Kes Eh A Tanji Wa Menu Rut Islam
Kes Eh A Tanji Wa Menu Rut Islam
Istilah kesehatan jiwa selama ini lebih dikenal dengan istilah kesehatan mental yang
merupakan terjemahan dari mental health. Beberapa tokoh aliran Psikologi Barat
menjelaskan kesehatan mental terkait dengan orang yang matang (model Allport), orang yang
berfungsi sepenuhnya (model Rogers), orang yang produktif (model Fromm), orang yang
mengaktualisasikan diri (model Maslow), orang yang terindividuasi (model Jung), orang
yang mengatasi diri (model Frankl), dan orang “di sini dan kini” (model Perls). Psikologi
Barat memandang pengendali perilaku berpusat pada diri (self/ego) manusia. Paradigma
Islam justru meniadakan self (diri) untuk diserahkan kepada Allah (Hollins, 2006). Pilar
Islam adalah kalimat Lailaha ilallah, tiada Tuhan selain Allah menyuruh manusia
meniadakan semua keterikatan kecuali hanya kepada Allah. Berdasarkan kajian Al Quran dan
hadist, kesehatan jiwa mengandung arti kecenderungan jiwa kepada kebaikan yang
mengarahkan kepada ketaatan kepada Allah, kecintaan kepada akhirat, menyebabkan sifat
rendah hati dan jauh dari kesombongan, sehingga akan diraih ketenangan jiwa yang berbuah
kebahagiaan dunia dan akhirat.
PENDAHULUAN
Istilah kesehatan mental sudah familiar di bidang psikologi yang selama ini
diterjemahkan dari kata mental health. Sedangkan dalam pembahasan ini lebih memilih
menggunakan istilah kesehatan jiwa, karena istilah nafs dalam Al Quran dan Hadist
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai jiwa. Berkaitan dengan penggunaan istilah
jiwa, referensi Islam juga lebih memilih istilah tersebut seperti dalam buku yang berjudul
Ensiklopedia Tasawuf Imam Al Ghazali (Mudjieb, Ismail, & Syafiah, 2009).
Pengertian berkaitan dengan kesehatan mental dan aspek-aspeknya dijabarkan oleh
beberapa tokoh berikut ini. Pilgrim (2014) mendefinisikan kesehatan mental sebagai keadaan
positif dari kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Diener (2011) membahas
mengenai perbedaan pengukuran kesehatan mental menurut beberapa ahli didasarkan pada
aspek-aspek sebagai berikut: happiness (Fordyce, 1977), satisfaction with life (Diener,
Emmons, Larsen, & Griffin, 1985), sense of coherence (Antonovsky, 1987), affect balance
(Bradburn, 1969), quality of life (Flanagan, 1979), optimism (Scheier & Carver, 1985),
psychological well-being (Ryff, 1989), self esteem (Rosenberg, 1965). Schultz (1991)
merangkum model-model kepribadian sehat sebagai berikut: orang yang matang (model
Allport), orang yang berfungsi sepenuhnya (model Rogers), orang yang produktif (model
Fromm), orang yang mengaktualisasikan diri (model Maslow), Orang yang terindividuasi
(model Jung), Orang yang mengatasi diri (model Frankl), dan orang “di sini dan kini” (model
Perls). Kesehatan mental model Barat berpusat diri manusia, sehingga membahayakan jiwa
manusia, karena pada kenyataannya manusia memiliki keterbatasan dalam mengatasi
permasalahan hidup. Paradigma Islam justru meniadakan self (diri) untuk diserahkan kepada
Allah (Hollins, 2006). Pilar Islam adalah kalimat Lailaha ilallah, tiada Tuhan selain Allah
menyuruh manusia meniadakan semua keterikatan kecuali hanya kepada Allah. Berkaitan
dengan kesehatan jiwa (mental) Islam memandang bahwa keterikatan kepada Allah sebagai
sumber kebahagiaan, sehingga kebahagiaan dunia dan akhirat sebagai tolok ukur kebahagiaan
sejati. Keselamatan (kebahagiaan) dunia dan akhirat sebagai hal yang sangat penting untuk
dijadikan visi dan tujuan hidup manusia. Hal ini menjadi harapan manusia, yang ditunjukkan
dalam surat Al Baqarah 201: Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan
kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari
siksa neraka “ Rasulullah juga berpesan dalam hadist: “barang siapa ingin mendapatkan
keselamatan dunia dan akhirat, harus berpegang teguh pada Al Quran dan As Sunah.”
