LKS Kel. 5
LKS Kel. 5
PEGADAIAN SYARIAH
Oleh:
MUHAMMAD YUSUP
1904120027
NURUL HIKMAH
1904120152
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam selalu
tercurah atas junjungan kita Nabi Muhammad, berkat limpahan dan rahmat-Nya
kami selaku penyusun mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Pegadaian
Syariah” untuk memenuhi tugas mata kuliah Lembaga Keuangan Syariah. Dalam
penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.
Namun, kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak
lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala
yang kami hadapi dapat teratasi.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari sempurna. Untuk itu, kami meminta masukan kepada dosen demi
mengevaluasi pembuatan makalah ini di masa yang akan datang dan sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Terakhir,
kami mengucapkan banyak terimakasih, semoga Allah senantiasa memberkahi
kehidupan kita dan mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk kita semua.
Aamiin ya rabbal’ alamin.
Kelompok 5
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Kesimpulan ................................................................................. 10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata pegadaian tidak begitu asing pada masyarakat negeri ini, pada sebagian
anggota masyarakat, terutama pada masyarakat yang tidak bankable atau kesulitan
dalam mengakses pinjaman atau pembiayaan pada perbankan. Pegadaian dijadikan
tumpuan untuk memperoleh dana dengan cepat. Hal ini dikarenakan prosedur
pengajuan memperoleh dana di pegadaian cukuplah sederhana dan relatif cepat
serta mudah. Ketika seseorang membutuhkan dana dalam kondisi yang mendesak
dan cepat, sedangkan yang bersangkutan tidak memiliki dana cash atau tabungan
maka pendanaan pihak ketiga menjadi alternatif pemecahannya.
Pada akhir 2008 omset perum pegadaian mencapai 30,51 triliun rupiah.
Kemudian akhir 2009, omset perum pegadaian mencapai 48,4 triliun rupiah. Laba
operasional pada akhir 2009, perum pegadaian mencapai 1 triliun rupiah, sehingga
peluang pegadaian sangat terbuka. Dari data yang ada, 90% barang yang digadaikan
adalah emas. Sisanya motor, mobil ataupun barang-barang elektronik.
Peningkatan jumlah nasabah, laba, maupun outlet bukan hanya terjadi pada
pegadaian konvensional, tetapi juga terjadi pada pegadaian syariah. Omset
pegadaian syariah terus meningkat dari tahun ke tahun, dikarenakan prospek
pegadaian syariah terus meningkat dari tahun ke tahun. Hasil penelitian ini memuat
1
pandangan fiqih mengenai transaksi pada pegadaian konvensional dan syariah serta
implementasi pegadaian yang benar-benar sesuai dengan hukum syara’. 1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pegadaian syariah?
2. Apa landasan hukum pegadaian syariah?
3. Apa rukun dan syarat gadai?
4. Apa akad pegadaian syariah?
5. Bagaimana tujuan dan manfaat pegadaian syariah?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian pegadaian syariah
2. Mengetahui landasan hukum pegadaian syariah.
3. Mengetahui rukun dan syarat gadai.
4. Mengetahui akad pegadaian syariah.
5. Mengetahui tujuan dan manfaat pegadaian syariah.
D. Metode Penulisan
1
Rokhmat Subagiyo, “Tinjauan Syariah Tentang Pegadaian Syariah (Rahn)”. An-Nisbah,
Vol. 01, No. 01, 2014, hlm. 162-164.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Gadai (rahn) secara bahasa artinya tsubut (tetap) dan dawam (kekal, terus-
menerus). Adapun secara istilah, ar-rahn adalah menjadikan harta benda sebagai
jaminan utang agar utangnya itu dilunasi (dikembalikan) atau dibayarkan harganya
jika tidak dapat mengembalikannya. Dalam pengertian lain, ar-rahn adalah suatu
jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Sedangkan
definisi ar-rahn menurut istilah syara’ adalah, menahan sesuatu disebabkan adanya
hak yang memungkinkan hak itu bisa dipenuhi dari sesuatu tersebut. Maksudnya
menjadikan al-Aini (barang, harta yang barangnya berwujud konkret, kebalikan dari
ad-Dain atau hutang) yang memiliki nilai menurut pandangan syara’ sebagai
watsiqah (pengukuhan, jaminan) utang, sekiranya barang itu memungkinkan untuk
digunakan membayar seluruh atau sebagian utang yang ada.
