Anda di halaman 1dari 12

KESEHATAN JIWA MENURUT PARADIGMA ISLAM (KAJIAN

BERDASARKAN Al QURAN DAN HADIST).


Disampaikan dalam International Conference of Nusantara Philosophy
Universitas Gadjah Mada

Dr. Phil. Qurotul Uyun, S. Psi. M. Si.


Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia
qurotuluyun@yahoo.com

Istilah kesehatan jiwa selama ini lebih dikenal dengan istilah kesehatan mental yang
merupakan terjemahan dari mental health. Beberapa tokoh aliran Psikologi Barat
menjelaskan kesehatan mental terkait dengan orang yang matang (model Allport), orang yang
berfungsi sepenuhnya (model Rogers), orang yang produktif (model Fromm), orang yang
mengaktualisasikan diri (model Maslow), orang yang terindividuasi (model Jung), orang
yang mengatasi diri (model Frankl), dan orang “di sini dan kini” (model Perls). Psikologi
Barat memandang pengendali perilaku berpusat pada diri (self/ego) manusia. Paradigma
Islam justru meniadakan self (diri) untuk diserahkan kepada Allah (Hollins, 2006). Pilar
Islam adalah kalimat Lailaha ilallah, tiada Tuhan selain Allah menyuruh manusia
meniadakan semua keterikatan kecuali hanya kepada Allah. Berdasarkan kajian Al Quran dan
hadist, kesehatan jiwa mengandung arti kecenderungan jiwa kepada kebaikan yang
mengarahkan kepada ketaatan kepada Allah, kecintaan kepada akhirat, menyebabkan sifat
rendah hati dan jauh dari kesombongan, sehingga akan diraih ketenangan jiwa yang berbuah
kebahagiaan dunia dan akhirat.

Kata kunci: kesehatan mental, Al Quran, Hadist

PENDAHULUAN

Istilah kesehatan mental sudah familiar di bidang psikologi yang selama ini
diterjemahkan dari kata mental health. Sedangkan dalam pembahasan ini lebih memilih
menggunakan istilah kesehatan jiwa, karena istilah nafs dalam Al Quran dan Hadist
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai jiwa. Berkaitan dengan penggunaan istilah
jiwa, referensi Islam juga lebih memilih istilah tersebut seperti dalam buku yang berjudul
Ensiklopedia Tasawuf Imam Al Ghazali (Mudjieb, Ismail, & Syafiah, 2009).
Pengertian berkaitan dengan kesehatan mental dan aspek-aspeknya dijabarkan oleh
beberapa tokoh berikut ini. Pilgrim (2014) mendefinisikan kesehatan mental sebagai keadaan
positif dari kesejahteraan psikologis (psychological well-being). Diener (2011) membahas
mengenai perbedaan pengukuran kesehatan mental menurut beberapa ahli didasarkan pada
aspek-aspek sebagai berikut: happiness (Fordyce, 1977), satisfaction with life (Diener,
Emmons, Larsen, & Griffin, 1985), sense of coherence (Antonovsky, 1987), affect balance
(Bradburn, 1969), quality of life (Flanagan, 1979), optimism (Scheier & Carver, 1985),
psychological well-being (Ryff, 1989), self esteem (Rosenberg, 1965). Schultz (1991)
merangkum model-model kepribadian sehat sebagai berikut: orang yang matang (model
Allport), orang yang berfungsi sepenuhnya (model Rogers), orang yang produktif (model
Fromm), orang yang mengaktualisasikan diri (model Maslow), Orang yang terindividuasi
(model Jung), Orang yang mengatasi diri (model Frankl), dan orang “di sini dan kini” (model
Perls). Kesehatan mental model Barat berpusat diri manusia, sehingga membahayakan jiwa
manusia, karena pada kenyataannya manusia memiliki keterbatasan dalam mengatasi
permasalahan hidup. Paradigma Islam justru meniadakan self (diri) untuk diserahkan kepada
Allah (Hollins, 2006). Pilar Islam adalah kalimat Lailaha ilallah, tiada Tuhan selain Allah
menyuruh manusia meniadakan semua keterikatan kecuali hanya kepada Allah. Berkaitan
dengan kesehatan jiwa (mental) Islam memandang bahwa keterikatan kepada Allah sebagai
sumber kebahagiaan, sehingga kebahagiaan dunia dan akhirat sebagai tolok ukur kebahagiaan
sejati. Keselamatan (kebahagiaan) dunia dan akhirat sebagai hal yang sangat penting untuk
dijadikan visi dan tujuan hidup manusia. Hal ini menjadi harapan manusia, yang ditunjukkan
dalam surat Al Baqarah 201: Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan
kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari
siksa neraka “ Rasulullah juga berpesan dalam hadist: “barang siapa ingin mendapatkan
keselamatan dunia dan akhirat, harus berpegang teguh pada Al Quran dan As Sunah.”
Kedua tuntunan tersebut memberikan peringatan dan petunjuk untuk dijadikan pedoman
hidup bagi umat manusia yang ingin meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kebahagiaan dunia dan akhirat bukan sebagai hal yang terpisah, namun untuk meraih
keduanya Al Quran dan Hadist banyak menjelaskan bahwa untuk meraih ketentraman,
kebahagiaan dan terhindar dari kekhawatiran manusia harus mengutamakan akhirat dari pada
dunia. Prioritas terhadap akhirat memberikan dampak kebahagiaan sempurna (dunia dan
akhirat). Petunjuk tentang pentingnya meraih kebaikan akhirat disebutkan Al Quran surat
Huud (11) ayat 15-16 menyebutkan: “Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia
dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah
mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan . “Hadist Rasulullah
juga menguatkan tentang kebaikan dari memprioritaskan akhirat, seperti berikut ini: Barang
siapa yang niatnya adalah untuk memperoleh akhirat, maka Allah akan memberikan
kecukupan dalam hatinya. Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia
pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barang siapa yang niatnya adalah untuk
memperoleh dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan
menceraiberaikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan
baginya (HR. Tirmidzi). Ayat Al Quran dan Hadist tersebut menjelaskan petunjuk bahwa
orang yang hanya sebatas menginginkan kebahagiaan dunia, justru dia hanya mendapatkan
sebatas yang dia upayakan tersebut, dan tidak akan pernah merasa cukup. Sedangkan orang
yang menghendaki kebahagiaan akhirat, Allah menjanjikan kebahagiaan sempurna dan di
akhirat menjadi orang yang beruntung. Orang yang lebih mementingkan akhirat akan
mendapatkan keberuntungan berlipat-lipat dari Allah, dan orang yang lebih mementingkan
dunia akan merugi. Hal tersebut sudah dituturkan juga oleh Rasulullah bahwa: Orang yang
cerdas adalah orang yang lebih mementingkan akhirat dari pada dunia”. Orang akan meraih
kebahagiaan (kesehatan jiwa) sempurna hanya dengan mendasari setiap perilakunya dengan
niat demi meraih kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan akhirat dapat diraih dengan jalan takwa
dan menghindarkan diri dari kekafiran.

Orang akan dimasukkan ke dalam syurga merupakan ketentuan Allah, berarti ia


menjadi manusia beruntung karena dipilih Allah. Namun, demikian Allah memberikan cara-
cara agar menjadi manusia yang dipilih Allah untuk masuk syurga melalui petunjuk dalam Al
Quran. Petunjuk agar menjadi orang beruntung adalah dengan beriman, bertaubat, dan
beramal saleh, seperti dinyatakan dalam surat Al Qashash ayat 67 mengungkapkan bahwa
Adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan amal yang saleh, semoga dia
termasuk orang-orang yang beruntung. Cara-cara beramal saleh adalah dengan mendirikan
shalat, berzakat, dan mentaati Rasul, seperti ditunjukkan surat An Nur ayat 56 yang artinya
bahwa Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya
kamu diberi rahmat. Demikian juga dalam surat Luqman ayat 4-5: (yaitu) orang-orang yang
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat. Mereka
itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-
orang yang beruntung. Sebaliknya pada surat An Nisaa’ ayat 14 dinyatakan bahwa: Dan
barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-
Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan. Al Quran sering menyebut orang beriman sebagai orang
beruntung, karena Allah telah memberikan cahaya hidayah, sehingga orang tersebut
merasakan ketentraman hati. Orang kafir adalah orang yang merugi, hatinya sempit karena
telah mendurhakai Allah dan Rasul, akibatnya terhalang oleh kebenaran. Ayat lain
menegaskan juga bahwa Allah menjamin bahwa orang yang bertaqwa akan terhindar dari
kekhawatiran dan kesedihan. Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul
daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang
bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati (QS Al A’raf, ayat 35).

Paparan di atas menggambarkan bahwa Al Quran dan Hadist telah memberikan


penjelasan mengenai kebahagiaan, ketentraman hati, serta petunjuk memperoleh kebahagiaan
dan terhindar dari kekhawatiran dan kesedihan yaitu dengan jalan mentaati Al Quran da
Sunnah, yaitu lebih mencintai akhirat dari pada dunia. Semua petunjuk untuk memperoleh
kebahagiaan bersumber dari hubungan baik antara manusia dengan Allah (habluminnallah),
serta dengan manusia yang lain (habluminannas). Ketenangan jiwa sebagai puncak kesehatan
mental hanya bisa diraih dengan jalan mensucikan jiwa dengan bertaubat dan beramal shaleh.
Pada akhirnya perjumpaan dengan Allah hanya dapat diraih oleh jiwa yang tenang.
Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian ini dimaksudkan untuk membangun konsep
mengenai kesehatan jiwa berdasarkan Al Quran dan Hadist, serta menggali petunjuk-
petunjuk mengenai hal-hal yang terkait dengan bagaimana meraih kesehatan jiwa.

KAJIAN AL QURAN DAN HADIST BERKAITAN DENGAN KESEHATAN JIWA

A. Jiwa menurut Al Quran dan Hadist


1. Pengertian jiwa
Istilah yang digunakan dalam Al Quran untuk menjelaskan mengenai jiwa
adalah nafs. Adz-Dzakiey (2007) memberikan pengertian jiwa (nafs) sebagai ruh yang
menyatu dengan jasad yang berfungsi mendorong manusia untuk bertingkah laku.
Firman Allah dalam surat Asy Syams (91: 7-11) menyatakan bahwa: Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. Ayat-ayat tersebut
menjelaskan bahwa Allah menciptakan jiwa, kemudian memberikan kesempatan
kepadanya untuk memilih jalan kefasikan atau ketakwaan. Jiwa manusia mengandung
sisi keburukan (pengingkaran) dan kebaikan (ketakwaan). Jiwa mendorong manusia
untuk berbuat kebaikan atau kejahatan, sehingga manusia yang mensucikan jiwanya
menjadi manusia beruntung yaitu cenderung berbuat kebaikan dan manusia yang
mengotori jiwanya menjadi manusia merugi yaitu cenderung kepada keburukan
(kejahatan).
Berdasarkan ayat-ayat dan hadist di atas, dapat dikatakan bahwa jiwa adalah
sesuatu yang menggerakkan manusia untuk cenderung berbuat kebaikan (taqwa) atau
keburukan (fasik), sehingga jiwa yang taqwa senantiasa mengajak kepada amal-amal
kebaikan, sedangkan jiwa yang fasik mengarahkan manusia kepada pengingkaran dan
kejahatan.
2. Macam-macam jiwa dalam Al Quran
Beberapa pandangan membagi jiwa menjadi tiga tingkatan, yaitu: 1) an-nafs
al-muthmainah (jiwa Rabbani), 2) an-nafs al-lawwamah (jiwa insani), 3) an-nafs
ammarah bi as-su’ (jiwa hewani) (Al-Ghazali, 2013; Adzakiey, 2007).
a. Jiwa hewani
Gambaran tentang jiwa hewani dijelaskan dalam ayat-ayat Al Quran sebagai
binatang ternak, sebagaimana QS Al A’raaf (7) ayat 179: Dan sesungguhnya
Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia,
mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-
ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang
lalai. QS AL Furqaan (25) ayat 43-44 juga memberikan penjelasan bahwa manusia
yang menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya, dikatakan sebagai lebih sesat dari
pada binatang ternak. Bahkan dalam surat Al A’raaf (7) ayat 176 menyatakan
bahwa orang-orang yang mementingkan dunia memperturutkan hawa nafsu yang
rendah dikatakan sebagai anjing. QS Al Jumu’ah menggambarkan orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Allah seperti keledai yang memikul kitab-kitab tebal.
b. Jiwa yang jahat (Syaitan)
Syaitan senantiasa mengajak kepada perilaku jahat, tipu daya, dan kesombongan.
QS Yusuf (12) ayat 53, menyatakan: Dan aku tidak membebaskan diriku dari
kejahatan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
c. Jiwa Rabbani (Malaikat)
Jiwa yang tenang digambarkan dalam QS Al Fajr (89): 27-30: Hai jiwa yang
tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya.
Lalu masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam Surga-
Ku. QS Ar Ra’du ayat 28 juga menggambarkan ketenangan jiwa orang beriman.
Yaitu orang-orang yang beriman dan hatinya menjadi tenteram dengan mengingat
Allah, ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. QS Al
Baqarah (2): 269: Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam
tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah). Jiwa Rabbani senantiasa mengajak kepada
kebaikan, pengendalian hawa nafsu, serta kedekatan kepada Allah.
d. Jiwa yang menyesali diri (jiwa insani atau lawwamah)
Jiwa yang bergerak antara kecenderungan buruk dan baik digambarkan sebagai
jiwa yang menyesali diri. Sebagaimana difirmankan Allah dalam QS Al-Qiyamah
(75) ayat 2: Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya
sendiri).

Berdasarkan ayat-ayat Al Quran tersebut, hanyalah jiwa yang tenang yang bisa
kembali kepada Allah, yaitu jiwa yang telah mencapai tingkatan tertinggi, sehingga
merasakan kenikmatan dalam ketaatan kepada Allah (Karzon, 2010).

B. Kesehatan jiwa menurut Al Quran

Aspek-aspek yang mendasari kesehatan jiwa adalah kecintaan kepada akhirat dan
ketaqwaan kepada Allah dan Rasul. Rasulullah bersabda bahwa umatnya di hari akhir
akan menderita penyakit hati yaitu cinta dunia dan takut mati. Segala macam penyakit
hati seperti kecemasan, depresi, waham, semuanya bersumber dari kecintaan kepada
dunia. Dunia sering digambarkan sebagai harta, tahta (kedudukan, gelar), dan wanita
(nafsu seksual). Ketiga macam godaan tersebut sering melalaikan manusia dan
menjerumuskan manusia ke dalam kehinaan dunia dan akhirat. Orang-orang yang
bertaqwa akan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia, karena mereka memahami
bahwa mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang berlipat ganda. Pada kenyataannya
sebagian besar orang yang mengalami kehancuran adalah mereka yang haus kekuasaan,
gelar, status, dan pujian dari orang banyak (AL-Ghazali, 2007). Sesungguhnya tujuan
hakiki manusia adalah kebahagiaan akhirat. Manusia, harta benda, kekayaan, gelar dan
ibadah kita hanyalah perantara untuk menuju Allah.

1. Kecintaan pada akhirat sebagai sumber kesehatan jiwa

Allah sudah menjelaskan dalam ayat-ayat Al Quran berikut ini bahwa


kehidupan dunia merupakan permainan dan kesenangan yang menipu. QS Al Hadid
(57) ayat 20: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu
serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Lebih lanjut difirmankan
dalam QS Al An’aam (6) ayat 32, bahwa orang bertaqwa memahami bahwa kehidupan
dunia ini sebagai permainan dan sendau gurau, sehingga akan lebih mementingkan
kehidupan akhirat dari pada dunia. Orang-orang yang lebih mengutamakan dunia
dikatakan sebagai orang yang melampaui batas, sebagaimana Allah berfirman dalam
QS An Naazi’aat (79), ayat 37-41: Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya),
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tunannya dan menahan diri
dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). QS
Ali Imran (3) ayat 14 memberikan gambaran tentang kesenangan hidup di dunia
berupa harta kekayaan, sawah, ladang, binatang ternak, wanita dan anak-anak, namun
Allah menegaskan bahwa tempat kembali yang paling baik ada di sisi Allah yaitu
syurga. Al Quran surat Asy Syuraa (42) ayat 20 menjelaskan bahwa: Barang siapa
yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya
dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.

Penjelasan dalam ayat-ayat Al Quran tersebut di atas memberikan pesan


bahwa kehidupan akhirat lebih menjanjikan kebahagiaan yang berlipat ganda
dibandingkan kehidupan dunia yang bersifat sementara (sebentar) seperti gambaran
dalam QS An nisaa (4) ayat 77. Allah membolehkan menikmati kesenangan dunia, namun
dengan cara yang tidak melampaui batas, agar manusia tidak lalai dan meraih
kebahagiaan hakiki.

2. Ketaqwaan sebagai sumber ketentraman hati


Al Quran surat Al Baqarah (3-4) menyebutkan bahwa indikator orang
bertaqwa adalah beriman kepada yang ghaib, melakukan shalat, menafkahkan
sebagian rizki, dan meyakini adanya hari akhir. Ayat-ayat berikut ini, mengisyaratkan
bahwa Allah memberikan janji kepada orang yang bertaqwa berupa ketentraman hati,
ketenangan jiwa, hilangnya kesedihan dan kekhawatiran. QS Al Baqarah (2) ayat 38
menyatakan: Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula)
mereka bersedih hati". QS Yunus (10) ayat 62-63 memberikan pesan: Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu
bertakwa. Selain itu Al Baqarah (2) ayat 62 dan Al Maidah (5) ayat 69 menyatakan:
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan
orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada
Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan
mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. QS Fushshilat (41) ayat 30 Al Fath (48) ayat 4, juga menegaskan bahwa Allah
memberikan ketenangan hati kepada orang-orang mukmin untuk menambah
keimanan mereka.

3. Kepasrahan (Tawakal) kepada Allah sebagai sumber kebahagiaan


Tawakal ditandai dengan kepasrahan bahwa hanya Allah yang mengatur
segala urusan (Athaillah, 2007). Manusia diciptakan dengan tujuan menghamba hanya
kepada Allah. Allah berfirman Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk
beribadah kepada-Ku. Semestinya seorang hamba berserah diri sepenuhnya kepada
Allah dan terus berusaha mencapai tingkatan paling sempurna. Manusia merasa
gelisah karena telah melanggar aturan-aturan yang digariskan Allah atau mengingkari
sunatullah. Misalnya manusia yang tidak percaya pada pengaturan Allah, sehingga
ingin memperoleh rizki dengan jalan mencuri atau berbohong, meskipun orang lain
tidak mengetahui perbuatannya, tetapi hatinya akan merasa gelisah dan jauh dari
perasaan bahagia. Berserah diri membuat manusia tidak bergantung kepada makhluk,
dan hanya bergantung kepada Allah, sehingga jiwanya tidak terikat kepada selain
Allah.

