ET’PATAH ISCS
Jum’at, 07 Juni 2019
*) Bahan Re eksi Ziarah dalam rangka “Greece-Turkey: Seven Churches and Cappadocia Biblical
Trip”, 19-29 April 2019.
Seperti yang ditulis Plato dalam bukunya Apologia, Socrates (469-399 SM) dipidana mati oleh
εκλλεσια “ekklesia” (pengadilan) Athena, karena dituduh meracuni pikiran para pemuda,
mengajarkan ilah-ilah asing, dan αθεος “atheos” (menyangkal ilah) yang diakui oleh negara. Kira-
kira enam abad setelah Socrates, St. Paulus juga diadili di Areopagus, di kota yang sama, yang
dituduh sebagai “pemberita ajaran dewa-dewa asing” (Kis. 17:18). Μenariknya lagi, keduanya juga
berinteraksi dengan para penyair sebagai salah satu dari profesi penting di Yunani kuno. Bedanya,
kalau Socrates menyerang keras para penyair yang pandangannya tidak disetujuinya, St. Paulus
justru mengutip salah satu syair dari penyair mereka, Aretes: “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita
bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu” (Kis. 17:28).
Bertitiktolak dari syair ini, St. Paulus melakukan reinterpretasi demi pewartaan Injil.
Di pengadilan Yunani kuno yang disebut εκκλεσια “ekklesia” itu, sebelum vonis mati dijatuhkan
karena pemikiran-pemikirannya, Socrates menyerang balik para penuduhnya yang semena-mena.
Socrates laksana “membangun tembok” yang memisahkan antara “Aku” dan “engkau”. Sebaliknya,
tepat di Bukit Mars, di kota yang sama, St. Paulus malah “membangun jembatan”, yang
menempatkan pandangan lsafat dan keyakinan yang berbeda-beda dalam relasi “kita”. “Karena
kita berasal dari keturunan Allah”, demikian pledoi St. Paulus, “kita tidak boleh berpikir, bahwa
keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia”
(Kis. 17:29). Harus dicatat pula, dalam Injil kata “ekklesia” adalah terjemahan dari istilah Ibrani קהל
“Qahal”, artinya “jemaat”, atau “gereja”, seperti disebutkan: “...dan di atas batu karang ini Aku akan
mendirikan jemaat-Ku (μου την εκκλησίαν “mou ten ekklesian”) dan alam maut tidak akan
menguasainya” (Mat. 16:18).
Itulah sebabnya, dalam pleidoinya di Areopagus, St. Paulus tidak merujuk Socrates yang frontal
dan konfrontatif, melainkan lebih memilih kisah Epimenides yang lebih inspiratif dan jauh
menyentuh kedalaman spiritualitas rakyat Athena, tetapi dengan jitu tetap kritis mengoreksinya.
Padahal seperti St. Paulus tidak asing dengan pemikiran para lsuf dan para penyair Yunani pada
zamannya, pasti ia tidak asing dengan pemikiran Socrates. Socrates menyerang frontal pemikiran
yang tidak disetujuinya, St. Paulus mencari celah dan dengan tepat dia memasukkan ide-ide
teologisnya, dan seperti “membangun jembatan” supaya bukan hanya dia, tetapi juga generasi
sesudahnya bisa menyeberanginya, demi dan untuk memenangkan ide-ide teologisnya yang
konstrukstif, inovatif, kontekstual, dan membebaskan.
Socrates menyiapkan pidato pembelaan diri, demi sebuah reputasi, dan bukan untuk
pembebasannya dari tuntutan hukum. Di depan ekklesia, Socrates terus ber lsafat, menyerang
kepalsuan ide-ide zamannya, sebelum menyambut kematiannya dengan gagah berani:
αλλά γάρ ηδη ὥρα άπιἐναι, ὲμοί μὲν ἂποθανουμἐνῳ, ὑμῖν δὲ βιωσομἐνοις, όποτἐροι δὲ ἡμὥν
ἔρχονται ἐπὶ ἂμεινον πράγμα, ἂδηλον παντὶ πλἡν ή τᾧ θεῷ.
“Allá gar idi hora apienai, emoi men apothanoumeno, humin de biosomenois, opoteroi de himon
erchontai epí ameinon prágma, adilon panti plin hí tó Theó”.
Artinya: “Namun sekarang telah tiba waktunya kita pergi. Aku akan pergi untuk mati, kamu akan
pergi untuk hidup, tetapi siapa di antara kita yang memberikan yang lebih baik, tidak seorangpun
mengetahui selain oleh Allah” (Harold North Fowler, 1990:144-145). Akhirnya, racun itu telah
mengantarkan Socrates ke gerbang kematian, tinggal tubuh yang membiru membujur kaku.
Jalan hidup St. Paulus agak berbeda. meskipun akhirnya menjadi “martyr” juga di Roma, namun
dengan pendekatannya yang merangkul dan membimbing, menegur tanpa menyakiti, banyak
orang telah dibimbingnya ke jalan pertobatan, salah satunya Dionisius, Damaris dan banyak lagi
lainnya. Logos, Sang Kristus pra-eksisten itu, secara anonim pernah menyelamatkan rakyat Athena
dari wabah sampar, enam ratus tahun sebelum Inkarnasi-Nya ke dunia. Dan di Areopagus, bukit
yang ditahbiskan demi nama dewa perang Mars, St. Paulus membawa kabar damai, dengan
menuturkan kembali kisah lama Epimenides dari Kreta, yang pernah membimbing rakyat Athena
menyeru-Nya di sebuah altar tanpa nama, di kota para lsuf ternama di dunia.
4.2. ANTARA “TUHAN”-NYA SOCRATES DAN TUHANNYA ST. PAULUS: SAMA ATAU BERBEDA?
Seperti St. Paulus yang menyadarkan kaum Athena “… bahwa keadaan ilahi sama seperti emas
atau perak atau batu ciptaan kesenian dan keahlian manusia” (Kis. 17:29), Socrates juga
mengkritik dengan gaya yang lebih lugas:
οταν εἰκάζῃ τις κακῶς (οὐσίαν) τῷ λόγῳ, περὶ θεῶν τε καὶ ἡρώων οἷοί εἰσιν, ὥσπερ γραφεὺς μηδὲν
ἐοικότα γράφων οἷς ἂν ὅμοια βουληθῇ γράψαι.
Otan eikaze tis kakós (ousian) tó logó, peri Theón te kai heróón oioi eisin, hósper grapheus meden
eoikota graphón ois an omoia boulethe graphai.
Artinya: “Ketika seseorang menggambarkan dengan buruk dalam ucapan mereka tentang para
ilah dan para pahlawan, ia laksana seperti seorang pelukis yang melukis sesuatu dengan
kemiripan yang mereka inginkan namun sama sekali tidak mirip” (Plato, 377e1-3).
Jadi, apakah “Tuhan”-nya Socrates dengan “Tuhan”-nya St. Paulus sama atau berbeda? Apakah
Socrates seorang monotheis yang percaya kepada keesaan Allah? Kalau “Ya”, mengapa Socrates
masih menyebut dewa-dewa dalam sejumlah pidatonya? Beberapa kutipan di bawah ini
menjelaskan mengapa orang percaya bahwa Socrates adalah monotheis, atau mungkin
henotheis. “Maka Allah itu sama sekali sederhana, benar dalam perbuatan dan perkataan” (κομιδῇ
ἄρα ὁ θεὸς ἁπλοῦν καὶ ἀληθὲς ἔν τε ἔργῳ καὶ λόγῳ, “Komide ára ho theós aploun kai alithés én te
érgó kai lógo”), kata Socrates menurut “Republic”-nya Plato, “dan tidak mengubah dirinya maupun
menipu orang lain dengan penglihatan atau kata-kata atau pemberian tanda-tanda saat bangun
atau dalam mimpi” (Republic, 382). Kata ὁ Θεὸς “ho theós” (the God) di sini dalam bentuk tunggal
nominatif.
Namun dalam bagian lain Socrates menyebut ilah-ilah dalam bentuk jamak, yang bisa ditafsirkan
bahwa ia juga mengakui keberadaan ilah-ilah lain selain Allah, atau minimal AIlah yang
dipahaminya. “Kalian setuju kemudian, kataku,” ujar Socrates, “Inilah norma atau kanon kedua
kami mengenai pidato dan puisi tentang para dewa (τοῦτον δεύτερον τύπον εἶναι ἐν ᾧ δεῖ περὶ
θεῶν, “toúton deuteron tuton einai en hó dei peri theón”), mereka bukan penyihir yang berubah
bentuk atau menyesatkan kita dengan kepalsuan dalam kata-kata atau perbuatan”. Sifat-sifat
Tuhan seperti ini mencirikan keesaan-Nya, tetapi Socrates masih mengakui dewa-dewa lainnya
(Kata θεῶν ”theón” di sini dalam bentuk plural genetif).
