Anda di halaman 1dari 9

NAMA : MIFTAHUS SURUR

NIM : 180111100182

KELAS : G HUKUM WARIS

PENGGOLONGAN AHLI WARIS

Perbedaan patrilineal dan bilateral: perbedaan penafsiran Al-Qur’an di bidang


kewarisan dan merupakan persoalan ijtihad.
Golongan ahlisunnah:
- Menafsirkan ayat Al-Qur’an hanya bermaksud mengubah bidang-bidang hukum
kewarisan Arab yang dengan jelas ditegaskan dalam Al-Qur’an.
- Hukum kewarisan pra Islam diakui sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
- Tidak terjadi perombakan secara besar-besaran, sehingga hasilnya bercorak
patrilineal.

Golongan Syiah:

- Al-Qur’an merombak secara besar-besaran terhadap hukum waris adat. Sehingga


hasilnya lebih bercorak bilateral
A. SISTEM KEWARISAN PATRILINEAL
Pewarisan patrilineal (a.l. diikuti Imam Syafi’i) adalah memberikan penafsiran
atau interpretasi kepada ayat-ayat AlQuran yang memungkinkan untuk ditafsirkan secara
patrilineal.
Pokok-pokok pikiran:
1. Selalu memberikan kedudukan yang lebih baik dalam perolehan harta penggalan
kepada pihak laki-laki
2. Urutan keutamaan berdasarkan usbah dan laki-laki (usbah/ushbah adalah anggota
keluarga yang mempunyai hubungan darah sesamanya berdasarkan hubungan garis
keturunan laki-laki/patrilineal)
3. Istilah-istilah khusus mengenai kewarisan dalam Al Quran disamakan dengan istilah
biasa dalam bahasa sehari-hari / istilah hukum adat
PENGGOLONGAN AHLI WARIS SISTEM KEWARISAN PATRILINEAL

1. AHLI WARIS DZUL FARAID

◦ Adalah ahli waris yang mendapat bagian menurut ketentuan yang diterangkan
dalam Al Quran dan hadits

2. AHLI WARIS ASABAH

◦ Ahli waris yang tidak memperoleh bagian tertentu, tetapi:

 Berhak mendapatkan seluruh harta peninggalan jika tidak ada ahli waris
dzul faraid dan

 Berhak atas sisa harta peninggalan setelah dibagikan kepada ahli waris
dzul faraid

 Tidak mendapatkan apa-apa, karena habis dibagikan kepada dzul faraid

3. AHLI WARIS DZUL ARHAM

◦ ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris melalui anggota
keluarga perempuan

 Prof. hazairin: anggota keluarga menantu laki-laki

 Prof. M. Yunus: hubungan keluarga yang jauh

Prinsip Patrilinel (Patrilineal Decent) yang menghitung hubungan


kekerabatan melalui laki-laki saja, dan karena itu mengakibatkan bahwa tiap individu
dalam masyarakat semua kaum kerabat ayah masuk ke dalam batas hubungan
kekerabatannya, sedang kaun kerabat itu jatuh di luar batas itu;

Sedangkan menurut hazairin Patrilineal, yang menimbulkan kesatuan-kesatuan


kekeluargaan yang besar-besar, seperti clan, marga, dimana setiap orang itu
selalu menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya. Oleh karena itu, termasuk
ke dalam clan ayahnya, yakni dalam sistem patrilineal murni seperti di tanah batak
atau dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya kepada ayahnya atau kepada
maknya, tegantung kepada bentuk perkawinan orang tuannya itu, dan karena itu
termasuk ke dalam clan ayahnya ataupun ke dalam clan ibunya yakni dalam system
patrilineal yang beralih-alih, seperti di Lampung dan Rejang.
a. Sistem hukum adat patrilineal
sistem hukum warisan patrilineal juga berpokok pangkal dari sistem
kekerabatan, berarti sistem hukum warisan patrilineal adat bertitik tolak dari
bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan patrilineal.
Dalam masyarakat patrilinel seperti halnya pada masyarakat Batak Karo,
hanya anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan di luar
golongan patrilineal47. Keadaan seperti ini dikarenakan adanya beberapa
alasan yang melandasi sistem hukum warisan patrilineal sehingga keturunan
laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang telah
meninggal dunia, sedangkan anak perempuan tidak mendapatkan harta
warisan sama sekali.
Adapun alasan yang memandang rendah kedudukan perempuan
khususnya dalam masyarakat Batak adalah :
a) Emas kawin yang disebut “tukor” membuktikan perempuan dijual
b) Adat lakonan (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi
oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal dunia
c) Perempuan tidak mendapatkan warisan
d) Perkataan laki-laki menunjukan perempuan ,makhluk tipuan dan
lain-lain

harta warisan dalam hukum warisan patrilineal harta yang dapat menjadi
harta warisan bukan harta yang didapat selama perkawinan saja, tapi juga
termasuk harta pusaka, karena dalam hukum Adat perkawinan patrilineal marga
itu berlalu keturunan patrilineal, sehingga hanya anak laki-laki yang merupakan
ahli waris waris dari orang tuanya
Ahli waris dan para ahli waris dalam sistem hukum adat warisan
patrilineal terdiri dari :

1. Anak laki-laki ;
2. Anak angkat
3. Ayah dan Ibu
4. Keluarga terdekat
5. Persekutuan adat

B. SISTEM KEWARISAN BILATERAL


Apabila mengikuti pendapat Hazairin, sistem patrilineal dinisbatkan kepada
suku Batak, sedangkan sistem matrilineal dinisbatkan kepada suku Minangkabau, dan
sistem bilateral (parental) dinisbatkan kepada suku Jawa.
Kewarisan bilateral adalah sistem penetapan ahli waris dengan cara menarik
dari dua garis keturunan, garis keturunan ibu dan bapak tanpa adanya pengutamaan
salah satu garis keturunan. Sehingga berbeda dengan sistem patrilineal dan matrilineal,
kedudukan antara laki-laki dan perempuan tidak dibedakan dan dianggap setara
dalam sistem kewarisan bilateral ini. Sistem kewarisan dengan cara ini telah lama
diterapkan oleh suku Jawa, Aceh, Kalimantan, Ternate dan Lombok. Sistem yang ketiga
ini menjadi isu sentral pemikiran pembaharuan Hazairin dalam bidang Hukum
Kewarisan Islam.
Sistem ini merupakan kesimpulan Hazairin setelah mengkaji beberapa ayat
dalam al-Qur’an, diantaranya surat al-Nisa’ ayat 23 dan 24, akhirnya ia menyimpulkan
bahwa sistem kewarisan berbasis kekeluargaan (bilateral) adalah sejalan dengan syariat
Islam. Pandangan Hazairin tersebut tampak berbeda dengan apa yang telah
dirumuskan oleh para ulama terdahulu dalam kitab-kitab fiqh klasik yang menetapkan
Hukum Kewarisan Islam berdasarkan sistem patrilineal. Bahkan lebih jauh Hazairin
menegaskan bahwa al-Qur’an maupun Hadis keduanya tidak mengajarkan sistem
kekerabatan maupun kewarisan dengan corak unilateral, yakni sistem
kemasyarakatn dan kewarisan seperti patrilineal dan matrilineal, tetapi justru
keduanya mengajarkan sistem kemasyarakatan berbasis kekeluargaan, sehingga
konsekwensinya hukum kewarisan pun seharusnya berbasis kekeluargaan.1
Berbeda dengan sistem kewarisan yang umumnya dijelaskan dalam kitab-
kitab fiqh Sunni yang membagi ahli waris ke dalam ashab al-furudh, ashobah dan dzawi
al-arham, Hazairin dengan sistem kewarisan bilateralnya membagi ahli waris ke
dalam dzawi al-furudh, dzawi al-qarabah dan mawali.
Perbedaan pandangan antara Hazairin dengan jumhur ulama ini berawal dari
pendapat Hazairin yang tidak menerima konsep ashobah dalam sistem kewarisan
Islam konvensional. Dalam pandangan Hazairin, konsep ashobah hanya terdapat
dalam masyarakat unilateral, yakni masyarakat yang menganut sistem kewarisan
patrilineal atau matrilineal saja. Sedangkan dalam masyarakat dengan corak
bilateral (parental) -seperti masyarakat Jawa -tidak mengenal istilah tersebut.
Dalam masyarakat dengan corak patrilineal seperti masyarakat Arab di Timur
Tengah dan masyarakat Batak di Indonesia, mereka hanya mengenal garis
keturunan dari pihak laki-laki (bapak) saja. Begitu pula dengan masyarakat dengan
corak matrilineal, mereka 70hanya mengenal garis keturunan dari pihak perempuan
(ibu) saja seperti dalam masyarakat Minangkabau. Adapun masyarakat dengan
corak bilateral (parental) mereka menggunakan dua garis keturunan (bapak dan
ibu) untuk menentukan ahli waris.2
a. Prinsip Dasar Sistem Kewarisan Bilateral

Pemikiran Hazairin tentang sistem kewarisan bilateral mengandung beberapa


prinsip pokok yang membedakannya dengan pemikiran hukum kewarisan Islam pada
umumnya. Adapun prinsip yang paling penting yang menjadi fokus pembahasan
penulis adalah prinsip bahwa ahli waris laki-laki memiliki kedudukan yang sama
dengan ahli waris perempuan. 3

Ahli waris perempuan dalam sistem bilateral memiliki derajat kedudukan


yang sama dengan laki-laki sehingga dapat menutup ahli waris pada kelompok
keutamaan yang lebih rendah. Misanya, selama masih ada anak, baik itu laki-

1
Chamim Tohari, Artikel “Sistem Kewarisan Bilateralditinjau Dari Perspektif Hukumislam”, Hal-69
2
Chamim Tohari, Artikel “Sistem Kewarisan Bilateralditinjau Dari Perspektif Hukumislam”, Hal-70
3
ibid
laki maupun perempuan, maka saudara si pewaris baik yang laki-laki maupun
yang perempuan sama-sama terhalang untuk mendapatkan bagian harta waris
(mahjub). Jadi intinya dalam kewarisan bilateral, selama masih ada keturunan
(baik laki-laki maupun perempuan) maka secara mutlak meng-hijab saudara untuk
menjadi ahli waris. Prinsip yang digunakan Hazairin ini kemudian berimplikasi
pada pemikirannya tentang konsep kalalah. Yakni seseorang yang meninggal dan
tidak meinggalkan keturunan laki-laki maupun perempuan. Pengertian ini berbeda
dengan pengertian kalalah menurut sistem hukum patrilineal seperti yang
ditetapkan oleh mazhab Ahlussunnah waljamaah, yang memahami kalalah sebagai
seseorang yang mati tanpa meninggalkan keturunan laki-laki atau ayah, dan sebagai
akibatnya saudara dapat mewaris bersama anak perempuan.4

Sistem hukum kewarisan bilateral hasil ijtihad Hazairin ini secara tegas
tidak membedakan garis keturunan laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki
kekuatan hukum yang sama, mereka baik laki-laki maupun perempuan memiliki
kesamaan hak untuk mendaptkan harta warisan dari kedua garis keturunan
orang tua dan kerabatnya. Untuk prinsip yang pertama ini, yakni prinsip
kesetaraam ini Hazairinmendasarkan pendapatnya pada al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat
7.Prinsip lainnya adalah prinsip yang menyatakan bahwa kekerabatan laki-laki
memiliki kekuatan yang sama dengan garis kekerabatan perempuan dalam
pewarisan; serta prinsip kedudukan Mawali setara dengan kedudukan orang yang
digantikan.5

b. Penggolongan ahli waris menurut sistem kewarisan bilateral


1. Ahli waris dzul faraid
Ahli waris dzul faraid Adalah ahli warris yang mendapatkan bagian
menurut ketentuan yang diterangkan dalam Al-Quran dan Hadist.
2. Ahli waris dzul qarabat
Ahli waris dzul qarabat Adalah ahli waris yang mendapatkan bagian
warisan yang tidak tentu jumlahnya atau mendapatkan bagian sisa, atau
mendapatkan bagian terbuka, baik dari garis laki-laki maupun perempuan.
4
Chamim Tohari, Artikel “Sistem Kewarisan Bilateralditinjau Dari Perspektif Hukumislam”, Hal-71
5
ibid
3. Ahli waris mawali
Ahli waris mawali Adalah ahli waris pengganti yang menggantikan
seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh
oleh orang yang digantikan seandainya ia masih hidup.

C. ASOBAH

Kata “‘ashabah” pada mulanya dalam ba-hasa Arab diambil dari perkataan: Kaum
itu berkelompok dengan laki-laki, apa-bila mereka berkelompok dan bergaul de-
ngannya, untuk saling jaga dan saling melin-dungi.

Dalam Al-Quran kata “‘ashabah” berarti golongan kuat, yaitu yang tertera dalam
su-rat Yusuf ayat 14 sebagai berikut: Mereka berkata: “Jika ia benar-benar dima-kan
serigala, sedangkan kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demi-
kian adalah orang-orang yang merugi”.

Kata ‘ashabah merupakan kalimat yang jama‘ mufradnya ‘ashib. Proses menjadi
ja- ma’nya seperti kata thalabah jama’ dari kata thâlib, kamalah jama’ dari kata kâmil.
Al- Azhari berkata: ‘ashabah adalah jama’ yang tidak ada mufradnya, kemudian
kalimat ‘ashabah dipergunakan untuk seorang (satu orang), untuk jama’ (banyak orang
lebih dari dua), untuk laki-laki dan untuk perempuan. Adapun mashdar (pokok kata dari
‘ashabah) ialah ushubah.6

Menurut Zakiyah Daradjat, bahwa pengertian ‘ashabah secara bahasa adalah anak
dari kerabat seseorang dari jihad ayah Hal ini sebagaimana pendapat Fatchurrahman
mengartikan lafadz ‘ashabah hanya kerabat seseorang dari jurusan ayah. Hasbi menye-
butkan bahwa ahli farâ’idh mengartikan kata ‘ashabah dengan maksud kerabat dari pihak
ayah yang mereka namakan ‘ashabah nasa- biyyah, yakni yang datang dari jihad hu-
bungan darah dan kerabat. Selain itu kalimat ‘ashabah dipergunakan kepada kekerabatan.
Menurut hukum (qarabah hukûmiyyah), ‘ashabah adalah yang datang dari jihad

6
A. Hasyim Asy’ari, Jurnal “Ontroversi Kedudukan ‘Ashabahdalam Hukum Warisislam Menurut Madzhab Syi’ah
Itsna ‘Asy‘Ariyyah”, Asy-Syari‘Ah Vol. 16 No. 1, April 2014, Hlm-69
memerdekakan budak, yang dinamakannya ‘ushubah sababiyah yaitu ‘ushubah yang
disebabkan oleh memerdekakan budak. Ada- pun makna ta‘shîb ialah menjadikannya
‘ashabah atau menjadikannya seseorang yang menjadikan ‘ashabah.7

Secara istilah pengertian ‘ashabah dalam terminologi ulama Sunni adalah semua ahli
waris yang tidak mempunyai bagian tertentu dengan jelas dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
Atau ahli waris yang tidak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang
telah disepakati oleh seluruh fuqaha dan yang belum disepakati oleh mereka.8

Kata ashabah secara etimologi adalah pembela, penolong, pelindung atau kerabat dari
jurusan ayah.Menurut istilah yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tidak
tertentu, tetapi mendapatkan ushubah (sisa) dari ashabul furudh atau
mendapatkannya atau mendapatkan semuanya jika tidak ada Ashabul furudh.
Ahli waris ashabah akan mendapatkan bagian harta peninggalan, tetapi tidak ada
ketentuan bagian yang pasti, baginya yang berlaku :
1) Jika tidak ada kelompok ahli waris yang lain, maka semua harta waris untuk ahli
waris ashabah.
2) Jika ada ahli waris ashabul furudh maka ahli waris ashabah menerima sisa dari
ashabul furudh tersebut.
3) Jika harta waris telah dibagi habis oleh ahli waris ashabul furudh maka ahli waris
ashabah tidak mendapat apa-apa.
Ahli waris ashabah dibedakan menjadi tiga golongan sebagai berikut:
a. Ashabah bin nafsih (dengan sendirinya), yaitu kerabat laki-laki yang dipertalikan
dengan pewaris tanpa diselingi oleh ahli waris perempuan. Atau ahli waris yang
langsung menjadi ashabah dengan sendirinya tanpa disebabkan oleh orang lain.
Mislanya anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah dan saudara lak-
laki sekandung. Mereka itu dengan sendirinya boleh menghabiskan harta setelah
harta peninggalan tersebut dibagikan kepada ashabul furudh.
b. Ashabah bilghair (bersama orang lain), adalah orang perempuan yang
menjadi ashabah beserta orang laki-laki yang sederajat dengannya (setiap

7
ibid
8
. Hasyim Asy’ari, Jurnal “Ontroversi Kedudukan ‘Ashabahdalam Hukum Warisislam Menurut Madzhab Syi’ah Itsna
‘Asy‘Ariyyah”, Asy-Syari‘Ah Vol. 16 No. 1, April 2014, Hlm-70
perempuan yang memerlukan orang lain, dalam hal ini laki-laki untuk menjadikan
ashabah dan secara bersama-sama menerima ashabah). Kalau orang lain itu tidak
ada, ia tidak menjadi ashabah melainkan menjadi ashabul furudh biasa.
c. Ashabah ma’al ghairi (karena orang lain), yakni orang yang menjadi
ashabah disebabkan ada orang lain yang bukan ashabah. (setiap perempuan
yang memerlukan orang lain untuk menjadikan ashabah, tetapi orang lain
tersebut tidak berserikat menerima ashabah) orang lain tersebut tidak ikut
menjadi ashabah akan tetapi jika orang lain tersebut tidak ada, maka ia menjadi
ashabul furudh biasa.

Anda mungkin juga menyukai