Anda di halaman 1dari 100

ANALISIS KRIMINILISASI PERBUATAN PENGHINAAN TERHADAP

PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN KONSEP RKUHP 2015

Skripsi

Oleh
FITRA AGUSTAMA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK

ANALISIS KRIMINILISASI PERBUATAN PENGHINAAN TERHADAP


PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN KONSEP RKUHP 2015

Oleh
Fitra Agustama

Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden kembali di masukan kedalam
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), hal ini menimbulkan
polemik dimasyarakat, disatu pihak ada yang setuju dimasukan kembali pasal tersebut
dalam RKUHP, mengatakan bahwa Presiden dan Wapres merupakan simbol negara oleh
karenanya perlu dilindungi. Dilain pihak, yang tidak setuju khawatir pencantuman pasal
tersebut dalam RKUHP dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM, khususnya
hak untuk berekspresi dan menyatakan pendapat apalagi pasal yang serupa dalam KUHP
telah dicabut oleh MK. Permasalahan yang diteliti penulis adalah Apakah perlu adanya
kriminalisasi perbuatan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden ke dalam
RKUHP dan Bagaimanakah proses Kriminalisasi perbuatan penghinaan terhadap
Presiden dan Wakil Presiden RKUHP tahun 2015 dalam presfektif hukum pidana.

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan
pendekatan yuridis komperatif. Data penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
analitis yang menggunakan sumber data sekunder, berupa bahan – bahan kepustakaan.
Data – data yang diperoleh akan dianalisis dengan kualitatif dengan penguraian secara
deskriptif analitis dan preskriptif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa: Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden masih sangat diperlukan, karena banyak terjadi kasus penghinaan Presiden,
akibat dari kekosongan hukum, hal sangat melukai martabat Presiden dan menimbulkan
keresahan dalam masyarakat. Presiden merupakan simbol dari kedaulatan, kelangsungan
dan keagungan/kebesaran dari seorang Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala
Pemerintahan. dirasakan janggal kalau penghinaan terhadap orang biasa, orang yang
sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan
Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana sedangkan penghinaan terhadap
Presiden tidak, terlebih status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas Presiden berbeda dengan
orang biasa. Pemerintah mesti memperhatikan negara-negara lain yang secara tegas
melindungi martabat Presiden. Terlepas dari itu, Pemerintah mesti merumuskan pasal
martbat Presiden ini harus cermat dan teliti agar tidak terjadi lagi muncul pasal multi
tafsir dan tidak mencederai demokrasi. Proses Kriminalisasi tindak pidana melalui
beberapa tahapan yaitu harus memperhatikan kriteria-kriteria atau faktor-faktor
kriminaliasasi dan dalam proses pembentukan undang-undangnya mesti berdasar asas
kriminaliasasi yaitu, asas legalitas, asas subsidaritas dan asas persaman/kesamaan hukum.
Fitra Agustama
Disarankan hendaknya Aturan Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
dipertahankan di RKUHP, karena masih sangat diperlukan di Indonesia, untuk
melindungi martabat Presiden dan Wakil Presiden dan dalam penyusunannya aturan
Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden mesti dibentuk dengan cermat
dan hati-hati tiap rumusan pasalnya dan mesti ada pengawasan dari para pihak penegak
hukum agar tidak terjadi lagi penyalahgunaan undang-undang seperti pasal sebelumnya
yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Kata kunci: Kriminalisasi Perbuatan Penghinaan, Presiden dan Wakil Presiden,


RKUHP
ANALISIS KRIMINILISASI PERBUATAN PENGHINAAN TERHADAP
PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN KONSEP RKUHP 2015

Oleh

Fitra Agustama

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Judul Skripsi : Analisis Kriminalisasi Penghinaan
Terhadap Presiden Dan Wakil Presiden
Konsep RKUHP 2015

Nama Mahasiswa : Fitra Agustama


No. Pokok Mahasiswa : 1412011156

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H. Muhammad Farid, S.H., M.H.


NIP. 19550106 1980032001 NIP.19840805 2014041001

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Eko Raharjo, S.H., M.H.


NIP. 19610406 1989031003
MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua Penguji : Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H. ....................................

Sekretaris/Anggota : Muhammad Farid, S.H., M.H. ....................................

Penguji Utama : Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H. ....................................

2. Dekan Fakultas Hukum

Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H.


NIP. 196003101 987031002

Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 15 Februari 2019


SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Fitra Agustama


No. Pokok Mahasiswa : 1412011156
Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul : “Kriminalisasi


Perbuatan Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden Konsep
RKUHP 2015” adalah asli hasil penelitian dan hasil karya saya sendiri dengan
mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang berlaku.

Skripsi ini bukan merupakan plagiarisme, pencurian hasil karya milik orang lain
untuk kepentingan saya ataupun pada hakekatnya bukan merupakan karya tulis
saya secara orisinil dan otentik.

Pernyataan ini saya buat dengan kesadaran sendiri dan tidak atas tekanan ataupun
paksaan dari pihak maupun. Semoga surat pernyataan ini dapat dipertanggung
jawabkan dan digunakan sebagaimana mestinya.

Bandar Lampung, 7 Febuari 2019


Penulis

Fitra Agustama
NPM. 1412011156
RIWAYAT HIDUP

Peneliti dilahirkan di Kecamatan Kedaton, Kota Bandar

Lampung pada tanggal 21 Februari 1996 dan merupakan anak

pertama dari 2 (Dua) bersaudara dari pasangan Bapak

Agustam dan Ibu Ernani.

Pendidikan yang telah diselesaikan adalah TK Dharma Wanita lulus pada tahun

2002, , lalu melanjutkan Sekolah Dasar Negeri 2 Rawa laut Bandar Lampung lulus

pada tahun 2008, lalu melanjutkan Sekolah Menengah 22 Bandar Lampung yang

diselesaikan pada tahun 2011, lalu peneliti melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas

15 Bandar Lampung yang lulus pada tahun 2014.

Pada tahun 2014 peneliti terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Bandar Lampung. Peneliti Mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sendang

Sari Kecamatan Sendang Agung Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung

pada 17 januari – 26 Februari tahun 2017. Selanjutnya peneliti melakukan

penelitian untuk menyelesaikan Skripsi.


MOTO

Orang besar bukan orang yang otaknya sempurna tetapi orang yang mengambil
sebaik-baiknya dari otak yang tidak sempurna

(Nabi Muhammad SAW)

Orang bodoh itu tidak banyak mikir, yang penting terus melangkah. Orang pintar
kebanyakan mikir, akibatnya tidak pernah melangkah

(Bob Sadino)

Kebaikan ibu & ayah tidak akan pernah bisa terbalaskan dengan cara
apapun,tetapi setidaknya balaslah kebaikan mereka dengan tidak membuat
mereka kecewa itu sudah cukup bagi mereka

(Penulis)
PERSEMBAHAN

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rakhmat dan hidayahnya yang telah
memberikan kekuatan, kesehatan dan kesabaran untuk ku dalam mengerjakan
skripsi ini.Sholawat dan salam semoga selalu terlimpahkan keharibaan
Rasullullah SAW.

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Ayah dan Ibu,Sebagai orang tua penulis yang telah membesarkan,mendidik,dan


membimbing penulis menjadi sedemikian rupa,selalu memberikan kasih dan
sayangnya yang tulus dan memberikan do’a yang tidak pernah putus untuk setiap
langkah yang penulis lewati serta tidak pernah meninggalkan penulis walaupun
dalam keadaan terpuruk sekalipun.

Adikku Putri Agustin yang selalu memjadi motivasi penulis untuk selalu berbuat
yang terbaik agar penulis dapat menjadi seorang panutan.

Kakek dan Nenek yang selalu mendukung dan mendo’akan penulis.

Teman-teman yang selalu membantu penulis di saat senang dan susah.

Serta kepada seluruh keluarga besar penulis yang tidak dapat di sebutkan satu
persatu untuk selalu mendo’akan dan mendukung keberhasilan penulis.

Almamater Tercinta Universitas Lampung


SANWACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, Tuhan sekalian alam yang maha kuasa atas bumi, langit dan seluruh

isinya, serta hakim yang maha adil di hari akhir nanti, sebab hanya dengan

kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:

“Kriminalisasi Perbuatan Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil

Presiden Konsep RKUHP 2015” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Shalawat dan

salam tak lupa semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai

pembawa Rahmatan Lil’Aalaamiin.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan

terselesaikannya skripsi ini penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari

berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan

terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung sekaligus Pembahas I yang telah banyak memberikan

saran dan masukannya.

2. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan Bagian

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


4. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang telah

banyak meluangkan banyak waktu untuk penulis hanya untuk memberikan

saran, masukan dan nasihat-nasihat yang sangat berguna bagi penulis.

5. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., selaku Pembahas II atas kesabarannya

membimbing penulis, serta banyak memberikan masukan-masukan yang

berguna untuk kebaikan penulis.

6. Bapak Muhammad Farid, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah

banyak meluangkan banyak waktu untuk penulis hanya untuk memberikan

saran, masukan dan nasihat-nasihat yang sangat berguna bagi penulis.

7. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik atas

kesabarannya membimbing, membina dan menasehati penulis dari awal

masuk kuliah hingga akhir kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., yang telah bersedia menjadi Narasumber serta

memberikan saran kepada penulis demi terselesaikannya skripsi ini.

9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

memberikan ilmu yang sangat berguna dan berharga selama menempuh studi.

10. Yang tercinta dan tersayang Ayah dan Ibu atas kasih sayang, semangat,

nasihat-nasihat, motivasi, dan juga yang terpenting do’a yang selalu di

berikan kepada penulis.

11. Seluruh keluarga besarku yang selalu memberikan dorongan dan do’a selama

pembuatan skripsi ini.

12. Sahabat Sahabatku Tercinta Denny Arsyad, Dirham Fathurusi, Donatus

Deska, Erdian Husni, Nur Setiawan, Faiz Rabbani, Tetuko Nadigo, Dedy

Septianto, Gendis Indriyati, Filza Elrizza, Darius Darmanta, Atas Bantuan

dan Do’a selama ini.


13. Teman-Teman KKN Tematik 2017 Kampung Sendang Sari Kecamatan Sendang

Agung Kabupaten Lampung Tengah Dandy Wiranaldi, Septryanda Baratama,

Dwi Arum, Rahmanindya, Yolanda Dwi, dan Zefni Aprilia atas bantuan,

dukungan dan kerjasamanya.

14. Seluruh Angkatan 2014, Terutama Teman-Teman Jurusan Hukum Pidana 2014

atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya.

15. Semua pihak yang tidak dapat di sebutkan satu-persatu yang telah membantu

penulis menyelesaikan skripsi ini,terima kasih atas semua bantuan, kerelaan dan

dukungannya.

16. Almamater tercinta Universitas Lampung.

Penulis berdo’a semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah di berikan akan

mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT,dan akhirnya penulis berharap

semoga skripsi ini bermanfaat.

Bandar Lampung, 7 Februari 2019

Penulis,

Fitra Agustama
DAFTAR ISI

Halaman
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..............................................................................1


B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup....................................................8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.................................................................9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual............................................................10
E. Sistematika Penulisan................................................................................16

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Kebijakan Pidana...........................................................18


B. Tinjauan Umum Kebijakan Kriminalisasi.................................................22
C. Tinjauan Umum Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden......................26
D. Tinjauan Umum Presiden dan Wakil Presiden........................................34

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah..................................................................................37
B. Sumber dan Jenis Data..............................................................................38
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data...........................................39
D. Analisis Data.............................................................................................41
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Kriminalisasi Perbuatan Penghinaan Terhadap Presiden


Dan Wakil Presiden Dalam RKUHP........................................................42
B. Proses Kriminalisasi Perbuatan Penghinaan Terhadap Presiden Dan Wakil
Presiden Dalam RKUHP Dalam Presfektif Hukum Pidana......................64

V. PENUTUP

A. Simpulan....................................................................................................79
B. Saran..........................................................................................................81

DAFTAR PUSTAKA
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia saat ini, sedang berlangsung usaha untuk memperbaharui Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai bagian dari usaha pembaharuan

hukum nasional yang menyeluruh. Usaha pembaharuan itu dilakukan, tidak hanya

karena alasan bahwa KUHP yang sekarang ini dianggap tidak sesuai lagi dengan

tuntutan perkembangan masyarakat, tetapi juga karena KUHP tersebut tidak lebih

dari produk warisan penjajahan Belanda, dan karenanya tidak sesuai dengan

pandangan hidup bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.1

Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berinisiatif

untuk melakukan pergantian KUHP peninggalan Belanda dengan mengajukan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tanggal 11 Desember 2012,

Pemerintah telah menyerahkan rancangan undang-undang KUHP kepada DPR. 2

Namun di dalam rancangan tersebut terjadi polemik, pemerintah

mengkriminalisasikan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil

Presiden. Kriminalisasi pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden

ini dimaksudkan agar dapat melindungi martabat Presiden dan Wakil Presiden

sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Hal ini karena perkembangan

1
Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Angkasa, 1996, hlm. 1.
2
https://nasional.kompas.com/read/2013/04/08/11392836
2

dimasyarakat dan kemudahan dalam menyatakan pendapat maupun kritik

terhadap pemerintah maupun terhadap Presiden yang terlalu bebas. Pasal

penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden tersebut termuat dalam

RKUHP, yang diatur pada Pasal 263 dan Pasal 264, yaitu:

Pasal 263:
(1) Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV.
(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau
pembelaan diri.
Pasal 264:
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan
atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau mendengarkan rekaman
sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden dan
Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum, di
pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori IV.

Pasal 263 dan Pasal 264 RKUHP secara substansi sama dengan Pasal 134, Pasal

136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang juga mengatur mengenai delik pidana

penghinaan terhadap Presiden dan Wapres. Untuk lebih jelasnya Pasal 134, Pasal

136 bis, dan Pasal 137 KUHP, yaitu:

Pasal 134:
Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam
dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 136Bis:
Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 mencakup
juga perumusan perbuatan dalam Pasal 315, jika hal itu dilakukan diluar
kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun
tidak di muka umum dengan lisan atau tulisan, namun di hadapan lebih dari
empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya
dan oleh karena itu merasa tersinggung.
3

Pasal 137:
1. Barangsiapa menyiarkan, mempertunjuk-kan, atau menempelkan di muka
umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau
Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih
diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan
pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya
pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semcam itu juga, maka
terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencaharian tersebut

Sebelumnya banyak orang yang telah didakwa dan dipidana karena telah

melanggar pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang diatur

dalam KUHP. Beberapa aktivis ditangkap pada tahun 1995, antaranya Sri Bintang

Pamungkas divonis 10 bulan penjara, terlibat aksi demonstrasi anti-soeharto di

Jerman.3 Nanang dan Mudzakir (aktivis mahasiswa) divonis 1 tahun penjara,

terlibat melakukan aksi demonstrasi dengan menginjak-injak gambar Megawati

Seokarno Putri dalam unjuk rasa di depan Istana Merdeka, pada tahun 2002 atas

kenaikan harga listrik, telepon, dan BBM.4 Selanjutnya tahun 2003, Ketua

Gerakan Pemuda Islam (GPI) M Iqbal Siregar harus mendekam 5 bulan di penjara

setelah demonstrasi dan berorasi di Istana Merdeka.5 Supratman, redaktur harian

nasional Rakyat Merdeka (RM) juga divonis hukuman selama 6 bulan dan

dihukum masa percobaan 12 bulan.6

3
Dian Cahyanigrum, “Polemik Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden Dalam RKUHP”,
Vol. V, No.08/II/P3DI/April/2013, hlm. 2.
4
Ibid.
5
Supriyadi Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar, Menelisik Pasal-Pasal Proteksi Negara
dalam RUU KUHP: Catatan Kritis terhadap Pasal-Pasal Tindak Pidana Ideologi, Penghinaan
Martabat Presiden, dan Penghinaan terhadap pemerintah, Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional
Reformasi KUHP, 2007, hlm. 22.
6
Ibid., hlm. 24.
4

Masa pemerintahan Presiden Megawati, kebijakannya menjadi sorotan utama dan

banyak suara-suara dari masyarakat yang tidak puas atas kebijakannya itu,

akibatnya terjadi demonstrasi besar-besaran diseluruh Indonesia Kondisi tersebut

membuat Presiden Megawati menggunakan kembali pasal-pasal penghinaan

martabat yang ada dalam KUHP Indonesia yang sering digunakan era Soeharto

untuk membungkam lawan-lawan politiknya, Megawati kemudian menggunakan

pasal tersebut untuk mengkriminalisasi para demonstran.7

Kebijakan tersebut masih berlanjutnya pada masa Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono. Tahun 2005, I Wayan Gendo Suardana yang saat itu menjabat (Ketua

Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) ditangkap dan divonis

hukuman 6 bulan penjara karena mengkritik kebijakan kenaikan BBM. 8 Gerakan

Mahasiswa Nasionalis Indonesia, Monang J Tambunan, juga divonis penjara

selama 6 bulan, dengan sengaja menghina Presiden SBY di depan umum pada

Mei 2005.9 Akhirnya pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden

dianggap membelenggu kebebasan untuk menyatakan pendapat. Tahun 2006,

Mahkamah Konstitusi menerima pemohonan uji materi (judicial review) oleh

Eggi Sudjana dan Pendapotan Lubis terkait Pasal KUHP 134, 136Bis, 137 KUHP

tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden karena dianggap

bertentangan bertentangan dengan Pasal 28, 28E ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945

yang berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan

lisan, tulisan, dan bekspresi. 6 Desember 2006, MK mengabulkan permohonan uji

materi tersebut dan memutuskan melalui Putusan MK No. 013-022/ PUU-IV/2006

7
Ibid.
8
Dian Cahyanigrum, Op. Cit, hlm. 2
9
Ibid.
5

dinyatakan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan

dengan UUD Tahun 1945, oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat.

Berdasarkan pemamparan diatas harus ada keseriusan pemerintah dalam

merumuskan suatu aturan atau perundangan-undangan secara jelas, permasalahan

pokok pada pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang

terdahulu, terjadi pada unsur-unsur pasalnya yang memiliki arti luas, tidak ada

secara jelas menjelaskan pendapat, kritik, dan penghinaan itu yang seperti apa, hal

ini yang menimbulkan masalah dalam penerapannya. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa berpendapat adalah kebebasan yang

mengacu pada sebuah hak untuk berbicara atau berpendapat secara bebas tanpa

ada pembatasan, kecuali dalam hal menyebarkan kejelekan. Sedangkan kritik

adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk

meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki

pekerjaan. Mengkritik ada caranya yaitu :

1. Menyampaikan kelebihan dan kekurangan.


2. Menyertakan alasan yang logis.
3. Menyampaikan jalan keluar (solusi permasalahan).
4. Mengungkapkan dengan bahasa yang santun.
5. Menghindari kalimat yang menyinggung perasaan orang lain

Penghinaan adalah pencemaran terhadap nama baik seseorang yang dilakukan

secara lisan; tulisan penghinaan: tulisan yang mengakibatkan kerugian orang lain

atau mencemarkan nama baik orang lain. Berdasarkan pemamparan tersebut jelas

perbedaan berpendapat, mengkritik, maupun penghinaan. Jadi dalam perumusan


6

pasal harus jelas perbedaan pendapat, kritik maupun penghinaan. Agar tidak lagi

terjadi penyalahgunaan undang-undang oleh pemerintah.

Wicipto Setiadi, Kepala BPHN dan anggota Tim Perumus RKUHP,

mengemukakan bahwa dasar pertimbangan Tim Perumus RKUHP merumuskan

kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres dalam RUU KUHP

adalah untuk melindungi Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan

personifikasi atau simbol kenegaraan.10 Pembuatan pasal tersebut tidak mengarah

pada sesuatu yang disebut sebagai perilaku anti demokrasi. Oleh karena itu

menurut Wicipto, semua orang diperkenankan untuk mengkritik Presiden dan

Wapres asal tidak disertai dengan penghinaan.

Pencantuman pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres dalam RKUHP

menimbulkan polemik di masyarakat.11Beberapa pihak yang setuju antara lain

pakar hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Zulfirman, yang berpendapat

bahwa Presiden adalah Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, juga

menjadi simbol negara Indonesia yang berdaulat.12 Di sisi lain, Presiden juga lekat

dengan kepentingan negara dan kekuasaan negara sehingga perlu norma hukum

yang mengatur tentang martabat dan kehormatannya agar tetap terjaga dengan

baik, sedangkan menurut Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly menilai,

perlu adanya regulasi yang membatasi segala bentuk penghinaan atau pencemaran

nama baik Presiden. Jika tidak, maka siapa pun bisa bebas menghina Presiden.

Yasonna menambahkan, tidak masalah jika Presiden dikritik kelemahananya

10
Dian Cahyanigrum, “Polemik Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden Dalam RKUHP”,
Vol. V, No.08/II/P3DI/April/2013, hlm. 3.
11
Ibid.
12
Ibid.
7

selama menjabat sebagai kepala negara.13 Namun, jika kritik tersebut menjurus ke

arah penghinaan, bahkan fitnah, maka perlu adanya tindakan tegas. Pakar lain

yang setuju adalah Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto

Seno Adji, yang berpendapat bahwa Pasal 263 RKUHP tidak perlu dicabut dan

harus tetap dipertahankan karena secara universal aturan tentang penghinaan

terhadap kepala negara maupun simbol-simbol kenegaraan hingga kini masih

tetap dipertahankan.14 Namun, yang perlu dievaluasi adalah bentuk deliknya yang

semula delik formil menjadi delik materiil sehingga perbedaan pendapat dan

freedom of opinion tidak merupakan kriminal atau pidana. Menurut Indriyanto,

Pemerintah telah melaksanakan amanat putusan MK karena telah mengubah delik

pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres yang semula formil menjadi

materiil.

Sementara pihak yang tidak setuju di antaranya adalah Ketua Presidium Indonesia

Police Watch (IPW) Neta S Pane, berpendapat bahwa pencantuman pasal

penghinaan kepada Presiden dalam RKUHP dianggap telah melanggar konstitusi

dan legalitasnya dipertanyakan karena MK telah mencabut pasal serupa dalam

KUHP. Selain Neta S Pane, beberapa anggota DPR-RI juga tidak sependapat jika

pasal penghinaan kepada Presiden dan Wapres dimasukkan dalam RKUHP, di

antaranya Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III dari FPDIP yang menilai

pasal penghinaan kepada Presiden akan menghidupkan politisi “penjilat” selain

juga dapat menurunkan kualitas demokrasi.15 Hal ini menimbulkan polemik dalam

masyarakat, disatu pihak setuju kriminalisasi pasal penghinaan Presiden dan

13
https://nasional.kompas.com/read/2015/08/10/18123331
14
Dian Cahyanigrum, Op. Cit, hlm. 3.
15
Ibid.
8

Wakil Presiden dalam RKUHP karena Presiden dan Wakil Presiden sebagai

simbol negara harus dilindungi, terlebih ketentuan tersebut berlaku universal.

Sementara pihak yang tidak setuju khawatir pasal tersebut dapat melanggar HAM

untuk berekpresi dan mengeluarkan pendapat, terlebih lagi pasal serupa dalam

KUHP telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan

dibahas dan dikemukakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Mengapa perlu adanya kriminalisasi terhadap perbuatan penghinaan terhadap

Presiden dan Wakil Presiden di dalam RKUHP ?

b. Bagaimanakah proses kriminalisasi perbuatan penghinaan terhadap Presiden

dan Wakil Presiden RKUHP dalam prespektif hukum pidana ?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan permasalahan diatas, maka dalam pembahasan berkenaan dengan

Kriminalisasi Tentang perbuatan Penghinaan Terhadap Presiden Dan Wakil

Presiden Konsep RKUHP 2015.


9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang akan dibahas, maka tujuan penelitian adalah :

a. Untuk mengetahui apakah perlu adanya kriminalisasi penghinaan terhadap

Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP.

b. Untuk mengetahui bagaimanakah proses kriminalisasi perbuatan penghinaan

terhadap Presiden dan Wakil Presiden RKUHP dalam presfektif hukum

pidana.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memeberikan

manfaat serta sebagai bahan masukan bagi pengembangan ilmu hukum

khusus nya hukum pidana dengan mengungkapkan secara objektif tentang

Analisis Kriminalisasi perbuatan Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil

Presiden Konsep RKUHP 2015.

b. Kegunaan Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran terhadap masyarakat agar mengetahui bahwa tentang

Analisis Kriminalisasi perbuatan Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil

Presiden Konsep RKUHP 2015.


10

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori menurut Soejono Soekanto adalah konsep-konsep yang

sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil penelitian atau kerangka acuan

yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-

dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.16

a. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Istilah kebijakan hukum pidana dapat juga disebut dengan istilah politik hukum

pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal

dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau

straftrechh politiek.17

Pengertian kebijakan hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari

politik kriminal. Menurut. Sudarto, politik hukum adalah:18

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu saat,

2. Kebijakan dari Negara maupun badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan biasa

16
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, hlm. 125.
17
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana, 2016, hlm.
29.
18
Ibid., hlm. 159.
11

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Selanjutnya Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana

berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana

yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam

kesempatan lain beliau menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana

berarti “usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai

dengan keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.”

Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum

pidana memiliki arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan

suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian dapat dilihat

pula dalam definisi penal policy dari Marc Ancel yang secara singkat dapat

dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”. 19

Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang

berhubungan dalam hal-hal:20

a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum


pidana.
b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi
masyarakat.
c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum
pidana.
d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam
rangka mencapai tujuan lebih besar.

19
Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan
Komputer, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1999, hlm. 10.
20
Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Jakarta: Djambatan,
2007, hlm. 29.
12

Demikian politik hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya pemerintah untuk

menanggulangi kejahatan dengan membuat suatu kebijakan yaitu hukum pidana di

sesuaikan dengan kondisi masyarakat dan kebutuhan masyarakat serta hukum

tersebut dapat mengatur masyarakat dalam rangka keadilan, kesejahteraan dan

keamanan masyarakat itu sendiri dan tercapainya tujuan suatu pemerintahan atau

cita-cita bangsa.

b. Teori Kriminalisasi

Kebijakan kriminalisasi merupakan menetapkan perbuatan yang semula bukan

tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam suatu peraturan perundang-

undangan. Hakikatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan

kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana, dan oleh karena itu

termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana.21

Dalam rangka menanggulangi kejahatan diperlukan berbagai sarana sebagai

reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sanksi pidana

maupun non pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apalagi

sarana pidana dianggap relevan untuk menanggulangi kejahatan, berarti

diperlukan konsepsi politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan

situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 22 Menurut

Moeljatno ada tiga kriteria kriminalisasi dalam proses pembaruan hukum pidana.

21
Barda Nawawie Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : PT Citra Aditya
Bakti, 2008, hlm. 2-3.
22
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1983, hlm. 109.
13

Pertama, penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan terlarang (perbuatan

pidana) harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Kedua, apakah ancaman pidana dan penjatuhan pidana itu adalah jalan yang

utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan tersebut. Ketiga, apakah

pemerintah dengan melewati alat-alat negara yang bersangkutan, betul-betul

mampu untuk benar-benar melaksanakan ancaman pidana kalau ternyata ada

yang melanggar larangan.23

Muladi mengingatkan mengenai beberapa ukuran yang secara doktrinal harus

diperhatikan sebagai pedoman dalam kriminalisasi, yaitu sebagai berikut :24

a. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan overkriminalisasi yang


masuk kategori the misuse of criminal sanction
b. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc
c. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban victimizing baik aktual
maupun potensial
d. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip
ultimum remedium
e. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable
f. Kriminalisasi harus mampu memperoleh dukungan publik.
g. Kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitet mengakibatkan bahaya
bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali
h. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana
membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat
penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.

Pandangan lain dikemukakan oleh Soedarto yang mengungkapkan bahwa dalam

menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan sebagai berikut:25

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan


nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini,
23
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Bina Cipta, 1985), hlm. 5.
24
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang 1995,
hlm. 256.
25
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 44.
14

(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan


mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan
yang mendatangkan kerugian (materiil atau spiritual atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil (cost benefit principle).
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

2. Konseptual

Konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan

istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris. 26 Hal

ini dilakukan, dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan

penelitian. Maka disini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan

konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam

penafsiran terhadap beberapa istilah.

Istilah-istilah yang dimaksud adalah:

1. Analisis

Analisis adalah cara pemeriksaan salah satu soal, dengan tuuuan menemukan

sautu unsur dasar, hubungan antar unsur-unsur nya yang

bersangkutan.1KriminalisasiKriminalisasi adalah suatu kebijakan menetapkan

perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana

26
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, hlm. 124.
15

dalam peraturan perundang-undangan

2. Perbuatan

Perbuatan adalah sesuatu yang dperbuat (dilakukan);tindakan.

3. Penghinaan

Penghinaan adalah secara harafiahnya adalah tindakan untuk menjadikan

seseorang itu rendah diri "humble", atau menjatuhkan taraf seseorang itu

dalam masyarakat. Bagaimanapun, istilah ini mempunyai banyak persamaan

dengan emosi atau perasaan malu.

4. Presiden dan Wakil Presiden

Presiden dan Wakil adalah jabatan kepala negara dan wakil kepala negara

sekaligus kepala pemerintahan Indonesia dan wakil kepala pemerintahan

Indonesia

5. Rancangan

Rancangan adalah kajian mengenai penentuan kerangka dasar pembentukan

sebuah peraturan atau undang-undang baru.

6. KUHP

KUHP adalah kitab undang-undang hukum pidana yang dibentuk sebagai

suatu aturan yang digunakan oleh Negara untuk menyelenggarakan ketertiban

umum.
16

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hukum ditujukan untuk dapat memberikan gambaran yang

lebih jelas, komperhensif dan menyeluruh mengenai bahasan dalam penulisan

hukum yang akan disusun. Agar pembaca dapat dengan mudah memahami isi

dalam penulisan skripsi ini dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka

skripsi ini disusun dalam 5 (lima) Bab dengan sistematika penulisan adalah

sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat

dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan yang dianggap penting disertai

pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat tujuan dan

kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta

sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka

teori meliputi tinjauan umum kebijakan hukum pidana, tinjauan umum

kriminalisasi, tinjauan umum penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden

serta tinjauan umum Presiden dan Wakil Presiden.


17

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian

berupa langkah-langkah yang dapat digunakan dalam melakukan pendekatan

masalah, penguraian, tentang sumber data yang di dapat dari berbagai

literatur/buku hukum, KUHP, dan RKUHP, serta jenis data serta prosedur

analisis data yang telah didapat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan tentang hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan

penelitian ini dengan mendasarkan pada rumusan masalah antara lain Apakah

perlu adanya kriminalisasi perbuatan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil

Presiden Konsep RKUHP 2015 dan Bagaimanakah proses kriminalisasi

perbuatan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden RKUHP dalam

prefektif hukum pidana.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat

berisikan hasil pembahasan daripenelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan

serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.


18

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebijakan Hukum Pidana

Istilah “kebijakan” di ambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek”

(Belanda). kebijakan hukum pidana dapat disebut juga politik hukum pidana, ini

sering dikenal berbagai istilah antara lain “penal policy”, “criminal law policy”,

atau “strafrechtspolitiek”.27

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum

maupun dari politik kriminal. Menurut Prof Sudarto, “Politik Hukum” adalah:

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

keadaan dari situasi pada suatu saat.28

b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapakan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan

untuk mencapai apa yang dicita-citakan.29

Berdasarkan dari pengertian Sudarto selanjutnya menyatakan bahwa

melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk


27
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana, 2016, hlm.
26.
28
Ibid., hlm. 159.
29
Ibid., hlm. 20.
19

mencapai hasil peraturan perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan gaya guna.30 Marc Ancel mengemukakan, penal

policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan

praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumusukan secara lebih

baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya pembuat undang-undang, tetapi

juga kepada pengadilan yang menetapkan undang-undang dan juga kepada

penyelengara atau pelaksana putusan pengadilan.31

Menurut A. Mulder, Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menetukan:32

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau


diperbaharui;
b. Apakah yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.

Berdasarkan pendapat A. Mulder di atas, kebijakan atau politik hukum pidana

ialah garis kebijakan untuk menentukan seberapa jauh ketentuan-ketentuan

pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui, artinya menyangkut urgensi

pembaruan hukum pidana; kemudian untuk menentukan apa yang dapat diperbuat

untuk mencegah terjadinya tindak pidana, artinya menyangkut upaya pencegahan

tindak pidana; serta untuk menentukan cara bagaimana penyidikan, penuntutan,

peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan, artinya berkaitan dengan

upaya penanggulangan kejahatan melalui sistem peradilan pidana.

Tahapan proses pembentukan kebijakan hukum pidana, yaitu:33

30
Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana – dalam perlindungan korban kejahatan ekonomi di
bidang perbankan, Malang: Bayumedia, 2007, hlm. 18.
31
Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 23.
32
Ibid., hlm. 27.
33
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit
UNDIP, 2002, hlm. 25.
20

1. Tahap Formulatif

Tahap formulatif adalah penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan

pembuat Undang-Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang

melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan

situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam

bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil

perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan

dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.

2. Tahap Aplikasi

Tahap aplikasi adalah tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan

hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian

sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas

menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang

telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini,

aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan

daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

3. Tahap Eksekusi

Tahap Eksekusi adalah tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret

oleh aparataparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana

pidana bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang

telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang

telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan


21

yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat aparat pelaksana

pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan

perundang-undangan pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan

nilai-nilai keadilan suatu daya guna. Ketiga tahap pelaksanaan dari politik

hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang

sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan

suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber dari

nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang

berhubungan dalam hal-hal:34

a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum


pidana.
b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi
masyarakat.
c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum
pidana.
d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam
rangka mencapai tujuan lebih besar.

Demikian politik hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya pemerintah untuk

menanggulangi kejahatan dengan membuat suatu kebijakan yaitu hukum pidana di

sesuaikan dengan kondisi masyarakat dan kebutuhan masyarakat serta hukum

tersebut dapat mengatur masyarakat dalam rangka keadilan, kesejahteraan dan

keamanan masyarakat itu sendiri dan tercapainya tujuan suatu pemerintahan atau

cita-cita bangsa.

B. Tinjauan Umum Kriminalisasi

34
Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Jakarta: Djambatan,
2007, hlm. 29.
22

1. Pengertian Kriminalisasi

Kriminalisasi (criminalization) merupakan objek studi hukum pidana materiil

(substantive criminal law) yang membahas penentuan suatu perbuatan sebagai

tindak pidana (perbuatan pidana atau kejahatan) yang diancam dengan sanksi

pidana tertentu. Perbuatan tercela yang sebelumnya tidak dikualifikasikan sebagai

perbuatan terlarang dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam dengan

sanksi pidana.35 Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan

atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh

masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan

yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana.36

Soetandyo Wignjosoebroto mengemukakan bahwa kriminalisasi ialah suatu

pernyataan bahwa perbuatan tertentu harus dinilai sebagai perbuatan pidana yang

merupakan hasil dari suatu penimbanganpenimbangan normatif (judgments) yang

wujud akhirnya adalah suatu keputusan (decisions). Kriminalisasi dapat pula

diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan

yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang

dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana.

Pengertian kriminalisasi dapat pula dilihat dari perspektif nilai. Dalam hal ini

yang dimaksudkan dengan kriminalisasi adalah perubahan nilai yang

menyebabkan sejumlah perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan yang

tidak tercela dan tidak dituntut pidana, berubah menjadi perbuatan yang
35
Salman Luthan, Asas dan Kriteria Kriminalisasi, Jurnal Hukum, No.1/Vol/16/Januari/2009,
hlm. 1.
36
Soerjono Soekanto, Kriminologi, Jakarta: Suatu Pengantar, 1981, hlm. 62.
23

dipandang tercela dan perlu dipidana. Dalam perspektif labeling, kriminalisasi

adalah keputusan badan pembentuk undang-undang pidana memberi label

terhadap tingkah laku manusia sebagai kejahatan atau tindak pidana.37Pengertian

kriminalisasi tersebut di atas menjelaskan bahwa ruang lingkup kriminalisasi

terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang diancam

dengan sanksi pidana. Namun menurut Paul Cornill, pengertian kriminalisasi

tidak terbatas pada penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dan dapat

dipidana, tetapi juga termasuk penambahan (peningkatan) sanksi pidana terhadap

tindak pidana yang sudah ada.38

Hullsman mengajukan beberapa kriteria absolut yang perlu diperhatikan dalam

proses kriminalisasi, yaitu sebagai berikut:39

a. Kriminalisasi seharusnya tidak ditetapkan semata-mata atas keinginan untuk

melaksanakan suatu sikap moral tertentu terhadap suatu bentuk perilaku

tertentu;

b. Kriminalisasi tidak boleh berakibat melebihi kemampuan perlengkapan

peradilan pidana;

c. Kriminalisasi seharusnya tidak boleh dipergunakan sebagai suatu tabir

sekedar pemecahan yang nyata terhadap suatu masalah.

37
Hugh D. Barlow, Introduction to Criminology, Third Edition, Boston: Little Brown and
Company, 1984, hlm. 9.
38
Paul Cornill, “Criminality and Deviance in a Changing Whorld”, Ceramah pada Kongres PBB
IV 1970 mengenai Prevention of Crime and treatment of Offender.
39
Hullsman sebagaimana dikutip Roeslan Saleh dalam, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum
Pidana, Jakarta; Sinar Grafika, 1988, hlm. 87
24

Adapun menurut Moeljatno ada tiga kriteria kriminalisasi dalam proses

pembaruan hukum pidana. Pertama, penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan

terlarang (perbuatan pidana) harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup

dalam masyarakat. Kedua, apakah ancaman pidana dan penjatuhan pidana itu

adalah jalan yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan

tersebut. Ketiga, apakah pemerintah dengan melewati alat-alat negara yang

bersangkutan, betulbetul mampu untuk benar-benar melaksanakan ancaman

pidana kalau ternyata ada yang melanggar larangan.40 Muladi mengingatkan

mengenai beberapa ukuran yang secara doktrinal harus diperhatikan sebagai

pedoman dalam kriminalisasi, yaitu sebagai berikut :41

a. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan overkriminalisasi yang


masuk kategori the misuse of criminal sanction
b. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc
c. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban victimizing baik aktual
maupun potensial
d. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip
ultimum remedium
e. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable
f. Kriminalisasi harus mampu memperoleh dukungan publik.
g. Kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitet mengakibatkan bahaya
bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali
h. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana
membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat
penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.

Pandangan lain dikemukakan oleh Soedarto yang mengungkapkan bahwa dalam

menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan sebagai berikut:42

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan


nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata

40
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Bina Cipta, 1985, hlm. 5.
41
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang 1995,
hlm. 256.
42
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 44.
25

materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini,


(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan
yang mendatangkan kerugian (materiil atau spiritual atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil (cost benefit principle).
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

2. Manfaat Kriminalisasi

Untuk menentukan manfaat kriminalisasi, dapat diawali dengan satu pertanyaan

yaitu apakah kriminalisasi lebih banyak membawa manfaat atau tidak kepada

masyarakat? Tidak mudah mengukur manfaat kriminalisasi karena adanya

kesulitan membedakan efek pencegahan bertahap dalam skema kriminalisasi

tertentu dari efek-efek yang bisa dicapai dengan metode non-pidana melalui

peraturan hukum maupun sarana-sarana kontrol sosial lain. Di samping itu,

adanya kesulitan menghitung dampak perilaku tertentu dalam kriminalisasi.

Tidak mudah mengukur manfaat kriminalsasi juga berkaitan dengan adanya

fakta bahwa „kriminalisasi‟ adalah sebuah variabel yang dengan sendirinya bisa

dimanipulasi karena efek keperilakuan akan tergantung pada definisi perilaku

yang dilarang.
26

C. Tindak Pidana Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden

Penghinaan berasal dari Bahasa Belanda “Belediging” atau dalam Bahasa Inggris

“Offence” yang secara historis memiliki makna sebagai tindakan sengaja merusak

martabat seseorang termasuk nama baik, kehormatan dan sebagainya.43

Menurut Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa, pemaknaan terhadap tindak

pidana penghinaan harus dikembalikan kepada ketentuan pidana mengenai

penghinaan, yaitu Pasal 310 KUHP yang mengatur bahwa penghinaan adalah

perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.44 Sependapat

dengan Moch. Anwar menegaskan pada distingsi antara tindakan penghinaan

dengan tindakan menista.45 Untuk dapat memahami pengertian dari tindak pidana

penghinaan, Moch. Anwar melakukan interpretasi otentik atas Pasal 310 KUHP

sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa penghinaan adalah perbuatan

menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Menurutnya pengertian

penghinaan tidak ditafsirkan secara jelas, hingga harus dihubungkan dengan Pasal

310. Dalam Pasal 310, perbuatan yang dilarang dalam penistaan adalah dengan

sengaja melanggar kehormatan atau nama baik orang. Dengan demikian,

penghinaan harus ditafsirkan sebagai perbuatan dengan sengaja yang melanggar

kehormatan atau nama baik.

43
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris,
Jakarta: PT. Aneka Ilmu, 1997, hlm. 128.
44
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: PT. Refika,
2002, hlm. 96.
45
H. A. K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus: KUHP Bagian II, Jilid I, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1994, hlm. 52.
27

Perbedaan antara penistaan dan penghinaan terletak dalam cara melakukannya,

yaitu penistaan dimaksudkan dengan menuduh orang lain dengan suatu perbuatan

tertentu, sedangkan penghinaan biasa dilakukan dengan kata-kata atau perbuatan,

asal tidak dengan tuduhan melakukan suatu perbuatan tertentu. 46 Jadi Penghinaan

dapat dipahami secara umum yaitu tindakan merusak martabat seseorang

termasuk nama baik, kerhomatan dan sebagainya. Delik Penghinaan terhadap

martabat Presiden dan Wakil Presiden kembali diatur didalam RKUHP berada

dalam Buku II Bab II pasal tindak pidana terhadap martabat Presiden dan Wakil

Presiden, di Bagian Kedua, penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil

Presiden yaitu pada Pasal 263 dan Pasal 264 RKUHP secara isi substansi hampir

sama dengan rumusan pasal-pasal tindak pidana martabat presiden dalam Bab II

KUHP yakni Pasal 134, 136Bis, dan 137 KUHP. Dapat dilihat dari skema

dibawah sebagai berikut:

Tabel. I
Skema Perbandingan RKUHP dan KUHP terkait Tindak Pidana Penghinaan

Presiden dan Wakil Presiden

RKUHP KUHP
Pasal 263 Pasal 134
(1) Setiap orang yang di muka umum Penghinaan dengan sengaja terhadap
menghina Presiden atau Wakil Presiden atau Wakil Presiden diancam
Presiden, dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling lama
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau enam tahun, atau pidana denda paling
pidana denda paling banyak kategori banyak empat ribu lima ratus rupiah
IV.
(2) Tidak merupakan penghinaan jika
perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) jelas dilakukan untuk
kepentingan umum, demi kebenaran,
atau pembelaan diri.

46
Ibid.
28

Pasal 264 Pasal 136Bis


Setiap orang yang menyiarkan, Pengertian penghinaan sebagaimana
mempertunjukan, atau menempelkan dimaksud dalam Pasal 134 mencakup
tulisan atau gambar sehingga terlihat juga perumusan perbuatan dalam Pasal
oleh umum atau mendengarkan 315, jika hal itu dilakukan diluar
rekaman sehingga terdengar oleh kehadiran yang dihina, baik dengan
umum, yang berisi penghinaan terhadap tingkah laku di muka umum, maupun
Presiden dan Wakil Presiden dengan tidak di muka umum dengan lisan atau
maksud agar isi penghinaan diketahui tulisan, namun di hadapan lebih dari
umum, di pidana dengan pidana penjara empat orang, atau di hadapan orang
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana ketiga, bertentangan dengan
denda paling banyak kategori IV. kehendaknya dan oleh karena itu
merasa tersinggung.

Pasal 137
1. Barangsiapa menyiarkan,
mempertunjuk-kan, atau menempelkan
di muka umum tulisan atau lukisan
yang berisi penghinaan terhadap
Presiden atau Wakil Presiden, dengan
maksud supaya isi penghinaan
diketahui atau lebih diketahui oleh
umum, diancam dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan
atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
2. Jika yang bersalah melakukan
kejahatan pada waktu menjalankan
pencariannya, dan pada saat itu belum
lewat dua tahun sejak adanya
pemidanaan yang menjadi tetap karena
kejahatan semacam itu juga, maka
terhadapnya dapat dilarang
menjalankan pencaharian tersebut.
Sumber: KUHP dan RKUHP

KUHP merupakan kodifikasi hukum pidana yang merupakan warisan kolonial

yakni Wetboek van Strafrecht Voor Nederlands Indie 1915, yang merupakan

turunan dari Wetboek van Strafrecht warisanNegeri Belanda tahun 1886. Masa

kolonial Belanda, Pasal 134, Pasal 136Bis, dan Pasal 137 digunakan untuk

melindungi martabat raja atau ratu di Belanda. Dengan menggunakan asas

konkordasi, pasal-pasal tersebut kemudian digunakan untuk melindungi aparatur


29

dan kebijakan kolonial Belanda di Indonesia. Indonesia merdeka 17 agustus

1945, terjadi kekosongan hukum, maka melalui UU No 1 Tahun 1946,

pemerintah Indonesia menggunakan KUHP yang merupakan warisan Belanda

dengan perubahan dan penyesuaian, Pasal 134, Pasal 136Bis, dan Pasal 137

diubah menggantikankata raja atau ratu dengan presiden atau wakil presiden.

Masa Orde Baru, terjadi banyak penyalahgunaan pasal-pasal ini, yakni untuk

melindungi kepentingan pemerintah yang diwakili oleh Presiden dan Wakil

Presiden. Konsep martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam pasal-pasal ini

kemudian menjadi alat “perlindungan kebijakan pemerintah dari kritik” oleh

karena itu pada masa itu siapa yang melakukan kritik dan demonstrasi terhadap

pemerintah kemudian dianggap melakukan penghinaan terhadap Presiden

sekaligus dianggap sebagai anti pemerintah.47 Akibatnya bisa diduga, produk

hukum ini yakni Pasal 134, 136bis dan 137 KUHP sering dijadikan jerat untuk

warga negara baik individu maupun kelompok yang berseberangan dengan

pemerintah. Akhirnya Pasal 134, 136 Bis dan 137 KUHP itu pun dibatalkan oleh

MK karena bertentangan dengan UUD 1945 yang mengekang kebebasan dalam

berpendapat. Berdasarkan kerangka sejarah pasal mengenai penghinaan terhadap

martabat presiden diatur untuk melindungi raja/ratu dan keluarganya dari

penghinaan yang merendahkan martabat mereka, namun Pasal ini tidak

kehilangan relevansinya dalam kerangka negara demokratis.48 Sehingga ia

menjadi sebuah keharusan untuk tetap mengikat. Penghinaan terhadap Martabat


47
Supriyadi Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar, Menelisik Pasal-Pasal Proteksi Negara
dalam RUU KUHP: Catatan Kritis terhadap Pasal-Pasal Tindak Pidana Ideologi, Penghinaan
Martabat Presiden, dan Penghinaan terhadap pemerintah, Jakarta: ELSAM dan Aliansi Nasional
Reformasi KUHP, 2007, hlm. 43.
48
Butje Tampi, “Kontroversi Pencantuman Pasal Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil
Presiden Dalam KUHP yang akan datang”, Vol III/No.9/Agustus2016, hlm. 21.
30

Presiden haruslah dipandang sebagai bentuk kebijakan yang melindungi negara

dari celaan sosial dan melindungi dari serangan politik yang secara sosial akan

mengganggu ketertiban dalam masyarakat.49RKUHP, tindak pidana penghinaan

terhadap Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 263 dan Pasal 264.

Pasal 263 secara lengkap menjelaskan:

(1) Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda

paling banyak kategori IV.

(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau

pembelaan diri

Berdasarkan umusan tersebut dapat kita lihat ada dua komponen utama dalam

pasal tersebut antara lain, yaitu :

1. di muka umum

2. menghina Presiden dan Wakil Presiden

Selanjutnya di dalam Pasal 264 secara lengkap menjelaskan:

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau

gambar sehingga terlihat oleh umum atau mendengarkan rekaman sehingga

terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden dan Wakil

Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum, di pidana dengan

49
Ibid.
31

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak

kategori IV”.

Berdasarkan rumusan tersebut dapat kita lihat ada beberapa komponen utama
dalam pasal tersebut antara lain, yaitu :

1. Menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar;


2. Terlihat oleh umum;
3. Memperdengarkan rekaman;
4. Terdengar oleh umum;
5. Yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden; dan
6. Dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum.

Berdasarkan seluruh komponen diatas tidak ada penjelasan secara jelas, yang

menjelaskan tiap komponen pasal tersebut. Tetapi penjelasan atas komponen-

komponen pasal tersebut dapat dilihat dalam pasal-pasal lainnya di dalam

RKUHP yakni, terdapat dalam BAB XIX mengenai Tindak Pidana Penghinaan,

sebagai berikut:

Tabel. II
Skema Pasal BAB XIX mengenai Tindak Pidana Penghinaan Yang Menjelaskan
Komponen Pasal 264 Tindak Pidana Penghinaan Presiden Secara Tidak Langsung
Pasal Isi Pasal
Pasal 537 (Pencemaran) (1) Setiap orang yang dengan lisan menyerang
kehormatan atau nama baikorang lain dengan cara
menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal
tersebut diketahui umum, dipidana karena
pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau denda dengan pidana kategori II.
(2) Jika tindak pidana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan tulisan atau gambar yang
disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di
tempat umum, pembuat tindak pidana dipidana
karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau denda dengan pidana
kategori III.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran
32

tertulis, jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat


(1) dan ayat (2) nyata-nyata dilakukan untuk
kepentingan umum atau karena terpaksa untuk
membela diri.
Pasal 538 (1) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana
(Fitnah) dimaksud dalam Pasal 537 diberi kesempatan
membuktikan kebenaran hal yang dituduhkan tetapi
tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut
bertentangan dengan yang diketahuinya, dipidana
karena fitnah, dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 5 (tahun) atau denda
paling sedikit kategori III dan denda paling banyak
kategori IV.

Pasal 540 Penghinaan yang tidak bersifat penistaan atau


(Penghinaan Ringan) penistaan tertulis yang dilakukan terhadap seseorang
baik di muka umum dengan lisan atau tulisan,
maupun di muka orang yang dihina tersebut secara
lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan
yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya,
dipidana karena penghinaan ringan, dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
dengan pidana kategori II.
Pasal 542 (1) Setiap orang yang dengan suatu perbuatan
(Pengaduan Fitnah) menimbulkan persangkaan secara palsu terhadap
seseorang bahwa orang tersebut melakukan suatu
tindak pidana, dipidana karena menimbulkan
persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (tahun)
atau denda paling sedikit kategori III dan denda
paling banyak kategori IV.

Pasal 544 Setiap orang yang dengan suatu perbuatan


(Persangkaan Palsu) menimbulkan persangkaan secara palsu terhadap
seseorang bahwa orang tersebut melakukan suatu
tindak pidana, dipidana karena menimbulkan
persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling
banyak Kategori IV.
33

Pasal 545 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan terhadap


(Pencemaran Orang Mati) orang yang sudah mati, yang apabila orang tersebut
masih hidup perbuatan tersebut akan merupakan
pencemaran atau pencemaran tertulis, dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
dengan pidana kategori II.
(2) Pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud
ayat (1) tidak dituntut, kecuali ada pengaduan dari
salah seorang keluarga sedarah maupun semenda
dalam garis lurus atau menyamping sampai derajat
kedua dari orang yang telah mati tersebut atau atas
pengaduan suami atau istrinya.
(3) Dalam masyarakat sistem keibuan pengaduan
dapat juga dilakukan oleh orang lain yang
menjalankan kekuasaan bapak.

Sumber: RKUHP

D. Tinjauan Umum Tentang Presiden dan Wakil Presiden

1. Pengertian Presiden dan Wakil Presiden

Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia) adalah

kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala negara,

Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala

pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri dalam

kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas

pemerintah sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun,

dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali

masa jabatan.50

50
https://id.wikipedia.org/wiki/Presiden_Indonesia
34

Wewenang, kewajiban, dan hak Presiden antara lain:51

1. Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD;


2. Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,
dan Angkatan Udara;
3. Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas
RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU;
4. Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam
kegentingan yang memaksa);
5. Menetapkan Peraturan Pemerintah;
6. Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri;
7. Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
dengan persetujuan DPR;
8. Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR
9. Menyatakan keadaan bahaya;
10. Mengangkat duta dan konsul. Dalam mengangkat duta, Presiden
memperhatikan pertimbangan DPR;
11. Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan
DPR;
12. Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung
13. Memberi remisi, amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
DPR;
14. Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya yang diatur dengan
UU;
15. Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih oleh DPR
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
16. Menetapkan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
dan disetujui DPR;
17. Menetapkan hakim konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden, DPR, dan
Mahkamah Agung;
18. Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan
persetujuan DPR

2. Perlindungan Presiden dan Wakil Presiden Sebagai Simbol Negara

Beberapa negara perlindungan Presiden di junjung tinggi dan hampir selalu

ditemukan aturan yang mengatur hal tersebut. Misalnya Negara Thailand dalam

Konstitusi Thailand yang pada bagian 8 menyatakan bahwa, “The King shall be

enthroned in a position of revered worship and shall not be violated. No person


51
Ibid.
35

shall expose the King to any sort of accusation or action.” Kejahatan terhadap

penghinaan ini disebut lèse-majesté. Sedangkan Di negara Jerman diatur dalam

Deutsches Strafgesetzbuch, kejahatan terhadap Presiden dikualifikasi sebagai

kejahatan yang membahayakan negara hukum yang demokratis.52 Begitu juga

sama halnya apabila kita menilik ke negara tetangga sesama ASEAN yaitu

Singapura dan Malaysia yang juga sangat menjunjung tinggi kepala negara nya,

dan sangat ketat pengaturannya mengenai pencemaran nama baik kepala

negaranya.53

Presiden dan Wakil Presiden dipandang sebagai personifikasi dari negara itu

sendiri. Penghinaan pada hakikat merupakan perbuatan yang sangat tercela

(dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai- nilai kemasyarakatan dan nilai-

nilai hak asasi manusia), karena “menyerang/merendahkan martabat

kemanusiaan” (menyerang nilai-universal), oleh karena itu, secara teoritik

dipandang sebagai “rechtsdelict”, “intrinsically wrong”, “mala per se” danoleh

karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara. 54 Presiden sebagai

Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara, dirasakan janggal kalau penghinaan

terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang

kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan

tindak pidana, sedangkan penghinaan terhadap Presiden tidak, terlebih

status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas Presiden berbeda dengan orang biasa,

dilihat dari sudut sosiologis, hukum dan ketata-negaraan.55


52
Aditya Septian Wicaksono*, R.B. Sularto, Hasyim Asy'ari, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap
Formulasi Perbuatan Pencemaran Nama Baik Presiden Sebagai Perlindungan Simbol Negara,
Diponogoro law review, Vol. 5 Nomor 2 Tahun 2016, hlm. 5.
53
Ibid.
54
Naskah Akademik RKUHP, hlm. 214.
55
Ibid.
36
37

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara

menganalisanya.56 Pendekatan masalah dalam penelitian ini mengunakan

yuridis normatif dan yuridis komperatif.

Pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan yang dilakukan

berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-

konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan

pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan

perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian

ini. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang

dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.

Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat

mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata.57

Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute

aproach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengetahui

keseluruhan peraturan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia.

56
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm 43.
57
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988), hlm. 13.
38

Pendekatan yuridis komperatif ini dilakukan dengan membandingkan

peraturan hukum ataupun putusan pengadilan di suatu negara dengan

peraturan hukum di negara lain (dapat 1 negara atau lebih), namun haruslah

mengenai hal yang sama. Perbandingan dilakukan untuk memperoleh

persamaan dan perbedaan di antara peraturan hukum/putusan pengadilan

tersebut.

B. Sumber Data dan Jenis Data

Penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara

langsung dari bahan-bahan pustaka yang diperoleh langsung dari masyarakat

dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari

bahan-bahan pustaka yang umumnya dinamakan data sekunder.58Data dalam

penulisan ini menggunakan data sekunder yang didukung dengan data primer

melalui wawancara akademisi, data sekunder merupakan data yaitu bahan

pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku perpustakaan

peraturan perundang-undangan, karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen

yang berkaitan dengan materi penelitian. Dari bahan hukum sekunder tersebut

mencakup dua bagian, yaitu:59

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan

58
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 12.
59
Ibid., hlm. 3.
39

hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peraturan

perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Rancangan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (RKUHP) serta peraturan perundang-undangan lainnya yang

dapat mendukung dalam penelitian ini.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, yaitu Naskah Akademik RKUHP, hasil-hasil penelitian, hasil

karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.

C. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengelolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

a. Studi Perpustakaan

Prosedur pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini menggunakan

langkah-langkah studi kepustakaan. Studi Kepustakaan yaitu studi kepustakaan

yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca,

mempelajari, dan mencatat hal-hal penting dari berbagai buku literatur,

perundang-undangan, artikel dan informasi lain yang berkaitan dengan

penelitian ini.

b. Studi Lapangan

Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden. Untuk memperoleh
40

data tersebut dilakukan dengan studi lapangan dengan cara menggunakan

metode wawancara. Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan

dengan studi pustaka, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan

penelusuran dan menelaah bahan pustaka (literatur, hasil penelitian, majalah

ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah dsb) yang berkaitan dengan penelitian ini.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis yang telah diperoleh

sesuai dengan permasalahan yang di teliti. Pengolahan data dilakukan dengan

tahapan sebagai berikut:

A. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan

data, selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti

dalam penelitian ini.

B. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-

kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang

benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

C. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling

berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada

subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

D. Analisis Data

Analisis data adalah menyederhanakan data dalam bentuk yang mudah dibaca

dan diindentifikasi. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini


41

menggunakan metode normati-kualitatif. Penguraian sistematis terhadap

gejala atau data yang diperoleh dalam penelitian ini, mula – mula dengan

menyajikan data yang sejauh mungkin disajikan secara kuantitatif. Data yang

diperoleh itu kemudian dianalisis dengan kualitatif dengan penguraian secara

deskriptif analitis dan preskriptif.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


42

A. Latar Belakang Kriminalisasi Perbuatan Penghinaan Terhadap Presiden

Dan Wakil Presiden Konsep RKUHP Tahun 2015

Pembaharuan hukum pidana nasional merupakan upaya peninjauan dan

pembentukan kembali hukum pidana yang sesuai dengan perkembangan situasi

dan kondisi masyarakat sekarang dan nilai-nilai sesuai dengan kepribadian

bangsa. Pembaharuan hukum pidana bertujuan agar hukum pidana dapat

menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang semakin maju. Penyusunan

Rancangan Kitab Undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan salah satu upaya

pembaharuan hukum pidana yang secara politik bahwa Indonesia adalah negara

merdeka mesti memiliki KUHP yang bersiat nasional dan secara sosiologis

mencerminkan nilai-nilai kepribadian bangsa.

RKUHP tersebut kembali memasukan pasal penghinaan terhadap Presiden dan

Wakil Presiden hal ini menimbulkan perdebatan dimasyarakat, karenakan pasal

penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden di dalam KUHP pada tanggal 7

Desember 2006 telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi dan dianggap

bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum yang mengikat. Awal

Juni 2015 lalu, pemerintah kembali memasukan materi tersebut ke dalam draft

RKUHP yang diserahkan ke DPR. Materi tersebut diatur dalam Pasal 263 dan

Pasal 264, yang berbunyi:

Pasal 263

(1) Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
43

paling banyak Kategori IV.

(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan

diri.

Aturan itu diperluas melalui Pasal 264 yang menyatakan :

"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan

atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman

sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau

Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui

umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda

paling banyak Kategori IV.”

Pasal ini menimbulkan perdebatan dan polemik dimasyarakat, ada pihak yang

setuju dicantumkan kembali pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pihak

yang setuju, beranggapan bahwa Presiden adalah Kepala Negara sekaligus Kepala

Pemerintahan, dan menjadi simbol negara Indonesia yang berdaulat. Di sisi lain,

Presiden juga lekat dengan kepentingan negara dan kekuasaan negara sehingga

perlu norma hukum yang mengatur tentang martabat dan kehormatannya agar

tetap terjaga dengan baik. Sedangkan pihak yang tidak setuju berpendapat bahwa

pencantuman pasal penghinaan terhadap Presiden dalam RKUHP dianggap telah

melanggar konstitusi dan legalitasnya dipertanyakan karena MK telah mencabut

pasal serupa dalam KUHP dan ditakutkan pasal tersebut dapat membelegu rakyat

dalam berdemokrasi.
44

Menurut pendapat Erna Dewi,60 pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil

Presiden kembali dimasukan kedalam RKUHP, karena terjadi kekosongan hukum

yang mengatur masalah martabat Presiden mesti adanya pelindungan khusus,

terlebih terjadi banyak kasus penghinaan Presiden, padahal Presiden merupakan

Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara yang mesti di hormati dan merupakan

simbol negara. Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dan Wakil

Presiden mesti dipertahankan, tapi dalam rumusan pasal mesti dibuat dengan hati-

hati dan mesti ada pengawasan dari para pihak penegak hukum agar tidak terjadi

lagi penyalahgunaan undang-undang seperti pasal sebelumnya. Tanggapan

terhadap pendapat Erna Dewi, penulis setuju bahwa pengaturan pasal penghinaan

terhadap Presiden dan Wakil Presiden mesti tetap dipertahankan dan dalam tahap

formulasinya, mesti jelas unsur-unsur pasalnya agar tidak kembali disalahgunakan

atau menjadi pasal multi tafsir yang dapat membelegu rakyat dalam berdemokrasi.

Menurut penulis juga, pasal penghinaan Presiden ini masih sangat dibutuhkan

untuk menjaga martabat Presiden, karena Presiden merupakan perwujudan simbol

dari sebuah negara. Oleh karenanya perlu adanya kriminalisasi aturan tentang

penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden di dalam RKUHP.

Kriminalisasi merupakan menetapkan perbuatan yang semula bukan tindak

pidana menjadi suatu tindak pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Menurut Moeljatno ada tiga kriteria kriminalisasi dalam proses pembaruan

hukum pidana. Pertama, penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan terlarang

(perbuatan pidana) harus sesuai dengan perasaan hukum yang hidup dalam

masyarakat. Kedua, apakah ancaman pidana dan penjatuhan pidana itu adalah

jalan yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan tersebut.


60
Wawancara Erna Dewi, Dosen Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung, 22 Agustus 2018.
45

Ketiga, apakah pemerintah dengan melewati alat-alat negara yang bersangkutan,

betul-betul mampu untuk benar-benar melaksanakan ancaman pidana kalau

ternyata ada yang melanggar larangan.61 Menurut penulis, kriminalisasi perbuatan

penghinan Presiden dan Wakil Presiden sudah memenuhi kriteria krimanalisasi,

perbuatan penghinaan terhadap Presiden ini menimbulkan keresahan dimasyarakat

dan tidak sesuai dengan hukum yang hidup dimasyarakat untuk saling

menghormati, terlebih lagi itu adalah Presiden merupakan Kepala Negara

sekaligus Kepala Pemerintahan yang merupakan simbol negara sebagai

pemegang kekuasaan tertinggi dan juga merupakan hasil dari pilihan rakyat.

Bermula dari keprihatinan terutama di era kebebasan informasi baik pada media

cetak maupun elektronik serta prilaku masyarakat sehari-hari. Terdapat gejala

sosial dimasyarakat bahwa menghina, memaki, menghujat, mengumpat, bahkan

menjelek-jelekan Presiden atau Wakil Presiden dengan bahasa-bahasa atau

tindakan yang tidak layak. Hal ini bisa dilihat dari banyak kasus penghinaan

Presiden dan Wakil Presiden, dari masa kepemimpinan Presiden Jokowi

sekarang.

Tabel

Beberapa Kasus Penghinaan Terhadap Presiden Joko Widodo

Tanggal Nama Keterangan Kasus


23 Oktober 2014 Muhammad Arsyad Secara sengaja melakukan penghinaan
terhadap presiden Joko Widodo dan
mantan presiden Megawati Soekarno
putri melalui akun facebook

61
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Bina Cipta, 1985), hlm. 5.
46

29 Desember 2016 Jamil Adil Polisi menangkap Jamil Adil karena


menghina Presiden dan Kapolri dengan
tulisan penghinaan dan caci-maki
kepada Presiden Jokowi dan Kapolri.
27 Februari 2017 Ropi Yatsman Dia ditangkap karena diduga
mengunggah dan menyebarkan
sejumlah konten gambar hasil editan
dan tulisan di media sosial bernada
ujaran kebencian dan penghinaan
terhadap pemerintah, di antaranya
Presiden Joko Widodo
5 Agustus 2017 Sri Rahayu Penangkapan dilakukan terkait sejumlah
unggahan Sri yang berbau permusuhan,
SARA, dan hoax. Unggahan berupa
gambar dan tulisan di akun Facebook
Sri ini diketahui berisi beragam konten
kebencian. Antara lain konten SARA
terhadap Suku Sulawesi dan Ras China,
penghinaan terhadap Presiden, parpol,
ormas, serta konten hate speech, dan
berita hoax.
6 Juni 2017 Muhammad Said mengunggah konten yang diduga
mengandung unsur penghinaan terhadap
Presiden Jokowi dan Kapolri di akun
facebooknya. Dalam postingannya
mengandung unsur fitnah dan
pencemaran nama baik terhadap
Presiden dan Kapolri.
21 Juli 2017 Izal Polri menangkap pelaku dugaan ujaran
kebencian kepada Presiden Joko
Widodo. karena mengunggah sejumlah
gambar yang diduga mengandung unsur
penghinaan terhadap Presiden Jokowi.
"Selain menghina Presiden Jokowi,
pelaku juga melakukan penghinaan
terhadap partai, ormas, Polri dan
kontennya berisi hatespeech dan hoax
23 Mei 2018 RJ (18) seorang remaja 16 tahun, inisial RJ,
dengan sengaja menghina Presiden
Jokowi melalui sebuah video yang
berisi penghinaan terhadap Presiden
Jokowi yang diunggah di media sosial,
yang pada akhirnya ditangkap oleh
Polda Metro Jaya
47

Banyaknya kasus Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden, masa kepemimpinan

Presiden Jokowi mengundang keprihatian, Presiden sebagai Kepala Pemerintahan

dan juga merupakan simbol negara, tidak mestinya dihina maupun dimaki-maki.

Maka jalan yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan tersebut

adalah ancaman pidana dan penjatuhan pidana. Para penegak hukum di Indonesia

sudah jelas siap dan mampu untuk benar-benar melaksanakan ancaman pidana

kalau ternyata ada yang melanggar. Maka jelas kriminalisasi perbuatan

penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden sudah memenuhi syarat kriteria

kriminalisasi dan sudah seharusnya dimasukan dalam RKUHP. Banyak kasus

penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden ini, apabila dibiarkan dan tidak

diiringi dengan adanya sanksi hukum yang tegas, lama-kelamaan akan berpotensi

mengganggu keamanan, ketentraman, dan ketertiban selain juga dapat memicu

konflik dimasyarakat.62 Setiap negara pastinya melindungi dan menjaga martabat

Presiden dan Wakil Presidennya yang mana merupakan simbol negara dan

Kepala Negara.

Berdasarkan teori politik hukum pidana, Sudarto menyatakan bahwa

melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau

menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti “usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan

dan situasi pada waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.” Menurut
62
Zaqiu Rahman, “Wacana Pasal Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Dalam RUU KUHP”,
28/Agustus/2015, hlm. 1.
48

penulis, dengan pemerintah mengkriminalisasi perbuatan penghinaan terhadap

Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP, hal ini merupakan keputusan yang

tepat dalam politik hukum pidana demi mencapai hasil perundang-undangan

pidana yang paling baik untuk menegakkan norma hukum, mencegah perbuatan

tindak pidana, dan menyelesakan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

mendatangkan rasa aman dalam masyarakat dan memulihkan keseimbangan

dalam kehidupan masyarakat, akan tetapi tetap pemerintah harus juga cermat dan

teliti dalam membuat formulisasi aturan pasal penghinaan terhadap Presiden ini

agar pasal tersebut tidak menjadi pasal multi tafsir seperti pasal sebelumnya.

Aturan mengenai perlindungan martabat Presiden dan Wakil Presiden, terdapat

hampir setiap KUHP di dunia terutama terdapat pada negara Turki, Polandia, dan

Islandia yang secara tegas mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden dan

Wakil Presiden dalam KUHP, dalam setiap masing-masing negara memiliki

aturan atau kebijakan yang berbeda, dalam hal ini penulis akan memaparkan

formulasi, aturan mengenai perlindungan martabat Presiden dan Wakil Presiden

dalam beberapa negara tersebut, dengan perbandingan hukum, hal ini berguna

untuk perkembangan hukum pidana nasional sebagai berikut:

A. Turki

Article 299 Insulting Turkishness, the Republic, the organs and institutions
of the State
1. Any person who publicly denigrates Turkishness, the Republic or the Grand
National Assembly of Turkey shall be sentenced to 6 months to 3 years of
imprisonment.
2. Any person who publicly denigrates the Government of Republic of Turkey,
the judicial institutions of the State, the military or security organizations shall
be sentenced to 6 months to 2 years imprisonment.
49

3. Where denigration of Turkishness is committed by a Turkish citizen in


another country, the sentence shall be increased by one third.
4. Expression of thoughts intended to criticize shall not constitute a crime.

Terjemahan:
Bagian 299 Menghina Negara Turki, Republik, Organ dan Lembaga Negara

1. Setiap orang yang secara terbuka melakukan pencemaran nama baik terhadap
Negara Turki, Republik atau Majelis Nasional Agung Turki akan dijatuhi
pidana 6 bulan dan paling lama 3 tahun penjara.
2. Setiap orang yang secara terbuka melakukan pencemaran nama baik
Pemerintah Republik Turki, lembaga peradilan Negara, militer atau
organisasi keamanan akan dijatuh 6 bulan dan paling lama 2 tahun penjara.
3. Bila pencemaran nama baik dilakukan oleh warga turki di negara lain,
hukuman harus ditingkatkan sepertiga.
4. Menyatakan pendapat yang dimaksudkan untuk mengkritik tidak merupakan
kejahatan.

KUHP Turki secara tegas melindungi martabat Presiden dan Wakil Presiden dari

penghinaan maupun pencemaran nama baik, bahkan memberi proteksi lembaga

pemerintahan dari lembaga peradilan sampai militer secara jelas diatur pada Pasal

299 ayat 2 dan juga bila pencemaran nama baik dilakukan oleh warga turki di

negara lain, hukuman sampai ditingkatkan sepertiga. Hal ini menunjukan bahwa

lembaga negara terutama Presiden dan Wakil Presiden merupakan perwujudan

simbol negara dan mesti dilindungi. Dalam Pasal 299 ayat ke 4 menyatakan

pendapat yang dimaksud kritikan terhadap pemerintah itu diperbolehkan. Jadi

dalam KUHP Turki tidak melarang berpendapat maupun mengkritik kinerja

pemerintahan asal tidak di sertai dengan penghinaan yang melukai martabat

lembaga pemerintah.

B. Polandia

Article 133 Offences against the Republic of Poland


50

Whoever insults the Nation or the Republic of Poland in public shall be subject to
the penalty of the deprivation of liberty for up to 3 years.
Terjemahan:
Pasal 133 Pelanggaran terhadap Republik Polandia

Siapa pun yang menghina Negara atau Republik Polandia di depan umum akan
dikenakan hukuman perampasan kebebasan hingga 3 tahun

Article 135 Offences against the Republic of Poland

1. Whoever commits an active assault on the President of the Republic of


Poland shall be subject to the penalty of the deprivation of liberty for a term
of between 3 months and 5 years.
2. Whoever insults the President of the Republic of Poland in public shall be
subject to the penalty of the deprivation of liberty for up to 3 years.

Terjemahan:

Pasal 135 Pelanggaran terhadap Republik Polandia

1. Siapa pun yang melakukan serangan aktif terhadap Presiden Republik


Polandia akan dikenakan hukuman 3 bulan dan paling lama 5 tahun penjara.
2. Siapa pun yang menghina Presiden Republik Polandia di depan umum akan
dikenakan hukuman paling lama 3 tahun Penjara.

Article 216 Offences against Honour and Personal Inviolability

1. Whoever insults another person in his presence, or though in his absence but
in public, or with the intention that the insult shall reach such a person, shall
be subject to a fine or the penalty of restriction of liberty.
2. Whoever insults another person using the mass media, shall be subject to a
fine, the penalty of restriction of liberty or the penalty of deprivation of
liberty for up to one year.
3. If the insult was caused by the provocative conduct of the insulted person, or
if the insulted person responded with a breach of the personal inviolability or
with a reciprocal insult, the court may waive the imposition of a penalty.
4. In the event of a conviction for the offence specified in § 2, the court may
decide to impose a compensatory payment to the benefit of the injured
person, the Polish Red Cross or towards another social cause indicated by the
injured person.
5. Prosecution shall be by private accusation

Terjemahan:
51

Pasal 216 Pelanggaran terhadap Kehormatan dan Pelanggaran Pribadi

1. Siapa pun yang menghina orang lain di hadapannya, atau meskipun dalam
ketidakhadirannya tetapi di depan umum, atau dengan maksud bahwa
penghinaan akan mencapai orang seperti itu, harus dikenakan denda atau
hukuman penjara.
2. Siapa pun yang menghina orang lain menggunakan media massa, harus
dikenakan denda, hukuman penjara atau hukuman perampasan paling lama 1
tahun.
3. Jika penghinaan itu disebabkan oleh perilaku provokatif dari orang yang
dihina, atau jika orang yang dihina menanggapi dengan pelanggaran
pelanggaran pribadi atau dengan penghinaan timbal balik, pengadilan dapat
mengesampingkan pengenaanan hukuman.
4. Dalam hal keyakinan untuk pelanggaran yang ditentukan dalam ayat 2,
pengadilan dapat memutuskan untuk memaksakan pembayaran kompensasi
untuk kepentingan orang yang terluka, Palang Merah Polandia atau terhadap
penyebab sosial lain yang ditunjukkan oleh orang yang terluka.
5. Penuntutan harus dengan tuduhan pribadi

KUHP Polandia mengatur pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden pada

Pasal 135 ayat 2 dalam pasal tersebut menjelaskan Siapa pun yang menghina

Presiden Republik Polandia di depan umum akan dikenakan hukuman paling

lama 3 tahun penjara. Pasal tersebut memberi proteksi terhadap Presiden dan

Wakil Presiden dari penghinaan di depan umum. KUHP Polandia Pasal 216

penghinaan terhadap pribadi, tidak jauh berbeda unsur pasalnya pada pasal

penghinaan terhadap Presiden hanya ancam hukumannya lebih ringan hanya 1

tahun. Hal ini menunjukan bahwa Presiden dan Wakil Presiden yang kedudukan

sebagai pemimpin negara dan kepala pemerintahan, tidak bisa disamakan dengan

pribadi personal, maka sanksi ancaman hukumannya berbeda.

C. Islandia

Article 99 Offences against the Constitution of the State and its Supreme
Administration
52

In case a person do anything which is aimed at destroying the life of [the


President or a person in whom the power of the President is vested this will be
subject to imprisonment for no less than 6 years.
Terjemahan:
Pasal 99 Pelanggaran terhadap Konstitusi Negara dan Administrasi
Tertinggi

Dalam hal seseorang melakukan apa pun yang bertujuan menghancurkan


kehidupan [Presiden] 1) atau [seseorang yang diberi kekuasaan oleh Presiden] 1)
ini akan dikenai hukuman penjara tidak kurang dari 6 tahun.

Article 101 Offences against the Constitution of the State and its Supreme
Administration

In case an act to which penalty is applied in Chapter XXIII, XXIV or XXV of the
present Act is performed against the President or a person in whom the power of
the President is vested and the offence be not subject to Art. 99 or 100 the penalty
to which the offence is subject will be increased, but not more, however, than that
it shall be doubled
[In case such an act be aimed at the President next-of-kin so that it may be opined
that the offence be aimed at his/her home, penalty may be increased to such an
extent that up to half thereof be added thereto.]
Terjemahan:
Pasal 101 Pelanggaran terhadap Konstitusi Negara dan Administrasi
Tertinggi

Dalam hal penerapan hukuman dalam Bab XXIII, XXIV, atau XXV dari
peraturan ini dilakukan terhadap Presiden atau seseorang yang kepadanya
kekuasaan Presiden dipegang dan pelanggaran menjadi tindak tunduk pada Pasal
99 atau Pasal 100, hukuman yang menjadi pokok pelanggaran akan ditingkatkan,
tetapi tidak lebih dari itu, akan berlipat ganda.
Dalam hal tindakan tersebut ditujukan pada Presiden, saudara terdekat sehingga
dapat dikemukakan bahwa pelanggaran tersebut ditujukan ke kepada/keluarganya,
hukuman dapat ditingkatkan sedemikian rupa hingga setengahnya. ditambahkan
ke dalamnya.

Article 235 Defamations and Offences against the Inviolability of Private Life

In case a person insinuate to another something which would be to the detriment


of his/her respect or circulates such an insinuation, this shall be subject to fines or
[imprisonment] for up to 1 year

Terjemahan:

Pasal 235 Pencemaran Nama Baik dan Pelanggaran terhadap Pribadi


53

Dalam kasus seseorang melakukan penghinaan yang akan merugikan


kehormatannya atau menyebarkan penghinaan semacam itu, ini akan dikenakan
denda atau [penjara] hingga 1 tahun.

Article 236 Defamations and Offences against the Inviolability of Private Life

In case a defamatory insinuation be presented or circulated contrary to better


knowledge, this will be subject to ? imprisonment for up to 2 years. In case an
insinuation be published or circulated officially, despite the fact that the accusing
party has not had likely reasons for believing it correct, this will be subject to
fines ?or imprisonment for up to 2 years.
Terjemahan:
Pasal 236 Pencemaran Nama Baik dan Pelanggaran terhadap Pribadi

Dalam kasus penghinaan memfitnah disebar atau beredar bertentangan dengan


fakta sebenarnya, ini akan dikenakan? penjara hingga 2 tahun. Dalam hal suatu
penghinaan dipublikasikan atau disirkulasikan secara resmi, terlepas dari fakta
bahwa pihak yang menuduh belum memiliki alasan untuk meyakininya benar, ini
akan dikenakan denda atau penjara sampai 2 tahun.

KUHP Islandia mengatur tentang penghinaan terhadap pribadi pada Pasal 235 dan

Pasal 236 yang menjelaskan seseorang melakukan penghinaan yang akan

merugikan kehormatannya atau menyebarkan penghinaan semacam itu, ini akan

dikenakan denda atau penjara hingga 1 tahun dan jika kasus penghinaan

memfitnah disebar atau beredar bertentangan dengan fakta sebenarnya, ini akan

dikenakan penjara hingga 2 tahun. Jika penghinaan ditunjukan ke Presiden atau

Wakil Presiden sanksi hukumannya berlipat ganda dijelas pada Pasal 101,

Presiden atau seseorang yang kepadanya kekuasaan Presiden dipegang dan

pelanggaran menjadi tindak tunduk pada Pasal 99 atau Pasal 100, hukuman yang

menjadi pokok pelanggaran akan ditingkatkan, akan berlipat ganda. Hal ini

menujukan pribadi yang menduduki jabatan sebagai Presiden dan Wakil Presiden

berbeda dengan pribadi personal, berlaku sanksi pun jadi lebih berat jika

penghinaan ditunjuk kearah Presiden dan Wakil Presiden.


54

Berdasarkan pemaparan diatas, menurut penulis, hukum pidana Turki, Polandia,

dan Islandia tidak jauh berbeda dan memiliki kesamaan dalam melindungi

martabat Presiden dan Wakil Presiden, yang mesti dilindungi sebagai Kepala

Negara dan Kepala Pemerintahan. Oleh karenanya dalam KUHP negara-negara

tersebut secara tegas melindungi Presiden dan Wakil Presiden dan memidanakan

setiap orang yang melakukan perbuatan penghinaan Presiden atau Wakil Presiden.

Presiden diposisikan sebagai jabatan khusus perlu untuk dilindungi martabatnya

dan berbeda dengan pribadi personal. Dilihat dari sanksi-sanksi pidananya pada

KUHP negara-negara diatas, jika penghinaan ditunjukan kearah Presiden atau

Wakil Presiden ancaman sanksi pidananya menjadi lebih berat, dapat dilihat

negara Turki ancaman sanksi pidana 6 bulan sampai 3 tahun, jila dilakukan diluar

negara Turki ancaman ditambah sepertiganya, negara Polandia penghinaan

terhadap pribadi diancam 1 tahun penjara tetapi jika penghinaan ditunjuk kearah

Presiden ancaman pidananya bertambah menjadi 3 tahun penjara. Hal ini

menjelaskan bahwa di negara-negara tersebut menempatkan perlindungan

martabat Presiden dan Wakil Presiden sebagai kepentingan nasional dan secara

khusus dilindungi. Selanjutnya penulis akan membandingkan dan memamparkan

peraturan nasional di Indonesia tindak pidana aturan mengenai pencemaran nama

baik atau aturan yang bisa menjerat pelaku penghinaan Presiden dan Wakil

Presiden tercantum dalam KUHP, sebagai berikut:

Pasal Penghinaan dalam KUHP

No Pasal Isi Pasal Objek perlindungan


55

1 134 KUHP (sudah Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil
dibatalkan MK) Presiden atua Wakil Presiden diancam Presiden
dengan pidana penjara paling lama enam
tahun, atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus ribu rupiah.
2 137 KUHP (sudah Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan, Presiden dan Wakil
dibatalkan MK) atau menempelkan di muka umum tulisan Presiden
atau lukisan yang berisi penghinaan
terhadap Presiden atau Wakil Presiden,
dengan maksud supaya isi penghinaan
diketahui atau lebih diketahui oleh umum,
diancam dengan pidana penjara paling lama
satu tahun empat bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
3 142 KUHP Penghinaan dengan sengaja terhadap raja Kepala Negara Sahabat
yang memerintah atau kepala negara
sahabat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana paling
banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah.
4 142a KUHP Barang siapa menodai bendera kebangsaan Bendera Negara Sahabat
negara sahabat diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
5 144 ayat 1 KUHP Barang siapa yang menyiarkan, Raja yang memerintah atau
mempertunjukan, atau menempelkan kepala lainya dan negara
dimuka umum tulisan atau lukisan yang sahabat, atau wakil negara
berisi penghinaan terhadap raja yang asing di Indonesia dalam
memerintah, atau kepala negara sahabat, pangkatnya
atau wakil negara asing di Indonesia dalam
pangkatnya, dengan maksud supaya
penghinaan itu diketahui atau lebih
diketahui oleh umum, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
6 154a KUHP Barang siapa menodai bendera kebangsaan Bendera Negara Indonesia
Republik Indonesia dan lambang Negara
Republik Indonesia, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana
denda paling banyak empat puluh lima ribu
rupiah.
7 156 KUHP Barang siapa di rnuka umum menyatakan Tiap-tiap bagian dari rakyat
perasaan permusuhan, kebencian atau Indonesia
penghinaan terhadap suatu atau beherapa
golongan rakyat Indonesia, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun
atau pidana denda paling banyak empat ribu
56

lima ratus rupiah. Perkataan golongan


dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti
tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang
berbeda dengan suatu atau beberapa hagian
lainnya karena ras, negeri asal, agama,
tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau
kedudukan menurut hukum tata negara.
8 156a KUHP Dipidana dengan pidana penjara selama- Agama
lumanya lima tahun barang siapa dengan
sengaja di muka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan: a.
Yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia; b.
dengan maksud agar supaya orang tidak
menganut agama apa pun juga, yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
57

9 177 ayat 1 & 2 Diancam dengan pidana penjara paling Petugas agama dan benda-
KUHP lama empat bulan dua minggu atau pidana benda agama
denda paling banyak seribu delapan ratus
rupiah:
1. barang siapa menertawakan seorang
petugas agama dalam men- jalankan tugas
yang diizinkan;
2. barang siapa menghina benda-benda
untuk keperluan ibadat di tempat atau padu
waktu ibadat dilakukan.
10 207 KUHP Barang siapa dengan sengaja di muka umum Penguasa atau badan umum
dengan lisan atau tulisan menghina yang ada di Indonesia
suatu penguasa atau hadan umum yang ada
di Indonesia, diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun enam bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
11 310 ayat 1 KUHP Barang siapa sengaja merusak kehormatan Warga biasa
atau nama baik seseorang dengan jalan
menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan
dengan maksud yang nyata akan tersiarnya
tuduhan itu, dihukum karena menista,
dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau denda sebanyak-
banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
12 310 ayat 2 KUHP Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau Warga biasa
gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan
atau ditempelkan di muka umum, maka
diancam karena pencemaran tertulis dengan
pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
13 315 KUHP Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang Warga biasa
tidak bersifat peneemaran atau pencemaran
tertulis yang dilakuknn terhadap seseorang,
baik di muka umum dengan lisan atau
tulisan, maupun di muka orang itu sendiri
dengan lisan atau perbuatan, atau dengan
surat yang dikirimkan stau diterimakan
kepadanya, diancam karena penghinaan
ringan dengan pidana penjara paling lama
empat bulan dua minggu atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
14 316 KUHP Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal Pejabat negara
sebelumnya dalam bab ini, dspat ditambah
dengan sepertiga jika yang dihina adalah
seorang pejabat pada waktu atau karena
menjalankan tugasnya yang sah.
58

15 320 ayat 1 KUHP Barang siapa terhadap seseorang yang Orang yang sudah
sudah mati melakukan perbuatan yang meninggal
kalau orang itu masih hidup akan
merupakan pencemaran atau pencemaran
tertulis, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau
pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
16 321 ayat 1 KUHP Barang siapa yang menyiarkan, Orang yang sudah
mempertunjukan, atau menempelkan di meninggal
muka umum tulisan atau gambaran yang
isinya menghina atau bagi orang ymg sudah
mati mencemarkan namanya, dengan
maksud supaya isi surat atau gambar itu
ditahui atau lebih diketahui oleh umum,
diancam dengan pidana penjara paling lama
satu bulan

Kemudian beberapa pasal yang dapat menjerat seseorang yang melakukan tindak

pidana penghinaan Presiden dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002

tentang penyiaran, Pasal 36 ayat (5) dan ayat (6) menyatakan :

(5) Isi siaran dilarang :


a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan
narkotika dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau
mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak
hubungan internasional.

Dan tentunya pengaturan di Undang-Undang 19 Tahun 2016 tentang perubahan


atas Undang-Undang 11 tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu:

1. Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan :


(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
2. Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyatakan :
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
59

ras, dan antargolongan (SARA).

3. Pasal 36 UU ITE menyatakan :


Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34
yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.
4. Pasal 45 ayat (3) UU ITE menyatakan :
(3) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah).
5. Pasal 45A ayat (2) UU ITE menyatakan :
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
6. Pasal 51 ayat (2) UU ITE menyatakan :
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Setelah melihat pengaturan pasal penghinaan terhadap Presiden dari beberapa

negara seperti yang penulis uraikan di atas, maka penulis akan mencoba

membandingkannya dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku

sekarang ini di Indonesia. Dalam hukum pidana yang berlaku sekarang ini di

Indonesia, dengan dicabutnya pasal penghinaan Presiden oleh Mahkamah

Konstitusi, tidak ditemukan aturan hukum yang melindungi martabat Presiden

secara khusus. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa tidak ada aturan secara

khusus yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden,

dilihat dari kedudukannya Presiden tidak bisa disamakan dengan masyarakat

biasa, Presiden memiliki kedudukan dan fungsi secara tegas diatur dalam UUD
60

1945, dijelaskan bahwa Presiden memiliki fungsi sebagai Kepala Negara maupun

sebagai Kepala Pemerintahan secara jelas dalam UUD 1945 Pasal 4 , Pasal 14,

dan Pasal 15. Sedangkan fungsi Presiden sebagai Panglima Tertinggi dan sebagai

Kepala Diplomat diatur dalam UUD 1945 Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 13. Dari

keempat fungsi yang diemban seorang Presiden terlihat bahwa seorang Presiden

itu merupakan simbol dari kedaulatan, kelangsungan dan keagungan/kebesaran

(the symbol of sovereignty, continuity and grandeur) dari seorang Kepala Negara

sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan.63 Konsekuensi logis dari empat fungsi di

atas maka kedudukan seorang Presiden yang menjadi tokoh sentral dalam suatu

negara yang mengakibatkan cara pemilihan dan pemberhentian (impeachment).64

Presiden diatur secara khusus dalam UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal

6 dan 6A untuk pemilihan serta Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 untuk

pemberhentian (impeachment), yang dibedakan cara pengangkatan dan

pemberhentian dengan para pejabat negara lainnya.

Presiden itu adalah hasil dari distilasi (distillation) rakyat Indonesia sehingga

Presiden itu merupakan penjelmaan pribadi dan yang mewakili martabat dan

keagungan rakyat itu sendiri (the personal embodiment and representative of

people dignity and majesty), dan juga dirasakan janggal kalau penghinaan

terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang

kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan

tindak pidana sedangkan penghinaan terhadap Presiden tidak, terlebih

status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas Presiden berbeda dengan orang biasa, dilihat


63
Aditya Septian Wicaksono*, R.B. Sularto, Hasyim Asy'ari, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap
Formulasi Perbuatan Pencemaran Nama Baik Presiden Sebagai Perlindungan Simbol Negara,
Diponogoro law review, Vol. 5 Nomor 2 Tahun 2016, hlm. 6.
64
Ibid.
61

dari sudut sosiologis, hukum dan ketata-negaraan.65 Sebenarnya dahulu terdapat

pasal yang secara khusus mengatur perlindungan martabat Presiden dan Wakil

Presiden, akan tetapi pasal tersebut dicabut oleh Mahkamah Konstitusi,

mengakibatkan kekosongan hukum dan merupakan langkah mundur dalam

perkembangan pidana di Indonesia. Oleh karena itu dengan adanya pembaharuan

hukum pidana, dimasukannya aturan khusus tentang pelindungan Presiden dan

Wakil Presiden didalam RKUHP merupakan keputusan yang tepat dan merupakan

langkah maju untuk perkembangan hukum pidana di Indonesia. Menurut Arsul

Sani Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan KUHP menegaskan, pasal

penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang saat ini dibahas berbeda

dengan pasal lama yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Perbedaan itu,

kata Arsul, terletak pada deliknya. Jika pasal lama merupakan delik umum, kini

pasal tersebut menggunakan delik aduan.66 Dengan demikian, presiden atau wakil

presiden sendiri yang harus melaporkan. Jadi perlu dijelaskan bahwa secara norma

dasar akan jadi sesuatu berbeda dengan pasal di KUHP sekarang yang sudah

dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Kriminaliasasi perbuatan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden

dalam RKUHP masih diperlukan saat ini, karena sudah begitu banyak terjadi

kasus-kasus penghinaan Presiden, khususnya masa Presiden Jokowi, hal sangat

melukai martabat Presiden dan menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

Presiden itu merupakan simbol dari kedaulatan, kelangsungan dan

keagungan/kebesaran dari seorang Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala

Naskah Akademik RKUHP Tahun 2015


65

https://www.merdeka.com/politik/anggota-panja-rkuhp-sebut-pasal-penghinaan-presiden-
66

masuk-delik-aduan.html
62

Pemerintahan. Presiden itu adalah hasil dari distilasi (distillation) rakyat

Indonesia sehingga Presiden itu merupakan penjelmaan pribadi dan yang

mewakili martabat dan keagungan rakyat itu sendiri. Kebebasan berpendapat,

termasuk kebebasan pers seyogyanya adalah kebebasan yang beretika, tidaklah

merupakan kebebasan yang diperbolehkan diwujudkan dalam bentuk celaan

sosial atau dalam bentuk lain yang merupakan penghinaan terhadap martabat

Presiden.67

Demokrasi memang mengusung sebuah semboyan tentang kebebasan tapi

tidaklah ia diceraikan dari etika dan moral begitu saja, ia tetap memiliki ikatan

secara relevan dengan itu sebab demokrasi Indonesia adalah demokrasi pancasila

yang mengusung kebebasan terbatas yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk

yang bermartabat68 dan dirasakan janggal kalau penghinaan terhadap orang biasa,

orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan,

petugas/pejabat umum, dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana

sedangkan penghinaan terhadap Presiden tidak, terlebih

status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas Presiden berbeda dengan orang biasa,

dilihat dari sudut sosiologis, hukum dan ketata-negaraan. Beberapa negara,

khususnya Turki, Polandia, dan Islandia sangat tegas melindungi martabat

Presidennya dengan ancaman pidana dan denda yang berat, negara-negara

tersebut menempatkan aturan pelindungan martabat Presiden sebagai salah satu

kepentingan nasional dan secara khusus harus dilindungi. Pasal penghinaan

Presiden dan Wakil Presiden yang saat ini juga berbeda dengan pasal lama yang

67
Butje Tampi, “Kontroversi Pencantuman Pasal Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil
Presiden Dalam KUHP yang akan datang”, Vol III/No.9/Agustus2016, hlm. 24.
68
Ibid.
63

telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Jika pasal lama merupakan delik umum,

kini pasal tersebut menggunakan delik aduan. Presiden atau Wakil Presiden

sendiri yang harus melaporkan. Hal ini menjelaskan bahwa secara norma dasar

akan jadi sesuatu berbeda dengan pasal di KUHP sekarang yang sudah

dibatalkan Mahkamah Konstitusi, oleh karenanya tidak ada alasan tidak

memasukan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden

dalam RKUHP, dengan dimasukannya kembali pasal penghinaan terhadap

Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP ini merupakan langkah maju dalam

perkembangan hukum pidana di Indonesia.

B. Proses Kriminalisasi Perbuatan Penghinaan Terhadap Presiden Dan


64

Wakil Presiden Konsep RKUHP Tahun 2015 Presfektif Hukum Pidana.

Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapkan karena adanya perbuatan yang

berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan

tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum

yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut.

Kriminalisasi aturan tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil

Presiden kembali muncul akibat adanya kekosongan hukum, hal ini karena

dicabutnya aturan tentang tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil

Presiden dalam KUHP sehingga tidak ada aturan khusus yang mengatur hal

tersebut, dalam perkembangan zaman dan perkembangan teknologi yang pesat,

masyarakat dapat dengan mudah berpendapat maupun mengkritik pemerintah,

khususnya Presiden, akan tetapi karena tidak ada aturan khusus yang mengatur

dan melindungi martabat Presiden, akibatnya masyarakat berpendapat maupun

kritik sampai diluar batas, hal ini menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat

yang lain.

Indonesia menjamin adanya demokrasi kebebasan berpendapat tetapi tidak

disertai dengan penghinaan dan caci maki terhadap pemerintah khusus Presiden.

Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah akhir melakukan kebijakan

kriminalisasi pada aturan tindak pidana yang mengatur tentang perlindungan

martabat Presiden dan dimasukan dalam RKUHP dalam upaya pembaharuan

hukum pidana. Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam

menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana)

menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Hakikatnya


65

kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal

policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) sehingga termasuk

bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy).69 Operasionalisasi kebijakan

hukum pidana dengan sarana penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang

terdiri atas tiga tahap, yakni : 70

a. Tahap formulasi (kebijakan legislatif)


b. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif)
c. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif)

Berdasarkan hal di atas, kebijakan hukum pidana terkandung di dalamnya tiga

kekuasaan/kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif/formulatif berwenang dalam

hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang

berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan

yang bersifat melawan hukum, kesalahan/pertanggungjawaban pidana dan sanksi

apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. Tahap aplikasi

merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak

hukum atau pengadilan, dan tahapan eksekutif/administratif dalam melaksanakan

hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana.71 RKUHP sekarang

dimasukkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden masuk dalam

tahap formulasi.

Menurut Erna Dewi, dari perspektif hukum pidana, kebijakan formulasi harus

memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan

pemidanaan umum yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat dikatakan terjadi

69
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime Di
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 20.
70
Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan,  Jakarta : Kencana Media Group, 2007, hlm. 78.
71
Ibid. hlm. 80.
66

harmonisasi/sinkronisasi apabila kebijakan formulasi berada diluar sistem hukum

pidana yang berlaku saat ini. Kebijakan formulasi merupakan tahapan yang

paling stategis dari penal policy karena pada tahapan tersebut legislatif

berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat

dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok hukum pidana meliputi

perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan, pertanggung jawaban pidana

dan sanksi apa yang dapat dikenakan. Tanggapan penulis setuju terhadap

pendapat Erna Dewi, bahwa kebijakan formulasi harus memperhatikan

harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum,

Oleh karena itu, upaya penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat

penegak hukum tetapi juga tugas aparat pembuat undang-undang (aparat

legislatif). Dilihat dari perspektif hukum pidana, maka kebijakan formulasi harus

memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan

pemidanaan umum yang berlaku saat ini.

Tidaklah dapat dikatakan terjadi harmonisasi/sinkronisasi apabila kebijakan

formulasi berada diluar sistem hukum pidana yang berlaku saat ini. Kebijakan

formulasi merupakan tahapan yang paling stategis dari penal policy karena pada

tahapan tersebut legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan

perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok

hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan,

pertanggung jawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan. Oleh karena

itu, upaya penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum

tetapi juga tugas aparat pembuat undang-undang (aparat legislatif). 72 Perencanaan

72
Ibid.
67

(planning) pada tahapan formulasi pada intinya, menurut Nils Jareborg mencakup

tiga masalah pokok struktur hukum pidana, yaitu masalah:73

1. Perumusan tindak pidana/kriminalisasi dan pidana yang diancamkan


(criminalisation and threatened punishment)
2. Pemidanaan (adjudication of punishment sentencing);
3. Pelaksanaan pidana (execution of punishment).

Terkait masalah perumusan tindak pidana/kriminalisasi menimbulkan dua

pertanyaan, yaitu: (i) apakah kriteria yang digunakan oleh pembentuk undang-

undang dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang

diancam dengan sanksi pidana tertentu?, (ii) Apakah kriteria yang digunakan

pembentuk undang-undang untuk menetapkan ancaman pidana terhadap tindak

pidana yang satu lebih tinggi daripada ancaman pidana terhadap tindak pidana

yang lain.74 Menurut Bassiouni, dalam proses kriminalisasi harus memperhatikan

beberapa faktor, yaitu:75

a. Keseimbangan sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil


yang ingin dicapai;
b. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya
dengan tujuan-tujuan yang ingin dicari;
c. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya
dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber
tenaga manusia;
d. Pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan
atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.

73
Ibid. hlm. 81.
74
Rusli Effendi dkk, mengutip Selo Soemardjan dalam “Masalah Kriminalisasi dan
Dekriminalisasi dalam Rangka Pembaruan Hukum Nasional” dalam BPHN, Simposium
Pembaruan Hukum Pidana Nasional Indonesia, Jakarta, Binacipta. 1986, hlm. 64-65.
75
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru,
Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 29.
68

Sedangkan menurut Muladi mengingatkan mengenai beberapa ukuran yang secara

doktrinal harus diperhatikan sebagai pedoman dalam kriminalisasi, yaitu sebagai

berikut :76

a. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan overkriminalisasi yang


masuk kategori the misuse of criminal sanction
b. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc
c. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban victimizing baik aktual
maupun potensial
d. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip
ultimum remedium
e. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang enforceable
f. Kriminalisasi harus mampu memperoleh dukungan publik.
g. Kriminalisasi harus mengandung unsur subsosialitet mengakibatkan bahaya
bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali
h. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana
membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat
penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.

Pandangan lain dikemukakan oleh Soedarto yang mengungkapkan bahwa dalam

menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan sebagai berikut:77

a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan


nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini,
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan
yang mendatangkan kerugian (materiil atau spiritual atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil (cost benefit principle).
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

Kriteria kriminalisasi yang dikemukakan Soedarto di atas mempunyai persamaan

dengan kriteria kriminalisasi hasil rumusan (kesimpulan) Simposium Pembaruan


76
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang 1995,
hlm. 256.
77
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 44.
69

Hukum Pidana (1976) yang menyebutkan beberapa kriteria umum sebagai

berikut :78

a. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena
merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat
mendatangkan korban ?
b. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan
dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan
hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, dan pelaku kejahatan itu sendiri
harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai ?
c. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak
seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang
dimilikinya ?
d. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita cita
bangsa Indonesia sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat ?

Berdasarkan pendapat beberapa para ahli hukum diatas, Menurut penulis, proses

kriminalisasi tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil harus

memperhatikan kriteria-kriteria umum dalam melakukan kriminalisasi.

Pembentukan hukum harus sesuai dengan hukum yang ada dimasyarakat dan

berdasarkan cita-cita bangsa, Presiden yang merupakan Kepala Pemerintahan dan

Kepala Negara yang dipilih langsung oleh rakyat, Presiden itu adalah penjelmaan

pribadi dan yang mewakili martabat dan keagungan rakyat itu sendiri (the

personal embodiment and representative of people dignity and majesty) rakyat

pasti tidak terima bila Presidennya dihina maupun dicaci maki. Maka dalam hal

ini perlu ada kriminalisasi dengan ancaman pidana dan penjatuhan pidana itu

adalah jalan yang utama untuk mencegah dilanggarnya larangan-larangan

tersebut untuk menciptakan demokrasi yang tertib, yang mana kebebasan

berpendapat maupun kritik tidak disertai dengan penghinaan maupun caci maki

terhadap pemerintah khususnya Presiden. Proses kriminalisasi ini harus juga

78
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti,
1996, hlm. 38.
70

memperhatikan alat-alat negara harus mampu dalam melaksanakan ancaman

pidana bila ada yang melanggar larangan dan juga harus memperhatikan biaya

kriminalisasi harus seimbang antara dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya

cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban

yang dipikul oleh korban, dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang

dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.

Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai menimbulkan

kesan represif yang melanggar prinsip ultimum remedium dan menjadi bumerang

dalam kehidupan sosial berupa kriminalisasi yang berlebihan, yang justru

mengurangi wibawa hukum. Kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan

diikuti pula oleh langkah-langkah pragmatis dalam hukum pidana formil untuk

kepentingan penyidikan dan penuntutan.79 Selanjutnya setelah memenuhi syarat-

syarat atau kriteria-kriteria kriminalisasi, maka selanjutnta tahap pembuatan suatu

peraturan atau undang-undang, pada tahap pembentukan undang-undang harus

juga memperhatikan asas-asas hukum. Asas hukum merupakan norma etis,

konsepsi falsafah negara, dan doktrin politik.80 Di samping itu, asas hukum juga

merupakan pikiran-pikiran yang menuntun, pilihan terhadap kebijakan, prinsip

hukum, pandangan manusia dan masyarakat, kerangka harapan masyarakat.

Dalam konteks kriminalisasi, asas diartikan sebagai konsepsi-konsepsi dasar,

norma-norma etis, dan prinsip-prinsip hukum yang menuntun pembentukan

norma-norma hukum pidana melalui pembuatan peraturan perundang-undangan

pidana. Dengan kata lain, asas hukum adalah konsepsi dasar, norma etis, dan
79
Muladi, Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah Media Hukum Vol. 1 No. 3 tanggal
22 Agustus 2003, hlm. 1.
80
Salman Luthan, Asas dan Kriteria Kriminalisasi, Jurnal Hukum, No.1/Vol/16/Januari/2009, hlm.
5.
71

prinsip-prinsip dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan

kejahatan.81 Asas kriminalisasi terbagi menjadi tiga dan harus diperhatikan dalam

pembentuk undang-undang dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak

pidana beserta ancaman sanksi pidananya, yaitu:82

1. Asas Legalitas

Asas legalitas adalah asas yang paling penting dalam hukum pidana, khususnya

asas pokok dalam penetapan kriminalisasi. Asas legalitas menurut terdapat

dalam ungkapan "Nullum delictum, nulla poena sie praevia lege poenali" yang

dikemukakan oleh Von Feurbach yang artinya tidak ada suatu perbuatan yang

dapat dipidana kecuali atas perundang-undangan pidana yang sudah ada

sebelum perbuatan itu dilakukan.83 Asas legalitas memiliki enam fungsi

penting yaitu:84

a. Hakikatnya, asas legalitas dirancang untuk memberi maklumat kepada

publik seluas mungkin tentang apa yang dilarang oleh hukum pidana

sehingga mereka dapat menyesuaikan tingkah lakunya. 

b. Menurut aliran klasik, asas legalitas mempunyai fungsi untuk membatasi

ruang lingkup hukum pidana. Sedangkan dalam aliran modern asas legalitas

merupakan instrumen untuk mencapai tujuan perlindungan masyarakat.

c. Fungsi asas legalitas adalah untuk mengamankan posisi hukum rakyat

terhadap negara (penguasa). Hal ini adalah tafsiran tradisional yang telah

81
Ibid.
82
Ibid.
83
Nikmah Rosidah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Semarang: Pustaka Magister, 2011), hlm. 1.
84
Peter, Antonie A.G, Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif penerjemah Roeslan Saleh, Jakarta:
Aksara Baru, 1981, hlm. 28.
72

mengesampingkan arti asas legalitas sepenuhnya seperti dimaksudkan oleh

ahli-ahli hukum pidana pada abad ke XVIII (delapan belas). 

d. Asas legalitas dikaitkan dengan peradilan pidana, mengharapkan lebih

banyak lagi daripada hanya akan melindungi warga masyarakat dari

kesewenang-wenangan pemerintah. Asas legalitas itu diharapkan

memainkan peranan yang lebih positif, yaitu harus menentukan tingkatan-

tingkatan dari persoalan yang ditangani oleh suatu sistem hukum pidana

yang sudah tidak dapat dipakai lagi. 

e. Tujuan utama asas legalitas adalah untuk membatasi kesewenang-wenangan

yang mungkin timbul dalam hukum pidana dan mengawasi serta membatasi

pelaksanaan dari kekuasaan itu atau menormakan fungsi pengawasan dari

hukum pidana itu. Fungsi pengawasan ini juga merupakan fungsi asas

kesamaan, asas subsidiaritas, asas proporsionalitas, dan asas publisitas.

f. Asas legalitas memberikan kepastian hukum kepada masyarakat mengenai

perbuatan-perbuatan yang dilarang (tindak pidana) yang disertai dengan

ancaman pidana tertentu. Dengan adanya penetapan perbuatan terlarang itu

berarti ada kepastian (pedoman) dalam bertingkah laku bagi masyarakat.

Dari Enam fungsi asas legalitas tersebut, fungsi asas legalitas yang paling relevan

dalam konteks kriminalisasi adalah fungsi kedua yang berkenaan dengan fungsi

untuk membatasi ruang lingkup hukum pidana, dan fungsi ketiga yang berkaitan

dengan fungsi mengamankan posisi hukum rakyat terhadap negara.85 Fungsi asas

legalitas untuk mengamankan posisi hukum rakyat terhadap negara dan fungsi

85
Salman Luthan, Op. Cit, hlm. 28.
73

untuk melindungi anggota masyarakat dari tindakan sewenang-wenang pihak

pemerintah merupakan dimensi politik hukum dari asas legalitas.86

2. Asas Subsidaritas

Asas subsidiaritas artinya, hukum pidana harus ditempatkan sebagai ultimum

remedium (senjata pamungkas) dalam penanggulangan kejahatan yang

menggunakan instrumen penal, bukan sebagai primum remedium (senjata

utama) untuk mengatasi masalah kriminalitas. Penerapan asas subsidiaritas

dalam kebijakan kriminalisasi mengharuskan adanya penyelidikan tentang

efektivitas penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan atau

perbuatan-perbuatan yang merugikan masyarakat. Bila dalam penyelidikan itu

ditemukan bahwa penggunaan sarana-sarana lain (sarana non penal) lebih

efektif dan lebih bermanfaat untuk menanggulangi kejahatan, maka jangan

menggunakan hukum pidana. Asas subsidiaritas sangat diperlukan dalam

penentuan perbuatan terlarang didorong oleh dua faktor. Pertama, penggunaan

asas subsidiaritas akan mendorong lahirnya hukum pidana yang adil. Kedua,

praktek perundang-undangan menimbulkan dampak negatif terhadap sistem

hukum pidana akibat adanya “overcriminalisasi” dan “overpenalisasi” sehingga

hukum pidana menjadi kehilangan pengaruhnya dalam masyarakat. 87

86
Ibid.
87
Ibid., hlm. 9.
74

3. Asas Persamaan/Kesamaan

Asas persamaan/kesamaan adalah kesederhanaan dan kejelasan.

Kesederhanaan serta kejelasan itu akan menimbulkan ketertiban. Menurut

Servan dan Letrossne asas kesamaan bukanlah pernyataan dari aspirasi tentang

hukum pidana yang lebih adil. Asas kesamaan lebih merupakan suatu

keinginan diadakannya sistem hukum pidana yang lebih jelas dan sederhana.

Sedangkan Lacretelle berpendapat bahwa asas kesamaan tidaklah hanya suatu

dorongan bagi hukum pidana yang bersifat adil, tetapi juga untuk hukuman

pidana yang tepat. Asas-asas kriminalisasi tersebut ini adalah asas-asas yang

bersifat kritis normatif. Dikatakan kritis, oleh karena dia dikemukakan sebagai

ukuran untuk menilai tentang sifat adilnya hukum pidana, dan normatif oleh

karena dia mempunyai fungsi mengatur terhadap kebijakan pemerintah dalam

bidang hukum pidana. 88

Adapun Rancangan KUHP 2015 pengaturan pasal – pasal sebagai berikut :

A. Pasal 263

(1) Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil

Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

pidana denda paling banyak Kategori IV.

(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau

pembelaan diri.

88
Ibid. hlm. 10.
75

Pasal 263 ayat 1 memiliki rumusan tindak pidana sebagai berikut :

a. di muka umum menghina

b. Presiden atau Wakil Presiden

Menghina adalah perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau martabat

Presiden atau Wakil Presiden di muka umum. Penghinaan terhadap Presiden atau

Wakil Presiden sebelum delik umum dirubah menjadi delik aduan sama halnya

dengan delik penghinaan orang biasa. Jadi tindak pidana penghinaan baru dapat

diproses, bila Presiden sendiri yang melakukan laporan Pasal ini tidak

dimaksudkan membatasi maupun melarang kebebasan mengajukan kritik ataupun

pendapat yang berbeda dengan yang dianut Presiden atau Wakil Presiden. Pasal

ini memiliki redaksi yang sama dengan Pasal 134 KUHP. Perbedaan hanya dalam

lamanya pidana dan jumlah denda yang diterapkan. Dalam Pasal 134 KUHP lama

ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun, sedangkan dalam Pasal 263 RKUHP

diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Sedangkan denda menurut

Pasal 134 KUHP paling banyak 4500 rupiah dibandingkan dengan Pasal 263

RKUHP dapat dijatuhi ancaman denda paling banyak kategori IV.

Sedangkan untuk Pasal 263 ayat 2 memiliki rumusan tindak pidana sebagai

berikut :

a. Tidak merupakan penghinaan

b. Dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri

Tidak merupakan penghinaan dimaksudkan disini bila dimaksud untuk

menyampaikan pendapat ataupun kritik dilakukan untuk kepentingan umum, demi


76

kebenaran, atau pembelaan diri. Pasal ini dimaksud agar tidak terjadi lagi

penyalahgunaan undang-undang dan melindungi masyarakat untuk berpendapat

maupun kritik tetapi harus bertujuan untuk kepentingan umum dan sesuai dengan

fakta.

B. Pasal 264

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan

atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman

sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau

Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih

diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Pasal 264 RKUHP memiliki rumusan tindak pidana sebagai berikut :

a. menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar

b. sehingga terlihat oleh umum

c. memperdengarkan rekaman

d. sehingga terdengar oleh umum

e. berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden

f. dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum

Pasal 264 RKUHP memiliki unsur dari a-f, apabila syarat terpenuhi maka orang

yang melakukan tindakan tersebut dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 264

RKUHP. Pasal 264 RKUHP merupakan hasil modifikasi dari segi redaksional

maupun sanksinya yang berasal dari Pasal 137 KUHP. Dalam Pasal 137 KUHP
77

lama ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan dan ancaman denda

paling banyak 4500 rupiah, sedangkan dalam Pasal 264 diancam dengan pidana

penjara paling lama 5 tahun dan ancaman denda paling banyak kategori IV.

Ketentuan Pasal 264 RKUHP juga mengancam hukuman pidana penjara dan

denda, bagi pelaku yang memperdengarkan rekaman berisi penghinaan terhadap

Presiden atau Wakil Presiden sehingga terdengar oleh umum dengan maksud agar

isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, yang sebelumnya tidak

ada di Pasal 134 KUHP. Dapat dilihat bahwa Pasal 263 dan Pasal 264 RKUHP

sebenarnya bukan merupakan kriminalisasi murni melainkan rekriminalisasi dari

KUHP Pasal 134 dan Pasal 137 yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi,

mengalami modifikasi atau perubahan dari segi redaksional maupun sanksinya,

khususnya sanksi denda disesuaikan dengan kondisi dimasyarakat dan perubahan

dari delik umum menjadi delik aduan.

Demikian proses kriminalisasi tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil

Presiden mesti memperhatikan kriteria-kriteria kriminalisasi, yaitu dalam

mengkriminalisasi suatu perbuatan harus memperhatikan tujuan nasional yaitu

mewujudkan keadilan masyarakat yang adil. Kriminalisasi digunakan sebagai

usaha untuk mencegah dan menangulangi perbuatan yang mendatangkan

kerugian baik materil maupun jasmani dan dalam kriminalisasi tindak pidana

harus memperhitungkan biaya dan hasil, memperhatikan kapasitas atau

kemampuan badan-badan penegak hukum dan memperhatikan pengaruh sosial

dari kriminalisasi. Selanjutnya dalam pembentukan undang-undang, harus

memperhatikan asas-asas penting dalam kriminalisasi yaitu asas legalitas, asas

subsidaritas, dan asas persamaan/kesamaan, dimaksudkan agar tidaknya


78

penyalahgunaan undang-undang dan menjamin keadilan. Dengan

dikriminalisasikannya perbuatan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil

Presiden kedalam RKUHP, maka dalam hal ini sudah masuk tahap formulasi

dalam proses kebijakan hukum pidana. Dengan demikian itulah tahap-tahapan

proses kriminalisasi, untuk kriminalisasi pasal penghinaan terhadap Presiden dan

Wakil Presiden.
79

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Kriminaliasasi perbuatan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden

masih diperlukan dan mesti dipertahankan dalam RKUHP karena sebagai

berikut :

a. Presiden itu merupakan simbol dari kedaulatan, kelangsungan dan

keagungan/kebesaran dari seorang Kepala Negara sekaligus sebagai

Kepala Pemerintahan dan Presiden itu merupakan hasil dari distilasi

(distillation) rakyat Indonesia sehingga Presiden itu merupakan

penjelmaan pribadi dan yang mewakili martabat dan keagungan rakyat

itu sendiri. Sehingga mesti adanya perlindungan khusus, untuk

melindungi martabat Presiden.

b. Terjadi kekosongan hukum dalam KUHP sekarang, yang mana dirasa

jangkal, penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah mati,

bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum,

dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana, sedangkan

penghinaan terhadap Presiden tidak, terlebih dari


80

status/posisi/kedudukan/fungsi Presiden berbeda dengan orang biasa

dilihat dari sudut sosiologis, hukum dan ketata-negaraan.

c. Hampir diseluruh negara, khususnya Turki, Polandia, dan Islandia sangat

tegas melindungi martabat Presidennya dengan ancaman pidana dan

denda yang berat, negara-negara tersebut menempatkan aturan

pelindungan martabat Presiden sebagai salah satu kepentingan nasional

dan secara khusus harus dilindungi.

d. Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang saat ini

dibahas berbeda dengan pasal lama yang telah dibatalkan Mahkamah

Konstitusi. Perbedaan itu, terletak pada deliknya. Jika pasal lama

merupakan delik umum, kini pasal tersebut menggunakan delik aduan

dan juga penambahan denda kategori disesuai dengan kondisi

masyarakat.

2. Proses kriminalisasi perbuatan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil

Presiden melalui beberapa tahapan menutut presfektif hukum pidana, yaitu:

a. memperhatikan kriteria-kriteria kriminalisasi, yaitu : penggunaan hukum

pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, perbuatan

yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi merupakan perbuatan

yang mendatangkan kerugian materiil atau spiritual atas warga

masyarakat, penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan

prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle), penggunaan hukum

pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja

dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan

beban tugas (overbelasting).


81

b. Selanjutnya dalam pembentukannya ke dalam undang-undang, harus

memperhatikan asas-asas penting dalam kriminalisasi yaitu asas legalitas,

asas subsidaritas, dan asas persamaan/kesamaan, dimaksudkan agar

tidaknya penyalahgunaan undang-undang dan menjamin keadilan.

Dengan demikian itulah tahap-tahapan proses kriminalisasi, untuk

kriminalisasi pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.

B. SARAN

1. Aturan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden hendaknya

dipertahankan di RKUHP, karena masih sangat diperlukan di Indonesia,

untuk melindungi martabat Presiden dan Wakil Presiden.

2. Aturan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden mesti dibentuk

dengan dengan cermat dan teliti tiap rumusan pasalnya dan mesti ada

pengawasan dari para pihak penegak hukum agar tidak terjadi lagi

penyalahgunaan undang-undang seperti pasal sebelumnya yang dibatalkan

oleh Mahkamah Konstitusi.


82

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amrullah, Arief. 2007. Politik Hukum Pidana – dalam perlindungan korban


kejahatan ekonomi di bidang perbankan, Malang: Bayumedia.

Anwar, H. A. K. Moch. 1994. Hukum Pidana Bagian Khusus: KUHP Bagian II,
Jilid I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Asshiddiqie, Jimly. 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung:


Angkasa.

Barlow, Hugh D. 1984. Introduction to Criminology, Third Edition, Boston: Little


Brown and Company.

Moeljatno. 1985. Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Bina Cipta.

Muladi. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas


Diponegoro Semarang.

Muladi. 2002. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana.
Semarang: Badan Penerbit UNDIP.

Mulyadi. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi,


Jakarta: Djambatan.

Nawawi, Barda. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra
Aditya Bhakti.

__________. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana


dalam Penanggulangan Kejahatan,  Jakarta: Kencana Media Group.

__________.2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana.

__________. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Bandung :


PT Citra Aditya Bakti.
83

__________. 2000. Kebijakan Legislatif: Dalam Penanggulangan Kejahatan


Dengan Pidana Penjara, Semarang : Undip.

__________. 2006. Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber


Crime Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

__________. 2016. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana.

Prodjodikoro, Wirjono. 2002. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,


Bandung: PT. Refika.

Puspa, Yan Pramady. 1997. Kamus Hukum, Edisi Lengkap Bahasa Belanda,
Indonesia, Inggris, Jakarta: PT. Aneka Ilmu.

Rosidah, Nikmah. 2011. Asas-Asas Hukum Pidana, Semarang: Pustaka Magister.

Saleh , Roeslan. 1988. Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, (Jakarta; Sinar


Grafika.

__________. 1981. Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif. Jakarta: Aksara Baru.

Soekanto, Soejono. 1981. Kriminologi, Jakarta: Suatu Pengantar.

__________. dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif, Suatu


Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

__________. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,


Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sudarto. 1983. Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni.

Wisnubroto, Aloysius. 1999. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan


Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

B. Jurnal

Cahyanigrum, Dian. Vol. V, No.08/II/P3DI/April/2013. “Polemik Pasal


Penghinaan Presiden dan Wakil PresidenDalam RKUHP.”

Luthan, Salman Luthan. Asas dan Kriteria Kriminalisasi, Jurnal Hukum,


No.1/Vol/16/Januari/2009.
84

Muladi, Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah Media Hukum Vol. 1


No. 3 Tanggal 22 Agustus 2003.

Rahman, Zaqiu.“Wacana Pasal Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden


Dalam RUU KUHP”, 28/Agustus/2015.

Supriyadi, Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar. 2007. Menelisik Pasal-Pasal


Proteksi Negara dalam RUU KUHP: Catatan Kritis terhadap Pasal-
Pasal Tindak Pidana Ideologi, Penghinaan Martabat Presiden, dan
Penghinaan terhadap pemerintah, Jakarta: ELSAM dan Aliansi
Nasional Reformasi KUHP.

Tampi, Butje. Vol III/No.9/Agustus2016 “Kontroversi Pencantuman Pasal


Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden Dalam KUHP
yang akan datang.”

Wicaksono, Aditya Septian Wicaksono, R.B. Sularto, Hasyim Asy'ari. Kebijakan


Hukum Pidana Terhadap Formulasi Perbuatan Pencemaran Nama
Baik Presiden Sebagai Perlindungan Simbol Negara, Diponogoro law
review, Vol. 5 Nomor 2 Tahun 2016.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006

Rancangan Kitab Hukum Pidana Tahun 2015 (RKUHP Tahun 2015)

Naskah Akademi Rancangan Kitab Hukum Pidana Tahun 2015 (NA RKUHP
Tahun 2015)

D. Website

https://nasional.kompas.com/read/2013/04/08/11392836

https://www.merdeka.com/politik/anggota-panja-rkuhp-sebut-pasal-penghinaan-
presiden-masuk-delik-aduan.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Presiden_Indonesia

Anda mungkin juga menyukai