“Mereka, kaum Athena, yang telah menyebarkan laporan ini ke luar negeri, adalah musuhku yang
berbahaya”, ucap Socrates lagi, “mereka yang mendengarnya akan berpikir bahwa orang yang
menyelidiki masalah ini bahkan tidak percaya pada dewa-dewa” (οἱ γὰρ ἀκούοντες ἡγοῦνται τοὺς
ταῦτα ζητοῦντας οὐδὲ θεοὺς νομίζειν “oi gár akoúontes igoúntai toús tauta zitoúntas oudé theoús
nomízein”). Kata θεοὺς, “theoús” adalah bentuk plural akusatif, mengesankan Socrates mengakui
adanya ilah-ilah lain. Namun, pada bagian lain, Republic 19a, Socrates memakai kata θεῷ “theó”
(Allah) dalam bentuk singular datif. Di sini, Socrates seperti menegaskan keesaan-Nya: ὅμως τοῦτο
μὲν ἴτω ὅπῃ τῷ θεῷφίλον, τῷ δὲ νόμῳ πειστέον καὶ ἀπολογητέον. “Homós toúto mén íto ópi tó
theóphilon, tó dé nómo peistéon kaí apologitéon” Artinya: “Namun biarlah hal ini menyenangkan
Tuhan, hukum harus dipatuhi dan saya harus membela diri” (Republic 19α).
Jadi, benarkah Socrates adalah seorang monotheis? Kalau monotheis mengapa Socrates masih
nenyebut “ilah-ilah” dalam bentuk plural, entah itu berhubungan atau tidak dengan θεῷφίλον
“theóphílon”, yaitu Allah yang disenangkannya, atau minimal sesuai dengan konsep yang
dipilihnya. Namun St. Paulus juga menggunakannya dalam ungkapan yang serupa: “Sebab
sungguhpun ada apa yang disebut ‘ilah’, baik di sorga maupun di bumi”, tulis Sang Rasul, “dan
memang benar ada banyak ‘ilah’ dan banyak ‘tuhan’ yang demikian (ὥσπερ εἰσὶν θεοὶ πολλοὶ καὶ
κύριοι πολλοί, “hosper eisin theoi polloi kai kurioi polloi), namun bagi kita hanya ada satu Allah
saja, yaitu Sang Bapa (εἷς Θεὸς ὁ Πατήρ, “eis theos ho Pater”), yang dari pada-Nya berasal segala
sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus (καὶ εἷς Κύριος
Ἰησοῦς Χριστός, “kaí eis Kurios, Iesous Khristos), yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan
yang karena Dia kita hidup” (1 Kor. 8:5-6). St. Paulus merumuskan dengan jelas orthodoksinya,
sedangkan Socrates lebih menekankan pilihan etisnya sendiri.
Socrates juga menyebut “theos”-nya dalam bentuk tunggal, tetapi mengakui keberadaan “ilah-ilah
lain” baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Relasi antara keduanya tidak dirumuskan
dengan jelas, apakah Socrates hanya mengakui hak orang-orang Athena untuk menyembah ilah-
ilah mereka, katakanlah semacam henotheisme, yaitu pengakuan bahwa ada banyak ilah-ilah,
tetapi Socrates memilih “theos”-nya sendiri, yang betapapun lebih unggul dari ilah-ilah yang
dikritiknya? Sebaliknya, St. Paulus mengawali sikap teologisnya dengan menegasikan ilah-ilah lain:
“... dan tidak ada Ilah lain selain Allah yang Esa” (1 Kor. 8:4, καὶ ὅτι οὐδεὶς θεὸς ἕτερος εἰ μὴ εἷς.
“Kaí hoti oudeis theos utheros ei mi eis”), meskipun secara sosiologis ia mengakui beragam
konsep “ilah” dan “tuhan” (1 Kor. 8:5), yang menjadi ruang bagi kebebasan berkeyakinan.
Bukankah gagasan kedua pemikir besar ini, terlepas dari perbedaannya, seharusnya melandasi
sikap demokratis kita dalam beragama dan berkeyakinan, bahwa sefanatik-fanatiknya pilihan
iman dan orthodoksi kita masing-masing, tetapi harus tetap menyediakan ruang dalam medan
“orthopraxi” kita bagi pihak lain yang berbeda untuk bebas memilih sendiri iman dan
keyakinannya? Kristus bersabda: “Biarkanlah keduanya (ilalang dan gandum) itu tumbuh bersama
sampai waktu menuai” (Mat. 13:30).
Kisah Socrates telah memberikan contoh bagaimana sistem demokrasi buruk “one man one vote”,
yang telah menjadikannya “martyr” karena kalah suara tipis, bukan oleh kekuatan argumentasi
hukum, melainkan praktek pengadilan yang dibajak oleh ketiga kelompok pendakwanya: Anytus,
sang politisi demokratik kota Athena, Miletus, sang penyair yang rajin mengungkap tragedi dan
Lykon, orator ulung, yang mendominasi ruang εκκλεσια “Ekklesia” (pengadilan) yang tidak adil itu.
Namun, Athena juga telah mencontohkan bagi kita bagaimana di tengah-tengah “agama
minoritas” yang didominasi oleh altar Zeus yang berdiri di setiap tempat, ternyata masih memberi
ruang bagi yang “agama minoritas”, yaitu mereka yang menyembah kepada ilah-ilah yang tidak
dikenal. Lucian dalam Philopatris 9,14 mencatat, bahwa di Athena pada zamannya ada suatu kuil
yang secara khusus dipersembahkan bagi selain dewa-dewa utama mereka, yang juga bebas
disembah dengan sumpah para pemujanya: Νὴ τὸν Ἄγνωστον ”Ne ton Agnoston” (Kepada yang
tidak dikenal).
Lalu bagaimanakah implementasi dari sumpah Νὴ τὸν Ἄγνωστον ”Ne ton Agnoston” pada zaman
kuno? Sebuah altar yang ditemukan di Bukit Palatine, di wilayah Roma, yang dibangun kembali
sekitar tahun 100 SM, di atasnya tertulis sebuah insksripsi dalam bahasa Latin kuno, menjelaskan
fenomena ini:
SEI DEO SEI DEIVAE SAC CAIUS SEXTIUS CAI FILIUS CALVINUS PRAETOR DE SENATI SENTENIA
RESTITUIT.
Artinya: “Apakah demi dewa atau dewi yang suci, Sextius Calvinus, putra Gaius Praetor atas
perintah Senat, telah mengembalikan ini” (John Edwin Sandys, 1927:89).
Ungkapan “Sei Deo Sei Deivae” (Apakah demi Dewa atau Dewi), membuktikan bahwa setiap orang
bebas menyembah ilah atau ilah-ilah mereka masing-masing, bahkan juga bagi yang konsep
teologisnya tidak jelas. Tidak diperlukan syarat harus ada de nisi resmi agama yang dipaksakan
oleh negara. Ini menjadi contoh bahwa dalam demokrasi Athena yang kita anggap “ka r” ternyata
memberi ruang kepada keyakinan minoritas. Sebaliknya, kita yang menganggap diri benar secara
ortodoksi, sering bermental imperialisme doktriner, menindas dan melibas hak-hak orang yang
berbeda dengan kita.
Setiap orang bebas memaknai Θεὸς “theos” (Ilah) atau θεοὺς “theous” (ilah-ilah) dalam beragam
batasan, entah itu monotheis (satu Allah), politheis (banyak ilah), henotheis (hierarki ilah-ilah,
mulai yang tertinggi hingga yang terendah), atau pantheis (segala sesuatu adalah Allah), dan isme-
isme keagamaan yang masih dilabeli “theos” dalam makna “personal God”. Yang lain bisa
memakainya secara non-theistik, yang memahami “yang tak terbatas” secara monistik (segalanya
adalah satu) tanpa label Θεὸς “theos” (ilah). Semua paham ini dinaungi dengan rumusan: Νὴ τὸν
Ἄγνωστον ”Ne ton Agnosto” (Kepada yang tidak dikenal). Nah, dalam keragaman pemahaman yang
seperti itu, apakah itu Yudaisme yang bercorak monotheistik, Stoa yang cenderung pantheistik,
atau malah Epikuros yang agnostis, St. Paulus memberitakan Injil Yesus Kristus: “Apa yang kamu
sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu” (Kis. 17:23).
Jadi, samakah Allah yang disembah St. Paulus dengan ilah-ilah bangsa Athena atau agama-agama
pada umumnya? Jawabannya tentu tidak sesederhana “Ya” atau “Tidak” saja. Kalau jawabnya “Ya,
sama!”, bagaimana mungkin dewa Zeus sama dengan Bapa Surgawi kita dalam Yesus?
