ABDOMEN
Disusun untuk memenuhi tugas Keperawatan Gawat Darurat Tahun
Ajaran
2020/2021
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kegawatdaruratan dan
meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai trauma abdomen.
1.4 Manfaat
1.6 Tujuan
Penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kegawatdaruratan dan
meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai trauma abdomen.
1.7 Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari:
1. Trauma penetrasi: trauma tembak, trauma tusuk (MH Assiddqi, 2014).
Trauma penetrans merupakan 8-12% dari abdominal trauma yang datang ke trauma
center. Luka tembak merupakan penyebab yang sering pada trauma penetrasi pada
populasi anak dan menyebabkan kematian pada laki-laki kulit hitam pada umur 15-24
tahun. Penyebab lain trauma penetrans adalah stab wound, impalements, gigitan
anjing, dan kecelakaan mesin. Oleh karena kebanyakan trauma penetrans pada
abdomen biasanya memerlukan tindakan pembedahan maka persiapan di ruang
operasi harus simultan dengan assessment pasien (Pratama, 2014).
2. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul: diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme
utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman), tenaga deselerasi dan akselerasi. Tenaga
kompresi (compression or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau
kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Misalnya hancur akibat
kecelakaan, atau sabuk pengaman yang salah (seat belt injury). Hal yang sering
terjadi adalah hantaman, efeknya dapat menyebabkan sobek dan hematom
subkapsular pada organ padat visera.
Trauma tumpul abdomen lebih dominan pada populasi anak. Lebih dari 80% trauma
pada anak adalah berupa trauma tumpul dan kebanyakan berhubungan dengan
kecelakan kendaraan bermotor. Cedera abdominal dapat disebabkan juga oleh karena
terjatuh dan langsung mengenai dinding abdomen misalnya pada handlebar injuri
(Pratama, 2014).
Trauma tumpul abdomen lebih dominan pada populasi anak. Lebih dari 80%
trauma pada anak adalah berupa trauma tumpul dan kebanyakan berhubungan
dengan kecelakan kendaraan bermotor. Cedera abdominal dapat disebabkan juga
oleh karena terjatuh dan langsung mengenai dinding abdomen misalnya pada
handlebar injuri (Pratama, 2014).
2.2 Etiologi
Penyebab trauma abdomen antara lain: trauma, iritasi, infeksi, obstruksi dan
operasi. Kerusakan organ abdomen dan pelvis dapat disebabkan trauma tembus,
biasanya tikaman atau tembakan dan trauma tumpul akibat kecelakaan mobil,
pukulan langsung atau jatuh. Luka yang tampak ringan bisa menimbulkan cedera
eksterna yang mengancam nyawa (MH Assiddqi, 2014).
1. Nyeri
atau darah
2. Distensi abdomen
3. Demam
4. Anoreksia
5. Mual dan muntah
6. Takikardi
7. Peningkatan suhu tubuh
Sementara manifestasi berdasarkan etiologinya:
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi ke dalam rongga peritonium
Manifestasi klinis dari trauma tembus tergantung pada berbagai faktor, termasuk jenis
objek yang menembus, area tempat cedera terjadi, organ yang mungkin terkena, dan
lokasi serta jumlah luka. Tanda dan gejala yang seringkali muncul adalah:
a. Terdapat nyeri dan/atau nyeri tekan lepas serta perdarahan
Nyeri dapat menjadi petunjuk terjadinya kerusakan organ. Semisal, terdapat nyeri
bahu, mungkin nyeri tersebut merupakan akibat dari limpa yang rusak dengan darah
subphrenic
b. Biasanya disertai dengan peritonitis
Tanda-tanda peritoneal terjadi ketika katup peritoneal dan aspek posterior dari
dinding abdomen anterior mengalami inflamasi. Darah dan organ di dalam peritoneal
atau retroperineal terangsang oleh ujung saraf yang lebih dalam (serabut visceral
aferen nyeri) dan mengakibatkan rasa yang sangat nyeri. Iritasi pada peritoneum
parietal mengarah ke nyeri somatik yang cenderung lebih terlokalisasi.
c. Distensi abdomen. Apabila distensi abdomen pada pasien tidak responsif, hal tersebut
dapat menunjukkan adanya perdarahan aktif.
d. Pada laki-laki, prostat tinggi-naik menunjukkan terjadinya cedera usus dan cedera
saluran urogenital. Jika ditemukan terdapat notasi darah di meatus uretra juga
merupakan tanda adanya cedera saluran urogenital.
e. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
Hilangnya fungsi organ dapat menjadi penanda terjadinya syok, karena pada saat
syok, darah akan dipusatkan kepada organ yang vital, sehingga untuk organ yang
tidak begitu vital kurang mendapatkan distribusi darah yang mencukupi untuk dapat
bekerja sesuai dengan fungsinya sehingga kinerja organ dapat mengalami penurunan
atau bahkan fungsi organ menjadi terhenti (Offner, 2014).
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi ke dalam rongga peritonium)
Penilaian klinis awal pada pasien trauma abdomen tumpul seringkali sulit dan
akurat. Tanda dan gejala yang paling nampak antara lain:
a. Nyeri
b. Perdarahan gastrointestinal
c. Hipovolemia
d. Ditemukannya iritasi peritoneal
Sebagian besar darah dapat menumpuk di rongga peritoneal dan panggul tanpa
adanya perubahan signifikan atau perubahan awal dalam temuan pemeriksaan fisik.
Bradikardi dapat mengindikasikan adanya darah disekitar intraperitoneal.
laserasi omentum dan visera atau perforasi vascular jika DPL dilakukan pada pasien
yang menunjukkan temuan ini).
laserasi omentum dan visera atau perforasi vascular jika DPL dilakukan pada pasien
yang menunjukkan temuan ini).
- Teknik: masukkan kateter lavase ke ruang peritoneum melalui insisi 1 -2 cm,
upayakan aspirasi cairan peritoneum, infusikan salin normal atau ringer laktat
mengggunakan gaya gravitasi, miringkan pasien ke kiri dan kanan (kecuali
kontraindikasi), Biarkan cairan masuk ke dalam kantong melalui gravitasi, kirim
specimen ke laboratorium.
- Hasil positif: 10-20 ml darah makroskopik pada aspirasi awal, > 100.000 sel darah
merah/mm3, lebih dari 500 sel drah putih/mm3, kadar amylase meningkat, adanya
(empedu, bakteri, atau feses)
- Jika hasil DPL positif dan hemodinamik pasien tidak stabil, dilakukan laparotomi
eksploratif.
- Ketika melakukan DPL, penting terlebih dahulu memastikan bahwa pasien terpasang
kateter foley dan slang orogastrik atau nasogastrik untuk mendekompresi lambung
dan kandung kemih sehingga mencegah terjadinya perforasi tidak sengaja saat
memasang kateter lavase. Ketika kateter foley dan slang orogastrik atau nasogastrik
terpasang, katetter lavase dimasukkan ke dalam ruang peritoneum. Jika darah
makroskopi yang kembali kurang dari 10 ml, kantong berisi satu liter kristaloid
(larutan RL atau NS 0,9%) hangat diinfuskan ke dalam peritoneum. Setelah infuse
selesai, kantong IV diletakkan pada posisi tergantung guna memungkinkan cairan
keluar dari abdomen karena gravitasi.
3. CT Scan
- Lebih sering digunakan pada pasien yang hemodinamiknya lebih stabil.
- Sering dilakukan dengn kontras IV atau oral untuk melihat organ dan mengetahui
adanya gangguan.
- CT scan memungkinkan visualisasi area peritoneum, retroperineum, dan panggul
serta memungkinkan perkiraan jumlah cairan di area ini.
