masalah Keperawatan:

Tidak Ada Masalah Keperawatan


D. Disability : Tingkat Kesadaran:
GCS: 3

Pupil

- Isokor - Miosis

√ Anisokor - Midriasis

- Muntah Proyektil - Riwayat kejang

Fungsi Bicara

- Normal - Afasia

- Pelo - Mulut
Mencong

Kekutan otot

0 0

0 0

Ket:

0: Tidak dapat berkontraksi

1:Hanya dapat berkontraksi

2: Ada pergerakan tidak mamu melawan gaya gravitasi

3: Adapergerakan hanya dapat mengatasi gaya gravitasi

4: Mampu melawan gaya gravitasi dan melawan sedikit tahanan


5: Mampu melawan gravitasi dan melawan tahanan yang maksimal

E. Sensabilitas

- Normal √ Gangguan

Menelan

air
√ Gangguan Menelan Air

dan Makanan

Masalah Keperawatan:

Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

Exposure Trauma :

Jejas :Terdapat jejas di daerah mata dan pipi sebelah kanan,

luka 3cm di kepala belakang sebelah kanan

Luas :

Kedalaman :-

SECONDARY SURVEY

a. Wawancara

Keluhan Utama : Penurunan kesadaran post KLL

Riwayat Penyakit Sekarang : Keluarga klien mengatakan , klien tidak sadarkan

diri ± 2 jam sebelum masuk rumah sakit karena

kecelakaan lalu lintas ditabrak oleh motordi

jalan jalur, keluarga mengatakan keadaan klien

muntah- muntah dengan mengeluarkan cairan

darah konsistensi cair pekat. Lalu klien segera

dibawa ke RSUD H.Hanafie Muara Bung untuk

mendapatkan

pertolongan. Sesampainya di RSklien


dengan
penurunan kesadaran GCS 3 (E1M1V1)langsung

masuk keruangan perawatan Prioritas 1 (Triage

Merah) dan dilakukan tindakan membersihkan

jalan nafas dan memasang ETT serta alat bantu

nafas ventilator pada tanggal 11 juli 2019

jam

09.00 WIB.Pada tanggal 11 juli 2019 pukul 09:30

di lakukan pengkajian kasus keperawatan dan

didapatkan hasil klien mengalami penurunan

kesadaran dengan GCS 2t (E1VtM1), terpasang

monitor, terpasang monitor EKG, terpasang

IVFD Ringerfundin gtt 20x/menit, terpasang

kateter, TD= 100/60 mmHg , RR= 30x/menit,

T= 37,50C, HR= 65x/menit, adanya jejas di

daerah mata, pipi, luka di bagian kepala

belakang sebelah kanan berukuran 3cm dan

terdapat darah dari

mulut.

Riwayat Penyakit Dahulu : Keluarga mengatakan Klien dulunya belum

pernah mengalami kecelakaan berat seperti

sekarang ini dan juga tidak ada riwayat penyakit

kronis dan akut

sebelumnya seperti hipertensi dan DM

Riwayat Keluarga : Tidak dikaji

Riwayat Alergi : Tidak ada


Riwayat Merokok : Keluarga klien mengatakan klien perokok aktif

b. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : Penurunan kesadaran

2. Tanda Vital : TD: 100/60

mmHg N : 65x/m

3 Kepala

- Simetris √ Asimetri √ Perdarahan


s

√ Bengkak - Depresi tulang tengkorak

√ Echymos - Nyeriteka
is n

- Kelainan bentuk tulang

Luka, ukuran: 3 cm, Lokasi:kepala kanan

√ bagian belakang

- Lain-lain: Tidak ada

4 Mata

√ Kebiruan (Lingkaran mata)

