0914028208-3-Bab 2
0914028208-3-Bab 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Penyakit ini dapat mengenai semua umur tetapi paling banyak ditemukan pada
usia 20-30 tahun, walaupun jarang ditemui diatas 65 tahun tetapi sering berakibat
2005; Soybel, 2010). Kasus apendisitis akut paling banyak dijumpai di Amerika
Utara, Inggris, Australia, dan lebih jarang ditemui di Asia, Afrika Tengah dan
barat atau merubah pola diet seperti masyarakat barat, kejadian apendisitis akan
lingkungan dan bukan genetik. Apendisitis akut lebih banyak ditemukan pada
masyarakat yang mengkonsumsi tinggi serat (Bachoo, et all., 2001; Jhon Maa,
2007).
perbandingan insiden pada laki-laki dan wanita 3:1. Sekitar 70% kasus apendisitis
terjadi pada usia dibawah 30 tahun khususnya terbanyak pada usia 15-30 tahun
(Jones, 2001; Petroianu, 2012). Apendisitis akut sering terjadi pada usia 20–30
tahun, dengan ratio laki- laki dibandingkan dengan perempuan 1,4:1, resiko
7
8
terjadi angka kekambuhan pada laki-laki 8,6% dan perempuan 6,7 % di USA
(Humes dan Simpson, 2006). Simpson dan Scholefied, (2008) mengatakan insiden
terjadinya apendisitis akut di UK pada laki-laki 1,5% dan 1,9% pada perempuan
per 1000 populasi setiap tahunnya dengan angka kekambuhan 6-20%. Di USA 7-
Apendik pada orang dewasa berupa suatu tonjolan dengan panjang 5-10 cm
ileosekal. Dasar dari apendik terfiksasi pada sekum namun ujungnya masih dalam
keadaan bebas, keadaan ini menyebabkan timbulnya berbagai variasi dari lokasi
subsekal, retroileal, preileal, atau pelvikal. Variasi dari lokasi apendik ini akan
pada lumen apendik yang diikuti dengan terjadinya peradangan akut. Dimana
sumbatan ini dapat terjadi oleh karena fekalit, hiperplasia limfoid, benda asing,
parasit, adanya striktur atau tumor pada dinding apendik (Prystowsky, et al.,
2005; Humes dan Simpson, 2006). Penyebab penyumbatan yang paling sering
pada penderita dewasa adalah fekalit, dimana fekalit yang timbul dari bahan fekal
dan garam inorgani dengan cairan lumen adalah yang paling sering menimbulkan
9
obstruksi dan didapatkan sekitar 11%- 52% dari pasien yang menderita apendisitis
akut, sedangkan pada anak lebih sering oleh karena hiperplasia limfoid (Taylor,
meningginya tekanan intra lumen dan distensi lumen apendik. Peninggian tekanan
intralumen ini akan menyebabkan hambatan aliran limfe, sehingga terjadi edema
disertai hambatan aliran vena dan arteri apendik. Keadaan ini menyebabkan
terjadinya iskemik dan nekrosis, bahkan dapat terjadi perforasi. Pada saat terjadi
obstruksi akan terjadi proses sekresi mukus yang akan menyebabkan peningkatan
tekanan intraluminer dan distensi lumen maka kondisi ini akan menstimulasi serat
saraf aferen viseral yang kemudian diteruskan menuju korda spinalis Th8 – Th10,
Nyeri viseral ini bersifat ringan, sukar dilokalisasi dan lamanya sekitar 4-6 jam
perfusi kapiler, yang akan menimbulkan pelebaran vena, kerusakan arteri dan
iskemi jaringan. Dengan rusaknya barier dari epitel mukosa maka bakteri yang
sudah berkembang biak dalam lumen akan menginvasi dinding apendik sehingga
akan menimbulkan infark dan perforasi (Kirby, C.2001; Livingston, et al., 2007).
Sjamsuhidayat, R., Wim de Jong, 1997; Prystowsky, et al., 2005; Humes dan
Simpson, 2006).
kanan bawah. Nyeri somatik ini bersifat terus-menerus dan lebih berat
dibandingkan dengan nyeri pada awal infeksi. Penjalaran nyeri ini tidak selalu
didapatkan dan titik nyeri maksimal mungkin tidak selalu di titik McBurney
tergantung dari lokasi apendiknya. Pasien dengan apendisitis akut sering tidak
mengalami febris atau dengan febris ringan. Adanya perforasi harus dicurigai bila
penderita mengalami febris lebih dari 38,3°C (Prystowsky, et al., 2005; Petroianu,
2012). Jika terjadi perforasi maka terminal ileum, sekum, dan omentum dan organ
sekitar apendik akan membentuk dinding untuk membatasi proses radang dan
menutupi lubang perforasi dari apendik untuk tidak tejadi penyebaran infeksi yang
meluas yang disebut dengan ” wall off ” atau appendicular mass ”. Peritonitis
Apendisitis rekuren dan kronis dapat terjadi dan insidennya berkisar 1% dan
serangan yang sama dari nyeri perut kanan bawah yang menyebabkan
apendik. Perjalanan penyakit dari apendisitis akut adalah apendisitis akut fokal,
2.3 Diagnosis
darah putih dan analisa urine. Pemeriksaan radiologi masih jarang dilakukan
dalam usaha menegakkan diagnosis. Untuk diagnosis pasti apendisitis akut adalah
berdasarkan gejala klinis serta laboratorium oleh karena itu pemahaman akan
manifestasi klinis yang khas adalah sangat penting dalam menegakkan diagnosis
secara lebih awal. Gejala nyeri abdomen merupakan gejala utama apendisitis akut.
Secara khas nyeri diffus berawal dari bagian tengah epigastrium atau daerah
umbilikus, yang diikuti dengan nyeri perut kanan bawah setelah 4-12 jam dan
akut (Kirby, 2001; Khan, 2005). Tidak selalu nyeri bersifat khas seperti diatas,
pada pasien lain nyeri dapat mulai timbul di perut kanan bawah dan terus menetap
di bagian itu (Craig, 2005). Dengan adanya berbagai variasi lokasi anatomi
Gejala awal adalah berupa nyeri preumbilikal yang sukar ditentukan dan
sering diikuti dengan anoreksia, dimana anoreksia terjadi pada 75% penderita
tetapi biasanya bersifat ringan tidak berlangsung lama, segera timbul setelah
timbulnya nyeri dan kebanyakan hanya 1-2 kali. Adanya sikap penderita yang
12
lebih cenderung membungkuk bila berdiri atau pada posisi berbaring dengan
menekuk tungkai kanan untuk mengurangi rasa sakit dan menghindari perubahan
posisi karena sakit dan bila disuruh bergerak tampak sangat hati-hati. Nyeri perut
akut berat timbul oleh karena adanya kondisi iskemik akut. Pada apendik yang
permukaan posterior dari kolon asendens, proses radang dari apendik akan
mengiritasi duodenum dan ini akan menimbulkan gejala mual dan muntah
sebelum timbulnya nyeri di perut kanan bawah. Diare timbul pada apendisitis
terutama pada apendik yang letaknya di daerah pelvis dimana proses radang pada
apendik akan mengiritasi rektum, kejadiannya sekitar 18% dari kasus apendisitis
Beberapa jam akan terjadi penjalaran nyeri ke perut kanan bawah yang
dibandingkan dengan nyeri saat awal, nyeri ini lebih berat, bersifat terus-menerus
dan terlokalisasi. Penjalaran nyeri dari daerah preumbilikal menuju ke perut kanan
bawah adalah merupakan gambaran yang paling umum dan khas pada pasien
spesifitas hampir 80%. Demam biasanya ringan dengan suhu 37,5-38,5°C, febris
yang berat jarang terjadi kecuali jika sudah terjadi perforasi (Livingston, et al.,
2007). Berdasarkan salah satu penelitian, muntah dan febris lebih sering
Lokasi dari nyeri sangat tergantung dari posisi appendiks. Umumnya nyeri
didapatkan pada titik McBurney di daerah perut kanan bawah. Dari penelitian,
nyeri ini didapatkan sekitar 96% dari pasien, tetapi penemuan ini tidaklah spesifik
spesifik adalah rebound tenderness, yaitu nyeri perut kanan bawah yang terjadi
saat tekanan di perut kanan bawah dilepaskan., nyeri ketok, rigiditas dan guarding
adalah timbulnya tahanan pada dinding perut saat dilakukan palpasi. Menurut
1. Rovsing sign adalah nyeri perut kanan bawah yang terjadi saat dilakukan
palpasi di perut bawah kiri dan diduga kuat sudah terjadi iritasi peritoneum.
2. Psoas sign adalah nyeri perut kanan bawah yang timbul saat dilakukan
3. Obturator sign adalah nyeri perut kanan bawah yang timbul saat dilakukan
internal rotasi pada posisi tungkai bawah kanan fleksi. Respon yang positif
(pelvic apendisitis).
4. Cough sign adalah nyeri perut kanan bawah yang timbul saat penderita
2003).
Rovsing sign, psoas sign dan obturator sign tidak selalu didapatkan pada
Pemeriksaan colok dubur mungkin akan mendapatkan adanya feses, massa atau
nyeri di sisi kanan. Nyeri saat dilakukan pemeriksaan colok dubur sangat sedikit
1. Pemeriksaan laboratorium
masih merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan nyeri kwadran
kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Hitung sel darah
putih total meningkat di atas 10.000/m3 pada 85% pasien, dan tiga perempatnya
mempunyai hitung diferensial sel darah putih yang abnormal, mempunyai lebih
dari 75% netrofil (Lawrence, 2003; Shefki Xharra, et al., 2012). Hanya 4%
penderita dengan apendisitis akut mempunyai hitung sel darah putih dan hitung
neutrofil yang normal (Lawrence, 2003) Selain pemeriksaan sel darah putih
tujuannya untuk menyingkirkan adanya kecurigaan batu ureter kanan dan infeksi
saluran kencing. Adanya hematuria atau sel darah putih pada pemeriksaan urin
menandakan adanya infeksi saluran kencing tetapi bukan berarti apendisitis akut
hingga 91%, dimana CRP merupakan merupakan salah satu komponen protein
15
keparahannya.
