Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN KEBUTUHAN DASAR

NYAMAN (NYERI)

LAPORAN PENDAHULUAN

STASE KEPERAWATAN DASAR PROFESI (KDP)

oleh
Haidar Ali, S.Kep
NIM 202311101021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi Gangguan Kebutuhan Nyaman (Nyeri)


Menurut International Association for the Study of Pain, nyeri merupakan
pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan
dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan (Kurniawan,
2015). Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang
digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri adalah suatu pengalaman
sensorik yang multidimensional. Fenomena ini dapat berbeda dalam intensitas
(ringan,sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar, tajam), durasi (transien,
intermiten,persisten), dan penyebaran (superfisial atau dalam, terlokalisir atau
difus). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif
dan emosional, yang digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga
berkaitan dengan reflex menghindar dan perubahan output otonom (Bahrudin,
2017).
Nyeri merupakan pengalaman yang subjektif, sama halnya saat seseorang
mencium bau harum atau busuk, mengecap manis atau asin, yang kesemuanya
merupakan persepsi panca indera dan dirasakan manusia sejak lahir. Walau
demikian, nyeri berbeda dengan stimulus panca indera, karena stimulus nyeri
merupakan suatu hal yang berasal dari kerusakan jaringan atau yang berpotensi
menyebabkan kerusakan jaringan (Bahrudin, 2017).
Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Nyeri akut seringkali
adaptif karena mengingatkan indvidu mengenai kehadiran dan lokasi dari cedera
pada lapisan jaringan dan mengkoreksi perilaku yang dapat menyebabkan atau
berkontribusi terhadapnya. Nyeri kronik, disisi lain merujuk pada nyeri yang
berkelanjutan lebih ringan dari tiga bulan walaupun terapi dan usaha-usaha untuk
mengatasinya telah dilakukan oleh pasien. Nyeri dapat berdampak pada semua
area kehidupan seseorang dan seringkali berasosisi dengan masalah-masalah
fungsional, psikologis, dan sosial. Lebih lanjut lagi, nyeri kronik dapat memiliki
dampak yang signifikan terhadap keluarga dan rekan-rekan penderita (Kurniawan,
2015).
B. Review Anatomi Fisiologi

Salah satu fungsi sistem saraf adalah menyampaikan informasi tentang


ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri dinamakan
nociception. Nociception dapat menyampaikan informasi perifer dari reseptor
khusus pada jaringan (nociceptors) kepada struktur sentral pada otak. Menurut
Wardani (2014), terdapat beberapa komponen pada sistem nyeri, yaitu:
1. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer
mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious.
2. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke
CNS.
3. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat teradi hubungan antara serat
aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara
lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.
4. Traktus asending nosiseptik (traktus spinothalamikus lateralis dan ventralis)
yang menyampaikan sinyal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus.
5. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post setralis.
6. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif
nyeri, ingatan tentang nyeri, dan nyeri yang dihubungkan dengan respon
motoris termasuk withdrawl respon.
7. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medulla spinalis.
Terjadinya nyeri berkaitan dengan reseptor dan adanya rangsangan.
Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor yang merupakan ujung- ujung
saraf bebas yang memiliki sedikit atau tidak memiliki myelin yang tersebar pada
kulit dan mukosa, khususnya pada vicera, persendian, dinding arteri, hati dan
kantung empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan respon akibat adanya
stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti
bradikinin, histamine, prostaglandin, dan asam yang dilepas apabila terjadi
kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigenasi (Kasiati dan Rosmalawati,
2016).

C. Epidemiologi
Nyeri merupakan faktor komorbiditas penting pada banyak penyakit. Nyeri
dapat dipegaruhi oleh usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, budaya,
serta kebiasaan atau gaya hidup. Beberapa studi epidemiologi menjelaskan bahwa
terdapat variasi faktor- faktor yang mempengaruhi nyeri di beberapa negara
(Amalia dkk., 2016). Studi epidemiologi di negara Inggris menunjukkan bahwa
prevalensi nyeri lebih sering terjadi pada wanita dan meningkat pada usia lanjut.
Nyeri juga didapatkan meningkat pada kelompok dengan status sosio-ekonomi
rendah, terutama nyeri kepala. Penelitian di Jakarta terkait prevalensi nyeri terjadi
pada muskoloskeletal di usia lansia dan sebanyak 80% terjadi pada wanita. Nyeri
pada muskoloskeletal terjadi pada daerah lutut, punggung bawah (Rachmawati
dkk., 2006).

D. Etiologi
Sebagai mana diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan
derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang
dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin.
Penyebab timbulnya nyeri menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016):
a. Agen pencedera fisiologis (mis: inflamasi, iskemia, neoplasma)
b. Agen pencedera kimiawi (mis: terbakar, bahan kimia iritan)
c. Agen pencedera fisik (mis: abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
d. Kondisi muskuloskeletal kronis
e. Kerusakan sistem saraf
f. Penekanan saraf
g. Infiltrasi tumor
h. Ketidakseimbangan neurotransmiter, neuromodulator, dan reseptor
i. Gangguan imunitas (mis: neuropati terkait HIV, virus vicella-zoster
j. Gangguan fungsi metabolik
k. Riwayat posisi kerja statis
l. Peningkatan indeks massa tubuh
m. Kondisi pasca trauma
n. Tekanan emosional
o. Riwayat penganiayaan (mis: fisik, psikologis, seksual)
p. Riwayat penyalahgunaan obat/zat

E. Tanda dan Gejala


a. Tanda dan Gejala Mayor
1. Mengeluh tidak nyaman
2. Mengeluh nyeri
3. Merasa depresi (tertekan)
4. Tampak meringis
5. Bersikap protektif (mis: waspada, posisi menghindari nyeri)
6. Gelisah
7. Frekuensi nadi meningkat
8. Sulit tidur
9. Tidak mampu menuntaskan aktivitas
b. Tanda dan Gejala Minor
1. Mengeluh sulit tidur
2. Tidak mampu rileks
3. Mengeluh lelah
4. Merasa takut mengalami cedera berulang
5. Tekanan darah meningkat
6. Pola napas berubah
7. Nafsu makan berubah
8. Proses berpikir terganggu
9. Menarik diri
10. Berfokus pada diri sendiri
11. Diaforesis
12. Bersikap protektif (mis: posisi menghindari nyeri)
13. Waspada
14. Pola tidur berubah
15. Anoreksia
16. Fokus menyempit
17. Tampak merintis/meringis
18. Pola eliminasi berubah
19. Postur tubuh berubah
20. Iritabilitas
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016)

F. Patofisiologi / Web of Causation


Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan
dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi (Bahrudin, 2017).
a. Tranduksi: suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan
stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif.
Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-
beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap
stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri,
atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga
terlibat dalam proses transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang
tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator
inflamasi.
b. Transmisi: suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu dorsalis
medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak.
Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal
elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis
dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal.
c. Modulasi: proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula
spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor
opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis.
Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks
frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan
medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses
inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok)
sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.
d. Persepsi: kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan hasil dari
interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis, dan
karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang
berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan
sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari
syaraf aferen.
Patofisiologi secara umum, Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada
kulit bisa intesitas tinggi maupun rendah seperti perenggangan dan suhu serta oleh
lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K + dan protein
intraseluler . Peningkatan kadar K + ekstraseluler akan menyebabkan
depolarisasi nosiceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan
menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan / inflamasi.
Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan
histamin yang akan merangasng nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan
tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia). Selain itu
lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin
akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah
maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K + ekstraseluler
dan H + yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradikinin, dan
prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan meningkat
dan juga terjadi perangsangan nosiseptor. Bila nosiseptor terangsang maka
mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptida
(CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan
vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Vasokonstriksi
(oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab untuk
serangan migrain. Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri
(Bahrudin, 2017).

Kebutuhan Dasar Nyaman (Nyeri)

Faktor yang mempengaruhi: agen pencedera fisik, kerusakan sistem saraf, penekanan
saraf, gangguan fungsi metabolik.

Cedera Penyakit DM

Patogen Nekrosis Gangren

Inflamasi Protein Gangguan Integritas


Kulit/Jaringan
K+ Kerusakan jaringan

leukotrien PGE2 Histamin Vasodilatasi, Edema


permeabilitas vaskuler

Sensitisasi/Respon Alergi Nosiceptor Tekanan jaringan

Tranduksi, Transmisi, Modulasi, Persepsi

Mengeluh Nyeri Mengeluh Nyeri


<3 bulan Sensasi Nyeri
>3 bulan

Tampak Meringis Mengeluh Tidak Hipersensitifitas


Nyaman Nyeri

Gelisah
Tidak rileks
Nyeri Kronis
Gangguan Pola
Sulit Tidur
Tidur
Gangguan Rasa Nyaman

Nyeri Akut

G. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan farmakologik
Pengobatan analgesik dapat dibagi atas 4 golongan, antara lain
(Kurniawan, 2015):
1. Analgesik non opioid: AINS, asetaminofen, tramadol. Hanya
diberikan bila diduga ada proses peradangan dan adanya kompresi
pada jaringan saraf.
2. Analgesik ajuvan-medikasi neuroaktif: antikonvulsan, anti depresan,
antihistamin, amfetamin, steroid, benzodiazepin, simpatolitik, obat
anti spasme otot dan neuroleptika. Antikonvulsan dan antidepresan
yang paling sering digunakn karena mempunyai efek sentral dan
memperbaiki mood dan depresi. Carbamazepin telah dizinkan oleh
FDA untuk terapi nyeri.
3. Analgesik opioid: kodein, morfin,oksikodon kurang responsif untuk
NN, sehingga kadang dibutuhkan dosis tinggi.
4. Analgesik topikal: Capsaicin topikal menghilangkan substansi P,
mempengaruhi nosiseptor serabut C dan reseptor panas. Banyak
digunakan pada neuralgia herpetik akut dan neuralgia post herpetik.
b. Penatalaksanaan nonfarmakologik, rehabilitasi medik
Bertujuan untuk merangsang pengeluaran endorfin dan enkefalin yang
merupakan peredam nyeri alami yang ada dalam tubuh.
1. Modifikasi perilaku: relaksasi, terapi musik, biofeedback.
2. Modifikasi nyeri: modalitas termal, Transcutaneus Electric Nerve
Stimulation (TENS), akupunktur.
3. Latihan kondisi otot: peregangan, myofascial release, spray dan
strech.
4. Rehabilitasi vokasional: pada tahap ini kapasitas kerja dan semua
kemampuan penderita yang masih tersisa dioptimalkan agar penderita
dapat kembali bekerja.
c. Pengobatan invasif
Pada kasus-kasus intractable neuropathic pain mungkin diperlukan
intervensi disiplin ilmu lain seperti anestesi dan bedah saraf.

H. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Pengkajian terfokus
1. Pengkajian faktor yang mempengaruhi nyeri:
a) P (Provoking) atau pemicu, yaitu faktor yang memicu timbulnya
nyeri.
b) Q (Quality) atau kualitas dari nyeri, apakah tajam, tumpul, atau
tersayat.
c) R (Region) atau daerah, yaitu daerah terjadinya nyeri.
d) S (Severity) atau keparahan, yaitu ringan, sedang, atau berat.
e) T (Time) atau waktu, yaitu frekuensi munculnya nyeri.
2. Riwayat nyeri:
a) Lokasi untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik.
b) Intensitas nyeri dapat dapat dilakukan dengan salah satu metode
skala nyeri menurut Hayward (1975):
1 : tidak nyeri
1-3 : nyeri ringan
4-6 : nyeri sedang
7-9 : sangat nyeri tapi dapat dikontrol
10 : sangat nyeri dan tidak bisa dikontrol
c) Kualitas nyeri, apakah seperti ditusuk-tusuk, dipukul-pukul, dan
sebagainya.
d) Pola nyeri, meliputi waktu, durasi, dan kekambuhan atau interval
nyeri.
e) Faktor presipitasi, yaitu aktifitas tertentu dapat memicu timbulnya
nyeri.
f) Gejala yang menyertai, seperti rasa mual, muntah, pusing, dan
diare.
g) Pengaruh pada aktifitas sehari-hari, yaitu dapat membantu klien
memahami prespektif tentang nyeri yang dirasakan. Beberapa
aspek kehidupan yang perlu dikaji seperti tidur, nafsu makan,
konsentrasi, pekerjaan, hubungan interpersonal, aktifitas dirumah,
dan status emosional.
h) Sumber koping, yaitu strategi individu dalam menghadapi nyeri
bagaimana. Pengkajian yang perlu dilakukan seperti pengalaman
nyeri sebelumnya dan pengaruh agama atau budaya.
i) Respon afektif, yaitu interpretasi tentang nyeri. Pengkajian yang
perlu dilakukan seperti adanya ansietas, takut, lelah, depresi, atau
perasaan gagal pada diri klien.
3. Observasi respon perilaku dan fisiologis
a) Respon nonverbal, seperti ekspresi pada wajah (menutup mata
rapat-rapat, menggigit bibir bawah, dan seringai pada wajah).
Respon berupa vokalisasi (mngerang, menangis, berteriak).
Gerakan tubuh tanpa tujuan (menendang-nendang, membolak-
balikkan tubuh di kasur).
b) Respon fisiologis nyeri bergantung pada sumber dan durasi nyeri.
Pada awal nyeri akut, respon fisiologis seperti peningkatan
(tekanan darah, nadi, pernafasan), diaphoresis serta dilatasi pupil
akibat terstimulasinya sistem saraf simpatis. Jika nyeri
berlangsung lama dan sistem saraf simpatis telah beradaptasi,
kemungkinan respon fisiologis akan berkurang atau mungkin
tidak ada (Jenitri, 2014).
b. Diagnosis Keperawatan yang sering muncul
1. D.0074 Gangguan Rasa Nyaman b.d gejala penyakit d.d mengeluh
tidak nyaman, tampak merintih/ menangis.
Definisi: Perasaan kurang senang, lega, dan sempurna dalam dimensi
fisik, psikospiritual, lingkungan dan sosial.
2. D.0077 Nyeri Akut b.d agen pencedera fisiologis, kimiawi, atau fisik
d.d mengeluh nyeri, tampak meringis.
Definisi: pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak
atau lambat dan berintensi ringan hingga berat yang berlangsung
kurang dari 3 bulan.
3. D.0078 Nyeri Kronis b.d kerusakan sistem saraf d.d mengeluh nyeri,
tidak mampu menuntaskan aktifitas.
Definisi: pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak
atau lambat dan berintensi ringan hingga berat dan konsisten, yang
berlangsung lebih dari 3 bulan.
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)
c. Perencanaan/Nursing Care Plan
Manajemen Nyeri I.08238 (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018):
1. Obssrvasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
intensitas nyeri.
b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi respon nyeri non-verbal.
d) Identifikasi faktor yang memperberat dan meringankan nyeri.
e) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
2. Terapeutik
a) Beri teknik nonfarmakologi seperti TENS, hipnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, kompres
hangat/dingin..
b) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan).
c) Fasilitasi istirahat dan tidur
3. Edukasi
a) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.
b) Jelaskan strategi meredakan nyeri.
c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
d) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e) Anjurkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

I. Penatalaksanaan berdasarkan evidence-based practice in nursing


Evidence.based Nursing Pada Gangguan Pemenuhuan Kebutuhan Aman dan
Nyaman (Nyeri)

Penulis Jeanny Rantung


Judul Penerapan Terapi Musik Terhadap Nyeri Neuropati
Pada Penyandang Diabetes Mellitus
Nama Jurnal, Edisi, Nutrix Journal, Vol 3, No 1, Tahun 2019
Tahun
Latar Belakang Nyeri neuropati salah satu komplikasi kronik yang dapat
dialami penyandang diabetes melitus yang dapat
menyebabkan gangguan fisik, sosial dan spiritual.
Terapi musik adalah salah satu upaya yang dapat
diberikan perawat untuk mengontrol nyeri selain terapi
farmakologis yang diberikan oleh tim medis.
Tujuan Penelitian dilakukan ini untuk melihat pengaruh terapi
musik terhadap intensitas nyeri neuropati
Metodologi Desain penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan
pendekatan pretest-posttest with control group,
melibatkan 10 orang responden yang dibagi menjadi
kelompok intervensi terapi musik dan kelompok
kontrol.
Subjek melibatkan pasien DM yang dirawat di sebuah
RSU Jakarta yang terdiri dari kelompok intervensi
sebanyak 5 orang dan kelompok kontrol sebanyak 5
orang. Kriteria inklusi subjek adalah: pasien DM tipe 2,
mengalami nyeri neuropati, setuju terlibat dalam
penelitian, memiliki pendengaran yang baik, tidak
sedang menggunakan terapi analgetik. Kriteria eksklusi
adalah menderita kelainan psikiatrik, minum obat tidur
atau obat sedatif lainnya, pernah menerima metode
pengobatan alternative atau komplimentari sebelumnya.
Intensitas nyeri diukur dengan menggunakan Visual
Analogue Scale (VAS) yang dilakukan sebelum terapi
musik diberikan, pada menit ke-30 dan menit ke-60.
Hasil Responden yang mendapat terapi musik mengalami
penurunan intensitas nyeri, dari nyeri sedang menjadi
nyeri ringan, dan pada kelompok kontrol mengalami
penurunan intensitas nyeri tapi masih dalam kategori
nyeri sedang. Uji one way ANOVA menunjukkan
penurunan intensitas nyeri yang signifikan setelah
pemberian terapi musik (p<0.05).
Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan terapi musik sebagai
intervensi nonfarmakologi keperawatan untuk
mengatasi nyeri. Pengaruh terapi musik pada nyeri
adalah dengan distraksi pikiran terhadap nyeri,
menurunkan kecemasan dan ketegangan tubuh,
mengatur ritme napas lebih teratur, relaksasi, serta
meningkatkan mood yang positif. Selanjutnya, terapi
musik membantu mengurangi stres, ketakutan,
kecemasan, depresi, serta insomnia.
Otak memproses musik dan nyeri di sepanjang jalur
saraf yang sama, untuk menjelaskan fenomena ini dapat
dijelaskan melalui teori Gate Control dimana sinyal
nyeri yang dikirim melalui reseptor saraf di sumsum
tulang belakang menstimulasi sinapsis untuk
menyampaikan informasi ke otak. Sinapis diyakini
bertindak sebagai gerbang yang membuka dan menutup
dalam menanggapi impuls nyeri. Ketika gerbang
ditutup, maka sinyal akan dihambat menuju ke otak.
Namun, ketika gerbang terbuka, impuls dapat
melakukan perjalanan menuju otak, sehingga menyadari
rasa nyeri. Musik diyakini mengirim input sensori
melalui jalur dari otak
sehingga menyebabkan batang otak mengelurakan
sinyal untuk menutup gerbang sehingga mengurangi
rasa nyeri saat mendengar musik.
Kesimpulan Intervensi terapi musik terhadap nyeri neuropati
diabetes merupakan tindakan non farmakologi, non
inpasif, tidak mahal dan intervensi keperawatan yang
dapat dilakukan dengan mudah bagi pasien. Pelaksanaan
intervensi terapi musik melibatkan perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif
kepada pasien diabetes dengan nyeri neuropati.
Penatalaksanaan terapi musik merupakan intervensi
keperawatan yang dapat menjadi pilihan terapi atau
pengobatan terhadap nyeri neuropati diabetes sehingga
menjadi pelengkap terhadap upaya medis yang sudah
dilakukan.
Referensi Rantung, J. 2019. Penerapan Terapi Musik Terhadap Nyeri
Neuropati Pada Penyandang Diabetes Mellitus. Nutrix
Journal. 3(1).
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, A. F., T. Runtuwene, dan M. A. H. N. Kembuan. 2016. Profil nyeri di


poliklinik saraf rsup prof . dr . r . d . kandou manado. Jurnal E-Clinic. 4:7.

Bahrudin, M. 2017. Patofisiologi Nyeri (Pain). Jurnal Ilmu Kesehatan dan


Kedokteran Keluarga. 13(1).

Jenitri, L. D. D. 2014. Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gangguan Rasa


Aman Dan Nyaman ( Nyeri ). Denpasar.

Kurniawan, S. N. 2015. Nyeri Secara Umum dalam Continuing Neurological


Education 4, Vertigo dan Nyeri. UB Press, Universitas Brawijaya, Malang.
p46-111.

Rachmawati, M., D. Samara, P. Tjhin, dan M. Wartono. 2006. Nyeri


muskoloskeletal dan hubungannya dengan kemampuan fungsional fisik
pada lanjut usia. Universa Medicina. 25(4):179.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi Dan Indikator Diagnostik. Dalam PPNI. Jakarta: DPP PPNI.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai