Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah penyakit neurologi yang sangat
jarang,kejadiannya bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang
pertahun. Selamaperiode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan
penelitian mendapatkan ratarata insidensi 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak
insidensi antara usia 15-35 tahundan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia
dibawah 2 tahun.

Insidensi sindroma Guillain-Barre Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah


3bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya.
Daripengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7%
kulit hitam,5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesiamengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkanbahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,
III (dibawah usia 35 tahun)dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir
sama. Sedangkan penelitian diBandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-
laki dan wanita 3 : 1 dengan usia ratarata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan
April s/d Mei dimana terjadi pergantianmusim hujan dan kemarau.

Penyakit ini sering menyebabkan kelumpuhan yang cukup sering dijumpai


padausia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan
keluarganya karenaterjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan
dapat menimbulkan kematian,meskipun pada umumnya mempunyai prognosa
yang baik. GBS biasanya mempunyaiprognosa yang baik yaitu sekitar 80% tetapi
sekitar 15 % nya mempunyai gejala sisa/ defisit neurologis.

Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu
Idiopathicpolyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post
InfectiousPolyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy, Guillain BarreStrohl Syndrome, Landry Ascending
paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
1.2 TUJUAN

1.2.1 Tujuan Umum

Agar pembaca dapat memahami lebih jauh tentang penyakit Guillain


Barre Syndrome.

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Untuk mengetahui pengertian Guillain Barre Syndrome.

1.2.2.2 Untuk mengetahui anatomi dan biokimia sistem persarafan

1.2.2.3 Untuk mengetahui patofisiologi guillain barre syndrome

1.2.2.4 Untuk mengetahui farmakologi guillain barre syndrome

1.2.2.5 Untuk mengetahui terapi diet pasien guillain barre syndrome

1.2.2.6 Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik guillain barre


syndrome

1.2.2.7 Untuk mengetahui Askep guillain barre syndrome


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN

Guillan Bare Syndrome adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan
akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut
Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

2.2 ANATOMI

Sistem saraf adalah sistem koordinasi berupa penghantaran impuls saraf ke


susunan saraf pusat, pemrosesan impuls saraf dan pemberi tanggapan rangsangan
(Feriyawati, 2006). Sistem atau susunan saraf merupakan salah satu bagian
terkecil dari organ dalam tubuh, tetapi merupakan bagian yang paling kompleks.
Susunan saraf manusia mempunyai arus informasi yang cepat dengan kecepatan
pemrosesan yang tinggi dan tergantung pada aktivitas listrik (impuls saraf)
(Bahrudin, 2013).

2.3 PATOFISIOLOGI

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain


yangmempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum
diketahuidengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf
yang terjadipada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi.Bukti-bukti
bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf
tepi pada sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler ( cellmediated


immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari


peredaranpembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi
saraf tepi.Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon
imunitasseluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yangpaling sering adalah infeksi virus.

2.4 FARMAKOLOGI

1. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan


bahwapreparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi.
Pemberiankortikosteroid sebagai monoterapi tidak mempercepat penyembuhan
secarasignifikan. Selain itu, pemberian metylprednisolone secara intravena
yangberkombinasi dengan imunoterapi juga tidak memberikan manfaat
secarasignifikan dalam waktu jangka panjang. Sebuah studi awal
mengemukakanpasien yang diberikan kortikosteroid oral menunjukkan hasil yang
lebih burukdaripada kelompok kontrol. Selain itu, sebuah studi randomisasi di
Inggris dengan124 pasien GBS menerima metylprednisone 500 mg setiap hari
selama 15 haridan 118 pasien mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak
didapatkan pernedaanantara kedua kelompok dalam derajat perbaikan maupun
outcome yang lainnya.

2. Plasmaparesis

Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral,


sepertiautoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator
inflamasi nonspesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS
yangmenunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih
cepat,minimal penggunaan alat bantu napas, dan lama perawatan yang lebih
singkat.Dalam studi tersebut, plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu
padapasien GBS menunjukkan penurunan waktu penggunaan ventilator (alat
bantunapas). Terapi ini melibatkan penghilangan plasma dari darah dan
menggunakancentrifugal blood separators untuk menghilangkan kompleks imun
danautoantibody yang mungkin ada. Plasma kemudian dimasukan kembali ke
tubuhpasien dengan larutan yang berisis 5% albumin untuk
mengkompensasikonsentrasi protein yang hilang. Terapi ini dilakukan dengan
menghilangkan200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Dikatakan terapi
plasmaparesis inilebih memberikan manfaat bila dilakukan pada awal onset gejala
(minggu pertamaGBS). Keterbatasan plasmaparesis yaitu akses intravena
memerlukan kateterdouble-lumen besar melalui vena femoral atau vena subklavia
internal.Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain: pneumothoraks, hipotensi,
sepsi,trombositopenia, hipokalsemia, dan anemia. Selama plasmaparesis penting
untukmemonitoring tekanan darah, nadi, dan jumlah cairan masuk dan keluar.
Selainitu, perlu juga dilakukan monitoring CBC, elektrolit, PT, APTT, dan INR
satuatau dua hari bila ditemukan parameter koagulasi abnormal.

3. Imunoglobulin Intravena

Pengobatan dengn immunoglobulin intravena (IVIg) lebih


menguntungkandibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek samping
dan komplikasiyang sifatnya lebih ringan.14,13 Penggunaan IVIg dapat
memodulasi responhumoral dalam menghambat autoantibody dan menekan
produksi autoantibodydalam tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh
komplemen dalam diredam.IVIg juga memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah
kerusakan fagositik olehmakrofag. Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg
pada GBS pertama kalidilakukan oleh Dutch Guillai-Barre Syndrome Group dua
decade silam.

2.5 DIET PASIEN

Nutrisi yang diberikan pada pasien GBS harus seimbang, memiliki cukup
makronutrien (karbohidrat, lemak, dan protein) sebagai sumber energi dan juga
cukup mikronutrien terutama vitamin B12, zat besi, kalsium, dan kalium. Tipe
diet DASH atau diet Mediterranean juga dapat diterapkan untuk pasien GBS.
Bubuk bekatul dan tepung mata beras mengandung serat yang tinggi dan juga
beberapa vitamin dan mineral. Dapat diberikan sebagai tambahan nutrisi untuk
pasien, namun pastikan pasien tidak alergi terhadap bahan-bahan yang Anda
berikan tersebut, karena nanti malah akan menyebabkan diare atau reaksi imunitas
berlebih sehingga menambah masalah baru untuk pasien.
2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1 Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED)


hasilumumnya normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas
normal,haemoglobin dalam batas normal, pada darah tepi didapati
leukositosispolimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur,
limfositcenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase
lanjut, dapatterjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Dapat dijumpai
responhipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG,IgA, dan IgM, akibat demielinasi saraf pada kultur
jaringan.

2 Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)

Pada pemeriksaan cairan serebrospinal paling khas ditemukan adanya


kenaikankadar protein (1-1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan
ini olehGuillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumik. Disosiasi
sitoalbuminik,yakni meningkatnya jumlah protein tanpa disertai adanya
pleositosis. Padakebanyakan kasus, pada hari pertama jumlah total protein CSS
normal; setelahbeberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut saat
gejala klinismulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat
tinggi. Puncaknyapada 4-6 minggu setelah mulainya gejala klinis. Derajat
penyakit tidakberhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis
umumnya dibawah 10 leukosit mononuklear/mm.

