Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA LUPUS

Disusun oleh:
Eva Wulandari
030.14.058

Pembimbing:
dr. H. Didi Sukandi, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa
atas berkat rahmat dan hidayah-Nya maka saya dapat menyelesaikan referat
dengan judul "Diagnosis dan tatalaksana Lupus”.
Referat ini dibuat oleh demi memenuhi tugas di kepaniteraan klinik bagian
Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. Saya
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. dr. H. Didi Sukandi, Sp.A dokter pembimbing yang telah memberikan saran
dan koreksi dalam penyusunan referat ini.
2. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang untuk
menyempurnakan referat ini. Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga
referat ini dapat bermanfaat.

Karawang, Mei 2018

Eva wulandari
030.14.058
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

Referat

Judul:

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA LUPUS

Nama : Eva Wulandari


NIM 030.14.058

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada Hari ................, Tanggal ............................ 2018

Pembimbing,

dr. H. Didi Sukandi, Sp.A


DAFTAR ISI
BAB IPENDAHULUAN.......................................Error! Bookmark not defined.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA...............................................................................3

2.1. Definisi......................................................................................................3

2.2. Epidemiologi...........................................Error! Bookmark not defined.

2.4. Klasifikasi.......................................................................................................... 9

2.5. Manifestasi klinis....................................................................................11

2.6. Pemeriksaan Laboratorium......................................................................13

2.7. Penatalaksanaan.......................................................................................14

2.8. Komplikasi..............................................................................................16

BAB IIIKESIMPULAN.........................................Error! Bookmark not defined.


BAB I
PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun kronik


yang dapat melibatkan berbagai sistem organ dengan manifestasi klinis yang
1,2,3
sangat bervariasi. Pada LES terjadi proses inflamasi, vaskulitis, deposisi
kompleks imun, serta vaskulopati yang luas, dengan manifestasi klinis yang
bersifat episodik dan multisistem. 3,4
Frekuensi LES anak dilaporkan cukup tinggi di Asia, Afrika Amerika,
Hispanik, dan Amerika asli. Dibanding dengan penyakit autoimun lain yang
sering pada anak, seperti juvenile idiopathic arthritis (JIA) dan diabetes melitus
tipe 1. Sebagian besar penelitian melaporkan usia median untuk onset LES adalah
11–12 tahun. Sebanyak 15–20% kasus terjadi pada usia kurang dari 18 tahun.
prevalensi 3,3–8,8/100.000 anak per tahun.1 Insidens LES pada anak secara umum
mengalami peningkatan, sekitar 15-17%, sebesar 10-20 kasus/100.000. Penyakit
ini jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun, 4,5,6 Belum terdapat data epidemiologi
SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS
Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien
yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.7

Dikatakan Qimindra, penyakit ini adalah penyakit autoimun,


sistemik, kronik, yang ditandai dengan berbagai macam antibodi
tubuh yang membentuk komplek imun, sehingga menimbulkan reaksi
peradangan di seluruh tubuh. Autoimun maksudnya, tubuh penderita
lupus membentuk daya tahan tubuh (antibodi) tetapi salah arah,
dengan merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel
darah dan lain-lain. Padahal antibodi seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri atau virus yang masuk tubuh. Sedangkan sistemik
memiliki arti bahwa penyakit ini menyerang hampir seluruh organ
tubuh. Sementara kronis, maksudnya adalah sakit lupus ini bisa
berkepanjangan, kadang ada periode tenang lalu tiba-tiba kambuh
lagi.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun kronik
yang dapat melibatkan berbagai sistem organ dengan manifestasi klinis yang
sangat bervariasi yang ditandai oleh peradangan kronis dan akut mengenai satu
atau beberapa organ tubuh.1,2,3,5

