TRAUMA DADA
Oleh :
Kelompok 2 :
Nuraini
Lukman hakim
Yusril
Yeni rozana
Devi maharani
Mawarni
Rahayu aswinani
Nurul awalia midanda
Wahyu wulandari
Lisa artianti
DOSEN PEMBIMBING : Ns.Riani, S. Kep, M.Kes
DAFTAR ISI.......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian..................................................................................................2
B. Anatomi dan fisiologi otak........................................................................3
C. Etiologi.......................................................................................................7
D. Manifestasi klinis.......................................................................................8
E. Jenis trauma kepala....................................................................................8
F. Patofisiologi ............................................................................................10
G. Dampak trauma kepala............................................................................11
H. Komplikasi pada trauma kepala...............................................................14
I. Managemen medis secara umum............................................................14
J. Pemeriksaan diagnostik...........................................................................15
K. Penatalaksanaan khusus...........................................................................16
BAB III
A. Tinjauan kasus.........................................................................................19
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...47
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa karena atas rahmatnya kami dapat
menyelesaikan makalah asuhan keperawatan pada Tn.D dengan gangguan sistem persarafan : post
craniotomy a.i trauma kepala di ruang rc.3 bedah saraf.
Dalam makalah ini penulis membahas tentang asuhan keperawatan pada Tn.D dengan
gangguan sistem persarafan : post craniotomy a.i trauma kepala di ruang rc.3 bedah saraf.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami telah banyak mendapat bantuan dan masukan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini tim penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
Ns.Riani, S. Kep, M.Kes selaku dosen mata kuliah Keperawatan gawat darurat yang telah
membimbing kami sehingga pengetahuan kami semakin bertambah. Pihak-pihak yang tidak dapat
kami sebutkan satu persatu yang telah turut membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik dalam waktu yang tepat.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dalam susunan maupun
isinya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
mahasiswa/mahasiswi.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Barell, Heruti, Abargel dan Ziv (1999), sebanyak 1465 korban mengalami trauma
kepala, sedangkan 1795 korban mengalami trauma yang multipel dalam penelitian di Israel.
Kecederaan multipel berkaitan dengan keparahan dan ia adalah asas dalam mendiagnosa gambaran
keseluruhan kecederaan. Dengan merekam seluruh kecederaan yang dialami oleh korban, ia dapat
membantu dalam mengidentifikasi kecederaan yang sering mengikut penyebab trauma pada korban.
Trauma Murni adalah apabila korban didiagnosa dengan satu kecederaan pada salah satu regio
atau bagian anatomis yang mayor (Barell, Heruti, Abargel dan Ziv, 1999).
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal
pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi impak
pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional. Trauma kepala
paling banyak dicatat pada pasien politrauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti
amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan
jiwa yang lain (Veterans Health Administration Transmittal Sheet). Ada beberapa trauma yang sering
terjadi yaitu:
1.1.1. Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang tinggi serta pada
aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera pada beberapa bagian ini.
1.1.2. Trauma toraks
Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding toraks dan
cedera paru.
1.1.3. Trauma abdominal
Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian organ dalam dan bagian luar
abdominal
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pengertian
2.1.1. Pengertian Trauma Kepala
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown,
Thomas, 2006).
Menurut Satya Negara (1998:148) mengemukakan bahwa cedera kepala merupakan
jumlah deformitas jaringan di kepala yang diakibatkan oleh suatu kekuatan mekanis.
Dari beberapa penegertian di atas dapat disimpulkan bahwa trauma kepala atau cidera
kepala adalah suatu kerusakan yang menimpa struktur kepala yang disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar yang dapat menimbulkan gangguan fugsional jaringan otak.
