Anda di halaman 1dari 13

Departemen Geofisika UNHAS Muhammad Altin Massinai

07 Katastrosfisma
Pendahuluan

Pada pertemuan Lembaga Pertambangan dan Metalurgi Canada pada musim semi tahun 1967
di Ottawa, seorang profesor dari Erindale College, Universitas Toronto Canada mengajukan
thesis yang mengejutkan: Ilmu geologi mengalami Revolusi. Sejak itu namanya selalu terkait
dengan pandangan baru mengenai planet bumi kita. Prof. J. Tuzo Wilson mengemukakan
adanya perubahan penting dalam memahami gejala alam mengenai bumi ini. Bahwa kerak
bumi bergerak horizontal seperti bergeraknya benda yang hanyut, amat mengejutkan para
penganut fixist yang telah mengubur Teori Hanyutan Benua yang dikemukakan Alfred Lothar
Wagener (1880-1930).

Pertentangan yang keras antara aliran fixist dan mobilist, pada separuh bagian pertama abad
ini dimenangkan oleh penganut aliran fixist yang menganggap kerak bumi ini menetap di
suatu tempat, terpaku atau fixist. Dengan pemikiran itu maka banyak gejala alam geologi
dapat diterangkan terutama tentang onggokan batuan sedimen yang bisa mencapai 7000
meter seperti terdapat di Pegunungan Appalachia di Amerika Serikat, dan bagaimana
onggokan sedimen itu bisa terlipat, terpatahkan dan terangkat. Konsep geosinklin dapat
dikatakan merupakan axioma dalam ilmu geologi.

KATASTROFISMA ALPEN

BINATANG STENO PELIPATAN

TEKTONIK LEMPENG PENGENDAPAN

TEKNOLOGI APUNGAN BENUA

OROGENESA

GEOSINKLIN JAMES HUTTON

FIKSIST VS MOBILIS

Proses terus menerus

Gambar 1 Skema Katastrofisme

1
Departemen Geofisika UNHAS Muhammad Altin Massinai

Laboratorium Alam di Alpen

Pegunungan Alpen di Eropa, merupakan laboratorium alam untuk memahami gejala yang
terjadi pada kerak bumi. Tak habis-habisnya Pegunungan Alpen mengalirkan teori-teori
mengenai kerak bumi dan pembentukan pegunungan (orogenesa), seperti misalkan teori dari
Baron Leopold Von Buch (1775-1853) yang menganggap pegunungan terbentuk karena
intrusi magma, atau Edward Suess (1831-1914) yang mengatakan bahwa pegunungan
terbentuk karena tekanan horizontal sehubungan dengan mengerutnya bola dunia.
Selanjutnya teori tentang struktur “kelopak” yang diemukakan Marcel Bertrand pada tahun
1884. Teori kelopak (Nappe Structure) ini kemudian diaplikasikan dengan memuaskan dan
dapat menerangkan kompleksnya pelbagai pegunungan seperti Himalaya dan Cartaphian.
Alpen merupakan kunci dari pemahaman terjadinya pegunungan. Karena itu orogenesa Alpen
merupakan salah satu tolok ukur dalam urutan-urutan umur pelbagai orogenesa di dunia.
Semua mahasiswa geofisika dan geologi pasti hafal lekuk-lekuk lipatan pada penampang
pegunungan Alpen, mulai dari akar kelopak sampai kepada batuan yang meluncur horizontal
sejauh 40 kilometer pada puncak lipatan.

Para ilmuwan kebumian nyaris lupa, bahwa Alpen adalah hanya satu saja dari gejala alam di
Bumi kita yang luas ini. Terlebih-lebih 74 % dari Bumi kita tertutup air dan tetap merupakan
misteri yang belum terungkap. Oleh karena itu amatlah mengejutkan ketika ilmuwan-
ilmuwan kelautan, khususnya ahli geofisika marin mengungkapkan hasil-hasil
pengamatannya tentang lantai samudera.

Ada tiga penyelidikan geofisika yang menjadikan konsep geologi menjadi geologi global,
yaitu :

1. Pengukuran magnet bumi pada setumpukan aliran lava bawah laut yang
memperlihatkan arah kutub yang bertentangan dalam lava yang berlainan umurnya.
2. Jalur anomali magnet yang lebarnya selalu mempunyai rasio yang tetap di mana-
mana.
3. Pemboran laut dalam yang memperlihatkan medan magnet yang bertentangan pada
pelbagai umur lava yang membuktikan apa yang diramalkan.

Pemboran laut dalam yang memperkuat pandangan geologi global karena yang diramalkan
dalam teori itu ternyata terbukti.

Katastrofisma versus Uniformitarisma

Leonardo dan Vinci (1452-1519) menjelaskan bahwa cangkang-cangkang kerang yang sudah
memfosil yang ditemukan di Pegunungan Apenina, Italia sebagai bekas kehidupan laut dan
bahwa Italia pernah suatu ketika digenangi laut. Begitu juga fosil kerang-kerang yang
ditemukan di Pegunungan Bulusaraung, daerah Tondong Tallasa, Pangkep Sulawesi Selatan,
Bahwa erosi membentuk bentang lama (Massinai, 2015) .

Pada tahun 1669, Nicolas Steno (1638-1687) yang memperhatikan perlapisan-perlapisan


batuan menerbitkan hasil pengamatannya, bahwa batuan terbentuk lebih dahulu terletak lebih
2
Departemen Geofisika UNHAS Muhammad Altin Massinai

bawah dari yang terbentuk kemudian. Dengan prinsip ini maka Steno dapat mengenal
bagaimana batuan telah terlipat yang pada waktu itu ia terangkan sebagai amblas ke dalam
gua atau didorong tenaga gunungapi dari dalam perut bumi. Bukunya De Solido Introsolidum
Naturaliter Contento Prodomus Dissertationis seringkali disebut orang sebagai buku pertama
mengenai tektonik.

Pemikiran-pemikiran tersebut membawa kepada kesimpulan bahwa proses yang terjadi atas
Bumi berlangsung secara terus menerus. Tetapi ketika dijumpai fosil-fosil yang begitu
banyak jumlahnya dan fosil itu tak ditemukan sama sekali pada bagian yang lebih muda,
maka orang akhirnya berkesimpulan bahwa telah terjadi suatu peristiwa besar yang
berlangsung secara tiba-tiba dan menghentikan kehidupan itu. Apabila malapetaka atau
kejadian besar itu berupa banjir (terbesar zaman Nabi NUH) atau letusan gunungapi (zaman
Pompei), pada waktu itu benar-benar dipercayai orang. Rekaman yang terdapat pada batuan,
memperlihatkan bukti yang meyakinkan. Teori Malapetaka atau Katastrofisme itu
mempunyai penganut yang luas, terlebih-lebih karena sejalan dengan pandangan ahli-ahli
agama di Eropa pada waktu itu.

Akan tetapi di pihak lain James Hutton (1726-1797) berkesimpulan bahwa kejadian yang
berlangsung berkesinambungan itu merupakan peristiwa yang beragam atau
Uniformitarisma. Pada tahu 1785 Hutton menerbitkan buku mengenai “Hukum
Uniformitarisma” yang kemudian menjadi paradigma ilmu kebumian modern. Kesimpulan
yang ditarik dari Hukum Uniformitarisma ini adalah bahwa proses alam yang terjadi hari ini
terjadi juga pada masa yang lalu. Konsep ini merupakan dalil yang paling penting, dan
melekat sebagai bagian hidup dari pada ilmuwan kebumian. “The Present is the Key to the
Past”. Sampai sekarang pandangan ini tetap dianut orang, walaupun ilmu kebumian sudah
memasuki era modern.

Orang malahan sekarang mengembangkannya lebih lanjut. Dengan kemampuan teknologi,


melalui konsep geologi global, orang mencoba memperkirakan apa yang akan terjadi pada
masa yang akan datang berdasarkan rentetan peristiwa zaman sekarang ini (gempa Chili,
China, California, Jepang, gempa Aceh, dsb) “The Present is the Key to the Future”.

Teori Hutton tidak lepas dari tantangan pelbagai pihak, oleh karena berdasarkan teorinya itu,
maka umur Bumi dihitung sebagai 4500 sampai 5000 juta tahun yang lalu dan proses alam
berlangsung secara seragam (uniform) pada setiap zaman dengan melalui evolusi. Padahal
menurut kepercayaan orang Eropa Barat pada abad ke 16, Bumi tercipta pada 4004 tahun
sebelum Masehi pada tanggal 26 Oktober jam 9.00 pagi (Tjia, 1990).

Malapetaka Memang Terjadi?

Dengan munculnya Teori Uniformitarisma maka Teori Katastrofisma kemudian ditinggalkan


orang. Memang tidak mudah untuk memahami bagaimana bencana besar dapat melanda
seluruh bulatan Bumi ini. Belakangan teori ini menarik perhatian kembali. Orang tetap
memikirkan kenyataan bahwa Dinosaurus punah dengan tiba-tiba. Padahal Dinosaurus,
ditemukan dibanyak belahan dunia yang jaraknya amat berjauhan. Fantasi ini telah
mengundang diangkatnya Dinosaurus dalam film yang menjadi box office, terlaris. Film

3
Departemen Geofisika UNHAS Muhammad Altin Massinai

Jurassic Park menggambarkan bagaiman seorang propesor geologi menemukan tetesan darah
Dinosaurus dalam seekor nyamuk yang kemudian terbungkus getah tanaman yang memfosil
menjadi batu.