3 Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)

Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas


normal,kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir
minggukedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya
perbaikan. Padaminggu pertama serangan gejala, didapatkan perpanjangan
respon (88%),perpanjangan distal latensi (75%), konduksi blok (58%) dan
penurunan kecepatankonduksi motor (50%). Pada minggu kedua, potensi
penurunan tindakan berbagaiotot (CMAP, 100%), perpanjangan distal latensi
(92%) dan penurunan kecepatankonduksi motor (84%). Manifestasi
elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni,prolongasi masa laten motorik distal
yang menandai blok konduksi distal danprolongasi atau absennya respon
gelombang F yang menandakan keterlibatanbagian proksimal saraf, blok hantar
saraf motorik, serta berkurangnya KHS.Degenerasi aksonal dengan potensial
fibrilasi yang dapat dijumpai 2-4 minggusetelah awitan gejala telah terbukti
berhubungan dengan tingkat mortalitas yangtinggi serta disabilitas jangka
panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhanyang lambat dan tidak
sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkanpenyembuhan yang tidak
sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebihpanjang (lebih dari 3
minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.

4 Pemeriksaan patologi anatomi

Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya
infiltratlimfositik mononuklear perivaskuler serta demielinasi multifokal. Pada
faselanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demielinasi ini akan muncul bersama
dengandemielinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat.
Sarafperifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung
sarafmotorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral
root,saraf spinal proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel limfosit dan
selmononuklear lain juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung,
danorgan lainnya.

5 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada
harike 13 setelah timbulnya gejala. MRI lumbosacral akan memperlihatkan
penebalanpada radiks kauda equina dengan peningkatan pada gadolinium.
Adanyapenebalan radiks kauda equina mengindikasikan kerusakan pada barier
darahsaraf. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS dan hasil sensitif sampai
83%untuk GBS akut. Akan tetapi, pasien dengan tanda dan gejala yang
sangatsugestif mengarah ke GBS sebenarnya tidak perlu pemeriksaan MRI
lumbosakral.MRI lumbosakral dapat digunakan sebagai modalitas diagnostic
tambahan,terutama bila temuan klinis dan elektrodiagnostik memberikan hasil
yang samar.

2.7 ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

Pengkajian keperawatan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat penyakit,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.Pengkajian
terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan terus-menerus terhadap ancaman
gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan. Komplikasi lain
mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan EKG dan
mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena profunda dan emboli paru-
paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan paralisis.

a. Anamnesis

1. Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan,
agama, pendidikan, dsb.

2. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan


kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan
fisik secara umum maupun lokalis seperti melemahnya otot-
otot pernapasan.

3. Riwayat Penyakit, meliputi:

1.Riwayat Penyakit Saat Ini

Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan
komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot
pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul,
mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir
sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya
adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang mungkin menyebabkan
gangguan sistem saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan
disritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam kehidupan dalam
tanda-tanda vital.

2. Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya


hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien
mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat
kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya (untuk menilai
resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya pengkajian.
Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit
sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.

4. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang


memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa
digunakan klien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk
mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan
perilaku akibat stres.Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah
keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan
dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan
pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang
akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji
terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit
neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan
yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem
dukungan individu.

b. Pemeriksaan Fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,


pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.

Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi
terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan
frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum
dan adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi sekret akibat
insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat
(hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis.

-     B1 (Breathing)

Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,


penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan karena
infeksi saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada klien GBS adalah
penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan.
Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan akumulasi sekret
dari infeksi saluran napas.

-     B2 (Blood)
 Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan bradikardi
yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan darah didapatkan
ortostatik Hipotensi  atau TD meningkat ( hipertensi transien ) berhubungan
dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.

 -     B3 (Brain)

Merupakan pengkajian focus meliputi :

a.   Tingkat kesadaran

Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien


mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting
untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan
keperawatan.

b.   Fungsi serebri

Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara
klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien GBS
tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien
mengalam perubahan.

c.   Pemeriksaan saraf kranial

1. Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman

2. Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.

3. Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup
kelopak mata, paralis ocular.

4. Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah sehingga
mengganggu proses mengunyah.

5. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris


karena adanya paralisis unilateral.

6. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
7. Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah,
dan menelan. Kamampuan menelan kurang baik sehngga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral.