4. Kesombongan sebagai sumber penyakit hati


Dalam tubuh manusia ada segumpal daging yang jika ia baik, maka baiklah
seluruh tubuh, dan jika ia buruk, maka buruklah seluruh tubuh, itulah hati. Rasulullah
pun bersabda bahwa Kebaikan itu adalah sesuatu yang dapat menenangkan dan
menentramkan hati dan jiwa. Sedangkan keburukan itu adalah sesuatu yang
meresahkan hati dan menyesakkan dada, meskipun manusia membenarkanmu. Az
Zumar (39) ayat 53: Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam
tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah). Beberapa ayat berikut ini menunjukkan kecenderungan
hati manusia yang dapat mengarah kepada kebaikan yaitu ketaatan, kerendahan hati,
serta mengarah kepada pengingkaran, kesombongan dan keputusasaan.
Kesombongan merupakan salah satu sumber penyakit hati yang berbahaya,
seperti digambarkan oleh Rasulullah sebagai kesukaan dipuji dan ketakutan untuk
dicela. Allah juga sangat membenci kesombongan karena sifat tersebut akan
menjauhkan manusia dari kebenaran dan ketaatan kepada Allah, serta menyebabkan
kerusakan. Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan
menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya (QS Al A’raf, ayat 36). Ayat tersebut menegaskan bahwa orang
yang tidak mentaati Allah dikatakan sebagai orang yang sombong dan akan
dimasukkan ke dalam neraka. Rasulullah menegaskan dalam sabdanya: Tidak masuk
syurga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meskipun hanya sebiji sawi.
Barang siapa datang pada hari kiamat dalam keadaan bebas dari tiga perkara maka ia
masuk syurga: takabur, khianat, hutang. Sifat sombong menghalangi orang masuk
syurga, karena kesombongan menyebabkan orang tidak mau mentaati kebenaran,
merendahkan orang lain, menimbulkan kemarahan, hasad, dan dendam. Sebaliknya
QS al Furqaan (25) ayat 63 menyatakan: Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati
dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang keselamatan).
Kesombongan menyebabkan manusia tertutup hatinya dari rahmat Allah
sehingga seperti keadaan yang dijelaskan dalam QS Yusuf (12) ayat 87 Dan jangan
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir. Orang yang sombong menganggap bahwa semua
yang diraih merupakan usahanya sendiri, sehingga akan sangat bersedih bahkan
berputus asa jika mengalami kehilangan dan sangat gembira jika mendapatkan sesuatu
yang diinginkannya. QS Al Hadid (57) ayat 23 memperingatkan kepada manusia
sebagai berikut: Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri.

C. Keadaan jiwa pada hari akhir

Pembalasan Allah untuk orang yang kafir (ingkar) dan beriman (taqwa) digambarkan
dalam surat Al Ghasyiyah. Ayat-ayat dalam surat Al Ghaasyiyah mengandung penjelasan
bahwa orang kafir di hari kiamat dan azab yang ditimpakan pada mereka, serta orang-
orang yang beriman dan syurga yang dianugerahkan kepada mereka sebagai pembalasan.
Allah menerangkan penderitaan orang kafir dan kenikmatan orang beriman pada hari
kiamat. Banyak di antara mereka yang mukanya tertunduk hina memasuki neraka dengan
segala siksaan yang amat pedih, serta banyak pula yang mukanya berseri-seri memasuki
syurga dengan segala kenikmatan yang diberikan Allah. Ayat-ayat tersebut memberikan
gambaran bahwa kelak di hari akhir akan ada pembalasan atas perbuatan manusia di dunia.
Semua perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan sampai di akhirat. Seperti
gambaran pada surat Al Zalzalah, bahwa manusia akan melihat sendiri hasil perbuatannya,
baik atau pun buruk, sekalipun hanya sebesar dzarrah. Orang yang bertaqwa akan
mendapatkan balasan syurga, seperti difirmankan oleh Allah dalam surat Az Zumar (39)
ayat 73: Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam syurga
berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke syurga itu sedang
pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya:
"Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! maka masukilah syurga ini,
sedang kamu kekal di dalamnya".
KESIMPULAN

Berdasarkan kajian Al Quran dan hadist di atas kesehatan jiwa mengandung arti
kecenderungan jiwa kepada kebaikan yang mengarahkan kepada ketaatan kepada Allah,
kecintaan kepada akhirat, menyebabkan sifat rendah hati dan jauh dari kesombongan,
sehingga akan diraih ketenangan jiwa yang berbuah kebahagiaan dunia dan akhirat. Puncak
kesehatan jiwa adalah keberuntungan yang akan diraih yaitu syurga. Ketaqwaan sebagai
tolok ukur kesehatan jiwa, karena disebutkan oleh Allah sendiri dalam firman Nya bahwa
manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.

Menurut model Ustman Najati (Taufiq, 2006) dan Adz-Dzakiey (2007) yang
bersumber pada Al Quran dan hadist, indikator kesehatan jiwa adalah hubungan baik antara
manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya, manusia dengan orang lain dan manusia
dengan alam semesta. Kesehatan mental akan diraih dengan cara mendasarkan hubungan-
hubungan tersebut pada hal-hal berikut ini: a) ketaqwaan, yaitu menjalani segala perintah
dan menjauhi larangan Allah b) kepasrahan kepada Allah (tawakal), sehingga senantiasa
berserah diri kepada Allah dalam segala urusan c) kecintaan akan akhirat, c) kerendahan hati,
meniatkan semua perbuatan dengan lkhlas dan tawadu’ kepada Allah dan manusia, d)
senantiasa bertaubat, berdzikir dan berdoa agar Allah memberikan ketenangan jiwa.
Kesehatan jiwa merupakan kebaikan jiwa seperti yang digambarkan sebagai ketaqwaan yang
dicirikan dengan orang yang senantiasa mensucikan jiwanya dengan menjalin hubungan baik
dengan Allah (berserah diri) dengan menjalankan shalat dan berdzikir, berhubungan baik
dengan manusia dengan beramal shaleh dengan tawadu’, sehingga Allah melimpahkan
ketenangan jiwa.

Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa model manusia yang sehat
jiwanya menurut paradigma Islam adalah manusia yang paling taqwa. Ketaqwaan
mengandung arti ketaatan dan penyerahan diri kepada Allah, sehingga melahirkan
kerendahan hati dan kecintaan akan akhirat. Orang yang bertaqwa akan mengandalkan Allah
dalam segala urusan sehingga akan berbuah ketenangan jiwa.

Daftar Pustaka

Al Quran dan terjemahannya.


Adz-Dzakiey, H.B. (2007). Psikologi kenabian. Menghidupkan potensi dan kepribadian
kenabian dalam diri. Yogyakarta: Pustaka Al Furqan.
Al-Ghazali, A. H. M. (2013). Ringkasan ihya’ulumuddin (diterjemahkan oleh
Fudhailurrahman & Ade Humaira. Jakarta: PT Sahara.

Al-Ghazali, I. 2007. Bahagia senantiasa. Diterjemahkan dari The Alchemy of Happiness


(diterjemahkan oleh Dedi Slamet Riyadi & Fauzi Faishal Bahreisy). Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta.

Athaillah, A. I. (2007). Mengapa harus berserah. Panduan menyenagi setiap kenyataan.


(diterjemahkan oleh Fauzi Faishal Bahreisy). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Guðmundsdóttir, D. G. (2011). Positive psychology and public health. In R. Biswas-


Diener (editor), Positive Psychology and Social Change (pp. 109-124). Milwuakie
Oregon: Springer.

Hollins, S. (2006). Religions, culture, and healthcare. United Kingdom: Radcliffe


Publishing Ltd.
Karzon, A. A. (2010). Al Katiri, M, Bawazir, Z., Hanif, L., & Makesen, M. H (Editor).
Tazkiyatun Nafs. Gelombang Energi Penyucian Jiwa Menurut Al Quran dan As-
Sunnah di Atas Manhaj Salafs Shaalih. Diterjemahkan oleh H. Emiel Threeska.
Jakarta Timur: Akbarmedia.
Mujieb, A. M., Ismail, A., & Syafi’ah. (2009). Ensiklopedia tasawuf Imam Al-Ghazali.
Mudah memahami dan menjalani kehidupan sosial. Jakarta: Hikmah (Mizan
Publika).
Pilgrim, D. (2014). Key concept in mental health, 3rd edition. Sage.
Schultz, D. (1991). Psikologi pertumbuhan. Model-model kepribadian sehat
(diterjemahkan oleh Yustinus). Yogyakarta: Kanisius.
Taufiq, M. I. (2006). Panduan lengkap dan praktis psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani
Press.

Anda mungkin juga menyukai