Anda di halaman 1dari 6

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA
-----------

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

FOCUS GROUP DISCUSSION


DALAM RANGKA KUNJUNGAN KERJA
PENYUSUNAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH
RUU TENTANG BADAN USAHA MILIK DESA

JAKARTA, 2020
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
-----------

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

FOCUS GROUP DISCUSSION


DALAM RANGKA KUNJUNGAN KERJA
PENYUSUNAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH
RUU TENTANG BADAN USAHA MILIK DESA

A. PENDAHULUAN

Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) hadir dalam upaya meningkatan
kesejahteraan masyarakat desa sebagaimana amanat dari UU Desa. Pembentukan BUM
Desa kemudian menjadi program yang bersifat strategis dalam musyawarah desa dan
kegiatan pedesaan. Namun ada beberapa persolan BUM Desa dalam upaya
meningkatkan kesejahtreraan. BUM Desa sekedar menjadi kegiatan desa yang formalitas
dan jauh dari usaha memberdayakan masayarkat. Catatan Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (Fitra), ada 1.670 dari 2.188 BUMDes yang tidak berjalan tapi
tetap mendapat kucuran anggaran dari APBDesa, seakan menyatakan bahwa BUM Desa
hanya sekedar mendirikan, tapi usahanya belum benar-benar berjalan dan dapat
memberikan jalan keluar bagi perekonomian kerakyatan.

Keberpihakan pemerintah ke desa terlihat dari semakin meningkatnya dana desa


dari tahun ke tahun. Pemerintah mengucurkan anggaran nyaris Rp330 triliun untuk
program Dana Desa dalam lima tahun terakhir. Namun, uang sebanyak itu belum
dimanfaatkan optimal, terutama oleh BUM Desa. Dana desa yang sudah cukup besar
digelontorkan, tidak serta merta dapat membantu ekonomi kerakyatan. Karena
permasalahannya tidak hanya terletak dari sisi permodalan semata. Lebih dari itu adalah
bagaimana Sumber Daya Manusia Pedesaan yang professional dan mumpuni dalam
menjalankan usaha yang dijalankan. Penyertaan modal BUM Desa yang berasal dari
dana desa, harusnya tidak berhenti untuk modal dasar saja tapi juga dapat memberikan
pelatihan dan pendampingan kepada pelaku usaha BUM Desa. Selain itu tentu saja
produk dan usaha yang dijalankan merupakan produk dan usaha unggulan yang tidak
jauh dari keseharian dan budaya yang lekat di masyarakat setempat. Hal ini penting
mengingat banyak BUM Des yang sudah didirikan namun tidak mencerminkan kondisi
sosiografi masyarakat.

Masalah tersebut tidak terlepas dari kebingungan pemerintah desa dalam


menerjemahkan kewenangannya dan juga bidang yang harus dijalankan BUM Des dan
Pemerintah Desa dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Ada disharmoni regulasi
pengelolaan keuangan desa. Permendesa Nomor 16 Tahun 2018 tentang Prioritas
Penggunaan Dana Desa 2019 tidak sinkron dengan Permendagri Nomor 20 Tahun 2018
tentang Pengelolaan Keuangan Desa terutama mengenai nomenklatur Bidang, Sub
Bidang, dan Kegiatan.

Pelaksanaan program dana desa dan BUM Desa memang menjadi kewenangan 2
(dua) kementrian: Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Republik Indonesia. Undang-undang
yang mengatur pun demikian. Sedikitnya ada 2 (dua) perundang-undangan yang
mengatur tentang desa : UU Pemda dan UU Desa. BUM Desa sendiri mempunyai 2
(dua) rejim regulasi yaitu peraturan Mendes dan Peraturan Mendagri. Pertanyaannya
kemudian adalah apakah regulasi yang mengatur tantang BUM Desa sudah cukup
dijadikan dasar dan panduan dalam menjalankan BUM Desa secara baik dan berdaya?
Dominasi pembentukan peraturan pelaksanaan ditingkat kementerian yang didominasi
oleh pihak eksekutif saja tanpa melibatkan lembaga legislatif sebagai wakil masyarakat
dan daerah juga menjadi kekurangan tersendiri dalam pembuatan regulasi. Ada ego
sektoral pengaturan BUM Desa antar Kementerian tadi yang pada akhirnya
membingungkan masyarakat dalam mendirikan dan mengelola BUM Desa. Karena itu
RUU mengenai BUM Desa bisa menjadi solusi alternatif dari ambiguitas dan polarisasi
regulasi tersebut.

Dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilakukan oleh PPUU DPD RI dengan
beberapa narasumber, terdapat masukan bahwa UU Desa dan Peraturan Menteri Desa
(Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Republik
Indonesia) tidak cukup membuat BUM Desa kuat. Dalam UU Desa, berisi ruang lingkup
tentang banyak hal seperti kewenangan desa, penyelenggaran pemerintahan desa, dan
lainnya. Sementara pengaturan mengenai BUM Desa hanya diatur Pasal 87 sampai Pasal
90 (4 pasal) dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengatur tentang hal pokok
saja terkait dengan BUM Desa. Juga dapat dilihat beberapa permasalahan terkait ruang
lingkup yang harus diatur dalam undang-undang yang belum terakomodir seperti
masalah kewenangan desa yang masih menjadi perdebatan, badan hukum BUM Desa,
Bidang usaha, Pembinaan dan penyertaan modal.

Urgensitas BUM Desa yang lebih professional menjadi mendesak karena


anggaran sudah cukup besar diberikan. Namun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2018 masih menyatakan
bahwa penggunaan Dana Desa oleh BUM Desa bermasalah. BPK menilai Pemda belum
sepenuhnya melakukan pembinaan penggunaan dana desa dalam rangka pembentukan
dan pengelolaan badan usaha milik (BUMN) Desa. Berdasarkan hasil uji petik terhadap
8.220 BUM Desa menunjukkan, sebanyak 2.188 BUM Desa yang didirikan tidak
beroperasi, dan 1.670 BUM Desa belum memberi kontribusi bagi pendapatan desa.
Selain itu, sebanyak 1.034 BUM Desa tidak menyampaikan laporan, sebanyak 871 BUM
Desa pembentukannya belum didukung dengan studi kelayakan, dan 864 BUM Desa
belum tertib dalam penatausahaan dan pelaporan BUM Desa. Selanjutnya, sebanyak 585
BUM Desa belum didukung oleh pengelola yang kompeten. Selain itu, 547 BUM Desa
bidang usahanya belum sesuai dengan potensi unggulan desa. Pidana mau tidak mau
menjadi instrumen dalam mencegah tindak pidana segelintir orang yang mencoba
mencari keuntungan dari program BUM Desa ini. Dan ketentuan pidana hanya dapat
dimasukkan ke dalam satu Undang-Undang, bukan peraturan kementrian.

Tidak ada lagi kata balik arah. Keberpihakan kepada daerah khususnya desa
sudah tepat, tinggal bagaimana mengarahkan perencanaan dan pengelolaan BUM desa
kepada tujuan seharusnya: mensejahterakan masyarakat. Karena itu selain anggaran,
yang perlu disiapkan adalah regulasi yang kuat dan mampu melindungi sekaligus
memberikan jaminan kepada para pelaku usaha ekonomi pedesaan. Melahirkan RUU
tentang BUM Desa cukup penting guna menempatkan posisi BUM Desa pada tempat
yang lebih strategis dan jelas, baik secara legalitas maupun fungsionalitasnya.

B. TUJUAN
1. Memperoleh masukan-masukan pemikiran mengenai permasalahan-permasalahan
yang terkait dengan pendirian, pengelolaan, pembubaran, dan pertanggungjawaban
pendanaan BUM Desa yang tidak berkembang;
2. Memperoleh gambaran urgensitas regulasi (Undang-Undang) dalam menjawab
berbagai persoalan yang dihadapi; dan
3. Memperoleh gambaran tentang ruang lingkup materi Undang-Undang tentang BUM
Desa.

C. BENTUK KEGIATAN
Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) yang
menghadirkan Akademisi/Pakar/Ahli ilmu hukum sebagai narasumber lokal, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Pemerintahan Daerah, Praktisi, Masyarakat dan
LSM sebagai peserta kegiatan.

D. PESERTA
Kegiatan ini dilaksanakan dengan mengundang peserta sebanyak 30 orang peserta
yang terdiri dari:
- Akademisi/Pakar/Ahli ilmu hokum;
- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD);
- Pemerintahan Daerah;
- Praktisi; dan
- Masyarakat dan LSM

E. OUTPUT
Adapun output dari kegiatan FGD ini adalah untuk memperkaya penyusunan
Daftar Inventarisir Masalah Rancangan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik
Desa sebagai bahan dalam melakukan pembahasan dan pengayaan materi RUU tersebut.

F. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN


Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 6 s.d 8 Februari 2020 bertempat di
Universitas Halu Oleo, Provinsi Sulawesi Tenggara.
G. PENYELENGGARA
Kegiatan ini dibiayai oleh Sekretariat Jenderal DPD dari DIPA DPD RI Tahun
2020. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

Sekretariat PPUU DPD RI


Telp. (021) 57897 333
Fax. (021) 57897 332
E-mail: ppuu_dpd@yahoo.com

H. PENUTUP
Demikian kerangka acuan ini disusun untuk menjadi pedoman dalam
mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan. Hal-hal yang belum diatur dalam kerangka
acuan ini akan dikoordinasikan lebih lanjut.

Jakarta, Januari 2020

Anda mungkin juga menyukai