Revisi Tesis Ririrn Khuswati Analisis Keberlanjutan KRPL Di Kab. Pasuruan
Revisi Tesis Ririrn Khuswati Analisis Keberlanjutan KRPL Di Kab. Pasuruan
PENDAHULUAN
1
rumah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat desa dan sekaligus sebagai
cadangan pangan hidup keluarga, sehingga dapat dimanfaatkan menjadi sumber
pangan secara berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan gizi dan protein hewani
warga setempat guna meningkatkan skor PPH.
Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) merupakan
gerakan dari dan untuk masyarakat pedesaan mulai tingkat dusun sampai dengan
tingkat rumah tangga bekerjasama dengan Ibu-Ibu Tim Penggerak PKK mulai
tingkat provinsi sampai dengan Dasa Wisma dan Kelompok Wanita Tani (KWT).
Pemanfaatan pekarangan dengan konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)
sangat tepat untuk memenuhi pangan dan gizi keluarga serta meningkatkan
ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga.
Sasaran yang ingin dicapai dari Program KRPL adalah berkembangnya
kemampuan keluarga dan masyarakat secara ekonomi dan sosial dalam memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi secara lestari, menuju keluarga dan masyarakat yang
sejahtera, terwujudnya diversifikasi pangan dan pelestarian tanaman pangan lokal
sekaligus pelestarian alam yang dapat menunjang keseimbangan ekologi. Dengan
demikian sasaran yang ingin dicapai telah mencakup kemampuan keluarga, baik
dari aspek ekonomi, aspek sosial maupun aspek ekologi dalam memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi secara lestari.
Salah satu justifikasi penting dari pengembangan KRPL adalah bahwa
ketahanan pangan nasional harus dimulai dari ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga. Pemanfaatan lahan pekarangan selain untuk memenuhi kebutuhan pangan
dan gizi keluarga sendiri, juga berpeluang meningkatkan penghasilan rumah
tangga, apabila dirancang dan direncanakan dengan baik dapat menghemat
pengeluaran setiap kepala keluarga untuk berbagai jenis tanaman sayuran dan
sumber protein hewani serta dapat mencapai keberlanjutan baik dari segi ekologi,
sosial dan ekonomi.
Pemenuhan akan sumber pangan bagi masyarakat tentunya tidak hanya
dilihat dari sisi kuantitas bahan pangan, akan tetapi hal ini tidak bisa diabaikan
adalah masalah kualitas bahan pangan terutama tingkat keamanan bahan pangan
sebagai bahan konsumsi. Persoalan tingkat keamanan bahan pangan yang perlu
mendapat perhatian serius adalah adanya kandungan residu pestisida dan cemaran
2
logam berat (cadnium, timbal dan lain-lain) pada beberapa produk bahan pangan
(sayuran dan buah-buahan) yang ada di pasaran, keberadaan KRPL yang
menggunakan bahan-bahan organik dalam budidayanya diharapkan mampu
mempertahanakan kelestarian lingkungan dalam aspek ekologi.
Program KRPL di Kabupaten Pasuruan dimulai sejak tahun 2012 dan telah
dilaksanakan di 68 desa di 24 kecamatan. Dalam prakteknya penerapan KRPL di
Kabupaten Pasuruan memiliki beberapa kendala dari aspek ekologi, aspek sosial
maupun aspek ekonomi, sehingga ada beberapa pekarangan yang tidak terawat
bahkan tidak lagi melaksanakan KRPL, sehingga tidak tercapai rumah pangan
yang lestari. Meskipun begitu masih banyak program KRPL di desa-desa yang
masih berjalan dan tetap lestari, sehingga perlu di analisis keberlanjutannya.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
4
dan peralatan (selang air, gembor, handsprayer, dll) tersedia dan lengkap di KBD.
Anggota kelompok sudah terampil dan aktif dalam budidaya tanaman di
pekarangan. Dari sisi sosial, kegiatan m-KRPL memberikan nilai yang positif
bagi anggota kelompok. Pemanfaatan lahan pekarangan mendorong semakin
seringnya gotong-royong dan tolong-menolong dalam kegiatan kelompok.
Kelompok antusias dan semangat dalam mengikuti pertemuan, pelatihan dan
penyuluhan. Kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan mampu memperkenalkan
kelompok ke masyarakat luas, kelompok sering mendapatkan penghargaan
(reward) dari pemerintah, dan keberadaan kelompok diakui di lingkungan
masyarakat. Dilihat dari sisi ekonomi, kinerja m-KRPL sudah cukup baik,
kelompok meyakini bahwa kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan sudah
bermanfaat bagi penghematan pengeluaran rumah tangga dan peningkatan
pendapatan, kas dan aset kelompok menjadi meningkat melalui penjualan bibit
dan tanaman. Namun, pemanfaatan lahan pekarangan dirasa hanya cukup mampu
meningkatkan daya beli rumah tangga, aset pribadi rumah tangga cukup
meningkat dan kerjasama dengan unit usaha lain kadang-kadang terlaksana.
Kelompok juga jarang menghasilkan berbagai produk olahan dari pekarangan
serta terbatas dalam mensuplai hasil pekarangan (seperti sayuran dan toga) kepada
kelompok lainnya/mitra usaha. Diperlukan pembinaan dan penyuluhan yang
intensif terhadap kelompok dari segi kemitraan, teknik pemasaran hasil
pekarangan baik segar maupun olahan, serta pelatihan pascapanen sehingga
kinerja aspek ekonomi m-KRPL dapat ditingkatkan.
Menurut Nilam Pranita et al (2015) dalam Evaluasi Keberlanjutan Kawasan
Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso,
Kabupaten Malang, berdasarkan hasil penelitian didapatkan beberapa atribut yang
sensitif dalam suatu aspek yang akan berpengaruh dalam indeks keberlanjutan
Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Desa Girimoyo. Dari beberapa atribut
tersebut dapat ditarik suatu rekomendasi untuk memperbaiki atau meningkatkan
kegiatan-kegiatan yang kurang efektif dalam pengembangan kawasan.
Rekomendasi yang diajukan peneliti ditarik berdasarkan analisis laverage adalah
penghimbauan masyarakat dalam penggunaan wadah bekas sebagai media tanam,
pelatihan cara budidaya organik, pemeliharaan, penanggulangan hama dan
5
penyakit serta pemanfaatan limbah bekas rumah tangga, pengaktifan kembali
kebun bibit desa dengan pelaksanaan kalender pembibitan, pendampingan oleh
perangkat desa dan pembukaan koperasi khusus yang menjual produk jadi dan
produk olahan masyarakat Desa Girimoyo yang melaksanakan KRPL sehingga
pemasaran hasil panen dan olahan hasil lebih mudah. Berdasarkan hasil analisis
dengan MDS KRPL Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang
berada dalam tingkat indeks keberlanjutan 63,84 % dengan status berlanjut.
6
b) Ketahanan pangan harus diperlakukan sebagai suatu sistem hierarki mulai dari
tingkat global sampai ketahanan pangan tingkat rumah tangga/individu.
Simatupang (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembangunan ketahanan
pangan dimasa depan perlu memprioritaskan ketahanan pangan tingkat
rumahtangga/individu dengan pola manajemen desentralisasi sebagai konsekuensi
dan diterapkannya kebijakan otonomi wilayah. Program Kawasan Rumah Pangan
Lestari (KRPL) adalah salah satu wujud ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga.
Orientasi penyediaan dan konsumsi pangan wilayah tidak lagi semata-
mata pada aspek jumlah tetapi juga aspek mutu gizi, keragaman maupun
komposisi pangan (Baliwati, 2002). Selain dari sisi kuantitas pangan, maka
situasi ketahanan pangan dapat dicerminkan oleh mutu ketersediaan maupun
konsumsi pangan penduduk yang ditunjukkan oleh skor Pola Pangan Harapan
(PPH) sebesar 100. Skor PPH mencapai 100 menunjukkan kualitas konsumsi
yang beragam dan seimbang, berkualitas yang baik dari konsumsi yang dilakukan
penduduk suatu wilayah.
Hasil kajian Saliem et al. (2001) mengemukakan bahwa
walaupun ketahanan pangan tingkat wilayah/regional (provinsi) tergolong
ketahanan pangan terjamin, namun di wilayah yang bersangkutan masih
ditemukan rumah tangga rawan pangan dengan proporsi yang relatif tinggi.
Kondisi demikian dapat dikatakan bahwa persediaan pangan yang cukup di
tingkat wilayah tidak selalu mencerminkan terjaminnya ketahanan pangan
rumahtangga di wilayah tersebut. Salah satu faktor penyebab adalah kurangnya
akses rumah tangga yang bersangkutan terhadap pangan karena lemahnya daya
beli masyarakat, sehingga tidak dapat memenuhi konsumsi pangan sesuai anjuran.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bila ketahanan pangan rumah tangga
atau penduduk di suatu wilayah seluruhnya dalam kondisi baik dan terjamin,
maka dapat dikatakan ketahanan pangan wilayah tersebut juga terjamin. Kegiatan
KRPL sebagai salah satu program strategis solusi ketahanan pangan berbasis
rumah tangga.
7
Indonesia, namun demikian hasil belum sesuai harapan. Tingkat konsumsi
penduduk masih bertumpu pada pangan utama beras. Capaian skor Pola Pangan
Harapan (PPH) belum sesuai harapan yang ideal. Program/kegiatan diversifikasi
pangan perlu disiapkan dengan perencanaan secara holistik dan terintegrasi, mulai
dari hulu (budidaya) hingga hilirnya (pemasaran produk), serta dengan target
capaian yang jelas.
Kegiatan KRPL diarahkan untuk mendukung percepatan
penganekaragaman/diversifikasi pangan, dalam hal ini menuju konsumsi pangan
alternatif non beras dan non terigu yang berbasis pangan lokal. Kegiatan KRPL
sebenarnya merupakan kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan sebagai
penyediaan sumber pangan dan perbaikan gizi rumah tangga. Dalam pemanfaatan
pekarangan diawali dengan usaha tani berbagai jenis tanaman (sayur, buah, toga
dan umbi-umbian), usaha ternak (ayam buras) dan budidaya ikan air tawar. Hasil
dari usaha pekarangan ini dapat memberikan konstribusi untuk konsumsi rumah
tangga, dengan beragamnya usaha tani di pekarangan diharapkan rumah tangga
tersebut akan mengkonsumsi beragam pangan yang dihasilkan yang selanjutnya
akan meningkatkan mutu konsumsi pangan pada rumah tangga tersebut. Lebih
lanjut bila ada kelebihan hasil dari pekarangan dapat dipasarkan/dijual atau diolah
untuk meningkatkan nilai tambah hasil dan pendapatan rumah tangga. Oleh
karena itu kegiatan tersebut sebaiknya disinergiskandengan kegiatan lain dalam
satu kawasan (dusun dan desa). Untuk itu peran pemerintah daerah sangat
strategis dalam mendukung diversifikasi pangan, peran tersebut antara lain dalam
kegiatan berikut (Suryana, 2012) : (a) Kampanye tentang pentingnya konsumsi
pangan Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman (B2SA); (b) Replikasi KRPL; (c)
Mendukung pembangunan usaha pengolahan pangan lokasi di daerah (industri
dan UMKM); dan (d) Pengembangan penyediaan bibit yang mendukung
keberlanjutan KRPL.
8
dan intensif. KRPL memiliki manfaat untuk memudahkan akses pangan dalam
memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga (Permentan No. 18 /2015).
Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (mKRPL)
Badan Litbang Pertanian (2011), menjelaskan bahwa tujuan pengembangan
KRPL antara lain: (1) Memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan
masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari; (2)
Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan
pekarangan di perkotaan maupun perdesaan untuk budidaya tanaman pangan,
buah, sayuran dan tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan air
tawar, pengolahan hasil serta pengolahanlimbah rumah tangga menjadi kompos;
(3) Mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfatan
pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan;
dan (4) Mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang
bersih dan sehat secara mandiri. KRPL merupakan salah satu implementasi dari
Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) tahun 2013
yang merupakan kelanjutan dari Program P2KP berbasis sumberdaya lokal tahun
2010. Kegiatan Optimalisasi Lahan Pekarangan melalui konsep KRPL dilakukan
dengan pendampingan oleh penyuluh pendamping desa dan pendamping
kabupaten serta dikoordinasi oleh aparat kabupaten dan provinsi.
Pemerintah RI telah melakukan berbagai upaya untuk menjamin
ketersediaan pangan bagi rakyatnya. Salah satu bukti upaya itu adalah dengan
adanya Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Implementasi
dari peraturan tersebut adalah berupa Program Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan (P2KP). Sebagai bentuk keberlanjutan program P2KP Berbasis
Sumberdaya Lokal tahun 2010, pada tahun 2013 program P2KP
diimplementasikan, salah satunya melalui kegiatan optimalisasi pemanfaatan
pekarangan melalui Konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).
Pemanfaatan pekarangan dapat mendukung penyediaan aneka ragam
pangan di tingkat rumah tangga, sehingga terwujud pola konsumsi pangan
keluarga yang beragam, bergizi seimbang dan aman, dimana di pekarangan dapat
9
ditanami berbagai jenis tanaman yang dibutuhkan sehari-hari seperti tanaman
sayuran, tanaman obat, tanaman buah dan lain-lain (Afrinis dalam Sujitno, E et al,
2012).
Untuk mendukung usaha pemenuhan pangan dan gizi keluarga,
pemanfaatan pekarangan saat ini lebih dititikberatkan pada usaha budidaya
sayuran yang berumur pendek sehingga dapat dengan segera dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga atau dijual untuk menambah pendapatan keluarga.
Peny dan Ginting (1984) dalam Muryanto (2012) melaporkan bahwa jika usaha di
pekarangan diusahakan secara intensif sesuai dengan potensi pekarangan,
disamping dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, juga dapat
memberikan sumbangan pendapatan bagi keluarga antara 7% sampai dengan
45%.
Komponen kegiatan KRPL terdiri dari : (1) Kebun bibit sebagai penyedia
bibit tanaman dan untuk menjamin keberlanjutan kegiatan KRPL, (2) Demplot
sebagai laboratorium lapangan dan sarana edukasi bagi anggota kelompok dalam
mengembangkan kebun pekarangan dan lahan sekitar tempat tinggal, (3)
Pengembangan lahan pekarangan dan lahan sekitar tempat tinggal sebagai
penyedia sumber pangan lestari, dan (4) Pengelolahan hasil pekarangan dan lahan
sekitar tempat tinggal dengan konsep pangan beragam, bergizi, seimbang dan
aman (B2SA) sebagai edukasi bagi anggota kelompok dalam mengelola hasil
pekarangan dan lahan sekitar tempat tinggal menjadi menu keluarga.
10
daya yang tidak merusak atau melampaui daya pulihnya, sehingga dapat
memenuhi kebutuhan hidup generasi masa kini maupun generasi yang akan
datang (Suryana Asep, 2012).
Keberlangsungan dan keberlanjutan suatu program sudah tentu memiliki
kaitan erat dengan persepsi masyarakat yang menjadi sasarannya. Jika persepsi
masyarakat terhadap program tersebut baik, maka program diharapkan dapat
berjalan dengan baik dan dapat dilanjutkan pada masa-masa selanjutnya. Namun
sebaliknya, jika persepsi masyarakat terhadap program tersebut tidak baik,
program tersebut tidak akan berlangsung dengan baik, mengalami gangguan
bahkan tidak dapat berjalan dan akan sulit untuk melanjutkan program tersebut
dimasa-masa yang akan datang. Dengan demikian, perlu untuk mengetahui
apakah Program KRPL dapat berlanjut.
II.3. Konsep Keberlanjutan
Mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam tidak hanya dalam proses
mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber sampai habis untuk digali. Tetapi
juga menuntut para pelaku dalam menjalankan kegiatannya agar semakin
bertanggungjawab. Pelaku tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan
dari kegiatannya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi
positif terhadap lingkungan sosialnya. Perubahan pada tingkat kesadaran
masyarakat memunculkan kesadararan baru tentang pentingnya melaksanakan apa
yang kita kenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) (Pfahl, 2003).
Adapun lima elemen konsep keberlanjutan yang penting, diantaranya adalah
ketersediaan dana, misi lingkungan, tanggung jawab sosial, terimplementasi
dalam kebijakan (masyarakat, korporat dan pemerintah) dan mempunyai nilai
keuntungan/manfaat. Keberlanjutan dapat didefinisikan sebagai kapasitas
penampung dari ekosistem untuk mengasimilasi pemborosan agar tidak sampai
berlebihan, pemanfaatan tersebut akan disesuaikan dengan kemampuan pada
setiap generasi (World Bank, 2003).
Pengembangan metode Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) yang
mulai diperkenalkan oleh Fisheries Center, University of Columbia pada tahun
1999 saat ini telah banyak dilakukan di berbagai negara. Namun demikian,
RAPFISH sebagai suatu metode untuk mengukur dan menggambarkan kondisi
11
lestari sumberdaya lingkungan di suatu tempat atau wilayah masih tetap aktual
untuk dilakukan di Indonesia. Masih relevannya penggunaan analisis
RAPFISH di Indonesia dikarenakan data aktual yang menggambarkan kondisi
wilayah pengelolaan lingkungan di Indonesia masih sangat minim. Sisi lain
kebutuhan akan pengelolaan yang berkelanjutan atas wilayah tersebut semakin
mendesak.
12
III. KERANGKA PEMIKIRAN
13
dan (10) Kunjungan dari daerah lain. Selain itu, status keberlanjutan KRPL juga
diukur dari aspek ekonomi yang memiliki 10 atribut, antara lain: (1) Penjualan
hasil panen demplot, (2) Penjualan hasil panen pekarangan, (3) Penjualan hasil
bibit KBD, (4) Penjualan hasil produk olahan, (5) Penghematan pengeluaran, (6)
Retribusi dari kunjungan, (7) Membuka lapangan kerja, (8) Penyerapan tenaga
kerja, (9) Pemenuhan konsumsi rumah tangga dan (10) Kerjasama dengan
pedagang.
Selain mengukur status keberlanjutan KRPL, penelitian ini juga bertujuan
untuk mengetahui atribut yang sensitif dalam suatu aspek yang akan berpengaruh
dalam indeks keberlanjutan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di
Kabupaten Pasuruan. Dari beberapa atribut yang sensitif tersebut diharapkan
dapat ditarik suatu rekomendasi untuk memperbaiki atau meningkatkan kegiatan-
kegiatan yang kurang efektif dalam pengembangan KRPL dan agar masyarakat
dapat mengetahui manfaat KRPL dari ketiga aspek yang diteliti tersebut.
Dalam Pedoman Umum Model KRPL (Kementrian Pertanian, 2011),
tujuan pengembangan Model KRPL adalah : (1) Memenuhi kebutuhan pangan
dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan
secara lestari, (2) Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat dalam
pemanfaatan lahan pekarangan diperkotaan maupun perdesaan untuk budidaya
tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan
ternak dan ikan, pengolahan hasil serta pengolahan limbah rumah tangga menjadi
kompos, (3) Mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan
pemanfaatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk
masa depan dan (4) Mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga
sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menciptakan
lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri. Berdasarkan tujuan
tersebut sasaran yang ingin dicapai dari Model KRPL ini adalah berkembangnya
kemampuan keluarga dan masyarakat secara ekonomi dan sosial dalam memenuhi
kebutuhan pangan dan gizi secara lestari, menuju keluarga dan masyarakat yang
sejahtera dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. (Kementrian Pertanian,
2011). Sehingga perlu dikaji aspek keberlanjutan dari aspek sosial dan ekonomi
serta aspek ekologi.
14
Bagan Kerangka Pemikiran :
Aspek Ekologi
Keindahan Pekarangan
Teknik (Cara) Budidaya
Penggunaan Wadah Bekas
Pemanfaatan Limbah Dapur
Pengairan
Pengendalian Hama
Pemahaman Bahan Organik
Teknik Budidaya Organik
9
Aspek Sosial
Pendampingan Petugas Program
Pemanfaatan KBD Kawasan Rumah Keberlanjutan
Manfaat Hasil Pangan Lestari KRPL
Jalinan Kerjasama (KRPL)
Ketertarikan
Aspek Ekonomi
Penghasilan Tambahan
Penghematan Pengeluaran
Penjualan Hasil
Membuka Lapangan Kerja
Penyerapan Tenaga Kerja
Pemenuhan Konsumsi
15
Untuk mengetahui status keberlanjutan dari program KRPL di Kabupaten
Pasuruan, dilakukan analisis keberlajutan terhadap 3 (tiga) aspek yaitu : (1)
Aspek ekologi, (2) Aspek sosial, dan (3) Aspek ekonomi dengan
menggunakan perangkat lunak RAPFISH (dikembangkan oleh Kavananagh
P dan Pitcher, 2004), kemudian untuk mengetahui atribut yang paling
berpengaruh terhadaap masing-masing aspek dilakukan analisis LEVERAGE.
Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode survei yaitu
dengan kuisioner, proses wawancara, pengumpulan data dan kajian literatur.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian yang
digunakan adalah deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara
16
langsung dari objek penelitian, sedangkan data sekunder adalah data yang
diperoleh dari penelitian yang sejenis dan dokumen-dokumen yang mendukung
penelitian ini. Populasi yang diamati dalam penelitian adalah masyarakat 6 desa
yang melaksanakan program KRPL dan diambil dengan metode pemilihan secara
terpilih yaitu desa yang telah mendapatkan bantuan program KRPL dari
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Penelitian ini dilakukan melalui tiga
tahapan, yaitu tahap pengambilan data atau inventarisasi dengan menggunakan
kuesioner dan wawancara secara langsung, tahap evaluasi berbagai aspek di
dalamnya dan tahap rekomendasi.
17
dan masyarakat sekitar selaku informan kunci. Data sekunder merupakan data
pendukung yang diperoleh melalui studi pustaka dari penelitian-penelitian
terdahulu yang terkait, jurnal dan lain sebagainya yang dapat menunjang tujuan
yang ingin dicapai.
4.1. Metode dan Prosedur Analisis Data
Metode analisis keberlanjutan Kawasan Rumah Pangan Lestari di 6 desa
ini dilakukan dengan pendekatan Multideminsional Scalling (MDS) dengan
menggunakan software RAPFISH dengan mengkaji aspek ekologi, sosial dan
ekonomi.
Data yang didapatkan dalam penelitian ini diolah secara kualitatif dan
kuantitatif. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Mengidentifikasi persepsi masyarakat mengenai KRPL dengan menggunakan
data primer melalui wawancara dengan kuesioner. Data yang diperoleh
diolah ke dalam software Rapfish untuk diukur aspek keberlanjutan ekologi,
sosial dan ekonomi;
2. Berdasarkan hasil analisis Leverage terhadap aspek ekologi, sosial dan
ekonomi, dicari dua atribut utama yang mempunyai daya ungkit tinggi
yang mempengaruhi status keberlanjutan program KRPL yang dapat
digunakan untuk melihat atribut mana yang memerlukan perhatian dan
pertimbangan yang lebih khusus dalam menentukan keberlanjutan program
KRPL.
Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) adalah metoda analisa untuk
mengevaluasi atau menganalisis keberlanjutan dari suatu program secara
multidisipliner yang didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu
pada urutan atribut yang terukur) dengan Multi-Dimensional Scalling (MDS)
(Fauzi dan Anna, 2005). Setiap aspek mempunyai atribut yang terkait
dengan keberlanjutan, dengan kriteria penilaian sebagaimana yang disajikan pada
Tabel 1 di bawah ini:
18
4.4.1 Identifikasi Persepsi Rumah Tangga terhadap KRPL
Identifikasi persepsi mengunakan analisis deskriptif dalam
pengolahannya. Analisis deskriptif yang digunakan adalah metode
statistik deskriptif. Statistik deskriptif merupakan bagian dari statistik
yang mempelajari cara pengumpulan dan penyajian data sehingga
mudah dipahami (Hasan, 2001). Statistik deskriptif hanya
menerangkan suatu keadaan yang terjadi, fenomena, atau persoalan
yang terjadi di suatu tempat/wilayah. Identifikasi persepsi dilakukan
untuk mengetahui pengetahuan atau informasi mengenai seberapa jauh
masyarakat menyadari akan adanya perubahan KRPL, manfaat yang
dirasakan oleh responden, serta kendala-kendala KRPL. Analisis ini
dilakukan melalui wawancara kepada rumah tangga dengan
menggunakan kuesioner. Hasil kuesioner akan diolah menggunakan
tabel untuk mempermudah dalam melakukan analisis.
4.4.2 Identifikasi Manfaat Fisik dari adanya KRPL dalam Mendukung
Pemenuhan Kebutuhan Pangan Rumah Tangga Pelaksanaan KRPL memiliki
tujuan utama yaitu untuk meningkatkan kemandirian pangan dalam rumah
tangga secara berkelanjutan. Kemandirian pangan rumah tangga merupakan
kondisi terpenuhnya pangan yang cukup bagi rumah tangga secara mandiri
untuk meningkatkan sosial dan ekonomi rumah tangga maupun masyarakat.
Masyarakat melakukan kegiatan produksi di pekarangan untuk memenuhi
19
pangan. Ketika kebutuhan sehari-hari pada pangan sudah terpenuhi, sisanya
di jual ke pasar atau diberikan kepada tetangga atau saudara.
Manfaat fisik dari adanya KRPL dapat ditunjukkan dari salah satu tujuan
utama pengembangan KRPL yaitu memenuhi ketersediaan pokok keluarga
38
dengan dilihat dari produksi KRPL yang dihasilkan. Manfaat fisik KRPL
ditunjukkan dengan hasil produksi selama umur tanaman. Analisis manfaat
fisik dari adanya KRPL dalam mendukung pemenuhan kebutuhan pangan
rumah tangga dilakukan untuk mengetahui seberapa besar hasil yang
dikonsumsi sendiri dan seberapa besar hasil yang dijual. Analisis ini
dilakukan melalui wawancara kepada rumah tangga dengan menggunakan
kuisioner. Hasil kuesioner akan diolah menggunakan tabel untuk
mempermudah dalam melakukan analisis. Secara sistematis manfaat fisik
dengan melihat dari jumlah produksi khususnya tanaman dapat dijelaskan
sebagai berikut: Yt= Σxt. Qt Keterangan: Yt = Jumlah hasil dari KRPL Σxt =
Jumlah tanaman (pohon) Qt = Produktivitas tanaman per pohon
4.4.3 Estimasi Biaya dan Manfaat dari Pengembangan KRPL Analisis KRPL
dilakukan untuk membandingkan biaya-biaya dengan manfaatnya dan
menentukan proyek-proyek yang mempunyai keuntungan yang layak.
Analisis pelaksanaan proyek-proyek pertanian mempunyai implikasi nyata
terhadap penerimaan dan pengeluaran petani. Apabila biaya dan manfaat
proyek sudah diidentifikasi, dihitung dan dinilai maka analisis sudah dapat
menentukan proyek mana yang akan diterima atau ditolak (Gittinger, 1986).
Oleh karena itu, pentingnya evaluasi pada KRPL adalah menunjukkan apakah
dan sampai berapa jauh proyek KRPL memberikan manfaat yang lebih besar
daripada biayanya kepada masyarakat yang melaksanakan proyek. Manfaat
dari KRPL adalah hasil ................................................ (4.1) 39 produksi yang
kemudian dilihat dari pendapatan yang diterima oleh rumah tangga untuk
melaksanakan KRPL. Pendapatan KRPL merupakan selisih antara
penerimaan dan semua biaya. Pendapatan KRPL terdiri dari pendapatan atas
biaya tunai danpendapatan atas biaya total. Pendapatan tunai merupakan
selisih antara penerimaan total dengan biaya tunai. Pendapatan total
merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya total. Biaya atau
20
pengeluaran total merupakan penjumlahan biaya tunai dan biaya non tunai.
Menurut soekartawi (1986), biaya usahatani terdiri dari biaya tunai dan non
tunai. Biaya tunai merupakan biaya yang dikeluarkan secara tunai. Biaya non
tunai merupakan biaya yang tidak termasuk ke dalam biaya tunai tetapi
diperhitungkan dalam usahatani. Penerimaan usahatani adalah perkalian
antara produksi yang diperoleh dengan harga jual produk (Soekartawi,
2002). Secara matematis penerimaan dapat dituliskan sebagai berikut: TR =
Y.Py-[Bt+Bd] Keterangan: TR = Total penerimaan dari KRPL Y = Produksi yang
diperoleh KRPL Py = Harga Y Bt = Biaya tunai dari KRPL Bd = Biaya
diperhitungkan dari KRPL Analisis dilakukan dengan cara menggunakan rasio
penerimaan atas biaya
(R/C ratio). Analisis rasio penerimaan atas biaya (R/C ratio) merupakan salah
satu cara untuk mengetahui perbandingan antara penerimaan dan biaya
dikeluarkan. ................................................ (4.2) 40 Rasio penerimaan atas
biaya mencerminkan seberapa besar pendapatan yang diperoleh setiap satu
satuan biaya yang dikeluarkan dalam KRPL. Analisis ini menggunakan R/C
rasio terhadap biaya total dengan perhitungan sebagai berikut: R/C rasio =
Analisis rasio penerimaan atas biaya (R/C ratio) memiliki arti sebagai
berikut: 1) Apabila nilai R/C > 1, maka usahatani tersebut dikatakan
menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan penerimaan lebih besar dari satu rupiah. 2) Apabila nilai
R/C = 1, maka usahatani tersebut dikatakan impas karena setiap satu
rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar
satu rupiah juga. 3) Apabila nilai R/C < 1, maka usahatani tersebut
dikatakan tidak menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang
dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan lebih kecil dari satu rupiah.
Kontribusi KRPL terhadap pendapatan keluarga dapat dijelaskan dengan
rumus:
21
Rekomendasi yang diajukan peneliti ditarik berdasarkan analisis laverage
adalah penghimbauan masyarakat dalam penggunaan wadah bekas sebagai media
tanam, pelatihan cara budidaya organik, pemeliharaan, penanggulangan hama dan
penyakit serta pemanfaatan limbah bekas rumah tangga, pengaktifan kembali
kebun bibit desa dengan pelaksanaan kalender pembibitan, pendampingan oleh
perangkat desa dan pembukaan koperasi khusus yang menjual produk jadi dan
produk olahan masyarakat Desa Girimoyo yang melaksanakan KRPL sehingga
pemasaran hasil panen dan olahan hasil lebih mudah. Berdasarkan hasil analisis
dengan MDS KRPL Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang
berada dalam tingkat indeks keberlanjutan 63,84 % dengan status berlanjut.
22
Kavananagh P dan Pitcher, 2004), kemudian diperkuat dengan uji MONTE
CARLO dan selanjutnya untuk mengetahui atribut yang paling berpengaruh
sebagai pengungkit maka dilakukan analisis LEVERAGE. Rapfish (Rapid
Appraisal for Fisheries) adalah metoda analisa untuk mengevaluasi
sustainabilitydari perikanan secara multidisipliner yang didasarkan pada
teknik ordinasi (menempatkansesuatu pada urutan atribut yang terukur)
dengan Multi-Dimensional Scalling(MDS).MDS sendiri pada dasarnya
merupakan teknik statistik yang mencoba melakukan tranformasi
multidimensi kedalam dimensi yang lebih rendah (Fauzi dan Anna, 2005).
Setiap dimensi mempunyai atribut atau atribut yang terkait dengan
sustainability,dengan kriteria penilaian sebagaimana yang disajikan pada Table 1
sampai 5.Tabel 1Kriteria penilaian atribut pada dimensi
ekologiNo.AtributBaikBurukKriteria penilaian1Tingkat pemanfaatan
SDI03Rendah (0); sedang (1); maksimum (2); kelebihan tangkap (3)2Ukuran Ikan
hasil tangkapan03Semakin besar (0); tetap (1); sedikit lebih kecil (2); semakin
kecil (3)3Jumlah hasil tangkapan03Semakin meningkat (0); meningkat (1);
menurun (2); semakin menurun (3). 4Keragaman ikan30Tidak beragam (0);
Sangat berkurang (0); berkurang sedikit (1); tetap (3). 5Hasil samping (by
catch)03Sedikit < 10% (0); sedang 10 -30% (1); banyak >30 -40 %(2); sangat
banyak > 40% (3)
Asep Suryana et al.–Analisis Keberlanjutan Rapfish...476Lokasi daerah
penangkapan30Semakin jauh (0); sedikit lebih jauh (1); tetap (2); semakin dekat
(3)7Daerah konservasi30Tidak ada (0); ada tapi tidak efektif (1); baru berjalan
(2); berjalan dengan baik (3)8Musim tetutup (closed season)30Tidak ada (0); ada
tapi tidak efektif (1); baru berjalan (2); berjalan dengan baik (3)9Kualitas
lingkungan03Sangat baik (0); baik (1); sedikit menurun (2); sangat rusak
(3).Tabel 2Kriteria penilaian atribut pada dimensi
ekonomiNo.AtributBaikBurukKriteria penilaian1Nilai ekonomi03Sangat tingggi
(0); relatif tinggi (1); relatif rendah (2); sangat rendah (3). 2Sebaran
pemasaran30Lokal (0); lokal dan nasional (1); nasional dan ekspor (2); hanya
untuk ekpor (3).3Sumber matapencaharian03Utama (0); utama dengan sumber
lain (1); tambahan (2); tidak bisa diandalkan (3); 4Ketergantungan
23
subsidi30Sangat mutlak (0); perlu untuk membantu (1); tidak begitu perlu(2);
tidak perlu (3).5Kontribusi terhadap PAD03Tinggi (0); sedang (1); sedikit (2);
sedikit sekali (3).6Distribusi keuntungan03Ditingkat nelayan (0); pemilik (1);
pengolah (2); pedagang (3).7Penyerapan tenaga kerja03Sangat meningkat
(0);sedikit meningkat (1); sedikit menurun (2); sangat menurun 3).8Prospek
usaha03Sangat baik (0); baik (1); kurang baik (2); tidak baik (3)9Penghasilan
relatif terhadap UMR30Jauh dibawah UMR (0); hampir sama (1); sedikit lebih
tinggi (2); jauh lebih tinggi (3).Tabel 3Kriteria penilaian atribut pada dimensi
teknologiNo.AtributBaikBurukKriteria penilaian1Selektifitas alat30Tidak selektif
(0); kurang selektif (1); cukup selektif (2); sangat selektif (3).2Penanganan di
kapal30Tidak baik (0); kurang baik (1); cukup baik (2); sangat baik (3).3Ukuran
kapal03Kecil < 5 GT (0); 5-10 GT (1); 10-30 GT (2); > 30 GT (3).4Penggunaan
alat bantu30Cukup banyak >3 macam (0); hanya GPS dan rumpon (1), hanya GPS
(2); tidak pakai (3). 5Dampak negatif terhadap habitat03Aman (0); kerusakan
kecil (1); merusak (2); berdampak luas (3).6Keamanan bagi nelayan30Kecelakaan
fatal (0); cacat permanen (1); gangguan kesehatan (2); aman (3).7Mengancam
ikan yang dilindungi30Sering sekali (0); sering (1); kadang kadang (2); tidak
pernah (3).
48BULETIN PSP 20(1), Maret20128Tempat pendaratan ikan03Banyak dan
tersebar (0); cukup (1); terpusat (2); kurang memadai (3). 9Penanganan pasca
panen 03Baik (0); kurang baik (1); tidak baik (2); jelek (3).Tabel 4Kriteria
penilaian atribut pada dimensi sosialNo.AtributBaikBurukKriteria
penilaian1Tingkat pendidikan30Rendah (0); menengah (1); atas (2); tinggi
(3).2Pengetahuan lingkungan30Rendah (0); cukup (1); tinggi (2); sangat tinggi
(3).3Tingkat konflik03Tidak pernah (0); jarang (1); sering (2); sangat sering
(3).4Perkembangan jumlah nelayan30Menurun (0); tetap (1); sedikit meningkat
(2); sangat meningkat (3).5Peran masyarakat untuk kelestarian30Tidak peduli (0);
kurang (1); cukup (2); sangat baik (3).6Peran nelayan untuk kelestarian30Tidak
peduli (0); kurang (1); cukup (2); sangat baik (3).7Partisipasi anggota
keluarga30Tidak ada (0); kurang dari setengah anggota keluarga (1); banhak (2);
semua terlibat (3)8Tingkat sosialisasi usaha30Individu (0); beserta keluarga (1);
kelompok usaha (2); bentuk perusahaan (3).9Peran nelayan pada
24
perencanaan30Tidak terlibat (0); sedikit (1); cukup berpengaruh (2); sangat
berpengaruh (3).Tabel 5Kriteria penilaian atribut pada dimensi
etikNo.AtributBaikBurukKriteria penilaian1Aturan perundangan30Sangat tidak
memadai (0); kurang memadai (1); kurang efektif(2); suak efektif (3).2Tingkat
pelanggaran03Tidak pernah (0); jarang (1); sering (2); sering sekali (3).3Mitigasi
kerusakan ekosistem30Belum ada (0); ada tap tidak efektif (1); cukup memadai
(2); sangat memadai (3).4Mitigasi kerusakan habitat30Belum ada (0); ada tap
tidak efektif (1); cukup memadai (2); sangat memadai (3).5Ekternalitas (Limbah
buangan)03Tidak ada (0); sedikit (1); cukup banyak (2); sangat merusak
(3).6Aturan adat dan kearipan lokal03Banyak dan masih berjalan (0); masih ada
sedikit (1); pernah ada (2); tidak pernah (3)7Peran nelayan dalam
kebijakan30Tidak ada (0); sedikit (1); cukup dipertimbangkan (2); sangat
berpengaruh (3).8Akses terhadap sumberdaya30Sangat terbuka (0); ada
persyaratan tanpa batasan (1); sangat terbatas (2); tertutup (3). 9Alternatif
pekerjaan lain30tidak ada (0); ada tapi sulit (1); banyak tapi sulit (2); banyak dan
gampang (3).
Asep Suryana et al.–Analisis Keberlanjutan Rapfish...49Nilai skor ditetapkan
berdasarkan hasil wawancara dengan responden, selanjutnya dianalisis dengan
bantuan program Rapfish, nilai hasil analisis selanjutnya diinterpretasikan
dalam 4 kelompok yang menggambarkan kondisi keberlanjutan yaitu:0-25 berarti
buruk, 26-50 berarti kurang,51-75 berarti cukup dan 76-100 berarti baik.HASIL
DAN PEMBAHASANDimensi EkologiBerdasarkan hasil analisis
RAPFISHyang diperkuat dengan analisis MONTE CARLO, nilai status
keberlajutan dimensi ekologi upaya pemanfatan sumber daya ikan kakap
merah (Lutjanus sp) dengan menggunakan alat tangkap pancing adalah
sebesar 41,87 dan untuk alat tangkap bubu sebesar 41,65 (Gambar 1 dan 2).
Hal ini menunjukan bahwa dari dimensi ekologi, status pemanfaatan sumber
daya ikan kakap merah (Lutjanus sp.) di Tanjungpandanbaik dengan
menggunakan pancing atau bubu berada pada kategori kurang berkelanjutan (skor
antara 26–50). Berdasarkan nilai skor, secara ekologi upaya pemanfaatan
sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus sp.) dengan pancing sedikit lebih
berkelanjutan dibanding alat tangkap bubu, hal ini dapat dipahami karena
25
dalam pengoperasian alat tangkap pancing lebih selektif baik dalam hal
keragaman maupun ukuran ikan yang tertangkap.Berdasarkan hasil analisis
LEVERAGEterhadap dimensi ekologi, dua atribut utama yang mempunyai
daya ungkit tinggi adalah atribut hasil samping yang memiliki pengaruh
(standard error) sebesar 5,39 dan atribut daerah konsevasi dengan nilai 3,23
(Gambar 3).Hal ini berarti bahwa dalam merumuskan kebijakan upaya
meningkatkan status keberlanjutan dari dimensi ekologi perlu memperhatikan dan
mempertimbangkan kedua atribut tersebut. Hasil samping dari upaya
pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus sp.)dengan
menggunakan alat tangkap pancing dan bubu sangat sedikit, artinya atribut
hasil samping memberikan kontribusi baik terhadap status keberlanjutan,
sehingga upaya-upaya yang perlu dilakukan dengan cara
mempertahankannya. Sementara keberadaan daerah konservasi dirasakan
hampir tidak ada, sehingga untuk meningkatkan status keberlanjutan dari dimensi
ekologi, diperlukan upaya-upaya untuk menetapkan dan mengembangkan
daerah konservasi. Gambar 1 Posisi status keberlajutan dimensi ekologi
upaya pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus sp) di
Tanjungpandan dengan alat tangkap pancing dan bubu berdasarkan analisis
RAPFISH.GoodBadUpDown-60-40-200204060050100150Other Distingishing
FeaturesStatus Keberlanjutan Berdasarkan Analisis RapfishReal
FisheriesReference...
50BULETIN PSP 20(1), Maret2012Gambar 2 Posisi status keberlajutan
dimensi ekologi upaya pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus
sp)di Tanjungpandan dengan alat tangkap pancing dan bubu berdasarkan uji
analisis MONTE CARLO.Gambar 3 Hasil analisis LEVERAGEpada dimensi
ekologi.Dimensi Ekonomi Berdasarkan hasil analisis RAPFISHyang diperkuat
dengan analisis MONTE CARLO, nilai status keberlajutan dimensi ekonomi
upaya pemanfatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus sp) dengan
menggunakan alat tangkap pancing adalah sebesar 51,59 dan untuk alat tangkap
bubu sebesar 51,89 (Gambar 4 dan 5). Hal ini menunjukan bahwa dari
dimensi ekonomi, status pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus
sp.) di Tanjungpandanbaik dengan menggunakan pancing maupun bubu
26
berada pada kategori cukup berkelanjutan (antara 51–75) dan secara
ekonomi, alat tangkap bubu sedikit lebih baik dibandingkan alat tangkap
pancing.Hasil analisis LEVERAGEterhadap dimensi ekonomi (Gambar 6), dua
atribut utama yang mempunyai daya ungkit tinggi adalah atribut subsidi
dengan nilai 2,63 dan atribut -60-40-200204060020406080100120Other
Distingishing FeaturesStatus Keberlanjutan Berdasarkan Ananlisis Monte Carlo
Scater Plot0.212.523.231.765.392.410.670.660.360123456Kualitas
perairanMusim tertutup (closed session)Daerah konservasiLokasi daerah
penangkapanHasil samping (by cacth)Keragaman ikanTrend hasil
tangkapanUkuran ikanTingkat pemanfaatan SDIA t r i b u t
Asep Suryana et al.–Analisis Keberlanjutan Rapfish...51transfer keuntungan
dengan nilai 2,58. Hal ini berarti dalam upaya meningkatkan status
keberlanjutan dari dimensi ekonomi perlu memperhatikan dan
mempertimbangkan kedua atribut ini. Pada dimensi ekonomi, keberlanjutan
upaya pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus sp.) di perairan
Tanjungpandan, masih sangat memerlukan bantuan subsidi pemerintah, baik
yang terkait dengan subsidi bahan bakar maupun melalui penyediaan modal
berbunga rendah, sementara atribut transfer keuntungan terhadap status
keberlanjutan dari dimensi ekonomi dirasakan masih memiliki kotribusi yang
buruk, karena keuntungan lebih banyak dinikmati pihak-pihak di luar
nelayan, seperti pedagang maupun pengolah.Oleh karena itu, dalam upaya
meningkatkan status keberlanjutan upaya pemanfaatan sumber daya ikan
kakap dari dimensi ekonomi diperlukan kebijakan perbaikan tata niaga yang
lebih berpihak pada nelayan. Gambar 4 Posisi status keberlajutan dimensi
ekonomi upaya pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus sp.) di
Tanjungpandan denganalat tangkap pancing dan bubu berdasarkan analisis
RAPFISH.DownUpBadGoo-60-40-20020406002040608010120Status
Keberlanjutan Berdasarkan Analisis RapfishOther Distingishing FeaturesReal
FisheriesReference anchorsAnchors
52BULETIN PSP 20(1), Maret2012Gambar 5 Posisi status keberlajutan dimensi
ekonomi upaya pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus sp.) di
Tanjungpandan dengan alat tangkap pancing dan bubu berdasarkan uji
27
analisis MONTE CARLO.Gambar 6Hasil analisisLEVERAGEpada dimensi
ekonomi.Dimensi Teknologi Berdasarkan hasil analisis RAPFISH yang
diperkuat dengan analisis MONTE CARLO, nilai status keberlajutan dimensi
teknologi dalam upaya pemanfatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus
sp.)dengan menggunakan alat tangkap pancing adalah sebesar 60,11dan untuk
alat tangkap bubu sebesar 59,23 (Gambar 7 dan 8). Hal ini menunjukan
bahwa dari dimensi teknologi, status pemanfaatan sumber daya ikan kakap
merah (Lutjanus sp) di 0.870.542.112.581.172.632.410.640.30123Penghasilan
relatif UMRProspek usahaPenyerapan tenaga kerjaTranfer keuntunganKontribusi
terhadap PADSubsidiSumber matapencaharianSebaran pemasaranNilai ekonomis-
60-40-200204060020406080100120Status Keberlanjutan Berdasarkan Analisis
Monte Carlo Scater PlotOther Distingishing FeaturesFeaturesA t r i b u t
Asep Suryana et al.–Analisis Keberlanjutan Rapfish...53Tanjungpandanbaik
dengan menggunakan pancing maupun bubu berada pada kategoricukup
berkelanjutan (skor51–75).Berdasarkan hasil analisis LEVERAGEterhadap
dimensi teknologi, dua atribut utama yang mempunyai daya ungkit tinggi
adalah atribut ukuran kapal dengan nilai 5,71 dan atribut keamanan bagi
nelayan dengan nilai 4,84 (Gambar 9). Hal ini berarti dalam upaya
meningkatkan status keberlanjutan dari dimensi teknologi, kedua atribut ini
perlu perhatian dan pertimbangan khusus. Nelayan pancing maupun bubu
umumnya menggunakan kapal dengan ukuran dibawah 10 GT, ukuran ini
dirasakan sangat sesuai dengan kondisi perairan di Tanjungpandan dan
sekitarnya, demikian juga dengan alat tangkap yang digunakannya
dirasakan aman bagi nelayan dan cukup ramah lingkungan, sehingga kedua
atribut utama dari dimensi teknologi ini memberikan kontribusi baik bagi
status keberlanjutan dan perlu dipertahankan.Gambar 7 Posisi status
keberlajutan dimensi teknologi upaya pemanfaatan sumber daya ikan kakap
merah (Lutjanus sp.) di Tanjungpandan dengan alat tangkap pancing dan
bubu berdasarkan uji analisis RAPFISH.GoodBadUpDown-60-40-
200204060020406080100120Other Distingishing FeaturesStatus Keberlanjutan
Berdasarkan Analisis RapfishReal Fisheries
28
54BULETIN PSP 20(1), Maret2012Gambar 8 Posisi status keberlajutan dimensi
teknologi upaya pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus sp.) di
Tanjungpandan dengan alat tangkap pancing dan bubu berdasarkan uji
analisis MONTE CARLO.Gambar 9Hasil analisis LEVERAGEpada dimensi
teknologi.Dimensi SosialBerdasarkan hasil analisis RAPFISHyang diperkuat
dengan analisis MONTE CARLO, nilai status keberlajutan dimensi sosial
upaya pemanfatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus sp) dengan
menggunakan alat tangkap pancing adalah sebesar 44,40 dan untuk alat tangkap
bubu sebesar 43,28 (Gambar 10 dan 11). Hal ini menunjukan bahwa dari
dimensi sosial, status pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus
sp.) di Tanjungpandan baik dengan menggunakan pancing maupun bubu berada
pada kategori kurang berkelanjutan(skor antara 26–50). -60-40-
200204060020406080100120Other Distingishing FeaturesStatus Keberlanjutan
Berdasarkan Analisis Monte Carlo Scater Plotasrk2.72 1.12 3.24 4.84 4.08 2.86
5.71 4.07 3.00 - 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00Penanganan pasca
panenKetersediaan tempat pendaratanAncaman bagi ikan yang
dilindungiKeamanan bagi nelayanDampak negatif terhadap habitatPenggunaan
alat bantuUkuran kapalPenanganan di kapalSelektifitas alatA t r i b u t
Asep Suryana et al.–Analisis Keberlanjutan Rapfish...55Berdasarkan hasil analisis
LEVERAGEterhadap dimensi sosial, dua atribut utama yang mempunyai daya
ungkit tinggi adalah atribut tingkat konflik dengan nilai 3,33 dan atribut
partisipasi masyarakat dengan nilai 3,20 (Gambar 12). Hal ini berarti
dalam upaya meningkatkan status keberlanjutan dari dimensi sosial,
kedua atribut ini memerlukan perhatian dan pertimbangan yang lebih khusus.
Dalam kegiatan upaya pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah
(Lutjanus sp.) di Tanjungpandan, konflik antar nelayan sangat jarang terjadi,
sehingga kondisi ini memberikan kontribusi yang baik bagi status keberlanjutan,
oleh karena itu upaya upaya untuk memelihara komunikasi yang baik antar
nelayan perlu dibina dan dipelihara baik melalui kegiatan kelompok maupun
forum nelayan yang ada. Sementara atribut peran masyarakat dalam upaya
mempertahankan keberlanjutan dan pelestarian sumber daya masih
memberikan kontribusi buruk, dalam artian, peran masyarakat masih sangat
29
minim karena umumnya mereka tidak mengetahui apa yang harus dilakukan,
sehingga perlu pembinaan dan dorongan yang kuat dari pemerintah.Gambar 10
Posisi status keberlajutan dimensi sosial upaya pemanfaatan sumber daya
ikan kakap merah (Lutjanus sp) di Tanjungpandan dengan alat tangkap pancing
dan bubu berdasarkan uji analisis RAPFISH.DownUpBadGood-60-40-
200204060020406080100120Status Keberlanjutan Berdasarkan Analisis
RapfishOther Distingishing FeaturesReal FisheriesReference anchorsAnchors
56BULETIN PSP 20(1), Maret2012Gambar 11 Posisi status keberlajutan
dimensi sosial upaya pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus
sp) di Tanjungpandan dengan alat tangkap pancing dan bubu berdasarkan uji
analisis MONTE CARLO.Gambar 12 Hasil analisis LEVERAGEpada dimensi
sosial.Dimensi EtikBerdasarkan hasil analisis RAPFISHyang diperkuat dengan
analisis MONTE CARLO, nilai status keberlajutan dimensi etik upaya
pemanfatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus sp.) dengan
menggunakan alat tangkap pancing adalah sebesar 34,53 dan untuk alat tangkap
bubu sebesar 34,83 (Gambar 13 dan 14). Hal ini menunjukan bahwa dari dimensi
etik, status pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus sp.) di
Tanjungpandan baik dengan menggunakan pancing maupun bubu berada pada
kategori kurang berkelanjutan (skor 25–
50).1.510.262.270.893.132.573.230.880.5700.511.522.533.5Peran nelayan dalam
perencanaanTingkat sosialisasi usahaKeterlibatan keluarga dalam usahaPartisipasi
nelayan untuk kelestarianPartisipasi masyarakatPerkembangan jumlah
nelayanTingkat konflikPengetahuan lingkunganTingkat pendidikan-60-40-
200204060020406080100120Status Keberlanjutan Berdasarkan Analisis Monte
Carlo Scater PlotOther Distingishing FeaturesoA t r i b u t
Asep Suryana et al.–Analisis Keberlanjutan Rapfish...57Gambar 13 Posisi status
keberlajutan dimensi etik upaya pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah
(Lutjanus sp.) di Tanjungpandan dengan alat tangkap pancing dan bubu
berdasarkan uji analisis RAPFISH.Gambar 14 Posisi status keberlajutan dimensi
etik upaya pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus sp.) di
Tanjungpandan dengan alat tangkap pancing dan bubu berdasarkan uji analisis
MONTE CARLO.Berdasarkan hasil analisisLEVERAGEterhadap dimensi etik,
30
dua atribut utama yang mempunyai daya ungkit tinggi adalah atribut
limbah buangan dengan nilai 7,48 dan atribut mitigasi habitat dengan nilai
4,36 (Gambar 15), hal ini berarti dalam upaya meningkatkan status
keberlanjutan dari dimensi etik, masalah limbah buangan dan mitigasi
habitat perlu perhatian yang lebih. Limbah buangan sebagai ekternalitas dari
kegiatan nelayan pancing dan bubu bisa dikatakan sangat kecil, karena
mereka hampir tidak pernah membuang bahan bahan berbahaya ke laut,
sehingga atribut ini menunjukan kontribusi yang baik bagi status
keberlanjutan, sebaliknya dengan atribut mitigasi terhadap habitat,
nampaknya masih memberikan kontribusi buruk bagi status keberlanjutan. Hal
ini umumnya disebabkan karena GoodBadUpDown-60-40-
200204060050100150Other Distingishing FeaturesStatus Keberlanjutan
Berdasarkan Analisis RapfishReal Fisheries-60-40-
200204060020406080100120Other Distingishing FeaturesStatus Keberlanjutan
Berdasarkan Analisis Monte Carlo Scatter Plot
58BULETIN PSP 20(1), Maret2012keterbatasan wawasan nelayanbaik terhadap
sistim mitigasi maupun terhadap habitat itu sendiri, oleh karena itu perlu
upaya penyuluhan dan pelatihan untuk meningkatan pengetahuan,
keterampilan dan sikap masyarakat akan pentingnya pemeliharaan dan mitigasi
habitat. Gambar 15. Hasil analisis LEVERAGEpada dimensi etik.Diagram
LayangNilai status keberlanjutan hasil analisis RAPFISH, dari masing-
masing dimensi, selanjutnyadiposisikan dalam bentuk diagram layang dengan
maksud agar lebih mudah memahami gambaran status keberlanjutan dari
kedua alat tangkap (pancing dan bubu) secara holistik (dari berbagai
dimensi; ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan etik), sebagaimana disajikan
pada Gambar 16. Gambar 16 Diagram layang status keberlanjutan upaya
pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanussp.) dengan alat tangkap
pancing dan bubu di Tanjungpandan
0.220.311.243.587.484.363.533.360.6202468Alternatif pekerjaanAkses terhadap
sumber dayaPendapat nelayan dalam kebijakanAturan adat dan kearifan
lokalLimbah buanganMitigasi habitatMitigasi ekosistemTingkat
pelanggaranPeraturan
31
perundangan020406080EkologiEkonomiTeknologiSosialEtikPancingBubuA t r
i b ut
Asep Suryana et al.–Analisis Keberlanjutan
Rapfish...59KESIMPULANBerdasarkan dimensi ekologi, sosial dan etik,
status pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah (Lutjanus sp.) di perairan
Tanjungpandanbaik dengan menggunakan pancing maupun bubu berada pada
kategori kurang berkelanjutan (skor antara 26–50), sementara berdasarkan
dimensi ekonomi dan teknologi, tergolong kategori cukup berkelanjutan (skor
antara 51-75). Secara ekologi, sosial dan teknologi, status keberlanjutan alat
tangkap pancing sedikit lebih baik dibandingkan bubu, sebaliknya secara
ekonomi dan etik, status keberlanjutan alat tangkap bubu sedikit lebih baik dari
pancing.Dari kelima dimensi, atribut-atribut utama yang memiliki daya ungkit
tinggi meliputihasil samping, daerah konservasi, tingkat konflik,
partisipasi masyarakat, ukuran kapal, keamanan,limbah buangan dan mitigasi
habitat.SARANKebijakan upaya pemanfaatan sumber daya ikan kakap merah
(Lutjanus sp.) di Tanjungpandan, sebaiknya lebih memfokuskan pada atribut-
atribut yang memiliki daya ungkit tinggi terutama pada dimensi ekologi, sosial
dan etik tanpa mengabaikan atribut yang lainnya.Untuk lebih meningkatkan status
keberlanjutan upaya pemanfaatan sumber daya ikan kakap di Tanjungpandan,
upaya-upaya prioritas yang perlu dilaksanakan antara lain meliputi:1.Menetapkan
dan mengembangkan daerah konservasi;2.Meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan sikap masyarakat khususnya dalam hal mitigasi perubahan
iklim dan ekologi melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan;3.Meningkatkan
kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam hal pengelolaan sumber daya
ikan secara berkelanjutan.DAFTAR PUSTAKAFauzi dan Anna. 2005.
Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama. 343 hal. Kavanagh and Pitcher. 2004. Implementing Microsoft
Exel Sofware For Rapfish : A Technique For The Rapid Appraisal of Fisheries
Status. Canada. Fisheries Center, University British Columbia. 75 Hal. [PPN
Tanjungpandan] Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjungpandan. 2007.
Statistik Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjungpandan, 2006.
32
Tanjungpandan. PPN Tanjungpandan-Departemen Kelautan dan Perikanan. 61
hal.
© 2020 Neliti Pty Ltd.
PEMBAHASAN
Dalam upaya mendukung kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan
melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL), Dinas Peternakan dan
Ketahanan Pangan Kabupaten Pasuruan telah melaksanakan kegiatan Kawasan Rumah
Pangan Lestari KRPL) sejak tahun 2012 sampai dengan tahun 2019 sebanyak 68
KRPL yang tersebar di 24 kecamatan. Penelitian dilaksanakan di 6 desa di 4
kecamatan di Kabupaten Pasuruan yang mewakili 68 desa yang telah memperoleh
program KRPL di Kabupaten Pasuruan.
Di Kabupaten Pasuruan pelaksanaan KRPL telah dimulai pada tahun 2012
sampai dengan tahun 2019 di 68 desa/kelurahan di 24 kecamatan, baik yang
mendapatkan dana dari APBD II, APBD I maupun APBN. Namun dalam
pelaksanaannya terdapat beberapa hambatan yang mengakibatkan kurang
berkembangnya program tersebut sehingga perlu digali potensi, keberlanjutan dan
masalah pada pelaksanaan berdasarkan beberapa aspek ekologi, sosial dan
ekonomi.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN
34
tomat, seledri dan lainnya) dapat dipenuhi dari hasil pemanfaatan lahan
disekitar rumah;
3. Beberapa rumah tangga mempunyai lahan terbatas/sempit, sehingga hanya
dapat ditanami beberapa jenis tanaman sayuran. Pemenuhan kebutuhan
sayuran didapat dengan membeli pada rumah tangga lain dengan harga yang
lebih murah (dibawah harga pasar);
4. Sebagaian kebutuhan bahan pangan sumber protein (telur, ikan nila, ikan lele)
pada rumah tangga dapat diperoleh dengan harga yang lebih murah (dibawah
harga pasar);
5. Masyarakat dapat memperoleh bahan pangan dengan kualitas yang lebih
terkontrol terutama terhindar dari bahan pangan yang mengandung residu
pestisida yang dalam jangka panjang dapat merugikan bagi kesehatan;
6. Meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan dalam :
a. Mengolah limbah organik rumah tangga menjadi pupuk organik dan nutrisi
bagi tanaman. Untuk limbah non organik (bekas kemasan) dikreasi menjadi
wadah tanaman, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada
kebutuhan polybag;
b. Produksi tanaman secara vertikultur dan pemanfaatan tanaman penolak
serangga;
c. Mengolah tanaman bahan pestisida nabati (mimba, bawang putih, kunyit,
jahe dan lainnya) yang dipergunakan sebagai bahan pengendalian
hama/penyakit bila terjadi serangan yang bersifat explosif;
d. Budidaya lele dengan sistim bioflok.
7. Beberapa lahan sekitar rumah tangga yang masih cukup luas telah menerapkan
budidaya padi sistim polybag (100 polybag/unit), dengan perolehan hasil 29-42
kg gabah. Dari hasil tersebut dapat diperoleh beras sebanyak 14-20 kg.
KEBERLANJUTAN
Status keberlanjutan KRPL di Kabupaten Pasuruan diukur dengan analisis MDS
dengan menggunakan RAPFISH dengan mengkaji aspek ekologi, sosial dan
ekonomi.
35
Atribut yang dipertimbangkan dalam mencapai keberlanjutan dari aspek ekologi
ada 4 atribut. Keempat atribut inilah yang akan mempengaruhi status
keberlanjutan, atribut aspek ekologi antara lain: (1) Budidaya, pengendalian hama
dan penyakit, (2) Ketersedian air untuk pengairan, (3) Pengelolaan limbah rumah
tangga, dan (4) Keindahan dan manfaat dari pekarangan. Empat atribut ini
didasarkan dari kebutuhan informasi peneliti dan pertanyaan dalam kuesioner
yang diajukan peneliti untuk para responden yang dirangkum lebih mendetail.
Berdasarkan hasil analisis MDS dengan menggunakan RAPFISH dapat diketahui
nilai indeks keberlanjutan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) berdasarkan
aspek ekologi yaitu sebesar 75,83 persen. Berdasarkan klasifikasi kondisi atau
status keberlanjutan maka kondisi aspek ekologi berada dalam kategori kondisi
atau status berlanjut.
Hasil analisis Laverage didapatkan beberapa atribut sensitif yang berpengaruh
pada indeks keberlanjutan suatu aspek. Atribut sensitif yang dapat berpengaruh
ada 2 yaitu: Teknis budidaya yang diterapkan dan pemanfaatan limbah rumah
tangga (penggunan wadah bekas). Adapun nilai indeks keberlanjutan dan atribut
sensitif hasil analisis MDS dan Laverage yang berpengaruh pada status
keberlanjutan aspek ekologi, seperti gambar 1.
Gambar 1.Status keberlanjutan dan komponen yang mempengaruhi nilai keberlanjutan aspek
ekologi
2. Status Keberlanjutan Aspek Sosial
Atribut yang dipertimbangkan dalam mencapai keberlanjutan dari aspek sosial ada
4 atribut antara lain : (1) Keterikatan masyarakat dengan masyarakat lain, (2)
Pengembangan fasilitas dan sarana, (3) Kondisi sumber daya manusia, dan (4)
Pemberdayaan dan pendampingan masyarakat oleh petugas. Nilai indeks
keberlanjutan berdasarkan aspek sosial yaitu sebesar 77,26 persen. Berdasarkan
klasifikasi kondisi atau status keberlanjutan maka kondisi aspek sosial berada
dalam kategori kondisi atau status berkelanjutan. Ini berarti, untuk
perkembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari dilihat dari aspek sosial lebih
memberikan manfaat jika dibandingkan dengan aspek ekologi. Oleh sebab itu
dapat dikatakan jika pengembangan melalui aspek sosial ini cukup berhasil dan
dapat terus dikembangkan dengan baik. Hasil analisis Laverage didapatkan
beberapa atribut sensitif yang berpengaruh pada indeks keberlanjutan suatu aspek.
Atribut sensitif yang dapat berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan ada 2
yaitu: manfaat dari kebun bibit desa untuk masyarakat dan pendampingan
masyarakat oleh penyuluh pertanian minimal setiap bulan. Adapun nilai indeks
keberlanjutan dan atribut yang sensitif hasil analisis MDS dan Laverage aspek
sosial, seperti gambar 2.
36
Gambar 2. Status keberlanjutan dan komponen yang mempengaruhi nilai keberlanjutan aspek
sosial
Gambar 3. Status keberlanjutan dan komponen yang mempengaruhi nilai keberlanjutan aspek
ekonomi
37
Berdasarkan beberapa aspek yang dikaji didapatkan nilai yang berbeda dengan
beberapa atribut sensitif. Dari gambaran tentang nilai aspek ekologi, sosial dan
ekonomi maka dapat diperoleh indek keberlanjutan KRPL di
KabupatenPasuruan sebesar 62,20 persen yang berada dalam status cukup
berlanjut. Nilai aspek ekonomi yang cukup rendah ini dapat dipahami bahwa
tujuan utama dari kegiatan tersebut adalah untuk pemenuhan kebutuhan rumah
tangga, bukan untuk tujuan komersial atau perolehan pendapatan tinggi.
KESIMPULAN
SARAN
38
Untuk lebih meningkatkan status keberlanjutan upaya pemanfaatan pekarangan
keluarga melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di Kabupaten
Pasuruan, upaya-upaya prioritas yang perlu dilaksanakan antara lain meliputi :
1. Meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan masyarakat dalam
berbudidaya tanaman sayuran, ternak unggas dan ikan melalui KRPL;
2. Mendorong masyarakat dalam melaksanakan kegiatan tidak sekedar
memberikan pengertian tentang budidaya akan tetapi hal yang paling penting
merubah pola pikir masyarakat dari berpikir konsumtif kepada berpikir
produktif. Lokasi yang mempunyai tingkat keberhasilan paling baik rata-rata
dicapai oleh golongan masyarakat yang memulai kesadaran produksi dari
kesenangan (hobby)
Nilai manfaat akan selalu menjadi pemicu motivasi seseorang untuk
melakukan tindakan, maka dari itu pendampingan yang intensif oleh petugas
yang kreatif dan inovatif menjadi kunci sukses keberlanjutan suatu kegiatan;
3. Pemilihan jenis tanaman/komoditas yang akan diusahakan harus mengacu pada
kemudahan hidup dan tumbuh pada kondisi agroekologi setempat. Tanpa
memperhatikan kedua hal tersebut peluang keberhasilan hidupnya sangat kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 43/Permentan/OT.46/10/2009 tentang
Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis
Sumber Daya Lokal.
Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 71 Tahun 2009 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Berbasis Sumber Daya Lokal Provinsi Jawa Timur.
Instruksi Bupati Pasuruan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal
Kabupaten Pasuruan.
Nilam Pranita Ayuning Putri, Nurul Aini dan Y.B. Suwasono Heddy. 2015.
Evaluasi Keberlanjutan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di
Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso, Malang. Jurnal Produksi
Tanaman Volume 3, Nomor 4:278-285.
Ashari, Saptana, dan Tri. 2012. Potensi dan Prospek Lahan Pekarangan Untuk
Mendukung Ketahanan Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 30(1):
13-30.
Asep Suryana, Budy Wiryawan, Daniel R. Monintja dan Eko Sri Wiyono.
2012. Analisis Keberlanjutan Rapfish dalam Pengelolaan Sumber Daya
Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp) di Perairan Tanjung Pandan. Buletin
PSP Volume 20 No. 1: 45-59.
39
Rahayu A, Aziz N, dan Gagoek H. 2013. Strategi Peningkataan Status
Keberlanjutan Kota Batu Sebagai Kawasan Agropolitan. Jurnal
Ekosains 5(1): 21-33.
40