Dengan kemajuan teknologi biokimia, maka DNA Dinosaurus di ekstraksi, gene dihasilkan
dan telur Dinosaurus dapat diciptakan kembali. Fantasi ini amat luar biasa oleh karena umat
manusia sekarang diambang pintu untuk merekayasa makhluk-makhluk dengan mengatur
gene. Bukan saja rekayasa ini bermanfaat untuk mengetahui penyakit turunan atau penyakit
yang akan dideritanya pada masa hidupnya, yang kemudian sejak awal dapat diubah supaya
penyakit berat itu (seperti kanker, leukimia atau talasemia) tidak sampai menimpa dirinya,
tetapi juga di lain fihak akan menimbulkan kekhawatiran andaikata teknologi rekayasa gene
itu dikuasai oleh orang yang tidak bertanggung jawab. John Naisbitt & Patricia Aburdene
(1990) dalam bukunya “Megatrends 2000” menyebutnya sebagai Biofundametalist yang
menggambarkan ekstrim kejahatan dengan memanfaatkan teknologi biokimia ini. Orang
berharaf-haraf cemas dalam memasuki tahun-tahun abad ke 20 ini atau dikenal sebagai tahun-
tahun biologi. Apakah teknologi yang maha dahsyat ini dapat membawa kemaslahatan bagi
umat manusia atau sebaliknya dapat membawa bencana bagi umat manusia. Jeremy Rifkin,
seorang jaksa dari Washinton Amerika Serikat telah secara terus menerus menentang
teknologi rekayasa yang amat membahayakan ini. Banyak orang yang berpendapat, aturan
hukum dan moral belum akan sanggup mengendalikan dampaknya.

Fantasi rekayasa bioteknolgi yang menghidupkan kembali Dinosaurus memang telah


mempersonakan. Bintang yang luar biasa besarnya ini telah hidup kembali dan bisa beranak
pinak. Amat indah karena Dino adalah binatang jinak pemakan dedaunan. Pada pagi hari
yang masih berselimut kabut, terdengar suaranya melenguh dan amat enak didengar. Berbeda
sekali dengan Tyranosaurus yang amat buas dan memakan manusia yang akhir-akhirnya
menteror penonton.

Bencana Kimia

Kembali kepada kepunahan Dino yang bersahabat itu, ilmuwan mengkaji ulang pelbagai
kemungkinan macam bencana yang dampaknya terasa diseluruh dunia. Dampaknya bencana
kimia lebih memungkinkan untuk terjadi. Terlebih-lebih perhatian orang sekarang sedang
tertuju kepada masalah lingkungan. Artinya apa yang terjadi pada zaman penghujung Jura itu,
bisa terjadi pada zaman kita sekarang dan seluruh umat manusia bisa punah. Gejala-gejala
lingkungan yang membahayakan telah terdeteksi orang seperti antara lain menipisnya lapisan
ozon, pemanasan global karena efek rumah kaca dll. Semua mengancam kehidupan manusia.
Padahal menurut perhitungan Christian de Duve (1995) pemenang hadial nobel 1970 dalam
bukunya yang terlaris : Vital Dust” kehidupan masih akan berangsung 5000 juta tahun lagi.

Semenanjung Yakatan dan Teluk Meksico telah mendapat perhatian luar biasa. Penelitia di
darat dan di laut dilakukan untuk mengungkapkan kehebatan meteor raksasa yang
menghujam bumi kita di Teluk Meksico. Cipratannya yang berukuran besar menyimbah ke
semenanjung Yukatan, sementara lubangnya membentuk Teluk Meksico yang dalam itu.
Cipratan dalam bentuk gas menyibak ke udara dan mampu mengubah komposisi atmosfer.

4
Departemen Geofisika UNHAS Muhammad Altin Massinai

Itulah sekarang yang dianut oleh para ahli. Teori Katastrofisme kali ini hidup kembali dan
ramai diperbincangkan para ahli kebumian.

Teori Klasik : Orogenesa

Banyak sekali gejala geologi yang dapat diterangkan dengan mekanisme pembentukan
cekungan (geosinklin, geoklin) dan pengangkatan (uflift) atau pembentukan pegunungan.
Proses pembentukan pegunungan ini dinamakan orogenesa.

Seperti halnya mengenai geosinklin, konsep orogenesa merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan para ilmuwan kebumian. Kalau pada zaman renaissance dan abad
yang lalu konsepsi geologi didedukasi dari hasil pengamatan di Pegunungan Alpen atau
Italia, maka pada abad ke 20 ini penyelidikan makin meluas ke bahagian dunia lain,
khususnya Benua Amerika. Akan tetapi penyelidikan yang dilakukan sampai ditutupnya
melanium ke 2 ini, hampir seluruhnya di darat, sehingga konsep terbentuknya pegunungan
yang nota bene tentu di darat, merupakan dasar penyusunan konsep geologi. Sebagaimana
nanti akan terlihat bahwa pandangan umat manusia ke dasar lautan yang membentuk 74%
dari permukaan planet bumi kita ini ternyata akan dengan sangat drastis mengubah konsep
dasar ilmu geologi.

Penyelidikan di Benua Amerika memberikan kepada James Hall (1859), suatu tantangan
menerangkan terjadinya batuan sedimen Paleozoik yang mencapai tebal 12.000 meter,
padahal kesemuanya diendapkan di laut yang dangkal. Hall berkesimpulan bahwa selama
pengendapan berlangsung telah terjadi penurunan dasar cekungan sehingga lingkungan laut
tetap dangkal.

Dana (1873) adalah penyelidik yang pertama kali mempergunakan istilah geosinklin.
Pengendapan berlangsung pada masa tenang yang panjang dengan penurunan dasar
cekungan, lalu kemudian terjadi proses pelipatan yang berlangsung relatif singkat. Kompresi
dan perubahan suhu dari dalam laut ke atas permukaan laut menyebabkan panas yang dapat
membentuk gunungapi dan proses selanjutnya metamorfisme.

Beberapa akhli membuat pelbagai klasifikasi dari geosinklin berdasarkan kepada pemerian
yang lebih mendetail, seperti dilakukan oleh Mashall Kay (1951) atau Aubouin (1965).
Pengetahuan mengenai Bumi secara moden baru di kenal pada 200 tahun yang lalu dan
selama pembentukan pegunungan lipatan dan sesar-sesar yang kesemuanya ini dapat
berlangsung secara bersamaan (simultan).

Orogenesa berlangsung pada kurun waktu tertentu, yaitu lebih kurang 50 juta tahun yang
diikuti oleh masa yang lebih panjang, mungkin sampai 250 juta tahun, yang kondisinya
tenang. Selama kurung waktu yang tenang itu terjadi pengangkatan dan penurunan dengan
pelan-pelan.

Umbgrove membandingkan naik turunnya kerak bumi ini seperti deyutan tubuh bumi atau the
pulse of the earth. Orogenesa dapat terjadi dimana saja pada tempo yang bersamaan .
Berdasarkan urutan umur yang berbeda, Stille menyusun skala waktu orogenesa yaitu mulai
dari yang tertua: Arkean (2900 sampai 1350 juta tahun yang lalu), Laurentia, Karelia, Huron,
5
Departemen Geofisika UNHAS Muhammad Altin Massinai

Hersinia (karbon dan Perm), Kimmerik (Trias dan Jura), Austria (Kapur Awal – Kapur
Akhir), Pyrenee (Eosen) dan Alpen mulai dari Oligosen sampai sekarang. Dalam setiap
orogenesa terdapat beberapa pase.

Suatu hal yang amat sulit untuk diterima adalah bahwa pada suatu lapisan yang berumur
singkat ternyata dapat ditemukan beberapa ketidakselarasan atau unconformity seperti
misalnya James Gilluly menemukan 43 rumpang menyudut (angular unconformity) pada
batuan berumur Miosen. Ini berarti pada masa yang singkat itu telah terjadi pengangkatan
yang amat intensif.

Kompresi Horisontal dan Teori Undasi

Endward Suess (1831-1914) dari Austria adalah orang yang mengemukakan konsep baru
dalam pemikiran geologi yaitu dengan memperkenalkan adanya kompresi horisontal pada
proses orogenesa. Proses tersebut terjadi tidak semata-mata karena pembentukan magma.
Kompresi timbul karena pengerutan bola bumi. Dalam bukunya Die Entstehung de Alpen
yang terbit tahu 1875, dibahas karakteristik pegunungan Alpen, termasuk sayap lipatan yang
selalu tidak simetris yang menunjukkan adanya kompresi dari samping. Dalam bukunya Der
Anlitz der Erde yang terbit berjilid-jilid antara tahun 1883 sampai 1909. Suess memberikan
gambaran bentuk kerak bumi yang dihasilkan oleh pengerutan bola bumi.

Agak berbeda dengan pemikiran-pemikiran yang dikemukakan di atas, Erich Haarmann


(1930) menganggap bahwa orogenesa terbentuk karena kerak bumi bergerak terangkat seperti
tumor atau geotumor (misalnya Danau Toba di Sumatera). Sedimen kemudian melengser
pada lereng tumor karena gaya berat, yang kemudian melipat ataupun patah. Van Bemmelen
(1933) mengaplikasikannya di Indonesia dan juga melihat gejala itu pada pembentukan tumor
yang berkaitan dengan gunungapi. Di Pinggiran tubuh suatu gunungapi, selalu terbentuk
suatu lipatan. Ukuran tumor yang lebih besar terdapat di Kalimantan Barat, yang kalau
ditelusuri dari Sumatera maka penyebaran batuan magmatik tampak seperti membentuk
gelombang besar yang semakin meluas menjauhi pusatnya yang terletak di kepulauan
Anambas. Makin dekat ke pusat maka makin muda umurnya. Teori ini kemudian dikenal
dengan nama teori undulasi.

Fixist vesus Mobilist

Kecuali teori yang diajukan Alfred Lothar Wagener (1880-1930) yang memperkenalkan
benua yang mengembara dan karena itu kompresi horisontal adalah dominan, semua
pandangan lainnya adalah fixist yaitu terjadinya di tempat yang tetap. Terjadinya geosinklin
sampai pengangkatan menjadi pegunungan melalui orogenesa berlangsung di suatu tempat
yang sama (fixed). Teori Wagener di lain pihak disebut mobilist, karena semua proses terjadi
pada ruang dan waktu yang bebas dan lokasinya bergerak (mobil). Sementara itu ada
golongan campuran, namun golongan ini tetap inti fikirannya adalah fixist. Walaupun teori
mobilist hampir terkubur oleh teori fixist, namun kemudian ternyata berdasarkan bukti-bukti
baru, maka teori ini hidup lagi melalui Teori Tektonik Global.

6
Departemen Geofisika UNHAS Muhammad Altin Massinai

Dengan demikian secara ringkas pandangan teori klasik geologi dapat dikemukakan sebagai
berikut:

1. Teori utama fixist sedangkan teori mobilist tidak mendapat dukungan dan kemudian
dikubur;
2. Teori fixist menganggap bumi tidak mengalami kompresi mengarah horisontal, tetapi
semua pergerakan adalah vertikal;
3. Kejadian siklus geologi berlangsung pada suatu tempat yang sama (fixed), dimulai
dengan pembentukan geosinklin, proses kegiatan vulkanik/magmatik, pengangkatan
yang dibarengi lipatan dan sesar dan fase terakhir erosi.

Pelbagai teori dikembangkan untuk menerangkan tenaga yang membentuk orogenesa seperti
Dana (1873), Suess (1875), dan Heim (1878) yang menganggap bahwa bola bumi mengerut
karena pendinginan. Teori ini diperkuat oleh Kober (1924) dan Sonder (1956), yang
mengemukakan bahwa pengerutan terjadi karena pertukaran fase dan pertukaran kerapatan
massa dalam mantel.

Tektonik Global

Alfred Lothar Wagener (1880-1930) yang mula-mula melemparkan pandangan yang diaggap
tidak umum, yaitu bahwa benua telah mengembara di muka bumi. Hal itu dijelaskan dalam
bukunya Die Entstehung der Kontinente und Ozeane (1915). Wagener yang pakar
meteorologi bangsa Jerman ini mengumpulkan pelbagai data mengenai geologi, biologi dan
klimatologi yang membawanya kepada kesimpulan tersebut.

Semua akhli menolak teori Wagener ini. Teori geosinklin dan orogenesa lebih dapat
menerangkan pelbagai gejala geologi di dunia. Segelintir kecil, diantaranya Emile Atgand
mencoba menerapkan konsep Wagener di pegunungan Alpen yang pada waktu itu merupakan
satu-satunya laboratorium alam. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa untuk
menerangkan bentuk Alpen maka diperkirakan terdapat kompresi mendatar terarah dan
bahwa batuan akan bersifat plastik dalam tekanan yang lama yang bersekala waktu geologi.

Sebenarnya Antonio Snider-Pelligrini (1658) telah tertarik pada geometri bentuk pantai barat
dan pantai timur Atlantik. Lalu Wagener menerangkan bahwa pergerakan benua itu dapat
terjadi karena putaran bumi dan tarikan pasang surut bulan dan matahari.

Putaran bumi mendorong benua untuk bergerak ke arah kutub. Pada 250 juta tahun yang lalu
semua benua merupakan satu kesatuan yaitu Pangaea atau Urkontinent yaitu benua induk.
Pada Mesozoik Awal mulailah benua induk terpecah menjadi 2 benua besar yaitu Gondwana
dan Leurasia. Selanjutnya benua-benua besar ini terpecah-pecah ke dalam kepingan benua
yang lebih kecil.

Walaupun Wagener melengkapi teorinya dengan bukti-bukti data geologi, flora dan iklim
pada tiap kurun waktu, namun pandangannya tidak dapat diterima, antara lain karena tidak
dpat menerangkan sejarah geologi pada masa sebelum Pangaea.

7
Departemen Geofisika UNHAS Muhammad Altin Massinai

Teori ini mendapatkan kembali momentumnya ketika orang sudah berhasil mengumpulkan
pelbagai informasi mengenai keadaan dasar lautan. Perkembangan teknologi yang pesat
sesudah Perang Dunia ke II memungkinkan orang untuk melakukan penyelidikan di dasar
lautan. Demikian pula peralatan untuk melakukan penyelidikan geofisika di dasar lautan serta
kemajuan dalam teknologi pengukuran sifat-sifat fisik kerak bumi di dasar lautan. Pemboran
laut dalam adalah merupakan suatu teknologi yang dapat mengungkap rahasia batuan yang
berada di bawah permukaan laut. Pada tahun 1960 an penelitian ini dilakukan dengan
insentif.

Revolusi Ilmu Kebumian

Pada tahun 1967 Tuzo Wilson mengemukakan tentang terjadinya revolusi penting dalam
ilmu pengetahuan geologi, Secara jelas Wilson memperlihatkan bukti-bukti bahwa kerak
bumi bergerak secara horisontal dan terdapat pemekaran-pemekaran pada kerak bumi.
Dengan demikian maka benarlah apa yang diduga Wagener mengenai mengembaranya
kontinen-kontinen.

Penelitian bawah laut dengan peralatan modern telah menyimpulkan 3 hal yang penting, yaitu
:

1. Pengukuran medan magnet bumi pada setumpukan aliran lava bawah laut yang
memperlihatkan polaritas yang bertentangan antara satu lapisan dengan lapisan
lainnya secara sistematis;
2. Jalur anomali magnet yang lebarnya selalu mempunyai rasio yang tetap di mana-
mana.
3. Pemboran laut dalam yang memperlihatkan medan magnet yang bertentangan pada
pelbagai umur lava yang membuktikan apa yang diramalkan.

