Oleh :
(17110253)
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kritik Sastra
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus , karena atas berkat dan lindungannya ,
penulis bisa menyusun dan menyajikan tugas makalah ini dengan judul “ CBR (Critical
Book Report ) “Beberapa Teori Sastra Metode Kritik dan Penerapannya”
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Kritik Sastra semester ganjil
tahun 2020 . Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah memberikan dorongan dan motivasi.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran yang membangun guna menyempurnakan tugas ini dan dapat menjadi acuan
dalam menyusun tugas-tugas selanjutnya.
Penulis juga memohon maaf apabila dalam penulisan tugas ini terdapat kesalahan
pengetikan dan kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami maksud
penulis.
Penulis
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
3.2.1 Kelebihan 20
3.2.2 Kekurangan 21
4.1 Kesimpulan 21
4.2 Saran 21
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Cetak : IX (ke-9)
Kota Terbit : Yogyakarta
Tebal : Halaman
Seri : PJ 580 02
Ukuran Buku : 21 cm
ISBN : 979-8581-15-6
Jumlah Bab : 13
BAB II
PEMBAHASAN
Mengkritik sebuah buku atau lebih adalah salah satu kegiatan yang harus
dikuasai oleh mahasiswa. Terlebih lagi untuk calon pendidik bangsa. Banyak buku yang
beredar sekarang ini yang bisa dikritik. Baik dari segi penulisannya, cocok atau tidaknya
bahan materi dengan pembaca, maupun dari segi kelengkapan materi.
Critical Book Report kali ini akan mengkritik sebuah buku yang berjudul
“Beberapa Teori Sastra Metode Kritik dan Penerapannya” Karya : Prof. Dr. Rachmat
Djoko Pradopo. Di dalam makalah CBR ini tidak ada maksud untuk menyudutkan pihak
tertentu.Pada makalah ini disertakan kelebihan dan kekurangan buku baik dari segi
kelengkapannya maupun dari segi penulisannya, pemakaian bahasanya dan penyampaian
materinya. Karena pada dasarnya tidak ada buku yang sempurna . Dengan demikian
diharapkan tidak ada pihak yang tersinggung atas penyajian makalah ini. Karena makalah
ini dibuat dari sudut opini pembaca.
Pada penelitian kali ini, peneliti akan mengkaji lebih dalam lagi tentang buku
yang berjudul “Beberapa Teori Sastra Metode Kritik dan Penerapannya” Karya : Prof.
Dr. Rachmat Djoko Pradopo.. Adapun beberapa masalah yang akan dikaji dalam buku
tersebut, yaitu :
1. Sinopsis buku
2. Bahasa buku (Penggunaan gaya bahasa, pengetikan, pengunaan ejaan)
3. Struktur bahasa dan sistematika buku.
1.3 Kajian Teori Yang Digunakan
Suatu teori akan memperoleh arti yang penting, bila ia lebih banyak dapat
melukiskan, menerangkan, dan meramalkan gejala yang ada. Memperjelas masalah yang
diteliti, sebagai dasar untuk merumuskan hipotesis. Sebagai referensi untuk menyusun
instrumen penelitian.
Ada enam cara atau teknik dalam melakukan kajian teori yakni dilakukan secara
selektif , dikerjai dengan cara koomperatif, dikaji secara kritis, diurai dan di analisis
secararinci dan detail, dilakukan secara mendalam dan holistik, serta bebas nilai dalam
arti peneliti tidak memihak pada salah satu teori dan mengabaikan teori yang lain.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode ilmiah yang
merupakan cara memperoleh pengetahuan yang menerapkan dua metode yaitu deduktif
dan induktif untuk kegiatan yang akan dilakukan melalui serangkaian langkah dengan
tujuan untuk memecahkan masalah. Secara prinsip, masalah adalah jarak atau disparitas
antara apa yang diharapkan dengan apa yang mampu dicapai oleh seseorang. Serangkaian
langkah penelitian diawali dari memformulasikan masalah, megkaji literatur atau tinjauan
pustaka, merumuskan hipotesis, mengenali dan pelabelanvariabel, menyusun desain
penelitian dan mengembangkan instrumen, pengumpulan dan analisis data, diakhiri
dengan penulisan laporan penelitian.
