Anda di halaman 1dari 14

KONFLIK AMBON

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi Tugas Pelajaran Sosiologi

Nama anggota kelompok

Della Frida Asyura (17658)

Fahri Muhammad Alpa (17670)

Anis Meutia (17628)

PENDIDIKAN SOSIOLOGI
KELAS XI IPS 1
SMA NEGERI 3 BANDA ACEH

2021
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

BAB I : PENDAHULUAN

A. Jenis konflik

BAB II : KEJADIAN KONFLIK AMBON……………………………………….


……………………………………………………………

B. Penyebab konflik

C. Kronologi konflik

D. Dampak konflik

E. Penyelesaian konflik

BAB III :

F. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA….
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan inayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul KONFLIK AMBON.

Terima kasih saya ucapkan kepada ibu Murni yang telah membantu kami baik secara moral maupun
materi. Terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-teman seperjuangan yang telah mendukung kami
sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu.

Kami menyadari, bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna baik segi
penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pembaca guna menjadi acuan agar kami bisa menjadi lebih baik lagi di
masa mendatang.

Semoga makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk perkembangan
dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Banda aceh, 22 februari 2021


BAB I
PENDAHULUAN

A. Jenis konflik
Konflik berasal dari bahasa latin Conflictus yang berarti pertentangan, Menurut
Maswadi Rauf, konflik adalah setiap pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling
tidak dua orang atau kelompok. Konflik ini disebut konflik non fisik atau lisan. Meskipun
pada umumnya para teoritisi konflik memahami bahwa setiap bentuk perbedaan atau
pertentangan ide, pendapat, paham, dan kepentingan diantara dua pihak atau lebih. Bisa
saja pertentangan tersebut berwujud non fisik tanpa kekerasan dan dapat juga
berkembang menjadi benturan fisik dengan kekerasan. Konflik di Ambon (Maluku)
merupakan suatu contoh yang paling kuat mengesankan adanya konflik antar agama,
Konflik antar agama adalah pertikaian antar agama baik antar sesama agama itu sendiri
atau agama lain.
Masyarakat Ambon dan Maluku memang mengalami semacam segregasi wilayah
berdasarkan agama (Kristen dan Muslim) yang merupakan warisan sistem kolonialisme
pemerintah Belanda. Konflik antar agama sering muncul secara sporadis, namun sejak
kemerdekaan RI, tidak pernah meluas seperti sekarang. Konflik antar agama adalah
pertikaian antar agama baik antar sesama agama itu sendiri atau agama lain.
BAB II
KEJADIAN KONFLIK AMBON

B. Penyebab konlik ambon


Minggu, 11 September 2011 yang lalu terjadi kerusuhan di Kota Ambon. Kerusuhan
tersebut terjadi pada tiga titik kota Ambon, ketiga tempat tersebut adalah kawasan Tanah
Lapang Kecil (Talake) daerah Kristen, terkonsentrasi di Kampus UKIM (Universitas
Kristen Indonesia Maluku), daerah Waringin (Muslim), terkonsentrasi di belakang
Markas Polres Pulau Ambon dan PulauPulau Lease (jaraknya hitungan meteran) dan
daerah Mardika (Kristen). Bentrokan ini awalnya dipicu oleh berita tentang kematian
seorang tukang ojek, Darmin Saiman. Berita beredar melalui pesan pendek (SMS) yang
isinya mengatakan bahwa Saiman dibunuh saat sedang mengantar seorang penumpang.
Padahal, di lain pihak, polisi mengatakan bahwa hasil otopsi menunjukkan Saiman
meninggal akibat kecelakaan murni disebabkan sepeda motornya menabrak pepohonan
dan tembok. Kabar tewasnya korban cepat menyebar luas dengan informasi yang
simpang siur. Kronologisnya, pada hari Sabtu 10 September 2011, sekitar pukul 21.00
WIT, korban mengantarkan penumpang ojek asal Gunung Nona (daerah komunitas
Kristen). Sepulangnya dari Gunung Nona, ia mengalami kecelakaan lalu lintas
(lakalantas) di seputaran Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah, hingga akhirnya
meninggal dunia setelah dibawa ke rumah sakit. Informasi meninggalnya korban ini
menyebar luas dan ada pihak yang sengaja mempolitisir dengan mengabarkan bahwa
yang bersangkutan meninggal akibat dibunuh. Awal konflik dimulai saat massa
melempari siapa saja yang ditemui di tengah jalan entah pejalan kaki maupun kendaraan
yang lewat.
Massa beringas akibat provokator begitu cepat menyebarkan isu bahwa Saiman
meninggal karena di bunuh oleh orang Kristen. Sekitar pukul 14.00 WIT tanggal 11
September 2011, massa memenuhi kawasan Waringin Tanah Lapang Kecil (Talake).
Bahkan warga yang mendiami kawasan di perbatasan Talake pun turut mengungsi ke
sejumlah tempat sanak saudara mereka yang aman seperti Wainitu, OSM dan sekitarnya.
Disaat yang bersamaan, keluarga korban sementara melangsungkan prosesi pemakaman
korban di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Muslim Mangga Dua - Ambon, dimana
TPU ini berlokasi di pemukiman Kristen. Bentrok berbau agama di Ambon sebenarnya
bukan yang pertama kali terjadi. Pada Januari 1999 pernah terjadi kerusuhan di Batu
Merah. Sejak itu kawasan Ambon menjadi rawan bentrokan dan konflik.
Beberapa upaya seperti Ikrar Masyarakat Maluku Ale Rasa Beta Rasa sempat dilakukan
untuk meredam konflik. Namun, bentrokan massa terus terjadi. Kerusuhan pada saat
itupun merembet hingga ke Maluku Utara pada Agustus 1999. Konflik baru mereda
setelah Perjanjian Perdamaian Malino II ditandatangani dua pihak bertikai pada 13
Februari 2002. Namun kini dipicu oleh peristiwa meninggalnya seorang tukang ojek
warga Waihaong yang bernama Darmin Saiman yang beragama Muslim di daerah
pemukiman Kristen, ketegangan di Ambon kembali memanas.

C. Kronologi konflik ambon


Babak I: Januari-Maret 1999
Peristiwa sepele, dan dianggap biasa oleh masyarakat setempat, yaitu konflik antar
preman Batumerah (Muslim) dan Mardika (Kristen) pada tgl. 19 Januari 1999, dalam
sekejab menimbulkan pertikaian antar kelompok agama dan suku dan meledak menjadi
kerusuhan besar di seantero kota Ambon, bahkan meluas ke seluruh pulau Ambon tanpa
dapat dikendalikan. Kerusuhan yang berlarut-larut di P. Ambon yang semula
berpenduduk 312..000 jiwa ini memakan banyak korban jiwa. Membuat korban
pengungsi sekitar 100.000 jiwa yang lari ke luar Ambon dan menyisakan 20.000 jiwa
orang yang terpaksa tinggal di 34 lokasi pengungsian. Kota dan desa-desa di Ambon
bertebaran dengan puing-puing bangunan rumah ibadat, rumah tinggal dan toko yang
dibakar serta diratakan dengan tanah. Kota Ambon dan sebagian desa-desa sekitarnya
tersegregasi ketat dan terbagi dalam 2 wilayah: Islam dan Kristen. Masyarakat dan
wilayah Kristen disebut merah, dan yang Muslim disebut putih. Utamanya di kota
Ambon, masyarakat hidup dalam keadaan terpisah: pasar khusus merah, pasar khusus
putih, pelabuhan speedboat merah dan putih, becak merah dan putih, angkot merah dan
putih, bank merah dan putih, dan sebagainya. Pemerintah daerah, aparat keamanan,
pemuka-pemuka agama dan adat kemudian sibuk melakukan upaya-upaya rekonsiliasi
dengan berbagai gebrakan dan upacara ”panas pela” dilakukan di sana-sini. Akhir Maret
sampai pertengahan Juli 1999, Ambon relatif reda dari kerusuhan besar, meskipun masih
terjadi insiden berdarah di sana-sini, dan juga di beberapa kota dan desa di pulau-pulau
lain. Tetapi kerusuhan hebat berlangsung di Tual, Kepulauan Kei, Maluku Tenggara pada
akhir Maret, 2000

Babak II: Juli-November 1999


Ambon tenang-tenang tegang sementara disuguhi atraksi kampanye menjelang pemilu.
Status wilayah keamanan ditingkatkan menjadi Kodam. Masyarakat tetap tersegregasi,
meskipun di satu dua tempat agak cair. Kerusuhan di Tual reda dan konfliknya selesai.
Usai Pemilu, ketegangan meningkat dan tiba-tiba pecah di daerah Poka dan meluas ke
bagian lain di Ambon. Kerusuhan besar juga melanda wilayah Maluku Utara yang
statusnya meningkat menjadi propinsi. Segregasi semakin ketat, di Ambon hanya tersisa
1 desa (Wayame) yang masyarakatnya tetap berbaur. Sebutan merah diganti dengan Obet
(Robert) dan bagi putih menjadi Acang (Hasan). Lokasi pengungsi di pulau Ambon
menjadi 119 site untuk Muslim dan 123 site untuk Kristen. Masyarakat semakin
mempersenjatai diri dengan berbagai bentuk senjata, mulai dari parang, rakitan hingga
senjata organik. Milisia mulai tampak menonjol di dua pihak yang bertikai, dan
teroganisir. Kelompok milisia anak-anak disebut pasukan Agas, yang remaja tergabung
dalam pasukan Linggis, dan yang dewasa disebut Laskar Jihad dan Laskar Kristus. Yang
menjadi kesibukan kaum pria pada umumnya hanyalah membuat senjata, dan terang-
terangan meminta bantuan amunisi atau dana untuk membuat senjata. Amunisi memang
diperjualbelikan secara terbuka.

Babak III: akhir Desember 1999- pertengahan Januari 2000


Memasuki bulan puasa, awal bulan Desember, konflik mereda, namun kesiapsiagaan dan
ketegangan meningkat sangat tinggi. Situasi siaga sangat terasa di kedua belah pihak dan
juga terjadi di P. Seram dan P. Buru. Tanda-tanda akan meledaknya kerusuhan menguat
pada saat kunjungan Presiden dan Wakil Presiden pada akhir bulan Desember. Dan
benar, kerusuhan meledak di Batumerah-Mardika, Ambon, pada tgl. 26 Desember, 2000,
hampir serentak terjadi juga pada hari-hari berikutnya di Masohi, Seram dan Namlea
serta sekitarnya di P. Buru. Wilayah-wilayah yang ter segregasi di Maluku Tengah dan
Ambon semakin meluas. Selepas kunjungan Wapres berikutnya di bulan Januari 2000,
terjadi lagi kerusuhan di Haruku dan Saparua. Korban jiwa berjatuhan kembali, jumlah
pengungsi meningkat tajam. Arus pengungsi masuk dari P. Buru ke Ambon. Sebagian ke
Maluku Tenggara, dan dari P. Seram mulai memasuki Sorong, Papua. Sementara itu, arus
pengungsi dari Maluku Utara (P. Bacan, P. Obi, dan Halmahera utara) juga mengalir ke
Seram, Ambon, dan Maluku Tenggara. Ambon menjadi penuh sesak dengan pengungsi
yang hampir-hampir tidak tertampung lagi.

Babak IV: April 2000 – sekarang


Sejak Februari- Maret 2000, sebenarnya situasi di Ambon sudah tenang. Aktivitas
masyarakat mulai pulih meskipun terbatas di wilayah masing-masing. Jalan-jalan yang
diblokir mulai dibuka dan dilewati oleh keduabelah pihak. Upaya rekonsiliasi dilakukan
di beberapa tempat, di Jakarta (oleh team rekonsiliasi pusat), di Belanda atas inisiatif dan
undangan pemerintah Belanda , di Bali oleh Pemerintah Inggris lewat Perwakilan PBB,
di atas kapal-kapal TNI-AL dalam program Surya Bhaskara Jaya (SBJ). Tetapi, gerakan
Jihad yang berpusat di Yogya, Jakarta, Bogor, mulai meresahkan masyarakat Ambon.
Pers setempat ramai memberitakan ancaman-ancaman Jihad, dan penolakan kedatangan
Jihad muncul baik dari masyarakat Muslim apalagi Kristen. Keresahan terbukti, sehari
setelah kunjungan WaPres ke Ambon dalam rangka program SBJ, diawali peristiwa
”makan Patita” antara kelompok milisia Batumerah (Muslim) dengan Kudamati (Kristen)
yang disertai pawai becak, kerusuhan mulai merebak lagi. Kerusuhan juga menjadi
berkepanjangan dengan cetusan berbagai insiden seperti insiden di LahaTawiri, dan
sangat menghebat di bulan Juni-Juli dengan adanya ribuan pasukan Jihad di Ambon.
Desa-desa Kristen seperti Ahuru, Poka, Rumah Tiga, Waai, dan kampungkampung
Kristen di Urimesing, Batumeja, Batugantung habis rata dengan tanah. Universitas
Kristen, Universitas Negeri Pattimura, sejumlah bank swasta, gedung-gedung umum,
rumahsakit swasta, bahkan asrama Brimob di Tantui ikut menjadi korban. Ambon saat ini
benar-benar porakporanda, bantuan kemanusiaan sulit dilakukan dan di seluruh wilayah
Maluku diberlakukan Darurat Sipil, setelah Pangdam Pattimura diganti. Relawan dari
Jaringan Kerja Relawan untuk Krisis Maluku yang saat ini berada di Ambon melaporkan
bahwa situasi masyarakat memprihatinkan baik di wilayah Muslim maupun Kristen.
Sekelompok orang di seputar Bandara menyerbu bantuan yang baru diturunkan dari
hercules, dan meskipun dapat diatasi, peristiwa tersebut menggambarkan bahwa
masyarakat (Muslim) sangat sulit untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya. Relawan
Muslim juga sangat sulit berkomunikasi dengan yang Kristen karena takut terhadap
tekanan dari jihad. Sedangkan di wilayah Kristen, bantuan sulit untuk disalurkan karena
faktor transportasi dan pemblokiran jalur masuk. Reaksi dari masyarakat Kristen terhadap
bantuan memperlihatkan semacam apatisme. Mereka mengatakan bahwa yang
dibutuhkan adalah intervensi asing untuk pengamanan, bukan barang-barang bantuan

D. Dampak konflik ambon


 Korban jiwa berjatuhan – Banyak pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
saat terjadinya konflik Ambon ini. Ribuan nyawa melayang sebagai akibatnya,
termasuk pihak yang tidak bersalah sehingga menjadi tragedi kemanusiaan yang
paling besar dan melibatkan dua kelompok agama besar.

 Keamanan yang tidak kondusif – Situasi keamanan menjadi kacau karena


konflik ini sebab kerusuhan dan perang terjadi secara terbuka tanpa menghiraukan
pihak yang tidak bersalah. Ditambah lagi penanganan yang kurang cekatan dari
pihak berwajib membuat konflik meluas ke berbagai daerah di Ambon.

 Rusaknya kerukunan umat beragama – Pertikaian ini sudah tentu merusak


kerukunan antar umat beragama di Ambon yang sebelumnya terjalin baik.
Akibatnya orang – orang akan berpandangan apatis terhadap apapun yang
berikutnya terjadi dan merasa terancam dengan semua pihak yang berbeda
keyakinan dengan mereka.

 Kerugian materiil – Pertikaian yang merusak rumah dan tempat – tempat usaha
sudah tentu membebani rakyat dengan kerugian materiil dan keadaan
perekonomian yang merosot. Kedua pihak yang bertikai semakin merugi karena
aksi saling serang dan balas yang terus berlangsung terhadap properti kedua
pihak. Begitu pula kegiatan perekonomian yang lumpuh karena banyak orang
takut beraktivitas di luar rumah.

E. Penyelesaian konflik ambon


Pada konflik Ambon tahun 1999-2002, akibat besarnya konflik, Pemerintah pusat
akhirnya memimpin proses perdamaian, yang sangat singkat dalam standar komparatif
untuk penandatanganan perjanjian damai Malino II pada 11 Februari 2002 di pegunungan
Malino di Sulawesi Selatan. Dua tokoh dari Pemerintah pusat yang berperan dalam
melaksanakannya adalah: Menteri Kordinator Urusan Politik, Hukum dan Susilo
Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Saat
itu, Jusuf Kalla meminta Gubernur Maluku untuk memilih satu perwakilan masing-
masing dari komunitas Muslim dan Kristen. Kedua perwakilan kemudian memilih
kelompok yang lebih besar dari komunitas mereka yaitu 35 orang Muslim dan 34 orang
Kristen, ke-69 orang tersebut berkumpul di Malino selama tiga hari. Proses yang kilat
tersebut sebenarnya tidak memungkinkan adanya keterlibatan antara perwakilan
komunitas Muslim maupun Kristen. Bahkan, pemimpin agama pun tidak menjadi bagian
dari konsultasi publik. Hal ini membuat beberapa komunitas merasa perwakilan mereka
tidak mewakili pandangan mereka. Oleh sebab itu, walaupun pemerintah pusat dan lokal
memperhatikan untuk mendapatkan perwakilan yang seimbang, mereka tidak
memberikan perhatian yang memadai terhadap siapa yang menjadi perwakilan dari
masing– masing pihak dan apakah mereka memiliki kapasitas dan wewenang untuk
menegakkan perjanjian. Namun bagaimanapun juga, Malino II merupakan sebuah
pernyataan politik bahwa konflik dianggap telah selesai secara formal dan adanya
keinginan politik yang kuat untuk mengurangi kekerasan pada saat itu, karena Malino II
adalah perjanjian perdamaian dan bukan deklarasi seperti Malino I “Perjanjian Malino II
terdiri atas 11 poin, yaitu:
1. Mengakhiri semua bentuk konflik dan perselisihan.

2. Menegakkan supremasi hukum secara adil dan tidak memihak. Karena itu, aparat harus
bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya.

3. Menolak segala bentuk gerakan separatis termasuk Republik Maluku Selatan.

4. Sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka bagi semua orang
berhak untuk berada dan berusaha di wilayah Maluku dengan memperhatikan budaya
setempat.

5. Segala bentuk organisasi, satuan kelompok atau laskar bersenjata tanpa ijin di Maluku
dilarang dan harus menyerahkan senjata atau dilucuti dan diambil tindakan sesuai hukum
yang berlaku. Bagi pihak-pihak luar yang mengacaukan Maluku, wajib meninggalkan
Maluku.

6. Untuk melaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu dibentuk tim investigasi
independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 19 Januari 1999, Front Kedaulatan
Maluku, Kristen RMS, Laskar Jihad, Laskar Kristus, dan pengalihan agama secara paksa.

7. Mengembalikan pengungsi secara bertahap ke tempat semula sebelum konflik.

8. Pemerintah akan membantu masyarakat merehabilitasi sarana ekonomi dan sarana


umum seperti fasilitas pendidikan, kesehatan dan agama serta perumahan rakyat agar
masa depan seluruh rakyat Maluku dapat maju kembali dan keluar dari kesulitan. Sejalan
dengan itu, segala bentuk pembatasan ruang gerak penduduk dibuka sehingga kehidupan
ekonomi dan sosial berjalan dengan baik.
9. Dalam upaya menjaga ketertiban dan keamanan seluruh wilayah dan masyarakat
diharapkan adanya kekompakan dan ketegasan untuk TNI/ Polri sesuai fungsi dan
tugasnya. Sejalan dengan itu, segala fasilitas TNI segera dibangun kembali dan
dikembalikan fungsinya.

10. Untuk menjaga hubungan dan harmonisasi seluruh masyarakat, pemeluk agama Islam
dan Kristen maka segala upaya dan usaha dakwah harus tetap menjunjung tinggi undang-
undang dan ketentuan lain tanpa pemaksaan.

11. Mendukung rehabilitasi khususnya Universitas Pattimura dengan prinsip untuk


kemajuan bersama. Karena itu, rekruitmen dan kebijakan lainnya dijalankan secara
terbuka dengan prinsip keadilan dan tetap memenuhi syarat keadilan.”
BAB III
PENUTUP

F. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Perbedaan agama dan etnis cukup memberi peluang akan timbulnya konflik,
namun kerentanan dari dalam masyarakat itu sendiri tidak mungkin sampai pada
situasi yang menghancurkan diri sendiri tanpa mengalami tekanan yang cukup
kuat dari luar.
2. Simbol agama dipakai untuk membangkitkan sentimen agama dan etnis
3. strategi pengelolaan konflik di ambon dengan penandatanganan Perjanjian
Perdamaian Malino II
DAFTAR PUSTAKA

Jenis Sumber Link


Jurnal Konflik Ambon: Kajian Terhadap Beberapa Akar Permasalahan dan
Solusinya* Debora Sanur Lindawaty Politica Vol. 2, No. 2,
November 2011
Prosiding Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI
INDONESIA I Makassar 2000
Situs Web 8 Penyebab Perang Ambon Tahun 1999 dan Dampaknya
=Kompas.com, Tempo.co, dan Kpu.go.id

Anda mungkin juga menyukai