Lantai samudera kemudian diselidiki dengan lebih intensif, sehingga orang sampai kepada
kesimpulan bahwa lantai samudera bergerak mekar ke arah luar dari punggung tengah
samudera (mid oceanic ridge). Lalu secara detail tingkah laku lantai samudera ini dipelajari
pada tepiannya, yaitu bagaimana tepian-tepian ini berbenturan dan membentuk zona
subduksi. Demikian pula pengaruh benua yang mengapung pada kerak bumi dalam proses
pembenturan tersebut.

Dengan demikian maka hampir seluruh muka bumi berada dalam satu kesatuan proses.
Kejadian di satu tempat mempunyai dampak di tempat lain melalui hubungan kerak bumi
yang kemudian dinamakan keping-kepingan tektonik kerak bumi (tectonic plate). Seluruh
planet bumi secara geologis merupakan satu kesatuan. Karena itulah Wilson berani
mengemukakan bahwa teori ini mengantarkan orang kepada suatu pandangan yang lebih
universal dan dengan demikian memenuhi syarat sebagai suatu teori. Tekonik global atau
geologi global mulai dikenal karena semuanya dapat diterangkan secara universal atau
berlaku di mana-mana.

8
Departemen Geofisika UNHAS Muhammad Altin Massinai

Pada prinsipnya teori tektonik global atau teori Tektonik Lempeng (Plate Tectonics)
mengenal 6 lempeng utama dan lebih kurang 14 lempeng yang lebih kecil di dunia.
Lempeng-lempeng tersebut diantaranya adalah : Eurasia, Indo-Australia, Pasifik, Amerika,
Afrika, Nazca, Filipina, Karibia, Arab dan Gorda atau Juan de Fuca. DeMets at al, (2010)
membagi bumi ini menjadi 29 lempeng, seperti gambar berikut:

Gambar 2 A. Episenter gempa bumi dengan magnitudo yang sama menandakan batas
lempeng. B. Bentuk geometri dan batas lempeng, nama2 lempeng tsb : AM, Amur;
AN, Antarctic; AR, Arabia; AU, Australia; AZ, Azores; BE, Bering; CA, Caribbean;
CO, Cocos; CP, Capricorn; CR, Caroline; EU, Eurasia; IN, India; JF, Juan de Fuca;
LW, Lwandle; MQ, Macquarie; NA, North America; NB, Nubia; NZ, Nazca; OK,
Okhotsk; PA, Pacific; PS, Philippine Sea; RI, Rivera; SA, South America; SC, Scotia;
SM, Somalia; SR, Sur; SU, Sundaland; SW, Sandwich; YZ, Yangtze.

Graham at al, (2018) membagi bumi menjadi 36 kepingan lempeng. Lempeng-lempeng


tersebar di 5 benua (Asia, Eropa, Amerika, Afrika dan Australia) dan 5 Samudera (Pasifik,

9
Departemen Geofisika UNHAS Muhammad Altin Massinai

Indo-Australia, Atlantik, Antarktika (Samudera Selatan), Arktik (terletak di Kutub Utara)).


Ke 36 kepingan lempeng tersebut :

1. Afrika 19. Okhotsk


2. Amur 20. Pacific
3. Antarktika 21. Puerto Rico
4. Arabia 22. Philippine Sea
5. Australia 23. Rivera
6. Baja California 24. Rovuma
7. Bering 25. South America
8. Caribbean 26. South Bismarck
9. Cocos 27. Scotia
10. Danakil 28. Sinai
11. Eurasia 29. Shetland
12. Gonave 30. Somalia
13. India 31. Solomon Sea
14. Juan de Fuca 32. Sunda
15. Lwandle 33. Tonga
16. Mariana 34. Victoria
17. North Bismarck 35. Woodlark
18. Nazca 36. Yangtze

Setiap kepingan minimal mempunyai dua sisi dan bisa sampai bersisi 6. Kepingan selalu
mempunyai batas simpang tiga. Kepingan mempunyai sifat kaku (rigid) sehingga bergerak
dalam satu kesatuan sampai berbenturan dengan lempeng lainnya.

Untuk menerangkan pelbagai gejala dari gerakan kulit bumi ini maka orang mengenal
berbagai istilah seperti antara lain pusat pemekaran (spreading), igir tengah samudera (mid
oceanic ridge), parit (trough), zona obduksi (obduction), zona subduksi (subduction), zona
Benioff, dan sebagainya.

Mekanisme pergerakan diterangkan oleh Wilson dengan memperkenalkan satu jenis sesar
baru, yaitu sesar transformal (transform fault) yang mempunyai karakter tersendiri di
samping sesar yang sudah dikenal yaitu sesar normal, sesar naik atau sesar mendatar.

