NIM : 180111100182
Golongan Syiah:
◦ Adalah ahli waris yang mendapat bagian menurut ketentuan yang diterangkan
dalam Al Quran dan hadits
Berhak mendapatkan seluruh harta peninggalan jika tidak ada ahli waris
dzul faraid dan
Berhak atas sisa harta peninggalan setelah dibagikan kepada ahli waris
dzul faraid
◦ ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris melalui anggota
keluarga perempuan
harta warisan dalam hukum warisan patrilineal harta yang dapat menjadi
harta warisan bukan harta yang didapat selama perkawinan saja, tapi juga
termasuk harta pusaka, karena dalam hukum Adat perkawinan patrilineal marga
itu berlalu keturunan patrilineal, sehingga hanya anak laki-laki yang merupakan
ahli waris waris dari orang tuanya
Ahli waris dan para ahli waris dalam sistem hukum adat warisan
patrilineal terdiri dari :
1. Anak laki-laki ;
2. Anak angkat
3. Ayah dan Ibu
4. Keluarga terdekat
5. Persekutuan adat
1
Chamim Tohari, Artikel “Sistem Kewarisan Bilateralditinjau Dari Perspektif Hukumislam”, Hal-69
2
Chamim Tohari, Artikel “Sistem Kewarisan Bilateralditinjau Dari Perspektif Hukumislam”, Hal-70
3
ibid
laki maupun perempuan, maka saudara si pewaris baik yang laki-laki maupun
yang perempuan sama-sama terhalang untuk mendapatkan bagian harta waris
(mahjub). Jadi intinya dalam kewarisan bilateral, selama masih ada keturunan
(baik laki-laki maupun perempuan) maka secara mutlak meng-hijab saudara untuk
menjadi ahli waris. Prinsip yang digunakan Hazairin ini kemudian berimplikasi
pada pemikirannya tentang konsep kalalah. Yakni seseorang yang meninggal dan
tidak meinggalkan keturunan laki-laki maupun perempuan. Pengertian ini berbeda
dengan pengertian kalalah menurut sistem hukum patrilineal seperti yang
ditetapkan oleh mazhab Ahlussunnah waljamaah, yang memahami kalalah sebagai
seseorang yang mati tanpa meninggalkan keturunan laki-laki atau ayah, dan sebagai
akibatnya saudara dapat mewaris bersama anak perempuan.4
Sistem hukum kewarisan bilateral hasil ijtihad Hazairin ini secara tegas
tidak membedakan garis keturunan laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki
kekuatan hukum yang sama, mereka baik laki-laki maupun perempuan memiliki
kesamaan hak untuk mendaptkan harta warisan dari kedua garis keturunan
orang tua dan kerabatnya. Untuk prinsip yang pertama ini, yakni prinsip
kesetaraam ini Hazairinmendasarkan pendapatnya pada al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat
7.Prinsip lainnya adalah prinsip yang menyatakan bahwa kekerabatan laki-laki
memiliki kekuatan yang sama dengan garis kekerabatan perempuan dalam
pewarisan; serta prinsip kedudukan Mawali setara dengan kedudukan orang yang
digantikan.5
C. ASOBAH
Kata “‘ashabah” pada mulanya dalam ba-hasa Arab diambil dari perkataan: Kaum
itu berkelompok dengan laki-laki, apa-bila mereka berkelompok dan bergaul de-
ngannya, untuk saling jaga dan saling melin-dungi.
Dalam Al-Quran kata “‘ashabah” berarti golongan kuat, yaitu yang tertera dalam
su-rat Yusuf ayat 14 sebagai berikut: Mereka berkata: “Jika ia benar-benar dima-kan
serigala, sedangkan kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demi-
kian adalah orang-orang yang merugi”.
Kata ‘ashabah merupakan kalimat yang jama‘ mufradnya ‘ashib. Proses menjadi
ja- ma’nya seperti kata thalabah jama’ dari kata thâlib, kamalah jama’ dari kata kâmil.
Al- Azhari berkata: ‘ashabah adalah jama’ yang tidak ada mufradnya, kemudian
kalimat ‘ashabah dipergunakan untuk seorang (satu orang), untuk jama’ (banyak orang
lebih dari dua), untuk laki-laki dan untuk perempuan. Adapun mashdar (pokok kata dari
‘ashabah) ialah ushubah.6
Menurut Zakiyah Daradjat, bahwa pengertian ‘ashabah secara bahasa adalah anak
dari kerabat seseorang dari jihad ayah Hal ini sebagaimana pendapat Fatchurrahman
mengartikan lafadz ‘ashabah hanya kerabat seseorang dari jurusan ayah. Hasbi menye-
butkan bahwa ahli farâ’idh mengartikan kata ‘ashabah dengan maksud kerabat dari pihak
ayah yang mereka namakan ‘ashabah nasa- biyyah, yakni yang datang dari jihad hu-
bungan darah dan kerabat. Selain itu kalimat ‘ashabah dipergunakan kepada kekerabatan.
Menurut hukum (qarabah hukûmiyyah), ‘ashabah adalah yang datang dari jihad
6
A. Hasyim Asy’ari, Jurnal “Ontroversi Kedudukan ‘Ashabahdalam Hukum Warisislam Menurut Madzhab Syi’ah
Itsna ‘Asy‘Ariyyah”, Asy-Syari‘Ah Vol. 16 No. 1, April 2014, Hlm-69
memerdekakan budak, yang dinamakannya ‘ushubah sababiyah yaitu ‘ushubah yang
disebabkan oleh memerdekakan budak. Ada- pun makna ta‘shîb ialah menjadikannya
‘ashabah atau menjadikannya seseorang yang menjadikan ‘ashabah.7
Secara istilah pengertian ‘ashabah dalam terminologi ulama Sunni adalah semua ahli
waris yang tidak mempunyai bagian tertentu dengan jelas dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
Atau ahli waris yang tidak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang
telah disepakati oleh seluruh fuqaha dan yang belum disepakati oleh mereka.8
Kata ashabah secara etimologi adalah pembela, penolong, pelindung atau kerabat dari
jurusan ayah.Menurut istilah yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tidak
tertentu, tetapi mendapatkan ushubah (sisa) dari ashabul furudh atau
mendapatkannya atau mendapatkan semuanya jika tidak ada Ashabul furudh.
Ahli waris ashabah akan mendapatkan bagian harta peninggalan, tetapi tidak ada
ketentuan bagian yang pasti, baginya yang berlaku :
1) Jika tidak ada kelompok ahli waris yang lain, maka semua harta waris untuk ahli
waris ashabah.
2) Jika ada ahli waris ashabul furudh maka ahli waris ashabah menerima sisa dari
ashabul furudh tersebut.
3) Jika harta waris telah dibagi habis oleh ahli waris ashabul furudh maka ahli waris
ashabah tidak mendapat apa-apa.
Ahli waris ashabah dibedakan menjadi tiga golongan sebagai berikut:
a. Ashabah bin nafsih (dengan sendirinya), yaitu kerabat laki-laki yang dipertalikan
dengan pewaris tanpa diselingi oleh ahli waris perempuan. Atau ahli waris yang
langsung menjadi ashabah dengan sendirinya tanpa disebabkan oleh orang lain.
Mislanya anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah dan saudara lak-
laki sekandung. Mereka itu dengan sendirinya boleh menghabiskan harta setelah
harta peninggalan tersebut dibagikan kepada ashabul furudh.
b. Ashabah bilghair (bersama orang lain), adalah orang perempuan yang
menjadi ashabah beserta orang laki-laki yang sederajat dengannya (setiap
7
ibid
8
. Hasyim Asy’ari, Jurnal “Ontroversi Kedudukan ‘Ashabahdalam Hukum Warisislam Menurut Madzhab Syi’ah Itsna
‘Asy‘Ariyyah”, Asy-Syari‘Ah Vol. 16 No. 1, April 2014, Hlm-70
perempuan yang memerlukan orang lain, dalam hal ini laki-laki untuk menjadikan
ashabah dan secara bersama-sama menerima ashabah). Kalau orang lain itu tidak
ada, ia tidak menjadi ashabah melainkan menjadi ashabul furudh biasa.
c. Ashabah ma’al ghairi (karena orang lain), yakni orang yang menjadi
ashabah disebabkan ada orang lain yang bukan ashabah. (setiap perempuan
yang memerlukan orang lain untuk menjadikan ashabah, tetapi orang lain
tersebut tidak berserikat menerima ashabah) orang lain tersebut tidak ikut
menjadi ashabah akan tetapi jika orang lain tersebut tidak ada, maka ia menjadi
ashabul furudh biasa.