BAB III
Buku Pradopo (2012) dengan judul “Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya” adalah buku yang coba menguraikan beberapa teori-sastra dan kritik
sastra yang dainggab baru, di samping dipaparkan berbagai keusustraan Indonesia dengan
historis keberadaannnya di tanah air. Dipaparkan tentang priodisasi, anggkatan, sejarah
sastra Indonesia, baik berupa puisi ataupun prosa. Disisi lain juga, pengarang
menjelaskan sistematikakritik ilmiah dan metode yang diugunakan di dalamnya. Untuk
lebih jelasnya, akan dipaparkan bab per bab sehinggan gagasan dan ide yang ingin
disampaikan pengarang lewat karyanya dapat ditangkap oleh pembaca. Tentunya untuk
menangkap maksud dan ide tersebut harus dipahami dan dibaca secara keseluruhan.
Pradopo (2012) Bab I halaman 1-35 dengan sub pembahasan tentang “Masalah
Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia”. Pada bab ini, pengarang menjelaskan
berbagai penulisan sejarah dan kesustraan Indonesia dari priode pertama hingga akhir.
Pada masalah angkatan misalnya dibahas tentang sejarah sastra yang menurut Rene
Welllek mebagainya menjadi tiga bagian yakni: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra. Prodopo menjelaskan angkatan sastra seperti: balai Pustaka, ankgatan pujangga
baru, angkatan 50-an, (HB. Jassin dengan sebutan 66), angkatan 70-an. Selain angkatan,
dijelaskan perkembangan penulisan literatur sejarah sastra Indonesia, yang oleh prodopo
memberikan gambaran dengan dua cara, yakni: teori estetika resepsi atau tanggapan dan
teori penyusunan rangkaian perkembangan sastra dari priode dan angkatan, selain itu
penulisan sejarah dilakukan dengan sudut tinjauan perkembangan jenis sastra, baik prosa
maupun puisi. Priode sastra indonesia misalnya dijelaskan oleh berbagai tokoh seperi
HB. Jassin (1953), Boejoeng Saleh (1956), Nugroho Notosusanto (1963), Bakri Seregar
(1964), dan Ajip Rosidi (1969). Secara umum, priodesasi yang dijelaskan oleh beberapa
tokoh tersebut dengan ciri intrinsik mulai dari alur, tema, penokohan, pusat pengisahan,
gaya bahasa, gaya bercerita, serta teknik latar yang diugnakan. Adapun unsur ekstrpa
ektrinsik sastra Indonesia meliputi pada pemikiran, filsafat, pandangan hidup gambaran
kehidupan sosial politik dan bahasa yang digunakan dalam mengkomunikasikan
kehidupan sehari-hari. Setiap priode, memiliki ciri khas yang berbeda, disesuaikan
dengan kondisi sosial, budaya, politik Indonesia.
Pada Bab II halaman 36-56, sub judul “Sejarah puisi Indonesia modern: sebuah
ikhtisar” prodopo memaparkan tentang adanya persambungan antara puisi dan prosa.
Pada bahasan ini, lebih dikhususkan pada sajak-sajak yang telah ada. Sebagaiamana
dikatakan Teeuw (dalam Pradopo, 2012) bahwa karya sastra (puisi) tidak lahir dalam
kekosongan budaya. Budaya menjadi bagian yang terpenting dalam dinamika proses
terbentuknya puisi, adanya tegangan antara inovasi dan keonvensi. Periodisasi puisi
indonesia yang dijelaskan Prodopo adalah bagaimana lahirnya kesustraan Indonesia,
dalam hal ini puisi. Tahun 1920 menjadi tahunpenting bagi lahirnya embrio kesustraan
modern Indonesia. Misalnya terbitnya roman Azab dan Sengsara (1921) oleh Merari
Siregar. Tahun kedua ditulis pula sajak pertama Indonesia oleh M. Yamin dengan judul
Tanah Air yang kemudian disusul oleh sajak-sajak lainnya. Artinya, kelahiran kesustraan
Indonesia modern tidak saja dimulai dengan dengan prosa (roman), tapi sajak menjadi
diperhitungkan.
Pada Bab III halaman 57-73, sub judul “Perkembangan yang Dialektis dalam
Kesustraan Indonesia Modern: Dialek kedaerahan-Nasional-Internasional-Kedaerahan”.
Karya sastra hadir sebagai tanggapan atas karya sebelumnya. Artinya karya yang
diciptakan pengarang adalah hasil pantauannya dari karya-karya yang selama ini beredar.
