Anda di halaman 1dari 54

BAB II

TINJAUAN TEORITIK

A. Deskripsi Konseptual

1. Kinerja

Kinerja secara umum diberi batasan sebagai kesuksesan seseorang

atau kelompok di dalam melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan

organisasi. Lebih luas lagi, Yudith Hale menyatakan bahwa kinerja adalah

“performance imposes a perspective that question the worth and worthiness

of the efforts, the results achieved and the method used”71.

Kebermaknaan kinerja diukur dari sejauh mana unsur kinerja tersebut

memberi kontribusi positif terhadap masyarakat organisasi dan bagi pekerja

sendiri. Dengan menyebutkan kotribusinya kepada masyarakat berimplikasi

pentingnya unsur dampak hasil dalam sebuah kinerja.

Selanjutnya John Compbell menyatakan bahwa kinerja adalah “...

behavior or action that is relevant for the organization’s goals and that can be

scaled (measured) in terms of level of proficiency (or contibution to a goal),

that is represented by a particular action or set of actions”82.

1 Yudith Hale dalam Muhammad Faizal Amir. Memahami Evaluasi Kinerja


Karyawan. (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015). hh. 82
2 Compbell dalam Muhammad Faizal Amir. Memahami Evaluasi Kinerja Karyawan.
(Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015). hh.82

14
15

Perilaku atau kegiatan yang relevan dengan tujuan organisasi dapat

diukur dari sumbangannya terhadap kecocokan perilaku tertentu dengan

sejumlah perilaku. Tidak semua perilaku karyawan di tempat kerjanya bisa

disebut kinerja kecuali kegiatan yang berkontribusi terhadap organisasi.

Suatu kinerja yang dilakukan oleh setiap karyawan mempunyai dampak

terhadap pencapaian tujuan organisasi.

Menurut Culquitt, Lepine, dan Wesson kinerja adalah “job performance

is formally defined as the value of the set of employee behaviors that

contribute, either positively or negatively to organizational goal

accomplishment.”3 Kinerja adalah perilaku yang berkontribusi baik secara

positif atau negatif terhadap pencapaian tujuan organisasi.

Dari pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa kinerja adalah perilaku

seseorang atau kelompok dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh

lembaga atau organisasi kepadanya guna mencapai tujuan lembaga atau

organisasi yang telah ditetapkan.

Menurut Miner, kinerja adalah “bagaimana seseorang diharapkan dapat

berfungsi dan berperilaku sesuai dengan tugas yang telah dibebankan

kepadanya”.4 Setiap orang diharapkan dapat berperan dan berperilaku sesuai

dengan tugas yang diberikan oleh lembaga atau organisasi. Suatu organisasi

dalam mencapai tujuan yang ditetapkan harus melalui sarana dalam bentuk

3 Culquitt, Lepine, & Wesson. Organizational Behavior. (Texas: Tx. Mc Graw Hill,
2015), hh 32
4 Miner dalam Edy Sutrisno. Budaya Organisasi. (Jakarta: Kecana, 2010). Hh. 170
16

organisasi yang digerakkan oleh sekelompok orang yang berperan aktif

sebagai pelaku penggerak dalam upaya mencapai tujuan lembaga atau

organisasi.

Cooper menyebutkan kinerja adalah “a general term applied to part of

all of the conduct or activites of an organization over period of time, often with

reference to some standard such as past projected cost, an efficiently base,

management responsibility or accountability, or the like.” 5 Kinerja adalah

tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai oleh seseorang, unit, atau

divisi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan

yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan lembaga atau organisasi.

Menurut Sutrisno terdapat dua jenis tugas pekerjaan yaitu tugas

fungsional dan tugas perilaku. Tugas fungsional berkaitan dengan seberapa

baik seorang karyawan menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan tugas

perilaku berkaitan dengan seberapa baik karyawan menangani kegiatan

antarpersonal dengan anggota lain organisasi.” 6

Unsur-unsur penting kinerja yang berhubungan dengan tugas fungsional

adalah terutama menyelesaikan aspek-aspek teknis pekerjaan dalam suatu

organisasi. Hal ini dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki

kemampuan dan pengalaman dalam bidang pekerjaannya. Sedangkan yang

berhubungan dengan tugas perilaku adalah mengatasi konflik, mengelola

5 Cooper dalam Samsudin Sadikin. Manajemen Sumber Daya Manusia. (Jakarta:


Pustaka Setia, 2016), hh. 159.
6 Sutrisno, Edy. Budaya Organisasi. (Jakarta: Kencana, 2013), hh. 170.
17

waktu, memberdayakan orang lain, bekerja dalam bentuk kelompok dan

bekerja secara mandiri.

Hal ini diperkuat oleh Behrman dan Perreault yang menyatakan bahwa

“the direct effect of conflict on performance is positive. Note, however, that

the model regcognizes a negative indirect effect of conflict on performance

through its relationship with role ambiguity. It is also hypothesized that more

time and more experience on the job should result in better performance.”7

Kinerja dipengaruhi oleh perilaku konflik yang terjadi di suatu organisasi. Oleh

karena itu, konflik harus diatasi dan dikelola dengan baik melalui manajemen

konflik. Untuk itu, diperlukan pengalaman dan waktu yang panjang untuk

menciptakan suasana kerja yang dapat menimbulkan semangat dan

menumbuhkan gairah kerja.

Kinerja merupakan masalah penting bagi setiap organisasi dan

mengacu pada apakah karyawan melakukan pekerjaannya dengan baik atau

tidak. Sedangkan menurut Behrman, Douglas, & Perreault Kinerja adalah

“Job performance which is defined broadly as an aggregate construet of

ettoit, skill, and out comes that are important to the employee and out come

that are important to the firm”.8 Kinerja terdiri dari perilaku yang karyawan

lakukan dalam pekerjaan mereka yang relevan dengan tujuan organisasi.

7 Behrman, Douglas N & William D. Perreault. A Role Stress Model of the


Performance and Satisfaction of Industrial Salespersons. (Journal of Marketing
Vol. 48: Fall,1984), hh. 13
8 Behrman, Douglas N & William D. Op.cit, hh. 9-12
18

Dari pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa kinerja merupakan

masalah yang penting dalam organisasi atau lembaga karena apabila

seseorang dapat bekerja dengan baik dan efektif maka akan dapat

meningkatkan hasil kerja dan pada akhirnya dapat mencapai tujuan

organisasi atau lembaga tersebut. Untuk itu diperlukan pemimpin yang

kehadirannya mampu mendorong dan mengarahkan bawahannya, bekerja

dengan penuh semangat dan kesungguhan tanpa paksaan bekerja tanpa

pamrih. Kepemimpinan transformasional mampu mengendalikan bawahan

untuk melaksanakan program sesuai dengan kesepakatan bersama.

Pendapat Ivancevich, Konopaseke, & Matteson mendefinisikan kinerja

sebagai berikut, “job performance a set of employee work related behavior

designed to accomplish organizational goals”. 9

Kinerja adalah seperangkat perilaku yang berhubungan dengan

pekerjaan karyawan dirancang untuk mencapai tujuan organisasi. Kinerja

yang dimaksud di sini adalah tingkatan pencapaian hasil kerja seseorang dari

sasaran yang harus dicapai atau tugas yang harus dilaksanakan dalam kurun

waktu tertentu.

Definisi di atas tidak terlalu membatasi kinerja hanya pada perilaku-

perilaku yang terkait langsung dengan pelaksanaan tugas. Aspek penting lain

pada pada definisi ini adalah bahwa kinerja mewakili perilaku-perilaku yang

9 Ivancevich J.M, Konopaske, R & Matteson, M.T. Organizational Behavior and


Management 10 edition (New York: McGraw Hill, 2014), h.172.
19

secara formal dievaluasi oleh organisasi sebagai bagian dan tugas dan

tanggungjawab karyawan.

Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh para pemimpin dalam upaya

meningkatkan kinerja adalah sebagai berikut :

1. Menetapkan sasaran kinerja yang realistik dan spesifik.


2. Memperkerjakan sumber daya manusia yang tepat untuk suatu
jabatan atau pekerjaan.
3. Mengkomunikasikan dengan jelas sasaran-sasaran dan parameter
kerja kepada para pekerja.
4. Melatih sumber daya manusia dengan sebaik-baiknya untuk
melakukan pekerjaan dengan cara terbaik.
5. Memberikan sumber-sumber yang benar (waktu, materi, tenaga kerja
dan uang) untuk melakukan pekerjaan.
6. Memberikan umpan balik yang tepat untuk memperbaiki kinerja.
7. Memberikan insentif yang cukup untuk melakukan pekerjaan dengan
baik.10

Kinerja merupakan penampilan hasil kerja individu maupun kelompok

dalam waktu tertentu pada suatu organisasi atau lembaga. Dengan adanya

usaha yang dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya diharapkan dapat

menumbuhkan motivasi bagi bawahan untuk meningkatkan kinerja masing-

masing dan pada akhirnya tujuan dan sasaran organisasi atau lembaga

dapat terwujud.

Penilaian kinerja adalah proses yang dilakukan oleh suatu lembaga atau

organisasi untuk menilai kinerja karyawan. Penilaian kinerja yang

dilaksanakan dengan baik, rutin dan tertib maka akan dapat membantu

meningkatkan motivasi kerja dan loyalitas organisasional dari karyawan.

10 Sadikin, Samsudin. Manajamen Sumber Daya Manusia. (Bandung: Pustaka


Setia. 2006), hh. 161-162
20

Pada dasarnya penilaian kinerja merupakan suatu evaluasi terhadap

suatu pekerjaan. Jika pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan atau melebihi

uraian pekerjaan, hal ini berarti pekerjaan itu berhasil dikerjakan dengan baik.

Bila penilaian kinerja menunjukan hasil di bawah uraian pekerjaan, hal ini

berarti pelaksanaan pekerjaan tersebut kurang baik.