- CT scan juga digunakan untuk menentukan derajat cedera pada organ padat
- Keterbatasan penggunaan CT mencakup lama waktu yang diibutuhkan untuk
melakukan pemeriksaan, kebutuhan untuk memindahkan pasien keluar dari area
resusitasi, dan syarat bahwa pasien harus memiliki
hemodinamik yang stabil dan pergerakan dibatasi selama pemeriksaan. (Morton ,
2011)
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kegawatdaruratan Trauma Abdomen
1. Trauma Tumpul Abdomen
Hal umum yang perlu mendapat perhatian adalah atasi dahulu ABC bila pasien telah
stabil baru kita memikirkan penatalaksanaan abdomen itu sendiri. Pipa lambung,
selain untuk diagnostic, harus segera dipasang untuk mencegah terjadinya aspirasi
bila terjadi muntah. Sedangkan kateter di pasang untuk mengosongkan kandung
kencing dan menilai urin. Pada trauma tumpul, bila terdapat kerusakan intra
peritoneum harus dilakukan laparotomi, sedangkan bila tidak, pasien diobservasi
selama 24-48 jam.
Tindakan laparotomi dilakukan untuk mengetahui organ yang mengalami kerusakan.
Bila terdapat perdarahan, tindakan yang dilakukan adalah penghentian perdarahan.
Sedangkan pada organ berongga, penanganan kerusakan berkisar dari penutupan
sederhana sampai reseksi sebagian.
Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas yang menunjukkan
trauma intra-abdominal (pemeriksaan peritoneal, injuri diafragma, abdominal free
air, evisceration) harus segera dilakukan pembedahan
Trauma penetrasi :
Monitor TTV
Monitor CVP
Monitor AGD
Berikan resusitasi cairan IV dengan cairan kristaloid, darah atau komponen darah
Monitor GCS
Monitor CRT
Jelaskan prosedur dengan sederhana
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan abdomen harus sistematis, meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi,
dan perkusi dengan hasil temuan sebagai berikut:
Inspeksi: Pada saat pemeriksaan dapat ditemukan adanya kondisi lecet (abrasi) atau
ekimosis. Tanda memar akibat sabuk pengaman, yakni luka memar atau abrasi di
perut bagian bawah sangat berhubungan dengan kondisi patologis intraperitoneal.
Inspeksi visual sangat penting dilakukan untuk mendapatkan adanya distensi
abdomen yang mungkin dapat terjadi karena pneumoperitonium, dilatasi lambung,
atau ileus yang diproduksi oleh iritasi peritoneal. Fraktur iga bagian bawah dapat
berhubungan dengan cedera pada limpa atau cedera hati.
Auskultasi: Ditemukannya bunyi usus pada bagian toraks menunjukkan adanya
cedera pada otot diafragma.
Palpasi: Palpasi dapat menemukan adanya keluhan tenderness (nyeri tekan) baik
secara lokal atau seluruh abdomen, kekakuan abdominal, atau rebound tenderness
yang menunjukkan cedera peritoneal.
Perkusi: untuk mendapatkan adanya nyeri ketuk pada organ yang mengalami cedera.
Pemeriksaan rektal: Dilakukan untuk mencari bukti cedera penetrasi akibat patah
tulang panggul dan pada feses dievaluasi adanya darah kotor.
Pemeriksaan fungsi perkemihan: Dilakukan terutama adanya tanda dan riwayat
trauma panggul yang dapat menyebabkan cedera pada uretra dan kandung kemih.
Palpasi kekencangan kandung kemih dan kemampuan dalam melakukan miksi
dilakukan untuk mengkaji adanya ruptur uretra.
c. Pengkajian Psikososial
Pada pengkajian psikososial, pasien dan keluarga biasanya mengalami
kecemasan dan pasien memerlukan pemenuhan informasi tentang sesuatu yang
berhubungan dengan kondisi klinis dan rencana pembedahan darurat.
