Anda di halaman 1dari 16

LITERASI DAKWAH ISLAM

MENGHADAPI TANTANGAN IMPERIALISME EPISTEMOLOGI

DR. AHMAD SASTRA, MM


Dosen Pascasarjana UIKA Bogor

Islam Agama Dakwah


Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik [QS Ali Imran : 110]
Islam diturunkan Allah melalui Rasulullah Muhammad SAW sebagai agama
perdamaian. Kata Islam itu sendiri secara etimologi berarti keselamatan dan perdamaian.
Sementara Islam dalam makna terminologi adalah sistem nilai dari Allah yang mengatur
urusan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri serta manusia dengan
sesama manusia. Makna terminologis ini memiliki arti bahwa sistem nilai Islam meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia, baik ritual maupun sosial.
Islam adalah agama dakwah dan perdamaian, sebagaimana dinyatakan oleh Allah
dalam al Qur`an suci, ‘Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.’ (QS An Nahl : 125)
Rasulullah sendiri sebagai utusan Allah yang membawa risalah Islam adalah sosok
yang berakhlak agung dan sangat mencintai perdamaian. Sejak Rasulullah belum diangkat
menjadi Rasul, beliau adalah pemuda yang sangat peduli kepada nasib masyarakat kecil yang
menjadi korban kezaliman. Setelah menjadi Rasul, beliau dengan semangat yang membara
menebarkan dan menerapkan Islam sebagai sistem nilai perdamaian dan kesejahteraan untuk
umat manusia. Sebab dalam ditegaskan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam
semesta, tanpa memandang suku, ras, bangsa dan agama.
Dalam pandangan Islam, masyarakat diibaratkan sebagai sekelompok penumpang
kapal. Para penumpang itu berada di ruang bawah dan ruang atas kapal. Jika suatu saat
penumpang yang berada di ruang bawah kapal menginginkan air dengan cara melubangi
dinding kapal berharap mendapat kucuran air laut dengan asumsi agar tidak mengganggu
penumpang yang diatas, maka apa yang akan terjadi.
Justru dengan perbuatan itu, kapal bisa tenggelam dan seluruh penumpang akan
terkena dampaknya. Karena itu penumpang yang diatas harus mengingatkan untuk tidak
melakukan tindakan itu, jika menginginkan keselamatan seluruh penumpang. Begitulan
Islam, mengingatkan manusia agar tidak membuat lubang-lubang kezoliman dan kemaksiatan
karena akan berdampak buruk kepada seluruh manusia.
Kapal itu ibarat universalitas Islam yang dengan sistem nilainya mampu menampung
segala manusia dari berbagai ragam yang melekat pada dirinya. Selama manusia itu bisa
memberikan ketaatan kepada nilai-nilai agung Islam, maka manusia akan mendapatkan
kehidupan yang damai dan sejahtera. Sebab Islam lahir untuk mengubah berbagai bentuk
kezoliman menjadi kemuliaan.
Karena itu, saat Rasulullah memimpin Daulah Madinah, terciptalah kehidupan yang
damai dan harmoni. Masyarakat dengan keyakinan agamanya bisa leluasa menjalankan
keyakinannya di Madinah. Bahkan hak-hak mereka yang beda keyakinan sama
kedudukannya dimata Islam sebagai warga negara. Rasulullah pernah mengancam siapapun
yang mengganggu warga negara [kafir zimmah] di Madinah sebagai bentuk ancaman kepada
beliau. Madinah adalah negara manusiawi yang menerapkan sistem nilai Islam bagi kebaikan
seluruh umat manusia yang menerimanya.
Islam adalah jalan yang lurus yang akan membawa manusia kepada kebaikan dunia
dan akherat. Allah sendiri yang menegaskan akan kebenaran dan kelurusan jalan Islam.
Dalam Qur`an surat al An`am ayat 153 dinyatakan, ` Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini)
adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.`
Islam adalah agama dakwah untuk mewujudkan perdamaian, kesejahteraan dan
rahmat bagi alam semesta. Ketika suatu kehidupan diwarnai oleh berbagai sistem nilai yang
zolim dan menyengsarakan rakyat, maka dengan dakwahnya Islam menyeru agar kembali
kepada sistem nilai Islam. Islam adalah agama dakwah yang memberikan solusi fundamental
bagi permasalahan manusia. Seluruh permasalahan manusia telah disediakan solusi oleh
Allah melalui al Qur`an. Islam adalah jalan kebenaran dan keselamatan.
Dakwah adalah wujud kepedulian, bahkan kasih sayang Islam kepada seluruh
manusia di muka bumi. Karakter seorang muslim adalah kepeduliannya terhadap aktivitas
dakwah untuk menciptakan kehidupan yang mulia. Sebab siapapun manusia secara naluri
menginginkan sebuah kemuliaan, kedamaian dan kebaikan. Sistem nilai Islam jika
diimplementasikan akan mewujudkan cita-cita mulia seluruh manusia.
Tidak ada paksaan dalam memasuki agama Islam. Namun Islam mengajarkan bahwa
agama ini harus didakwahkan kepada segenap manusia di dunia. Islam mesti dipahami,
diyakini, diamalkan dan diperjuangkan. Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia membawa
rahmat dengan terbentuk pribadi yang shaleh, masyarakat mulia dan peradaban yang agung.
Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengingatkan manusia agar tidak
melakukan berbagai bentuk kezoliman, baik saat dalam daulah Islam maupun diluar daulah
Islam. Allah memerintahkan seluruh nabi-nabiNya agar mendatangi dan menyampaikan
nasehat dan kebenaran Islam kepada para penguasa yang zolim. `Pergilah kamu berdua
kepada Fir'aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut" (QS
Thahaa : 43-44).
Islam mengapresiasi kerja dakwah sebagai sebaik-baik perkataan manusia. Dakwah
juga harus dilakukan secara berjamaah. Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada
orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
"Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS Al Fushilat :33). Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung. (QS Ali Imran :104).
Jika dakwah Islam ditinggalkan umatnya, maka akan muncul berbagai kerusakan dan
kezoliman. Tanpa dakwah Islam, maka kehidupan manusia akan diliputi oleh kekufuran dan
kemusyrikan. Tanpa dakwah Islam juga akan muncul fasad (kerusakan) akibat sistem nilai
yang tidak adil, bahkan akan muncul pula penguasa yang zolim dan mendatangkan murka
Allah. Sebaliknya dengan dakwah akan melahirkan kehidupan harmonis, damai dan
sejahtera dibawah ridho Allah SWT.
Dakwah ini memerlukan keimanan dan pemahaman tentang realitas sebagai hakekat
keimanan dan wilayahnya dalam sistem kehidupan. Keimanan dan tataran inilah yang akan
menjadikan kebergantungan secara total kepada Allah, serta keyakinan bulat akan
pertolonganNya kepada kebaikan serta perhitungan akan pahala di sisiNya, sekalipun
jalannya sangat jauh. Orang yang bangkit untuk memikul tanggungjawab ini tidak akan
menunggu imbalan di dunia, atau penilaian dari masyarakat yang tersesat dan pertolongan
dari orang-orang jahiliyah dimana saja.
Meski oleh Allah, Rasulullah adalah manusia paling agung akhlaknya dan lemah
lembut sikap dan tutur katanya, namun dakwah Nabi tidaklah sepi dari ujian dan cobaan.
Sepanjang dakwah di Makkah, ketika Rasulullah menyerukan Islam sebagai ajaran terbaik
yang datang dari Allah, maka kaum kafir Quraisy mulai merasa terganggu dan terusik.
Dengan berbagai cara, mereka mencoba menghadang laju dakwah Nabi yang semakin
mendapat simpati masyarakat Arab.
Dengan penuh kesabaran dan ketegaran jiwa, Rasulullah tidak pernah membalas
perlakuan zalim kaum kafir saat itu. Sebaliknya, Rasulullah terus menyampaikan Islam
dengan lemah lembut, hingga pada akhirnya orang-orang yang membenci dakwah Rasulullah
tersadarkan dan masuk Islam. Banyak dari para sahabat Nabi yang dulunya justru orang-
orang pembesar dan tokoh masyarakat yang menentang Rasulullah. Dakwah Islam adalah
dakwah penuh perdamaian. Dakwah Nabi adalah cermin indah bagi umat hari ini.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia
banyak menyebut Allah. (QS Al Ahzab : 21). Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu."
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Ali Imran : 31).

Sejarah Literasi Dakwah


Imam As Suyuthi mendeskripsikan sejarah sebagai pertarungan potensi kejahatan
manusia dan potensi kebaikan manusia, keduanya akan dicatat sebagai sejarah. Ekspresi
potensi jahat akan dicatat sebagai sejarah kelam, ekspresi potensi kebaikan akan dicatat
sebagai sejarah gemilang.
Warisan sejarah Rasulullah dalam perjuangan Islam bukanlah sekedar romantisme
tanpa makna atau hanya sekedar menjadi berhala tanpa ruh yang dibanggakan dan diceritakan
dimana-mana. Sejarah Rasulullah juga bukan sekedar dokumentasi naratif yang hanya
dipampang di rak-rak perpustakaan. Sejarah Rasulullah adalah warisan nilai agung sarat
dengan pelajaran.
Sementara Allah sendiri menegaskan bahwa peristiwa sejarah akan terus
dipergulirkan diantara manusia hingga ujung zaman. Akan selalu lahir orang-orang besar
yang berjuang mengubah dunia melalui perubahan arah pemikiran manusia. Tapi akan
diiringi juga lahirnya manusia-manusia durjana penghalang kebaikan.
Sekedar mengulang tentang perintah dakwah kepada kaum muslimin dinyatakan
sebagai amar ma’ruf nahi mungkar. Sebagaimana firmanNya, ‘Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung’ [QS Ali Imran : 104].
Dengan demikian, secara sederhana istilah literasi dakwah bisa didefinisikan sebagai
upaya dakwah amar ma’ruf nahi mungkar melalui kegiatan membaca dan menulis sebagai
medianya. Pendakwahnya menulis karya berisi dakwah dan mad’unya membaca tulisan
dengan tujuan mendapatkan pencerahan dan kesadaran kepada Islam.
Tujuan literasi dakwah adalah sama dengan tujuan dakwah secara umum, sebab
literasi hanyalah media. Tujuan dakwah pada intinya adalah mengajak manusia kepada jalan
Islam. Jalan Islam adalah bentuk ketaatan manusia kepada hukum-hukum Islam, baik dalam
tataran individu, keluarga, masyarakat maupun negara.
Setelah berdakwah kepada individu, keluarga dan masyarakat untuk melaksanakan
segala perintah Allah yang bisa dilaksanakan, maka dilanjutkan dengan dakwah kepada
penguasa agar menjadikan Islam sebagai sumber hukum dalam mengatur masyarakat. Itulah
mengapa para Nabi termasuk Rasulullah, setelah mendapatkan jamaah dakwah dari kalangan
masyarakat dan tokoh, lantas melakukan dakwah secara terbuka kepada penguasa Quraisy
saat itu. Nabi Musa mendakwahkan Islam kepada penguasa Fir’aun. Walisongopun
berdakwah kepada para raja di Jawa, sehingga berdiri kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
setelah Rajanya masuk Islam dan diikuti oleh rakyatnya.
Para Nabipun berdakwah menggunakan media kata-kata secara langsung media
literasi secara tidak langsung. Melalui berbagai delegasi, Rasulullah dan para sahabat
seringkali membuat surat yang berisi tulisan ajakan dakwah kepada para penguasa agar
masuk kepada Islam. Sementara Nabi Musa berdakwah kepada Fir’aun dengan cara langsung
menyampaikan secara lisan.
Dalam sejarah literasi sebagai media dakwah, setidaknya ada beberapa fungsi literasi
dakwah. Pertama sebagai surat yang ditujukan langsung kepada penguasa berisikan ajakan
untuk masuk Islam. Kedua, sebagai kesepakatan damai hasil perundingan yang berisikan
konsensus antar muslim dan musuh Islam. Ketiga sebagai literatur berupa buku atau kitab,
buletin, majalah dan sejenisnya berisi ajakan dan pemahaman tentang ajaran Islam.
Beberapa contoh berikut adalah surat Rasulullah kepada para penguasa sebagai media
dakwah. Pada masa awal setelah diangkat sebagai utusan Allah (Rasulullah) Nabi
Muhammad Saw membangun komunikasi dengan para pemimpin suku dan pemimpin negara
lain. Beliau mengirim utusan yang membawa surat ajakan masuk Islam. Korespondensi
melalui surat itu tujukan kepada Heraclius (kaisar Romawi), Raja Negus (penguasa 
Ethiopia), dan Khusrau (penguasa Persia).
Sejarah mencatat, waktu itu Heraclius (Raja Romawi) dan Kisra (Raja Persia)
merupakan dua kerajaan yang terkuat pada zamannya, dan merupakan dua orang yang telah
menentukan jalannya politik dunia serta nasib seluruh penduduknya. Perang antara dua
kerajaan ini berkecamuk dengan kemenangan yang selalu silih berganti.
Oleh sebab itu, Rasulullah mengirimkan utusan-utusannya kepada kedua penguasa
besar itu, juga kepada Ghassan, Yaman, Mesir dan Abisinia. Beliau mengajak mereka untuk
memeluk Islam, tanpa merasa khawatir akan segala akibat yang mungkin timbul. Dampak
yang mungkin dapat membawa seluruh negeri Arab tunduk di bawah cengkeraman Persia dan
Bizantium.
Akan tetapi kenyataannya, Rasulullah tidak ragu-ragu mengajak para raja itu
menganut agama yang benar. Beliau mengirim utusan kepada Heraclius, Kisra, Muqauqis,
Harits Al-Ghassani (Raja Hira), Harits Al-Himyari (Raja Yaman) dan kepada Najasi,
penguasa Abesinia (Ethiopia). Beliau hendak mengajak mereka masuk Islam.
Para sahabat menyatakan mereka kesanggupan mereka melakukan tugas besar ini.
Rasulullah kemudian membuat sebentuk cincin dari perak bertuliskan: "Muhammad
Rasulullah".
Adapun surat buat Heraclius itu dibawa oleh Dihyah bin Khalifah al-Kalbi, dan surat
kepada Kisra dibawa oleh Abdullah bin Hudzafah. Sementara surat kepada Najasyi dibawa
oleh Amr bin Umayyah, dan surat kepada Muqauqis oleh Hatib bin Abi Balta'ah.
Sementara itu, surat kepada penguasa Oman dibawa oleh Amr bin Ash, surat kepada
penguasa Yaman oleh Salit bin Amr, dan surat kepada Raja Bahrain oleh Al-'Ala bin Al-
Hadzrami. Sedangkan surat kepada Harith Al-Ghassani, Raja Syam, dibawa oleh Syuja' bin
Wahab. Dan surat kepada Harits Al-Himyari, Raja Yaman, dibawa oleh Muhajir bin
Umayyah.
Masing-masing mereka kemudian berangkat menuju tempat yang telah ditugaskan
oleh Nabi. Para penulis sejarah berbeda pendapat tentang waktu keberangkatan mereka.
Sebagian besar menyatakan para utusan berangkat dalam waktu yang berbarengan, sementara
sebagian lagi berpendapat mereka berangkat dalam waktu yang berlainan.
Surat Untuk Heraclius. Berikut Surat Rasulullah kepada Heraclius (Raja Romawi)
-- yang dibawa oleh Dihyah al-Kalbi – teksnya berbunyi: "Dengan nama Allah, Pengasih
dan Penyayang. Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraclius pembesar
Romawi. Salam sejahtera bagi yang mengikuti petunjuk yang benar. Dengan ini saya
mengajak tuan menuruti ajaran Islam. Terimalah ajaran Islam, tuan akan selamat. Tuhan
akan memberi pahala dua kali kepada tuan. Kalau tuan menolak, maka dosa  orang-orang
Arisiyin—Heraklius bertanggungjawab atas dosa rakyatnya karena dia merintangi mereka
dari agama—menjadi tanggungiawab tuan. Wahai orang-orang Ahli Kitab. Marilah sama-
sama kita berpegang pada kata yang sama antara kami dan kamu, yakni bahwa tak ada yang
kita sembah selain Allah dan kita tidak akan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, bahwa
yang satu takkan mengambil yang lain menjadi tuhan selain Allah. Tetapi kalau mereka
mengelak juga, katakanlah kepada mereka, saksikanlah bahwa kami ini orang-orang Islam."
Surat Untuk Muqouqis (Penguasa Mesir). Kemudian Rasululullah Saw juga
mengirim surat kepada Gubernur Mesir Muqauqis. Berikut Surat untuk Muqouqis, Gubernur
Mesir: “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad
hamba Allah dan utusanNya kepada Muqauqis raja Qibthi. Keselamatan bagi orang yang
mengiktui petunjuk. Amma ba’du: Aku mengajakmu dengan ajakan Islam. Masuklah Islam
maka engkau akan selamat. Masuklah Islam maka engkau akan diberikan Alah pahala dua
kali. Jika kau menolak maka atasmu dosa penduduk Qibthi. “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab
marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia
dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah,
bahwa kami adalah orang orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS ali Imran 3:64).
(Al-Mawahib al Laduniyah).”
Surat untuk Raja Habasyah Najasyi (Ethiopia). Selanjutnya, Rasulullah Saw
mengirimkan surat kepada Raja Habasyah, Najasi. Berikut Surat Nabi kepada Raja Habsyah
Najasyi. “Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari
Muhammad hamba Allah dan utusa Allah kepada Najasyi raja Habasyah, keselamatan bagi
yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du: Aku memuji Allah padamun yang tidak ada tuhan
selain Dia, Yang Maha Menguasai, Maha Suci, Maha Penyelamat, Maha Pemberi Aman dan
Maha Pembeda. Aku bersaksi bahwa Isa anak Maryam ruh Allah, dan firmanNya yang
diberikan kepada Maryam yang suci lagi perawan, lalu ia hamil dari ruh dan tiupannya,
sebagaimana Ia menciptakan Adam dengan tanganNya. Aku mengajakmu kepada Allah yang
Esa, yang tidak ada sekutu bagiNya, mematuhi dengan ketaatan kepadaNya dan untuk
mengikutiku dan mempercayai apa yang aku bawa. Aku Rasulullah, aku mengajakmu dan
para pasukanmu kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Tinggi. Aku telah
menyampaikan pesan dan memberi nasehat, maka terimalah nasehatku. Keselamatan bagi
orang yang mengikuti petunjuk. (Thabaqut Ibnu Sa’ad).
Surat Untuk Raja Raja Persia (Raja Khosrau II/Kisra Abrawaiz). Lalu Rasullah
juga mengirim surat kepada Raja Persia. Berikut Surat Rasulullah kepada Raja Persia, Kisra
Abrawaiz: “Dengan Nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dari
Muhammad Rasulullah kepada Kisra raja Persia. Keselamatan bagi yang mengikuti
petunjuk, yang beriman kepada Allah dan RasulNya, dan bersaksi bahwa tidak ada tuhan
selain Allah dan aku adalah utusan Allah kepada semua umat manusia, untuk memberi
peringatan bagi siapa yang hidup. Masuklah Islam maka kau akan selamat, dan jika kau
mengabaikannya maka atasmu dosa orang orang Majusi.” (Sumber: hadist Ibnu Abbas yang
di-takhrij oleh Bukhari dan oleh Ahmad).  
Ketika Rasulullah Saw mengirim surat kepada Kisra Abrawaiz raja dari Negeri Persia
dan menyerunya kepada Islam. Namun ketika surat itu dibacakan kepada Kisra, ia pun
merobeknya sambil berkata, ”Budak rendahan dari rakyatku menuliskan namanya
mendahuluiku”.
Ketika berita tersebut sampai kepada Rasulullah Saw, beliaupun mengatakan,
”Semoga Allah mencabik-cabik kerajaannya.” Doa tersebut dikabulkan. Persia akhirnya
kalah dalam perang menghadapi Romawi dengan kekalahan yang menyakitkan. Kemudian
iapun digulingkan oleh anaknya sendiri yakni Syirawaih. Ia dibunuh dan dirampas
kekuasaannya.
Seterusnya kerajaan itu kian tercabik-cabik dan hancur sampai akhirnya ditaklukkan
oleh pasukan Islam pada jaman Khalifah Umar bin Khaththab ra hingga tidak bisa lagi
berdiri. Selain itu Kisra masih harus mempertanggung-jawabkan kekafirannya di akhirat
kelak.
Perjanjian Hudaibiyah. setelah sekian lama pertikaian tejadi antara kaum muslimin
dengan kafir quraisy serta mengakibatkan pecahnya peperangan dengan tak sedikit victim
yang berjatuhan, tersebutkan akhirnya tejadilah suatu kesepakatan/perjanjian damai antara
dua kelompok yang bertikai tersebut Perjanjian ini lebih diketahui dengan nama Perjanjian
Hudaibiyah. Perjanjian ini berlangsung terhadap tahun 628 M disutu tempat yang bernama
Hudaibiyah. Oleh pasal itu perjanian ini dikatakan juga Perjanjian Hudaibiyah Pada awal-
awal isi perjanjian ini terlihat merugikan kaum muslimin. Perjanjian ini disetujui oleh
Baginda Rasulullah SAW yang menuai kritik dari para sahabat.
Namun sehabis memperoleh penjelasan dari Baginda Rasulullah SAW akhirnya para
sahabat setuju serta mengenali bahwasanya isi perjanjian hudaibiyah ini amat
menguntungkan bagi kaum muslimin . Isi dari Perjanjian Hudaibiyah tersebut ialah : 1. Tak
saling menusuk antara kaum muslimin dengan warga Mekah sepanjang sepuluh tahun. 2.
Kaum muslimin menunda buat Umroh serta diperbolehkan memasuki kota Mekah terhadap
tahun berikutnya dengan tak membawa senjata kecuali pedang dalam sarungnya dan senjata
pengembara. 3. Siapa saja yang datang ke Madinah dari kota Mekah sesegera mungkin di
kembalikan ke kota Mekah. 4. Siapa saja dari warga Madinah yang datang ke Mekah,.
tersebutkan tak boleh dikembalikan ke Madinah. 5. Kesepakatan ini disetujui oleh kedua
pisah pihak serta tak boleh adanya pengkhianatan atau pelanggaran.