Mungkinkah “Allah” Islam yang menyerang keilahian Kristus dan posisi khas-Nya sebagai
μονογενὴς Θεὸς “monogenes theos” (Anak tunggal Allah) sama dengan Allah Bapa Surgawi yang
memberikan putra tunggal-Nya? (Yoh. 1:18; 3:16). Sebaliknya, kalau jawabnya “Tidak, tidak sama!”,
maka itu berarti setiap agama mempunyai ilah masing-masing, dan kalau kita mengakui eksistensi
ilah-ilah lain, berarti ada lebih dari satu Allah. Apakah kita bukan “politheis terselubung”?
Mengapa? Karena secara tidak sadar kita mengakui adanya ilah-ilah lain sebanyak jumlahnya
agama, meskipun kita berbangga bahwa Allah yang kita sembah lebih besar.
Bukankah formula takbir “ ا اﻛﺒﺮAllahu Akbar” secara literal mula-mula berarti “Allah lebih besar”,
yang asalnya juga bisa ditelusuri dari “hierarki” para ilah a-la Henotheisme, dimana Allah “lebih
besar” (“ اﻛﺒﺮakbara”) dibandingkan al-Latta dan Uzza, dewi-dewi Arab pra-Islam? Qus bin Hajjar,
salah seorang penyair Arab pra-Islam, mengabadikan paham Henotheis ini dalam syairnya: وﺑﺎﻻت
وﺑﺎ أن ا ﻣﻨﻬﻦ اﻛﺒﺮ.“ واﻟﻌﺰى وﻣﻦ دان ﺑﻴﻨﻬﻤﺎWa bi al-Latta wa al-'Uzza wa man dana dinahuma, wa billahi
annallaha minhuna akbar” (Demi al-Latta dan al-Uzza dan orang-orang yang percaya kepada
keduanya, dan Demi Allah, sesungguhnya Allah lebih besar dari keduanya).
5. CATATAN PENUTUP
Melalui wahyu umum, yaitu alam ciptaan ini, manusia berusaha mencari Allah “dan mudah-
mudahan menjamah dan menemukan Dia” (Kis. 17:27). Dalam praxis “Sangkan Paraning Dumadi”
ini, dapat dikatakan bahwa semua agama adalah benar, karena melaluinya manusia hendak
menjawab panggilan trahnya untuk mencari Allah. “Sebab apa yang tidak nampak dari pada-
Nya”, tulis Rom. 1:20, “yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada
pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih”. Namun
karena semua orang telah jatuh ke dalam dosa, perjalanan spiritual itu laksana “dibegal Buto Ijo”
atau digagalkan oleh kekuatan anti Kristus, yang tidak mampu dilawannya, kecuali karena
pertolongan surgawi. Inilah misi wahyu khusus nuzulnya Firman Allah yang menjadi manusia (Yoh.
1:14).
Misi Kristus ke dunia untuk menghancurkan semua perbuatan Iblis, yang hendak menggagalkan
manusia dalam perjalanan “mulih marang mulanira” (pulang ke alam keabadian). Karena itu,
semua agama adalah benar, laksana temaramnya bulan sabit menunggu sinar bulan purnama,
laksana fajar-fajar kebenaran yang menantikan matahari bercahaya penuh. “Tetapi jalan orang
benar itu seperti cahaya fajar”, dhawuh Nabi Sulaiman, “yang kian bertambah terang sampai
rembang tengah hari” (Ams. 4:18). Dan matahari hikmat yang bersinar penuh itu tidak lain Sang
Kristus sendiri, yang adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup (Yoh. 14:6).
Maka pesan St. Paulus di Areopagus adalah “derap ganda” Evangelisasi: Pertama, Kristus sebagai
puncak pendakian spiritualitas manusia, yang dibuka dari pintu masuk “Agnosto Theo” adalah
wahyu umum, seperti yang dilakukan Nomensen di tanah Batak yang juga memulainya dari
“Debata Mula Jadi Nabolon”. Ini wilayah kognisi, atau teritorialnya teologi kontekstual. Kedua,
catatan kritis St. Paulus bahwa Allah, Tuhan langit dan bumi tidak tinggal di kuil-kuil buatan tangan
manusia, dan berita gembira tentang Kristus yang bangkit adalah wahyu khusus, seperti yang juga
dialami St. Hilarion ketika mengunjungi tanah Arab dan di sepanjang jalan banyak dari mereka
yang kerasukan al-Lata dan berseru memohon pembebasan dari setan-setan: “ ﺑﺮﻛﻨﺎBarikna!”,
“Berkatilah kami!” (J. Spencer Trimingham, 1979:106).
