Anda di halaman 1dari 14

Definisi Nyeri

Menurut international Association for the Study of Pain, nyeri adalah pengalaman sensoris dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual atau
potensial, atau dideskripsikan sebagai kerusakan seperti itu. Definisi ini mengakui hubugan antara
sisi obyektif fisiologis dan subyektif emosional psikologi dari nyeri. Kata ker berasal dari noci yang
berarti cedera, dan digunakan untuk mendeskripsikan respon saraf terhadap stimulus traumatik atau
noxious. Semua nosisepsi menghasilkan nyeri, tapi tidak semua nyeri berasal dari nosisepsi.

Patofisiologi nyeri
Nyeri terjadi karena serangkaian proses neurofisiologi kompleks, yang dikenal dengan istilah
nosisepsi, dengan empat komponen: transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi
adalah proses di mana stimulus noxious (panas, dingin, mekanis) dirubah menjadi impuls elektrik
oleh ujung saraf. Transmisi adalah konduksi impuls elektrik ini ke sistem saraf pusat dengan koneksi
penting berada pada dorsal horn medulla spinalis dan thalamus. Modulasi nyeri merupakan proses
perubahan transmisi nyeri, di mana proses inibisi dan eksitasi terjadi pada sistem saraf perifer dan
pusat. Persepsi diperkirakan terjadi dengan thalamus bekerja sebagai stasiun sentral dari sinyal nyeri
yang datang dan korteks somatosensori primer bekerja untuk diskriminasi nyeri.
Nyeri berawal dari aktivasi nosiseptor oleh rangsang noxious. Kemudian impuls nyeri
ditransmisikan melalui tiga jenis neuron menuju korteks serebri. Neuron orde pertama, memiliki
badan sel di ganglion dorsal root, yang memiliki cabang akson distal ke nosiseptor perifer dan
cabang akson proximal ke dorsal horn untuk bersinaps dengan neuron order kedua. Neuron orde
pertama masuk ke medulla spinalis dan berkumpul berdasarkan ukuran, dan naik atau turun satu
sampai tiga segmen sebelum bersinaps dengan neuron orde kedua.
Neuron orde kedua berada di medulla spinalis dan berada di dorsal horn. Neuron ini dapat
berupa neuron spesifik nosiseptif atau neuron wide dynamic range (WDR) yang juga menerima input
nonnoxious dari serat Aβ, Aδ, dan C. Sebagian besar akson neuron orde kedua menyilang garis
tengah dan membentuk traktus spinothalamikus dan berakhir di thalamus, formation reticularis, dan
periaqueductal gray. Sebagian kecil mengirim sinyal melalui jalur alternatif seperti traktus
spinoretikuler atau spinocervical. Neuron ordo kedua berintegrasi dengan sistem simpatetik dan
motorik dan menghasilkan respon simpatetik dan refleks otot.
Neuron orde ketiga berada di thalamus dan mengirim sinyal ke area somatosensori I dan II di
girus postsentral pada kortek parietal dan dinding superior fisura sylvius. Persepsi dan lokalisasi nyeri
ada di area ini. Selain area somatosensori, neuron orde ketiga juga mengirim sinyal ke gyrus
cingulate anterior yang memberi komponen penderitaan dan emosional dari nyeri.
Nosiseptor memiliki karakter treshold tinggi untuk aktivasi dan mengkode intensitas
stimulasi dengan meningkatkan kecepatan impuls secara bertingkat. Setelah stimulasi berkurang,
biasanya nosiseptor mengalami adaptasi tertunda, sensitisasi, dan afterdischage. Sensasi noxious
bisa dibagi menjadi 2 komponen: sensasi yang cepat, tajam, dan terlokaliasi jelas “first pain” yang
dikonduksikan dengan latensi pendek (0.1 detik) oleh serat Aδ (dites dengan pin prick) dan sensasi
yang lebih labat, tumpul dan tidak terlokalisasi jelas (“second pain”) yang dikonduksikan oleh serat C.
Berbeda dengan sensasi epikritik yang ditransmisikan dengan organ tertentu (misal badan pacini
untuk sentuh), sensasi protopatik seperti nyeri ditransdusikan oleh ujung saraf bebas. Ada 3 tipe
nosiseptor: 1) mechanonosiseptor yang merespon tekanan dan pinprick, 2) nosiseptor silent yang
hanya merespon inflamasi, 3) nosiseptor polymodal mechanoheat nosiseptor yang paling banyak
jumlahnya dan merespon tekanan, temperatur, dan zat noxious. Nosiseptor dapat dibagi menjadi
nosiseptor somatik dan visceral. Nosiseptor somatik ada 2: cutaneous (senstitif terhadap rangsang
noxious) dan somatik dalam (lebih sensitif terhadap inflamasi). Nosiseptor visceral secara umum
tidak sensitif dan sebagian besar mengandung nosiseptor silent. Ada bukti bahwa anestesi lokal juga
bekerja pada reseptor nosisepsi, seperti TRP1 dan reseptor bradykinin B2, sehingga dikatakan bahwa
anestesi lokal juga bekerja pada proses transduksi.
Mediator Kimia Nyeri. Beberapa neuropeptida dan asam amino berfungsi sebagai
neurotransmiter untuk sinyal nyeri. Dari neuropeptida ini, yang penting adalah substansi P dan
calcitonin gene-related peptide (CGRP). Glutamat merupalan asam amino eksitatori yang paling
penting. Substansi P disintesis dan dilepaskan neuron first order di perifer dan dorsal horn, dan
memfasilitasi transmisi neri dan meinisiasi inflamasi. Reseptor opioid dan reseptor α2 -adrenergic
ditemukan di terminal saraf tepi, dan kemunkinan menghasilkan analgesia perifer.
Modulasi nyeri terjadi di nosiseptor, medulla spinalis, dan struktur supraspinal. Modulasi
dapat dibagi menyadi modulasi perifer dan sentral.
Modulasi perifer dapat berupa hiperalgesia primer dan sekunder. Hiperalgesia primer
merupakan sesitisasi dari nosiseptor, yang berupa penurunan treshold dan peningkatan respon
dengan stimulus yang sama, penurunan latensi, dan pelepasan sinyal spontan. Hiperalgesia primer
dimediasi oleh pelepasan zat noxious (seperti histamin, bradykinin, prostaglandin, prostacycline dan
leukotriene) dari jaringan yang rusak. Hiperlagesia sekunder disebut juga dengan peradangan
neurogenik berperan penting dalam sensitisasi perifer seteah trauma. Manifestasinya adalah “triple
response (of Lewis)” : kemerahan, edema lokal, dan sensitisasi terhadap rangsang noxious. Hal ini
berkaitan dengan kerja substansi P (mungkin juga CGRP) yang melakukan degranulasi histamin,
vasodilatasi, menyebabkan edema jaringan dan menginduksi pembentukan leukotriene.
Modulasi sentral dapat berupa fasilitas atau inhibisi. Modulasi yang bersifat memfasilitasi
disebut dengan sensitisasi sentral. Ada setidaknya 3 mekanisme yang berperan dalam senisitisasi ini:
1. Wind up dan sensitisasi neuron orde kedua 2. Ekspansi lapang reseptor, di mana neuron dorsal
meningkatkan lapangan sehingga neuron yang dekat menjadi responsif terhadap stimulus padahal
tadinya tidak. 3. Hipereksitabilitas refleks fleksi, yang terjadi ipsilateral dan kontralateral.
Neurotransmiter sensitisasi sentral meliputi substance P, CGRP, vasoaktif intestinal peptide (VIP),
cholecystokinin (CCK), angiotensin, dan galanin, serta asam amino L-glutamate dan L-aspartate.
Inhibisi dapat terjadi secara segmental dari medulla spinalis, atau aktivitas neural dari
supraspinal. Inhibis segmental terjadi karena aktivasi saraf aferen yang banyak menghambat neuron
WDR dan traktus spinothalamikus. Neurotransmiter inhisi yang terlibat antara lain glycine, GABA,
dan adenosin.
Pada inhibisi supraspinal, struktur supraspinal (seperti periaquaductal gray area, formasio
retikularis, mengirim neuron ke medulla spinalis untuk meninhibisi nyeri di dorsal horn. Mekanisme
ini terjadi melalui reseptor α2-adrenergic (dengan norepinephrine), serotonergik, dan opiat (dengan
methionin enkephalin, leucine enkephalin, dan β-endorphin).

Peripheral sensitization dan central sensitization


Sensitisasi neuron dapa dibagi 2,sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral.

Sensitisasi perifer dapat dibagi menjadi hiperalgesia primer dan sekunder. Hiperalgesia primer
merupakan sensitisasi pada nosiseptor, terhadi karena penurunan treshold, peningkatan frekuensi
respon terhadap stimulus yang sama, pengurangan latensi, dan tembakan spontan tanpa stimulus
(afterdischarges). Sensitisasi ini biasanya terjadi setelah cedera dan pemberian panas. karena
pelepasan zat noxious dari jaringan yang rusak, seperti histamin, serotonin, bradykinin,
pristaglandin, prostacycline, dan leukotrene.
Hiperalgesia sekunder disebut juga dengan peradangan neurogenik berperan penting dalam
sensitisasi perifer setelah trauma. Manifestasinya adalah “triple response (of Lewis)” : kemerahan,
edema lokal, dan sensitisasi terhadap rangsang noxious. Hal ini berkaitan dengan kerja substansi P
(mungkin juga CGRP) yang melakukan degranulasi histamin, vasodilatasi, menyebabkan edema
jaringan dan menginduksi pembentukan leukotriene. Hiperalgesia sekunder bersifat neurogenik,
terbukti dengan: dapat terjadi dengan stimulasi elektrik, tidak terjadi pada kulit yang mengalami
denervasi, dan hilang dengan pemberian anestesi lokal.

Sensitisasi sentral merupakan modulasi sentral yang bersifat memfasilitasi. Ada setidaknya 3
mekanisme yang berperan dalam senisitisasi ini:
1. Wind up dan sensitisasi neuron orde kedua, di mana WDR meningkatkan frekuensi dan
durasi impuls dengan input yang sama
2. Ekspansi lapang reseptor, di mana neuron dorsal meningkatkan lapangan sehingga neuron
yang dekat menjadi responsif terhadap stimulus padahal tadinya tidak.
3. Hipereksitabilitas refleks fleksi, yang terjadi ipsilateral dan kontralateral.
Neurotransmiter sensitisasi sentral meliputi substance P, CGRP, vasoaktif intestinal peptide (VIP),
cholecystokinin (CCK), angiotensin, dan galanin, serta asam amino L-glutamate dan L-aspartate.

Tata cara pengukuran nyeri yang benar


Pengertian nyeri meneybabkan kompleksitas dalam pengukurannya. Nyeri bersifat individual dan
subyektif yang termodulasi dengan faktor psikologi, fisiologi dan lingkungan. Karena itu, sebagian
besar pengukuran nyeri menggunakan pelaporan mandiri (self report). Pengukuran ini menghasilkan
hasil yang sensitif dan konsisten.
Pada kondisi tertentu, bisa saja pengukuran dengan pelaporan mandiri tidak bisa dilakukan,
misalnya pada pasien dengan penurunan kesadaran, anak kecil, orang tua, dan perbedaan bahasa,
tidak mau bekerja sama atau kecemasan berat. Pada kasus ini dapat digunakan metode pengukuran
nyeri yang lain.
Tidak ada pengukuran obyektif dari nyeri tapi faktor terkait seperti hiperalgesia (mechanical
withdrawal treshold), respon stres (konsentrasi kortisol), respon sikap (ekspresi wajah), gangguan
fungsi (batuk, gerak), dan respon fisiologi (perubahan denyut nadi) mungkin dapat menjadi informasi
tambahan. Keperluan analgesik (seperti dosis PCA) dapat digunakan sebagai pengukuran post hoc
dari nyeri yang dialami.
Mengukur nyeri sebagai tanda vital kelima bertujuan untuk meingkatkan kesdaran dan
penggunaan penilaian nyeri dan dapat memperbaiki pain management. Harus dilakukan pengukuran
yang teratur dan berulang. Frekuensi pengukuran ditentukan oleh durasi dan beranya nyeri, respon
pasien dan jenis intervensi atau obat yang digunakan. Misalnya nyeri paska operasi harus dinilai
waktu statis (istirahat) dan dinamis (duduk, batuk, atau menggerakkan bagian yang nyeri). Nyeri juga
harus diukuir sebelum intervensi dan dievalauasi ulang sesudah intervensi. Nyeri tidak terkontrol
harus dilakukan reassessment ulang diagnosis dan pertimbangan adanya komplikasi.

Tools Pengukuran nyeri dapat dilakukan secara unidimensional dan multidimensional. Skala
unidimensional hanya mengukur intensitas nyeri saja, sedangkan skala multidimensional selain
mengukur kuatitas juga mengukur kualitas nyeri.

Skala unidimensional antara lain: Wong Baker Faces rating scale (WBFS), verbal rating scale (VRS),
numerical rating scale (NRS), dan visual analogue scale (VAS).
1. Wong Baker Faces Pain Scale (FPS) didesain untuk anak berumur di atas 3 tahun dan
berguna untuk pasien yang sulit komunikasi. Pasien diminta untuk menunjuk gambar
ekspresi wajah dari tersenyum sampai yang paling tidah bahagia.

2. Verbal Descriptor Scale menggunakan kata kata untuk menilai nyeri, biasanya pada
orang tua. Penilaiannya adalah sebagai berikut: none (0), mild (2), moderate (5), severe
(8), dan excruciating (10). Penilaian ini dapat dikonversi ke skor angka (0,2,5,8,10), tapi
kurang sensitif dibandingkan dengan NRS atau VAS.
3. Numerical Rating Scale (NRS) menggunakan angka, 0 menunjukkan tidak nyeri, 10
menunjukkan nyeri paling berat yang mungkin.
4. VAS adalah garis horizontal 10 cm yang diberi label “tidak nyeri” pada satu sisi dan
“nyeri terburuk yang bisa dibayangkan” pada sisi satunya. Pasien diminta memberi
tanda pada garis ini, dan jarak dari tidak nyeri ke tanda ini menunjukkan derajat
nyerinya.

Skala multidimensional selain menilai kuantitas nyeri juga kualitas nyeri. Skala ini tidak cocok
digunakan untuk nyeri akut pasca operasi, tapi digunakan pada kasus nyeri kronik. Yang sering
digunakan adalah McGill Pain Questionnaire (MPQ). MPQ menilai nyeri pada beberapa dimensi,
seperti: sensori diskriminatif (jalur nosisepsi), motivasi afektif (sistem limbik) dan motivational afektif
(korteks serebri). MPQ merupakan daftar 20 set kata kata yang menggambarkan gejala, yang dibagi
menjadi 4 grup: 10 sensori, 5 afektif, 1 evaluatif, dan 4 lain lain. Pasien memilih set yang sesuai
dengan kondisinya dan melingkari kata kata dari tiap set yang sesuai.
Contoh skala multidimensional lain adalah Brief Pain Invetory (BPI). Pada BPI ada gambar
tubuh manusia di mana pasien menandai lokasi nyeri mereka. Pasien diminta untuk menuliskan
terapi yang sudah mereka dapatkan dan seberapa efeknya terhadap nyeri dalam 24 jam terakhir.
Pasien juga mengisi 11 NRS yang berbeda dan efek nyeri terhadap fungsi dan aktivitas sehari hari.
Pada pasien dengan kebutuhan khusus, misalnya pada orang dewasa dengan kesulitan
komunikasi (entah karena gangguan kognitif atau karena kondisi kritis di ICU) dapat digunakan
Behavioral Pain Scale (BPS) atau Critical Care Pain Observation Tool (CPOT). Pada neonatus dapat
digunakan skala Neonatal Infant Pain Scale (NIPS) dan pada anak kecil dapat digunakan penilaian
Face, Legs, Activity, Cry, Conolability (FLACC).

Tata kelola nyeri akut


Tata kelola nyeri akut yang aman dan efektif memerlukan edukasi yang adekuat dari tim medis,
perawat, pasien, dan perhatian khusus pada aspek organisasi yang terkait dengan tata kelola nyeri.
Hal ini meliputi guideline yang tepat untuk peresepan obat, monitoring pasien, rekognisi efek
samping, dan perlunya acute pain service (APS). Tata kelola nyeri akut yang baik memerlukan
komunikasi yang baik antar personel yang terlibat, meliputi anestesiologis, spesialis nyeri, ahli
bedah, dokter umum, ahli kedokteran paliatif, perawat, fisioterapi, psikiater, dan psikolog.
Partisipasi pasien bersifat esensial dalam pengambilan keputusan untuk hasil yang terbaik.
Pasien harus diberikan informasi yang terkini mengenai terapi yang dilakukan, termasuk
kenuntungan, resiko, dan kemungkinan hasil pengobatan.
Menurut rekomendasi American Society of Anesthesiologists, manajemen nyeri akut setelah
operasi menggunakan pendekatan multimodal. Pada pendekatan ini digunakan kombinasi berbagai
golongan obat yang memiliki mekanisme kerja berbeda. Harapannya efek analgesik akan tercapai
dan dosis obat yang digunakan dapat dikurangi sehingga efek samping berkurang. Beberapa
golongan obat yang digunakan dalam analgesia multimodal:
- Anestesi lokal: dapat diberikan secara neuraxial, topikal, injeksi pada luka operasi, atau
intravena
- NSAIDS : dapat menurunkan keutuhan opioid 25-30 % perioperatif. Merupakan obat pilihan
pada nyeri ringan – sedang.
- Opioid : merupakan analgesik poten, dapat diberikan secara oral, intramuskular, subkutan,
intravena, transdermal, transmukosal, dan neuraxial. Misalnya morfin, pethidine, fentanyl,
oksikodon
- Parasetamol: diperkirakan bekerja pada reseptor COX 3, sering dikombinasi dengan opioid
dan NSAIDS.
- Adjuvan: merupakan obat yang indikasi utamanya bukan sebagai anti nyeri, tapi dapat
berguna sebagai analgesik pada kondisi tertentu. Adjuvan kadang tidak memiliki efek
analgesi jika diberikan secara tunggal. Contoh obat golongan ini adalah agonis alfa-2,
antagonis NMDA, gabapentin, deksametason, dan duloxetine.
Menurut World Federation of Society of Anesthesiologists (WFSA), nyeri akut ditangani
dengan step ladder atau anak tangga, di mana pada awalnya digunakan analgetik yang kuat baru
kemudian diturunkan sesuai kebutuhan. Ini berbanding terbalik dengan anak tangga dari WHO untuk
nyeri kronis.

Pengertian preemptive dan preventif analgesia


Pada tahun 1988 P D Wall mempublikasikan data di jurnal Pain menunjukkan bahwa analgesia yang
diberkan sebelum insisi atau amputasi mengurangi nyeri pasca operasi, kejadian phantom pain, dan
mengurangi keperuan analgesia post operasi. Ini adalah tulisan pertama tentang Preemptive
analgesia. Preemptive analgesia memiliki makna bahwa intervensi yang diberikan sebelum prosedur
bedah memiliki efek terhadap nyeri pasca operasi. Preemptive analgesia memiliki tujuan untuk
mencegah atau menghilangkan nyeri paska operasi dengan mencegah sensitisasi sentral. Preemptive
analgesia tidak berguna pada pasien yang sudah menderita nyeri sebelum pembedahah, karena
sensistisasi sentral sudah terjadi. Untuk mencapai preemptive analgesia yang baik, 3 hal harus
dipenuhi:
1. Cukup dalam untuk memblok nosisepsi
2. Cukup ekstensif untuk meliputi seluruh lapangan operasi
3. Cukup lama untuk melampaui seluruh waktu operasi dan waktu nyeri pasca operasi.

Masalahnya, sensitisasi sentral dan perifer terjadi tidak hanya sejak insisi kulit melainkan
sampai cedera jariingan dan saraf intraoperasi, inflamasi pasca operasi, dan respon sistem saraf.
Riset sudah bergeser dari analgesik tunggal sebelum operasi menjadi konsep memodifikasi
sensitisisasi dengan terapi analgesik sehingga memiliki efek lebih panjang durasi kerja obat, dan
dikenal dengan preventive analgesia. Preventive analgesia memiliki pengertian bahwa ada bukti
kalau intervensi analagetik memiliki efek paska operasi / menurunkan konsumsi analgetik yang
memanjang melebihi durasi kerja obat tersebut. Contoh obat yang terbukti memiliki efek preventif
analgesia adalah ketamin dan anestesi lokal.

Alur asam arachidonat dan NSAID


Prostaglandin dibentuk setelah cedera jaringan, di mana phospolipid yang terlepas dari membran sel
dirubah oleh phopolipase A2 menjadi asam arachidonat. Asam arachidonat kemudian dirubah
melalui dua jalur: lypoxygenase dan cyclooxigenase (COX). Jalur lipoxygenase mengubah asam
arachidonat menjadi leukotriene, yang nampaknya mempotensiasi jenis nyeri tertentu. ,

Melalui jalur COX, asam arachidonat dirubah menjadi endoperoksida yang dirubah menjadi
prostacycline, prostaglandin (prostagandin E2, F2α, D2) dan Tromboxan A2. Prostaglandin E2
mengaktivasi langsung ujung saraf, sedangkan prostacycline mempotensiasi edema dari bradykinin.
Pada ginjal PGE2 dan prostacycline (PGI2) bersifat vasodilatasi, meningkatkan laju filtrasi glomerulus
dan menstimulasi sistem renin angiotensin aldosteron. Prostaglandin juga berperan penting dalam
implantasi embrio pada uterus, dan defek pada sintesa prostaglandin menyebabkan kegagalan
berulang pada kasus fertilisasi in vitro. PGE2 juga mempunya peran dalam regulasi inflamasi pada
saluran nafas atas, dan gangguan pada sintesa prostaglandin meningkatkan resiko asma dan rhinitis.
Enzim COX ini ada dalam 2 isoform, COX-1 dan COX-2. COX-1 berguna untuk pembentukan
prostagandin yang berguna untuk banyak fungsi fisiologi, seperti pemeliharaan fungsi ginjal, proteksi
mukosa gastrointestinal, dan produksi tromboxane A2 untuk agregasi trombosit. Enzim COX-2 dapat
menginduksi mediator inflamasi dan berperan dalam nyeri, inflamasi, dan demam. Selain itu, inhibisi
COX-2 juga berperan dalam modulasi nosisepsi. Ada spekulasi adanya isoform ketiga, COX-3, yang
kemiungkinan menjadi tempat kerja paracetamol.
NSAID merupakan kelompok turunan kimia, termasuk diantarannya asam asetat, oxicam,
asam propionat, salisilat, fenamat, foranon, dan coxib. NSAID omenghalangi produksi prostaglandin
dengan mencegah asam arachidonat untuk menempel pada bagian aktif enzim COX. NSAID dapat
menimbulkan efek samping akibat terhalangnya proses pembentukan prostaglandin, seperti
gangguan mukosa gastronintestinal, gangguan ginjal dan agregasi trombosit. Selain itu, innhibisi
pada jalur COX menyebabkan aktivasi jalur lipoksigenase, yang menyebabkan peningkatan produksi
leukotriene dan resiko bronkospasme atau eksarsebasi asma. COX-2 selektif inhibitor (coxib)
dikatakan memiliki toksisitas gastrointestinal lebih rendah dari pada NSAID non selektif. Coxib juga
tidak menyebabkan disfungsi trombosit. Karena itu coxib mungkin menjadi alernatif yanag lebih
aman dari pada NSAID lain pada setting perioperatif karena NSAID non selektif beresiko memiliki
efek samping gastrointestinal dan disfungsi trombosit. Akan tetapi, penggunaan obat golongan ini
behubungan dengan peningkatan resiko kardiovaskular sehingga harus digunakan dengan hati hati.
NSAID diyakini memiliki efek preemptive analgesia, meskipun hal ini perlu penelitian lebih lanjut.
Obat golongan coxib (celecoxib) juga diketahui menghambat aktivitas osteoclast karena inhibisi
pembentukan PGE2 yang dibutuhkan dalam aktivitas osteoclast.

Penggunaan pregabalin, gabanoid, termasuk opioid dan NMDA pada preemptive dan preventif
analgesia
Alpha-2-delta ligand, gabapentin dan pregabalin merupakan agen antiepilepsi. Gabapentin
merupakan GABA analog, tapi diperkirakan bekerja pada inhibisi branched chain amino acid
transgerasi yang mengubah asaml amio menjadi glutamat, sehingga menurunkan level glutamat di
otak. Gabapentin diketahui memberikan inhibisi presinaps pada neurotransmitter glutamat di dorsal
horn. Gabapentin dapat menurunkan keperluan opioid dan meningkatkan analgesia ketika diberikan
secara perioperatif. Menurut dua meta analisis, gabapentin 300-1200 mg diberikan beberapa jam
sebelum prosedur bedah dapat menurunkan nyeri paska operasi 20-64% dan menurunkan konsumsi
analgesik. Akan tetapi, meskipun beberapa studi hanya menggunakan terapi dosis tunggal, half-life
yang lama dari gabapentin (6-7 jam) menyebabkan fungsi preventifnya sulit untuk dibedakan dengan
efek farmakologi langsung.Selain itu, gabapentin menyebabkan sedasi dan pusing, dan keuntungan
jangka panjang dalam insiden nyeri kronik belum terbukti, sehingga gabapentin belum disarankan
untuk digunakan secara rutin. Hal ini juga berlaku untuk pregabalin, di mada efek terhadap nyeri
,
pasca operasi masih bersifat inkonklusif dan tidak ditemukan efek dalam nyeri kronik pasca operasi.
Aktivasi reseptor NMDA berperan penting dalam sensitisasi sentral dan banyak studi
berfokus pada kemampuan NMDA reseptor antagonis (ketamin, dextromethorphan, magnesium)
untuk menghasilkan efek preemptive dan preventif analgesia. Manfaat ketamin dalam periode akut
pasca operasi sudah ditunjukkan dalam berbagai dosis, waktu, dan prosedur. Masalahnya, dalam
waktu pasca operasi, sulit untuk menilai efek analgesia dari efek farmakologi langsung atau efek
preventif analgesia, karena banyak studi mengunakan terapi berkelanjutan melebihi 24 jam.
Opioid bekerja pada reseptor yang berada pada sistem saraf pusat dan perifer. Empat
reseptor opioid utama adalah mu (µ, dengan subtipe µ1 and µ2); kappa (κ), delta (δ), dan sigma (σ).
Semua reseptor opioid berpasangan dengan G protein, menempelnya opioid pada reseptor
menyebabkan hiperpolarisasi membran, inhibisi adenylyl cyclase, dan aktivasi phospolipase C.
Aktivasi reseptor opioid menginhibisi lepasnya neurotransmitter (acetylcholine, substance P)
presinaps dan menghalangi respons postsinaps dari neuron nosiseptif.
Pada area dengan inervasi multipel, penggunaan opioid sistemik diketahui mengurangi
nosisepsi sehingga memiliki sifat preemptive analgesia. Namun, studi terakhir menungjukkan tidak
ada bukti jelas dari efek preemptive analgesia dari opioid.

