SkABIES
Disusun oleh :
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R.S.
Tanggal Lahir : 31/08/1998
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Klaten
Tgl Periksa : 26/3/2021
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kontrol keloid di dada.
Keluhan keloid pasien sudah lama dirasakan yaitu sejak tahun 2008 dan
memang sudah kontrol rutin ke dokter.
4. Riwayat Penyakit Keluarga dan Orang Sekitar (RPK)
Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi namun terkontrol dengan minum obat
rutin.
5. Riwayat Alergi
disangkal
6. Riwayat Pengobatan
Pasien menggunakan obat-obatan yang diresepkan oleh dokter.
7. Gaya Hidup
Aktivitas Fisik
Pasien adalah pensiunan yang sudah terbatas aktivitas fisiknya. Pasien tidak rutin
berolahraga. Tidur cukup 8 jam/ hari.
Diet
Pola makan pasien sehari 2-3x , menu makan bervariasi, terdiri dari nasi, lauk
dan sayur. Kadang disertai buah. Kebutuhan cairan pasien selalu terpenuhi.
Konsumsi rokok dan alcohol (-).
V. DIAGNOSIS BANDING
1. Hypertrophic scar
2. Atrofic scar
VII. TATALAKSANA
Injeksi
Topikal
R/ Mederma gel 20 gr tube No. I
S 2 D ue m et v
VIII. EDUKASI
1. Usahakan untuk tidak menggaruk keloid.
X. PROGNOSIS
Quo Ad vitam : Bonam
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Keloid adalah parut abnormal yang timbul sebagai akibat dari proses
penyembuhan luka. Jaringan parut abnormal ini terbentuk terutama akibat dari
sintesis dan degradasi kolagen yang tidak seimbang. Komponen pemicu
pembentukan keloid lainnya adalah fibronektin (Kischer, 1982) dan
glikosaminoglikan yang berlebihan (Savage and Swann,1985).
Angka penderita scar pasca-luka terus meningkat baik karena luka penyembuhan
operasi elektif maupun luka karena luka bakar, laserasi, tato, akne, abses, dan injeksi.
Karena sering disertai gatal hingga nyeri juga kontraktur, scar sering menurunkan
kualitas hidup.1
Secara umum scar dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu scar hipertrofik dan scar
keloid. Gambaran klinis kedua jenis ini dapat sulit dibedakan, salah identifikasi dapat
menyebabkan manajemen yang tidak tepat dan sering menghasilkan keputusan operasi
yang salah.2
II. EPIDEMIOLOGI
Faktor risiko keloid diduga berkaitan dengan beberapa hal. Riwayat keloid
pada keluarga akan meningkatkan insidens keloid.8 Gen yang diduga memiliki peran
terjadinya keloid adalah HLA-B14, HLA-B21, HLA-BW16, HLABW35, HLA-DR5,
dan HLA-DQW3.8
Keloid dapat terjadi pada semua ras, kecuali albino, dan ras kulit hitam
memiliki risiko hingga 15 kali lebih besar.1,8 Angka kejadian keloid lebih tinggi pada
saat masa pubertas dan kehamilan, dan menurun pada masa menopause. Hormon juga
diduga menjadi penyebab. Diduga ada peranan sel mast pada terjadinya keloid.
Terbentuknya parut abnormal akibat proses penyembuhan luka hingga
saat ini masih menjadi masalah yang pelik, mengingat tingginya insidensi dan
beragamnya variasi respon terhadap terapi pada masing-masing orang. Di
negara berkembang setiap tahunnya terdapat 100 juta penderita dengan keluhan
parut. Sekitar 55 juta kasus parut terjadi akibat luka pembedahan elektif dan 25
juta kasus parut terjadi pada pembedahan kasus trauma. (Perdanakusuma, 2006).
III. ETIOLOGI
Beberapa faktor etiologi terjadinya keloid spontan tanpa adanya trauma jarang
meskipun beberapa kasus telah dilaporkan (Shaffer, Taylor & Masak-Bolden 2002).
Namun, kejadianspontan seperti itu bisa menjadi hasil dari anak di bawah umur,akibat
trauma yang diabaikan pada kulit (Marneros & Krieg 2004). Namun, telapak kaki dan
telapak tangan yang merupakan lokasi tinggi ketegangan kulit jarang menjadi tempat
pembentukan keloid, dan tempat yang paling terpengaruh adalah daun telinga yang
berada di bawah tekanan minimal (Seifert & Mrowietz, 2009).Peran faktor imunologi
dalam pembentukan keloid belum diteliti secara rinci dan masih harus dijelaskan.
Infiltrasi sel kekebalan pada keloid termasuk limfosit T dan sel dendritik ( Santucci et
al. 2001) dan peningkatan jumlah makrofag, epidermal sel-sel langerhans dan sel mast
telah dicatat juga (Niessen et al, 2004; Smith, Smith & Finn, 1987). Beberapa penulis
telah melaporkan hubungan dengan membran sel protein, seperti HLA-DR-16, B-14,
dan BMW-16 (Datubo-Brown, 1990), peningkatan tingkat jaringan dari IgG, IgA, dan
IgM (Kischer et al. 1983), dan respon imun yang abnormal untuk sebum (Yagi,
Dafalla & Osman 1979). Hipotesis sebum memberikan penjelasan untuk adanya
keloid di lokasi anatomi yang memiliki sedikit kelenjar sebaceous, seperti telapak
tangan dan kaki (Seifert & Mrowietz 2009). Cedera dermal pada unit pilosebasea ke
sirkulasi sistemik, memulai respon imun yang diperantarai sel pada orang yang
memiliki T limfosit yang peka terhadap sebum. Yang berperan berikutnya sitokin,
termasuk berbagai interleukin dan TGF-beta , merangsang kemotaksis dari sel mast
dan produksi kolagen oleh fibroblas. Hipotesis ini juga memberikan alasan yang
masuk akal mengapa hanya manusia , satu-satunya mamalia dengan kelenjar
sebaceous, dipengaruhi oleh keloid jaringan parut (Al-Attar et al. 2006).Beberapa
studi telah menunjukkan bahwa banyak sitokin yang berbeda dan faktor pertumbuhan
yang terlibat dalam pembentukan keloid. Beberapa molekul penting yang meningkat
dalam keloid termasuk faktor pertumbuhan transformasi beta (TGF-β) (Lee et al.
1999), interleukin-6 (IL-6) (Ghazizadeh, 2007) dan faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF) (Ong et al. 2007). Fibroblas keloid juga lebih responsif dalam tes
mitogenik untuk faktor pertumbuhan platelet derived (PDGF) (Haisa, Okochi &
Grotendorst 1994). Faktor lain yang mungkin mendasari pertumbuhan dan
pembentukan keloid adalah resistensi terhadap apoptosis. Fibroblas keloid ditemukan
lebih tahan terhadap Fase dimediasi apoptosis (Chodon et al. 2000) dan yang
berlebih dari reseptor insulin-like growth factor-1 (IGF-1) menghambat ceramid
-induced apoptosis (Ishihara et al. 2000). Selain itu penurunan ekspresi gen
proapoptotik (Sayah et al. 1999) dan peningkatan ekspresi inhibitor dari apoptosis
(Messadi et al. 2004) juga telah diamati pada keloid fibroblas.
Hipoksia jaringan bisa menjadi faktor lain untuk patogenesis peningkatan
tingkat penanda hipoksia , hipoksia diinduksi fakto-1α (HIF-1α) terdeteksi pada
keloid jaringan dan hipoksia tampaknya meningkatkan ekspresi plasminogen activator
inhibitor–1 (PAI-1) (Zhang et al. 2003). Peningkatan aktivitas PAI-1 berkorelasi
dengan tingginya ekspresi kolagen gel fibrin fibroblas pada keloid (Tuan et al. 2003).
Hipoksia derivat VEGF juga meningkat pada keloid (Wu et al. 2004). Sementara
sebagian besar penelitian in vitro fokus pada fibroblast keloid, bukti terbaru
menunjukkan interaksi antara keratinosit dan fibroblast di keloid. Untuk menguji
epitel-mesenchymal cross-talk di kulit, percobaan menggunakan keratinosit normal
atau keloid co-kultur denga fibroblast normal atau keloid, keratinosit keloid
menginduksi terjadinya proliferasi fibroblas keloid ke tingkat yang lebih besar
daripada keratinosit normal, sedangkan proliferasi paling terlihat di fibroblas keloid
tanpa keratinoctyes (Lim et al. 2001;. Funayama et al. 2003). Selain itu , co-kultur
normal atau keloid fibroblast dengan keratinosit keloid mengakibatkan peningkata
ekspresi kolagen I dan III dibandingkan dengan non co–kultur (Lim et al. 2002). Data
ini menunjukkan bahwa interaksi epitel–mesenchymal dapat memberikan kontribusi
untuk patogenesis keloid.
Gambar 1. Skema representatif dari lapisan normal kulit (Bolognia dkk., 2018
Lapisan Epidermis
Lapisan luar kulit (epidermis), terdiri dari lapisan matriks sel yang tipis. Pada
manusia, epidermis mengandung empat produk utama: keratinosit, melanosit, sel
Langerhans, dan sel Merkel. Keratinosit, produk utama, berasal dari kumpulan sel
induk yang terletak di basal lapisan epidermis. Sel-sel yang sudah mengalami
pematangan akan bermigrasi ke atas dan membentuk lapisan stratum korneum.
Epidermis manusia memiliki ketebalan rata-rata 50 mikron, dengan kepadatan
permikaan sekitar 50.000 sel berinnti/mm2. Pada saat masih berada di basal lapisan
epidermis, keratinosit yang terdiferensiasi membutuhkan sekitar 14 hari untuk keluar
dari kompartemen berinti dan tambahan 14 hari untuk bergerak melalui stratum
korneum. Keratinosit memiliki kapasitas untuk meningkatkan laju proliferasi dan
pematangan ke tingkat yang lebih besar ketika dirangsang oleh cedera, peradangan,
atau penyakit (Bolognia dkk., 2018).
Gambar 2. Skema representatif dari lapisan epidermis. Lapisan epidermis terdiri dari (1) stratum
korneum, (2) stratum granulosum, (3) stratum spinosum, dan (4) stratum basale. Zona membran basal
merupakan peralihan antara epidermis dan dermis, terdapat sel tambahan seperti melanosit yang
memasok melanin ke keratinosit disekitarnya melalui melanosom; dan sel Langerhans yang berfungsi
sebagai antigen-presenting cells (Bolognia dkk., 2018)
Gambar 3. Skema representatif melanosit pada basal epidermis (Bolognia dkk., 2018).
Sel epidermal utama ketiga, sel Langerhans, memiliki kapasitas dalam
metabolism bahan antigen kompleks menjadi peptida dan beberapa diantaranya
bersifat imunogenik. Setelah aktivasi, sel-sel keluar dari epidermis menuju kelenjar
getah bening regional, dimana sel-sel ini akan memainkan peran penting dalam
presentasi antigen selama induksi dan regulasi imunitas (Bolognia dkk., 2018).
Fungsi epidermis yang paling jelas terletak pada bagian stratum korneum,
agregat permukaan laminasi semipermeable dari sel epitel skuamosa berkeratin yang
berfungsi sebagai penghalang fisiologi untuk penetrasi kimia dan invasi
mikrobiologis dari lingkungan, juga sebagai pengalang cairan dan zat terlarut dari
dalam. Keratinosit berdiferensiasi saat bergerak melalui lapisan sel, dimulai sebagai
keratinosit basal. Keratinisasi adalah bagian dari pembentukan penghalang fisik, di
mana keratinosit menghasilkan lebih banyak keratin dan akhirnya mengalami
kematian dan pelepasan sel alami (anoikis). Keratinosit yang sepenuhnya
terkonfirmasi yang membentuk lapisan terluar epidermis terus-menerus terlepas dan
digantikan oleh sel-sel baru. Epitel skuamosa bersifat avaskular dan diberi nutrisi
oleh difusi dari dermis di bawahnya (Bolognia dkk., 2018).
Gambar 4. Gambaran histopatologi kulit normal dari tiga regio anatomi yang berbeda, gambar (A)
menunjukkan spesimen biopsi dari lengan, gambar (B) panggul, dan gambar (C) punggung.
Perbandingan ketiga specimen menunjukkan peningkatan ketebalan pada dermis, serta struktur yang
berada di dalamnya seperti pembuluh darah, struktur adneksa termasuk glandula ekrin. Gambar (D)
menunjukkan pada spesimen biopsi plantar, stratum korneum sangat tebal untuk melindungi dari
tekanan mekanis (Bolognia dkk., 2018).
Lapisan antara Epidermis dan Dermis
Batas antara epidermis dan dermis terdiri dari agregasi khusus molekul
perlekatan dan secara kolektif dikenal sebagai membran basal. Struktur ini sangat
menarik karena berbagai penyakit yang berasal dari defek genetik pada lapisan ini
dan dapat berfungsi sebagai target serangan autoimun (Bolognia dkk., 2018).
Lapisan Dermis
Dibawah lapisan epidermis, vaskularisasi dari lapisan dermis memberikan
dukungan struktural dan nutrisi. Lapisan dermis terdiri dari gel glikosaminoglikan
yang disatukan oleh matriks berserat yang mengandung kolagen dan elastin. Struktus
pembuluh darah disertai saraf dan sel mast, melalui dermis untuk memberikan
nutrisi, sel resirkulasi, dan sensasi kulit. Tiga sel tambahan, fibroblas, makrofag, dan
sel dendritic dermal, melengkapi daftar struktur yang tersedia di lapisan dermis.
Dalam kondisi seperti peradangan akut, fungsi dan jenis sel dermal berubah secara
substansial, dengan berbagai leukosit yang menginfiltrasi teragregasi melalui jalur
vaskular. Faktanya, komposisi infiltras kulit berbeda, tergantung pada entitas
penyakit yang memberikan petunjuk diagnostic yang berguna bagi dermatopatologi
(Bolognia dkk., 2018).
Gambar 5. Skema representatif dari bagian Dermis. Matriks ekstraseluler dermis terdiri dari protein
struktural (kolagen, elastin) dan zat asar (gel glikosaminoglikan). Terdapat juga pembuluh darah,
pembuluh limfatik, dan serabut saraf. Struktur adneksa terdapat pada lokasi tubuh, juga sel lain seperti
sel mast, fibroblas, makrofag, sel dendritik dermal (Bolognia dkk., 2018).
B. Penyembuhan Luka
Terdapat 3 fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan
fase remodelling.
1. Fase Inflamasi
Fase ini dimulai saat terjadi luka dan berlangsung selama 2 hingga 3 hari.
Diawali dengan vasokonstriksi untuk mencapai hemostasis. Pada fase ini keping
darah melepaskan growth factor seperti plateletderived growth factor (PDGF) dan
transforming growth factor β (TGF-β). Neutrofil mencapai area luka dan
memenuhi rongga perlukaan. Neutrofil akan memfagosit jaringan mati dan
mencegah infeksi. Selanjutnya monosit akan memasuki area luka. Makrofag
memfagosit debris dan bakteri serta berperan pada produksi growth factor yang
dibutuhkan untuk pembuatan matriks ekstraseluler oleh fibroblas dan pembuluh
darah baru untuk penyembuhan luka. Oleh karena itu, ketidakhadiran monosit atau
makrofag akan menghambat fase penyembuhan luka. Terakhir, sel limfosit dan sel
mast akan berdatangan ke area luka, tetapi peranannya masih belum diketahui
pasti.1,3,4
2. Fase Proliferasi
Fase ini dimulai pada hari ke-4 hingga minggu ke-3 setelah luka. Makrofag terus
memproduksi growth factor seperti PDGF dan TNF-β1 yang membuat fibroblas
dapat terus berproliferasi dan migrasi membentuk jaringan matriks ekstraseluler.
Selain itu, juga menstimulasi sel endotel untuk membentuk pembuluh darah baru.
Kolagen tipe III juga mulai terbentuk yang nantinya akan digantikan oleh kolagen
tipe I pada fase remodelling. Yang penting pada fase ini adalah saat mulai terjadi
pengisian rongga luka dengan kolagen maka fibroblas harus sudah berkurang dan
proses angiogenesis juga harus mulai melambat agar didapatkan scar normal.1,3,4
3. Fase Remodeling
Fase terpanjang dalam fase penyembuhan luka, berlangsung mulai minggu ke-3
hingga 1 tahun. Fase ini ditandai dengan kontraksi luka dan remodelling kolagen.
Kolagen tipe I mulai menggantikan kolagen tipe III. Kekuatan luka terus
meningkat sejalan dengan reorganisasi kolagen.1,4,6
Gambar : Skema representasi dari berbagai tahap perbaikan luka. A: 12-24 jam setelah
cedera daerah terluka diisi dengan bekuan darah. neutrofil menyerang ke dalam
bekuan darah. B: pada hari 3-7 setelah cedera, makrofag yang melimpah di jaringan
luka. Sel endotel bermigrasi ke dalam gumpalan, mereka berkembang biak dan
membentuk pembuluh darah baru. fibroblas bermigrasi ke jaringan luka, di mana
mereka berkembang biak dan deposito matriks ekstraseluler. Keratinosit berkembang
biak di tepi luka dan bermigrasi di atas matriks sementara. C: 1-2 minggu setelah
cedera luka sudah benar-benar diisi dengan jaringan granulasi. Luka benar-benar
ditutupi dengan neoepidermis. (Werner & Grose. 2003)
V. PATOFISIOLOGI
Fase inflamasi yang memanjang diduga merupakan salah satu penyebab timbulnya
scar hipertrofik atau keloid. Meningkatnya jumlah sel-sel imun pada keloid meningkatkan
aktivitas fibroblas dan terus terjadi pembentukan matriks ekstraseluler. Hal ini juga yang
diduga menyebabkan scar timbul melebihi margin atau batas luka pada keloid. Pada scar
hipertrofik, infiltrasi sel imun akan menurun sehingga mungkin terjadi regresi. Teori lain
menyatakan bahwa TGF-β memainkan peranan sangat penting dalam terjadinya kelainan
jaringan fibrotik ini. TGF-β1 dan TGF-β2 merupakan stimulan penting sintesis kolagen
dan proteoglikan serta mempengaruhi matriks ekstraseluler yang tidak hanya
meningkatkan sintesis kolagen tetapi juga menghambat pemecahannya. Sedangkan TGF-
β3 yang ditemukan lebih dominan pada fase akhir penyembuhan luka memiliki fungsi
sebaliknya. Decorin merupakan proteoglikan yang memiliki kemampuan mengikat dan
menetralisir TGF-β serta menurunkan protein matriks ekstraseluler. Kadar decorin yang
rendah dapat memicu terjadinya kelainan fibrotik.1,6 Akhir-akhir ini dinyatakan bahwa
apoptosis juga menjadi penyebab kelainan fibrosis.1
Pada fase awal terbentuknya scar hipertrofik, terjadi hiperseluler, dan pada fase
remodelling sel fibroblas berkurang dan perlahan-lahan menjadi scar normal melalui
proses apoptosis. Proses ini mulai terjadi sejak hari ke-12 pasca-luka. Penelitian pada scar
hipertrofik akibat luka bakar derajat tinggi menemukan keterlambatan proses apoptosis,
yaitu pada bulan ke-19-30 pasca-luka.1
Erlich dkk mengkarakterisitik histologi keloiddibandingkan kulit normal
berupa p.ningkutunselularitas, vaskularisasi dan jaringan konektif. Secara umum
gambaran histologi yang patognomonis yang secara konsisten ditemukan pada
spesimen keloidyaitu adanya keloidal-hyatinilized collagen, atongue-like advancing
edge yang muncul pada epidermis dan papillary dermis, horizontal cellular fibrous
band pada retikuler dermis bagian atas dan prominent fascia-like fibrous bands.3,4,6
Pemeriksaan penunjang
IX. PENATALAKSANAAN
Algoritme pengobatan untuk keloid dan bekas luka hipertrofik.
1. Perawatan medis di fasilitas medis umum
Setelah diagnosis lesi ditegakkan secara definitif sebagai sebuah bekas luka
keloid atau jaringan hipertrofik,maka dianjurkan pada pasien untuk menjalani
terapi rutin dengan plester kortikosteroid, seperti Pita steroid dengan kekuatan
lemah harus di coba dulu selama 3 bulan. Jika tidak efektif, maka plester steroid
yang lebih kuat harus dicoba 3 bulan kemudian. Obat oral seperti tranilast dapat
diberikan untuk kasus yang berat. Jika terapi plester / plester steroid tidak efektif,
Maka pasien harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih spesifik untuk kulit.
Untuk pasien dewasa,mereka dianjurkan untuk segera memulai dengan plester
steroid yang kuat selama 3 bulan (meskipun steroid lemah dapat digunakan
digunakan dalam kasus-kasus ringan). Jika plester tidak efektif,maka
triamcinolone acetonide Injeksi bisa diberikan. Obat oral seperti itu karena
tranilast dapat diberikan untuk kasus yang parah. Terapi istirahat / fiksasi dan
kompresi harus diberikan jika lesi ada pada sendi atau situs tubuh yang sangat
bergerak. Jika plester steroid dan suntikan tidak efektif, pasien harus dirujuk ke
fasilitas medis khusus .
Pasien dengan keloid atau bekas luka hipertrofik harus didorong untuk
mengurangi kebiasaan gaya hidup yang dapat menyebabkan eksaserbasi bekas
luka. Kebiasaan gaya hidup tersebut termasuk diantaranya aktivitas fisik atau
latihan berlebihan yang melibatkan pengulangan gerakan yang dapat
menyebabkan tensi/ketegangan pada bekas luka.
Hal-hal lain yang lebih umum untuk dipertimbangkan adalah tindakan yang
dapat mencegah keloid dan bekas luka hipertrofik yang timbul terlebih dahulu.
Pertama, ketika pasien datang dengan luka biasanya disarankan untuk
membersihkan dan mendisinfeksi luka secara hati-hati, oleskan antibiotik topikal
sesuai kebutuhan,dan ikat luka dengan bahan fiksasi itu melindunginya dari
kekuatan peregangan lokal. pendekatan ini harus dilakukan bahkan jika lukanya
kecil dan ringan karena bekas luka hipertrofik dan terutama keloid bisa
berkembang dari luka yang tidak begitu signifikan. Kedua, dengan semua pasien,
pengobatan untuk mereka masalah tertentu harus dimulai dengan yang paling
sedikit opsi invasif.
3. Agen topikal lainnya (preparat kortikosteroid dan obat antiinflamasi non steroid
[NSAID] , salep heparinoid, dan gel silikon dan krim)
Konsep
Semua persiapan ini membantu menekan proses peradangan. Kortikosteroid
memiliki efek terkuat, diikuti oleh NSAID .Salep heparinoid dan gel silikon dan
krim juga dapat membantu mengurangi peradangan dan mempromosikan
pematangan bekas luka dengan melembabkan permukaan bekas luka.
Catatan
Efek Salep dan krim kortikosteroid tidak akan sekuat efek pemakaian aplikasi
plester / pita kortikosteroid yang digunakan selama 24 jam kecuali jika diterapkan
beberapa kali sehari dengan teknik balutan oklusif (ODT) .Lesi dengan sifat parut
hipertrofik seringkali membaik saat heparinoid danpreparat silikon diaplikasikan.
Gel dan krim silikon banyak digunakan secara global untuk mengelola bekas luka:
diyakini bahwa penggunaan gel dan krim silikon dapat memperbaiki bekas luka
dengan melembabkan mereka .
Perhatian
Mungkin salep dan krim kortikosteroid dapat menyebabkan jerawat akibat
steroid dan pelebaran kapiler jika terjadi kontak dengan kulit normal. Harus
berhati-hati saat meresepkannya untuk tujuan penggunaan jangka panjang yang
tidak terkontrol. Jika lesi jerawat secara aktif terlokalisasi dengan keloid dan bekas
luka hipertrofik, mungkin hal tersebut dapat diperburuk oleh penggunaan salep
kortikosteroid atau terapi krim.
Tujuan
Tujuan dari perawatan ini adalah untuk mengurangi peradangan, sehingga
memperbaiki bekas luka yang disertai gejala seperti nyeri dan gatal dan
memperbaiki warna, elevasi, dan kontraktur bekas luka. Tujuan utamanya adalah
untuk mempercepat remodelling bekas luka
4. Eksisi dan penutupan bedah dengan jahitan sederhana
Konsep
Dalam banyak kasus, penutupan setelah eksisi jaringan parut hipertrofik/keloid
dapat dicapai dengan jahitan sederhana. Namun, harus dilakukan secara hati-hati
untuk menghindari ketegangan retikuler dermis dari luka bedah karena ketegangan
ini akan memicu penyakit kronis peradangan yang akan memicu bekas luka
patologis menjadi kambuh.
Ada beberapa strategi yang dapat membatasi ketegangan pada luka
operasi,sebagai berikut :
Jahitan dermal harus dipasang dengan ketegangan minimal.Karena itu, saat
memotong bekas luka patologis dianjurkan untuk menghilangkan jaringan
lemak di bawah bekas luka. \
Setelah itu, fasciae seharusnya akan terjahit menjadi satu. Hal ini akan
menyebabkan jaringan di atas fasciae untuk mendekat satu sama lain ,
sehingga memungkinkan luka menjadi mudah ditutup dengan jahitan dermal
pertama dan kemudian jahitan epidermis dengan jahitan dengan ketegangan
minimal .
Dalam kasus luka pasca-eksisi yang panjang, memang disarankan untuk
membagi luka dengan menggunakan z-plasties:dimana dia akan meratakan
ketegangan pada Area sepanjang luka .
X. PROGNOSIS
Dengan melihat pemilihan dan cara pemakaian obat, syarat pengobatan
menghilangkan factor predisposisi maka penyakit dapat diberantas dengan prognosis
baik (Boediardjo dan Handoko, 2017)
1. Quo ad vitam : bonam
2. Quo ad functionam : bonam
3. Quo ad sanactionam : bonam
DAFTAR PUSTAKA
Kischer CW, 1982. Fibronectin (FN) in hypertrophic scars and keloids. Cell and
fibroblasts from normal skin, normal scar, and hypertrophic scar. J Invest
Dermatol34(6):521-6.
Muneuchi G. 2009. Local injection of corticosteroid for keloids and hypertrophic scars.
PEPARS ;33:21–6.
Hayashi T, Murao N, Yamamoto Y. 2010. Local steroid injection therapy after surgical
recurrence rates after surgical keloid/ hypertrophic scar excision. Dermatol Surg.
2012;38:893–7.
Mustoe TA, Gurjala A. 2011. The role of the epidermis and the mechanism of action of
Bolognia, Jean L., dkk. 2018. Dermatology, 4thEd. Graz, Austria: Elsevier.
Boediardja, Siti dan Handoko, Ronny. 2017. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kang, dkk. 2019. Fitzpatrick’s Dermatology, 9thEd. New York: McGraw-Hill Education.
PERDOSKI. 2017. Paduan Praktek Klinis: Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di