2018.2005 RAJ
Indang Dewata
Yun Hendri Danhas
PENCEMARAN LINGKUNGAN
PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Anggota IKAPI
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956
Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id http: // www.rajagrafindo.co.id
Perwakilan:
Jakarta-16956 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162.
Bandung-40243, Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok
Soragan Indah Blok A1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-601 18, Jl.
Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp. 031-8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459
RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294, Perum De' Diandra Land Blok C 1 No.
1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok A
Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin Komp.
Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-701 14, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp.
0511-3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115,
Jl. P. Kemerdekaan No. 94 LK I RT 005 Kel. Tanjung Raya Kec. Tanjung Karang Timur, Hp. 082181950029.
PENCEMARAN
LINGKUNGAN
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka
agar mereka kembali (ke jalan yang benar)
QS Ar-Ruum [30]: 41
KATA SAMBUTAN
vii
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
KATA PENGANTAR
Buku yang anda pegang ini merupakan salah satu dari sekian banyak
buku tentang PencemaranLingkungan. Secara substansi, tentu tidak ada
perbedaan antara buku yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan yang
ada, hanya terletak pada cara dan sistematika penyajian serta lingkupan
materi yang disusun. Tetapi, di sisi inilah kualitas sebuah buku, akan
berbeda dengan buku yang lain.
Sistematika penyajian dan lingkupan materi pada buku ini, sangat
menentukan terhadap proses pemahaman substansial pencemaran
lingkungan. Karena hal ini menyangkut proses penalaran dan penarikan
kesimpulan bagi pembaca. Di samping itu, bahasa yang digunakan
bernuansa dialogis, seolah terjadi diskusi antara pembaca dengan
penulis secara dinamis. Di akhir bagian bab, pembaca akan sampai
pada titik kesimpulan.
Lingkupan materi yang dimuat dalam buku ini, di samping konsep
dan teoretis, juga dilengkapi dengan metodologi serta aplikasi dalam
upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Memang,
persoalan lingkungan adalah multidimensi, sehingga cara pandang
terhadap lingkungan itu pun membutuhkan perspektif keilmuan yang
tak cukup dengan hanya satu disiplin.Walaupun dalam bahasannya,
didominasi oleh Ilmu Kimia, tapi tetap bersinggungan dengan ilmu
lain seperti kimia, ilmu ekonomi, ilmu-ilmu pertanian, tata hukum,
dan lain sebagainya.
ix
Begitu juga pendekatan yang digunakan dalam menelaah persoalan
lingkungan hidup. Pendekatan dari satu sudut pandang terhadap sebuah
sistem fungsi lingkungan tidak akan menghasilkan potret lingkungan
secara optimal. Oleh karena itu, pendekatan sistem menjadi salah satu
yang disuguhkan dalam buku ini.
Diharapkan, buku ini mendapatkan tempat sebagai landasan dalam
pengembangan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
(UPPLH) ke depan.
Semoga bermanfaat. amiin.
Indang Dewata
Yun Hendri Danhas
x Pencemaran Lingkungan
Matahari dan bulan
beredar dengan perhitungan,
Dan bintang dan pohon pun bersujud
Langit telah ditinggikan
dan diletakkanNya neraca (keseimbangan)
Maka janganlah kamu
merusak keseimbangan itu.
xi
Saya sudah cukup banyak membaca buku tentang pencemaran lingkungan,
tapi buku yang satu ini terasa sepertinya saya baru pertama kali membaca
buku yang berbicara tentang pencemaran lingkungan.
BAB 1 PENDAHULUAN 1
A.
Konsep Pencemaran Lingkungan 1
B. Perspektif Pencemaran Lingkungan 6
C. Konsep Dasar Ilmu Lingkungan dan Aplikasinya 31
D.
Resume 35
Daftar Isi xv
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
Pencemaran Lingkungan
DAFTAR TABEL
Pencemaran Lingkungan
DAFTAR GAMBAR
xx Pencemaran Lingkungan
BAB
1 PENDAHULUAN
Bab 1 | Pendahuluan 1
Pencemaran terjadi bukan hari ini, tapi sudah berlangsung sekian
lama. Sementara bumi yang kita tempati ini, adalah bumi yang dulu itu
juga. Tidak di bumi yang baru. Kita tidak bisa ke mana-mana.
Oleh karena itu, perlu kita mempelajari tentang pencemaran
lingkungan, dengan memulainya dari menjawab pertanyaan mendasar
yang dikenal dengan 2WH (what, why, how).
Dimulai dari W yang pertama
1. What is Pollution?
Apakah pencemaran lingkungan?
a. Pencemaran Lingkungan adalah suatu kondisi yang telah berubah
dari bentuk asal pada kondisi yang lebih buruk (Palar H, 2004).
b. Pencemaran Lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku
mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan (Undang-Undang
Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab I Pasal 1 Ayat 14).
Yang dimaksud Baku Mutu Lingkungan (BML) dinyatakan pada bab
dan pasal yang sama, di ayat 13, adalah: Ukuran batas atau kadar
makhluk, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan/
atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu
sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
c. The Pollution is “... The direct or indirect introduction, as a result of human
activity, of substances or heat into the water or land which may be harmful
to human health or the quality of aquatic ecosystems or terrestrial ecosystems
directly depending on aquatic ecosystems, which result in damage to material
property, or which impair or interfere with amenities and other legitimate
uses of the environment.” (Enviironmental Protection Act, 2017).
d. The Pollution is the discharge of a toxic orcontaminating substance that is
likely to have an adverse effect on the natural environment of life (Duhaime’s
Law Dictionary, 2017).
e. Dari beberapa batasan dan pengertian di atas, disimpulkan bahwa
pencemaran lingkungan adalah suatu kondisi lingkungan yang
memberikan pengaruh negatif terhadap makhluk hidup yang
disebabkan oleh manusia.
2 Pencemaran Lingkungan
2. Why does Pollution Happen?
Mengapa Pencemaran Lingkungan Terjadi?
Sesuai dengan batasan tentang pencemaran lingkungan di atas, bahwa
kondisi lingkungan yang berpengaruh negatif terhadap makhluk hidup itu
disebabkan oleh manusia, maka jawaban atas pertanyaan mengapa hal ini
bisa terjadi tentulah berpulang kepada manusia itu sendiri.
Apa dan bagaimana manusia melaksanakan keinginan dan kebutuhan
hidupnya, itulah sebagai penyebab terjadinya pencemaran lingkungan.
Apa yang dilakukan, menjadi sumber pencemaran. Bagaimana
melakukan, menjadi proses dan bahan yang menyebabkan terjadinya
pencemaran. Contoh sederhana manusia menambang emas tanpa izin.
Menambang emas tanpa izin ini, adalah jawaban atas apa yang dilakukan.
Berarti sumber pencemaran adalah kegiatan menambang emas tanpa izin
itu. Bagaimana melakukan proses menambang emas tanpa izin itu, adalah
menjelaskan bagaimana pencemaran itu bisa terjadi dan apa bahan yang
mencemari (pollutant).
Sederhana sekali bukan?
Artinya, sumber pencemaran tidak sama dengan bahan pencemar. Tapi
keduanya menyebabkan terjadinya pencemaran melalui sebuah proses.
Proses itu bergantung pada jenis dan bagaimana manusia melakukan
aktivitas. Dengan demikian, pada contoh kegiatan tambang emas di
atas, secara skematis dijelaskan pada Gambar 1.1 berikut.
Bab 1 | Pendahuluan 3
Gambar 1.1 menjelaskan mana yang sumber pencemar dan
apa bahan pencemarnya serta bagaimana peristiwa itu bisa disebut
mencemari sehingga menjadi apa yang disebut dengan pencemaran
lingkungan. Dalam hal ini, dicontohkan dengan aktivitas penambangan
emas tanpa izin.
Penambang emas tanpa izin, menggunakan bahan kimia yang
disebut merkuri cair dalam proses penambangan emas tersebut.
Akibatnya, merkuri cair sebagai pollutant bercampur atau masuk ke
dalam lingkungan hidup kita. Sederhananya demikian.
Dipertanyakan lagi, mengapa manusia melakukan hal yang
demikian? Penyebabnya bisa digunakan pendekatan ekonomi dengan
teori ekonomi mikro. Bahwa keinginan dan kebutuhan manusia tidak
terbatas, sementara sumber daya alam bersifat terbatas. Sehingga
manusia dihadapkan kepada kompetisi yang berimplikasi pada
eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam.
Eksploitasi berarti penguasaan terhadap suatu sumber daya untuk
mendapatkan keuntungan maksimal, sementara eksplorasi berarti
penggalian/pengambilan sumber daya untuk tujuan ekonomis. Yang
dibicarakan tentang sumber daya alam di sini tak lain tak bukan adalah
lingkungan hidup. Dengan demikian, jawaban singkat atas pertanyaan
mengapa pencemaran lingkungan itu mesti terjadi, ialah karena aktivitas
ekonomi manusia yang melakukan eksploitasi dan eksplorasi terhadap
sumber daya alam.
Ditelusuri lebih jauh, aktivitas ekonomi manusia dalam memenuhi
kebutuhan dan keinginannya yang menjadi penyebab pencemaran
lingkungan itu, tak lepas dari perilaku (behavior). Akurat rasanya jika
penyebab pencemaran lingkungan itu, hakikinya adalah persoalan
perilaku manusia. Inilah akar persoalan yang kemudian menjadi
fenomena terjadinya berbagai macam peristiwa pencemaran lingkungan
melalui aktivitas manusia tersebut. Tidak hanya dalam aktivitas
ekonomi, dalam kehidupan sehari-hari pun manusia berkontribusi
untuk mencemari lingkungan, seperti perilaku membuang sampah
sembarangan dan lain sebagainya.
Semakin jelas bagi kita bahwa masalah pencemaran lingkungan,
memerlukan berbagai sudut pandang atau pendekatan multi disiplin.
Tak hanya dengan ekonomi, tapi juga digunakan pendekatan psikologi
dan pendidikan karena permasalahannya berakar sampai pada perilaku.
4 Pencemaran Lingkungan
Lalu apakah manusia dilarang untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya terkait jawaban di atas? Tentu tidak dilarang. Tapi perlu suatu
kearifan lingkungan, yang lebih khusus dibahas nanti di Sub Bab C
tentang Pembangunan Berkelanjutan, sebagai jembatan untuk menuju
upaya nyata meminimalisasi pencemaran lingkungan.
Persoalan yang dibicarakan ini adalah masalah perilaku. Sementara
perilaku terwujud dari ranahnya sikap dan pengetahuan pada manusia.
Variabel ini, perlu dihubungkan dengan peran manusia dalam tataran
konsep pembangunan berkelanjutan serta upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Penulis berkeyakinan, untuk menemukenali dan mengenakan
kembali nilai-nilai kearifan lokal yang sarat dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan tidak bisa muncul begitu saja tanpa dilandasi
oleh perubahan perilaku. Perilaku terwujud dari sikap dan pengetahuan.
Tanpa adanya sikap dan pengetahuan tentang pencemaran lingkungan,
perilaku ke arah konsep dan upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan tidak akan pernah ada dan terwujud dalam perilaku.
Inilah salah satu alasan kenapa di awal buku ini, dibicarakan konsep
umum sebagai prior knowledge dan selanjutnya menjadi batu loncatan
(stepping stones) mencapai derajat kearifan terhadap lingkungan.
Bab 1 | Pendahuluan 5
Artinya, kita membicarakan pencemaran lingkungan telah terjadi.
Keberadaan bahan pencemar telah melewati baku mutu lingkungan.
(c) Di mana terjadinya pencemaran itu, berarti di komponen
lingkungan yang mana polusi itu terjadi. Bisa terjadi di udara
(air pollution), di tanah (soil pollution) dan di air (water pollution).
Bahkan bisa saja dideteksi terjadi di semua komponen
lingkungan.
Setelah dipahami secara umum dan garis besar suatu realitas
tentang pencemaran lingkungan, setidaknya sudah bisa diraba arah ke
mana kita akan melangkah lebih jauh. Diketahuinya apa pencemaran
lingkungan, apa penyebab dan bagaimana bisa terjadi, berarti secara
keilmuan, sudah diketahui tentang apa itu realitas dari objek yang
dikaji, dan bagaimana ia bisa terjadi.
Kajian detail tentang masing-masing peristiwa pencemaran yang
sudah dipahami secara umum di atas, tentu mempunyai metode-metode
ilmiah dan melibatkan banyak disiplin ilmu, terutama ilmu exacta,
khususnya kimia. Dengan kata lain, menjawab apa bahan pencemar,
dan bagaimana proses terjadinya pencemaran itu, tidak bisa ditentukan
dengan cara sederhana, karena ada batas ambang baku yang hanya bisa
diukur dengan metode dan alat tertentu.
Pada bab-bab berikut, akan disajikan secara khusus tentang
kimia dan lingkungan serta komponen lingkungan yang tercemar dan
bahan pencemar yang ada. Untuk melengkapi pengetahuan tentang
pencemaran lingkungan sebagai ilmu, selanjutnya akan kita pahami
untuk apa dipelajari hal-hal di atas tersebut, yang tersaji di Bab
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
6 Pencemaran Lingkungan
Di samping itu, memberikan pemahaman secara terstruktur dan
sistematis bagaimana pencemaran lingkungan sebagai ilmu, mempunyai
banyak pendekatan. Dengan demikian, kajian dalam pencemaran
lingkungan di masa kini dan di masa depan, dapat dipahami sebagai
satu kesatuan yang holistik dalam satu domain pencemaran lingkungan
sebagai satu disiplin ilmu.
Bab 1 | Pendahuluan 7
Apa itu realitas, berarti menjelaskan sesuatu objek secara relatif
benar dalam keilmuan. Dikatakan sebagai objek apabila bisa diindrai
oleh manusia. Manusia selalu ingin tahu terhadap sesuatu yang
diindrainya. Rasa ingin tahu telah mendorong manusia untuk mengenali
kebenaran terhadap sesuatu objek yang disebut sebagai “realitas”.
Bagaimana mendapatkan realitas itu. Berarti cara yang sistematis
yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan kebenaran relatif
terhadap objek, sehingga sampai pada suatu kesimpulan.
Kalau ontology adalah objek itu sendiri, maka epistomology adalah
sistematika dan metode untuk mendapatkan objek tersebut.
Untuk apa realitas itu, berarti berhubungan dengan aplikasi dan
implementasi suatu realitas dari suatu objek. Hal ini berhubungan
dengan perbuatan dan nilai.
Biologi sebagai ilmu misalnya. Ontologinya ialah konsep biologi
itu sendiri. Epistomologinya ialah segala metodologi yang membangun
konsep biologi itu. Aksiologi adalah penerapan biologi seperti
bagaimana cara bercocok tanam, yang perkembangannya membentuk
disiplin ilmu terapan yakni Ilmu Pertanian. Begitu juga dengan praktik
medis untuk kesehatan manusia, yang merupakan jawaban untuk apa
mempelajari Biologi sebagai ilmu.
8 Pencemaran Lingkungan
Artinya, pemahaman terhadap pencemaran lingkungan bisa
digunakan sebagai landasan dalam meminimalisasi pencemaran yang
terjadi, atau mengendalikan pencemaran lingkungan, sehingga lingkungan
tidak memberikan pengaruh negatif pada manusia.
Bab 1 | Pendahuluan 9
Sebagai sebuah disiplin ilmu, pencemaran lingkungan merupakan
ilmu yang multidisiplin. Artinya pencemaran lingkungan itu tersusun
dan terbangun dari berbagai macam disiplin ilmu yang ada dan yang
bersinggungan secara langsung terhadap persoalan lingkungan hidup.
Dengan kata lain, tidak bisa mengkaji pencemaran lingkungan baik
secara teoretik maupun terapan hanya dari satu disiplin ilmu saja.
Apalagi dalam hal penerapannya.
10 Pencemaran Lingkungan
bahwa dampak pencemaran lingkungan benar-benar berbahaya karena
di samping mematikan, juga berdampak jangka panjang terhadap
kesehatan manusia.
Tragedi Minamata
Tahun 1956. Minamata adalah nama sebuah kota di Jepang. Di kota
itu terjadi kematian manusia, anjing, babi dan kucing serta binatang
lain hampir dalam kurun waktu yang lama. Di samping itu, terjadinya
gejala syndrome neurologis pada manusia.
Gejala syndrome neurologis yang terjadi ternyata disebabkan oleh keracunan
merkuri. Penyakit ini kemudian disebut sebagai penyakit minamata.
Penyebabnya ialah karena pelepasan merkuri pada air limbah oleh industri
dan pabrik kimia Chisso Corporation sejak Tahun 1932 – 1968.
Bab 1 | Pendahuluan 11
Merkuri pada air limbah yang dilepaskan terakumulasi pada biota air,
salah satunya ialah kerang. Kerang merupakan makanan bagi masyarakat
Jepang dan hewan-hewan peliharaan.
Bencana Seveso
10 Juli 1976, terjadi bencana kebocoran bahan kimia dioksin di Seveso,
Italia. Akibatnya juga berujung pada kematian flora dan fauna dan ribuan
orang menderita penyakit kronis.
Tragedi Bhopal
3 Desember 1984, terjadi kebocoran gas beracun pada pabrik pestisida
Union Carbide di Bhopal. India. Pestisida adalah industry yang
menghasilkan senyawa kimia berbahaya karena difungsikan untuk
12 Pencemaran Lingkungan
membunuh makhluk hidup yang disebut sebagai hama dalam usaha
tani. Dampaknya ialah menewaskan lebih dari 30.000 orang dan tak
kurang dari 200 ribu orang menderita penyakit kronis.
Tragedi Chernobyl
26 April 1986 di Chernobyl, sebuah kota di utara Ukraina. Pada pukul
01.23 dini hari, terjadi kebocoran pada Perusahaan Listrik Tenaga Nuklir.
Pelepasan radioaktif ke udara tak terelakkan.
Peristiwa masuk dan dimasukkannya zat radioaktif ke lingkungan
hidup melalui udara terjadi sebegitu cepat. Ini adalah salah satu kenapa
peristiwa pencemaran lingkungan tidak bisa dianggap sepele.
Sekitar 6,6 juta penduduk terpapar materi radioaktif dan mengakibatkan
berbagai kelainan mulai dari bayi yang lahir cacat hingga kanker ganas.
