Anda di halaman 1dari 7

PPHP dan Pemeriksa Barang

Agustus 25, 2018 Samsul Ramli

(Serial #8 Perpres 16/2018)

    Perpres 16/2018 tentang pengadaan barang/jasa merubah istilah PPHP dari


Panitia/Pejabat “Penerima” Hasil Pekerjaan menjadi Panitia/Pejabat “Pemeriksa”
Hasil Pekerjaan.

    Seketika nomenklatur Pemeriksa ini mengingatkan pada peran Pemeriksa Barang


pada pengadaan barang. Apakah Pemeriksa Hasil Pekerjaan adalah entitas yang sama
dengan Pemeriksa Barang?

    Untuk mengurai itu perlu juga dicari kesejarahan berdasarkan runtutan aturan yang
melatarbelakangi. Dalam merunut aturan maka terdapat 2 mazhab besar yaitu mazhab
APBD dan APBN.

    Istilah pemeriksa barang identik dengan jenis pengadaan barang. Jika ditelusuri
istilah pemeriksa barang ini selain juga ada dalam ranah pengadaan barang/jasa juga
ada dalam ranah pencairan pembayaran.

    Dalam ranah pengadaan barang/jasa istilah pemeriksa barang sedikit tersentil dalam
Keppres 80/2003 disebutkan dalam tata cara serah terima barang:

1. Pada saat penyerahan barang harus dilakukan penelitian atas spesifikasi, mutu,
kelengkapan, dan kondisi nyata (actual condition) dicocokkan dengan yang
tertuang dalam surat pesanan/purchase order dan/atau dokumen yang menyertai
penyerahan barang;
2. Hasil penelitian dituangkan dalam berita acara serah terima yang ditandatangani
oleh penyedia barang dan Pejabat Pembuat Komitmen;
3. Berita acara serah terima merupakan dokumen yang harus dilampirkan dalam
surat permintaan pembayaran, kecuali dalam hal cara pembayaran menggunakan
letter of credit (LC);
4. Pejabat Pembuat Komitmen dapat menunjuk wakil untuk memeriksa barang
yang akan diserahkan sebagai petugas penerima/pemeriksa
dan menandatangani berita acara;
5. Apabila hasil pemeriksaan barang tidak sesuai dengan jenis dan mutu barang
yang ditetapkan dalam kontrak/PO, Pejabat Pembuat Komitmen berhak menolak
barang tersebut dan penyedia barang harus mengganti barang yang tidak sesuai
tersebut dengan biaya sepenuhnya ditanggung penyedia barang.

Dari sisi kata tidak sama persis disebut pemeriksa barang namun disebutkan bahwa
Pejabat Pembuat Komitmen dapat menunjuk wakil untuk memeriksa barang yang
akan diserahkan sebagai petugas penerima/pemeriksa
dan menandatangani berita acara. Sehingga dapat dipahami umum bahwa wakil yang
ditunjuk oleh PPK untuk memeriksa barang adalah pemeriksa barang. Wakil ini atas
nama PPK menandatangani Berita Acara Pemeriksaan Barang.
Era Perpres 54/2010 klausula petugas penerima/pemeriksa kemudian melebur
dalam pembahasan tentang Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) pasal 18 ayat 5
dan 6:

(5)     Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat


(4) mempunyai tugas pokok dan kewenangan untuk:

1. melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa sesuai


dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak;
2. menerima hasil Pengadaan Barang/Jasa setelah melalui pemeriksaan/
pengujian; dan
3. membuat dan menandatangani Berita Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan.

(6)     Dalam hal pemeriksaan Barang/Jasa memerlukan keahlian teknis khusus, dapat
dibentuk tim/tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan tugas Panitia/Pejabat Penerima
Hasil Pekerjaan.

Kecanggungan Perpres 54/2010 dalam mengatur dan mendefinisikan ruang lingkup,


tanggungjawab PPHP menjalar pada pembahasan siapa pemeriksa barang sebenarnya.
Jika di Keppres 80/2003 sangat tegas bahwa pemeriksa barang adalah petugasnya PPK
dan sifatnya tidak wajib. Perpres 54/2010 menyebutkan PPHP adalah petugasnya
PA/KPA kemudian tidak disebutkan tentang wajib atau bersifat pilihan.

Perpres 16/2018 dalam tata cara Serah Terima Hasil Pekerjaan pada Perpres
16/2018 Bagian Ke Delapan pasal 57 dan 58 dirunut sebagai berikut:

Pasal 57

1. Setelah pekerjaan selesai 100% (seratus persen) sesuai dengan ketentuan yang
termuat dalam Kontrak, Penyedia mengajukan permintaan secara tertulis
kepada PPK untuk serah terima barang/jasa.
2. PPK
melakukan pemeriksaan terhadap barang/jasa yang diserahkan.
3. PPK dan Penyedia menandatangani Berita Acara Serah Terima.

Pasal 58

1. PPK menyerahkan barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57


kepada PA/KPA.
2. PA / KPA meminta PjPHP/ PPHP untuk melakukan pemeriksaan administratif
terhadap barang/jasa yang akan diserahterimakan.
3. Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) dituangkan dalam
Berita Acara.

Perpres 16/2018 mengambil putusan yang tegas bahwa pemeriksaan barang/jasa


dilakukan oleh tim PPK sedangkan pemeriksaan administratif dilakukan oleh PPHP.
PPHP sendiri tegas adalah petugasnya PA/KPA yang bertanggungjawab hanya pada
PA/KPA tidak kepada bendahara ataupun petugas pembayaran yang lain.
Perpres 16/2018 sangat APBN minded maka dari itu dalam tata cara pembayaran APBN
tidak terjadi kebingungan terkait dengan abtas wilayah pengadaan dan wilayah
administratif pembayaran.

Sebagaimana salah satunya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik


Indonesia Nomor 190 /PMK.05/2012 Tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (PMK 190/2012 (3) Pengujian
terhadap SPP beserta dokumen pendukung yang dilakukan oleh PPSPM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

1. kelengkapan dokumen pendukung SPP;


2. kesesuaian penanda tangan SPP dengan spesimen tanda tangan PPK;
3. kebenaran pengisian format SPP;
4. kesesuaian kode BAS pada SPP dengan DIPA/POK/Rencana Kerja Anggaran
Satker;
5. ketersediaan pagu sesuai BAS pada SPP dengan DIPA/POK/Rencana Kerja
Anggaran Satker;
6. kebenaran formal dokumen/surat keputusan yang menjadi
persyaratan/kelengkapan pembayaran belanja pegawai;
7. kebenaran formal dokumen/surat bukti yang menjadi
persyaratan/kelengkapan sehubungan dengan pengadaan barang/jasa;
8. kebenaran pihak yang berhak menerima pembayaran pada SPP sehubungan
dengan perjanjian/kontrak/surat keputusan;
9. kebenaran perhitungan tagihan serta kewajiban di bidang perpajakan dari pihak
yang mempunyai hak tagih;
10. kepastian telah terpenuhinya kewajiban pembayaran kepada negara oleh pihak
yang mempunyai hak tagih kepada negara; dan
11. kesesuaian prestasi pekerjaan dengan ketentuan pembayaran dalam
perjanjian/kontrak.

Pada sisi pembayaran khusus pengadaan barang/jasa, untuk APBN, tunduk sepenuhnya
dengan aturan pengadaan. Misal klausul “g. kebenaran formal dokumen/surat bukti
yang menjadi persyaratan/kelengkapan sehubungan dengan pengadaan
barang/jasa”, tidak sedikitpun aturan pembayaran mencampuri kelengkapan formal
apa saja yang harus ada terkait pengadaan barang/jasa. Dengan demikian ketika aturan
pengadaan barang/jasa melakukan perubahan dari “penerima” ke “pemeriksa” untuk
PPHP maka begitu juga yang diminta dalam pembayaran.

Berbeda dengan pembayaran untuk APBD, dokumen terkait pengadaan barang/jasa


sangat lugas dan rinci disebutkan sebagai syarat pembayaran. Sebagaimana Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah dan seluruh turunannya (Permendagri 13/2006) pasal 205 tentang tugas PPTK
terkait penyiapan dokumen Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya
disingkat SPP-LS. SPP-LS adalah dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran
untuk permintaan pembayaran Iangsung kepada pihak ketiga atas dasar perjanjian
kontrak kerja atau surat perintah kerja
lainnya dan pembayaran gaji dengan jumlah, penerima, peruntukan, dan waktu
pembayaran tertentu yang dokumennya disiapkan oleh PPTK.
Pasal 205

(3) Lampiran dokumen SPP-LS untuk pengadaan barang dan jasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d mencakup:

1. salinan SPD;
2. salinan surat rekomendasi dari SKPD teknis terkait;
3. SSP disertai faktur pajak (PPN dan PPh) yang telah ditandatangani wajib pajak
dan wajib pungut;
4. surat perjanjian kerjasama/kontrak antara pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran dengan pihak ketiga serta mencantumkan nomor rekening
bank pihak ketiga;
5. berita acara penyelesaian pekerjaan;
6. berita acara serah terima barang dan jasa;
7. berita acara pembayaran;
8. kwitansi bermeterai, nota/faktur yang ditandatangani pihak ketiga dan PPTK
sertai disetujui oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran;
9. surat jaminan bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan oleh bank atau
lembaga keuangan non bank;
10. dokumen lain yang dipersyaratkan untuk kontrak-kontrak yang dananya
sebagian atau seluruhnya bersumber dari penerusan pinjaman/hibah luar
negeri;
11. BERITA ACARA PEMERIKSAAN
yang ditandatangani oleh PIHAK KETIGA/REKANAN serta UNSUR PANITIA
PEMERIKSAAN BARANG berikut lampiran daftar barang yang diperiksa;
12. surat angkutan atau konosemen apabila pengadaan barang dilaksanakan di luar
wilayah kerja;
13. surat pemberitahuan potongan denda keterlambatan pekerjaan dari PPTK
apabila pekerjaan mengalami keterlambatan;
14. foto/buku/dokumentasi tingkat kemajuan/ penyelesaian pekerjaan;
15. potongan jamsostek (potongan sesuai dengan ketentuan yang berlaku/surat
pemberitahuan jamsostek); dan
16. khusus untuk pekerjaan konsultan yang perhitungan harganya menggunakan
biaya personil (billing rate), berita acara prestasi kemajuan pekerjaan dilampiri
dengan bukti kehadiran dari tenaga konsultan sesuai pentahapan waktu
pekerjaan dan bukti penyewaan/pembelian alat penunjang serta bukti
pengeluaran lainnya berdasarkan rincian dalam surat penawaran.

1. Kelengkapan lampiran dokumen SPP-LS pengadaan barang dan jasa


sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sesuai dengan
peruntukannya.

Dalam salah satu rincian adalah BERITA ACARA PEMERIKSAAN


yang ditandatangani oleh Pihak Ketiga/Rekanan serta UNSUR PANITIA PEMERIKSAAN
BARANG berikut lampiran daftar barang yang diperiksa. Ketentuan ini kemudian
disamakan secara serampangan dengan Berita Acara Penerimaan Hasil Pekerjaan
yang dibuat oleh PPHP era Perpres 54/2010. Padahal sangat berbeda sekali antara
“penerimaan” dengan “pemeriksaan”, antara “hasil pekerjaan” dengan “barang”,
“barang/jasa” dengan “barang saja”.
PPHP bukan Panitia Pemeriksa Barang

PPHP berada diwilayah pengadaan barang/jasa. Sedangkan Pemeriksa Barang berada


diwilayah “barang” saja. Mari kita lihat siklus Manajemen Belanja dan Rantai Pasokan.

Dari skema diatas bisa dilihat bahwa PEMERIKSAAN BARANG


dan PEMERIKSAAN HASIL PEKERJAAN dalam domain yang berbeda. PPHP bertugas
memeriksa barang/jasa bukan memeriksa “barang” saja. Kemudian “Hasil
Pekerjaan” merujuk pada proses sedangkan “barang” mengacu pada output barang
jadi dari proses. Untuk itu menyamakan PANITIA PEMERIKSAAN BARANG
dengan Penerima/Pemeriksa Hasil Pekerjaan tidaklah tepat.

Akibat kekeliruan ini terjadi pemahaman yang serampangan tentang tanggungjawab


para pihak, utamanya tanggungjawab PPHP dalam pengadaan barang/jasa. PPHP
seolah-olah menjadi penanggungjawab pembayaran bersama-sama Pengguna Anggaran
(PA).

Yang lebih keliru adalah dalam sistem pembayaran tidak akan di setujui jika tidak ada
Berita Acara dari PPHP. Dengan kondisi ini maka kedudukan PPHP menjadi lebih kuat
dibandingkan PA, yang notabene adalah penanggungjawab anggaran. Padahal PPHP
sendiri dibentuk oleh PA. Menjadi rancu kalau kemudian tim yang dibentuk oleh PA
justru lebih menentukan, lebih powerfull, dibanding yang menetapkan yaitu PA.

Lalu siapa sebenarnya PANITIA PEMERIKSAAN BARANG


? Untuk itu mari kita lihat alur sesuai siklus Manajemen Belanja dan Rantai Pasokan.
Keterangan :

Wilayah Pengelolaan BMN/D (PP 27/2014 dan Permendagri 19/2016)


Wilayah Pengadaan Barang/Jasa (Perpres 54/2010)
Wilayah Pengelolaan Keuangan (PP 45/2012 dan PP 58/2005)

    Dengan alur seperti ini maka beralasan kenapa pembayaran belum dapat dilakukan,
meski PA selaku Pengguna Anggaran telah menyatakan dapat menerima hasil
pekerjaan dan dibayar, sebelum ada pemeriksaan UNSUR PANITIA PEMERIKSAAN
BARANG. Karena PANITIA PEMERIKSAAN BARANG adalah organ dari pejabat
pengelola barang milik negara/daerah (BMN/D). Untuk APBN adalah Menteri
Keuangan, sedang APBD adalah Sekretaris Daerah.

Tugas PANITIA PEMERIKSAAN BARANG adalah memastikan barang yang diterima


dan dibayar dari hasil pengadaan barang/jasa telah sesuai dengan Rencana Kebutuhan
Milik Negara/Daerah (RKBMN/D). Didapatkan simpulan yang tegas bahwa PPHP hanya
bertugas diwilayah pengadaan barang/jasa.

Selanjutnya dalam proses pembayaran yang menjadi dasar administrasi adalah Berita
Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP) atau Berita Acara Serah Terima Barang
Dan Jasa (BAST-B/J) yang merupakan tanggungjawab PPK bersama Penyedia.
Kemudian PPK melakukan penyerahan hasil pekerjaan kepada kepada PA. PA dibantu
PPHP melakukan pemeriksaan secara administratif sehingga terbit Berita Acara
Pemeriksaan Hasil Pekerjaan (BA-PHP).

Menjawab persoalan pokok dari bahasan ini, dikaitkan dengan ketentuan Perpres
16/2018, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. PPHP adalah petugas administratif-nya PA dalam rangka membantu PA
mengambil keputusan untuk menerima atau tidak menerima penyerahan
pekerjaan oleh PPK.
2. Pemeriksa Barang, dalam Permendagri 13/2006, adalah salah satu pemenuhan
syarat diterbitkannya Surat Permintaan Pembayaran.
3. Nomenklatur Pemeriksa Barang/Jasa digunakan dalam peraturan tentang
pengadaan barang/jasa, sementara itu nomeklatur Pemeriksa “Barang” saja
digunakan dalam peraturan terkait pembayaran.
4. PPHP bukanlah penanggungjawab verifikasi pembayaran, sehingga tanpa
tandatangan PPHP pun barang/jasa dapat dibayar selama PA menyatakan
menerima penyerahan barang/jasa.
5. PPHP adalah Pemeriksa Administratif Pengadaan Barang/Jasa (Perpres
16/2018) dan PPHP tidak sama dengan Pemeriksa Barang dalam administrasi
pembayaran (Permendagri 13/2006).
6. Pemeriksa Barang dalam Permendagri 13/2006 adalah petugas yang
memastikan barang memenuhi syarat untuk dicatat dalam aset daerah dan layak
dibayar.
7. Anggota Panitia/Pejabat Pemeriksa Barang dapat menjadi anggota PPHP
untuk memastikan bahwa secara administratif pengadaan barang/jasa dan
administratif pembayaran tidak terjadi permasalahan.

Sebagai bahan masukan dan perhatian kita bersama sepertinya sudah saatnya tata
kelola keuangan daerah yang digawangi oleh Kementerian Dalam Negeri kita kritisi
bersama. Khususnya tata cara pembayaran yang sudah tidak relevan lagi dengan
kondisi kekinian. Tata cara pembayaran jangan sampai mendikte tata cara pengadaan
yang terus mencari upaya efisiensi dan efektivitas. Meski tetap disisi keuangan tetap
harus prudent dan penuh kehati-hatian. Secara sederhananya tata kelola pembayaran
APBD harusnya sama mudahnya dengan tata kelola pembayaran APBN. Toh keuangan
daerah juga adalah keuangan negara juga.

Anda mungkin juga menyukai