Sebuah studi dengan analgesia epidural multimodal (anestesi lokal, opioid, ketamin, dan
clonidine) dalam 4 grup pasien yang menjalani reseksi kolon, memiliki efek preventif yang nyata
terhadap nyeri sisa 1 tahun setelah pembedahan, di mana nyeri residual satu tahun setelah operasi
lebih rendah pada yang menerima analgesia epirdural intraoperatif dibandingkan dengan yang
postoperatif.

Pengertian SSRI + beberapa contoh yang digunakan


Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) merupakan salah satu antidepresan yang paling sering
digunakan. SSRI dianggap sebagai alternatif yang lebih aman dari antidepresan lebih tua seperti
tricyclic antidepressants (TCA) atau monoamine oxidase inhibitors (MAOIs).
SSRI bekerja dengan menghambat transporter reuptake serotonin, menyebabkan influks
serotonin pada neurotransmitter junction. Obat pada kelas ini memberikan efek pada jalur serotonin
dan memiliki afinitas rendah terhadap reseptor dopamin, norepinephrine, asetilkolin, dan histamin.
Contoh SSRI yang digunakan adalah citalopram, escitalopram, fluoxetine, paroxetine, dan sertraline.

Indikasi penggunaan SSRI adalah depresi mayor, gangguan anxietas, gangguan panik,
obsessive compulsive disorder, dan gangguan stress pasca trauma. Fluoxetine juga digunakan untuk
kasus bulimia nervosa, dan escitalopram digunakan pada kasus gangguan anxietas sosial. Obat obat
ini juga digunakan pada pasien kangker dengan depresi. Hanya sedikit bukti efektifitas SSRI pada
nyeri neuropatik.,

Referensi
1. IASP terminology. International Association for the Study of Pain website. https://www.iasp-
pain.org/Education/Content.aspx?ItemNumber=1698. Diakses 1 April 2020.
2. Richard WR, Bruce MV. Chronic Pain Management. In Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD,
eds. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 5 th ed. New York: McGraw-Hill; 2013:1023-86.
3. Flood P, Rathmell JP, Shafer S, eds. Stoelting’s Pharmacology & Physiology in Anesthetic
Practice. 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015.
4. Schug SA, Palmer GM, Scott DA, Halliwell R, Trinca J, eds. Acute Pain Management: Scientific
Evidence (4th edition). Melbourne: Working Group of the Australian and New Zealand College
of Anaesthetists and Faculty of Pain Medicine; 2015.
5. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR, et al. Anestesiologi dan Terapi Intensif Buku Teks KATI-
Perdatin. Edisi Pertama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2019.
6. Charlon E. The Management of Postoperative Pain. Update in Anesthesia. 1997;7:2-17.
7. Malek J, Sevcik P, et al. Postoperative Pain Management. Praha: Mlada Fronta; 2017.
8. Chigome AK, Matsangaise MM, Chukwu BO, et al. Review of Selective Serotonin Reuptake
Inhibitors. SA Pharmaeutical Journal. 2017;84(6):52-9.

Anda mungkin juga menyukai