- Perdarahan mata, Ruptur: -


Lokasi: -

- Anemia √ Ananemia - Ikterik

Respon pupil:
- Isokor Anisokor
RC Midriasis Miosis

Lain-lain : Tidak ada

5 Telinga

Cairan, Warna: - jumlah:-


-
Lecet/kemerahan/laserasi Benda
-
asing, berupa: -
-

Lain-lain : -
-

6 Hidung

Cairan, Warna:-jumlah:
- - Lecet/kemerahan/laserasi

Benda asing, berupa:


√ -

-
Lain-lain : - -

7 Leher

- Penetrasi benda asing Nyeri tekan


-

Distensi Vena Jugularis

-
Deviasi trakea
-
-
-
Bengkak Kebiruan sekitar leher

Lain-lain: -
-

Krepitasi

8 Dada/Paru

√ Simetris - Asimetris - Bengkak

-
Ekspansi dinding dada meningkat/turun
-

Luka tusuk - Ukuran: -Lokasi : - RR: 30 x/menit Tidak

teratur

- Penggunaan otot dinding dada

BJ BJ
Suara Jtg : I II Murmur Gallop

Nyeri dada
Skala nyeri: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10

Karakteristik Skala : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10
nyeri:

- spt - spt tertimpa benda berat


terbakar

- Menjalar - spt ditusuk-tusuk

Lain-lain :

- ……………………

9 Abdomen

Dinding abd: √ Simet - Tidak simetris


ris

- Perdarahan/beng √ Laserasi/jejas/lece
kak t

- Luka - Luka Ukuran: …………


tusuk sayat

- Distensi abdomen - Teraba keras & tegang

Nyeri tekan, skala nyeri: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10

BU: Tidak di kaji

Lain-lain :

……………………

1 Genetalia
0

√ Simetris - Asimetris

- Benjolan, ukuran: - lokasi:


-
- Darah pd BAB:tidak BAB saat dikaji
rektum,

- Nyeri tekan, skala nyeri: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10

BAK : Terpasang kateter

- Lain-lain : -

1 Ekstremitas
1

- Kelainan bentuk √ Perdarah √ Bengkak


an

√ Jejas/luka/laserasi, Lokasi: ekstremitas sebelah kanan

Keterbatasan

- Jari-jari hilang √ gerak

- Fraktur, Lokasi: -

- Nyeri, Skala: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10

Lain-lain : -

1 Kulit
2
√ Ada luka Lokasi : Ekstremitas sebelah kanan

√ Echymosis - Ptechie

- Gatal-
gatal/pruritus
- Insisi operasi, Ukuran:…………….., Lokasi:……………

Nyeri, Skala: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10

2. PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL, BUDAYA, SPIRITUAL

Tabel 3.1 Psikososial,

Budaya dan Spritual

Psikologis : Tidak dikaji

Sosial : Tidak dikaji

Budaya : Tidak dikaji

Spiritual : Tidak dikaji

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium Kimia darah

Tanggal pemeriksaan 11 juli 2019

F. Tabel 3.2

Hasil Pemeriksaan Kimia Darah Pada Tanggal 11 Juli 2019

Pemeriksaan Has Satuan Nilai normal


il
Glukosa sewaktu 150 mg/dl 70-140

Urea 32 mg/dl 10-50

Kreatinin 1,00 mg/dl 0,5-1,2

SGOT 23 u/L 0-31


SGPT 14 u/L 0-32

K 41 Mmol/L 3,4-5,4

Na 145 Mmol/L 135-155

Cl 99 Mmol/L 95-108

HbsAg Negatif

WBC 14,59 [10^3/uL] 4,8-10,8

RBC 3,99 [10^6/uL] 4,2-5,4

HGB 10,3 [g/dL] 12-16

HCT 32,6 [%] 37-47

Pengobatan

Tabel 3.4 Terapi obat

Cara
N Nama Terapi Dosis Golongan Obat
o Pemberia
n
1 Ceftriaxone 2x1 Gr I.V Antibiotik

2 Paracetamol 3x1 gr I.V Antipiretik

3 Omeperazole 1x40 ml I.V Analgetik

4 Dobutamin 150 gr I.V Obat jantung


Kontinyu
5 Ringer Fundin 500cc Kontinyu I.V Elektrolit
4. ANALISA DATA
Tabel 3.5

Analisa Data Keperawatan

N DAT ETIOLOGI MASALAH


o A
1 DS : tidak dapat dinilai Ketidakefektif
Cidera kepala
DO : an bersihan

1. Ku: Cidera otak primer jalan nafas

penurunan
Kerusakan Sel otak 
kesadaran
rangsangan simpatis
2. Kesadaran: coma

3. Terpasa
tahanan
ng vaskulerSistemik &

Ventilat
tek.
or,
Pemb.darahPulmonal
4. RR:
tek. Hidrostatik
30x/m, N

: 65x/M kebocoran cairan kapiler

T : 37,50C oedema paru

TD: 100/60 mmHg


Penumpukan
5. Terdapat secret

di selang ETT dan cairan/secret Difusi O2

mulut terhambat

6. Suara

nafas tambahan
Ketidakefektifbersihan jalan
stridor napas
2 DS : tidak dapat dinilai Ketida
Cidera kepala
DO : k

1. Ku: Cidera otak primer efektif

penurunan an

kesadaran Kerusakan Sel otak  perfusi

2. Kesadaran: coma jaringa


Gangguanautoregulasi
3. GCS: 2t (E1VtM1) n

4. Terpasa serebr
Aliran darah keotak 
ng O2  al

Ventilat
gangguan
or, metabolis
me
5. RR:

30x/m, N Asam laktat 

: 65x/M
Asam laktat 
T : 37,50C

TD: 100/60 Ketidakefektifan


mmHg perfusi jaringan
cerebral
6. Pupil anisokor

7. Kebiruan

sekitar mata

(jejas)

8. Kepala bengkak

dan asimetris
3 DS : tidak dapat dinilai Ketidak
Kecelakaan lalu lintas
DO : efektifan Pola
Cidera kepala
1. Ku: Nafas

penurunan Cidera otak


kesadaran
primer
2. Kesadaran: coma

3. Terpasa
Kerusakan sel otak
ng
Rangsangan simpatis
Ventilat

or,

Kebocoran cairan kapiler


4. RR:

30x/m, N

: 65x/M

T : 37,50C

TD: 100/70 mmHg Oedema paru

5. Suara

Penumpukan cairan /
nafas tambahan secret

stridor

1. Masalah keperawatan

a) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

b) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

c) Ketidakefektifan pola nafas

2. Prioritas masalah

a) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

b) Ketidakefektifan pola nafas

c) Ketidak efektifan perfusi jaringan serebral

3. Diagnosa Keperawatan

a) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d Obtruksi jalan nafasditandai

dengan:
DS : tidak dapat dinilai DO :

1. Ku: Penurunan kesadaran

2. Kesadaran: coma

3. GCS: E1VtM1,

4. Terpasang

Ventilator, 5. RR:

30x/m,

N : 65 x/M

T : 37,50C

TD: 100/60 mmHg

6. Terdapat secret di selang ETT dan mulut

7. Suara nafas stridor

b) Ketidakefektifan pola nafas b/d Gangguan neurologis ditandai dengan :

DS : tidak dapat dinilai

DO :

1. Ku: Penurunan kesadaran

2. Kesadaran: coma

3. GCS: E1VtM1,

4. Terpasang

Ventilator, 5. RR:

30x/m,
N : 65x/M T :

37,50C

TD: 100/60 mmHg


6. Terdapat secret di selang ETT dan mulut

7. Suara nafas stridor

c) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral bd trauma di tandai

dengan DS : tidak dapat dinilai

DO :

1. Ku: penurunan kesadaran

2. Kesadaran: coma

3. GCS: E1VtM1,

4. Terpasang

Ventilator, 5. RR:

30x/m,

N : 65x/M T :

37,50C

TD: 100/60 mmHg

6. Pupil anisokor

7. Kebiruan sekitar mata (jejas)

8. Kepala bengkak dan asimetris


63

G.INTERVENSI

Rencana Tindakan Keperawatan

N DIAGNOSA RENCANA TINDAKAN KEPERAWTAN


O
KEPERAWATAN NO NI
C C
1 Ketidakefektifan bersihan NOC: Status Pernapasan: Kepatenan NIC: manajemen jalan napas
jalan nafas b/d obtruksi jalan nafas
1. Monitor status pernafasan dan
jalan nafas ditandai dengan Setelah dilakukan tindakan selama
oksigenisasi
DS : tidak dapat 2x12 jam status pernafasan klien
2. Buka jalan nafas dengan teknik chin lift
dinilai DO : tidak terganggu dengan kriteria hasil:
atau jaw thrust
1. Ku: 1. Tidak ada suara nafas
3. Identifikasi kebutuhan aktual/ potensial
tambahan
Penurunan kesadaran
untuk memasukkan alat membuka jalan
2. Frekuensi pernafasan normal
2. Kesadaran: somnolen
nafas
3. GCS: E3V2M5
4. Masukkan alat nasopharingeal airway
4. Terpasang
(NPA) atau oropharingeal airway (OPA)
Ventilator, 5. RR:
5. Posisikan klien untuk memaksimalkan
23x/m,
ventilasi
N : 78x/M
6. Lakukan penyedotan melalui endotrakea
T : 36,60C
TD: 120/70 mmHg dan nasotrakea
6. Terdapat cairan 7. Kelola nebulizer ultrasonik
darah di mulut 8. Posisikan untuk meringankan sesak napas
7. Suara nafas stridor 9. Auskultasi suara nafas, catat area yang
ventilasinya menurun atau tidak ada dan
adnaya suara tambahan
10. Edukasi keluarga klien tentang keadaan
klien.
11. Kolaborasi dengan timdokter dala
pemberian obat
2 Ketidakefektifan pola nafas NOC: Status Pernapasan: Kepatenan NIC: manajemen jalan napas
b/d gangguan neurologis jalan nafas
1. Monitor status pernafasan dan
ditandai dengan Setelah dilakukan tindakan selama
oksigenisasi
DS : tidak dapat dinilai 2x12jam status pernafasan klien
2. Buka jalan nafas dengan teknik chin
DO : tidak terganggu dengan kriteria hasil:
1. Tidak ada suara nafas lift atau jaw thrust
1. Ku: Penurunan
kesadaran tambahan 3. Identifikasi kebutuhan aktual/
2. Kesadaran: somnolen 2. Frekuensi pernafasan normal potensial untuk memasukkan alat
3. GCS: E3V2M5 membuka jalan nafas
4. Terpasang Ventilator,
5. RR: 23x/m, 4. Masukkan alat nasopharingeal airway
N: (NPA) atau oropharingeal airway
78x/M (OPA)
T: 5. Posisikan klien untuk memaksimalkan
36,60C ventilasi
TD: 120/70 mmHg 6. Lakukan penyedotan melalui
6. Terdapat cairan endotrakea dan nasotrakea
darah di mulut 7. kelola nebulizer ultrasonik
7. Suara nafas stridor 8. posisikan untuk meringankan sesak
napas
9. auskultasi suara nafas, catat area
yang ventilasinya menurun atau tidak
ada dan adnaya suara tambahan
10. Edukasi keluarga klien tentang
keadaan klien.
11. Kolaborasi dengan timdokter dala
pemberian obat
3 Ketidakefektian perfusi NOC: perfusi jaringan: cerebral NIC: Monitor tekanan intra kranial
jaringan serebral b/d trauma Setelah dilakukan tindakan selama 1. Monitor status neorologis
DS : tidak dapat dinilai 2x12jam perfusi jaringan serebral 2. Monitor intake dan ouput
klien
DO : tidak ada masalah dengan kriteria 3. Moniotr tekanan aliran darah ke
hasil: otak
1. Ku:
1. Tekanan intra cranial normal 4. Monitor tingkat CO2 dan
Penurunan
2. Kesadaran normal pertahankan dalam parameter yang
kesadaran
3. Ukuran dan reaksi pupil ditentukan
2. Kesadaran: somnolen normal
5. Periksa klien terkait adanya tanda
3. GCS: E3V2M5
4. Tekanan darah normal
4. Terpasang Ventilator, kaku kuduk

5. RR: 6. Sesuaikan kepala tempat tidur

23x/m, N untuk mengoptimalkan perfusi

: 78x/M jaringan serebral

T: 7. Berikan informasi kepada keluarga/

36,60C orang penting lainnya

TD: 120/70 mmHg 8. Beritahudokteruntukpeningkatan

6. Pupil anisokor TIK yang

7. Kebiruan sekitar tidakbereaksisesuaiperaturanperaw

mata (jejas) ata n.

8. .Kepala bengkak 9. Kolaborasi dengan tim dokter

dan asimetris dalam pemberian obat


IMPLEMENTASI

Tabel 3.7

Tindakan keperawatan (Implementasi Keperawatan)

N Diagnosa Keperawatan Hari/ Tindakan keperawtan Evalua para


o si f
Tangg
al
1 Ketidak efektifan sela 1. Memonitor status pernafasan Selasa, 12-07-2019 Pukul

bersihan jalan nafas sa, dan oksigenisasi 14:30 S:-

b/d obtruksi jalan 11- R/: Respirasi : 28x/menit Spo2 : 80% O:

nafas ditandai 7- 2. Memposisikan klien untuk 2. Ku: Tidak sadarkan diri

dengan 2019 memaksimalkan ventilasi  Pemasangan oksigen

DS : tidak dapat 09:40 R/: Posisi klien semi fowler  Tindakan suction

dinilai DO : Wib 3. Melakukan penyedotan (suction)  Pemasangan alat monitor

1. Ku: melalui endotrakea


09:45

Penurunan Wib

kesadaran
2. Kesadaran: coma R/: Penumpukan secret di jalan nafas klien 3. Kesadaran: - coma

3. GCS: E1VtM1, berkurang setelah di suction 4. GCS: -

1. Terpasang 09:50 4. Memposisikan untuk meringankan sesak 5. Terpasang

monitor Wib napas monitor 6. RR: 30-

4. RR: 30x/m, R/: Posisi tempat tidur klien di tinggi kan x/m,

N : 65x/M (semi fowler) N : 65-

T : 37,50C 09:55 5. Mengauskultasi suara nafas, catat area x/M T :

TD: 100/60 mmHg Wib yang ventilasinya menurun atau tidak ada 37- 0C

5. Terdapat secret dan adanya suara tambahan TD: 100/60- mmHg

ditenggorokan R/:suara nafas tambahan stridor A: Ketidakefektifan bersihan jalan

dan mulut nafas belum teratasi

6. Suara 09:57 6. Mengedukasi keluarga klien tentang P: Intervensi di lanjutkan

nafas gargling Wib keadaan klien.

R/: keluarga klien menerima keadaan


apapun
yang terjadi pada karena sud
klien ah
klien kritis

10:00 7. Berkolaborasi
timdokte dala
Wib dengan pemberian r m

obat

a) Ceftriaxone

b) Omeprazole

c) Paracetamol

d) Ringer Fundin

e) Dobutamin
2 Ketidakefektifan pola selasa, Selasa, 11-07-2019 Pukul 14:30

nafas b/d gangguan 11-07- 1. Memonitor status pernafasa da S:-


n n
neurologis ditandai 2019 oksigenisasi O:
dengan 09:40 R/: Respirasi : 28x/menit Spo2 : 80% 1. Ku: Meninggal

DS : tidak dapat Wib 2. Memposisikan klien untuk 2. Kesadaran: -

dinilai DO : memaksimalkan ventilasi 3. GCS: -

1. Ku: R/: Posisi klien semi fowler 4. Terpasang Ventilator

Penurunan 09:55 3. Mengauskultasi suara nafas, catat area 5. RR:

kesadaran Wib yang ventilasinya menurun atau tidak ada -x/m, N

2. Kesadaran: coma dan adanya suara tambahan : -x/M

3. GCS: E1VtM1, R/: suara nafas tambahan stridor T : - 0C

4. Terpasa 09:57 4. Mengedukasi keluarga klien tentang TD: - mmHg

ng Wib keadaan klien. A: Ketidakefektifan pola nafas

Ventilat R/: keluarga klien menerima keadaan belum teratasi

or, apapun yang terjadi pada klien karena P: Intervensi di hentikan

5. RR: 30x/m, klien sudah kritis (klien meninggal)

N : 65x/M 10:00 5. Berkolaborasi dengan tim dokter


dalam
T : 37,50C

TD: 100/60 mmHg

6. Terdapat secret di
selang ETT Wib pemberian obat

dan f) Ceftriaxone

mulut g) Omeprazole

7. Suara nafas h) Paracetamol


stridor
i) Ringe Fundin

j) Dobutamin

3 Ketidak efektipan sela 1. Memonitor status selasa, 11-7-2019 Pukul

perfusi jaringan serebral sa, neorologis R/: GCS :2T, 14:30 S:-

b/d trauma 11- E:1 V:T M:1 O:

Di tandai dengan 7- 1. Ku: Plus

DS : tidak dapat 2019 2. Menyesuaikan kepala tempat tidur untuk 2. Kesadaran: -

dinilai DO : 10.15 mengoptimalkan perfusi jaringan serebral 3. GCS: -

1. Ku: Wib R/:posisi klien terlentang 4. Terpasang Ventlator,

penurunan
kesadaran 09:57 3. Memberikan informasi kepada 5. RR:

2. Kesadaran: coma Wib keluarga/ orang penting lainnya keadaan -x/m, N

3. GCS: E1VtM1, klien : -x/M

4. Terpasa R/: Keluarga klien menerima dan pasrah T : - 0C

ng dengan keadaan klien yang semakin kritis TD: - mmHg

Ventilat 10:00 A: Ketidakefektifan perfusi jaringan

or, Wib 4. Kolaborasi dengan tim dokter serebral belum teratasi

5. RR: 30x/m, dalam pemberian obat P : Intervensi di hentikan

N : 65x/M a) Ceftriaxone (klien meninggal )

T : 37,50C b) Omperazole

TD: 100/60 c) Paracetamol


mmHg
d) Ringe Fundin
6. Pupil anisokor
e) Dobutamin
7. Kebiruan

sekitar mata

(jejas)

8. Kepala bengkak
dan asimetris
75

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak.
Pengartian yang lain, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
http://askepkukeperawatan.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html
76

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta : EGC

Effendy, Nasrul. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. Jakarta : EGC

Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi. Alih Bahasa Indah R. Wardhani.
Jakarta: Erlangga

Masnjoer, Arif, dkk. 2003. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga. Jakarta : Media
Aesculapius

Pahria, Tuti, dkk. 1996. Asuhan Keperawatan pada Paien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: EGC

Price, Sylvia Anderson, dkk. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Edisi IV,alih bahasa Peter Anugerah. Jakarta : EGC

Satyanegara, L. Djoko Listiano. 1998. Ilmu Bedah Saraf Edisi III. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama

Smeltzer, S. Suzanne, Bare, G.Brenda.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner & Suddarth, Edisi VIII volume 3. Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta :
EGC

Anda mungkin juga menyukai