2.2. Epidemiologi
Data dari Yayasan Lupus Indonesia, penderita LES diperkirakan
mencapai 5 juta di seluruh dunia.2 Frekuensi LES anak dilaporkan
cukup tinggi di Asia, Afrika Amerika, Hispanik, dan Amerika asli.1,3
Dibanding dengan penyakit autoimun lain yang sering pada anak,
seperti juvenile idiopathic arthritis (JIA) dan diabetes melitus tipe 1.
Sebagian besar penelitian melaporkan usia median untuk onset LES
adalah 11–12 tahun. Sebanyak 15–20% kasus terjadi pada usia kurang
dari 18 tahun. prevalensi 3,3–8,8/100.000 anak per tahun. 1 Insidens
LES pada anak secara umum mengalami peningkatan, sekitar 15-17%,
sebesar 10-20 kasus/100.000. Penyakit ini jarang terjadi pada usia di
bawah 5 tahun,4,5,6 Belum terdapat data epidemiologi SLE yang
mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari
total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam,
sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE
atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi
selama tahun 2010.7

2.3. Kriteria
 Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE
1. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
2. Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan
a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c. Serositis mayor
3. Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.7
2.4. Patofisologi

Patogenesis
Etiologi penyakit LES masih belum terungkap dengan pasti
tetapi diduga merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang
didapat dan faktor lingkungan.
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif
dan menghasilkan peningkatan kadar antibodi dan
hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi IgG di
darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B
poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang
proliferasi sel B atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG
anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga merupakan karakteristik, yang
disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B poliklonal
yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.
Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti
defisiensi herediter komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2)
dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-
DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik yang berperan dalam LES
bersifat multipel, kompleks dan interaktif.
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi
presentasi antigen dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan
pengaturan produksi autoantibodi disebabkan gangguan fungsi CD8+,
natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip.
Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan
antigenik yang disebut idiotip, yang mampu merangsang respons
pembentukan antibodi antiidiotip. Sebagai respons tubuh terhadap
peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip yang bersifat
spesifik terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai
dengan jenis idiotip yang ada. Kapasitas sistem retikuloendotelial
dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan
antigen yang terlalu tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan
mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan
menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa
jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai
jenis autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus
adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA,
nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer
antiDNA mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk,
yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi
dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara bagi
sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin, sehingga
dapat terjadi trombosis disertai perdarahan. Antibodi antinuklear telah
dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan
sebagai penyebab vaskulitis.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES
didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang
terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid)
dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi
komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit
di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering
terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA).
Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan
menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi
kaskade komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a,
C5a), adanya granulosit dan makrofag sehingga terjadi inflamasi,
seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam deposit kompleks
imun pada LES, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi
yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena
inefisiensi atau kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi
ini dapat disebabkan oleh penurunan reseptor komplemen CR1 pada
permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin terjadi karena
mekanisme pertahanan di daerah membran basal glomerulus, yaitu
ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus,
tanpa intervensi kompleks imun.
Pasien dengan LES aktif mempunyai limfositopenia T,
khususnya bagian CD4+ yang mengaktivasi CD8+ (Tsupressor) untuk
menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan (shift) fenotip sitokin
dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung untuk membantu
aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6. 8
Autoantibodi yang terdapat pada LES ditujukan pada antigen
yang terkonsentrasi pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu
abnormalitas dalam pengaturan apoptosis mempunyai peranan penting
dalam patogenesis LES. Pada LES terjadi peningkatan apoptosis dari
limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis akibat defek
pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan
sel apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T
dan protein Fas pada CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan
limfositopenia.
Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon FSH
(Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan
prolaktin yang meningkat. Pada perempuan dengan LES, juga terdapat
peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol. 8,9

2.5. Diagnosis

Manifestasi Klinis
Manifestasis sistemik terutama fatigue/kelelahan dan mialgia atau
artralgia, dialami sepanjang perjalanan penyakit. gejala klinis yang tak
spesifik, antara lain lemah, lelah, lesu berkepanjangan, panas, demam,
mual, nafsu makan menurun, dan berat badan turun, malaise/ rasa
tidak enak badan, demam ringan anorexia dan lymphadenopathy, dan
anemia. Akibat gejalanya mirip dengan gejala penyakit lainnya, maka
lupus dijuluki sebagai penyakit peniru. Julukan lainnya adalah si
penyakit seribu wajah. Karena itu, biasanya pasien melakukan
shopping doctor (berpindah-pindah dokter) sebelum diagnosis
penyakitnya dapat ditegakkan. 1,3,10

1. Muskuloskeletal
Pola kelainan sendi: poliartritis umumnya simetris, berupa
pembengkakan jaringan lunak disertai nyeri tekan. Paling sering pada sendi
kecil tangan dan pergelangan tangan, bisa juga pada lutut. Kadang
menimbulkan kelumpuhan. Sering kali nyeri subjektif, bengkak, merah panas.
Gambaran rontgen : non erosif.
2. Mukokutaneus
a. Acute cutaneous SLE : malar rash , di wajah dibagian pipi yang menonjol,
berbentuk seperti kupu-kupu pada telinga dan dagu. Bisa juga pada V
region di leher dan dada, punggung atas dan sisi ekstensor lengan.
Biasanya dimulai dengan makula atau papul eritematous kecil-kecil
kemudian bergabung sering kali setelah paparan sinar matahari. Ruam
fotosensitif memiliki ciri yang khas yaitu, timbul dalam beberapa jam
setelah terpajan sinar ultra violet dan terdiri dari fesikel-vesikel dan plak-
plak yang gatal, yang bertahan selama beberapa hari.
b. Subacute cutaneous lupus (SCLE) : lesi kulit yang memiliki ciri rekuren,
tidak membentuk jaringan parut, tidak mengeras. Ruam khusus ini terdiri
dari plak dan papul.
c. Chronik cutaneous SLE : lesi discoid (DLE), biasanya terlokalisir pada
kepala dan leher didaerah yang terpajan sinar matahari, dengan predileksi
pada telinga dan periorbita.
d. Lesi oral : Cheilitis, ulser, plak eritemi, lichen planus-type plaques pada
mukosa pipi dan palatum, dan DLE. Biasanya lesi oral asimptomatik dan
ditemukan pada pemeriksaan fisik.
3. Ginjal
Kelainan ginjal merupakan manifestasi penyakit yang umum, jelas
menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada dekad pertama. prevalensi
nefritis secara keseluruhan antara 50-75%. Hal penting adalah pemeriksaan
penepis lupus nefritis seperti adanya hematuria, proteinuria atau hipertensi.
4. Sistem saraf
Manifestasi neorologik dan psikiatrik pada SLE bisa dalam bentuk fokal
atau difus, peripheral atau sentral. 19 tanda dan gejala yang merupakan suatu
sindrom neoropsikiatro kognitif:
- Headeche
- Cerebro vaskular disease
- Seizure
- Acute confusional state
- Anxiety disorder
- Cognitive dysfunction
- Mood disorder
- Psikosis
- Aseptic meningitis
- Autonomic disorder
- Demyelinating syndrome
- Mononeoropathy
- Movement disorder
- Myastenia gravis
- Myelopathy
- Cranial neoropathy
- Plexopathy
- Polyneoropathy
- Poliradiculopathy.

Neoropsikiatri SLE (NPSLE) penegakkan dianosisnya memerlukan


eksklusi dari penyebab lain yaitu infeksi, kelainan metabolik, kelainan
perdarahan, keganasan dan toksisitas obat. Manifestasi paling umum dari lupus
cerebral yang difus adalah disfungsi kognitif, termasuk ganggaun memori dan
penalaran, sakit kepala, dan kejang. 4,10

5. Pulmo

Manifestasi yang paling sering adalah pleuritis, sering kali asimptomatik.


Timbul nyeri pleuritik yang khas. Pada pemeriksaan fisik ditemukan : takipnea,
pleural friction.

6. Jantung dan pembuluh darah

Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling sering, yang


biasanya memberi renspon terhadap terapi anti inflamasi, dan jarang
menimbulkan tamponade. Yang paling sering adalak myocarditis dan fibrinous
endocarditis. Jika sudah mengenai endocardium dapat menyebabkan insufisiensi
katub mitral atau aorta, emboli, atherosclerosis.
7. Hematologik
a. Anemia  Hb < 10 g/dL
b. Leukopenia  baik neutropenia atau limfopenia menunjukkan aktivitas
penyakit dan kecendrungan infeksi.
c. Trombositopenia  jumlah trombosit >40.000/uL, dan tidak ada
perdarahan.
8. Gastrointestinal

Mual, muntah, diare atau nyeri abdomen yg difus, peningkatan SGOT dan
SGPT.

9. Mata

Sindroma sicca atau sindroma sjogren dan conjunctivitis non spesifik da


jarang mengganggu visus. Akan tetapi retinal vassculitis atau optical vasculitis
merupakan manifestasi serius yang dapat menyebabkan kebutaan.10

Menurut American College Of Rheumatology (ACR), diagnosis SLE


harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan singkat
dari 11 gejala tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada
bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya
jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.
3. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar
matahari
4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini
dijumpai pada 90% odapus.
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi
cairan.
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
8. Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-
lain.
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia
10. Tes ANA (antinuclear Antibody) positif
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh.3,5,6.10,11
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensititas
85% dan spesiisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya
tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan
observasi jangka panjang diperlukan.7

Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum dan
kesadaran baik, tekanan darah normal, nadi normal baik dari jumlah
denyut maupun isi nadi, frekwensi pernafasan normal, dan suhu
sedikit meningkat. Selain itu didapatkan adanya radang pada
tenggorokan dan kelainan seperti kupu-kupu yang berwarna merah
coklat “Butterfly Rash”, di pipi kedua dan hidung dan radang
amandel.3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang berguna untuk menegakkan
diagnosis adalah:
 Darah tepi lengkap: anemia, lekopenia, trombositopenia*,
 retikulosit;
 uji Coomb; LED*;
 CRP; ureum dan kreatinin serum*;
 SGOT dan SGPT;
 Elektrolit: natrium, kalium, dan kalsium; glukosa sewaktu;
 elektroforesis protein;
 masa pembekuan; PT/Aptt;
 komplemen: C3, C4, dan CH50*;
 uji ANA*; anti-dsDNA*;
 anti Smith;
 antibodi antifosfolipid: IgG atau IgM anti kardiolipin, antikoagulan lupus,
serologis sifilis (VDRL);
 urinalisis*; protein urine (kuantitatif dan atau semi kuantitatif)*;
 biakan kuman terutama dalam urin;
 pencitraan: foto rontgen toraks & persendian, USG ginjal, MRI kepala (atas
indikasi);
 elektrokardiografi; titer IgM, IgG, IgA; dan krioglobulin.
Dalam menegakkan diagnosis tidak semua pemeriksaan laboratorium ini
harus ada, tetapi pemeriksaan awal (diberi tanda*) sebaiknya dilakukan.6

2.6. Diagnosis Banding


Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali
mengacaukan diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau
beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:
 Undifferentiated connective tissue disease
 Sindroma Sjögren
 Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
 Fibromialgia (ANA positif)
 Purpura trombositopenik idiopatik
 Lupus imbas obat
 Artritis reumatoid dini
 Vaskulitis. 7

2.7. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mengontrol manifestasi penyakit,
sehingga anak dapat memiliki kualitas hidup yang baik tanpa
eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang
dapat menyebabkan kematian. 6
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III. Pengobatan medikamentosa
a. OAINS
b. Anti malaria
Steroid
c. Imunosupresan / Sitotoksik
d. Terapi lain

I. Edukasi / Konseling

Pendidikan dan edukasi penting untuk penderita/keluarganya


agar mengerti penyakit/penyulitnya yang mungkin terjadi, serta
pentingnya berobat secara teratur. Pencegahan terhadap pemaparan
sinar matahari: hindari paparan sinar matahari dengan tingkat UV
tertinggi: jam 9.00/10.00 sampai 15.00/16.00, pakaian lengan
panjang, celana panjang, kerudung, topi, kacamata hitam, tabir surya
(topikal) untuk blokade radiasi UVA dan UVB. diet tinggi kalsium,
vitamin D adekuat, dan olahraga.

II. Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien
dengan SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah
satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga
30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas
selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot
akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai
latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas
isik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk
mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot.
Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical
nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar
pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis
pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud
di bawah ini, yaitu:
 Istirahat
 Terapi fisik
 Terapi dengan modalitas
 Ortotik
 Lain-lain.

III. Terapi Medikamentosa


Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama
pada pasien dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya
banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan obat yang banyak
dipakai sebagai anti inflamasi dan imunosupresi.7
 Algoritme penatalaksanaan lupus eritematosus sistemik. Terapi SLE
sesuai dengan keparahan manifestasinya

TR = tidak respon
RS = respon sebagian
RP = respon penuh
KS adalah kortikosteroid setara prednison
MP metilprednisolon
AZA azatioprin
OAINS obat anti inflamasi steroid
CYC siklofosfamid
NPSLE neuropsikiatri SLE.7

Terapi Lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE
mencakup:
- Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5
hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik,
nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang
refrakter dengan terapi konvensional.
- Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus
serberitis.
- Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
- Danazol pada trombositopenia refrakter.
- Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring eff
ectpada SLE ringan.
- Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter
dengan obat lainnya.
- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE
yang berat.
- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator
limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE (saat ini belum
tersedia di Indonesia)
- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
- Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.1,4,5,7,8,10

2.8. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada LES dan sering menimbulkan nefritis
lupus. Perkiraan prevalensi keterlibatan ginjal secara klinis pada pasien LES
berkisar antara 30%-90%.
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun
kronik yang dapat melibatkan berbagai sistem organ dengan
manifestasi klinis yang sangat bervariasi yang ditandai oleh
peradangan kronis dan akut mengenai satu atau beberapa organ tubuh.
Menurut American College Of Rheumatology (ACR), diagnosis SLE
harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan singkat
dari 11 gejala tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada
bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya
jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.
3. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar
matahari
4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini
dijumpai pada 90% odapus.
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi
cairan.
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
8. Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-
lain.
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia
10. Tes ANA (antinuclear Antibody) positif
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ghrahani R, Sapartini G, Setiabudiawan B. Pola Antibodi Antinuklear
Sebagai Faktor Risiko Keterlibatan Sistem Hematologi Lupus Eritematosus
Sistemik pada Anak. MKB. 2015; 47 (2): 124-8
2. Susianti H , Salman Y , Gunawan A, Handono K. Kadar Antibodi Anti-
dsDNA dan Urine Monocyte Chemoattractant Protein-1 pada Nefritis
Lupus. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2012; 27( 2): 96-101
3. Roviati E. Systemic Lupus Erithematosus (Sle): Kelainan Autoimun Bawaan
Yang Langka Dan Mekanisme Biokimiawinya. Jurnal Scientiae Educatia.
2012. 1 (2) :
4. Sudewi NP, Kurniati N, Suyoko EMD, Munasir Z, Akib AAP. Karakteristik
Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak. Sari Pediatri. 2009. 11(2):
108-12
5. Evalina R. Gambaran Klinis dan Kelainan Imunologis pada Anak dengan
Lupus Eritematosus Sistemik di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik
Medan. Sari Pediatri. 2012. 13(6): 406-9
6. Sambas DR, Sekarwana N, Hilmanto D, Gama H. Buku Ajar Nefrologi. Ed2.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2002: 366-79
7. Kasjmir YI, Handono K, Wijaya LK, Hamijoyo L , AlbarZ , Kalim H, dkk.
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis Dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik Dalam Diagnosis Dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi
Indonesia. 2011. 1-46
8. Alergi Imunologi Anak Online. Patogenesis Lupus Sistemik Eritematus Pada
Anak. Lupus Eritematosus Sistemik Pada Anak. Dokter Indonesia Online.
2016. https://alergianakonline.wordpress.com/2016/06/09/patogenesis-lupus-
sistemik-eritematus-pada-anak/
9. Children Allergy Center. Lupus Eritematosus Sistemik Pada Anak. Posted
by : Indonesian Children. 2009.
https://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/16/lupus-eritematosus-
sistemik-pada-anak/
10. Wiradharma D. SLE Penyakit Autpimun Yang Perlu Di Ketahui Dokter
Praktik Umum. Jakrta: Sagung Seto. 2014: hal 1-61
11. Muhlisin A. Penyakit Lupus : Pengertian, Penyebab, Gejala dan Pengobatan.
Sumber: Penyakit Lupus : Pengertian, Penyebab, Gejala dan Pengobatan -
Mediskus. Di akses 2108 https://mediskus.com/penyakit/lupus-pengertian-
penyebab-gejala-pengobatan.

http://syamsidhuhafoundation.org/id_ID/2015/05/06/lupus-pada-anak/

Anda mungkin juga menyukai