Lumpur Sidoarjo
Mei 2006, sayang sekali, Indonesia juga mencatat peristiwa pencemaran
lingkungan di dunia. Hal ini bukanlah prestasi.
Terjadinya banjir lumpur panas di Sidoarjo ini dipicu oleh ledakan gas
alam dari sumur minyak yang dieksploitasi oleh PT Lapindo Brantas
di Jawa Timur, Indonesia.
Bab 1 | Pendahuluan 13
Semburan lumpur panas tak berhenti dalam waktu yang singkat.
Sehingga berakibat rusak dan cemarnya lingkungan pun terjadi tidak
dalam satu waktu.
14 Pencemaran Lingkungan
3. Sudut Pandang Yuridis
Di negara kita aspek legalitas adalah salah satu aspek yang
diharapkan mampu mengatasi permasalahan pencemaran lingkungan.
Aspek legalitas ialah seperangkat aturan dan kebijakan secara hukum
yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Secara legalitas, beberapa hal yang terkait dengan upaya pencegahan
pencemaran lingkungan ini, serta aturan yang mengikatnya ialah sebagai
berikut.
(1) Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
(2) AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)
• Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
• KepMen LH Nomor 86 Tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup.
• PerMen LH Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Usaha dan
atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (Pengganb KepMenLH Nomor 17
Tahun 2001).
• KepMen LH Nomor 30 Tahun 2001 tentang Pedoman
Pelaksanaan Audit Lingkungan Hidup yang Diwajibkan
Menteri Negara Lingkungan Hidup.
• KepMen LH Nomor 02 Tahun 2000 tentang Panduan Penilaian
Dokumen AMDAL (Juga Menyatakan Tidak Berlakunya
KepMen KLH Nomor 29 Tahun 1992 tentang Panduan Evaluasi
Dokumen ANDAL).
• KepMen LH Nomor 04 Tahun 2000 Tentang Panduan
Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Kegiatan Pembangunan Pemukiman Terpadu.
• KepMen LH Nomor 05 Tahun 2000 tentang Panduan
Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah.
Bab 1 | Pendahuluan 15
• KepMen LH Nomor 08 Tahun 2000 tentang Keterlibatan
Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
• PerMen LH Nomor 08 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Pengganb KepMenLH 09 Tahun 1000).
• KepMen LH Nomor 40 Tahun 2000 tentang Tata Kerja Komisi
Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Pengganti KepMen LH Nomor 13 Tahun 1994).
• KepMen LH Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman
Pembentukan Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota.
• KepMen LH Nomor 42 Tahun 2000 tentang Susunan
Keanggotaan Komisi Penilai dan Tim Teknis Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup Pusat.
• KepMen LH Nomor 30 Tahun 1999 tentang Panduan
Penyusunan Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup.
• KepMen LH Nomor 42 Tahun 1994 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Audit Lingkungan.
• KepMen LH Nomor 45 Tahun 2005 Pedoman Penyusunan
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL) (Pengganb KepMen LH Nomor
105 tahun 1997).
• KepKa Bapedal Nomor 124 Tahun 1997 tentang Panduan Kajian
Aspek Kesehatan Masyarakat dalam Penyusunan AMDAL.
• KepKa Bapedal Nomor 299 Thun 1996 tentang Pedoman Teknis
Kajian Aspek Sosial Dalam Penyusunan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan.
• KepKa Bapedal Nomor 56 Tahun 1994 tentang Pedoman
Mengenai Ukuran Dampak Penang.
• KepKa Bapeten Nomor 3-P Tahun 1999 tentang Pedoman
Teknis Penyusunan AMDAL untuk Rencana Pembangunan &
Pengoperasian Reaktor Nuklir.
16 Pencemaran Lingkungan
• KepKa Bapeten Nomor 04-P Tahun 1999 tentang Pedoman
Teknis Penyusunan AMDAL untuk Rencana Pembangunan &
Pengoperasian Instalasi.
(3) Pengendalian Pencemaran Air
• Undang-undang Nomor 07 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air.
• Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air.
• Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002 tentang
Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
• (KepMen LH Nomor 122 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
KEPMEN LH No 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Industri Pupuk.
• KepMen LH Nomor 202 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air
Limbah Bagi Usaha & atau Kegiatan Pertambangan Bijih Emas
& atau Tembaga.
• KepMen LH Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pedoman Teknis
Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah dari Industri Minyak Sawit
pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.
• KepMen LH Nomor 29 Tahun 2003 tentang Pedoman Syarat
dan Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Air Limbah Industri
Minyak Sawit pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit.
• KepMen LH Nomor 37 Tahun 2003 tentang Metode Analisis
Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air
Permukaan.
• KepMen LH Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada Sumber
Air.
• KepMen LH Nomor 111 Tahun 2003 tentang Pedoman
Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian
Pembuangan Air Limbah ke Air atau Sumber Air.
• KepMen LH Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air
Limbah Bagi Usaha dan Kegiatan Domestik.
• KepMen LH Nomor 113 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air
Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara
Bab 1 | Pendahuluan 17
• KepMen LH Nomor 114 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pengkajian Untuk Menetapkan Kelas Air.
• KepMen LH Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penentuan Status Mutu Air.
• KepMen LH Nomor 142 Tahun 2003 tentang Perubahan
Atas KepMen LH Nomor 111 Tahun 2003 tentang Pedoman
Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian
Pembuangan Air Limbah ke Air Atau Sumber Air.
• KepMen LH Nomor 03 Tahun 1998 tentang Baku Mutu Limbah
Bagi Kawasan Industri.
• KepMen LH Nomor 09 Tahun 1997 tentang Perubahan KepMen
LH Nomor 42/MENLH/10/1996 tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi.
• KepMen LH Nomor 42 Tahun 1996 tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi.
• KepMen LH Nomor 35 Tahun 1995 tentang Program Kali
Bersih (Prokasih).
• KepMen LH Nomor 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Industri.
• KepMen LH Nomor 52 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Hotel.
• KepMen LH Nomor 58 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit.
• PerMen LH Nomor 02 Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air
Limbah Rumah Pemotongan Hewan.
• PerMen LH Nomor 04 Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air
Limbah Penambangan Timah.
• PerMen LH Nomor 09 Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air
Umbah Penambangan Nikel.
• PerMen LH Nomor 10 Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air
Limbah Usaha Poly Vinyl Chloride.
18 Pencemaran Lingkungan
• KepMen LH Nomor 133 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Emisi
Bagi Kegiatan Industri Pupuk.
• KepMen LH Nomor 129 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi
Usaha dan Atau Kegiatan Minyak Bumi dan Gas Bumi.
• KepMen LH Nomor 141 Tahun 2003 tentang Ambang Batas
Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan
Bermotor yang Sedang Diproduksi (Current Production).
• KepMen LH Nomor 45 Tahun 1997 tentang Indeks Standar
Pencemar Udara.
• KepMen LH Nomor 15 Tahun 1996 tentang Program Langit
Biru.
• KepMen LH Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat
Kebisingan.
• KepMen LH Nomor 49 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat
Getaran.
• KepMen LH Nomor 50 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat
Kebauan.
• KepMen LH Nomor 13 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi
Sumber Tidak Bergerak.
• PerMen LH Nomor 05 Tahun 2006 tentang Ambang Batas
Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama (Pengganti
KepMenLH 35 Tahun 1993).
• KepMen Kesehatan Nomor 289 Tahun 2003 tentang Prosedur
Pengendalian Dampak Pencemaran Udara Akibat Kebakaran
Hutan Terhadap Kesehatan.
• KepKa Bapedal Nomor 107 Tahun 1997 tentang Pedoman
Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks
Standar Pencemaran Udara.
• KepKa Bapedal Nomor 205 Tahun 1996 tentang Pedoman
Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak
Bergerak.
Bab 1 | Pendahuluan 19
• KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
• KepMen LH Nomor 179 Tahun 2004 tentang Ralat Atas KEPMEN
LH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
• KepMen LH Nomor 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku
Kerusakan & Pedoman Penentuan Status Padang Lamun.
• KepMen LH Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku &
Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.
• KepMen LH Nomor 04 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku
Kerusakan Terumbu Karang.
• KepMen LH Nomor 45 Tahun 1996 tentang Program Pantai
Lestari.
• PerMen LH Nomor 12 Tahun 2006 tentang Perizinan Pembuangan
Limbah ke Laut.
• KepKa Bapedal Nomor 47 Tahun 2001 tentang Pedoman
Pengukuran Kondisi Terumbu Karang.
20 Pencemaran Lingkungan
• KepKa Bapedal Nomor 02 Tahun 1998 tentang Tata Laksana
Pengawasan Pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
di Daerah.
• KepKa Bapedal Nomor 03 Tahun 1998 tentang Penetapan
Kemitraan dalam Pengolahan Limbah B3 KepKa Bapedal Nomor
04 Tahun 1998 tentang Penetapan Prioritas Limbah B3.
• KepKa Bapedal Nomor 255 Tahun 1996 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Penyimpanan dan Pengumpulan Minyak Pelumas
Bekas.
• KepKa Bapedal Nomor 01 Tahun 1995 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3.
• KepKa Bapedal Nomor 02 Tahun 1995 tentang Dokumen Limbah
B3.
• KepKa Bapedal Nomor 03 Tahun 1995 tentang Persyaratan Teknis
Pengelolaan Limbah B3.
• KepKa Bapedal Nomor 04 Tahun 1995 tentang Tata Cara
Persyaratan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi
Bekas Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan limbah B3.
• KepKa Bapedal Nomor OS Tahun 1995 tentang Simbol dan Label
Limbah B3.
• KepKa Bapedal Nomor 68 Tahun 1994 tentang Tata Cara
Memperoleh Izin Penyimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian
Alat Pengolahan, Pengolahan dan Penimbunan Akhir Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun.
• Per MenLH Nomor 03 Tahun 2007 tentang Penyimpanan Limbah
83 di Pelabuhan.
• Surat Edaran Kepala Bapedal Nomor 08/SEJ02J1997 tentang
Penyerahan Minyak Pelumas Bekas.
• KepKa Bapeten Nomor 03 Tahun 1999 tentang Ketentuan
Keselamatan untuk Pengelolaan Limbah Radioaktif.
(7) Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
• Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang
Pengelolan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
• Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan
Atas Peredaran, Penyimpanan & Penggunaan Pestisida.
Bab 1 | Pendahuluan 21
• Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 3 Tahun 1985 tentang
Kesehatan & Keselamatan Kerja Pemakaian Asbes.
• Peraturan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi Nomor 1 Tahun
1982 tentang Bejana Tekanan.
• Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 472 Tahun 1996 tentang
Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan.
• KepMen Pertanian Nomor 763 Tahun 1998 tentang Pendaftaran
& Pemberian Izin Tetap Pestisida.
• KepMen Pertanian Nomor 764 Tahun 1998 tentang Pendaftaran
& Pemberian Izin Sementara Pestisida.
• KepMen Pertanian Nomor 949 Tahun 1998 tentang Pestisida
Teratas.
• KepMen Pertanian Nomor 541 Tahun 1996 tentang Pendaftaran
& Pemberian Izin Tetap Pestisida.
• KepMen Pertanian Nomor 543 Tahun 1996 tentang Pendaftaran
& Pemberian Izin Sementara Pestisida KepMen Pertanian Nomor
544 Tahun 1996 tentang Pendaftaran & Pemberian Izin Bahan
Teknis Pestisida.
• KepMen Pertanian Nomor 546 Tahun 1996 tentang Pemberian
Izin & Perluasan Penggunaan Pestisida.
• KepMen Perindustrian & Perdagangan Nomor 790 Tahun 2002
tentang Perubahan atas KEPMEN PERINDAG Tahun 1998 No.
110 tentang Larangan Produksi dan Memperdagangkan ODS.
• KepMen Perindustrian & Perdagangan Nomor 254 Tahun
2000 tentang Tata Niaga Impor & Peredaran Bahan Berbahaya
Tertentu.
• KepMen Perindustrian & Perdagangan Nomor 110 Tahun 1998
tentang Larangan Memproduksi & Memperdagangkan Bahan
Perusak Lapisan Ozon serta Memproduksi & Memperdagangkan
Barang Baru yang Menggunkan BPLO (ODS).
• SK Menteri Perindustrian Nomor 148 Tahun 1985 tentang
Pengamanan Bahan Beracun & Berbahaya di Perusahaan Industri.
• KepMen Tenaga Kerja Nomor 186 Tahun 1999 tentang Unit
Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja KepMen Tenaga
22 Pencemaran Lingkungan
Kerja Nomor 187 Tahun 1999 tentang Pengendalian Bahan
Kimia Berbahaya di Tempat Kerja.
• SE Menteri Tenaga Kerja Nomor 01 Tahun 1997 tentang Nilai
Ambang Batas Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja.
• Kep DIRJEN Pehubungan Darat Nomor 725 Tahun 2004 tentang
Penyelenggaraan Pengangkutan B3 di Jalan.
Bab 1 | Pendahuluan 23
(10) Penegakan Hukum Lingkungan
• Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2000 tentang
Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.
• KepMen LH Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman
Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan atau Perusakan
Lingkungan Hidup.
• KepMen LH Nomor 197 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Lingkungan Hidup di Daerah Kabupaten &
Daerah Kota.
• KepMen LH Nomor 77 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa LH
di Luar Pengadilan (lPJP2SLH).
• KepMen LH Nomor 78 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Pengelolaan Permohonan Penyelesaian Sengketa LH di Luar
Pengadilan pada Kementerian LH.
• KepMen LH Nomor 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum
Pengawasan Penataan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas.
• KepMen LH Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 2002 tentang
Tata Cara Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Provinsi/
Kabupaten Kota.
• KepMen LH Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pejabat Pengawasan
Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Daerah.
• Keputusan Bersama Kementerian LH, Kejaksaan, Kepolisian
Nomor KEP-04/MENLH/04/2004, KEP208/A/J.A/04/2004,
KEP-19/N/2004 tentang Penegakan Hukum Lingkungan
Hidup Terpadu (SATU ATAP), Menteri Lingkungan Hidup
Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
• KepKa BAPEDAL Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Satuan Tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Lingkungan
Hidup di BAPEDAL.
• Surat Jaksa Agung Muda Tidak Pidana Umum Nomor B-60/E/
Ejp/01/2002 tentang Perihal Pedoman Teknis Yustisial
Penanganan Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup.
24 Pencemaran Lingkungan
Secara yuridis terlihat bahwa terdapat 10 (sepuluh) item perihal yang
berkaitan dengan pencemaran lingkungan. Masing-masing item atau
hal tersebut telah mempunyai landasan hukum. Dengan sebegitu
banyaknya aturan hukum yang mengatur dan mengikat, idealnya,
tentu tidak ada lagi peristiwa pencemaran lingkungan terjadi bukan?
Kenyataannya, pencemaran lingkungan tetap ada sampai hari ini.
Kita sepakat bahwa bagus tidaknya suatu aturan dan kebijakan
bukan terletak pada substansi yang dikandungnya, tapi dinilai dari
pelaksanaan tata aturan itu sendiri. Apakah aturan hukum untuk
mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan sudah optimal?
Silakan jawab sendiri.
x x1
xy z P
y y1
Bab 1 | Pendahuluan 25
Pencemaran Lingkungan disimbolkan dengan huruf Z. Artinya ia
merupakan sintesis dari beberapa ilmu lain (X1 dan Y1) dengan
ilmu lingkungan (P).
Bahasa matematisnya ialah: Z = X1 + X2 + P
Dicontohkan X : Kimia.
Maka X1 : Kimia Lingkungan.
Dicontohkan Y : Biologi.
Maka Y1 : Pertanian, peternakan, kedokteran.
Sehingga XY : Biokima.
26 Pencemaran Lingkungan
Endraswara (2012) menambahkan bahwa filsafat ilmu adalah
wahana berpikir kritis. Menurutnya, orang yang menguasai ilmu, jika
tanpa mengetahui filsafat ilmu ada kalanya akan keliru pemahamannya
(terhadap ilmu yang dipelajari dan dikuasainya itu).
Mengapa perlu sudut pandang filosofis dalam mempelajari
pencemaran lingkungan?
Filsafat muncul ketika manusia merasa perlu memiliki pengetahuan
untuk membuat keputusan bijaksana bagi pemecahan masalah
kehidupan. Sebab, menurut Thut, kumpulan pengetahuan yang
bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia adalah filsafat (Zais,
1976). Sehingga jika kita tidak berlandas pula pada filosofisnya
pencemaran lingkungan ini, maka dikhawatirkan nilai guna atau manfaat
yang akan didapatkan tidak akan ada nantinya bagi kemaslahatan umat
manusia di muka bumi.
Bagaimana pandangan filosofis terhadap pencemaran lingkungan?
Filosofis memuat nilai-nilai kebijaksanaan. Dalam Bahasa Inggris,
bijaksana ialah wise. Kebijaksanaan = wisdom.
Mari kita menoleh ke masa lalu.
Nenek moyang di belahan bumi manapun, sarat dengan local wisdom
(kearifan lokal). Antropolog mengungkapkan bahwa banyak tradisi
budaya di tanah air seperti adanya “sesajen” yang merupakan suatu
sikap hidup dan budaya.
Setiap mereka mendapatkan “hasil” dari alam, dan untuk pemanfaatan
hasil tersebut dalam bentuk upacara pernikahan, pengangkatan kepala
suku dan pesta rakyat, maka mereka menyuguhkan sesajen kepada
“lingkungan”.
Sesajen adalah sebuah budaya. Ini dilabel sebagai sebuah mitos.
Sering dinilai tak berguna karena tak empiris. Ketidaktahuan manusia
menjelaskan sesuatu fenomena, lalu mengubur fenomena tersebut, dan
dipilih cara lain yang dinilai lebih efektif dan efisien.
Budaya sesajen dianggap kuno dan tak efisien. Tetapi nilai budaya
yang dikandungnya sungguh luar biasa. Manusia berbagi dengan
lingkungan. Manusia diajarkan untuk tidak serakah. Dari sudut pandang
lain, diklasifikasikan budaya sesajen merupakan budaya “animisme,”
kata orang-orang yang modern dan memiliki agama setelah itu. Hal ini,
tentu tidak kita bahas panjang lebar.
Bab 1 | Pendahuluan 27
Pendek kata, nenek moyang dulunya tetap melakukan aktivitas
ekonomi tapi masalah pencemaran lingkungan belum ada. Tapi, ketika
orang-orang berilmu pengetahuan dan beragama beraktivitas untuk
hidupnya, mereka mencemarkan lingkungan.
Contoh lain. Perkembangan ilmu pertanian dulunya menuduh
nenek moyang melakukan pola usaha tani subsistem yang berarti
tidak komersial. Artinya pertanian dilakukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari berupa kebutuhan pokok saja. Pola yang
dilakukan ialah dengan cara menanam, kemudian panen dan setelah
itu berpindah ke hamparan yang baru. Lahan yang lama dibiarkan. Hal
ini dipandang sebagai tindakan yang tidak menguntungkan.
Jika nenek moyang akan tetap melanjutkan usaha tani padi sawah
di lahan yang sama, setelah panen mereka mengubur jerami sisa panen
bersama lumpur, dan dibiarkan beberapa lama. Ini kearifan lokal yang
agung. Bahan organik kembali menyusun kesuburan lahan itu secara
alamiah.
Perkembangan ilmu dan teknologi di era 70-an dan puncaknya di
era 80-an telah menghasilkan usaha tani yang disebut pola modern.
Eksploitasi sumber daya lahan tidak tanggung-tanggung dilakukan
sampai pada akhirnya tak sedikit lingkungan bereaksi negatif
menyuguhkan lahan kritis dan tandus.
Tanah subur alamiah, berubah menjadi gersang dan untuk
mengembalikan kesuburannya, dituntut biaya yang tidak sedikit. Pupuk
sintetis yang memberi janji terhadap produktivitas ternyata harus
membayar berlipat-lipat setelah itu.
Pemberian pupuk sintetis telah merubah komposisi kimia penyusun
tanah. Di satu waktu memang memberikan hasil yang produktif, tapi di
waktu mendatang, tanah menuntut kembali keseimbangannya. Manusia
mesti menyiapkan biaya dan tenaga untuk menghadapi persoalan itu.
Begitu juga halnya dengan aplikasi pestisida. Sekali manusia
melakukan aplikasi pestisida pada suatu ekosistem pertanian,
sebenarnya manusia itu sudah berikrar dan membuat komitmen dengan
lingkungan, untuk akan melipatgandakan biaya perawatan. Karena
pestisida hanya mampu mengatasi masalah hama dan penyakit primer
saat itu, dan berpotensi memunculkan hama sekunder ke depannya.
28 Pencemaran Lingkungan
Karena rantai makanan telah diputus, bersamaan dengan rusaknya
keseimbangan ekosistem alami. Hama yang telah punah karena
pestisida, alamiahnya adalah sebagai salah satu penyusun mata rantai
jaring makanan. Akibatnya, terjadi peledakan populasi serangga lain
yang bukan hama awalnya tapi karena predatornya punah, ia akan segera
menjadi hama di tahun mendatang.
Belum lagi serangga betina yang mengandung telur, yang kena efek
pestisida tapi belum mematikan. Ia segera membentuk sistem kekebalan
dan mewariskan pada anaknya. Anaknya menjadi resisten terhadap
pestisida tertentu. Manusia akan senantiasa berkutat dengan persoalan
yang demikian. Seolah lingkungan hidup menjadi “musuh” bagi manusia.
Di era 90-an, ilmu pertanian mulai menggeser paradigma untuk
kembali ke bahan organik. Muncul istilah pertanian organik dan lain
lain. Istilah “pemberantasan hama dan penyakit tanaman” mulai
perlahan sirna, berganti dengan “pengendalian hama dan penyakit
tanaman”. Bersamaan dengan itu, muncullah istilah penerapan teknik
pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu yang mengedepankan
siklus alamiah berupa rantai makanan dan keseimbangan ekosistem.
Salah satu teknik pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu
itu ialah dengan penggunaan agen biologis. Artinya memasukkan
spesies tertentu sebagai predator untuk keseimbangan alamiah dalam
rantai makanan pada ekosistem pertanian tersebut. Peran kimia dan
organik mulai dikurangi.
Cara-cara nenek moyang mulai diakui sebagai suatu bentuk
persahabatan dan interaksi harmonis antara mereka dengan lingkungan.
Nenek moyang melakukan bera terhadap lahan yang sudah
menghasilkan panen. Bera berarti dibiarkan. Artinya, alam akan
bermekanisme alamiah memulihkan keadaannya. Suksesi alamiah
terjadi dengan optimal tanpa bencana. Tumbuh tumbuhan mulai
tumbuh lagi satu per satu. Lahan yang sudah direkayasa, kembali
membentuk tatanan yang subur lagi secara alamiah.
Sama halnya dengan Suku Indian yang menangkap ikan di satu ruas
aliran sungai. Setelah 2 bulan purnama, mereka akan pindah ke sungai
lain. Sungai yang lama dibiarkan untuk membentuk keseimbangan
baru. Para pemuda Suku Apache memelihara kuda-kuda perang di alam
bebas, bukan dikandangkan.
Bab 1 | Pendahuluan 29
Mereka mempercayakan pada “lingkungan alami” untuk mengajari
kuda mereka membentuk tubuh yang gagah dan keterampilan berlari
kencang. Lingkungan alam yang “buas” dan suguhan makanan yang
disediakan alam telah menciptakan kuda-kuda perang yang perkasa.
Tanpa rekayasa genetika dan penyuntikan adrenalin.
Salah satu nilai budaya yang arif dan bijaksana dalam menyikapi
persoalan hidup dan lingkungan, tersusun dalam kalimat bijak
warisan nenek moyang di salah satu suku bangsa di Indonesia, yakni
di masyarakat Minangkabau. Kalimat itu ialah: “Alam Takambang
Dijadikan Guru”.
Filosofis kalimat itu sekarang kembali diabadikan di berbagai
pendekatan pendidikan. Malah salah satu perguruan tinggi di Sumatera
Barat menjadikan itu sebagai mottonya.
Agaknya, yang mengaku ilmu dan teknologi lebih canggih dari
nenek moyang, mesti tersandar dan sadar bahwa ada ilmu-ilmu
kebijaksanaan yang tak bisa terjelaskan secara empiris dalam bentuk
harmonisasi manusia dengan lingkungan.
Ketika disiplin ilmu yang dibangun di atas teori-teori dan empiris
yang diagung-agungkan, tidak mampu memberikan penjelasan terhadap
suatu fenomena, maka saat itulah peran filsafat ditunggu untuk
memberikan iluminasi (penerangan).
Sekarang, ketika struktur dan fungsi ilmu pengetahuan yang ada
sudah memadai, aspek yuridis yang sangat banyak, dari hal manakah
kekurangan kita untuk meniadakan pencemaran lingkungan? Padahal
tujuan ilmu pengetahuan jelas adalah untuk kesejahteraan hidup kita.
Tujuan akhir dari “pencemaran lingkungan” pada prinsipnya adalah
menjadi landasan berpijak dalam hal perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Ia bersama dengan disiplin ilmu lain menopang
kesejahteraan manusia. Itulah pandangan filosofis pencemaran
lingkungan yang sedang kita pelajari ini.
Bukan sebaliknya. Perkembangan ilmu dan teknologi malah
menyeret manusia hidup dalam kualitas lingkungan yang buruk
(cemar dan rusak). Sehingga kualitas manusia yang hidup di dalamnya
pun buruk. Ilmu-ilmu lain yang diasumsikan tegak berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan hidup manusia saja, bukanlah menjadi “lawan”
dari ilmu pencemaran lingkungan.
30 Pencemaran Lingkungan
Seyogianya, semua ilmu dan pengetahuan manusia berorientasi
pada kesejahteraan umat manusia dengan lingkungan yang mendukung
untuk itu. Semua ilmu dan teknologi mesti menyatukan cara pandang
antara fungsi ekonomis dan fungsi ekologis serta fungsi sosial.
Ketiga fungsi tersebut, disebut sebagai pilar dalam konsep
pembangunan berkelanjutan.
Bab 1 | Pendahuluan 31
Istilah lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di luar suatu
makhluk hidup yang mana lingkungan itu memberikan pengaruh
pada makhluk hidup tersebut. Istilah lingkungan ini pun mengalami
relativitas ruang lingkup. Bisa luas dan bisa sempit tergantung bahasan
yang akan dikaji.
Lingkungan terdiri dari beberapa ranah kajian, yang apabila dilihat
dari interaksi yang terjadi di antara komponennya itu, bisa dibagi
menurut tipe ekosistem. Kita mengenal ekosistem pesisir, ekosistem
hutan dan ekosistem kota. Hal itu tetap merupakan bahasan dalam
ilmu lingkungan.
Dijelaskan secara yuridis formal dalam Undang-Undang No. 32
Tahun 2009 bahwa yang berada di luar suatu organisme yang disebut
sebagai lingkungan hidup itu ialah meliputi kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia
dan perilakunya, yang memengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
32 Pencemaran Lingkungan
Dalam Ilmu Lingkungan secara praktis, sering diterapkan prinsip-
prinsip ekology yang mengkaji bentuk interaksi yang ada pada suatu
ekosistem menurut tipologinya, guna menjelaskan suatu keadaan
lingkungan. Hal ini dilakukan guna mencapai peningkatan kualitas
lingkungan hidup.
Pada praktisnya, Ilmu Lingkungan merupakan perpaduan konsep
dan asas berbagai ilmu yang bertujuan untuk mempelajari dan
memecahkan masalah yang menyangkut hubungan antara makhluk
hidup dengan lingkungannya. Masalah yang ada pada lingkungan hidup
selalu ada, selagi manusia hidup di dalamnya dan berinteraksi.
Masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan berkembang,
menyertai perkembangan di dalam ilmu lingkungan itu sendiri baik
secara teoretis maupun terapan. Pencemaran dengan kerusakan
lingkungan dalam kajian keilmuan dan ranah yuridis adalah dua hal
yang berbeda. Tapi keduanya tetap bermuara pada degradasi lingkungan
hidup, yang menjadi titik pangkal ilmu lingkungan menjadi eksis.
Bab 1 | Pendahuluan 33
Gambar 1.5 Degradasi Lingkungan Hidup
34 Pencemaran Lingkungan
Dicontohkan pada kawasan perumahan yang ada di sekitar bukit
itu, seandainya sampah pun berserakan, maka hal ini mempercepat
terjadinya banjir. Sampah yang berserakan dalam hal ini adalah peristiwa
pencemaran lingkungan. Tentu, di sinilah perannya kita mempelajari
pencemaran lingkungan sebagai ilmu.
D. Resume
Konsep pencemaran lingkungan di samping mengenal definisi dari
peristiwa pencemaran lingkungan sebagai “masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku
mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan” juga harus mempunyai
metodologi dan pengembangan serta penerapan upaya pengendalian
terhadap pencemaran lingkungan itu sendiri.
Demikianlah secara filosofis ilmu, pencemaran lingkungan tidak
hanya sebatas ontologis, tapi juga mempunyai epistomologis serta
aksiologisnya. Di samping itu, pencemaran lingkungan juga memiliki
fokus kajian atau mempunyai objek yang jelas dan tegas baik dipandang
dari segi objek formil maupun dari sudut pandang objek materil.
Secara konseptual, pencemaran lingkungan dapat diskemakan
sebagai terlihat pada Gambar 1.6 berikut.
Scope
Source
What is Pollution? Process
What
Why does Pollution?
Happened? When
Where
How does Pollution?
Happened?
Bab 1 | Pendahuluan 35
Scope adalah ruang lingkup, atau cakupan. Source berarti sumber
dan process berarti serangkaian peristiwa atau kejadian yang sistematis.
Proses ini selanjutnya ditelusuri dan dikaji lebih detail lagi dalam ranah
pencemaran lingkungan berupa apa penyebabnya, kapan waktunya dan
di mana tempatnya.
Konsep pada Gambar 1.6 masih dalam tataran umum. Tapi sudah
tepat dan tegas memberikan landasan yang kokoh terhadap wacana
pencemaran lingkungan baik sebagai peristiwa, maupun sebagai ilmu
dalam teoretis dan praktis. Tentu, pencemaran lingkungan akan selalu
berkembang seiring waktu ke depan. Tapi konsep ini tak berubah.
Untuk pengkajian lebih lanjut, pencemaran lingkungan tak bisa berdiri
sendiri, karena ia merupakan sebuah disiplin ilmu yang multidisipliner.
Sehingga ia tegak dan berdiri dibangun dari bermacam-macam teori dan
metodologi dari disiplin ilmu lain.
Lanjutan dari Gambar 1.6 di atas, selanjutnya dapat ditelusuri
proses berikutnya melalui Gambar 1.7 di bawah ini.
Scope
General
Source Perspective
What is Pollution? Process Industries
Activities
Why does Pollution?
Behavior
Happened?
Water/Soil/Air
Environment
36 Pencemaran Lingkungan
Keterangan:
1. What a Pollution: Berarti pandangan umum (general perspective), tentang
scope (ruang lingkup) dari peristiwa pencemaran lingkungan. Bisa
dikonseptualkan dalam suatu definisi berupa terjadinya perubahan
lingkungan akibat manusia, sehingga lingkungan memberikan
pengaruh negatif bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
2. Why does Pollution Happened: Berarti menjelaskan tentang sumber
(sources) pencemar, yaitu (1) industri, (2) aktivitas manusia sehari
hari dan (3) perilaku. Ketiganya merupakan polluters.
3. How does Pollution Happened: Berarti menjelaskan tentang proses
terjadinya pencemaran. Dijelaskan dengan terjadinya pencampuran
antara pollutant yang disebabkan oleh adanya polluters dengan
lingkungan. Proses ini dicermati melalui (1) apa yang mencemari/
polutan (2) di mana terjadinya, apakah di air, tanah dan atau
udara,(3) kapan di mana terjadinya.
Bab 1 | Pendahuluan 37
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB
2
PARADIGMA PENCEMARAN
LINGKUNGAN
40 Pencemaran Lingkungan
B. Paradigma Pencemaran Lingkungan Sebagai Ilmu
Paradigma pencemaran berarti menjelaskan tentang apa sajakah
yang ada dalam pencemaran lingkungan itu secara struktur dan fungsi.
Sehingga kemudian dapat dianalisis implikasinya, untuk dikaji lagi
dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan tentang pencemaran
lingkungan ke depan.
Secara struktur berarti merujuk pada “apa dan bagaimana” komponen
pada pencemaran lingkungan itu. Secara fungsional berarti merujuk pada
“bagaimana keterkaitan peran masing-masing komponen” dalam peristiwa
pencemaran lingkungan itu.
Dari konsep dan perspektif pencemaran lingkungan terdahulu,
sudah dapat sekarang disimpulkan bahwa dalam mempelajari pencemaran
lingkungan sebagai sebuah paradigma, kita akan menemukan beberapa
komponen yang menyusun dan berperan dalam dinamika peristiwa
pencemaran lingkungan, yaitu
1. Apa yang dilakukan manusia
2. Bagaimana manusia melakukan
3. Untuk apa manusia melakukan
4. Apa dan bagaimana dampaknya terhadap manusia dan lingkungan
hidup.
5. Apa dan bagaimana upaya pengendalian dampak akibat perlakuan
manusia itu.
Dengan mengenal lima komponen atau aspek itu, sekaligus melihat
bagaimana masing-masingnya terkait satu sama lain, maka kita sudah
memiliki sebuah paradigma tentang pencemaran lingkungan sebagai
ilmu, baik secara teoretis maupun praktis.
Apabila pencemaran lingkungan belum dipandang secara utuh
memuat lima komponen atau aspek di atas, maka eksistensi pencemaran
lingkungan belum diletakkan pada tempat yang benar.
Apabila salah satu saja dari lima aspek itu tidak dikaji, lalu kita
menyebut mempelajari tentang pencemaran lingkungan, maka apa yang
kita sebut mempelajari itu, belum memberi makna yang sesungguhnya.
Pengetahuan tentang pencemaran lingkungan yang kita punyai
belum sampai pada pengetahuan yang bermakna (meaningful learning)
apabila membicarakan pencemaran lingkungan hanya tentang sumber
pencemar, bahan pencemar, dan dampaknya terhadap lingkungan saja.
42 Pencemaran Lingkungan
Keterangan:
(1) Apa yang dilakukan manusia
Hal ini menentukan sumber pencemar (poluter).
Pada gambar terlihat sumber pencemar berupa kegiatan industri dan
perilaku manusia.
(2) Bagaimana manusia melakukan
Hal ini yang menentukan jenis bahan pencemar (polutan) serta
bagaimana proses dan mekanisme masuknya bahan pencemar
ke lingkungan hidup sehingga terjadilah peristiwa pencemaran
lingkungan (polution).
(3) Untuk apa manusia melakukannya
Hal ini berhubungan dengan alasan terjadinya pencemaran
lingkungan itu. Maksudnya ialah mengapa manusia mesti mencemari
lingkungan. Tentu berhubungan dengan tujuan ekonomis.
Hal ini menjadi pertimbangan untuk langkah pengendalian
pencemaran nantinya.
(4) Apa dampak dari pencemaran terhadap komponen lingkungan hidup
yang digambarkan dalam masing-masing lingkaran yang bertuliskan
tanah, air, udara.
(5) Apa dan bagaimana langkah pengendalian pencemaran lingkungan
yang telah terjadi. Seharusnya tentu sebelum terjadi, sehingga
kalimat yang tepat ialah:
“Apa dan bagaimana langkah pengendalian terhadap pencemaran
lingkungan akibat suatu aktivitas ekonomi manusia yang akan
dilakukan.
Upaya pengendalian pada Gambar 2.1 terlihat mempunyai dua
anak panah. Pertama berawal dari ketika manusia telah menentukan apa
yang akan dilakukannya. Artinya, manusia telah merencanakan dampak
pengendalian terhadap apa yang akan dikerjakannya dan diperkirakan
akan menimbulkan dampak berupa pencemaran terhadap lingkungan
nanti.
Upaya yang kedua terlihat dari arah anak panah “untuk apa manusia
melakukan”. Upaya ini lahir dari sebuah jawaban untuk apa kegiatan
yang mencemari lingkungan itu dilakukan. Jika jawaban atas pertanyaan
itu untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan hidup manusia, maka
44 Pencemaran Lingkungan
Barangkali, kita sudah bisa memberikan definisi (batasan) terhadap
pencemaran lingkungan saat ini.
Definisi pencemaran lingkungan ialah:
“Suatu ilmu dan seni yang mempelajari terjadinya perubahan
lingkungan ke arah yang tidak diinginkan oleh manusia sebagai akibat
dari perbuatannya, dan mengembangkan metode dan pendekatan
guna menemukan solusi sehingga fungsi lingkungan menjadi optimal
bagi manusia”.
Mempelajari pencemaran lingkungan, tidak hanya sekadar memahami
pengertian terjadinya peristiwa yang disebut sebagai lingkungan tercemar,
sebagaimana yang didefinisikan pada konsep pencemaran lingkungan di
awal bab ini. Tapi lebih dari itu, seorang yang telah memahami pencemaran
lingkungan, mesti mampu mengembangkan metode dan pendekatan untuk
mencari solusi terhadap permasalahan lingkungan yang tercemar itu.
Metode dan pendekatan yang ada di dalam pencemaran lingkungan,
tak lepas dari 5 (lima) komponen atau aspek kajian yang sudah kita
tentukan di atas. Begitulah cara memandang pencemaran lingkungan
sebagai sebuah paradigma.
Paradigma pencemaran lingkungan selaras dengan cara pandang
terhadap lingkungan dalam ilmu lingkungan. Secara akademisi, metodologi
dan pendekatan terhadap lingkungan ini telah berkembang sebagai
pendekatan sistem.
Dalam pendekatan sistem, diasumsikan bahwa potret realitas yang
ada pada suatu objek kajian lingkungan, ditampilkan secara miniatur yang
mampu representatif terhadap kondisi real. Konsep inilah yang merupakan
embrio lahirnya pemodelan lingkungan.
Seorang ahli lingkungan tidak berbicara dari satu variabel berpengaruh
terhadap variabel lain. Tapi berbicara tentang sebuah model yang
memperlihatkan keterkaitan kuat satu sub sistem dengan sub sistem
lain, yang apabila dikuantitatifkan, akan bisa dijadikan sebagai prediktor
(memperkirakan).
Pendekatan sistem ini dipelajari oleh calon doktor ilmu lingkungan
dalam mata kuliah Analisis Pemodelan Lingkungan di bangku kuliah. Hal
ini memberikan landasan cara pandang dan pendekatan terhadap persoalan
di ranah lingkungan, di mana pencemaran lingkungan adalah salah satu
aspek di dalam persoalan ilmu lingkungan.
46 Pencemaran Lingkungan
Dengan demikian, implementasi dari pembangunan yang dimaksud
menjadi efektif dan efisien. Efektif terjadi, apabila sasaran yang telah
dicapai sesuai dengan target dan tujuan serta tepat untuk menjawab
pertanyaan mengapa.
Efisien terjadi apabila pencapaian sasaran dapat dilaksanakan dalam
waktu dan biaya yang minimal serta tepat untuk menjawab pertanyaan
bagaimana.
Mencapai efektivitas dan efisiensi, atau dengan kata lain untuk
mampu dengan tepat menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana
suatu pelaksanaan pembangunan berkelanjutan diimplementasikan,
konsekuensinya ialah diperlukan pemahaman terhadap prinsip dan
hal yang mendasari serta tujuan dan ruang lingkup dari konsep
pembangunan berkelanjutan itu sendiri.
Pemahaman tentang prinsip dan tujuan serta ruang lingkup dari
konsep pembangunan berkelanjutan, akan memberi sinyal element
tentang potensi persoalan yang akan muncul. Ataupun dalam
implementasinya, telah mengindikasikan suatu keadaan yang benar-
benar sudah merupakan permasalahan kontemporer.
Untuk itulah dalam sub bab ini akan dibahas terlebih dahulu
tentang substansi dari konsep pembangunan berkelanjutan itu, sebelum
panjang lebar membahas tentang implementasinya dan bagaimana
keterkaitannya dengan pencemaran lingkungan.
Pengertian pembangunan berkelanjutan dapat merujuk pada
definisi yang diberikan oleh WCED (1987) bahwa pembangunan
berkelanjutan ialah pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengabaikan hak generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka (development that meets the needs of the present
without compromising the ability of future generations to meet their own need).
Lebih jauh menurut Brundtland Report dari PBB (1987) pembangunan
berkelanjutan adalah proses pembangunan yang mencakup tidak hanya
wilayah (lahan, kota) tetapi juga semua unsur, bisnis, masyarakat, dan
sebagainya yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”.
48 Pencemaran Lingkungan
Memang untuk bisa memahami dan melaksanakan proses
pembangunan berkelanjutan di atas, tidaklah mudah. Menjadi sangat
sulit apabila masih adanya ego sektoral pelaku pembangunan itu sendiri.
Sudah saatnya para pelaku pembangunan sesuai peran masing-masing
berinteraksi dan membentuk suatu sistem yang menganut prinsip dari
pembangunan berkelanjutan. Prinsip itu ialah (1) peningkatan fungsi
ekonomis, (2) fungsi ekologis, dan (3) fungsi sosial. Secara skematis
dapat diperhatikan Gambar 2.2 berikut.
50 Pencemaran Lingkungan
1. Rendahnya kesejahteraan
2. Rendahnya produktivitas
3. Rendahnya kualitas SDM
4. Menurunnya kualitas
lingkungan hidup
5. Keterbatasan
sumber daya alam
6. Keterbatasan biodiversity
7. Kerusakan plasma nuftah
8. Kesenjangan sosial
dan maslah politiok
9. Kurangnya solidaritas
10. Kriminalitas yang tinggi
52 Pencemaran Lingkungan
Diawali dengan pertanyaan untuk apa manusia melakukan
sesuatu yang menyebabkan terjadinya pencemaran? Jawabnya ialah
karena manusia memenuhi kebutuhan hidup dan keinginannya.
Antara kebutuhan dan keinginan sebenarnya tidak sama, tetapi sering
dicampurkan menjadi abu-abu dalam kehidupan manusia.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana menjelaskan hal yang demikian
dalam wacana pencemaran lingkungan? Teori apakah yang akan dipakai?
Mari kita lihat Gambar 2.5 berikut.
Materrial Balance
Ekonomi
Cost and Benefits
Lingkungan
Environment Protection
54 Pencemaran Lingkungan
Terlihat bahwa pencemaran lingkungan merupakan multidisiplin
ilmu yang pada tujuan akhirnya adalah peningkatan kualitas lingkungan
hidup manusia. Bersama-sama dengan ilmu lain untuk menuju kondisi
pembangunan berkelanjutan yang terjadinya peningkatan fungsi
ekonomis, ekologis dan sosial secara berkesinambungan.
Perlu diingat bahwa PPLH merupakan aplikatif dari peningkatan
fungsi ekologis sebagai salah satu pilar dalam pembangunan
berkelanjutan. Artinya, sampai di sini, kita sudah bisa memahami
eksistensi dan relevansi yang ada antara pencemaran lingkungan, ilmu
lingkungan dan PPLH serta pembangunan berkelanjutan.
A. Pengertian
Pendekatan atau approach bukan bermakna jarak secara kebendaan.
Dalam bahasan ilmiah, kata pendekatan bisa dipahami sebagai cara
untuk menelaah suatu objek. Di dalam suatu pendekatan, terdapat
sudut pandang dan teori yang telah ada sesuai dengan disiplin ilmu
yang digunakan.
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, pencemaran
lingkungan tersusun dan terstruktur atas beberapa disiplin ilmu. Oleh
karena itu, pendekatan di dalam permasalahan pencemaran lingkungan
pun bisa digunakan banyak pendekatan.
Sebagai ilustrasi sederhana bagaimana yang dimaksudkan dengan
pendekatan di sini disajikan pada Pada Gambar 3.1 di bawah ini.
Masalah
A Pencemaran C
Lingkungan
58 Pencemaran Lingkungan
1. Pendekatan A
Berarti menggunakan konsep dan teori kimia untuk mencarikan
solusi terhadap persoalan pencemaran lingkungan. Kimia yang
khusus dalam hal ini adalah kimia lingkungan. lebih detail tentang
kimia lingkungan akan dibicarakan pada Bab III.
4. Pendekatan B
Berarti permasalahan lingkungan yang tercemar itu, diteliti
dengan menggunakan konsep dan teori dari biologi. Dalam
perkembangannya biologi yang diterapkan terhadap persoalan
lingkungan ini telah membentuk disiplin ilmu baru pula seperti
Biologi Kelautan, dan lain sebagainya sesuai dengan fokus kajian
sub sistem lingkungan yang dikategori menurut ekosistem.
Penerapan biologi terhadap persoalan lingkungan hidup yang
tercemar pada suatu pemukiman akan lebih diarahkan pada
identifikasi mikrobiologi yang ada pada bahan tercemar, dan
pengaruhnya terhadap kesehatan manusia.
Solusi yang ditawarkan akan berikhtisar dalam lingkup biologi
pula. Seperti bagaimana tindakan manusia dalam mengantisipasi
masalah yang akan ditimbulkan oleh bahan pencemar tersebut.
Manusia sebagai makhluk hidup sesuai dengan sistem biologis
dalam tubuhnya mempunyai kerentanan terhadap penyakit yang
ditimbulkan oleh bakteri dan pathogen lainnya yang ada pada
lingkungan tercemar.
5. Pendekatan C
Kajian dari sudut pandang sosiologi akan lebih menitikberatkan pada
persoalan sosial. Terjadinya pencemaran pada lingkungan tempat
tinggal manusia berarti menunjukkan situasi sosial masyarakat di
situ. Perilaku sosial diteliti dan dijelaskan kemudian. Sikap dan
perilaku tidak peduli pada lingkungan lahir dan bekembang di
tengah masyarakat itu disebabkan oleh apa?
Solusi yang ditawarkan akan menghasilkan suatu keadaan ideal
di mana perilaku sosial masyarakat lebih peduli pada lingkungan
hidupnya. Solusi ini bisa diperoleh setelah melalui proses
identifikasi masalah sosial yang tidak mudah. Tapi bukan berarti
tidak bisa diterapkan.
60 Pencemaran Lingkungan
Contoh penerapan dan penjabaran langkah di atas, akan disajikan
di Subbab E Langkah dan Sistematika nantinya.
62 Pencemaran Lingkungan
Dalam menghadapi masalah, manusia mengembangkan banyak
cara. Pada prinsipnya cara itu terbagi atas 2 (dua) yaitu (1) cara ilmiah
dan (2) cara non ilmiah. Kedua cara itu selalu ditempuh oleh manusia
sejak dahulu. Cara ilmiah memenuhi persyaratan empiris yang teruji dan
bisa diterapkan. Cara ilmiah ini disebut juga dengan pendekatan ilmiah
(scientific research). Dalam hal ini, kita akan menerapkan pendekatan
ilmiah dari pencemaran lingkungan terhadap permasalahan lingkungan
hidup di pemukiman tempat tinggal.
Bahasan dalam bab ini, hanya sebagai salah satu contoh konkret
penerapan pendekatan keilmuan yang multidisipliner terhadap
permasalahan di lingkungan hidup. Karena ranah lingkungan hidup itu
luas dan kompleks, maka kita mengambil salah satu lingkungan yang
ada, yaitu lingkungan pemukiman yang tercemar di sub-bab berikut.
64 Pencemaran Lingkungan
3. Identifikasi masalah dan penetapan tujuan
Dari hasil pengamatan, sudah bisa dilakukan identifikasi masalah.
Identifikasi masalah ini terjabar dalam bentuk rincian pertanyaan,
seperti berikut.
a. Mengapa ada sampah di lingkungan tempat tinggal itu?
b. Apa sumber sampah pada lingkungan itu?
c. Bagaimana mengatasi masalah sampah pada lingkungan itu?
Tiga pertanyaan mendasar di atas adalah bentuk masalah yang
sudah dirinci dan teridentifikasi. Beberapa ahli metode penelitian
ada yang membedakan antara identifikasi masalah dengan
pertanyaan penelitian.
Jika pertanyaan penelitiannya adalah tiga hal di atas, maka
pertanyaan ini lahir dari hasil identifikasi masalah. Masalah yang
teridentifikasi lebih dahulu dari pertanyaan penelitian.
Sehingga pada contoh di atas, jika itu dianggap pertanyaan
penelitian, identifikasi masalahnya ialah (a) keberadaan sampah di
lingkungan tempat tinggal, (b) cara mengatasi agar sampah tidak
ada di lingkungan tempat tinggal.
Penetapan tujuan penelitian ialah memberikan batasan yang tegas
dan konsekuen terhadap permasalahan yang ada.
Dalam contoh ini, tujuan penelitian ialah:
a. Penyebab keberadaan sampah di lingkungan tempat tinggal.
b. Menentukan sumber sampah yang ada di lingkungan tempat
tinggal.
c. Menetapkan solusi agar lingkungan tempat tinggal menjadi
bebas sampah.
4. Studi literatur
Pada dasarnya studi literatur adalah upaya untuk membangun
kerangka teori yang akan mendukung pencapaian tujuan penelitian.
Lemahnya teori akan mempersulit capaian tujuan penelitian.
Dalam contoh di atas, selanjutnya dikumpulkan beberapa teori
tentang sampah di lingkungan tempat tinggal. Beberapa teori yang
terkait seperti pembagian jenis limbah atas dua yaitu (1) limbah
industri dan (2) limbah domestik.
66 Pencemaran Lingkungan
Gambar 3.2) maka jumlah timbulan sampah bisa dihitung sebagai
berikut.
T (timbulan sampah per hari) = 1 kg x 100 = 100 kg
Didapat data sementara bahwa tiap hari timbulan sampah adalah
100 kg. Sampah tersebut menumpuk di pinggir jalan hari demi
hari. Bisa diestimasi berapa volume sampah dalam 7 hari.
5. Hipotesis
Hipotesis adalah pendugaan sementara. Hipotesis menjadi vital
untuk sebuah penelitian kuantitatif yang lebih kepada pengujian
hipotesis.
Jika penelitian bertujuan untuk suatu pengujian hipotesis dalam
hal ini umpamanya ditegakkan hipotesis sebagai berikut.
a. H0: Tidak ada pengaruh status sosial ekonomi terhadap
pencemaran lingkungan di lingkungan tempat tinggal.
b. H1: Terdapat pengaruh status sosial ekonomi terhadap
pencemaran lingkungan di lingkungan tempat tinggal.
Langkah selanjutnya ialah mengoperasionalkan definisi terhadap
variabel yang ada. Pada contoh ini terdapat dua variabel penelitian
yaitu (1) variabel status sosial ekonomi dan (2) pencemaran
lingkungan di lingkungan tempat tinggal. Definisi operasional
adalah bagaimana agar masing-masing variabel di atas bisa
dilaksanakan/diproses dalam statistik.
Sehingga lahirlah beberapa definisi operasional dari variabel 1
seperti: (a) jumlah penghasilan per bulan, (2) tingkat pendidikan,
(3) jenis pekerjaan. Maksudnya ialah kriteria yang disebut sebagai
status sosial ekonomi dalam penelitian ini didasarkan atas tiga
definisi operasional itu.
Sedangkan variabel 2 berupa pencemaran lingkungan di lingkungan
tempat tinggal memiliki makna yang luas. Sama halnya dengan
status sosial ekonomi sebagai variabel 1. Oleh karena itu, variabel
2 ini pun perlu dibuat definisi operasionalnya.
Definisi operasional yang dimungkinkan dalam contoh ini adalah
(1) volume timbulan sampah yang berada di pinggir jalan pada
lingkungan pemukiman tempat tinggal di Jalan X, Kelurahan Y,
Kota Z.
68 Pencemaran Lingkungan
Tapi, penelitian gabungan atau mix research ini tidak harus dilakukan.
Bisa saja kualitatif saja atau kuantitatif saja. Hal ini tergantung
kepada ketertarikan seorang peneliti.
6. Pelaksanaan penelitian
Pada tahap ini peneliti telah mulai bekerja. Melakukan pencarian
data dengan berbagai teknik sesuai dengan jenis data yang akan
diperoleh.
Teknik perolehan data primer dilakukan baik berupa wawancara,
pengamatan maupun jejak pendapat. Data sekunder didapat dari
dokumentasi yang telah ada seperti profil kelurahan, jumlah
penduduk menurut tingkat status sosial dan lain sebagainya.
Apabila terjadi data yang berbeda antara data primer dengan data
sekunder maka peneliti akan menggunakan data primer. Bukan
sebaliknya.
7. Pengolahan data
Data hasil penelitian diolah menurut jenis penelitian. Jika pada uji
hipotesis dilakukan uji statistik, maka pada kualitatif digunakan
metode pengolahan data berupa grafik dan matrik atau tabulasi.
8. Analisis data hasil pengolahan
Sama halnya dengan di atas. Analisis terhadap hasil pengolahan
data pada intinya ialah mencoba menjawab pertanyaan penelitian
atau tujuan penelitian. Pada tahap ini, proses penelitian sudah
mulai mengerucut menuju pada penyimpulan.
Penarikan kesimpulan tergantung kepada jenis penelitian. Penelitian
kuantitatif akan menarik kesimpulan berdasarkan ada tidaknya
pengaruh antara status sosial ekonomi terhadap pencemaran di
lingkungan tempat tinggal.
Sementara penelitian kualitatif akan menjawab pertanyaan mengapa
sampah berada di lingkungan tempat tinggal, dari mana sumber
dan apa solusi mengatasinya.
Teknik analisis pada kualitatif bisa merujuk pada yang dikembangkan
oleh Miles and Hubberman (1994) yang mendesain penelitian
kualitatif dalam hal tahapan analisis data berupa empat tahapan
yaitu (1) data collect, (2) data display, (3) data reduction, dan (4)
conclusion. Inti tahapan ini adalah membuang data yang tidak
70 Pencemaran Lingkungan
Tapi dalam hal ini, penulis meletakkan bahwa apa yang disarankan
dari hasil penelitian ini sebagai rekomendasi. Sedangkan saran
bisa berupa hendaknya dilakukan penelitian serupa di tempat lain,
dengan jumlah populasi yang lebih banyak.
Rekomendasi penelitian ialah apa yang dianggap peneliti
berdasarkan hasil penelitiannya menjadi jawaban atas permasalahan
yang ada.
Dalam hal ini, direkomendasikan kepada pihak stakeholder seperti
berikut ini.
a. Adanya penerapan aturan di tingkat kelurahan, kecamatan,
kota/kabupaten tentang larangan membuang sampah di
tempat umum.
b. Perlunya dibentuk kelompok masyarakat berbasis partisipatif
dalam mengelola sampah di lingkungan tempat tinggalnya.
Peneliti lain ada yang menambahkan dengan implikasi di akhir
laporan hasil penelitian. Implikasi adalah suatu keadaan yang akan
terjadi apabila hasil penelitian berupa rekomendasi yang dibuat
dilaksanakan.
Dalam contoh hasil penelitian ini, implikasinya ialah:
a. Terbentuk kelompok masyarakat peduli lingkungan.
b. Pengadaan pelatihan dan pembinaan kelompok masyarakat
peduli lingkungan yang mengolah sampah menjadi barang
bernilai ekonomis.
F. Resume
Masalah manusia dengan lingkungan hidupnya selalu ada. Masalah
adalah ketidaksesuaian antara kenyataan dengan harapan. Kenyataan
yang ada pada lingkungan hidup manusia sering kali tidak selaras dengan
keinginan dan harapan.
Sebaliknya, masalah bisa terjadi juga karena keinginan dan
kebutuhan manusia selalu meningkat. Setiap peningkatan, menuntut
sesuatu yang lebih pada lingkungan, baik secara kualitatif, maupun
kuantitatif.
Lingkungan senantiasa berubah. Perubahan lingkungan terbagi
atas dua, yaitu
72 Pencemaran Lingkungan
BAB PERSPEKTIF KIMIA
4 TERHADAP PENCEMARAN
LINGKUNGAN
Kimia Pencemaran
Kimia Lingkungan Lingkungan
74 Pencemaran Lingkungan
sistematis diikuti dengan penurunan fungsi ekonomis dan sosial. Dalam
suatu rona lingkungan yang ada, dengan segala bentuk interaksinya di
situ pula lah terjadi proses dan reaksi kimia.
Dirujuk pendapat Sastrawijaya (1991) yang tegas menyatakan
bahwa pengaruh ilmu dan teknologi dalam masyarakat besar sekali, baik
itu masyarakat sekolah, lingkungan hidup desa atau kota, perkampungan
asrama maupun masyarakat dunia luas. Berbagai bahan yang perlu
dibahas ialah perihal air, sumber alam, minyak bumi, bahan makanan,
kimia nuklir, kesehatan, dan industri.
Semua topik hendaknya dihubungkan dengan kimia, mencakup
konsep-konsep pokok, keterampilan mental dan kerja laboratorium yang
diperlukan untuk memahami dan menghayati masalah yang relevan
dengan lingkungan hidup kita.
Penulis setuju dengan apa yang dikemukakan di atas. Sebagai
motivasi bagi kita semua, apa yang diperlihatkan lingkungan ke
kita sudah cukup banyak di sepanjang sejarah yang sarat dengan
permasalahan pencemaran lingkungan karena bahan kimia. Motivasi
tidak akan berarti apa-apa jika hanya sebatas informasi.
Paling tidak dengan mempelajari buku ini, kita mempunyai suatu
langkah awal dari sebuah wujud motivasi. Bisa dimulai dari diri sendiri.
Setiap kita berperan terhadap lingkungan hidup makro. Agaknya
slogan “think global and act localy” sangat cocok untuk dipahami dan
diterapkan. Berpikir tentang dunia boleh dan harus, tapi berbuatlah
sesuai kemampuan di tingkat level diri masing-masing. Karena jika
tidak berbuat untuk sesuatu di lingkungan mikro saja tidak bisa, maka
memikirkan dunia akan sia-sia. Justru mendatangkan stres.
Mari kita tanggapi peristiwa pencemaran lingkungan pada Tahun
2015 di negeri kita berupa krisis asap dan kabut (smog = smoke and fog).
Asbut adalah singkatan dari asap dan kabut. Kedua bahan ini sangat
berbahaya dalam jumlah besar. Di Indoensia terjadi lagi peristiwa
asbut ini di tahun 2015. Dilaporkan ada yang meninggal dunia dan
hampir setengah juta jiwa menderita gangguan pernapasan. Dampak
lain ialah kurangnya efektivitas tanaman melakukan fotosintesis yang
implikasinya ialah oksigen pun berkurang.
Tidak sedikit karbon sisa pembakaran yang dilepas ke atmosfer, dan
tentu akan berakibat langsung pada pemanasan global. Karbon adalah
C.
Resume
Kasus pencemaran lingkungan hidup tak akan lepas dari fokus
kajian kimia lingkungan. Karena dampak dari pencemaran lingkungan
itu dapat dilihat dari segi material yang dikandung bahan pencemar.
Bahan pencemar yang masuk ke lingkungan hidup karena aktivitas
manusia adalah bahan kimia. Unsur-unsur berbahaya terakumulasi pada
lingkungan hidup di mana manusia dan makhluk lain berada.
Masing-masing bahan kimia yang menyebabkan terjadinya
pencemaran pada komponen lingkungan. Selanjutnya, secara fokus
di bab berikutnya kita pelajari satu demi satu komponen lingkungan
yang dimaksud.
76 Pencemaran Lingkungan
BAB
5
PENCEMARAN TERHADAP
KOMPONEN LINGKUNGAN
A. Pencemaran Udara
Perkins (1974) mengemukakan bahwa pencemaran udara berarti
hadirnya suatu kontaminan dalam udara atmosfer seperti debu, asap
gas, kabut, bau-bauan dan uap dalam kuantitas yang banyak dengan sifat
dan lama berlangsungnya di udara, sehingga mendatangkan ganggungan
kepada manusia dan makhluk hidup lain.
Jika dikaitkan dengan pengertian pencemaran lingkungan yang telah
dipahami, berarti persoalannya terletak pada tiga aspek pokok, yaitu
78 Pencemaran Lingkungan
dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu
sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
Dengan adanya baku mutu ini diharapkan akan terjadi kesamaan
pandang dalam memandang lingkungan, dan memang baku mutu ini
dimaksudkan untuk melindungi lingkungan dengan semakin banyaknya
kegiatan manusia.
Baku mutu udara dapat dibedakan atas baku mutu udara ambien
dan baku mutu udara emisi.
1. Baku mutu udara ambien
Adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau bahan-bahan
pencemar untuk berada di udara dengan tidak menimbulkan
gangguan terhadap makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan atau benda
lainnya.
2. Baku mutu emisi
Adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau bahan
pencemar untuk dikeluarkan dari sumber ke udara dengan tidak
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien.
80 Pencemaran Lingkungan
CFC merupakan zat yang tidak mudah terbakar dan tidak
terlalu beracun. Satu buah molekul CFC memiliki masa hidup
50 hingga 100 tahun dalam atmosfer sebelum dihapuskan.
Oleh karena itu, jika terjadi konsentrasi CFC yang tinggi di
atmosfer akan sulit dihilangkan efeknya karena konsentrasi
itu bertahan lama di atmosfer.
Keberadaan CFC sebagai penyebab menipisnya lapisan
ozon mulai marak dibicarakan sejak tahun 1970-an.
Proses menipisnya lapisan ozon oleh CFC ini dikarenakan
kestabilannya untuk sampai di tingkat stratosfer.
Disebabkan radiasi ultraviolet dari sinar matahari, senyawa
CFC kemudian mengeluarkan atom-atom klorin sebagai
perusak ozon.
CFC banyak digunakan pada saat sekarang dalam kehidupan
manusia, seperti untuk pendingin ruangan (AC), media
pendingin pada lemari es (kulkas), bahan pelarut, bahan
dorong, dan proses pembuatan plastik.
Selain itu, CFC juga banyak digunakan sebagai blowing agent
dalam proses pembuatan foam (busa), sebagai cairan pembersih
(solvent), bahan aktif untuk pemadam kebakaran, bahan aktif
untuk fumigasi di pergudangan, pra pengapalan, dan produk-
produk pertanian dan kehutanan lainnya.
4) Karbon monoksida (CO)
Merupakan komponen gas yang tidak bewarna, tidak berasa
dan tidak berbau, serta tidak larut dalam air. Berat karbon
monoksida ialah sebesar 96,5% dari berat air.
Peristiwa pencemaran udara yang disebabkan oleh karbon
monoksida sebagai polutan, sering bersumber dari kegiatan
industri. Tapi juga dimungkinkan terjadi akibat kegiatan non
industri yang disebut domestik.
Penyebab terjadinya pelepasan CO (karbon monoksida) ke
udara ialah:
a) proses pembakaran bahan yang mengandung karbon
secara tidak sempurna;
82 Pencemaran Lingkungan
b. Bahan Pencemar Berbentuk Partikel Cair
1) Titik air atau kabut.
2) Kabut yang mengandung partikel cair.
Dampaknya dapat menyebabkan sesak napas dan jika terhirup
akan memenuhi rongga paru-paru pada makhluk hidup. Dampak
ini bisa terjadi saat itu juga atau beberapa waktu kemudian.
Walaupun wujudnya partikel cair, tapi tentu mengandung unsur
kimia yang sudah disajikan di atas.
c. Bahan Pencemar Berbentuk Partikel Padat
1) Partikel dalam bentuk padat dapat berupa debu atau abu yang
berasal dari bahan bakar kendaraan yang bercampur dengan
timbal (Pb). Biasanya bahan bakar kendaraan dicampur dengan
timbal.
Tujuan timbal dicampurkan dalam bahan bakar ialah untuk
mempercepat proses pembakaran agar mesin berjalan
sempurna.
Timbal (Pb) akan bereaksi dengan klor dan brom membentuk
partikel PbClBr. Partikel tersebut akan dikeluarkan melalui
knalpot ke udara.
2) Partikel kecil yang beterbangan ke udara karena peristiwa
pembakaran bahan-bahan anorganik oleh manusia, baik
domestik maupun industri.
Secara umum, penyebab yang utama ialah industri. Tapi,
aktivitas domestik juga tidak bisa dikatakan tidak mencemari
udara melalui pembakaran sampah dan kegiatan lainnya.
Dampak dari pencemaran udara yang disebabkan oleh partikel
padat ialah menyebabkan gangguan kesehatan pada makhluk
hidup terutama saluran pernapasan. Dampak terhadap
gangguan pernapasan ini, bisa terjadi saat itu juga, tapi juga
bisa terjadi beberapa saat kemudian.
84 Pencemaran Lingkungan
Di samping Tabel 5.1 di atas, Peave (1986) juga telah melaporkan
konsentrasi gas di dalam atmosfer bersih dan kering, yang disajikan
pada Lampiran 1. Udara dalam keadaan alamiah, tidak pernah terbebas
dari bahan-bahan kimia yang dianggap sebagai bahan berbahaya (dalam
jumlah yang melebihi baku mutu udara) seperti SO2 (Sulfurdioksida),
H2S (Hidrogen Sulfida) dan CO (karbon monoksida).
Senyawa tersebut di atas dilepaskan ke udara melalui proses
alamiah. Proses alamiah itu, seperti pembusukan dan pelapukan oleh
jasad renik (decomposer) dan aktivitas vulkanik.
Tetapi kita tidak menyebut senyawa kimia itu sebagai polutan
(bahan pencemar) dalam perspektif pencemaran lingkungan (pollution).
Karena itu adalah peristiwa alamiah.
Jika senyawa kimia tersebut dilepaskan oleh akibat aktivitas
manusia, barulah kita menyebutnya sebagai polutan. Walaupun dalam
kehidupan sehari-hari, sering disebut semua bahan berbahaya sebagai
polutan.
Untuk membedakan polutan dengan tidak polutan terhadap bahan
yang mengganggu manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya
itu, dapat ditentukan dengan jawaban atas pertanyaan “apakah manusia
mampu mengatur dan mengendalikan bahan berbahaya itu untuk
muncul atau tidak?”
Jika manusia mampu mengatur dan mengontrol suatu bahan
pencemar untuk mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan
maka itu adalah polutan. Tapi, apabila manusia tidak bisa mengatur
dan mengontrol munculnya suatu bahan pencemar dari proses alamiah
maka itu tidak bisa disebut sebagai polutan.
Bisakah kita mengatur terjadinya letusan gunung berapi?
Tidak
Larut Tidak bereaksi
dengan media
86 Pencemaran Lingkungan
B. Pencemaran Tanah
Sama halnya dengan pencemaran pada udara, maka di tanah pun
bisa terjadi pencemaran oleh bahan bahan pencemar yang keberadaannya
melebihi batas toleran daya dukung lingkungan.
Sumber pencemar pada tanah berdasarkan jenisnya dapat
digolongkan atas empat.
88 Pencemaran Lingkungan
Sastrawijaya (1991) melaporkan golongan, nama dan unsur yang
dikandung pestisida yang ada di Indonesia, yang disajikan pada Tabel
2 berikut.
90 Pencemaran Lingkungan
4. Pencemaran Tanah Karena Deterjen
Deterjen memiliki senyawa kimia. Deterjen yang digunakan oleh
domestik maupun industri berupa limbah cair sering langsung dialirkan
ke badan air. Hal tersebut membuat terjadinya pencemaran air yang
kemudian terakumulasi pada tanah.
C. Pencemaran Air
Jika didefinisikan pencemaran air dalam suatu pernyataan, maka
pencemaran air adalah terjadinya perubahan dan penyimpangan sifat-
sifat alamiah dari air yang ada di lingkungan hidup manusia. Kristanto
(2000) menyatakan disebut pencemaran air apabila terjadi penyimpangan
sifat-sifat air dari keadaan normal.
Keadaan normal tidak sama dengan kemurnian air. Di alam, air
tidak pernah berbentuk murni, tapi bukan berarti semua air itu tercemar.
Karena semua air yang ada di alam, sudah bercampur dengan CO2, O2
dan N2 serta bahan-bahan tersuspensi lainnya seperti partikel-partikel
yang terbawa oleh air hujan karena peristiwa alamiah.
92 Pencemaran Lingkungan
Secara umum aspek kimia dan fisika air yang tercemar juga meliputi
daya hantar listrik air, suhu dan jumlah padatan yang dikandung air
tersebut. Secara rinci aspek-aspek kimia dan fisika dalam hubungannya
dengan sumber limbah dapat dilihat pada Tabel 5.3 berikut.
Kimia Organik
1. Karbohidrat Limbah industri dan domestik
2. Pestisida Aktivitas pertanian dan pasca panen
3. Penol Limbah industri
4. Minyak, Lemak dan Protein.
Limbah industri dan domestik
Kimia An Organik
1. Bahan beracun
Limbah industri.
2. pH, Sulfur, Fosfor
Limbah industri
3. Alkali, klorida
Limbah industri dan domestik
Fisika
1. Warna dan rasa Limbah industri dan domestic
2. Bau dan suhu Limbah industri
94 Pencemaran Lingkungan
KETIKA POHON TERAKHIR DITEBANG,
IKAN TERAKHIR DITANGKAP
DAN AIR SUNGAI TELAH MENGERING
BARULAH MANUSIA SADAR BAHWA
UANG TIDAK BISA DIMAKAN
A. Jenis Kimia
Jenis polutan yang merupakan bahan kimia, ialah:
1. zat radio aktif,
2. logam (Hg, Pb, As, Cd, Cr dan Hi),
B. Jenis Biologi
Polutan yang tergolong pada jenis biologis ialah seluruh
mikroorganisme yang bersifat pathogen, seperti Escherichia Coli,
Entamoeba Coli, dan Salmonella Thyposa. Bakteri E-coli terdapat
pada kotoran manusia. E-coli dapat mengkontaminasi perairan dan
menularkan berbagai macam penyakit bila masuk ke dalam tubuh
manusia. Penyakit yang dapat ditimbulkan akibat E-coli antara lain
typhus, kolera, hepatitis dan lain lain.
C. Jenis Fisik
Polutan yang tergolong fisis ialah:
1. Kaleng
2. Botol,
3. Plastik
4. Karet.
Umumnya keberadaan polutan dalam fisis ini berada pada sampah
domestik dan industri. Di samping itu, pencemaran lingkungan berupa
kebisingan, radiasi dan suhu juga dikelompokkan menurut jenis fisik ini.
D. Parameter Pencemaran
Yang dimaksud parameter pencemaran adalah beberapa kuantitas
bahan pencemar yang terukur untuk menggambarkan keadaan
pencemaran lingkungan yang terjadi.
98 Pencemaran Lingkungan
Dengan kata lain, untuk mengukur tingkat pencemaran di
suatu tempat digunakan apa yang disebut sebagai parameter
pencemaran.
Di samping parameter pencemaran ini digunakan sebagai indikator
atau petunjuk terhadap indikasi terjadinya pencemaran, juga sebagai
penentu tingkat pencemaran yang sedang atau telah terjadi. Sering
terjadi di lapangan orang menyamakan antara parameter dengan
indikator.
Tetapi, sebenarnya antara parameter dengan indikator tentu
berbeda. Parameter berarti jumlah bahan pencemar yang berada pada
suatu lingkungan yang terukur, seperti BOD, COD dan TSS dan lain
sebagainya. Sedangkan indikator adalah sesuatu yang dijadikan sebagai
petunjuk bahwa telah terjadi pencemaran pada suatu komponen
lingkungan. Hanya saja, seperti diutarakan di atas, parameter
pencemaran itu, juga bisa dijadikan sebagai indikator.
Beberapa parameter pencemaran ini ialah (1) parameter kimia, (2)
parameter biologis, dan (3) parameter fisik.
1. Parameter Kimia
Parameter kimia meliputi C02, pH, alkalinitas, fosfor, dan logam-
logam berat. Artinya, kandungan unsur-unsur di atas akan menentukan
tingkat pencemaran yang terjadi. Sebagai contoh berikut disajikan
pengukuran terhadap beberapa parameter kimia yang mencemari air
seperti (a) pH air, (b) kadar CO2, dan (c) oksigen terlarut.
a. Pengukuran pH air
Pada kondisi alamiah, atau pada keadaan air sungai yang belum
tercemar, memiliki pH dengan interval pH 6,5 – 8,5. Karena
pencemaran terjadi, pH air dapat menjadi lebih rendah dari 6,5
atau lebih tinggi dari 8,5.
Keberadaan bahan-bahan organik sebagai bahan pencemar pada air
biasanya menyebabkan kondisi air menjadi lebih asam. Sementara
itu, keberadaan kapur dapat menyebabkan kondisi air menjadi alkali
(basa). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perubahan pH
air, tergantung kepada bahan pencemarnya (polutan).
2. Parameter Biokimia
Parameter biokima adalah pengukuran tingkat pencemaran dengan
menggunakan parameter kimia melalui makhluk hidup. Dalam hal ini
makhluk hidup yang dimaksud ialah jasad renik. Yang diukur ialah
kegiatan pernapasannya.
Parameter biokimia ini contohnya ialah pengukuran (1) BOD
(Biochemical Oxygen Demand), (2) COD (Chemical Oxygen Demand).
Bahan pencemar organik (daun, bangkai, karbohidrat, protein)
dapat diuraikan oleh bakteri air. Untuk melakukan penguraian tersebut,
bakteri memerlukan oksigen. Akibatnya, kadar oksigen terlarut dalam
air akan semakin berkurang.
Semakin banyak bahan pencemar organik yang ada di perairan
tersebut, maka akan semakin banyak pula oksigen yang dibutuhkan.
Sehingga, mengakibatkan semakin kecil kadar oksigen terlarut.
Banyaknya oksigen terlarut yang diperlukan bakteri untuk
mengoksidasikan bahan organik disebut sebagai Konsumsi Oksigen
Biologis (KOB) atau Biological Oksigen Demand, yang biasa disingkat
dengan BOD.
Angka BOD ditetapkan dengan menghitung selisih antara oksigen
terlarut awal dan oksigen terlarut setelah air cuplikan (sampel) disimpan
selama lima hari pada suhu 200 Celcius. Kegiatan ini sangat kuantiti
sehingga dalam penulisan BOD ini, mesti ditulis secara lengkap seperti
BOD205 atau bisa juga ditulis dengan “BOD5”.
Oksigen terlarut awal diibaratkan kadar oksigen maksimal yang dapat
larut di dalam air. Biasanya, kadar oksigen dalam air ini diperkaya terlebih
dahulu dengan oksigen. Setelah disimpan selama lima hari, diperkirakan
bakteri telah berkembang biak dan menggunakan oksigen terlarut untuk
proses oksidasi. Sisa oksigen terlarut yang ada, diukur kembali. Akhirnya,
konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengurangi kadar oksigen
awal dengan oksigen akhir, setelah lima hari.
3. Parameter Fisik
Parameter fisik meliputi temperatur, warna, rasa, bau, kekeruhan
terhadap air. Menentukan tingkat pencemaran dengan menggunakan
parameter fisik berarti kegiatan pengukuran terhadap warna, rasa, bau, suhu,
kekeruhan, dan radioaktivitas.
Masing-masing parameter tersebut di atas, sekaligus bisa menjadi
indikator tingkat pencemaran terhadap air secara relatif.
4. Parameter Biologi
Parameter biologi meliputi ada atau tidaknya mikroorganisme,
misalnya, bakteri coli, virus, dan plankton. Masing-masing parameter
tidak bisa ditentukan begitu saja secara langsung melalui pancaindra,
tetapi membutuhkan peralatan dan media laboratorium. Kecuali
parameter fisik yang langsung diindrai seperti warna, rasa, dan bau.
Di alam terdapat hewan-hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme
yang peka, tapi ada pula yang tahan terhadap kondisi lingkungan
tertentu. Organisme yang peka (sensitif) akan mati karena pencemaran
dan organisme yang tahan akan tetap hidup.
Dengan demikian, yang bisa dijadikan indikator tentu ketidakberadaan
hewan tertentu pada suatu keadaan lingkungan, yang biasanya secara
alamiah hewan itu ada. Dapat dicontohkan seperti Siput Air dan
Planaria yang merupakan hewan yang peka terhadap pencemaran.
Sungai atau badan air yang ditempati oleh Siput Air dan Planaria
menunjukkan sungai tersebut belum mengalami pencemaran. Dalam
hal ini, kedua jenis hewan itu bisa mengindikasikan kondisi air tercemar
atau tidaknya. Sebaliknya jika tidak ada Siput Air dan Planaria dalam
suatu badan air, maka bisa disimpulkan telah terjadi pencemaran pada
air tersebut.
Hewan ini pun bisa dijadikan sebagai indikator biologis telah
terjadinya pencemaran. Untuk lebih memahami istilah parameter dan
indikator dalam domain pencemaran lingkungan ini, akan disajikan
definisi masing-masing pada Subbab E Indeks Lingkungan nanti.
E. Indeks Lingkungan
Dalam upaya menggambarkan data polusi, cukup banyak istilah yang
digunakan. Memang terdapat bermacam-macam istilah di dalam ranah
lingkungan hidup, begitu juga dalam lingkup indeks lingkungan ini.
Untuk itu dalam pembahasan ini, kita letakkan batasan dan
pengertian terkait indeks lingkungan secara tepat.
Indeks lingkungan merupakan gambaran kuantitas lingkungan
melalui pendekatan matematis. Sehingga makna istilah dalam
matematis menjadi teradopsi dan dimodifikasi sesuai kebutuhan di
dalam ranah lingkungan.
Beberapa istilah dan batasan yang mesti diacu dalam mengkaji
permasalahan pencemaran lingkungan terutama dalam hal penggambaran
kualitas lingkungan (indeks lingkungan) yang berimplikasi terhadap
pengelolaan kualitas lingkungan ialah sebagai berikut.
1. Variabel
Beberapa atribut dari ketertarikan yang diambil pada nilai-nilai
yang berbeda-beda sesuai kebutuhan (dalam bahasa matematis).
Dalam hal ini, si peneliti boleh memilih atribut mana yang akan
dijadikannya sebagai variabel, dengan landasan teoretis yang sudah
cukup memadai.
A. Perlindungan Lingkungan
Istilah perlindungan lingkungan lebih praktis dan popular diwarisi
dan dipahami sebagai pelestarian lingkungan hidup. Konsep pelestarian
lingkungan sebenarnya merupakan upaya pelestarian dari fungsi
lingkungan hidup itu sendiri. Dengan demikian, secara langsung telah
mengandung makna perlindungan terhadap lingkungan (environment
protection).
Sebelum lebih jauh membahas tentang konsep dan upaya pelestarian
lingkungan, yang secara implisit adalah perlindungan lingkungan, mari
kita telaah terlebih dahulu tentang maksud melestarikan lingkungan
tersebut. Hal ini akan memberi alasan yang mendasari pemahaman
konsep pelestarian lingkungan.
Di samping itu, agar lebih mempertegas pemahaman dalam
relevansi dan eksistensi pencemaran lingkungan dalam konsep
perlindungan lingkungan yang sedang dipelajari.
Dasar dari pelestarian lingkungan, selaras dengan upaya
perlindungan dan upaya pengelolaan lingkungan. Secara yuridis, konsep
B. Pengelolaan Lingkungan
Secara yuridis historis global, lahirnya konsep pengelolaan
lingkungan, diawali dengan sebuah konferensi pada tahun 1972 di
Stockholm – Swedia. Institusi internasional United Nations Organization
(UNO) atau Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menggelar konferensi
tentang lingkungan hidup. Kegiatan itu diselenggarakan pada tanggal
5-16 Juni 1972.
Konferensi ini merupakan cikal bakal dari tumbuh dan berkembangnya
hukum lingkungan internasional maupun nasional. Pada kegiatan
itu melahirkan suatu dokumen yakni Deklarasi tentang Lingkungan
Hidup Manusia atau biasa disebut Deklarasi Stockholm yang terdiri
atas preambule dan 26 asas serta dokumen-dokumen lainnya.
Inilah momentum sejarah di mana secara global manusia mulai
menyadari untuk melakukan pengelolaan lingkungan. Manusia mesti
dan harus melakukan fungsi pengelolaan terhadap lingkungan yang
di dalamnya meliputi banyak hal, salah satunya ialah pelestarian
lingkungan dan peningkatan kualitas lingkungan serta peningkatan
ekonomi.
Seperangkat keharusan dan konsekuensi inilah yang menjadi
substansi dasar dari lahirnya Undang-Undang No. 32 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Negara Indonesia.
Undang-undang ini pun sekaligus menjadi dasar dari perlunya
pengelolaan lingkungan hidup di Wilayah Kesatuan Negara Republik
Indonesia secara yuridis.
Pengelolaan lingkungan dapat diartikan sebagai upaya manusia
dalam mengelola lingkungan hidupnya, sehingga kualitas lingkungan
memberikan daya dukung optimal untuk tatanan kehidupan manusia
mencapai derajat yang lebih tinggi.
Satu sisi ruas jalan di satu kota. Terlihat sarana untuk mengatasi
masalah pencemaran lingkungan dengan menyediakan tempat sampah
di pinggir jalan. Sayang sekali, masalah lain pun muncul.
Genangan air terjadi di jalan raya, karena saluran drainage yang
bermasalah.
Tampaknya masalah lingkungan tidak selesai apabila mengandalkan
satu aspek saja bukan?
Sekali lagi, masalah dalam lingkungan hidup adalah sangat kompleks
dan saling terkait. Banyak komponen di dalamnya yang berperan dan
membentuk satu kesatuan rona lingkungan. Perubahan salah satu
komponen akan menyebabkan perubahan rona lingkungan secara
menyeluruh. Sehingga, pendekatan dalam pencemaran lingkungan,
adalah pendekatan sistem, yang menganalisis satu per satu komponen
yang dipandang sebagai sub-sub sistem.
Rona lingkungan yang real, harus dipotret dan direpresentasikan
dalam sebuah miniatur yang disebut sebagai model lingkungan terlebih
dahulu. Baru bisa dianalisis satu per satu sub sistem yang ada, sesuai
dengan tujuan penelitian dan lingkup penelitian.
1. Waktu Pelaksanaan
Berdasarkan waktu pelaksanaan, maka kegiatan pengendalian
lingkungan itu dapat dikelompokkan atas tiga berikut ini.
a. Sebelum Terjadi Pencemaran
Sebelum terjadi pencemaran, langkah ini disebut dengan pencegahan.
Pencegahan terhadap pencemaran lingkungan yang akan terjadi,
dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti di tingkat perencanaan
kegiatan proyek yang berpotensi menyebabkan pencemaran,
dilakukan penyusunan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan).
Di tingkat kebijakan, dilakukan penyusunan KLHS (Kajian
Lingkungan Hidup Strategis). Maksudnya, untuk melakukan
perencanaan pembangunan di daerah, sebelum dokumen rencana
itu disahkan, maka wajib dilakukan pengkajian terhadap lingkungan
hidup strategis terhadap program dan rencana tersebut.
AMDAL dan KLHS bertujuan untuk mencegah terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan yang berpotensi terjadi
akibat suatu kegiatan, baik di tingkat perencanaan maupun di tingkat
pelaksanaan (proyek pengerjaan).
Dalam penyusunan dokumen AMDAL (environment impact assessment)
terdapat tahapan-tahapan yang dimulai dengan penapisan, kemudian
dilakukan scooping berupa penentuan batas wilayah studi, yaitu batas
administrasi, batas proyek dan batas ekologi serta batas sosial.
Selanjutnya diikuti dengan penentuan kedalaman studi.
Setelah ditentukan hal-hal di atas, selanjutnya dituang ke dalam
Kerangka Acuan yang ditindaklanjuti dengan penentuan tim ahli atau
tim peneliti yang akan terlibat dalam penyusunan AMDAL tersebut.
3. Pelaku Pengendalian
Dilihat dari pelaku pengendalian, maka dapat dikelompokkan atas
empat bagian besar.
a. Pemerintah
Pemerintah melakukan upaya pengendalian pencemaran dengan
cara membuat aturan dan kebijakan terhadap perlindungan
lingkungan. Sekaligus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
sumber-sumber pencemar, seperti industri dan domestik.
b Lembaga Swasta
Lembaga swasta yang melakukan pengendalian pencemaran
lingkungan ini bisa pihak yang langsung menjadi sumber pencemar
seperti dunia industri swasta, maupun lembaga profesi swasta lain
seperti pers dan lain sebagainya.
4. Instrumen Pengendalian
Instrumen pengendalian ialah aspek yang berfungsi dalam
hal pengendalian pencemaran lingkungan. Berdasarkan instrumen
pengendalian, maka upaya pengendalian itu, dikelompokkan atas empat
aspek berikut.
a. Aspek legalitas
Aspek legalitas adalah segala bentuk aturan dan kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah, seperti Undang-Undang No. 32
Tahun 2009, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dijabar/diturunkan sampai pada
tingkat Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di tingkat kecamatan
dan kelurahan, serta AMDAL, yang telah diuraikan di atas.
5. Teknik Pengendalian
Berdasarkan teknik pengendalian yang dilakukan terhadap pencemaran
lingkungan, maka upaya pengendalian itu, dapat dikelompokkan secara (1)
fisika, (2) kimia, dan (3) biologi. Ada juga ahli yang mengelompokkan
teknik di atas ke dalam proses pengendalian, atau sifat pengendalian.
Tapi yang penting adalah bagaimana upaya pengendalian pencemaran itu
dilakukan. Tentang nama untuk pengelompokan ini, tidak terlalu penting
selagi dipahami maksudnya.
Secara rinci dijelaskan sebagai berikut.
a. Teknik Fisika
Secara umum teknis pengendalian fisika adalah menerapkan
cara-cara fisis terhadap upaya penanggulangan dan pemulihan
lingkungan yang tercemar. Upaya fisis ini cukup banyak
dikembangkan di dunia industri, terutama dalam hal pengendalian
pencemaran yang disebabkan oleh limbah cair.
Tapi dalam praktisnya, peristiwa pengendalian pada limbah cair,
sekaligus telah merupakan tahapan pengendalian terhadap limbah
padat juga. Karena proses fisis ini telah memisahkan padatan yang
bercampur dengan air limbah dari suatu industri.
Beberapa teknik fisika ini ialah sebagai berikut.
1) Penyaringan/Screening
Pada prinsipnya penyaringan ini dilakukan untuk menyaring
padatan yang ada bersama air limbah. Bentuk dan ukuran
saringan yang digunakan dalam teknik ini bermacam-macam
sesuai kebutuhan yang disesuaikan dengan kuantitas dan
kualitas limbah yang dihasilkan.
2) Sedimentasi
Pengendalian sedimentasi ini mirip dengan penggumpalan
yang dilakukan dalam sebuah kolam pengolahan limbah.
6. Sasaran Pengendalian
Sasaran pengendalian adalah lingkup komponen lingkungan yang
akan dikendalikan agar tidak terjadi pencemaran lingkungan. Sasaran
pengendalian ini berupa (1) udara, (2) tanah, (3) air, (4) makanan dan
lain sebagainya.
Sasaran pengendalian tidak bisa disamakan artinya dengan lokasi
pengendalian. Lokasi pengendalian merujuk pada letak suatu sasaran
yang akan dikendalikan, seperti wilayah administratif, atau letak
berdasarkan koordinat lintang dan bujur. Contohnya pengendalian
pencemaran Sungai Batang Lembang di Kota Solok. Lokasinya adalah
Kota Solok, tapi sasarannya adalah Sungai Batang Lembang.
Secara rinci, proses pengendalian menurut sasaran pada komponen
lingkungan yang tercemar ini, dirinci sebagai berikut.
a. Pengendalian pencemaran udara.
b. Pengendalian pencemaran tanah.
c. Pengendalian pencemaran air.
7. Tempat Pengendalian
Tempat pengendalian didasarkan pada di mana dilakukan upaya
atau cara mengatasi pencemaran yang sedang atau telah terjadi pada
suatu kawasan. Misalnya terjadi pencemaran udara berupa kebisingan
karena aktivitas suatu pabrik penggilingan batu. Pabrik ini berada pada
Kota A.
Berdasarkan tempat pengendalian yang dilakukan, bukan di Kota
A, tapi apakah pada pabrik, atau pada ruang atau jarak antara pabrik
dengan lingkungan masyarakat, ataukah pada masyarakat di pemukiman
itu sendiri sebagai penerima dampak.
Dengan demikian, berdasarkan tempat pengendalian yang
dilakukan bisa dikelompokkan atas tiga berikut ini.
c. Secondary Treatment
Tahapan ini dilakukan kegiatan (1) penambahan oksigen (aerasi)
dan (2) terjadinya pertumbuhan bakteri. Proses aerasi bisa
dilakukan dengan memasukkan udara ke dalam limbah atau bisa
juga dengan perlakuan mengondisikan agar limbah berkontak
dengan udara, dengan cara menaikkan permukaan limbah. Secara
umum, di dunia industri pada kegiatan pengolahan limbahnya, di
tahap ini dilakukan proses biologis.
d. Tertiary Treatment
Pada pengolahan limbah di dunia industri tahapan ini dilanjutkan
sebagai rangkaian pengelolaan limbah setelah fase c secondary
treatment.
Beberapa pengolahan yang dilakukan pada tahapan ini ialah:
1) saringan multimedia,
2) saringan pasir sederhana,
3) vacuum filter,
4) adsorbtion/penyerapan,
5) precoal filter,
6) mikrostaining.
e. Desinfektan
Tahapan ini merupakan tahapan di mana bertujuan untuk
membunuh bakteri. Bakteri yang dibunuh atau dihilangkan ialah
bakteri pathogen yang ada pada limbah.
Klorin adalah salah satu senyawa yang biasa digunakan pada
tahapan ini. Jenis senyawa yang digunakan dan kualitas limbah,
akan menentukan proses desinfektan.
f. Ultimate Disposal
Tahapan ini sebenarnya merupakan tahapan yang menindaklanjuti
lumpur yang dihasilkan di setiap tahapan sebelumnya terhadap
limbah.
Oleh karena itu, beberapa proses yang ada pada tahapan ini terkait
dengan pengolahan lumpur yang dapat berupa:
1) peristiwa pemekatan lumpur,
2) penstabilan lumpur,
3) pengaturan,
4) pengurangan lumpur,
5) pengeringan,
6) pembuangan,
7) pengulangan kembali jika diperlukan.
1. Pengertian Industri
Industri diartikan sebagai suatu usaha atau kegiatan pengolahan
bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi
dalam jumlah dan mutu tertentu dan memiliki nilai tambah untuk
mendapatkan keuntungan. Makna implisit yang perlu kita garis bawahi
adalah bahwa tujuan industri tak lain tak bukan adalah keuntungan.
Dilihat dari definisi di atas, jelas bahwa fungsi ekonomi adalah fungsi
yang dikedepankan.
1. Industri Gula
a. Proses Produksi Gula
Proses yang terjadi pada industri gula terdiri atas dua buah proses
yang berbeda, yaitu (1) proses gula tebu kasar dan (2) pemurnian gula
tebu. Di tanah air, kedua proses tersebut berlangsung di satu tempat pada
satu pabrik gula yang ada.
Pada proses gula tebu kasar, terdapat rangkaian kegiatan berupa
(1) pencucian, (2) pemerasan nira, (3) penjernihan, (4) penyaringan,
(5) penguapan dan (6) kristalisasi. Setiap tahapan ini menghasilkan
limbah. Bahkan sejak pengambilan tebu dan diangkut ke pabrik sudah
menghasilkan limbah.
Pada proses pemurnian gula tebu, tujuannya ialah menghilangkan
kotoran dan lapisan tetes dari kristal gula. Hal ini diawali dengan
proses pemasukan kristal kasar ke dalam larutan sentrifugal untuk
memisahkan larutan. Kemudian dilelehkan dengan pemanasan seterusnya
disaring. Setelah dilakukan penyaringan, selanjutnya dilakukan tindakan
penghilangan warna dengan cara penggunaan karbon aktif, resin penukar
ion atau bahan lain sesuai dengan pabrik gula masing-masing.
Barnet, H.J and Morse, C. 2003. Scarcity and Growth. Baltimore: Jhon
Hopkins University Press.
Danhas, Y. 2014. Manusia dan Perubahan Lingkungan. Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan. Bogor: Pancaran Pelita
Ilmu.
Dewata, Indang. 2016. Spirit For Green: Buah Pikir Lingkungan. Indang
Dewata. Padang: Freeline Book.
Dewata, Indang & Tarmizi. 2015. Kimia Lingkungan: Polusi Air, Udara, dan
Tanah. Padang: Penerbit UNP Press Padang.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang – Dekimpraswil. 2002. Review
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Kebijakan Nasional Untuk
Pengembangan Kawasan Budidaya. Bahan Sosialisasi RTRWN dalam
rangka Roadshow dengan Departemen Pertanian, Jakarta, 17
Oktober 2002.
Drucker, P. 2005. Strategic Management for Manager. Washington DC: APA.
Duhaime’s Law Dictionary. 2017. Oxford: Oxford University Press.
Easterling, W.E., P.R. Crosson, N.J Rosenberg, M.S. McKenney, L.A.
Katz, and K.M. Lemon. 1993. Agricultural impacts of and responses to
climate change in the Missouri-Iowa-Nebraska region. Climatic Change,
24 (1–2): 23–62.
Endraswara, Suwardi. 2012. Filsafat Ilmu; Konsep, Sejarah dan Pengembangan
Metode Ilmiah. Yogyakarta: CAPS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam
strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup
serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan.
Lampiran 163
4. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang
memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan
dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan
kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup.
6. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk
memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup.
7. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan
keseimbangan antarkeduanya.
8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk
atau dimasukkan ke dalamnya.
9. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri
atas sumber daya hayati dan non hayati yang secara keseluruhan
membentuk kesatuan ekosistem.
10. Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS,
adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif
untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah
dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut
Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan
lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah
pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang
tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber
daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
Lampiran 165
konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu
ke media lingkungan hidup tertentu.
25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak
atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah
berdampak pada lingkungan hidup.
26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada
lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau
kegiatan.
27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi
dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya
berkaitan dengan lingkungan hidup.
28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim,
tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan
alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan
hidup.
30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola
lingkungan hidup secara lestari.
31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara
turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya
ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan
lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
33. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan
ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau
setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas terhadap
lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat.
35. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL
dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai
prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
36. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi
teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan
berdasarkan asas:
a. tanggung jawab negara;
b. kelestarian dan keberlanjutan;
c. keserasian dan keseimbangan;
d. keterpaduan;
e. manfaat;
f. kehati-hatian;
g. keadilan;
h. ekoregion;
i. keanekaragaman hayati;
j. pencemar membayar;
k. partisipatif;
l. kearifan lokal;
m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n. otonomi daerah.
Lampiran 167
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian
ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan
hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi
masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup
sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. mengantisipasi isu lingkungan global.
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 4
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:
a. perencanaan;
b. pemanfaatan;
c. pengendalian;
d. pemeliharaan;
e. pengawasan; dan
f. penegakan hukum.
Bagian Kesatu
Inventarisasi Lingkungan Hidup
Pasal 6
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 huruf a terdiri atas inventarisasi lingkungan hidup:
a. tingkat nasional;
b. tingkat pulau/kepulauan; dan
c. tingkat wilayah ekoregion.
(2) Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh
data dan informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi:
a. potensi dan ketersediaan;
b. jenis yang dimanfaatkan;
c. bentuk penguasaan;
d. pengetahuan pengelolaan;
e. bentuk kerusakan; dan
f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
Bagian Kedua
Penetapan Wilayah Ekoregion
Pasal 7
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf a dan huruf b menjadi dasar dalam penetapan wilayah
ekoregion dan dilaksanakan oleh Menteri setelah berkoordinasi
dengan instansi terkait.
Lampiran 169
(2) Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan:
a. karakteristik bentang alam;
b. daerah aliran sungai;
c. iklim;
d. flora dan fauna;
e. sosial budaya;
f. ekonomi;
g. kelembagaan masyarakat; dan
h. hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Pasal 8
Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah ekoregion
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dilakukan untuk
menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber
daya alam.
Bagian Ketiga
Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Pasal 9
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas:
a. RPPLH nasional;
b. RPPLH provinsi; dan
c. RPPLH kabupaten/kota.
(2) RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
disusun berdasarkan inventarisasi nasional.
(3) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
disusun berdasarkan:
a. RPPLH nasional;
b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi tingkat ekoregion.
(4) RPPLH kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c disusun berdasarkan:
Pasal 10
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disusun oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan:
a. keragaman karakter dan fungsi ekologis;
b. sebaran penduduk;
c. sebaran potensi sumber daya alam;
d. kearifan lokal;
e. aspirasi masyarakat; dan
f. perubahan iklim.
(3) RPPLH diatur dengan:
a. peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional;
b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH provinsi; dan
c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH kabupaten/
kota.
(4) RPPLH memuat rencana tentang:
a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi
lingkungan hidup;
c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan
pelestarian sumber daya alam; dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
(5) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana
pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka
menengah.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Lampiran 171
BAB IV
PEMANFAATAN
Pasal 12
(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH.
(2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan
memperhatikan:
a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan
c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
(3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh:
a. menteri untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup nasional dan pulau/kepulauan;
b. gubernur untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup provinsi dan ekoregion lintas kabupaten/kota; atau
c. bupati/walikota untuk daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah
kabupaten/kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.
BAB V
PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Bagian Kedua
Pencegahan
Pasal 14
Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup terdiri atas:
a. KLHS;
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. amdal;
f. UKL-UPL;
g. perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup; dan
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan
ilmu pengetahuan.
Lampiran 173
Paragraf 1
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pasal 15
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah
dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau
evaluasi:
a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya,
rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana
pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi,
dan kabupaten/kota; dan
b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi
menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.
(3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme:
a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program
terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah;
b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/
atau program; dan
c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan
kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan
prinsip pembangunan berkelanjutan.
Pasal 16
KLHS memuat kajian antara lain:
a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk
pembangunan;
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan
iklim; dan
f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Pasal 18
(1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dilaksanakan
dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Tata Ruang
Pasal 19
(1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah
wajib didasarkan pada KLHS.
(2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup.
Paragraf 3
Baku Mutu Lingkungan Hidup
Pasal 20
(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui
baku mutu lingkungan hidup.
Lampiran 175
(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
a. baku mutu air;
b. baku mutu air limbah;
c. baku mutu air laut;
d. baku mutu udara ambien;
e. baku mutu emisi;
f. baku mutu gangguan; dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media
lingkungan hidup dengan persyaratan:
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d,
dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf
f diatur dalam peraturan menteri.
Paragraf 4
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
Pasal 21
(1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup,
ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
(2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku
kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan
iklim.
(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:
a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan
dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;
Paragraf 5
Amdal
Pasal 22
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
(2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana
usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena
dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Lampiran 177
Pasal 23
(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang
wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas:
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun
yang tidak terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta
pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam
pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi
lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial
dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi
pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau
perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi
pertahanan negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi
besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan
yang wajib dilengkapi dengan amdal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 24
Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan
dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup.
Pasal 25
Dokumen amdal memuat:
a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;
c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan;
Pasal 26
(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun
oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.
(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip
pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta
diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses
amdal.
(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan
keberatan terhadap dokumen amdal.
Pasal 27
Dalam menyusun dokumen amdal, pemrakarsa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan kepada
pihak lain.
Pasal 28
(1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal.
(2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun amdal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penguasaan metodologi penyusunan amdal;
b. kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi
dampak serta pengambilan keputusan; dan
Lampiran 179
c. kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup.
(3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi penyusun
amdal yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi
penyusun amdal diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 29
(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk
oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Persyaratan dan tata cara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 30
(1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 terdiri atas wakil dari unsur:
a. instansi lingkungan hidup;
b. instansi teknis terkait;
c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha
dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang
timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan
f. organisasi lingkungan hidup.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh
tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan
kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu.
(3) Pakar independen dan sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat
(3)ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 32
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah membantu penyusunan amdal
bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah yang
berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
(2) Bantuan penyusunan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa fasilitas, biaya, dan/atau penyusunan amdal.
(3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi
lemah diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 6
UKL-UPL
Pasal 34
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria
wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib
memiliki UKL-UPL.
(2) Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha dan/atau
kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL.
Pasal 35
(1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat
surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup.
(2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria:
Lampiran 181
a. tidak termasuk dalam ketegori berdampak penting sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1); dan
b. kegiatan usaha mikro dan kecil.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan
kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur
dengan peraturan Menteri.
Paragraf 7
Perizinan
Pasal 36
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau
UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan
lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/
walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 37
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin
tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4)
dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung
cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran
dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum
dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup
atau rekomendasi UKL-UPL; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-
UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/
atau kegiatan.
Pasal 39
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan ke
wenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan dan
keputusan izin lingkungan.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara yang mudah diketahui oleh masyarakat.
Pasal 40
(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin
usaha dan/atau kegiatan.
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan
dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan,
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui
izin lingkungan.
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 8
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
Pasal 42
(1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah
dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan
instrumen ekonomi lingkungan hidup.
(2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
b. pendanaan lingkungan hidup; dan
c. insentif dan/atau disinsentif.
Lampiran 183
Pasal 43
(1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi:
a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;
b. penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik
regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam
dan kerusakan lingkungan hidup;
c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup
antardaerah; dan
d. internalisasi biaya lingkungan hidup.
(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi:
a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;
b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan
pemulihan lingkungan hidup; dan
c. dana amanah/bantuan untuk konservasi.
(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (2) huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk:
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup;
b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup;
c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal
yang ramah lingkungan hidup;
d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah
dan/atau emisi;
e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup;
f. pengembangan asuransi lingkungan hidup;
g. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; dan
h. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1)
sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat
nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi
lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Paragraf 10
Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 45
(1) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
serta pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai:
a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan
b. program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.
(2) Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus
lingkungan hidup yang memadai untuk diberikan kepada daerah
yang memiliki kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang baik.
Pasal 46
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam
rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah
mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat undang-undang
ini ditetapkan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan
anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup.
Paragraf 11
Analisis Risiko Lingkungan Hidup
Pasal 47
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap
ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan
manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup.
Lampiran 185
(2) Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. pengkajian risiko;
b. pengelolaan risiko; dan/atau
c. komunikasi risiko.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan hidup
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 12
Audit Lingkungan Hidup
Pasal 48
Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan
kinerja lingkungan hidup.
Pasal 49
(1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada:
a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap
lingkungan hidup; dan/atau
b. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menunjukkan
ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaksanakan
audit lingkungan hidup.
(3) Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu
yang berisiko tinggi dilakukan secara berkala.
Pasal 50
(1) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau menugasi pihak ketiga
yang independen untuk melaksanakan audit lingkungan hidup
atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan.
(2) Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai audit lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Ketiga
Penanggulangan
Pasal 53
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
(2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;
Lampiran 187
b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup; dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemulihan
Pasal 54
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan
hidup.
(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur
pencemar;
b. remediasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 55
(1) Pemegang izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan
fungsi lingkungan hidup.
(2) Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk
oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai
dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PEMELIHARAAN
Pasal 57
(1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya:
a. konservasi sumber daya alam;
b. pencadangan sumber daya alam; dan/atau
c. pelestarian fungsi atmosfer.
(2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi kegiatan:
a. perlindungan sumber daya alam;
b. pengawetan sumber daya alam; dan
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
(3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola
dalam jangka waktu tertentu.
(4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi:
a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim;
b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan
c. upaya perlindungan terhadap hujan asam.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan
sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Lampiran 189
BAB VII
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
Bagian Kesatu
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 58
(1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,
menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau
menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 59
(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan
pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
(2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah
kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan
limbah B3.
(3) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan
limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
(4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan
persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban
yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin.
(6) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 60
Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan
ke media lingkungan hidup tanpa izin.
Pasal 61
(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat
dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping
limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
SISTEM INFORMASI
Pasal 62
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem
informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan
pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
(2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan
terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.
(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi
mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup,
dan informasi lingkungan hidup lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup
diatur dengan peraturan Menteri.
Lampiran 191
BAB IX
TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN
PEMERINTAH DAERAH
Pasal 63
(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah
bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan nasional;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
nasional;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;
e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan
UKL–UPL;
f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan
emisi gas rumah kaca;
g. mengembangkan standar kerja sama;
h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya
alam hayati dan non hayati, keanekaragaman hayati, sumber daya
genetik, dan keamanan hayati produk rekayasa genetik;
j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian
dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon;
k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah,
serta limbah B3;
l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan
lingkungan laut;
m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;
n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala
daerah;
o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan;
Lampiran 193
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan
lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
j. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian
perselisihan antarkabupaten/antarkota serta penyelesaian
sengketa;
l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada
kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan;
m. melaksanakan standar pelayanan minimal;
n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat
hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi;
p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi
ramah lingkungan hidup;
q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan;
r. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan
s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat
provinsi.
(3) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah
kabupaten/kota bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan
UKL–UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi
gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
Pasal 64
Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri.
BAB X
HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 65
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
sebagai bagian dari hak asasi manusia.
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup,
akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam
memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat
menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
Lampiran 195
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 66
Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat
secara perdata.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 67
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan
hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.
Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan
tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 69
(1) Setiap orang dilarang:
BAB XI
PERAN MASYARAKAT
Pasal 70
(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-
luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
(2) Peran masyarakat dapat berupa:
a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/
atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.
Lampiran 197
(3) Peran masyarakat dilakukan untuk:
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan
kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat;
d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam
rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
BAB XII
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Pengawasan
Pasal 71
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan
kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/
instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/
walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang
merupakan pejabat fungsional.
Pasal 72
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap izin lingkungan.
Pasal 74
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (3) berwenang:
a. melakukan pemantauan;
b. meminta keterangan;
c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan
yang diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa peralatan;
i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau
j. menghentikan pelanggaran tertentu.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup
dapat melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai
negeri sipil.
(3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi
pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat
pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Lampiran 199
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 76
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi
administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin
lingkungan.
(2) Sanksi administratif terdiri atas:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Pasal 77
Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah
daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap
pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Pasal 78
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari
tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Pasal 79
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan
izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf
c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
Pasal 80
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat
(2) huruf b berupa:
Pasal 81
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap
keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.
Pasal 82
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang dilakukannya.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat
menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan
hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/
atau kegiatan.
Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Lampiran 201
BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 84
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan.
(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara
suka rela oleh para pihak yang bersengketa.
(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Pasal 85
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:
a. bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;
c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya
pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap
tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
(3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.
Pasal 86
(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian
sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan
Paragraf 1
Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
Pasal 87
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat
dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang
melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/
atau kewajiban badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap
setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/
atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.
Lampiran 203
Paragraf 3
Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Pasal 89
(1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan ke pengadilan
mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dihitung sejak diketahui
adanya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
(2) Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa tidak berlaku terhadap
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan
oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan dan/atau
mengelola B3 serta menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3.
Paragraf 4
Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 90
(1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung
jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan
ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan
yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
peraturan Menteri.
Paragraf 5
Hak Gugat Masyarakat
Pasal 91
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok
untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan
masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/
atau kerusakan lingkungan hidup.
(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau
peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil
kelompok dan anggota kelompoknya.
(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 92
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup
berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan
tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya
atau pengeluaran riil.
(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila
memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum;
b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi
tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan hidup; dan
c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran
dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
Paragraf 7
Gugatan Administratif
Pasal 93
(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata
usaha negara apabila:
a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin
lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal
tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal;
b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin
lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak
dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau
c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin
usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin
lingkungan.
(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara
mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Lampiran 205
BAB XIV
PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN
Bagian Kesatu
Penyidikan
Pasal 94
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat
pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
(2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan
dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen
lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat
bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
h. menghentikan penyidikan;
i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat
rekaman audio visual;
Pasal 95
(1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana
lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu
antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di
bawah koordinasi Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan hukum
terpadu diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pembuktian
Pasal 96
Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan
hidup terdiri atas:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa; dan/atau
Lampiran 207
f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 97
Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.
Pasal 98
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu
air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah).
Pasal 99
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya
baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 100
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku
mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak
dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Pasal 101
Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk
rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 102
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Lampiran 209
Pasal 103
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan
pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 104
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke
media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 105
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Pasal 106
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 107
Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan
perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah).
Pasal 109
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa
memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 110
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat
kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1) huruf i dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 111
(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan
tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin
usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 112
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/
atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang
mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
Lampiran 211
yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 113
Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan
keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan
pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 114
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 115
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi,
atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan
hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 116
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk,
atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana
dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja
atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja
badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah
atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan
tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Pasal 118
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116
ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang
diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar
pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku
fungsional.
Pasal 119
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini,
terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan
tata tertib berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga)
tahun.
Pasal 120
(1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi
dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi.
(2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk mengelola badan
usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan
untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap.
Lampiran 213
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 121
(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama
2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki
izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal
wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup.
(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama
2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki
izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib
membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 122
(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama
1 (satu) tahun, setiap penyusun amdal wajib memiliki sertifikat
kompetensi penyusun amdal.
(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama
1 (satu) tahun, setiap auditor lingkungan hidup wajib memiliki
sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup.
Pasal 123
Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah
dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling
lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 124
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang- undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699)
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 126
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang
ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diberlakukan.
Pasal 127
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2009
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA, ANDI MATTALATTA
Lampiran 215
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP
I. UMUM
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan
hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia.
Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku
kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi
sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk
hidup lain.
2. Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang
antara dua benua dan dua samudra dengan iklim tropis dan cuaca
serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya.
Di samping itu, Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang
kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia
mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya
alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola
dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat,
dan udara berdasarkan wawasan Nusantara. Indonesia juga berada
pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya
ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta
penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-
pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati. Ketersediaan
sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata,
sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam
yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung
risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini
Lampiran 217
lain. Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun
beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik. Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah
bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah Indonesia. Menyadari
potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari
pembangunan, terus dikembangkan upaya pengendalian dampak
secara dini. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) adalah
salah satu perangkat preemtif pengelolaan lingkungan hidup yang
terus diperkuat melalui peningkatan akuntabilitas dalam pelaksanaan
penyusunan amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai amdal
dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal, serta
dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang amdal.
Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh
izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh izin usaha.
5. Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan
hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal
kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya
represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan
konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang
sudah terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan
satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum
sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya
alam serta kegiatan pembangunan lain. Undang-Undang ini juga
mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi,
hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata
meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di
dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat
organisasi lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara
tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan
meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang
betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.
6. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan
ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan
alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan
penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi.
Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas
ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum
pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum
administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum
Lampiran 219
9. Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada
Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan
di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta
melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang
ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada
pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban
kerja berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu
organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan
kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio
menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan
juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi
sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin
terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan
dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara
yang memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan
belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas tanggung jawab negara” adalah:
a. negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun
generasi masa depan.
b. negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat.
c. negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber
daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas keserasian dan keseimbangan” adalah
bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan
berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan
perlindungan serta pelestarian ekosistem.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan
dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai
komponen terkait.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa segala usaha
dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan
dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras
dengan lingkungannya.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa
ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan
karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah
meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah,
lintas generasi, maupun lintas gender.
Lampiran 221
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem,
kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan
lokal.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas keanekaragaman hayati” adalah
bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
harus memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan
keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam
hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan sumber daya
alam hewani yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya
secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa
setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap
anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah bahwa
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat.
Huruf m
Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang
baik” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas,
efisiensi, dan keadilan.
Pasal 3
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kearifan lokal dalam ayat ini termasuk hak ulayat yang
diakui oleh DPRD.
Lampiran 223
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang dimaksud dalam ketentuan ini, antara lain
pengendalian:
a. pencemaran air, udara, dan laut; dan
b. kerusakan ekosistem dan kerusakan akibat perubahan iklim.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “wilayah” adalah ruang yang merupakan
kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas
dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan/
atau aspek fungsional.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dampak dan/atau risiko lingkungan hidup yang dimaksud
meliputi:
a. perubahan iklim;
b. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan
keanekaragaman hayati;
c. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana
banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan
dan lahan;
d. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam;
e. peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;
f. peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya
keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat;
dan/atau
g. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan
manusia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Lampiran 225
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pelibatan masyarakat dilakukan melalui dialog, diskusi, dan
konsultasi publik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “baku mutu air” adalah ukuran
batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen
yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya di dalam air.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “baku mutu air limbah” adalah
ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk
dimasukkan ke media air.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “baku mutu air laut” adalah
ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,
atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “baku mutu udara ambien” adalah
ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen
Huruf e
Yang dimaksud dengan “baku mutu emisi” adalah
ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk
dimasukkan ke media udara.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “baku mutu gangguan” adalah ukuran
batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang
meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “produksi biomassa” adalah bentuk-
bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan
biomassa.
Yang dimaksud dengan “kriteria baku kerusakan tanah
untuk produksi biomassa” adalah ukuran batas perubahan
sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitan dengan
kegiatan produksi biomassa.
Lampiran 227
Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa
mencakup lahan pertanian atau lahan budi daya dan hutan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kriteria baku kerusakan terumbu
karang” adalah ukuran batas perubahan fisik dan/atau
hayati terumbu karang yang dapat ditenggang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kerusakan lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan” adalah
pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa
kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang
diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Jasad renik dalam huruf ini termasuk produk rekayasa
genetik.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Huruf a
Cukup jelas.
Lampiran 229
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
dimaksudkan untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi,
dan/atau mengompensasikan dampak suatu usaha dan/atau
kegiatan.
Pasal 26
Ayat (1)
Pelibatan masyarakat dilaksanakan dalam proses pengumuman
dan konsultasi publik dalam rangka menjaring saran dan
tanggapan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain lembaga penyusun
amdal atau konsultan.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rekomendasi UKL-UPL dinilai oleh tim teknis instansi
lingkungan hidup.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Lampiran 231
Pasal 39
Ayat (1)
Pengumuman dalam Pasal ini merupakan pelaksanaan atas
keterbukaan informasi. Pengumuman tersebut memungkinkan
peran serta masyarakat, khususnya yang belum menggunakan
kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar pendapat, dan
lain-lain dalam proses pengambilan keputusan izin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan izin usaha dan/atau kegiatan dalam
ayat ini termasuk izin yang disebut dengan nama lain seperti
izin operasi dan izin konstruksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Perubahan yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain, karena
kepemilikan beralih, perubahan teknologi, penambahan atau
pengurangan kapasitas produksi, dan/atau lokasi usaha dan/
atau kegiatan yang berpindah tempat.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “instrumen ekonomi dalam
perencanaan pembangunan” adalah upaya internalisasi
aspek lingkungan hidup ke dalam perencanaan dan
penyelenggaraan pembangunan dan kegiatan ekonomi.
Huruf c
Insentif merupakan upaya memberikan dorongan atau
daya tarik secara moneter dan/atau nonmoneter kepada
setiap orang ataupun Pemerintah dan pemerintah
daerah agar melakukan kegiatan yang berdampak positif
pada cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi
lingkungan hidup.
Disinsentif merupakan pengenaan beban atau ancaman
secara moneter dan/atau nonmoneter kepada setiap
orang ataupun Pemerintah dan pemerintah daerah
agar mengurangi kegiatan yang berdampak negatif
pada cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi
lingkungan hidup.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “neraca sumber daya alam” adalah
gambaran mengenai cadangan sumber daya alam dan
perubahannya, baik dalam satuan fisik maupun dalam
nilai moneter.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “produk domestik bruto” adalah
nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu
negara pada periode tertentu.
Yang dimaksud dengan “produk domestik regional bruto”
adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh
suatu daerah pada periode tertentu.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “mekanisme kompensasi/imbal
jasa lingkungan hidup antardaerah” adalah cara-cara
Lampiran 233
kompensasi/imbal yang dilakukan oleh orang, masyarakat,
dan/atau pemerintah daerah sebagai pemanfaat jasa
lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “internalisasi biaya lingkungan
hidup” adalah memasukkan biaya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan biaya
produksi atau biaya suatu usaha dan/atau kegiatan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana jaminan pemulihan
lingkungan hidup” adalah dana yang disiapkan oleh
suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas
lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana penanggulangan” adalah
dana yang digunakan untuk menanggulangi pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang timbul akibat
suatu usaha dan/atau kegiatan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dana amanah/bantuan” adalah
dana yang berasal dari sumber hibah dan donasi untuk
kepentingan konservasi lingkungan hidup.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengadaan barang dan jasa
ramah lingkungan hidup” adalah pengadaan yang
memprioritaskan barang dan jasa yang berlabel ramah
lingkungan hidup.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pajak lingkungan hidup” adalah
pungutan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
terhadap setiap orang yang memanfaatkan sumber daya
alam, seperti pajak pengambilan air bawah tanah, pajak
bahan bakar minyak, dan pajak sarang burung walet.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sistem lembaga keuangan ramah
lingkungan hidup” adalah sistem lembaga keuangan yang
menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dalam kebijakan pembiayaan dan
praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan nonbank.
Yang dimaksud dengan “pasar modal ramah lingkungan
hidup” adalah pasar modal yang menerapkan persyaratan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bagi
perusahaan yang masuk pasar modal atau perusahaan
terbuka, seperti penerapan persyaratan audit lingkungan
hidup bagi perusahaan yang akan menjual saham di pasar
modal.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “perdagangan izin pembuangan
limbah dan/atau emisi” adalah jual beli kuota limbah
dan/atau emisi yang diizinkan untuk dibuang ke media
lingkungan hidup antarpenanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pembayaran jasa lingkungan
hidup” adalah pembayaran/imbal yang diberikan oleh
pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa
lingkungan hidup.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asuransi lingkungan hidup”
adalah asuransi yang memberikan perlindungan pada saat
terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Lampiran 235
Huruf g
Yang dimaksud dengan “sistem label ramah lingkungan
hidup” adalah pemberian tanda atau label kepada produk-
produk yang ramah lingkungan hidup.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kriteria kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup meliputi, antara lain, kinerja mempertahankan kawasan
konservasi dan penurunan tingkat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “analisis risiko lingkungan” adalah
prosedur yang antara lain digunakan untuk mengkaji pelepasan
dan peredaran produk rekayasa genetik dan pembersihan (clean
up) limbah B3.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam ketentuan ini “pengkajian risiko” meliputi seluruh
proses mulai dari identifikasi bahaya, penaksiran besarnya
konsekuensi atau akibat, dan penaksiran kemungkinan
Huruf b
Dalam ketentuan ini “pengelolaan risiko” meliputi evaluasi
risiko atau seleksi risiko yang memerlukan pengelolaan,
identifikasi pilihan pengelolaan risiko, pemilihan tindakan
untuk pengelolaan, dan pengimplementasian tindakan
yang dipilih.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “komunikasi risiko” adalah proses
interaktif dari pertukaran informasi dan pendapat di antara
individu, kelompok, dan institusi yang berkenaan dengan
risiko.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “usaha dan/atau kegiatan tertentu
yang berisiko tinggi” adalah usaha dan/atau kegiatan
yang jika terjadi kecelakaan dan/atau keadaan darurat
menimbulkan dampak yang besar dan luas terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan hidup seperti
petrokimia, kilang minyak dan gas bumi, serta pembangkit
listrik tenaga nuklir.
Dokumen audit lingkungan hidup memuat:
a. informasi yang meliputi tujuan dan proses pelaksanaan
audit;
b. temuan audit;
c. kesimpulan audit; dan
d. data dan informasi pendukung.
Lampiran 237
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “remediasi” adalah upaya
pemulihan pencemaran lingkungan hidup untuk
memperbaiki mutu lingkungan hidup.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah upaya
pemulihan untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan manfaat
lingkungan hidup termasuk upaya pencegahan kerusakan
lahan, memberikan perlindungan, dan memperbaiki
ekosistem.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemeliharaan lingkungan hidup”
adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau
kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan
manusia.
Huruf a
Konservasi sumber daya alam meliputi, antara lain,
konservasi sumber daya air, ekosistem hutan, ekosistem
pesisir dan laut, energi, ekosistem lahan gambut, dan
ekosistem karst.
Huruf b
Pencadangan sumber daya alam meliputi sumber daya
alam yang dapat dikelola dalam jangka panjang dan waktu
tertentu sesuai dengan kebutuhan.
Untuk melaksanakan pencadangan sumber daya alam,
Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah
kabupaten/kota dan perseorangan dapat membangun:
a. taman keanekaragaman hayati di luar kawasan hutan;
b. ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit 30% dari
luasan pulau/kepulauan; dan/atau
Lampiran 239
c. menanam dan memelihara pohon di luar kawasan
hutan, khususnya tanaman langka.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengawetan sumber daya alam”
adalah upaya untuk menjaga keutuhan dan keaslian
sumber daya alam beserta ekosistemnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “mitigasi perubahan iklim”
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya
menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca sebagai bentuk
upaya penanggulangan dampak perubahan iklim.
Yang dimaksud dengan “adaptasi perubahan iklim” adalah
upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim,
termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrem
sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim
berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan
iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul
akibat perubahan iklim dapat diatasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan B3 merupakan upaya
untuk mengurangi terjadinya kemungkinan risiko terhadap
lingkungan hidup yang berupa terjadinya pencemaran dan/
atau kerusakan lingkungan hidup, mengingat B3 mempunyai
potensi yang cukup besar untuk menimbulkan dampak negatif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang
mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan,
pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk
penimbunan limbah B3.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pihak lain adalah badan usaha yang
melakukan pengelolaan limbah B3 dan telah mendapatkan
izin.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Lampiran 241
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Sistem informasi lingkungan hidup memuat, antara lain,
keragaman karakter ekologis, sebaran penduduk, sebaran
potensi sumber daya alam, dan kearifan lokal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu
konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan
lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan.
Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai
dan efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan
hidup, di samping akan membuka peluang bagi masyarakat
untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 66
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau
pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup.
Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan
pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan
perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Lampiran 243
Huruf b
B3 yang dilarang dalam ketentuan ini, antara lain, DDT,
PCBs, dan dieldrin.
Huruf c
Larangan dalam ketentuan ini dikecualikan bagi yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Yang dilarang dalam huruf ini termasuk impor.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal
2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis
varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah
penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Huruf b
Pemberian saran dan pendapat dalam ketentuan ini
termasuk dalam penyusunan KLHS dan amdal.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Yang dimaksud dengan “pelanggaran yang serius” adalah tindakan
melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan
keresahan masyarakat.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Lampiran 245
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “ancaman yang sangat serius” adalah suatu
keadaan yang berpotensi sangat membahayakan keselamatan
dan kesehatan banyak orang sehingga penanganannya tidak
dapat ditunda.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup Jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak
keperdataan para pihak yang bersengketa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa
lingkungan hidup untuk menjamin kepastian hukum.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang ada
dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar
membayar. Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar
dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh
hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya
perintah untuk:
a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah
sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan
hidup yang ditentukan;
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau
c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan
pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan
tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 88
Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict
liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini
merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar
hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat
dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup
menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Lampiran 247
Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika
menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan
keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kerugian lingkungan hidup” adalah
kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat.
Tindakan tertentu merupakan tindakan pencegahan dan
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta
pemulihan fungsi lingkungan hidup guna menjamin tidak akan
terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan
hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemberitahuan dalam Pasal ini bukan merupakan pemberitahuan
dimulainya penyidikan, melainkan untuk mempertegas wujud
koordinasi antara pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan
penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi, informasi
yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu;
dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat
Lampiran 249
dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan
dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang
terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara
atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna
atau yang dapat dipahami atau dibaca.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Yang dimaksud dengan “melepaskan produk rekayasa genetik”
adalah pernyataan diakuinya suatu hasil pemuliaan produk
rekayasa genetik menjadi varietas unggul dan dapat disebarluaskan
setelah memenuhi persyaratan berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Yang dimaksud dengan “mengedarkan produk rekayasa genetik”
adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
penyaluran komoditas produk rekayasa genetik kepada masyarakat,
baik untuk diperdagangkan maupun tidak.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Informasi palsu yang dimaksud dalam Pasal ini dapat berbentuk
dokumen atau keterangan lisan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta
yang senyatanya atau informasi yang tidak benar.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Lampiran 251
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Yang dimaksud dengan pelaku fungsional dalam Pasal ini adalah
badan usaha dan badan hukum.
Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan
badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum
adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana dikenakan dan
sanksi dijatuhkan kepada mereka yang memiliki kewenangan
terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik tersebut.
Yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal ini
termasuk menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup melakukan
pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki
kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Izin dalam ketentuan ini, misalnya, izin pengelolaan limbah B3, izin
pembuangan air limbah ke laut, dan izin pembuangan air limbah
ke sumber air.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Lampiran 253
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BIODATA PENULIS
Indang Dewata
Di samping sebagai akademisi juga
sekaligus praktisi di bidang lingkungan
serta seorang birokrat. Penulis telah dua
kali ditempatkan sebagai Kepala Dinas
di Lingkungan Hidup dan Kepala Dinas
Pendidikan di Kota Padang. Kondisi
ini semakin memperluas wawasannya
menyikapi persoalan di ranah lingkungan
hidup terutama pencemaran. Saat sekarang, Doktor Ilmu Lingkungan
alumni Universitas Indonesia ini masih tekun untuk menyelesaikan Buku
Toksikologi Lingkungan, yang Insya Allah akan rampung. Aktivitas sehari
hari saat ini, di samping mengajar S1, S2 dan S3 dan menjabat sebagai
Ketua Pusat Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup Universitas
Negeri Padang, serta dipercayai sebagai Ketua oleh Pusat Studi
Lingkungan Hidup Perguruan Tinggi Se-Indonesia (BKPSL Indonesia).
Penulis juga aktif di Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Sumatera Barat
membidangi Pembangunan dan Lingkungan Hidup di samping sebagai
Peneliti di BKKBN Sumbar dan BKKBN Pusat. Kegiatan lainnya adalah
TIM Teknis AMDAL serta Tim KLHS serta Tim Panitia Seleksi (Pansel)
pejabat daerah di Kabupaten/Kota di Sumbar. Tercatat sebagai anggota
IESA (Indonesian Environmental Scientist Association) dan beberapa buku
lainya yaitu Kimia Lingkungan, Spirit go Grreen, Permodelan Sistem Dinamis.