Debitur akan dikenai bunga atau disebut pula dengan sebutan sewa modal
dan biaya administrasi. Biaya administrasi bayarnya di awal transaksi, sedangkan
bunga atau sewa modal dibayar pada saat penebusan barang. Maksudnya syarat
untuk menebus harta bergerak yang dijadikan agunan debitur harus membayar
3
jumlah uangnya ditambah bunganya. Besarnya bunga tersebut ditetapkan sebesar
persentase tertentu dikalikan besar kredit yang diberikan. 2
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat-ayat Al-
Qur’an, hadis Nabi Muhammad, ijma’ ulama dan fatwa MUI. Hal dimaksud,
diungkapkan sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
2
Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, (Jakarta: PT Kharisma
Putra, 2017), hlm. 171-172.
4
Nabi bersabda “Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki
dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat
diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan
kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan
peliharaannya.” (HR. Jamaah, kecuali Muslim An-Nasa’i).
3. Ijtihad Ulama
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam Al-Quran dan Hadist itu dalam
pengembangan selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad,
dengan kesepakatan para ulama baha gadai diperbolehkan dan para ulama tidak
pernah mempertentangkan kebolehannya demikian juga dengan landasan
hukumnya. Namun demikian perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih
mendalam bagaimana seharusnya pegadaian menurut landasan hukumnya.
5
a. Rahn emas diperbolehkan berdasarkan prinsip Rahn.
b. Ongkos dan biaya penyimpan barang (Marhun), ditanggung oleh
penggadai (rahn).
c. Ongkos penyimpanan besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-
nyata diperlukan.
d. Biaya penyimpanan barang (Marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah. 3
C. Rukun dan Syarat Gadai
Adapun ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun ar-rahn itu hanya ijab
dan Kabul. Di samping itu, menurut mereka untuk sempurna dan mengikuti akad
rahn ini, maka diperlukan adanya penguasaan barang oleh pemberi utang. Adapun
kedua orang yang melakukan akad (ar-rahn dan al-murtahin), harta yang dijadikan
jaminan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih) menurut ulama Hanafiyah hanya
termasuk syarat-syarat ar-rahn itu sendiri, Dengan demikian syarat-syarat ar-rahn
sebagai berikut:
1. Syarat yang terkait dengan orang berakad (ar-rahn dan al-murtahin) adalah
cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut Jumhur
ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan menurut
ulama Hanafiyah kedua belah pihak yang berakad tidak diisyaratkan
baligh, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu, menurut mereka anak
kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad ar-rahn asal mendapat
persetujuan dari walinya.
3
Rudi Hermawan, Buku Ajar Hukum Ekonomi Islam, (Pamekasan: Duta Media Publishing,
2017), hlm. 100-102.
6
2. Syarat yang terkait dengan sighat, ulama Hanafiyah berpendapat dalam
akad itu ar-rahn tidak boleh dikaitkan oleh isyarat tertentu. Karena akad
ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan
syarat tertentu maka syaratnya batal sedang akadnya sah. Misalnya, orang
yang berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan
utang belum dibayar, maka jaminan atau ar-rahn itu diperpanjang satu
bulan. Sementara, Jumhur ulama mengatakan bahwa apabila syarat itu
ialah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu
dibolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akadnya ar-
rahn , maka syaratnya batal. Perpanjangan ar-rahn satu bulan dalam contoh
syarat diatas termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat ar-rahn.
Karenanya syarat tersebut dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu
misalnya, untuk sahnya ar-rahn, pihak pemberi utang minta agar akad itu
disaksikan oleh dua orang saksi.
3. Syarat yang terkait dengan utang (al marhun bih) :(a) merupakan hak yang
wajib dikembalikan kepada yang memberi utang, (b)utang itu boleh
dilunasi dengan jaminan, dan (c) utang itu jelas dan tertentu.
4. Syarat yang terkait dengan barang yang dijadikan jaminan (al-marhun),
menurut ulama fiqh, syarat-syaratnya sebagai berikut: (a) barang jaminan
itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang, (b) berharga dan
boleh dimanfaatkan, (c) jelas dan tertentu, (d) milik sah orang berutang, (e)
tidak terkait dengan hak orang lain, (f) merupakan harta utuh dan (g) boleh
diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
7
penting karena Allah dalam Q.S. Al-Baqarah: 283 menyatakan barang jaminan itu
dipegang atau dikuasai secara hukum oleh pemberi piutang. 4
Pada dasarnya pegadaian syariah berjalan di atas dua akad transaksi syariah
sebagai berikut:
1. Akad rahn. Rahn adalah menahan harta milik peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Pihak yang menahan memperoleh jaminan
untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad
ini, pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang usaha.
2. Akad ijarah. Ijarah yaitu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang atasnya. Melalui akad ini, pegadaian dapat menarik
sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang melakukan
akad.5
4
Abdul Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan, & Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta:
Kencana, 2010), hlm. 266-268.
5
Nur Wahid, Multi Akad dalam Lembaga Keuangan Syariah, (Sleman: CV. Budi Utama,
2019), hlm. 71.
6
Darmawan dan Muhammad Iqbal Fasa, Manajemen Lembaga Keuangan Syariah,
(Yogyakarta: UNY Press, 2020), hlm. 150.
8
umumnya melalui penyaluran uang pembiayaan atau pinjaman atas dasar
hukum gadai.
2. Pencegahan praktik ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar
lainnya.
3. Pemanfaatan gadai bebas bunga pada gadai syariah memiliki efek jaring
pengaman sosial karena masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi
dijerat pinjaman atau pembiayaan berbasis bunga.
4. Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat
mudah.
1. Bagi nasabah, tersedianya dengan prosedur yang relatif lebih sederhana dan
dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan atau kredit
perbankan. Di samping itu, nasabah juga mendapat manfaat penaksiran nilai
suatu barang bergerak secara profesional. Mendapatkan fasilitas penitipan
barang bergerak yang aman dan dapat dipercaya.
2. Bagi perusahaan gadai:
a. Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh
peminjam dana (gadai konvensional), sedangkan bagi gadai syariah
penghasilan bersumber dari sewa tempat penyimpanan barang gadai.
b. Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah
memperoleh jasa tertentu. Bagi bank syariah yang mengeluarkan produk
gadai syariah dapat mendapat keuntungan dari pembebanan biaya
administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan emas.
c. Pelaksanaan misi PT Pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang
pembiayaan berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang
memerlukan dana masyarakat yang memerlukan dana dengan prosedur
yang relatif sederhana. 7
7
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana,
2009), hlm. 407-408.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gadai (rahn) secara bahasa artinya tsubut (tetap) dan dawam (kekal, terus-
menerus). Adapun secara istilah, ar-rahn adalah menjadikan harta benda sebagai
jaminan utang agar utangnya itu dilunasi (dikembalikan) atau dibayarkan harganya
jika tidak dapat mengembalikannya. Dalam pengertian lain, ar-rahn adalah suatu
jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Sedangkan
definisi ar-rahn menurut istilah syara’ adalah, menahan sesuatu disebabkan adanya
hak yang memungkinkan hak itu bisa dipenuhi dari sesuatu tersebut. Dasar hukum
yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat-ayat al-Qur’an, hadis Nabi
Muhammad, ijma’ ulama dan fatwa MUI.
10
DAFTAR PUSTAKA
Ghazali, Abdul Rahman, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq, 2010. Fiqh
Muamalat. Jakarta: Kencana.
Hermawan, Rudi. 2017. Buku Ajar Hukum Ekonomi Islam. Pamekasan: Duta Media
Publishing.
Soemitra, Andri. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Edisi Kedua.
Jakarta: Kencana.
Wahid, Nur. 2019. Multi Akad dalam Lembaga Keuangan Syariah. Sleman: CV.
Budi Utama.
11