Dari ketiga pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hematoma subdural adalah
akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid yang biasanya
disebabkan karena perdarahan vena.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa, Post craniotomy dekompresi atas
indikasi moderat HI disertai subdural hematoma fronto temporo parietal dextra ialah operasi
pembedahan yang dilakukan untuk membuka tengkorak guna mengevakuasi bekuan darah atas
indikasi cedera kepala dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) 9-12 disertai akumulasi darah
yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid yang biasanya disebabkan karena
perdarahan vena di daerah fronto temporo parietal dextra.
1) Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan siklus sentralis.
Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol motorik gerakan
volunter termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai ekspresi emosi, moral dan
tingkah laku etika. Fungsi aktifitas motoriknya diekspresikan melalui: korteks somato-
motorik primer (area Brodmann 4), korteks premotor dan suplemen (area Brodmann 6),
frontal eye field (area Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area Brodmann 44),
sedangkan kontrol ekspresif dari emosi dan moral dilaksanakan oleh korteks pre frontal
(Satyanegara, 1998: 15)
2) Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh karaco
oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan rasa kecap,
dimana selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk menimbulkan kesiagaan tubuh
terhadap lingkungan eksternal. (Satyanegara, 1998: 17)
3) Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan lobus
oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang berkaitan dengan
pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-memori.
4) Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang daris erebrum lobus oksipitalis sangat
penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara umum, fungsi serebrum terdiri dari:
a) mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu
b) pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi, keinginan dan
memori
c) pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil
Untuk memperjelas letak dari setiap Lobus Otak dapat dilihat pada gambar 2.1
dibawah ini:
Sumber: Satyanegara, L. Djoko Listiano, Ilmu Bedah Saraf Edisi III, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1998
1) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebrum dengan
mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat di bagian depan lobus temporalis
terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping.
Fungsi dari diensefalon:
2) Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas, 2 di
sebelah atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 di sebelah bawah disebut
korpus quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius berjalan ke veritral di bagian
medial. Serat-serat saraf nervus troklearis berjalan ke arah dorsal menyilang garis
tengah ke sisi lain.
Fungsinya terdiri dari:
a) penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula oblongata
dengan serebelum
b) pusat syaraf nervus trigeminus
4) Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah medula oblongata
merupakan persambungan medula spinalis ke atas dan bagian atas medula oblongata
disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral medula oblongata.
Fungsi medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls dari medula
spinalis dan otak yang terdiri dari:
Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan:
2.3. Etiologi
Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar yaitu:
2.3.1.1. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau
sebaliknya
2.3.1.2. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik
2.4.1. Rupturenya aneurisme menyebabkan sakit kepala mendadak, biasanya terjadi sangat hebat,
seringkali terjadi kehilangan kesadaran selama beberapa periode, nyeri dan kekauan bagian
belakang leher dan tulang belakang, gangguan penglihatan (kehilangan penglihatan, diplopia,
ptosis).
2.4.2. Dapat juga terjadi tinnitus, pusing, dan hemiparesis. Jika aneurisme mengeluarkan darah,
pasien mungkin sedikit memperlihatkan deficit neurologis, atau perdarahan hebat,
mengakibatkan kerusakan serebral yang dengan cepat diikuti dengan koma dan kematian.
2.4.3. Prognosis tergantung pada kondisi neurologis, usia pasien penyakit yang berkaitan, dan luas
serta letak aneurisme.
1. Hematoma subdural akut, sering dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang
meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan/ atau
tanda gejala klinis: sakit kepala, perasaan kantuk dan kebingungan, respon yang
lambat dan gelisah. Tekanan darah meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan
pernafasan cepat sesuai dengan peningkatan hematoma yang cepat. Keadaan kritis
terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
2. Hematoma subdural sub akut, biasanya berkembang 7-10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat dan dicurigai pada pasien
yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Tanda dan gejala
sama seperti pada hematoma subdural akut. Tekanan serebral yang terus menerus
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran yang dalam. Angka kematian pasien
hematoma subdural akut dan subakut tinggi, karena sering dihubungkan dengan
kerusakan otak.
3. Hematoma subdural kronik, terjadi karena cedera kepala minor. Mulanya
perdarahan kecil memasuki di sekitar membran vaskuler dan pelan-pelan meluas.
Gejala klinis mungkin tidak terjadi/ terasa dalam beberapa minggu atau bulan.
Keadaan ini pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan
motorik, lansia cenderung yang paling sering mengalami cedera kepala tipe ini
sekunder akibat atropi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan. Cedera
kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup untuk menggeser isi otak
secara abnormal dengan sekuela negatif.
3) Hematoma intraserebral
Adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera
kepala dimana mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka
tembak, cedera tumpul). Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh
hipertensi sistemik yang menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur
kantung aneurisma, anomali vaskuler, tumor intrakranial. Akibat adanya substansi
darah dalam jaringan otak akan menimbulkan edema otak, gejala neurologik tergantung
dari ukuran dan lokasi perdarahan
2.6. Patofisiologi
Patofisiologi trauma kepala menurut: Sylvia Anderson, et,al., alih bahasa Peter Anugerah
(1995: 1011); Satyanegara, (1998: 150); Carolyn M. Hudak, et, al., alih bahasa Monica E.D
Adiyanti (1996: 226) adalah sebagai berikut:
Pada trauma kepala dimana kepala mengalami benturan yang kuat dan cepat akan
menimbulkan pergerakan dan penekanan pada otak dan jaringan sekitarnya secara mendadak serta
pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan cedera
akselerasi-deselerasi. Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi dan deselerasi merupakan kejadian
yang serupa, hanya berbeda arahnya saja. Efek akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior
ke anterior adalah serupa dengan deselerasi kepala anterior-posterior.
Cedera yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan atau memar pada
permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan, memar tersebut akan mengakibatkan gejala defisit
neurologis yang tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran yang progresif, reflek Babinski yang
positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak
organik.
Pada trauma kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal ini terjadi karena pada
dinding kapiler mengalami kerusakan, ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Sehingga
cairan akan keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena adanya perbedaan
tekanan antara tekanan intravaskuler dengan tekanan interstisial.
Akibat cedera kepala, otak akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater,
kemudian terjadi cedera pada permukaannya, terutama pada vena-vena “gantung” (bridging veins).
Robeknya vena yang menyilang dari kortex ke sinus-sinus venosus dapat menyebabkan subdural
hematoma, karena terjadi pengisian cairan pada ruang subdural akibat dari vena yang pecah.
Selanjutnya pergeseran otak juga menimbulkan daerah-daerah yang bertekanan rendah (cedera
regangan) dan bila hebat sekali dapat menimbulkan kontusi kontra-kup.
Akibat dari adanya edema, maka pembuluh darah otak akan mengalami penekanan yang
berakibat aliran darah ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan iskemia yang
akhirnya gangguan pernapasan asidosis respiratorik (Penurunan PH dan peningkatan PCO 2 ).
Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri yang paling berbahaya adalah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang timbul karena adanya proses desak ruang sebagai
akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak. Peningkatan intra kranial yang terus
berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema yang bertambah secara progresif, akan
menyebabkan koma dengan TTIK yang terjadi karena kedua hemisfer otak atau batang otak sudah
tidak berfungsi.
2.8.4. Komplikasi lanjut cedera kepala ini (dapat terjadi pada cedera kepala ringan) dapat
mengakibatkan demensia
2.9. Manajemen medis secara umum pada trauma kepala (Tuti Pahria,dkk,1996:57; Arif
Tidak ada kriteria cedera sedang – beratCedera kepala sedang (kelompok resiko
sedang)
Konkusi
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea,
Kejang
3. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
5. Sinar x : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari geras
6. BAER (Brain Auditory Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang otak
otak
9. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui ada masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat
meningkatkan TIK.
TIK/perubahan mental
11. Pemeriksaan toksologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
2.11.1. Cedera Kepala Ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan
perburukan.
2.11.2. Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan
skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT scan
normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun
terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbulnya lesi intrakranial
lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
2.11.3. Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan
segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera
(hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf
untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit
rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat
cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi,
Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.
sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/
pascatrauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan
epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin
harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena kadar
dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral
Temperatur badan: demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak dan
harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan
Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera
kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan komplikasi lain.
Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri
resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg
intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H 2 antagonis lain
Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera
meningitis penumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau
udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang
lebih virulen.
Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan
apa-apa, hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari
Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami penurunan kesadaran dan
cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak
cairan, dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada
hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastrik tube (2500-3000
TKTP). Pemberian protein tergantung nilai urea N. (kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid dua)
B. BAB III
TINJAUAN
KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn”A”
Usia : 18 Tahun
Agama : Islam
1. Pengkajian
PRIMARY
SURVEY :
√ Bebas _ Tersumba
t
- Sputum √ Adanya
Darah
- Spasme - Benda Asing
Suara Napas
- Normal √ Stridor
√ Gurgling - Wheezhin
g
- Ronchi - Lain-lain
Masalah Keperawatan :
- Apnea - Dispnea
- Bradipnea √ Takipnea
dada/perut
Suara Napas
- Normal √ Stridor
√ Gurgling - Wheezhin
g
- Ronchi - Lai -lain
Msalah Keperawatan: Ketidakefektifan pola nafas
- Jumlah: - Lokasi:
cc Grade :
Nadi
Masalah Keperawatan:
Pupil
- Isokor - Miosis
√ Anisokor - Midriasis
Fungsi Bicara
- Normal - Afasia
- Pelo - Mulut
Mencong
Kekutan otot
0 0
0 0
Ket:
E. Sensabilitas
- Normal √ Gangguan
Menelan
air
√ Gangguan Menelan Air
dan Makanan
Masalah Keperawatan:
Exposure Trauma :
Luas :
Kedalaman :-
SECONDARY SURVEY
a. Wawancara
mendapatkan
jam
mulut.
b. Pemeriksaan Fisik
mmHg N : 65x/m
3 Kepala
√ Echymos - Nyeriteka
is n
√ bagian belakang
4 Mata
Respon pupil:
- Isokor Anisokor
RC Midriasis Miosis
√
5 Telinga
Lain-lain : -
-
6 Hidung
Cairan, Warna:-jumlah:
- - Lecet/kemerahan/laserasi
-
Lain-lain : - -
7 Leher
-
Deviasi trakea
-
-
-
Bengkak Kebiruan sekitar leher
Lain-lain: -
-
Krepitasi
8 Dada/Paru
-
Ekspansi dinding dada meningkat/turun
-
teratur
BJ BJ
Suara Jtg : I II Murmur Gallop
Nyeri dada
Skala nyeri: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10
Karakteristik Skala : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10
nyeri:
Lain-lain :
- ……………………
9 Abdomen
- Perdarahan/beng √ Laserasi/jejas/lece
kak t
Lain-lain :
……………………
1 Genetalia
0
√ Simetris - Asimetris
- Lain-lain : -
1 Ekstremitas
1
Keterbatasan
- Fraktur, Lokasi: -
- Nyeri, Skala: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10
Lain-lain : -
1 Kulit
2
√ Ada luka Lokasi : Ekstremitas sebelah kanan
√ Echymosis - Ptechie
- Gatal-
gatal/pruritus
- Insisi operasi, Ukuran:…………….., Lokasi:……………
Nyeri, Skala: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10
3. Pemeriksaan Penunjang
F. Tabel 3.2
K 41 Mmol/L 3,4-5,4
Cl 99 Mmol/L 95-108
HbsAg Negatif
Pengobatan
Cara
N Nama Terapi Dosis Golongan Obat
o Pemberia
n
1 Ceftriaxone 2x1 Gr I.V Antibiotik
penurunan
Kerusakan Sel otak
kesadaran
rangsangan simpatis
2. Kesadaran: coma
3. Terpasa
tahanan
ng vaskulerSistemik &
Ventilat
tek.