2. Pemeriksaan radiologi
antara 86-95%, dan nilai angka prediksi positif mencapai 91-94% serta
bebas, abses, dan udara bebas. Pemeriksaan ini juga dapat membedakan
untuk itulah diperlukan suatu instrumen pemeriksaan yang sistematis dan akurat
Alfredo Alvarado pada tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan atas
tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium sederhana yang sering
didapatkan pada apendisitis akut (Tabel 2.1). Skor ini terdiri dari 10 poin dengan
menderita apendisitis akut dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: (Khan I, 2005;
Kailash S, 2008).
Semua penderita dengan skor ini dirawat inap dan dilakukan observasi selama 24
jam dengan evaluasi secara berulang terhadap data klinis dan skoring. Jika kondisi
dipulangkan dengan catatan harus kembali bila gejala menetap atau memburuk.
dapat dipulangkan dengan catatan harus segera kembali bila gejala menetap atau
memburuk.
Tabel 2.1
Sistem Skoring Alvarado
KARAKTERISTIK SKOR
M = Migration of pain to the RLQ 1
A= Anorexia 1
N= Nausea and vomiting 1
T= Tenderness in RLQ 2
R= Rebound pain in RLQ 1
E= Elevated temperature 1
L= Leucocytosis 2
S= Shift to the left of WBC 1
Total 10
apendisitis akut mendapatkan angka apendektomi negatif sebesar 15,6% dan nilai
prediksi positif sebesar 84,3% (Khan I, 2005). Chong, et al., (2010) melakukan
penelitian pada skor Alvarado. Dari hasil penelitian yang didapatkan secara
statistik menunjukkan skor Alvarado memiliki nilai sensitivitas 68%, nilai duga
negative 6,9%. Terhadap 148 penderita yang dicurigai menderita apendisitis akut,
18
dan negatif sebesar 97,6%. Stefanus Dhe Soka, (2010) terhadap 62 penderita yang
93,9% dan prediksi negatif 38,5%. Sistem skoring ini masih memiliki kelemahan,
dimana pada sistem skoring ini variabel yang terkandung didalamnya masih
bersifat objektif dan tidak spesifik, data yang diperoleh berasal dari data
sensitifitas yang lebih rendah pada pasien dengan usia anak-anak dan pada wanita
Amsterdam. Castro de, (2012) mengatakan bahwa penggunaan skor AIR dalam
reproduksi dan orang tua memberikan hasil lebih baik atau lebih unggul daripada
skoring Alvarado. Hal ini dikarenakan variabel pada skoring AIR lebih mudah
sifatnya subjektif, sedangkan pada skoring AIR hal ini disederhanakan menjadi
yang bersifat objektif. Kelebihan lainnya yang dimiliki oleh skoring AIR data
yang diperoleh berdasarkan data prospektif, variabel bersifat objektif dan lebih
spesifik, serta memiliki kekuatan diskriminasi yang lebih baik dibandingkan skor
bedah melakukan operasi lebih awal meskipun belum ada diagnosis secara
30% dan tentunya angka ini akan menjadi lebih besar jika tidak dilakukan
Castro de, (2012) mengatakan nilai ROC yang dicapai oleh skoring AIR
mencapai 0.96 lebih unggul dibandingkan dengan Alvarado skor 0,82. Chong, et
al.,(2010) menyebutkan nilai sensitivitas, spesifisitas dan akurasi dari skoring AIR
96 %, 99%, dan 97%. Pada skor AIR didapatkan variabel C – Reactive Protein
(CRP) yang tidak terdapat pada skor Alvarado, dimana banyak penelitian telah
membuktikan peranan protein ini dalam penilaian pasien dengan apendisitis akut.
Chen dan Wang, (1996) menyebutkan CRP memiliki tingkat akurasi yang tinggi
serta akurasi diagnostik yang baik dan lebih unggul daripada skor Alvarado
Semua penderita dengan skor ini dirawat inap dan dilakukan observasi
selama 24 jam dan di evaluasi secara berulang terhadap data klinis dan
skor, penderita dapat dipulangkan dengan catatan harus kembali bila gejala
Tabel 2.2
Sistem Skoring AIR
Skor
1 Vomiting 1
2 Pain in RLQ 1
5 Polymorphonuclear leukocytes
70-84% 1
≥ 85% 2
6 WBC count
>10.0 x 109/l 1
≥ 15.0 x 109/l 2
7 CRP concentration 1
10-49 g/l 2
≥ 50 g/l
Total score 12
mukosa yang banyak terlibat. Pada fase reaksi ini, pembuluh darah
Bila reaksi berlanjut lebih buruk lagi, maka akan timbul daerah
2.5 Penatalaksanaan
dapat pula dilakukan apendektomi laparoskopi ( Ellis, 1997; Guller, et al., 2004).