Anda di halaman 1dari 56

1.

Periksalah dan perbaiki dengan teliti tulisan dan kalimat-kalimat dibawah ini
dengan menggunakan standar PBUI, seperti contoh A1 dibawah ini !!

BAB I
PANDANGAN ISLAM DALAM MENGHADAPI WABAH COVID-19
A. Mengedepankan Sikap Husnudzan
Manusia di dunia saat ini telah diancam rasa kegelisahan oleh adanya wabah covid-19
yang membuat mereka tidak bisa terjun bebas dalam melakukan berbagai aktivitas. negara-
negara di dunia juga merasakan dampak yang luar biasa oleh adanya virus ini. Hal tersebut
menjadikan kondisi dunia tidak terpuruk dan seolah-olah bumi sudah tidak aman lagi untuk
ditempati.
Lahirnya virus ini tentu membut masyarakat global heran dan terkejut dengan akibat yang
ditularkan virus tersebut, bisa dikakatan bahwa virus ini satu-satunya wabah global yang
mencekam dengan penyebaran yang begitu masif. Akibat yang fatal adalah kematian yang
ditularkan oleh pandemi ini. Kematian inilah yang menambah kekhawatiran masyarakat
global akan serangan virus tersebut. Pro kontra tentang adanya virus ini masih menjadi
perdebatan, apakah ini murni ulah manusia, rekayasa atau memang ujian dari Allah Swt,
bahkan ada yang mengatakan sebagai azab. Penulis dalam hal tidak masuk ke ranah situ,
mengingat bukan kompetensi dan jalur penulis untuk membahas secara detail mengapa virus
itu muncul. Karena hal tersebut harus dibuktikan secara ilmiah dan medis.
Menurut hemat penulis, sebaiknya kita tidak perlu mempermasalahkan masalah tersebut,
karena akan dapat menganggu daya imunitas diri kita, akan menambah kecemasan dan
kekhawatiran. Langkah yang tepat untuk menyikapi masalah ini adalah dengan menanamkan
prasangka baik (husnudzan) kepada Allah Swt sang pembuat kebijakan dan keputusan
(kehendak). Sikap baik sangka ini akan lebih menenangkan jiwa dan hati kita di banding
dengan sikap buruk sangka atau sikap-sikap negatif lainnya. Sikap baik sangka tersebut
kiranya sangat tepat diterapkan di kehidupan kita, khususnya pada kondisi “genting” saat ini.
Adanya covid-19 yang sudah menjalar ke seluruh bagian negara di dunia sepatutnya tidak
dianggap sebagai azab, bencana atau hukuman dari Allah Swt semata, tapi perlu juga
dimaknai yang lain yakni sebagai ujian dan cobaan untuk manusia, khususnya kita sebagai
seorang mukmin. Tidak salah jika kita berasumsi ini sebagai azab dari-Nya, tapi alangkah
baiknya kita mengangap juga ini sebagai ujian dari-Nya, untuk mengukur keimanan,
ketakwaan dan kesetiaan kita kepada-Nya. Kehimpitan ekonomi, kecemasan hidup,
kehilangan pekerjaan dan kesusahan yang diakibatkan wabah ini sebagai bukti nyata manusia
diuji keimanannya, apakah tetap beribadah kepada-Nya, atau berputus asa dari-Nya
Dalam situasi seperti itu, paradigma yang seharusnya dibangun ialah menyakinkan diri
bahwa wabah penyakit tersebut adalah ujian Allah untuk kita, sehingga akan melahirkan
energi positif dalam jiwa yang itu dapat meningkat stabilitas imun kita. Inilah gunanya
menanamkan sikap baik sangka terhadap wabah ini dan kepada Allah Swt. Kita harus percaya
bahwa Dia tidak akan mendzalimi hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya dan juga tidak
akan membiarkan hamba-Nya susah-terpuruk selamanya. Kisah para Rasul Allah dan umat-
Nya yang terkena bencana menjadi bukti bahwa mereka akhirnya bisa keluar dari ujian
tersebut, dengan tetap berusaha; ikhtiar, berdoa dan memohon pertolongan-Nya.
Berbaik sangka atas segala musibah yang menerpa hidup kita sebagai langkah yang baik
dan positif untuk membangun kekuatan batin dan sikap optimis dalam menghadapi musibah
yang terjadi tersebut. Kita harus yakin bahwa di balik musibah yang Allah timpakan, pasti
mengandung banyak manfaat-hikmah yang diberikan. Mengingat, Allah menjadikan segala
ciptaan-Nya di bumi dan di langit tidak sia-sia (batil), semua mengandung hikmah dan
manfaat, tentu bisa dirasakan oleh mereka-mereka yang beriman kepada-Nya. Untuk itu,
berperasangka baik kepada Allah atas musibah yang diberikan-Nya harus tetap kita pupuk di
dalam jiwa kita sebagai energi positif kita untuk kuat, tegar dan sabar menghadapi ujian;
musibah tersebut. Sesuai dengan firman-Nya:
“Wahai orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu dosa.....” (al Hujurat: 12)

Dalam Sabda Rasul saw juga mengatakan: “Sesungguhnya Allah berkata: ‘Aku sesuai
prasangka hamba-Ku pada-Ku. Jika prasangka itu baik (husnudzan), maka kebaikan baginya.
Dan jika prasangka itu buruk (su’udzan), maka keburukan baginya.” (HR. Muslim, No. 4849)

“ Sesungguhnya seorang mukmin ketika berbaik sangka kepada Tuhannya, maka dia
akan memperbaiki amalnya. Sementara orang yang buruk, dia berprasangka buruk kepada
Tuhannya, sehingga dia melakukan amal keburukan.” (HR. Ahmad, No. 1812)

“Janganlah salah satu di antara kalian mati, kecuali senantiasa berprasangka baik
terhadap Allah.” (HR Muslim, No. 4646).
Musibah yang terjadi memang semuanya atas izin Allah Swt, namun juga disebabkan
ulah tangan kita baik disadari maupun tidak. Membangun kesadaran bahwa diri kita banyak
melakukan kesalahan di muka bumi akan menjadikan kita sebagai hamba yang selalu ingat
kepada-Nya, akan perintah dan larangan yang sudah digariskan oleh-Nya. Sikap sadar seperti
ini juga perlu dibangun di samping sikap baik sangka kepada Allah Swt, agar kita tidak
mudah menyalahkan Allah Swt, tidak mudah kecewa atas-Nya. Di balik musibah yang
menerpa kita saat ini berupa wabah covid-19, tentu atas izin Allah dan pasti hal tersebut ulah
tangan (perbuatan) kita yang menyalahi koridor-koridor yang sudah Allah tentukan. Sehingga,
manusia akan menyadari bahwa perbuatan yang melanggar koridor Allah akan menimbulkan
bencana, kesadaran inilah yang nantinya akan menjadikan mereka lebih baik. Sikap baik
sangka menjadi penghias dan penguat diri dalam mengadapi wabah ini, sedangkan kesadaran
menjadi pengingat diri atas dosa, kesalahan dan keingkaran kepada sang Pencipta. Kolerasi
dua sikap ini akan menjadikan manusia bijak dalam menghadapi suatu musibah, ujian atau
cobaan hidup, meskipun itu sangat berat.
Covid-19 ini perlu kita lawan dengan rasa optimis dengan dihiasi sikap selalu
berperasangka baik kepada Allah Swt, bahwa ini pasti berakhir dan pasti membawa
kemanfaatan untuk kehidupan manusia. Di saat manusia menemukan kemanfaatan akibat
adanya covid-19 ini mereka akan benar-benar sadar bahwa Allah sang Maha Bijaksana yang
selalu menyertai kesulitan dengan kemudahan, menyertai kesedihan dengan kebahagiaan,
menyertai kesulitan dengan kemudahan dan kesengsaraan dengan kemenangan. Manfaat yang
bisa kita rasakan saat ini di antaranya adalah kita bisa meluangkan waktu sepenuhnya untuk
keluarga, di mana sebelumnya kita sibuk dengan pekerjaan dan karir, udara kembali segar dan
bumi kembali hijau akibat covid-19 yang menuntut pembatasan gerak-aktivitas manusia,
manusia kembali hidup bersih, lebih berhati-hati, lebih memperhatikan kesehatan badan yang
sebelumnya sibuk dengan capaian karir dan bisnis, tempat-tempat maksiat nampak sepi,
warung-warung kopi (warkop) yang digunakan sebagai tempat “begadang” dan wifi an yang
kadang-kadang disalah gunakan, pertikaian antar kelompok dan antar negara mereda karena
wabah ini, masyarakat banyak yang simpati dan empati satu sama lain yang mengalami
kesusahan akibat covid-19 dan lain sebagainya. Hal tersebut membuktikan bahwa di balik
ujian Allah yang membuat manusia sedih, ada secercah hikmah yang mencerahkan dan
membuat diri kita tersenyum.
Paradigma tersebut, sebagai sikap yang benar dan tepat yang harus dimiliki orang
mukmin untuk tetap menguatkan dan meneguhkan jiwa di tengah ujian yang berat ini. Hemat
penulis, dengan sikap husnudzan ini manusia lebih selamat dan lebih aman baik dari penyakit
hati, kejiwaan maupun hubungannya dengan Allah Swt. Sebaliknya, sikap buruk sangka
terhadap Allah akan menyebabkan kehampaan hidup, gelapnya hati, retaknya hubungan
dengan Allah dan bisa-bisa kita menjadi hamba yang ingkar kepada-Nya. Sikap tersebut yang
tidak dikehendaki Islam dan betapa buruknya jika kita sebagai orang yang beriman berburuk
sangka terhadap Tuhan kita sendiri.
Oleh karena itu, sikap baik sangka harus terus menerus dilaksanakan dan ditanamkan
pada diri kita demi menjaga keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt dan hubungan kita
kepada-Nya. Terakhir, apabila seseorang senantiasa berburuk sangka terhadap Allah atas
setiap musibah yang menimpanya, maka ia mengingkari firman-firman Allah yang sudah
termaktub di dalam al Qur’an. Sebagai dasar bahwa Allah tidak mungkin menyia-nyiakan
hamba-Nya yang taat kepada-Nya, tidak mungkin Allah mengingkari janji-janji-Nya, tidak
mungkin Allah membebani masalah di atas kesanggupan hamba-Nya dan tidak mungkin
Allah mendzalimi hamba-Nya yang saleh dan beriman kepada-Nya. pemahaman inilah yang
akan mengantarkan kita untuk selalu bersikap baik sangka kepada-Nya di tengah masalah,
ujian dan musibah yang menerpa kita atau hasil yang tidak sesuai dengan cita-cita atau
keinginan kita.
B. Tidak Putus Asa
Islam juga memerintahkan umatnya untuk tidak mudah putus asa dalam menghadapi
ujian hidup seberat apapun. Putus asa sebagai jalan pilihan orang kafir, bukan jalan pilihan
orang mukmin. Sulit kiranya bagi orang yang beriman yang mempunyai Tuhan, tapi berputus
asa dari-Nya. Keimanan inilah yang menjadi kekuatan terakhir kita di saat usaha; ikhtiar
sudah dilakukan. Kepercayaan kepada Allah akan membuat kita tenang, kuat dan tidak risau
serta selamat dari putus asa di tengah ujian-beban hidup yang berat. Seberat dan sesulit
apapun ujian; musibah yang menerpa kita, selagi iman masih dikandung badan dapat
dipastikan kita akan selamat dari sikap putus asa.
Sikap putus asa tidak dibenarkan oleh Islam. Apapun keadaan kita tidak dibenarkan
seseorang putus asa dalam hidupnya. Putus asa sebagai sikap menyerah dalam menghadapi
ujian hidup, tidak mempunyai ikhtiar untuk bangkit dan jauh dari sikap optimis. Putus asa
lebih dekat dengan sikap pesimis yang menjadikan manusia lemah, tidak bisa maju dan lebih
mengharapkan bantuan orang lain tanpa mau berusaha. Menggantungkan orang lain tentu
salah secara total dalam ajaran Islam, mengingat sikap menyandarkan diri kepada manusia
akan menjerumuskan kepada rasa kecewa yang dapat membuatnya terpuruk. Berbeda dengan
seseorang yang senantiasa menyandarkan nasip, bisnis, usaha, maupun cita-citanya bahkan
hidupnya kepada Allah Swt, di saat diuji dan tidak sesuai dengan harapan ia tidak akan
kecewa maupun putus asa, ia yakin bahwa Allah sudah menyiapkan jalan terbaik, solusi
terbaik untuknya. Apa yang dikira manusia baik bagi dirinya belum tentu baik bagi Allah, dan
sebaliknya apa yang dikira manusia itu buruk baginya belum tentu buruk bagi Allah. Dia zat
yang lebih mengetahui mana yang terbaik bagi kita dan mana yang tidak baik untuk kita.
Kadangkala kita yang tidak yakin, asumsi dan paradigma kita lebih didahulukan dan dianggap
benar, dari pada janji dan rida Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:
“ Wahai anak-anakku, pergilah kalian dan carilah berita mengenai Yusuf dan saudaranya, dan
janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidaklah ada yang berputus
asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.” (Qs. Yusuf: 87)

“ Ibrahim berkata: “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-
orang yang sesat.” (Qs. Al Hijr:56)

“ Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” (Qs. Al Baqarah: 216).

Hadits Nabi saw:

“Bersemangatlah dalam apa yang bermanfaat bagimu. Mohonlah pertolongan kepada Allah
dan janganlah merasa lemah.” (HR. Muslim)

Wabah covid-19 ini sepatutnya dihadapi dengan rasa optimis dan semangat yang
membara bahwa kita pasti bisa melewati ujian berat ini meskipun kehimpitan, penderitaan dan
kecemasan melanda diri kita. Jangan sampai hal tersebut membuat kita lemah, tidak yakin
atas kekuasaan Allah dan menjadikan kita malah putus asa. Jadikan semua itu sebagai
kekuatan dan energi positf bahwa di balik kehimpitan, penderitaan dan kecemasan ada
secercah harapan, kebahagiaan dan kemenangan yang sudah Allah siapkan untuk hamba-Nya
yang tidak putus asa, yakni kemenangan dan kebahagiaan yang diperuntukkan oleh Allah bagi
hamba-Nya yang senantiasa bertakwa dan bertawakkal kepada-Nya. Hal tersebut sesuai
dengan firman-Nya:
“ ...........dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar. Dan Memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupinya (mencukupkan
keperluannya)...............” (Qs. ath Thalaq: 2-3)

Seorang mukmin tidak akan mengambil jalan “putus asa” di tengah masalah; musibah
yang menimpanya, mengingat putus asa adalah jalan bagi orang yang tidak percaya adanya
Tuhan atau tidak yakin akan kekuasaan-kebesaran-Nya. Apalagi kita sebagai umat Islam,
musibah ini harusnya dijadikan barometer untuk menguji keimanan dan kesetiaan kita
kepada-Nya. Bukan menjadi masalah yang besar sehingga kita meninggalkan Tuhan dan
memilih jalan yang sesat. Ini sebuah pilihan hidup yang salah secara fatal yang akan
menyebabkan kesengsaraan hidup berkepanjangan. Islam sudah menawarkan berbagai solusi
di saat umatnya diuji, salah satunya tetap ikhtiar, berdoa dan optimis pasti semua akan berlalu,
dan yakin jika Allah sudah menyiapkan jalan keluar bagi hamba-Nya.
Kita mengetahui memang tidak mudah bertahan di tengah kehimpitan ekonomi,
kesusahan hidup, kekurangan harta, kebangkrutan usaha, kelaparan, rasa sakit bahkan
kematian yang mengancam, tapi hal tersebut dapat diatasi dengan memupuk rasa keimanan
yang kuat bahwa ada Allah, sehingga tidak sepatutnya kita sedih dan khawatir seolah-olah
kita hidup sendiri, seolah-olah tidak ada jalan keluar. Paradigma yang seperti ini harus dijauhi
dan dirubah menjadi paradigma yang selalu optimis dan selalu mencari jalan keluar di tengah
keterpurukan, yakinlah bahwa di balik usaha yang kuat ada solusi yang sudah disiapkan oleh
Allah.
Tugas kita saat ini di tengah wabah corona adalah mempuk semangat dan optimisme
dalam hidup, selain perintah ajaran Islam juga dapat meningkatkan imunitas-antibodi tubuh.
Percuma jika seseorang memakai masker, minum vitamin, jamu dan sebagainya untuk
menangkal virus ini, namun jiwanya masih gelisah, stres, tidak tenang. Ini juga berdampak
pada jiwa dan imun tubuh. Sehingga diperlukan ketenangan jiwa, kekhusyu’an batin dan
keyakinan hati bahwa tidak ada musibah yang Allah berikan tanpa jalan keluar, sama dengan
tidak ada penyakit diturunkan kecuali ada obat penawarnya (kecuali kematian), manakala
manusia mau berusaha mencarinya. Sikap mau berusaha inilah ciri orang yang tidak putus
asa.
Sikap putus asa bukan sikap seorang muslim dan bukan pula sikap yang dicontohkan oleh
Rasul saw. Sikap ini menjadikan manusia lemah, tidak bergairah dan cenderung ingkar
terhadap anugerah Allah. Manusia yang berputus asa selamanya tidak akan pernah
menemukan jalan keluar terhadap ujian dan masalah hidup yang menerpanya, malah
membuatnya jauh dari kesuksesan maupun kebahagiaan yang hakiki. Bersedih dan cemas
diperbolehkan, karena hal tersebut sebagai bentuk kewajaran dan manusiawi, yang tidak
diperkenankan adalah terlalu meratapi kesedihan yang mendalam sehingga melupakan Allah
sang maha kuasa lagi maha segala-galaNya dan melupakan kewajibannya untuk berusaha
(ikhtiar) dalam menghadapi suatu musibah, selain berdoa kepada-Nya.
Untuk itu, dalam menghadapi wabah covid-19 kiranya kita senantiasa menanamkan sikap
optimis, semangat dan berusaha semaksimal mungkin untuk menghadapi ancaman virus ini.
Baik melalui usaha lahir maupun usaha batin. Aspek lahir dan batin ini perlu disinergikan dan
dipadukan untuk melawan wabah ini, kekuatan spiritual juga menjadi penentu manusia itu
selamat dari serangan virus corona tersebut. Sehingga, tidak boleh kita sebagai manusia biasa
mengesampingkan kekuatan spiritual yang ada di dalam jiwa. Kekuatan spiritual bisa
dibangun melalui hubungan; komunikasi yang intens kepada zat Allah dengan melakukan
amal ibadah, amal saleh dan ketaatan lainnya. Khususnya doa yang tidak boleh diremehkan,
karena doa tersebut juga mengandung kekuatan dan kedahsyatan. Mudah-mudahan dengan
usaha lahir dan batin kita dijauhkan oleh Allah dari serangan virus ini.
C. Yakin Kepada Allah
Dalam menghadapi ancaman dan serangan virus corona, manusia dianjurkan untuk
senantiasa memupuk keyakinan yang mantap kepada Allah Swt, zat yang maha kuasa dan
pencipta segala sesuatu termasuk virus corona tersebut. Keyakinan inilah yang dapat
meningkatkan kekuatan dan semangat kita dalam menghadapi kehimpitan hidup akibat wabah
covid-19. Keyakinan ini bisa tumbuh manakala daya iman kita masih aktif, daya iman inilah
yang memberikan energi kekuatan jiwa sehingga kita bisa yakin bahwa semua ini tidak lepas
atas izin Allah, dan yang namanya cobaan, ujian maupun musibah bentuknya apapun itu pasti
ada jalan keluarnya, pasti akan selesai. Tidak ada di dunia ini ujian atau musibah yang
berkepanjangan tanpa batas. Ini sebagai bentuk kemaha adilan Allah yang memberikan ujian
beserta penyelesaiannya, tentu dengan waktu yang telah ditentukan-Nya, bukan waktu yang
ditentukan manusia. Kapan wabah ini berakhir, yang paling tau adalah Allah, manusia hanya
bisa mengira dan memprediksi, meskipun ia memakai data ilmiah, belum tentu benar dan
tepat.
Keyakinan yang kuat inilah menjadi “api” semangat jiwa dalam menghadapi segala
musibah, ujian, cobaan dan kesulitan hidup yang menerpa. Manusia menjadi rapuh dan lemah
dikarenakan tidak adanya keyakinan, yang ada hanyalah keraguan dan pesimisme belaka.
Keraguan ini menyebabkan manusia tidak punya daya, gairah dan semangat dalam
menghadapi kesulitan-kesusahan yang menderanya. Meskipun mereka diterpa musibah, jika
hatinya tetap yakin ini datangnya dari Allah dan pasti akan berakhir, maka sulit bagi dia untuk
berputus asa, bersedih secara berlebihan serta terpuruk tanpa usaha.
Keyakinan sebagai energi positif yang dimiliki oleh mereka-mereka yang imannya masih
konek dengan Tuhan, yang ketaatannya masih tinggi dan ketakwaannya masih stabil.
Mustahil orang yang masih punya iman kuat diliputi dengan rasa taat dan hiasan takwa
diliputi oleh kegelisahan atau ketidakyakinan. Jika kita mengaku masih mempunyai iman,
namun masih ragu maka perlu dievaluasi kadar kualitas keimanan kita tersebut. Adanya
covid-19 tidak seharusnya kita menjadi ragu akan kekuasaan dan pertolongan Allah Swt,
jangan sampai menjadikan kita putus asa, pesimis dan menyerah dalam menghadapi wabah ini
meskipun membuat hidup kita susah, menderita dan sedih. Susah dan sedih tersebut harus kita
jadikan “obat” untuk mendekatkan diri kepada-Nya, agar Dia menganti dengan rasa
ketenangan. Sehingga, kita bisa tetap tenang-tegar di tengah kesusahan akibat wabah ini.
Banyak manusia yang tidak menggunakan keyakinannya sebagai energi dan kekuatan
imun, sehingga mereka mudah stres, khawatir yang itu menyebabkan imun menurun, nafsu
makan berkurang dan hidup gelisah sehingga akan berdampak pada kesehatan tubuh dan jiwa.
Penulis yakin jika manusia bisa memupuk keyakinannya secara baik maka sesulit apapun
hidup, sepahit apapun nasip maupun sesusah apapun tidak akan terasa berat, karena yakin
bahwa Allah maha penolong, pengasih, penyayang dan kuasa yang tidak akan membiarkan
hamba-Nya yang taat hidup menderita selamanya. Hal tersebut adalah janji-Nya dan namanya
janji Allah tidak mungkin berdusta, tinggal kitanya sebagai hamba-Nya yakin atau tidak.
Membangun keyakinan memang tidak semudah menuangkan air ke dalam gelas,
diperlukan modal yang kuat yang berupa keimanan. Selama iman ini masih hidup dan
tersambung kepada Allah, di situlah kita bisa membangun keyakinan yang mantap dalam
menghadapi wahab covid-19, tentunya dengan usaha lahir yang kuat dan sungguh-sungguh.
Keyakinan dibangun sebagai stimulus untuk manusia itu bangkit dan mau usaha, usaha untuk
tetap tegar, usaha untuk bangun dari kesedihan dan usaha menghadapi suatu musibah maupun
ujian yang sedang menderanya. Dengan demikian, maka ia akan menemukan jalan keluar,
bebas dari ujian tersebut dan mendapat kemenangan dari Allah. Ujian datang bukan untuk
diratapi, tapi diterima dan dicarikan solusi untuk keluar dari ujian tersebut. Islam mengajarkan
umatnya menjadi umat yang kuat bukan lemah, umat yang yakin bukan ragu, umat pemenang
bukan pecundang dan umat yang optimis bukan pesimis. Sesuai dengan firman Allah Swt:
“Barangsiapa menyangka bahwa Allah tidak akan menolongnya di dunia dan di akhirat,
maka hendaklah dia merentangkan tali ke langit-langit, lalu menggantungkan (diri) kemudian
pikirkan apakah tipu dayanya itu mampu melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya.” (Qs.
Al Hajj: 15)

“ Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah itu benar dan mohonlah ampunan
untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.” (Qs.
Ghafir: 55)

Covid-19 perlu dikalahkan dengan sikap yakin sepenuhnya kepada Allah, bahwa
penyakit ini akan sirna, dan kita akan menang melawan wabah “mungil” ini. Sikap yakin
inilah sebagai penguat imunitas kita dalam menghadapi serangkaian dampak dari wabah
tersebut. Oleh karena itu, iman kita jangan sampai lepas bahkan hilang di saat masa kesulitan
menerpa kita, sebaliknya di tengah masa kesulitan iman harus diperkuat dengan lebih
mengfokuskan diri dalam beribadah kepada-Nya, lebih mentaati-Nya dan lebih mendekatkan
diri pada-Nya. Dengan demikian, akan melahirkan sebuah keyakinan yang kuat dalam diri
sehingga bisa menghadapi berbagai kesusahan-kesulitan hidup tanpa putus asa.
Membangun kekuatan dalam diri tidak perlu memerlukan biaya besar, cukup keteguhan
dan kepercayaan penuh terhadap Allah yang maha kuasa. Iman yang sudah ada di dalam dada
perlu dikembangkan dan ditingkatkan menuju kedekatan yang lebih intens kepada Allah.
Melalui kedekatan inilah ketenangan, kekhusyu’an dan kemantapan akan terwujud. Hal
tersebut sebagai implikasi dari keyakinan yang kuat yang bersumber dari rasa iman kepada-
Nya.
Untuk itu, perlu kiranya kita memperbaiki keimanan kepada Allah agar melahirkan
keyakinan yang kuat sebagai modal untuk menghadapi “serangan” wabah ini. Melalui
keyakian yang kuat tersebut kita mampu bertahapan di tengah kehimpitan hidup, kesusahan
dan kesedihan yang mendalam serta menjauhkan kita dari putus asa-pesimisme. Keyakinan
inilah yang juga mengantarkan kita mencari solusi dan jalan keluar terhadap masalah, ujian
yang mendera hidup. Sehingga, kita akan selamat dari jurang putus asa dan juga mendapat
kemenangan atas ujian yang Allah berikan.
D. Terus Berusaha dan Berdoa
Pandemi covid-19 ini memang menjadi “momok” masyarakat global yang
menyebabkan mereka kehilangan ketakutan kepada sang Pencipta, virus tersebut lebih
ditakuti dari pada Tuhannya sendiri. Sehingga berbagai upaya lahir dilakukan dengan
memborong berbagai bahan yang mampu menangkal virus tersebut, kadangkala mereka
dilupakan oleh peran doa yang begitu “manjur” sebagai kekuatan spiritual. Ketakutan yang
berlebih inilah yang harus diluruskan, bahwa segala sesuatu itu semua bersumber dari Allah,
sebagai manusia yang beriman tidak pantas memberikan ketakutannya ini kepada ciptaan-Nya
(covid-19). Allah yang lebih berhak ditakuti dan ditaati.
Di tengah pandemi virus corona ini memang yang harus dilakukan oleh manusia
adalah berusaha untuk menghadabpi wabah ini, dengan berbagai bentuk usaha. Mulai dari
menjaga kebersihan, aktif mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi keramaian, kesadaran diri
jika sakit tidak ikut berkrumun (berkumpul) dengan yang sehat, minum vitamin; jamu, olah
raga, membantu sesama (berdonasi), dan mengikuti protokol pemerintah-dunia kesehatan dan
usaha lahir lainnya sebagai antisipasi terhadap penularan virus ini. Ikhtiar saja tidak cukup,
manusia ini lemah tidak bisa apa-apa, sekuat dan secanggih apapun teknologi dalam
menumpas virus ini jika Allah belum mengizini maka akan sia-sia.
Untuk itu, perlu jalan batin sebagai upaya mengetuk pintu langit agar Allah
memberikan jalan;solusi atau obat dalam menghadapi wabah ini. Jalan batin tersebut adalah
doa. Dengan memperbanyak doa, maka Allah akan membuka dan memberikan jalan keluar
atas wabah ini. Mengingat, doa sebagai perintah-Nya, dan Allah sendiri yang menyanggupi
akan mengabulkan doa-doa hamba-Nya yang mau berdoa; meminta kepada-Nya. Tentu
masalah “terkabulnya” doa terserah Allah, mana waktu yang tepat. Bukan berdasarkan analisa
dan tuntutan hamba-Nya. ini yang perlu dipahami, sehingga tidak melahirkan pandangan:
“aku sudah berdoa, namun Allah tidak mengabulkan”. Pandangan ini salah bahwa yang
berhak mengabulkan doa kita, dengan waktu yang telah ditentukan Allah, bukan ditentukan
oleh kita. Namun, kita harus yakin dengan berdoa terus menerus, dengan sungguh-sungguh
dan benar-benar merendahkan diri sepenuhnya di hadapan-Nya, maka akan mengugah Allah
untuk segera mengabulkan doa-doa tersebut. Perlu diingat, bahwa selain Allah maha kuasa
perkasa, Dia juga maha pengasih dan penyayang yang tidak terukur, sehingga kita harus yakin
dengan terus menerus berdoa disertai kesungguhan Allah akan “welas” dan mengasihi kita
dengan mengabulkan do’a kita tersebut.
Wabah corona ini sebagai pandemi global yang memang menimbulkan kekhawatiran
dan ketakutan yang dahsyat bagi masyarakat global. Sehingga berbagai langkah preventif
dilakukan guna untuk menghindari diri dari “serangan” virus tersebut. Di saat kita melakukan
berbagai usaha dan langkah-langkah untuk mencegah bahaya, seharusnya kita juga
menguatkan jiwa kita dengan senantiasa berdoa, memohon pertolongan Allah Swt. Jangan
sampai, kita melupakan doa atau meremehkannya. Doa sebagai energi untuk membangun
hubungan kita dengan Allah, sebagai bukti ketidak mampuan kita, menghilangkan
kesombongan manusia dan membuktikan bahwa Allah satu-satunya zat penolong dan kuasa
atas segala sesuatu. Sebagaimana firman-Nya:
“Berdoalah kepada-Ku, pasti akan Aku kabulkan.” (Qs. Al Mukmin: 60)

“ Mohonlah (berdoa-lah) kamu kepada Tuhanmu dengan cara merendahkan diri dan
dengan suara lembut, bahwasannya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya dan mohonlah
(berdoa) lah kepada Allah dengan rasa takut dan penuh harap, bahwasannya rahmat Allah itu
sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al A’raf: 55-56)

Usaha dan doa harus saling bersinergi dalam diri manusia di saat apapun, khususnya
di saat manusia mengalami kesulitan. Jangan sampai kesulitan membuat manusia putus asa,
sehingga tidak lagi berusaha apalagi berdoa. Usaha yang keras saja tanpa diiringi doa, juga
suatu bentuk kesalahan, mengingat manusia itu lemah dan terbatas. Ini harus dipahami, bahwa
betapa banyak manusia yang hanya berusaha keras tapi usahanya sia-sia. Manusia selamanya
tidak bisa hanya menggandalkan kekuatan akal, otot dan tangan, kekuatan spiritual melalui
doa juga harus dipertimbangkan. Memang hal tersebut, bisa diterima manakala ada iman di
dalam dada seseorang, manakala tidak ada iman, maka manusia akan sulit percaya bahwa
kekuatan doa sebagai kekuatan spiritual itu mempunyai daya yang dahsyat. Kemudian,
manusia tidak dibenarkan hanya berdoa saja, tanpa berusaha. Ibarat perang manusia tidak
membawa alat pelindung diri, senjata, ia hanya pergi berperang dengan kekuatan doa, ini
sebagai usaha yang sia-sia dan kesalahan yang fatal. Doa digunakan untuk menopang usaha
lahir kita, agar Allah mengabulkan dan merestui usaha-usaha kita tersebut.
Membangun sinergitas antara usaha dan doa sangat perlu dilakukan oleh setiap orang
mukmin, usaha dan doa menjadikan seseorang kuat dan rendah hati, tidak menjadi manusia
yang lemah dan sombong. Usaha tanpa doa menjadikan manusia angkuh, sombong yang
seolah-olah tidak butuh Allah. Sebaliknya, doa saja tanpa usaha menjadikan manusia lemah,
padahal seorang mukmin diperintahkan untuk menjadi umat yang kuat. Lemah ini akan
mengantarkannya pada kondisi malas, pasrah secara total bahkan bisa mengarah kepada sikap
putus asa, manakala doa-doanya tidak segera dikabulkan oleh Allah.
Untuk itu, dalam kondisi seperti ini kita harus berusaha untuk selalu berusaha
semaksimal mungkin dalam menghadapi berbagai ujian, cobaan dan musibah dengan berbagai
cara dan senantiasa mencari solusi agar bisa keluar dari cobaan tersebut, inilah peran akal,
untuk berpikir “bagaimana dan apa saja yang harus saya lakukan”. Kemudian, dilengkapi
dengan doa kepada Allah, memohon keridhaan dan kuasa-Nya untuk mengabulkan dan
merealisasikan usaha-usahanya tersebut, ini peran hati untuk membangun hubungan
kedekatan dengan-Nya melalui doa. Sehingga doa sebagai kekuatan spiritual, selain sebagai
senjata yang ampuh umat Islam di saat usaha-usaha lahir tidak mampu menembus pintu
langit. Mudah-mudahan dengan usaha dan doa dalam menghadapi wabah ini, Allah segera
mengabulkan dan mengangkat wabah tersebut.

Berikut penulis gambarkan skema tentang pandangan Islam dalam menghadapi


wabah; covid-19 di bawah ini:

Pandangan Islam dalam


Menghadapi wabah;covid-19

Bersikap Husnudzan Berusaha dan Berdoa

Tidak Berputus Asa Yakin kepada Allah Swt


Gambar 1: Skema tentang pandangan Islam dalam menghadapi wabah; covid-19

BAB II

ISLAM AGAMA MENEDUHKAN UMAT DI TENGAH MUSIBAH

A. Islam Mengajarkan Keikhlasan


Musibah yang datang di dalam kehidupan kita sepatutnya diterima dengan lapang dada,
kebesaran jiwa, agar menumbuhkan rasa keikhlasan yang kuat. Mengingat Islam mengajarkan
kepada umatnya untuk bersikap ikhlas terhadap sesuatu yang sudah Allah tetapkan dan
takdirkan, baik itu pahit maupun manis. Pandemi ini merupakan salah satu musibah; ujian dari
Allah untuk kita, di situ Allah mengukur kadar keikhlasan dalam diri kita. Paradigma seperti
ini seharusnya yang dibangun dalam diri kita, bukan malah mencari dengan menyibukkan diri
mengapa wabah ini terjadi, kenapa dan kenapa. Pernyataan seperti ini malah akan membuat
kita ragu, cemas, bahkan ingkar kepada-Nya. Harusnya kita berkata: “bagaimana”; bagaimana
cara kita menghadapi ujian ini dengan baik, bagaimana kita berusaha ikhlas kepada ketentuan-
Nya dan bagaimana kita menyikapi ujian ini dengan bijak. Pernyataan tersebut akan
mengkuatkan diri kita, meneguhkan jiwa dan melapangkan dada, sehingga kita perlahan akan
menerimanya dengan senang hati, meskipun secara fisik kita tengah terhimpit.
Membangun rasa keikhlasan memang tidak bisa langsung, butuh proses. Dimulai dari
kesadaran diri bahwa segala sesuatu sudah ditentukan Allah, dan yakin bahwa dengan ikhlas
hati akan tenang, suci bahkan lebih dekat kepada-Nya, di banding dengan hati yang kufur
yang menjadikan kehidupan gelap, sengsara dan menyesal. Oleh karenanya, dalam situasi
yang seperti ini kita harus banyak mengatakan “bagaimana”, bukan “kenapa: mengapa”,
untuk meraih kesucian jiwa.
Secara teori sikap ikhlas memang menjadi ciri orang yang bertakwa, dengan sikap
demikian mereka tidak akan menujukan amal ibadahnya dan segala amal salehnya melainkan
hanya kepada Allah Swt. Kemudian, ikhlas menjadi satu-satunya syarat ibadah kita untuk
diterima oleh Allah Swt. Segala serangkaian amal ibadah yang dilakukan oleh manusia tidak
akan bernilai apa apa manakala bukan kepada Allah amal tersebut ditujukan. Betapa banyak
seseorang yang melakukan kebaikan, tapi esensinya hanya untuk mendapat kehormatan,
pujian, sanjungan dan perhatian orang lain, kemudian betapa banyak manusia yang
melakukan ketaatan hanya untuk mendapat pahala dan surga. Padahal sudah jelas apa pun
amal ibadah yang kita lakukan, di situ pasti kita lantunkan lillahi Ta’ala (hanya untuk Allah),
bukan untuk surga-Nya, pahala-Nya, maupun pujian orang lain. Ini yang masih menjadi
penyakit hati manusia abad global ini. Untuk itu, kita berusaha sekuat tenaga menanamkan
konsep lillahi ta’ala di setiap amal kebaikan; ibadah yang kita lakukan. Bukan linnas (untuk
manusia), lijannah (untuk surga), liddarajah (untuk derajat; kehormatan), litsawab (untuk
pahala) maupun limakhluk (untuk makhluk). Melalui sikap ikhlas dalam menjalankan ketaatan
kepada Allah, akan membentuk pribadi yang rela menerima berbagai ujian;cobaan dari Allah
Swt.
Kemudian, cara lain untuk mengukur keikhlasan seseorang adalah dapat dilakukan
melalui tanggapan orang lain atas amal ibadah yang telah dilakukan. Ketika orang memuji
atau mencela amal ibadahnya, maka pelaku jalan tasawuf memiliki ‘rasa’ (perasaan) yang
sama.1 Itu baru dinamakan ikhlas. Sebagaimana penjelasan Kiai Saleh Darat: “Sewaktu-waktu
orang tersebut benar-benar ikhlas tidak riya’, maka tidak bersuka cita ketika dipuji dan tidak
susah ketika dicela orang lain, karena yang dituju hanya ridha Allah (lillah) semata-mata.
Celaan dan pujian manusia dianggap seperti angina yang keluar dari mulut manusia, yang
tidak membahayakan dan tidak bermanfaat bagi diri pelaku para penempuh jalan spiritual.”2
Dalam penjelasan yang luas, dapat dikatakan bahwa setiap manusia yang beriman yang
menjalankan keikhlasan, maka diharuskan niat beribadah dan mendekatkan diri (taqarrub)
kepada Allah semata. Tidak diperkenankan, niat ibadah dimaksud disertai niat-niat selainnya,
seperti mendapat pujian dari sesama manusia.3 Kiai Saleh Darat juga memberikan contoh-
contoh lain yang banyak terjadi di masyarakat, sebagaimana berikut:
“Seperti melakukan puasa supaya sedikit biaya hidupnya, atau agar sembuh dari
penyakitnya dengan menyertakan niat mendekatkan diri kepada Allah. Atau mengaji
ilmu yang bermanfaat supaya mendapatkan kemuliaan di hadapan teman-temannya,
atau melaksanakan haji ke Arafah dengan jalan kaki supaya irit biayanya, karena
kecintaannya yang mendalam terhadap uang, atau berwudlu agar merasakan dingin di
badan, atau memberi pengemis dengan niat supaya dirinya tidak menjadi pengemis,
atau mengajar untuk mencari harta. Hal itu semua, tidak ikhlas, maka tidak sah dan
menjadi syirik khafi (samar-samar; tersembunyi). Maka setiap amal yang dimaksudkan
untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun disertai maksud selain Allah sehingga
menyebabkan pelaksanaan amal tersebut penuh semangat, maka hal itu telah
mengeluarkannya dari makna keikhlasan yang sebenarnya.”4
Perilaku yang tidak ikhlas akan mengantarkan seseorang kepada lembah kemusyrikan.
Sebab munculnya dua niat tersebut. Selain itu, juga akan mengantarkan pelakunya pada
perilaku riya’ (pamer). Orang yang riya’ sama halnya telah melakukan talbis, sehingga tidak
salah jika dikatakan riya’ sebagai perkara yang merusak secara dahsyat (a’dzam al muhlikat).
Karena talbis, maka amal perbuatan manusia menjadi ‘seakan-akan’ ditujukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Padahal hakekatnya, amal perbuatan dimaksud ditujukan
kepada sesama manusia.5
Ikhlas memang lawannya riya’. Riya’ sebagai salah satu penyakit hati dan juga api yang
tugasnya adalah melahap kayu bakar (amal ibadah; kebaikan) manusia. Sehingga, Kiai Saleh
Darat begitu detail menjelaskan tentang makna Ikhlas dan bahaya riya’. Menurutnya, secara

1
Ali Mas’ud, Pemikiran Tasawuf Kiai Saleh Darat (Surabaya: Pustaka Idea, 2018), 218.
2
Saleh Darat, Minhaj al Atqiya’ fiy Syarhi Ma’rifah al Auliya’ (Bombay: Matba’ah Muhammadi, 1317 H), 156-157.
3
Mas’ud, Pemikiran Tasawuf., 219.
4
Saleh Darat, Minhaj al Atqiya’., 141-142.
5
Mas’ud, Pemikiran Tasawuf., 222.
garis besar riya’ dapat dideskripsikan menjadi dua kategori. Pertama, riya’ yang nyata (jahr)
yakni mengamalkan amal perbuatan hanya semata untuk mendapatkan perhatian dan
pengakuan dari orang atau manusia lainnya. Riya’ dalam katagori ini sangat berbahaya,
karena dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam perbuatan syirik yang samar (khafi), dengan
ancaman dosa bahkan dosa yang tidak terampuni manakala tidak segara bertaubat.
Sementara itu, kedua, riya’ terselubung (khafi), yang berarti melakukan amal ibadah
selain karena Allah juga mempertimbangkan keinginan yang berdimensikan kemanusiaan.
Artinya, pelakunya akan semakin bergairah dan rajin melakukan amal ibadah yang dimaksud,
ketika merasa ada orang lain yang memperhatikannya. Termasuk dalam katagori ini,
seseorang semakin rajin dan bergairah melakukan shalat tahajjud, karena merasa tamu di
rumahnya memperhatikan shalatnya tersebut.6 Ikhlas menempati peran penting bagi pelaku
jalan tasawuf dalam hubungannya dengan Allah. Alasannya, ia menjadi dasar atau tidak,
persyaratan bagi keabsahan iman, Islam dan seluruh amal perbuatan seorang muslim.7
Penulis memahami bahwa manusia perlu mendalami ilmu tentang ibadah dalam hal ini
fikih. Jika sudah benar maka seseorang harus memahami hakikat ibadah itu sendiri sehingga
ia akan mudah memiliki perilaku ikhlas tersebut. Jika manusia tidak paham tentang ilmu
ibadah itu bagaimana, hakikat ibadah itu seperti apa, maka memang akan terasa sulit untuk
menggapai keikhlasan. Ibadahnya akan ‘ngawur’, bisa-bisa ada perasaan riya’, ujub, dan
sombong dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Sehingga, antara dzahir dan batin harus
ditata dengan ilmu. Sehingga, ibadah dan amal salehnya bisa mendatangkan implikasi yang
positif bagi kehidupan dan kepribadiannya.
Dalam Islam, hidup ini adalah untuk beribadah, bekerja dan berbuat baik untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain. Pada hakikatnya, semua kebaikan itu, kapan saja, di mana
saja, dan kepada siapa saja sepatutnya hanya disuguhkan (dipersembahkan) kepada Allah
semata, bukan kepada selain-Nya.8 Mengingat Ikhlas dalam agama adalah hakikat (ruh) Islam
dan prinsip dasar yang terbangun atas ketundukan yang mutlak hanya kepada Allah Swt, tidak
pada yang selain-Nya, hal tersebut terangkum dalam sebuah kalimah tauhid yang berbunyi la
ilaha illah Allah, Muhammad al Rasul Allah.9 Sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya

6
Saleh Darat, Minhaj al Atqiya., 149.
7
Ibid., 137
8
Miss Rosyidah Haji Duad, “Ikhlas dalam Perspektif al Qur’an,” (Skripsi: UIN Ar Raniri Banda Aceh, 2017), 17.
9
Muhammad Ramdahan, Quantum Ikhlas, terj. Alex Mahya Sofia (Solo: Abyan, 2009) 31-32
Kami menurunkan kapadamu kitab al Qur’an dengan membawa kebenaran, maka sembahlah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Az Zumar: 2)
Maksud ayat ini adalah perintah bagi umat manusia untuk mengabdi kepada-Nya dan
menyeru kepada semua orang untuk mengabdi kepada-Nya saja, tidak ada sekutu bagi-Nya,
karena tidak layak peribadatan kecuali bagi-Nya saja.10 Untuk memperoleh sifat ikhlas
diperlukan beberapa sifat atau sikap sekaligus sebagai unsur penunjang kesempurnaan yang
harus ada dalam sifat ikhlas. Selain itu, unsur penunjang tersebut sekaligus sebagai quality
control bagi keikhlasan itu sendiri, di antaranya adalah sifat istiqamah, tawakkal, sabar,
tawakkal, zuhud dan wara’.11
Terakhir, kita akan mengetahui apakah diri kita termasuk orang yang ikhlas atau tidak
adalah dengan mengetahui kriteria-kriteria ikhlas, di antaranya: tidak menyukai kepopuleran,12
menuduh diri berbuat melampaui batas di sisi Allah Swt, 13 berusaha menyembunyikan amal
kebajikan,14 tidak terpengaruh dengan pujian orang lain,15 sabar menghadapi ujian dalam
beramal,16 ketertarikan kepada amalan yang lebih bermanfaat.17
Dengan demikian, ini mendorong kita untuk senantiasa berintropeksi diri terhadap segala
ibadah dan amal kebaikan yang selama ini kita lakukan. Apakah sudah masuk kreteria ikhlas
atau belum. Jika belum maka kita harus memperbaiki kualitas dan meningkatkan keikhlasan
kepada Allah Swt. Baik itu menyangkut ibadah spiritual kepada-Nya maupun ibadah sosial
(mu’amalah) kepada sesama. Paradigma yang demikian, akan mengantarkan manusia menjadi
pribadi yang ikhlas terhadap segala ketentuan, ketetapan yang Allah berikan kepada-Nya. Jika
dalam beribadah tidak dilandasi rasa ikhlas yang benar, maka dalam menjalani roda
kehidupan akan mudah ingkar;kufur manakala mendapat kesulitan, kegagalan atau terkena
penyakit. Jadi, ikhlas dimulai dari menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya dan
memupuk ketaatan semaksimal mungkin tanpa “modus” kepada-Nya, sehingga ini akan

10
Muhammad Nasib al Rifa’i, Ringkasan Ibnu Katsir, terj. Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani, 1990), jilid IV, 90.
11
al Banjari, Mengarungi Samudera Ikhlas (Yogyakarta: Diva Press, 2007), 28.
12
Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al Atsari, Ensiklopedia Akhlak Salaf: 13 Cara Mencapai Akhlak Mulia (Jakarta:
Pustaka Imam Asy Syafi’I, 2013), 135.
13
Ibid., 130.
14
Ibid., 133.
15
Amru Khalid, Terapi Hati (Jakarta: Republika, 2005), 40.
16
Ummu Ihsan, Ensiklopedia Akhlak Salaf., 137.
17
Yusuf al Qardhawi, Fiqih Prioritas: Sebuah Kajian Baru Berdasarkan al Qur’an dan as Sunnah (Jakarta:
Robbani Press, t.t), 16.
menghiasi kepribadiannya menjadi manusia yang ikhlas karena Allah di setiap keadaan,
situasi dan kondisi.
B. Islam Menjunjung Rasa Cinta kepada Makhluk
Di tengah wabah ini kita tidak diperbolehkan mencela, menghina bahkan mengkerdilkan;
mengucilkan sesama. Khususnya para tenaga medis, korban covid-19 dan jenazah para korban
covid-19. Hal tersebut, merupakan perlakuan;sikap yang tidak Islami, tidak diajarkan dalam
Islam. Tenaga medis sebagai garda terdepan saat ini dalam membasmi wabah covid-19,
sehingga tidak layak jika kita mencela, mengucilkan mereka bahkan mengusirnya gara-gara
kita takut terkena virus corona. Ini sebuah sikap yang berlebihan dan tidak manusiawi.
Kemudian, korban covid-19 itu saudara kita, dia sedang sakit dan tengah mengalami
ujian dari Allah, tidak pantas kita mengecilkannya bahkan menjauhkannya. Seharusnya kita
bantu mereka dengan saling gotong royong tanpa harus bersentuhan dengannya. Ini lebih
manusiawi dan terhormat dari pada mencela; mengucilkannya. Lalu, masalah penolakan
jenazah korban covid-19, ini sebuah kesalahfahaman yang fatal dan tidak beradab. Dunia
medis sudah memberikan informasi bahwa jenazah korban covid-19 sudah dibersihkan dan
diproses sesuai dengan protokol kesehatan, sehingga dijamin tidak menular dan juga tidak
akan menganggu kesuburan tanah. Mereka yang meninggal juga saudara kita, dimana sebagai
sesama muslim mempunyai tanggung jawab dalam mengurus jenazah saudara sesama
muslim. Oleh karenanya, Islam mengedepankan dan menjunjung tinggi sikap cinta kepada
sesama makhluk. Khususnya saudara kita sesama manusia. Takut boleh, tapi jangan
berlebihan yang pada akhirnya “menabrak” nilai-nilai kemanusiaan.
Islam sebagai agama rahmah (kasih sayang) sangat menganjurkan sikap rasa cinta dan
saling mengasihi satau dengan yang lain. Mengingat, memiliki tujuan Islam di muka bumi ini
adalah untuk menebar perasaan saling mencintai, mengasihi, menghargai, menghormati dan
saling merindukan sesama saudara seagama maupun sesama makhluk Allah Swt dan sangat
menentang keras sikap intoleran, radikalisme, rasisme, diskiriminasi, terorisme dan bentuk
anarkis lainnya yang menyangkut perbedaan, keberagaman, persatuan, kesatuan dan
kedamaian hidup.
Tujuan di atas sebagai konsep Islam sebagai agama rahmah yang mencerminkan sikap
seorang mukmin yang sesungguhnya (sejati) sebagaimana pernyataan Ibnu Jauziyah,18 bahwa

18
Ibnu Qayyim al Jauziyyah, Penawar Hati yang Sakit, Terj. Ahmad Turmudzi., 12.
bagi seorang mukmin, cinta memiliki kedudukan dan rasa yang tiada tara, seorang mukmin
tidak akan merasakan manisnya iman, sehingga ia tidak merasakan hangatnya cinta. Ia harus
memiliki cinta sebagai syarat kesempurnaan iman. Jelmaan cinta tersebut adalah hadirnya
agama Islam. Agama yang penuh ‘rahmah’ bagi semesta alam yang senantiasa menyerukan
cinta, baik cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul-Nya, cinta kepada agama, cinta kepada
aqidah dan cinta kepada sesama makhluk. Sesuai dengan firman Allah Swt:
ِ ِ
َ ‫اك إِاَّل َر ْح َمةً لل َْعالَم‬
)107( ‫ين‬ َ َ‫َو َما أ َْر َسلْن‬

“ Dan tidaklah Kami mengutus kamu (muhammad) melainkan untuk menjadi rahmah
bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya’: 107)
Tafsir munir menjelaskan makna ayat di atas yakni engkau tidak diutus wahai
Muhammad kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam, manusia dan jin. Karena ajaran yang
diturunkan kepadamu adalah sebab kebahagiaan mereka dan memastikan kebaikan mereka di
dunia akhirat.19 Syaikh Wahbah dalam penjelasannya mengutip sabda Nabi yang berbunyi: “
Aku diutus bukan sebagai tukang laknat, tapi aku diutus sebagai rahmah.” (HR Muslim)20
Dakwah Islam dilakukan dengan penuh kelembutan dan mempermudah berinteraksi,
tidak dengan kejelekan akhlak, keras watak, dan keras hati. 21 Sesuai dengan firman Allah Swt:
“ Maka disebabkan rahmah dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu...” (QS. Ali Imran: 159)
Hal tersebut menegaskan bahwa Islam sebagai rahmah bagi seluruh alam diwujudkan
dengan keteladanan, kelembutan dalam bergaul dan ketegasan dalam menegakkan aturan.
Peningkatan spiritualitas, keadilan sosial, kebahagiaan semua orang, dan peningkatan
martabat kemanusiaan adalah konsentrasi utama Islam sebagai agama rahmah. Inilah yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad semasa hidupnya dalam menegakkan agama Allah di
muka bumi dengan kelembutan dan keramahan sehingga Islam dapat diterima dan
berkembang luas hingga saat ini.22
Ini menandakan bahwa Islam mempunyai fungsi yang sangat penting bagi
keberlangsungan kehidupan manusia yang sifatnya heterogen, yakni sebagai agama
19
Wahbah Zuhaili, at Tafsir al Munir fi Aqidah wa al Syar’iyyah wa Manhaj (Damaskus: Daar al Fikr, 2009), 155.
20
Wahbah Zuhaili, at Tafsir al Munir., 156-157.
21
Ibid., 467-469.
22
Machasin, Islam Dinamis, Islam Harmonis (Yogyakarta: LKIS, 2012), 224-225.
perdamaian, kasih sayang dan cinta kasih pada semua makhluk di dunia yang sama sama
sebagai makhluk ciptaan Allah Swt. Perbedaan adalah fitrah yang harus terus dipupuk
menjadi sebuah persatuan bukan perpecahan, pertemanan bukan permusuhan dan
keharmonisan bukan konflik yang berkepanjangan.
Penjelasan di atas sesuai dengan pendapat Moh Tolhah, 23 bahwa Islam yang berarti
agama damai, selamat, pasrah, tunduk, patuh sebagai agama yang mengandung ajaran untuk
menciptakan perdamaian, kerukunan, keselamatan dan kesejahteraan bagi umat manusia
khususnya dan semua makluk ciptaan Allah Swt pada umumnya, bukan justru mendatangkan
dan menciptakan bencana atau kerusakan di muka bumi. Inilah yang disebut sebagai fungsi
Islam rahmah bagi seluruh alam (rah}matan lil ‘a>lami>n), bukan hanya rahmah bagi umat
Islam saja. Fungsi Islam sebagai agama rah}matan lil ‘a>lami>n tidak tergantung pada
penerimaan atau permintaan manusia. Subtansi rahmah terletak pada fungsi ajarannya
tersebut. Fungsi itu baru akan terwujud dan dapat dirasakan manusia sendiri maupun
makhluk-makhluk yang lain, jika manusia sebagai pengemban amanah Allah yang telah
mentaati dan menjalankan aturan-aturan ajaran Islam dengan benar dan sempurna. Fungsi
Islam sebagai rahmah dan bukan sebagai agama pembawa bencana adalah suatu kebenaran,
keabsahan dan kelegalan dari Allah bukan sebuah karangan atau ide manusia.
Hal tersebut sebagai indikator bahwa Islam secara dalil (teori) dan praktis (sunnah
Nabi;dakwah) menegaskan bahwa ia benar-benar agama kasih sayang yang selalu
menyebarkan angin kedamaian, kelembuatan, kesejahteraan dan keharmonisan di muka bumi.
Karena sejatinya, Islam ingin menciptakan kondisi yang damai, penuh kasih sayang, cinta
kasih, dan persaudaraan lintas agama, umat, suku dan bangsa. Menyikapi perbedaan dengan
penuh kebijaksanaan, bukan dengan pertikaian.24

23
Moch Tolhah, et.al, Pendidikan Agama Islam; Untuk Perguruan Tinggi Umum (Surabaya: ITATS, 2012), 82.
24
Sesuai dengan Firman Allah swt: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa
di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi maha Mengenal.” (QS. Al Hujarat: 13). “.....Kalau
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak mengujimu terhadap karunia
yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam kebajikan...” (QS. Al Maidah: 48). “Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena
agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8). “ Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lain bahasamu serta warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi
orang yang mengetahui.” (QS Ar Rum: 22)
Melalui pemahaman Islam agama kasih sayang dan cinta kasih menjadikan setiap
insan akan memiliki sikap bijak (moderat: wasat}iyah) yang selalu mengedepankan sikap
toleransi (tasamuh). Karena pada hakikatnya wasat}iyah adalah penengah, moderat, tidak
radikal juga tidak liberal, tidak pelit juga tidak boros. Mengambil jalan tengah atau cara yang
bijak atau utama, indah dan terbaik. Dan istilah wasathiyah ini berperan untuk mediasi dan
penyeimbang. Sehingga sikap wasatiyah sebagai representasi untuk senantiasa menegakkan
keadilan, keseimbangan, kemajemukan, kemoderetan, serta jalan tengah untuk tidak terjebak
dalam ekstremitas. Konsep wasatiyah dalam Islam mengacu pada prinsip-prinsip tawasut}
(tengah), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang), i’tidal (keadilan), iqtis}ad (sederhana).
Sehingga sikap wasat}iyah disebut juga ‘a just people’ or ‘ a just community, yakni
masyrakat atau komunitas yang memiliki kreteria di atas.25
Relevansi rasa cinta dan kasih sayang adalah suatu hubungan yang saling bertalian
kuat yang mencoba menghapus hembusan kebencian, kedengkian, permusuhan, ketegangan,
kecemburuan sosial, kekerasan, perbedaan, dan pertikaian antar umat muslim, antar sesama
manusia, antar anak bangsa dan antar suku serta antar negara secara internasional. Mengganti
semua itu dengan rasa cinta, kasih sayang, kedamaian, keharmonisan dan kerukunan.
Memendam segala perbedaaan yang dapat membuat permusuhan dan dishormanisasi di
tengah kehidupan dan menumbuh kembangkan perasaan kasih sayang dan cinta di tengah
kehidupan sosial yang majmuk.
Hal tersebut menjadi penegasan bahwa Islam hadir sebagai agama yang memberi
kedamaian dan kasih sayang, bukan menawarkan perang dan pemberontakan. Gagasan
pribumisasi Islam yang diusung Gus Dur dan sekularisasi yang diusung Norcholis Majid tidak
lain adalah ingin menampilkan wajah Islam yang toleran dan santun (penuh cinta kasih). Hal
ini sebagai upaya untuk ‘rekonsiliasi’ Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya setempat, agar
budaya lokal tidak hilang. Oleh karenanya, Gus Dur mengutuk dengan keras aliran-aliran atau
kelompok agama yang menggunakan kekerasan atas nama Islam.26