Kedua tuntunan tersebut memberikan peringatan dan petunjuk untuk dijadikan pedoman
hidup bagi umat manusia yang ingin meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kebahagiaan dunia dan akhirat bukan sebagai hal yang terpisah, namun untuk meraih
keduanya Al Quran dan Hadist banyak menjelaskan bahwa untuk meraih ketentraman,
kebahagiaan dan terhindar dari kekhawatiran manusia harus mengutamakan akhirat dari pada
dunia. Prioritas terhadap akhirat memberikan dampak kebahagiaan sempurna (dunia dan
akhirat). Petunjuk tentang pentingnya meraih kebaikan akhirat disebutkan Al Quran surat
Huud (11) ayat 15-16 menyebutkan: “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia
dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah
mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan . “Hadist Rasulullah
juga menguatkan tentang kebaikan dari memprioritaskan akhirat, seperti berikut ini: Barang
siapa yang niatnya adalah untuk memperoleh akhirat, maka Allah akan memberikan
kecukupan dalam hatinya. Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia
pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barang siapa yang niatnya adalah untuk
memperoleh dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan
menceraiberaikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan
baginya (HR. Tirmidzi). Ayat Al Quran dan Hadist tersebut menjelaskan petunjuk bahwa
orang yang hanya sebatas menginginkan kebahagiaan dunia, justru dia hanya mendapatkan
sebatas yang dia upayakan tersebut, dan tidak akan pernah merasa cukup. Sedangkan orang
yang menghendaki kebahagiaan akhirat, Allah menjanjikan kebahagiaan sempurna dan di
akhirat menjadi orang yang beruntung. Orang yang lebih mementingkan akhirat akan
mendapatkan keberuntungan berlipat-lipat dari Allah, dan orang yang lebih mementingkan
dunia akan merugi. Hal tersebut sudah dituturkan juga oleh Rasulullah bahwa: Orang yang
cerdas adalah orang yang lebih mementingkan akhirat dari pada dunia”. Orang akan meraih
kebahagiaan (kesehatan jiwa) sempurna hanya dengan mendasari setiap perilakunya dengan
niat demi meraih kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan akhirat dapat diraih dengan jalan takwa
dan menghindarkan diri dari kekafiran.
Berdasarkan ayat-ayat Al Quran tersebut, hanyalah jiwa yang tenang yang bisa
kembali kepada Allah, yaitu jiwa yang telah mencapai tingkatan tertinggi, sehingga
merasakan kenikmatan dalam ketaatan kepada Allah (Karzon, 2010).
Aspek-aspek yang mendasari kesehatan jiwa adalah kecintaan kepada akhirat dan
ketaqwaan kepada Allah dan Rasul. Rasulullah bersabda bahwa umatnya di hari akhir
akan menderita penyakit hati yaitu cinta dunia dan takut mati. Segala macam penyakit
hati seperti kecemasan, depresi, waham, semuanya bersumber dari kecintaan kepada
dunia. Dunia sering digambarkan sebagai harta, tahta (kedudukan, gelar), dan wanita
(nafsu seksual). Ketiga macam godaan tersebut sering melalaikan manusia dan
menjerumuskan manusia ke dalam kehinaan dunia dan akhirat. Orang-orang yang
bertaqwa akan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia, karena mereka memahami
bahwa mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang berlipat ganda. Pada kenyataannya
sebagian besar orang yang mengalami kehancuran adalah mereka yang haus kekuasaan,
gelar, status, dan pujian dari orang banyak (AL-Ghazali, 2007). Sesungguhnya tujuan
hakiki manusia adalah kebahagiaan akhirat. Manusia, harta benda, kekayaan, gelar dan
ibadah kita hanyalah perantara untuk menuju Allah.
Pembalasan Allah untuk orang yang kafir (ingkar) dan beriman (taqwa) digambarkan
dalam surat Al Ghasyiyah. Ayat-ayat dalam surat Al Ghaasyiyah mengandung penjelasan
bahwa orang kafir di hari kiamat dan azab yang ditimpakan pada mereka, serta orang-
orang yang beriman dan syurga yang dianugerahkan kepada mereka sebagai pembalasan.
Allah menerangkan penderitaan orang kafir dan kenikmatan orang beriman pada hari
kiamat. Banyak di antara mereka yang mukanya tertunduk hina memasuki neraka dengan
segala siksaan yang amat pedih, serta banyak pula yang mukanya berseri-seri memasuki
syurga dengan segala kenikmatan yang diberikan Allah. Ayat-ayat tersebut memberikan
gambaran bahwa kelak di hari akhir akan ada pembalasan atas perbuatan manusia di dunia.
Semua perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan sampai di akhirat. Seperti
gambaran pada surat Al Zalzalah, bahwa manusia akan melihat sendiri hasil perbuatannya,
baik atau pun buruk, sekalipun hanya sebesar dzarrah. Orang yang bertaqwa akan
mendapatkan balasan syurga, seperti difirmankan oleh Allah dalam surat Az Zumar (39)
ayat 73: Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam syurga
berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke syurga itu sedang
pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya:
"Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! maka masukilah syurga ini,
sedang kamu kekal di dalamnya".
KESIMPULAN
Berdasarkan kajian Al Quran dan hadist di atas kesehatan jiwa mengandung arti
kecenderungan jiwa kepada kebaikan yang mengarahkan kepada ketaatan kepada Allah,
kecintaan kepada akhirat, menyebabkan sifat rendah hati dan jauh dari kesombongan,
sehingga akan diraih ketenangan jiwa yang berbuah kebahagiaan dunia dan akhirat. Puncak
kesehatan jiwa adalah keberuntungan yang akan diraih yaitu syurga. Ketaqwaan sebagai
tolok ukur kesehatan jiwa, karena disebutkan oleh Allah sendiri dalam firman Nya bahwa
manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.
Menurut model Ustman Najati (Taufiq, 2006) dan Adz-Dzakiey (2007) yang
bersumber pada Al Quran dan hadist, indikator kesehatan jiwa adalah hubungan baik antara
manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya, manusia dengan orang lain dan manusia
dengan alam semesta. Kesehatan mental akan diraih dengan cara mendasarkan hubungan-
hubungan tersebut pada hal-hal berikut ini: a) ketaqwaan, yaitu menjalani segala perintah
dan menjauhi larangan Allah b) kepasrahan kepada Allah (tawakal), sehingga senantiasa
berserah diri kepada Allah dalam segala urusan c) kecintaan akan akhirat, c) kerendahan hati,
meniatkan semua perbuatan dengan lkhlas dan tawadu’ kepada Allah dan manusia, d)
senantiasa bertaubat, berdzikir dan berdoa agar Allah memberikan ketenangan jiwa.
Kesehatan jiwa merupakan kebaikan jiwa seperti yang digambarkan sebagai ketaqwaan yang
dicirikan dengan orang yang senantiasa mensucikan jiwanya dengan menjalin hubungan baik
dengan Allah (berserah diri) dengan menjalankan shalat dan berdzikir, berhubungan baik
dengan manusia dengan beramal shaleh dengan tawadu’, sehingga Allah melimpahkan
ketenangan jiwa.
Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa model manusia yang sehat
jiwanya menurut paradigma Islam adalah manusia yang paling taqwa. Ketaqwaan
mengandung arti ketaatan dan penyerahan diri kepada Allah, sehingga melahirkan
kerendahan hati dan kecintaan akan akhirat. Orang yang bertaqwa akan mengandalkan Allah
dalam segala urusan sehingga akan berbuah ketenangan jiwa.
Daftar Pustaka