Anda di halaman 1dari 12

UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM STUDI AKUNTANSI/MANAJEMEN
Jalan Raya Sumenep-Pamekasan Km. 5, Desa Patean, Kecamatan Batuan, Kabupaten Sumenep,
Kode Pos 69451, Telepon (0328) 664272/673088, Website: wiraraja.ac.id

HARI / TANGGAL : Selasa, 30 Maret 2021


WAKTU : 15.00 – 17.25 WIB
MATA KULIAH : Hukum Bisnis
KELAS : 2020A
SEMESTER / SKS : 2 (Dua) / 3 (Tiga)
DOSEN PENGAMPU : RB. Moh. Farid Zahid, S.H., M.M., M.Kn.
P

BAHAN AJAR HUKUM BISNIS III

A. Tinjauan Umum Hukum Perjanjian

a) Pengertian Perjanjian

Buku III KUH Perdata berjudul perihal perikatan. Perkataan “perikatan”

(verbintennis) mempunyai arti lebih luas dari perkataan “perjanjian”. Dalam Buku III

KUH Perdata, diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak

bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perikatan yang timbul dari

perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perikatan yang timbul

dari pengurusan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).

Tetapi, sebagian besar dari Buku III KUH Perdata ditujukan pada perikatan-

perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan hukum

perjanjian.

Definisi perjanjian diberikan Mariam Darus Badrulzaman, diambil dari Pasal

1313 KUH Perdata, suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang terjadi antara

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, definisi yang di dalam ketentuan di

atas adalah tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan

itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Terlalu luas karena dapat mencakup

hal-hal janji kawin, yaitu perbuatan di dalam hukum keluarga yang menimbulkan

perjanjian juga.

Namun, istimewa sifatnya karena dikuasi oleh ketentuan-ketentuan

tersendiri, sehingga hukum pada Buku III KUH Perdata secara langsung tidak

berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan

melawan hukum tidak ada unsur persetujuan.

1
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat

dibuat secara lisan dan andaikata dibuat tertulis, maka perjanjian ini bersifat

sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.

Untuk beberapa perjanjian, undang-undang menentukan bentuk

tertentu, apabila bentuk itu tidak dituruti, perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian,

bentuk tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja,

tetapi merupakan syarat adanya (bestaanwaarde) perjanjian. Misalnya, perjanjian

mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta Notaris (Pasal 38 KUHD).

b) Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Dengan melihat Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya persetujuan-

persetujuan diperlukan empat syarat, yaitu:

1. Sepakat untuk mengikatkan diri;

2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu; dan

4. Suatu sebab yang halal.

Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua

syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Adapun kedua syarat terakhir disebut

sebagai syarat objektif, karena mengenai objek perjanjian.

Dengan dilakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti

kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak

mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan

kehendak tersebut.

Pengertian sepakat dilukiskan sebagai persyaratan kehendak yang disetujui

(overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang

menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Penyataan pihak yang menerima

tawaran (accetatif). Selalu dipertanyakan saat-saat terjadinya perjanjian antara

pihak-pihak. Mengenai hal ini ada beberapa ajaran, yaitu:

1. Teori Kehendak (Wilstotheorie)

Mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima

dinyatakan. Misalnya, dengan menuliskan melalui surat.

2
2. Teori Pengiriman (Verzendtheorie)

Mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan

itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)

Mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui

bahwa tawarannya diterima.

4. Teori Kepercayaan (Vertrowenstheorie)

Mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak

dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

Cacat kehendak dalam perjanjian dapat dibatalkan tertera dalam Pasal 1321

KUH Perdata, yaitu “Jika di dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan

atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan

antara para pihak dank arena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan.”

Undang-undang membedakan dua jenis kekhilafan, yaitu mengenai orang

(error in personal) dan kekhilafan mengenai suatu barang yang menjadi pokok

perjanjian (error in subtantia). “Paksaan itu terjadi apabila seseorang tidak bebas

untuk menyatakan kehendaknya. Paksaan ini berwujud kekerasan jasmani atau

ancaman (akan membuka rahasia) yang menimbulkan ketakutan pada seseorang,

sehingga ia membuat perjanjian” (Pasal 1323 s.d. Pasal 1327 KUH Perdata).

“Penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan tipu muslihat berhasil sedemikian

rupa, sehingga pihak yang lain bersedia untuk membuat suatu perjanjian dan

perjanjian itu tidak akan terjadi tanpa adanya tipu muslihat tersebut.” (Pasal 1328

KUH Perdata). Perjanjian yang diadakan dengan penipuan tersebut dapat

dibatalkan.

Syarat sahnya perjanjian dikaitkan dengan sistem hukum common law

adalah sebagai berikut:

1. Sepakat untuk mengikatkan diri, dikenal sebagai agreement atau consensus;

2. Cakap untuk membuat suatu perikatan, dikenal dengan istilah capacity;

3. Suatu hal tertentu, dikenal dengan istilah certainty of terms; dan

4. Suatu sebab yang halal, dikenal dengan istilah consideration.

3
c) Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perjanjian tersebut

sebagai berikut:

1. Perjanjian Timbal Balik

Adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.

Misalnya, perjanjian jual beli.

2. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian atas Beban

Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi

salah satu pihak saja. Misalnya, hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian

terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak

lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

3. Perjanjian Bernama (Benoemd, Specified) dan Perjanjian Tidak Bernama

(Onbenoemd, Unspecified)

Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri,

maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh

pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-

hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V s.d. Bab XVIII KUH Perdata. Di

luar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-

perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di masyarakat.

4. Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis)

Adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian.

5. Perjanjian Obligatoir

Adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan

penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).

6. Perjanjian Kebendaan (Zakelijke Overeenkomst)

Adalah perjanjian hak atas benda dialihkan atau diserahkan (transfer of tittle)

kepada pihak lain.

7. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Riil

Adalah perjanjian di antara kedua belah pihak yang telah tercapai penyesuaian

kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut Pasal 1338 KUH Perdata,

perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat.

4
8. Perjanjian yang Istimewa Sifatnya

 Perjanjian Liberatoir, yaitu perjanjian para pihak yang membebaskan diri

dari kewajiban yang ada. Misalnya, pada Pasal 1438 KUH Perdata terkait

pembebasan utang (kwijschelding).

 Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian antara para

pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.

 Perjanjian Untung-untungan. Dijelaskan pada Pasal 1774 KUH Perdata.

Misalnya, perjanjian asuransi.

 Perjanjian Publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai

oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa

(pemerintahan). Misalnya, perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan

barang pemerintah.

d) Akibat Perjanjian, Wanprestasi dalam Perjanjian serta Berakhirnya Perjanjian

1. Akibat Perjanjian

Undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan

sebagai undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-

persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain kesepakatan kedua belah

pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup

untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dengan istilah “semua” ini, pembentuk undang-undang menunjukkan,

bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bersama,

tetapi juga meliputi perjanjian tidak bernama. Di dalam istilah “semua” itu,

terkandung suatu asas yang dikenal dengan asas partij autonome.

Dengan istilah “secara sah”, pembentuk undang-undang hendak

menunjukkan, bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum. Semua

persetujuan yang menurut hukum atau secara sah mengikat. Yang dimaksud

dengan secara sah di sini adalah bahwa perbuatan perjanjian harus mengikuti

apa yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata.

5
2. Wanprestasi dalam Perjanjian

Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti

yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh

debitur disebabkan dua kemungkinan alasan, yaitu:

1) Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban

maupun karena kelalaian;

2) Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, artinya di luar

kemampuan debitur, dengan kata lain wanprestasi terjadi karena:

 Debitur yang sama sekali tidak memenuhi perikatan;

 Debitur terlambat memenuhi perikatan;

 Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.

Tindakan debitur merugikan kreditur, ia wajib mengganti kerugian atau

disebut dengan ganti rugi. Selain mengganti kerugian, kreditur dapat pula

membatalkan perikatan. Dari dua hal tersebut terdapat dua akibat berikut:

1) Melanjutkan perikatan dan mengganti kerugian; dan

2) Membatalkan perikatan dan mengganti kerugian.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, untuk menentukan seorang

debitur melakukan wanprestasi, perlu ditentukan keadaan yang sesungguhnya

yang dialami debitur, apakah debitur sengaja melakukan ingkar janji atau lalai

tidak memenuhi prestasi. Tiga keadaan debitur yang dapat dikatakan

wanprestasi adalah:

1) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;

2) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru; dan

3) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat. Sifat

prestasi harus dapat ditentukan. Dengan demikian, debitur yang tidak

memenuhi prestasi sama sekali adalah debitur yang mengetahui waktu

pelaksanaan prestasinya, tetapi dengan sengaja tidak memenuhinya

berturut-turut. Hal tersebut dapat disebut debitur yang “tidak beritikad baik”

atau dengan sengaja melakukan wanprestasi.

3. Berakhirnya Perjanjian

Perikatan-perikatan hapus dengan cara-cara sebagai berikut yang

tertera dalam Pasal 1381 KUH Perdata, yaitu:

6
1) Pembayaran;

2) Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang

hendak dibayarkan itu di suatu tempat;

3) Pembaruan utang;

4) Kompensasi atau perhitungan utang timbal balik;

5) Percampuran utang;

6) Pembebasan utang;

7) Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian;

8) Pembatalan perjanjian;

9) Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan; dan

10) Lewat waktu.

B. Hukum Perjanjian atau Akad dalam Hukum Islam

a) Definisi Akad

Terdapat tiga poin penting yang harus diperhatikan dalam akad. Pertama,

akad merupakan pertemuan atau pertalian antara ijab dan qabul yang menimbulkan

akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak,

sedangkan qabul adalah jawaban persetujuan yang dinyatakan pihak lain sebagai

tanggapan terhadap penawaran pihak pertama. Kedua, akad merupakan tindakan

hukum dua pihak, karena akad adalah pertemuan ijab yang mewakili kehendak satu

pihak dan qabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Ketiga, tujuan akad adalah

untuk melahirkan suatu akibat hukum.

b) Rukun Akad

Akad tidak akan terjadi, kecuali dengan terpenuhinya beberapa rukun dan

syarat. Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu

terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut. Rumah, misalnya terbentuk karena

adanya unsur-unsur yang membentuknya, yaitu pondasi, tiang, atap, lantai, dinding

dan lain sebagainya. Dalam ilmu fiqih, unsur-unsur yang membentuk sesuatu itu

disebut “rukun”. Rukun adalah unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam

setiap akad. Jika satu rukun tidak ada, menurut hukum perdata Islam, implikasinya

akad dipandang tidak pernah ada. Adapun syarat adalah sifat yang mesti ada pada

setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi. Salah satu contoh syarat dalam akad

7
jual beli adalah kemampuan menyerahkan barang yang dijual. Kemampuan

menyerahkan ini harus ada dalam setiap akad jual beli, namun tidak termasuk

dalam pembentukan akad.

Setiap akad harus memenuhi rukun dan syarat sahnya. Rukun akad yang

dimaksud adalah unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap

kontrak. Jika salah satu rukun tidak ada, maka akad tidak pernah dipandang ada.

Menurut mayoritas ulama fiqih, rukun akad terdiri atas tiga unsur yaitu, pernyataan

ijab qabul (shighat), para pihak yang melakukan akad (‘aqidain), dan objek

akad (ma’qud ‘Alaih).

c) Asas-Asas Hukum Perjanjian Islam

Sebagaimana dalam hukum perjanjian menurut KUH Perdata yang

mengenal asas kebebasan berkontrak, asas personalitas dan asas itikad baik,

sedangkan dalam hukum adat mengenal asas terang, tunai dan riil. Hukum Islam

juga mengenal asas-asas hukum perjanjian. Adapun asas-asas itu adalah sebagai

berikut:

1) Al-Hurriyah (Kebebasan)

Asas ini merupakan prinsip dasar hukum perjanjian Islam, dalam arti para

pihak bebas membuat suatu perjanjian atau akad (freedom of making

contract). Bebas dalam menentukan objek perjanjian dan bebas menentukan

dengan siapa ia akan membuat perjanjian serta bebas menentukan bagaimana

cara menentukan penyelesaian sengketa jika terjadi di kemudian hari.

Asas kebebasan berkontrak di dalam hukum Islam dibatasi oleh

ketentuan syariat Islam. Dalam membuat perjanjian ini tidak boleh ada unsur

paksaan, kekhilafan dan penipuan. Dasar hukum mengenai asas ini tertuang

dalam Al-Qur’an, tepatnya pada surah Al-Baqarah ayat 256.

Adanya kata-kata tidak ada paksaan ini, berarti Islam menghendaki

dalam hal perbuatan apapun harus didasari oleh kebebasan bertindak,

sepanjang itu benar dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah.

2) Al-Musawah (Persamaan atau Kesetaraan)

Asas ini mengandung pengertian bahwa para pihak mempunyai

kedudukan (bargaining position) yang sama, sehingga dalam menentukan

8
term on condition dari suatu akad atau perjanjian, setiap pihak mempunyai

kesetaraan atau kedudukan yang sama.

Dasar hukum mengenai asas persamaan ini tertuang dalam Q.S. Al-

Hujurat ayat 13 yang dari ketentuan tersebut, Islam menunjukkan bahwa semua

orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum (equality before

the law), sedangkan yang membedakan kedudukan antara orang satu dengan

yang lainnya di mata Allah Swt adalah derajat ketakwaannya.

3) Al-‘Adalah (Keadilan)

Pelaksanaan asas ini dalam surat perjanjian atau akad menuntut para

pihak untuk melakukan yang benar dalam pengungkapan kehendak dan

keadaan, memenuhi semua kewajibannya. Perjanjian harus senantiasa

mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang serta tidak boleh

mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak.

4) Al-Ridha (Kerelaan)

Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus

atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak harus didasarkan pada

kesepakatan bebas dari para pihak dan tidak boleh ada unsur paksaan,

tekanan, penipuan dan missed statement. Dasar hukum adanya asas

kerelaan dalam pembuatan perjanjian dapat dibaca dalam Q.S. An-Nisa ayat 29.

5) Ash-Shidiq (Kebenaran dan Kejujuran)

Bahwa di dalam Islam, setiap orang dilarang melakukan kebohongan

dan penipuan, karena dengan adanya penipuan atau kebohongan sangat

berpengaruh dalam keabsahan perjanjian atau akad. Perjanjian yang di

dalamnya mengandung unsur kebohongan atau penipuan, memberikan hak

kepada pihak lain untuk menghentikan proses pelaksanaan perjanjian tersebut.

Dasar hukum mengenai asas ini, dapat kita baca dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 70.

6) Al-Kitabah

Bahwa setiap perjanjian hendaknya dibuat secara tertulis, lebih

berkaitan demi kepentingan pembuktian jika di kemudian hari terjadi

sengketa. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 282-283, mengisyaratkan agar akad

yang dilakukan benar-benar berada dalam kebaikan bagi semua pihak. Bahkan

juga di dalam pembuatan perjanjian, hendaknya juga disertai dengan adanya

9
saksi-saksi (syahadah), gadai untuk kasus tertentu (rahn) dan prinsip tanggung

jawab individu.

Berdasarkan pada pemaparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa

dalam Islam, ketika seorang subjek hukum hendak membuat perjanjian dengan

subjek hukum lainnya, selain harus didasari dengan adanya kata sepakat,

ternyata juga dianjurkan untuk dituangkan dalam bentuk tertulis dan

diperlukan kehadiran saksi-saksi. Hal ini sangat penting, khususnya bagi

akad-akad yang membutuhkan pengaturan yang kompleks, seperti akad

pemberian wakaf, akad ekspor-impor dan lain sebagainya. Pembuatan

perjanjian secara tertulis juga akan sangat bermanfaat ketika di kemudian hari

timbul sengketa, sehingga terdapat alat bukti tertulis mengenai sengketa yang

terjadi.

d) Klasifikasi Perjanjian atau Akad dalam Islam

Sebagaimana halnya hukum perjanjian menurut KUH Perdata yang terdiri

dari berbagai macam klasifikasi, maka dalam hukum perjanjian Islam pun terkait

dengan akad atau perjanjian yang dapat digolongkan menjadi beberapa klasifikasi.

Adapun klasifikasi hukum perjanjian Islam adalah sebagai berikut:

1. Akad Dilihat dari Segi Keabsahannya

 Akad Shahih

- Yaitu, akad yang memenuhi rukun dan syaratnya, sehingga seluruh

akibat hukum yang ditimbulkan akad itu berlaku mengikat bagi pihak-

pihak yang berakad.

 Akad Tidak Shahih

- Yaitu, akad yang tedapat kekurangan pada rukun atau syaratnya,

sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat

pihak-pihak yang berakad.

2. Akad Dilihat dari Sifat Mengikatnya

 Akad yang Mengikat secara Pasti

- Artinya, tidak boleh di-fasakh (dibatalkan secara sepihak).

 Akad yang Tidak Mengikat secara Pasti

- Artinya, akad yang dapat di-fasakh oleh dua pihak atau oleh satu pihak.

10
3. Akad Dilihat dari Bentuknya

 Akad Tidak Tertulis

- Yaitu, akad yang dibuat secara lisan saja dan biasanya terjadi pada akad

yang sederhana. Misalnya, jual beli kebutuhan konsumen sehari-hari.

 Akad Tertulis

- Yaitu, akad yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau akta, baik akta

autentik maupun akta di bawah tangan. Akad yang dibuat secara tertulis,

biasanya untuk akad-akad yang kompleks atau menyangkut kepentingan

publik. Misalnya, akad wakaf, akad jual beli ekspor-impor dan lain

sebagainya.

4. Akad dalam Sektor Ekonomi

 Akad Tabarru’

- Yaitu, jenis akad yang berkaitan dengan transaksi non profit atau

transaksi yang tidak bertujuan semata-mata untuk mendapatkan laba

atau keuntungan. Yang termasuk dalam akad tabarru’ ini adalah al-Qard,

al-Rahn, Hiwalah, Wakalah, Kafalah, Wadi’ah, Hibah, Hadiah, Wakaf dan

Shadaqah.

 Akad Mu’awadah atau Akad Tijarah

- Yaitu, akad yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau profit

tertentu atau dengan kata lain, akad ini menyangkut transaksi bisnis

dengan motif untuk memperoleh laba (profit oriented). Yang termasuk

akad mu’awadah ini adalah akad berdasarkan prinsip jual beli (bai’ al-

murabahah, bai’ al-salam dan bai’ al-istishna’), akad yang berdasarkan

bagi hasil (al-mudharabah dan musyarakah), akad yang berdasarkan

prinsip sewa menyewa (ijarah dan ijarah wa iqtina).

e) Berakhirnya Perjanjian atau Akad dalam Islam

Dalam konteks hukum Islam, perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan

berakhir, jika dipenuhi tiga hal sebagai berikut:

1. Berakhirnya Masa Berlaku Perjanjian atau Akad

Biasanya dalam sebuah perjanjian telah ditentukan saat kapan suatu perjanjian

akan berakhir, sehingga dengan lampaunya waktu, maka secara otomatis

perjanjian akan berakhir, kecuali kemudian ditentukan lain oleh para pihak.

11
2. Dibatalkan oleh Pihak-Pihak yang Berakad

Hal ini biasanya terjadi jika salah satu pihak yang melanggar ketentuan

perjanjian atau salah satu pihak mengetahui, jika dalam pembuatan perjanjian

terdapat unsur kekhilafan atau penipuan. Kekhilafan biasanya menyangkut objek

perjanjian (error in objecto), maupun mengenai subjeknya (error in personal).

3. Salah Satu Pihak yang Berakad Meninggal Dunia

Hal ini berlaku pada perikatan untuk berbuat sesuatu, yang membutuhkan

adanya kompensasi khas. Adapun jika perjanjian dibuat dalam hal memberikan

sesuatu, katakanlah dalam bentuk uang atau barang, maka perjanjian tetap

berlaku bagi ahli warisnya atau sebagai contohnya ketika orang yang membuat

perjanjian pinjam uang, kemudian meninggal, maka kewajiban untuk

mengembalikan utang menjadi kewajiban ahli warisnya.

[Disadur dari: Neni Sri Imanayati dan Panji Adam Agus Putra, Hukum Bisnis

Dilengkapi dengan Kajian Hukum Bisnis Syariah, (Bandung: PT

Refika Aditama, 2017), h. 37-52]

TUGAS!

- Analisislah perbedaan pokok antara hukum perjanjian menurut KUH Perdata dan

Hukum Islam. Jelaskan!

- Tugas dikerjakan dan dikumpulkan dengan format portable document format (.pdf)

melalui media aplikasi WhatsApp Group kelas, terakhir pada Kamis, 1 April 2021

dengan format penamaan: Nama_NIM.

12

Anda mungkin juga menyukai