Penilaian kinerja perlu dilakukan karena beberapa alasan berikut:

1. Manajemen bertanggung jawab atas keberhasilan seluruh sistem.


2. Penilaian kinerja dapat memperbaiki penampilan kinerja itu sendiri bila
dikerjakan secara objektif dan penilaian dilakukan dengan tujuan
meningkatkan kemampuan individual.
3. Pada dasarnya pegawai juga ingin mengetahui kinerja yang dinilai oleh
atasannya.11

Dengan alasan tersebut, maka penilaian kinerja perlu dilakukan oleh

setiap lembaga atau organisasi agar ada capaian atau target. Yang diperoleh

oleh pegawai maupun lembaga atau organisasi sehingga secara bertahap

dapat dilihat perkembangan lembaga atau organisasi tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah motivasi, kepuasan

kerja, tingkat stress, kondisi fisik pekerjaan, sistem kompensasi, aspek-aspek

ekonomi, aspek-aspek teknis, dan perilaku lainnya. 12

Sebelum perlu ditentukan kriteria dari tiga. Menurut Filifo, pengukuran


kinerja dapat dilakukan melalui penilaian (1) kualitas kerja, yakni
berkaitan dengan ketetapan, keterampilan, ketelitian dan kerapian
pelaksanaan pekerjaan, (2) kuantitas kerja yakni berkaitan dengan
pelaksanaan tugas regular dan tambahan, (3) ketangguhan, yakni
berkaitan dengan ketaatan mengikuti perintah, kebiasaan mengikuti

11 Sadikin, Samsudin. Op.cit, h. 163


12 Martoyo, Susilo. Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Keempat.
(Yogyakarta: BPFE, 2000)
21

peraturan, keselamatan, inisiatif dan ketepatan waktu kehadiran, dan (4)


sikap yakni menunjukkan seberapa jauh tanggung jawab terhadap
pelaksanaan pekerjaan serta bagaimana tingkat kerja sama dengan
teman dan atasan dalam menyelesaikan pekerjaan. 13

Kriteria penilaian ditentukan untuk menyusun standar operasional

tentang tugas dan fungsi masing-masing pegawai sehingga jelas uraian

tugasnya dan pekerjaannya. Dengan demikian dapat di ukur hasil kerja

masing-masing pegawai sesuai daya uraian tugas dan pekerjaannya

tersebut. Apabila seorang pegawai dapat menyelesaikan pekerjaannya

sesuai SOP. Maka pegawai tersebut dikatakan berhasil atau memiliki kinerja

yang baik. Mengingat pentingnya penilaian kinerja, maka manajemen atau

pimpinan perlu mempelajari manajemen kinerja dan semua hal yang terkait.

Menurut Michael Amstrong manajemen kerja adalah “performance

management can be defined as a systematic process for improving

organizational performance by developing the perfomance of individual and

teams”.14 Manajemen kinerja merupakan suatu proses yang sistematis dalam

mengembangkan kinerja individual maupun kelompok untuk meningkatkan

kinerja dalam organisasi. Dengan manajemen kerja yang baik dan usaha

yang maksimal diharapkan dapat meningkatkan kinerja pegawai sehingga

tujuan organisasi dapat tercapai.

13 Edwin. B. Filifo. Manajemen Personalia. Ahli Bahasa Moh. Masud. Edisi


Keenam. (Jakarta: Erlangga, 1996), h.112
14 Michael Amstrong dalam Edison, Anwar, Komariah. Manajemen Sumber Daya
Manusia. (Bandung: Alfabeta, 2016), h. 190
22

Penilaian kinerja dosen dapat mengacu kepada tugas dan tanggung

jawab dosen yang diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 60 Tahun 1999

tentang perguruan tinggi. Tugas dan tanggung jawab dosen tercermin dalam

tri dharma perguruan tinggi, yaitu:

Pertama pendidikan dan pengajaran yang meliputi: (1) melaksanakan


program sesuai rencana; (2) mempersiapkan bahan-bahan perkuliahan;
(3) memberi perkuliahan, respons, tugas, ujian, evaluasi, penilaian;
(4) menjadi pembimbing, sponsor dalam menyusun skripsi, tesis, dan
desertasi; (5) menjadi penguji dalam sidang; (6) membimbing dan
membantu pelaksanaan praktikum; (7) membuat laporan kegiatan; dan
(8) menyampaikan orasi ilmiah.
Kedua, penelitian dan penulisan karya ilmiah yang mencakup (1)
melakukan penelitian ilmiah, (2) menghasilkan penelitian dan karya
ilmiah, (3) penulisan buku ajar, (4) membimbing penelitian persiapan
penulisan skripsi, tesis, dan desertasi, (5) memimpin/berpartisipasi aktif
dalam seminar, pertemuan ilmiah, (6) membimbing penelitian untuk
menjurus ke spesialisasi dan membimbing pembuatan laporan ilmiah,
dan (7) asisten penelitian dalam persiapan skripsi.
Ketiga, kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang terdiri dari (1)
pembinaan institusional dan kader ilmiah; (2) merancang kebijaksanaan
rencana induk; (3) merancang kebijaksanaan dan keseluruhan rencana
induk akademik dan fisik; (4) pemegang otoritas dalam bidang
spesialisnya; (5) merencanakan dan melaksanakan program
pembentukan/pembinaan kader; dan (6) membantu masyarakat dengan
memberikan penyuluhan dan pelaksanaan hasil penelitian. 15

Menurut U.H. Saidah beban kerja dosen mencakup kegiatan pokok

yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran,

melakukan evaluasi pembelajaran, membimbing dan melatih, melakukan

penelitian, melakukan tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada

15 Peraturan Pemerintah RI No. 60 Tahun 1999


23

masyarakat. Beban kerja dosen sekurang-kurangnya sepadan dengan 12

SKS dan sebanyak-banyaknya 16 SKS.16

Sesuai dengan pedoman Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor:

02/PED/1.0/B/2012 tentang Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Dinyatakan

bahwa perguruan tinggi Muhammadiyah wajib melaksanakan catur dharma

perguruan tinggi Muhammadiyah yaitu pendidikan dan pengajaran,

penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan pengembangan Al-islam dan

Kemuhammadiyahan.

Setelah mengkaji dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat

disintesiskan bahwa kinerja adalah seperangkat perilaku yang berhubungan

dengan pekerjaan seseorang untuk mencapai tujuan organisasi, dengan

indikator: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan penulisan karya ilmiah,

pengabdian kepada masyarakat dan pengembangan Al-Islam, dan

Kemuhammadiyahan.

2. Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan merupakan salah satu aspek yang menentukan

keberhasilan suatu organisasi atau lembaga. Kepemimpinan yang baik akan

mempengaruhi bawahan untuk bekerja lebih baik, kreatif dan inovatif

sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan oleh organisasi atau

lembaga. Menurut Mukhneri Mukhtar kepemimpinan merupakan aktifitas

16 U.H. Saidah. Pengantar Pendidikan. (Jakarta: Rajawali Pres. 2016), hh.229-230


24

mempengaruhi orang untuk mau berusaha dan berjuang secara sungguh-

sungguh dan penuh kesadaran untuk tercapainya tujuan organisasi. 17

Sedangkan menurut Jejen Musfah kepemimpinan adalah seseorang

yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain

dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. 18

Kepemimpinan adalah pengaruh yang menimbulkan keyakinkan dan

mengerahkan bawahan agar mau bekerjasama sebagai suatu tim untuk

mencapai tujuan lembaga atau organisasi tertentu. Seorang pimpinan harus

dapat menginspirasi bawahan, memecahkan masalah, mengubah prilaku

bawahan dan mampu mencapai tujuan lembaga atau organisasi. Gaya

kepemimpinan transpormasional merupakan tipe pemimpin yang memiliki

pengaruh besar pada pengikutnya dan berpotensi untuk berinovasi dalam

suatu organisasi.

Dalam dunia pendidikan dikenal kepemimpinan pendidikan. Menurut

Nur Aedi kepemimpinan pendidikan adalah suatu kemampuan dalam

merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, serta menggerakan

seluruh sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah

ditentukan.19

Menurut Colquitt, Lepine & Wasson.


17 Mukhneri Mukhtar. Pengawasan Pendidikan. (Jakarta : BPJM Press. 2013),
h. 185
18 Jejen Musfah. Manajemen Pendidikan. Teori, Kebijakan dan Praktek. (Jakarta:
Prenada Media Grup. 2015), h. 300
19 Nur Aedi. Dasar-Dasar Manajemen Pendidikan. (Yogyakarta: Goysen
Publishing. 2016), h.106
25

Transformational leadership inspring followers to commit to a shared


vision that provides meaning to their work while also serving as a role
model who helps followers develop their own potential and view
problems from new perspectives.20

Kepemimpinan trasformasional melibatkan pekerja inspiratif untuk

berkomitmen untuk berbagi visi bersama yang menyediakan makna terhadap

pekerjaan mereka sementara itu juga sebagai model peran yang membantu

bawahannya mengembangkan potensi mereka dan memandang masalah

dan perspektif yang baru.

Kepemimpinan transformasional mampu mengendalikan bawahan untuk

melaksanakan program sesuai dengan kesepakatan tanpa paksaan.

Pimpinan dapat menginspirasi bawahannya, pemimpin yang komitmen

terhadap pekerjaan ini berarti pimpinan selalu berorientasi pada

pengembangan lembaga atau organisasi.

Menurut Daft definisi dari kepemimpinan transformasional adalah

Transformational leadership caracterized by the ability to bring about


significant change in both followers and the organization.
Transformational leaders have the ability to leed change in an
organization vision, strategy and culture as well as promote innovation
product and technologies.21

Kepemimpinan transformasional dikategorikan sebagai kemampuan

untuk membawa perubahan yang signifikan bagi pengikut dan organisasi,

20 Colquitt, J.A. Ibid. hh.475-476


21 Daft, L. Richard. The Leadership Experience, Fourth Edition (Australia: Thomson,
2015), h.360
26

para pemimpin transpormasional memiliki kemampuan untuk membawa

perubahan dalam sebuah visi organisasi, strategi, dan budaya serta

mempromosikan produk inovasi dan teknologi.

Sedangkan menurut McShane dan Van Gilnow kepemimpinan

transformasional adalah

Transformational leadership is about “leading” changing the


organization’s strategies and culture so that they have a better fit with
the surrounding environment. Transformational leaders are change
agents who energize and direct employee to a new set corporate values
and behaviors.22

Kepemimpinan transformasional adalah tantangan memimpin

mengubah strategi dan budaya organisasi menjadi lebih baik, sesuai dengan

lingkungan di sekitar pemimpin tansformasional yang merupakan agen

perubahan yang bersemangat untuk memperbaharui nilai-nilai dan prilaku.

Kedua pendapat ahli di atas mempunyai kesamaan yaitu tentang

perubahan pemimpin transformasional mampu mengubah lembaga atau

perusahaan yang terpuruk menjadi lembaga atau perusahaan yang unggul

secara bertahap sesuai dengan visi lembaga atau organisasi, karena

kemampuannya memanfaatkan sumber daya yang ada, baik sumber daya

manusia maupun sumber daya yang lainnya. Pemimpin transformasional

mampu mengubah sistem dan budaya yang buruk menjadi lebih baik.

22 Steven L. McShane dan Mary Ann Van Gilnow, Organizational Behavior 5th
edition. (Boston: McGraw-hill, 2010), hh. 371-372
27

Pemimpin transformasional memotivasi pengikutnya untuk bekerja

melampaui harapan dengan mempengaruhi mereka untuk mengejar

pencapaian lebih tinggi dan meyakinkan mereka untuk menggantikan

kepentingan dari mereka dengan kepentingan organisasi. Sedangkan

menurut Cevich, Konopasle dan Metteson kepemimpinan transformasional

adalah

Transformational leadership is motivates to work for goals instead of


short-term and for achievement and self actualization instead of
security, is able to epress a clear vision and inspire others to strive to
acoomplish the vision.23

Kepemimpinan transformasional adalah seorang pemimpin yang

memotivasi pengikutnya untuk bekerja jangka panjang bukan jangka pendek,

agar terwujud pencapaian dan aktualisasi diri, serta mampu

mengekspresikan visi yang jelas dan memberikan inspirasi kepada orang lain

untuk berusaha mencapai visi organisasi.

Menurut Cevich, Konopaske, dan Matteson, pemimpin transformasional

adalah “Transformational leader motivates followers to work for goals instead

of short term self interest and for achievement and self actualization instead

of security.”24

Pemimpin transformasional memotivasi pengikut untuk bekerja bukan

untuk tujuan jangka pendek kepentingan diri sendiri dan untuk pencapaian

23 Ivancevich, J.M, Konopaske, R & Matteson, M.T, Organizational Behavior and


Management, Eight Edition. (Boston: McGraw-hill, 2014), h. 454
24 Ivancevich, J.M, Konopaske, R & Matteson, M.T. Op.cit, h. 454
28

dan actualisasi diri menggantikan keamanan. Dari pendapat para ahli di atas

maka dapat dijelaskan bahwa kepemimpinan transformasioanal adalah

menggerakkan dan memotivasi bawahannya supaya bekerja lebih semangat

terarah dan efektif. Sehingga dapat mencapai tujuan dan visi organisasi baik

jangka pendek maupun jangka panjang. Salah satu faktor yang

mempengaruhi motivasi kerja seseorang adalah gaya kepemimpinan.

Dengan demikian kepemimpinan dapat pula berarti kemampuan memberi

motivasi kepada bawahan. Kepemimpinan transformasional diharapkan

dapat memberikan motivasi kepada bawahan.

Robbins and Judge mengemukakan bahwa: “Transformational leaders

are leaders who inspire followers to transcend their own self-interests and

who are capable of having a profound and extraordinary effect on followers.”25

Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mmapu memberi inspirasi

para pengikutnya untuk lebih mengutamakan kemajuan organisasi daripada

kepentingan pribadi, memberikan efek mendalam dan luar biasa pada para

pengikutnya.

Kepemimpinan tranformasional mengacu pada pemimpin memindahkan

langsung kepentingan pribadi pengikut luar melalui pengaruh ideal atau

karisma, inspirasi, stimulus, intelektual atau pertimbangan individu.

Menurut Cevich, Konopaske, dan Matteson.

25 Robbins, S.P & Judge, T.A. Organizational behavior. (Singapore Pearson:


Practice Hall, 2013), h. 383
29

Transformational leader include: (1) Charisma. The leader is able to


instill a sense of value, respect, and pride and articulate a vision. (2)
Individual Stimulation. The leader pay attention to followers need and
assigns. (3) Intellectual stimulation. The leader help follower rethink
rational ways to examine the situation.26

Kepemimpinan transformasional meliputi: (1) karisma. Pemimpin yang

dapat menghargai atau menilai suatu nilai kerja keras, peduli, kebanggan dan

yakin akan visi, (2) stimulasi individu. Pemimpin memperhatikan para

pegawai tentang kebutuhan dan kehadiran mereka, dan (3) stimulasi

pengetahuan. Pemimpin membantu para pegawai memikirkan lagi cari yang

rasional untuk memahami setiap situasi.

Sedangkan menurut Rosmiati dan Kurniadi

Kepemimpinan transformasional dibangun dari dua kata yaitu


kepemimpinan (leadership) dan transformasional (transformational).
Kepemimpinan sebagaimana dijelaskan diawal merupakan setiap
tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk mengkoordinasikan,
mengarahkan dan mempengaruhi orang lain dalam memilih dan
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Istilah transformasi berasal dari
kata to transform yang bermakna mentransformasikan atau mengubah
sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda misalnya
mentransformasikan visi menjadi realita atau mengubah sesuatu yang
potensial menjadi aktual.27

Dari beberapa pengertian di atas yang dikemukakan oleh para ahli,

sehingga dapat disintesiskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah

perilaku dan tindakan seorang pimpinan dalam mengarahkan dan

menggerakan bawahan untuk bekerja sama dalam melakasanakan tugas

26 Ivancevich, J.M. Op.cit, h. 455


27 Tatty Rosmiati dan Dedy Achmad Kurniadi. Manajemen Pendidikan. (Bandung:
Alfabeta. 2010), h.149
30

guna mencapai tujuan organisasi. Dengan indikator: bekerja ikhlas,

berkepribadian matang, keteladanan, menyelesaikan masalah, dan

mengubah kultur.

3. Budaya Kerja

Kata budaya berasal dari bahasa sansekerta ‘budhayah’ yaitu bentuk

jamak dari budhi atau akal dan kata majemuk budi-daya, yang berarti daya

dari budi, dengan kata lain budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta,

karsa, dan rasa. Oleh karena itu dapat diartikan budaya adalah keberhasilan

suatu pekerjaan dalam sebuah organisasi, berakar pada nilai-nilai yang

dimiliki oleh perilaku yang menjadi kebiasaan dari para anggota di dalam

organisasi tersebut. Nilai-nilai tersebut bermula dari kebiasaan, adat istiadat,

agama, norma, dan kaidah yang menjadi keyakinan dan kebiasaan dalam

perilaku kerja dalam suatu organisasi.

Secara sederhana budaya kerja dapat dipandang sebagai implementasi

konsep budaya dalam pekerjaan atau dalam suatu kelompok sebagaimana

dikemukakan oleh Schein berikut ini:

The culture of group can now be defined as a pattern of shared basic


assumptions that was learned by a group as it solved its problems of
external adaption and internal integration, that has worked well enough
to be considered valid and therefore, to be thaught to new members as
the correct way to perceive, thing and feel in relation to those
promblems28

28 Edgar Schein, Organizational Culture and Leadership (San Fransisco: Jhon


Wiley & Sons, Inc., 2004), h.18
31

Budaya yang berkembang dalam suatu kelompok atau organisasi dapat

didefinisikan sebagai pola asumsi dasar yang dipelajari dan disepakati

bersama untuk memecahkan suatu masalah yang terkait dengan adaptasi

dari integrasi eksternal dan internal, budaya berkembang karena sebelumnya

telah bekerja dengan baik sehingga dianggap valid dan oleh karena itu

budaya dapat diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang benar untuk

menyadari, berpikir serta merasakan hubungan dalam menghadapi masalah-

masalah kelompok.

Edward Bumett Tylor dalam Ndraha, T menyatatakan

Culture or civilization, taken in its wide ethnographic sense, is that


complex whole which includes knowledge, belief, art, morals, law,
costum, and any other capabilities and habits acquired by men as a
member of society.29

Pengertian Budaya dalam perseptif luas, yang meliputi: ilmu

pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan berbagai

kemampuan serta kebiasaan yang dimiliki oleh masyarakat, dengan kata lain

budaya dapat disimpulkan bahwa sebagai cara hidup orang yang diwariskan

dari generasi ke generasi melalui bermacam-macam proses pembelajaran

dalam rangka mencapai tarap hidup yang layak dalam lingkungannya,

terutama lingkungan kerja.

29 Ndraha, Taliziduhu, Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia


(Bandung: Rosdakarya, 1997), h. 76
32

Budaya kerja itu merupakan konsekuensi dalam sebuah organisasi

yang dibentuk oleh seperangkat nilai dan keyakinan, yang dijadikan pedoman

kedepan sehingga memiliki dampak yang besar dalam prilaku, kualitas dan

kuantitas kerja yang dilakukan oleh para karyawan dalam organisasi. Jadi

budaya kerja adalah suatu keberhasilan dalam pekerjaan, berawal dari

pedoman berisikan nilai-nilai dan keyakinan yang menjadi kebiasaaan dari

para anggota dalam organisasi seperti adat kebiasaan, agama, norma dan

kaidah yang menjadi keyakinan bersama untuk masa depan organisasi

sehingga mampu menciptakan dan mewujudkan prilaku kerja karyawan yang

bersemangat tinggi serta berkualitas.

Menurut Nawawi, budaya kerja adalah

Kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang oleh pegawai dalam suatu


organisasi, pelanggaran terhadap kebiasaan ini memang tidak ada
sangsi tegas, namum dari perilaku organisasi secara moral telah
menyepakati bahwa kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang
harus ditaati dalam rangka pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai
tujuan30

Menurut Triguno menerangkan bahwa:

Budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup
sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan
pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat
atau organisasi yang tercermin dari sikap menjadi perilaku,
kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai
kerja atau bekerja31

30 Nawawi Hadari, Manajemen Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: Universitas


Gajah Mada Press. 2003), h. 65
31 Triguno, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Lembaga Administrasi
Negara, 2006), h.30
33

Budaya kerja merupakan kebiasaan yang dilakukan secara berulang-

ulang, kebiasaan tersebut dapat juga sebagai pendorong untuk membentuk

suatu sikap menjadi perilaku, cita-cita serta tindakan yang terwujud sebagai

kerja.

Budaya kerja menurut Osborn, et.al. adalah seperangkat perilaku

perasaan dan kerangka psikologis yang tereleminasi sangat mendalam dan

milik bersama oleh anggota organisasi32.

