Anda di halaman 1dari 5

AKAR MASALAH

Dalam konflik Sunni dengan Syiah di Sampang yang sudah bergulir sejak lama antara dua
saudara yaitu Rois dan Tajul Muluk, banyak terdapat indikasi penyebab konflik yang berujung
pada kekerasan. Faktor utama yang paling berperan dalam memicu konflik adalah adanya rasa
kecemburuan antara kedua saudara ini. Kecemburuan akan kekuasaan menyebabkan frustasi pada
Rois yang dulunya satu pondok pesantren dengan saudaranya, Tajul Muluk. Rois tidak bisa
mengambil posisi yang berpengaruh di kalangan pondok pesantren dengan tabiatnya yang dikenal
emosional. Kemudian Rois mendirikan pondok pesantrennya sendiri di Sampang dengan
masyarakat pengikutnya. Disini bisa kita lihat bahwa kecemburuan yang dimiliki oleh Rois
menjadi penyebab konflik laten yang kemudian tidak dapat diselesaikan dengan baik.

Dari sekian lama menjalani kebersamaan di pondok pesantren, membuat semua orang bisa
menilai bagaimana perilaku dan kepribadian masing-masing pribadi kedua saudara ini. dari pihak
Tajul Muluk dengan pembawaan yang tenang, tidak banyak menuntut, lebih banyak tersenyum,
serta tidak suka bergonta-ganti istri, membuat banyak orang lebih simpatik kepadanya. Di pihak
lain, pribadi Rois dengan sifat temperamental, lebih cenderung keras, dan suka bergonta-ganti
istri membuat beberapa orang tidak begitu tertarik untuk mengikuti Rois yang pada waktu masih
sama-sama menempuh pendidikan di pondok pesantren. Hal ini membuat Rois merasa frustasi
karena tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mendapat simpati orang lain. Sikap dan pembawaan
seseorang memang tidaklah mudah untuk diubah. Kemudian frustasi yang sudah lama dipendam
ini membuat perangai Rois menjadi semakin bertentangan dengan Tajul Muluk, saudaranya
sendiri. Hal ini dia lakukan agar dapat menandingi simpati Tajul Muluk. Bagaimanapun, menjadi
seorang kiai di Sampang merupakan sebuah impian sebagian besar lulusan pondok pesantren
yang nantinya akan ditiru dan ditaati.

Setelah lulus dari pondok pesantren, Rois kemudian mendirikan pondok pesantren sendiri di
Sampang. Pada awal kehadiran Rois dan para pendukungnya di Sampang tidak menimbulkan
banyak konflik. Meskipun ada banyak aturan yang ditetapkan dalam masyarakat Sampang dan
dianggap sedikit memberatkan. Ajaran yang dibawa Rois kemudian lebih dikenal dengan nama
Nahdatul Ulama (NU) dengan berbagai ketentuan seperti misalnya mengadakan tahlilan untuk
mendoakan sanak keluarga yang meninggal selama berhari-hari dan dengan pesangon yang dirasa
sedikit memberatkan masyarakat, memakai cincin sebagai simbol bagi para kyai, namun jika
terdapat masyarakat yang tidak sependapat dengan pemakaian simbol tersebut, maka dengan
mudah dia dapat dicap sebagai penganut aliran sesat. Adanya berbagai konflik yang diakibatkan
aturan yang ditetapkan Rois sebagai kiai terkemuka dalam masyarakat tersebut membuat
masyarakat ada yang berkeinginan untuk beralih dari ajaran yang dianut mayoritas masyarakat di
Sampang tersebut.

Ditambah lagi dengan perangai Rois yang kerap dikenal temperamental dan senang gonta ganti
istri. Hal ini dia jelaskan dibenarkan dalam agama yang dia anut. Dalam hal asmara, masih saja
ada kesalahpahaman dari kedua belah pihak tentang seorang wanita. Seorang wanita yang konon
masih berusia di bawah umur ini menjadi salah satu santri di pondok pesantren Tajul Muluk yang
kemudian diminta oleh pihak Rois untuk tinggal dirumahnya tanpa ada keterangan akan dijadikan
istri. Namun kemudian masalah meruncing dengan ditariknya kembali sang santri oleh Tajul
Muluk yang kemudian dijodohkan dengan santri Tajul Muluk, yang dipandang lebih layak dan
sebaya dengan sang gadis. Ledakan konflik berlatar salah paham asmara ini kemudian menambah
panjang daftar penyebab konflik dari kedua saudara ini.

Kemudian dengan karakter Tajul Muluk yang bertutur kata lembut, tidak suka gonta ganti istri,
dan tidak memaksakan dalam melaksanakan ajaran agama Islam, tanpa ada syarat memberatkan
dalam syariat, maka lambat laun sebagian masyarakat di Sampang mulai tertarik untuk
mempelajari ajaran agama yang dibawa oleh Tajul Muluk. Massa yang fanatik dengan Tajul
Muluk tidak kalah banyak dari massa Rois, ini juga yang memicu konflik.Ajaran yang dibawa
kedua saudara ini kemudian menemui berbagai gesekan di masyarakat yang masing-masing
fanatik dengan kiai mereka. Masing-masing pihak merasa benar, sampai akhirnya dilakukan
berbagai kesepakatan yang mempertemukan kedua belah pihak. Akhirnya Tajul Muluk merasa
perlu mengalah agar permasalahan tidak berlarut menjadi besar sehingga memakan banyak
korban.

Kebiasaan Rois yang senang sekali mempertontonkan sesatnya ajaran yang dibawa Tajul Muluk,
semakin memperuncing konflik yang memang sudah ada sejak mereka berdua bersekolah
dipondok pesantren. Massa yang semakin panas dan termakan doktrin Rois merasa perlu
melakukan tindakan yang berujung pada kekerasan, pembakaran, dan pengusiran pengikut Tajul
Muluk. Sebaliknya, pihak Tajul Muluk tidak lantas menanggapi aksi tersebut dengan membalas
kekerasan, dia dan pengikutnya merasa perlu mengungsi dan menerima tindakan pengusiran
tersebut.

MASALAH INTI

Masalah inti dalam konflik ini sebenarnya adalah penyalahgunaan kekuasaan oleh para kiai
mayoritas dalam masyarakat.

Para pemuka agama disini perannya tidak hanya sebagai panutan tapi juga berfungsi untuk
menentukan norma dan nilai yang harus dipatuhi dalam masyarakat sesuai dengan kemauan para
pemuka agama dengan diatasnamakan agama. Disini jelas terlihat bahwa para kiai, terutama dari
pengikut Rois mencari keuntungan dalam ketidakberdayaan masyarakat dengan pendidikan
rendah untuk memerintah sesuai yang mereka mau.

Perebutan kekuasaan oleh kedua saudara yaitu Rois dan Tajul Muluk membuat masyarakat
bingung dalam mengikuti norma yang seharusnya diterapkan dan sesuai dengan ajaran agama,
karena di daerah Sampang peran kiai sebagai cikal bakal segala peraturan menjadikan segala
kata-kata kiai adalah doktrin yang harus ditaati dan dilaksanakan. Disini letak penyalahgunaan
kekuasaan oleh para kiai terhadap masyarakat di Sampang.
EFEK

Dalam peristiwa pembakaran dan pengusiran masyarakat Syiah dari Sampang jelas terlihat begitu
banyak kerusakan yang telah ditimbulkan. Berbagai fasilitas pribadi, harta, sampai nyawa
dikorbankan disini. Dari berbagai rumah yang rusak dan akses untuk para anak dari keluarga
pengikut Tajul Muluk yang sudah tidak bisa lagi bersekolah di Sampang pasca konflik kekerasan
terjadi, menimbulkan berbagai masalah baru ke depannya. Pemeluk Syiah yang masih memiliki
tali keluarga dengan pemeluk Sunni sulit untuk bertemu dengan sanak keluarga mereka yang
masih tinggal di Sampang. Korban nyawa dalam peristiwa kerusuhan ini memang tidak terlalu
banyak, sekitar 10 orang, namun aksi teror dari pengikut Rois kepada pengikut Tajul Muluk yang
berujung pada tindakan pengusiran ke Sidoarjo membuat dampak konflik lebih besar. Bahkan,
ketika di pengungsianpun mereka masih belum sepenuhnya merasa aman, karena ada isu yang
menyebar bahwa GOR tempat mereka mengungsi juga akan diserbu dan didemo. Sebegitu kental
aksi ancaman dan tekanan pada pengikut Tajul Muluk dirasakan oleh semua kalangan baik si
korban maupun orang-orang yang menjadi relawan disana. Hal ini tidak hanya dirasakan sekali
oleh pengikut Tajul Muluk, karena sekembalinya para pemuda pesantren ke Sampang, membuat
warga Sunni menjadi semakin membabi buta dalam melakukan aksi kekerasan.

Dampak trauma yang dirasakan masyarakat jauh lebih besar daripada yang dibayangkan. Di
depan mata, mereka melihat sendiri bagaimana rumah mereka dibakar dan dirusak, bagaimana
kekerasan benar-benar dilakukan pada keluarga mereka dan disaksikan oleh seluruh orang,
bahkan melaui internet berita tentang aksi ini bisa diakses sampai ke luar negeri. Dalam
pengusiran tersebut, juga menyebabkan adanya pola masyarakat yang berubah. Hal ini bisa
dilihat dari pengikut Rois yang mayoritas melakukan kontrol sosial dengan caranya sendiri.
Akibatnya hanya ada korban sebagai pihak yang terusir dan pemenang sebagai mayoritas yang
berhasil mengusir.

Dalam konflik yang belum berhasil dikelola dengan baik ini, menimbulkan adanya jarak yang
begitu tampak dari pendukung Rois sebagai mayoritas dan pendukung Tajul sebagai kaum
minoritas. Ada berbagai kejadian yang menambah panjang daftar urutan kekerasan yang terjadi di
Sampang. Adanya fanatisme yang besar dari kedua kelompok ini membuat masyarakat dengan
keyakinan kuat akan ajaran masing-masing pemukanya merasa harus tetap melanjutkan aksi ini
meskipun sampai ke anak-anak mereka. Konflik berkepanjangan ini dapat dilihat dari kekerasan
yang dilakukan oleh kerabat dari Rois kepada anak angkat Tajul. Konflik berkepanjangan ini
belum bisa dicari titik temunya dan terus meluas.
ANALISA KONFLIK

Analyzing Political Violence


LEVEL ACTOR DIMENSION MEDIUM/MEANS SCOPE

State • State • Physical • Guns & military • Compre-


apparatus • Non-physical and police hensive
(mental organizations.
terror) • Public policy

Social • State • Non-physical • Public policy. • Compre-


structures apparatus (political, • Process and hensive
• Capitalists/ economic, means of
capital social & roduction /
controllers cultural) capital
accumulation

Individual • Individual • Physical • Anomie groups • Limited


• Group • Individual acts

Dalam konflik yang terjadi di Sampang terindikasi hilangnya kontrol dari masing-masing
individu

Banyak kekerasan yang meledak merepresentasikan sebuah reaksi penduduk lokal pada
pendatang dengan melakukan sesuatu yang berbeda eksternal dan berada di luar kontrol mereka

Pendidikan Agama yang mengarah pada militansi.

• Banyak pendidikan religi baik yang dilakukan oleh negeri maupun swasta sangat
menekan pada kegiatan militansi dan kurang pada toleransi antar umat beragama

Adanya dampak besar dari da’wah religi pada masyarakat di daerah terpencil

Hal ini menimbulkan banyak efek negative pada masyarkat di daerah terpenci. Di sini, budaya
mereka untuk mempertahankan identitas dalam keadaan berbahaya.

Hubungan antara anggota komunitas religi dengan para pemimpinnya (kiai).

• Disini terjadi krisi kekuasaan, antara kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas

• Kiai ada yang tidak bersedia memperkeruh konflik yang sudah ada dari lama, namun
fanatisme pada kedua belah pihak merasa perlu melakukan sesuatu dengan caranya
sendiri meskipun itu bertentangan dengan nilai moral
The Model
Development as Religious
group
militancy 

“State-building”  Frustration  The trigger Collective

& Demogra  Social  & &  violent


phic division Conflict behavior
change configuration
Capital  Conflict  mobilization

Accumulation Nature of the  awareness


organization
of the
“laggards”

Anda mungkin juga menyukai