Anda di halaman 1dari 5

NAMA : MIFTAHUS SURUR

NIM : 180111100182

KELAS : G HUKUM WARIS

MATERI : PERTEMUAN 1 HUKUM WARIS ISLAM

A. HUBUNGAN SISTEM KEWARISAN DENGAN SISTEM KEKELUARGAAN

3 bentuk kekeluargaan:

- Keluarga besar dengan hak kolektif atas harta kekayaan. Harta adalah milik bersama,
sehingga harta tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris atau disebut dengan harta
pusaka (Romawi, Minang).
- Sistem mayorat: Anak tertua bertanggungjawab memelihara penghidupan seluruh
keluarga sebagaimana tanggungjawab orang tua. Sehingga anak tertua berhak tunggal
mewarisi seluruh harta peninggalan (Lampung, Bali)
- Keluarga kecil dengan hak individual: diakuinya hak perorangan.

3 golongan sifat kekeluargaan

- Patrilinial:
o Anak-anak dinasabkan pertalian darah hanya kepada bapaknya, kakeknya dan
seterusnya menurut garis laki-laki. Anak perempuan yang telah menikah lepas
dari orang tuanya dan masuk ke lingkungan suaminya.
- Matrilinial:
o Anak keturunan dinasabkan pada pertalian darah dengan ibunya, ayah tidak
memiliki kekuasaan atas anak-anaknya.
- Bilateral/Parental:
o Anak-anak memiliki dua garis keturunan baik dari ayah maupun ibu.

Hukum Kewarisan Islam atau juga dikenal sebagai The Islamic Law of Inheritance,
mempunyai karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan sistem hukum lainnya, misalnya
Civil Law ataupun Common Law. Di dalam hukum Islam, ketentuan materiil bagi orang-
orang yang ditinggalkan pewaris, telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadis secara rinci
dan jelas. 1

Adapun di dalam sistem hukum Barat pada pokoknya menyerahkan persoalan harta
peninggalan pewaris berdasarkan kepada keinginan yang bersangkutan itu sendiri, yaitu
pewaris membuat wasiat pada saat hidupnya. Dengan perkataan lain, kehendak atau
keinginan pewaris merupakan sesuatu yang utama dan hukum baru ikut campur, apabila
ternyata pewaris tidak meninggalkan wasiat yang sah.2

Hukum Kewarisan Islam telah merombak secara mendasar sistem kewarisan yang
berlaku pada masa sebelum Islam yang pada pokoknya tidak memberikan hak kewarisan
kepada wanita dan anak-anak. Dengan demikian, hukum kewarisan Islam telah meletakkan
suatu dasar keadilan hukum yang sesuai dengan hak asasi dan martabat manusia.3

Sistem kewarisan Islam kategori “Individual bilateral” berdasar:

- An Nisa 7: bagi anak laki laki ada bagian dari ibu bapak dan kerabatnya dan bagi anak
perempuan ada bagian dari ibu bapak dan kerabatnya.
- “Bilateral” dalam Islam dengan corak khusus, yaitu bagian laki-laki 2 x bagian
perempuan (karena laki-laki dominan memiliki tanggungjawab materiel dalam keluarga
dan perempuan tanggungjawab non materiel, walaupun tidak secara mutlak)
B. SEJARAH HUKUM WARIS PADA MASA PRA ISLAM DAN PADA MASA
AWAL ISLAM
1. Kewarisan Pada Masa Pra-Islam
Masa pra-Islam dikenal juga dengan masa jahiliah, yaitu masa di mana bangsa
Arab selalu melakukan peperangan dan bertindak tidak adil. Pada waktu itu, kehidupan
orang Arab bergantung pada hasil perniagaan, jarahan, dan hasil rampasan perang
dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Ketika itu, kekayaan berada di tangan

1
Yaumil Chaerani, Skripsi “Analisis Pembagian Harta Warisan Kepada Anak Luar Kawin Ditinjau Dari Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Khi)”, Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan 2019, Hlm 4
2
ibid
3
Yaumil Chaerani, Skripsi “Analisis Pembagian Harta Warisan Kepada Anak Luar Kawin Ditinjau Dari Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Khi)”, Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan 2019, Hlm 5
laki-laki dewasa yang mampu dan memiliki kekuatan serta kekuasaan. Hal itu juga
berlaku terhadap pembagian harta warisan.4
Pada masa praislam, pembagian harta warisan dilakukan dengan memakai
dua sistem, yaitu sistem keturunan dan sistem sebab. Tradisi pembagian harta warisan
pada masa jahiliah bersifat patrilinear, artinya anak-anak yang belum dewasa dan
kaum perempuan tidak berhak mendapatkan harta warisan, sekalipun mereka
merupakan ahli waris dari yang telah meninggal.5
Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan sebagaimana
mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil. Bahkan, sebagian mereka
beranggapan bahwa perempuan janda yang ditinggal mati termasuk harta yang dapat
diwariskan kepada dan di-warisi oleh para ahli waris suaminya.6
Pada masa pra-Islam, warisan dapat di-berikan jika ada hubungan kekerabatan.
Selain itu, mereka berkeyakinan bahwa harta warisan dapat diberikan kepada orang-
orang yang mempunyai perjanjian prasetia, dan anak-anak yang diadopsi (pengangkatan
anak). Dapat dipahami bahwa, seseorang akan mendapatkan harta warisan apabila:
a. Adanya Pertalian Kerabat
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan
orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. seorang ahli waris yang dapat
menerima warisan adalah laki-laki yang memiliki kekuatan untuk membela, melindungi,
dan memelihara qabalah (persuku-an) atau sekurang-kurangnya keluarga mereka.7
Kemudian dihapus dengan surat An Nisa’ ayat 7: hak wanita atas warisan dan dihapus
dengan surat An Nisa’ ayat 11: hak anak laki-laki
b. Adanya Janji Ikatan

Janji prasetia adalah dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa
raga dan kehormatan mereka. Tujuan ini tidak mungkin terealisasi apabila pihak-pihak
yang berjanji adalah anak-anak yang belum dewasa, apalagi kaum wanita.8 Akan tetapi

4
Asrizal, Jurnal “Peletakan Dasar-Dasar Hukum Kewarisan Islam(Tinjauan Historis Atas Hukum Waris Pra Dan
Awalislam)” Al-AhWaL, Vol. 9, No. 1, Juni 2016, Hlm 126
5
ibid
6
ibid
7
Asrizal, Jurnal “Peletakan Dasar-Dasar Hukum Kewarisan Islam(Tinjauan Historis Atas Hukum Waris Pra Dan
Awalislam)” Al-AhWaL, Vol. 9, No. 1, Juni 2016, Hlm 127
8
ibid
selanjutnya hal itu dihapus dengan surat Al Anfal ayat 75: orang yang memiliki
hubungan kerabat lebih berhak

c. Adanya Pengangkatan Anak


Adapun tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia dan pengangkatan
anak yakni adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan
kehormatan mereka serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan mereka. Hal
itu tidak akan terealisasikan jika masih anak-anak atau perempuan. 9 Dan kemudian di
hapus dengan surat Al Ahzab ayat 4 dan 5: anak angkat bukan sebagai anak kandung.

d. Persaudaraan antara Muhajirin yakni umat Islam dari mekah yang hijrah ke Madinah dan
Anshar yakni umat Islam yang bertempat tinggal di Madinah.
Yang kemudian di hapus dengan surat Al Anfal ayat 75: yang mana orang yang memiliki
hubungan kerabat lebih berhak menerima.

2. Kewarisan pada Masa Awal Islam


Pada masa awal Islam, masih berlaku sistem pembagian kewarisan masa
jahiliah hingga turun ayat yang menerangkan bahwa para lelaki (tidak memandang
dewasa atau anak-anak) memperoleh bagian (pusaka) dari harta peninggalan orang
tua dan kerabat-kerabat terdekat, begitu juga dengan perempuan, baik harta itu sedikit
maupun banyak. Sebagaimana Allah swt menjelaskan dalam al-Qur’an QS. An-Nisa'
Ayat 7 :

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta pening-galan kedua orang tua dan kerabatnya,
dan bagiperempuan ada hak bagian (pula) dari harta pe-ninggalan kedua orang tua
dan kerabatnya, baiksedikit atau banyak menurut bahagian yang telahditetapkan”10

Dengan turunnya ayat di atas, terhapuslah adat jahiliah yang tidak memberikan
pusaka kepada perempuan dan anak-anak kecil. Di sisilain, pada masa awal Islam,
Rasulullah telah menerapkan hukum kewarisan. hal ini terlihat ketika Rasulullah
beserta sahabatnya hijrah dari Mekkah menuju Madinah. Ketika sampai di Madinah,
9
Asrizal, Jurnal “Peletakan Dasar-Dasar Hukum Kewarisan Islam(Tinjauan Historis Atas Hukum Waris Pra Dan
Awalislam)” Al-AhWaL, Vol. 9, No. 1, Juni 2016, Hlm 128
10
ibid
Rasulullah dan para sahabat disambut dengan gembira oleh orang-orang Madinah
dengan ditempatkan dirumah-rumah mereka, dicukupi segala keperluan hariannya,
dilindungi jiwanya dari pengejaran kaum Quraisy, dan dibantu dalam menghadapi
musuh-musuh yang menyerangnya.11
Untuk memperteguh dan mengabadikan ikatan persaudaraan, Rasulullah
menjadikan hal tersebut sebagai salah satu sebab untuk saling mewarisi satu sama lain.
Misalnya, apabila seorang sahabat tidak mempunyai wali (ahli waris) yang ikut hijrah,
maka harta peninggalannya diwarisi oleh walinya yang ikut hijrah. Ahli waris yang
enggan hijrah ke Madinah tidak berhak mewarisi harta sedikitpun. Tetapi, jika ada
sahabat yang tidak mempunyai wali yang ikut hijrah, maka harta peninggalannya
dapat diwarisi oleh saudaranya dari penduduk Madinah yang menjadi wali karena
ikatan persaudaraan.12
Dari rangkuman diata dapat disimpulkan bahwa dalam pewarisan Islam, kaum
kerabat yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki dewasa
saja, akan tetapi juga kepada anak-anak dan perempuan. Adanya hijrah maupun ikatan
persaudaraan juga memungkinkan untuk mendapatkan harta warisan, dan juga kewarisan
Islam tidak dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).

11
Asrizal, Jurnal “Peletakan Dasar-Dasar Hukum Kewarisan Islam(Tinjauan Historis Atas Hukum Waris Pra Dan
Awalislam)” Al-AhWaL, Vol. 9, No. 1, Juni 2016, Hlm 129
12
ibid

Anda mungkin juga menyukai