Apabila pasien trauma abdomen memiliki indikasi untuk dilakukan prosedur
pembedahan maka pada kondisi pascabedah pasien akan mendapatkan perawatan di
ruang intensif. Pada kondisi ini perlakuan pengkajian disesuaikan dengan konteks
keperawatan kritis. Pengkajian lanjutan pada konteks keperawatan medikal-bedah di
ruang rawat inap bedah dilakukan secara anamnesis, pemeriksaan fisik, pengkajian
diagnostik, dan pengkajian penatalaksanaan medik. Pada pasien pascabedah setelah
dari ruang intensif di ruang bedah hasil pengkajian yang dapat ditemukan:
1. Keluhan utama: Nyeri, keluhan yang berhubungan denga penurunan motilitas usus.
2. Pengkajian riwayat penyakit: Merupakan pengkajian lanjutan riwayat intervensi yang
sudah didapat pasien selama di unit gawat darurat, kamar bedah, dan ruang intensif,
seperti jenis
pembedahan, penggunaan cairan dan transfusi darah, fungsi gastrointestinal, serta
pengetahuan dalam mobilisasi pasca bedah.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan disik yang didapatkan dapat sesuai dengan manifestasi klinik. Pada
survei umum, pasien terlihat lemah, TTV bisa didapatkan adanya perubahan. Pada
pemeriksaan fisik fokus akan didapatkan hal-hal berikut:
Inspeksi: Kondisi yang paling sering adalah terdapat luka pascabedah pada bagian
abdomen dan terpasang Foley kateter. Pada kondisi ini penting dikaji kondisi luka
pascabedah dan berbagai risiko yang meningkatkan masalah pada pasien, seperti
adanya infeksi luka operasi (ILO), risiko dehisens dan eviserasi terutama pada pasien
obesitas.
Auskultasi: Pada kondisi klinik sering didapatkan bising usus tidak ada, terutama
dengan pasien yang memiliki keterbatasan mobilitas.
Palpasi: pemeriksaan ini sering tidak dilakukan karena akan menjadi stimulus nyeri
pada pasien.
Perkusi: Sering didapatkan adanya bunyi timpani akibat abdomen mengalami
kembung.
4. Pengkajian diagnostik lanjutan: Dilakukan di ruang rawat inap bedah, meliputi:
pemeriksaan darah rutin (hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, dan LED),
pemeriksaan serum elektrolit, serta pemeriksaan fungsi hati dan fungsi ginjal.
5. Penatalaksanaan medis yang perlu dikaji: Adanya pemberian antimikroba yang akan
diberikan selama 5-7 hari pascabedah terutama pada pasien trauma abdomen dengan
kontaminasi rongga peritoneal.
Analisa Data
Rencana Keperawatan
1. Masalah keperawatan: Risiko syok hipovolemik
Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami
syok hipovolemik. Didapatkan skor pada indikator NOC “Shock severity:
Hypovolemic “
Indikator 1 2 3 4 5
Penurunan TD sistolik √
Penurunan TD diastolik √
Peningkatan RR √
Pengisian capillary reffil yang tertunda
Aritmia
Peningkatan nadi tetapi lemah
Penurunan oksigen
Peningkatan karcon dioksida
Kulit dingin
Dehidrasi
Penurunan output urin
Letargi
Asidosis metabolic
Hyperkalemia
Intervensi: NIC “Bleeding Reduction: Gastrointestinal”
1. Evaluasi respon psikologis klien terhadap pendarahan
2. Pertahankan patensi airway (bila perlu)
3. Monitor adanya tanda dan gejala adanya perdarahan persistent
4. Monitor adanya tanda dari syok hipovolemik
5. Minta pasien dan/atau keluarga untuk mempersiapkan replacement darah
Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
2. Cek riwayat alergi..
3. Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul
Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah sebagai
berikut:
1. Tidak terjadi syok hipovolemik.
2. Informasi kesehatan terpenuhi.
3. Tidak mengalami injuri pascaprosedur bedah laparotomi.
4. Nyeri berkurang dan teradaptasi.
5. Tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
6. Infeksi luka operasi tidak terjadi.
7. Kecemasan berkurang.
8. Informasi prabedah terpenuhi.
Pada saat perawat melakukan pemeriksaan fisik, didapatkan data bentuk kepala:
simetris, rambut dan kulit kepala tampak cukup bersih. Kepala dapat digerakkan
kesegala arah, pupil isokor, sklera tidak ikhterik, konjungtiva tidak anemis. Hidung
simetris tidak ada secret. Bagian leher : tidak ada kaku kuduk. Bagian parubentuk
simetris, gerakan antara kanan dan kiri sama, terdapat fremitus vokal kanan dan kiri
sama, saat dilakukan perkusi terdapat suara sonor, dan saat auskultasi suara vesikuler.
Bagian abdomen terdapat jejas dan hematoma pada abdomen sebelah kanan,
peristaltik usus 7x/menit, tidak ada pembesaran hati, dan saat dilakukan perkusi
terdapat pekak. Pada bagian ekstermitas atas dan bawah tidak ada edema, turgor kulit
baik. Kekuatan otot ektermitas atas dan bawah dalam batas normal. Urin baik
Saat dilakukan pemeriksaan penunjang didapatkan hasil :
E. Secondary Survay
AMPLE
- Alergi:
Klien dan keluarga mengatakan klien tidak memiliki alergi, baik makanan ataupun
obat-obatan.
- Medicasi:
Klien mengatakan sebelum masuk rumah sakit tidak mengkonsumsi obat apapun.
- Pastillnes:
Klien sebelumnya pernah di rawat di RS Dr. Saiful Anwar Malang dengan
penyakit paru-paru.
- Lastmeal :
Klien mengatakan sebelum kecelakaan, klien hanya minum segelas teh.
- Environment
Klien tinggal di daerah yang padat penduduknya.
G. Pemeriksaan Penunjang
- Hasil laboratorium tanggal 15 -10-2009
Dalam waktu
lama
menyebabkan
kdar Hb turun
↓
Proses
pengikatan
oksigen di paru
tidak maksimal
↓
Respon paru-
paru bernafas
lebih cepat
↓
Pola nafas
irregular
Ketidakefektifa n
pola nafas
2. DS : Kecelakaan motor Nyeri akut
perut sebelah
Klien mengatakan
kanan nyeri
DO : ↓
P :-
Menyebabkan
Q : skor 7
cedera abdomen
R : perut sebelah kanan
S : nyeri tumpul
↓
T : terus-menerus
Terdapat jejas pada abdomen sebelah Cedera organ
kanan intra abdomen
Menyebabkan nyeri
Nyeri terus-
menerus
Nyeri akut
3. DS : - Kecelakaan Resiko syok
DO : motor
Akral dingin
↓
Mukosa bibir kering
Wajah tampak pucat Menyebabkan
Penurunan
perfusi perifer
Risiko syok
No Indikator 1 2 3 4 5
1 RR 26x/m 12-
20x/m
2 Ritme respirasi Iregule reguler
r
3 Ansietas Kliien & Menjad i
keluarg tidak
a cemas cemas
Diagnosa 2
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik ditandai dengan ekspresi wajah
nyeri, mengekspresikan perilaku
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam nyeri klien
berkurang
Kriteria Hasil : Pada evaluasi hasil didapatkan skor pada indikator NOC
Intervensi (NIC):
Pain Management
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan factor resipitasi
2. Monitor TTV
3. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
4. Control lingkungan yang dapat menpengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi yg meningkatkan nyeri
6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
7. Berikan analgesic untuk mengurangi nyeri
8. Evaluasi keefektifan control nyeri
9. Tingkatkan istirahat
10. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
Administrasi analgetik:
1. Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
2. Cek riwayat alergi.
3. Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
5. Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul
Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas?
Jika ada obstruksi maka lakukan:
Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
Suction / hisap (jika alat tersedia)
Guedel airway / nasopharyngeal airway
Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas. Jika
pernafasan tidak memadai maka lakukan:
Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
Pernafasan buatan Berikan oksigen jika ada
Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil
Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas
bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan:
Hentikan perdarahan eksternal
Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
Berikan infus cairan
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri
atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale
AWAKE = A
RESPONS BICARA (verbal) = V
RESPONS NYERI = P
TAK ADA RESPONS = U Cara ini cukup jelas dan cepat.
4.6 Implementasi
Nama pasien: Tn.P
N Tanggal/jam No dx Implementasi
o
1 5 juni 2016/14.15 1 Mengkaji pola nafas klien
Memposisikan klien semi fowler
Memberikan nasal kanul 4L/menit
2 5 juni 2016/14.15 3 Evaluasi respon psikologis klien terhadap
pendarahan
Pertahankan patensi airway (bila perlu)
Monitor adanya tanda dan gejala adanya
perdarahan tertutup dan persistent
Monitor adanya tanda dari syok
hipovolemik
3 5 juni 2016/14.30 2 Mengkaji tingkat nyeri
Memberikan injeksi analgesik
Mengajarkan nafas dalam bila nyeri timbul
Akut
Shock Hipovolemik
Breathing :
Ventilasi adekuat, menggunakan
cara lihat- dengar-rasakan tidak
lebih dari 10 detik atau untuk
memastikan ada napas atau tidak
Breathing :
(periksa status respirasi korban
Napas klien cepat sehingga
(kecepatan,ritme dan napas yang
dlakukan diberikan ventilasi
tidak adekuat).
yang adekuat
Circulation :
- Control perdarahan hebat,
jika pernapasan tersengal- sengal,
gunakan alat bantu napas. Jika tidak
ada tanda sirkulasi lakukan RJP (30
: 2)
Circulation :
Tekanan darah turun, napas
cepat, menggunakan alat
bantu napas O2 21%.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
6.2 Saran
Bagi seorang perawat dalam penanganan pasien yang mengalami trauma
abdomen yaitu perawat harus memperhatikan atau melakukan tindakan
kegawatdaruratan yang cepat dan tepat, terutama pada kasus trauma abdomen akibat
cidera atau kecelakaan.
Untuk memudahkan pemberian tindakan darurat secara sepat dan tepat perlu
dilakukan prosedur tetap/protocol yang dapat digunakan setiap hari. Bila
memungkinkan, sangat tepat apabila pada setiap unit keperawatan di lengkapi dengan
buku-buku yang diperlukan baik untuk perawat maupun pasien.
Daftar Pustaka
Legome EL. 2016. Blunt Abdominal Trauma Clinical Presentation”.
http://emedicine.medscape.com/article/1980980-clinical#b3
Morton, P.G, Fontaine, D, Hudak, C. M, Gallo, B. M. 2008. Keperawatan Kritis.
Jakarta: EGC
MH Assiddqi. 2014. Bab II Tinjauan
Pustaka.
http://eprints.undip.ac.id/44820/4/M.Hasbi_Asshiddiqi_22010110110072_Bab
2KTI.pdf. Diakses pada 8 Juni 2016.
Morton, Patricia Gonce.2011. Keperawatan kriris : pendekatan asuhan holistic.
Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2013. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika
Muttaqin A, Sari K. 2013. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi
Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Offner P. 2014. Penetrating Abdominal
Trauma.
http://emedicine.medscape.com/article/2036859-overview.
Pratama, Andi, Djaja. 2014. Trauma Abdomen
pada Anak.
http://www.academia.edu/9479086/TRAUMA_ABDOMEN_PADA
_ANAK. Diakses pada 8 Juni 2016.