Dalam “derap ganda” itu pula, raga dan jiwaku yang kini di Athena, masih terus berdialog dengan
Epimenides, sementara rohku tak pernah meninggalkan Yerusalem. Sebab hanya dalam “derap
ganda” ini, seperti tulis St. Paulus dalam 1 Kor. 1:22, aku bisa bersaksi kepada para pendaku
agama-agama wahyu, seperti “orang-orang Yahudi menghendaki tanda” (Arabic Bible: ﻮن آﻳَ ًﺔ َ ﻳَ ْﺴﺎ ُﻟ,
“yas'aluna ayatan”, menanyakan ayat-ayat) dan bertukar pikiran dengan kaum cerdik cendekia,
seperti “orang-orang Yunani yang mencari hikmat” (Teks asli: σοφίαν ζητοῦσιν, “sophian zitoúsin”,
mencari kebijaksanaan, lsafat).
KEPUSTAKAAN
1. Pieter Willem van der Horst, Hellenism, Judaism, Christianity (Leuven, Belgium: Peeters. 1998).
2. Sir John Edwin Sandys, Latin Epigraphy: an introduction to the study of Latin inscriptions
(Cambridge: Cambridge University Press, 1927).
3. Diogenes Laertius, Lives and Opinions of Eminent Philosophers. Greek Text and English
Translation. Vol. I-II (Harvard: Loeb Classical Library, 2012).
4. Pausanias, Elladós Periegesis (Athena: Cactus, 1992).
5. W.H.S. Jones, Pausanias: Description of Greece ( Harvard: Loeb Classical Library, 2018).
6. Christoper P. Jones, Philostratus: The Life of Apollonius of Tyana. Books. I-IV ( Harvard: Loeb
Classical Library, 2012).
7. R.G. Burry, Plato: The Laws. Vol. I-II (Harvard: Loeb Classical Library, 1984).
8. Chris Emlyn Jones and William Fraeddy, Plato: Republic. Vol. I (Harvard: Loeb Classical Library,
1994).
9. J. Spencer Trimingham, Christianity Among The Arabs in Pre-Islamic Times (New York: Librairie
du Liban, 1979).
10. Harold North Fowler, Plato Vol. 1: Euthyphro, Apology, Crito, Phaedo, Phaedrus (Harvard: Loeb
Classical Library, 1990).
11. Anna Strataridaki, Epimenides of Crete: Some Notes on his Life, Works and the Verse Κρητες
δεί φευσται, dimuat dalam https://dialnet.unirioja.es diakses 21 April 2019.
@denipark_
Categories
Kebangsaan (/index/blog/kebangsaan/)
Kebudayaan (/index/blog/kebudayaan/)
Teologi (/index/blog/teologi/)
2020
January (/index/blog/2020/01/)
2019
November (/index/blog/2019/11/)
October (/index/blog/2019/10/)
September (/index/blog/2019/09/)
August (/index/blog/2019/08/)
July (/index/blog/2019/07/)
June (/index/blog/2019/06/)
May (/index/blog/2019/05/)
April (/index/blog/2019/04/)
March (/index/blog/2019/03/)
February (/index/blog/2019/02/)
January (/index/blog/2019/01/)
2018
December (/index/blog/2018/12/)
CONNECT WITH US
Instagram (https://www.instagram.com/voiceofpancasila/)
POPULAR POSTS
4.Feb.2019
IMAN YANG MEMINDAHKAN GUNUNG: ALQIDIS SAM'AN AL-KHARAJ DAN MUKJIZAT BUKIT MUQATAM
CAIRO (/index/blog/teologi/iman-yang-memindahkan-gunung-alqidis-sam-an-al-kharaj-dan-mukjizat-
bukit-muqatam-cairo.html)
24.Aug.2019
SALIB, KA'BAH DAN BUTA LOCAYA (Catatan Kecil untuk Ustadz Abdul Somad) (/index/blog/teologi/salib-
ka-bah-dan-buta-locaya-catatan-kecil-untuk-ustadz-abdul-somad.html)
31.Dec.2018
Sekilas Mengenal Dr. Bambang Noorsena (/index/blog/kebudayaan/sekilas-mengenal-bambang-
noorsena.html)
Info yer untuk jadwal ziarah berikutnya dapat dilihat di link berikut ini : INFO ZIARAH
(/index/html/ziarah-ke-tanah-suci.html)
© 2020 Bambang Noorsena Center (contacts). All Rights Reserved. | Design By Deni Park
(https://instagram.com/denipark_/)