Dalam hal ini karya sastra modren hadir, secara resmi lahir dan terbit sajak Indonesia
modern yang pertama kali ditulis oleh M. Yamin. Larya sastra modern semakin
berkembang berkat atas pengenaln sastrawan muda yang terus berinovasi dari karya-
karya Barat, khusunya lewat sastra belanda. Karya sastra Barat dianggap menjadi karya
sastra Internasional, akan tetapi dengan masuknya karya internasional bukan bearti dapat
menghilangkan unsur-unsur daerah sebagai unsur asli, ada sebagain yang dikonvensinya,
dan ada juga yagn diteruskan. Ini terlihat misalnya dalam struktur puisi Indonesia modern
awal, yaitu perioditasnya yang tiap baris atau larik terdiri atas dua priodus dan tiap
proidus terdiri atas dua kata. Dalam prosa misalnya, hikayat disampingin dangan bentuk
roman. Dalam isi dikemukakan pikiran-pikiran baru akibat pengaruh pendidikan barat
dan pergaulan dengan bangsa barat seperti, menentang perkawinan menurut adat, atau
menurut pilihan orang tua, atau pendidikan hanya untuk kaum laki-laki. Seperi terlihat
pada siti Nurbaya (1922), layar Terkembang (1935). Tidak saja dalam roman, tampak
pulan dalam drama, misalnya drama Ajirabas (W.J.S Purwardarminta) “Bangsacara dan
Ragapada”.
Pada Bab IV halaman 74-91, sub judul “Pusat Pengisahan Metode Orang Pertama
dan Perkembangan dalam Roman dan Novel Indonesia Modern”. Prodopo melalui sub
bab ini menjelaskan tentang pusat pengisahan dan metode orang pertamanya dalam
roman dan novel Modern khusunya di Indonesia. Penelitian pusat pengisahan sebagai
salah satu unsur struktur cerkan sangat penting untuk pemahaman. Perbedaan roman dan
novel berbeda karena konvensi penyebutan cerkan panajgan dalam kesustraan Indonesia
zaman sebelum PD I dan PD II. Kata roman disebut pada zaman sebelum PD I, dan kata
novel setelah zaman PD II. Pengisahan dalam istilah Inggris disebut point of view. Hal
yang dijelaskan secara lebih detail pada Bab ini adalah pengisahan cerita orang pertama
baik roman pada balai pustaka, pujangga baru menuju masa transisi perkembangan novel
Indonesia modern. Misalnya dijelaskan tentang orang pertama pada pengisahan Atheis
karya Achdiat Kartamirardja yang disebut sebagai karya sastra mentransformasikan
Karya Di Bawah Lindungan Kabbah sebagai hipogram. Artinya unsur ceritanya
perpindahan dari karya sastra lain, yang pada intinya sama tapi bentuk berbeda.
Pada Bab V halaman 75-92, sub judul “Kriktik Sastra Indonesia Modern dan
Permasalahannya” Pradopo mencoba menjelaskan perbedaan antara kritik sastra, teori
sastra, dan sejarah sastra. Seperti yang diungkap Wellek bidang studi sastra meliputi tiga
hal yaitu; kritik sastra, teori sastra, dan sejarah sastra. Teori sastra ialah bidang studi
sastra yang berhubungan dengan teori-teori kesusastraan. Sejarah sastra adalah bidang
studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra sejak lahir hingga
perkembangannya yang terakhir. Kritik sastra membicarakan karya sastra secara
langsung: menganalisis, menginterpretasi, dan menilai karya sastra. Pradopo
menyimpulkan bahwa kritik sastra memberi penilaian dan keputusan mengenai bermutu
atau tidaknya suatu karya sastra. Dalam kritik sastra, suatu karya diuraikan (dianalisis)
unsur-unsur atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu persatu, kemudian
ditentukan berdasarkan “hukum-hukum” penilaian karya sastra, bernilai atau kurang
bernilainya karya sastra itu.
Jenis-Jenis kritik sastra: Bedasarkan jenis bentuknya: Kritik teoritis (theoretical
criticism), Kritik terapan (pratical criticism), diskusi karya sastra tertentu dan penulis-
penulisnya. Adapun berdasarkan pelaksanaaanya ataupun praktik kritiknya. Abrams
membagikan ke dalam tiga jenis kritik judisial, kritik induktif, dan kritik impresionistik.
Sedangkan Hudson, membaginya kedalam dua jenis ; kritik judusial dan kritik induktif.
Adapun berdasarkan orientasinya terhadap karya sastra, Kritik dibagi menjadi kritik
mimetik, pragmatik, ekspresif, dan kritik objektif. Prodopo jugan menjelaskan corak
Kritik Sastra Indonesia Modern, yakni Kritik Teoritis, salah satu esai pertama yang
memuat teori-teori kritik sastra adalah kumpulan esai H.B. Jassin berjudul Tifa Penyair
dan Daerahnya yang ditulis pada 1952. Sedangkan kritik yang agak luas, ditulis oleh
Rachmat Djoko Pradopo pada 1967 bertajuk Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik
Sastra Indonesia Modern. Di samping itu juga ada kritik Terapan yang pada umumnya,
berupa esai-esai, timbangan-timbangan buku yang ditulis dalam surat kabar, dan pidato
radio yang kemudian dibukukan. Esai kritik sastra yang terkenal adalah buku
Kesusastraan Indonesia Modern dalan Kritik dan Esai (4 jilid) himpunan H.B. Jassin.
Pada Bab VII halaman 118-139, sub judul “Penelitian Sastra dengan Pendekatan
Semiotik”. Penelitian sastra dapat pula dilakukan dengan pendekata semiotik. Semiotik
sebagai pendekatan digunakan untuk mengungkap tanda-tanda dibalik bahasa dan kata
pada karya sastra. Pendekatan semiotik merupakan lanjtan dari pendekatan struktural,
tentu semiotik dipisah dari struktural. Pada Bab ini, prodopo pembahasan pada:
pengertian semiotik, tanda (penanda dan dan petanda), bahasa dan kesustraan, metode
semiotik dalam penelitian sastra, konveksi ketaklangsunganekspresi, penunjukan teks ke
teks yakni hubungan intekstual, juga dibahasa pembacaan heuristuk dan heurmenetik.
Kajian mengenai semiotik merupakan kajian tentang tanda. Fenomena yang ada dalam
masyarakat, kebudayaan yang ditampilkan merupakan tanda-tanda yang kemudian
diterjemahkan. Tokoh pendiri semitok adalah Ferdinan de Sausere (1857-1913) seorang
ahli lingusitik dengan menyebut ilmu itu dengan semiologi, sedangkan yang kedua adalah
Charles Sender Pierce (1839-1914) yang ahli filsafat asal Perancis menyebutknya dengan
istilah semiotik. Pada kajiannya, semiotik berusah menganalisis sastra dengan mencari
tanda-tanda dibalik bahasa. Karya sastra sebagai sebuah sistem mempunyai konvensi-
konvesi sendiri, baik berjenis prosa atau pun puisi. Genri puisi mempunyai ragam: puisi
lirik, syair, pantun, soneta, balada, dan sebagainya. Selain hal tersebut, terdapat juga
sistem tanda, minimal seperti: kosakata, bahasa kiasan. Disisi lain juga, dibahas tentang
hubungan teks denga teks lain: yakni hubungan intertekstual.
Pada Bab VIII halaman 140-161, sub judul “Analisis Puisi Secara Struktural dan
Semiotik”. Analisis karya sastra dengan struktural dan semiotik penting dilakukan.
Analisis struktural merupakan analsis pertama dalam karya sastra. pada analsis struktural,
dibahas struktur fisik dan non fisik, dimana keduanya saling berkaitan dalam
menciptakan makna. Karya sastra merupakan struktur makna atau struktur yang
bermakna. Prodopo menampilkan contoh dengan menggunakan strukutur dan semiotik
dalam mengalisis saja. Pada analsis tersebut terlihat saja saling berkesinambungan. Pada
hal ini, ditambahkan konvensi bahasa kiasan yang merupakan tambahan puisi yang
menyatakan sesuatu yang berarti lain. Dengan arti lain bahwa, puisi memberi makna dari
lain dari bahasa lain. Menurut reiffaterre (Prodopo, 2012:147) dijelaskan
ketidaklangsungan puisi, seperti: penggantian arti, penyimpangan makna, dan penciptaan
arti.
Pada Bab IX halaman 162-177, sub judul “Hubungan Intektesktual dalam Sastra
Indonesia”. Hubungan intertekstual sebagaimana telah dijelaskan di bab-bab sebelumnya,
bahwa intertertekstual berkaitan perbandingan antar dua teks sastra dalam satu analsis.
Pada karya sastra orientasinya sebagaimana disebutkan Abrams (dalam Prodop, 2012:
162) ada empat tipe keseluruhan sastra, yakni: alam (iuniverse), pembaca, pengarang
(artist), dan karya sastra. karya sastra sebagai teks yang otonom, yang mencukupi
dirinya, maka analsis struktur intrinsiknya, kompleksitas karya sastra sangat
dipentingkan. Disini dapat
Pada Bab X halaman 178-205, sub judul “Hubungan Intektesktual dalam Roman-
Roman Balai Pustaka dan Pujangga Baru”. Masalh penting yang dibahas pada bab X ini
adalah hubungan antarteks karya sastra dengan teks karya sastra lainnya. Makna karya
sastra tidak semata-mata ditentukan oleh oleh struktur intrinsik, melainkan unsur sosial
budaya dan kesejarahannya. Karya sastra diciptakan berdasarkan konvensi sastra yang
ada, kehadiran karya satra adalah hasil pembacaan terhadapat sastra sebelumnya. Dalam
penyusunan sejarah, priodesasi merupakan salah satu prinsipnya. Priodesasi adalah
pembabakan waktu waktu atau priode sastra. Dijelaskan pula hubungan intertekstual
roman-roman balai pustaka, misalnya Azab DAN Sengsara karya Merari Siregar tahun
1921, berikutnya menyusul pula karya-karya lainnya yang memiliki struktur nasrasi dan
tema yang mirip sama.
Pada Bab XI halaman 206-216, sub judul “Estetika dan Teori penerapannya”.
Sebelum pada bab X dibahasa hubungan intertekstual roman-roman Indonesia modern
dang meilhat berbagai aspek seperti tema dan struktur dan paham yang dibawa, maka
pada bab XI diuraikan tentang tanggapan pembaca terhadap karya sastra dan bagaimana
analisis penerapannya. Pada dasarnya teori resepsi sastra adalah cakrawala harapan dan
tempat terbuka bagi para pembaca dalam melihat sastra. Tiap pembaca mempunyai
wujud karya satra sebelum dibaca. Artinya, pembaca memiliki konsep tersendiri
mengenai karya sastra, baik berupa sajak, cerpen, maupun novel. Cakrawala harapan
ditentukan oleh pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya
sastra. Bagi penganut paham resepsi baranggapan bahwa karya sastra sejak terbit selalau
mendapat resepsi atau tanggapan para pembacanya. Dalam penerapannya, resepsi
dilakukan dalam bentuk naskah tulisan tangan sastra lama dan resepsi karya sastra
modern.
Pada Bab XII halaman 217-233, sub judul “Tinjauan Resepsi Sastra Berbagai
Sajak Chairul Anwar”. Pada bab XII, Prodopo menguraikan sajak-sajak Chairul Anwar
dengan menggunakan tinjauan resepsi. Chairul Anwar dianggap salah satu penyair dalam
kesustraan Modern dikarenakan hasil karyanya yang inovatif. Sajak-sajak Chairul Anwar
yang dibahasa misalanya sajak “Aku”, “Doa”, “Sebuah Kamar”, “Diponegoro”, “Pada
Peminta-minta” dan lain sebagainya. Analsis sajak-saja Chairul Anwar digunakan teori
resepsi yang di dalamny terdapat horizon harapan. Horizon harapan pembaca ditentukan
oleh tiga kriteria: a) horizon harapan ditentukan oleh norma-norma yang terpancar pada
teks-teks yang telahg dibaca, b) ditentka oleh oleh pengetahuan dan pengalaman atas
semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan c) dipertentangkan antara fiksi dan
kenyataan.
Pada Bab XIII halaman 234-264, sub judul “Tanggapan Pembaca Terhadap
Belenggu”. Sub ini adalah bahasa terakhir yang yang terdapat dalam buku Prodopo (212),
dimanbelenggu dianggap memoliki pengaruh yang cukup tinggi pada pembaca. Pembaca
belenggu dari waktu ke waktu memiliki tanggapan berbeda bahkan mulai sejak terbitnya
tahun 194- 1990. Tanggapan tersebut bisa dilihat mislanya ketika naskah ditolak saat
dikirim ke Balai Pustaka, dimana ketentuan umum di balai pustaka: naskah tidak
melanggar ketertiban, budi pekerti, dan tidak berpolitik yang bertentangan dengan
pemerintah Hindia Belanada, di samping mengandung pendidikan kepada masyarakat.
Karena di tolak akhirnya naskah dikirim ke majalah pujangga baru tahun 1940 secara
utuh, terlihat berbagai tanggapan pembaca terhadap isi naskah teresebut.
3.2.2 Kekurangan
Buku dengan ketebalan 273 halaman memang menggunakan kaidah bahasa yang
baik dan benar. Namun bagi pembaca penggunaan kata antar kata sangat susah dipahami
atau dimengerti oleh pembaca. Apabila dibaca dengan sekilas mungkin akan terlihat
biasa-biasa saja akan tetapi ketika membaca lebih dalam akan sulit dimengerti. Banyak
bahasa asing yang jarang didengar dalam buku namun tidak dilengkapi dengan
pengertiannya.
Penelitian CBR (critical book report) yang telah penulis lakukan menurut penulis
isi buku secara umum yang terdapat pada daftar isi, pendahuluan, sampai pada penutup,
atau dapat dikatakan memiliki isi yang sistematis baik dan memliki struktur yang
berurutan sehingga mempermudah para pembaca dalam memahami maksud dan isi buku
tersebut.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. “Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya”.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar