Sejarah Indonesia-Demokrasi Terpimpin
Sejarah Indonesia-Demokrasi Terpimpin
Namun upaya penyelesaian secara bilateral ini telah mengalami kegagalan dan
pemerintah kita mengajukan permasalahan ini ke Sidang Majelis Umum PBB. Namun upaya-
upaya diplomasi yang dilakukan di forum PBB terus mengalami kegagalan. Indonesia pun
kemudian mengambil jalan diplomasi aktif dan efektif yang puncaknya dilakukannya
Konferensi Asia Afrika. Langkah ini cukup efektif dalam menggalang kekuatan untuk
menyokong perjuangan diplomasi Indonesia di tingkat internasional yang memaksa Belanda
melunakkan sikapnya dan mau berunding bilateral untuk menyelesaikan permasalahan Irian.
Karena jalan damai yang telah ditempuh selama satu dasa warsa tidak berhasil
mengembalikan Irian Barat, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menempuh jalan lain.
Upaya ini telah dilakukan Indonesia sejak tahun 1957, jalan lain yang dilakukan adalah
melancarkan aksi-aksi pembebasan Irian Barat, dimulai pengambilalihan semua perusahaan
milik Belanda di Indonesia oleh kaum buruh. Untuk mencegah anarki, KSAD, Nasution,
mengambil alih semua perusahaan milik Belanda dan menyerahkannya kepada pemerintah.
Hubungan Indonesia-Belanda semakin memuncak ketegangan pada 17 Agusus 1960, ketika
Indonesia akhirnya memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Kerajaan Belanda.
“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah berusaha
dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan penuh toleransi dan penuh
harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan perundingan-perundingan bilateral....
Harapan lenyap, kesabaran hilang; bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu
kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap
kami.”
Setelah upaya merebut kembali Irian Barat dengan diplomasi dan konfrontasi politik
dan ekonomi tidak berhasil, maka pemerintah RI menempuh cara lainnya melalui jalur
konfrontasi militer. Dalam rangka persiapan kekuatan militer untuk merebut kembali Irian
Barat, pemerintah RI mencari bantuan senjata ke luar negeri. Pada awalnya usaha ini
dilakukan kepada negara-negara Blok Barat, khususnya Amerika Serikat, namun tidak
membawa hasil yang memuaskan. Kemudian upaya ini dialihkan ke negaranegara Blok
Timur (komunis), terutama ke Uni Soviet.
Belanda mulai menyadari bahwa jika Irian Barat tidak diserahkan ke Indonesia secara
damai, maka Indonesia akan menempuh dengan kekuatan militer. Melihat perkembangan
persiapan militer Indonesia, Belanda mengajukan nota protes kepada PBB bahwa Indonesia
akan melakukan agresi. Belanda kemudian memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan
mendatangkan bantuan dengan mengerahkan kapal perangnya ke perairan Irian, di antaranya
adalah kapal induk Karel Doorman. Perebutan kembali Irian Barat merupakan suatu tuntutan
konstitusi, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Oleh karena itu,
segala upaya telah dilakukan dan didukung oleh semua kalangan baik kalangan politisi
maupun militer. Oleh karena itu, dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat, Presiden
Soekarno, pada tanggal 19 Desember 1961, di depan rapat raksasa di Yogyakarta,
mengeluarkan suatu komando untuk berkonfrontasi secara militer dengan Belanda yang
disebut dengan Tri Komando Rakyat (Trikora). Isi dari Trikora tersebut adalah:
Di sisi lain Pemerintah Amerika Serikat juga menekan pemerintah Belanda untuk
kembali berunding, agar Amerika Serikat dan Uni Soviet tidak terseret dalam suatu
konfrontasi langsung di Pasifik Barat Daya. Amerika Serikat juga punya kepentingan dengan
kebijakan politik luar negerinya untuk membendung arus komunis di wilayah ini. Akhirnya
pada tanggal 15 Agustus 1962 ditanda-tangani perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Belanda di New York, hal ini dikenal sebagai Perjanjian New York.
Hal pokok dari isi perjanjian itu adalah penyerahan pemerintahan di Irian dari pihak
Belanda ke PBB. Untuk kepentingan ini kemudian dibentuklah United Nation Temporary
Excecutive Authority (UNTEA) yang kemudian akan menyerahkan Irian Barat ke pemerintah
Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963. Berdasarkan Perjanjian New York, pemerintah
Indonesia punya kewajiban untuk menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di
Irian Barat sebelum akhir 1969 dengan ketentuan kedua belah pihak harus menerima apapun
hasil dari Pepera tersebut.
Sesuai dengan Perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 secara resmi dilakukan
penyerahan kekuasan Pemerintah Irian Barat dari UNTEA kepada Pemerintah Republik
Indonesia di Kota Baru/Holandia/Jayapura. Kembalinya Irian ke pangkuan RI berakhirlah
perjuangan memperebutkan Irian Barat. Sebagai tindak lanjut dari Perjanjian New York,
Pemerintah Indonesia melaksanakan tugas untuk melaksankan Act Free Choice/Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera). Pemerintah Indonesia menjalankan dalam tiga tahap. Tiga tahapan
ini sukses dijalankan oleh pemerintah Indonesia dan hasil dari Pepera kemudian dibawa oleh
Duta Besar Ortis Sanz ke New York untuk dilaporkan ke Sidang Umum Dewan Keamanan
PBB. Pada tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB ke-24 menerima hasil Pepera
yang telah dilakukan Indonesia karena sudah sesuai dengan isi Perjanjian New York. Sejak
saat itulah Indonesia secara de jure dan de facto memperoleh kembali Irian Barat sebagai
bagian dari NKRI.
2. Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah
provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan
dua koloni Inggeis; Serawak dan Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian
dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan
koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, Federasi Malaya dengan
membentuk Federasi Malaya.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat
bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan
menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan
Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki
hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu. Di Brunei, Tentara Nasional
Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba
menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan
meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura.
Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim
bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin
pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi
Malaysia apabila mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam
sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil
dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam
negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini
sebagai Persetujuan Manila yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme
Inggris.