Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah: Studi Meta-Analisis
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah: Studi Meta-Analisis
Abstract: The purpose of this study is to identify the determinant of local government’s
consisting of 33 academic articles and graduate and undergraduate students’ theses reporting
on local government’s financial performances in Indonesia published from 2006 to 2016. The
results of the study demonstrate that there are five factors affecting local government’s
financial performance, that is the level of the region’s wealth, the size of the local government,
leverage, local tax revenue and audit findings. On the other hand, the dependence level, capital
expenditure, and legislative size are not shown to be factors local government’s financial
performance.
1. Pendahuluan
Penelitian terkait dengan kinerja pemerintah daerah semakin intensif dilakukan seiring
yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk secara independen mengoptimalkan setiap
potensi yang dimiliki untuk meningkatkan kinerja daerahnya. Pengukuran kinerja daerah
adalah cara yang dilakukan pemerintah untuk mengetahui pencapaian kinerja pemerintahan
daerah yang baik (Noviyanti dan Kiswanti 2016). Pengukuran kinerja pemerintah juga akan
memberikan umpan balik yang dapat digunakan untuk keberlanjutan pencapaian tujuan masa
Pengukuran kinerja dapat diukur salah satunya dengan melihat kinerja keuangan
pemerintah daerah tersebut. Peningkatan kinerja keuangan dapat dilihat dengan adanya
pemerintah pusat (Ajani, Akram dan Handajani 2016). Untuk itu, perlu diupayakan
peningkatan sumber daya daerah sendiri dengan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Pendapatan asli daerah merupakan sumber utama pembiayaan daerah (Julitawati, Darwanis
dan Jalaluddin 2012) yang bersumber dari retribusi daerah, pajak daerah, hasil kekayaan daerah
yang terpisah, dan PAD lain yang sah (Abdullah, Asmawanti dan Febriansyah 2015).
Ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat dapat dilihat dari seberapa besar
pemberian dana perimbangan ke pemerintah daerah. Dana perimbangan ini yang terdiri dari
dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH). DAU
memiliki peranan yang dominan dari dana lain sehingga diharapkan dapat digunakan secara
efektif dan efisien untuk mempercepat pembangunan daerah dan DAK sendiri digunakan untuk
Penelitian yang mengkaji keberhasilan kinerja keuangan pemerintah daerah telah banyak
DAU, DAK (Abdullah, Asmawanti dan Febriansyah 2015), karakteristik pemerintah sendiri
yang dapat dilihat dari ukuran kemakmuran, ukuran legislatif, leverage, intergovenmental
revenue (Sumarjo 2010), pendapatan pajak daerah (Sesotyaningtyas 2012), ukuran daerah,
kekayaan daerah, tingkat ketergantungan daerah, dan belanja modal (Mustikarini dan Fitriasari
2012).
dari auditor internal (Kusumaningrum 2015), umur administratif daerah tersebut (Wirawan
2014), retribusi daerah (Alfarisi 2015), dan pertumbuhan ekonomi (Rochmah 2015). Faktor
lain yang dianggap mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah adalah tata kelola publik
(Hasthoro dan Sunardi 2016), jumlah penduduk dan jumlah pekerja daerah tersebut (Darmanto
2012).
pertama tidak semua faktor yang digunakan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pemerintah daerah. Terkait dengan hal itu, peneliti ingin menelaah lebih lanjut berbagai
penelitian-penelitian terdahulu sehingga dapat ditentukan faktor yang secara konsisten yang
yang dilakukan dengan melakukan tinjauan kembali secara kuantitatif berbagai artikel
penelitian yang meneliti mengenai faktor kinerja keuangan pemerintah daerah dengan
menggunakan berbagai artikel yang telah dipublikasikan baik melalui jurnal ilmiah,
universitas.
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, rumusan masalah yang digunakan yaitu
daerah kota atau kabupaten dan provinsi di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk
daerah kota atau kabupaten dan provinsi di Indonesia. Secara praktikal, hasil penelitian ini
pemerintah daerah.
Berbagai faktor kinerja keuangan pemerintah daerah telah diteliti dalam penelitian
tetapi terdapat faktor yang tidak benar-benar mempengaruhi. Peneliti telah mengumpulkan
sebanyak 50 artikel yang telah dipublikasikan untuk melihat faktor apa saja yang benar-benar
mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah. Selanjutnya, peneliti melihat faktor yang
paling banyak muncul dengan membuat tabel explanatory untuk melihat faktor yang memiliki
tingkat kemunculan minimal pada 5 (lima) artikel yang ada. Pemilihan jumlah minimal yang
digunakan mempertimbangkan semakin banyaknya variabel yang muncul dengan jumlah yang
besar pada populasi artikel yang digunakan. Sesuai karakteristik tersebut, telah ditemukan 8
(delapan) faktor yaitu tingkat ketergantungan pada pusat, tingkat kekayaan daerah (wealth),
belanja modal, ukuran pemerintah daerah (size), temuan audit, leverage, ukuran legislatif, dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah dinyatakan bahwa kinerja adalah keluaran atau hasil dari kegiatan atau
program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan
kuantitas dan kualitas yang terukur. Kinerja keuangan pemerintah daerah merupakan
gambaran pencapaian dari suatu kebijakan yang telah direncanakan selama periode tertentu
Kinerja keuangan dapat di ukur dengan melihat efisiensi realisasi alokasi anggaran
pemerintah (Julitawati, Darwanis dan Jalaluddin 2012). Untuk melihat hasil realisasi alokasi
anggaran pemerintah daerah maka pemerintah daerah akan melaporkan realisasi tersebut
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 10 dan Pasal 27 (2) tentang Pemerintahan
sebagai salah satu pertanggungjawaban kinerja pemerintah daerah (Mustikarini dan Fitriasari
2012).
Tingkat ketergantungan pada pusat dapat dilihat dari seberapa besar DAU yang diberikan oleh
pemerintah pusat. DAU merupakan dana transfer dari pemerintah pusat untuk membantu
yang telah diberikan, pemerintah pusat akan memantau pelaksanaan penggunaan DAU
Tingkat kekayaan daerah memperlihatkan pendapatan yang didapat dari daerah itu sendiri dan
diperlihatkan dari PAD daerah tersebut (Sedyaningsih 2015). Peningkatan PAD akan
Belanja Modal
Belanja modal merupakan belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang realisasinya
dapat digunakan lebih dari satu periode yang dipakai untuk membeli aset daerah atau kekayaan
daerah tersebut dan akan mengakibatkan belanja rutin untuk biaya pemeliharaan pada belanja
administrasi umum (Andirfa, Basri dan Majid 2016). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 167 ayat 1 menyatakan bahwa belanja daerah digunakan untuk
melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk
peningkatan pelayanan urusan wajib dan pelayanan lain di bidang pendidikan, kesehatan,
penyediaan fasilitas sosial, fasilitas umum, dan pengembangan sistem jaminan sosial (Marfiana
Dalam Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) belanja modal dibagi menjadi lima kategori yang
utama yaitu: 1. Belanja modal tanah, 2. Belanja modal peralatan dan mesin, 3. Belanja modal
gedung dan bangunan, 4. Belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan, dan 5. Belanja modal fisik
Ukuran pemerintah daerah digunakan untuk mengetahui besar kecilnya obyek dari
pemerintah daerah tersebut yang dapat dilihat dari total aset pemerintah daerah (Noviyanti dan
Kiswanti 2016). Dengan aset yang dimiliki oleh pemerintah daerah maka pemerintah daerah
dituntut untuk memberikan pelaporan yang baik dan menyeluruh mengenai pengungkapan
Leverage
Leverage adalah perbandingan antara utang dan modal (Rochmah 2015). Utang
tersebut merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari kreditur (Sumarjo 2010). Leverage
diharapkan dapat memberikan sumber pembiayaan lain selain APBD untuk menutupi defisit
anggaran pemerintah daerah (Utomo 2015). Semakin tinggi nilai leverage maka semakin buruk
kinerja pemerintah daerah. Sedangkan, semakin rendah leverage maka semakin baik kinerja
Ukuran Legislatif
Ukuran legislatif di daerah dilihat dari seberapa besar jumlah anggota badan legislatif
daerah tersebut. Badan legislatif daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
sebagai wakil rakyat yang bertugas dalam fungsi pengawasan (Abdillah 2016). Pengawasan
yang dilakukan anggota DPRD untuk mengawasi penggunaan anggaran yang telah dibuat oleh
Daerah dan Retribusi Daerah diyatakan bahwa pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada
daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
Pajak daerah termasuk sebagai sumber pendapatan asli daerah yang diukur berdasarkan
daerah dapat dilihat dari pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak
penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak
sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan, bea perolehan hak
pada pengendalian intern dan perundang-undangan yang dilakukan oleh suatu daaerah yang
terlihat pada laporan keuangan pemerintah daerah (Noviyanti dan Kiswanti 2016). BPK akan
melakukan pemeriksaan kepada daerah dengan melihat laporan keuangan dan akan
pemeriksaan pada laporan keuangan pemerintah daerah untuk melihat kewajaran dari LKPD.
Hal ini didasarkan pada agency theory yang dianggap masih terdapat asimetri informasi
yang dilakukan oleh pihak agen atau pemerintah kepada pihak principal atau masyarakat dan
memungkinkan adanya masalah seperti korupsi (Artha, Basuki dan Alamsyah 2015). Untuk
itu, perlu adanya audit dan pengawasan yang dilakukan oleh BPK untuk menjamin kinerja
Pengaruh Tingkat Ketergantungan Pada Pusat Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Ketergantungan pada pusat tercermin dari seberapa besar peran pemerintah pusat pada daerah
tersebut, dan dapat dilihat dari jumlah dana perimbangan yang diberikan pemerintah pusat.
Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah (APBD) dan terdiri dari dana alokasi umum (DAU),
dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH) (Andirfa, Basri dan Majid 2016).
Tingkat ketergantungan pada pusat dapat dilihat dari berapa besar DAU yang diterima
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
dilihat dengan mengukur prosentase DAU yang diterima dengan jumlah total pendapatan dari
daerah tersebut (Sedyaningsih 2015) atau menggunakan perbandingan antara total dana
Dengan DAU yang diberikan kepada pemerintah daerah diharapkan dapat memberikan
kinerja yang baik. Dana ini diberikan sesuai dengan seberapa kebutuhan pemerintah tersebut
untuk memberikan tambahan dari sumber pendapatan asli daerah sehingga pemberian tersebut
akan adil (Julitawati, Darwanis dan Jalaluddin 2012). Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Marfiana dan Kurniasih (2013) dengan data sebesar 94 sampel di kabupaten atau kota Pulau
Jawa serta Noviyanti dan Kiswanti (2016) dengan sampel berasal dari pemerintah daerah
kabupaten atau kota di Indonesia pada tahun 2011-2013 ditemukan fakta empiris yaitu tingkat
ketergantungan pada pusat berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan daerah. Hal ini
dikarenakan dengan banyaknya dana berasal dari pusat maka pemerintah daerah akan diawasi
oleh pusat sehingga kinerja daerah akan lebih baik (Marfiana dan Kurniasih 2013).
Namun, dalam Jauhar (2016) yang melakukan penelitian pada kota atau kabupaten di
Sumatera Barat tahun 2010-2014 dengan sampel dari 19 kabupaten atau kota di Sumatera Barat
dinyatakan bahwa DAU tidak berpengaruh pada kinerja keuangan daerah karena DAU yang
tinggi ataupun rendah tidak memberikan dampak pada kinerja pemerintah daerah. Penelitian
pada kinerja keuangan daerah karena pemerintah daerah dianggap belum dapat dengan baik
menggunakan dana yang diberikan pemerintah pusat. Berdasarkan berbagai hasil yang berbeda
tersebut dan melihat mayoritas hasil penelitian terdahulu maka peneliti ingin melihat kembali
Pengaruh Tingkat Kekayaan Daerah (Wealth) Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Tingkat kekayaan daerah dapat dilihat dari pendapatan asli daerah tersebut. Peningkatan
kinerja keuangan dilihat dengan adanya peningkatan kemandirian daerah dan mengurangi
ketergantungan keuangan kepada pemerintah pusat (Ajani, Akram dan Handajani 2016).
Untuk itu, perlu diupayakan peningkatan sumber daya daerah sendiri dengan meningkatkan
PAD. Pendapatan asli daerah merupakan sumber utama pembiayaan daerah yang bersumber
dari retribusi daerah, pajak daerah, hasil kekayaan daerah yang terpisah, dan PAD lain yang
sah. Dengan penerimaan yang baik maka akan meningkatkan investasi terhadap daerah
tersebut dan akan meningkatkan pelayanan publik (Marfiana dan Kurniasih 2013).
Telah banyak penelitian terdahulu yang menguji mengenai pengaruh kekayaan daerah
ini. Dalam penelitian Ayuningsih (2016) ditemukan fakta empiris berupa kekayaan daerah
berpengaruh pada kinerja keuangan daerah karena dengan pertumbuhan yang positif akan
meningkatkan investasi pada daerah tersebut dan akan meningkatkan infrastruktur untuk
peningkatan PAD daerah. Selain itu, dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Julitawati,
Darwanis dan Jalaluddin (2012), Darwanis dan Saputra (2014) yang dilakukan pada kabupaten
atau kota di Provinsi Aceh, serta Abdullah, Asmawanti dan Febriansyah (2015) yang
melakukan penelitian di 58 kabupaten atau kota di Sumatera Bagian Selatan tahun 2011-2013
juga menyebutkan bahwa PAD berpengaruh pada kinerja keuangan daerah. Tetapi dalam
penelitian Marfiana dan Kurniasih (2013) yang dilakukan di Pulau Jawa dan Sedyaningsih
(2015) menggunakan data sebanyak 80 Kabupaten di Sulawesi Selatan dari tahun 2009-2012
disebutkan bahwa tingkat kekayaan daerah tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan
daerah karena kekayaan yang semakin besar membuat kinerja pemerintah daerah semakin sulit
atau tertekan untuk memberikan kinerja yang baik. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian
pemerintah daerah
Pemerintah, belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset
lainnya yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Daerah harus menyiapkan
anggaran yang baik di awal periode agar dalam periode tersebut pembangunan yang ada telah
sesuai dan tidak memberikan kerugian kepada daerah karena setiap aktifitas daerah didasarkan
pada anggaran yang telah dibuat. Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah dapat
dilihat dari bagaimana realisasi anggaran tersebut digunakan. Realisasi yang baik akan
membuat infrastruktur daerah juga akan menjadi lebih baik. Hal ini terlihat dari salah satu
fungsi dari belanja modal adalah untuk pembangunan infrastruktur yang ada di daerah tersebut
sehingga belanja modal dianggap penting dalam aktivitas ekonomi daerah (Sedyaningsih
2015). Infrastruktur yang baik akan dapat pula meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
Hal ini sejalan dengan Ayuningsih (2016) yang menguji kinerja keuangan pemerintah
daerah di Jawa Tengah dengan menggunakan sampel 76 kota atau kabupaten yang ada di
provinsi tersebut tahun 2011-2014 menyatakan bahwa belanja modal berpengaruh terhadap
kinerja keuangan daerah. Bahkan, dalam penelitian Marfiana dan Kurniasih (2013) serta
penelitian Noviyanti dan Kiswanti (2016) yang meneliti pemerintah daerah kabupaten atau kota
di Indonesia tahun 2011-2013 disebutkan bahwa belanja daerah berpengaruh positif terhadap
kinerja keuangan pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan dengan banyaknya belanja daerah
yang telah dikeluarkan maka akan mempermudah pemerintah daerah dalam menjalankan
direalisasikan dengan baik. Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh Sedyaningsih (2015)
menggunakan data sebanyak 80 sampel meliputi seluruh kabupaten di Sulawesi Selatan dari
tahun 2009-2012 menghasilkan temuan yaitu belanja modal tidak berpengaruh terhadap kinerja
keuangan daerah sehingga diketahui bahwa tinggi atau rendahnya alokasi belanja modal tidak
berpengaruh pada kinerja keuangan pemerintah Sulawesi Selatan. Untuk itu, peneliti ingin
mengonfirmasi hasil dari mayoritas penelitian terdahulu mengenai belanja daerah sehingga
H3: Belanja modal berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah
pemerintah daerah dapat dilihat dari berapa besar total aset yang dimiliki daerah tersebut
(Ayuningsih 2016). Pemerintah daerah diharapkan memberikan pelayanan yang baik sehingga
harus didukung dengan pengelolaan aset yang baik pula (Harumiati dan Payamta 2014). Oleh
karena itu, diperlukan sumber daya dan fasilitas daerah yang memadai untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Aset daerah yang lebih besar akan memberikan tuntutan yang
besar pula kepada daerah dalam melaporkan pengungkapan wajib pada asetnya kepada
masyarakat (Aziz 2016). Hal tersebut akan menuntut untuk pemerintah memberikan hasil yang
baik dan dapat memberikan good news pada pengungkapan ke masyarakat sehingga kinerja
Melihat berbagai penelitian sebelumnya terdapat beberapa hasil mengenai pengaruh size
terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Harumiati dan Payamta (2014), serta hasil penelitian Aziz (2016) yang meneliti sampel
sebanyak 30 pemerintah daerah kabupaten atau kota di Jawa Timur tahun 2014 menemukan
fakta empiris bahwa size berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Ukuran
yang besar diharapkan membuat pemerintah daerah dapat dengan optimal menggunakan aset
yang dimiliki untuk kinerja yang lebih baik. Sedangkan, menurut Darmanto (2012) yang
menggunakan data dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2008-2010, dan
Sedyaningsih (2015) hasil penelitian menunjukkan bahwa size tidak berpengaruh terhadap
kinerja keuangan pemerintah daerah sehingga menunjukkan ukuran yang besar belum tentu
mempengaruhi kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu, hipotesis yang dibuat untuk melihat
daerah
Temuan audit adalah temuan pelanggaran mengenai ketentuan pengendalian internal dan
ketentuan perundangan-undangan yang masih berlaku (Mustikarini dan Fitriasari 2012). Jika
pemerintah tidak patuh dalam perundang-undangan maka akan muncul potensi kerugian daerah
tersebut bahkan kepada negara, juga akan menimbulkan kurangnya penerimaan, tidak hemat,
tidak efisien dan tidak efektif dalam menjalankan kegiatan administratif daerah (Marfiana dan
Kurniasih 2013). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak pelanggaran yang dilakukan
pemerintah daerah dapat mengakibatkan semakin buruknya kinerja keuangan daerah tersebut
(Sesotyaningtyas 2012).
Penelitian oleh Marfiana dan Kurniasih (2013) yang memiliki sampel pemerintah daerah
kabupaten atau kota di Pulau Jawa tahun 2011 dan penelitian Sedyaningsih (2015) yang
dilakukan di Sulawesi Selatan tahun 2009-2012 juga menunjukkan hasil yang sama yaitu
bahwa temuan audit BPK berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan daerah sehingga
dapat dikatakan dengan semakin sedikit jumlah pelanggaran maka akan meningkatkan kinerja
keuangan pemerintah daerah. Sebaliknya, dalam penelitian Noviyanti dan Kiswanti (2016)
disebutkan bahwa temuan audit tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan daerah
dikarenakan kinerja keuangan daerah tidak melihat temuan audit BPK, temuan tersebut hanya
mengungkapkan bahwa temuan audit BPK berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan
H5: Temuan audit berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah
dengan kreditur (Ayuningsih 2016). Hal ini memperlihatkan apabila hutang daerah tersebut
besar maka akan memperlihatkan ketergantungan dengan pihak eksternal (Sumarjo 2010).
Besarnya leverage suatu daerah dapat dilihat dari proporsi total hutang terhadap rata-rata
ekuitas daerah tersebut. Leverage dianggap penting karena dengan rasio hutang maka kreditur
akan dapat melihat kemampuan pemerintah daerah untuk membayar utang (Artha, Basuki dan
Alamsyah 2015).
terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Dalam penelitian Darmanto (2012) yang
melakukan penelitian pada pemerintah daerah se-Indonesia pada tahun 2008-2010 disebutkan
bahwa leverage berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Rochmah (2015)
yang menguji kinerja keuangan pemerintah daerah dengan sampel APBD pada seluruh
kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2009-2012 serta Sumarjo (2010)
dengan data Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) kabupaten atau kota tahun 2008
serta data non keuangan menemukan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap kinerja
keuangan pemerintah daerah. Hal tersebut memperlihatkan bahwa semakin besar leverage
maka akan lebih ketat pengawasan dari kreditur dan pemerintah daerah diharuskan melakukan
aktivitas dengan persetujuan kreditur untuk meyakinkan kreditur bahwa pemerintah daerah
Utomo (2015) yang melihat pemerintah daerah kabupaten atau kota di Indonesia tahun
anggaran 2012 menemukan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah karena dana yang digunakan daerah berasal dari pihak eksternal sehingga
membuat kinerja pemerintah daerah buruk. Hal lain ditemukan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Sesotyaningtyas (2012), Artha, Basuki dan Alamsyah (2015), serta Ayuningsih
(2016) yang menyimpulkan bahwa leverage tidak berpengaruh kepada kinerja keuangan
pemerintah daerah karena dana pihak eksternal tidak hanya berasal dari kreditur saja dan
pinjaman dari kreditur dalam jumlah yang sedikit sehingga tidak mempengaruhi kinerja
keuangan pemerintah daerah. Untuk itu, peneliti ingin melihat kembali bagaimana pengaruh
leverage terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah sehingga peneliti membuat hipotesis
yaitu:
pemerintah pusat sehingga pengawasan dari badan legislatif sangat diperlukan (Sumarjo 2010).
Pengawasan yang dilakukan sangat penting untuk melihat bagimana kinerja pemerintah
daerah. Pengawasan berupa melihat bagaimana penggunaan anggaran yang ada dengan baik
(Rochmah 2015). Sesotyaningtyas (2012) juga menyebutkan bahwa hal terpenting adalah
kualitas pengawasan dari anggota legislatif tersebut. Untuk itu jumlah legislatif yang banyak
dapat meningkatkan pengawasan pada pemerintah daerah (Sumarjo 2010). Hal tersebut
memperlihatkan dengan semakin besar jumlah legislatif yang ada akan meningkatkan kualitas
Marfiana dan Kurniasih (2013) serta Noviyanti dan Kiswanti (2016) menemukan fakta
bahwa ukuran legislatif berpengaruh secara negatif terhadap kinerja keuangan pemerintah
daerah sehingga dapat dilihat jumlah anggota DPRD yang besar belum tentu menambah kinerja
daerah bahkan dapat menurunkan kinerja keuangan pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan
masih kurangnya peran anggota DPRD untuk memperjuangkan kepentingan rakyat (Marfiana
dan Kurniasih 2013). Sedangkan, Sumarjo (2010), Sesotyaningtyas (2012), dan Abdillah
(2016) menunjukkan hasil bahwa ukuran legislatif tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja
keuangan pemerintah daerah. Hasil ini terlihat dari masih banyaknya anggota DPRD yang
melakukan korupsi dan tidak melakukan pengawasan dengan baik (Sumarjo 2010). Oleh
karena itu, hipotesis yang dibuat untuk melihat kembali pengaruh ukuran legislatif adalah:
Pendapatan pajak daerah merupakan salah satu sumber PAD yang digunakan untuk
Pendapatan pajak daerah digunakan sebagai sumber pendapatan utama dari PAD sehingga
menjadi dana untuk pembiayaan operasional daerah (Ningsih 2010). Hal inilah yang membuat
pendapatan pajak daerah penting dan mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Alfarisi (2015) yang meneliti 19 kabupaten dan
kota di Sumatera Barat menemukan bahwa pendapatan pajak daerah berpengaruh secara positif
terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah karena pendapatan asli daerah khususnya pajak
daerah berperan penting dalam APBD daerah. Fitriyanti (2016) juga menemukan bahwa
pendapatan pajak daerah berpengaruh secara positif terhadap kinerja keuangan pemerintah
daerah. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi pendapatan pajak daerah semakin baik
kinerja keuangan pemerintah daerah. Sebaliknya, Wenny (2012) memberikan fakta empiris
bahwa pendapatan pajak daerah tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah
daerah pada pemerintah kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Selatan. Dari mayoritas hasil
pemerintah daerah
3. Metoda Penelitian
menguji hipotesis yang telah dibuat dan menjelaskan hasil perhitungan kembali yang telah
penelitian sejenis mengenai penelitian kinerja keuangan pemerintah daerah dan menggunakan
teknik statistika sehingga didapatkan perpaduan data kuantitatif (Eny, Subroto, Sutrisno dan
Irianto 2014). Teknik yang digunakan dalam analisis data bersifat kuantitatif. Dalam penelitian
ini akan dibuat rekapitulasi data dari ringkasan prosedur statistik yang terdapat dalam hasil
penentuan dan pengukuran kekuatan hubungan dan efek (effect size) atau perbedaan indikator
3.2. Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa artikel penelitian mengenai
maupun tugas akhir tugas akhir mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah di Indonesia
Adapun tahun penelitian yang digunakan adalah 2006 sampai tahun 2016. Hal ini
dikarenakan selama kurun waktu 10 tahun tersebut diasumsikan dapat memberikan data atau
daerah yang memiliki hubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan
jumlah penelitian yang memadai untuk dilakukan meta-analisis yaitu telah muncul
dalam minimal 5 (lima) artikel dan telah ditemukan 8 (delapan) variabel explanatory
yang dapat diuji. Digunakannya asumsi 5 (lima) artikel dikarenakan jumlah populasi
yang digunakan cukup besar sebanyak 50 artikel sehingga muncul variabel yang
c. Artikel tersebut memuat ukuran efek F, t, atau r agar dapat digunakan dalam meta-
analisis serta terdapat data mengenai hipotesis periode penelitian, sampel dan variabel
Dalam penelitian ini variabel dependen yang digunakan adalah Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah (Y). Sedangkan, variabel independen adalah sebuah variabel yang masuk
ke dalam hipotesis penelitian dan bersifat penjelasan atau memberikan pengaruh kepada
variabel dependen dalam penelitian (Fanani 2014). Variabel independen yang ditemukan yaitu
Tingkat Ketergantungan Pada Pusat (X1), Tingkat Kekayaan Daerah (Wealth) (X2), Belanja
Modal (X3), Ukuran Pemerintah Daerah (Size) (X4), Temuan Audit (X5), Leverage (X6),
Ukuran Legislatif (X7), dan Pendapatan Pajak Daerah (X8). Definisi operasional variabel dapat
Pada hasil penelitian-penelitian terdahulu muncul variasi hasil atau keberagaman hasil
penelitian pada topik yang sama yaitu kinerja keuangan pemerintah daerah. Keberagaman
kebenaran dari fenomena yang terjadi diakibatkan oleh kesalahan sistematik maupun tidak
sistematik pada penelitian tersebut (Rahman dan Groenendijk 2014). Dalam studi meta-
analisis, untuk mengoreksi kesalahan pada pengambilan sampel maka tahapan analisis dan
intepretasi data penelitian dapat menggunakan cara sebagai berikut sesuai tahapan dalam
mengkonversikan atau melakukan transformasi statistik dari ukuran efek (effect size) dari
setiap penelitian yang diubah menjadi person coefficient (𝑟𝑖 ). Dalam penelitian ini
menggunakan rumus:
𝑡2
𝑟𝑖 = √ 2
𝑡 + 𝑑𝑓
Dimana:
𝑑𝑓 = Degree of freedom
3. Menentukan populasi mean correlation (𝑟̅ ) yang dihitung dari menghitung rata-rata
tertimbang correlation coefficient (𝑟𝑖 ) dengan sample size (𝑁𝑖 ) dari total penelitian yang
akan diteliti.
∑(𝑁𝑖 ri )
𝑟̅ =
∑ 𝑁𝑖
Dimana:
4. Menghitung observed variance (𝑆𝑟2 ) dari semua koefisien korelasi dalam sampel
penelitian yang terpilih dengan menggunakan average square error weighted dibagi
∑[𝑁𝑖 (𝑟𝑖 − 𝑟̅ )2 ])
𝑆𝑟2 =
∑ 𝑁𝑖
populasi sesungguhnya dengan mencari selisih dari total variance yang diamati dan
Dimana:
penelitian ini berjumlah lebih dari 30 sampel, maka Z statistik ditentukan dengan:
Tingkat signifikansi confidence interval yang digunakan sebesar 95% yang dilakukan
untuk menguji hubungan tersebut signifikan atau tidak. Ketika korelasi rata-rata berada
diantara minimum dan luas maksimum interval kepercayaan, dan semua nilai positif atau
semuanya negatif, maka hubungan akan signifikan. Tetapi jika terdapat satu nilai negatif
dan lainnya positif maka dapat dikatakan korelasi rata-rata tidak signifikan.
Jika korelasi rata-rata menunjukkan nilai positif (+) dan tingkat kepercayaan
menunjukkan hubungan yang signifikan, maka hubungan akan positif, sehingga hipotesis
Dalam penelitian ini, menggunakan hasil penelitian berupa artikel yang telah terpublikasi
dalam jurnal atau sumber lain yang dapat diakses oleh peneliti. Hasil penelitian diperoleh dari
beberapa jurnal terakreditasi serta hasil tugas akhir yang diperoleh dari website resmi dari
Agama Islam Negeri Surakarta, Universitas Sebelas Maret Solo, Universitas Hasanuddin
Makassar, Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang, Universitas Negeri Padang,
dengan mengunduh melalui google scholar. Pencarian lain dengan mencari artikel yang telah
kinerja keuangan pemerintah daerah kota atau kabupaten dan provinsi di Indonesia yang
dipublikasikan dari berbagai sumber. Dari populasi tersebut, hanya terdapat 33 artikel yang
dan telah sesuai dengan karakterisitik penelitian yang ditentukan sebelumnya yaitu variabel
penelitian yang digunakan menjadi objek penelitian adalah variabel yang telah diteliti dan
muncul pada minimal 5 (lima) penelitian yang ada. Terdapat 17 penelitian yang tidak dapat
digunakan dikarenakan pada 10 artikel tidak terdapat variabel penelitian yang muncul minimal
5 (lima) kali dalam penelitian, serta pada 7 (tujuh) artikel lainnya tidak dilaporkannya jumlah
sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut, tidak terdapat nilai statistik 𝑟𝑖 maupun nilai
statistik lainnya yang dapat dikonversi, dan terdapat pengujian interval pada variabel yang
Dalam penelitian ini melihat kinerja keuangan pemerintah daerah kota atau kabupaten
dan provinsi di Indonesia dengan variabel dependen yang diuji yaitu kinerja keuangan
pemerintah daerah, kinerja pemerintah daerah, dan kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah
dengan berbagi variabel independen yang ada yaitu tingkat ketergantungan kepada pusat yang
dapat dilihat dari seberapa besar dana perimbangan atau intergovernmental revenue yang
didapatkan dari pusat dan dapat merujuk dengan hanya melihat dana alokasi umum (DAU)
yang diberikan. Selain itu, tingkat kekayaan daerah atau kemakmuran (wealth) diperlihatkan
dengan besarnya pendapatan asli daerah (PAD) secara umum yang dihasilkan. Variabel lainnya
yaitu belanja modal atau belanja daerah, ukuran pemerintah daerah dengan melihat jumlah aset
daerah, leverage, temuan audit daerah, ukuran legislatif, dan pendapatan pajak daerah.
General Ukuran Legislatif 438 5 -0,154 0,053 0,011 0,042 20,488 -0,237; 0,071
General Pendapatan Pajak
322 6 0,362 0,099 0,014 0,085 14,220 0,196; 0,528
Daerah
Sumber: Data Diolah, Oktober 2017
4.3. Pembahasan
Hasil pengolahan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3 (tiga) mengenai
ukuran efek (effect size) yang digunakan untuk melakukan meta-analisis dan Tabel 2
(dua) mengenai hasil meta-analisis untuk setiap variabel explanatory yang telah
dilakukan.
Daerah
Berdasarkan hasil dari total sampel yang telah dianalisis diindikasikan bahwa
tingkat ketergantungan pada pusat tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
kinerja keuangan pemerintah daerah. Hal ini terlihat berdasarkan hasil temuan mean
correlation ( ̅)
𝑟 = -0,008 dengan confidence interval 95% antara -0,215; 0,199 sehingga
oleh pusat tidak akan mempengaruhi kinerja keuangan daerah. Hasil penelitian ini sejalan
dan Jauhar (2016) yang menyatakan bahwa DAU tidak berpengaruh pada kinerja
keuangan pemerintah daerah karena DAU merupakan dana transfer dari pusat untuk
DAU yang ditransfer belum digunakan dengan baik oleh pemerintah daerah.
Bukti dari analisis ini mengintepretasikan bahwa ketergantungan pada pusat tidak
mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan dana yang
berasal dari pusat hanya merupakan dana tambahan yang diberikan berdasarkan
kekurangan dana pemerintah daerah untuk memberikan bantuan dana bagi daerah dan
tidak merepresentasikan kinerja pemerintah daerah. Selain itu, dana ini adalah dana
tambahan yang diberikan jika daerah membutuhkan dan bukan dana rutin yang akan
selalu diberikan kepada daerah. Daerah akan lebih mengutamakan menggunakan hasil
Daerah
bukti empiris bahwa H2 diterima didukung dengan korelasi positif (mean correlation
( ̅)
𝑟 = 0,174 dengan confidence interval 95% antara 0,076; 0,271). Hal ini berarti terdapat
pengaruh yang signifikan positif dan kuat antara tingkat kekayaan daerah dengan kinerja
keuangan pemerintah daerah. Temuan ini memberikan bukti bahwa daerah yang memiliki
pendapatan (PAD) yang tinggi akan memiliki kinerja keuangan pemerintah daerah yang
baik pula. Penelitian Julitawati, Darwanis dan Jalaluddin (2012) serta Ayuningsih (2016)
juga memberikan fakta empiris bahwa tingkat kekayaan daerah memiliki pengaruh
saat pertumbuhan berjalan positif maka investasi pada daerah tersebut juga meningkat
dihasilkan daerah telah memberikan dampak dan berfungsi dengan baik untuk menunjang
kinerja keuangan pemerintah daerah dengan sumber daya yang terus berkembang. PAD
yang besar akan membuat daerah tidak lagi bergantung pada dana transfer dari pusat dan
mulai mandiri dalam kegiatan administrasi daerah. PAD yang besar pula akan mendorong
investor untuk masuk ke daerah dan memberikan kemakmuran yang baik bagi masyarakat
hubungan yang signifikan dengan kinerja keuangan pemerintah daerah, ini ditunjukkan
0,193 sehingga hasil analisis-meta menyatakan bahwa H3 ditolak. Hal ini membuktikan
bahwa besar kecilnya pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tidak akan
Sedyaningsih (2015) yang menemukan bahwa belanja modal tidak berpengaruh terhadap
kinerja keuangan pemerintah daerah disebabkan karena masih lemahnya tata kelola
Bukti dari analisis ini mengintepretasikan bahwa besar kecilnya alokasi belanja
modal belum berfungsi dengan baik dalam meningkatkan kinerja keuangan pemerintah
daerah. Hal tersebut terlihat dengan belum baiknya realisasi dari anggaran yang dibuat
oleh pemerintah daerah sehingga menimbulkan kerugian kepada daerah. Realisasi yang
buruk menyebabkan program yang telah dirancang oleh pemerintah daerah tidak secara
optimal terlaksana. Selain itu, pengelolaan belanja daerah yang tidak efektif dan efisien
dapat membuat pembangunan daerah tidak berjalan dengan baik dan membuat
infrastruktur yang dimiliki daerah belum berkembang sehingga membuat masih buruknya
pelayanan publik.
confidence interval 95% antara 0,038; 0,073. Ukuran pemerintah memiliki hubungan
signifikan yang positif dan kuat terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Penelitian
Sumarjo (2010), Mustikarini dan Fitriasari (2012), serta Artha, Basuki dan Alamsyah
(2015) telah membuktikan bahwa ukuran pemerintah (size) berpengaruh positif terhadap
kinerja keuangan pemerintah daerah yang memberikan tuntutan kepada pemerintah untuk
lebih baik dalam pengelolaan aset daerah untuk peningkatan pelayanan kepada
masyarakat.
Bukti dari analisis ini mengintepretasikan bahwa ukuran daerah yang besar akan
masyarakat. Dengan kegiatan operasional yang baik akan mempermudah daerah dalam
baik dan telah dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Dengan kata lain, ukuran
pemerintah daerah yang besar yang mencerminkan jumlah aset daerah yang tinggi pula
yang diperoleh dari kinerja daerah yang baik dalam mengelola kekayaan yang dimiliki
oleh daerah.
Melihat hasil analisis-meta yang telah dilakukan terhadap 11 artikel yang ada,
temuan audit memilki hubungan yang signifikan negatif terhadap kinerja keuangan
confidence interval 95% antara -0,153; -0,063 sehingga H5 dapat diterima. Hasil ini
berarti daerah dengan temuan audit atau temuan penyimpangan yang kecil pada hasil
laporan realisasi APBN akan membuktikan bahwa daerah tersebut memiliki kinerja yang
baik dalam pengelolaan keuangan daerah. Bukti empiris ini konsisten dengan penelitian
Mustikarini dan Fitriasari (2012) serta Marfiana dan Kurniasih (2013) yang menemukan
bahwa temuan audit memiliki pengaruh yang negatif terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah.
Bukti dari analisis ini mengintepretasikan bahwa daerah harus berhati-hati dalam
pembuatan laporan daerah mengenai hasil akuntansi yang dibuat. Daerah harus
pemerintahan dengan baik karena masyarakat juga mengawasi kinerja pemerintah daerah.
dengan confidence interval 95% antara 0,073; 0,098. Hal ini berarti terdapat pengaruh
siginifkan positif dan kuat antara leverage dengan kinerja keuangan pemerintah daerah.
Penelitian Sumarjo (2010) dan Darmanto (2012) juga membuktikan bahwa leverage
Bukti dari analisis ini mengintepretasikan bahwa daerah yang memiliki pinjaman
daerah kepada kreditur yang besar akan semakin memperbaiki kinerja keuangan daerah
dikarenakan kreditur akan melihat apakah daerah benar-benar dapat melunasi pinjaman
yang telah diberikan atau tidak. Selain itu, dengan adanya utang kepada pihak eksternal
akan membuat daerah lebih hati-hati dalam pembuatan keputusan publik agar tidak
bahwa H7 tidak dapat diterima. Berdasarkan 5 artikel sampel yang digunakan dalam
antara -0,237; 0,071 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
ukuran legislatif dan kinerja keuangan pemerintah daerah. Hasil analisis ini didukung
dengan Sumarjo (2010) dan Sesotyaningtyas (2012) yang menunjukkan ukuran legislatif
Rochmah (2015) serta Noviyanti dan Kiswanti (2016) menunjukkan pengaruh yang
Bukti empiris ini memperlihatkan bahwa daerah lebih membutuhkan kualitas dan
kompetensi anggota legislatif daripada jumlah legislatif yang besar dalam pembuatan dan
pengambilan keputusan publik. Jumlah yang besar juga belum tentu dapat memperbaiki
kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat yang memilih mereka. Dengan masih
banyaknya pelanggaran dari anggota legislatif akan membuat kinerja suatu daerah
menurun.
memiliki hubungan dengan kinerja keuangan pemerintah daerah, ini ditunjukkan dari 322
confidence interval 95% antara 0,196; 0,528 sehingga hasil analisis-meta menyatakan
bahwa H8 diterima. Hal ini membuktikan bahwa pendapatan pajak daerah tersebut
memiliki pengaruh yang signifikan positif dan kuat terhadap kinerja keuangan pemerintah
daerah. Hasil ini sejalan dengan penelitian Alfarisi (2015) dan Fitriyanti (2016) yang
Bukti dari analisis ini mengintepretasikan bahwa pendapatan pajak daerah penting
bagi suatu daerah karena merupakan salah satu pendapatan asli daerah yang menjadi salah
satu komponen untuk membiayai pengeluaran daerah. Penerimaan pajak yang tinggi
mencerminkan bahwa masyarakat daerah tersebut memiliki ketaatan yang tinggi pula dan
juga kegiatan administrasi daerah yang telah berjalan dengan baik akibat dari pemerintah
daerah yang memiliki kinerja yang baik dan dipercaya oleh masyarakat daerah tersebut.
5. Penutup
5.1. Kesimpulan
yang digunakan pada penelitian ini yaitu pendekatan teknik meta-analisis yang
menyimpulkan bahwa terdapat 5 (lima) faktor yaitu tingkat kekayaan daerah (wealth),
ukuran pemerintah daerah (size), leverage, dan pendapatan pajak daerah, serta temuan
audit BPK yang dapat digunakan pemerintah daerah untuk memperlihatkan keberhasilan
kinerja daerahnya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian terhadap total sampel yang
menunjukkan bahwa tingkat kekayaan daerah (wealth), ukuran pemerintah daerah (size),
leverage, dan pendapatan pajak daerah memiliki hubungan yang signifikan positif
terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Serta temuan audit BPK memiliki
Sedangkan, untuk tingkat ketergantungan pada pusat, belanja modal, dan ukuran
kinerja keuangan pemerintah daerah dikarenakan menunjukkan tidak ada hubungan yang
signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Dalam penelitian ini dibuktikan
bahwa variabel yang sering muncul dalam penelitian kinerja keuangan pemerintah daerah
daerah.
Keterbatasan dalam penelitian ini dimana tidak melakukan pengujian efek moderasi
untuk setiap variabel setelah melakukan general meta-analisis. Dalam penelitian Fanani
(2014) dijelaskan dengan pengujian efek moderasi dapat memperkuat hasil analisis
tingkat heterogenitas. Selain itu, masih kurangnya referensi yang digunakan sebagai
yaitu keragaman dalam penelitian terdahulu meliputi variabel yang digunakan dan
pengukuran pada setiap riset yang berbeda yang membuat perbedaan hasil pada setiap
penelitian terdahulu.
5.3. Rekomendasi
Diharapkan dengan tingkat kekayaan daerah, pemerintah daerah lebih berfokus pada hasil
pendapatan asli daerahnya untuk dapat meningkatkan investor yang datang ke daerah
aset yang baik untuk peningkatan pelayanan publik sehingga berdampak baik pada
komitmen yang baik dalam menjalankan kegiatan dan pembuatan LKPD sehingga tidak
menggunakan utang yang berasal dari pihak eksternal dengan baik untuk menjalankan
kinerja keuangannya. Serta, dapat meningkatkan penerimaan pajak daerah sebagai salah
satu pendapatan penting daerah yang dapat digunakan untuk pembiayaan operasional dan
dapat memasukkan uji efek moderasi pada setiap kelompok sampel untuk memberikan
hasil lebih memperkuat pada hasil meta-analisis yang dilakukan untuk mengetahui
variabel yang diuji membutuhkan adanya variabel moderasi atau tidak. Juga diharapkan
dapat mencari referensi lebih banyak lagi penelitian-penelitian teknik meta-analisis untuk
menunjang pengolahan data serta mengidentifikasi keragaman hasil dan pengukuran pada
penelitian terdahulu.
6. Daftar Pustaka
Universitas Sebelas Maret, Solo: Universitas Sebelas Maret. Diakses Pada 2017.
eprints.uns.ac.id.
40