NIM : 1902010589
KELAS : A / SEMESTER 3
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana telah kita ketahui pemidanaan bagi seorang prajurit militer hanya diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Dilihat dari perspektif hukum pidana
KUHPM dapat dikategorikan sebagai hukum pidana khusus, Hal tersebut disebabkan KUHPM
dibentuk dan diberlakukan bagi orang-orang tertentu misalnya anggota angkatan bersenjata yang
pengaturannya dilakukan secara khusus. Dengan demikian KUHPM merupakan kitab hukum
pidana yang diberlakukan khusus bagi anggota TNI mengandung arti bahwa hukum pidana
tersebut mengatur suatu perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu
(Prajurit). Kekhususan hukum pidana Militer tidak dapat dilepaskan dari sifat dan hakekat
anggota Militer itu sendiri yang bersifat khusus, sehingga hukum pidana Militer bisa saja
menyimpang dari azas-azas hukum pidana umum (KUHP) penyimpangan tersebut antara lain
menyangkut sanksi pidana yang berbeda dengan stelsel pemidanaan yang lazim berlaku bagi
masyarakat umum.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimanakah jenis dan hakekat pidana militer?
2) Bagaimanakah perbandingan hukum pidana militer (KUHPM) dengan hukum pidana
umum (KUHP) ?
BAB II
PEMBAHASAN
Jenis-jenis pidana militer terdapat dalam Pasal 6 KUHPM , yang terdiri dari pidana-pidana utama
dan pidana-pidana tambahan,yaitu :
1. Pidana- pidana utama:
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan; dan
d. Pidana tutupan (UU No.20 Tahun 1946)
2. pidana-pidana tambahan terdiri dari;
a. Pemecatan dari dinas militer dengan dan atau tanpa pencabutan haknya untuk
memasuki Angkatan Bersenjata;
b. Penurunan pangkat; dan
c. Pencabutan hak-hak yang telah disebutkan pada Pasal 35 ayat pertama pada nomor-
nomor ke-1, ke-2, dan ke-3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pemidanaan bagi seorang militer, pada dasarnya merupakan suatu tindakan pendidikan atau
pembinaan dari pada tindakan penjeraan atau pembalasan, selama terpidana akan diaktifkan
kembali dalam dinas militer setelah selesai menjalani pidana. Seseorang militer ex narapidana
yang akan kembali aktif tersebut harus menjadi seorang militer yang baik dan berguna baik
karena kesadaran sendiri maupun sebagai hasil “tindakan pendidikan” yang ia terima selama
dalam rumah penjara militer (rumah rehabilitasi militer). Seaindainya tidak demikian halnya,
maka pemidanaan itu tiada mempunyai arti dalam rangka pengembaliannya dalam masyarakat
militer. Hal seperti ini perlu menjadi dasar pertimbangan hakim untuk menentukan perlu
tidaknya penjatuhan pidana tambahan pemecatan terhadap terpidana disamping dasar-dasar
lainnya yang sudah di tentukan. Jika terpidana adalah seorang non militer, maka hakekatnya dan
pelaksanaan pidananya sama dengan yang diatur dalam KUHP.
Bentuk penyimpangan sanksi hukum pidana dalam KUHPM dapat dilihat dalam pasal 6
huruf a dan b yang menyatakan bahwa terdapat dua jenis hukum pidana yaitu pidana pokok dan
pidana tambahan yang dapat dikenakan terhadap anggota Militer. Pidana pokok seperti
penjatuhan pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana
tambahan yaitu, pemecatan dari dinas kemiliteran dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk
memasuki angkatan bersenjata, penurunan pangkat dan pencabutan hak. Jenis pidana pemecatan
ini bersifat murni kemiliteran (van zuiver militaire aard) yang tidak ada dalam hukum pidana
umum (KUHP).
Sejalan dengan semakin ditinggalkannya pidana mati di negara-negara maju, memang tujuan
pemidanaan tersebut tidak dapat diterapkan terhadap penjatuhan pidana mati. Negara Belanda
sebagai sumber hukum pidana di Indonesia, juga telah meninggalkan pidana mati, namun kita
justru memperbanyak undang-undang yang di dalamnya tercantum pidana mati. Oleh karenanya
apabila pidana mati tidak diterapkan lagi maka tujuan pemidanaan yang sudah dianut secara
menyeluruh di seluruh negara sebagaimana tercantum dalam Rancangan KUHP Nasional
tersebut akan menjadi berarti.[1]
Tujuan pemidanaan tersebut juga kurang dapat diterapkan dalam penjatuhan pidana
tambahan pemecatan dari dinas militer. Pidana tambahan tersebut justru dirasakan lebih berat
dari pada pidana pokok berupa perampasan kemerdekaan. Para prajurit yang dipecat melakukan
upaya banding, kasasi, PK, grasi, bahkan grasi ke-2, hanya untuk berharap tidak dipecat dari
dinas TNI.
Di satu sisi kewenangan pemecatan tersebut adalah merupakan kewenangan pejabat
administrasi dalam hal ini oleh Presiden untuk yang berpangkat Kolonel ke atas dan untuk yang
berpangkat Letkol ke bawah oleh panglima TNI atau Kas Angkatan. Di sisi lain menjadi
kewenangan hakim walaupun pada akhirnya putusan tersebut diikuti secara administrasi
Oleh karena adanya duplikasi kewenangan tersebut, dalam prakteknya sering terjadi
benturan dimana keputusan kesatuan yang melakukan PDTH telah mendahului putusan,
sedangkan keputusan tersebut didasarkan atas perbuatan tindak pidana yang justru adalah juga
sebagai dasar dilakukannya pemeriksaan di pengadilan.
Sistem penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer, sebagai sub sistem dalam
penjatuhan pidana pada lingkungan peradilan militer memang diakui sebagai suatu kekhususan
atau khas hukum pidana militer, namun apabila dalam prakteknya justru menimbulkan
kesemrautan maka hal tersebut menjadi bertentangan dengan asas yang berlaku dalam sisitem
pemidanaan pada umumnya.
Apabila dalam sistem pemidanaan pada umumnya dikenal jenis-jenis pidana berupa pidana
pokok dan dan pidana tambahan dan bentuk-bentuk pidana dari masing-masing jenis pidana
tersebut, maka hal tersebut seluruhnya dikenal sebagai pemidanaan yang menjadi kewenangan
hakim, sedangkan dalam hukum pidana militer dikenal pidana tambahan pemecatan dari dinas
militer yang walaupun dikenal sebagai khasnya militer, namun dari segi kewenangan pada
prinsipnya hal tersebut adalah kewenangan pejabat administrasi
Terdapat perbandingan antara pidana umum dalam KUHP dan pidana militer dalam KUHPM,
yaitu:
Pelaksanaan pidana “perampasan kemerdekaan” pada militer dijalankan ditempat yang
dikuasai/dipimpin oleh militer dan lebih menitikberatkan pada pendidikan (rehabilitasi) dari
pada penjeraan, sedang untuk non militer dalam prakteknya lebih merupakan kebalikannya.
Jenis pidana denda tidak dikenal dalam rumusn tindak pidana militer. Tetapi tidak berarti
bahwa kepada seseorang militer tidak mungkin dijatuhi pidana denda. Kecuali mengenai
tindak pidana tertentu (misalnya penyeludupan) dalam banyak hal adalah lebih bijaksana
untuk menyelesaikan suatu perkara sedemikian itu secara disiplin sekiranya sudah dapat
diperkirakan bahwa nantinya hanya akan dijatuhi pidana denda.
Sama dengan sistem yang dianut dalam KUHP, juga yang dianut dalam KUHPM ialah,
bahwa pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan berdiri sendiri. Dengan perkataan lain pidana
tambahan atau beberapa pidana tambahan hanya dijatuhkan bila dianggap perlu menambah
pidana pokok yang telah dijatuhkan.
Jenis pidana tambahan pertama dan kedua dari KUHPM adalah murni bersifat kemiliteran
(van ziuver militaire aard). Pada hukum pidana umum, pengaturan mengenai penjatuhan
pidana tambahan dalam pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHP (dan pasal-pasal tertentu
dalam undang-undang hukum pidana lainnya). Ketentuan seperti itu tak terdapat dalam Buku
II KUHPM. Sistem yang digunakan oleh KUHPM ialah sistem umum, yaitu memberikan
kebebasan dan kepercayaan sepenuhnya kepada hakim untuk menambahkan pidana tersebut
atas dasar penelitian bahwa benar-benar terpidana itu tak layak lagi berdinas sebagai militer
(untuk pidana tambahan ke-1) atau benar-benar tak layak lagi ia tetap dalam kepangkatannya
yang semula (untuk pidana tambahan yang ke-2).
Dalam KUHP terdapat pidana tambahan “perampasan dan pengumuman keputusan hakim”
tetapi dalam KUHPM tidak. Ini tidak berarti bahwa dua jenis pidana tambahan tersebut tak
dikenal dalam peradilan militer. Pidana tambahan perampasan selalu dapat dijatuhkan asal
saja memenuhi hal-hal yang ditentukan dalam pasal 39 KUHP melalui pasal 1 KUHPM,
sedangkan pidana tambahan pengumuman keputusan hakim harus memenuhi ketentuan-
ketentuan dalam pasal-pasal yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan,
atau aturan-aturan umum lainnya melalui pasal 1 dan 2 KUHPM.
Pelaksanaan pidana militer (menurut KUHPM)
Perbedaan antara pidana penjara dengan pidana kurungan dapat diuraikan sebagai berikut:
Pidana penjara ancaman pidana minimum satu hari dan maksimum 15 tahun, sedangkan
pidana kurungan minimum satu hari dan maksimum 1 tahun.
Terpidana dengan pidana kurungan diberi pekerjaan yang lebih ringan, dan ia dapat
memperbaiki nasibnya dengan memperoleh kiriman makanan dan tempat tidur dari
rumah.
c. Pelaksanaan Pidana Kurungan
Pelaksanaan pidana kurungan ditentukan dalam Pasal 14 KUHPM : “Apabila seorang
dinyatakan bersalah karena melakukan suatu kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang
ini dan kepadanya akan dijatuhkan pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak melebihi 3
bulan, hakim berhak menentukan dengan putusan bahwa pidana tersebut dijalankan sebagai
pidana kurungan”. Untuk perkara pidana yang bersifat ringan, antara lain yang hanya diancam
dengan pidana paling lama 3 bulan akan diselesaikan dengan pelanggaran disiplin. Namun
demikian apabila suatu perkara yang seharusnya diserahkan untuk diselesaikan dengan
pelanggaran disiplin telah dilimpahkan ke Pengadilan Militer, maka Oditur dapat menuntut agar
terdakwa dijatuhi pidana 3 bulan penjara dan dijalankan sebagai pidana kurungan. Kalaupun
Oditur tidak menuntut demikian, maka hakim dapatsaja menjatuhkan putusannya dengan pidana
kurungan.
- Pasal 39 KUHPM menentukan: berbarengan dengan keputusan penjatuhan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 67 KUHP, tidak boleh
dijatuhkan lainnya, selain dari pada pemecatan dari dinas militer dengan pencabutan hak untuk
memasuki Angkatan Bersenjata.
- Pasal 67 KUHP menentukan: berbarengan dengan putusan penjatuhan dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup tidak boleh dijatuhkan pidana-pidana lainnya, selain dari pada
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang yang telah disita sebelumnya dan
pengumuman keputusan hakim.
Dilihat dari hubungan antara pasal 39 KUHPM dengan pasal 67 KUHP tersebut, maka pasal 39
KUHPM telah memperluas pasal 67 KUHP tersebut dengan membolehkan berbarengan dengan
penjatuhan pidana mati atau penjara seumur hidup adalah pemecatan dari dinas militer dengan
pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata.
Beberapa pokok-pokok yang perlu diperhatikan dalam penjatuhan pidana tambahan pemecatan
ini yaitu antara lain :
Apabila diperbandingkan dengan ketentuan pasal 35 (1) ke-1 dan ke -2 KUHP dengan
pasal 26 KUHPM maka pada pasal 35 KUHP harus dikaitkan dengan ketentuan pasal 36
dan 38 KUHP dimana ditentukan bahwa pencabutan hak memegang jabatan atau hak
untuk memasuki Angkatan Bersenjata hanya boleh dalam hal-hal pemidanaan karena
kejahatan-kejahatan tertentu saja dan hakim harus menentukan lamanya
pencabutan itu berlaku. Sedangkan dalam KUHPM hal-hal tersebut disimpangi yaitu
penjatuhan pemecatan tersebut tidak hanya karena kejahatan tertentu saja, melainkan
setiap kejahatan dan tidak diharuskan menentukan lamanya pencabutan, yang berarti
dapat berlaku seumur hidup. Di dalam ayat (2) pasal 35 KUHP disebutkan, Hakim tidak
berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus
ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
Pasal 26 KUHPM dalam rangka penjatuhan pidana tambahan pemecatan dari dinas
militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata secara
berbarengan dengan pidana utama, justru tidak memperbedakan pidana penjara seumur
hidup dengan pidana penjara sementara. Artinya baik berbarengan dengan pidana penjara
seumur hidup ataupun dengan pidana penjara sementara (misalnya 3 tahun) hakim militer
berhak menjatuhkan pidana pemecatan tersebut. Dalam hal ini tidak ditentukan batas
maksimum dari (pidana utama) pidana penjara tersebut untuk dapat
dibarengkan/digabungkan dengan pidana tambahan pemecatan tersebut.
Pidana tambahan tersebut dapat dijatuhkan oleh hakim militer bukan saja atas dasar
kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam KUHPM. Tetapi juga atas dasar kejahatan-
kejahatan baik umum maupun militer yang diancam dengan pidana mati atau penjara.
Dalam rangka koneksitas hakim sipil tidak dapat menjatuhkan pidana pemecatan
tersebut, karena pedomannya adalah KUHP, dan apabila dipandang perlu dilakukan
pemecatan dilalui secara administrasi.