or,
Pemb.darahPulmonal
4. RR:
tek. Hidrostatik
30x/m, N
mulut terhambat
6. Suara
nafas tambahan
Ketidakefektifbersihan jalan
stridor napas
2 DS : tidak dapat dinilai Ketida
Cidera kepala
DO : k
penurunan an
4. Terpasa serebr
Aliran darah keotak
ng O2 al
Ventilat
gangguan
or, metabolis
me
5. RR:
: 65x/M
Asam laktat
T : 37,50C
7. Kebiruan
sekitar mata
(jejas)
8. Kepala bengkak
dan asimetris
3 DS : tidak dapat dinilai Ketidak
Kecelakaan lalu lintas
DO : efektifan Pola
Cidera kepala
1. Ku: Nafas
3. Terpasa
Kerusakan sel otak
ng
Rangsangan simpatis
Ventilat
or,
30x/m, N
: 65x/M
T : 37,50C
5. Suara
Penumpukan cairan /
nafas tambahan secret
stridor
1. Masalah keperawatan
2. Prioritas masalah
3. Diagnosa Keperawatan
dengan:
DS : tidak dapat dinilai DO :
2. Kesadaran: coma
3. GCS: E1VtM1,
4. Terpasang
Ventilator, 5. RR:
30x/m,
N : 65 x/M
T : 37,50C
DO :
2. Kesadaran: coma
3. GCS: E1VtM1,
4. Terpasang
Ventilator, 5. RR:
30x/m,
N : 65x/M T :
37,50C
DO :
2. Kesadaran: coma
3. GCS: E1VtM1,
4. Terpasang
Ventilator, 5. RR:
30x/m,
N : 65x/M T :
37,50C
6. Pupil anisokor
G.INTERVENSI
Tabel 3.7
DS : tidak dapat 09:40 R/: Posisi klien semi fowler Tindakan suction
Penurunan Wib
kesadaran
2. Kesadaran: coma R/: Penumpukan secret di jalan nafas klien 3. Kesadaran: - coma
4. RR: 30x/m, R/: Posisi tempat tidur klien di tinggi kan x/m,
TD: 100/60 mmHg Wib yang ventilasinya menurun atau tidak ada 37- 0C
10:00 7. Berkolaborasi
timdokte dala
Wib dengan pemberian r m
obat
a) Ceftriaxone
b) Omeprazole
c) Paracetamol
d) Ringer Fundin
e) Dobutamin
2 Ketidakefektifan pola selasa, Selasa, 11-07-2019 Pukul 14:30
6. Terdapat secret di
selang ETT Wib pemberian obat
dan f) Ceftriaxone
mulut g) Omeprazole
j) Dobutamin
perfusi jaringan serebral sa, neorologis R/: GCS :2T, 14:30 S:-
penurunan
kesadaran 09:57 3. Memberikan informasi kepada 5. RR:
T : 37,50C b) Omperazole
sekitar mata
(jejas)
8. Kepala bengkak
dan asimetris
75
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak.
Pengartian yang lain, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
http://askepkukeperawatan.blogspot.com/2012/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none.html
76
DAFTAR PUSTAKA
Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi. Alih Bahasa Indah R. Wardhani.
Jakarta: Erlangga
Masnjoer, Arif, dkk. 2003. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga. Jakarta : Media
Aesculapius
Pahria, Tuti, dkk. 1996. Asuhan Keperawatan pada Paien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: EGC
Price, Sylvia Anderson, dkk. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Edisi IV,alih bahasa Peter Anugerah. Jakarta : EGC
Satyanegara, L. Djoko Listiano. 1998. Ilmu Bedah Saraf Edisi III. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama