Anda di halaman 1dari 10

Tugas Individu

ANALISA KONFLIK LEPASNYA TIMOR TIMUR DARI INDONESIA

LEVEL ANALISA: KELOMPOK

Mata kuliah

ANALISA KONFLIK

Pengampu:

Prof., Drs., MA., Ph.D Mohammad Mohtar Mas'oed


Randy Wirasta N, SIP., M.Sc

Oleh:

Dwi Ardiyanti GHD 13/354248/PSP/04692

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional

Universitas Gajah Mada

2013
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Timor Timur di tahun awal perjuangan Indonesia, sangat sengit diperebutkan agar
mereka yang tadinya jajahan Portugal 4 abad terselamatkan dari pemerkosaan,
penindasan, penganiayaan, dan juga pembunuhan yang tak berperikemanusiaan.
Indonesia, pada waktu itu sebagai salah satu Negara yang peduli dengan keadaan di
Timor Timur merasa perlu merebutnya dari kekejaman Protugal. Diketahui dengan
pendudukan Portugal selama itu para rakyat yang berada di sana hanya merasa terancam.
Kebanyakan wanita dan anak-anak adalah sasaran utama kekejaman mereka. Tidak heran
mereka, terutama wanita dan anak-anak begitu ingin bebas dari kekuasaan Portugal,
hingga akhirnya perang saudara pecah dan membuat Protugis kewalahan menghadapinya.
Saat itu di Portugis sendiri sedang terjadi peristiwa Revolusi Bunga (1974).
B. Problematika
Dari peristiwa kelam yang menjadi tolak ukur makin banyaknya gerakan sparatis yang
bermunculan di media, membuat saya merasa penasaran dan ingin meneliti tentang kasus
lepasnya NKRI dari Indonesia tahun 1999. Ada dua pertanyaan penting pemicu yaitu:
a. Sejauh apa peran kelompok FRETILIN berpengaruh terhadap disintegrasi Timor-
Timur dari Indonesia?
b. Bagaimana jika penggunaan level analisa kelompok diterapkan dalam berbagai
pemberontakan di Indonesia?
II. Tinjauan Pustaka
Dari sekian banyak kasus kekerasan dan pergolakan di wilayah Timor-Timur saya
memakan teori Nicholas Sambanis untuk simplifikasi studi kasus saya agar lebih mudah
dipahami.
Nicholas Sambanis: Sembilan kategori pemicu konflik:
 Kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang lambat
 Perbedaan etnis dan polarisasi
 Sumber Daya Alam
 Penyebaran secara geografis
 Medan yang sulit dijangkau
 Dilema keamanan
 Demokrasi: level dan perubahan
 Perang etnis dan revolusi
 Intervensi eksternal dan perang sipil
III. Metode Penelitian
Dalam penulisan makalah ini saya menggunakan metode pendekatan induktif dengan
studi kajian literatur. Saya membaca beberapa jurnal dan buku kemudian menganalisa
dengan dasar teori yang sudah ada. Analisa tersebut disajikan dengan alat bantu deskripsi
Segitiga Konflik (SPK).
IV. Pembahasan
1. Identifikasi Kelompok di Timor-Timur
Perang saudara yang terjadi di wilayah Timor-Timur memang sudah lama terjadi,
beberapa diantaranya berasal dari perselisihan antar kelompok internal di wilayah Timor-
Timur. Kelompok yang ada di Timor-Timur beragam dengan masing-masing
karakteristik dan tujuan yang berbeda antar kelompok, sehingga seringkali terjadi
pergesekan kepentingan antar kelompok.
UDT (Uniao Democratia Timorense), diresmikan tanggal11 Meri 1974, merupakan
sebuah kelompok menekankan peran progresif masyarakat Timor Timur dalam semua
bidang kehidupan masyarakat dan menuntut otonomi progresif. Presidennya adalah Mario
Carascalao. Gerakan ini mendapat dukungan berupa pasokan dana dan subsidi dari
pemerintahan kolonial Portugis. UDT adalah sebuah partai pertama dan terbesar di
Timor-Timur.
ASDT (Associacao Sicoal Democratia Timorense) , didirikan pada 20 Mei 1974, sebuah
gerakan radikal yang menekankan independensi, menolak kolonialisme dan cenderung
aktif mencegah neokolonialisme. Francisco Xavier do Amkaral. Gerakannya semakin
radikal dengan adanya momentum dekolonisasi . Gerakan ini dipengaruhi oleh beberapa
cendikiawan yang memberi pengaruh marxisme, setelah mereka kembali dari Lisabon,
kemudian mereka bersepakat untuk mengubah nama menjadi FRETILIN.
Para cendikiawan yang berasal dari Portugis dan sempat bersekolah ke Lisabon, sepakat
untuk membentuk FRETILIN berhasil mempengaruhi sebagian besar masyarakat di
Timor-Timur untuk mengikuti gerakannya hingga akhirnyha parta UDTR juga
terpengatuh dan bergabung dengan FRETILIN karena merasa sejalan dalam usahanya
memperjuangkan nasib rakyat di wilayah Timor-Timur untuk segera terbebas dari
intervensi asing untuk menjadi Negara sendiri yang berdaulat dan mendapat pengakuan
de jure dan de facto.
APODETI (Associacio Popular Democratia Timorense), didirikan 27 Mei 1974, yang
mendukung integrasi dengan Indonesia. Gerakan ini dipimpin oleh Arnaldo Des Reis
Araujo. Dia dipenjarakan oleh Portugis atas usahanya bekerja sama dengan orang Jepang
selama masa Perang Dunia II.
KOTA (Klibur Oan Timur Aswain, dipimpin oleh Jose Martins. Gerakan ini dianggap
sebagai anak dari pejuang di pegunungan, mereka mendukung adanya gerakan gerilya
yang memiliki induk serangan di daerah sekitar pegunungan.
Partindo Trabalhista, sebuah gerakan buruh. Selanjutnya ada Associacao Democratica
Integracao Timor-Leste-Australia, yang mendukung adanya integrasi Timor-Timur
dengan Australia. Gerakan ini dipimpin oleh Henrique Pereira, namun pada kenyatannya,
gerakan ini menjadi salah satu pendukung ketiga gerakan besar (FRETILIN, UDT dan
Apodeti), khususnya pada UDT.
2. Konflik Internal di Timor Timur
Koalisi antara UDT dengan ASDT/FRETILIN tidak bertahan lama, UDT menyatakan
keluar dari Koalisi yang disebabkan ideologi komunis FRETILIN. Keluarnya UDT dari
koalisi menimbulkan konflik antara kedua gerakan tersebut yang berujung pada kembali
terjadinya perang saudara antara UDT dengan FRETILIN, perang saudara dimulai
dengan upaya yang dilakukan oleh UDT pada tanggal 11 Agustus 1975. Deklarasi yang
dilakukan oleh FRETILIN mendapat reaksi dari gerakan - gerakan yang pro Integrasi
(Apodeti, UDT, Trabilistha, KOTA) dengan deklarasi balibo yang berisi tentang integrasi
dengan Indonesia. Penanganan yang dilakukan oleh pihak asing (dengan menembaki)
justru semakin memperkuat pergolakan disana.
Perang saudara yang berkecamuk didaerah bekas jajahan Portugis tersebut memaksa
sebagian besar masyarakat Timor Leste, khususnya dibagian Barat seperti Dili, Liquisa,
Ermera, Maliana (Bobonaro), Kovalima, Oecusi mengungsi ke wilayah Timor Barat
(Atambua, red). Pengungsian seperti itu bukan hanya terjadi saat berkecamuknya perang
saudara tahun 1974/1976 dan pasca jajak pendapat tahun 1999, tetapi beberapa kali
sebelumnya saat terjadi pemberontakan masyarakat Timor Timur terhadap negara
kolonial Portugis. Dalam jajak pendapat tahun 1999 hasilnya dimenangi masyarakat
"Prokem" (Pro Kemerdekaan) dengan perbandingan suara 71 dengan 29.
Dalam level analisa kelompok ini, saya ingin meneliti teori peran kelompok sebagai
pemicu konflik berbagai macam gangguan keamanan di Indonesia dan sejauh apa bisa
diaplikasikan dalam penanganan kasus pemberontakan di berbagai wilayah di Indonesia.
Jika perang saudara yang dimenangkan oleh Kelompok FRETILIN selalu bisa menjadi
sumber pergolakan yang terjadi di sebuah wilayah, dengan analisa isu kekuasaan, maka
bukan tidak mungkin kekuasaan juga lah yang menjadi pemicu berbagai pergolakan
pemicu konflik di wilayah lain di Indonesia.
V. Analisa Konflik
Jaringan gerakan yang ada di Timor- Timur ini tidak hanya berada di satu wilayah saja.
Para pemimpin gerakan ini sudah lebih dahulu membentuk jaringan internasional, guna
meraih dukungan lebih banyak dari Negara lain, agar mereka juga ikut mendukung dan
mengamati proses disintegrasi Timor- Timur dari Indonesia.
FRETILIN misalnya, meskipun bukan kelompok pertama yang menentang kolonialisme
di Timor- Timur, namun dengan pengalaman para pendirinya yang merupakan golongan
cendikiawan yang memimpin aksi kontra terhadap kolonialisme Portugal di Lisabon,
mereka telah terlebih dahulu mengumpulkan pengaruhnya diluar Timor- Timur di
Denpasar, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Front ini  juga
membangun jaringan dengan pelarian Timor Timur di  Australia dan Portugal.

Kemudian diadakan pertemuan antara perwakilan Indonesia dengan Australia, 5


September 1974 di Wonosobo. Pertemuan tersebut dilakukan antara Soeharto dengan
Perdana Menteri Australia, Gouch Whitlam di Wonosobo membahas adanya isu
dukungan dari pemerintah Australi dalam gerakan Apodeti yang mendukung Integrasi
Timor Timur ke Australia, membuat pergolakan yang terjadi di wilayah Timor Timur
terhenti dengan adanya kesepakatan antara Australia dan Indonesia agar Australia tidak
lagi mencampuri konflik Timor Timur dengan Indonesia. Pada bulan Agustus 1975
terjadi perang sipil di Timor Timur . UDT, Apodeti, Kota, dan Trabalhista menentang
kekuasaan FRETILIN di Timor Timur setelah kepergian Portugal. Mereka tidak ingin
dikekang oleh kekuasaan FRETILIN.
Jelas terlihat bahwa ada sebuah pola yang diterapkan dalam aksi FRETILIN, yaitu adanya
pemikiran bahwa dukungan beberapa jaringan yang dibangun untuk mencapai kekuasaan
di sebuah wilayah Timor Timur sangat penting guna mendukung aksinya. Dalam
mencapai kepentingan kekuasaan, FRETILIN menginginkan adanya pengakuan dari
pihak baik rakyat dari wilayah itu sendiri (Timor Timur) maupun dunia internasional.

Para pemegang kekuasaan di FRETILIN merasa bahwa dengan adanya kekuasaan mereka
kelak Timor- Timur akan menjadi sebuah wilayah yang bisa menyamai kemajua di
wilayah Negara tetangga, Indonesia maupun Australia. Peningkatan ekonomi juga
diharapkan akan terjadi di wilayah Timor- Timur dengan adanya kekuasaan FRETILIN.

Namun pada kenyataanya, kekuasaan yang diinginkan oleh FRETILIN tidak sejalan
dengan berbagai pihak. Rakyat Timor-Timur sendiri merasa terlalu banyak yang
dikorbankan oleh FRETILIN untuk mencapai kekuasaannya, banyak orang yang mati
dalam pertempuran selama Agustus-November pada masa peralihan Protugal ke
Indonesia. Bisa dilihat dalam proses pemisahan Timor Timur dari Indonesia, peran
kelompok begitu tampak, meskipun akhirnya Xanan Gusmao yang akhirnya menduduki
jabatan Presiden Timor Leste (tadinya Francisco Xavier do Amaral). Namun kita bisa
lihat bahwa kelompok ini begitu besar keinginan untuk menguasai Timor Timur karena
merasa sebagai pihak yang paling berperan dalam mengusir Portugal dari Timor Timur.
Namun, tetap saka masyarakat justru tidak menyukai gaya kepemimpinannya. FRETILIN
pernah berkata “lebih baik makan batu daripada makan nasi tapi ditodong senjata”.

Pemetaan Konflik
Memakai level analisa Kelompok dengen menitikberatkan peran kelompok dalam proses
timbulnya konflik, intervensi, hingga resolusi konflik yang berakhir dengan lepasnya
Timor Timur dari wilayah NKRI. Diharapkan dengan level analisa kelompok dengan
dalam studi kasus lepasnya Timor-Timur dari NKRI pada 1999 bisa menjadi sebuah
acuan agar dapat meneliti peran kelompok yang lain dalam berbagai tindakan anti NKRI
dan beberapa pemberontakan yang dilakukan oleh para gerilyawan di Indonesia.
Alat Deskripsi
Dalam pola intervensi yang dilakukan agresi yang dilakukan oleh Kelompok FRETILIN
saya menekankan penggunaan alat analisa konflik Segitiga Konflik (SPK). Analisa ini
didasarkan pada, sikap, perilaku, dan konteks, merupakan tiga buah konsep penting
dalam alat bantu deskripsi ini. Ketiga unsur itu sangat berpengaruh dalam menganalisa
konflik, maka dari itu anak panah juga terus bersambungan. Dalam penerapan analisa
ini, saya berusaha menempatkan diri sebagai kelompok FRETILIN. Sikap
menggambarkan bagaimana sudut pandang dari FRETILIN memandang rakyat Timor
Timur dan pandangan FRETILIN terhadap kelompok mereka sendiri. Perilaku
menggambarkan dua sisi antara pandangan pemerintah asing terhadap FRETILIN dan
cara pandang pemerintah asing sendiri. Dalam konteks saya menggambarkan bagaimana
posisi FRETILIN di Timor-Timur.
Sikap (S)
Pandangan FRETILIN terhadap rakyat Timor-Timur:
 Menderita dengan kolonialisme Portugal dan intervensi Asing
 Sulit diatur
 Mudah terpovokrasi dengan adanya intervensi
 Menganggap segala yang dilakukan FRETILIN tidak ada gunanya dan hanya
memperparah keadaan di Timor-Timur
 Memiliki potensi besar di bidang sumber daya
Pandangan FRETILIN terhadap Kelompoknya Sendiri
 Merasa paling berjasa dalam mengusir Portugal dari Timor-Timur
 Merasa memiliki kuasa penuh atas wilayah Timor-Timur
 Merasa sebagai cendikiawan yang pantas menjadi penguasa dan mengelola kekayaan
maupun administrasi di Timor Timur
 Merasa lebih berkuasa daripada intervensi Negara lain untuk mengatur Timor-Timur
Perilaku (P)
Pandangan pemerintah asing terhadap FRETILIN
 Marxisme-Komunis, Kejam, Otoriter
 Tidak pantas memerintah di Timor Timur
 Merasa FRETILIN tidak akan bisa mengatur wilayahnya tanpa ada intervensi asing
 Mengandalkan jaringan untuk menguatkan posisinya di dunia internasional dan di
wilayah mereka sendiri
Cara pandang pemerintah asing terhadap diri sendiri
 Berhak atas kekayaan di wilayah Timor-Timur
 Segala merasa berhak mendapat timbale balik atas usahanya menyelesaikan konflik
yang berujung pada perang saudara di Timor Timur.
 Secara geopolitik wilayah Timor Timur menguntungkan dan pantas diperebutkan
Konteks (K)
Posisi FRETILIN di Timor-Timur
 Kejam dan tidak berperikemanusiaan
 Tega membunuh setiap orang yang menentang ideologi komunisnya
 Timor Timur tidak menginginkan kekuasaan siapapun di wilayahnya.
 Sebagian besar masyarakat hanya ingin hidup dengan damai di Timor-Timur
 FRETILIN tidak berhak menentukan nasib warga Timor-Timur
 Timor-Timur disintegrasi dengan NKRI dan tidak bergabung dengan pemerintah lain
 Rakyat Timor-Timur merasa sudah waktunya membuktikan pada dunia internasional
bahwa mereka layak sebagai Negara berdaulat sendiri.
Penerapan Analisa Kelompok untuk menganalisa Konflik di Indonesia
Dengan menggunakan analisa level kelompok dalam kasus Timor Timur diharapkan
adanya titik terang resolusi konflik yang dapat dilakukan dalam konflik di beberapa
wailayah di Indonesia. Karakteristik masyarakat dan sistem kekuasaan yang terjadi di
beberapa wilayah di Indonesia dengan menggunakan identitas kesukuan, agama, maupun
identitas lain seringkali rawan konflik dan gesekan. Maka dari itu inisiasi untuk mencari
sumber masalah dalam timbulnya konflik sangat penting.
Level analisa kelompok diharapkan dapat diterapkan untuk mengidentifikasi bagaimana
sudut pandang dari berbagai pihak dan mencari sumber kebutuhan pokok dalam wilayah
konflik tersebut. Dalam proses disintegrasi Timor Timur kebutuhan pokok atas
kesepakatan bersama adalah isu keamanan yang kemudian digunakan oleh pihak-pihak
tertentu untuk melakukan intervensi dan memaksimalkan kekuasaanya di Timor Timur.
Berbagai isu penting bisa menjadi sebuah kebutuhan pokok, yang mungkin semula
merupakan kesepakatan dari beberapa pihak, dengan seiring berjalannya waktu dan
intervensi dari berbagai wilayah bisa berubah dan kemudian menguntungkan pihak-pihak
tertentu. Isu kekuasaan adalah hal yang paling mendasar sebagai pemicu konflik di
Timor-Timur. Dengan alat bantu deskripsi Segitiga konflik (SPK) diharapkan berbagai
sudut pandang dapat menjadi pertimbangan penting untuk mencapai resolusi konflik.
Dalam beberapa konflik di Indonesia seperti GAM di Aceh, jika dilihat dari level analisa
kelompk, hal ini bisa dimaknai adanya berbagai tekanan masa lalu dari para pemimpin
GAM yang bersepakat untuk menciptakan pemerintahan yang islami di wilayah mereka.
Tekanan itu muncul dari adanya kekuasaan pemerintah yang tidak sesuai dengan apa
yang mereka janjikan dulu. Tahun 1959, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke
Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno pada 16 Juni 1948
bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak
juga dipenuhi.

Bung Karno dianggap tidak mengindahkan struktur kepemimpinan adat dan tak
menghargai peranan ulama dalam kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat
besar kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno
mengerahkan tentaranya ke Aceh. GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi
industrialisasi di Aceh. Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala
penghormatan rakyat Aceh. Efek industrialisasi di Aceh melahirkan judi, prostitusi,
mabuk-mabukan, bar, dan segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat
Aceh. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang
asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin. Pendidikan rendah,
kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.

Peran kelompok dalam Gerakan Aceh Merdeka dipicu dari kekuasaan di masa lampau
yang tidak tercapai dan adanya berbagai janji perlakuan istimewa untuk rakyat di wilayah
Aceh dengan UU Islam yang tidak kunjung ditepati. Ada kesamaan sudut pandang yang
dapat diterapkan dari pola gerakan gerilyawan baik di Aceh maupun Timor Timur, yaitu
adanya isu kekuasaan dalam level kelompok yang tidak tercapai di kedua wilayah
tersebut.
VI. Sumber
Fisher, Simon. (2000). Working with Conflict: Skills and Strategies for Action. New
York: Zed Books, Ltd
Jacoby, Tim. (2008). Understanding Conflict and Violence. USA: Routledge
Singh, Bilveer. 1995. East Timor Indonesia and the World: Myths and Realities Revised
Edition. Singapore: ADPR Consult (M) Sdn Bhd
http://answers.yahoo.com/question/index?qid=20120621190235AA1KHFE
httpsuciptoardi.wordpress.com20100703daftar-kejahatan-perang-yg-dilakukan-
FRETILIN-th-1975
httpfrenndw.wordpress.com20100113masalah-timor-timur-dan-politik-luar-negeri-ri

http://sejarah.kompasiana.com/2012/02/03/masa-kekosongan-kekuasaan-di-timor-timur
agustus-%E2%80%93-november-1975-435960.html

Anda mungkin juga menyukai