Budaya kerja dapat dilihat dari sikap terhadap pekerjaan dan perilaku

waktu bekerja disamping itu merupakan kebiasaan, peraturan dan norma

serta nilai yang berlaku. Budaya dikaitkan dengan kinerja disebut budaya

kerja. Budaya kerja sebagaimana didefinisikan oleh Schein adalah “Define

the culture of a group or organization as shared assumptions and beliefs

about the world and their place in it, the nature of time and space, human

nature and human relationships.” 33

Budaya kerja adalah asumsi-asumsi atau kepercayaan-kepercayaan

yang sama mengenai dunia dan tempat mereka, waktu dan ruangan, dan

hubungan manusia.

32 Osborn dan Plastrik, Manajemen Sumber Daya Manusia (Yogyakarta: BPFE,


2002), h. 252
33 Colquitt, J.A. Op.cit, h. 303
34

Hal tersebut tidak dapat dipungkiri, karena budaya kerja selalu

melibatkan banyak hal seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, moralitas,

hukum, adat, dan kapabilitas-kapabilitas serta kebiasaan-kebiasaan lainnya.

Pattanayak, juga mempunyai pemahaman tentang budaya kerja, yaitu

Has developed the notion of work culture as the human environment


within which an organization’s employees perform their jobs. A positive
culturewould improve the performance of an organization in different
ways such as placing constraints on the individual’s freedom of choice
and providing a source of rewrd and punishment.34

Budaya kerja adalah bagaimana pimpinan menciptakan lingkungan

kerja organisasi yang baik, agar karyawan dapat melaksanakan

pekerjaannya, karena buyada kerja dapat terbentuk secara positif akan

meningkatkan kinerja organisasi dalam berbagai hal, seperti: merubah sikap

dan prilaku karyawan untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi

dalam menghadapi tantangan masa depan.

Organizational culture as the shared social knowledge within an


organization regarding the rules, norms, and values that shape the
attitudes and behaviors of its employees. Employees learn about most
important aspects of culture through other employees. This transfer of
knowledge might be through explicit communication, simple
observation, less obvious methods. Culture tells employees what the
rules, norms, and values within the organization. What are the most
important work outcomes to focus on? What behaviors are appropriate
or inappropriate at work? How should a person act or dress while at
work? Organizational culture shapes and reinforces certain employee
attitudes and behaviors by creating a system control over employees.35

34 Pattanayak, B. Corporate HRD. (New Delhi: Excel Books, 1998), hh. 26-40
35 Colquitt, J.A. Op.cit, h. 534
35

Budaya kerja sebagai pengetahuan sosial bersama dalam suatu

perusahaan mengenai aturan, norma, dan nilai-nilai yang membentuk sikap

dan perilaku karyawan. Karyawan belajar tentang aspek yang paling penting

dari budaya melalui karyawan lainnya. Transfer pengetahuan ini mungkin

melalui komunikasi eksplisit, pengamatan sederhana, metode yang kurang

jelas. Budaya memberitahu karyawan tentang aturan, norma, dan nilai-nilai

dalam perusahaan. Apa hasil kerja yang paling penting untuk difokuskan?

Perilaku apa yang cocok atau tidak di tempat kerja? Bagaimana seharusnya

orang bertindak atau berpakaian saat bekerja? Budaya kerja membentuk dan

memperkuat sikap dan perilaku karyawan tertentu dengan membuat sistem

kontrol atas karyawan.

Sedangkan menurut Schein, E.H. yang dikutip oleh Victoria Miroshnik

dalam buku Organizational Culture and Commitment menyatakan bahwa

Organizational culture as collection of unconscious beliefs and


assumptions, which determine values of the organization and through
these values both organizational collective and individualistic actions of
the organizations would be shaped.36

Budaya organisasi sebagai kumpulan keyakinan yang tidak disadari dan

asumsi, yang mementukan nilai-nilai organisasi dan akan dibentuk melalui

nilai-nilai kolektif dan individual.

Budaya kerja di setiap lembaga atau organisasi berbeda. Hal ini

dikarenakan lingkungan kerja dan sikap perilaku dari setiap orang yang ada

36 Victoria Miroshnik. Organizational Culture and Commitment. (New York:


Palgrave Macmillan. 2013), h.11
36

di lembaga atau organisasi tersebut berbeda. Budaya kerja yang terbentuk

secara positif akan bermanfaat karena setiap anggota dalam satu lembaga

atau organisasi membutuhkan sumbangan pemikiran, saran, pendapat,

bahkan kritik yang bersifat membangun dari semua anggota untuk kemajuan

lembaga atau organisasi tersebut. Namun budaya kerja yang negatif akan

mempengaruhi lingkungannya apabila tidak diarahkan oleh pimpinan. Untuk

memperbaiki budaya kerja yang baik membutuhkan waktu yang lama untuk

merubahnya maka perlu adanya pembinaan dan pembenahan yang dimulai

dari sikap dan tingkah laku pimpinannya kemudian diikuti oleh bawahannya.

Terbentuknya budaya kerja diawali dari kesadaran pemimpin, dimana

besarnya hubungan antara pemimpin dengan bawahannya akan menentukan

cara tersendiri apa yang dijalankan dalam perangkat satuan kerja dalam

organisasi maka budaya kerja terbentuk dalam satuan kerja itu sendiri artinya

pembentukan budaya kerja terjadi ketika lingkungan kerja atau organisasi

belajar dalam menghadapi permasalahan yang menyangkut masalah

organisasi.

Adapun cakupan makna setiap nilai budaya kerja tersebut, antara lain :

1) Disiplin
Perilaku yang senantiasa berpijak pada peraturan dan norma yang
berlaku didalam maupun diluar perusahaan. Disiplin meliputi ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan, prosedur, berlalu lintas,
waktu kerja, berinteraksi dengan mitra dan sebagainya.
2) Keterbukaan
Kesiapan untuk memberi dan menerima informasi yang benar dan
kepada sesama mitra kerja untuk kepentingan perusahaan.
3) Saling menghargai
37

Perilaku yang menunjukan penghargaan terhadap individu, tugas dan


tanggung jawab orang lain sesama mitra kerja.
4) Kerjasama
Ketersediaan untuk memberi dan menerima kontribusi dari dan atau
kepada mitra kerja dalam mencapai sasaran dan target perusahaan. 37

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disintesiskan bahwa

budaya kerja adalah nilai-nilai dan norma yang menjadi kebiasaan dari pada

anggota dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi, dengan

indikator: ketekunan, kreatif, saling menghargai, bekerja sama, dan

menyesuaikan diri.

4. Integritas

Kata integritas pada dasarnya berasal dari kata latin yaitu dari kata

‘integer’ yang artinya lengkap ataupun utuh. Jika diartikan dari asal katanya

maka kata integritas dapat diartikan sebagai sebuah usaha yang utuh dan

lengkap yang didasari dengan kualitas, kejujuran serta konsistensi karakter

seseorang.

Integritas merupakan salah satu atribut terpenting yang harus dimiliki

seseorang baik pemimpin maupun yang dipimpin. Integritas adalah suatu

konsep berkaitan dengan kejujuran, konsisten, tanggung jawab, keterbukaan

dan komitmen.

Menurut Eisenberg, Goodall Jr. Dan Trethewey integritas adalah :

37 Achmad Rozi. Budaya Kerja. http://arozieleroy.wordpress.com/2010/07/13/


budayakerja.html (diakses 12 November 2016)
38

Mindful state of acting and communicating purposefuly to fulfill the


promises and commitments you make to others. We associate integrity
with honestly, openness, commitment and trust. We also associate it
with women and men who consciously make choices about treating
others fairly and equitably.38

Integritas adalah suatu keadaan sadar dalam bertindak dan

berkomunikasi untuk memenuhi janji-janji dan komitmen pada orang lain.

Integritas diasosiasikan dengan kejujuran, keterbukaan, komitmen dan

kepercayaan.

Sedangkan menurut Robbins dan Judge

Integrity refers to honestly and truthfulness. It seems the most critical


characteristic in assessing another’s trustworthiness. When 570 white-
collar employees were given a list of 28 attributes related to leadership,
they rate honestly the most important by far. Integrity also means having
consistency between what yo dou and say. “nothing is noticed more
quickly, than a discrepancy between what executives preach and what
they expect their associates to practice39.

Integritas berhubungan dengan kejujuran dan kebenaran yang

merupakan hal penting dalam menilai kepercayaan orang lain. Integritas

menunjukan konsistensi seseorang dalam bertindak sesuai apa yang

dikatakan. Dengan kata lain, Integritas berkaitan dengan perilaku seseorang

dalam melaksanakan suatu kegiatan sesuai dengan tugas yang diberikan.

Dari kedua pendapat di atas memiliki kesamaan yakni integritas berakar

dari kejujuran, keterbukaan, kepercayaan, dan komitmen yang diwujudkan

38 Eric M. Eisenberg, H.L Goodall Jr, Angela Trethewey, Organizational


Communication Balancing Creativity and Constraint (Boston: Bedford, 2010), h. 46
39 Robbins, S.P & Judge, T.A. Organizational behavior (Boston: Prentice hall 2013),
h. 555
39

dalam melaksanakan suatu kegiatan didalam suatu lembaga atau organisasi.

Perilaku tersebut diperlukan oleh seseorang dalam melaksanakan tugas dan

fungsinya untuk mencapai tujuan lembaga atau organisasi.

Menurut Lokcke :

Integrity is demontrated by being truthful, expressing a consistent set of


values, acting in a way that is consistent with one’s espoused values,
taking personal risks to promote and defend important values, and
carrying out promises and agreements. 40

Integritas dapat ditunjukan dengan bersikap jujur, mengekspresikan

nilai-nilai secara konsisten, bertindak secara konsisten sesuai dengan nilai-

nilai yang dianut, berani mengambil resiko untuk meningkatkan dan

mempertahankan nilai-nilai yang penting dan melaksanakan janji sesuai

dengan kesepakan yang telah dibuat.

Integrity refers to behavior that honest and ethical, making a person


trustworthy. Integrity is the opposite of seeking self-interest at the
expense of others; its about being honest- no lying, cheating or stealing.
Integrity is essential to running a successful business 41.

Integritas berarti perilaku yang jujur dan etis, membuat seseorang dapat

dipercaya. Integritas adalah tidak mencari kepentingan sendiri dengan

mengorbankan orang lain. Integritas tentang perilaku jujur, tidak

berbohong,menipu dan mengambil hak orang lain.

40 Edwin A. Locke, Handbook of Principles of Organizational Behavior (West


Sussex:
Jhon Wiley & Sons. Ltd, 2009),h. 355
41 Robert N. Lussier, Christoper F. Achua, Leadership, Theory, Application & Skill
Development (Mason, Cengage Learning, 2010), h. 39
40

Integrity is defined as the unity of thought, word and deed (honestly)


and open mindedness. It includes the capacity to communicate the
factual information so that others can make well-informed decisions. It
yields the person’s peace of mind, and hence adds strength and
consistency in character, decisions and actions. This paves way to
one’s success.42

Integritas didefinisikan sebagai kesatuan pikiran, perkataan dan

perbuatan (kejujuran) dan pikiran terbuka. Ini termasuk kemampuan

mengkomunikasikan informasi faktual sehingga orang lain dapat membuat

keputusan yang baik. Integritas menghasilkan ketenangan pikiran dan

karenanya menambah kekuatan dan konsistensi dalam karakter, keputusan

dan tindakan.

Dari pendapat diatas integritas sangat diperlukan untuk menjalankan

aktifitas sehari-hari sesuai dengan tugas yang diberikan untuk mencapai

suatu kesuksesan. Seseorang yang memiliki integritas yang tinggi dapat

mengantarkan seseorang kepada keberhasilan dan kesuksesan.

Intergitas merupakan cerminan dari kualitas kejujuran dan kepercayaan

seseorang. Kepercayaan berkaitan dengan kata-kata yang diwujudkan

menjadi kenyataan yaitu dengan tindakan yang dilakukan secara jujur,

karena dengan kejujuran maka akan mendapatkan kepercayaan dari orang

lain baik dari segi perkataan maupun dari segi tanggung jawab.

Integrasi juga dapat menghasilkan reputasi yang baik, artinya bila

seseorang punya integritas tinggi dalam dunia kerja maka seseorang tidak

42 R.S. Naagarazan, Textbook on Professional Ethics and Human Values. (New


Delhi: New Age International, 2006), h. 5
41

hanya memiliki citra yang baik saja tetapi memiliki reputasi yang baik, seperti

orang/karyawa pasti akan mampu menyesuaikan antara perkataan maupun

tindakan yang dilakukannya. Perkataan yang baik akan menghasilkan citra

yang baik sedangkan perkataan dan tindakan yang baik akan menghasilkan

reputasi yang baik dimata orang lain. Ini sejalan dengan pendapat

Schermerhom yang mengatakan “Integrity is a match between the

statements of an invidual and his or her actions.”43 Integritas adalah

kecocokan antara pernyataan individu dan tindakannya.

Integritas dianggap sebagai kebijakan moral dan merupakan sasaran

utama dalam penbentukan karakter individu seseorang. Karena intergritas

kebijakan moral inila yang menjadikan masing-masing individu dalam

masyarakat plural mampu bekerja sama memperjuangkan dan

merealisasikan apa yang baik, yang luhur, adil dan bermartabat bagi

manusia, apapun perbedaan yang mereka miliki. Integritas kebijakan moral

memberikan penghargaan utama terhadap kehidupan, harkat dan martabat

manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Integritas moral muncul jika

individu mampu mengambil keputusan melalui proses pertimbangan rasional,

melaksanakannya dalam tindakan secara bijak yang sesuai dengan ruang

dan waktu. Kemudian integritas moral termasuk didalamnya kemampuan

individu untuk membuat kebijakan praktis yang bermakna bagi hidupnya

sendiri dan orang lain. Sedangkan menurut Rivai dan Murni integritas adalah

43 John. R. Schemerhom, Op.cit.


42

ketaatan pada nilai-nilai moral dan etika yang diyakini seseorang dan

membentuk perilakunya sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat. 44

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disintesiskan bahwa

integritas adalah perilaku seseorang yang didasari oleh kejujuran,

kepercayaan dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas yang diberikan

oleh organisasi, dengan indikator: berbicara yang benar, membuka diri,

mentaati aturan, membangun kepercayaan, dan menunjukan konsistensi.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Berikut ini disajikan hasil penelitian terdahuli yang relevan dengan

permasalan penelitian.

1. Penelitian yang dilakukan oleh Ana Sri Ekaningsih 45 yang berjudul The

Effect of transformational leadership on the employees’ Performance

through intervening variables of empowerment, trust, and satisfaction (A

Study on Coal Companies in East Kalimantan). Tujuan penelitian ini

untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap

kinerja melalui pemberdayaan, kepercayaan, dan kepuasan dengan para

pemimpin. Data dikumpulkan melalui kuesioner 201 responden dan

dianalisis dengan menggunakan metode analisis jalur. Hasilnya


44 Veithzal Rivai dan Sylviana Murni. Education Management. (Jakarta: Rajawali
Pres. 2009), h. 297
45 Ekaningsih, Ana Sri. The Effect of Transformational Leadership on the
Employees’ Performance Through Intervening Variables of Empowerment, Trust,
and Satisfaction (A Study on Coal Companies in East Kalimantan). (Europian
Journal of Business and Management, Vol.6. No.22, 2014), hh.111-117
43

menunjukan bahwa secara langsung, kepemimpinan transformasional

lebih efektif memberi efek langsung pada kinerja daripada melalui

pemberdayaan, kepercayaan, dan kepuasan dengan para pemimpin.

Pemberdayaan dan kepercayaan pada para pemimin, baik secara

keseluruhan maupun sebagian, mempengaruhi kepuasan secara

signifikan.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Khuzaeni, MS. Indrus, Dhumahir,

Solimun46 yang berjudul The Influence of Work Culture, Work Stress to

the Job Satisfaction and Employees Performance in the State Treasury

Servoce Office in Jakarta, Indonesia bertujuan untuk menjelaskan

hubungan antara variabel budaya kerja, tekanan kerja, kepuasan kerja,

terhadap kinerja pekerja di kantor dinas perbendaharaan negara Jakarta.

Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa jika budaya kerja perlu dibangun

dengan kuat untuk mengurangi stres kerja dan meningkatkan kepuasan

kerja yang pada akhirnya meningkatkan kinerja karyawan.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Baharom Mohamad, Halimah Tussaadiah

Mat Saad & Sharifah Hayaati Syed Ismail 47 dengan judul “The Role of

Integrity as A Mediator Between Work Satisfaction and Work


46 Khuzaeni, MS. Idrus, Djumhari & Solimun. The Influence of Work Culture, Work
Stress to the Job Satisfaction and Employees Performance in the State Treasury
Service Office in Jakarta, Indonesia. (IOSR Journal of Business and
Management, Vol.9. No.2, 2013), hh 49-54.
47 Mohammad, B. Saad, H.S.A & Ismail, S.H.S. The Role of Integrity as a Mediator
Between Work Satisfaction and Work Performance in The Perspective of Islam:
an Empirical Approach Using SEM/AMOS Model. (International Journal of
Research in Applied. Vol.2. No.1, 2014), hh.71-84.
44

Performance in The Perspective of Islam: An Empirical Approach using

SEM/AMOS Model”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kepuasan

kerja dalam perspektif islam (WSI) melalui dimensi WSI spiritual, WSI

Intelektual, WSI Sosial, dan WSI Material terhadap integritas dan kinerja

kerja. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk mengukur peran

integritas sebagai variabel mendiator dalam hubungan antara kepuasan

kerja dalam perspektif islam (WSI) melalui dimensi WSI spiritual, WSI

Intelektual, WSI Sosial, WSI Material dan kinerja. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa integritas bertindak penuh sebagai mediator dalam

model antara WSI Spiritual dan WSI Intelekstual dengan kinerja, tetapi

hanya bertindak sebagai mediator parsial antara WSI Sosial dan kinerja.

Secara keseluruhan, penelitian ini memberikan alternatif jawaban

bagaimana integritas IET yang dikelola berdasarkan kepuasan kerja

dalam perspektif islam dapat menentukan kinerja.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Parry, K.W. & Proctor-Thomson, S.B. 48

yang berjudul Perceived Integrity of transformational leaders in

organizational settings. Tujuan dari peneltian ini adalah untuk menangani

masalah secara langsung dengan menilai hubungan statistik antara

integritas pemimpin yang dirasakan dan kepemiminan transformasional

48 Parry, K.W. & Proctor-Thomson, S.B. Perceived Integrity of transformational


leaders in organizational settings. (Journal of Business ethics, Vol.35. No.2,
2002), hh.75-96
45

dengan menggunakan skala integritas pemimpin perceived (leader

integrity scale / PLIS) dan Multi-factor leadership questionnaire (MLQ).

5. Penelitian serupa dilakukan oleh Diana Sulianti K. Tobing dan Muh.

Syaiful49 dengan judul “The Influence of Transformational Leadership and

Organizational Culture on Work Motivation and Employee Performance at

the State Property Service Office and Auction in East Java Province”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kepemimpinan

transformasional, budaya organisasi, dan motivasi kerja terhadap kinerja

karyawan pada Kantor Pelayanan dan Lelang Negara Bagian di Propinsi

Jawa Timur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemimpinan

transformasional tidak berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja.

Budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja.

Kepemimpinan transformasional belum berpengaruh signifikan terhadap

kinerja karyawan. Budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap

kinerja karyawan. Motivasi kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja

karyawan.

6. Penelitian yang dilakukan oleh Anja S. Van Aswegen 50 berjudul The

relationship between transformational leadership, integrity and an ethical


49 Diana Sulianti K. Tobing & Muh. Syaiful. The Influence of Transformational
Leadership and Organizational Culture on Work Motivation and Employee
Performance at The State Property Service Office and Auction in East Java
Province. (International Journal of Business and Commerce, Vol. 5 No.6), hh. 37-
48
50 Anja S. Van Aswegen. The relationship between transformational leadership,
integrity and an ethical climate in organizations. (SA Journal of Human Resource
Management, Vol.7. No.1. 2009), hh.221-229
46

climate in organizations. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

memvalidasi model teoritis untuk menjelaskan hubungan antara

kepemiminan, integritas dan eklim etis. Hasilnya menunjukan bahwa

kepemimpinan transformasional memiliki efek positif pada dimensi iklm

etis. Tidak ditemukan dukungan yang meyakinkan untuk proposisi bahwa

integritas memoderatori hubungan antara kepemimpinan

transformasional dan dimensi iklim etis.

7. Manal ElKordy51 dengan judul “Transformational Leadership and

Organizational Culture as Predictors of Employees Attitudinal Outcomes”.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk membahas sejauh mana

kepemimpinan transformasional dan budaya organisasi mempengaruhi

hasil objektif karyawan, serta pengaruh kepuasan kerja terhadap

komitmen organisasi. Hasil penelitian memberikan dukungan terhadap

semua hipotesis penelitian. 47% varians dalam kepuasan kerja dijelaskan

oleh persepsi budaya organisasi dan kepemimpinan transformasional

dengan budaya memiliki dampak yang lebih kuat, sedangkan 69%

varians dalam komitmen organisasi dijelaskan oleh kepuasan kerja

karyawan, budaya, dan kepemimpinan tranformasional, dengan

kepuasan memiliki dampak yang paling kuat diikuti oleh budaya dan

kepemimpinan transformasional.

51 ElKordy, Manal. Transformational Leadership and Organizational Culture as


Predictors of Employees Attitudinal Outcomes. (Business Management
Dynamics, Vol. 3. (5), 2013), hh.15-26
47

8. Penelitian yang dilakukan oleh Seidmehdi Veiseh, Esfandyar

Mohammadi, Mohsen Pirzadian, dan Vahid Sharafi 52 dengan judul “The

Relation between Transformational Leadership and Organizational

Culture (Case Study: Medical school of Ilam)”. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan transformasional

terhadap budaya organisasi. Hasil dari penelitian ini yaitu ada hubungan

yang berarti antara kepemimpinan transformasional dan budaya

organisasi. Selain itu budaya dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti

pengaruh harapan, motivasi inspirasional dan pengamatan pribadi. Di sisi

lain, dorongan intelektual tidak berpengaruh pada budaya organisasi.

C. Kerangka Teoritik

1. Kepemimpinan Transformasional dan Kinerja

John. R. Schemerhom menyatakan bahwa:

Deterd and Burris found that leader positivity or personalize behavior is


not enough to generate employee. Instead, if leaders are going to
overcome employee restraint in spealing up, they need to indicate
openess to change and willingness to act on input from below. Although
transformational leader behaviors are positively related to voice,
openess behaviors clearly send the stronger signal that voice is
welcome. So, the outhors concluded that the signals leaders send are
keys inputs to employees in assesing the potential costs and benefits of
speaking up.53

52 Veiseh, S, Mohammadi, E, Pirzadian, M, dan Sharafi, V, The Relation between


Transformational Leadership and Organizational Culture (Case Study: Medical
school of Ilam), (Journal of Business Studies Quarterly, Vol. 5. (3), 2014), hh.113-
124.
53 John. R. Schemerhom. Op.cit, h. 267
48

Deterd dan Burris menemukan bahwa pemimpin yang berpikir positif

atau personalisasi perilaku ini tidak cukup untuk mendengarkan suara

karyawan. Sebaliknya, jika pemimpin akan mengatasi pengekangan

karyawan dalam berbicara, mereka perlu menunjukan keterbukaan untuk

perubahan dan kemauan untuk bertindak berdasarkan masukan dari

bawahan. Oleh karena itu kepemimpinan transformasional harus berperilaku

positif dan mendengarkan suara karyawan, terbuka dan memberikan

kebebasan pada karyawan untuk memberikan kebebasan pada karyawan

untuk memberikan masukan, dengan harapan menemukan kinerja yang lebih

baik. Sehingga penulis meyimpulkan bahwa pendapat karyawan / pegawai

merupakan input untuk menghasilkan kinerja yang baik.

Casimir and Waldman et al. dalam penelitiannya menyatakan

Also test the effect of transactional and transformational leadership on


subordinates performance by in corporating trust on the leaders as an
intervening variable. The tests are conducted on two different
companies which have different cultures, namely in Australia and China.
The result in Australia shows that transformational leadership influences
subordinates performance and is mediated by trust on the leaders. 54
Casimir and waldman et al. juga menguji pengaruh kepemimpinan

transaksional dan transformasional pada prestasi bawahan dengan

menggunakan kepercayaan pada pemimpin sebagai variabel intervening. Tes

dilakukan pada dua perusahaan berbeda yang memiliki budaya yang

54 Casimir, G Waldman, Bartram, T. & Yang, S. Trust and Relationship Between


Leadership and Follower Performance. (Journal of Leadership and Organizational
Studies, Vol. 12 No.3, 2006), hh.156-190
49

berbeda, yakni Australia dan China. Hasil di Australia menunjukan bahwa

kepemimpinan transformasional mempengaruhi prestasi bawahan, dan

dimediasi oleh kepercayaan pada pemimpin.

Mutu lembaga cermin pemimpinnya, pemimpin lah yang bertanggung

jawab terhadap mutu lembaga, karena pemimpin memiliki tugas dan

kewenangan menggunakan bawahan (dosen dan staff)

Colquitt, Lepine, dan Wesson menyatakan

Transformational leadership has a moderate positive effect on


performance. Employees with transformational leaders tend to have
higher levels of Task Performance. They are also more likely to engage
in Citizens Behavior. Less is known about the effects of transformational
leadership on Counterproductive Behavior. Transformational leaders
tend to foster leader-member exchange relationships that are of higher
quality, marked by especially strong levels of mutual respect and
obligation.55

Kepemimpinan transformasional memberikan pengaruh positif pada

kinerja. Karyawan dengan pemimpin transformasional cenderung memiliki

tingkat kinerja yang lebih tinggi. Mereka juga lebih mungkin memiliki perilaku

yang sama dengan pekerja yg lain yang disebut dengan Citizens Behavior.

Namun, kepemimpinan transformasional tidak terlalu mempengaruhi pada

Perilaku kontraproduktif. Pemimpin transformasional cenderung membina

hubungan pertukaran pemimpin-anggota yang berkualitas tinggi, ditandai

dengan tingkat rasa saling menghormati atas kewajiban kerja masing-

masing.

55 John. R. Schemerhom, JR, Richard N. Osborn, Mary, Uhl-Bien, James. G. Hunt.


Organizational Behavior. 11 Edition. (Asia: John Wiley & Sons, 2012), h.483
50

Pemimpin transformasional membawa perubahan yang lebih baik bagi

lembaga secara bertahap dengan dukungan hati yang bersih, tim kerja dan

sarana prasarana yang memadai. Kinerja akan maksimal apabila didukung

oleh pimpinan. Jika kepemimpinan baik, maka dapat mempengaruhi kinerja.

Sehingga dapat disimpulkan diduga bahwa kepemimpinan transformasional

mempengaruhi kinerja.

2. Budaya Kerja dan Kinerja

Robbins menyatakan

First and foremost, decision makers should consider the unintended


consequences of reward systems. Second, top management should
foster an organizational culture honestly and fair dealing and
desseminate it through all levels of the organizational hierarchy. Finally,
organizations might even consider findings ways to explicitly reward
those employees who engage in “above and beyond” instances of
ethical behavior. It could be conclude that: reward and taking honestly
and wisely decision are the steps for achieving the organizations. 56

Pertama dan yang terpenting, para pengambil keputusan harus

mempertimbangkan konsekuensi dari sistem penghargaan. Kedua, atas

manajemen harus menumbuhkan budaya organisasi kejujuran dan adil dan

menyebarluaskan melalui semua tingkat hirarki organisasi. Akhirnya,

organisasi mungkin bahkan mempertimbangkan menemukan cara untuk

secara eksplisit imbalan karyawan yang terlibat dalam “atas dan di luar”

contoh perilaku beretika. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, imbalan,

56 Stephen P. Robbins. Op.cit, h. 209


51

kejujuran, dan kebijaksanaan merupakan incon untuk meraih prestasi dalam

bekerja.

Khuzaeni, MS. Idrus, Djumhari & Solimun menyatakan

Culture significantly influenced the employee performance. Work culture


that emphasized high productivity that employee work despite declining
job satisfaction evidently increased performance because employees
felt that the worl that had been done bound regulatory organization that
must be implemented.57

Khuzaeni, MS. Idrus, Djumhari & Solimun menyatakan budaya secara

signifikan mempengaruhi kinerja karyawan. Budaya kerja yang menekankan

produktifitas yang tinggi bahwa karyawan bekerja meskipun kepuasan kerja

menurun sebagai bukti bahwa kepuasan kerja meningkatkan kinerja karena

karyawan merasa bahwa pekerjaan yang telah dilakukan secara terikat

peraturan organisasi adalah yang harus dilaksanakan.

Menurut Schein mengatakan bahwa budaya kerja sebagaimana suatu

asumsi dan kepercayaan yang terbagi di dalamnya, hubungan dengan waktu,

ruang dan hubungan dengan manusia. 58 Perubahan skala besar di dalam

organisasi atau kerja biasanya memperoleh beberapa perubahan didalam

budaya kerja juga berpengaruh langsung terhadap individu. Dengan

perubahan budaya kerja, top management dapat secara tidak langsung

mempengaruhi motivasi dan sikap anggota organisasi. Fungsi dari budaya

57 Khuzaeni, MS. Idrus, Djumhari & Solimun. Op.cit, h. 50


58 Edgar H. Schien. Organizational Culture and Leadership 4th Edition. (USA:
Jossey
Bass, 2010), hh. 303-307
52

adalah untuk membantu kita mengerti lingkungan dan menentukan

bagaimana untuk meresponnya. Mengurangi kecemasan, ketidakpastian, dan

kebingungan. Budaya kerja terlibat pada asumsi, kepercayaan, dan nilai yang

dibagikan oleh anggota organasasi atau kerja. Budaya dapat dipengaruhi

oleh beberapa aspek sikap atau tingkah laku kepemimpinan termasuk

contoh-contoh yang dibuat oleh pemimpin. Nilai budaya mempunyai sedikit

pengaruh terhadap kinerja orientasi kepada sikap pemimpin budaya kerja

dan kebutuhan indvidu pemimpin serta karakteristik personality (keberhasilan

dan motivasi).

Ndraha mendefinisikan budaya kerja merupakan sekelompok pikiran

dasar atau program mental yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan

efisiensi kerja dan kerjsama manusia yang dimiliki oleh suatu golongan

masyarakat59. Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti yang sangat

mendalam, karena akan merubah sikap dan perilaku sumber daya manusia

untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi

tantangan di masa depan.

Colquitt, Lepine, dan Wesson menyatakan bahwa:

The culture of an organization is not really strong or weak. Strong


cultures take a long time to develop and are very difficult to change.
Individuals working within strong culture are typically very aware of it.
Strong cultures guide employee attitudes and behavior, but that doesn’t
always mean that they guide them toward the most successful
organizational outcomes. Thus, the effect of organizational culture on

59 Taliziduhu, Op.cit, h. 90
53

job performance is positively weak because organizational culture is


more related to citizenship behaviors than to task performance. 60

Budaya kerja tidak benar-benar kuat atau lemah. Budaya kerja yang

kuat membutuhkan waktu lama untuk dikembangkan dan sangat sulit untuk

berubah. Individu yang bekerja dalam budaya yang kuat biasanya sangat

menyadari hal itu. Budaya kerja yang kuat membentuk sikap dan perilaku

karyawan, tapi itu tidak selalu berarti bahwa mereka dibimbing untuk menuju

hasil kerja yang berhasil. Dengan demikian, pengaruh budaya kerja terhadap

kinerja adalah positif lemah karena budaya kerja lebih terkait dengan perilaku

sebagai karyawan secara keseluruhan pada suatu perusahaan daripada

kinerja tugas perseorangan.

Berdasarkan pendapat di atas dapat diduga budaya kerja

mempengaruhi kinerja.

3. Integritas dan Kinerja

Mohammad, B. Saad, H.S.A & Ismail, S.H.S. menyatakan

Integrity of an individual as a mentor or link to improve work


performance. They study justified that the element of spiritual, social,
and intellectual are those elements that should be developed and
practised so that the ultimate goal of cultivating personal values in an
organisation, especially school, can be realised. Thus, the idea of
secularism, which promotes materialistic and becomes a barrier in
satisfying islamic education philosophy, should be avoided.61

60 Colquitt, J.A. Op.cit, hh.543 & 552


61 Mohammad, B. Saad, H.S.A & Ismail, S.H.S. Op.cit, h.71
54

Mohammad, B. Saad, H.S.A & Ismail, S.H.S. menyatakan integritas

individu sebagai mediator atau link untuk meningkatkan kinerja. Studi ini

dibenarkan bahwa unsur spiritual, sosial dan intelektual yang elemen-elemen

yang harus dikembangkan dan dipraktekan sehingga tujuan akhir dari

budidaya nilai-nilai pribadi dalam sebuah organisasi, terutama sekolah, dapat

direalisasikan. Dengan demikian, gagasan sekularisme, yang

mempromosikan materialistis dan menjadi penghalang dalam memuaskan

filsafat pendidikan islam, harus dihindari.

Integritas merupakan salah satu variabel penting yang berpotensi

mendorong kinerja. Menurut amann: “Integrity facilitated the emergence of

leadership in initially leaderless work grups, which in turn positively impacted

performance.”62 Integritas menfasilitasi munculnya kepemimpinan dalam

kelompok kerja yang awalnya tanpa pemimpin dan pada gilirannya

berdampak positif terhadap kinerja.

Colquitt, Lepine, dan Wesson menyatakan bahwa:

One dimension of trustworthiness is integrity, defined as the perception


that the authority adheres to a set of values and principles that the
trustor finds acceptable. When authorities have integrity, they are of
sound character-they have good intentions and strong moral discipline.
Integrity also conveys an allignment between words and deeds – a
sense that authorities keep their promises, “walk the talk”, and “do what
they say they will do”. Employees who are willing to be vulnerable to
authorities tend to have higher levels of task performance. 63

62 Wolfgang, Amann and Agata Stachowicz-Stanuch, integrity in organizations:


building the foundations for humanistic management (New York: Palgrave
Macmillan, 2012), h.3
63 Colquitt, J.A. Op.cit, hh. 209, 225 & 226
55

Salah satu dimensi kepercayaan adalah integritas yang didefinisikan

sebagai persepsi tentang kewenangan menganut seperangkat nilai-nilai dan

prinsip-prinsip yang diterima oleh orang-orang yang memiliki kepercayaan

tinggi. Ketika suatu kebijakan memiliki sebuah integritas, mereka merupakan

karakter-mereka yang baik dan disiplin moral yang kuat. Integritas juga

merupakan suatu hubungan antara kata dan perbuatan-rasa yang berwenang

menepati janji dalam diri, "mewujudkan apa yang diucapkan", dan

"melakukan apa yang mereka katakan bahwa mereka akan melakukannya".

Karyawan yang bersedia bekerja dibawah suatu kebijakan cenderung

memiliki tingkat kinerja yang lebih tinggi.

Dari pendapat diatas diduga bahwa integritas berpengaruh langsung

terhadap kinerja.

4. Kepemimpinan Transformasional dan Integritas

Parry. K.W. & Proctor. Thomson. S.B menyatakan bahwa:

Transformational leadership and the perceived integrity of leaders are


significantly and positively related. Nevertheless, the fact that the
correlation between transformational leadership and perceived integrity
was only moderate suggests that a range of additional variables may
moderate this relationship.64

Kepemimpinan tranformasional dan integritas kepemimpinan

mempunyai persepsi signifikan dan berhubungan positif. Namun demikian,

64 Parry. K. W. & Proctor. Thomson. S.B. Op.cit, h.76.


56

fakta bahwa korelasi antara kepemimpinan transformasioanl dan integritas

hanya menengah menunjukan bahwa variabel tambahan mungkin

mempengaruhi hubungan ini.

Schemerhom, Hunt, Osborn dan Uhl Bie menyatakan bahwa:

Leadership prototypes are the second from of leadership considered to


be in the mind of the holder for integrity. Researcher argue that people
have a mental image of the characteristics that make a “good” leader or
that a “real” leader would possess to be considered efective in a given
situation. At least one study suggest that the individual aspects of a
prototype were reasonably stable accross different kinds of groups.
Howefer, across time, the dimensions changed toward more sensitivity,
intelegence, dedication and dynamism and less tyranny and
masculinity, so it could be affect of the integrity.65

Kepemimpinan prototipe yang kedua dari kepemimpinan yang dianggap

berada dipikiran pemegang untuk integritas. Peneliti berpendapat bahwa

orang memiliki gambaran mental dari karakteristik yang membuat seorang

pemimpin yang “baik” atau “nyata” pemimpin akan memiliki dianggap efektif

dalam situasi tertentu. Setidaknya satu studi menunjukan bahwa aspek-

aspek individu prototipe yang cukup stabil diberbagai jenis kelompok. Namun,

diseluruh waktu, dimensi berubah kearah lain kepekaan, kecerdasan,

dedikasi dan dinamisme dan kurang tirani dan maskulinitas sehingga sangat

berpengaruh terhadap integritas.

Rua O & Araujo, J. mengatakan bahwa:

65 Schemerhom, Hunt, Osborn, and Uhl Bie. Op.cit, h.320


57

The spearman correlation between transfomational leadership and


integrity has positive value and moderate r=0.576 and a significance
level of p<0.05. As expected, transformational leadership positively
enchances integrity.66

Rua O & Araujo, J. Mengatakan bahwa Korelasi spearman antara

kepemimpinan dan integritas transformasional memiliki nilai positf dan r

moderat = 0.576 dan tingkat signifikansi p<0.05. Seperti yang diharapkan,

kepemimpinan transformasional positif meningkatkan integritas.

Kepemimpinan tranformasional dan integritas merupakan dua sisi mata

uang yang saling membutuhkan satu sama lain. Kepemimpinan akan efektif

apabila karyawan memiliki integritas diri yang baik pula. Sebaliknya integritas

karyawan menurun apabila kepemimpinan tidak maksimal. Schermerhon

Hunt, Osborn dan Uhl Bie mendefinisikan integritas sebagai kejujuran,

kredibilitas, dan konsistensi seorang pemimpin dalam menempatkan nilai-

nilai kedalam tindakan. Para pemimpin memiliki tanggung jawab yang tidak

dapat ditolak untuk menentukan standar-standar yang tinggi guna

membimbing perilaku para pengikitnya.67

Pemimpin yang inspiratif mampu mendorong bawahan bekerja dengan

penuh semangat dan kesengan tanpa paksaan. Kepemimpinan

transformasional mampu mengendalikan bawahan untuk melaksanakan

program yang telah disepakati bersama. Pemimpin harus menjadi pribadi

66 Rua, O & Araujo, J. The Influence of The Transformational Leadership in The


Organizational Trust. (Harvard Deusto Business Research 2 (1), 2013), hh. 55-66
67 John. Schermerhon, Management. Alih bahasa M. Parnawa Putranta
(Yogyakarta: Andi, 2000), h.154
58

yang baik sekaligus unggul dalam hal akademik sehinga menginspirasi yang

lainnya.

Colquitt, Lepine, dan Wesson menyatakan bahwa:

Employees with transformational leaders tend to be more committed to


their organization. They feel stronger emotional bond with their
organization and a stronger sense of obligation to remain present and
engaged in their work. One study showed that transformational leaders
can make employees feel that their jobs have more variety and
significance, enhancing instrinsic satisfaction with the work itself. Other
studies have shown that charismatic leaders express positive emotions
more frequently and that those emotions are “caught” by employees
through a sort of “emotional contagion” process.68

Karyawan dengan kepemimpinan transformasional cenderung lebih

berkomitmen untuk perusahaan mereka. Mereka merasa ikatan emosional

kuat dengan perusahaan dan rasa yang lebih kuat dari kewajiban untuk tetap

hadir dan terlibat dalam pekerjaan mereka. Satu studi menunjukkan bahwa

kepemimpinan transformasional dapat membuat karyawan merasa bahwa

pekerjaan mereka memiliki lebih banyak variasi dan signifikansi,

meningkatkan kepuasan intrinsik dengan pekerjaan itu sendiri. Penelitian lain

menunjukkan bahwa pemimpin yang berkarismatik lebih sering

mengekspresikan emosi positif dan emosi-emosi yang "tertangkap" oleh

karyawan melalui semacam proses "penyaluran emosi".

68 Colquitt, J.A. Op.cit, hh. 484


59

Berdasarkan pendapat di atas diduga bahwa kepemimpinan

transformasional berpengaruh langsung terhadap integritas.

5. Budaya Kerja dan Integritas

Robbins & Judge menyatakan bahwa:

Research suggests charismatic leadership is effective in a variety of


national context. In many cultures, terms like visonary, symbolizer, and
self-sacrificer appear as descriptors of effective leaders and positive-
leader member exchanges also are associated with high performance
across a variety of cultures. Culturally intelligent leaders are flexible and
adabtable, tailoring their leadership styles to the specific and changing
needs of the global workforce.69

Penelitian menunjukan karismatik kepemimpinan efektif dalam berbagai

konteks nasional. Dalam banyak budaya, istilah-istilah seperti visioner,

symbolizer, dan self-sacrificer muncul sebagai deskriptor pemimpin yang

efektif dan positif. Pemimpin budaya cerdas fleksibel dan adaptable,

menyesuaikan kepemimpinan mereka gaya tertentu dan perubahan

kebutuhan tenaga kerja global.

Robbins & Judge menyatakan “Top management : it is one of an

important impact in the culture. Because culture is the way how to manage

someone from which different characteristics.”70 Dalam poin tersebut, budaya

adalah hal yang sangat penting untuk mempengaruhi integritas, karena kita

69 John. R. Schemerhom, Op.cit, h.378


70 Robbins, S.P & Judge, T.A. Op.cit, h. 520
60

tidak tau masing-masing kebiasaan dalam setiap budaya, karena memiliki

karakter yang berbeda-beda.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberhasilan pelaksanaan

program budaya kerja antara lain dapat dilihat dari peningkatan tanggung

jawab, peningkatan kedisiplinan dan kepatuhan pada norma/aturan,

terjalinnya komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan semua

tingkatan dan peningkatan partisipasi dan kepedulian.

Colquitt, Lepine, dan Wesson menyatakan bahwa:

It is difficult to summarize the importance of culture because there are


so many different types and dimensions of the concept. However,
regardless of the type of culture, one concept of organizational culture
remains important for any employee in any business, that is person-
organization fit. Person-organization fit is the degree to which a person’s
personality and values match the culture of an organization. Employees
judge fit by thinking about the values they prioritize the most, then
judging whether the organization shares those values. 71

Sulit untuk merangkum pentingnya budaya karena ada begitu banyak

jenis dan dimensi juga konsep yang berbeda. Namun, terlepas dari jenis

budaya, salah satu konsep budaya kerja yang penting untuk setiap karyawan

dalam bisnis apapu yaitu kesesuaian budaya bagi perseorangan maupun

keseluruhan (person-organization fit). Person-organization fit adalah sejauh

mana kepribadian dan nilai-nilai seseorang cocok dengan budaya kerja.

Karyawan atau pekerja merasa sesuai dengan budaya kerja di suatu

perusahaan dengan berpikir tentang nilai-nilai yang paling prioritas, kemudian

71 Colquitt, Lepine, dan Wesson. Op.cit, h.550-551


61

menilai apakah perusahaan bisa membagu nilai-nilai tersebut. Ketika

karyawan merasa bahwa nilai-nilai dan kepribadian perusahaan sesuai

dengan nalar para karyawan, karyawan mengalami tingkat kepuasan kerja

yang tinggi dan merasa tidak terbebani dengan tugas-tugas mereka sehari-

hari. Mereka juga merasa tingkat kepercayaan yang lebih tinggi dari manajer

mereka. Secara bersama-sama, hasil yang menggambarkan mengapa

person-organization fit ini begitu sangat berkorelasi dengan komitmen atau

integritas kerja karena ketika karyawan merasa mereka cocok dengan

budaya kerja mereka, mereka mengembangkan keterikatan emosional

dengan perusahaan. Dengan demikian person-organization fit (satu konsep

budaya organisasi) memiliki efek positif yang kuat terhadap komitmen

organisasi (integritas kerja) karena karyawan yang cocok dengan perusahaan

mereka cenderung memiliki tingkat komitmen afektif yang tinggi yang tidak

banyak diketahui tentang dampak fit pada tahap selanjutnya atau komitmen

normatif.

Dari pendapat di atas dapat diduga bahwa budaya kerja berpengaruh

langsung terhadap integritas.

6. Kepemimpinan Transformasional dan Budaya Kerja

Gary Yukl menyatakan bahwa:

Transfomational leaders strengthen the existing vision or build


commitment to a new vision. A clear vision of what the organization
could accomplish or become help people understand the purpose,
objectives and priorities of the organization. The vision helps guide the
62

actions and decisions of each member of the organization, which is


especially important when individual or groups are allowed considerable
autonomy and discreation in their work decisions. 72

Kepemimpinan transformasional memperkuat keberadaan visi dan

membangun komitmen untuk visi baru. Suatu visi yang jelas dapat membantu

organisasi dapat mendirikan membantu orang-orang mengerti tujuan dan

prioritas kerja. Visi ini membantu memimpin tindakan dan keputusan.

Kesuksesan dari visi tergantung bagaimana baiknya itu dikomunikasikan ke

orang-orang. Visi harus dikomunikasikan di setiap kesempatan dan di

berbagai acara.

Robbins and Judge menyatakan

Ethnic and leadership intersect at a member junctures. We can think of


tranformational leaders as fostering moral virtue when they try to
change the attitudes and behaviors of followers. Ethnical leaders use it
in a socially constructive way to serve others. Leaders who treat their
followers with fairness, especially by providing honest. Frequent and
accurate information, are seen as more effective through the culture of
job.73

Etnis atau kebudayaan dan kepemimpinan memiliki sejumlah hubungan

erat. Seorang pemimpin yang transformasional dapat membina moral

kebijakan ketika mereka mencoba untuk mengubah sikap dan perilaku

pengikut. Pemimpin etnik menggunakannya dalam cara yang konstruktif

sosial untuk melayani orang lain. Pemimpin yang memperlakukan para

pengikut mereka dengan keadilan, terutama dengan memberikan informasi

72 Gary Yukl. Leadership in Organizations 8th Edition. (England: Pearson, 2013),


h.291
73 Stephen P. Robbins. Op.cit, h.386
63

yang jujur, sering dan akurat, dipandang sebagai lebih efektif terhadap

budaya kerja.

Gary Yukl menyatakan

Transformational leaders make followers more aware of the importance


and value of the work and induce followers to transcend self interest for
the sake of the organization. The leader provide support and
encouragemant when necessary to maintain enthusiasm and effort in
the face of obstacles, difficulties and fatigue. As a result of thes
influence, followers feel trust and respect toward leader, and they are
motivated to do more than they originally expected to do. 74

Kepemimpinan tranformasional membuat bawahannya lebih sadar

pentingnya nilai budaya kerja dan pemimpin mengembangkan kemampuan

dan keyakinan untuk menyiapkan mereka meningkatkan tanggung jawab

lebih di dalam organisasi. Pemimpin menyiapkan support dan dukungan

untuk mempertahankan antusias dan usaha dalam menghadapi rintangan

dan kesulitan. Sebagaimana hasilnya, ini mempengaruhi bawahan merasa

percaya dan hormat terhadap pemimpin, dan mereka termotivasi untuk

melakukan lebih banyak daripada yang diharapkan.

Pemimpin tranformasional mengubah lembaga yang terpuruk menjadi

lembaga yang unggul, secara bertahap namun pasti, karena kemampuan

memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber lainnya yang ada.

Pemimpin transformasional mampu mengubah sistem dan budaya yang

buruk menjadi lebih baik, ia mengubah sistem, bukan larut atau menyerah

74 Gary Yukl. Op.cit, h. 294


64

pada sistem yang buruk dan juga pemimpin tranformasional mengubah

budaya buruk pegawai menjadi budaya yang unggul dan budaya mutu. 75

Colquitt, Lepine dan Wesson menyatakan

One study of transformational leadership training occured in one of the


largest bank chains in Canada. Managers at all of the branches in one
region were randomly assigned to either a transformational training
group or a control group. The managers in the training group took part
in a one-day training session that began by asking them to describe the
best and worst leaders they had ever encountered. Where applicable,
the behaviors mentioned as belonging to the best leaders were framed
around transfromational leadership.76

Satu studi dari pelatihan kepemimpinan transformasional terjadi di salah

satu rantai bank terbesar di Kanada. Manajer di semua cabang di satu

wilayah secara acak ditugaskan untuk suatu kelompok pelatihan

transformasional atau kelompok kontrol. Manajer dalam kelompok pelatihan

mengambil bagian dalam sesi pelatihan satu hari yang dimulai dengan

meminta mereka untuk menggambarkan baik dan buruknya pemimpin yang

pernah mereka temui.

Perilaku yang disebutkan sebagai milik pemimpin terbaik yang dibingkai

sekitar kepemimpinan transfromational. Peserta menetapkan tujuan

bagaimana mereka bisa berperilaku lebih transformationally dan terlibat

dalam latihan role-playing untuk mempraktekkan perilaku mereka. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa manajer yang berpartisipasi dalam pelatihan

ini dinilai sebagai lebih transformasional sesudahnya. Lebih penting lagi,

75 Jejen. Op.cit, hh. 327-328


76 Colquitt, J.A. Op.cit, hh. 485-486
65

karyawan mereka melaporkan bahawa tingkat komitmen yang tinggi, dan

cabang menikmati kinerja yang lebih baik dalam hal penjualan pinjaman

pribadi dan penjualan kartu kredit.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan

transformasional tidak mempengaruhi budaya kerja karena lebih khusus

kepemimpinan transformasional mengilhami karyawan untuk berkomitmen

pada visi bersama atau tujuan yang memiliki arti yaitu sebuah tantangan

untuk pekerjaan mereka sendiri. Perilaku spesifik yang mendasari

kepemimpinan transformasional termasuk "Empat II": pengaruh ideal,

motivasi inspirasional, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individual.

Dari pendapat di atas dapat diduga bahwa kepemimpinan

transformasional berpengaruh terhadap budaya kerja.

D. Hipotesis Penelitian

Konstalasi pengaruh antar variabel dalam penelitian ini menghubungkan

antar variabel penelitian yaitu kepemimpinan transformasional (X1) sebagai

variabel bebas, budaya kerja (X2) sebagai variabel bebas, integritas (X3)

sebagai variabel bebas terhadap kinerja (X4) sebagai variabel terikat.


66

X1

X3 X4

X2

Gambar 2.1
Hubungan kausal antar variabel
Keterangan:
X1 = Variabel Kepemimpinan transformasional
X2 = Variabel Budaya kerja
X3 = Variabel Integritas
X4 = Variabel Kinerja

Berdasarkan kerangka teoritik yang diajukan, maka dirumuskan

hipotesis penelitian sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh langsung positif kepemimpinan transformasional

terhadap kinerja.

2. Terdapat pengaruh langsung positif budaya kerja terhadap kinerja.

3. Terdapat pengaruh langsung positif integritas terhadap kinerja.

4. Terdapat pengaruh langsung positif kepemimpinan transformasional

terhadap integritas.

5. Terdapat pengaruh langsung positif budaya kerja terhadap integritas.

6. Terdapat pengaruh langsung positif kepemimpinan trasnformasional

terhadap budaya kerja.


67

Anda mungkin juga menyukai