Budaya Literasi dan Pembentukan Karakter Dai


Literasi berasal dari bahasa inggris literacy yaitu kemampuan untuk membaca dan
menulis. KBBI pun mendefinisikan literasi sebagai kemampuan membaca dan
menulis.Namun literasi lebih sempit maknanya jika sekedar membaca dan menulis saja.
Menurut istilah literasi yaitu kemampuan untuk berifikir kritis dan berkomunikasi
secara efektif. Mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis dalam semua konten.
Sedangkan literasi menurut istilah adalah kemampuan seseorang dalam mengelola dan
memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis.
Literasi juga merupakan sesuatu yang berbeda sampai pada orang yang berbeda
dengan melalui masyarakat. Artinya saat ini banyak sekali literasi disematkan dengan kalimat
lain karena literasi itu sendiri dapat di artikan berbeda karena sesuai dengan tempat dan orang
yang berbeda.
Saat ini kajian literasi telah meluas tergantung bagaimana kata itu disematkan dalam
sebuah kalimat. Contohnya literasi pendidikan, literasi budaya, literasi teknologi, literasi
politik, literasi ekonomi, bahkan pada literasi gender. Termasuk di dalamnya adalah istilah
literasi dakwah yang akan dikaji lebih mendalam dalam makalah ini.
Seorang dai yang sehari-harinya menyeru kebaikan kepada masyarakat dan mencegah
kemungkaran harus memiliki mental yang kuat dan ilmu yang luas. Sebab selain menyerukan
kebaikan, dakwah juga memiliki fungsi untuk memberikan soslusi atas problematika
masyarakat. Literasi adalah salah satu cara membangun mental positif dai serta menambah
kedalaman ilmu agama yang hendak disampaikan.
Dalam Islam, manusia yang beriman, berilmu dan beramal shaleh diapresiasi dengan
derajat yang tinggi. Tidak ada agama selain Islam, dan tidak ada kitab suci selain Al-Qur’an
yang sedemikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong umatnya untuk
mencarinya, dan memuji orang-orang yang menguasainya. Termasuk di dalamnya
menjelaskan ilmu dan pengaruhnya di dunia dan akhirat, mendorong untuk belajar dan
mengajar, untuk mengenal diri dari kaca mata keilmuan dan pengamalannya. Islam dengan
tegas memisahkan dan membedakan antara orang berilmu dan tidak berilmu.
Sejarah tradisi keilmuwan dalam Islam sesungguhnya dimulai dari lahirnya Islam itu
sendiri. Rasulullah, sahabat dan para ulama pendahulu telah menancapkan tradisi ilmu. Al
Quran mengandung banyak ayat yang menganjurkan umat Islam untuk senantiasa menggali
ilmu dengan cara berfikir atau bertafakur. Biasanya Allah menyebut orang-orang beriman
yang mau berfikir tentang segala penciptaan Allah dengan istilah Ulil Albab.
Salah satu ulama yang bernama Ibnu Suhnun memiliki tradisi literasi, yakni membaca
dan menulis kitab-kitab yang luar biasa. Suatu saat ketika beliau sedang sibuk menulis sebuah
kitab sampai-sampai dia tidak sempat makan. Saat disuapin oleh pembantunya, bahkan dia
menanyakan di pagi harinya, dia tidak merasakan suapan pembantunya itu karena konsentrasi
tinggi saat membaca dan menulis.
Ibnu Sina pernah berkata, " Jika ada persoalan yang terlalu sulit bagiku, aku pergi ke
masjid dan berdoa, memohon kepada Yang Maha Pencipta agar pintu yang telah tertutup
bagiku dibukakan dan apa yang tampaknya sulit menjadi sederhana. Biasanya, saat malam
tiba, aku kembali ke rumah, menghidupkan lampu dan menenggelamkan diri dalam bacaan
dan tulisan". Hal ini menandaskan bahwa tradisi keilmuwan dan semangat pembelajaran telah
lama berlangsung.
Apa yang dilakukan oleh Ibnu Sina dalam bahasa sekarang disebut sebagai budaya
literasi. Literasi berasal dari bahasa inggris, literacy yaitu kemampuan untuk membaca dan
menulis. KBBI pun mendefinisikan literasi sebagai kemampuan membaca dan
menulis.Namun literasi lebih sempit maknanya jika sekedar membaca dan menulis saja.
Menurut Austintown local schools dalam literacy philosophy, literasi dimaknai
sebagai kemampuan untuk berifikir kritis dan berkomunikasi secara efektif. Mendengarkan,
berbicara, membaca dan menulis dalam semua konten. Literasi juga bisa dimaknai sebagai
kemampuan seseorang dalam mengelola dan memahami informasi saat melakukan proses
membaca dan menulis.
Anjuran untuk senantiasa berfikir dan mengamati realitas dengan jelas disebutkan
dalam Al Qur’an, Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka [QS Ali Imran : 190-191]
Bahkan secara spesifik, budaya membaca dan menulis telah disebutkan dalam al
Qur’an, Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya [QS Al ‘Alaq : 1-5].
Beberapa ahli membangun paradigma literasi dalam sudut pandang yang beragam.
Orang yang enggan menulis karena tidak tahu untuk apa dia menulis, merasa tidak berbakat
menulis dan merasa tidak tahu bagaimana cara menulis (Graves, 1978). Pengalaman belajar
menulis yang dialami siswa di sekolah tidak bisa dilepaskan dari kondisi gurunya sendiri
(Smith, 1981). Jika menulis seperti berbicara, maka tidak ada yang mau membaca. Jika
berbicara seperti menulis, maka tidak ada yang mau mendengar (TS Eliot, 1986).
Budaya literasi merupakan sebuah kreativitas intelektual. Kreativitas sesungguhnya
bersumber dari pola fikir seseorang yang positif. Al Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan
telah memberikan peluang kepada umat manusia untuk mengoptimalkan pemikirannya untuk
mengeksplorasi alam semesta, kehidupan dan manusia.
Budaya membaca dan menulis bukan hanya akan memajukan sebuah peradaban
bangsa, namun lebih dari itu akan mampu menjadi media pembangun karakter baik. Budaya
literasi bisa dijadikan sebagai salah satu metode pembentukan karakter posisitf bagi
pendakwah khususnya. Sebab proses menjadi seorang pembaca dan penulis yang tidak
mudah akan memberikan dampak intrinsik maupun ekstrinsik baik secara mental, intelektual
maupun spiritual.
Dampak intrinsik budaya literasi bagi seorang pendakwah adalah terjadinya
kristalisasi karakter positif bagi sang dai. Budaya membaca dan menulis membutuhkan
sebuah motivasi tinggi untuk mencintai ilmu dan buku. Membaca dan menulis juga
membutuhkan sebuah kesabaran dan kejujuran agar hasil kajiannya berkualitas. Budaya
membaca dan menulis juga menjadikan seseorang mampu memberikan manfaat bagi orang
lain.
Dengan demikian secara intrinsik, budaya literasi bisa menjadi media pembentukan
karakter semangat, cerdas, sabar, jujur, disiplin dan selalu memberi manfaat bagi orang lain.
Sebab karakter-karakter positif diatas sangat dibutuhkan oleh para dai yang sehari-harinya
bergelut di bidang dakwah dan ta’lim.
Dampak ekstrinsik literasi adalah terbangunnya masyarakat muslim yang cinta ilmu
pengetahuan, cerdas dan memberikan kontribusi positif bagi terbangunnya kemajuan
peradaban bangsa. Sebab kemajuan peradaban sebuah bangsa tidak bisa dilepaskan dari
kualitas masyarakatnya yang cerdas, terdidik dan selalu berfikir bagi kemajuan dengan
landasan ilmu pengetahuan dan spiritualitas.
Secara konten, budaya literasi juga mampu membangun nilai-nilai etis dan estetis
semisal literasi sastra. Dengan karya-karya sastra akan mampu memperhalus rasa dan
kesantunan, baik penulisnya maupun yang membacanya. Karya-karya semisal puisi, cerpen
dan novel akan memberikan dampak psikologis positif bagi penulis dan pembaca, dengan
catatan karya sastra yang positif, bukan yang negatif.
Sebagai salah satu contoh apa yang dilakukan oleh Forum Lingkar Pena, sebuah
organisasi para penulis dan calon penulis yang mendedikasikan dirinya untuk membangun
literasi dakwah lewat dunia sastra semisal cerpen, novel, puisi, dan film. Cerpen berjudul
‘Ketika Mas Gagah Pergi’ karya Helvy Tiana Rosa yang kini telah diangkat ke layar lebar
telah menjadi inspirasi bagi remaja muslimah untuk berjilbab.
Karena itu budaya literasi ini harus terus didorong oleh semua elemen masyarakat,
sebab dalam jangka panjang akan menjadi investasi terbentuknya kualitas SDM muslim yang
unggul, baik mental, intelektual dan spiritual. Para pemimpin harus memberikan contoh
budaya literasi ini, sehingga akan menular kepada masyarakat luas, baik di sekolah, di rumah,
di perkantoran, maupun di lingkungan yang lebih luas. Menjadikan budaya literasi sebagai
metode pendidikan karakter bukan perkara mudah, tapi dengan niat kuat dan kebersamaan,
tidak ada yang mustahil.
Untuk menghasilkan tulisan berkualitas memang tidak mudah, tapi bisa diupayakan.
Akan ada banyak pain (kesakitan) dalam proses menulis, akan ada banyak masalah sepanjang
jalan menuju tambang emas itu (Gain). Memang demikianlah aturan mainnya. Untuk itu,
budaya literasi memerlukan kerja keras dan usaha optimal agar hasil yang didapatkan juga
optimal dan bermutu.
Jika semua lancar-lancar saja, jika semuanya mudah-mudah saja seperti semudah
membalikkan telapak tangan, maka impiannya mungkin terlalu kecil, atau sesuatu itu tidak
layak diimpikan. Impian yang besar, biasanya, kesakitan atau tantangannya juga besar.
Penulis besar lahir dari tantangan yang besar pula.
Meski bukan satu-satunya cara, namun budaya literasi bisa menjadi sarana
pembentukan karakter dai yang tangguh, sabar, cerdas, disiplin, baik bagi sang dai maupun
bagi masyarakat pembaca sebagai mad’unya. Jadi tunggu apa lagi, ayo para dai mulai
membaca dan menulis.

Dakwah dan Tantangan Imperialisme Epistemologi


Secara umum diutusnya seorang Nabi dan Rasul adalah sebagai pemberi petunjuk dan
peringatan kepada manusia agar berjalan lurus diatas jalan Allah dan menjauhi jalan setan.
Itulah mengapa para Nabi dan Rasul selalu diutus Allah dalam kondisi masyarakat jahiliyah
yang telah rusak pola fikir dan pola sikapnya. Pola pikir dan sikap kaum jahiliyah
mendasarkan kepada hawa nafsu semata dan menjauhi wahyu. perilaku jahiliyah dimulai dari
pola fikir dan pemahaman yang rusak atas konsep kehidupan, alam semesta dan manusia.
Arus globalisasi sejatinya adalah upaya globalisasi nilai-nilai Barat yang bertentangan
dengan Islam. Demokratisasi dunia Islam adalah salah satu usaha Barat sebagai pola
imperialisme. Penjajahan Barat tidak lagi melalui senjata, namun dengan pendekatan
pemikiran [ghozwul Fikr]. Berbagai narasi dibangun Barat untuk menyerang Islam, seperti
narasi radikalisme dan terorisme.
Kaum pembangkang Allah tidak akan pernah rela dan berhenti untuk berusaha
memadamkan cahaya Islam, dimanapun dan sampai kapanpun. Mereka tidak menginginkan
kebangkitan Islam yang semakin dekat ini. Berbagai cara terus dilancarkan dari dulu hingga
kini. Jika merujuk pada sejarah, perjuangan Rasulullah selalu dihalang-halangi oleh kaum
kafir dan dikhianati oleh kaum munafik. Dari fitnah hingga penyiksaan dan pembunuhan
terus mereka lakukan.
Dalam sejarah kebangkitan sebuah negara selalu diawali oleh kemajuan pemikiran
bangsa tersebut. Sebuah pemikiran Islam akan mengantarkan sebuah bangsa pada
kebangkitan Islam. Begitu pula pemikiran komunisme atau kapitalisme. Masing-masing
ideologi akan saling berbenturan dan bertolak belakang.
Karenanya benturan ideologi adalah sebuah keniscayaan. Barat kafir kini tengah
melancarkan penjajahan pemikiran kepada umat Islam atau negeri-negeri muslim dengan
menggunakan para anteknya. Imperialisme epistemologis (ghozwul fikr) (QS. Al Baqarah :
120 dan 217) ini setidaknya memiliki empat karakteristik : Harakah At Tasykik, Harakah At
Tasywih, Harakah At Tadzwib dan Hakarah At Taghrib.
Harakah At Tasykik yakni menumbuhkan keraguan (skeptis) pada umat Islam akan
kebenaran Islam. Diantara keraguan yang mereka lancarkan adalah gugatan tentang otentitas
Al Qur’an, Islam sebagai Mohammadanisme, keraguan atas kerasulan Muhammad. Dampak
dari at tasykik adalah tumbuhnya sikap netralitas dan relativitas terhadap ajaran Islam. Jika
masih ada seorang muslim yang secara fanatik memahami Islam maka mereka kemudian
dicap sebagai fundamentalis, radikalis, islamist dan teroris.
Harakah At Tasywih, yaitu menghilangkan rasa kebanggaan terhadap ajaran Islam
dengan cara memberikan stigma buruk terhadap Islam. Mereka dengan gencar mencitrakan
Islam secara keji melalui media-media. Islam dipresentasikan sebagai agama yang
antagonistik terhadap ide-ide kebebasan, HAM, demokrasi, pluralisme dan nilai-nilai Barat
lainnya. Dampak dari tasywih ini adalah menggejalanya inferiority complex (rendah diri)
pada diri umat Islam, islamopobhia, pemujaan kepada Barat.
Harakah At Tadzwib, yakni gerakan pelarutan (akulturasi) peradaban dan pemikiran.
Dampaknya adalah terjebaknya umat Islam dalam pemikiran pluralisme agama. Pluralisme
jelas bertentangan dengan Islam. Sebab pluralisme menurut WC Smith bermakna transendent
unity of religion (wihdat al adyan), dan global teologi menurut John Hick.
Hakarah At Taghrib yakni gerakan westernisasi. Sebuah upaya penggiringan opini
dan paradigma bahwa sumber kemajuan adalah Barat. Maka jika ingin maju, harus mengikuti
Barat. Padahal ideologi Barat tak ubahnya sebagai candu dan racun yang akan membunuh
pelan-pelan ghirah Islam.
Beberapa langkah praktis untuk memadamkan cahaya Islam yang dilakukan olah para
musuh Islam adalah : Name Calling Device (stigmatisasi Islam), Gelittering Generalaties
Device ( perlambangan indah agar disenangi kaum muslim), Transfer Device (mempertalikan
istilah dengan hal yang digemari orang banyak], Testimonial Device (merujuk perkataan
orang-orang terkenal supaya dipercaya), Plainfolks Device (berjuang atas nama membela
rakyat), Card Stacking Device ( memutar balik fakta) dan Band Wagon Device
(menggunakan musik dan slogan) ( Dorothy Mulgrave, dikutip Toha Jahja Omar, Ilmu
Dakwah, 1967 : 3).
Disinilah pentingnya umat Islam terutama para dai terus meningkatkan taraf berfikir
yang mendalam dan cemerlang agar mampu membaca segala upaya musuh-musuh Islam
neomodernisme dan postmodernisme yang mencoba menggunakan bahasa-bahasa indah,
namun mengandung racun yang mematikan. Mereka akan terus memadamkan cahaya Allah,
namun Allah akan terus menyalakan cahayaNya.
Pemikiran yang mendalam dan cemerlang akan melahirkan kesadaran ideologis yang
kokoh yang tak mungkin bisa ditembuh oleh tipu daya musuh-musuh Islam, meskipun
dengan bahasa-bahasa yang indah sekalipun. Kesadaran ideologi tak akan mampu tergoda
oleh ayat-ayat setan, apalagi hanya sekedar orientasi pragmatisme belaka. Allah melarang
dengan keras orang yang menjual agama dengan harga dunia yang hanya secuil. Wahai kaum
muslimin, cerdaslah dan sadarlah.
Tantangan besar para dai hari ini adalah tantangan yang juga dihadapi oleh Rasulullah
zaman dulu, yakni hegemoni pemikiran menyimpang yang telah menjadikan masyarakat kini
sebagai masyarakat jahiliyah modern. Bedanya, jika dahulu jahiliyah hanya dialami oleh
kaum kafir, namun hari ini banyak kaum muslimin yang telah terjerumus kepada budaya