Teori tektonik lempeng telah dapat menerangkan penyebaran pusat gempabumi yang selalu
berkonsentrasi di tempat-tempat yang tetap di sekeliling Samudera Pasifik, Himalaya sampai
Italia, Afrika Utara dan bagian tengah Atlantik. Demikian pula penyebaran gunungapi yang
di seputar Pasifik berhimpitan dengan jalur gempabumi. Kedalaman gempabumi dapat
diperkirakan dengan menggambarkannya pada zona subduksi. Demikian pula gempabumi
yang amat dangkal yang terdapat pada sesar-sesar transformal atau sesar mendatar
transcurrent.

Di Indonesia

Pola tektonik yang teratur dan kemampuan memprediksi dari teori Tektonik Global,
menyebabkan teori ini dengan cepat mendapatkan tempat dan dianut luas oleh para ilmuwan

10
Departemen Geofisika UNHAS Muhammad Altin Massinai

kebumian. Apalagi karena teori ini dapat memprediksi letak endapan-endapan bahan galian,
mineral keras ataupun cekungan-cekungan hidrokarbon. Banyak sekali cekungan hidrokarbon
baru yang ditemukan, misalnya di bawah perairan laut Indonesia. Katili (1974) dan Hamilton
(1978) mengaplikasikan konsep Tektonik Lempeng ini di Kepulauan Indonesia dan berhasil
menerangkan pelbagai gejala geologi Indonesia. Demikian pula pencarian mineral dan
hidrokarbon banyak memberikan hasil berkat pemanfaatan kemampuan prediksi dari teori ini.

Keadaan geologi Indonesia menjadi lebih mudah difahami, walaupun tektonik di sini agak
rumit karena pembenturan lebih dari satu megaplate yaitu Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik
dan dari arah yang berbeda. Keadaan ini menyebabkan Indonesia melalui wilayah yang unik
di dunia dan merupakan Laboratorium alam yang mendeformasikan bagaimana pegunungan
sedang dilahirkan.

Perkembangan teori Tektonik Global makin diperkuat dengan data yang lebih kuantitatif.
Perkembangan teknologi ruang angkasa dan satelit memungkinkan pengukuran kerak bumi
dengan lebih teliti dan mencakup jarak yang amat jauh. Le Pichon (1968) memetakan
kecepatan pergerakan semua lempeng di dunia beserta arahnya. Demikian pula Tapponier
(1982) dengan satelit menganalisa peranan subkontinen India dalam membentur Pegunungan
Himalaya dan dampaknya kepada daratan Cina dan seluruh Asia Tenggara.

Bumi Terlalu Rumit

Ilmu pengetahuan geologi telah melibatkan pelbagai disiplin ilmu lainnya untuk dapat
memahami alam ini dengan lebih baik. Para penyidik kebumian mau tak mau harus
mengakui bahwa telah terjadi perubahan yang drastis dalam ilmu pengetahuan bumi.
Revolusi pada ilmu pengetahuan bumi telah terjadi. Revolusi ini telah melibatkan pelbagai
cabang ilmu menjadi satu ilmu yang bersama-sama menyelidiki bumi yang dinamis ini yaitu
geonomy. Ilmu Fisika, Kimia, dan Biologi telah bersama-sama dengan ilmu kebumian
melibatkan diri dalam penyelidikan bumi.

Revolusi dalam ilmu pengetahuan geologi ini memungkinkan untuk terjadi karena adanya
loncatan dalam teknologi. Gelombang revolusi teknologi ke 3.0 yaitu cybernetics, kemudian
4.0 revolusi industri dan selanjutnya 5.0 era society yang melanda dunia pada pertengahan
abad sampai sekarang ini telah melambungkan pengetahuan kita tentang bumi dan karenanya
dapat menyusun konsepsi dengan lebih baik pula.

Teknologi yang langsung dirasakan menjadi tulang punggung perkembangan ilmu geologi
antara lain adalah :

1. Komputer/laptop untuk menghitung dan memproses dengan teliti data yang selama ini
terkumpul secara lebih kuantitatif;
2. Penerbangan ruang angkasa dan peluncuran satelit yang dapat melihat bumi secara
menyeluruh (synoptic view) dan bumi dapat dilihat sebagai suatu bentuk bola melalui
pesawat ruang angkasa (remote sensing);

11
Departemen Geofisika UNHAS Muhammad Altin Massinai

3. Kemampuan deteksi bidang geofisika untuk mengukur kemagnetan dan sifat fisik
lainnya di bawah laut yang tidak lepas pula dari kemampuan untuk menyelam ke
dalam laut termasuk teknologi pemboran laut dalam.

Masalah yang paling besar yang dihadapi ilmu pengetahuan bumi ialah oleh karena bumi ini
terlalu rumit, sehingga ilmu ini tdak pernah melewati jenjang pertama dan ke empat jenjang
yang biasa terjadi pada perkembangan suatu ilmu yaitu: tahap pengumpulan data, tahap
penyusunan teori, tahap peramalan dan akhirnya pengecekan kebenaran dan peramalan itu.
Ilmu pengetahuan atau science, pada dirinya sendiri harus terkandung kemampuan untuk
mengecek kebenaran peramalan. Sumbangan pengetahuan geologi dan model-model yang
disusun oleh akhli-akhli geofisika pada akhirnya dapat merumuskan suatu hubungan sebab
akibat tingkah laku bumi dalam satu sistem atau teori. Teori ini masih harus terus diuji
dengan semua gejala yang terdapat pada planet bumi kita.

Dengan teori Geologi Global maka dapat diterangkan bahwa pelbagai gejala bukanlah terjadi
secara kebetulan. Terdapat cebakan mineral di suatu tempat mempunyai hubungan yang luas
dengan tempat lainnya. Dengan mudah misalkan orang dapat menerangkan kenapa minyak
bumi terdapat dalam kubah garam (salt dome) di pantai Gabon, Afrika Barat dan pantai
Brasil, Amerika Selatan, apabila diketahui bahwa kedua benua itu telah merenggang dan
lautan telah terbentuk di antara keduanya pada kira-kira pertengahan zaman Kapur.
Selanjutnya orang dengan mudah menerangkan adanya tubuh batuan ultrabasa yang kaya
akan nikel di Siprus, Kuba, Italia, Turki, Yunani, Kaledonia Baru, Papua Nigini dan
Sulawesi. Pembenturan lempeng dasar laut dalam telah menerangkan ini semua. Pada masa
yang akan datang orangpun akan mudah untuk menjawab kenapa tidak pada semua sesar
besar terdapat cebakan mineral ?.

Walaupun Teori Tektonik Lempeng ini harus mengalami pelbagai pengujian dan
penyempurnaan, namun aplikasi di banyak tempat telah dengan mudah memahami pelbagai
gejala geologi. Pemanfaatannya di Indonesia seperti dilakukan oleh Katili (1974, 1978, 1980)
telah dapat mengungkapkan pelbagai misteri tentang gempabumi, gunungapi, cebakan
mineral, dan endapan hidrokarbon. Malahan endapan hidrokarbon di laut yang selama ini
kurang diselidiki, pada akhirnya dengan kemampuan meramal dari Teori Tektonik Lempeng
telah dapat ditemukan dengan jumlah yang jauh lebih besar dari endapan yang terdapat di
daratan. Malahan cebakan gas terbesar di dunia diperkirakan terdapat di Laut Cina Selatan
diantaranya Natuna yang sekarang sudah dibuktikan dan sedang dikembangkan.

Teori Tektonik Global atau Tektonik Lempeng atau Geologi Global adalah merupakan
loncatan kedua dalam perkembangan ilmu geologi menjadi ilmu modern. Malahan Tjia
(1990) dari Universitas Kebangsaan Malaysia, menyebutnya bahwa peristiwa ini sama
pentingnya seperti ketika diformulasikan Teori Evolusi Darwin yang terkenal itu yang
menyangkut perubahan pola fikir dari hampir seluruh cabang ilmu.

12
Departemen Geofisika UNHAS Muhammad Altin Massinai

Daftar Pustaka

Bemmelen v., R.W (1949) The Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, Martinus
Nijhoff, The Hague, p 723
Darman, Herman and Sidi, F. Hasan (2000) An Outline of The Geology of Indonesia,
Indonesian Association of Geologists, Jakarta, p 192
DeMets, C., Gordon, R. G., & Argus, D. F. (2010). Geologically current plate motions.
Geophysical Journal International, 181(1), 1–80.
De Duve, Christian, 1995 Vital Dust, Life as 1 Cosmic Imperative, Basic Books, 362p
Graham, S. E., Loveless, J. P., & Meade, B. J. (2018). Global plate motions and earthquake
cycle effects. Geochemistry, Geophysics, Geosystems, 19, 2032–2048.
Hamilton, W (1981) Tectonics of the Indonesian Region, Geological Survey Professional
Paper No.1078, US Government Printing Offica, Washington, 345 p.
Hall, Robert (2003) Cenozoic Tectonics of Indonesia, Short Course of Indon. Petrol. Assoc.
Annual Meeting, Jakarta, 183p.
Katili, J.A. 1974. Geological Environment of the Indonesian Mineral Deposits; a Plate
Tectonic Approach, Geological Suvey of Indonesia, Publikasi Teknik, Seri Geologi Ekonomi,
7, 11p
Katili, J.A. 1978. The Past and Present Geotectonic Position of Sulawesi Indonesia,
Tectonophysics, 45, 289-322
Katili, J.A. 1980. Geotectonics of Indonesia: A modern view, Directorate General of Mines,
Jakarta, 271 p
Massinai, M. A.2011. The Contribution of Tectonics to Build the Geomorphology of
Jeneberang Watershed Region of South Sulawesi. PhD Thesis, Padjadjaran University,
Bandung, 391 p.
Naisbitt, J. & Aburdene, P. 1990. Megatrends 2000, Aron Books, New York, 416p
Sudradjat, A, 1997. Ilustrasi Geologi, Grafimatra Tatamedia, Jakarta.
Tjia, H.D. 1990. Tektonik, Penerbit University Kebangsaan Malaysia, Bangi, 320p

13

Anda mungkin juga menyukai