25
Jamail Sahrodi dalam pengantarnya Islam Majemuk karya Masduki Duriyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019),
xii. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah Sesuai dengan Firman Allah: “ Dan demikian pula Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat pertengahan/ummatan wasathan, agar kamu menjadi saksi atas
perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu…”(QS. al Baqarah: 143)
26
M Syafi’i Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Membingkai Potret Pemikiran Politik KH Abdurrahman
Wahid”, sebuah pengantar dalam buku Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita, Agama
Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, t.t), xxv.
Demikian juga munculnya istilah Islam Nusantara yang sedang populer di Indonesia
saat ini. Istilah tersebut menjadi tanda bahwa Islam itu indah, fleksibel, ramah, santun,
berbudaya, dan tidak kaku apalagi ekstrim. 27 Istilah-istilah demikian sebagai penguat dan
bukti bahwa Islam memang agama kasih sayang, penuh rahmah, penuh cinta, dan
persaudaraan bukan sebaliknya. Ini adalah wajah Islam yang sesungguhnya baik secara
eksistensi maupun juga secara esensi.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa konsep Islam sebagai agama yang menjunjung
rasa cinta dan kasih sayang sebagai dua kutub yang saling berhubungan untuk menjaga
perdamaian, keamanan, persatuan, keharmonisan, kerukunan, ketenangan dan kemajuan
Islam. Melalui rasa cinta dan kasih sayang manusia dibimbing dan dididik menjadi manusia
yang mempunyai rasa cinta dan kasih kepada sang Pencipta sehingga ia menjadi insan yang
taat, tunduk serta patuh. Kemudian, ia juga mempunyai rasa kasih sayang terhadap ciptaan
sang Pencipta yang ia cintai, tanpa memandang perbedaan. Sedangkan Islam sebagai agama
rahmah berfungsi menciptakan perdamaian, persaudaraan, keharmonisan dan ketentraman
bagi seluruh alam dan ini yang harus dilakukan umat Islam untuk melaksanakan apa yang
menjadi fungsi dan tujuan Islam sebagai agama rahmah tersebut sehingga akan mewujudkan
sebuah kondisi yang tenang dan damai di masyarakat, negara serta dunia.
Untuk itu, konsep Islam sebagai agama cinta kasih yang penuh dengan rahmat harus
diinternalisasikan oleh semua umat muslim khususnya di tengah wabah covid-19 ini. Agar, di
masa pandemi ini kita tetap tenang, tidak takut secara berlebihan yang menafikan rasa sosial
dan tanggung jawab moral kita kepada sesama. Mari kita melakukan hal-hal yang bermanfaat
dan berfaedah bagi sesama di tengah kehimpitan akibat pandemi ini, bukan sibuk dengan
mencaci, memaki dan mengucilkan satu sama lain apalagi sampai menyebar kabar bohong.
Sikap-sikap seperti ini harus dijauhi dan ditinggalkan untuk menjaga “stabilitas” kecintaan
kita kepada sesama.
C. Islam Mengajarkan Sikap Seimbang
27
Islam Nusantara adalah Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang diamalkan, didakwahkan dan dikembangkan
sesuai karaktristik masyarakat dan budaya setempat yakni di Bumi Nusantara ini oleh para pendakwahnya, dengan
tujuan untuk mengantisipasi dan membentengi umat dari paham radikalisme, liberalism, wahabisme, syi’ah dan
paham-paham yang ekstrim lainnya. Baca lengkapnya dalam TIM PW LBM NU Jatim, Islam Nusantara (Surabaya:
PW LTN NU_PW LBM NU Jatim, 2018), 5. Lihat juga M. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlussunnah wa al Jama’ah
(Jombang: Maktabah at Turats al Islami, 1418 H), 9. Bandingkan juga dalam Abu al Fadl as Senori at Tubani, Ahla
al Musamarah fi Hikayah al Auliya’ al Asyrah (Bangilan Tuban: Majlis at Ta’lif wa al Khaththath, t.t), 23-24. Ini
menjadi dasar bahwa Islam itu membawa rahmah sehingga harus diajarkan dengan penuh kasih sayang, damai dan
sejuk.
Islam agama rahmat tidak hanya menjadikan manusia cinta akan sesama, tapi juga
menjadikan manusia itu moderat. Sikap bijak; moderat inilah yang akan membentuk pribadi
yang objektif; bijaksana yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, sehingga saat terjadi
problem; konflik ia akan menyikapi secara bijak dan proporsional. Keseimbangan sangat
diperlukan dalam menjalani kehidupan yang dinamis dan terus berputar ini agar tetap stabil
serta istiqamah di jalan Allah. Islam bukan agamanya yang kaku maupun agama yang bebas,
namun ia agama yang bijak, di samping santun. Cara memahami Islam seseorang harus
melihat banyak sisi, bukan satu sisi. Banyak sisi inilah yang akan mengantarkan manusia
mengenal warna-warni kehidupan, peraturan dan ketetapan, akhirnya ia akan menjadi bijak
dalam bersikap, bertindak dan memutuskan.
Di tengah pandemi ini diperlukan sikap demikian, sikap yang menenangkan bukan
mengelisahkan. Sikap bijak tersebut akan menjadikan kondisi “genting” ini menjadi sejuk dan
tetap tenang, karena dalam menghadapi problem akibat covid-19 tidak bisa disikapi dengan
sikap acuh maupun sikap yang berlebihan (parno). Kedua sikap tersebut tidak mampu
menjadikan jiwa manusia tenang, sebaliknya akan membuat jiwanya gelisah bahkan semakin
takut yang ujungnya terkena stres. Sikap yang bisa “meredam” kegelisahan, ketakutan akibat
virus ini adalah sikap seimbang; moderat.
Sikap moderat sebagai sikap yang mampu melihat suatu masalah dengan bijak, tidak
mudah menyalahkan, tidak mudah mencurigai dan tidak mudah berburuk sangka baik kepada
Allah maupun kepada sesama bahkan kepada pemerintah. Melahirkan sikap demikian, sangat
sulit kalau tidak punya kepekaan dan kesadaran yang mendalam. Kondisi seperti ini hanya
memerlukan kebijaksaan masing-masing individu, sehingga tidak menjadi individu yang
egois dan merasa paling benar. Di mana sikap tersebut jauh dari tuntunan ajaran Islam.
Kesimbangan yang diajarkan Islam adalah mensinergikan antara kepentingan individu
dengan sosial, mengintegrasikan kesalahen spiritual-sosial, menjalin hubungan secara vertikal
juga horizontal, mencari kehidupan dunia dan akhirat, dan bersikap tidak kikir juga tidak
berlebihan, tidak radikal juga tidak liberal. Ini yang dimaksud dengan konsep moderat dalam
Islam. Sikap-sikap inilah yang harus dikembangkan di saat pandemi yang meresahkan
kehidupan masyarakat, diharapkan dengan mengimplementasikan sikap seimbang, manusia
akan menyikapi wabah ini secara bijak, sehingga dapat menguranggi keresahannya akibat
covid-19.
Allah mendidik secara langsung Nabi Muhammad dengan didikan yang terbaik dan hal
itu menjadikan sikap, ucapan dan bahkan seluruh totalitas beliau menjadi rahmat. Totalitas
beliau sama dengan ajaran yang beliau sampaikan, karena ajaran beliau pun adalah rahmat
menyeluruh, dengan demikian menyatu ajaran dan penyampaian ajaran, menyatu risalah dan
rasul, dan karena itu Nabi Muhammad sebagai wujud dari ajaran agama Islamm itu sendiri
memiliki akhlak Al Quran, sebagaimana dilukiskan oleh Aisyah ra.
Rahmat sebagai substansi ajaran Islam yang diwujudkan oleh akhlak Nabi Muhammad
memiliki arti bahwa kehadiran Islam adalah untuk memenuhi hajat batin umat manusia untuk
meraih ketenangan, ketentraman, serta pengakuan atas wujud, hak, bakat, dan fitrahnya,
sebagaimana terpenuhi juga hajat keluarga kecil dan besar, menyangkut perlindungan,
bimbingan dan pengawasan serta saling pengertian dan penghormatan. Jangankan manusia,
binatang dan tumbuhan pun memperoleh rahmatNya.28
Kehadiran dan wujud Islam di berbagai negara yang mayoritas penduduknya muslim
memiliki karakter yang khas. Islam di Indonesia pun terkenal karena kekhasannya, yaitu
wujud Islam yang moderat yang dapat berbaur dengan berbagai agama lain di Indonesia (di
samping beberapa kasus ekstrim yang mengatasnamakan Islam). Kemoderatan Islam
Indonesia tak lepas dari sikap umat Islam itu sendiri yang secara garis besar merupakan
anggota organisasi keislaman. Dan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang konsisten
untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa adalah NU dan Muhammadiyah. Dua
organisasi ini memang memiliki latar belakang kemunculan yang berbeda, namun dalam
konsep keislaman keduanya mengaku sebagai wujud Islam Wasathiyah.
Kata wasathan;wasathiyah diambil dari istilah wasatha, wustha yang bermakna tengah,
dan menjadi istilah wasith-alwasith artinya penengah.29 Di dalam Al Qur’an disebutkan
tentang hal ini, yaitu dala Qs Al Baqarah ayat 143: “Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan
sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran, volume 8, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), hal. 518-520.
29
Abd. Malik Usman, Islam Rahmah dan Wasathiyah: Paradigma Keberislaman Inklusif, Toleran dan Damai,
Jurnal Humanika Vol. 15, No, 1 (September 2015).
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia” (Q.S Al Baqarah:143).
Di dalamm tafsir al Misbah dijelaskan bahwa umat Islam dijadikan sebagai ummatan
wasathan (pertengahan) adalah moderat dan teladan, sehingga dengan demikian keberadaan
umat Islam dalam posisi pertengahan tersebut, sesuai dengan posisi Ka’bah yang berada di
pertengahan juga. Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke
kanan, suatu hal di mana dapat mengantar manusia berlaku adil. Posisi pertengahan
menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapa pun dalam penjuru yang berbeda, dan ketika itu
ia dapat menjadi teladan bagi semua pihak.30
Yusuf Al-Qardhawi menyatakan pertengahan sebagai al-tawazun (keseimbangan), yakni
keseimbangan antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan:
ruhiyah (spiritualisme) dengan maddiyah (materialisme); fardiyah (individu) dengan
jamaiyah (kolektif); waqi‟iyah (kontekstual) dengan mitsaliyah (idealisme); tsabat
(konsisten) dengan taghayyur (perubahan). Oleh karena itu keseimbangan (al-tawazun) lanjut
Al-Qardhawi; sesungguhnya merupakan watak alam raya (universum) sekaligus menjadi
watak dari Islam sebagai risalah abadi. Bahkan, amal menurut Islam bernilai saleh, jika amal
itu diletakkan dalam prinsip-prinsip keseimbangan antara hablun minallah dan hablun
minannaas. Di atas prinsip keseimbangan inilah, Islam sebagai hudan (pedoman hidup) telah
membimbing umatnya keluar dari kegelapan menuju cahaya dan mengantarnya menggapai
kemajuan dan kejayaan. Ibnu Katsir dalam kitabnya Jami‟ul Bayan mengatakan istilah
umatan wasathan bermakna sebagai kemampuan-kemampuan positif yang dimiliki umat
Islam sebagaimana dalam kurun pertama sejarahnya yakni dalam capaian-capaian kemajuan
di bidang material maupun spiritual.31
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam yang rahmat dan
wasathiyah itu terwujud pada sikap dan perilaku berislam yang inklusif, humais dan toleran.
Sikap tersebut seharusnya lebih ditonjolkan dalam menyikapi pluralisme dan kebinekaan
seperti Indonesia, dan seharusnya pula umat Islam tampil sebagai “mediator” atau penengah,
adil dan fair dalam hubungan antar kelompok yang berbeda-beda.32
30
M. Quraish Shihab, Tafsir Al misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran, volume 1, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), 346.
31
Abd. Malik Usman, Islam Rahmah dan Wasathiyah: Paradigma Keberislaman Inklusif, Toleran dan Damai,
Jurnal Humanika Vol. 15, No, 1 (September 2015).
32
Ibid.
Penjelasan di atas, menginformasikan kepada kita bahwa sikap moderat dalam Islam
merupakan suatu pilihan yang tepat dan sesuai dengan perintah ajaran Islam itu sendiri.
Moderat (wasathiyah) dalam beragama sebagai representasi dari sikap adil, yakni sikap
penengah antara paham radikal dan liberal. Islam menjunjung tinggi rasa keadilan,
keseimbangan dan kebijaksanaan yang hal itu bisa terlahir dengan mengimplementasikan
sikap moderat dalam beragama. Melalui sikap moderat inilah seseorang akan menuai sebuah
kesalehan spiritual dan sosial. Kesalehan spiritual dan sosial akan muncul manakala kita
senantiasa bersikap moderat, mensinergikan hak Allah dengan hak sesama, tanggung jawab
kepada Allah juga tanggung jawab kepada masyarakat. Akhirnya, akan terlahir suatu
masyarakat yang seimbang dan bijak dalam memahamai agama dan juga suatu problem
kehidupan.
D. Menjunjung Persaudaraan di Tengah Kesulitan
Islam sebagai agama yang sangat mengedepankan persamaan di banding perbedaan
dalam segala bidang. Ini sebagai upaya “Islam” membumikan rasa harmonisasi, kerukunan,
kedamaian yang senantiasa menghargai, menghormati di tengah perbedaan. Sehingga, Islam
menganjurkan umatnya untuk senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan, baik
antar sesama muslim, antar agama, suku, paham maupun negara. Di antara persaudaraan yang
harus dijaga adalah:
1. Ukhuwah Islamiyah
Artinya kerukuan antar sesama muslim. Muslim dengan muslim adalah saudara
sehingga tidak boleh saling bermusuhan, bercerai berai dan berkonflik. 33 Sesuai firman
Allah surah al Hujurat: 10-12 dan Ali Imran 103.
2. Ukhuwah Basyariyah (Insaniyah)
Artinya kerukunan antar sesama makhluk Allah (manusia). Harus disadari dan
dipahami bahwa Allah menciptakan makhluknya bermacam-macam, bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa serta Dia menghendaki ummatnya tidak satu sehingga muncullah
berbagai perbedaan baik yang menyangkut agama, budaya, bahasa, warna kulit
maupun suku.34 Sesuai firman Allah dalam surah Al Hujurat: 13, ar Rum: 22, al
Maidah: 48, Yunus: 99 dan al Baqarah: 256.
3. Ukhuwah Wasathiyah
33
Moh Tolhah, Pendidikan Agama Islam., 84.
34
Ibid., 85.
Wasatiyah artinya penengah, moderat, tidak rakidal juga tidak liberal, tidak pelit juga
tidak boros. Mengambil jalan tengah atau cara yang bijak atau utama, indah dan
terbaik. Dan istilah berperan untuk mediasi dan pengimbang. Sehingga ukhuwah
wasatiyah sebagai representasi untuk senantiasa menegakkan keadilan, keseimbangan,
kemajemukan, kemoderetan, serta jalan tengah untuk tidak terjebak dalam ekstremitas.
Konsep wasatiyah dalam Islam mengacu pada prinsip-prinsip tawasut (tengah),
tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang), I’tidal (keadilan), iqtishad (sederhana).
Sehingga ukhuwah wasatiyah disebut juga ‘a just people’ or ‘ a just community, yakni
masyrakat atau komunitas yang memiliki kreteria di atas.35 Sesuai dengan Firman
Allah dalam surah al Baqarah: 143, al Furqan: 67.
4. Ukhuwah Imaniyah
Artinya persaudaraan lintas iman. Hal tersebut perlu dibangun untuk
mengharmoniskan hubungan antara sekte-sekte dalam Islam agar bisa hidup
berdampingan secara damai. Agar fungsi Islam sebagai rahmah dapat terwujud dan
terealisasi di tengah-tengah perbedaan dan kehidupan bermasyarakat. 36 Sesuai dengan
firman Allah Swt surah al Baqarah: 62, an Nisa’: 136 dan al Hujurat: 11.
5. Ukhuwah Wathaniyah
Artinya persaudaraan sebangsa dan setanah air. Ini perlu digagas dan dibangun agar
warga negara cinta pada tanah airnya, cinta pada persatuan dan kesatuan di atas
perbedaan dan keanekaragaman. Dengan cara melestarikan budaya, semangat
nasionalisme dan meningkatkan rasa tanggung jawab bahwa bangsa ini adalah tempat
berpijak dan hidup yang harus sama sama dijaga dari segala macam gangguan.37
Firman Allah dalam surah at Tin: 3, dan ala Balad: 1. Dan doa Nabi Ibrahim terhadap
kota Makkah sebagai bentuk kecintaan pada negrinya yang diabadikan oleh Allah
dalam surah al Baqarah: 126.
Kemudian, menjunjung dan menjaga persaudaraan juga memiliki urgensi dalam
kehidupan, di antara langkah untuk menjaga persaudaraan adalah:
1. Upaya Mewujudkan Ukhuwah

35
Jamail Sahrodi dalam pengantarnya Islam Majemuk karya Masduki Duriyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019),
xii.
36
Said Aqil Sirajd, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), 75.
37
Said Aqil Sirajd, Tasawuf., 184-185.
a. Secara terus menerus melakukan kegiatan dakwa Islamiyah terhadap umat Islam,
tentang pentingnya menjalin ukhuwah terhadap sesama. Dan menjelaskan sikap
saling menghargai dan menghormati bagi pemeluk agama lain agar bisa tetap hidup
secara harmonis.
b. Berusaha meningkatkan ‘frekuensi’ silaturrahim, saling mengunjungi, saling
bertegur sapa baik dalam forum formal ataupun informal. Dan juga saling berdialog
antar umat beragama untuk menyamakan persepsi terhadap setiap permasalahan.
Adanya FKUB (forum komunikasi antar umat bergama) tingkat Kabupaten atau
Wilayah (Provinsi) ini sangat membantu kita dalam menguatkan hubungan antar
umat beragama. Dan sebagai forum untuk mencegah adanya konflik atas nama
agama.
c. Meningkatkan peran lembaga lintas organisasi dan lembaga pemerintahan untuk
terus menerus melakukan berbagai macam kegiatan yang berorientasi pada upaya
merajut simpul ukhuwah agar tercapainya tatanan masyarakat yang penuh
kerukunan dan kedamaian sebagaimana yang kita cita-citakan bersama.
d. Menghimbau kepada semua umat manusia terutama umat Islam untuk berupaya
keras meningkatkan kualitas iman dan takwa. Jika iman dan takwanya berkualitas
dan sempurna, maka mereka mempunyai kecenderungan untuk melakukan
kebaikan dan kebenaran termasuk dalam hal mengaktualisasikan ukhuwah dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Upaya menghilangkan Penyakit Ukhuwah
a. Pemahaman Islam yang tidak komperhensif dan kaffah. Berbagai pertentangan dan
permusuhan di antara sesama yang sering terjadi adalah karena pemahaman umat
Islam sendiri yang masih dangkal. Kadangkala Islam hanya dipahami secara
tekstual, meniadakan subtansial dan tidak dipahami secara rinci.
b. Fanatisme yang berlebihan. Sikap fanatisme yang berlebihan dengan mengagung-
agungkan kelompoknya, menganggap kelompoknya paling benar, paling baik dan
meremehkan kelompok lain. Hal tersebut karena mereka ‘taqlid’ buta. Tidak
mendalami masalah fiqih yang sifatnya furuiyyah. Furuiyyah dalam fiqih pasti
terjadi banyak pendapat dengan argumentasi dan dalil yang disuguhkan masing-
masing madzhab atau fuqaha’. Jika ini dipahami secara baik, maka tidak akan
terjadi salah menyalahkan dalam perbedaan pandangan.
c. Terkikisnya sikap Toleransi (tasamuh). Kurangnya sikap toleransi atau sikap
menghargai/menghormati terhadap perbedaan pendapat yang terjadi, sehingga
menutup pintu dialog secara terbuka dan kreatif, juga menjadi penghalang untuk
merajut kembali ukhuwah.
d. Cenderung bertikai. Ini merupakan ‘penyakit’ yang berbahaya, jika dalam hati
manusia sudah dirasuki sifat hasud, iri, dengki, dendam dan amarah yang tidak
terkontrol maka otamatis menjadi ‘bawaan’ untuk bertikai, bermusuhan,
mengfitnah, menyebar kabar bohong (hoax) dan mencaci maki. Itu, akibat sudah
‘gelap’ hatinya dan jauh dari hidayah Allah Swt, jika dibiarkan tidak diperbaiki
maka ia akan semakin jauh dan sesat dari jalan kebenaran.
e. Kurangnya tokoh pemersatu. Penyakit yang terakhir ini merupakan faktor
‘pembantu’ bagi kehidupan yang bermasyatakat dalam suatu bangsa yang
heterogen. Kurangnya tokoh khususnya tokoh agama di bangsa ini menjadikan
hubungan antara sesama yang berbeda menjadi jauh bahkan sirna oleh adanya
perbedaan, baik yang menyangkut agama, partai politik, suku, bahasa, budaya, dan
status sosial. Cenderung tokoh ‘agama’ menjadikan kelompoknya yang paling
benar, tidak mau disalahkan ketika salah, membuat anggota kelompoknya ‘benci’
dengan kelompok lain yang berbeda haluan. Seharusnya sang tokoh menjadi
panutan, teladan dan contoh yang nyata baik bagi anggotanya maupun bagi
masyarakat umum. Ketika sang tokoh sudah bisa menjadi panutan dan penengah,
maka ia akan mudah untuk mencegah kemungkaran, menegakkan keadilan dan
menjunjung persatuan.38
Dari pemaparan di atas tidak lengkap jika tidak dibarengi dengan sikap pluralitas
(pluralisme), sebagai usaha mendidik diri untuk sadar dan paham bahwa Allah Swt tidak
hanya menciptakan satu macam makhluk, satu macam agama, satu macam suku, ras, dan
satu macam negara. Pluralitas agama adalah keberagamaan agama.39 Agama di dunia ini

38
Ibid., 87-89.
39
Ada paham yang disebut Pluralisme. Paham ini bukanlah paham yang menganggap semua agama itu benar.
Pluralisme adalah paham bahwa perbedaan adalah fitrah yang diciptakan oleh Allah sendiri dnan kita sebagai
manusia (makhluknya) siap menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan itu dan bekerja sama dalam perbedaan
tersebut untuk maju bersama. Sesuai dengan firman Allah “.....Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-
memiliki banyak macam atau ragamnya di antaranya; Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan
lain sebagainya. Adanya ragam atau macam agama tersebut merupakan sunnatullah.40
Sebagaimana yang dinyatakan dalam al Qur’an:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
maha Mengetahui lagi maha Mengenal.” (QS. Al Hujarat: 13)
Dalam hal ini, penulis hanya menekankan pada realita yang ada bahwa di dunia
ini tidak hanya agama Islam saja, namun ada agama-agama yang lain. Sehingga kita
sebagai umat Islam yang membawa ajaran perdamaian, sewajarnya untuk menghargai,
menghormati dan toleran terhadap agama selain Islam. Kita tidak boleh mencaki maki
agama atau sesambahan mereka yang bukan Islam, kita juga tidak boleh memusuhi
mereka selama mereka baik dan tidak memusuhi kita dan kita harus lebih
menggutamakan hubungan sosial kita untuk hidup berdampingan secara harmonis, tenang
dan damai. Sehingga aktivitas kita akan berjalan harmoni tanpa adanya gangguan, teror
dan kekerasan/konflik. Analisa penulis di atas sesuai dengan firman Allah Swt:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan
orang-orang Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kiamat (hari kemudian), serta beramal saleh. Maka mereka akan
mendapat/menerima pahala dari Tuhan mereka dan tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah: 62)

“ Dan janganlah kamu memaki (mencela) sesembahan-sesembahan mereka yang mereka


sembah selain Allah Swt, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka, kemudian kepada Tuhan merekalah mereka kembali, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dulu mereka kerjakan.” (QS. Al An’am: 108)

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)

“......Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” (QS. Al Kafirun: 6)

Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak mengujimu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah dalam kebajikan...” (QS. Al Maidah: 48).
40
Ibid., 89.
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lain bahasamu serta warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui.” (QS Ar Rum: 22)

Inilah yang harus dikembangkan di zaman modern ini untuk meminimalisir sikap
ekstrim masyarakat, sikap intoleran dan sikap permusuhan karena perbedaan. Perbedaan
selamanya tidak akan bisa dihilangkan, tidak bisa semua disamakan menjadi satu
kesatuan. Karena itu semua sudah sunnatullah, takdir dan kehendak Allah Swt. tugas kita
sebagai hamba yang baik adalah menerima, menjalankan dan merawat keanekaragamaan
tersebut dengan sebaik mungkin.
Adanya pandemi covid-19 sebagai ajang untuk memupuk persaudaraan,
menguatkan silaturrahim dan mengikat rasa kemanusiaan yang dalam untuk bersama-
sama menghadapi wabah ini. Kebersamaan inilah yang akan meringankan beban kita
dalam menghadapi wabah tersebut, karena dengan persaudaraan menjadikan kita kuat
dan tangguh meskipun di tengah kehimpitan. Yang kaya membantu yang miskin, yang
kecukupan membantu yang kekurangan, yang kuat membantu yang lemah, yang sehat
membantu yang sakit. Simbiosis mutualisme ini akan melahirkan keindahan,
keharmonisan dan kerukunan antar individu, sehingga akan menghilangkan rasa sedih,
khawatir; gelisah di antara mereka.
Inilah wajah Islam sebenarnya, dengan menjalian ukhuwah umat akan kuat dan
tangguh dalam menghadapi problem apapun, akan terasa ringan tidak merasa sendirian.
Untuk itu, saat ini yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah persatuan, kesatuan dan
persaudaraan yang kuat dalam menghadapi wabah ini. Mudah-mudahan Allah segara
mengangkat virus kecil ini, dan bumi kembali aman, tenang dan indah.
Berikut penulis gambarkan skema tentang Islam agama meneduhkan di tengah
wabah; covid-19:

Mengajarkan
Menjunjung Cinta Sikap Seimbang
Kasih kepada
Mengajarkan
Makhluk
Keikhlasan

Menjunjung
Persaudaraan
Islam Agama Meneduhkan di Tengah Wabah;
Covid-19

Gambar 2: Skema tentang Islam agama meneduhkan di tengah wabah;c

BAB III
ISLAM AGAMA YANG MENJUNJUNG KESALEHAN SPIRITUAL DAN SOSIAL DI
TENGAH WABAH
A. Menjunjung Tinggi Sikap Sosial
Covid-19 sudah menjadi sebuah pendemi global yang meresahkan kehidupan masyrakat
di seluruh negara. Adanya covid-19 ini juga berimbas pada masalah ibadah umat Islam yang
dulunya bebas masuk keluar masjid, sekarang umat Islam harus beribadah di rumah bagi
daerah yang memang sudah teridentifikasi zona merah, ibadah haji dan umrah juga
ditangguhkan gara gara virus ini. Hal tersebut merujuk kepada kemaslahatan orang banyak
demi mencegah mara bahaya. Mementingkan masalah sosial dibanding masalah spiritual. Ini
diperbolehkan dan legal secara ajaran Islam.
Islam tidak hanya mengajarkan umatnya hanya fokus pada masalah-masalah spiritual
semata, tapi juga masalah-masalah sosial. Ibadah dalam Islam juga ada sisi spiritual dan
sosialnya. Janganlah kita menjadi umat yang egois, hanya karena ibadah dibatasi dan dilarang
ke masjid, kita menuduh pemerintah atau ulama’ sebagai pihak yang menghalangi seorang
bertemu dengan Tuhannya. Asumsi seperti ini seolah-olah benar, tapi apabila dikaji ini asumsi
yang mementingkan kepentingannya sendiri, di situasi yang penuh dengan bahaya,
kekhawatiran dan menyangkut keselamatan-kemaslahatan orang banyak. Inilah yang kurang
dipahami oleh sebagian besar masyarakat.
Agama Islam selain mengajarkan masalah ibadah; spiritualitas, juga mengajarkan kita
untuk memahami masalah mu’amalah yakni lingkup sosial (ijtima’iyyah) yang menyangkut
hubungan kemasyarakatan, tanggung jawab kepada orang lain, lingkungan dan keluarga serta
pekerjaan yang disandangnya. Hal tersebut bagian dari penjabaran makna ‘khalifatullah’.
Bukan hanya fokus pada ‘ubudiyyah ilaAllah (beribadah kepada Allah), maupun meditasi
meditasi spiritual lainnya yang bercorak individualis. Hubungan masyarakat juga sebagai
representasi dari tugas manusia sebagai makhluk sosial (habl minAllah) yang dimiliki setiap
insan manusia sebagai wujud ketaatan kepada perintah Allah Swt.41
Dalam hal ini, menegaskan bahwa Islam tidak menghilangkan esensi tugas manusia
sebagai makhluk sosial, tidak melarang manusia berhubungan dengan masyarakat, juga tidak
menahan manusia untuk berbaur dengan mereka serta tidak menganjurkan untuk
meninggalkan kehidupan duniawi secara total. Ini bertujuan untuk menghilangkan ‘lebel’
tersebut dalam ajaran Islam bahwa di Islam juga mengajarkan berbuat baik kepada sesama
manusia sebagai ciptaan Allah, kepada alam sebagai hasil kreasi Allah dan juga kepada semua
makhluk ciptaan Allah. Mencintai Allah, berarti sama dengan mencintai ciptaan-Nya.
Artinya, hasil pendekatan diri dengan Allah secara benar diharapkan membawa dampak
positif bagi pribadi seseorang, sehingga ia bisa menaburkan nilai-nilai kasih sayang,
perdamaian, bahu membahu, saling menghargai, menghormati, membantu, mencintai bahkan
saling mendoakan (men-suport). Karena, sejatinya orang yang berhasil dekat dengan Allah
Swt, maka ia akan mewarisi sifat-sifat Allah Swt yang tertuang dalam asma’ al husna.
Di luar hubungan manusia dengan Allah, ia juga berhungan dengan makhluk Allah Swt.
Hubungan tersebut dalam bahasa agamanya disebut mu’amalah sesuai dengan sub bab yang
penulis jelaskan di atas. Hubungan dengan makhluk Allah Swt ini bukan saja hubungan antar
manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan binatang, tumbuh-tumbuhan, lingkungan serta
alam semesta yang kesemuanya itu merupakan hasil ciptaan Allah Swt, yang wajib kita jaga,
rawat, kasih sayangi dan tidak merusak maupun membuat hal yang negatif terhadapnya. 42 Hal
41
Sesuai dengan firman-Nya: “. Karena dalam syari’at Islam diatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia
dengan manusia, manusia dengan alam (lingkungan). Hubungan manusia dengan manusia baik dalam konteks
keluarga atau menegakkan ketentraman dan keadilan untuk menjaga lima tujuan prinsip syari’at Islam yaitu agama,
akal, jiwa, keturunan dan harta benda. Baca Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta:
LKis, 1994), 4-5. Lihat juga Ali Jum’ah Muhammad, al Madkhal (Kairo: al Ma’had al Alami lil Fikri al Islami,
1996), 126-127.
42
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hukum Islam (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), 56. Dalam
hukum Islam dikenal dengan mu’amalah atau fiqih mu’amalah yang berkaitan dengan interaksi antar manusia dalam
melakukan proses kegiatan sosial baik itu jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa maupun yang lainnya. Etika
tersebut perlu yang namanya etika sosial. Etika sosial berusaha dibangun dalam ajaran Islam,
karena ia menyangkut perilaku seseorang kepada orang lain yang membawa manfaat kepada
mereka dan mencegah kerusakan. Artinya, etika sosial membentengi diri salik dari perilaku
yang merugikan atau membahayakan orang lain, sehingga dalam kajian tasawuf ada sifat
terpuji (mahmudah) da ada juga sifat tercela (madzmumah). Dua sifat ini mempunyai dampak
(implikasi) terhadap etika sosial seseorang.43
Pondasi etika sosial adalah etika perorangan. Dalam Islam, manusia adalah pusat sasaran
ajarannya, baik yang berhubungan dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan
alam. Hubungan manusia dengan manusia adalah hubungan yang paling kompleks. Karena
Islam sendiri mengajarkan konsep kedudukan, hak, kewajiban dan tanggung jawab. Perbuatan
manusia tidak hanya dipertanggung jawabkan di saja, tapi juga dipertanggung jawabkan di
akhirat.44 Dalam lingkup sosial, juga diajarkan musyawarah sebagai solusi atas masalah-
masalah sosial masyarakat dan juga perintah untuk mendengarkan masukan, nasehat bahkan
kritikan orang lain dengan cara bijak dan baik.45
Etika sosial yang positif tidak lepas dari keberhasilan dalam proses sosialisasi dan
internalisasi nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam Islam, seperti kejujuran, tanggung jawab,
saling bekerja sama, tolong menolong dalam kebaikan dan membantu orang khususnya
mereka yang lemah dan tertindas serta menghindari hal-hal yang negatif yang dapat
menyebabkan disharmonisasi sosial, seperti memutus silaturrahmi, menggunjing, membuka
aib orang lain, mengfitnah dan lain sebagainya yang dapat menimbulkan dosa, juga dapat
mengotori jiwa.46 Ini yang harus dijauhi oleh kaum Muslim dan harus mentransformasikan
nilai-nilai ajaran Islam ke dalam dirinya untuk diterapkan dalam duniawilayah sosial
kemasyarakatan, sebagai wujud tanggung jawab dia sebagai makhluk sosial.
Kemudian, sikap menjunjung nilai-nilai sosial ini dimaksud untuk memberikan
pengarahan dan pencerahan bagi masyarakat bahwa hubungan kemasyarakatan, tanggung

dan tata cara bersikap sosial ini yang masuk ranah pendidikan tasawuf. Ini menjadi penegasan bahwa baik fiqih
maupun tasawuf tidak hanya fokus pada aspek yang menjadi tujuan utamanya, jika fiqih fokus pada hukum dan
produk hukum. Sedangkan tasawuf fokus pada ranah teologis_mistis. Di balik itu semua, fiqih dan tasawuf juga
membahas aspek sosial masyarakat, tentu pada konsentrasi masing-masing. Dengan harapan mewujudkan kehidupan
sosial yang harmonis, adil, religius dan saling tolong menolong.
43
A. Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial., 112-113.
44
Ibid., 93-84.
45
Ibid., 101-104.
46
Jamal Ma’mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. Sahal Mahfudz (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2015), 80.
jawab terhadap orang lain, dan merespon secara aktif berbagai problem masyarakat serta
menjawab berbagai kebutuhan mereka adalah bagian tugas dan perintah ajaran Islam yang
harus diimplementasikan secara baik.
Sikap sosial ini bertujuan untuk mendidik jiwa manusia menjadi “manusia sosial” yang
aktif, solutif, dinamis dan mampu memberikan warna yang indah di tengah kehidupan
masyarakat. Bukan menjadi seorang sufi yang acuh akan kehidupan, asing akan hidup
bermasyarakat dan menjauhkan diri dari problematika yang di alami oleh masyarakat yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Dengan demikian, menjunjung sikap sosial kemasyarakatan dalam ajaran Islam sangat
perlu untuk dipelajari dan direalisasikan masyarakat agar nantinya ia menjadi manusia yang
saleh secara spiritual juga saleh secara sosial. Ketika ia berhasil menjadi pribadi yang saleh
secara spiritual, ia tetap menjadi anggota sosial masyarakat, ia juga tetap menjadi khalifah fi
al ardh yang tugasnya menjaga, merawat dan melestarikan alam semesta. Untuk itu,
seseorang harus mensinergikan tugas Ilahiyah (ketuhanan) dan juga tugas insaniyah
(kemanusiaan; kemasyarakatan). Tidak menjadi pribadi yang tertutup, tapi terbuka, tidak
menjadi pribadi yang pendiam akan segala keadaan, tapi kritis akan dinamika sosial politik
masyarakat, tidak menjauhkan diri dari masyarakat, tapi hadir di tengah-tengah masyarakat
untuk membantunya mengatasi problem yang sedang di alaminya. Khususnya ujian yang
melanda kita saat ini. Kepekaan sosial harus ditumbuhkan di tengah semangat keagamaan
kita. Jangan menjadi seorang yang ‘alim, ahli ibadah tapi acuh pada masalah sosial, egois
terhadap kondisi negara; masyarakat. Ini golongan orang-orang yang tertipu dengan
ibadahnya sendiri.
B. Menjunjung Tinggi Akhlak Mulia
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber Islam mengajarkan kepada kita untuk selalu
berakhlak al-karimah (akhlak yang baik) kepada siapa pun, di antaranya sifat jujur dan selalu
mengajarkan agar kita menjadi manusia yang bermartabat. Maka untuk menjadi generasi yang
jujur dan bermartabat harus berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak ada
ajaran dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang mengajarkan kita untuk berbohong atau
berdusta apalagi menjadi manusia yang tidak bermartabat atau bermartabat rendah. Allah Swt
sudah memberikan kita suri tauladan yang baik yakni Nabi Muhammad saw yang patut kita
teladani dengan baik. Hal itu sesuai dengan firman Allah:
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia
banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab : 21)

Dalam Hadis pun di jelaskan:

ِ َ‫يز بْنُ ُم َح َّم ٍد ع َْن ُم َح َّم ِد ْب ِن َعجْ اَل نَ ع َْن ْالقَ ْعق‬
‫اع ْب ِن َح ِك ٍيم ع َْن‬ ِ ‫ُور قَا َل َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِز‬
ٍ ‫َح َّدثَنَا َس ِعي ُد بْنُ َم ْنص‬
‫ق‬ َ ‫ت أِل ُتَ ِّم َم‬
ِ ‫صالِ َح اأْل َ ْخاَل‬ ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِنَّ َما ب ُِع ْث‬
َ ِ ‫ح ع َْن أَبِي هُ َري َْرةَ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
ٍ ِ‫صال‬َ ‫أَبِي‬
“ Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Manshur berkata; telah menceritakan
kepada kami Abdul 'Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin 'Ajlan dari Al Qa'qa' bin
Hakim dari Abu Saleh dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik." (HR. Imam
Ahmad, No. 8595)

: Dalam hadis lain di sebutkan juga

Nabi saw adalah merupakan manusia dengan bentuk tubuh dan rohani (akhlak) yang “
terbaik”. (HR. Muslim dan Abu Dawud). Aisyah , juga menerangkan sebagai berikut : ”
”Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an
Dari paparan di atas, Al-Qur’an dan As-Sunnah sama-sama membahas tentang
akhlak; moral yang di contohkan pada diri Rasulullah saw. Dan mengajak kepada kita untuk
berakhlak Islami yang salah satunya meliputi sifat jujur dan bermartabat. Sifat jujur dan
bermartabat merupakan Akhlak Islami, karena merupakan sistem akhlak yang berdasarkan
kepercayaan kepada Tuhan, maka tentunya sesuai pula dengan dasar dari dasar agama itu
sendiri. Dengan demikian, dasar / sumber pokok dari pada akhlak Islami adalah Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang merupakan sumber utama dari agama Islam itu sendiri. Hal itu,
dinyatakan dalam sebuah hadis Nabi saw: “ Dari Anas bin Malik ra berkata: Bersabda
Rasulullah saw: ’ Telah kutinggalkan atas kamu sekalian dua perkara, yang apabila kamu
berpegang kepada keduanya, maka tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya”.
Memang segala perbuatan; tindakan manusia apapun bentuknya pada hakikatnya
adalah bermaksud untuk mencapai kebahagian, dan hal ini adalah sebagai “ natijah” dari
problem akhlak. Sedangkan kebahagian menurut sistem moral / akhlak yang Islami, dapat di
capai dengan jalan menuruti perintah Allah Swt yakni dengan menjauhi segala apa yang di
larang dan mengerjakan segala apa yang di perintahkan-Nya, sebagaimana yang tertera
dalam pedoman dasar hidup bagi setiap muslim yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.47
Dari penjelasan di atas, menegaskan kepada kita bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah
sebagai pedoman yang harus kita pegang teguh dan kita amalkan ajaran-ajaran yang
terkandung di dalamnya. Sehingga kita nanti akan menjadi generasi yang Qur’ani, berakhlak
Al-Qur’an, sesuai dengan akhlaknya Nabi Muhammad saw. Akhlak Islami, yang meliputi
segala sikap-prilaku yang baik di artikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam
48
atau akhlak yang bersifat Islami. Menurut Qura’isy Syihab, akhlak Islami lebih luas
maknanya serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriyah. Misalnya
yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. 49 Ruang Lingkup akhlak Islami meliputi
akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap sesama dan akhlak terhadap lingkungan. 50 Jadi, kita
di tuntut berbuat baik kepada Allah, diri sendiri, sesama dan alam sekitar. Betapa Indahnya
jika kita mampu secara sempurna mempunyai akhlak Islami seperti Nabi saw kita yang
akhlaknya adalah Al-Qur’an.
Al-Ghazali mengatakan, manusia dalam hidupnya adalah sebagai individu yang
mencari kebahagiaan dan kebahagiaan yang paling penting adalah kebahagiaan yang abadi
yakni akhirat. Yang dapat di capai melalui akhlak yang mulia yang berupa ketaatan pada
perintah dan larangan Allah Swt dan Rasul-Nya.51 Dalam kitab Ihya Ulum al-Din, Al-
Ghazali mengatakan akhlak memiliki kriteria dan baginya kriteria akhlak itu adalah dimana
akhlak harus menetap di dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa di
dahului oleh pemikiran. Untuk terciptanya akhlak yang baik menurut al-Ghazali memiliki
beberapa kekuatan, seperti ilmu, kekuatan menahan amarah dan hawa nafsu dan kekuatan
keseimbangan.52 Mereka adalah para generasi penerus yang berilmu / berpendidikan, orang
yang berilmu kata Nabi saw memiliki tiga tanda :53 (1) benar dan jujur dalam bertutur kata,
(2) menjauhi hal-hal yang haram dan di larang oleh agama, (3) bersifat tawadhu’ (rendah
hati).

47
Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Cet. V, 149-150.
48
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 147.
49
M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), cet.III, 261.
50
Nata, Akhlak., 149
51
Fuad Mahbub Siraj, Al-Ghazali Pembela Sejati Kemurnian Islam (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2012), 57.
52
Al-Ghazali, Ihya Umum al-Din, Jilid II (Mesir: Dar al-Taqwa, 2000), 599-600.
53
Abdul Wahab Asy-Sya’roni, Wasiat al-Musthofa (Surabaya: Al-Hidayah, 2004), 103.
Dan juga mereka akan menjadi manusia yang bermartabat, mempunyai harga diri
atau kehormatan, yang tidak mengedepankan nafsu amarah dalam bertindak tapi dengan hati
dan fikiran yang jernih, harga diri mereka tidak mudah di jual hanya karena uang / dunia.
Karena mereka sadar kalau itu salah dan di larang oleh agama, mereka punya Allah Swt
yang menjadi sandaran hati mereka. Mereka akan menjadi manusia yang selalu menjaga
dirinya dari unsur-unsur yang di larang oleh Allah Swt dan Rasul-Nya dan menjadi manusia
yang tetap istiqamah (lurus pada jalan Allah tidak berbelok-belok). Tidak mudah
terpengaruh oleh hal-hal yang negatif yang bertentangan dengan syariat Islam. Tentang
menjunjung tinggi martabat / kehormatan umat Islam ini ada hubungannya dengan Firman
Allah Swt : “ Dan Barangsiapa yang menjunjung tinggi apa-apa yang di haramkan Allah,
maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya”. (QS. Al-Hajj: 30). Dan Barangsiapa
mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari Ketakwaan hati.
(QS. Al-Hajj : 32)
Dan juga Hadis Nabi saw yang di muat di Kitab Riyadhus Sholihin :54 “ Abu
Hurairah r.a. berkata: bersabda Rasulullah saw: seorang muslim, tidak boleh di khianati
(ditipu), tidak boleh di dustai, tidak boleh di biarkan di hina orang. Semua hak seseorang
muslim kepada sesama muslim haram kehormatannya, harta kekayaannya dan darahnya.
Takwa adalah di sini (sambil beliau menunjuj dada), cukup bagi seorang, termasuk ke
dalam bidang kejahatan kalau ia di menghina saudaranya sesama muslim”. (HR. At-
Tirmidzi)
Dengan demikian, sudah saatnya kita sebagai generasi penerus berbenah diri,
kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta sadar kalau dirinya adalah orang yang
berpendidikan dan bermoral yang tidak pantas berikap anarkis dengan mengedepankan
hawa nafsu dan amarahnya dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah.
Dengan hati dan fikiran yang jernih sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnahlah
yang di pakai untuk menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah. Dengan begitu akan
terwujud kedamaian bersama, dan para generasi penerus akan di pandang baik (mulia) di
mata masyarakat. Sehingga, akan terwujud masyarakat yang berbudi luhur, berjiwa sosial
dan tekun beribadah.

54
An-Nawawi, Riyadhus., 222.
Akhlak mulia ini sebagai ciri orang yang beriman kepada Allah. Di tengah pandemi
ini umat Islam sudah seharusnya menerapkan serta menampilkan sikap-sikapnya yang mulia
kepada sesama. Jangan gara-gara covid-19 ini hubungan antar sesama putus, jangan gara-
gara ada teman kita yang terkena corona, kita jauhi dan kita maki-kucilkan. Mengucilkan,
mencaci bukan masuk akhlak mulia, bagi teman, tetangga kita yang terkena wabah ini
sebagai orang yang terkena musibah yang sepantasnya kita memberikan dukunga moril
untuk kesembuhannya, menolong ekonomi keluarganya. Dan juga bagi yang sakit juga harus
“tau diri”, jangan berkumpul dengan yang sehat, harus menyendiri agar teman yang lain
tidak terkena.
Ini artinya, bahwa antara satu dengan lain harus saling mengerti posisi satu sama
lain, yang sehat mengasihi yang sakit, dan yang sakit menjauhi yang sehat. Hemat penulis
itu sebagai paradigma yang baik dan mulia, semua tau diri dengan posisi masing-masing.
Kesadaran diri memang penting di tengah wabah seperti ini, tanpa sadar ini maka dapat
dipastikan wabah ini akan terus menerus menyebar, meskipun diterapkan dengan berbagai
kebiajakan apapun, mulai social distancing, PSBB, sampai lockdown. Dalam menghadapi
wabah ini memang harus dan wajib masyarakat dan pemerintah bekerja sama, dan saling
menyadari serta peka terhadap masalah global tersebut. Jika masyarakat sadar dan peka,
maka dapat dipastikan mereka akan menjalankan dengan sebaik mungkin kebijakan
pemerintah dan arahan-arahan agama.
C. Menjunjung Tinggi Ibadah
Ujian yang telah menimpa masyarakat global saat ini menimbulkan kecemasan yang
begitu mendalam yang berimbas pada aspek kejiwaan sehingga menimbulkan
ketidaknyamanan, ketidaktenangan jiwa yang ujung-ujungnya menjadi manusia yang lemah
dan pasrah. Kecemasana yang mendalam tersebut, jika tidak diimbangi dengan spirit ibadah
yang kuat akan menggiring manusia pada jurang kekufuran, kehancuran dan keputus asaan.
Kecemasan ditimbulkan oleh keadaan ruhani yang tidak sehat, jika aspek ruhaninya sehat dan
“menyala” terang, maka jiwanya akan susah untuk cemas, susah untuk sedih dan susah untuk
khawatir. Karena, semuanya ia gantungkan kepada Allah zat yang maha segala-galanya.
Oleh karenanya, Islam menyuruh kita untuk senantiasa meningkatkan ibadah kepada-Nya
setiap saat, khususnya di tengah kesulitan, kehimpitan akibat wabah covid-19. Kita jangan
hanya sibuk dengan pengobatan fisik, pencegahan secara lahir saja, tapi juga harus sibuk
memupuk keadaan batin kita agar benar-benar jiwa kita ini dekat dengan-Nya, khusyu’ dalam
beribadah dan tenang di saat menyebut asma-Nya. Pengobatan batin juga tidak kalah
pentingnya dengan pengobatan fisik, batin juga memerlukan vitamin yang berupa pelaksanaan
ibadah secara kontinu dan sungguh-sungguh. Inilah kunci untuk membangun spirilitualitas di
tengah masa corona.
Aspek ibadah yang merupakan representasi dari syari’ah adalah aspek yang diajarkan
dalam ajaran Islam. Karena, pada hakikatnya setelah manusia itu menyatakan percaya kepada
Allah, yakin akan adanya Allah dan hatinya ‘mantap’ bahwa Allah adalah satu satunya Tuhan
yang wajib untuk dipercayai, disembah, ditaati dan dicintai. Menyembah Allah sebagai wujud
ibadah kepada-Nya, sebagai bentuk taat kepada-Nya dan wujud cinta pada-Nya. Bukan hanya
sekedar percaya aka adanya Dia. Menyembah Allah inilah yang masuk wilayah Ibadah
(Islam) dengan mentaati dan menjalani apa yang diperintah oleh-Nya dan meninggalkan apa
yang dilarang-Nya (mengamalkan syari’at Allah).
Dalam ajaran Islam, manusia selain diharuskan mentauhidkan Allah Swt, juga
diharuskan menyembah-Nya sebagai bukti atas imannya kepada Allah. Artinya, dalam Islam
tidak ada perintah memisahkan antara tauhid dengan syari’ah. Namun, menyatukan menjadi
satu kesatuan yang serasi dalam proses mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah).
Aspek tauhid sebagai landasan (dasar) dalam menjalankan proses ibadah kepada-Nya.
Sedangkan Islam (syari’ah;ibadah) sebagai wujud (implementasi) dari tauhid (iman-aqidah)
kepada adanya Allah Swt sebagai Tuhan yang sah dan yang wajib disembah.
Ibadah secara etimologi berasal dari kata ‘abada-ya’budu-‘abdan-‘ibadatan yang
berarti taat, tunduk, patuh, merendahkan diri yang penuh kehinaan. Seseorang yang tunduk,
patuh dan merendahkan diri karena sadar dirinya hina di hadapan yang disembah disebut
‘abid sedangkan yang disembah disebut ma’bud.55 Kemudian Yusuf al Qardhawi menjelaskan
makna ibadah secara istilah ialah puncak ketundukan yang tertinggi yang timbul dari
kesadaran hati sanubari dalam rangka mengagungkan yang disembah (Allah Swt).56
Ibadah dipahami sebagai aplikasi terhadap rasa keimanan yang menancap dalam hati
seorang muslim; mukmin. Melalui ibadah inilah seorang mukmin bisa melakukan proses
pendekatan diri kepada Allah Swt, karena ibadah merupakan jalan bagi seorang hamba
menjalin hubungan spiritual terhadap Zat yang Maha Agung. Tidak mungkin bisa merasakan
55
Yusuf Al Qardhawi, al ‘Ibadah fi al Islam (Beirut: Muassasah al Risalah, 1979), 27.
56
Al Qardhawi, al ‘Ibadah., 29.
kedekatan dengan Allah, manakala ia meniadakan ketaatan, ketundukan dan kepatuhannya
kepada-Nya yang itu tertuang di dalam ibadah kepada-Nya. Bukankah manusia diciptakan di
bumi ini selain menjadi khalifah, juga sebagai ‘abdun yang tugasnya adalah menyembah-Nya
dengan penuh ketawadhu’an dan keikhlasan.
Hal ini menegaskan bahwa ibadah adalah aspek yang penting dalam ajaran Islam, agar
ketika menjadi seseorang yang sukses, tidak melupakan tugasnya sebagai ‘abdun yang
berfungsi sebagai hamba yang harus senantiasa tunduk dan patuh kepada-Nya khususnya
dalam menyembah kepada-Nya. Jangan sampai, ketika ia sudah menjadi seorang yang sukses,
ia mulai mengugurkan kewajibannya sebagai ‘abdun dan meninggalkan ibadah kepada-Nya.
Ini pandangan yang kliru baik dari kacamata fiqih. Ini artinya, sampai kapan pun, ia tetap
menyandang gelar ‘abdun yang tugasnya adalah menyembah Allah, mematuhi dan mentaati
segala perintah dan larangan-Nya, tidak ada pengecualian dalam hal ini kepada siapapun,
golongan mana pun dan tingkatan apa pun.
Kemudian penjelasan tentang ibadah sebagaimana yang dijabarkan oleh Hasbi ash
Shiddiqi dengan mengutip pendapat beberapa ahli di antaranya:57
Pertama, menurut ahli tauhid dan hadist bahwa ibadah ialah mengesakan dan
mengagungkan Allah sepenuhnya serta menghinakan diri dan menundukkan jiwa kepada-
Nya. Kedua, menurut ahli akhlak bahwa ibadah mengerjakan segala bentuk ketaatan
badaniyah dan menyelenggarakan segala perintah syari’at (hukum). Ketiga, menurut ahli
tasawuf bahwa ibadah mempunyai tiga aspek yakni ibadah kepada Allah Swt karena sangat
mengharapkan pahala-Nya atau karena takut neraka-siksa-Nya. Ibadah kepada-Nya karena
memandang bahwa ibadah itu perbuatan (amal) yang mulia, dilakukan oleh orang yang mulia
jiwanya. Dan terakhir, ibadah kepada-Nya karena memandang bahwa Allah Swt berhak
disembah, dengan tidak memperhatikan apa yang akan diterima (upah; pahala-surga) atau
diperoleh dari pada-Nya. Artinya benar-benar ikhlas mengharap ridha-Nya. Keempat,
menurut ahli fiqih bahwa ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang engkau kerjakan untuk
menggapai keridhaan Allah Swt dan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.
Dari semua pengertian yang dipaparkan oleh ahli di atas, Hasbi ash Shiddiqy berusaha
menyimpulkan pengertian ibadah secara umum sebagaimana rumusan berikut: “Ibadah itu
nama yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah Swt, baik berupa

57
Hasbi ash Shiddiqi, Kuliah Ibadah (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 2-6.
perkataan maupun perbuatan, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi dalam
rangka mengagungkan Allah Swt dan mengharap pahala-Nya.”
Dalam hal ini menegaskan bahwa ibadah kepada Allah Swt merupakan ketundukan
jiwa seorang hamba kepada Tuhannya, kewajiban seorang makhluk terhadap Penciptanya
yang harus dijalankan dan ditaati dengan segala kerendahan hati, keikhlasan niat, kesungguh-
sungguhan jiwa, dan keistiqamahan yang kuat baik dalam bentuk perbuatan maupun
perkataan, baik itu wajib maupun sunnah, baik itu terang-terangan maupun sembunyi-
sembunyi, baik itu sendiri maupun berjama’ah, baik berkenaan dengan larangan-Nya yang
bersifat haram maupun syubhat;makruh, hal yang dibenci maupun hal yang dilarang dan juga
masalah hak dia sebagai hamba yang berkaitan dengan pahala, rahmat, ampunan, maupun
surga-Nya, yang tentu Allah akan memberikannya. Karena Dia Zat yang tidak akan
menyalahi janji-Nya. Namun ada yang lebih penting dari hak tersebut, yakni merebut dan
menggapai ridha Allah Swt, itu yang lebih utama. Sehingga, dalam tasawuf, ridha Allah
adalah segala-galanya di bandingkan pahala, ampunan dan surga-Nya dalam proses
penghambaan seorang hamba kepada sang Khaliq.
Hakikat ibadah dalam syari’at Islam mempunyai dua unsur, yaitu rasa ketundukan dan
kecintaan yang paling dalam kepada Allah Swt. Unsur tertinggi adalah ketundukan,
sedangkan kecintaan merupakan implementasi dari ibadah tersebut. Di samping itu, ibadah
juga memuat unsur kehinaan yakni perasaan paling rendah di hadapan Allah Swt. Pada
mulanya, ibadah adalah hubungan, karena adanya hubungan batin (hati) seorang ‘abid
(hamba) dengan Ma’bud (Allah) yakni zat yang dituju, dan dicintainya sehingga merasakan
tenggelam dan keasyikan bersama-Nya, akhirnya sampai kepada puncak kecintaan kepada
Allah Swt.58
Sejalan dengan itu, ash Shiddiy mengambarkan bahwa hakikat ibadah kepada Allah
Swt adalah ketundukan jiwa yang timbul dari hati yang merasakan cinta terhadap Tuhan yang
disembah dan merasakan kebesaran-Nya, berkeyakinan bahwa bagi alam ini ada penguasanya
yang tidak dapat diketahui akal hakikatnya. Selain itu, ibadah sebagai representasi dari proses
memperhambakan dan menundukkan jiwa kepada kekuasaan yang ghaib yang tidak dapat
diselami dengan ilmu dan tidak pula dapat diketahui hakikatnya.

58
Al Qardhawi, al Ibadah., 31.
Pandangan demikian, menegaskan bahwa ibadah sebagai bentuk penghambaan diri
seorang hamba kepada Tuhannya, yang namanya penghambaan adalah selalu menjunjung
tinggi perintah dan larangan yang digariskan oleh Allah Swt yang mana tidak ada perasaan
menolak maupun keberatan, tetapi justru menerima dan menjalankannya dengan penuh rasa
ketundukan, ketaatan dan kepatuhan yang amat dalam disertai rasa ikhlas demi mengharapkan
ridha dan cinta-Nya. Menghamba kepada-Nya baginya merupakan sebuah kesempatan yang
berharga untuk menjalin koneksi dengan zat yang dicintai, dirindu dan dituju. Ketika
seseorang sudah memupuk jiwanya dengan rasa cinta kepada-Nya maka Allah pun akan cinta
kepadanya. Oleh karenanya, bagi sufistik khususnya ibadah sebagai ‘lambang’ penghambaan
seorang hamba kepada Tuhannya, sebagai network untuk menghubungkan jiwanya kepada zat
Allah Swt, dan juga sebagai cahaya bagi hati seorang mukmin untuk terus mendapatkan
petunjuk-Nya agar selalu berada dekat dengan-Nya, dapat senantiasa berjalan secara
istiqamah di jalan Allah Swt sehingga ia menjadi hamba yang selalu dekat dengan Allah Swt.
Lebih lanjut, as-Shiddiqy mengatakan bahwa di samping dia beribadah dengan
ibadahi-ibadah sesuai arahan dan pengertian yang dibentangkan oleh para fuqaha’ perlu juga
kita beribadah pula dengan ibadah yang dimaksud oleh ahli tauhid, ahli hadits, ahli tafsir, ahli
akhlak dan juga ahli tasawuf yang esensinya memperbaiki perilaku (budi pekerti). Maka
apabila telah berkumpul padanya pengertian-pengertian tersebut, barulah terdapat padanya
hakikat ibadah (esensi dari proses penghambaan) dan ruhnya. Dengan demikian, kerangka
ibadahnya telah mempunyai ruh sebagai motor yang menggerakkannya. 59 Ini menunjukkan
bahwa esensi dari ibadah adalah membentuk akhlak;prilaku seorang hamba menjadi lebih
baik,60 lebih dekat dengan Allah Swt, mentaati segala perintah dan larangan-Nya dan juga
tidak akan melakukan perbuatan yang menyebabkan kekecewaan Allah Swt. Dengan
demikian, ibadah memiliki dampak yang sangat positif bagi kepribadian dan spiritualitas
seorang hamba apabila ibadah itu dilakukan dengan cara-cara yang baik (penuh etika,
kesungguhan dan keikhlasan) sesuai ketentuan yang disyariatkan.
Terlepas dari esensi ibadah tersebut, maka kini menginjak tentang ruang lingkup
ibadah dan sistematikanya. Hal tersebut perlu dijabarkan dalam materi ajaran tasawuf sebagai
bentuk pengarahan dan pengetahuan bagi para pengembara ruhani agar proses ibadah yang ia

59
Ash-Shiddiqy, Kuliah Ibadah., 8-9.
60
Sesuai dengan firman Allah swt: “Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar dan
sesungguhnya mengingat Allah swt lebih besar..” (QS. Al Angkabut: 45)
jalani sesuai dengan nash-nash syari’ah yakni al Qur’an dan al Hadits. Karena, syari’ah yang
diwujudkan dalam bentuk ibadah sebagai bukti keislaman dia kepada agama Allah Swt.
Menurut Ibnu Taimiyah, ibadah mencakup semua bentuk cinta dan kerelaan kepada
Allah Swt, baik dalam perkataan maupun perbuatan, lahir dan batin. Maka yang termasuk ke
dalam hal ini adalah shalat, zakat, puasa, haji, benar dalam pembicaraan, menjalankan
amanah, berbuat baik kepada orang lain, menyambung tali silaturahmi, memenuhi janji, amar
ma’ruf nahi mungkar, jihad terhadap orang kafir yang menyerang dan memusuhi Islam dan
juga kaum munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, kaum dhuafa’, fakir miskin,
ibnu sabil, berdo’a, berzikir, membaca al Qur’an, infaq-shadaqah, ikhlas, sabar, rela
menerima ketentuan Allah Swt, tawakkal, takut dan senantiasa berharap kepada-Nya, dan lain
sebagainya.61
Jika Ibnu Taimiyah menjabarkan secara rinci, maka lain halnya dengan Syaikh
Wahbah Zuhaili yang mengutarakan ruang lingkup ibadah terdiri atas dua aspek, yakni ibadah
umum dan ibadah khsusus. Ibadah umum mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, yaitu
mencakup segala amal kebajikan yang dilakukan dengan niat ikhlas dan sulit untuk
mengemukakan sistematikanya. Tetapi, ibadah khusus ditentukan oleh syara’ (nash) yang
menyangkut kuantitas, bentuk, caranya dan waktu pelaksanaannya serta hukuman bagi yang
melanggarnya. Oleh karenanya, hal tersebut dapat dikemukakan sistematikanya secara garis
besar meliputi; thaharah (bersuci), shalat, penyelenggaraan jenazah, zakat, puasa, haji-umrah,
i’tikaf, sumpah-kafarat, nazar, qurban dan aqiqah.62
Dalam ajaran Islam, seorang Muslim memiliki kewajiban untuk melaksanakan ibadah
kepada Allah Swt, baik ibadah khusus yang ditentukan syara’ yang sifatnya wajib (fardhu
ain), maupun ibadah-ibadah lainnya yang bersifat umum yang dianjurkan di mana tidak
terikat oleh ketentuan syara’ baik menyangkut waktu pelaksanaanya, caranya maupun
kuantitasnya. Misalnya, dzikir, shadaqah, infaq, hibah, menolong orang lemah, menegakkan
keadilan, mencegah kemungkaran dan lain sebagainya.

61
Baca lengkapnya dalam Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), 6-7.
Di situ dijabarkan lagi bahwa ruang lingkup yang disuguhkan Ibnu Taimiyah sangatlah luas, jika dirinci maka dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: (1) menyangkut rukun-rukun syari’at, (2) kewajiban atas bentuk ibadah-ibadah
sunnah, (3) menyangkut hubungan sosial (ijtima’i), (4) akhlak insaniyah (perilaku-perilaku kemanusiaan), (5)
akhlak rabbaniyah (bersifat ketuhanan) meliputi cinta kepada Allah, Rasul-Nya, takut pada-Nya, ikhlas dan ridha
atas kehendak-Nya.
62
Wahbah Zuhailiy, al Fiqh al Islamiy wa Adillatuh Jilid I (t.tp: Dar al Fikr, 1989), 11.
Kemudian, tujuan ibadah yang dilakukan oleh seorang mukmin adalah sebagaimana
yang dikemukakan al Ghazali yang dikutip oleh Rahman Ritongga bahwa:63
“Ibadah bertujuan untuk menyembuhkan hati manusia, sebagaimana obat yang
menyembuhkan badan yang sakit. Manusia tidak semuanya dapat mengetahui
keistimewaan dan rahasia obat tersebut. Yang mengetahui hanya para dokter atau
orang yang mempunyai spesialisasi tentang obat. Pasien hanya mengikuti perintah
dokter dalam menggunakan obat yang cocok sesuai dengan dosisnya. Dia tidak
membantah terhadap apa yang ditentukan si dokter tersebut. Oleh karenanya, ibadah
wajib diikuti sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para Nabi, karena mereka
dapat mengetahui rahasia berdasarkan inspirasi kenabian, bukan dengan kemampuan
akal. Ibadah inilah yang disebut ibadah ghair ma’qulat al ma’na.”

Apa yang disampaikan oleh al Ghazali tersebut diperkuat lagi oleh al Syatibi yang
menjabarkan tujuan ibadah secara detail yakni ibadah mempunyai tujuan pokok dan tujuan
tambahan. Tujuan pokoknya adalah menghadapkan diri kepada Allah yang Maha Esa dan
mengkonsentrasikan niat kepada-Nya dalam setiap keadaan. Dengan adanya tujuan itu
seseorang akan mencapai derajat yang tinggi di akhirat. Sedangkan tujuan tambahannya
adalah agar tercapainya kemaslahatan diri manusia dan terwujudnya usaha yang baik. Ibadah
shalat misalnya, disyari’atkan pada dasarnya bertujuan untuk menyembah, menundukkan dan
menghambakan diri kepada Allah Swt dengan ikhlas, mengingatkan diri kepada-Nya dengan
berzikir. Sedangkan tujuan, tambahannya antara lain adalah untuk menghindarkan diri dari
perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya shalat dapat
mencegah dari perbuatan keji dan mungkar dan sesungguhnya mengingat Allah Swt lebih
besar..” (QS. Al Angkabut: 45)
Selain untuk menghindarkan diri dari kemungkaran dan kekejian masih banyak
sebenarnya tujuan yang dapat diwujudkan melalui ibadah shalat, seperti beristirahat dari
kesibukan duniawi, membantu dalam memenuhi kebutuhan dan membawa seseorang masuk
surga serta menjauhkannya dari neraka.64 Ini menjadi pertanda bahwa ibadah kepada Allah
sebagai bentuk pengagungan diri kepada-Nya, kerinduan dan kecintaan seorang hamba
kepada Penciptanya. Sehingga melalui ibadah yang benar ini akan menghantarkan seseorang
menuju kedekatan spiritual kepada Allah Swt.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa sikap menjunjung tinggi aspek ibadah sebagai
bentuk pengamalan ajaran Islam yang harus senantiasa dijalankan. Menjadikan ibadah sebagai
63
Rahman Ritonga, Fiqih Ibadah., 8.
64
Al Syatibi, al Muwafaqat Juz 2, ditahqiq Abdullah Daraz (Mesir: Dar al Fikr al ‘Arabi, t.t), 176.
ajang untuk menjemput kasih sayang, cinta, dan ridha-Nya. Di samping sebagai proses
penghambaan diri kepada-Nya. Melalui ibadah inilah manusia akan merasakan kedekatan
dengan Allah, ketika merasa dekat dengan-Nya, maka ketenangan, kedamaian, dan kesejukan
batin akan menghampirinya. Setelah ia merasakan ketenangan batin, maka ia akan senantiasa
menjaga ketenangan itu dengan cara tidak melakukan segala bentuk perbuatan yang akan
mengurangi ketenangan batinnya tersebut bahkan menghilangkan ketenangan yang sudah ia
gapai. Dengan arti lain, ia akan senantiasa beramal baik, berkata baik, bertindak baik dan
berprilaku baik untuk menjaga ketenangan batinnya dan hubungannya dengan Penciptanya.
Ini sebuah usaha dan perjuangan yang mulia yang akan menghantarkannya kepada tingkatan
orang-orang yang bertakwa yang selalu diridhai dan dicintai Allah Swt. Hal tersebut sebagai
upaya menenangkan diri di tengah masa pandemi ini. Mudah-mudahan Allah mengkuatkan
hati dan jiwa kita dalam menghadapi wabah ini, dengan ridha-Nya.
D. Meningkatkan Takwa kepada Allah
Takwa ialah menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah azza wajalla, dan menjauhi
segala apa yang dilarang-Nya baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-
terangan. Takwa tidak akan mencapai kesempurnaan, kecuali dengan melakukan proses
(takhalli) yakni mengkosongkan jiwa dari segala sesuatu yang tercela (akhlak madzmumah),
kemudian dilanjut dengan proses (tahalli) yakni menghiasi diri dengan seluruh keutamaan-
keutamaan yang mulia (akhlak mahmudah), yang mana hal tersebut sebagai bentuk jalan yang
barang siapa menempuhnya maka ia akan mendapat petunjuk (hidayah) Allah Swt dan dia
akan selalu mendapatkan kebaikan dalam hidupnya yang semua itu merupakan tanda bagi
seseorang yang beruntung (bahagia). Kemudian, mushannif (pengarang) menambahkan
bahwa tanda seorang takwa adalah:
Pertama, ia harus mengenali (menyadari) dirinya sebagai manusia yang hina; rendah
(dzalil), dan sesungguhnya Allah adalah Rabb yang Kuat dan Perkasa. Dan tidak seharusnya
menghinakan diri dengan berbuat maksiat (durhaka) kepada-Nya karena melawan kekuasan-
Nya.
Kedua, menanamkan kebaikan dan amal saleh kepada Allah di setiap keadaan dan
kondisi. Dan barangsiapa yang demikian, tidak seharusnya ia kufur akan nikmat-Nya.
Ketiga, mengingat kematian, karena setiap manusia akan mengalami yang namanya
kematian (mati) dan sesungguhnya tidak ada yang mengetahui nasipnya besok apakah masuk
ke surganya Allah ataupun ke neraka-Nya. Yang semua itu tergantung amal kebaikan yang
kita lakukan semasa hidup di dunia, ketaatannya kepada Allah, amal sosialnya, kasih
sayangnya terhadap sesama manusia (makhluk), cintanya kepada sesama, dan kebaikan yang
lain kepada semua makhluk (habl minan nas). Yang semua itu akan mendapatkan buah
(hikmah) bagi mereka yang melakukan hal tersebut dengan dua kebahagaiaan, yakni di dunia
akan menjadikan ia terhormat dengan pridikat ‘derajat yang mulia’ baik di sisi manusia
maupun di sisi Allah Swt, nama akan harum dan indah, dan akan mendapat perlakuan baik
dari manusia (seluruh makhluk). Sedangkan di akhirat, ia akan terbebas dari siksa neraka,
akan mendapatkan kemenangan yakni dengan masuk ke surganya Allah, dan orang yang
takwa akan selalu bersama dengan-Nya.
Kemudian, Syaikh Muhammad Syakir pernah berkata: bertakwalah kepada Allah wahai
anakku, takutlah dalam melihat dan bertindak terhadap sesuatu yang Allah tidak ridha
terhadapnya. Takutlah akan murka-Nya, kekecewaan-Nya di mana Dia sebagai Penciptamu,
Pemberi kehidupanmu, dan yang memberikan akal kepadamu untuk digunakan sebagai
pengontrol dalam bertindak. Sesungguhnya, taat kepada Allah akan menjadikan kondisi jiwa
tenang, bahagia dan damai yang semua itu tidak ada yang mengetahui-merasakan kecuali bagi
mereka yang mau melaksanakannya (taat). Wahai anakku, lakukanlah (kerjakanlah) ketaatan
kepada Allah Swt agar kamu menemukan dan merasakan sebuah kenikmatan, kelezatan,
ketenangan dan kedamaian hidup yang dilandasi dengan rasa keikhlasan yang benar.
Ini mengindikasikan bahwa takwa merupakan sifat yang dinisbahkan kepada orang yang
patuh, taat, dan sabar terhadap perintah Allah serta memelihara dirinya dari segala sesuatu
yang dapat membuatnya tergelincir ke dalam perkara-perkara yang buruk (tercela). Takwa
dalam pengertian umum dikatakan sebagai usaha memelihara diri dan tetap menjaganya
dengan melaksanakan ketaatan dan amal shaleh. Takwa sebagai suatu pondasi yang utama
bagi seluruh kebaikan dan hakikatnya adalah seseorang melindungi dirinya dari hukuman;
azab Tuhan dengan sifat tunduk kepada-Nya. Dalam bahasa yang lebih indah, takwa adalah
usaha penjagaan dari segala hal yang menjadikannya tergelincir ke dalam syirik, dosa,
kejahatan, kedzaliman serta dari hal-hal yang syubhat.
Kemudian al Maraghi mendefinisikan takwa dengan menjaga diri dari hukuman dan
kemurkaan Allah dengan cara tidak melakukan maksiat, dosa dan apa yang dilarang dan juga
apa yang dibenci-Nya. Takwa juga bisa diartikan melakukan ketaatan dengan cahaya Allah
untuk mengharapakn rahmat-Nya dan meninggalkan segala bentu kemaksiatan dengan
cahaya-Nya karena takut akan azab-Nya. Dikuatkan oleh al Thabari bahwa orang orang yang
bertakwa adalah mereka yang berhati-hati dengan balasan Allah bila meninggalkan petunjuk-
Nya yang telah mereka ketahui dan mengharapkan rahmat-Nya dengan menyakini apa yang
diturunkan-Nya kepadanya (al Qur’an). Takwa sebagai usaha menjaga diri dari segala sesuatu
yang mendatangkan dosa dengan meninggalkan segala larangan, bahkan hingga
meninggalkan sebagian yang dibolehkan untuk menghindari kemungkinan melakukan yang
diharamkan. Takwa sebagai keadaan di dalam hati yang membuat hati menjadi hidup, peka,
merasakan kehadiran Allah dalam setiap waktu, merasa takut, berat dan malu dilihat Allah
melakukan yang dibenci-Nya.
Dengan demikian, kita memahami bahwa takwa merupakan suatu sikap tunduk, patuh,
dan ta’dzim kepada Allah Swt, yang mengarahkan kepada perilaku positif yakni senantiasa
melakukan amal kebaikan sebagai representasi dari rasa taat kepada-Nya dan menahan
dengan menjauhkan sekaligus meninggalkan dari perilaku, sikap, maupun perkara-perkara
negatif lainnya baik yang berunsur haram, syubhat maupun makruh sebagai representasi dari
ketundukan dan keta’dzimannya kepada Allah Swt. Semuanya dilakukan lillah, semata-mata
karena Allah Swt sebagai bentuk keikhlasan dirinya dalam mengabdi kepadanya. Artinya,
takwa di sini tidak hanya memupuk rasa taat, rasa takut kepada-Nya akan azab, siksa dan
neraka, rasa harap untuk dapat pahala, rahmat dan surga-Nya. Namun melatih dirinya untuk
merasa malu (al hayah) kepada Allah Swt, dalam artian malu jika pengabdiannya selama ini
tidak sempurna, malu jika melakukan sesuatu yang dibenci Allah (tidak hanya yang dilarang
saja), malu jika melanggar larangan-Nya, dan malu jika ia meninggalkan ketaatan kepada-Nya
lebih memilih kepada keinginan hawa nafsunya. Dengan begitu, jiwa yang dididik dengan
rasa takwa tersebut akan melahirkan manusia yang memiliki sikap sopan santun kepada-Nya,
di samping rasa taat, khauf (rasa takut) dan raja’(rasa harap).
Takwa sebagai manifestasi dari tanggung jawab seorang hamba (‘abd; makhluk) kepada
sang Pencipta (Khaliq; Ma’bud), di mana manusia menyakini bahwa ia sebagai ciptaan dari
sang Khaliq yang menuntut dirinya melakukan tindakan-tindakan ibadah dan pelayanan
(pengabdian) serta kepatuhan kepada hukum-Nya. Tanggung jawab antara seorang hamba
dengan Tuhannya sebagai wujud bahwa kedudukan seorang hamba tidak jauh lebih tinggi,
mulia dan luhur di banding Tuhannya sang Pencipta lagi Kuasa atas segala sesuatu. Dalam
posisi demikian, manusia tidak mungkin menyaingi atau pun melawan kepada Allah Swt.
Oleh karena, Nasr menganjurkan kepada manusia untuk senantiasa patuh kepada Penciptanya
(Allah Swt). Ini menegaskan bahwa manusia sebagai hamba Allah harus selalu tunduk
kepada-Nya, tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan-Nya sehingga sesuai dengan
tujuan penciptaan manusia yakni untuk mengabdi kepada-Nya.
Dalam Islam, takwa sebagai prinsip pembelajaran yang sangat penting guna untuk
mendidik umat Islam agar senantiasa menjaga dirinya dari berbagai hal yang negatif yang
sudah dilarang oleh Allah dan dari hal yang sifatnya samar-samar (syubhat) serta hal yang
makruh (yang dibenci)-Nya. Prinsip takwa diharapkan mampu membentengi para umat Islam
dalam perjalanan ruhaniahnya, mampu menjadikan takwa sebagai pengontrol diri, mawas diri
dan senjata batiniyah untuk melawan segala macam rayuan hawa nafsu, syahwat dan bisikan
bisikan syaitan yang menyesatkan.
Takwa merupakan pondasi batin yang terpelihara dan berada dalam penjagaan dan
pemeliharaan diri dengan sebab ketaatan dan kesalehan seseorang kepada Allah Swt.
Pemeliharaan diri dari nilai negatif melahirkan suatu kondisi ‘batiniyah lathifah rabbaniyah”,
yakni suatu keadaan psikologis yang lembut yang berisi nilai-nilai Ketuhanan yang kukuh
sehingga ia memperoleh ketenangan dan kebahagiaan. Ketakwaan pada hakikatnya adalah
pengendalian diri dan emosi dari mengikuti kecenderungan hawa nafsu dan syahwat.
Seseorang yang memiliki rasa takwa akan senantiasa benar, adil, jujur, amanah, dan
mempunyai hubungan yang baik dengan lingkungannya.
Ketakwaan manusia bukan diukur dari penampilannya. Namun, Ia harus melakukan
ibadah-ibadah dengan khusyu’. Ibadah-ibadah itu dilakukan tanpa tendensi apapun selain
karena Allah Swt, tidak sebab ingin dipuji manusia lainnya, juga tidak pula sebab ingin
mendapatkan kenikmatan duniawi. Ketakwaan merupakan bentuk penyerahan diri kita
sepenuhnya kepada Allah Swt zat yang Maha Menguasai seluruh makhluk-Nya. Tiada alasan
bagi kita untuk tidak bertakwa kepada-Nya, sebab kita adalah makhluk-Nya. Ini sesuai
dengan sabda Rasul saw, dari Sa’ad bin Abi Waqash ra berkata bahwa ia mendengar
Rasulullah saw bersabda: ‘Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertakwa, kaya dan
menyendiri’ (HR. Muslim).
Takwa merupakan suatu sifat yang dinisbatkan kepada orang yang patuh, taat dan sabar
terhadap perintah Allah Swt serta memelihara dirinya dari tergelincir ke dalam perkara-
perkara buruk. Sehingga senantiasa memelihara diri dan tetap menjaganya dengan
melaksanakan ketaatan dan amal saleh. Karena takwa sebagai pokok (tiang) bagi seluruh amal
kebaikan dan hakikatnya adalah seseorang melindungi dirinya dari hukuma Tuhan dengan
ketundukan kepada-Nya secara total dan sungguh-sungguh. Mengingat, takwa sebagai usaha
penjagaan dari tergelincir ke dalam lubang syirik, dosa dan kejahatan, serta hal hal yang
syuhbhat.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa takwa dapat mendidik manusia menjadi pribadi
yang mampu mengendalikan, memelihara, menjaga, dan menahan diri dari perkara-perkara
yang diharamkan dan bertentangan dengan aturan Allah Swt serta segala hal yang dibenci-
Nya. Kemudian, dengan modal takwa tersebut menjadikan umat Islam menjadi pribadi yang
senantiasa melaksanakan ketaatan dan kepatuhannya kepada-Nya dengan hati yang lapang
(ikhlas) tanpa beban, penuh rasa cinta dan keta’dziman kepada-Nya, yang akan meninggikan
derajatnya di hadapan Allah menjadi hamba yang paling mulia. Sesuai dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling
takwa di antara kamu sekalian.” (QS. Al Hujurat: 13)
Ayat ini mengartikan bahwa yang menjadikan kemuliaan tertinggi di sisi Allah bagi
manusia adalah takwa, bukan masalah nasabnya, hartanya atau pun lainnya. Sesuai dengan
janji Allah dan Rasul saw bahwa ketakwaan seorang hamba akan diganti dengan kebaikan-
kebaikan yang tiada tara, kebahagian yang tiada terkira, kedudukan yang mulia (derajat),
kebagusan, kedamaian, kemenangan, keuntungan, limpahan karunia yang banyak serta
kecukupan hidup. Ini sekaligus menjadi syarat bagi umat Islam khususnya dan bagi generasi
milenial umumnya bahwa barangsiapa yang suka akan kehormatan, kemuliaan, kedudukan
tinggi di sisi Allah Swt, maka bertakwalah kepada-Nya dengan sebenar-benarnya.
Takwa sebagai modal kita untuk menghadapi berbagai kesulitan, kehimpitan, kegelisahan
dan kecemasahan di tengah kehidupan. Ia sebagai “mesin” untuk tetap mengerakkan diri kita
agar selalu tetap taat kepada Allah, meskipun dirundung musibah, ujian atau penyakit. Selain
sebagai modal, mesin, takwa juga bisa dijadikan kekuatan spiritual umat Islam untuk terus
mendekatkan diri kepada-Nya, berikhtiar dan bertawakkal, menjauhkannya dari putus asa dan
kekufuran.
E. Berpegang Teguh pada Keimanan
Masa pandemi covid-19 mengajarkan kita untuk selalu dan terus menerus meneguhkan
iman kepada Allah. Keimanan ini penting, banyak di antara saudara-saudara kita yang diuji
oleh Allah dengan berbagai kesulitan, mereka melepaskan imannya dan lari ke arah jalan yang
dianggapnya bisa membuatnya terbebas dari kesulitan tersebut, yang imbasnya adalah
kehancuran. Iman kita sedang diuji oleh Allah melalui wabah ini, akankan kita pertahankan-
ditingkatkan ataukah dilepas bebas? Jangan sampai usaha kuat, doa yang mantap dalam
menghadapi wabah ini membuat kita putus asa dan capek gara-gara Allah belum mengangkat
wabah ini. Ujian itu harus dihadapi dengan sabar, karena yang menciptakan ujian itu bukan
kita tapi Allah, sehingga terserah Allah kapan ujian tersebut diambil. Namun, kita harus tetap
berusaha, berdoa kepada-Nya.
Masalah keimanan (aqidah) merupakan prinsip dasar dan pokok yang harus dipelajari dan
dipahami seseorang yang sudah menyatakan keislamannya. Hal ini untuk menguatkan hati
dan jiwanya agar senantiasa mengEsakan Allah di mana pun dan kapan pun. Masalah
keimananan yang menyangkut hal-hal yang bersifat abstrak (ghaib) perlu diyakini dan
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui nilai-nilai ketaatan dan ketakwaan.
Sehingga bagi mereka yang menyelami dunia sufistik melalui Islam sufistik tasawuf sangatlah
penting, mengingat goal dari Islam sufistik adalah mengenal Allah Swt. Oleh karenanya
mereka harus percaya akan adanya Allah serta berusaha mengerti dan mengetahui siapa itu
Allah Swt agar menambah keyakinan, kedekatan dan keta’dziman kepada-Nya.
Allah adalah satu nama dari zat wajibul wujud, Tuhan pencipta semesta alam jagad
raya ini, termasuk makhluk manusia. Dan kepada-Nyalah semuanya akan dikembalikan.
Maka yang pertama kali, kewajiban kita adalah percaya (iman) kepada-Nya, tanpa ragu.
Sesuai dengan firman-Nya: “ Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali zat Allah. Bagi-Nyalah
segala ketentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al Qashash: 88).
“Semua yang ada di bumi ini binasa, dan yang tetap kekal adalah zat Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar Rahman: 26-27)

Kepercayaan (iman) kepada Allah merupakan tiga tahapan proses dimulai dari: proses
hidayah (petunjuk), proses belajar, proses berfikir. Kemudian yang wajib diimani adalah zat
Allah (percaya dengan sepenuh hati bahwa Dia ada), Sifat Allah (yang tercermin dalam asma’
al husna), dan yang terakhir adalah Af’al Allah (segala kehendak dan kejadian yang ada di
alam ini tidak luput dari iradah dan qadrat-Nya sehingga menjadi bukti kebesaran dan
kekuasaan-Nya).
Zat Allah Swt lebih besar dari apa yang dikuasai oleh akal manusia, dari apa yang
terjangkau oleh pikiran-pikiran manusia atau mungkin diduga oleh akal dan pikiran manusia.
Oleh karenanya, akal pikiran manusia tidak akan pernah mampu dan bisa mengetahui zat
Allah Swt. Oleh karenanya, para nabi dan rasul Allah mengajarkan bukan hanya masalah
kebenaran wujud-Nya, tetapi juga bagaimana seharusnya tindak lanjut yang dilakukan oleh
manusia atas pengakuan wujud-Nya tersebut, yang mana hal itu dapat diwujudkan dengan
mengagumi kekuasan, ciptaan dan anugerah-Nya di samping beribadah kepada-Nya.
Oleh karenanya, sangat penting bagi umat Islam untuk menata hatinya agar tetap
berjalan di atas keimanan (ketauhidan) yang lurus. Karena, pendekatan yang dipakai dalam
Islam sufistik tasawuf adalah lebih menekankan pada pendekatan intuisi yang bersifat
transendental yang mencakup wilayah hati (dzauq) karena sejatinya yang didekati adalah zat
yang bersifat imprinsipal. Yang mana hal tersebut memerlukan kesucian dan kebersihan hati
dari unsur syirik, kufur, fasiq, dzalim, munafiq, murtad, dan kejelekan-kejelekan lainnya.
Masalah Tauhid (aqidah) sebagai wujud dari Iman kepada Allah memang perlu untuk
dipelajari, karena objek yang didekati, yang dikenali dan dituju adalah Allah Swt. Sehingga
perlu ‘sabuk’ tauhid agar tidak ‘kebablasan’ dalam proses menyelami dunia sufistik. Juga
tidak ‘liar’ dalam upaya mengenal Allah tanpa dibekali landasan yang legal dan benar. Ini
sebagai usaha untuk menjauhkan umat Islam dari sikap syirik, kufur, fasiq bahkan murtad.
Aqidah sebagai bentuk pengikatan terhadap apa yang diyakini oleh seseorang. Aqidah
juga merupakan perbuatan hati, yakni kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu,
dalam hal ini tertuju kepada Allah Swt. Artinya, tidak cukup hanya menyatakan di lisan saya
beriman kepada Allah, tanpa disertai dengan pembuktian yang nyata yakni menyembah-Nya
dan tidak menyekutukan terhadap selain-Nya. Menyembah (‘ubudiyah) kepada-Nya sebagai
wujud nyata atas keimanannya kepada-Nya, proses ‘ubudiyah seorang hamba merupakan
jalinan komunikasi secara vertikal kepada sang Khaliq. Kesucian jiwa dan hati menjadi syarat
utama untuk bisa benar-benar terhubung dan sampai (wushul) kepada-Nya dan berhasil
mengenal-Nya.
Ini menjadi legalitas bahwa prinsip tentang aqidah; iman; tauhid menjadi prinsip yang
substansial bagi umat Islam untuk menguatkan aspek dzahir dan batinnya agar tetap berjalan
di atas nilai nilai keimananan dan ketauhidan yang sudah diatur dalam ajaran Islam yang
tertuang di dalam al Qur’an dan al Hadits dan melindunginya dari unsur-unsur kesesatan,
kemusyrikan dan kekufuran dalam mengarungi perjalanan ruhaniahnya yang penuh dengan
lika-liku dan tipu daya yang memerlukan sebuah nutrisi yaitu rasa keimanan dan ketauhidan
yang matang; kuat.
Kemudian, al Ghazali mengatakan: ‘Ketahuilah bahwa makna tauhid adalah ungkapan
yang diterjemahkan oleh hatimu berupa la ilaha illa Allah wahdahu la syarika lahu (tiada
Tuhan selain Allah dan tiada sekutu bagi-Nya), disertai dengan iman kepada kekuasaan Allah
Swt yang diterjemahkan oleh perkataanmu: ‘lahul mulk’ (bagi-Nya segala kerajaan;
kekuasaan), dan beriman kepada anugerah dan hikmah Allah yang diterjemahkan oleh
perkataanmu, wa lahul hamdu (dan bagi-Nya segala puji). Barangsiapa yang hatinya
didominasi (diliputi) oleh makna kalimat-kalimat tersebut, maka ia menjadi orang yang
bertawakkal dan dasar atas semua itu adalah tauhid (mengesakan Allah).
Tauhid memiliki empat tingkatan yang terbagai ke dalam isi, kulit, dan kulit dari kulit.
Seperti buah kelapa. Pertama, beriman kepada Allah dalam bentuk perkataan saja. Tingkatan
tauhid seperti ini merupakan tingkatan kulit dari kulit. Jenis iman seperti ini adalah keimanan
orang-orang munafik. Kita harus berlindung dari tauhid semacam ini. Kedua, beriman atas
makna kalimat tersebut. Jenis tauhid (iman; aqidah) seperti ini merupakan bentuk iman kaum
muslimin secara umum. Ketiga, Seseorang yang menyaksikan alam semesta melalui
penyingkapan (al kasyf). Tingkatan tauhid seperti ini merupakan golongan bagi orang-orang
yang didekatkan oleh Allah (muqarrabin), yaitu bahwa dia melihat banyak sebab, tapi
semuanya bersumber dari yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Keempat, Dengan persaksiannya,
seseorang hanya melihat Allah semata. Hal itu merupakan penyaksian orang orang yang
mencintai kebenaran (shiddiqin). Dan para sufi menamakannya dengan fana’ (kemusnahan)
dalam tauhid. Dia tidak melihat dirinya sendiri, tapi batinnya tenggelam dalam zat yang Maha
Kuasa dan Maha Benar. Inilah yang dimaksud dengan perkataan Abu Yazid al Busthami:
‘Kemudian Dia membuatku lupa untuk mengingat diriku sendiri.’
Tingkatan tauhid pertama adalah beriman kepada Allah Swt di lidah semata. Yang
kedua adalah beriman atas makna kalimat yakni seseorang yang beriman dengan hatinya dan
menyakini bahwa makna kalimat tauhid bersih dari keraguan, tapi hatinya tidak lapang. Yang
ketiga adalah tauhid dengan makna bahwa hati orang beriman telah menjadi lapang dan dia
tidak bersaksi kecuali satu, meskipun terdapat banyak sebab, tapi ia mengetahui bahwa
sumbernya hanya satu yakni Allah. Sedangkan tauhid yang keempat adalah tauhid seseorang
bahwa tidak ada yang hadir dalam kesaksian dan hatinya, kecuali Allah Swt dan dia tidak lagi
membutuhkan perantara-perantara dan tidak pula dirinya sendiri. Tingkatan ini merupakan
tingkatan yang paling tinggi, yang diperumpamakan seperti minyak yang terbuat dari buah
kelapa.
Tauhid dengan percaya kepada Allah di lisan, diyakini dengan hati dan dipraktikkan
dengan nilai-nilai ketaatan; kepatuhan kepada-Nya sebagai modal awal bagi umat Islam untuk
menyelami dunia sufistik, di mana prinsip tauhid tersebut akan senantiasa diasah, dilatih dan
didalami sehingga mencapai tingkatan tauhid yang percaya bahwa tiada sesuatu yang berhak
untuk diingat, disanjung, dipuji, diagungkan, dimuliakan dan dicintai selain Allah Swt yang
secara terus menerus akan naik kepada tingkatan tauhid yang paling puncak yakni kehadiran
dan kesaksian akan zat Allah Swt dalam hatinya, sehingga tidak memerlukan perantara untuk
dekat dengan-Nya lagi, karena ia sudah berada dekat dengan-Nya.
Dengan prinsip ini yakni tauhid akan memupuk jiwa yang selalu ingat kepada keEsaan
Allah di setiap ucapan, tindakan, maupun pemikiran sehingga menjauhkan diri dari sifat-sifat
kufur dan murtad. Meningat, proses menyelami dunia sufistik tanpa dibarengi kekuatan
tauhid, akan menjadikannya seorang yang mudah terjebak ke dalam jurang kekufuran dan
kemurtadan. Untuk itu, Isma’il Raji al Faruqi menggaungkan tentang Islam sufistik tauhid
yang menurutnya tauhid merupakan; The conviction and witnessing that there is no God bu
God. The name of God, Allah which simply means The God, occupies the central position in
every muslim place, every muslim action and every. Ini menjadi arti bahwa tauhid sebagai
bentuk keyakinan dan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Nama Tuhan adalah
Allah dan menempati posisi sentral dalam kehidupan setiap muslim baik di setiap kedudukan,
tindakan, dan pemikiran mereka. Sehingga tak luput akan asma Allah di setiap gerak dan
hembusan nafasnya. Ini yang ingin sebenarnya ditanamkan kepada setiap umat muslim,
karena bekal tauhid menjadi bekal utama untuk kita menghadap Allah kelak.
Makna tauhid yang digagas al Faruqi di atas bukanlah tauhid pasif yang hanya sekedar
pernyataan atas satu Tuhan akan tetapi tauhid menurutnya adalah tauhid aktif yang senantiasa
melandasi setiap aktivitas seorang muslim. Jadi tauhid berarti zikrullah (senantiasa ingat
kepada Allah). Dengan menyatakan dan mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah maka
seorang muslim meniadakan, menolak dan mengesampingkan tuhan-tuhan selain Allah dan
hanya mengakui-Nya sebagai satu satunya Tuhan yang paling hak, maka seluruh manusia
adalah sama yakni sama sama makhluk Allah. Jadi, tidak ada superioritas satu orang atas
orang lain, maka nampak bahwa tauhid berarti pula sebagai bentuk deklarasi persamaan
manusia di hadapan Allah Swt.
Tauhid perspektif al Faruqi menyakini bahwa tauhid adalah esensi Islam yang mesti
melandasi setiap gerak aktivitas manusia (muslim) agar tercipta suatu tatanan peradaban
Islam. Sebuah peradaban yang dimulai dari diri sendiri, keluarga dan ummat. Pembentukan
peradaban ini harus dimulai dari diri sendiri melalui pengkuan atas eksistensi diri dengan
menyadari bahwa ia mengemban beban moral sehingga mampu melestarikan dan
mengembangkan kepribadiannya untuk tunduk pada kehendak Allah Swt. Selanjutnya, sifat
pribadi tersebut dikembangkan dalam lembaga keluarga sehingga nantinya akan terwujud
ummat yang satu. Ummat kata al Faruqi bukan hanya perkumpulan orang orang sebangsa,
sebahasa ataupun sesama ras dan suku, akan tetapi ummah (umat) menurutnya adalah
bermakna universal yang terbangun atas dasar agama, ideologi dan merupakan suatu
masyarakat yang universal yang keanggotaannya mencakup ragam etnisitas sehingga
terbentuk komunitas luas yakni komunitas berdasarkan komitmen atas Islam.
Tauhid harus dipahami melalui dua dimensi sekaligus yakni normativitas akidah dan
praktis sosial. Tauhid perlu ditegaskan sekali lagi bukan sekedar kepercayaan keagamaan atau
urusan seseorang dengan Tuhan sebagai sumber akhir dari pembebasan dan perlindungan di
dunia dan akhirat tetapu juga prinsip persamaan sosial seluruh umat sebagai satu masyarakat
yakni makhluk Allah Swt.
Tauhid juga sebagai sumber kehidupan jiwa kemanusiaan yang tinggi. Tauhid
memberikan makna pada jiwa manusia untuk selalu ikhlas. Dengan tauhid manusia yakin
bahwa ia senantiasa diawasi oleh Allah. Dan keikhlasan itu sendiri adalah tujuan hidup untuk
menggapai rida Ilahi (pengabdian). Maka pada akhirnya dapat membebaskan manusia dari
belenggu dan jeratan perbudakan oleh sesama, hawa nafsu, syahwat, harta dan kedudukan
sehingga akan tertutup oleh rasa penghambaan kepada Allah Swt semata.
Ini menjadi penegasan bahwa pandangan dan pemahaman al Faruqi atas tauhid ini
lebih diarahkan kepada aspek fungsi sosiologis. Artinya makna tauhid dijadikan sebagai
prinsip spiritual bagi usaha manusia untuk membangun sebuah peradaban baru yang agung
dan kemanusiaan yang mulai dan berbudi luhur. Kemudian, tauhid juga sebagai daya kerja
yang utama bagi manusia untuk berbuat segala kebaikan bagi dirinya, keluarga, masyarakat,
agama dan bangsanya. Islam mengajarkan bahwa akhlak tidak didasarkan pada perasaan atau
insting batin semata tetapi pada nilai-nilai tauhid yang yang mendalam.
Keimanan dan ketauhidan yang mendalam tidak saja menjadikan manusia saleh secara
spiritual, juga salah secara sosial. Di balik ujian ini, Allah ingin mengukur kedalaman iman
kita kepada-Nya, dan kepekaan sosial kita kepada sesama. Apakah iman kita mampu menjadi
stimulus untuk beramal saleh, membantu sesama dan mengasihi sesama? Atau malah
menjadikan kita egois dengan sibuk beribadah sepanjang malam tanpa menengok kanan kiri
keadaan saudara-saudara kita. Coba sama sama direnungkan dan saling memperbaiki demi
kesempurnaan iman-tauhid kita kepada-Nya.
Berikut penulis gambarkan skema tentang Islam agama yang menjunjung kesalehan
spiritual dan sosial di tengah wabah; covid-19 di bawah ini:

Menjunjung Tinggi Sikap Menjunjung Tinggi Akhlak


Islam Agama yang Sosial Mulia
Menjunjung Kesalehan
Spiritual-Sosial Di
Tengah Wabah; Covid-
Menjunjung Tinggi Meningkatkan Takwa
19
Ibadah Kepada Allah Swt

Berpegang Teguh pada


Keimanan

Gambar 3: Skema tentang Islam agama yang menjunjung kesalehan spiritual dan sosial di tengah wabah;
covid-19

Anda mungkin juga menyukai