Barat jahiliyah.
Pemikiran seperti demokrasi, sekulerisme, kapitalisme, liberalisme, feminisme,
terorisme, komunisme, nasionalisme, dan multikulturalisme adalah sebagian pemikiran Barat
yang kini tengah menghegemoni dunia Islam. Isme-isme jahiliyah modern ini hanyalah
reinkarnasi pemikiran jahiliyah zaman dahulu, hanya ganti nama, sementara substansinya
tetap sama.
Sikap seseorang terhadap realitas inderawi maupun metafisik sangat bergantung
kepada pola fikirnya. Meski realitasnya sama, namun karena perbedaan pola fikir, maka akan
menghasilkan sikap yang berbeda. Sebagai contoh sikap kaum muslimin terhadap ideologi
demokrasi. Ada kaum muslimin yang percaya 100 persen terhadap kebenaran demokrasi, ada
kaum muslimin yang menjadikan demokrasi sebagai instrumen, ada juga kaum muslimin
yang melihat demokrasi sebagai ideologi batil yang secara diametral bertentangan dengan
Islam. Faktanya sama, tapi sikapnya berbeda. Sederhananya, berfikir adalah menghukumi
fakta.
Kaum muslimin yang menerima sepenuhnya kebenaran demokrasi biasanya karena
sejak awal mereka bersentuhan dengan pemikiran Barat dan tidak bersentuhan dengan
epistemologi Islam sama sekali. Kaum muslimin yang berfikir demikian biasanya hanya
mengakses informasi tentang demokrasi dari satu arah, terutama dari Barat. Bahkan mereka
percaya bahwa demokrasi adalah sistem terbaik, sebaliknya mereka mendengarkan bahwa
Islam adalah sistem diktator yang ekstrim dan ketinggalan zaman. Dari kondisi inilah, kaum
muslimin tipe pertama ini meyakini sepenuhnya demokrasi dan justru menolak sistem Islam
untuk diterapkan dalam negara.
Sementara tipologi kedua yakni kaum muslimin yang menganggap demokrasi
hanyalah instrumen didasarkan oleh ketidaktahuan hakekat demokrasi. Demokrasi dalam
pandangan muslim tipe dua ini hanya sebatas mekanisme politik seperti pemilu misalnya.
Dengan anggapan ini, mereka menganjurkan kaum muslimin untuk ikut andil dalam
parlemen dan memperjuangkan Islam di dalamnya. Ada yang tidak mereka sadari, bahwa di
negara-negara demokratis justru menolak Islam dan kaum muslimin. Lihat kondisi kaum
muslimin di negara-negara demokratis, bukan hanya islamnya ditolak, namun lebih dari itu,
kaum muslimin dituduh sebagai teroris sehingga layak diusir dan dibunuh. Padahal
demokrasi mengajarkan HAM, faktanya omong kosong. Tipe kedua ini tidak memahami
demokrasi dalam kontek hakekatnya.
Tipologi ketiga melihat demokrasi sebagai fakta. Fakta demokrasi adalah sebuah
ideologi politik transnasional yang lahir dari kultur Barat yang secara definitif sangat multi-
interpretatif, baik teoritis maupun implementatif. Tak bisa dipungkiri bahwa setiap penguasa
negara berhak mengklaim negaranya sebagai negara demokratis, meskipun nilai politik
kekuasaannya yang diadopsi amat jauh dari prinsip dasar demokrasi. Karena sifatnya yang
multi-interpretatif itu, lahirlah berbagai tipologi demokrasi seperti demokrasi liberal,
demokrasi rakyat, demokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi
pancasila, demokrasi parlementer, dan bentuk subyektifitas demokrasi lainnya. Dalam
konteks ini, Dawam tidak menjelaskan demokrasi tipologi yang mana yang hendak
disematkan dalam kata Islam.
Sebenarnya perdebatan intelektual hubungan Islam dan demokrasi apakah kompatible
atau kontradiktif sudah terjadi sejak lama, terutama saat kaum intelektual muslim bersentuhan
dengan intelektualisme Barat. Meski demikian, belum ada hasil yang benar-benar disepakati
oleh kaum muslimin, sebab fakta di lapangan justru negera-negara demokratis banyak yang
menolak Islam itu sendiri. Bukti paling anyar adalah ungkapan-ungkapan sarkasme Donald
Trump dalam dalam setiap kampanyenya yang melarang komunitas muslim untuk tinggal di
Amerika.
Padahal Amerika dikenal sebagai kampium demokrasi. Bahkan saat kaum muslimin
dengan partai Islamnya mengikuti perhelatan demokrasi dan memenangkan pemilu justru
dianggap tidak sah dan dianulir seperti yang terjadi di Mesir dan Aljazair di masa lalu.
Bahkan lebih dari itu, Dawan telah memaparkan fakta-fakta historis penolakan sekulerisme
demokrasi terhadap eksistensi Islam itu sendiri. Ini sebenarnya membuktikan bahwa
demokrasi sekuler adalah ideologi kontra agama.
Sumber pemikiran demokrasi adalah filsafat sekulerisme. Sekulerisme sendiri adalah
paham yang mendistorsi peran etika Tuhan dalam ranah publik. Karena itu dalam paradigma
sekulerisme, agama di posisikan di ruang private. Adapun di ruang publik yang berlaku
adalah konsensus elite otoritas kekuasaan untuk mengaturnya. Meski tak dipungkiri,
demokrasi seringkali hanya sebagai kuda tunggangan kaum kapitalis untuk menghegemoni
ekonomi suatu negara. Itulah kenapa dalam negara demokrasi, kemiskinan rakyat tak kunjung
dapat diselesaikan. Wajah demokrasi lebih sering nampak sebagai alat imperialisme atas
negara-negara ketiga dibanding formula politik bagi kesejahteraan rakyat.
Sementara Islam tidak memiliki sifat sekuleristik. Sebab Islam adalah sebuah
ideologi, disamping ideologi kapitalisme sekuler dan komunisme atheis, yang secara
komprehensif mengatur masyarakat di seluruh aspek kehidupan, baik ranah publik maupun
ranah private. Dibawah prinsip-prinsip tauhid, Islam memiliki formulasi yang paradigmatik
integratif dalam ranah politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sosial. Seluruh aspek publik
selalu dilandasi oleh etika dan hukum Islam. Sementara demokrasi sekuler melandasinya
dengan akal bebas yang sangat relatif. Karena itu demokrasi yang secara genetik membawa
gen sekulerisme jika dipadukan dengan Islam akan nampak semacam sinkretisme
epistemologis jika tidak hendak dikatakan sebagai pemaksaan intelektual.
Memberikan interpretasi dikhotomis antara kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat
yang tertera dalam surat Asy Syura : 38 dengan memisahkan antara urusan ibadah individual
dengan sosial adalah interpretasi sekuleristik yang bertentangan dengan sifat Islam itu sendiri.
Sebab jika benar interpretasi ini, kenapa ada konsep ekonomi Islam, pendidikan Islam, politik
Islam dan pemerintahan Islam. Syuro sendiri dalam Islam adalah model pengambilan
keputusan masalah-masalah mubah dan bersifat teknis, tidak pada wilayah hukum.
Sementara masalah-masalah yang telah jelas hukumnya, tak perlu di musyawarahkan lagi.
Mendikhotomi hal ini adalah bentuk distorsi dari kesempurnaan Islam. Padahal QS Al
Maidah : 3 telah dengan jelas kesempurnaan Islam bagi landasan hukum seluruh aspek
peradaban manusia.
Sebenarnya implementasi demokrasi di berbagai negara lebih banyak merugikan
Islam. Hal ini menunjukkan indikasi yang jelas bahwa sebenarnya demokrasi adalah ideologi
politik sekuler yang tidak kompatibel dengan Islam. Islam adalah ideologi khas yang
berdasarkan wahyu Allah dan memberikan rahmat bagi alam semesta. Otoritarisme penguasa
muslim tidaklah bijak jika dianggap representasi dari Islam itu sendiri. Harus dibedakan
antara Islam dan muslim. Muslim yang melakukan kesalahan bukan berarti Islam yang salah,
justru muslim itu telah melanggar etika Islam. Sebab jika Islam adalah otoriter yang
destruktif tentu bertentangan dengan firman Allah sendiri yang menegaskan bahwa Islam
adalah rahmatan lil alamin (QS al Anbiyaa : 107).
Dibawah panji Islam, Rasulullah dengan sangat indah menghadirkan kondisi paling
ideal dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara. Implementasi hukum dan etika Islam
telah memberikan keberkahan bagi siapa saja yang mau tunduk tanpa mengenal perbedaan
ras, suku, agama, dan warna kulit. Hukum-hukum Islam telah memberikan keadilan dan
kesejahteraan yang belum pernah dicapai oleh ideologi lain sepanjang sejarah. Tentu saja
Rasulullah mendasarkan seluruh gerakan politiknya pada paradigma wahyu.
Rasulullah adalah seorang oposisi sejati yang berdiri di luar sistem jahiliyah dengan
terus mengobarkan dakwah Islam hingga banyak kaum kafir yang masuk Islam. Rasulullah
menyadari sepenuhnya bahwa sistem jahiliyah bukanlah alat untuk mencapai kemenangan
Islam. Rasulullah tidak melakukan kompromi dengan hukum jahiliyah saat menegakkan
Islam. rasulullah juga tidak menggunakan kekerasan dalam menegakkan Islam.
Metode yang digunakan untuk mengembalikan peradaban Islam ada tiga. Pertama,
dengan jalan kekerasan tanpa kompromi. Tentu jalan ini tidak dibenarkan oleh Islam itu
sendiri. Islam adalah agama damai, bukan agama teror. Ada sebagian kecil kelompok gerakan
yang menggunakan metode ini telah gagal, bahkan metode ini telah melahirkan islam phobia
yang sangat merugikan kaum muslimin di seluruh dunia. Akibatnya umat Islam di berbagai
negara menjadi sasaran diskriminasi yang tidak manusiawi.
Kedua dengan metode demokrasi kompromistis. Metode ini dilakukan oleh partai-
partai Islam yang mengikuti arus demokrasi dengan mengikuti pemilu. Harapannya dapat
menempatkan wakilnya sebagai anggota dewan dalam memperjuangkan aspirasi Islam.
Metode inipun nampaknya gagal. Sebab yang justru terjadi adalah proses pendangkalan Islam
dan proses pencampuran ideologi. Tentu jalan ini juga tidak dibenarkan dalam Islam. Sebab
Islam adalah agama yang tidak memberikan kompromi bagi kebatilan, meski juga tidak
melakukan kekerasan.
Ketiga adalah gerakan dakwah politis yang non parlementer tanpa kekerasan. Gerakan
ini bertujuan memberikan edukasi politik sehingga melahirkan kecerdasan dan kesadaran
kaum muslimin akan situasi politik yang ada. Inilah metode yang dilakukan Rasulullah
hingga tegak supremasi hukum Islam di Madinah.
Pemaknaan demokrasi sebagai syuro merupakan penyederhanaan masalah. Sebab
demokrasi tidaklah sesederhana mekanisme syuro. Demokrasi sesungguhnya adalah ideologi
politik yang lahir dari filsafat Barat, sebagaimana juga ideologi komunisme. Sementara syuro
adalah mekanisme pengambilan keputusan yang didasarkan oleh nilai-nilai wahyu. Itulah
kenapa produk hukum demokrasi banyak bertentangan dengan produk hukum Islam. Di
Indonesia sendiri perda-perda syariah dianggap diskriminatif dan tidak sejalan dengan
paradigma demokrasi, meski perda itu hanya berlaku untuk kaum muslim.
Tidak ada istilah demokrasi Islam, sebab istilah ini justru bagian dari imperialisme
epistemologi. Dengan term demokrasi Islam yang cenderung sinkretis, akan memicu istilah-
istilah lain sejenis seperti sekulerisme Islam, liberalisme Islam, mederatisme Islam,
sosialisme Islam, pluralisme Islam atau bahkan mungkin radikalisme Islam. Dua term yang
memiliki asas yang berbeda, tidak mungkin bisa disatukan. Kesempurnaan Islam tidak
membutuhkan lagi label-label primordialistik apalagi menyimpang. Karena itu Islam tidak
perlu disandingkan dengan demokrasi atau sebaliknya, keduanya berbeda secara asas dan
paradigma. Karena itu yang ada adalah pilihan, Islam atau demokrasi, jangan dicampur aduk.
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu
sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui [QS Al Baqarah : 42].

Literasi, Sosial Media dan Dakwah Global


Perkembangan sosial media tak mungkin lagi terbendung dimana milyaran manusia
mengakses setiap detiknya. Ini adalah kesempatan untuk para dai mendakwahkan Islam dan
mengisi sosial media dengan konten-konten positif penuh inspirasi keislaman. Sosial media
ibarat tong kosong yang siap menampung apa saja yang. Seorang dai mesti mampu mengisi
sosial media dengan konten-konten dakwah.
Literasi dakwah mengalami apa yang disebut migrasi literasi dari off line ke dunia on
line. Ini adalah kesempatan positif bagi para dai zaman now untuk menjadikan sosial media
sebagai media dakwah yang bersifat global. Sosial media memiliki banyak kelebihan jika
digunakan sebagai media dakwah.
Efektifitas dan daya jangkau dakwah via sosial media kepada ma’du akan lebih cepat.
Menulis satu artikel dakwah dan diposting ke FB misalnya, maka dalam hitungan jam
mungkin telah ada ratusan bahkan ribuah orang yang mengaksesnya. Bahkan lewat on line,
seorang dai juga bisa melakukan tanya jawab kepada ma’du setelah membaca tulisan sang
dai.
Mesti telah ada UU ITE yang dikeluarkan pemerintah, yang bisa menjerat postingan
dakwah, namun dakwah tentu saja tidak boleh berhenti. Sebab dakwah adalah damai dan
penuh kebajikan. Sebab dakwah adalah cinta, mengajak manusia ke jalan yang baik dan
keluar dari jalan yang buruk. Yang terpenting, seorang dai tidak boleh menebarkan
kebohongan, hoax, penipuan dan fitnah dalam berdakwah melalui sosial media.
Berikut beberapa ayat Allah yang bisa dijadikan sebagai pedoman dakwah via sosial
media :
Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik [QS Al Hijr : 94].
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu [QS Al Hujurat : 6].
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),
karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang [QS Al Hujurat : 19].
Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali
tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah
dusta yang besar" [QS An Nur : 16]
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu
tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di
akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui [QS An Nur : 19]
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan [QS Al Maidah : 8].
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela [QS Al Humayah : 1] dan
janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela,
yang kian ke mari menghambur fitnah [QS Al Qalam : 10-11].

Khatimah
Islam adalah agama dakwah, dimana seluruh Nabi dan Rasul diutus Allah untuk
memberikan petunjuk ke jalan yang lurus dan peringatan agar manusia tidak berjalan di atas
jalan kebatikan. Dakwah para Rasul selalu dihadapkan dengan berbagai tantangan dan
hambatan. Namun Rasulullah tidak menyerah dan mundur satu jengkalpun. Beliau tetap
berada di jalur dakwah tanpa meleburkan diri dalam sistem jahiliyah yang zalim.
Budaya literasi adalah budaya para Nabi dan ulama dalam menyampaikan dakwah
Islam dan ilmu ajaran Islam. Berbagai surat, perjanjian perdamaian yang Rasulullah buat
sebagai media dakwah dan karya-karya ulama menunjukkan budaya literasi telah menjadi
bagian dari aktivitas kaum muslimin. Dengan demikian literasi sebagai media dakwah dapat
dengan mudah dirujuk dalam sejarah.
Tantangan dakwah zaman now sejatinya sama dengan tantangan dakwah zaman
dahulu, yakni hegemoni pemikiran sesat yang mengelimuti kehidupan manusia. Imperialisme
epistemologi zaman jahiliyah sama dengan hari ini. Karena itu seorang dai harus mampu
membaca tantangan dakwah ini untuk kemudian melakukan proses penyadaran kepada umat
agar bisa terbebas dari racun-racun pemikiran jahiliyah modern ini.
Sosial media adalah media dakwah efektif yang mampu menjangkau ruang publik
lebih luas dalam waktu yang sangat singkat melalui budaya migrasi literasi. Meskipun
dakwah mestinya tetap tidak meninggalkan tatap muka langsung antara dai dan ma’du.
Karena itu dai zaman now harus melek teknologi informasi sebagai media dakwah dengan
tetap menjaga kode etik dakwah agar tujuan dakwahnya bisa tercapai dengan baik tanpa ada
unsur paksaan.
Untuk itu di tengah gelombang globalisasi dan modernisasi dengan tantangan
pemikiran Barat yang tidak ringan, seorang dai harus mampu merevitalisasi visi, materi,
media, organisasi dan pendekatan dakwah serta manajemen dakwah jamaah yang solid.
Sebab tantangan besar ini tak mungkin dipikul oleh seorang diri, dakwah harus berjamaah
dengan organisasi yang rapi. Allah mencintai hambaNya yang berperang dengan barisan yang
rapi dan kuat. Dengan langkah-langah revitalisasi dakwah, semoga Islam sebagai agama
rahmatan lil’alamin segera tegak di bumi Allah dalam institusi daulah Islamiyah, menebar
kebajikan dan menumbangkan segala ideologi kufur yang zalim. Wallahua’lam bishawab.

Makalah ini disampaikan pada seminar nasional KPI UIKA Bogor, Rabu, 28 Pebruari 2018
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Muhammad Imaduddin. Kuliah Tauhid. Bandung : 1980. Pustaka-


Perpustakaan salman ITB.
Ahmad, Zainal Abidin. Negara Adil Makmur Menurut Ibnu Siena, 1974. Jakarta : Bulan
Bintang.
Ahmed, Shabir, Anas Abdul Muntaqim dan Abdul Sattar. Islam dan Ilmu Pengetahuan.
1999. Bangil : Al Izzah
Al Attas, Syed Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan Dalam Islam. 1984, Bandung :
Mizan.
Al Faruqi, Isma’il Raji, Islamisasi Ilmu Pengetahuan. 2000, Jakarta : Lontar Utama.
Al Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, 1988, Bandung : Pustaka.
Al Ghazali, Imam Abu Hamid. Al Mushtashfa min 'ilm al Ushul. Edisi 1 1414 H Beirut :
Darul Kutb al Ilmiyah
Al Ghazali, Imam Abu Hamid. Bidayatul Hidayah (Tuntunan Mencapai Hidayah Allah.
Terj.) 2003, Surabaya : Al Hidayah
Al-Ghazali, Al-Misykat Cahaya-cahaya, ( Bandung: Mizan, 1989)
Ali, Attabik. Kamus Inggris Indonesia Arab. 2003. Yogyakarta : Multi Karya Grafika,
Pondok Pesantren Krapyak
Ali, Lukman,. Dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: 1994, Balai Pustaka.
Alma, Buchori. Pemasaran Stratejik Jasa Pendidikan. 2003. Bandung : Penerbit Alfabeta
Al-Sa’is, Rif’at, Sorban Merah Kaum Liberalis, Yogyakarta: Sajadah Press, 2008
Aly, Abdullah, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Telaah Terhadap Kurikulum
Pondok Pesantren Moderen Assalam Surakarta, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2011
Amin, Mahrus. Dakwah melalui Pondok Pesantren : Pengalaman Merintis dan Memimpin
Darunnajah Jakarta. 2008. Jakarta : Penerbit Grup Dana.
Amin, Masyhur. Sejarah Peradaban Islam. 2004. Jakarta : Indonesia Spirit Fondation.
Anis, Ibrahim dkk, al Mu'jam al Wasith, 1972, Majma' al Lughah, Kairo
Antonio, Muhammad Syafii. The Super Leader Super Manager. 2007. Jakarta : Tazkia
Multimedia dan Pro LM
Anwar, Ali, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Arcaro, Jerome S. Pendidikan Berbasis Mutu : Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah
Penerapan. 2006, Jakarta : Pustaka Pelajar.
Arep, Ishak dan Hendri Tanjung. Manajemen Sumber Daya Manusia. 2003. Jakarta : Penerbit
Universitas Trisakti.
Armush, Ahmad Ratib. The Great Leader, Strategi dan Kepemimpinan Muhammad SAW.
2006. Jakarta : Embun Publising.
Asghar Ali Engineer. “Islam dan Teologi Pembebasan” Cet. IV (Yogyakarta: Lkis, 2006)
Asghar Ali Engineer. Islam Masa Kini. Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. 2001. Jakarta : Logos
Assyaukanie, Luthfi, (peny.), Wajah Liberal Islam di Indonesia, Jakarta: JIL, 2002
Assyaukanie, Luthfi, Islam Benar Versus Islam Salah, Depok: Kata Kita, 2007
Asy’ari, Konsep Pendidikan Islam: Implementasinya Dalam Tradisi Klasik dan Propagasi
Moderen, Ciputat: Rabbani Press, 2011

Anda mungkin juga menyukai