Pandangan hakim militer mengenai kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa berdasarkan
penilaian tidak layak lagi dipertahankan dalam kehidupan masyarakat militer harus
tercakup atau tersirat suatu makna, bahwa apabila tidak dijatuhkan pidana pemecatan,
maka kehadiran terpidana nantinya dalam masyarakat militer setelah ia selesai menjalani
pidananya, akan menggoncangkan sendi-sendi ketertiban dalam masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
- Pidana mati yang dijatuhkan kepada militer, sepanjang ia tidak dipecat dari dinas militer,
dijalankan dengan ditembak mati oleh sejumlah militer yang cukup. Pidana mati dilakukan
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan dilaksanakan tidak di depan umum.
Sekalipun sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, namun pidana mati belum boleh
dilaksanakan sebelum turun keputusan presiden mengenai pelaksanaanya (grasi).
- Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Permasyarakatan Militer atau
dapat juga ditempat lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila
terpidana penjara atau kurungan dijatuhi pidana penjara atau sejenis, maka sebelum menjalani
pidana yang di jatuhkan itu terlebih dahulu, kemudian baru menjalani pidana dan dijatuhkan.
Sedangkan apabila terpidana dipecat dari Dinas Keprajuritan, maka pidana yang dijatuhkan itu
dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum.
- Pidana kurungan ditetapkan apabila seseorang dinyatakan bersalah karena melakukan
suatu kejahatan dan kepadanya dijatuhkan pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak
melebihi 3 bulan.
- Hukuman tutupan dapat menggantikan hukuman penjara apabila terdorong oleh maksud
yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan.
- Pidana bersyarat adalah hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana tidak perlu dijalani,
kecuali ada perintah lain dari hakim, disebabkan terpidana sebelum masa percobaan habis,
melakukan perbuatan pidana atau telah melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
putusan. Dalam menjatuhkan putusan, hakim dapat menentukan syarat-syarat khusus yaitu
mengenai ganti rugi sebagian/seluruhnya dari akibat tindak pidana yang dilakukan oleh
terpidana, dan tingkah laku terpidana selama atau sebagian dari masa percobaan.
- Pemecatan menurut hukum berakibat hilangnya semua hak-hak yang diperolehnya dari
Angkatan Bersenjata selama dinasnya yang dahulu, dengan pengecualian bahwa hak pensiun
hanya akan hilang dalam hal-hal yang disebutkan dalam peraturan pensiun yang berlaku bagi
terpidana. Apabila pemecatan berbarengan dengan pencabutan hak untuk memasuki Angkatan
Bersenjata, maka menurut hukum berakibat hilangnya hak untuk memiliki dan memakai bintang-
bintang, tanda-tanda kehormatan medali-medali atau tanda-tanda pengenalan, sepanjang kedua-
duanya yang disebut terakhir diperolehnya berkenaan dengan dinasnya yang dahulu.
- Pada setiap pemindaan terhadap seseorang perwira atau bintara, yang berdasarkan
tindakan yang dilakukan itu oleh hakim mempertimbangkannya sebagai tidak pantas atau tidak
layak untuk memakai sesuatu pangkat; dalam hal ini terhadap terpidana dalam putusan itu
diturunkan pngkatnya sampai kedudukan (pangkat) prajurit, dengan sekaligus menentukan
tingkatannya, apabila pada bagian Angkatan Perang dimana ia termasuk, para tamtama dibagi
dalam tingkatan. Pada setiap pemidanaan terhadap tamtama, yang termasuk pada suatu bagian
Angkatan Perang dimana para Tamtama dibagi dalam tingkatan, yang berdasarkan tindakan yang
dilakukan itu, oleh hakim mempertimbangkannya sebagai tidak pantas atau tidak layak untuk
tetap pada tingkatan yang ditetapkan kepadanya, dalam hal ini terhadap terpidana dalam putusan
itu ditentukan pada tingkatan terendah yang mana ia termasuk.
- Setelah melewati jangka waktu pencabutan, hanya dalam keadaan-keadaan yang luar
biasa saja atas pertimbangan Menteri Pertahanan dan Keamanan dapat di panggil untuk
memenuhi dinas militer yang diharuskan baginya dalam masa dinasnya, atau dapat diijinkan
untuk mengadakan ikatan pada dinas militer sukarela.
DAFTAR PUSTAKA
A.Hamzah & A Sumangelipu. 1985. Pidana Mati di Indonesia di Masa Laku, Kini dan di Masa
Depan. Ghalia Indonesia. Jakarta..
Materi kuliah. Tanpa Tahun. Hukum Pidana Militer.FH Unsrat, Manado.
Prinst, Darmawan .2003. Peradilan Militer. Citra aditya bakti. Bandung.
Sianturi, S.R. 1985. Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Edisi Revisi, BPK. Gunung Mulia,
Jakarta.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1947 Kitab Undang-Undang Pidana Militer.