Anda di halaman 1dari 4

NAMA : BELLA ANGGITA

NIM : 119211202
FAKULTAS : EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN : AKUNTANSI

Ujian Tengah Semester


Implementasi dan Dilematis Hak Hidup Warga Negara Indonesia

Hak untuk hidup adalah suatu prinsip moral yang didasarkan pada keyakinan bahwa seorang
manusia memiliki hak untuk hidup dan, terutama, tidak seharusnya dibunuh oleh manusia
lainnya. Konsep mengenai hak untuk hidup timbul dalam pembahasan tentang isu-isu
hukuman mati, perang, aborsi, eutanasia, pembunuhan yang dapat dibenarkan, dan meluas
hingga sarana perawatan kesehatan publik.

Dalam sejarah umat manusia, dikatakan bahwa belum ada suatu penerimaan umum mengenai
konsep hak untuk hidup sebagai bawaan setiap individu. Evolusi hak asasi manusia sebagai
suatu konsep berlangsung perlahan dalam sejumlah bidang melalui berbagai cara. Hak untuk
hidup tidak terkecuali dalam tren tersebut, dan utamanya sepanjang milenium terakhir telah
dihasilkan banyak kumpulan dokumen legal skala nasional maupun internasional (contohnya
Magna Carta dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Asasi Manusia) yang mengodifikasikan
paradigma umum ini ke dalam prinsip-prinsip yang dibahasakan secara khusus.

Pada tahun 1444, Statuta Poljica menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah mutlak ada
selamanya sejak awal. Pada tahun 1776, Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat
menyatakan bahwa "semua manusia diciptakan setara, bahwasanya mereka dianugerahkan
oleh Pencipta mereka dengan Hak-Hak khusus yang tidak dapat dicabut, yang di antaranya
adalah Kehidupan, Kebebasan dan pencarian Kebahagiaan".Pada tahun 1948, Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa menyatakan demikian dalam artikel tiga: “ setiap orang memiliki hak untuk hidup,
kebebasan, dan keamanan sebagai pribadi”. Pada tahun 1950, Konvensi Eropa tentang
Hak Asasi Manusia diadopsi oleh Majelis Eropa, menyatakan hak asasi manusia yang
dilindungi untuk hidup dalam Artikel 2. Terdapat pengecualian-pengecualian dalam hal
eksekusi-eksekusi menurut hukum dan pertahanan diri, penangkapan tersangka yang
melarikan diri, serta pengendalian kerusuhan dan pemberontakan. Sejak saat itu Protokol 6
dalam Konvensi tersebut menyerukan negara-negara untuk melarang hukuman mati kecuali
pada saat perang atau keadaan darurat nasional, dan saat ini berlaku di semua negara anggota
Majelis Eropa. Protokol 13 mengatur tentang penghapusan sepenuhnya hukuman mati, dan
telah diterapkan di sebagian besar negara anggota Majelis tersebut. Pada tahun 1966,
Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik diadopsi oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa.” Setiap manusia memiliki hak inheren untuk hidup. Hak
ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat dengan sewenang-wenang
dirampas kehidupannya”.Pada tahun 1982, Piagam Hak dan Kebebasan Bangsa Kanada
menyatakan bahwa: “Setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan
pribadinya, serta hak untuk tidak dirampas darinya kecuali berkaitan dengan prinsip-
prinsip keadilan fundamental”.Pada tahun 1989, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
Bangsa mengadopsi Konvensi tentang Hak Anak (CRC).Undang-Undang Dasar Republik
Federal Jerman memegang prinsip martabat manusia yang tertinggi, bahkan di atas hak untuk
hidup. Gereja Katolik mengeluarkan Piagam Hak Keluarga yang di dalamnya dinyatakan
bahwa hak untuk hidup terimplikasikan secara langsung oleh martabat manusia. Artikel 21
dalam Konstitusi India, 1950, menjamin hak untuk hidup bagi semua orang di dalam wilayah
India dan menyatakan: "Tidak seorang pun dapat dirampas haknya untuk hidup dan
kebebasan pribadinya kecuali berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh hukum." Artikel 21,
kendati dikemas dalam bahasa negatif, memberikan setiap orang hak mendasar untuk hidup
dan kebebasan pribadi yang telah menjadi suatu sumber tanpa batas bagi banyak hak-hak
lainnya.
Mengkaji Pasal 28I UUD 1945, tak akan dapat dilepaskan dari perjanjian internasional HAM
yang mengatur mengenai non-derogable rights, alias hak yang tidak dapat dikurangkan dalam
keadaan apapun juga. Ketentuan ini dalam hukum internasional dikenal melalui rejim Pasal 4
ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Secara ringkas disana
disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu, negara peserta ICCPR dapat menunda maupun
mengurangi penikmatan hak-hak yang ada di dalam ICCPR. Keadaan yang dimaksud oleh
Pasal 4 ayat (1) itu adalah ketika negara dalam keadaan darurat, keadaan mana harus
dilaporkan oleh negara yang bermaksud melakukan penundaan itu pada semua negara pihak
ICCPR melalui Sekretaris Jenderal PBB. Tidak semua keadaan genting dapat menjadi
pembenar adanya penundaan atau pengurangan HAM. Hanyalah jika memang dikehendaki
oleh keadaan, maka sutu hak tertentu bisa dikurangi penikmatannya.
Pasal 4 (2) ICCPR kemudian menentukan bahwa dalam keadaan darurat sekalipun, meskipun
suatu negara dalam keadaan emergency, maka tidak diperbolehkan adanya penundaan atau
pengurangan terhadap hak-hak tertentu. Hak-hak itu ialah sebagaimana dicantumkan dalam
beberapa pasal dalam ICCPR yang mengatur mengenai right to life, hak untuk tidak disiksa,
tidak diperlakukan kejam dan merendahkan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak
dipenjara hanya karena ketidakmampuan memenuhi kontrak, hak untuk tidak dipidana
berdasarkan hukum yang berlaku surut,  hak atas pengakuan di muka hukum, dan hak
berkeyakinan dan beragama.
Rumusan UUD 1945 dalam hal ini Pasal 28I ayat (1) dalam hal ini memiliki semangat yang
sama dengan ICCPR. Bahwa dalam prinsipnya terdapa beberapa hak dan kebebasan asasi
manusia  yang dapat dibatasi, bahkan ditunda dikurangi penikmatannya dalam keadaan-
keadaan tertentu. Namun begitu, ada beberapa hak yang terbilang sebagai hak yang tak dapat
dikurangi penikmatannya dalam keadaan apapun. Pengurangan mana akan mendapat stigma
sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Kendati terdapat perbedaan di sana sini antara UUD
1945 dan ICCPR (misalnya dengan tidak dinyatakannya  oleh UUD 1945 hak untuk  tidak
diperlakukan maupun dihukum secara kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan sebagai hak
yang tak dapat dikurangkan dalam keadaan apapun) namun hak hidup adalah hak yang sama-
sama dinyatakan dalam kedua instrumen sebagai hak yang terbilang sebagai non-derogable
right.
Hak hidup sebagaimana dijamin dalam Pasal 28A adalah hak yang mendasar bagi setiap
manusia. Segala hak dan kebebasasn hanya bisa dinikmati jika manusia dalam keadaan hidup.
Tak mengherankan jika hak ini dicantumkan di dalam Pasal pembuka Bab XA yng mengatur
mengenai hak asasi manusia. Disebutkan dalam Pasal 28A bahwa setiap orang berhak untuk
hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya. Membicarakan hak hidup orang
kerapkali menghubungkan dengan pidana mati, ataupun hukuman mati. Padahal
sesungguhnya hak hidup ini seharusnya memiliki konotasi yang lebih luas,  yakni kewajiban
negara untuk memastikan bahwa setiap ibu melahirkan dapat menjalani persalinan dengan
selamat. Atau lagi; kewajiban negara untuk memastikan  bahwa taida satupun orang  di dalam
jurisdiksi suatu negara boleh mati karena kelaparan atau penyakit yang sesungguhnya bisa
tertangani.
Terkait dengan hukuman mati, terdapat dua aliran besar, yang menolak dan menyetujui.
Mereka yang menolak pidana mati berkeyakinan bahwa pidana mati tidak terbukti memilijki
efek jera karena walaupun pidana mati telah dijalankan, masih banyak orang yang melakukan
tindak pidana. Lebih lanjut pidana mati menutup kemungkinan adanya koreksi jika terjadi
kesalahan putusan pengadilan. Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa hukuman mati
harus dipertahankan berkeyakinan bahwa inilah satu-satunya cara bagi masyarakat untuk
menghindarkan diri dari kecelakaan lebih besar: dengan merampas nyawa pelaku pidana.
Memahami  hak hidup ini dalam kerangka hak asasi manusia sebenarnyalah harus dilakukan
secara utuh dengan mengkaitkannya dengan spirit hukum internasional. Paal 6 ayat (1)
ICCPR  tak semata-mata merumuskan dengan cukup singkat sebagaimana Pasal 28A, namun
dengan menyatakan “tiap-tiap orang memiliki hak yang melekat untuk hidup”, yang
kemudian dilanjutkan dengan frasa “hak ini haruslah dirlindungi oleh hukum”, dan kemudian
dengan frasa “tak seorangpun dapat dirampas nyawanya secara sewenang-wenang”. Dalam
konteks inilah hak hidup dan jaminan untuk tidak dirampasnya nyawa secara sewenang
wenang harus dipahami. Artinya sebenarnya perampasan nyawa secara sewenang-wenang
itulah yang tidak dikehendaki oleh norma hukum hak asasi manusia. Perampasan nyawa
secara tidak sewenang-wenang yakni melalui  pengadilan oleh karenanya bukan merupakan
pelanggaran hak asasi manusia.
Silang sengketa hukuman mati di Indonesia dalam perspektif hukum ketatanegaraan telah
selesai dengan Putusan MK berkaitan dengan uji UU No 22 Tahun 1997. Dalam putusan
yang  dibacakan pada 30 Oktober 2007 tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
hukuman mati sebagaimana terdapat dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan
konstitusi. Ketua MK kala itu Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa hukuman mati ini tidak
bertentangan dengan ICCPR karena Pasal 6 ayat (2) ICCPR sendiri menyatakan bahwa
negara peserta yang masih menerapkan hukuman mati agar menerapkan hukuman tersebut
pada tindak pidana-tindak pidana yang paling serius. Jimly menyatakan pula bahwa hak asasi
dibatasi oleh ketentuan Pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib  kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Hakim Konstitusi yang lain H.A.S Natabaya mengemukakan
bahwa sebagai anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) Indonesia harus patuh pula pada
protokol Kairo yang menyatakan hak hidup sebagai  karunia Tuhan yang hanya bisa dibatasi
oleh putusan hukum/syariah.

Anda mungkin juga menyukai