8. Saraf XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus dan


trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik.

9. Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.

d.   System motorik

Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS
tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara
umum sehingga menggaganggu moblitas fisik .

e.   Pemeriksaan reflexs

Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, periosteum


derajat reflexs dalam respons normal.

f.    Gerakan involunter

Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.

g.   System sensorik

Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang
ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan
kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.

-      B4 (Bladder)

Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan


penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

-     B5 (Bowel)                                                                       
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-
otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral
kurang terpenuhi.

-     B6 (Bone)

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan mobilitas


pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebh banyak
dibantu orang lain.

c. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis GBS sangat bergantung pada :

 Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik. Lumbal pungs


dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan kenaikan
pada mnggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan adanya
peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal.

 Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut


saraf. Pengujan elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya
laju konduksi saraf.

 Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik


terhadap cytomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Telah ditunjukkan
bahwa perubahan respons imun pada antigen saraf tepi menunjang
perkembangan gangguan.

 Uj fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat


ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit.
Penurunan kapasitas pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan
ventilasi mekanik.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yakni :


1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif
cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan

2. Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan


perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.

3. Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan


dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan.

4. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan


neuromuscular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.

5. Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit


yang buruk.          

C.          INTERVENSI KEPERAWATAN

Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali
efektif.

Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),RR 16-20x/menit. Tidak


menggunakan otot bantu pernapasan, gerakan dada normal

Intervensi Rasional

Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas Menjadi parameter monitoring


tambahan, perubahan irama dan serangan gagal napas dan menjadi data
kedalaman, penggunaan otot bantu dasar intervensi selanjutnya
pernapasan  

Evaluasi keluhan sesak napas bak Tanda dan gejala meliputi adanya
secara verbal maupun nonverbal kesukaran bernapas saat bicara,
pernapasan dangkal dan
ireguler,takikardia dan perubahan pola
napas.

Beri ventilasi mekanik Ventilasi mekanik digunakan jika


pengkajian sesuai kapasitas vital, klien
memperlihatkan perkembangan kearah
kemunduran, yang mengndikasikan
kearah memburuknya kekuatan otot
pernapasan

Lakukan pemeriksaan kapasitas vital Penurunan kapasitas vital dhubungkan


pernapasan dengan kelemahan otot-otot
pernapasan saat menelan,sehingga hal
ini menyebabkan kesukaran saat batuk
dan menelan, dan adanya indikasi
memburuknya fungsi pernapasan.

Kolaborasi : Membantu pemenuhan oksigen yang


sangat dperlukan tubuh dengan
Pemberian humidifikasi oksigen
kondisi laju metabolism sedang
3L/Menit
meningkat

Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan


frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi

Criteria hasil : stabilitas hemodinamik baik


Intervensi Rasional
Auskultasi TD, bandingkan kedua Hipotensi dapat terjadi sampai
lengan, ukur dalam keadaan berbaring, dengan disfungsi ventrikel,
duduk, atau berdiri bila memungkinkan hipertensi juga fenomena umum
karena nyeri cemas pengeluaran
katekolamin.

Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi Penurunan curah jantung


mengakibatkan menurunnya
kekuatan nadi.

Catat murmur Menunjukkan gangguan aliran darah


dalam jantung, (kelainan katup,
kerusakan septum, atau fibrasi otot
papilar).

Pantau frekuensi jantung dan irama Perubahan frekuensi dan irama


jantung menunjukkan komplikasi
disritma.
Kolaborasi :

Berikan O2 tambahan sesuai indikasi Dapat meningkatkan saturasi


oksgean dalam darah

Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan


dengan ketdakmampuan mengunyah dan menelan makanan
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi

Criteria hasil : setelah dirawat tiga hari klien tidak terjadi komplikasi akibat
penurunan asupan nutrisi
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan klien dalam Perhatian yang diberikan untuk nutrisi
pemenuhan nutrisi klien oral yang adekuat dan pencegahan
kelemahan otot karena kurang
makanan.

Monitor komplikasi akibat paralisis Ilius paralisis dapat disebabkan oleh


akibat insufisisensi aktivitas insufisiensi aktivitas parasimpatis.
parasimpatis Dalam kejadian ini, makanan melalui
intravena dipertimbangkan diberikan
oleh dokter dan perawat mementau
bising usus sampai terdengar

Berikan nutrisi via NGT Indikasi jika klien tidak mampu


menelan melalui oral
Berikan nutrisi via oral bila paralis Bila klien dapat menelan, makanan
menelan berkurang melalui oral diberikan perlahan-lahan
dan sangat hati-hati

Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan


neuromuscular, penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas klien
meningkat atau teradaptasi

Criteria hasil : peningkatan kemampuan dan tidak terjadi thrombosis vena


profunda dan emboli paru merupakan ancaman klien paralisis yang tidak
mampu menggerakkan ekstremitas, dekubitus tidak terjadi
Intervensi Rasional
Kaji tingkat kemampuan klien dalam Merupakan data dasar untuk
melakukan mobilitas fisik melakukan intervensi selanjutnya

Dekatkan alat dan sarana yang Bila pemulihan mulai untuk


dibutuhkan klien dalam pemenuhan dlakukan, klien dapat  hipotensi
aktivitas sehari-hari ortostatik ( dari disfungsi otonom )
dan kemungkinan membutuhkan
meja tempat tidur untuk menolong
mereka mengambil posisi duduk
tegak

Hindari factor-faktor yang Individu paralisis mempunyai


memungkinkan terjadinya trauma pada kemungkinan mengalalmi kompresi
saat klien melakukan mobilisasi neuropati, paling sering saraf ulnar
dan peritonial

Sokong ekstremitas yang mengalami Ekstremitas paralisis disokong


paralisis dengan posisi fungsional dan
memberikan latihan rentang gerak
secara pasif  paling sedikit dua kali
sehari

Monitor komplikasi gangguan Deteksi awal thrombosis vena


mobilitas fisik profunda dan dekubitus sehingga
dengan penemuan yang cepat
penanganan lebih mudah
dilaksanakan.
Kolaborasi dengan tim fisisoterapis Mencegah deformities kontraktur
dengan menggunakan pengubahan
posisi yang hati-hati dean lathan
rentang gerak

Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang
buruk
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi kecemasan hilang
atau berkurang

Criteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau


factor yang mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
Intervensi Rasonal
Bantu klien mengekspresikan Cemas berkelanjutan dapat
perasaan marah, kehilangan, dan takut memberikan dampak serangan
jantung selanjutnya

Kaji tanda verbal dan non verbal Reaksi verbal atau nonverbal dapat
kecemasan, dampingi klien, dan menunjukkan rasa agitasi, marah dan
lakukan tundakan bila menunjukkan gelisah
perilaku merusak
Hindari konfrantasi Konfrontasi dapat meningkatkan rasa
marah, menurunkan kerja sama, dan
mungkin memperlambat
penyembuhan
Mulai melakukan tindakkan untuk Mengurangi rangsangan eksternal
mengurangi kecemasan. Beri yang tidak perlu
lingkungan yang tenang dan suasana
penuh istirahat
Orientasikan klien terhadap prosedur Orientasi dapat menurunkan
rutin dan aktivitas yang diharapkan kecemasan
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Guillain Bare Syndrom (GBS) secara khas digambarkan dengan kelemahan


motorik yang progresif dan arefleksia. Mekanisme autoimun dipercaya
bertanggungjawab atas terjadinya sindrom ini. Terapi farmakoterapi dan terapi
fisik, prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat degenerasi
aksonal, dan umur pasien.

GBS merupakan penyakit serius dengan angka kesakitan dan kematian yang
cukup tinggi. Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi
imunomodulator spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian
dan 12% tidak dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala
pertama muncul 20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.

Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan paling
efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala GBS
sehingga dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin. Penegakan diagnosis lebih
dini akan memberikan prognosis yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai