Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasi merupakan profesi yang berhubungan dengan seni dan ilmu
dalam hal penyediaan dan pengolahan bahan obat dari sumber alam atau sintesis
untuk pengobatan dan pencegahan suatu penyakit. Di bidang farmasi juga sering
dijumpai berbagai fenomena fisika dan kimia, oleh sebab itu seorang ahli farmasi
harus mempelajari farmasi fisika. Ilmu inilah yang mengaplikasikan ilmu fisika ke
dalam bidang farmasi.
Farmasi fisika merupakan suatu ilmu yang menggabungkan antara ilmu
fisika dengan ilmu farmasi. Ilmu fisika mempelajari tentang sifat-sifat fisika suatu
zat baik berupa sifat molekul maupun tentang sifat turunan suatu zat. Sedangkan
ilmu farmasi adalah ilmu tentang obat-obat yang mempelajari cara membuat,
memformulasi senyawa obat menjadi sebuah sediaan jadi yang dapat beredar di
pasaran. Gabungan kedua ilmu tersebut akan menghasilkan suatu sediaan farmasi
yang berstandar baik, berefek baik, dan mempunyai kestabilan yang baik pula.
Salah satu fenomena dalam fisika yang kerap muncul di bidang farmasi, yaitu
kelarutan yang merupakan suatu campuran homogen antara dua zat dari molekul
atom ataupun ion dimana zat yang dimaksud adalah zat padat, minyak larut dalam
air. Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat
terlarut di dalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu.
Kelarutan suatu senyawa dalam zat pelarut tergantung sifat fisik dan kimia
dari zat terlarut tersebut. Salah satu sifat fisik yang dapat kita amati setiap saat
adalah peristiwa larutnya suatu zat padat dalam pelarut air. Konsentrasi zat
terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu disebut sebagai kelarutan.
Kelarutan dalam bidang farmasi dapat didefinisikan sebagai kelarutan suatu obat
dalam 1 gram zat terlarut yang akan dilarutkan dalam sejumlah ml pelarut. Suatu
obat harus mempunyai kelarutan dalam air agar manjur secara terapi sehingga
obat masuk ke sistem sirkulasi dan menghasilkan suatu efek terapeutik. Senyawa-
senyawa yang tidak larut seringkali menunjukkan absorbsi yang tidak sempurna
atau tidak menentu (Ansel, 1985).

1
Kelarutan sangat mempengaruhi proses absorbsi obat. Absorpsi suatu obat
dari tempat ekstravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat fisikokimia produk obat.
Untuk obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan
seringkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan
terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat (Shargel dan Yu,
2005).
Selain kelarutan, koefisien distribusi suatu obat juga harus diperhatikan.
Koefisien distribusi merupakan perbandingan kelarutan suatu zat di dalam dua
pelarut berbeda dan tidak saling bercampur, serta mempunyai harga tetap pada
suhu tertentu (Voight, 1995).
Karena pentingnya kelarutan dan koefisien distribusi obat, sehingga
dilakukan percobaan ini. Dimana kelarutan dan koefisien distribusi obat dalam
farmasi begitu penting, yaitu agar kita dapat megetahui cara penentuan kelarutan
dan koefisien terdistribusi zat padat dalam pelarut pada berbagai suhu dan dua
pelarut yang tidak saling bercampur.
1.2 Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud Percobaan
Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami cara penentuan
kelarutan dan koefisien distribusi zat padat dalam pelarut pada berbagai suhu dan
dua pelarut yang tidak saling bercampur.
1.2.2 Tujuan Percobaan
Agar mahasiswa dapat menentukan perbandingan kelarutan dari asam
salisilat pada suhu kamar dan suhu panas, serta dapat menentukan koefisien
distribusi dari asam borat pada dua pelarut yang tidak saling bercampur.
1.2.3 Prinsip Percobaan
Penentuan kelarutan dari asam salisilat pada suhu kamar dan pada suhu
panas dengan cara melarutkan, menyaring, mengeringkan dan menimbang residu
zat yang tidak larut dan koefisien distribusi asam salisilat dalam pelarut air

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
2.1.1 Kelarutan
Kelarutan adalah jumlah zat yang dapat larut dalam sejumlah pelarut sampai
membentuk larutan jenuh. Adapun cara menentukan kelarutan suatu zat ialah
dengan mengambil sejumlah tertentu pelarut murni, misalnya 1 liter. Kemudian
memperkirakan jumlah zat yang dapat membentuk larutan lewat jenuh, yang
ditandai dengan masih terdapatnya zat padat yang tidak larut. Setelah dikocok
ataupun diaduk akan terjadi kesetimbangan antara zat yang larut dengan zat yang
tidak larut (Atkins, 1994).
Yang dimaksud dengan kelarutan dari suatu zat dalam suatu pelarut, adalah
banyaknya suatu zat dapat larut secara maksimum dalam suatu pelarut pada
kondisi tertentu. Biasanya dinyatakan dalam satuan mol/liter. Jadi, bila batas
kelarutan tercapai, maka zat yang dilarutkan itu dalam batas kesetimbangan,
artinya bila zat terlarut ditambah, maka akan terjadi larutan jenuh, bila zat yang
dilarutkan dikurangi, akan terjadi larutan yang belum jenuh. Dan kesetimbangan
tergantung pada suhu pelarutan (Sukardjo, 1997).
Dua komponen dalam larutan adalah solute dan solvent.Solute adalah
substansi yang melarutkan. Contoh sebuah larutan NaCl. NaCl adalah solute dan
air adalah solvent. Dari ketiga materi, padat, cair dan gas, sangat dimungkinkan
untuk memilki sembilan tipe larutan yang berbeda : padat dalam padat, padat
dalam cairan, padat dalam gas, cair dalam cairan, dan sebagainya. Dari berbagai
macam tipe ini, larutan yang lazim kita kenal adalah padatan dalam cairan, cairan
dalam cairan, gas dalam cairan serta gas dalam gas (Sukardjo, 1997).
Menurut metode kelarutan, sejumlah besar obat ditempatkan dalam wadah
yang tertutup baik, bersama-sama dengan larutan zat pengompleks dalam berbagai
konsentrasi dan botol dikocok dalam bak pada temperatur konstan sampai tercapai
kesetimbangan (Alfred, 1990).
Metode sederhana untuk menentukan kelarutan sebagian besar senyawa atau
bahan campuran adalah mengocok dengan lama zat bubuk halus dengan zat

3
terlarut pada temperatur yang diperlukan hingga tercapai keseimbangan. Larutan
itu kemudian disaring dan untuk menentukan bahan yang melarutkan dengan
metode yang cocok seperti metode fisika dan kimia atau dengan menggunakan
sifat fisika, larutan sebagai indeks bias (Alfred, 1990).
Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas dari pelarut, yaitu
oleh dipol momennya. Pelarut polar melarutkan zat terlarut ionik dan zat polar
lainnya. Sesuai dengan itu, air bercampur dengan alkohol dalam segala
perbandingan dan melarutkan gula dan senyawa polihidroksi yang lain (Martin,
2008).
Aksi pelarut dari cairan nonpolar, seperti hidrokarbon, berbeda dengan zat
polar. Pelarut non polar tidak dapat mengurangi gaya tarik-menarik antara ion-ion
elektrolit kuat dan lemah, karena tetapan dielektrik pelarut yang rendah. Pelarut
juga tidak dapat memecahkan ikatan kovalen dan elektrolit yang berionisasi lemah
karena pelarut aprotik, dan tidak dapat membentuk jembatan hidrogen dengan non
elektrolit. Oleh karena itu zat terlarut ionik dan polar tidak larut atau hanya dapat
larut sedikit dalam pelarut non polar (Martin, 2008).
Pelarut semi polar seperti keton dan alkohol dapat menginduksi suatu
derajat polaritas tertentu dalam molekul pelarut non polar, sehingga menjadi dapat
larut dalam alkohol, contohnya benzena yang mudah dapat dipolarisasikan.
Kenyataanya, senyawa semipolar dapat bertindak sebagai pelarut perantara yang
dapat menyebabkan bercampurnya cairan polar dan nonpolar. Sesuai dengan itu,
aseton menaikkan kelarutan eter di dalam air (Martin, 2008).
1. Istilah-istilah kelarutan (Dirjen POM, 1995).

Jumlah bagian pelarut diperlukan untuk


Istilah Kelarutan
melarutkan 1 bagian zat

Sangat mudah larut <1


Mudah larut 1 sampai 10
Larut 10 sampai 30
Agak sukar larut 30 sampai 100
Sukar larut 100 sampai 1.000
Sangat sukar larut 1.000 sampai 10.000
Praktis tidak larut >10.000

4
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelarutan
a. Temperatur
Kenaikan temperatur akan meningkatkan kelarutan zat yang proses
melarutnya melalui penyerapan panas/kalor (reaksi endotermik) dan akan
menurunkan kelarutan zat yang proses melarutnya dengan pengeluaran
panas/kalor (reaksi eksotermik) (Lund, 1994).
b. Ukuran Partikel
Perbedaan dalam energi bebas permukaan yang menyertai disolusi partikel
dalam ukuran yang bervariasi yang menyebabkan kelarutan zat meningkat dengan
penurunan ukuran partikel (Tungadi, 2014).
c. Tekanan
Pada umumnya perubahan volume larutan yang dikarenakan perubahan
tekanan kecil, sehingga diperlukan tekanan yang sangat besar untuk dapat
mengubah kelarutan suatu zat (Sienko dan Plane,1961).
d. Intensitas Pengadukan
Pada pengadukan yang rendah aliran bersifat pasif. Zat padat tidak bergerak
dan kecepatan aliran pelarutan tergantung pada bagaimana karakter zat padat
tersebut menghambar dari dasar wadah (Martin,1993).
e. Konsentrasi Bahan Pelarut
Suatu bahan mampu membentuk agregat besar atau misel dalam larutan jika
konsentrasinya melebihi nilai yang ditentukan (Tungadi,2014).
f. Pengaruh Surfaktan
Jika digunakan surfaktan dalam formulasi obat, maka kecepatan larutan obat
akan bergantung jumlah dari jenis surfaktan. Pada umumnya, dengan adanya
penambahan surfaktan dalam suatu formula akan menambah kecepatan pelarut
dan bahan obat (Tungadi, 2014).
g. pH
Suatu zat asam lemah atau basa lemah akan sukar terlarut, karena tidak
mudah terionisasi. Semakin kecil phnya maka suatu zat semakin sukar larut,
sedangkan semakin besar ph maka suatu zat akan akan mudah larut (Lund, 1994).
2.1.2 Pelarut

5
Pelarut (solven) didefinisikan sebagai suatu medium dimana zat terlarut
(solute) terlarut (Baroroh, 2004).
Pelarut adalah benda cair atau gas yang melarutkan benda padat, cair, gas
yang menghasilkan sebuah larutan. Pelarut paling umum digunakan dalam
kehidupan sehari-hari adalah air (Shevla, 1979).
Jenis-Jenis Pelarut :
1. Pelarut polar
Melarutkan zat terlarut ionik dan zat polar lainnya. Sesuai dengan itu, air
bercampur dengan alkohol dalam segala perbandingan dan melarutkan gula dan
senyawa polihidroksi yang lain (Martin, 2008).
2. Pelarut nonpolar
Tidak dapat mengurangi gaya tarik-menarik antara ion-ion elektrolit kuat
dan lemah, karena tetapan dielektrik pelarut yang rendah. Pelarut juga tidak dapat
memecahkan ikatan kovalen dan elektrolit yang terionisasi lemah karena pelarut
aprotik, dan dapat membentuk jembatan hidrogen dengan nonelektrolit (Martin,
2008).
3. Pelarut semipolar
Seperti keton dan alkohol dapat menginduksi suatu derajat polaritas tertentu
dalam molekul pelarut non polar, sehinga menjadi dapat larut dalam alkohol,
contohnya benzena yang mudah dapat dipolarisasikan (Martin, 2008).
2.1.3 Koefisien Distribusi
Koefisien distribusi merupakan perbandingan kelarutan suatu zat di dalam
dua pelarut berbeda dan tidak saling bercampur, serta mempunyai harga tetap
pada suhu tertentu (Voight, 1995).
Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam
pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air. Bila molekul semakin larut
lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans membran terjadi
lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase lemak dan
air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal
tersebut merupakan hambatan pada proses difusi zat aktif (Ansel, 1989).

6
Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau
hidrofobik dari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan
interaksi dengan makro molekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik
dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Martin, 1999).
Hukum distribusi atau partisi dapat dirumuskan: bila suatu zat terlarut
terdistribusi antara dua pelarut yang tidak dapat campur, maka pada suatu
temperatur yang konstan untuk setiap spesi molekul terdapat angka banding
distribusi yang konstan antara kedua pelarut itu, dan angka banding distribusi ini
tidak tergantung pada spesi molekul lain apapun yang mungkin ada. Harga angka
banding berubah dengan sifat dasar pelarut, sifat dasar zat terlarut, dan temperatur
(Svehla, 1990).
Menurut hukum distribusi Nerst, bila ke dalam kedua pelarut yang tidak
saling bercampur dimasukkan solut yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut
maka akan terjadi pembagian kelarutan. Kedua pelarut tersebut umumnya pelarut
organik dan air. Dalam praktek solutakan terdistribusi dengan sendirinya ke dalam
dua pelarut tersebut setelah di kocok dan dibiarkan terpisah. Perbandingan
konsentrasi solut di dalam kedua pelarut tersebut tetap, dan merupakan suatu
tetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut disebut tetapan distribusi atau koefisien
distribusi. Koefisien distribusi dinyatakan dengan rumus KD = C2/C1 atau KD =
Co/Ca (Soebagio, 2002).
Jika harga KD besar, solute secara kuantitatif akan cenderung terdistribusi
lebih banyak ke dalam pelarut organik begitu pula sebaliknya (Soebagio,2002).
Pengaruh distribusi telah disebut pengaruh obat artinya membawa bahan
obat terarah kepada tempat kerja yang diinginkan dari segi terapeutik kita
mengharapkan distribusi dapat diatur artinya konsentrasi obat pada tempat kerja
lebih besar dari pada konsentrasi di tempat lain pada organisme, walaupun
demikian kemungkinan untuk mempengaruhi pada distribusi dalam bentuk hal
kecil, pada kemoterapi tumor ganas sebagian dicoba melalui penyuntikan atau
infus sitostatika ke dalam arteri memasok tumor untuk memperoleh kerja yang
terarah (Ernest, 1999).

7
Faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena distribusi adalah pengaruh
sifat kelarutan bahan obat terhadap distribusi menunjukkan antara lain bahwa
senyawa yang larut baik dalam bentuk lamak terkonsentrasi dalam jaringan yang
mengandung banyak lemak sedangkan sebaliknya zat hidrofil hampir tidak
diambil oleh jaringan lemak karena itu ditentukan terutama dalam ekstrasel
(Ernest, 1999 ).
Pelarut secara umum dibedakan atas dua pelarut, yaitu pelarut air dan bukan
air. Salah satu ciri penting dari pelarut tetapan dielektriknya (E), yaitu gaya yang
bekerja antara dua muatan itu dalam ruang hampa dengan gaya yang bekerja pada
muatan itu dalam dua pelarut. Tetapan ini menunjukkan sampai sejauh mana
tingkat kemampuan melarutkan pelarut tersebut. Misalnya air dengan tetapan
dielektriknya yang tinggi (E = 78,5) pada suhu 25oC, merupakan pelarut yang
baik untuk zat-zat yang bersifat polar, tetapi juga merupakan pelarut yang kurang
baik untuk zat-zat nonpolar. Sebaliknya, pelarut yang mempunyai tetapan
dielektrik yang rendah merupakan pelarut yang baik untuk zat non polar dan
merupakan pelarut yang kurang baik untuk zat berpolar (Rifai, 1995).
Pada umumnya obat-obat bersifat asam lemah atau basa lemah. Jika obat
tersebut dilarutkan dalam air sebagian akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang
diteorikan tergantung pada pH larutannya. Obat-obat yang tidak terionkan lebih
mudah larut dalam lipida, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya kecil
atau bahkan praktis tidak larut. Dengan demikian pengaruh pH sangat besar
terhadap kecepatan absorpsi obat yang bersifat asam lemah atau basa lemah
(Sardjoko, 1987).

2.2 Uraian Bahan


2.2.1 Alkohol (Depkes, 1979) (Rowe et al, 2009)(Pratiwi, 2008)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Etanol,Alkohol, Ethyl alkohol
Rumus Molekul : C2H5OH

8
Berat Molekul : 46,07g/mol
Rumus strukrur :

Pemerian : Cairan tidak berwarna mudah menguap, bau khas.


Kelarutan : Bercampur dengan air, praktis bercampur dengan
pelarut organik.
Kegunaan : Desinfektan dan antiseptik
Khasiat : Sebagai desinfektan dan digunakan juga sebagai
antiseptik untuk menghambat mikroorganisme
pada jaringan hidup
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat dan jauh dari api.
2.2.2 Aquadest (Depkes, 1979) (Pratiwi, 2008)
Nama resmi : AQUA DESTILATA
Nama Lain : Air suling
Rumus Molekul : H2O
Berat Molekul : 18,02 g/mol
Rumus struktur :

Pemerian : Cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau dan


tidak mempunyai rasa
Kelarutan : Larut dengan semua jenis larutan
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

2.2.3 Asam Salisilat (Ditjen POM, 1979)


Nama resmi : Acidum Salicylicum
Nama lain : Asam Salisilat
RM / BM : C7H6O3 / 138,12
Rumus struktur :

9
Pemerian : Hablur ringan tidak berwarna atau serbuk berwarna

putih, hampir tidak berbau, rasa agak manis dan


tajam
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
2.2.4 Indikator PP (Depkes RI, 2014)
Nama Resmi : FENOLFTALEIN
Nama Lain : Phenolphtaeine
Berat Molekul : 312,33
Rumus Struktur :

Pemerian : Serbuk hablur; putih atau putih kekuningan lemah;


tidak berbau; stabil di udara
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; larut dalam etanol;
agak sukar larut dalam eter.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
pada suhu ruang.
2.2.5 Natrium Hidroksida (Dirjen POM, 1979)
Natrium Hidroksida (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : NATRII HYDROXYDUM
Nama Lain : Natrium Hidroksida
RM/BM : NaOH/40,00 gr/mol
Rumus Struktur :

10
Pemerian : Bentuk batang, butiran, massa hablur atau
keping, kering, keras, rapuh, dan menunjukkan
susunan hablur, putih, mudah meleleh basah.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan dalam etanol
(95%) P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Khasiat/ Kegunaan : Zat tambahan.

2.2.6 Paracetamol (Dirjen POM 1995 ; Rowe 2006 ).


Nama Zat Aktif : Aseta minofen
Struktur kimia :

Nama kimia : 4-Hidroksiasetanilida


Berat Molekul : 151.16 gr/ml
Rumus Empiris : C8H9NO2
Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa pahit
Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N;
mudah larut dalam etanol.
Jarak lebur : Antara 168⁰ C dan 172⁰ C
Kegunaan : Antipiretik (obat penurun panas)
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik

BAB III
METODE KERJA
3.1 Waktu dan Tempat

11
Praktikum Farmasi Fisika dilakukan pada hari sabtu, 14 November 2020
pada pukul 13.00 WITA s/d selesai, di Laboratorium Tekhnologi Farmasi, Jurusan
Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan bahan
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu batang pengaduk,
corong, erlenmeyer, gelas ukur, dan oven.
3.2.2 Bahan
Adapun bahan yang diguanakan pada praktikum ini yaitu alkohol 70%,
asam salisilat, aquadest, kertas saring dan tisu.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Penentuan kelarutan dengan air dalam suhu normal
a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Dibersihkan alat dengan alkohol 70%
c. Ditimbang asam salisilat sebanyak 2 gram
d. Diukur air 25 ml, kemudian dimasukkan pada gelas kimia
e. Dimasukkan asam salisilat kedalam 25 ml air tadi, diaduk hingga homogen
f. Ditimbang kertas saring kosong , kemudian jenuhkan
g. Disaring asam salisilat pada kertas saring dengan menggunakan corong
h. Diambli residu
i. Dimasukkan kedalam oven sampai kering agar tidak ada kadar air
j. Ditimbang kertas saring yang berisi residu asam salisilat tersebut.
3.3.2 Penentuan kelarutan dengan air dalam suhu tinggi
a. Disiapkan alat dan bahan
b. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
c. Dipanaskan air dengan menggunakan penangas air
d. Ditimbang asam salisilat sebanyak 2 gram
e. Diukur air yang telah dipanaskan sebanyak 25ml air panas tersebut,
kemudian dimasukkan kedalam gelaskan kimia
f. Dimasukkan asal salisilat kedalam 25 ml air panas tersebut, kemudian
diaduk hingga homogen

12
g. Ditimbang kertas saring kosong, kemudian digunakan
h. Disaring asam salisilat pada kertas saring dengan menggunakan corong
i. Diambil residu
j. Dimasukkan kedalam oven sampai kering, agar tidak ada lagi kadar air
k. Ditimbang kertas saring yang berisi residu asam salisilat tersebut.
3.3.3 Penentuan Koefisien distribusi
1. Penentuan koefisien distribusi tanpa minyak
a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
c. Ditimbang paracetamol 0,1 gram, kemudian dilarutkan dalam 100 ml
aquadest diaduk hingga homogen
d. Diambil larutan paracetamol tersebut sebanyak 25 ml untuk dititrasi
e. Ditambahkan indicator fenoftalein sebanyak 2 tetes
f. Dititrasi dengan NaOH sebanyak 1,25 ml sampai terjadi perubahan warna
menjadi warna ungu
g. Dicatat hasilnya
h. Dihitung koefisien distribusi
3.3.4 Penentuan koefisien distribusi denga n minyak
a. Disiapkan alat dan bahan
b. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
c. Ditimbang paracetamol 0,1 gram, kemudian dilarutkan dalam 100 ml
aquadest diaduk hingga homogen
d. Diambil larutan paracetamol tersebut sebanyak 25 ml, dimasukkan kedalam
corong terpisah
e. Ditambahkan dengan minyak kelapa sebanyak 25 ml
f. Dicampurkan larutan paracetamol dan miyak kelapa dengan cara dikocok
g. Didiamkan selama beberapa menit sampai larutan paracetamol dan minyak
terpisah atau terlihat batas antara keduanya
h. Dipisahkan larutan air yang mengandung paracetamol tersebut untuk
dititrasi
i. Ditambahkan indicator fenoftalein sebanyak 2 tetes

13
j. Dititrasi dengan NaOH sebanyak 0,9 ml sampai terjadi perubahan warna
menjadi warna ungu
k. Dicatat hasilnya
l. Dihitung koefisien distribusinya.

BAB IV
HASIL PENGAMATAN
4.1 Tabel Hasil Pengamatan
4.1.1 Kelarutan
Suhu Kertas saring Kertas saring +

14
kosong residu
Normal 0, 514 g 1, 915 g

0,514 g 1, 715g
Panas
4.2 Perhitungan
4.2.1 Kelarutan
a. Berat residu
Diketahui : Kertas saring kosong (suhu normal) = 0,514 g
Kertas saring residu (suhu kamar) = 1,915 g
Kertas saring kosong (suhu panas) = 0,514 g
Kertas saring residu (suhu panas) = 1,715 g
Ditanya : Berat residu suhu normal dan panas
Penyelesaian :
Suhu normal : Kertas saring residu – kertas saring kosong
: 1,915 g – 0,514 g
: 1,401 g
Suhu panas : Kertas saring residu – kertas saring kosong
: 1,715 g – 0,514 g
: 1,201 g
b. Zat terlarut
Diketahui : Berat sampel = 2 g
Residu (suhu normal) = 1,401 g
Residu (suhu tinggi) = 1,201 g
Ditanya : Zat terlarut ?
Penyelesaian :
Suhu normal : Berat sampel – residu
: 2 g – 1,401 g
: 0,59 g
Suhu panas : Berat sampel – residu
: 2 g – 1,201 g
: 0,79 g

15
 Suhu Panas (100oC)
Zat Terlarut
Konsentrasi =
Volume Larutan
0,79 gram
=
25 ml
= 0,031 gr/ml
 Minyak
VTitran× NTitran
% Kadar dengan minyak = × 100 %
BeratSampel
2,1ml × 0,1 N
= ×100 %
0,1 gr
8,4
= × 100 %
0,1
= 84 %
VTitran× NTitran
% Kadar tanpa minyak = × 100 %
BeratSampel
1,4 ml × 0,1 N
= × 100 %
0,1 gr
5,6
= ×100 %
0,1
= 56%
 Koefisien Fase Minyak
Koefisien Fase Minyak = %Kadar minyak – %Kadar tanpa minyak
= 84 % −¿ 56 %
= 28 %
 Koefisien Distribusi
Fase Minyak
Koefisien Distribusi =
% Kadar tanpa minyak
28 %
=
56 %
= 0,5

BAB V

16
PEMBAHASAN
5.2 Pembahasan
5.2.1 Kelarutan
Kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam larutan
jenuhnya pada suhu tertentu.Larutan dalam campuran homogen bahan yang
berlainan dapat dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat didalam
cairan. Disamping itu terdapat larutan didalam kondisi padat (misalnya gelas,
bentuk kristal campur) (Voight,1995).
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan kelarutan. Sebelum
menentukan kelarutan dari suatu zat, terlebih dahulu disiapkan alat dan bahan
yang akan digunakan. Kemudian dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%.
Karena alkohol mempunyai aktivitas sebagai bakterisid yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri, dan alkohol juga mengandung antiseptik dan desinfektan
(Noviansari, dkk., 2013).
Setelah alat dan bahan dibersihkan, ditimbang sampel asam salisilat untuk
suhu normal sebanyak 2 gram dan asam salisilat untuk suhu panas sebanyak 2
gram. Selanjutnya dilarutkan asam salisilat untuk suhu normal kedalam air biasa
sebanyak 25 ml. Aduk larutan tersebut secara perlahan sampai larut. Sediakan
kertas saring kosong dan ditimbang dengan menggunakan neraca analitik, berat
kertas saring kosong yaitu 0,9960 gram. Kemudian, dijenuhkan kertas saring
kosong dengan cara dibasahi dengan aquadest, tujuan dari penjenuhan kertas
saring itu sendiri sebagai parameter tingkat kejenuhan terhadap fase gerak
(Iskandar, 2007).
Disiapkan kertas saring kosong dan ditimbang dengan menggunakan
neraca analitik, berat kertas saring kosong yaitu 0,9960 gram. Kemudian,
dijenuhkan kertas saring kosong dengan cara dibasahi dengan aquadest,tujuan dari
penjenuhan kertas saring itu sendiri sebagai parameter tingkat kejenuhan terhadap
fase gerak (Iskandar, 2007).
Asam salisilat yang sudah dilarutkan, disaring menggunakan kertas saring
yang telah ditimbang dan dijenuhkan. Pada proses penyaringan yaitu dengan
menggunakan kertas saring melalui corong, filtrat dari larutan yang berupa air

17
dimasukkan di dalam gelas kimia yang kosong dan kertas saring yang masih
basah dan berisi residu diletakkan dalam oven untuk dikeringkan dengan suhu
40ºC. Tujuan dari pengeringan itu sendiri karena dikhawatirkan berat kandungan
airnya akan berpengaruh pada nilai kelarutannya (Iskandar, 2007).
Kemudian menghitung zat terlarut dan konsentrasi dari setiap sampel,
untuk zat terlarut menghitung berat sampel dikurangi residu yang telah di hitung
sebelumnya dengan hasil yang didapatkan untuk asam salisilat yaitu 1,915 gram
dan terakhir yaitu menghitung konsentrasi dengan cara zat terlarut dibagi dengan
volume larutan dan didapatkan hasil untuk asam salisilat untuk suhu ruangan yaitu
0,514gr/ml.
Pada percobaan asam salisilat untuk suhu panas, menggunakan pelarut air
yang dipanaskan sebanyak 25 ml, kemudian dilarutkan asam salisilat tersebut
kedalam air mendidih. Aduk larutan tersebut secara perlahan sampai larut.
Disiapkan kertas saring kosong dan ditimbang dengan menggunakan neraca
analitik, berat kertas saring kosong 0,44 gram. Kemudian, dijenuhkan kertas
saring kosong dengan cara dibasahi dengan aquadest, tujuan dari penjenuhan
kertas saring itu sendiri sebagai parameter tingkat kejenuhan terhadap fase gerak
(Iskandar, 2007).
Setelah itu, larutan disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah
ditimbang dan dijenuhkan. Pada proses penyaringan digunakan kertas saring
melalui corong, filtrat dari larutan yang berupa air ditampung di dalam gelas
kimia yang kosong dan kertas saring yang masih basah dan berisi residu
diletakkan dalam oven untuk dikeringkan dengan suhu 40ºC. Tujuan dari
pengeringan itu sendiri karena dikhawatirkan berat kandungan airnya akan
berpengaruh pada nilai kelarutannya (Iskandar, 2007).
Residu asam salisilat untuk suhu panas yang sudah dikeringkan di oven
tersebut, ditimbang menggunakan kertas saring dan didapatkan hasil 1,715 gr/ml.
Berat dari kertas saring kedua sampel yang berisi residu, dihitung berat residu
dengan cara mengurangi berat kertas saring berisi residu dengan berat kertas
saring kosong, didapatkan hasil 0,514 gram. Dilanjutkan dengan menghitung zat
terlarut dan konsentrasi, zat terlarut dengan cara menghitung berat sampel

18
dikurangi residu yang telah di hitung sebelumnya didapatkan hasil yaitu 1,401
gram dan terakhir adalah menghitung konsentrasi dengan cara zat terlarut dibagi
dengan volume larutandan didapatkan hasil 0,031 g/ml. Hasil untuk asam salisilat
untuk suhu ruangan 0,59 g/ml dan asam salisilat untu suhu panas 0,079 g/ml.
Dapat disimpulkan bahwa untuk asam salisilat untuk suhu ruangan yaitu
0,59 g/ml sedangkan asam salisilat untuk suhu panas yaitu 0,079 g/ml. Suhu dapat
mempengaruhi kelarutan, asam salisilat untuk suhu panas dapat lebih mudah larut
dalam air mendidih atau pada suhu yang tinggi sedangkan asam salisilat untuk
suhu ruangan pada suhu yang lebih rendah sedikit larut dalam air. Kelarutan dari
suatu senyawa bergantung pada sifat fisika dan kimia zat terlarut dan pelarut, juga
bergantung pada temperatur, tekanan, pH larutan dan untuk jumlah yang lebih
kecil, serta bergantung pada hal terbaginya zat terlarut (Martin,1993).
5.2.2 Koefisien distribusi
Koefisien distribusi adalah suatu perbandingan kelarutan suatu zat
(sampel) di dalam dua pelarut yang berbeda dan tidak saling bercampur, serta
mempunyai harga tetap pada suhu tertentu. Pada ekstraksi cair-cair, satu
komponen bahan atau lebih dari suatu campuran dipisahkan dengan bantuan
pelarut. Ekstraksi cair-cair terutama digunakan, bila pemisahan campuran dengan
cara destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan azeotrop
atau karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak ekonomis. Metode ekstraksi
cair-cair merupakan distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua
pelarut yang tidak saling bercampur seperti benzena, karbon tetraklorida atau
kloroform. Batasannya adalah zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang
berbeda dalam kedua fase pelarut (Pratiwi, 2013).
Pada percobaan ini dilakukan penentuan koefisien distribusi dari NaOH
dan paracetamol dengan cara perbandingan persen kadar minyak dengan persen
kadar air. Pelarut yang digunakan adalah air dan minyak, dimana kedua pelarut ini
tak dapat larut satu sama lain tetapi sampel dapat larut dalam kedua pelarut
tersebut karena air merupakan pelarut polar sedangkan minyak merupakan pelarut
non polar. Hal ini disebabkan karena pada minyak terdapat karbon sehingga
menyebabkan bentuk streokimianya simetris sehingga tidak memiliki momen

19
dipol. Momen dipole menentukan suatu zat itu bersifat polar atau kurang polar
(Lachman, 1994).
Sebelum melakukan penentuan koefisisen distribusi dari suatu zat,
terlebih dahulu disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Kemudian untuk
membersihkan alat harus dibersihkan menggunakan alkohol 70%. Karena alkohol
mempunyai aktivitas sebagai bakterisid yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri, dan alkohol juga mengandung antiseptik dan desinfektan (Noviansari,
dkk., 2013).
Setelah alat dan bahan dibersihkan, ditimbang paracetamol sebanyak 0,1 g
menggunakan neraca analitik dan diukur aquadest sebanyak 1,25 ml untuk
melarutkan paracetamol hingga homogen.
Dibuat larutan NaOH 0,1 N dalam aquadest dengan cara dengan cara
menimbang NaOH padat sebanyak 0,1 gram dan dilarutkan dalam aquadest,
kemudian di aduk hingga larut dan homogen.
Setelah dilarutkan, larutan paracetamol dilakukan titrasi ditetesi dengan
indikator sampai terjadi perubahan warna. Indikator fenolptalein berfungsi untuk
menetapkan atau mengetahui titik akhir titrasi atau titik ekuivalen. Indikator
fenolftalein dipilih karena rentang pH yang dimilikinya, yaitu berkisar 8,0 - 10,0.
Karena titrasi dilakukan antara larutan asam lemah dengan basa kuat, maka akan
dihasilkan garam yang bersifat basa. Sehingga, pH garam tersebut akan berada di
atas 7,0 (Abdul, 2007).
Selanjutnya, penentuan kadar dari paracetamol yang terdistribusi minyak
adalah dengan menyiapkan corong pisah dilanjutkan dengan membersihkan
dengan alkohol 70% arena alkohol mempunyai aktivitas sebagai bakterisid yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri, dan alkohol juga mengandung antiseptik
dan desinfektan (Noviansari, dkk., 2013). Kemudian, dimasukkan larutan
paracetamol ke dalam corong pisah. Setelah itu, ditambahkan minyak sebanyak
0,9 ml lalu dikocok, tujuannya agar zat dapat mengadakan keseimbangan antara
yang larut dalam air dan yang larut dalam minyak serta gugus polar dan non polar
paracetamol dapat bereaksi dengan air dan minyak sehingga dapat dilihat pada
pelarut mana kelarutannya paling besar (Rivai, 1995).

20
Setelah paracetamol yang terdistribusi minyak dilakukan pengocokkan,
larutan tersebut didiamkan selama beberapa menit sampai campuran tersebut
terpisah menjadi dua lapisan antara minyak dan air. Setelah itu lapisan air yang
berada di bawah diambil, sedangkan lapisan minyaknya dibuang. Ini dikarenakan
lapisan air dari pengocokanlah yang akan dititrasi. Bila lapisan minyak yang
dititrasi maka akan terjadi reaksi saponifikasi (penyabunan) (Lachman, 1994).
Larutan air yang sudah dipisahkan, ditambahkan indikator fenolftalein
beberapa tetes dan dilakukan titrasi dengan larutan baku NaOH sampai terjadi
perubahan warna. Setelah memperoleh kedua volume tersebut maka dapat
dihitung % kadarnya, setelah menghitung koefisien distribusi paracetamol yaitu
-0,28% artinya bahwa paracetamol larut dalam fase air.
Dapat disimpulkan bahwa paracetamol larut dalam fase air dibandingkan
pada fase minyak. Koefisien distribusi suatu senyawa dalam dua larutan yang
tidak bercampur harus sama dengan 1, artinya bahwa senyawa tersebut
terdistribusi secara merata pada dua fase yaitu fase minyak dan fase air. Jika nilai
koefisien distribusi kecil dari 1 maka senyawa tersebut cenderung untuk
terdistribusi dalam fase air dari pada fase minyaknya (Martin, 1990).
Adapun kemungkinan kesalahan yang terjdi pada di percobaan ini,
kurangnya pemahaman praktikan dalam melakukan percobaan ini, ketidak
ketelitian pada saat mengukur banyaknya volume air yang dibutuhkan, dan
kesalahan pada saat pengocokkan.

BAB VI
PENUTUP

21
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa nilai
kelarutan asam salisilat pada suhu normal yaitu 1,401 gram dan pada suhu tinggi
yaitu 1,201 gram. Dan untuk percobaan koefisien distribusi, volume titran
paracetamol tanpa minyak 1,4 ml dan dengan minyak 2,1 ml. Dan didapati
koefisien partisi dengan minyak pada parcetamol yakni 28% dan koefisien
distribusi paracetamol yakni 0,5. Hal ini membuktikan bahwa suhu adalah salah
satu faktor yang mempengaruhi proses kelarutan suatu zat.
6.2 Saran
6.2.1 Jurusan
Sebaiknya jurusan menyediakan anggaran demi kebutuhan laboratorium
agar praktikum berjalan degan lancar.
6.2.2 Laboratorium
Sebaiknya laboratorium menyediakan sarana dan prasarana terutama pada
ketersediaan alat dan bahan agar praktikum berjalan dengan lancar.
6.2.3 Asisten
Diharapkan untuk asisten selalu menjaga hubungan baik antara praktikan
dengan asisten agar bisa menciptakan suasana praktikum yang baik dan nyaman.

22

Anda mungkin juga menyukai